PERTUMBUHAN ANAKAN Avicennia marina DAN Rhizophora mucronata PADA JARAK TANAM YANG BERBEDA DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PENANAMAN GULUDAN ANNA HUSNAENI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTUMBUHAN ANAKAN Avicennia marina DAN Rhizophora mucronata PADA JARAK TANAM YANG BERBEDA DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PENANAMAN GULUDAN ANNA HUSNAENI"

Transkripsi

1 PERTUMBUHAN ANAKAN Avicennia marina DAN Rhizophora mucronata PADA JARAK TANAM YANG BERBEDA DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PENANAMAN GULUDAN ANNA HUSNAENI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pertumbuhan Anakan Avicennia marina dan Rhizophora mucronata pada Jarak Tanam yang Berbeda dengan Menggunakan Teknik Penanaman Guludan adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2013 Anna Husnaeni NIM E

4 RINGKASAN ANNA HUSNAENI. Pertumbuhan Anakan Avicennia marina dan Rhizophora mucronata pada Jarak Tanam yang Berbeda dengan Menggunakan Teknik Penanaman Guludan. Dibimbing oleh Cecep Kusmana dan Tatang Tiryana. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Hal ini menyebabkan diperlukannya suatu upaya rehabilitasi untuk memperkaya keanekaragaman hayati, meningkatkan produktivitas lahan, dan peningkatan kualitas lingkungan ekosistemnya. Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan dan diujicobakan suatu teknik penanaman mangrove untuk tujuan rehabilitasi lahan yang dinamakan teknik guludan (Kusmana et al. 2005a). Dalam teknik ini telah diujicobakan penanaman bibit A. marina dan R. mucronata dengan berbagai jarak tanam yaitu 0.25 x 0.25 m, 0.5 x 0.5 m, dan 1 x 1 m. Belum banyak penelitian yang dilakukan terutama yang berkenaan dengan model pertumbuhan dan riap dari anakan yang ditanam. Informasi mengenai model pertumbuhan dan riap cukup penting sehubungan dengan penilaian performa serta keberhasilan teknik penanaman ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) memformulasikan model pertumbuhan dan riap diameter batang dan tinggi anakan untuk anakan A. marina dan R. mucronata pada berbagai jarak tanam; 2) menentukan jarak tanam yang menghasilkan pertumbuhan dan riap diameter batang dan tinggi anakan yang paling besar untuk anakan A. marina dan R. mucronata. Pengambilan data membutuhkan waktu sekitar 3 tahun dari mulai Oktober 2008 sampai dengan Oktober 2011 di kawasan Arboretum Mangrove Angke Kapuk, yang berada di pinggir jalan tol Sedyatmo-Bandara Internasional Soekarno Hatta pada KM 22 sampai dengan KM 23, provinsi DKI Jakarta (06 o LS dan 106 o BT). Kawasan ini memiliki kedalaman air sekitar 2-3 m dengan tingkat salinitas ppt dan ph (Kusmana 2010). Penelitian yang dilakukan berupa pengukuran diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata untuk setiap jarak tanam sampai dengan umur tanam 36 bulan, yang mana umur A. marina dan R. mucronata pada saat penanaman berturut-turut adalah 3 bulan dan 6 bulan. Diameter batang diukur pada batas tinggi anakan 10 cm dari permukaan tanah, sedangkan tinggi anakan diukur dari batas pengukuran diameter batang sampai dengan ujung pusat tumbuh (dilakukan penandaan sejak awal penanaman). Diameter batang dan tinggi anakan mangrove diukur langsung menggunakan caliper dan meteran atau galah pengukur tinggi anakan. Pengamatan tersebut dilakukan setiap 4 bulan selama periode pengamatan. Penyusunan model menggunakan analisis regresi nonlinier dengan menggunakan software R. Adapun model-model yang digunakan yaitu model logistik, Gompertz, dan Richards. Khusus untuk pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata, setelah dilihat sebaran data yang dihasilkan, maka digunakan bentuk model berbeda untuk diujikan yaitu model power, eksponensial, polinomial, dan invers polinomial. Model terbaik dipilih dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 1) nilai p-value < 0.05; 2) nilai Akaike Information Criteria (AIC), Bayesian Information Criteria (BIC), dan simpangan baku (RMSE) paling kecil;

5 2 3) nilai R 2 dan R 2 terkoreksi (R 2 adj) paling besar; 4) sisaan menyebar acak dan tidak membentuk pola tertentu (homokedastisitas). Berdasarkan model yang telah terpilih, maka disusun persamaan matematis untuk menduga besaran MAI (Mean Annual Increment) dan CAI (Current Annual Increment). MAI merupakan hasil rata-rata dari model pertumbuhan diameter batang atau tinggi anakan per satuan waktu (f(y)/t), sedangkan CAI merupakan hasil diferensiasi/turunan pertama dari model pertumbuhan diameter batang atau tinggi anakan (dy/dt). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan A. marina serta diameter batang R. mucronata selama 36 bulan penanaman untuk setiap perlakuan jarak tanam membentuk pola persamaan logistik, sedangkan untuk pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata membentuk pola persamaan polinomial. Pada awal penanaman, perlakuan jarak tanam 0.25 x 0.25 m menunjukkan performa pertumbuhan yang paling optimal baik untuk pertumbuhan diameter batang maupun tinggi anakan pada kedua jenis anakan. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan adanya pengaruh cahaya. Ukuran anakan yang masih kecil menyebabkan semua permukaan daun mendapatkan pencahayaan penuh dikarenakan tidak ada bagian daun yang ternaungi terutama pada jarak tanam lebar. Selain mengurangi penerimaan cahaya yang terlalu tinggi, jarak tanam yang lebih rapat juga dapat mengurangi sengatan panas yang diterima oleh tanaman sehingga proses penguapan dapat dikurangi. Pada pertumbuhan diameter batang, baik R. mucronata maupun A. marina, terutama diameter batang R. mucronata, seiring dengan bertambahnya umur tanaman, jarak tanam 1 x 1 m mulai menunjukkan tingkat perlakuan yang menghasilkan pertumbuhan terbesar. Jarak tanam 0.25 x 0.25 m justru menampilkan pertumbuhan diameter batang terkecil. Hal ini menggambarkan sudah mulai terjadinya persaingan dalam memperoleh nutrisi. Jarak tanam yang rapat mengakibatkan persaingan nutrisi yang lebih besar dibandingan dengan jarak tanam yang lebih jarang. Lain halnya untuk pertumbuhan tinggi anakan. Semakin rapat jarak tanam, semakin besar pertumbuhan tinggi anakan untuk kedua jenis anakan. Hal ini terjadi dikarenakan pada jarak tanam rapat, persaingan untuk memperoleh cahaya lebih tinggi, sehingga pertumbuhan lebih dialokasikan untuk pertambahan tinggi dalam rangka mempermudah perolehan cahaya. Kecuali untuk pertumbuhan tinggi anakan A. marina setelah berumur 2.5 tahun. Pada umur ini, jarak tanam 0.5 x 0.5 m menghasilkan pertumbuhan tinggi anakan yang lebih besar dibandingkan dengan jarak tanam 0.25 x 0.25 m. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan pada umur tersebut, jarak tanam terlalu rapat menyebabkan persaingan hara yang terlalu tinggi, sehingga fotosintat yang dihasilkan tidak optimal untuk mendukung pertumbuhan. Kata kunci: Avicennia marina, guludan, jarak tanam, model pertumbuhan, Rhizophora mucronata.

6 SUMMARY ANNA HUSNAENI. Avicennia marina and Rhizophora mucronata Seedlings Growth Model at Different Spacings Using Guludan Planting Technique. Under direction of Cecep Kusmana and Tatang Tiryana. Ecological impacts due to the destruction of mangrove ecosystem are the loss of various flora and fauna, which in the long run will disrupt the balance of mangrove ecosystem as well as coastal ecosystem. Therefore, rehabilitation efforts are urgently needed to maintain the overall functions of mangrove forest. In the last several years, there is a technique called guludan, which is developed to rehabilitate mangrove forest (Kusmana et al. 2005a). In applying guludan technique, a study had been conducted using seedlings of A. marina and R. mucronata with different spacings, i.e x 0.25 m, 0.5 x 0.5 m, and 1 x 1 m. There has been not many studies conducted yet to develop growth models and increments for the planted seedlings using guludan technique. It is important to obtain information on the growth models and increments in regards to the success of guludan technique. This study is aimed at: 1) formulating models and increments for diameter and height growths for A. marina and R. mucronata seedlings at different spacings, 2) determining the most ideal spacing which can result to the greatest growth and increment for trunk diameter and height of A. marina and R. mucronata seedlings. Data collections were conducted from October 2008 through October 2011 (3 years) at the Mangrove Arboretum Angke Kapuk, located at the side of Sedyatmo Toll, KM 22 through KM 23, Jakarta Province (06 o LS and 106 o BT). This location has water depth of 2-3 m with salinity of ppt and ph of (Kusmana 2010). Variables observed were trunk diameter and height of A. marina and R. mucronata seedlings with different spacing until reaching 36 months old of age. The starting age for A. marina was 3 months old, whereas for R. mucronata was 6 months old. The trunk diameter was measured at 10 cm above land surface using caliper. The trunk height was measured starting from where the diameter measurement was taken, up to the growth using measurement tape. The observations were conducted every 4 months during the 3 years of study. The models used were non linear regression models developed with software R, using non linear regression analysis. Models used were logistic, Gompertz and Richards. Models for height growth used were power, exponential, polynomial and invers polynomial. The best model was determined using criteria as follows: 1) the model has p value < 0.05; 2) the model has the least AIC, BIC, and RMSE; 3) the model has the greatest R 2 and R 2 adj; 4) the model has residual value which are randomly scattered and homoscedastic. After the best model was chosen, then the mathematical equations were developed to predict the Mean Annual Increment (MAI) and the Current Annual Increment (CAI). MAI is the average of diameter growth model or height growth model over time (f(y)/t). CAI is the differential of diameter growth model or height growth model (dy/dt). Based on the study, it is observed that the diameter growth and height growth of A. marina as well as diameter growth of R. mucronata followed logistic

7 2 equation. On the other hand, the height growth of R. mucronata followed polynomial equation. At the beginning of the study, the 0.25 x 0.25 m spacing showed the optimum diameter and height growth for A. marina and R. mucronata seedlings wihich may have been caused by exposure to light. Since the seedlings at the beginning were small, all seedlings obtained full exposure to light, especially seedling planted with wider spacing. Denser spacing reduced exposure to light and to heat, which in turn reducing condensation. At the beginning of the study, the roots of the seedlings were not yet functioned optimally. At the end of the study, the 1 x 1 m spacing gave the greatest diameter growth for A. marina and R. mucronata. The 0.25 x 0.25 m spacing gave the least diameter growth. These occurrences indicated that there were competition to obtain nutrition. More fierce competition happens at denser spacings. Height growth showed different result, i.e. the denser the spacing,the greatest the height growth, for seedlings of A. marina and R. mucronata. These occurrences happened because competition to obtain light is more fierce at the denser spacings, therefore, the growth was focused on height growth to obtain more light. Exception happened at height growth of 2.5 years old A. marina. A. marina seedlings aged 2.5 years old planted with 0.5 x 0.5 m spacing gave greater height than those planted with 0.25 x 0.25 m spacing. This result happened because competition to obtain nutrition was more fierce at the denser spacing, which cause unoptimal photosynthesis. Key words: Avicennia marina, growth model, guludan, Rhizophora mucronata, spacing.

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 PERTUMBUHAN ANAKAN Avicennia marina DAN Rhizophora mucronata PADA JARAK TANAM YANG BERBEDA DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PENANAMAN GULUDAN ANNA HUSNAENI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Silvikultur Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Muhdin, MSc

11 Judul Tesis : Pertumbuhan Anakan Avicennia marina dan Rhizophora mucronata pada Jarak Tanam yang Berbeda dengan Menggunakan Teknik Penanaman Guludan Nama : Anna Husnaeni NRP : E Disetujui Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Ketua Dr Tatang Tiryana, SHut MSc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Silvikultur Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Basuki Wasis, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 15 Maret 2013 (tanggal pelaksanaan ujian tesis) Tanggal Lulus: (tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah model pertumbuhan mangrove, dengan judul Pertumbuhan Anakan Avicennia marina dan Rhizophora mucronata pada Jarak Tanam yang Berbeda dengan Menggunakan Teknik Penanaman Guludan. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan Bapak Dr Tatang Tiryana, SHut MSc selaku pembimbing, serta Dr Ir Muhdin, MSc yang telah memberi banyak saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Tarma Purwanegara beserta rekan, yang telah membantu selama pengumpulan data juga Bakrie Center Foundation atas beasiswa yang telah diberikan. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2013 Anna Husnaeni

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan 3 Manfaat 3 Ruang Lingkup Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 Deskripsi Jenis Api-api (A. marina (Forsk.) Vierh. 1907) 4 Deskripsi Jenis Bakau (R. mucronata Lamk. 1804) 6 Teknik Rehabilitasi Mangrove 7 Model Pertumbuhan 15 Penelitian Pertumbuhan Mangrove 23 3 METODE PENELITIAN 26 Waktu dan Tempat 26 Bahan dan Alat 26 Peubah yang Diamati 26 Rancangan Sampling 26 Teknik Pengumpulan Data 26 Prosedur Analisis Data 28 Penyusunan Model Pertumbuhan 28 Pemilihan Model Terbaik 29 Penyusunan Model Riap (MAI dan CAI) 31 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 32 Hasil 32 Model Pertumbuhan A. marina 32 Model Pertumbuhan R. mucronata 35 Pembahasan 41 5 SIMPULAN 45 DAFTAR PUSTAKA 46 LAMPIRAN 51 RIWAYAT HIDUP 58

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Model pertumbuhan tanaman (Fekedulegn 1999) 17 2 Hasil uji Duncan respon pertumbuhan tinggi anakan pada berbagai tingkat salinitas (Hutahean et al. 1999) 24 3 Pertambahan tinggi rata-rata semai (cm) R. mucronata (Rm) dan R. apiculata (Ra) pada zona darat, tengah, dan laut di tapak Medco E&P 25 4 Intensitas sampling yang digunakan dalam penelitian 26 5 Model yang dibandingkan untuk menggambarkan pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan diameter batang R. mucronata 28 6 Model yang dibandingkan untuk menggambarkan pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata 29 7 Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan diameter batang A. marina pada jarak tanam yang berbeda 32 8 Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan tinggi anakan A. marina pada jarak tanam yang berbeda 34 9 Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan diameter batang R. mucronata pada jarak tanam yang berbeda Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata pada jarak tanam yang berbeda Model penduga CAI dan MAI diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata pada jarak tanam yang berbeda 40

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Avicennia marina (Forsk.) Vierh R. mucronata Lamk Penananaman anakan ke dalam lubang tanam 8 4 Model sistem wanamina yang umum di Indonesia 9 5 Pemecah ombak berupa tumpukan batu yang dimasukkan ke dalam kawat (a), berupa tripod (b) guludan tanah (c) dan cerucuk bambu dan kayu (d) 10 6 Penahan arus dan pemecah gelombang bentuk gundukan batu (rubble mould) 10 7 Penguat tanaman di tapak yang berombak besar menggunakan tiang pancang (a) dan menggunakan bambu besar (b) 11 8 Sketsa pola penanaman mangrove pada tapak berarus deras tepi sungai dengan pola zig-zag (untu walang) 12 9 Teknik penanaman mangrove pada tapak berbatu/berkerikil dengan cara gerombol (cluster) Teknik penanaman pada tapak berbatu/berkerikil dengan lubang besar dan diberi lumpur Teknik penanaman mangrove pada tapak tertimbun pasir dengan mengganti lubang tanam dengan lumpur atau menggunakan polybag berukuran besar Teknik penanaman mangrove tertimbun pasir dengan cara penggalian parit-parit yang diisi lumpur Struktur guludan Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model eksponensial tikungan tajam Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model Monomolekuler Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model logistik Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model Gompertz Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model Richards Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model Chanter Lokasi penelitian Model pertumbuhan diameter batang A. marina (cm) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda Model pertumbuhan tinggi anakan A. marina (m) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda Model pertumbuhan diameter batang R. mucronata (cm) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda Model pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata (m) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda 39

