BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Studi ini bermaksud untuk mengetahui seberapa jauh upaya pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah di Kabupaten Bantul pasca terbitnya Perda No.7 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi Publik. Tujuannya apakah dengan adanya regulasi terkait partisipasi akan mempengaruhi keberlanjutan partisipasi perempuan dalam penyusunan APBD. Di banyak tempat, upaya pelembagaan partisipasi dengan memayunginya dalam regulasi menjadi sangat penting demi keberlanjutan partisipasi tersebut. Namun, praktek yang terjadi di kabupaten Bantul justru sebaliknya. Partisipasi perempuan tidak dimaknai sebagai proses politik yang harus dimanfaatkan oleh warga, apalagi sudah ada regulasi yang mengaturnya. Banyak yang berpikir berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran daerah tidak terlalu penting asalkan anggaran yang mereka butuhkan terpenuhi. Mekanisme shortcut menjadi mekanisme politik yang dilalui oleh pengambil kebijakan, tanpa menjalankan proses partisipasi yang seharusnya di dorong. Alhasil, Perda tentang partisipasi publik dalam pembangunan daerah hanya menjadi regulasi yang normatif, namun secara politik tidak dimanfaatkan oleh warga dan oleh pemerintah daerah untuk mendorong program-program yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Studi Demos (2007), memperlihatkan bahwa dalam 10 tahun berselang setelah reformasi, praktek desentralisasi di Indonesia masih tertatih-tatih dan masih sangat prosedural. Usaha-usaha mendorong partisipasi warga masih mencari bentuk dalam konteks demokrasi substansial. Salah satu upaya mendorong partisipasi warga adalah adanya upaya mendorong dan memperkuat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Proses tersebut sebagai upaya meningkatkan partipasi perempuan dan diharapkan dapat mengeluarkan perempuan dari kemiskinan struktural. Kajian-kajian menunjukkan bahwa kemiskinan di dunia ini banyak 1

2 berwajah perempuan, yang artinya sebagian terbesar angka kemiskinan diisi oleh kaum perempuan (Cahyono, 2005). Kemiskinan perempuan disebabkan oleh faktor yang kompleks, namun intinya adalah perspektif ekonomi dan politik. Perspektif ekonomi, perempuan hidup dalam belenggu kemiskinan senantiasa kesulitan mendapatkan akses sumber daya ekonomi. Perspektif politik, perempuan tidak terwakili secara proporsional di antara kelompok miskin dan tidak memiliki kekuasaan. Kemiskinan ini ditandai dengan kerentanan hidup, tidak berkuasa dan tidak bersuara, dan diperparah dengan pemerintah yang bias gender (Cahyono, 2005). Oleh karena itu, peningkatan kapasitas dan kesempatan perempuan untuk menyuarakan kepentingannya terutama dalam pengambilan keputusan dalam proses perencanaan dan penganggaran menjadi penting. Upaya mendorong partisipasi perempuan bukannya tanpa hambatan dan tantangan. Adanya keterbatasan pengetahuan perempuan tentang dinamika partisipasi politik, tantangan pelembagaan dan partisipasi spesifik perempuan dalam proses kebijakan, kurangnya komitmen pemerintah daerah setempat sehingga proses pelibatan perempuan cenderung bersifat formalitas, serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran (Women Research Institute,2005). Riset yang dilakukan oleh Demos Tahun 2011 di Kota Banda Aceh, terkait penganggaran partisipatif menunjukkan bahwa ada upaya menuju deepening democracy, demokrasi yang mendalam, sedangkan semakin banyak melibatkan unsur-unsur di dalam masyarakat menunjukkan unsur thickening democracy, demokrasi yang menebal, ada atau tidak ada unsur inklusif, misalnya perempuan dan bukan sekedar wakil perempuan, akan tetapi kepentingan perempuan, organisasi perempuan dan lain-lain. Temuan menarik di Kota Banda Aceh dalam perencanaan pembangunan dan penjaringan aspirasi masyarakat, selain forum resmi musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang dilakukan mulai dari tingkat gampong/kelurahan hingga tingkat kota, Kota Banda Aceh juga membentuk musrena (musyawarah perencanaan aksi kaum perempuan). Berdasarkan hasil pemantauan beberapa kelompok masyarakat yang terlibat dalam forum ini mengatakan bahwa pelibatan langsung dari masyarakat masih 2

3 sangat kurang. Peserta forum lebih didominasi para pejabat terkait. Bahkan untuk beberapa LSM dan kelompok masyarakat yang ingin ikut dalam forum harus mendaftarkan diri terlebih dahulu. Selain harus lebih proaktif, mereka juga tidak memiliki hak suara penuh. Semua usulan yang masuk juga seringkali hilang dan tidak terakomodasi pada tingkatan musrenbang yang lebih tinggi. Seperti pada forum SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) dan rapat panitia anggaran di legislatif. Dalam proses menuju demokrasi substansial, kehadiran perempuan akan menjadi bermakna ketika mampu mempengaruhi proses penganggaran yang ada (to influence). Perempuan tidak hanya bisa mengakses dan berpartisipasi, namun juga bisa melakukan kontrol dan manfaat atas sumberdaya yang ada. Proses penganggaran yang baik diandaikan sebagai sebuah interaksi fiskal yang demokratis antara pemerintah dan warga negara. Warga negara dalam hal ini perempuan memiliki kesadaran kewarganegaraan (citizenship) yang rasional dan sadar akan hak dan kewajibannya. Dalam praktek proses perencanaan daerah seperti musrenbang, partisipasi perempuan diwakili oleh para pengurus PKK, juga diwakili oleh para kader-kader posyandu atau istri-istri ketua lingkungan. Namun demikian, partisipasi perempuan ini biasanya akan berhenti di tingkat musrenbang kecamatan. Musrenbang di tingkat kabupaten atau kota sangat jarang melibatkan perempuan kader-kader posyandu dan istri-istri ketua lingkungan tersebut. Dalam Forum SKPD dan musrenbang kabupaten, seringkali terjadi usulan warga diabaikan dan didominasi uslan program dari SKPD atau dari proses tehnokratis. Lemahnya partisipasi perempuan di dalam setiap musrenbang menjadi alasan bagi sejumlah LSM untuk mendorong kaum perempuan terlibat lebih aktif, baik dari segi kehadiran maupun pemikiran yang dapat disumbangkan dalam merumuskan kebutuhan-kebutuhan mereka (Indonesian Institute,2011). Dari sisi regulasi, aturan mengenai partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah sudah mencantumkan partisipasi perempuan, meskipun partisipasi perempuan masih bias elite, yaitu hanya diwakili Ketua PKK, Ketua Jaringan Posyandu, Ketua Himpunan Guru PAUD. Perlu mengidentifikasi lebih jauh apakah ada inisiatif dari kelompok-kelompok 3

