BAB I PENDAHULUAN. 1 A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Madar Maju, Badung, 1998, hlm.6

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pendaftaran tanah merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selajutnya ditulis singkat UUPA) yang menyebut: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi : a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah, b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pasal 19 tersebut ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu intruksi, agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat rechts-kadaster, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum, maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan 1 : a. Kepastian hak seseorang; maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak lainnya. b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan; apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas batasnya. c. Penetapan suatu perpajakan; dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang 1 A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Madar Maju, Badung, 1998, hlm.6

2 terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan. Pendaftaran tanah menentukan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah sebagai benda tetap. Hubungan hukum antara seseorang dengan tanah sebagai benda tetap termasuk dalam hukum pertanahan dan bukan bagian dari hukum agraria. Hal ini dapat disimpulkan dari definisi Hukum Pertanahan menurut Herman Soesangobeng yaitu 2 : Kumpulan peraturan yang mengatur hubungan sinergi dari pelbagai cabang hukum dan kedudukan hukum hak keperdataan orang atas tanah sebagai benda tetap, yang dikuasai untuk dimiliki maupun dimanfaatkan serta dinikmati hasilnya oleh manusia, baik secara pribadi maupun dalam bentuk persekutuan hidup bersama. Menurut Irawan Soerojo 3, fungsi pokok dari pendaftaran tanah ialah, untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum tertentu, pendaftaran mempunya fungsi lain, yaitu untuk memenuhi sahnya perbuatan hukum itu. Artinya, tanpa dilakukan pendaftaran, perbuatan hukum itu tidak terjadi dengan sah menurut hukum. Pendaftaran berasal dari kata Cadastre dalam bahasa Belanda merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata Cadastre berasal dari bahasa latin Capitastrum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Cadastre adalah record (rekaman) pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan, dengan demikian Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi, dan juga sebagai Continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah 4. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia kata pendaftaran berasal dari suku kata daftar yang mendapat awalan pe-, sisipan n dan akhiran an adalah pencatatan nama, alamat sebagainya dalam daftar : perihal mendaftar mendaftarkan 5. Untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah diaturlah pendaftaran tanah ke dalam suatu Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang 2 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 7 3 Irawan Soerojo, Kepastian Hukum hak Atas Tanah Di Indonesia, Arloka, Surabaya, 2002, hlm A.P. Parlindungan, Op. Cit., hlm Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 169.

3 Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu misalnya pembuatan akta PPAT oleh PPAT atau PPAT Sementara 6. Untuk mempermudah rakyat di daerah terpencil yang tidak ada PPAT untuk melaksanakan pembuatan hukum mengenai tanah, Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara, hal ini didasarkan pada bunyi Pasal 7 ayat (2) PP No. 24 Th tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa: untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara. Dalam penjelasan Pasal tersebut, PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang bersangkutan yaitu Kepala Desa. Akan tetapi, dalam prakteknya yang menjadi PPAT Sementara adalah Camat yang karena jabatannya dapat bertindak sebagai PPAT Sementara yang berarti Camat membuat akta peralihan hak yang obyeknya berupa hak atas tanah. Camat merupakan perangkat daerah yang dalam jabatannya menjalankan tugas umum pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sekaligus dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan wewenang dari Bupati/Walikota. Pengertian Camat berdasarkan Pasal 1 ayat (9) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan adalah sebagai berikut: Camat atau sebutan lain adalah kordinator penyelenggaraan pemerintah di wilayah kerja Kecamatan dan dalam pelaksanaannya memperoleh kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan penyelenggaraan tugas umum. Camat bukanlah hasil pilihan rakyat seperti pemilihan Kepala Daerah Propinsi (Gubernur) dan Kepala Daerah Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota). Sebagaimana tersebut dalam Pasal 224 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 bahwa Camat diangkat oleh Bupati/Walikota. Oleh karena bukan hasil pilihan rakyat, maka Camat dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota, sehingga sewaktu-waktu dapat diganti dari jabatannya sebagai Kepala Kecamatan. Dalam kaitan Camat sebagai PPAT Sementara, menjadi kontradiktif jabatan sebagai PPAT Sementara tersebut dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang 6 Pasal 5 PP No. 24 Th.1997 juncto Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Th tentang Pendaftaran Tanah

