BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping"

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Problem Focused Coping 1. Pengertian Coping Kata coping berasal dari bahasa Inggris cope yang berarti sebuah kudeta, pukulan, atau pertempuran yang mengejutkan (Lazarus & Lazarus, 2006). Konsep mengenai stres dan coping diperkenalkan oleh Lazarus pada tahun 1966 (dalam Carver dan Scheier, 1989). Lazarus & Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan pada tuntutan internal maupun eksternal untuk mengelola tuntutan tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang. Coping dideskripsikan sebagai proses transaksional dimana orang menangani permasalahan-permasalahan di kehidupan mereka sehari-hari (Aldwin, dalam Zimmer-Gembeck dan Skinner, 2008). Menurut Taylor (2009) coping adalah suatu pemikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur perintah internal dan eksternal dari situasi yang dinilai sebagai hal yang penuh tekanan. Sarafino (2011) menjelaskan bahwa coping adalah suatu proses dimana orang mencoba untuk mengelola perbedaan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang dinilai dalam situasi yang penuh tekanan. Selanjutnya Sarafino mengatakan bahwa proses coping bukanlah peristiwa tunggal karena di dalam coping ada transaksi berkelanjutan dengan lingkungan, dimana proses tersebut dilihat sebagai rangkaian dinamis dari 14

2 digilib.uns.ac.id 15 penilaian berulang-ulang yang dapat disesuaikan dengan perubahan antara orang dengan lingkungannya. Senada dengan hal tersebut, Folkman & Moskovitz (dalam Taylor, 2009) mengatakan bahwa coping adalah serangkaian transaksi antara orang yang memiliki seperangkat sumber daya, nilai-nilai, dan komitmen, serta suatu lingkungan tertentu dengan sumber dayanya sendiri, tuntutan, dan kendala-kendala. Cohen (dalam Smet, 1994) mendefinisikan coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan baik yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stres. Kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian di atas, coping merupakan suatu upaya kognitif dan perilaku yang dinamik dan transaksional untuk mengelola perbedaan antara tuntutan dan sumber daya yang dinilai berat baik intenal maupun eksternal yang berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi tuntutan kendala, dan ancaman dalam situasi yang penuh tekanan atau menegangkan. 2. Pengertian Problem Focused Coping Tipe-tipe strategi seseorang dalam melakukan coping terhadap masalahnya tergantung dari tuntutan lingkungan (Aldwin, 2007). Secara umum, strategi coping dibagi menjadi 2 bentuk utama yaitu problem focused coping (yang berorientasi pada permsalahan) dan emotion focused coping

3 digilib.uns.ac.id 16 (yang berorientasi pada emosi) (Folkman dkk, 1986; Lazarus & Lazarus, 2006; Lazarus et al dalam Sarafino, 2011). Problem focused coping merupakan salah satu bentuk utama dari strategi coping. Menurut Lazarus & Folkman (1984) problem focused coping adalah usaha individu untuk mmengatasi permasalahan dengan mengubah stressor atau penyebab masalahnya. Selanjutnya menurut Lazarus & Folkman problem focused coping sering diarahkan dalam hal mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi alternatif, menimbang alternatif-alternatif dalam hal biaya dan keuntungannya, kemudian memilih dari alternatif tersebut, dan bertindak. Taylor (2009) mengemukakan bahwa problem focused coping merupakan usaha untuk melakukan sesuatu yang konstruktif tentang situasi yang penuh tekanan yang membahayakan, mengancam, atau menantang suatu individu. Sarafino (2011) menjelaskan problem focused coping sebagai cara untuk mengurangi tuntutan di dalam sebuah situasi stres atau memperbanyak cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Carver, Scheier & Weintraub (1989) mengatakan problem focused coping ditujukan kepada penyelesaian masalah atau melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stres. Ogden (2004) mengatakan bahwa problem focused coping adalah cara untuk mengambil tindakan baik dengan mengurangi tuntutan stressor atau sumber stres atau dengan meningkatkan sumber-sumber yang tersedia untuk menanganinya. Di dalam problem focused coping, perhatian seseorang berpusat kepada apa yang dapat dilakukan untuk mengubah situasi untuk melenyapkan atau mengurangi stres (Lazarus & Lazarus, 2006).

4 digilib.uns.ac.id 17 Lazarus and Folkman (dalam Sarafino, 2011) mengatakan bahwa orang cenderung menggunakan pendekatan yang berfokus masalah (problem focused approaches) ketika mereka percaya bahwa tuntutan di dalam suatu situasi dapat diubah. Aldwin (2007) juga mengatakan bahwa orang menggunakan strategi pendekatan terhadap masalah apabila mereka mempunyai sumber coping yang cukup memadai dan dimana mereka lebih nyaman untuk berhadapan dengan masalah, dan orang yang menggunakan strategi menghindar saat mereka berada di situasi yang kurang menyenangkan. Zakowski, Hall, Klein, & Baum (dalam Taylor, 2009) mengatakan bahwa apabila di dalam situasi dimana terdapat sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan maka seseorang akan memilih menggunakan problem focused coping, sebaliknya untuk situasi yang mau tak mau harus diterima maka individu lebih memilih emotion focused coping. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problem focused coping adalah suatu cara atau metode yang dilakukan dalam mengatasi tuntutan di dalam situasi yang penuh dengan tekanan dengan cara melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stres tersebut. 3. Dimensi-Dimensi Problem Focused Coping Folkman & Lazarus, 1988 (dalam Sarafino, 1998) menyebutkan aspekaspek dari problem focused coping sebagai berikut: a. Planful problem solving (perencanaan penyelesaian masalah)

5 digilib.uns.ac.id 18 yaitu menganalisis situasi untuk mendapatkan solusi atas permasalahan, kemudian secara terencana mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah. b. Confrontive coping (konfrontif koping) yaitu pengambilan tindakan tegas, sering melibatkan kemarahan atau pengambilan resiko untuk mengubah situasi. c. Seeking social support (mencari dukungan sosial) Yaitu mencoba untuk memperoleh dukungan informasi atau dukungan emosional dari orang lain. Menurut Aldwin and Revenson (1987) aspek yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada problem focused coping yaitu: a. Instrumental action (tindakan secara langsung) Individu melakukan usaha dan merencanakan langkah-langkah yang mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya. b. Cautiousness (kehati-hatian) hal ini berarti individu berpikir, meninjau, dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah, berhati-hati dalam merumuskan masalah, meminta pendapat orang lain dan mengevaluasi strategi yang pernah diterapkan sebelumnya. c. Negotiation Individu melakukan beberapa usaha untuk membicarakan serta mencari penyelesaian dengan orang lain yang terlibat di dalamnya dengan harapan