4 perempuan diluar struktur formal ke arah demokrasi substansial untuk terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Apa hasil yang diperoleh dari adanya upaya mendorong partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Partisipasi perempuan dalam proses kebijakan di Indonesia dapat dikatakan sudah memiliki dasar peraturan perundang-undangan yang memadai. Tidak hanya di tingkat nasional, namun juga di tingkat lokal. Beberapa di antaranya adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat; serta Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang. Namun dalam penerapannya upaya untuk melibatkan masyarakat dalam proses kebijakan, khususnya perempuan yang rentan dengan masalah kemiskinan dan isu sosial lainnya masih menghadapi tantangan. Di Indonesia sendiri, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan-keputusan kebijakan masih sekedar menjadi persyaratan untuk sekedar melibatkan perempuan dalam proses tersebut. Trend yang terjadi kemudian adalah bahwa indikator partisipasi perempuan hanyalah menjadi syarat formalitas, termasuk pula dalam praktek anggaran daerah (Eko, 2008). Mekanisme partisipasi masyarakat secara umum dan perempuan secara khusus pada praktek musrenbang seringkali masih sebagai mekanisme formalitas (Eko, 2008; Sarosa & Hasan, 2008) sehingga jaminan keterwakilan dan kesungguhan menyentuh dan menghasilkan manfaat bagi kelompok perempuan menjadi pertanyaan. Meskipun demikian, kebijakan yang mensyaratkan adanya indikator partisipasi perempuan dalam proyek pembangunan daerah (seperti PNPM) dan musrenbang tetap dapat dijadikan pintu masuk bagi partisipasi perempuan. Namun upaya ini hanya strategis apabila partisipasi perempuan pada proses itu adalah partisipasi yang berkualitas secara aktif, bukan hanya partisipasi pasif (Akatiga, 2010). Dalam implementasi yang selama ini terjadi, masih ada beberapa persoalan yang menjadikan upaya mendorong partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran kurang optimal, persoalan tersebut adalah: 4

5 Keterlibatan perempuan dalam proses penganggaran masih sekedar to invite (mengundang). Keterlibatan perempuan juga masih sebatas to represent (menghadirkan publik dalam hal ini perempuan) dalam setiap aktivitas proses penganggaran. Hambatan budaya, sosial dan sistem politik menjadikan partisipasi perempuan menjadi tidak maksimal. Beberapa penelitian yang sudah ada terkait proses penganggaran partisipatif terutama partisipasi perempuan di Indonesia, dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan Judul Penelitian Tahun Peneliti Hasil Peranan Perempuan Dalam Perumusan Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Penelitian Tentang Akses Partisipasi, Kontrol dan Manfaat Perempuan Dalam Penyusunan Daftar Skala Prioritas Pembangunan Pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan Di Wilayah Kecamatan Laweyan Kota Surakarta Tahun 2005 Agus Wiyono, dari Program Studi Magister Administrasi Publik, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta 1. Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari Kecamatan Laweyan Kota Surakarta telah berjalan dengan melibatkan seluruh unsur yang ada di Kelurahan dan telah menyusun daftar skala prioritas pembangunan di bidang umum, ekonomi, sosial budaya dan fisik prasarana. 2. Akses atau peluang perempuan yang terlibat di empat bidang musrenbangkel tahun 2005 masih rendah kecuali bidang sosial budaya. 3. Partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari adalah rendah karena perempuan yang terlibat dalam kepanitiaan dan hadir dalam musrenbangkel tahun 2005 relatif sedikit, terutama karena waktu pelaksanaan Musrenbangkel tahun 2005 dipandang tidak tepat atau tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan. 4. Kontrol perempuan dalam 5

6 Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang Kelurahan Joyosuran, Kota Yogyakarta Tahun 2009 Sri Ekawati dari UNS proses pengambilan keputusan penyusunan daftar skala prioritas pembangunan adalah rendah karena disebabkan masih terbatas posisi atau kedudukan perempuan dalam sidang pleno dan sidang komisi. 5. Daftar skala prioritas pembangunan yang disusun telah memberi manfaat dan memperhatikan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis walaupun dalam porsi yang terbatas. Aktivitas perempuan bisa dikatakan cukup aktif dalam Musrenbangkel Joyosuran, Kota Surakarta Tahun 2010 dengan keterwakilan perempuan sebesar 37%. Akses perempuan ditunjukkan dengan adanya keterlibatan perempuan dalam sidang komisi. Sedangkan kontrol dalam Musrenbangkel Joyosuran Tahun 2010 masih kurang dimiliki oleh perempuan. Ada manfaat yang dirasakan perempuan antara lain menambah pengalaman mereka. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa bentukbentuk partisipasi perempuan dalam Musrenbang Tahun 2010 di Kelurahan Joyosuran, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta sudah cukup baik sesuai dengan Peraturan Walikota Nomor 18 A tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan, Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Musyawarah Perencanaan 6

7 Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik di era Otonomi Daerah Tahun 2005 WRI (Women Research Institute) Pembangunan Kota. Hasil: Usaha untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi perempuan melalui pembuatan peraturan hukum merupakan ruang yang harus diisi oleh gerakan perempuan dan kesetaraan gender agar tidak kembali ke arah praktik yang merugikan perempuan. Oleh karena itu, dekonstruksi atas teks berikut interpretasi Perda yang hidup dalam hegemoni budaya patriarkal merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan. Dengan cara itu diharapkan hadir teks dan interpretasi teks Perda dalam wajah dan bahasa yang androgen, sehingga ia mampu mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan dan lakilaki sesuai dengan kondisi dan posisi yang dihadapi. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa ketika akan memproduksi teks, dalam hal ini Perda, perlu dipahami bahwa cara berada, berpikir, dan bahasa perempuan dianggap akan menutup kemungkinan terjadinya keterbukaan, pluralitas, dan perbedaan dengan laki-laki. Artinya, jika dalam konteks kekinian bahasa perempuan yang tidak muncul dalam teks berikut interpretasi teks atas Perda harus diperjuangkan, maka menjadi sebuah kewajiban berbagai pihak yang terlibat di dalamnya untuk memiliki political will menghadirkan hal itu. Jika hal itu mampu diwujudkan, bukan hanya perempuan saja yang diuntungkan, akan tetapi semua pihak akan mendapatkan manfaat. Meskipun demikian, WRI mencatat adanya perubahan yang berarti dalam beberapa teks peraturan daerah, yakni 7

8 tercantumnya permasalahan gender yang belum pernah tercantum sebelumnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, belum ada penelitian yang menghadirkan dinamika inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Penelitian ini kemudian berusaha melihat seberapa jauh partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah di Desa Wonolelo Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wonolelo sejak 10 tahun terakhir sudah cukup lama diorganisir oleh beberapa LSM yang ada di Yogyakarta, terutama LSM yang bekerja di isu demokratisasi seperti IDEA, Satunama, LP3Y dan LSM yang bergerak di isu pengembangan media komunitas Combine Research Institute dan LSM yang bekerja di isu perempuan yaitu SP Kinasih, Yasanti, Rifka Annisa dan ASSPUK. Dari proses pemberdayaan yang sudah dilakukan oleh beberapa LSM lokal tersebut muncul langkah-langkah maju di Desa Wonolelo. Beberapa kondisi yang cukup mengubah Desa Wonolelo adalah kelompok pemuda atau karang taruna cukup aktif dalam kegiatan desa dan menyuarakan masalah-masalah Desa Wonolelo melalui program siaran radio komunitas. Kelompok perempuan juga menguat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan seperti musrenbang desa dan koperasi perempuan. Kondisi ini berbeda dengan 4 desa yang lain yang selama ini juga mendapatkan itervensi dari beberapa LSM pasca bencana gempa Tahun 2006, yaitu Desa Mulyodadi, Desa Jambidan, Desa Gilangharjo, Desa Srihardono. Desa Wonolelo juga mencatat sejumlah prestasi, diantaranya juara Gerakan Sayang Ibu (GSI) se Kabupaten Bantul dengan tingkat partisipasi warga yang tinggi dalam program ini. Karangtaruna Fajarmulyo Wonolelo juga cukup akif dengan mengembangkan radio komunitas dan majalah dinding Desa Wonolelo. Desa Wonolelo merupakan salah satu desa miskin di wilayah Kabupaten Bantul dengan kondisi geografis perbukitan dan rawan bencana. Secara sosial ekonomi mayoritas penduduk Desa Wonolelo adalah penduduk miskin dengan keseharian sebagai petani, pedagang kecil dan buruh bangunan. Penelitian ini akan melacak bagaimana praktek partisipasi kelompok perempuan Desa Wonolelo 8