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Sebaran data tinggi anakan Rhizophora mucronata pada jarak tanam 0.25 x 0.25 m (a), 0.5 x 0.5 m (b), dan 1 x 1 m (c) 52 2 Contoh keluaran hasil pengolahan data dengan menggunakan software R 53 3 Contoh hasil verifikasi asumsi model, kondisi homokedastisitas terpenuhi (a) dan homokedastisitas tidak terpenuhi (b) 54 4 Foto-foto guludan 55

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai berbagai fungsi ekologis dan ekonomis yang memegang peranan sangat vital dalam menopang kehidupan terutama masyarakat pesisir. Karena fungsi tersebut, terutama fungi ekonomisnya, sebagian masyarakat untuk memenuhi keperluan hidupnya melakukan intervensi terhadap ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove pada khususnya dan ekosistem pesisir pada umumnya. Hal ini menyebabkan diperlukannya suatu upaya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak dan pembangunan hutan tanaman mangrove di beberapa wilayah pesisir untuk memperkaya keanekaragaman hayati, meningkatkan produktivitas lahan, dan kualitas lingkungan ekosistemnya. Menurut Kusmana (2009a), penanaman dengan tujuan rehabilitasi kawasan lindung/konservasi mangrove seyogyanya menggunakan jarak tanam yang lebih rapat dibandingkan dengan tujuan penanaman untuk menghasilkan hasil hutan tertentu (kayu, chip, arang, dsb). Selain itu, penanaman untuk rehabilitasi lahan yang rusak, cenderung menggunakan spesies yang bersifat pionir, seperti Avicennia marina dan Sonneratia alba, sedang untuk produksi kayu pertukangan atau kayu bakar, cenderung menggunakan spesies yang memiliki kualitas kayu lebih baik seperti Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, R. stylosa, atau R. apiculata. Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan dan diujicobakan suatu teknik penanaman mangrove untuk tujuan rehabilitasi lahan yang dinamakan teknik guludan (Kusmana et al. 2005a). Teknik guludan ini merupakan teknik penanaman anakan mangrove pada lahan yang tergenang dengan air yang dalam (kedalaman air 1 m atau lebih) dengan menggunakan guludan yang diisi dengan karung-karung yang berisi tanah pada bagian bawahnya yang ditutupi dengan lapisan tanah curah di bagian atasnya sebagai media tempat tumbuh anakan mangrove tersebut. Dalam teknik ini telah diujicobakan penanaman bibit A. marina dan R. mucronata dengan berbagai jarak tanam (0.25 x 0.25 m, 0.5 x 0.5 m, dan 1 x 1 m) dan dilakukan beberapa kegiatan pengukuran yang meliputi pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan, kandungan klorofil a dan b daun, biomassa anakan, luas dan berat daun, serta sistem perakaran dan pengamatan kualitas anakan. Belum banyak penelitian yang dilakukan di dalam sistem ini terutama yang berkenaan dengan model pertumbuhan dan riap dari anakan yang ditanam. Informasi mengenai model pertumbuhan dan riap cukup penting sehubungan dengan penilaian performa serta keberhasilan teknik penanaman ini serta penentuan jarak tanam berapakah yang menghasilkan pertumbuhan optimal.

18 2 Menurut Devoe dan Cole (1998) juga Bosire et al. (2008), anakan mangrove terutama R. mucronata hasil penanaman memiliki MAI (Mean Annual Increment) yang cukup besar bila dibandingkan dengan jenis yang sama di hutan alam dan jarak tanam optimal berperan penting dalam mempengaruhi riap dari jenis ini. Rata-rata pertumbuhan dari setiap jenis pohon pun sangat beragam sehingga suatu tindakan silvikultur termasuk jarak tanam akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap produktivitas masing-masing jenis. Perumusan Masalah Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Rhizophora dan Avicennia merupakan 2 dari 12 genus utama yang terdapat pada ekosistem mangrove. Kedua genus ini cocok untuk diterapkan dalam kegiatan rehabilitasi karena sifat dari jenis Avicennia spp. yang merupakan pionir dan Rhizophora spp. yang memiliki performa kayu yang baik. Salah satu bentuk interaksi antara satu populasi dengan populasi lain atau antara satu individu dengan individu lain adalah bersifat persaingan (kompetisi). Persaingan terjadi bila kedua individu mempunyai kebutuhan sarana pertumbuhan yang sama sedangkan lingkungan tidak menyediakan kebutuhan tersebut dalam jumlah yang cukup. Faktor-faktor yang mempengaruhi persaingan diantaranya air, nutrisi, cahaya, karbon dioksida, dan ruang. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi batang, diameter batang, kandungan klorofil, dan daya hasil dari tanaman tersebut berkaitan dengan proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi) yang terjadi. Persaingan dapat terjadi di antara sesama individu dalam spesies yang sama (intraspesific competition), dan dapat pula terjadi diantara individu-individu dari jenis-jenis yang berbeda (interspesific competition). Persaingan sesama jenis pada umumnya terjadi lebih awal dan menimbulkan pengaruh yang lebih buruk dibandingkan persaingan yang terjadi antar jenis yang berbeda. Sarana pertumbuhan yang sering menjadi pembatas dan menyebabkan terjadinya persaingan diantaranya adalah ruang. Ruang merupakan faktor penting dalam persaingan karena berperan sebagai tempat hidup dan sumber nutrisi bagi tumbuhan. Ruang yang besar dapat menyebabkan tingginya tingkat persaingan. Faktor utama yang mempengaruhi persaingan antar individu dalam suatu jenis tanaman yang sama diantaranya adalah kerapatan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan interaksi antara faktor genetika dan lingkungan. Pengelolaan sistem budidaya suatu tanaman merupakan suatu sistem manipulasi yang dilakukan agar faktor genetika melalui pemilihan varietas dan pengelolaan lingkungan melalui perbaikan teknik penanaman untuk menghasilkan produktivitas serta pertumbuhan baik diameter batang maupun tinggi anakan yang optimal. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, telah dikembangkan dan diujicobakan suatu teknik penanaman mangrove untuk tujuan rehabilitasi lahan yang dinamakan sistem guludan. Dalam teknik penanaman ini telah diujicobakan

19 3 berbagai jarak tanam (0.25 x 0.25 m, 0.5 x 0.5 m, dan 1 x 1 m). Sejauh ini belum ada data mengenai ruang tumbuh (jarak tanam) optimal untuk menghasilkan tingkat produktivitas dan pertumbuhan tanaman yang maksimal. Dari penjelasan di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah model pertumbuhan dan riap diameter batang dan tinggi untuk anakan A. marina dan R. mucronata pada berbagai jarak tanam? 2. Jarak tanam berapakah yang menghasilkan pertumbuhan dan riap diameter batang dan tinggi yang paling besar untuk anakan A. marina dan R. mucronata? Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Memformulasikan model pertumbuhan dan riap diameter batang dan tinggi untuk anakan A. marina dan R. mucronata pada berbagai jarak tanam. 2. Menentukan jarak tanam yang menghasilkan pertumbuhan dan riap diameter batang dan tinggi yang paling besar untuk anakan A. marina dan R. mucronata. Manfaat Model pertumbuhan dan riap yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk menduga besarnya diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata yang ditanam dengan teknik guludan. Informasi mengenai hal ini bermanfaat untuk melakukan evaluasi kelayakan rehabilitasi mangrove dengan menggunakan teknik guludan tersebut. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengukuran dimensi diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata. 2. Penyusunan dan pemillihan model pertumbuhan dan riap dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata. 3. Penentuan jarak tanam yang optimal untuk pertumbuhan dan riap anakan A. marina dan R. mucronata.

20 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jenis Api-api (A. marina (Forsk.) Vierh. 1907) Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae (Wikipedia 2007). Dalam sistem klasifikasi, tanaman A. marina mempunyai penggolongan sebagai berikut (Plantamor 2012): Kingdom Divisi Kelas Ordo Family Genus Jenis : : : : : : : Plantae Magnoliophyta Magnoliopsida Scrophulariales Acanthaceae Avicennia A. marina (Forsk.) Vierh. Nama lokal : Api-api jambu, sia-sia putih, api-api, pejapi, nyapi, api, sia, hajusa, pai. (Kusmana et al. 2008). Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau. Nama Avicennia dilekatkan pada genus ini untuk menghormati Ibnu Sina, di dunia barat terkenal sebagai Avicenna, salah seorang pakar dan perintis kedokteran modern dari Persia (Wikipedia 2007). Api-api merupakan salah satu jenis yang termasuk ke dalam kelompok mangrove utama. Adapun karakteristik mangrove utama sebagai berikut (Kusmana et al. 2008): a. Hanya hidup di habitat mangrove, tidak dapat tumbuh menyebar ke daratan. b. Berperan penting dalam struktur komunitas mangrove dan mampu membentuk tegakan murni. c. Memiliki morfologi spesifik sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan, seperti adanya akar permukaan (akar napas/akar udara) dan buah vivipar. Sebagai warga komunitas mangrove, api-api memiliki beberapa ciri yang merupakan bagian dari adaptasi pada lingkungan berlumpur dan bergaram, diantaranya akar nafas (pneumatophores) yang muncul cm dari substrat, seperti paku dengan diameter cm. Akar nafas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur sehingga mempercepat proses pembentukan tanah timbul serta berbagai sampah yang terhanyut di perairan. Jalinan perakaran ini juga menjadi tempat mencari makanan bagi aneka jenis kepiting bakau, siput dan teritip (Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2005b). d. Secara fisiologis memiliki mekanisme untuk mengeluarkan garam dari tubuhnya. Api-api memiliki daun dengan kelenjar garam. Daun api-api berwarna putih sampai keabu-abuan dilapisi kristal garam di sisi bawahnya. Ini adalah kelebihan garam yang dibuang oleh tumbuhan tersebut (Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2008). e. Relatif terisolasi secara taksonomi dari komunitas daratan, minimal pada level marga (genus). Api-api menyukai rawa-rawa mangrove, tepi pantai yang berlumpur, atau di sepanjang tepian sungai pasang surut. Beberapa jenisnya seperti A. marina

21 5 (Gambar 1) memperlihatkan toleransi yang tinggi terhadap kisaran salinitas, mampu tumbuh di rawa air tawar hingga di substrat yang berkadar garam sangat tinggi. Kebanyakan jenisnya merupakan jenis pionir dan oportunistik, serta mudah tumbuh kembali. Pohon-pohon api-api yang tumbang atau rusak dapat segera trubus (bersemi kembali), sehingga mempercepat pemulihan tegakan yang rusak (Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2008). A. marina memiliki ukuran pohon kecil atau besar, tinggi mencapai 30 m, dengan tajuk yang agak renggang. Pepagan (kulit batang) halus keputihan sampai dengan abu-abu kecoklatan dan retak-retak. Ranting memiliki buku-buku bekas daun yang menonjol serupa sendi-sendi tulang. Susunan daun tunggal berhadapan dengan helaian berbentuk elips dan ujung daun akut sampai membundar berukuran panjang 5-11 cm. Api-api memiliki biji kriptovivipar. Bunga muncul terutama pada bulan juli-februari, sedangkan munculnya buah pada bulan november-maret (musim hujan), dengan antesis sampai kemasakan 2-3 bulan. Bunga bersifat infloresensi berjumlah 8-14, dengan bulir rapat, panjang mencapai 1-2 cm, dengan susunan terminal atau aksilar pada tunas-tunas distal dengan daun mahkota berjumlah 4, berwarna kuning sampai oranye. Kelopak memiliki 5 cuping dan benang sari sebanyak 4 buah berukuran cm. Lebar buah cm dan panjang cm dengan perikarp berwarna hijau, bagian dalam hijau sampai coklat muda/kekuningan dan pada permukaan terdapat rambut halus. Buah membundar secara apikal atau dengan sebuah paruh yang pendek (Wikipedia 2007; Kusmana et al. 2008). Gambar 1 Avicennia marina (Forsk.) Vierh

22 6 Deskripsi Jenis Bakau (R. mucronata Lamk. 1804) Dalam sistem klasifikasi, tanaman R. mucronata mempunyai penggolongan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Family : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora Jenis : R. mucronata Lamk. Nama lokal : bakau, bako-gandul, bakau-genjah, bakau-bandul, bakauhitam, tanjang-lanang, tokke-tokke, bakao, bakau-laki, blukap, tongke-besar, lului, bakau-bakau, wako, bako, bangko, blukap (Kusmana et al. 2008). R. mucronata (Gambar 2) merupakan jenis mangrove utama dengan tinggi batang mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Umumnya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. R. mucronata memiliki akar tunjang yang besar dan berkayu dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal/memecah datar. Daun tunggal berhadapan dengan gagang daun berwarna hijau, berbentuk elips melebar hingga bulat memanjang dengan ujung daun berarista (aristate) (ujung daun mirip gigi yang meramping tajam). Panjang daun mencapai cm, lebih besar dari R. stylosa, dengan bagian paling lebar berada di tengah. Permukaan bawah daun hijau kekuningan dan terdapat bintikbintik hitam kecil yang tersebar. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran cm. (Noor et al. 1999; Kusmana et al. 2008). R. mucronata memiliki biji vivivar dan bunga infloresensi, bercabangcabang melalui pembagian menjadi dua secara berulang kali (dichotomous), berbunga sebanyak 4-8 dengan perbungaan terbatas (cyme), menggantung, dan aksilar. Daun mahkota berjumlah 4, berwarna putih, dan berambut dengan kelopak bercuping 4, berwarna kuning keputihan sampai hijau kekuningan. Benang sari berjumlah 8 dengan diameter 3-4 cm dan panjang cm. Tangkai putik pendek dengan kepala putik hampir duduk (hampir tanpa tangkai). Buah berdiameter cm, sedangkan panjang cm berwarna hijau sampai hijau kekuningan, leher kotiledon kuning ketika masak, dengan permukaan berkutil (mempunyai struktur mirip kutil). R. mucronata berbuah silindris (hipokotil), rontok dari bawah leher kotiledon, mengapung, dan tersebar oleh arus. Pemunculan bunga sepanjang tahun (terutama agustus-desember) dan pemuculan buah pada bulan oktober-desember (awal musim hujan), dengan antesis sampai kemasakan sekitar bulan (Kusmana et al. 2008). R. mucronata tumbuh di tepi sungai-sungai kecil, pantai yang berawa dan berlumpur tanpa ada ombak yang kuat, dan tumbuh baik di wilayah sungai estuaria dengan lumpur mangrove yang lunak. Jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang tergenang dalam, sedikit kandungan pasirnya, serta pada tanah yang kaya akan humus. R. mucronata teradaptasi dengan berbagai elevasi dengan kisaran yang

23 7 lebar. Jenis ini lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan berpasir bila dibandingkan dengan jenis R. apiculata. menyebar luas mulai dari Afrika timur, Madagaskar, Mauritania, Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, Melanesia dan Mikronesia. Pada saat ini telah diintroduksikan ke daerah Hawaii (Noor et al. 1999; Kusmana et al. 2005b; Kusmana et al. 2008). Gambar 2 R. mucronata Lamk Teknik Rehabilitasi Mangrove 1. Penanaman dengan propagul (Kusmana et al. 2009a) Penanaman langsung dengan menggunakan propagul umumnya dilakukan apabila areal penanaman berupa tanah lumpur. Penanaman propagul ini dilakukan dengan cara membenamkan seperempat sampai sepertiga panjang propagul ke dalam lumpur secara tegak dengan bakal kecambah menghadap ke atas. Jika propagul ditanam terlalu dalam, lumpur akan menutup lentisel, dan hipokotil tidak dapat berespirasi, dan hal ini akhirnya dapat menyebabkan kematian. Demikian juga sebaliknya, apabila propagul ditanam terlalu dangkal, dia akan mudah hanyut oleh ombak dan air pasang. Untuk R. mucronata, R. apiculata dan R. stylosa, kelopak buah (calyx) harus selalu dilepas sebelum penanaman (biasanya kalau propagul sudah matang, calyx ini akan lepas dengan sendirinya bersama perikarp). Di lain pihak, untuk B. gymnorrhiza, kelopak buah tersebut harus tetap dibiarkan utuh ketika penanaman. Calyx pada B. gymnorrhiza akan rontok sendiri setelah seminggu. Bila setelah seminggu calyx belum rontok, calyx ini perlu dilepas dengan tangan, tapi tidak boleh dengan cara paksa. Apabila area penanaman terdiri atas tanah lumpur yang kurang lembek, penanaman propagul dilakukan