6 digilib.uns.ac.id 19 masalah dapat terselesaikan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengubah pikiran dan pendapat seseorang, melakukan perundingan atau kompromi untuk mendapatkan sesuatu yang positif dari situasi. Carver, Scheier, and Weintraub (1989) membagi dimensi problem focused coping menjadi: a) Active coping Active coping adalah suatu proses pengambilan langkah aktif untuk mencoba memindahkan atau menghilangkan sumber stres atau untuk mengurangi akibatnya. Hal ini termasuk memulai aksi secara langsung, meningkatkan usaha, dan mencoba untuk melaksanakan usaha coping secara bertahap. b) Planning Planning merupakan suatu usaha untuk menghilangkan sumber stres dengan cara memikirkan bagaimana cara mengatasi sumber stres tersebut. c) Suppression of competing activities Suppression of competing activities yaitu usaha individu untuk membatasi ruang gerak atau aktivitas dirinya yang tidak berhubungan dengan masalah untuk berkonsentrasi penuh pada tantangan maupun ancaman yang sedang dialaminya. d) Restraint coping Restraint coping adalah latihan mengontrol atau mengendalikan tindakan langsung sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak.

7 digilib.uns.ac.id 20 e) Seeking social support for instrumental reasons merupakan usaha individu untuk mencari informasi, nasehat, atau pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh para ahli mengenai dimensidimensi problem focused coping di atas, maka penelitian ini akan menggunakan dimensi problem focused coping dari Folkman dan Lazarus, yaitu planful problem solving, confrontive coping, dan seeking social support. 4. Faktor yang Mempengaruhi Problem Focused Coping Strategi coping dipengaruhi oleh penilaian kognitif pada setiap individu untuk mengatasi stres dari eksternal maupun internal. Lazarus & Folkman (1984) mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi strategi coping. Menurut Lazarus & Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping yaitu: a. Kesehatan dan Energi Kesehatan dan energi mempengaruhi berbagai macam bentuk strategi coping pada individu. Seseorang yang berada dalam keadaan rapuh, sakit, kelelahan, atau lemah, tidak mampu melakukan coping dengan baik. Namun banyak penelitian, misalnya penelitian Bulman & Wortman, Dimsdale, Hamburg & Adams, Hamburg et al., Visotsky et al., (dalam Lazarus & Folkman (1984) mengusulkan bahwa orang dapat melakukan coping dengan

8 digilib.uns.ac.id 21 baik meskipun dalam kondisi kesehatan yang buruk dan energi yang terkuras. b. Keyakinan yang Positif Penilaian diri secara positif juga dapat dianggap sebagai sumber psikologis yang mempengaruhi strategi coping individu. Setiap individu memiliki keyakinan tertentu yang menjadi upaya dan harapan dalam melakukan coping saat kondisi apapun. Peale (dalam Lazarus & Folkman, 1984) mengatakan bahwa fungsi kekuatan berpikir positif dan memiliki kemampuan menjadikan individu memiliki pengalaman yang terbaik. namun, belum terlihat secara jelas apakah ada harga untuk mempunyai pemikiran yang positif, dan apakah orang yang tidak menggunakannya dapat terpengaruh untuk melakukannya. c. Kemampuan Pemecahan Masalah Kemampuan pemecahan masalah pada individu meliputi kemampuan mencari informasi, menganalisis situasi yang bertujuan menidentifikasi masalah yang menghasilkan alternatif yang akan digunakan pada individu, mempertimbangkan alternatif dengan baik agar dapat mengantisipasi kemungkinan yang terburuk, memilih dan menerapkan sesuai dengan tujuan pada masing-masing individu. d. Keterampilan Sosial Keterampilan sosial merupakan faktor yang penting dalam strategi coping karena pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial, sehingga keterampilan sosial dibutuhkan individu untuk bersosialisasi dengan

9 digilib.uns.ac.id 22 manusia lain. Keterampilan sosial dimaksudkan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah dengan orang lain dan memungkinkan individu untuk menjalin hubungan yang baik dan kerjasama dengan individu lain, serta secara umum memberikan control perilaku kepada individu atas interaksi sosialnya dengan individu lain. Keterampilan sosial diperlukan sebagai faktor yang mempengaruhi strategi coping terlihat di dalam banyak bidang, termasuk program terapiutik yang membantu seseorang untuk menangani masalah kehidupan sehari-harinya dengan lebih baik dan mengorganisir program latihan untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi. e. Dukungan Sosial Setiap individu mempunyai teman yang dekat secara emosional, pengetahuan, dan dukungan perhatian yang merupakan faktor yang mempengaruhi strategi coping pada individu dalam mengatasi stres, terapi perilaku, dan epidemologi sosial. f. Sumber Material Sumber material yang dimaksud disini adalah keuangan, barang-barang, dan pelayanan yang dapat dibeli dengan uang. Keadaan keuangan yang baik dapat menjadi sumber strategi coping pada individu. Secara umum masalah keuangan dapat memicu stres individu yang mengakibatkan meningkatnya pilihan dalam strategi coping untuk bertindak. Salah satu manfaat material bagi individu yaitu dapat memudahkan individu dalam kepentingan hukum,

10 digilib.uns.ac.id 23 medis, keuangan, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan individu yang memiliki materi dapat mengurangi resiko stres. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Billings and Moos (dalam Sarafino, 2011) terhadap 200 pasangan yang telah menikah tentang bagaimana tangapan mereka menghadapi situasi yang negatif, ada beberapa faktor yang mempengaruhi problem focused coping, yaitu: a. Jenis kelamin Jenis kelamin mempengaruhi bagaimana individu melakukan coping. Hasil penelitian Billings and Moss menunjukkan bahwa baik suami dan istri lebih terbiasa menggunakan problem focused coping daripada emotion focused coping dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan. b. Tingkat pendidikan dan status ekonomi Pendapatan orang yang berbeda-beda dapat mempengaruhi bagaimana orang menyikapi suatu masalah, begitu juga dengan tingkat pendidikan. Individu dengan pendidikan dan status ekonomi yang tinggi lebih sering menggunakan problem focused coping daripada individu yang memiliki status ekonomi dan tingkat pendidikan yang lebih rendah. c. Jenis masalah Jenis permasalahan yang dihadapi oleh seseorang dapat menentukan cara orang tersebut dalam menghadapi masalahnya. Apabila situasi yang dihadapi melibatkan kematian anggota keluarga atau orang yang dicintai, individu lebih memilih menggunakan emotion focused coping. Lain halnya

11 digilib.uns.ac.id 24 dengan permasalahan yang masih bisa diatasi seperti kesulitan ekonomi atau penyakit, individu lebih memilih melakukan problem focused coping. Ogden (2004) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi problem focused coping, yaitu: a. Tipe masalah Masalah dalam pekerjaan lebih sering melibatkan problem focused coping sementara masalah kesehatan dan hubungan dengan orang lain lebih melibatkan emotion focused coping. b. Usia Anak-anak lebih memilih menggunakan problem focused coping dimana emotion focused coping lebih sering digunakan oleh remaja. Folkman et al (dalam Ogden, 2004) mengatakan bahwa orang dewasa tengah lebih menggunakan problem focused coping sedangkan orang tua lebih menggunakan emotion focused coping. c. Jenis kelamin Sudah menjadi rahasia umum bahwa wanita lebih sering menggunakan emotion focused coping dan pria lebih mengarah kepada penyelesaian berfokus pada masalahnya. d. Kemampuan mengontrol Orang-orang lebih memilih untuk menggunakan problem focused coping jika mereka percaya bahwa masalah tersebut dapat berubah. Sebaliknya, mereka menggunakan emotion focused coping jika masalah yang mereka hadapi melebihi dari kemampuan mereka untuk mengendalikannya.