4 menyebutkan bahwa PPAT dilarang merangkap jabatan/profesi; a. Pengacara atau advokat, b. Pegawai negeri atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Dalam penjelasan ketentuan Pasal 7 tersebut dibuat agar PPAT dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya demi melayani kepentingan umum agar melaksanakan rasa kemandirian dan tidak memihak. Namun pada kenyataannya Camat yang merupakan Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi PPAT Sementara. Berdasarkan uraian diatas, penunjukan dan pengangkatan Camat sebagai PPAT Sementara ini akan menimbulkan problematik yuridis dalam pelaksanaannya dan untuk dapat menyesuaikan penalaran teoritis problematik yuridis yang dapat timbul dari pengangkatan camat sebagai PPAT perlu dilihat pada praktek kenyataan yang terjadi di lapangan. Studi praktek untuk permasalahan ini diambil di Kabupaten Jembrana yang merupakan salah satu dari Sembilan Kabupaten dan kota yang ada di propinsi Bali, terletak di belahan Barat Pulau Bali, membentang dari arah barat ke timur seluas Km2 atau 14,96% dari luas wilayah Pulau Bali 7 yang terdapat 5 (lima) Kecamatan di dalamnya, diantaranya adalah Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan dengan luas Kecamatan 294,49 Km2 dan 29, 449 km2. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya ke dalam Tesis dengan judul TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SEMENTARA (STUDI DI KABUPATEN JEMBRANA, PROVINSI BALI). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kendala yuridis yang timbul terhadap pengangkatan Camat sebagai PPAT Sementara dan pengaruhnya pada prakteknya di lapangan? 2. Bagaimana solusi pemecahan masalah yang dapat ditawarkan dalam menghadapi kendala dalam pengangkatan Camat sebagai PPATS tersebut? C. Batasan Masalah 7 Humas Jembrana, Geografi dan Topologi, =geografi_topologi, 2013, diakses tanggal 30 Oktober 2015, pukul WIB

5 Dari identifikasi masalah yang diuraikan diatas diperoleh gambaran dan dimensi permasalahan yang luas, namun menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan maka penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas dan terfokus, selanjutnya masalah yang menjadi objek penelitian dibatasi hanya pada lingkup pengangkatan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dan prakteknya di Kecamatan Mendoyo dan Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasahalan yang telah diuraikan diatas sebagai arah agar yang dituliskan dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki. 1. Tujuan Obyektif a. Untuk menganalisis apa saja kendala yuridis yang dapat timbul dengan ditunjuknya Camat sebagai PPAT Sementara di bidang pertanahan dan pengaruhnya pada praktek di lapangan. b. Untuk menganalisis solusi yang dapat ditawarkan dalam menghadapi kendala yuridis dan praktek dalam pengangkatan camat sebagai PPATS tersebut. 2. Tujuan Subyektif a. Menjelaskan hubungan sebab-akibat atas penunjukan dan pengangkatan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara secara yuridis dan praktek. b. Menjelaskan pemetaan masalah dari kendala yang timbul untuk kemudian dicari solusinya. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis, yaitu diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan tinjauan yuridis pengangkatan camat sebagai pejabat pembuat akta tanah (PPAT) sementara (studi di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali), serta diharapkan melalui data-data yang dikumpulkan baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku maupun pendapat-pendapat ahli hukum dapat memberikan masukan yang berarti untuk menjawab permasalahan yang ada.

6 2. Manfaat praktis, sebagi sumbangan bagi hukum positif, bacaan bagi pendidikan hukum terutama konsentrasi hukum pemerintahan dan hukum kenotariatan. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan hukum ini terbagi menjadi 4 (empat) bab, masing-masing bab saling berkaitan. Adapun gambaran yang jelas mengenai penulisan hukum ini akan diuraikan dalam sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan/Kegunaan Penelitian, dan Sistematika Penulisan Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini penulis memaparkan tinjauan umum tentang Pendaftaran Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Camat, Kecamatan Mendoyo dan Kecamatan Pekutatan, Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan, Teori Kewenangan, Teori Kepastian Hukum, Konsep Good Governance, Penelitian yang Relevan, dan Kerangka Berpikir. Bab III Metode Penelitian Bab ini berisikan Jenis Penelitian, Sifat Penelitian, Sumber dan Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini mengacu pada hasil penelitian dan analisis mengenai dasar yuridis posisi dan kewenangan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara, kendala yang timbul dengan diangkatnya Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dan solusi yang dapat ditawarkan untuk menghadapi kendala tersebut. Bab V Penutup Bab ini berisikan kesimpulan sebagai hasil penelitian serta saran-saran yang berkaitan dengan pembahasan dari semua yang terurai pada bab sebelumnya.