24 8 pada lubang tanam yang dibuat dengan tugal (galah kayu yang ujungnya diruncingkan). 2. Penanaman dengan bibit (Kusmana et al. 2009a) Bibit ditanam pada lobang tanam yang ukurannya sebesar ukuran polibag media bibit (Gambar 3). Penanaman bibit mangrove di lahan pinggir sungai, pinggir pantai dan daerah-daerah lainnya dengan arus air yang relatif kuat disarankan polibagnya tidak disobek. Adapun penanaman bibit di lahan-lahan yang arus pasang surutnya relatif tenang polibag disarankan dirobek dengan cara disayat secara hati-hati sebelum dimasukkan ke lubang tanam. Polibag bekas tersebut kemudian disangkutkan di ujung ajir sebagai tanda bahwa anakan sudah ditanam. Kemudian, tanah atau lumpur ditimbunkan kedalam lubang tanam sehingga propagul dapat berdiri tegak. Kemudian bila perlu, propagul, tersebut diikatkan pada ajir, supaya tanaman kokoh kedudukannya dan tidak mudah terbawa arus air. Yang perlu diperhatikan bila tanaman diikatkan ke ajir adalah bahwa ajir itu sendiri harus kokoh kedudukannya di substrat mangrove (dalam hal ini misalnya, ajir cukup dalam ditancapkannya ke lumpur mangrove). Bila kedudukan (penjangkaran ke substrat mangrove) ajir lebih lemah dibanding bahan tanaman, maka pengikatan tanaman ke tiang ajir, malah membebani tanaman dan malah memperbesar peluang hanyutnya tanaman oleh arus. Jika terjadi penundaan penanaman di lokasi penanaman, padahal bahan tanaman sudah diangkut ke lokasi, bahan-bahan tanaman tersebut sebaiknya disimpan di tempat yang teduh. Bahan tanaman berupa propagul sebaiknya disimpan dalam posisi tegak di areal yang berlumpur, dan teduh. polibag Lubang tanam tanah Gambar 3 Penananaman anakan ke dalam lubang tanam. 3. Sistem tanam (Kusmana et al. 2009a) Ada dua sistem penanaman mangrove yang umum dilakukan, yakni, sistem banjar harian (penanaman seluruh areal) dan sistem tumpang sari (wanawina/silvofishery). Secara umum tidak terdapat perbedaan secara prinsip dalam cara penanaman dari kedua sistem tersebut. Khusus pada sistem tumpang sari, terdapat tambahan kegiatan dalam tahapan persiapan lapangan, yakni pembuatan konstruksi tambak, saluran air dan tapak tanam seperti terlihat pada Gambar 4.

25 kolam LAHAN TEMPAT MEMELIHARA IKAN LAHAN TEMPAT MEMELIHARA IKAN kolam LAHAN TEMPAT MEMELIHARA IKAN kolam 9 tegakan mangrove tanggul PINTU AIR pintu air SALURAN AIR saluran air tegakan mangrove tanggul pintu air saluran air LAHAN TEMPAT MEMELIHARA IKAN tegakan mangrove tanggul LAHAN TEMPAT MEMELIHARA IKAN PINTU AIR Pintu air SALURAN AIR saluran air Gambar 4 Model sistem wanamina yang umum di Indonesia. 4. Teknik rehabilitasi pada tapak-tapak khusus a. Tapak berarus dan berombak besar (Kusmana et al. 2009b) Areal penanaman mangrove pada tapak berarus dan berombak besar umumnya terdapat pada tepi laut lepas atau daerah cekungan tepi laut dengan pusaran arus deras dan gelombang besar. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dibuat penahan arus dan pemecah gelombang (water break) di depan lahan yang akan ditanami. Bentuk-bentuk penahan arus dan pemecah gelombang dapat berupa: (a) tumpukan batu yang dimasukkan ke dalam anyaman kawat (beronjong), (b) berupa tripod (cetak beton berkaki tiga), (c) gundukan atau guludan tanah/batu (rubble mould), dan (d) anyaman cerucuk bambu/kayu. Bentuk-bentuk penahan arus dan pemecah ombak (water break) dalam penanaman mangrove pada tapak berarus deras berombak besar dapat dilihat pada Gambar 5. Penahan arus dan pemecah gelombang bentuk gundukan batu (rubble mould) dapat dilihat pada Gambar 6.

26 10 laut laut SEA D TRIPO TR D O IP D TRIPO SEA DITCH DITCH Area penanaman PLANTING AREA AREA AreaPLANTING penanaman (b) (a) laut laut SEA SEA BAMBOO STICK STONE DEPOSITION DITCH DITCH Area penanaman PLANTING AREA Area penanaman PLANTING AREA (c) (d) Gambar 5 Pemecah ombak berupa tumpukan batu yang dimasukkan ke dalam kawat (a), berupa tripod (b) guludan tanah (c) dan cerucuk bambu dan kayu (d). Gambar 6 Penahan arus dan pemecah gelombang bentuk gundukan batu (rubble mould).

27 11 Untuk tapak semacam ini, sebaiknya digunakan bibit jenis Rhizophora spp., terutama R. mucronata. Jarak tanam sebaiknya cukup rapat (misal 1 x 1 m atau lebih rapat) dengan berselang seling, sehingga membentuk pola untu walang (zig zag). Agar anakan yang ditanam tidak mudah hanyut, maka sebaiknya anakan tersebut diikatkan pada tiang pancang/bambu (Gambar 7). 1. Penggunaan tiang pancang Tiang pancang yang terbuat dari kayu atau bambu (diameter minimal 7.5 cm, panjang 1 m, dan runcing di bagian bawahnya) ditancapkan ke dalam lumpur sedalam 0.5 m, tepat di samping semai mangrove yang ditanam. Batang semai tanaman diikatkan pada tiang pancang. Untuk memperoleh kedudukan yang lebih kuat, ruas bambu tiang tersebut dilubangi terlebih dahulu, kemudian lumpur dimasukkan ke dalam tiangnya saat tiang ditancapkan. 2. Penggunaan ruas bambu besar Bambu yang diameter cm dan tinggi 1 m, ditancapkan ke dalam lumpur sedalam 0.5 m pada lokasi dimana semai mangrove akan ditanam. Bambu dilubangi ruas dalamnya dan diperuncing pada bagian bawahnya. Isilah bambu dengan lumpur, kemudian tanamlah semai mangrove ke dalam bambu tersebut. Salah satu jenis bambu yang berukuran sebesar itu adalah bambu betung (Dendrocalamus asper). Gambar 7 Penguat tanaman di tapak yang berombak besar menggunakan tiang pancang (a) dan menggunakan bambu besar (b). b. Tapak dengan arus deras pinggir sungai (Kusmana et al. 2009b) Penanaman mangrove pada tapak dengan arus deras pinggir sungai dilakukan dengan menggunakan jarak tanam atau tanpa menggunakan jarak tanam. Jika menggunakan jarak tanam sebaiknya digunakan jarak tanam rapat kurang dari 0.5 m x 0.5 m. Pola tanam bisa menggunakan model zig-zag (untu walang). Penanaman tanpa menggunakan jarak tanam sering disebut dengan penanaman dengan teknik gerombol (sistem cluster). Mengingat arus air sungai yang deras maka penanaman mangrove pada tapak berarus deras tepi sungai ini mutlak diperlukan ajir untuk mengikat tanaman agar tidak terbawa arus. Ajir bisa berupa bambu atau kayu. Bibit tanaman yang di tanam selanjutnya dengan menggunakan tali rafia diikat dengan ajir bambu atau kayu tersebut. Untuk menghindari hanyutnya media tanah yang terdapat dalam polibag

28 12 oleh arus sungai yang deras sebaiknya pada waktu penanaman polibag tidak perlu dibuka, cukup diperbanyak lobang-lobang akar pada polibagnya. Sketsa pola penanaman mangrove pada tapak berarus deras tepi sungai dapat dilihat pada Gambar 8. 0,5-1 m 0, m 0,5-1 m Gambar 8 Sketsa pola penanaman mangrove pada tapak berarus deras tepi sungai dengan pola zig-zag (untu walang). c. Tapak berlumpur dalam (Kusmana et al. 2009b) Tapak berlumpur dalam bisa terdapat pada areal penanaman mangrove tepi laut, tepi sungai atau bekas tambak. Pada tapak yang berlumpur dalam, sebaiknya digunakan bibit atau propagul R. mucronata. Seperti halnya pada tapak yang berombak besar, bibit atau propagul mangrove yang ditanam diikatkan pada tiang pancang. Alternatif lain bibit yang akan ditanam dimasukkan ke dalam bambu yang telah berisi media tanah. Jarak tanam yang dipakai sebaiknya jarak tanam rapat (maksimal 1 x 1 m). d. Tapak berbatu atau berkerikil (Kusmana et al. 2009b) Tapak berbatu atau berkerikil umumnya ditemukan pada areal penanaman mangrove di dekat terumbu karang atau di pantai-pantai terjal berdinding batu atau berkerikil. Prinsip penanaman mangrove pada tapak berbatu atau berkerikil ini adalah memindahkan batu atau berkerikil yang terdapat pada lobang tanam dengan media lumpur atau tanah. Teknik penanaman mangrove pada tapak berbatu/berkerikil dapat menggunakan teknik jarak tanam rapat atau tanpa menggunakan jarak tanam (penanaman bergerombol/cluster). Penanaman dengan jarak tanam dapat menggunakan bibit dengan lubang tanam yang besar dan diganti dengan lumpur. Penanaman dengan gerombol/cluster disesuaikan dengan sebaran dan ketebalan batu/kerikil yang ada. Dalam satu titik penanaman bisa ditanam lebih dari satu bibit mangrove. Jika arus/gelombang tidak besar tidak diperlukan ajir tanaman. Teknik penanaman gerombol/cluster pada tapak berbatu/berkerikil dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.

29 13 Gambar 9 Teknik penanaman mangrove pada tapak berbatu/berkerikil dengan cara gerombol (cluster). polybag Lubang tanam yang lebar dan dalam pasir Gambar 10 Teknik penanaman pada tapak berbatu/berkerikil dengan lubang besar dan diberi lumpur. e. Tapak tertimbun pasir pasca tsunami (Kusmana et al. 2009b) Tapak tertimbun pasir terjadi akibat gelombang laut yang besar atau tsunami. Pasca terjadinya tsunami selain menghancurkan berbagai sarana prasarana di tepi pantai juga sering menyisakan timbunan pasir yang luas dan tebal. Dalam rangka rehabilitasi dan penanaman mangrove di kawasan ini diperlukan usaha mengurangi timbunan pasir sebelum penanaman. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah mencoba menanam mangrove pada areal yang tertimbun pasir pasca tsunami di Aceh dengan cara menggunakan polybag berukuran besar, pembuatan parit, dan lubang tanam berukuran besar yang diisi dengan lumpur. Walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan anakan belum diperoleh, namun ada indikasi anakan mangrove dapat tumbuh secara baik dengan perlakuan tersebut.

30 14 Prinsip yang dipakai dalam penanaman mangrove pada tapak tertimbun pasir sama halnya dengan tapak berbatu berkerikil yaitu menggali, memindahkan dan mengganti pasir yang ada di lubang tanaman dengan lumpur. Bentuk-bentuk penanaman pada tapak yang tertimbun pasir dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Polibag berukuran besar pasir Gambar 11 Teknik penanaman mangrove pada tapak tertimbun pasir dengan mengganti lubang tanam dengan lumpur atau menggunakan polybag berukuran besar. bibit mangrove parit atau lubang yang diisi dengan lumpur m pasir Gambar 12 Teknik penanaman mangrove tertimbun pasir dengan cara penggalian parit-parit yang diisi lumpur. f. Tapak dengan air tergenang dalam dan diam (Kusmana et al. 2009b) Tapak tanaman mangrove pada air tergenang dalam dan diam (tidak berarus deras) umumnya terdapat pada kawasan hutan mangrove yang mengalami degradasi seperti bekas tambak, bekas galian atau bekas saluran. Kedalaman air bervariasi yang umumnya lebih dari 1.5 m sampai 3 m. Lokasi bekas galian tersebut dapat ditemukan di dekat pantai yang terkena pasang-surut harian atau jauh dari pantai yang tidak tidak terjangkau oleh pasang surut pantai sehingga tingkat salinitas air genangan bervariasi. Teknik rehabilitasi pada tapak dengan air tergenang dalam dan tidak berarus deras ini dengan menggunanakan sistem guludan bambu. Teknik guludan bambu ini dikembangkan oleh Kusmana et al. (2005a) untuk merehablitasi mangrove tergenang air dalam di sekitar Tol Sedyatmo, wilayah Jakarta Utara. Hasil penanaman mangrove dengan teknik guludan bambu tersebut berhasil

31 15 dengan baik. Selanjutnya teknik tersebut dikembangkan untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang tergenang air dalam di beberapa lokasi di Jakarta. Prinsip dasar yang digunakan dalam sistem guludan bambu tersebut adalah memperpendek genangan air sampai pada zona perakaran bibit mangrove. Guludan dibuat dari cerucuk bambu yang dipasang rapat seperti pagar berbentuk persegi panjang. Cerucuk bambu tersebut diikat dengan bambu penjepit di bagian atas dan bawah. Pagar cerucuk bambu tersebut selanjutnya diisi karung goni berisi tanah urugan. Tumpukan karung dalam cerucuk bambu dibuat sampai 20 cm di bawah permukaan air. Selanjutnya tumpukan karung tersebut ditimbun dengan tanah curah yang berisi lumpur sampai kira-kira 20 cm di atas permukaan air (Gambar 13). Setelah proses stabilitasi tanah dapat dilakukan pemasangan ajir dan penanaman bibit tanaman mangrove. Jarak tanam yang digunakan sebaiknya jarak tanam rapat kurang dari 1 x 1 m. Gambar 13 Struktur guludan (Kusmana 2010). Model Pertumbuhan Model adalah contoh sederhana yang mewakili atau menggambarkan suatu sistem yang nyata. Model itu sendiri dibangun dari hasil penelitian atau pengalaman yang berulang-ulang, sehingga tercipta suatu pengetahuan. Oleh karena itu, model memiliki peranan penting di dalam ilmu pengetahuan. Penyusunan model sangat penting dalam suatu penelitian, terutama untuk menghemat waktu dan biaya (Harja dan Rahayu 2010). Siswadi (1991) mengemukakan bahwa suatu model seringkali dikelompokkan antara lain berdasarkan (a) upaya memperolehnya, (b) keterkaitan pada waktu, atau (c) sifat keluarannya. Model yang berdasarkan upaya memperolehnya misalnya adalah: model teoritik, mekanistik, dan empirik. Model teoritik digunakan sebagai model yang diperoleh dengan menggunakan teori-teori yang berlaku. Model mekanistik digunakan bila model tersebut diperoleh berdasarkan mekanisme pembangkit fenomena. Model empirik digunakan bagi model yang diperoleh hanya dari pengamatan tanpa menjelaskan sama sekali tentang mekanismenya. Model yang didasarkan keterkaitannya pada waktu adalah model statik dan dinamik. Model statik adalah model yang tidak terkait dengan waktu, sedangkan model dinamik tergantung pada waktu. Bila perubahan dalam model dinamik terjadi atau diamati secara kontinyu dalam waktu, maka model