12 digilib.uns.ac.id 25 e. Ketersediaan sumber Coping dipengaruhi oleh sumber eksternal seperti waktu, pendidikan, anakanak, keluarga, dan pendidikan. Sumber yang sedikit mungkin membuat orang merasa bahwa stressor kurang terkontrol oleh mereka sehingga mengakibatkan keengganan untuk menggunakan problem focused coping. Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi problem focused coping pada individu, antara lain: kesehatan dan energi, keyakinan yang positif, kemampuan pemecahan masalah, dukungan sosial, keterampilan sosial, sumber material, jenis kelamin, tingkat pendidikan atau status ekonomi, jenis masalah, usia, dan kemampuan mengontrol. B. Kecerdasan Adversitas 1. Pengertian Kecerdasan Adversitas Konsep tentang kecerdasan adversitas atau adversity quotient (AQ) didapat berdasarkan hasil studi empiric yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari lima ratus kajian di seluruh dunia dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi (Stoltz, 2005). Menurut Sumardi (2007) kecerdasan adversitas dapat juga disebut dengan kecerdasan keuletan, tahan banting, atau ketangguhan. Stoltz (2005) mendefinisikan kecerdasan adversitas sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau hambatan. Selanjutnya

13 digilib.uns.ac.id 26 menurut Stoltz (2005) kecerdasan adversitas mempunyai tiga bentuk. Pertama, kecerdasan adversitas adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kecerdasan adversitas berlandaskan pada riset yang berbobot dan penting yang menawarkan kembali apa yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversitas adalah ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Polapola bawah sadar ini sebenarnya sudah dimiliki, hanya saja saat inilah pertama kalinya pola-pola tersebut diukur, dipahami, dan diubah. Ketiga, kecerdasan adversitas adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki efektivitas pribadi dan professional seseorang secara keseluruhan. Gabungan ketiga unsur tersebut, yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses. Stoltz (dalam Phoolka and Kaur, 2012) mengatakan bahwa kecerdasan adversitas menentukan apakah seseorang dapat bertindak melebihi harapan atay akan menyerah dengan cepat. Kecerdasan adversitas dapat memprediksikan ketekunan dan daya tahan seseorang dan dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dari suatu tim, hubungan, keluarga, komunitas, budaya, masyarakat, dan organisasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adversitas adalah kemampuan dan ketangguhan seseorang dalam merespon, menghadapi

14 digilib.uns.ac.id 27 rintangan, kesulitan, hambatan, dan mengubahnya menjadi peluang untuk mencapai tujuan demi meraih kesuksesan. 2. Dimensi-Dimensi Kecerdasan Adversitas Stoltz (2005) mengatakan bahwa kecerdasan adversitas terdiri dari empat dimensi yang sering disingkat menjadi CO 2 RE, yaitu: a. Control (kendali) Control atau kendali menentukan seberapa besar kendali seseorang terhadap kesulitan. Kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali ini sebenarnya hampir tidak mungkin diukur akan tetapi bisa diukur berdasarkan apa yang dirasakan. Control ini diawali dengan pemahaman tentang individu dapat melakukan sesuatu atau apapun. Control dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan adversitas tinggi dapat merasakan kendali yang lebih besar atas kejadian-kejadian dalam hidupnya dibandingkan dengan orang yang mempunyai kecerdasan adversitas lebih rendah. b. Origin and Ownership (asal usul dan pengakuan) Penjelasan mengenai Origin and Ownership ini adalah kemampuan seseorang untuk menganalisis asal dari kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana orang itu mengakui akibat-akibat dari kesulitan yang dihadapinya. Orang yang mempunyai kecerdasan adversitas rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-

15 digilib.uns.ac.id 28 peristiwa buruk yang terjadi dan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kesulitan tersebut. Stoltz (2005) berpendapat bahwa rasa bersalah mempunyai dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah membantu seseorang untuk belajar, merenung, dan menyesuaikan tingkah laku. Kedua, rasa bersalah yang mengarah kepada penyesalan sehingga dapat memaksa seseorang untuk meneliti hati nurani dan mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang dilakukan telah melukai hati orang lain. Rasa menyesal ini bisa menjadi motivator yang kuat untuk membantu menyembuhkan kerusakan yang dapat muncul dalam suatu hubungan. Sebaliknya, rasa bersalah dapat bersifat merusak mental dan melemahkan semangat apabila berlebihan atau digunakan dalam kondisi yang tidak tepat. c. Reach (jangkauan) Jangkauan dalam hal ini berarti sejauh mana kesulitan akan merambah kehidupan seseorang dan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Orang yang mempunyai kecerdasan adversitas yang rendah dapat membuat kesulitan tersebut merasuk ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Sebaliknya, berkaitan dengan reach, Rock & Page (2009) menjelaskan tentang bagaimana orang yang mempunyai kecerdasan adversitas tinggi apabila mendapatkan masalah atau penderitaan tidak menjalar dan mempengaruhi kehidupannya.

16 digilib.uns.ac.id 29 d. Endurance (daya tahan) Endurance atau daya tahan yaitu sampai seberapa tinggi tingkat ketepatan dan kecepatan individu dalam memecahkan masalah sehingga dapat dilihat seberapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan tersebut berlangsung. Seseorang yang mempunyai daya tahan rendah pada kesulitan yang dihadapi akan membuat masalah atau kesulitan itu berlangsung lama. Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat daya tahan tinggi akan membuat orang tersebut mampu menghadapi kesulitan hidup dengan efektif dan dalam waktu singkat. 3. Tingkatan Kecerdasan Adversitas Scoltz (2005) menganalogikan tingkatan kecerdasan adversitas dengan seseorang yang sedang mendaki gunung es yang tinggi dengan puncak gunungnya sebagai tujuan hidup manusia menuju kesuksesan yang akan mengalami banyak kesulitan yang akan dihadapi. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: a. Quitters (orang yang berhenti) Quitters adalah istilah bagi orang-orang yang menghindari kewajiban, mundur, berhenti. Orang yang berhenti ini dideskripsikan sebagai orang yang tidak berani mencoba untuk mendaki gunung es karena merasa kehidupannya yang sekarang aman dan tidak ingin mencoba tantangan lain. Hal ini sama dengan orang yang sedang mengalami kesulitan yang menolak mendapat tantangan baru dan meninggalkan banyak hal yang ditawarkan

