BAB IV KESEPAKATAN ANTARA SUKU-SUKU DI ISRAEL DENGAN DAUD DALAM 2 SAMUEL 5:1-5 PERBANDINGANNYA DENGAN KONTRAK SOSIAL MENURUT JEAN JACQUES ROUSSEAU

Transkripsi

1 BAB IV KESEPAKATAN ANTARA SUKU-SUKU DI ISRAEL DENGAN DAUD DALAM 2 SAMUEL 5:1-5 PERBANDINGANNYA DENGAN KONTRAK SOSIAL MENURUT JEAN JACQUES ROUSSEAU Pada dasarnya kesepakatan yang dimaksudkan dalam bagian ini dipahami dari "perjanjian" yang diedit oleh editor DH pada teks 2 Samuel 5:1-5 guna menjalankan agenda reformasi yang ingin dilakukan Yosia. Meskipun demikian perjanjian yang dimaksudkan dalam konteks reformasi Yosia pada akhirnya tidak pernah terwujud karena dalam perjalananya menuai kegagalan. Oleh karena itu pada konteks pemahaman teks dianggap sebagai sebuah wacana. Wacana teks inilah yang kemudian dianalisis dalam perpektif Teori Kontrak Sosial menurut Jean Jacques Rousseau, sehingga dapat ditemukan perbandingannya serta kontribusinya dalam kehidupan beragama maupun bernegara Perbandingan Perjanjian (kesepakatan) suku-suku dalam perspektif DH dengan kontrak Sosial Menurut Jean Jacques Rousseau Pada dasarnya Yosia mengikuti tradisi yang telah dimulai oleh Daud pada masa lalu. Hal ini menjadi logis karena DH dalam posisi ini bertugas merevisi atau mengedit kembali sumber-sumber yang berkaitan dengan Daud. Tujuannya untuk menyusun suatu cerita yang mengarahkan pada Yosia sebagai penguasa tunggal. Berbagai macam gaya penulisan dan cara yang kemudian dibuat Oleh DH. pertama adalah Nasionalisme dengan menarik garis keturunan untuk melegitamasi kekuasaan. Hal ini termuat dalam cerita-cerita yang mengulas kembali kejayaan bangsa Israel di Masa lalu 51

2 melalui dinasti Daud. Kejayaan dianggap DH sebagai jalan yang sentral dalam rencana besar agenda reformasi Yosia yang tidak lain adalah keturunan Daud. Kedua mengambil pola yang pernah dibuat oleh Daud dalam hal ini pemusatan kultus. Dengan cara memgembalikan tradisi Zion sebagai upaya politis melegalkan citra politiknya di mata suku-suku di utara. 1 Langkah konkrit yang diwujudnyatakan berdasarkan teks 2 Samuel 5:1-5 adalah dengan mengatur kembali tradisi beragama lewat hukum-hukum yang diedit kembali oleh penulis DH. Sehingga yang paling ditekankan dalam wacana reformasi Yosia adalah mengatur dan memperbaiki "Perjanjian" 2 yang pernah dibuat dengan suku-suku. Pertimbangan yang diberikan adalah dengan belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah dibuat dimasa lalu oleh penguasa sebelumnya dengan mempertimbangkan kehidupan sebelumnya terlebih konfederasi suku-suku dalam mengadakan Perjanjian 3 sebelum dan saat terbentuknya kerajaan dibawah dinasti Daud. Hal ini guna mendapat dukungan politis dari suku-suku di Utara. Hal ini menjadi Aspek aspek kunci dari pemahaman DH dalam melegitimasi agenda reformasi Yosia. 4 Aspek Kunci Teori kontrak Sosial. General will. 5 Kehendak umum (general will). Kehendak umum menjadi kehendak semua untuk semua. Karena semuanya bersepakat untuk menyerahkan sebagian haknya kepada kehendak umum ini. Cara menjalankan kehendak umum ini adalah masyarakat memilih atau membutuhkan penguasa atau pemerintah. 1 Jhon A. Titaley, Implikasi Ideologi Raja sebagai Acuan Kerajaan Daud dalam Sumber J dan DH.Salatiga Jurnal Bina Darma, No. 56 September 1997, Bandingkan, Hans Wilhem Hertzberg, I & II SAMUEL: A Comentary, (Philadelphia: The Westminster Press, 1964), Jhon A. Titaley, Munculnya dan Bentuk Kehidupan Bersama Israel Alkitab: Suatu Refleksi Aspirasi dan Tantangannya Jurnal Bina Darma No hal Marvin L. Chaney, "Joshua" dalam, The Books of The Bible, (ed) Bernhard W. Anderson (New York: Charles Sribner's Son, 1989) Jean-Jacques Rousseau, "The Social Contract", dalam Robert Maynard Hutchins, editor in chief, The Great Books os The Western World: Montesquieu and Rosseau (Chicago: Wiliam Benton Publisher, 1987),

3 Pemerintah dalam hal ini adalah perwujudan dari masyarakat secara umum, sehingga ia adalah bagian dari masyarakat. Keputusan-keputusan yang dijalankannya harus sejalan dengan kehendak umum dan dapat mensejahterakan serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya mengutamakan adanya penguasa yang bergerak dalam sistem kelompok atau partai. Selain itu, Civil state 6 sebagai dasar hidup dan hukum sebagai yang tertinggi guna memperhatikan kepentingan bersama yang mencakup kepentingan individu dan kelompok. Lebih lanjut Rousseau, mempertegasnya adanya suatu kesatuan Identitas, kedaulatan dengan selalu mementingkan kepentingan publik sebagai keutamaan dalam kehidupan bernegara guna menciptakan suatu keadilan. Berdasarkan aspek-aspek kunci dari pemahaman dari DH dan Rousseau, titik temu antara keduanya terletak pada Kata perjanjian (DH) dan Kontrak (Rousseau). Perbedaan mendasar terletak pada fokus, dan tujuan yang ingin diwujudkan dalam DH yang menekankan agenda propaganda Reformasi Yosia. Keutamaan ini berarti hanya menekankan suatu perwujudan penguasa tunggal, yang berlandaskan atas janji politik sebagai legallisasinya. Namun hal ini kemudian tidak terealisasi sepenuhnya karena ditengah perjuangan tersebut Yosia akhirnya meninggal dan agenda tersebut hanya bersifat wacana teks. Sedangkan Kontrak sosial secara lebih luas juga berbicara tentang penguasa, namun menekankan dan menawarkan sebuah kebebasan" yang berfokus pada seluruh masyarakat yang berkepentingan, yang mana penguasa ini hadir dan tunduk dibawah hukum bersama. Rousseau dalam pemahaman ini berlandaskan pada adanya kesadaran bersama sehingga tidak terjadi kesenjangan dalam memulai sebuah kontrak atau dalam pemahaman DH sebagai 6 Ibid.,

4 perjanjian. Tata cara konkrit yang ditawarkan Rousseau termuat dalam gagasan-gagasan kunci seperti general will, civil state dan konsep-konsep penting yang menurutnya sangat berperan sentral sebagai suatu pertimbangan etis dalam kehidupan bernegara atau dalam upaya membentuk sebuah perjanjian atau kesepakatan kontrak dengan bentuk pemerintahan 7 apapun berdasarkan kesepakatan yang dibuat. Bahkan dalam bentuk klasifikasi negara yang demikian Ia mengingatkan bahwa klasifikasi yang dibuat seharusnya tidak bersifat kaku. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa DH hanya berbicara sebatas cita-cita ideal yang terjadi sebatas wacana teks dan tidak mencapai sebuah kondisi real dalam perjanjian atau kesepakatan yang ingin dicapai oleh penguasa. Tetapi Rousseau berbicara dalam wujud sistem bernegara yang termanifestasi dalam berbagai bentuk negara sehingga menjadi aturanaturan bernegara. Meskipun demikian, cita-cita ideal menurut teori kontrak sosial ini harus dipahami saat ini adalah sebagai cita-cita semua negara yang sedang dan terus diupayakan dalam kehidupan bernegara dalam arti yang lebih luas. Karena secara etis Rousseau berpendapat bahwa manusia pada fase alami (state of nature) secara kodrati memiliki kebebasan, kesederajatan, akal budi, dan insting kepedulian terhadap sesamanya (Speciesnya). 8 Selain itu secara realistis memang kesadaran berpikir yang ditekankan oleh Rousseau masih sulit untuk menjadi kenyataan sepenuhnya. Alasannya karena hak individu dan hak kelompok dalam tata aturan bernegara masih sering bermasalah terutama pada prakteknya atau kondisi realnya. 7 Ibid., Mesakh., Konsep Keadilan...,

5 4.2. Tabel Perbandingan Kesepakatan Menurut DH dan Rousseau PERBANDINGAN KESEPAKATAN MENURUT DH DAN ROUSSEAU PERSAMAAN Dibuat atas dasar adanya ancaman Sama-sama berbicara kesepakatan tentang kehidupan bernegara. PERBEDAAN DH menekankan pada perjanjian yang merupakan hak penguasa Tunggal dari garis keturunan. Rousseau menekankan pada hak individu dan kolektif atau dalam hal ini general Will. Kesepakatan yang dibuat menurut DH dengan model pemerintahan monarki atau kerajaan. Kesepakatan dibuat menurut Rousseau tidak secara kaku dan lintas sistem pemerintahan. DH mempertimbangkan konteks konfederasi suku-suku. Rousseau mempertimbangkan kondisi State of nature manusia. DH menekankan pada ketaatan terhadap kultus sebagai aturan bersama yang diatur oleh elite politik dalam hal ini raja maupun para Imam (Penguasa). Rousseau menekankan pada aturanaturan menurut hak individu dan kolektif dalam kesepakatan atau perjanjian dimana semua pihak rakyat dan penguasa tunduk pada kesepakatan tersebut sebagai pedoman hidup bersama. 4.3 Implikasi perjanjian atau kesepakatan suku-suku dan Kontrak Sosial bagi kehidupan bernegara Kebebasan dalam melakukan kontrak atau perjanjian seperti yang dikatakan Rousseau jika dimaknai secara etis juga sangat relevan dengan konteks Indonesia. Karena terdapat dalam ideologi bernegara yakni pancasila yang mengatur kehidupan berbangsa dan 55

6 bernegara Indonesia. Sebab Pancasila dapat dipahami sebagai dasar kesepakatan atau perjanjian dalam kehidupan bernegara dilihat dari proses sejarah bangsa ini terbentuk hingga disepakatinya pancasila sebagai dasar negara. Selain itu DH juga menjadi acuan dasar penting dalam memahami konteks beragama dan bernegara terutama dalam hal kultus peribadahan dan aturan-aturan beragama. Oleh karena itu pemahaman DH maupun Rousseau mempunyai implikasi etis bagi negara dalam pengertian perjanjian ataupun kontrak. Implikasi etis yang pertama adalah perlunya kesadaran terhadap Politik etis sebagai dasar memperjuangkan hak-hak hidup orang banyak. Karena politik secara logis merupakan upaya memperjuangkan hak-hak individu maupun kolektif untuk mencapai sebuah kesepakatan. Prosesnya dapat melalui aspirasi rakyat maupun wakil rakyat atau dalam dalam pemahaman Rousseau adalah peran penguasa". Batasan-batasan yang menjadi patokan adalah hukum yang mengatur kepentingan publik yang mencakup individu dan kelompok atau secara individu maupun Kolektif yang bersumber pada pancasila sebagai General Will. Implikasi yang kedua berdasarkan perspektif DH dengan mempertimbangkan konteks Indonesia adalah jika melihat konteks Indonesia, agama dan negara sangatlah berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Namun agama atau kultus (DH) seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga sejalan dengan kepentingan individu maupun Kolektif, dan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja seperti yang terjadi dalam wacana agenda reformasi Yosia. Berdasarkan hal tersebut sebenarnya dasar konstitusi bernegara Indonesia sebagai dasar kesepakatan yang tertinggi telah mengaturnya. Namun masalahnya adalah perlu adanya kesadaran dari tiap individu dan kelompok agar dapat tunduk atau taat terhadap kesepakatan yang telah dibuat sehingga cita-cita luhur dari kesepakatan yang dibuat itu dapat secara bersama-sama diperjuangkan. 56