32 16 tersebut dikatakan sebagai model kontinyu, bila tidak, maka model tersebut dikatakan sebagai model diskret. Handoko (2005) mengelompokkan beberapa model sebagai berikut: 1. Model empirik dan mekanistik Model empirik dibuat berdasarkan pengamatan empirik/statistik, tanpa menjelaskan atau didasarkan atas proses terjadinya. Model mekanistik menjelaskan mekanisme proses terjadinya dalam suatu sistem. 2. Model deskriptif dan model numerik Model deskriptif menggambarkan bentuk-bentuk hubungan secara konsepsi atau berupa simbol-simbol tanpa mengandung bentuk hubungan numerik. Model numerik menggambarkan hubungan-hubungan dalam bentuk persamaan-persamaan matematik. 3. Model dinamik dan statik Model dinamik menjelaskan tentang unsur waktu sebagai peubah penting. Model statik tidak menjelaskan peubah-peubah yang ada sebagai fungsi waktu. 4. Model deterministik dan stokastik Model deterministik tidak memperhitungkan peluang terjadinya kesalahan hasil prediksi. Model stokastik merupakan suatu model dengan hasil prediksi yang mengandung toleransi yang dapat berupa simpangan yang secara statistik dapat digambarkan dengan ragam, simpangan baku, dan koefisien keragaman. Pertumbuhan tanaman merupakan sistem yang dinamik, sehingga model dinamik merupakan model yang sesuai terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut Davis dan Jhonson (1987) pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan dari jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) disebut pertumbuhan sekunder (secondary growth). Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar, dan tinggi telah terpenuhi (Davis dan Jhonson 1987). Menurut Sitompul dan Guritno (1995), model pertumbuhan biasanya berkenaan dengan hubungan diantara proses pertumbuhan (yang dinyatakan dalam produknya) dengan faktor pengendali utama produknya dalam bentuk persamaan. Kebanyakan model pertumbuhan pada masa lampau bersifat empiris yaitu fungsi kadang-kadang dipilih dengan melihat data begitu saja dan membuat suatu penaksiran karena tujuannya, biasanya hanya untuk mendapatkan suatu ringkasan matematik dari data mengenai pertumbuhan keseluruhan tanaman atau bagian tanaman, sehingga parameter model sering kurang atau tidak mempunyai arti biologi. Akan tetapi, usaha belakangan ini telah mencoba memilih fungsi yang logis secara biologi dengan parameter-parameter yang dapat menggambarkan sesuatu mekanisme fisiologi atau biokimiawi yang mendasari proses pertumbuhan. Bentuk pertumbuhan berubah menjadi asimptotis jika substrat pertumbuhan seperti fotosintat atau unsur hara menjadi terbatas atau menurun dengan adanya proses penuaan atau senesens. Pola pertumbuhan tegakan antara lain dinyatakan dalam bentuk kurva pertumbuhan yang merupakan hubungan fungsional antara sifat tertentu tegakan

33 17 antara lain volume, tinggi, bidang dasar, dan diameter dengan umur tegakan. Bentuk kurva pertumbuhan tegakan yang ideal akan mengikuti bentuk ideal bagi pertumbuhan organisme, yaitu bentuk sigmoid. Bentuk umum kurva pertumbuhan kumulatif tumbuh-tumbuhan akan memiliki tiga tahap, yaitu tahap pertumbuhan eksponensial, tahap pertumbuhan mendekati linear, dan pertumbuhan asimptotis (Davis dan Jhonson 1987). Menurut Fekedulegn et al. (1999), berbagai model pertumbuhan yang umumnya digunakan dalam bidang kehutanan tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Model pertumbuhan tanaman (Fekedulegn et al. 1999) Model Bentuk persamaan Sumber Negatif eksponensial f(t) = a(1-exp(-kt))+e Philip (1994) Monomolekular f(t) = a(1-b exp(-kt))+e Draper dan Smith (1981) Mitcherlich f(t) = (a-bk t )+e Philips dan Campbell (1968) Gompertz f(t) = a exp(-b exp(-kt))+e Draper dan Smith (1981) Logistik f(t) = a/(1+b exp(-kt))+e Nelder (1961); Oliver (1964) Chapman-Richards f(t) = a(1-b exp(-kt)) 1/(1-n) +e Draper dan Smith (1981) Von Bertalanffy f(t) = (a 1-n -b exp(-kt)) 1/(1-n) +e Bertalanffy (1957); Myers (1986) Richard s f(t) = a/(1+b exp(-kt)) 1/n +e Richard (1959); Myers (1986) Weibull f(t) = (a-b exp(-kt n ))+e Ratkowsky (1983); Myers (1986) Selain itu, berdasarkan Sitompul dan Guritno (1995), beberapa model untuk menggambarkan proses pertumbuhan hubungannya dengan umur tanaman adalah sebagai berikut: a. Eksponensial tikungan tajam Pengertian dasar yang perlu dipegang dalam pengembangan model eksponensial dengan tikungan tajam adalah bahwa proses pertumbuhan itu disamakan dengan mesin yang dapat menghasilkan suatu produk. Mesin pertumbuhan itu kemudian dalam tanaman diasumsikan proporsional dengan biomassa total tanaman. Kemudian mesin tersebut bekerja secara maksimal sepanjang substrat tersedia, dan pertumbuhan yang dihasilkan tidak dapat balik. Pertumbuhan dapat berhenti seketika setelah substrat dihabiskan (Gambar 14). Perkembangan kuantitatif tanaman yang digambarkan model ini sangat jarang dijumpai khususnya keadaan pertambahan ukuran tanaman yang berhenti tiba-tiba sebagaimana ditunjukkan oleh tikungan tajam pada model. Memang pada bagian awal liku, model dapat menstimulasi penampilan tanaman sesungguhnya yang umumnya mempunyai bentuk pola eksponensial. Ini berarti bahwa asumsi yang digunakan untuk menurunkan model tersebut hanya dapat mendekati sebagian proses pertumbuhan sesungguhnya. Asumsi tentang mesin pertumbuhan yang proporsional dengan biomassa total tanaman cukup realistis, karena

34 18 keseluruhan tubuh tanaman merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan bahan baru. Kekeliruan dalam penafsiran sifat sistem mungkin terletak pada asumsi kedua yaitu bahwa mesin tersebut bekerja secara maksimal sepanjang substrat tersedia. Karena kemampuan tanaman untuk menghasilkan biomassa per satuan biomassa sebelumnya, yang dapat digunakaan sebagai indikator aktivitas kerja mesin pertumbuhan, berubah seiring dengan waktu dan biasanya semakin rendah mendekati akhir fase pertumbuhan tanaman. Gambar 14 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model eksponensial tikungan tajam. b. Monomolekuler Model pertumbuhan monomolekuler dikembangkan dari peristiwa yang terjadi dalam reaksi kimia sederhana yaitu reaksi tingkat pertama yang tidak dapat balik. Dalam reaksi tingkat pertama, laju transformasi suatu substrat diasumsikan proporsional dengan konsentrasi substrat. Laju pertumbuhan nampak menurun secara terus-menerus dan tanpa titik belok (Gambar 15). Keadaan demikian tidak umum terjadi dalam pertumbuhan tanaman. Dengan demikian asumsi yang digunakan untuk mengembangkan model monomolekuler tidak bisa mendekati keadaan yang sesungguhnya. Tetapi bagian akhir pertumbuhan cukup tepat digambarkan oleh model tersebut yang berarti ada bagian (sifat) dari system yang tercakup dalam model. Suatu asumsi yang digunakan yang kelihatannya tidak begitu sesuai dengan sifat biologis tanaman adalah bahwa kuantitas mesin pertumbuhan diasumsikan tidak berubah (konstan). Kenyataannya jaringan fotosintesis, sebagai hasil karbohidrat, dan sel-sel yang aktif dalam metabolisme diluar proses fotosintesis, seperti yang terdapat dalam jaringan meristem, yang jelas merupakan komponen mesin pertumbuhan berubah

35 19 seiring dengan waktu. Akar yang tidak dapat diabaikan sebagai bagian dari mesin pertumbuhan dengan fungsinya untuk menyerap air dan unsur hara juga mengalami perubahan. Gambar 15 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model monomolekuler. c. Logistik Pada kedua persamaan sebelumnya, dua keadaan yang berbeda telah dianalisis. Pertama laju pertumbuhan tergantung pada kuantitas mesin pertumbuhan yang dipandang proporsional dengan berat kering tanaman. Kedua laju pertumbuhan tergantung pada tingkat substrat. Kedua model yang dihasilkan tidak dapat menggambarkan keseluruhan pertumbuhan tanaman, tetapi dapat meniru sebagian sistem tanaman yaitu secara berturut-turut bagian awal dan akhir. Persamaan pertumbuhan logistik diturunkan dengan asumsi gabungan yaitu kuantitas mesin pertumbuhan proporsional dengan berat kering yang bekerja pada suatu tingkat yang proporsional dengan jumlah substrat yang tersedia dan pertumbuhan tidak dapat balik. Adapun pola pertumbuhan tanaman yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 16.

36 20 Gambar 16 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model logistik. d. Gompertz Model pertumbuhan Gompertz diturunkan berdasarkan asumsi bahwa substrat pertumbuhan tidak terbatas, sehingga mesin pertumbuhan selalu dijenuhi oleh substrat. Kuantitas mesin pertumbuhan proporsional dengan berat kering tanaman dengan laju pertumbuhan spesifik sebagai konstanta perbandingan. Keefektifan mesin pertumbuhan merosot seiring dengan waktu (umur tanaman). Asumsi terakhir ini cukup logis karena degradasi aktivitas komponen metabolisme seperti enzim dan daun (penuaan) adalah peristiwa yang umum terjadi. Perbedaan dengan persamaan eksponensial tikungan tajam adalah adanya parameter laju pertumbuhan spesifik, yang sama dengan laju pertumbuhan relatif (LPR). Parameter pertumbuhan ini diasumsikan tidak konstan, keadaan yang sering terjadi pada kondisi alami atau semi-alami. Bentuk liku yang dihasilkan persamaan Gompertz nampak menyerupai bentuk liku yang dihasilkan persamaan logistik. Akan tetapi persamaan Gompertz menghasilkan liku dengan laju relatif cepat pada awal pertumbuhan dan lambat pada masa berikutnya dibandingkan dengan yang terjadi pada persamaan logistik. Kemudian liku tidak mempunyai masa konstan yang cukup lama pada bagian akhir pertumbuhan, sebagaimana umumnya terjadi pada kebanyakan tanaman, dan titik belok tidak terjadi pada pertengahan liku seperti pada persamaan logistik tetapi pada bagian akhir (Gambar 17). Sekalipun demikian, pola pertumbuhan tanaman yang mengikuti model Gompertz dapat terjadi, hanya asumsi tentang substrat pertumbuhan tidak terbatas yang digunakan untuk menurunkan persamaan tidak cukup logis pada kondisi alami.

37 21 Gambar 17 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model Gompertz. e. Model Richards Model yang dikembangkan oleh von Bertalanffy (1957) untuk menggambarkan pertumbuhan hewan diterapkan pertama oleh Richards (1959) untuk tanaman dan disebut model Richards. Model ini lebih bersifat empiris dengan kemampuan meliput keadaan pertumbuhan yang cukup luas yang kadang dapat menguntungkan. Karena sifat fleksibilitasnya, Carson (1974) mengandalkan model Richards untuk mendapatkan peluang paling baik menghasilkan deskripsi pertumbuhan yang dapat diterima. Adapun pola pertumbuhan tanaman yang dibentuk dapat dilihat pada Gambar 18.

38 22 Gambar 18 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model Ricards. f. Model Chanter Model Chanter merupakan suatu model pertumbuhan yang merupakan gabungan persamaan Logistik dan Gompertz dengan parameter-parameter yang mempunyai pengertian yang sama dan telah dikembangkan oleh Chanter (1976). Adapun pola pertumbuhan tanaman yang dibentuk dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Bentuk pola pertumbuhan tanaman dengan waktu yang digambarkan model Chanter. L = model logistik, G = model Gompertz

39 23 Penelitian Pertumbuhan Mangrove Terdapat beberapa penelitian yang mengkaji mengenai pertumbuhan mangrove khusunya untuk jenis A. marina dan R. mucronata diantaranya sebagai berikut: a. Burchett et al. (1984) Burchett et al. (1984) meneliti hubungan antara parameter pertumbuhan dan respirasi akar A. marina dengan berbagai tingkat salinitas (0%, 25%, 75%, dan 100% air laut). Pertumbuhan (biomassa dan luas permukaan daun) dan ratarata respirasi tertinggi didapatkan pada media 25% air laut, tingkat sukulensi daun tertinggi pada media 50% air laut, dan potensial osmotik daun tertinggi pada media 100% air laut. b. O Grady et al. (1996) O Grady et al. (1996) meneliti pertumbuhan dan distribusi dari dua jenis anakan mangrove (A. marina dan R. stylosa) di area pantai Darwin Harbour. Berdasarkan penelitian tersebut, anakan A. marina dan R. stylosa memiliki tingkat kerapatan dan pertumbuhan terbesar pada areal dengan kanopi yang terbuka. Secara umum anakan R. stylosa lebih tahan bila dibandingkan dengan A. marina. Rhizophora memiliki cadangan embrionik yang lebih besar dibandingkan Avicennia. Hal ini memungkinkan anakan Rhizophora dapat lebih bertahan di bawah naungan untuk periode yang lama dibandingkan dengan Avicennia. c. Devoe dan Cole (1998) Devoe dan Cole (1998) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan hutan mangrove di Federated States of Micronesia (FSM). Berdasarkan plot permanen yang telah dibangun selama 9 tahun di lokasi ini, didapatkan nilai riap rat-rata tahunan dari jenis R. apiculata sekitar 0.25 cm/th, Xylocarpus granatum sekitar 0.31 cm/th, R. mucronata sekitar 0.37 cm/th, B. gymnorrhiza sekitar 0.35 cm/th, dan S. alba sekitar 0.49 cm/th. Secara keseluruhan, riap volume rata-rata di area FSM ini mencapai 4.5 m 3 /(ha th). d. Komiyama et al. (1998) Komiyama et al. (1998) mengujicobakan penanaman R. apiculata dan R. mucronata dengan teknik stek propagul. Propagul masing-masing jenis dibagi menjadi tiga bagian yaitu bawah, tengah, dan atas. Berdasarkan penelitian tersebut, rata-rata tinggi batang dan diameter untuk jenis R. mucronata terbesar dihasilkan oleh potongan propagul bagian bawah, kemudian sedang untuk propagul bagian tengah, dan terkecil untuk propagul bagian atas. Pada jenis R. apiculata, rata-rata diameter yang dihasilkan memiliki kecenderungan yang sama dengan jenis R. mucronata, akan tetapi rata-rata tinggi batang tidak berbeda untuk ketiga bagian propagul yang digunakan. Setelah 38 bulan penanaman, rata-rata diameter untuk jenis R. apiculata dan R. mucronata secara berturut-turut dan kali rata-rata diameter anakan yang berasal dari propagul utuh, sedangkan untuk rata-rata tinggi dan kali.