9 dalam setiap tahapan proses perencanaan dan penganggaran daerah, mulai dari musrenbang dusun, musrenbang desa, musrenbang kecamatan, musrenbang kabupaten, forum SKPD, penyusunan KUA-PPAS dan RAPBD dan penetapan APBD dalam kurun waktu Tahun Penelitian ini diharapkan bisa menghadirkan praktek pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan penganggaran daerah. Apakah keberhasilan tersebut karena adanya dukungan dari pihak eksternal, atau ada faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan partisipasi. B. PERUMUSAN MASALAH Partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam proses penyusunan APBD dari sisi jumlah atau secara kuantitas menunjukkan trend yang selalu meningkat setiap tahun sejak Tahun 2008 sampai dengan sekarang. Peningkatan partisipasi ini meningkat dalam forum musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) desa. Upaya negosiasi dengan pengambil kebijakan cukup mempengaruhi perubahan kebijakan anggaran yang berpihak kepada perempuan. Perubahan kebijakan ini terjadi di level desa dengan peningkatan anggaran posyandu. Di level penganggaran terutama di tingkat kabupaten, ada beberapa cerita keberhasilan dan kegagalan. Untuk mengetahui lebih jauh tentang dinamika inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah, penelitian ini mengajukan pertanyaan: Bagaimanakah derajat partisipasi dan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam perencanaan dan penganggaran daerah? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: a. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi derajat partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah. b. Mengetahui inisiasi model pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah. 9

10 D. MANFAAT PENELITIAN 1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya disiplin Ilmu Politik dan Pemerintahan, dan bagi peneliti lainnya yang interest terhadap penelitian sejenis. 2. Secara praktis penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Bantul dalam era otonomi daerah, demi lestarinya proses perencanaan pembangunan yang partisipatif. E. Kerangka Teoritik Paket teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua konsep besar tentang teori partisipasi perempuan dan teori perencanaan penganggaran, yang kemudian di kerangkakan menjadi teori derajat partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah dan teori pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. 1. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan Gender sebagai konstruksi sosial yang telah disosialisasikan sejak lahir ternyata menyumbangkan ketidakadilan dan manifestasi dari ketidakadilan tersebut mempengaruhi kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, mekanisme pengambilan keputusan birokrasi, epistemologi dan metode riset serta evaluasi maupun pelaksanaan program pembangunan di lapangan. Oleh karena itu, permasalahannya bukan terletak di kaum perempuan tetapi dalam ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender. Dalam setiap menjawab tujuan kegiatan atau kegiatan perempuan bukan sekedar menjawab kebutuhan praktis melainkan menjawab kebutuhan strategis yaitu memperjuangkan posisi kaum perempuan termasuk menentang hegemoni dan melawan diskursus terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam keyakinan kaum perempuan dan kaum laki-laki (Mosse, 2002). Lebih lanjut Mosse (2002) mengatakan bahwa salah satu ideologi paling kuat yang menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat. Wilayah publik, yang terdiri atas pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan, 10

11 perbankan, agama, kultur, di hampir semua masyarakat dunia ini didominasi lakilaki. Akses perempuan terhadap kekuasaan senantiasa lebih kecil dibandingkan dengan akses laki-laki dengan latar belakang yang sama. Hal tersebut berimplikasi penting terhadap praktik pembangunan dan kemampuan perencana pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berat sebelah serta menguntungkan perempuan maupun laki-laki. Perempuan tidak terwakili semestinya dalam lingkup publik, mereka kurang mampu menjalankan kekuasaan dan mempengaruhi kesejahteraan gendernya. Dalam 20 tahun terakhir, ada pengakuan yang makin berkembang tentang arti penting adanya upaya-upaya mendorong bentuk ketidakadilan gender tersebut. Di seluruh dunia perempuan sedang menuntut kembali ruang publik, akses perempuan terhadap pembangunan terus dilakukan. Satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan perempuan, kerja produktif, reproduktif privat dan publik, dan menolak upaya apapun untuk menilai rendah pekerjaan mempertahankan keluarga dan rumah tangga mulai dikenal sebagai pemberdayaan, atau secara lebih umum pendekatan Gender dan Pembangunan (Gender and Development/GAD). Pendekatan pemberdayaan berbeda dengan pendekatan-pendekatan lainnya dalam analisisnya terhadap asal, dinamika dan stuktur penindasan perempuan serta bagaimana pendekatan itu berniat mengubah posisi perempuan Dunia Ketiga (Abdullah,1997). Proses perubahan dan pengaruhnya atas kesadaran orang-orang yang menjalankan pembangunannya, seringkali sama pentingnya dengan perubahan itu sendiri. Pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) ketimbang pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Dengan demikian, jika sebab-sebab sub ordinasi perempuan tidak diperhatikan, dan kebutuhan yang dijanjikan tidak diprioritaskan, projek dan program pembangunan yang melibatkan perempuan tidak akan menghasilkan perbaikan berarti dan abadi dalam hidup mereka (Mosse,2002). 11

12 2. Faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan Partisipasi warga diartikan sebagai proses, cara, sarana bagi warga, terutama kelompok miskin daan marginal untuk turut terlibat dan turut serta mengendalikan sumberdaya dan (alokasinya) melalui bebagai proses penyusunan kebijakan publik yang berpengaruh langsung ke dalam kehidupan mereka (Nierras et all, 2002). Partisipasi tidak dipandang sebagai tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan. Partisipasi dilihat sebagai cara untuk mengubah relasi sosial ekonomi dan politik yang timpang. Salah satu upaya untuk mendorong partisipasi perempuan adalah mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan. Keterlibatan perempuan dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan di tingkat bawah sangat penting. Namrata (2004) mengatakan bahwa untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan peningkatan kapasitas bagi perempuan, konseling, dan informasi yang selalu update. Perempuan sangat perlu untuk berpartisipasi dalam proses gerakan sosial, karena bertujuan untuk mendesakkan kebijakan isu-isu strategis untuk mengatasi persoalan yang sering dihadapi oleh kelompok perempuan miskin yaitu kesehatan, pendidikan, pertanian dan ekonomi, hak sipil dan politik. Kay S et all (1995) dalam penelitiannya tentang gender dan partisipasi warga menemukan bahwa agenda atau isu yang dibawa oleh laki-laki dan perempuan ketika berpartisipasi dalam kebijakan hasilnya berbeda, isu kebutuhan dasar, aborsi, pendidikan, dan tindak kriminal akibat minuman keras banyak diusung oleh perempuan. Sementara laki-laki banyak membahas soal pajak, ekonomi makro, lingkungan dan kebijakan luar negeri. Oxfam (1994) juga menegaskan bahwa perempuan harus terlibat dalam proses pengambilan keputusan karena tingkat akses sangat penting bagi kesetaraan gender karena pada tingkat ini perempuan memiliki hak untuk memperoleh pelayanan, produk atau komoditas. a. Membangun gerakan penyadaran Kunci sukses perempuan menuju kesetaraan dan pemberdayaan sangat tergantung pada tingkat kesadaran yang mereka buat. Hal ini karena kesadaran menyediakan mereka dengan tindakan-tindakan dasar untuk mengatasi dan 12