17 digilib.uns.ac.id 30 oleh kehidupan. Habsari (2005) mengatakan bahwa orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang yang memiliki kecerdasan adversitas paling lemah ketika sedang menghadapi kesulitan sehingga membuat orang tersebut menjadi pemurung, pemarah, frustasi, sinis, menyalahkan orang lain, dan iri dengan kesuksesan orang lain. b. Campers (orang yang memutuskan untuk berkemah) Seseorang yang masuk dalam kategori ini merupakan orang yang mudah puas dengan hasil yang diperolehnya sehingga memilih untuk istirahat dan mengindar dari masalah yang muncul. Hal ini mirip dengan quitters namun setidaknya kaum campers sudah mau mencoba. Orang yang masuk kategori ini sudah berusaha untuk mencoba, namun saat melihat sulitnya medan yang harus dihadapi mereka memutuskan untuk berhenti melanjutkan usahanya. Individu yang termasuk dalam kategori ini memiliki kecerdasaan adversitas yang sedang. Individu tersebut giat berusaha menghadapi rintangan hanya saat permulaan saja, ketika telah merasa bosan dan lelah mereka akan istirahat dalam waktu yang cukup lama sehingga posisinya semakin jauh dari kesuksesan. c. Climbers (pendaki sejati) Kelompok pendaki ini termasuk orang yang mempunyai visi ke depan untuk maju sampai mencapai puncak kesuksesan yang diinginkannya. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinankemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat

18 digilib.uns.ac.id 31 fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi niatnya. Orang yang termasuk dalam kategori ini cenderung mempunyai kecerdasan adversitas yang tinggi. Orang itu mengerti bahwa kehidupan yang sekarang adalah tempat ujian untuk mencapai kesuksesan kelak. Climbers tahu bahwa banyak imbalan datang dalam bentuk manfaat jangka panjang dan akan membawanya pada kemajuan di kemudian hari. C. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial Dukungan sosial berarti rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau tersedianya bantuan dari orang lain atau kelompok (Uchino, dalam Sarafino, 2011). Taylor, Peplau, & Sears (2006) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan pemberian informasi dari orang lain bahwa dirinya dipedulikan dan dihargai. Dukungan sosial biasanya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain seperti anggota keluarga, teman, saudara, atau rekan kerja. Taylor (2009) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa seseorang dicintai dan dirawat, terhormat dan dihargai, dan bagian dari jaringan komunikasi serta kewajiban timbal balik. Chaplin (2002) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu penyediaan seseorang untuk memenuhi kebutuhan orang lain berupa dorongan, semangat, dan nasihat kepada orang lain. Sarason, Levine, Basham, & Sarason (1983) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan atau kesediaan

19 digilib.uns.ac.id 32 dari orang-orang yang dapat diandalkan, orang-orang yang memberitahu kita bahwa mereka peduli, menghargai dan menyayangi kita. Menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994) dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan atau nasehat non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Hal ini membantu individu untuk menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan. Orang yang memperoleh dukungan dapat merasa lega secara emosional karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan agar mereka dapat mencari jalan keluar bagi dirinya. Dukungan sosial merupakan bentuk emosional dan sumber daya yang disediakan oleh orang lain untuk mengatasi stres (Baron dan Byrne, 2005). Dukungan sosial dapat diartikan sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima indivudu dari orang lain maupun kelompok yang berupa penghiburan, perhatian, penerimaan, atau bantuan dari orang lain (Sarafino, 1998). Senada dengan hal tersebut, Wiggins (dalam Smet, 1994) menjabarkan dukungan sosial sebagai pertolongan, bantuan yang diterima oleh individu dari interaksinya dengan lingkungan sekitar. Dengan adanya dukungan sosial maka individu akan lebih sehat fisik dan psikisnya daripada individu yang tidak menerima dukungan sosial. Menurut Taylor (2009) dukungan sosial dapat berupa barang, jasa, informasi, dan nasehat sehingga individu penerima akan merasa disayang, dihargai, dan tentram. Dukungan sosial dapat berfungsi antara lain untuk

20 digilib.uns.ac.id 33 memenuhi kebutuhan bimbingan, memberikan perasaan ada teman yang dapat diandalkan, dapat mengekspresikan rasa perhatian dan cinta, meyakinkan keberhargaan diri, kesempatan untuk memberikan perhatian kepada orang lain, kasih sayang dan integrasi sosial (Weiss dalam Cutrona, Cole, Coangelo, Assouline, & Russell, 1994). Berdasarkan penjelasan dari para ahli di atas, bisa disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah suatu hubungan yang dapat dipenuhi dengan memberikan perhatian, penghargaan, rasa nyaman, dan dorongan dalam bentuk bantuan instrumental, emosional, informasi, dukungan verbal dan atau nonverbal atau pertolongan lainnya sehingga dapat menimbulkan perasaan positif pada individu yang menerimanya. 2. Aspek-Aspek Dukungan Sosial Sarafino (1998) mengatakan ada lima aspek dukungan sosial, yaitu: a) Dukungan emosional Dukungan emosional ini meliputi ekspresi empati, kepedulian, perhatian kepada orang yang menerima. Dukungan emosional menyediakan orang-orang dengan perasaan nyaman, jaminan, rasa memiliki, dan dicintai saat individu sedang mengalami stres. b) Dukungan penghargaan Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan yang positif untuk orang yang menerima, dorongan maju atau persetujuan terhadap ide atau perasaan seseorang, dan perbandingan positif antara satu

21 digilib.uns.ac.id 34 individu dengan individu yang lain. Dukungan jenis ini diperlukan untuk membangun penilaian terhadap diri, kemampuan, dan perasaan dihargai. c) Dukungan instrumental Dukungan ini mencakup dukungan langsung seperti saat orang memberikan atau meminjamkan uang atau pertolongan berupa pekerjaan ketika orang lain menghadapi situasi yang penuh tekanan atau stres. d) Dukungan informasi Dukungan informasi termasuk dengan memberikan nasehat, arahan, saran, petunjuk, atau umpan balik atas apa yang sedang dilakukan oleh individu atau yang sedang terjadi pada individu tersebut sehingga dapat membatasi masalahnya dan mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya. e) Dukungan jaringan sosial Dukungan ini merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok yang saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Menurut Taylor (2009) aspek-aspek dukungan sosial adalah sebagai berikut: a. Bantuan yang nyata (tangible assistance) Bantuan nyata melibatkan penyediaan dukungan material seperti jasa, bantuan keuangan, atau barang. b. Dukungan informasi (informational support) Keluarga dan teman-teman dapat menyediakan dukungan informasi tentang kejadian yang penuh tekanan yang dialami mereka dulu. Informasi ini dapat