40 24 e. Hutahean et al. (1999) Hutahean et al. (1999) melakukan studi kemampuan tumbuh anakan mangrove jenis R. mucronata, B. gymnorrhiza, dan A. marina pada berbagai tingkat salinitas ( ppt, ppt, ppt, dan ppt) menggunakan bibit berumur 1 tahun. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, secara umum respon pertumbuhan terbaik diperoleh pada salinitas yang semakin rendah. Setelah 3 bulan pengamatan, didapatkan pertumbuhan tinggi untuk setiap jenis dan tingkat salinitas seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji Duncan respon pertumbuhan tinggi anakan pada berbagai tingkat salinitas (Hutahean et al. 1999) Jenis Salinitas (ppt) Tinggi rata-rata (cm) Duncan grouping B. gymnorrhiza A* A. marina B A. marina , BC B. gymnorrhiza BCD B. gymnorrhiza BCDE A. marina CDE R. mucronata CDE R. mucronata DE A. marina DE R. mucronata DE R. mucronata DE B. gymnorrhiza E Keterangan: * = respon paling baik f. Rasool dan Saifullah (2005) Pada penelitiannya, Rasool dan Saifullah (2005) mensimulasikan teknik penanaman mangrove dengan pembuatan alur dan mengaplikasikan bentuk V pada dasar alur sebagai pencegahan terhadap genangan juga tumbuhnya tritip. Penelitian dilakukan di sepanjang garis pantai Balochistan, Miani Hor, Pakistan dengan kondisi lahan datar dan berlumpur. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan rata-rata pertumbuhan tinggi A. marina selama 6 bulan pengamatan yaitu sekitar ± 2.0 cm lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan teknik penanaman konvensional oleh Rasool et al. (2002) dengan menggunakan sumber anakan berupa cabutan yaitu ± 7.40 cm dan Rasool dan Saifullah (2002) dengan menggunakan sumber anakan dari persemaian yaitu 26,87 ± 2,61 cm. g. Thampanya (2006) Pada sebagian disertasinya, Thampanya (2006) meneliti hubungan antara umur dengan diameter dan tinggi jenis anakan mangrove R. mucronata dan A. marina sampai dengan umur 20 tahun. Thampanya (2006) menggunakan persamaan regresi linear dalam penelitiannya. Adapun persamaan yang didapatkan untuk menduga tinggi untuk jenis R. mucronata dan A. marina secara berturut-turut adalah y = x dan y = x, sedangkan untuk diameter y = x dan y = x (y = umur (th), x = tinggi (m) atau DBH (cm)).

41 25 h. Jumiati (2008) Jumiati (2008) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan R. mucronata dan R. apiculata di kawasan yang terpolusi oleh minyak di kawasan tambang minyak dan gas PT Medco E & P di kecamatan Tarakan Timur. Pengukuran dilakukan dengan interval 2 minggu selama 4 bulan pengamatan pada tiga zona berbeda yaitu zona darat, tengah, dan laut. Anakan yang digunakan dalam penelitian ini berupa propagul dan bibit. Adapun pertambahan tinggi rata-rata semai R. mucronata dan R. apiculata yang didapatkan tertera pada Tabel 3. Tabel 3 Pertambahan tinggi rata-rata semai (cm) R. mucronata (Rm) dan R. apiculata (Ra) pada zona darat, tengah, dan laut di tapak Medco E&P Parameter Riap tinggi rata-rata (cm/2 minggu) R. mucronata R. apiculata Bibit Propagul Bibit Propagul D T L D T L D T L D T L Pertambahan tinggi (cm) Keterangan: D = zona darat, T = zona tengah, L = zona laut i. Kairo et al. (2008) Kairo et al. (2008) melakukan penelitian mengenai struktur dan produktivitas dari hutan tanaman R. mucronata berumur 12 tahun di Gazi Bay, Kenya. Berdasarkan hasil penelitiannya didapatkan bahwa rata-rata tinggi kanopi dari R. mucronata berumur 12 tahun yaitu 8.4 ± 1.1 m dengan rata-rata diameter 6.2 ± 1.87 cm. Biomassanya diperkirakan mencapai ± 24.0 ton/ha dengan akumulasi biomassa rata-rata 8.9 ton/(ha th). k. Halidah (2010) Halidah (2010) meneliti tentang pengaruh tinggi genangan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan anakan R. mucronata di pantai barat Sulawesi Selatan. Berdasarkan penelitian tersebut, perlakuan tinggi genangan belum menunjukkan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, sedangkan jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Jarak tanam 0.5 m x 0.5 m, 1 m x 1 m, 1 m x 2 m, dan 2 m x 1.5 m memberikan rata-rata tinggi R. mucronata berumur 6 bulan secara berturut-turut yaitu 1.56 cm, 2.22 cm, 1.77 cm, dan 5.74 cm. l. Syah (2011) Syah (2011) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan tanaman bakau (R. mucronata) pada lahan restorasi di hutan lindung Angke Kapuk provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan penelitian tersebut, pada umur 3 bulan, rata-rata tinggi R. mucronata berkisar antara cm, sedangkan rata-rata diameter berkisar antara cm. Pada umur 6 bulan, rata-rata tinggi berkisar antara cm, sedangkan rata-rata diameter berkisar antara cm. Pada umur 12 bulan, rata-rata tinggi dan diameter berturut-turut berkisar antara cm dan cm. Sedangkan pada umur 16 bulan, rata-rata tinggi dan diameter berturut-turut berkisar antara cm dan cm.

42 3 METODE Waktu dan Tempat Pengambilan data membutuhkan waktu sekitar 3 tahun dari mulai Oktober 2008 sampai dengan Oktober 2011 di kawasan Arboretum Mangrove Angke Kapuk, yang berada di pinggir jalan tol Sedyatmo-Bandara Internasional Soekarno Hatta pada KM 22 sampai dengan KM 23, provinsi DKI Jakarta (06 o LS dan 106 o BT) (Gambar 20). Kawasan ini memiliki kedalaman air sekitar 2-3 m dengan tingkat salinitas ppt dan ph (Kusmana 2010). Bahan dan Alat Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya anakan A. marina dan R. mucronata, meteran, caliper, alat tulis, dan seperangkat komputer. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini berupa diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata pada berbagai perlakuan jarak tanam. Rancangan Sampling Penelitian yang dilakukan berupa pengukuran diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata untuk setiap jarak tanam sampai dengan umur tanam 36 bulan, yang mana umur A. marina dan R. mucronata pada saat penanaman berturut-turut adalah 3 bulan dan 6 bulan. Adapun intensitas sampling yang digunakan tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Intensitas sampling yang digunakan dalam penelitian Guludan Jumlah anakan Intensitas sampling (ind) (%) 0.25 x 0.25 m x 0.5 m x 1 m Total Jumlah sampel (ind) Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut: 1. Tahapan persiapan Pada tahapan ini dipersiapkan bahan-bahan dan peralatan untuk pengukuran diameter batang dan tinggi anakan mangrove serta dilakukan pengecekan terhadap nomor semua anakan mangrove yang dijadikan sampel pengukuran diameter batang dan tinggi anakan pada periode waktu sebelumnya (pada awal penanaman telah dilakukan pengacakan, penomoran, dan pemetaan untuk setiap pohon contoh).

43 Lokasi Penelitian Gambar 20 Lokasi penelitian (Kusmana 2010) 27

44 28 2. Pengukuran tinggi anakan dan diameter batang Diameter batang diukur pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah, sedangkan tinggi anakan diukur dari batas pengukuran diameter batang sampai dengan ujung pusat tumbuh (dilakukan penandaan sejak awal penanaman). Diameter batang dan tinggi anakan mangrove diukur langsung menggunakan caliper dan meteran atau galah pengukur tinggi anakan. Pengamatan tersebut dilakukan setiap 4 bulan selama periode pengamatan. Prosedur Analisis Data Penyusunan Model Pertumbuhan Model yang akan disusun merupakan pendugaan untuk setiap peubah pertumbuhan tinggi anakan dan diameter batang. Model yang diujicobakan menggunakan satu peubah bebas yaitu umur dalam bentuk nonlinier. Penyusunan model menggunakan analisis regresi nonlinier dengan menggunakan software R. Adapun model-model yang digunakan tertera pada Tabel 5. Khusus untuk pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata, setelah dilihat sebaran data yang dihasilkan (Lampiran 1), maka digunakan bentuk model berbeda untuk diujikan. Adapun bentuk model yang dimaksud tertera pada Tabel 6. Tabel 5 Model yang dibandingkan untuk menggambarkan pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan diameter batang R. mucronata Model Persamaan Sumber Gompertz Yt = a exp(-b exp(-ct)) Draper dan Smith (1981); Fekedulegn et al. (1999); Lei dan Zhang (2004); Narinc et al. (2010); Gurcan et al. (2012) Logistik Yt = a/(1+ b exp(-ct)) Nelder (1961); Oliver (1964); Fekedulegn et al. (1999); Lei dan Zhang (2004); Narinc et al. (2010); Gurcan et al. (2012) Richards Yt = a/(1+ exp(-bt)) 1/c Richard (1959); Myers (1986); Fekedulegn et al. (1999); Narinc et al. (2010) Keterangan: Yt = diameter batang (cm)/tinggi anakan (m) pada umur ke-t a, b, c = parameter model

45 29 Tabel 6 Model yang dibandingkan untuk menggambarkan pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata Model Persamaan Sumber Power Yt = at b Sit dan Costello (1994) Eksponensial Yt = a exp (bt) Sit dan Costello (1994) Polinomial Yt = a(t-b) 2 + c Sit dan Costello (1994) Invers Polinomial Yt = t/(a+bt) Sit dan Costello (1994) Keterangan: Yt = tinggi anakan (m) pada umur ke-t a, b, c = parameter model Pemilihan Model Terbaik Untuk memilih model pertumbuhan terbaik diguanakan kriteria pemilihan model sebagai berikut: 1. Uji Keberartian Model Untuk mengiuji keberartian model digunakan uji t untuk melihat ada tidaknya signifikansi pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas. 2. Akaike Information Criteria (AIC) Akaike Information Criteria (AIC) merupakan ukuran relatif baiknya suatu model statistik. Kriteria ini dikembangkan oleh Hirotsugu Akaike dan pertama kali dipublikasikan oleh Akaike pada tahun Kriteria ini menggambarkan hubungan antara bias dan simpangan baku dalam penyusunan model, atau dengan kata lain menggambarkan hubungan antara tingkat ketelitian dan kompleksitas dari sebuah model. Adapun penentuan nilai AIC dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Liddle 2008): keterangan: L max = nilai maksimum dari fungsi kemungkinan yang dapat dicapai oleh model p = jumlah parameter 3. Bayesian Information Criteria (BIC) Kriteria lain yang merupakan ukuran relatif baiknya suatu model statistik adalah Bayesian Information Criteria (BIC). BIC diperkenalkan oleh Gideon E. Schwarz pada tahun Kriteria ini hampir sama dengan AIC. Penentuan nilai BIC dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Liddle 2008): keterangan: L max = nilai maksimum dari fungsi kemungkinan yang dapat dicapai oleh model p = jumlah parameter n = jumlah pengamatan 4. Root Mean Square Error (RMSE)/Simpangan Baku (S) Simpangan baku adalah ukuran besarnya penyimpangan nilai dugaan terhadap nilai sebenarnya. Semakin kecil nilai simpangan, maka penduga tersebut

46 30 akan semakin tinggi ketepatannya. Semakin sempit sebaran simpangan maka akan semakin tinggi ketelitiannya dan semakin kecil kesalahan sistematiknya, maka penduga tersebut semakin tidak bias. Nilai simpangan baku ditentukan dengan rumus (Salvatore dan Reagle 2001): keterangan: s = simpangan baku (n-p) = derajat bebas sisa Y a = nilai diameter batang/tinggi anakan sesungguhnya = nilai diameter batang/tinggi anakan dugaan Y i 5. Uji Kesesuaian Model Untuk melihat kesesuaian model terhadap data, digunakan koefisien determinasi (R 2 ) dan koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj ). R 2 adalah perbandingan antara jumlah kuadrat regresi (JKR) dengan jumlah kuadrat total (JKT) dan biasanya R 2 dinyatakan dalam persen (%). Nilai R 2 ini mencerminkan seberapa besar keragaman peubah tak bebas Y dapat dijelaskan oleh suatu peubah bebas X. Nilai R 2 berkisar antar 0% sampai 100%. Makin besar R 2 akan makin besar total keragaman yang dapat diterangkan oleh regresinya (semakin tinggi keragaman peubah tak bebas Y dapat dijelaskan oleh peubah bebas X), berarti bahwa regresi yang diperoleh makin baik. Perhitungan nilai R 2 adalah untuk melihat tingkat ketelitian dan keeratan hubungan antara peubah bebas dan tidak bebas. Koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj ) adalah koefisien determinasi yang telah dikoreksi oleh derajat bebas dari JKS dan JKT nya. Adapun perhitungan besarnya nilai R 2 dan R 2 terkoreksi dapat dilakukan dengan rumus (Narinc et al. 2010): keterangan: JKS = Jumlah Kuadrat Sisa (n-p) = dbs = derajat bebas sisaan JKT = Jumlah Kuadrat Total (n-l) = dbt = derajat bebas total 6. Verifikasi Asumsi Model Salah satu asumsi model regresi adalah ragam sisaan yang konstan (homokedastisitas). Asumsi tersebut diverifikasi dengan membuat grafik hubungan antara nilai dugaan sebagai absis dan sisaan sebagai ordinat. Model terbaik dipilih dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 1. Nilai p-value < Nilai AIC, BIC, dan simpangan baku (RMSE) paling kecil 3. Nilai R 2 dan R 2 terkoreksi (R 2 adj) paling besar 4. Sisaan menyebar acak dan tidak membentuk pola tertentu (homokedastisitas).

47 31 Penyusunan Model Riap (MAI dan CAI) Berdasarkan model yang telah terpilih, maka disusun persamaan matematis untuk menduga besaran MAI (Mean Annual Increment) dan CAI (Current Annual Increment). MAI merupakan hasil rata-rata dari model pertumbuhan diameter batang atau tinggi anakan per satuan waktu (f(y)/t), sedangkan CAI merupakan hasil diferensiasi/turunan pertama dari model pertumbuhan diameter batang atau tinggi anakan (dy/dt).

48 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Model Pertumbuhan A. marina Berdasarkan hasil pengolahan dari keseluruhan data yang didapatkan selama 36 bulan (Lampiran 2 dan 3), model persamaan logistik paling sesuai untuk ketiga perlakuan jarak tanam bagi pertumbuhan diameter batang A. marina dibandingkan kedua model lainnya (Richard s dan Gompertz) (Tabel 7). Hal ini dapat dilihat dari nilai ketujuh kriteria yang diperbandingkan yaitu p-value, AIC, BIC, RMSE, R 2, R 2 adj, serta terpenuhi atau tidaknya kondisi homokedastisitas dari model yang dihasilkan. Tabel 7 Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan diameter batang A. marina pada jarak tanam yang berbeda Jarak Tanam 0.25 x 0.25 m 0.5 x 0.5 m 1 x 1 m Persamaan Koefisien p-value AIC BIC RMSE R 2 R 2 adj Homokedastisitas Logistik Richard s Gompertz Logistik Richard s Gompertz Logistik Richard s Gompertz a = < b = < c = < a = b = c = < a = b = < c = a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = b = < c = < a = < b = < c = < a = b = < c = < a = b = < c = < Terpenuhi Tidak Tidak ,871 0,870 Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Model pertumbuhan logistik memberikan nilai p-value terkecil untuk ketiga perlakuan jarak tanam yaitu < yang berarti koefisien yang diujikan pada model berpengaruh sangat nyata terhadap estimasi pertumbuhan diameter batang yang dihasilkan. Selain itu, model logistik mempunyai nilai AIC dan BIC terkecil untuk setiap perlakuan jarak tanam secara berturut-turut untuk jarak tanam 0.25 m x 0.25 m yaitu dan ; kemudian untuk jarak tanam 0.5 x 0.5 m yaitu dan 61.83; begitupun untuk jarak tanam 1 x 1 m yaitu dan Nilai kesalahan (RMSE) yang dihasilkan juga paling kecil untuk jarak tanam 0.5 dan 1 m yaitu 0.50 bila dibandingkan dengan persamaan lain yang berkisar antara Nilai R 2 dan R 2 adj yang dihasilkan juga cukup tinggi

49 Diameter (cm) 33 (lebih dari 70%) yang berarti bahwa 70% dari variasi diameter batang anakan A. marina dapat dijelaskan dengan baik oleh umur tanaman melalui model logistik yang dihasilkan. Kedua kriteria tersebut memiliki nilai paling tinggi pada model pertumbuhan logistik untuk masing-masing jarak tanam. Selain itu, dari ketiga model yang dibandingkan untuk pertumbuhan diameter batang A. marina, hanya model persamaan logistik yang memenuhi syarat homokedastisitas pada ketiga perlakuan jarak tanam. Persamaan Richard s dan Gompertz tidak memenuhi kaidah homokedastisitas untuk jarak tanam 0.25 x 0.25 m. Adapun kurva pertumbuhan yang dihasilkan dari model terpilih untuk ketiga jarak tanam dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 menunjukkan bahwa pada awal penanaman (umur 0.25 tahun) sampai dengan umur 0.75 tahun, A. marina dengan perlakuan jarak tanam 0.25 x 0.25 m memiliki ukuran diameter batang paling besar bila dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang lain. Akan tetapi antara umur 0.75 sampai dengan 2 tahun, jarak tanam 1 x 1 m memiliki ukuran diameter batang paling besar sedangkan jarak tanam 0.25 m justru merupakan kondisi pertumbuhan dengan diameter batang terkecil. Kemudian ukuran diameter batang hampir seragam sampai dengan umur 2.3 tahun, dan di akhir pengamatan setelah tanaman mencapai umur 3.25 tahun jarak tanam 1 x 1 m menghasilkan tanaman dengan diameter batang terbesar Umur (tahun) Gambar 21 Model pertumbuhan diameter batang A. marina (cm) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda. ( ) diameter model jarak tanam 1 x 1 m, ( ) diameter model jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( ) diameter model jarak tanam 0.25 x 0.25 m, ( x ) diameter aktual jarak tanam 1 x 1 m, ( * ) diameter aktual jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( + ) diameter aktual jarak tanam 0.25 x 0.25 m.