13 membongkar rintangan yang menahan mereka kembali. Untuk berhasil mencapai arena partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik, diperlukan langkah-langkah yang agresif dan progresif. langkah-langkah tersebut adalah kelompok perempuan harus dimotivasi dan dimobilisasi menjadi sebuah kelompok penekan. Sangat penting untuk mengembangkan critical mas atau kesadaran kritis karena perempuan akan mendapatkan kekuatan dari gerakan yang berusaha didorong tersebut. Konsepnya tidak perlu mengembangkan struktur alternatif, namun menghapus kelemahan-kelemahan dari struktur sebelumnya dan memperkuat struktur yang sudah ada (economic political weekly,1991). b. Akses Fonjong (2003) mengatakan bahwa: Elimi-nating obstacles to women's access to resources (e.g. credit, land) is an important step towards empowerment. Women's successful drive towards equality and empowerment very much depends on the level of awareness on the extent of women's discrimination among themselves that is created. This is because awareness provides them with the basic actions to overcome and dismantle the obstacles which are holding them back. Mengeliminasi hambatan akses perempuan terhadap sumber daya merupakan langkah penting menuju pemberdayaan. Untuk sukses mendorong perempuan menuju kesetaraan dan pemberdayaan sangat tergantung pada tingkat kepedulian dan hambatan yang mereka rasakan. Hal ini karena kesadaran menyediakan mereka akses dengan tindakan-tindakan dasar untuk mengatasi dan membongkar rintangan yang menahan mereka kembali adalah langkah penting. Lebih lanjut, langkah-langkah yang bisa dilakukan setelah kelompok perempuan diperkuat adalah dengan mengembangkan jaringan mulai dari jaringan di tingkat yang paling kecil dan bisa dikembangkan di tingkat regional. Tahapan yang dilakukan adalah (economic political weekly,1991): 1. Mengidentifikasi masalah umum, persoalan perempuan harus diklasifikasikan sebagai masalah umum untuk semua perempuan dan masalah daerah yang spesifik. Salah satu contoh masalah global adalah buta huruf, 13

14 feminisasi kemiskinan, ketidaktahuan mereka hak-hak politik, sosial, dan ekonomi yang kemudian mengarah kepada eksploitasi perempuan. 2. Menyusun strategi dan rencana aksi, menyusun metodologi kerja. Metodologi harus longgar, tidak kaku karena bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan khusus suatu daerah dan kelompok yang berbeda. Proses ini fokus kepada kelompok perempuan akar rumput dan bisa berefek kepada kelompok yang lain. 3. Proses membangun jaringan bisa diperluas di tingkat kabupaten, dengan membentuk jaringan kelompok perempuan dan bisa melibatkan NGO (Non Government Orgaization) dan akademisi. Hal ini akan memberikan peluang untuk bertukar informasi antara aktivis dan akademisi. Membangun jaringan bermanfaat untuk memperkuat kelompok perempuan sebagai kelompok penekan (pressure groups). Melibatkan laki-laki yang yang sensitif terhadap isu-isu perempuan sangat mungkin dilakukan. Kondisi ini akan menguntungkan karena perjuangan perempuan dipandang sebagai perjuangan untuk hak asasi manusia, bukan hanya sebagai sebuah gerakan berbasis gender. Perjuangan untuk memperjuangkan hak dan melindungi perempuan dari kondisi global yang tidak aman. 4. Salah satu masalah utama dihadapi perempuan adalah kurangnya informasi. Oleh karena itu, kebutuhan yang paling mendesak adalah membangun jaringan informasi, untuk mengumpulkan informasi dari studi dan survei yang dilakukan oleh berbagai pusat studi perempuan dan perguruan tinggi Mengumpulkan dan menyebarkan informasi harus menjadi tahap pertama. Upaya membangun kesadaran dengan mengembangkan kepemimpinan, menanamkan rasa percaya diri dan menumbuhkan harga diri pada anak perempuan dan perempuan harus dikampanyekan dan diinformasikan. Perempuan harus dipersiapkan untuk berjuang dan tidak ada yang berhasil jika tanpa perjuangan. Alterman (1991) mencontohkan di negara Brazil gerakan perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan bertujuan untuk mengubah kebijakan yang selama ini diskrimininatif. Misalnya kasus buku sekolah yang diskriminatif membedakan kulit hitam dan indian, tidak adanya kebijakan 14

15 penyadaran bagi kaum perempuan soal kesehatan reproduksi padahal kasus aborsi tinggi, kasus perkosaan tinggi, kasus kehamilan tidak diinginkan tinggi. Perempuan juga memiliki kesempatan yang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki untuk bersekolah. Kelompok perempuan di Sao Paulo dan Minas Gerais melakukan serangkaian dialog publik dengan legislatif, melakukan pertemuanpertemuan secara kontinyu, melakukan debat publik untuk mendesakkan kepada para pengambil kebijakan mengatasi persoalan yang muncul terkait isu perempuan. Di negara Colombia, gerakan mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan berhasil mempengaruhi kebijakan ketika gerakan tersebut dilembagakan. Pelembagaan yang dilakukan adalah dengan membentuk Departemen Perempuan, dimana lembaga ini fokus kepada pemberdayaan perempuan, isu yang berkaitan dengan anak, lansia dan kelompok difable. Selain itu, juga ada kebijakan Women s Equity and Participation serta Program Community Welfare Homes, dimana negara memberikan subsidi untuk pelatihanpelatihan perbaikan nutrisi, perawatan kesehatan, psikologi anak, dan pinjaman skala mikro untuk pengembangan ekonomi perempuan. Di Medellin Colombia ini, terdapat Community Welfare Homes. Program ini bertujuan untuk mengurangi persoalan gizi buruk bagi anak balita dan anak-anak miskin secara umum (Murdock, 2003). c. Partisipasi Pada tingkat partisipasi, perempuan harus dapat mengambil bagian memiliki memiliki kuasa untuk mempengaruhi sumberdaya. Perempuan juga harus bisa mengetahui dan memanfaatkan arena partisipasi yang bisa dimasuki. Gaventa J aand Valderama C (1999), menemukan bahwa studi tentang partisipasi warga di berbagai negara di dunia menemukan beberapa dinamika dan metode untuk penguatan partisipasi komunitas dalam konteks democratic decentralization atau desentralisasi yang demokratis. Sejumlah penghalang berhasil diidentifikasi oleh Gaventa dan Valderama terkait partisipasi warga, yaitu: - kompleksitas hubungan kekuasaan dan kontrol pemerintah atas struktur partisipasi 15

16 - tingkat organisasi suatu warga negara - kapasitas mereka untuk berpartisipasi, kemauan politik dan sumber daya keuangan yang tidak memadai. Gaventa (2002), menemukan bahwa terjadi krisis legitimasi dalam hubungan antara warga dengan negara. Masyarakat kecewa dengan pemerintah karena adanya korupsi, kurang responsif terhadap warga miskin dan tidak adanya hubungan yang baik antara wakil rakyat dan pemerintah. Adanya pemerintahan yang terdesentralisasi meningkatkan hubungan antara individu, masyarakat dan pemerintah. Dia berargumen bahwa pemerintahan yang terdesentralisasi merupakan potensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan kemampuannya tergantung pada desain, budaya dan kewenangan pemerintah daerah serta dalam sistem politik yang lebih luas. Konseptualisasi partisipasi sebagai hak dasar warga negara, mempertanyakan bagaimana menciptakan mekanisme dan ruang untuk memungkinkan keterlibatan warga. Banyak mekanisme telah dikembangkan misalnya PRA (Participatory Rural Appraisial), PB (Participatory Budgeting) dan lain-lain. Masing-masing dari mekanisme ini bekerja dengan cara menciptakan dan memanfaatkan ruang politik yang baru bagi partisipasi warga. Ruang atau arena partisipasi yang didefinisikan oleh Cornwall dan Coelha (2007) adalah suatu ruang perantara, saluran untuk negosiasi, informasi dan pertukaran. Mereka dapat diberikan dan disediakan oleh negara yang didukung dalam beberapa pengaturan dengan jaminan hukum atau konstitusional dan dianggap oleh aktor negara sebagai ruang mereka di mana warga negara dan perwakilan mereka diundang. Namun mereka juga dapat dilihat sebagai ruang yang ditaklukkan oleh tuntutan masyarakat sipil. Cornwall dan Gaventa (2002) menyatakan bahwa ruang-ruang dan strategi baru tersebut menawarkan potensi besar untuk membangun bentuk-bentuk baru dari partisipasi warga. Bagaimana warga negara "membuat dan membentuk" kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Namun ada kebutuhan untuk lebih memahami kompleksitas kekuasaan, representasi dan klaim, untuk mengetahui arena partisipasi yang dimainkan. Titik pertama bahwa partisipasi dalam proses politik membutuhkan rasa hak untuk melakukannya dan rasa bahwa 16