22 digilib.uns.ac.id 35 membantu individu untuk mengerti suatu kejadian stres dengan lebih baik dan dapat menentukan strategi coping yang akan digunakan. c. Dukungan emosional (emotional support) Dukungan ini dapat dilakukan dengan meyakinkan orang yang menerima dukungan bahwa dia layak untuk diperhatikan. Kehangatan dan pengasuhan yang diberikan oleh orang lain dapat memungkinkan seseorang yang sedang berada dalam kondisi stres dapat menghadapinya dengan kepastian yang lebih besar. Dari bentuk-bentuk dukungan sosial yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka untuk pengukuran dukungan sosial dalam penelitian ini digunakan aspek dukungan sosial dari Sarafino (1998) yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial. D. Hubungan antara Kecerdasan Adversitas dan Dukungan Sosial dengan Problem Focused Coping 1. Hubungan antara Kecerdasan Adversitas dan Dukungan Sosial dengan Problem Focused Coping Seperti yang telah dibicarakan di bab sebelumnya, guru sekolah dasar (SD) merupakan guru yang mengajar dan mendidik murid di dalam semua mata mata pelajaran (kecuali agama dan penjaskes) di dalam kelas tertentu. Guru mempunyai peran yang penting di dalam proses pembelajaran untuk menjadikan pembelajaran tersebut menjadi efektif dan siswa dapat

23 digilib.uns.ac.id 36 mengembangkan kemampuannya secara optimal. Selain itu guru SD juga berperan dalam mengorganisasi kelas sebagai bagian dari proses pembelajaran dan siswa sebagai subyek yang sedang belajar. Tugas guru SD bukan hanya untuk mengajar siswa, namun guru SD juga harus menjadi pengganti orang tua di sekolah karena pada saat anak memasuki masa sekolah dasar, sering anak lebih patuh kepada gurunya daripada orang tuanya. Oleh karena itu guru harus bisa menempatkan dirinya sebagai sosok yang pantas dihormati dan ditiru. Guru juga diharapkan untuk memenuhi berbagai peran lain di dalam tugas mereka sehari-hari, seperti penilai (assessor), perencana, pengembang kurikulum, penyedia informasi, panutan, fasilitator, dan pengembang sumber daya (Sprenger, 2011). Stres kerja dapat dialami oleh siapa saja, termasuk guru SD. Apabila guru SD merasakan beban kerja yang berat, tekanan dari atasan, masalahmasalah dari siswanya, tekanan ekonomi karena pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, dan masalah-masalah lainnya, seorang guru dapat mengalami stres kerja. Seperti yang dinyatakan oleh De Nobile dan McCormick (2007) bahwa mengajar merupakan pekerjaan yang sangat penuh tekanan dan semakin meningkat di dalam dekade terakhir. Stres pada guru didefinisikan oleh Kyriacou (dalam Sprenger, 2011) sebagai kondisi emosional negatif yang dialami seperti rasa tegang, frustasi, ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan depresi sebagai hasil dari aspek-aspek pekerjaan sebagai guru. Penelitian Arismunandar dan Ardhana (1998) menemukan bahwa ada beberapa hal yang menjadi sumber stres pekerjaan guru yang

24 digilib.uns.ac.id 37 paling dominan, yaitu potongan gaji, kenaikan pangkat / jabatan yang tertunda, siswa perorangan yang berkelakuan buruk terus menerus, konflik dengan personil lain, lingkungan sekolah yang terlalu bising, kurangnya motivasi, perhatian, dan respon siswa terhadap pelajaran. Sebuah penelitian oleh ESRI (Darmody & Smyth, dalam Kenney, 2013) menemukan bahwa 45% guru sekolah dasar di Irlandia mengalami stres di dalam pekerjaan mereka dan baik stres kerja maupun kepuasan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, besarnya kelas, fasilitas sekolah, dan sumber daya yang memadai. Seringkali ketika mengalami stres, guru kurang mampu berpikir rasional dan sering pula membuat generalisasi pada hal-hal lain yang sebenarnya bukan merupakan inti dari permasalahan yang sesungguhnya. Edler & Hetherington (dalam Garmezy & Rutter, 1988) mengatakan bahwa situasi yang penuh tekanan atau situasi yang menekan terus menerus akan mengakibatkan kemampuan coping yang berpusat pada masalah menjadi kurang baik dan negatif. Pemahaman tentang strategi coping yang tepat, misalnya strategi coping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping) diperlukan untuk mencegah stres kerja yang dialami guru sekolah dasar tidak menjadi berlarutlarut. Problem focused coping menurut Lazarus & Folkman (1984) sering diarahkan dalam hal mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi alternatif, menimbang alternatif-alternatif dalam hal biaya dan keuntungannya, kemudian memilih dari alternatif tersebut, dan bertindak. Problem focused

25 digilib.uns.ac.id 38 coping berorientasi mencari pokok permasalahan dan berusaha memecahkannya. Seorang guru yang mampu melakukan problem focused coping dalam menghadapi masalahnya akan lebih cenderung dapat bertindak sesuai dengan kenyataan karena reaksi yang dimunculkan biasanya lebih mengutamakan proses pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan atau mengurangi sumber stres. Menyelesaikan permasalahan dengan menghilangkan atau mengurangi sumber stres, diperlukan ketangguhan tersendiri untuk melakukannya agar dapat menampilkan perilaku yang adaptif dalam mengatasi situasi yang menimbulkan stres tersebut. Ketangguhan dalam menyelesaikan masalah ini disebut dengan kecerdasan adversitas atau adversity quotient. Orang dengan kecerdasan adversitas yang tinggi biasanya memandang kesulitan dalam hidup secara optimis. Menurut Stoltz (2005) orang dengan kecerdasan adversitas yang tinggi (climbers) adalah orang yang optimis dan pantang menyerah dalam mencapai tujuan hidup walaupun ada rintangan yang menghalanginya. Individu yang optimis cenderung lebih sering mengatasi tekanan yang dialaminya dengan problem focused coping dan terorientasi pada tindakan serta menekankan penilaian positif terhadap peristiwa-peristiwa yang menimbulkan stres (Carver & Scheier, 1985). Adanya ketangguhan dalam menyelesaikan masalah seseorang akan berusaha untuk mencari akar masalah (problem) dan menyelesaikannya agar sumber stres menjadi hilang atau setidaknya berkurang.