50 34 Berdasarkan hasil pengujian model pertumbuhan untuk tinggi anakan A. marina (Tabel 8), persamaan logistik juga merupakan model yang paling sesuai. Pada jarak tanam 0.25 x 0.25 m, persamaan logistik memenuhi kaidah homokedastisitas serta memiliki niali p-value (<0.0001), AIC (136.68), BIC (154.06), dan RMSE (0.46) terendah dengan nilai R 2 dan R 2 adj tertinggi yaitu 84.2% dan 84.1%. Hal ini senada dengan perlakuan jarak tanam 0.5 x 0.5 m yang mana nilai AIC (86.89), BIC (101.81), RMSE (0.48), R 2 (88.8%), dan R 2 adj (88.7%). Pada jarak tanam 1 x 1 m, model persamaan Richard s memiliki nilai RMSE (0.44), R 2 (89.6%), dan R 2 adj (89.4%) yang paling baik, akan tetapi untuk indikator AIC dan BIC, model persamaan Logistik memiliki nilai yang lebih rendah yaitu dan dibandingkan dengan persamaan Richard s dan Pada kasus ini, model persamaan logistik yang dipilih dikarenakan selisih yang tidak terlalu besar untuk indikator RMSE (0.01), R 2 (3%), dan R 2 adj (4%) bila dibandingkan selisih dari indikator AIC (37.03) dan BIC (34.66). Indikator AIC dan BIC yang lebih diutamakan dalam pemilihan model selama nilai yang dihasilkan oleh R 2 dan R 2 adj tinggi dan tidak jauh berbeda sehingga variasi tinggi anakan masih dapat dijelaskan dengan baik oleh umur tanaman melalui model yang dihasilkan. Tabel 8 Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan tinggi anakan A. marina pada jarak tanam yang berbeda Jarak Tanam 0.25 x 0.25 m 0.5 x 0.5 m 1 x 1 m Persamaan Koefisien p-value AIC BIC RMSE R 2 R 2 adj Homokedastisitas Logistik Richard s Gompertz Logistik Richard s Gompertz Logistik Richard s Gompertz a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = b = < c = < a = < b = < c = < a = b = < c = < a = b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Perbandingan ketiga kurva pertumbuhan tinggi anakan A. marina berdasarkan model yang terpilih (Gambar 22), menunjukkan bahwa jarak tanam 0.25 x 0.25 m sejak awal penanaman terus mengalami penambahan dimensi tinggi anakan yang cukup besar ditandai dengan curamnya kurva yang dibentuk dan

51 Tinggi (m) 35 mulai berkurang pertambahan tinggi anakan pada usia sekitar 2.25 tahun. Anakan A. marina pada jarak tanam 0.25 x 0.25 m memiliki ukuran tinggi anakan paling tinggi kemudian disusul dengan jarak tanam 0.5 x 0.5 m dan terendah pada jarak tanam 1 x 1 m dari awal penanaman hingga kisaran umur 2.5 tahun. Setelah itu, jarak tanam 0.5 x 0.5 m menjadi anakan dengan pertumbuhan tinggi anakan yang paling baik dari mulai umur 2.5 tahun hingga pengamatan terakhir yaitu pada umur 3.25 tahun. Perlakuan jarak tanam 1 x 1 m sejak pertumbuhan awal penanaman secara konstan memiliki rata-rata tinggi anakan paling rendah Umur (tahun) Gambar 22 Model pertumbuhan tinggi anakan A. marina (m) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda. ( ) tinggi model jarak tanam 1 x 1 m, ( ) tinggi model jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( ) tinggi model jarak tanam 0.25 x 0.25 m, ( x ) tinggi aktual jarak tanam 1 x 1 m, ( * ) tinggi aktual jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( + ) tinggi aktual jarak tanam 0.25 x 0.25 m. Model Pertumbuhan R. mucronata Hasil pengolahan dan analisis data diameter batang R. mucronata pada berbagai perlakuan jarak tanam (Tabel 9) menunjukkan bahwa ketiga model yang diujikan memenuhi kaidah homokedastisitas juga memiliki nilai p-value yang seragam yaitu < yang berarti semuanya berpengaruh nyata. Pada jarak tanam 0.25 m x 0.25 m, persamaan logistik merupakan model yang terbaik untuk digunakan. Hal ini berdasarkan nilai indikator yang dihasilkan yaitu AIC (85.28), BIC (102.68), dan RMSE (0.30) lebih kecil bila dibandingkan dengan kedua model lainnya. Nilai R 2 (89.1%) dan R 2 adj (89%) pun lebih tinggi daripada yang lainnya. Pada jarak tanam 0,5 x 0,5 m, model persamaan Richard s memiliki nilai RMSE (0.23), R 2 (93.2%) dan R 2 adj (93.1%) terbaik, akan tetapi kriteria nilai AIC dan BIC terbaik pada jarak tanam tersebut yaitu pada persamaan logistik (56.24 dan 70.62). Bila dilihat dari nilai R 2 (89.8%) dan R 2 adj (93.1%) yang cukup besar juga nilai RMSE (0.31) yang tidak jauh berbeda dengan persamaan Richard s, variasi diameter batang anakan masih dapat dijelaskan dengan baik oleh umur tanaman melalui persamaan logistik. Oleh karena itu, persamaan yang dipilih

52 36 untuk mewakili model pertumbuhan diameter batang R. mucronata pada jarak tanam 0.5 x 0.5 m ini adalah persamaan logistik. Hal ini berlaku juga untuk jarak tanam 1 m x 1 m. Selisih nilai R 2 dan R 2 adjnya tidak terlalu besar antara persamaan Gompertz (94.9% dan 94.8%) dengan persamaan logistik (91.2% dan 90.0%), maka persamaan logistik yang dipilih untuk model pertumbuhan diameter batang R. mucronata pada jarak tanam ini. Tabel 9 Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan diameter batang R. mucronata pada jarak tanam yang berbeda Jarak Tanam 0.25 x 0.25 m 0.5 x 0.5 m 1 x 1 m Persamaan Koefisien p-value AIC BIC RMSE R 2 R 2 adj Homokedastisitas Logistik Richard s Gompertz Logistik Richard s Gompertz Logistik Richard s Gompertz a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < a = < b = < c = < Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Berdasarkan hasil visualisasi perbandingan dari model yang terpilih untuk masing-masing jarak tanam (Gambar 23), pada awal pertumbuhan sampai dengan umur 2 tahun, anakan R. mucronata yang mendapatkan perlakuan jarak tanam 0.25 x 0.25 m memiliki ukuran diameter batang terbesar bila dibandingkan dengan jarak tanam lain. Pada rentang umur ini, jarak tanam 0.5 x 0.5 m dan 1 x 1 m memberikan hasil pertumbuhan anakan yang hampir sama. Setelah umur 2 tahun, jarak tanam 1 x 1 m yang menghasilkan pertumbuhan diameter batang yang lebih baik, disusul 0.5 x 0.5 m kemudian 0.25 x 0.25 m.

53 Diameter (cm) Umur (tahun) Gambar 23 Model pertumbuhan diameter batang R. mucronata (cm) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda. ( ) diameter model jarak tanam 1 x 1 m, ( ) diameter model jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( ) diameter model jarak tanam 0.25 x 0.25 m, ( x ) diameter aktual jarak tanam 1 x 1 m, ( * ) diameter aktual jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( + ) diameter aktual jarak tanam 0.25 x 0.25 m. Pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata diuji dengan menggunakan model yang berbeda dengan model-model sebelumnya. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari sebaran data yang dihasilkan (Lampiran 1), pertumbuhan yang dibentuk masih dalam tahap yang konsisten naik belum menggambarkan pola pertumbuhan ideal yang berupa kurva sigmoid. Adapun model yang diujikan berupa model persamaan power, eksponensial, polinomial, dan invers polinomial (Tabel 10). Tabel 8 menunjukkan bahwa persamaan eksponensial pada pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata jarak tanam 0.25 x 0.25 m memiliki nilai RMSE terendah (0.30) serta R 2 (76.7%) dan R 2 adj (76.6%) tertinggi. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan persamaan polinomial yang mana nilai RMSE, R 2, dan R 2 adj secara berturut-turut yaitu sebesar 0.31, 76%, dan 75.8%. Berdasarkan indikator AIC dan BIC, maka diputuskan model yang dipilih untuk pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata jarak tanam 0.25 x 0.25 m adalah model persamaan polinomial. Persamaan polinomial memiliki nilai AIC (-54.30) dan BIC (-36.90) yang lebih kecil bila dibandingkan dengan persamaan eksponensial ( dan ). Berdasarkan ketujuh kriteria yang dibandingkan, persamaan model polinomial juga merupakan model terbaik yang dipilih dalam pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata jarak tanam 0.5 x 0.5 m dan 1 x 1 m.

54 38 Tabel 10 Hasil perbandingan tujuh indikator pemilihan model terbaik untuk menduga pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata pada jarak tanam yang berbeda Jarak Tanam 0.25 x 0.25 m 0.5 x 0.5 m 1 x 1 m Persamaan Koefisien p-value AIC BIC RMSE R 2 R 2 adj Homokedastisitas Power Eksponensial Polinomial Invers Polinomial Power Eksponensial Polinomial Invers Polinomial Power Eksponensial Polinomial Invers Polinomial a = < b = < a = < b = < a = < b = c = < a = < b = < a = < b = < a = < b = < a = < b = < c = < a = < b = < a = < b = < a = < b = < a = < b = < c = < a = < b = < Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Tidak Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Tidak Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi Tidak Hasil perbandingan dari ketiga persamaan model yang terpilih (Gambar 24) menunjukkan bahwa jarak tanam 0.25 x 0.25 m merupakan perlakuan yang paling optimal dalam menghasilkan pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata. Pada umur satu tahun pertama, tinggi anakan relatif sama untuk semua jarak tanam, setelah itu jarak tanam 0.25 x 0.25 m memperlihatkan pertumbuhan tinggi anakan yang tertinggi disusul oleh jarak tanam 0.5 x 0.5 m kemudian jarak tanam 1 x 1 m dengan ukuran tinggi anakan terendah. Berdasarkan keseluruhan model pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan yang didapatkan baik untuk jenis A. marina maupun R. mucronata, maka dapat disusun model persamaan riap (MAI dan CAI). Adapun persamaan model yang dihasilkan tertera pada Tabel 11.

55 Tinggi (m) Umur (tahun) Gambar 24 Model pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata (m) berdasarkan waktu pada jarak tanam yang berbeda. ( ) tinggi model jarak tanam 1 x 1 m, ( ) tinggi model jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( ) tinggi model jarak tanam 0.25 x 0.25 m, ( x ) tinggi aktual jarak tanam 1 x 1 m, ( * ) tinggi aktual jarak tanam 0.5 x 0.5 m, ( + ) tinggi aktual jarak tanam 0.25 x 0.25 m.

56 40 Tabel 11 Model penduga CAI dan MAI diameter batang dan tinggi anakan A. marina dan R. mucronata pada jarak tanam yang berbeda Jenis Parameter Jarak Tanam Model Pertumbuhan Model MAI Model CAI A. marina R. mucronata Diameter batang Tinggi anakan Diameter batang Tinggi anakan 0.25 x 0.25 m 0.5 x 0.5 m 1 x 1 m e Y t e Y t e Y t x 0.25 m Y t e 0.5 x 0.5 m e 1 x 1 m Y t e 0.25 x 0.25 m 0.5 x 0.5 m 1 x 1 m Y t Y t e e Y t e Y t x 0.25 m Y t x 0.5 m Y t x 1 m Y t t e Y t Y t t e Y t t e Y t t e Y t t e Y t t e Y t t e Y t t e t e Y t Y Y Y Y Y Y Y Y Y e 0.919t 0.919t e e 1.220t 1.220t e e 1.189t 1.189t e e 1.142t 1.142t e e 1.171t 1.171t e e 1.045t 1.045t e e 2.793t 2.793t e e 2.474t 2.474t e e 2.461t 2.461t e t Y t Y t t Y t Y t t Y t Y t 0.737

57 41 Pembahasan Pada sistem penanaman guludan yang dilakukan di area tambak Arboretum kawasan ekowisata mangrove milik Dinas Pertanian dan Kelautan DKI Jakarta, pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan A. marina serta diameter batang R. mucronata selama 36 bulan penanaman untuk setiap perlakuan jarak tanam membentuk pola persamaan logistik, sedangkan untuk pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata membentuk pola persamaan polinomial. Secara umum, sejak awal penanaman perlakuan jarak tanam 0.25 x 0.25 m menunjukkan performa pertumbuhan yang paling optimal baik untuk pertumbuhan diameter batang maupun tinggi anakan pada kedua jenis anakan yang digunakan (A. marina dan R. mucronata). Hal ini kemungkinan besar dikarenakan adanya pengaruh cahaya. Ukuran anakan yang masih kecil menyebabkan semua permukaan daun mendapatkan pencahayaan penuh dikarenakan tidak ada bagian daun yang ternaungi terutama pada jarak tanam lebar. Bjorkman et al. (1988) diacu dalam Wilson (2009) menemukan bahwa sejumlah spesies mangrove di Australia memiliki rata-rata penangkapan CO 2 yang rendah pada kondisi pencahayaan penuh sebagai akibat dari menurunnya efisiensi fotosintesis untuk menghilangkan kelebihan energi. Di lain pihak, daun yang ternaungi memiliki karakteristik fotosintesis yang normal. Okimoto et al. (2007) juga telah menemukan bahwa rata-rata pertukaran CO 2 fotosintetik paling tinggi berada pada daun di kanopi yang lebih rendah. Cahaya memang diperlukan untuk proses fotosintesis, akan tetapi jumlah yang berlebihan ternyata menyebabkan menurunnya rata-rata penangkapan CO 2 yang merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan untuk fotosintesis, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang kurang optimal. Selain mengurangi penerimaan cahaya yang terlalu tinggi, jarak tanam yang lebih rapat juga dapat mengurangi sengatan panas yang diterima oleh tanaman sehingga proses penguapan dapat dikurangi dan secara tidak langsung mengurangi kebutuhan akan air. Hal ini berdampak pada berkurangnya energi yang dibutuhkan untuk sekresi/translokasi garam yang ada pada sel tanaman yang masuk bersamaan dengan proses penyerapan air. Selain itu, pada kondisi awal penanaman, tanaman masih dalam proses adaptasi sehingga akar belum bisa melakukan fungsinya secara optimal. Krauss et al. (2008) juga menyebutkan bahwa ketika penerimaan cahaya meningkat, terlebih pada kondisi nutrisi yang terbatas, tanaman akan mengalokasikan pertumbuhannya pada akar dibandingkan daun, untuk memenuhi permintaan kebutuhan air dan nutrisi. Pada pertumbuhan diameter batang, baik R. mucronata maupun A. marina, terutama diameter batang R. mucronata, seiring dengan bertambahnya umur tanaman, jarak tanam 1 x 1 m mulai menunjukkan tingkat perlakuan yang menghasilkan pertumbuhan terbesar. Jarak tanam 0.25 x 0.25 m justru menampilkan pertumbuhan diameter batang terkecil. Hal ini menggambarkan sudah mulai terjadinya persaingan dalam memperoleh nutrisi. Jarak tanam yang rapat mengakibatkan persaingan nutrisi yang lebih besar dibandingan dengan jarak tanam yang lebih jarang. Menurut Krauss et al. (2008), hampir seluruh jenis tanaman mangrove memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap ketersediaan nutrisi. Berdasarkan hasil penelitian O Grady et al. (1996), kerapatan dan pertumbuhan A. marina lebih tinggi pada area kanopi yang terbuka. Kompetisi