17 partisipasi tersebut akan berdampak pada proses politik, kontrol struktur partisipatif dan proses yang terkait, mendefinisikan ruang, aktor, agenda, dan prosedur. Samadhi dkk (2009:149) mengatakan bahwa mempromosikan lembagalembaga representatif seperti forum warga termasuk forum perempuan untuk mendorong masyarakat berpartisipasi secara langsung di lembaga-lembaga pemerintah memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut adalah: - akar rumput memiliki akses ke partisipasi langsung, - ruang-ruang dan lembaga-lembaga lokal yang digunakan berlangsung terbuka, non partisan, pluraristis dan liberal. - Lembaga tersebut juga terbangun dari basis wacana yang lebih konkrit, seperti kinerja pemerintahan lokal, korupsi, kolusi dan nepotisme. - Metode untuk membangun lembaga-lembaga tersebut diharapkan dapat mencegah distorsi representasi dan untuk membangun organisasi-organisasi non partai. Oleh karena itu, masyarakat yang termarjinalisasi termasuk perempuan akan lebih tertarik untuk berpartisipasi. d. Kontrol Pada tahap kontrol perempuan mampu mengarahkan atau mempengaruhi peristiwa sehingga kepentingan mereka terlindungi. Perempuan harus diberdayakan dan melakukan tindakan untuk proses pengambilan keputusan baik di arena privat maupun publik (Lotsmart Fonjong,2001). Lebih jauh Cornwall dan Coelha (2002:5) mengatakan bahwa: Enabling citizen to engange directly in local problem solving activities and to make their demand directly to state bodies is believed to improve understanding, and contribute to improving the quality of definition and implementation of public programs and policies. Mengaktifkan warga negara untuk terlibat langsung dalam kegiatan pemecahan masalah lokal dan untuk membuat permintaan secara langsung kepada badan-badan negara diyakini untuk meningkatkan pemahaman, dan 17

18 memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas definisi dan pelaksanaan program dan kebijakan publik. 3. Proses Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Penganggaran partisipatif adalah pendekatan perencanaan penganggaran yang melibatkan secara langsung kelompok-kelompok masyarakat miskin untuk menyampaikan kebutuhannya yang paling mendesak. Konsep penganggaran partisipatif sebenarnya tidak tunggal, dan sangat beragam dari berbagai wilayah. Secara umum, Anggaran Partisipatif adalah suatu mekanisme atau proses dimana masyarakat yang memutuskan dan memberikan kontribusi terhadap keputusan yang dibuat berdasarkan sumberdaya publik yang tersedia. (UN Habitat,2004). Di Porto Allegre Brazil, penganggaran partisipatif adalah sebuah proses demokrasi langsung, sukarela dan universal, di mana orang dapat berdebat dan memutuskan anggaran dan kebijakan publik. Partisipasi warga negara tidak terbatas pada tindakan pemungutan suara untuk memilih eksekutif atau legislatif, tetapi juga memutuskan tentang pengeluaran prioritas dan kontrol pengelolaan pemerintah. Dia berhenti menjadi pihak yang hanya menerima dari proses politik yang ada dan menjadi protagonis permanen administrasi publik. Penganggaran partisipatif menggabungkan demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan, dan sebagai sebuah prestasi yang harus dijaga dan dihargai. Bahkan anggaran partisipatif merupakan bentuk demokrasi partisipatif, dengan kata lain kombinasi dari unsur-unsur langsung atau semi-langsung demokrasi dengan demokrasi representatif (UN Habitat, 2004). Inisiatif terbatas tetap bisa dilakukan misalnya dengan memperkenalkan transparansi anggaran dengan sering melakukan diskusi publik soal anggaran. Prinsip dari penganggaran partisipatif adalah universal participation, yaitu semua warga negara dapat berpartisipasi terlepas dari status sosial ekonomi, dan kelompok yang terorganisir memainkan peran yang penting dalam proses penganggaran partisipatif, dan disinilah penting untuk melibatkan kelompokkelompok marginal atau masyarakat miskin. Selain itu, gender resposif juga menjadi prinsip untuk memastikan partisipasi perempuan dan laki-laki yang 18

19 seimbang, sehingga di dalam penganggaran akan jelas siapa penerima manfaat dari program. Selain itu, perlu tindakan afirmasi untuk menjamin partisipasi dan kekuasaan untuk proses pengambilan keputusan. (DFID,2002). Dalam proses penganggaran partisipatif, harus dilakukan integrasi perspektif gender untuk mendorong keadilan redistribusi dan proporsi yang lebih besar bagi perempuan. Tindakan afirmasi dengan mendorong delegasi perempuan dalam jumlah tertentu harus dilakukan. Di beberapa wilayah seperti di Peru, Argentina, Brazil (Belem, Resife, Sao Paulo) memberikan kuota 50% untuk kehadiran perempuan dalam proses PB. Di Recife Brazil, disediakan fasilitas pusat penitipan anak ketika perempuan terlibat atau memfasilitasi proses PB. Di Kota Sao Paulo Brazil, ada mekanisme bagaimana kelompok-kelompok rentan yang aspirasinya sering tidak didengarkan didorong untuk terlibat dalam proses PB. Upaya yang dilakukan adalah dengan menyediakan forum khusus untuk pemilihan delegasi dari masing-masing satu dari 9 kelompok rentan (perempuan, kulit hitam, anak-anak dan remaja, orang tua, orang dewasa muda dan GLBTs (gay, lesbian, biseksual dan transeksual). Di Belem Brazil, Kongres Kota dalam proses PB memberikan kuota untuk kaum muda, perempuan, kelompok pribumi, difable, homoseksual (DFID, 2002). Pada sisi yang lain, sebuah studi dari Forum Partisipasi Brasil Populer menunjukkan bahwa selama periode Tahun , dari 103 kasus yang diteliti, lebih dari 20% proses PB berhenti. Situasi tersebut menjadi pemikiran untuk memastikan bahwa proses konsolidasi dan pengorganisasian membangun kesadaran masyarakat di akar rumput harus terus diperkuat dari waktu-ke waktu, diluar kemauan politik dari pimpinan daerah. Selain itu, rekomendasi yang diberikan adalah perlunya legalisasi proses ke dalam aturan normatif hukum dimana legalisasi ini tidak kemudian ketat namun fleksibel sehingga tidak mengancam evolusi proses (UN Habitat, 2004). Wampler (2007:52-69), menjelaskan tentang komponen dasar dari PB, yaitu: 1. Ada divisi atau bagian di kabupaten/kota yang memfasilitasi pertemuan dan mendistribusikan sumber daya. Warga dipilih sebagai delegasi untuk terlibat dalam pertemuan di wilayah tersebut. 19

20 2. Pemerintah membuat pertemuan setiap tahun yang berisi tentang anggaran dan siklus pengambilan keputusan: distribusi informasi, proposal atau konsep kebijakan, perdebatan dalam konsep kebijakan, penyeleksian kebijakan, pemilihan delegasi dan pengawasan. 3. A quality of life index dirancang oleh pemerintah untuk melayani dasar dari distribusi sumberdaya. Wilayah dengan rata-rata kemiskinan tertinggi, infrastruktur yang minim menerima sumberdaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang sudah lebih baik. 4. Ada public deliberation dan negosiasi dari partisipan dengan pemerintah untuk mendiskusikan tentang kebijakan dan sumberdaya yang tersedia di wilayah tersebut. 5. The Bus Caravan of Priorities, wakil terpilih menganalisis semua program untuk disetujui sebelum pemungutan suara akhir, hal ini memungkinkan delegasi untuk mengevaluasi kebutuhan sosial dari suatu proyek yang diusulkan. 6. Warga memberikan suara untuk memilih siapa yang akan menjadi delegasi, siapa yang akan mewakili kepentingan mereka selama bernegosiasi dengan delegasi yang lain dan pemerintah. 7. Perwakilan yang sudah terpilih memberikan suara terhadap semua program. Pemungutan suara bisa dilakukan secara rahasia atau mereka mengangkat tangan, hasilnya menjadi rekaman publik. 8. Dewan anggaran dipilih untuk membuat keputusan final dan untuk menguji komite pengawasan. Semua daerah memilih dua perwakilan untuk membuat rekomendasi anggaran akhir. Dewan ini bertemu secara rutin dengan pemerintah untuk monitoring program. 9. Setelah selesai persetujuan anggaran tahunan dari delegasi anggaran, pemerintah mengirimkan kepada legislatif untuk disetujui. Legislatif dapat melakukan pencoretan anggaran yang tidak sesuai. 10. Ada publikasi dan laporan akhir tahun yang berisi detail dari implementasi kebijakan dan program. 20

21 Senada dengan Wampler, UN Habitat (2004) menjelaskan Participatory Budgeting (PB) membutuhkan sejumlah prakondisi atau prasyarat yaitu: 1. Political will dari pimpinan daerah atau para pengambil kebijakan utama. 2. Adanya kepentingan dari warga untuk terlibat. 3. Adanya mekanisme yang jelas tentang tahapan dan periode waktu, aturan untuk pengambilan keputusan, metode mendistribusikan tanggungjawab, pembagian peran dan wewenang dari masing-masing aktor serta komposisi dewan anggaran partisipatif. Aturan tersebut tidak diputuskan secara sepihak namun harus ditentukan dengan partisipasi penuh dari suatu populasi tertentu. 4. Adanya kemauan untuk membangun kapasitas masyarakat dan pejabat tentang penganggaran partisipatif, ada kesepahaman untuk membangun kesepakatan tentang alokasi. 5. Menyebarluaskan informasi melalui semua kemungkinan yang bisa dilakukan, misalnya tanggal, tempat pertemuan dan aturan main yang telah ditetapkan. 6. Adanya prioritas tuntutan, yang ditetapkan bersama dengan masyarakat yang disesuaikan dengan alokasi yang tersedia untuk memastikan distribusi sumberdaya yang lebih adil. Penentuan prioritas tuntutan ini dilakukan dengan partisipasi penuh dari masyarakat suatu populasi tertentu dan kemudian disesuaikan kebutuhannya setiap tahun, berdasarkan hasil dan fungsi dari proses tersebut. Berdasarkan beberapa prasyarat terkait Participatory Budgeting (PB) tersebut, dibutuhkan adanya mekanisme yang jelas atau aturan main yang jelas dalam proses PB. Artinya upaya pelembagaan penganggaran partisipatif didorong dari 2 sisi, pertama terkait pengorganisasian kelompok sehingga mampu berpartisipasi, dan kedua adanya dukungan kebijakan yang mengatur aturan main yang jelas, mekanisme, prosedur dan langkah-langkah penganggaran partisipatif. 4. Partisipasi Perempuan dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah Gender dan penganggaran partisipatif mulai dikembangkan di Negara Inggris baik di tingkat nasional maupun di tingkat local. Di tingkat lokal telah 21

22 dipraktekkan di wilayah MH Treasury dan Birmingham. Dewan Kota Birmingham mengaktifkan konsultasi dengan masyarakat dan kelompok perempuan untuk bersama-sama mengidentifikasi kebutuhan terkait anggaran yang akan dikelola dan dialokasikan untuk masyarakat (DFID, 2003). UN Habitat (2004) juga menjelaskan bahwa gender dan penganggaran partisipatif adalah dua pendekatan baru yang dapat mempromosikan kepentingan kelompok marjinal dalam ruang publik secara langsung untuk lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat miskin. Dua model tersebut semakin sering digunakan di negara-negara berkembang agar kelompok-kelompok masyarakat sipil dan anggota komunitas dapat mempengaruhi sumber daya publik. Pendekatan serupa juga telah digunakan di Inggris dan kemudian di negara-negara berkembang seperti di Afrika Selatan, Thailand, Filiphina, Yaman. Partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah terutama dalam musrenbang menjadi kajian menarik ketika dilihat dari perspektif demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan kehendak umum yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimasi itu adalah formasi deliberatif, argumentatif-diskurtif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat terbuka atas revisi (Hardiman,2009). Dalam konteks tersebut, partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah menjadi legitimate ketika perempuan hadir dan menyampaikan argumennya. Partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah perlu dilihat lebih jauh seberapa besar pengaruhnya terhadap pemenuhan hak-hak dasar melalui keterlibatan perempuan dalam menentukan kebutuhan mereka sendiri. Carol Ebdon and Aimee L. Franklin (2006), mengatakan ada 4 elemen penting yang dibutuhkan untuk mendorong partisipasi warga dalam anggaran, elemen tersebut adalah lingkungan, desain proses, mekanisme, hasil dan tujuan dengan beberapa variabel terhadap elemen tersebut. Secara detail dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut. 22

23 Tabel 2. Key Element of Citizen Participation in Budgeting Elements variables Environments Structure and form of government Political culture Legal requirements Population size and diversity Process design Timing Type of budget allocation (by program or earmarked funds, operating, capital) Participants (selection method, numbers, representativeness) Sincere preferences/willingness Mecanism Public meetings Focus groups Simulations Advisory committees Surveys Goals and Reduce cynicism outcomes Educate participants about the budget Gain support for budget proposals Gather input for decision making Change resource allocation Enhance trust Create a sense of community Sumber: Carol Ebdon and Aimee L. Franklin, Citizen Participation in Budgeting Theory, a. Derajat Partisipasi Terkait dengan seberapa jauh keterlibatan dari partisipasi perempuan dalam perencananaan dan penganggaran daerah, dapat diukur dengan teori partisipasi publik yang dikemukakan oleh Burn, Hamleton dan Hogget yaitu teori ladder of citizen empowerment. Menurut Burn, Hamleton dan Hogget dalam Muluk (2007), ladder of citizen empowerment yang terendah adalah non partisipasi warga. Derajat kedua adalah citizen participation. Dalam konteks ini partisipasi telah terjadi karena warga memiliki kuasa untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pemerintahan daerah. Anak tangga ada enam yaitu: 23

24 1. High quality information (informasi berkualitas), Informasi berkualitas menekankan adanya pemberian hak warga untuk memperoleh informasi yang jelas dan tegas. 2. Genuine information (konsultasi sejati), Konsultasi sejati berarti warga melibatkan warga dalam mempengaruhi pengambilan keputusan. 3. Effective advisory board (badan penasehat yang efektif), badan penasehat yang efektif adalah ada lembaga yang berfungsi sebagai katalis mendorong warga agar menyampaikan aspirasinya. 4. Limited decentralized decision making (desentralisasi terbatas pada pembuatan keputusan), pemerintah dapat berkomitmen untuk memperhatikan aspirasi warga sebelum keputusan diambil, namun tidak perlu berkomitmen untuk menjalankannya. Konsep desentralisasi terbatas pada pembuatan keputusan pemerintah dapat melimpahkan kekuasaan tertentu sehingga warga memiliki daya tawar nyata. 5. Partnership (kemitraan) berarti pemerintah memberikan kekuasaan yang lebih berarti pada tingkatan masyarakat, pemerintah dapat menjalin kemitraan dengan organisasasi masyarakat lokal untuk menjalankan suatu urusan tertentu. Organisasi memiliki wewenang untuk mengurus sehingga organisasi ini dapat menjalankan administrasi harian sekaligus wewenang untuk mengambil keputusan yang bersifat tehnis. 6. Delegated control (kendali yang terdelagasi). Kendali yang didelegasikan adalah organisasi lokal dapat menjalankan suatu urusan atau wilayah tertentu (seperti desa) setelah didelegasikan oleh pemerintah, ruang lingkup urusan lebih luas di suatu daerah.dalam tahap ini, masyarakat memiliki pengaruh yang lebih nyata untuk mempengaruhi dan menjalankan keputusan yang berdampak pada masyarakat setempat. Derajat partisipasi berikutnya adalah Citizen kontrol (kendali warga) yang dibagi ke dalam dua tangga yaitu 1) enstrusted control (kendali yang dipercayakan) dan 2)interdependent control (interdependensi terkendali), yaitu suatu kondisi dimana masyarakat memiliki kebebasan untuk berinovasi, mengembangkan kebijakannya sendiri dan mempengaruhi kebijakan daerah. 24

25 b. Pelembagaan Partisipasi Perempuan Ide pelembagaan partisipasi perempuan dalam proses penganggaran daerah menjadi isu penting selama 10 tahun terakhir di Indonesia. Munculnya konsep gender and development, yang kemudian diikuti dengan munculnya regulasi tentang pengarusutamaan gender menjadi prayarat atas upaya pelembagaan partisipasi tersebut. Berbagai riset tentang partisipasi warga dalam proses perencanaan daerah menunjukkan bahwa partisipasi akan meningkat atau menurun dalam dinamika setting sosial politik tertentu. Menurut Takandewa (2012), ada beberapa hal yang menentukan dinamika dan kualitas tingkat partisipasi diantaranya: a) komitmen politik dari pemerintah/partai politik pemenang pemilu, b) akses terhadap informasi dan dokumen publik, c) kerangka hukum untuk mendorong pelembagaan partisipasi warga, d) tradisi organisasi warga, e) sumber daya keuangan di tingkat daerah dan f) kecakapan partisipatif. Dengan demikian partisipasi sangat tergantung dari policy penyelenggara negara (baik pusat maupun daerah) dalam memberi ruang publik pada setiap tahapan perencanaan dan penganggaran. Berbagai kajian terhadap beberapa negara yang sukses mengembangkan pendekatan partisipatif menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kerangka hukum yang memadai untuk menjamin pelembagaan partisipasi. Berbagai contoh pelembagaan partisipasi di beberapa negara juga menunjukkan bahwa instrumen hukum dapat mendorong partisipasi yang luas manakala: - dapat menjamin keabsahan dewan rakyat (popular council) ketika berhubungan dengan organisasi pemerintahan, - memberikan peluang bagi organisasi rakyat dan pemerintahan daerah untuk membuat preseden hukum, - memberikan landasan bagi komunikasi yang seimbang antara organisasi pemerintahan dengan organisasi rakyat baik yang bersifat teritorial maupun fungsional. Instrumen hukum juga dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap pengembangan partisipasi manakala dapat melindungi hak-hak warga dalam mengakses informasi publik, membentuk dan bergabung dengan organisasi yang 25

26 sesuai dengan kepentingannya, menyampaikan pendapat di muka umum, dan melakukan kontrol atas kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (Cornwall,2004). Brian (2007) mengatakan bahwa pelembagaan adalah suatu proses infusing nilai-nilai sehingga menjadi sesuatu yang normal. Pelembagaan diyakini mendapatkan pengaruh terbesar dari struktur dan kultur. Namun kemudian muncul keyakinan bahwa aktor individual juga memiliki kemampuan mempengaruhi institusi. Individu dan organisasi diyakini tidak hanya pasrah terhadap struktur dan kultur, tetapi bisa juga berinovasi dan melakukan tindakan strategis untuk mempengaruhi perubahan. Dalam konteks pelembagaan partisipasi, instrumen aturan, regulasi dan instrumen yang lain tidak cukup tanpa ada upaya individu untuk mempengaruhi proses pelembagaan partisipasi. Mereka harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi institusi dan bisa berinovasi melakukan tindakan strategis untuk mempengaruhi perubahan dalam mendorong pelembagaan partisipasi, menuju partisipasi substantif. Aktor-aktor negara didorong membangun aliansi jangka panjang dengan masyarakat sipil. Rahman (2011) menjelaskan bahwa pelembagaan merupakan upaya agar praktik dan kesepakatan yang telah dikembangkan melalui program menjadi kebiasaan dan aturan main masyarakat. Efektifitas kegiatan pelembagaan sangat dipengaruhi oleh faktor keterlibatan partisipan yang ada dan bukan semata dorongan kebijakan. Kualitas keterlibatan partisipan sangat mempengaruhi kualitas pelaksanaan pembangunan partisipatif. Pemahaman tentang momentum yang tepat diperlukan untuk memastikan bahwa pendekatan kebutuhan kebijakan tidak semata-mata dorongan kebijakan itu sendiri, tetapi karena adanya kebutuhan kelembagaan lokal. Peran keterlibatan partisipan juga penting karena pelembagaan sebagai sebuah strategi dilakukan justru untuk menghindari dominasi keputusan masyarakat oleh elit lokal, gagalnya pemberian ruang bagi kaum marginal, serta menghindari bias partisipasi. Dominasi keputusan masyarakat oleh elit dapat menyebabkan adanya perilaku mengambil untung secara berlebihan dan menggagalkan relasi timbal balik antara pemilik dengan wakilnya dalam mekanisme pendelegasian. Kegagalan pemberian ruang bagi kaum marginal menyebabkan partisipasi semu 26

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

Tenti Novari Kurniawati Perkumpulan IDEA

Tenti Novari Kurniawati Perkumpulan IDEA Tenti Novari Kurniawati Perkumpulan IDEA Di negara Colombia, gerakan mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan dengan membentuk Departemen Perempuan, dimana lembaga ini fokus kepada pemberdayaan

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK Sebagai para pemimpin partai politik, kami memiliki komitmen atas perkembangan demokratik yang bersemangat dan atas partai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa agar kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

Partisipasi kelompok marginal dan perempuan

Partisipasi kelompok marginal dan perempuan Memastikan tersedianya kesempatan yang sama di antara berbagai kelompok masyarakat, termasuk antara laki-laki dan perempuan, adalah instrumen penting untuk mencapai tujuan pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan.