26 digilib.uns.ac.id 39 Upaya menghilangkan atau mengurangi stres kerja guru sekolah dasar melalui problem focused coping tidak hanya memerlukan sikap kecerdasan adversitas yang tinggi namun juga dengan adanya dukungan sosial dari orangorang sekitar. Uchino (dalam Sarafino, 2011) mengatakan bahwa dukungan sosial berarti rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau tersedianya bantuan dari orang lain atau kelompok. Sumber dukungan sosial yang diharapkan dapat memberikan dukungan yang tepat bagi guru adalah rekan kerja, atasan, dan keluarga. Bagi guru, dukungan sosial diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengatasi stres yang dialaminya sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat meringankan keadaan fisik maupun psikisnya. Dengan kata lain, adanya dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya akan meningkatkan kemampuan guru sekolah dasar untuk melakukan problem focused coping. Dukungan sosial yang diberikan kepada guru sekolah dasar dapat bermanfaat dengan lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan problem focused coping apabila seiring dengan tingginya kecerdasan adversitas yang dimiliki oleh guru tersebut. Hal tersebut dikarenakan dukungan sosial dapat membantu para guru sekolah dasar untuk semakin tangguh dan berdaya juang tinggi atau kecerdasan adversitas yang tinggi saat mengalami stres kerja. Aspek-aspek yang ada di dalam kecerdasan adversitas membutuhkan dukungan sosial dari orang lain untuk menerapkannya sehingga guru dapat melakukan problem focused coping dengan baik. Semakin tinggi kecerdasan adversitas yang dimiliki oleh guru

27 digilib.uns.ac.id 40 sekolah dasar dan semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan kepada guru, maka kemampuan guru untuk melakukan problem focused coping akan semakin tinggi pula. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecerdasan adversitas dan dukungan sosial yang diberikan kepada guru sekolah dasar, maka akan semakin rendah pula kemampuan guru tersebut untuk melakukan problem focused coping. 2. Hubungan antara Kecerdasan Adversitas dengan Problem Focused Coping Berbagai tuntutan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh guru sekolah dasar. Apalagi jika banyak kesulitan dan hambatan muncul dalam memenuhi tanggung jawab tersebut maka akan menimbulkan suatu tekanan kerja sehingga akan menempatkan guru sekolah dasar sebagai sosok yang rentan terkena stres. Penyebab stres bagi guru sekolah dasar bisa datang dari berbagai macam sumber, seperti murid-murid yang susah diatur, tekanan dari rekan kerja dan atasan, tekanan dari orang tua siswa, tuntutan untuk selalu bertindak tanpa cela agar menjadi panutan orang di sekitarnya, tuntutan ekonomi yang tidak seimbang dengan gaji yang didapatkan, dan penyebab stres lainnya. Jika guru sekolah dasar tersebut tidak berusaha untuk mengatasi masalah dan tekanan yang dialaminya, maka individu tersebut bisa berada dalam kondisi yang lemah. Sebaliknya, apabila individu tersebut berhasil mengatasi masalah dan tekanan dengan efektif, maka individu tersebut akan berhasil melakukan problem focused coping dengan baik.

28 digilib.uns.ac.id 41 Usaha untuk melakukan problem focused coping dengan efektif dapat dilakukan jika guru sekolah dasar mempunyai kemampuan untuk memahami dan mengelola masalah yang dimilikinya. Oleh karena itu kecerdasan adversitas diperlukan oleh guru sekolah dasar. Stoltz (2005) mengemukakan bahwa kecerdasan adversitas merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan dan hambatan sekaligus mengubah hal tersebut menjadi peluang untuk meraih kesuksesan dan tujuan. Keteguhan semacam ini sangat berperan dbagi seseorang dalam melakukan problem focused coping. Semakin tinggi kecerdasan adversitas yang dimiliki maka akan semakin baik pula kemampuan individu tersebut dalam melakukan problem focused coping. Seorang guru sekolah dasar yang mempunyai kecerdasan adversitas yang tinggi (kaum climbers) akan optimis dan pantang menyerah untuk mencapai tujuan hidup walau rintangan menghalangi (Stoltz, 2005). Senada dengan hal itu, Carver dan Scheier (1985) mengatakan bahwa individu yang optimis lebih sering mengatasi stres dengan problem focused coping dan terorientasi pada tindakan. Penelitian sebelumnya yang mendukung hipotesis penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Pranandari (2008) yang menyatakan bahwa ada perbedaan adversity quotient yang signifikan ditinjau dari strategi coping dimana individu dengan problem focused coping memiliki adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi situasi yang penuh

29 digilib.uns.ac.id 42 tekanan. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa kecerdasan adversitas berhubungan secara positif dengan problem focused coping. 3. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Problem Focused Coping Guru di sekolah dasar merupakan pekerjaan yang lebih rawan akan stres dibandingkan profesi guru yang lain. Hal tersebut dikarenakan beban kerja guru sekolah dasar yang lebih berat, sebab guru sekolah dasar harus mengajar seluruh mata pelajaran di SD (kecuali agama dan penjaskes). Selain itu guru SD juga harus menjadi wali kelas, pengembang kurikulum, pembuat soal ujian semua mata pelajaran, memberikan laporan pertanggungjawaban setiap akhir semester kepada kepala sekolah, membuat catatan kemajuan hasil belajar siswa, memeriksa daftar hadir sebelum pelajaran dimulai, mengisi daftar nilai siswa pada buku niali, dan masih banyak lagi. Semua beban kerja yang ditanggung oleh guru sekolah dasar tersebut dapat menimbulkan perasaan tertekan apabila tidak ditangani dengan baik. Salah satu penanganan stres yang sering dipakai yaitu dengan coping. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa coping mempunyai dua jenis utama, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Strategi coping yang berfokus pada masalah disebut problem focused coping. Problem focused coping dilakukan oleh guru sekolah dasar dengan mencari sumber atau akar permasalahan atau tekanan, kemudian menangani secara aktif bertindak untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan tersebut.

30 digilib.uns.ac.id 43 Untuk dapat melakukan problem focused coping dengan baik, diperlukan juga dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Smet (1994) bahwa jika individu merasa didukung oleh lingkungannya, segala sesuatu dapat menjadi lebih mudah pada saat mengalami kejadian-kejadian yang membuat individu menjadi tertekan. Sarafino (2011) berpendapat bahwa dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga, teman, suami atau istri, rekan kerja, dan organisasi kemasyarakatan. Aldwin (2007) mengatakan bahwa dengan menyediakan dukungan sosial, baik dalam bentuk dukungan instrumental, saran, nasehat, atau dukungan emosional, dapat membantu orang lain yang ingin melakukan coping dengan masalahnya. Begitu pula dengan guru sekolah dasar, dukungan dari keluarga, rekan kerja, atasan, dan masyarakat sangat dibutuhkan agar mampu menghadapi tekanan. Penelitian sebelumnya yang mendukung hipotesis penelitian ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Purba, Yulianto, dan Widyanti (2007) tentang pengaruh dukungan sosial terhadap burnout pada guru. Penelitian tersebut menyatakan bahwa dukungan sosial berpengaruh negatif terhadap burnout pada guru. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima guru, maka semakin kecil level burnout yang dialami. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial berjalan selaras dengan coping stres (usaha untuk mengatasi stres) pada guru. Hal tersebut bisa dibuktikan dari penelitian Kesuma (2002) tentang hubungan antara dukungan sosial dengan problem focused coping pada guru yang menghasilkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan problem focused coping pada

31 digilib.uns.ac.id 44 guru. Hal ini berarti guru yang memiliki dukungan sosial yang tinggi akan semakin meningkat kemampuannya dalam mengatasi stres, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan uraian di atas, bisa dilihat bahwa dukungan sosial memiliki peran penting dalam melakukan problem focused coping pada guru sekolah dasar. E. Kerangka Pemikiran Kecerdasan Adversitas 2 1 Problem Focused Coping pada guru SD Dukungan Sosial 3 Keterangan : Anak Panah 1 : Hipotesis 1 Anak Panah 2 : Hipotesis 2 Anak Panah 3 : Hipotesis 3 Gambar 1 Kerangka Pemikiran Hubungan Kecerdasan Adversitas dan Dukungan Sosial dengan Problem Focused Coping pada Guru SD

32 digilib.uns.ac.id 45 F. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, adalah: 1. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan adversitas dan dukungan sosial dengan problem focused coping pada guru SD. 2. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan adversitas dengan problem focused coping pada guru SD. 3. Terdapat hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan problem focused coping pada guru SD.

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak 1. Pengertian Coping Stress Coping adalah usaha dari individu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dari lingkungannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress 1. Definisi Coping Stress Lazarus dan Folkman (Sugianto, 2012) yang mengartikan coping stress sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Berpikir selalu dihubungkan dengan permasalahan, baik masalah yang timbul saat ini, masa lampau dan mungkin masalah yang belum terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Proses Berpikir Analogi Matematis Menurut Gilmer (Kuswana, 2011), berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping. fisik, psikis dan sosial. Namun sayangnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping. fisik, psikis dan sosial. Namun sayangnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Problem Focused Coping Pada umumnya setiap individu memiliki banyak kebutuhan yang ingin selalu dipenuhi dalam kehidupannya. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan fisik,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Problem Focused coping 1. Pengertian Coping Folkman (1986) menyatakan Coping berarti usaha-usaha kognitif dan behavioral individu untuk mengelola (mengurangi, meminimasi, menguasai,atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping. untuk mengendalikan seperti halnya untuk menguasai, menerima, mengurangi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping. untuk mengendalikan seperti halnya untuk menguasai, menerima, mengurangi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Problem Focused Coping 1. Pengertian Coping Coping adalah suatu usaha yang beriorentasi pada tindakan intrapsikis, untuk mengendalikan seperti halnya untuk menguasai, menerima,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping Coping berasal dari kata cope yang dapat diartikan menghadang, melawan ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk memproduksi barang atau jasa, serta bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tujuan organisasi

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian ini. Selanjutnya juga akan dipaparkan hasil diskusi dan saran. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ADVERSITY QUOTIENT 1. PengertianAdversity Quotient Adversity atau kesulitan adalah bagian kehidupan kita yang hadir dan ada karena sebuah alasan dan kita sebagai manusia dapat

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10 MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Mengatasi Stress/Coping Stress Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 10 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap pasangan menikah pasti menginginkan agar perkawinannya langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan akan kelanggengan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan maupun perusahaan, baik di Indonesia maupun diluar negeri. Definisi asuransi menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan formal, warga negara juga diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan setiap anak di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya anak normal saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah pembelajar sejati, yang terus belajar dari ia lahir sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu keharusan bagi manusia dan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari penjajahan. Walaupun terbebas dari penjajahan, seluruh warga negara Indonesia harus tetap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Peraturan Republik Indonesia No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa sebagai subjek yang menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi hambatan maupun tantangan yang dihadapi dan tentunya pantang

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi hambatan maupun tantangan yang dihadapi dan tentunya pantang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa adalah salah satu bagian dari civitas akademika pada perguruan tinggi yang merupakan calon pemimpin bangsa dimasa yang akan datang. Untuk itu diharapkan mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa dengan bertambahnya usia, setiap wanita dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi dalam beberapa fase,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stress Stres merupakan akibat dari interaksi (timbal-balik) antara rangsangan lingkungan dan respons individu. Stres seringkali dianggap sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ulet, meskipun mengalami berbagai rintangan dan hambatan dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ulet, meskipun mengalami berbagai rintangan dan hambatan dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Task Commitment 1. Definisi Task Commitment Task Commitment atau pengikatan diri terhadap tugas adalah kemauan yang berasal dari dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk tekun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin maju menuntut masyarakat untuk semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah satu tujuan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga kesehatan yang sangat vital dan secara terus-menerus selama 24 jam berinteraksi dan berhubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Salah satu komponen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi setiap orang yang telah menikah, memiliki anak adalah suatu anugerah dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya, tumbuh dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi oleh dunia bisnis yang semakin kompleks. Ditandai dengan adanya perubahan lingkungan

Lebih terperinci

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari TINJAUAN PUSTAKA Burnout Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari seseorang yang bekerja atau melakukan sesuatu, dengan ciri-ciri mengalami kelelahan emosional, sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan yang terjadi pada era globalisasi saat ini menuntut adanya persaingan yang semakin ketat dalam dunia kerja. Hal ini mengakibatkan adanya tuntutan

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung 1 Rery Adjeng Putri, 2 Milda Yanuvianti 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efikasi Diri Akademik 1. Pengertian Efikasi Diri Akademik Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan perkiraan seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan otomotif khususnya mobil, akan terus berusaha untuk memproduksi unit-unit mobil dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Adversitas 1. Pengertian Kecerdasan Adversitas Kecerdasan adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang disusun berdasarkan hasil riset lebih dari 500

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Ketiga subjek merupakan pasangan yang menikah remaja. Subjek 1 menikah pada usia 19 tahun dan 18 tahun. Subjek 2 dan 3 menikah di usia 21 tahun dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, manusia dan pekerjaan merupakan dua sisi yang saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan; keduanya saling mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Konsep Lansia Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan stress lingkungan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Orang Tua Definisi dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami banyak perubahan. Salah satu penyebab dari perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya

Lebih terperinci

juga kelebihan yang dimiliki

juga kelebihan yang dimiliki 47 1. Pengertian Optimisme Seligman (2005) menjelaskan bahwa optimisme adalah suatu keadaan yang selalu berpengharapan baik. Optimisme merupakan hasil berpikir seseorang dalam menghadapi suatu kejadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa merupakan orang yang sedang dalam proses pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut maupun akademi. Mahasiswa adalah generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres pada Wanita Karir (Guru) 1. Pengertian Istilah stres dalam psikologi menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia 2.1.1. Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian Kecemasan menghadapi kematian (Thanatophobia) mengacu pada rasa takut dan kekhawatiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hasil Belajar Matematika 1. Pengertian Hasil Belajar BAB II KAJIAN PUSTAKA a. Hasil Belajar Hasil Belajar adalah suatu proses atau usaha yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Penyesuaian Diri. Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah adjusment

BAB II LANDASAN TEORI. A. Penyesuaian Diri. Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah adjusment BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah adjusment yang berarti suatu proses untuk mencari titik temu antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di era modern masa kini, banyak ditemukannya permasalahan yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak sesuai dengan rencana. Segala permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri kehidupan. Komitmen laki-laki dan perempuan untuk menjalani sebagian kecil

Lebih terperinci

Sebagaimana yang diutarakan oleh Sarafino dan Smith (2012, h.29) bahwa stres memiliki dua komponen, yaitu fisik, yang berhubungan langsung dengan

Sebagaimana yang diutarakan oleh Sarafino dan Smith (2012, h.29) bahwa stres memiliki dua komponen, yaitu fisik, yang berhubungan langsung dengan BAB V PEMBAHASAN Setiap individu pasti menginginkan pekerjaan yang memiliki masa depan yang jelas, seperti jenjang karir yang disediakan oleh perusahaan, tunjangan tunjangan dari perusahaan berupa asuransi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan dengan usaha menyeluruh, yaitu usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu BAB II LANDASAN TEORI A. STRATEGI COPING 1. Pengertian Coping Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support, BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perceived Social Support 1. Pengertian Perceived Social Support Sarafino dan Smith (dalam Mumpuni, 20 14) menyatakan bahwa social support bukan hanya mengacu kepada perilaku yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Akademik 1. Pengertian prestasi akademik Menurut pendapat Djamarah (2002) tentang pengertian prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik secara umum adalah bertemunya dua kepentingan

BAB II LANDASAN TEORI. dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik secara umum adalah bertemunya dua kepentingan BAB II LANDASAN TEORI A. Konflik Peran Ganda 1. Pengertian Konflik Menurut Robbin (1996) konflik adalah suatu proses dimana terjadi pertentangan dari suatu pemikiran yang dirasa akan membawa suatu pengaruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu kebutuhan manusia adalah menyangkut kebutuhan ekonomi. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia karena sangat berpengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba membekali diri dengan berbagai keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang mau tidak mau dituntut untuk giat membangun dalam segala bidang kehidupan. Terutama dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja dalam bahasa latin adolescence berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Rentang waktu usia remaja dibedakan menjadi tiga, yaitu : 12-15

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 109 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harapan dan konsep Tuhan pada anak yang mengalami kanker, serta bagaimana mereka mengaplikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman pembangunan di Indonesia dan globalisasi dunia yang menuntut kinerja yang tinggi dan persaingan semakin ketat, semakin dibutuhkan sumber daya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan berumah tangga, setiap keluarga tentunya akan mendambakan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap kebahagiaan kehidupan pernikahan mereka. Setiap pasangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika berinteraksi, individu dihadapkan pada tuntutan-tuntutan, baik dari

BAB I PENDAHULUAN. Ketika berinteraksi, individu dihadapkan pada tuntutan-tuntutan, baik dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sebagai makhluk hidup senantiasa berinteraksi dengan dirinya, orang lain, dan lingkungannya guna memenuhi kebutuhan hidup. Ketika berinteraksi, individu dihadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, yang diistilahkan dengan adolescence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Optimisme 2.1.1 Definisi Optimisme Optimisme merupakan bagaimana seseorang bereaksi terhadap kegagalan sosial dalam kehidupannya (Myers, 2008). Dalam keadaan yang memicu stress

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Lupus. Penyakit ini merupakan sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Yahidin, Syamsuriadi, dan Rini (2008) pengambilan keputusan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Yahidin, Syamsuriadi, dan Rini (2008) pengambilan keputusan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengambilan Keputusan 2.1.1 Definisi Menurut Yahidin, Syamsuriadi, dan Rini (2008) pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk memilih suatu tindakan yang terbaik dari sejumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EFIKASI DIRI PARENTING 1. Pengertian Efikasi Diri Bandura merupakan tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi diri (selfefficacy). Bandura (2001) mendefinisikan bahwa efikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Difabel tuna daksa merupakan sebutan bagi mereka para penyandang cacat fisik. Ada beberapa macam penyebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada manusia hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk memproduksi barang atau jasa, serta mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan-tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Pengertian Kebahagiaan Menurut Seligman (2005) kebahagiaan hidup merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA Sugianto 1, Dinarsari Eka Dewi 2 1 Alumni Program Studi Psikologi,Univ Muhammadiyah Purwokerto 2 Program

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh subjek mengalami stres. Reaksi stres yang muncul pada subjek penelitian antara lain berupa reaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa, pada dasarnya sebagai generasi penerus. Mereka diharapkan sebagai subyek atau pelaku didalam pergerakan pembaharuan. Sebagai bagian dari masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap individu menginginkan sebuah pemenuhan dan kecukupan atas

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap individu menginginkan sebuah pemenuhan dan kecukupan atas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap individu menginginkan sebuah pemenuhan dan kecukupan atas segala kebutuhan yang diperlukan dalam kehidupannya. Seringkali hal ini yang mendasari berbagai macam

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Blue Print Kuisioner. Dukungan Sosial

LAMPIRAN 1. Blue Print Kuisioner. Dukungan Sosial LAMPIRAN 1 Blue Print Kuisioner Dukungan Sosial Variabel Aspek Indikator Favorable Unfavorable Dukungan Sosial Emotional esteem support or Menerima perhatian dari keluarga Menerima perhatian dari teman/kerabat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Metode penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah di mana peneliti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran diri (body image) dan dukungan sosial pada tiga orang wanita yang mengalami penyakit kanker payudara yang telah

Lebih terperinci

STRATEGI COPING ORANG TUA MENGHADAPI ANAK AUTIS

STRATEGI COPING ORANG TUA MENGHADAPI ANAK AUTIS STRATEGI COPING ORANG TUA MENGHADAPI ANAK AUTIS Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Disusun oleh : DESI SULISTYO WARDANI F 100 050 031 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap pasangan suami istri, akan tetapi untuk mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Untuk membangun keluarga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. OPTIMISME 1. Defenisi Optimis, Optimistis dan Optimisme Optimis dalam KBBI diartikan sebagai orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup senantiasa barada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berakhir ketika individu memasuki masa dewasa awal, tetapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial 2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial (Uchino, 2004 dalam Sarafino, 2011: 81). Berdasarkan definisi di atas, dijelaskan bahwa dukungan sosial adalah penerimaan seseorang

Lebih terperinci