58 42 nutrisi, cahaya, dan jarak tanam merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi Avicennia. Akan tetapi, kecenderungan pertumbuhan diameter batang yang semakin besar seiring dengan semakin lebarnya jarak tanam tidak terjadi pada hasil penelitian Halidah (2010). Pada penelitian ini, jarak tanam terlebar yang diaplikasikan yaitu 2 x 1.5 m menghasilkan ukuran tinggi anakan R. mucronata tertinggi, akan tetapi jarak tanam 1 x 2 m menghasilkan anakan dengan ukuran tinggi lebih rendah dibandingkan jarak tanam 1 x 1 m. Pada akhir pengamatan (umur tanaman 3.25 tahun), ukuran diameter batang anakan mencapai 4.37 cm pada jarak tanam 0.25 m x 0.25 m, 4.45 cm pada jarak tanam 0.5 x 0.5 m, dan 4.61 cm pada jarak tanam 1 x 1 m (Gambar 21). Ukuran diameter batang ini masih lebih kecil dibandingkan dengan ukuran diameter batang A. marina di pantai selatan Thailand yang mencapai 5.42 cm pada umur yang sama (Thampanya 2006). Pada akhir pengamatan (umur 3.5 tahun), R. mucronata memiliki ukuran diameter batang cm, lebih kecil bila dibandingkan dengan A. marina (4-5 cm). Selain itu, pertumbuhan diameter batang R. mucronata pada sistem guludan ini juga lebih lambat bila dibandingkan dengan R. mucronata di pantai selatan Thailand yang mencapai 3.53 cm pada umur yang sama (Thampanya 2006). Perbedaan ini mungkin dikarenakan oleh perbedaan penggunaan model pendugaan pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan yang digunakan yakni model linier (bukan model logistik) serta kondisi tempat tumbuh yang berbeda. Berdasarkan Kairo et al. (2008), R. mucronata berumur 12 tahun memiliki ukuran diameter batang 6.2 cm, atau jika dikalkulasikan memiliki riap diameter batang rata-rata tahunan (MAI) sebesar cm/th. MAI diameter batang anakan R. mucronata umur 3.5 tahun pada penelitian ini sedikit lebih besar yaitu antara cm/th (aplikasi Tabel 11). Hal ini dikarenakan pada usia muda, riap cenderung lebih tinggi dan menurun seiring dengan pertambahan umur tanaman. Lain halnya dengan pertumbuhan tinggi anakan. Pada anakan A. marina, perlakuan jarak tanam 1 x 1 m sejak pertumbuhan awal penanaman secara konstan memiliki rata-rata tinggi anakan paling rendah, sedangkan anakan dengan jarak tanam paling rapat (0.25 x 0.25 m) memberikan hasil pertumbuhan tinggi anakan terbaik sampai dengan umur 2.5 tahun setelah itu disusul oleh jarak tanam sedang (0.5 x 0.5 m). Hal ini terjadi dikarenakan pada jarak tanam rapat persaingan untuk memperoleh cahaya lebih tinggi, sehingga pertumbuhan lebih dialokasikan untuk pertambahan tinggi dalam rangka mempermudah perolehan cahaya. Hal ini juga yang mempengaruhi pertumbuhan diameter batang menjadi lebih kecil pada jarak tanam rapat. Setelah anakan mencapai umur 2.5 tahun, jarak tanam 0.5 x 0.5 m menghasilkan pertumbuhan tinggi yang lebih besar dibandingkan dengan jarak tanam 0.25 x 0.25 m. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan pada umur tersebut, jarak tanam terlalu rapat menyebabkan persaingan hara yang terlalu tinggi, sehingga fotosintat yang dihasilkan tidak optimal untuk mendukung pertumbuhan. Pada akhir pengamatan (umur 3.25 tahun), anakan A. marina memiliki ukuran tinggi anakan sekitar 4.52 m untuk jarak tanam 1 x 1 m, 4.90 m untuk jarak tanam 0.25 x 0.25 m, dan tinggi anakan maksimal yaitu 5.64 m untuk jarak tanam 0.5 x 0.5 m (Gambar 22). Anakan A. marina pada penelitian ini ternyata mengalami pertumbuhan tinggi anakan yang relatif sama dengan A. marina di pantai selatan Thailand yang mencapai 5.02 m pada umur yang sama (Thampanya

59 2006) meskipun untuk ukuran diameter batang yang berbeda seperti telah dibahas sebelumnya. Menurut hasil penelitian Hutahean et al. (1999), pada tingkat salinitas yang hampir sama ( ppt), pertambahan tinggi anakan A. marina selama 3 bulan dari umur 1 tahun adalah sekitar 0.03 m, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pada penelitian ini untuk umur yang sama yaitu 0.26 m untuk jarak tanam 1 x 1 m, 0.32 m untuk jarak tanam 0.5 x 0.5 m, dan 0.37 m untuk jarak tanam 0.25 x 0.25 m. Hal ini dikarenakan teknik guludan diaplikasikan langsung di lapangan dengan sistem penanaman anakan yang berkelompok, sehingga memungkinkan terbentuknya iklim mikro dan juga siklus nutrisi yang lebih menguntungkan untuk proses pertumbuhan tanaman bila dibandingkan dengan media yang digunakan pada penelitian tersebut yang berupa ember berisi tanah dan air salin. Anakan A. marina pada teknik penanaman guludan ini juga memiliki ukuran tinggi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan teknik rehabilitasi mangrove lain yaitu teknik penanaman langsung (Rasool dan Saifullah 2002; Rasool et al. 2002; Rasool dan Saifullah 2005). Rasool dan Saifullah (2005) melakukan teknik pembuatan alur dengan mengaplikasikan bentuk V pada dasar alur sebagai pencegahan terhadap genangan juga tumbuhnya teritip. Tinggi anakan A. marina berumur 6 bulan pada penelitian tersebut hanya 0.39 m, sedangkan pada penelitian ini, mencapai 0.69 m untuk jarak tanam 1 x 1 m, 0.82 m untuk jarak tanam 0.5 x 0.5 m, dan 0.91 m untuk jarak tanam 0.25 x 0.25 m (Gambar 22). Penelitian lain yang juga menggunakan teknik penanaman langsung dengan sumber anakan berupa cabutan mengasilkan tinggi rata-rata anakan A. marina sekitar 0.12 m (Rasool et al. 2002), sedangkan penanaman langsung dengan sumber anakan dari persemaian memiliki rata-rata tinggi anakan 0.27 m (Rasool dan Saifullah 2002). Perbedaan ini mungkin saja terjadi dikarenakan kondisi tempat tumbuh yang berbeda. Anakan R. mucronata memiliki model pertumbuhan tinggi yang berbeda. Pertumbuhan yang dibentuk masih dalam tahap yang konsisten naik, belum menggambarkan pola pertumbuhan ideal yang berupa kurva sigmoid. Bila dilihat dari nilai maksimum pertumbuhannya yang masih berkisar pada angka 3 m (lebih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi anakan A. marina yang mencapai di atas 5 m), anakan R. mucronata mangalami pertumbuhan tinggi yang masih lambat dibandingkan A. marina. Selain itu ukuran tinggi anakan R. mucronata ini masih lebih kecil dibandingkan dengan R. mucronata di pantai selatan Thailand yang mencapai 4.09 m pada umur yang sama (Thampanya 2006). Kairo et al. (2008) melaporkan tanaman R. mucronata berumur 12 tahun di Kenya memiliki ukuran tinggi anakan rata-rata 8.4 m, atau MAI sebesar 0.7 m/th. MAI tinggi anakan R. mucronata umur 3.5 tahun pada penelitian ini tidak jauh berbeda yaitu antara m/th (aplikasi Tabel 11). Menurut Clough (1984) yang diacu dalam Wilson (2009), anakan Avicennia lebih toleran terhadap salinitas tinggi bila dibandingkan dengan Rhizophora. Hal ini menyebabkan pertumbuhan Avicennia lebih optimal dibandingkan dengan Rhizophora pada salinitas tinggi seperti pada penelitian ini yaitu ppt. Menurut Aksornkoae (1993) diacu dalam Hutahean et al. (1999), dilaporkan bahwa jenis A. marina di Australia mampu tumbuh pada tingkat salinitas 85 ppt. 43

60 44 Menurut Hutahean et al. (1999), pemberian tingkat salinitas yang berbeda berpengaruh terhadap respon pertumbuhan tinggi pada jenis anakan mangrove R. mucronata, B. gymnorrhiza, dan A. marina. Pada umumnya respon pertumbuhan tinggi anakan yang baik diperoleh pada salinitas rendah (Clough 1992; Hutahean et al. 1999). Meskipun mangrove dapat tumbuh pada tanah salin, akan tetapi pada salinitas yang sangat tinggi atau ekstrim, mangrove akan tumbuh kurang baik (Supriharyono 2000). R. mucronata, dan A. marina memiliki rata-rata tinggi anakan terbesar pada tingkat salinitas ppt (Hutahean et al. 1999). Hal ini terjadi karena tumbuhan mangrove bukan merupakan tumbuhan yang membutuhkan garam tetapi toleran terhadap garam. Meskipun A. marina juga memiliki pertumbuhan optimal pada tingkat salinitas rendah, akan tetapi pertumbuhannya masih bisa lebih baik bila dibandingkan dengan R. mucronata. Hal ini didukung oleh pernyataan Ball et al. (1997) bahwa pada umumnya penurunan tingkat asimilasi yang berakibat pada penurunan tingkat pertumbuhan terjadi seiring dengan meningkatnya tingkat salinitas. Menurut Wilson (2009), terjadi penurunan tingkat pertumbuhan sebesar 50% dari tingkat salinitas 25% dibandingkan dengan salinitas 75% konsentrasi air laut. Hal lainnya diungkapkan oleh O Grady et al. (1996). Rhizophora memiliki cadangan embrionik yang lebih besar dibandingkan Avicennia. Hal ini memungkinkan anakan Rhizophora dapat lebih bertahan di bawah naungan untuk periode yang lama dibandingkan dengan Avicennia, sehingga pertumbuhan tinggi anakan Rhizophora tidak secepat Avicennia sehubungan dengan usahanya dalam memperoleh cahaya. Pada tingkat salinitas tertinggi yang diujikan pada penelitian Hutahean et al. (1999) yaitu ppt, pertambahan tinggi anakan R. mucronata selama 3 bulan penanaman sekitar 0.01 m, bahkan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pada penelitian ini untuk umur yang sama yaitu 0.04 cm untuk jarak tanam 1 x 1 m, 0.05 cm untuk jarak tanam 0.5 x 0.5 m, dan 0.09 cm untuk jarak tanam 0.25 x 0.25 m (Gambar 24).

61 5 SIMPULAN Pada sistem penanaman guludan yang dilakukan di kawasan Arboretum Mangrove Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta, pertumbuhan diameter batang dan tinggi anakan A. marina serta diameter R. mucronata selama 36 bulan penanaman untuk setiap perlakuan jarak tanam membentuk pola persamaan logistik, sedangkan untuk pertumbuhan tinggi anakan R. mucronata membentuk pola persamaan polinomial. Pada awal penanaman perlakuan jarak tanam 0.25 x 0.25 m menunjukkan performa pertumbuhan yang paling optimal baik untuk pertumbuhan diameter batang maupun tinggi pada kedua jenis anakan. Seiring berjalannya waktu, secara umum semakin besar jarak tanam, maka semakin besar pertumbuhan diameter batang yang dihasilkan. Lain halnya untuk pertumbuhan tinggi anakan. Semakin rapat jarak tanam, semakin tinggi pertumbuhan tinggi anakan untuk A. marina dan R. mucronata kecuali untuk pertumbuhan tinggi anakan A. marina setelah berumur 2.5 tahun. Pada tahap ini jarak tanam 0.5 x 0.5 m menghasilkan pertumbuhan tinggi anakan paling tinggi.

62 DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae S Ecology and Management of Mangrove. Bangkok: IUCN. Ball MC, Cochrane MJ, Rawson HM Growth and water use of mangroves Rhizophora mucronatai and R. stylosa in response to salinity and humidity under ambient and elevated concentration of atmospheric CO 2. Plant Cell Environ. 20(9): Bertalanffy, L. von Quantitative laws in metabolism and growth. Quantitative Rev. Biology. 32: Bjorkman O, Demmig B, Andrews TJ Mangrove photosynthesis: response to high-irradiant stress. Aust. J. Plant Physiol. 15: Bosire JO, Dahdouh-Guebas F, Walton M, Crona BI, Lewis III RR, Field C, Kairo JG, Koedam N Functionality of restored mangroves: A review. Aquat Bot. 89: Burchett MD, Field CD, Pulkownik A Salinity, growth and root respiration in the grey mangrove, Avicennia marina. Physiol. Plant. 60(1984): Carson EW The plant root and its environment. Proc. An Institute Sponsored by the Southern Regional Education Board; Virginia Polytechnic Institute and State University, 5-16 Jul Charlottesvile: Eniversity Press of Virginia. Chanter DO Mathematical models in mushroom research and production [disertasi]. UK: University of Sussex. Clough BF Growth and salt balance of the mangrove Avicennia marina (Forsk) Vierh and Rhizophora stylosa Griff in relation to salinity. Aust J Plant Physiol. 11(5): Clough BF Primary productivity and growth of mangrove forest. Tropical Mangrove Ecosystems. (Eds Robertson AI dan Alongi DM). Washington: American Geophysical Union. Davis LS, Jhonson KN Forest Management. Newyork: Mc Graw-Hill Book Company. Devoe NN, Cole TG Growth and yield in mangrove forests of the federal states of Micronesia. Forest Ecology and Management. 103(1998): Draper NR, Smith H Applied Regression Analysis. 2nd edition. New York: John Wiley & Sons Inc. Fekedulegn D, Mac Siurtain MP, Colbert JJ Parameter estimation of nonlinear growth models in forestry. Silva Fennica. 33(4): Gurcan EK, Cobanoglu O, Genc S Determination of body weight-age relationship by non-linear models in Japanese quail. Journal of Animal and Veterinary Advances. 11(3):

63 47 Halidah Pengaruh tinggi genangan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan anakan Rhizophora mucronata Lam. di pantai barat Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7(1): Handoko Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural Resources Management. Bogor: Seameo Biotrop. Harja D, Rahayu S Pemodelan pertumbuhan tanaman, pohon dan perubahan lansekap. files/magazine/ma pdf [26 September 2011]. Hutahean EE, Kusmana C, Dewi HR Studi kemampuan tumbuhan anakan mangrove jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, dan Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 5(1): Jumiati E Pertumbuhan Rhizophora mucronata dan R. apiculata di kawasan Berlantung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 14(3): Kairo JG, Lang at JKS, Dahdouh-Guebas F, Bosire J, Karachi M Structural development and productivity of replanted mangrove plantations in Kenya. Forest Ecology and Management. 255(2008): Komiyama A, Tanapermpool P, Havanond S, Maknual C, Patanaponpaiboon P, Sumida A, Ohnishi T, Kato S Mortality and growth of cut pieces of viviparous mangrove (Rhizophora apiculata and R. mucronata) seedlings in the field condition. Forest Ecology and Management. 112(1998): Krauss KW, Lovelock CE, McKee KL, Lopez-Hoffman L, Ewe SML, Sousa WP Environmental drivers in mangrove establishment and early development: A review. Aquat Bot. 89: Kusmana C The growth of Rhizophora mucronata and Avicennia marina seedlings planted using guludan technique in coastal area of Jakarta. The 5 th Kyoto University Southeast Asia Forum, Conference of the Earth and Space Sciences, Institut Teknologi Bandung; Bandung, 7-8 Januari Kusmana C, Istomo, Basuni S, Wibowo C, Iskandar. 2005a. Penanaman Mangrove dengan Tehnik Guludan di Kawasan Mangrove Sepanjang Jalan Tol Sedyatmo, Jakarta. Kerjasama antara Dinas Kehutanan DKI Jakarta, PT. Jasa Marga dengan Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T, Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2005b. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana C, Istomo, Purwanegara T. 2009a. Buku Manual Teknik Budidaya Mangrove. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana C, Istomo, Purwanegara T. 2009b. Buku Ajar Rehabilitasi Mangrove pada Tapak-Tapak Khusus. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana C, Istomo, Wibowo C, Wilarso SBR, Siregar IZ, Tiryana T, Sukardjo S Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Sunkar A, editor. Korea International Cooperation Agency (KOICA).