Lebih terperinci

Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda

Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda Nusa Dua Bali, 25 26 Maret 2013 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Potret Desa URBANISASI 14.107 Desa Sangat Tertinggal (18.87%) 33.948 Desa Tertinggal

Lebih terperinci

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 F R A N C I S I A S S E S E D A TIDAK ADA RINTANGAN HUKUM FORMAL YANG MENGHALANGI PEREMPUAN untuk ambil bagian dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2010 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI Tanggal : 26 Nopember 2010 Nomor : 6 Tahun 2010 Tentang : TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI PELAKSANAAN

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 12 TAHUN 2011 T E N T A N G KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATEN

Lebih terperinci

BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN

BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN A. Alasan Perlunya Perubahan Sudah menjadi kecenderungan umum, bahwa hukum akan selalu terlambat dari perkembangan masyarakat. Demikian pula dengan kemampuan

Lebih terperinci

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT BRIEF NOTE AMERTA Social Consulting & Resourcing Jl. Pulo Asem Utara Raya A20 Rawamangun, Jakarta 132 13220 Email: amerta.association@gmail.com Fax: 62-21-4719005 MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

Lebih terperinci

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana

Lebih terperinci

PERUBAHAN JUKNIS MUSRENBANG KOTA SURAKARTA TAHUN 2012

PERUBAHAN JUKNIS MUSRENBANG KOTA SURAKARTA TAHUN 2012 PERUBAHAN JUKNIS MUSRENBANG KOTA SURAKARTA TAHUN 2012 PERUBAHAN UMUM PERUBAHAN 1. Penyebutan Tahun 2012 Perwali dan Lampiran 2. Istilah stakeholder menjadi pemangku kepentingan pembangunan 3. Istilah Persiapan

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga Karya Tulis PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI Murbanto Sinaga DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Pendahuluan Pokok Pokok Temuan Survei Nasional Demos (2007 2008) : Demokrasi masih goyah: kemerosotan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), menyebutkan bahwa RPJMD merupakan rencana pembangunan suatu daerah untuk jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA. Arie Sujito

TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA. Arie Sujito TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA Arie Sujito Apa pelajaran berharga yang dibisa dipetik dari perubahan desa sejak UU No. 6/ 2014? Apa tantangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009-2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi. regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi. regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pembangunan politik demokratik berjalan semenjak reformasi tahun 1998. Perkembangan tersebut dapat dilihat melalui sejumlah agenda; penyelenggaraan

Lebih terperinci

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Anggaran Dasar Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat

Lebih terperinci

GOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007

GOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007 GOOD GOVERNANCE Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007 Latar Belakang Pada tahun 1990an, dampak negatif dari penekanan yang tidak pada tempatnya terhadap efesiensi dan ekonomi dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia Kerangka Acuan Call for Proposals 2016-2017: Voice Indonesia Kita berjanji bahwa tidak akan ada yang ditinggalkan [dalam perjalanan kolektif untuk mengakhiri kemiskinan dan ketidaksetaraan]. Kita akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Reformasi pada tahun 1998 merupakan momentum yang menandai berakhirnya sistem ketatanegaraan Indonesia yang bersifat sentralistik. Pasca runtuhnya rezim orde baru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER PADA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

Siklus PNPM Mandiri - Perkotaan

Siklus PNPM Mandiri - Perkotaan BUKU 1 SERI SIKLUS PNPM- Mandiri Perkotaan Siklus PNPM Mandiri - Perkotaan 3 Membangun BKM 2 Pemetaan Swadaya KSM 4 BLM PJM Pronangkis 0 Rembug Kesiapan Masyarakat 1 Refleksi Kemiskinan 7 Review: PJM,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus. menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus. menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses perubahan-perubahan yang terus menerus ke arah yang dikehendaki. Menurut Rogers dikutif Zulkarimen Nasution (2004:28) pembangunan

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2008 NOMOR 1 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR,

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan 1 oleh Dian Kartikasari 2

Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan 1 oleh Dian Kartikasari 2 Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan 1 oleh Dian Kartikasari 2 1. Keterwakilan Perempuan dalam Politik Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dua makna.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pemerintah Daerah Dan Fungsi Pemerintah Daerah 1. Pengertian Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (5), pengertian pemerintahan daerah adalah sebagai

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, yang dilakukan oleh pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA SITUASI PEREMPUAN, KINI Data BPS per 2013, Rata-rata Lama Sekolah Anak Laki-laki 8 Th dan Perempuan 7 Th (tidak tamat SMP) Prosentase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia mulai dilaksanakan sejak berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Namun

Lebih terperinci

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le WALIKOTA PAREPARE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN RENCANA KERJA SATUAN KERJA PEMERINTAH DAERAH BERPERSPEKTIF GENDER KOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun BAB VI PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Pada awalnya penulis ingin mengetahui peran komunikasi dalam hal ini melalui konsep demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dapat mendorong proses penganggaran

Lebih terperinci

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0 Kebijakan Jender 1.0 The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 2015 1 Latar Belakang Jender dipahami sebagai pembedaan sifat, peran, dan posisi perempuan dan lakilaki yang dibentuk oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara demokrasi dimana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJMN) 2004 2009,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk didiskusikan, selain karena terus mengalami perkembangan, juga banyak permasalahan perempuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA MUKADIMAH Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat dalam segala proses perubahan membutuhkan pendekatan dan pentahapan yang

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan

BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Pertama, partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan APBD tergolong pada partisipasi parsial dengan tingkat pengaruh yang

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, 1 BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa untuk lebih menjamin ketepatan dan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA MATARAM TAHUN 2016

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA MATARAM TAHUN 2016 PEMERINTAH KOTA MATARAM 2016 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA MATARAM TAHUN 2016 idoel Tim Penyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah private (RKPD) 1/1/2016 Kota Mataram WALIKOTA MATARAM PROVINSI

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Terjadinya Patologi Penelitian yang dilakukan di Kota Surakarta dan Kota Magelang dalam rentang waktu 2013-2015 ini bertujuan menjelaskan fenomena di balik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu periode yang akan datang (Suraji, 2011: xiii). Pengertian anggaran

I. PENDAHULUAN. suatu periode yang akan datang (Suraji, 2011: xiii). Pengertian anggaran 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum anggaran diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu institusi atau lembaga tertentu untuk suatu periode yang akan datang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Lebih terperinci

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM REPUBLIK INDONESIA UNIT PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PPID RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PELAYANAN INFORMASI PUBLIK BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu prasyarat penting

Lebih terperinci

Oleh : Arief Setyadi. Persyaratan Gender dalam Program Compact

Oleh : Arief Setyadi. Persyaratan Gender dalam Program Compact Oleh : Arief Setyadi Persyaratan Gender dalam Program Compact Perempuan Bekerja Menyiangi Sawah (Foto: Aji) Program Compact memiliki 5 persyaratan pokok, yakni: 1. Analisis ERR di atas 10%, 2. Analisis

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang

Lebih terperinci

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 2 Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Program Pengembangan Masyarakat (Community Development), seharusnya disesuaikan dengan persoalan yang terjadi secara spesifik pada suatu

Lebih terperinci

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN PERDA KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 3 TAHUN 2015 Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Pemerintah Desa adalah kepala Desa yang dibantu oleh perangkat

Lebih terperinci

Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan

Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan KMA Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. Proses Pembuatan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 116 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang kompleks dibutuhkan intervensi dari semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Selain peran

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 NOMOR 4 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini,

BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini, BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini, yaitu: 1. Tahapan dan Bentuk Gerakan Lingkungan di

Lebih terperinci