64 48 Lei YC, Zhang SY Features and partial derivatives of Bertalanffy-Richards growth model in forestry. Nonlinear Analysis: Modelling and Control. 9(1): Liddle AR Information criteria for astrophysical model selection. astroph/ Myers RH Classical and Modern Regression with Applications. Boston: Duxubury Press. Narinc D, Karaman E, Firat MZ, Aksoy T Comparison of non-linear growth models to describe the growth in Japanese quail. Journal of Animal and Veterinary Advances. 9(14): Nelder JA The fitting of a generalization of the logistic curve. Biometrics. 17: Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA/WI-IP. Nybakken JW Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S, penerjemah; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. O Grady AP, McGuinness KA, Eamus D The abundance and growth of Avicennia marina and Rhizophora stylosa in the low shore zone of Darwin Harbour, Northern Territory. Aust. J. of Ecology. 21: Okimoto Y, Nose A, Katsuta Y, Tateda Y, Agarie S, Ikeda K Gas exchange analysis for estimating net CO 2 fixation capacity of mangrove (Rhizophora stylosa) forest in the mouth of River Fukido, Ishigaki Island, Japan. Plant Production Science. 10(3): Oliver FR Methods of estimating the logistic function. Applied statistics. 13: Philip MS Measuring Trees and Forests. 2 nd edition. Wallingford: CAB International. Phillips BF, Campbell NA A new method of fitting the von Bertelanffy growth curve using data on the whelk. Dicathais, Growth. 32: Plantamor Api-api Jambu. [17 Maret 2013]. Rasool F, Saifullah SM Mangroves of Miani Hor lagoon on the north Arabian Sea coast Pakistan. Pak. J. Bot. 34(3): Rasool F, Saifullah SM A new technique for growing the grey mangrove Avicennia marina (Forssk.) Vierh., in the field. Pak. J. Bot. 37(4): Rasool F, Tunio S, Hasnain SA, Ahmad E Mangrove conservation along the coast of Sonmiani, Balochistan Pakistan. Trees, Structure and Function. 16: Ratkowsky DA Nonlinear Regression Modeling. A Unified Practical Approach. New York: Marcel Dekker, Inc.

65 49 Richards FJ A flexible growth function for empirical use. Journal of Experimental Botany. 10: Salvatore D, Reagle D Schaum s Outline of Theory and Problems of Statistics and Econometrics 2 nd edition. New York: Mc Graw-Hill. Siswadi Pemodelan matematika. Makalah Lokakarya Metode Statistika untuk Bioteknologi; Bogor, Agustus Sit V, Costello MV Catalog of Curves for Curve Fitting. Biometrics Information Handbook Series No.4. British Columbia: Forest Science Research Branch. Sitompul SM, Guritno B Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Supriharyono Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Syah C Pertumbuhan tanaman bakau (Rhizophora mucronata) pada lahan restorasi mangrove di hutan lindung Angke Kapuk provinsi DKI Jakarta [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thampanya U Mangrove and sediment dynamics along the coast of southern Thailand [Disertasi]. Delft: The Academic Board of Wageningen University and the Academic Board of the UNESCO-IHE Institute for Water Education. Wikipedia Avicennia dalam Flora Base Australia. [13 Agustus 2007]. Wilson NC The distribution, growth, reproduction and population genetics of a mangrove species, Rhizophora stylosa Griff. Near its southern limits in New South Wales, Australia [Disertasi]. Victoria: Faculty of Arts and Sciences, Australian Catholic University.

66

67 LAMPIRAN

68 52 Lampiran 1 Sebaran data tinggi Rhizophora mucronata pada jarak tanam 0.25 x 0.25 m (a), 0.5 x 0.5 m (b), dan 1 x 1 m (c). (c) (a) (b)

69 53 Lampiran 2 Contoh keluaran hasil pengolahan data dengan menggunakan software R # Model 1b: "avicennia jarak tanam 0.5m" using LOGISTIK model: Y = a/(1+b*exp(-c*t)) Generalized nonlinear least squares fit Model: diameter_cm ~ a/(1 + b * exp(-c * umur_tahun)) Data: avicennia_0.5 AIC BIC loglik Variance function: Structure: Power of variance covariate Formula: ~umur_tahun Parameter estimates: power Coefficients: Value Std.Error t-value p-value a b c Correlation: a b b c Standardized residuals: Min Q1 Med Q3 Max Residual standard error: Degrees of freedom: 146 total; 143 residual > # calculating RMSE in original scale [1] > # Calculating AIC [1] > # Calculating BIC or Schwarz' BC : [1] > # calculating pseudo R-square "pseudo R2" [1] "adjusted (pseudo) R2" [1]

70 54 Lampiran 3 Contoh hasil verifikasi asumsi model, kondisi homokedastisitas terpenuhi (a) dan homokedastisitas tidak terpenuhi (b) (a) (b)

71 55 Lampiran 4 Foto-foto guludan. (a) Tata letak guludan untuk penanaman mangrove (b) Desain guludan (Kusmana 2010) (c) Gambaran lokasi penelitian

72 56 Lampiran 4 lanjutan (d) Anakan R. mucronata pada sistem guludan setelah 6 bulan penanaman (e) Anakan A. marina pada sistem guludan setelah 6 bulan penanaman (f) Anakan A. marina pada sistem guludan setelah 28 bulan penanaman

73 57 Lampiran 4 lanjutan (g) Anakan R. mucronata pada sistem guludan setelah 28 bulan penanaman (h) Proses pengambilan data

2 TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Jenis Api-api (A. marina (Forsk.) Vierh. 1907)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Jenis Api-api (A. marina (Forsk.) Vierh. 1907) 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jenis Api-api (A. marina (Forsk.) Vierh. 1907) Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae (Wikipedia 2007). Dalam sistem klasifikasi, tanaman

Lebih terperinci

REHABILITAS MANGROVE PADA TAPAK-TAPAK YANG KHUSUS. Oleh : Cecep Kusmana 1 dan Samsuri 2

REHABILITAS MANGROVE PADA TAPAK-TAPAK YANG KHUSUS. Oleh : Cecep Kusmana 1 dan Samsuri 2 1 REHABILITAS MANGROVE PADA TAPAK-TAPAK YANG KHUSUS Oleh : Cecep Kusmana 1 dan Samsuri 2 1 Guru Besar Ekologi Hutan pada Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB Bogor, 2 Staf Pengajar pada Program

Lebih terperinci

3 METODE. Waktu dan Tempat. Rancangan Sampling. Jumlah anakan Intensitas sampling (ind)

3 METODE. Waktu dan Tempat. Rancangan Sampling. Jumlah anakan Intensitas sampling (ind) 3 METODE Waktu dan Tempat Pengambilan data membutuhkan waktu sekitar 3 tahun dari mulai Oktober 2008 sampai dengan Oktober 2011 di kawasan Arboretum Mangrove Angke Kapuk, yang berada di pinggir jalan tol

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan

Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan 1 Mempersiapkan Bibit di Persemaian Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan berkualitas tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa 2.1.1 Klasifikasi Rhizophora stylosa Menurut Cronquist (1981), taksonomi tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan

Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan 2 Menanam Bibit di Lapangan Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan cara yang benar dan waktu yang tepat maka peluang tumbuhnya bibit di lapangan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Mangrove/bakau adalah tanaman alternatif terbaik sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Mangrove/bakau adalah tanaman alternatif terbaik sebagai TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Mangrove/bakau adalah tanaman alternatif terbaik sebagai penahan ombak dan penyelamatan hayati pantai. Ada beberapa jenis Mangrove/ bakau yang dibudidayakan di Indonesia. Dua jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

MUCRONATA LAMK UNTUK MENGATASI

MUCRONATA LAMK UNTUK MENGATASI TEKNOLOGI PENANAMAN RHIZOPHORA MUCRONATA LAMK UNTUK MENGATASI ABRASI PULAU KECIL DAN MITIGASI BENCANA Kampus Kreatif Sahabat Rakyat ady suryawan & nur asmadi suryawanbioconserv@gmail.com Balai Penelitian

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknik Restorasi Mangrove

HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknik Restorasi Mangrove HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknik Restorasi Mangrove Memperhatikan sistem penanaman mangrove adalah sebuah desain konstruksi bagi kegiatan rehabilitasi mangrove di lahan restorasi hutan lindung angke kapuk.

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) TERHADAP SALINITAS DAN KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON

RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) TERHADAP SALINITAS DAN KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) TERHADAP SALINITAS DAN KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON HASIL PENELITIAN Oleh: PRAYUNITA 081202033/BUDIDAYA HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat TINJAUAN PUSTAKA Hutan mangrove Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan

Lebih terperinci

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan Wawan Halwany Eko Priyanto Pendahuluan mangrove : sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut air laut. Kriteria Mangrove Tanaman

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Teknik Merehabilitasi Hutan Bakau

Teknik Merehabilitasi Hutan Bakau Teknik Merehabilitasi Hutan Bakau Teknik Merehabilitasi Hutan Bakau Teknik Merehabilitasi Hutan Bakau @ 2012 Penyusun: 1. Ian Hilman, Wildlife Conservation Society (WCS), 2. Fransiskus Harum, consultant

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil 1. Keanekaragaman vegetasi mangrove Berdasarkan hasil penelitian Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta terdapat 10 jenis mangrove. Kesepuluh jenis mangrove tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Mangrove yang Diperoleh di Pantai Kecamatan Panggungrejo Kota Pasuruan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Mangrove yang Diperoleh di Pantai Kecamatan Panggungrejo Kota Pasuruan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Jenis Mangrove yang Diperoleh di Pantai Kecamatan Panggungrejo Kota Pasuruan Hasil penelitian menunjukkan, terdapat 9 spesies yang termasuk dalam 7 genus dan 5 famili yang

Lebih terperinci

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016 PERTUMBUHAN RhizophoramucronataLamk PADA KEGIATAN EVALUASITAHUN PERTAMA REHABILITASI HUTAN MANGROVE BEKAS LAHAN TAMBAK DI DESA PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT SKRIPSI Oleh : TAUFIK

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sorgum Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae (Poaceae). Tanaman ini telah lama dibudidayakan namun masih dalam areal yang terbatas. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : 77-85 (1999) Artikel (Article) STUDI KEMAMPUAN TUMBUH ANAKAN MANGROVE JENIS Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza DAN Avicennia marina PADA BERBAGAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman buah-buahan tropika. Pepaya merupakan tanaman asli Amerika Tengah, tetapi kini telah menyebar ke seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mentimun Papasan Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota Cucurbitaceae yang diduga berasal dari Asia dan Afrika. Tanaman mentimun papasan memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 PENGARUH VARIASI KONSENTRASI GARAM DAN ADAPTASI AIR TAWAR TERHADAP RESPON PERTUMBUHAN DAN KOMPOSISI TRITERPENOID SERTA FITOSTEROL BAKAU (Rhizophora stylosa) HASIL Oleh : PUTRI ESTER SIHALOHO 091201062

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 PERTUMBUHAN BIBIT Rhizophora apiculata PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN SKRIPSI Oleh: ERIKSONTUA SIMARMATA 071202014/BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mengenai Pendugaan Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total berat kering bahan-bahan organik hidup yang terdapat di atas dan juga di bawah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT.

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. i PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. WIRAKARYA SAKTI GIANDI NAROFALAH SIREGAR E 14104050 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

METODE PEMOTONGAN DERET FOURIER UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN GERAK GELOMBANG INTERNAL YANG PERIODIK PADA FLUIDA DUA LAPISAN MUHBAHIR

METODE PEMOTONGAN DERET FOURIER UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN GERAK GELOMBANG INTERNAL YANG PERIODIK PADA FLUIDA DUA LAPISAN MUHBAHIR METODE PEMOTONGAN DERET FOURIER UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN GERAK GELOMBANG INTERNAL YANG PERIODIK PADA FLUIDA DUA LAPISAN MUHBAHIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom :

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus yang terdapat dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KOMPOSISI SERASAH DAN LUMPUR SEBAGAI MEDIA TANAM BIBIT BAKAU PUTIH (Bruguiera cylindrica) DI DESA SIALANG BUAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

KOMPOSISI SERASAH DAN LUMPUR SEBAGAI MEDIA TANAM BIBIT BAKAU PUTIH (Bruguiera cylindrica) DI DESA SIALANG BUAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI KOMPOSISI SERASAH DAN LUMPUR SEBAGAI MEDIA TANAM BIBIT BAKAU PUTIH (Bruguiera cylindrica) DI DESA SIALANG BUAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI Oleh: ARIO HANDOKO 091201114 / BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan oleh manusia ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA jenis yang terbagi dalam 500 marga (Tjitrosoepomo, 1993: 258). Indonesia

BAB II KAJIAN PUSTAKA jenis yang terbagi dalam 500 marga (Tjitrosoepomo, 1993: 258). Indonesia 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Anggrek 2.1.1 Deskripsi Anggrek Anggrek merupakan famili terbesar dalam tumbuhan biji, seluruhnya meliputi 20.000 jenis yang terbagi dalam 500 marga (Tjitrosoepomo,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber (DRT), Sei. Sinepis, Provinsi Riau. Waktu pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

TINGKAT PENERAPAN SISTEM BUDIDAYA MANGROVE PADA MASYARAKAT PULAU UNTUNG JAWA, KEPULAUAN SERIBU

TINGKAT PENERAPAN SISTEM BUDIDAYA MANGROVE PADA MASYARAKAT PULAU UNTUNG JAWA, KEPULAUAN SERIBU TINGKAT PENERAPAN SISTEM BUDIDAYA MANGROVE PADA MASYARAKAT PULAU UNTUNG JAWA, KEPULAUAN SERIBU Diarsi Eka Yani (diarsi@ut.ac.id) PS Agribisnis, FMIPA, Universitas Terbuka ABSTRAK Abrasi pantai yang terjadi

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH:

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: SAPRIL ANAS HASIBUAN 071202026/BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamplung Nyamplung memiliki sebaran yang luas di dunia, dari Afrika, India, Asia Tenggara, Australia Utara, dan lain-lain. Karakteristik pohon nyamplung bertajuk rimbun-menghijau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci