KAJIAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERDASARKAN POTENSI DAMPAK WISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU PANGGANG TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERDASARKAN POTENSI DAMPAK WISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU PANGGANG TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU"

Transkripsi

1 KAJIAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERDASARKAN POTENSI DAMPAK WISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU PANGGANG TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU MUHIDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Potensi Dampak Wisata Bahari di Kelurahan Pulau Panggang Taman Nasional Kepulaun Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2017 Muhidin NIM C

4 RINGKASAN MUHIDIN. Kajian Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Potensi Dampak Wisata Bahari di Kelurahan Pulau Panggang Taman Nasional Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh Fredianan Yulianda dan Neviaty Putri Zamani. Meningkatnya kegiatan wisata disatu sisi memberikan keuntungan ekonomi namun di sisi lain memberikan dampak negatif khususnya terhadap ekosistem terumbu karang (Hughes et al. 2003). Salah satu wilayah yang menjadi lokasi wisata khususnya snorkeling dan selam adalah Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Pada bulan Maret sampai Mei 2016 penulis melakukan penelitian di wilayah ini terkait karakteristik wisata, dampak aktifitas wisata snorkeling dan selam serta mengkaji daya dukung ekosistem terumbu karang. Metode yang digunakan diantaranya metode observasi terhadap perilaku wisatawan kemudian mengamati dampak dari perilaku tersebut terhadap terumbu karang dengan metode belt transect. Wawancara (termasuk kuesioner) digunakan untuk menggali lebih dalam karakteristik wisata dan persepsi yang ada terkait kegiatan wisata dan pengelolaan wisata. Metode LIT untuk mengetahui kondisi tutupan substrat dasar serta studi literatur untuk melihat perubahan kondisi ekosistem terumbu karang secara time series. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan wisata di Kelurahan Pulau Panggang umumnya berlangsung di akhir pekan dengan puncak kunjungan pada hari-hari libur nasional. Kegiatan wisata snorkeling, selam serta kemah mempunyai jalur utama dan kecenderungan lokasi yang berbeda-beda. Pengamatan terhadap perilaku wisatawan mendapatkan beberapa perilaku destruktif yang sering terjadi saat berlangsung aktifitas snorkeling dan selam yaitu menginjak karang, menendang karang, memegang karang dan mengaduk sedimen. Pada wisatawan selam yang belum berlisensi perilaku destruktif yang paling banyak dilakukan adalah memegang karang dengan peluang melakukan sebesar Sedangkan pada wisatawan selam yng sudah berlisensi dan wisatawan snorkeling perilaku destruktif yang paling sering terjadi adalah menginjak karaang dengan nilai peluang 0.01 (wisatawan selam yang sudah belisensi) dan 0.22 (wisatawan snorkeling). Dampak dari perilaku destruktif diantaranya patahan pada bagian koloni karang, goresan dan luka pada permukaan koloni karang masif. Salah satu dampak jangka panjang perilaku destruktif terhadap karang adalah pertumbuhan vertikal koloni karang cenderung lebih pendek. Hal ini akibat injakan yang menyebabkan terjadinya patahan secara terus menerus sehingga pertumbuhan vertikal koloni karang tidak optimal. Wisatawan selam yang belum berlisensi menimbulkan potensi kerusakan yang paling besar yaitu sebesar 13.55% perluasan potensi ekologis pertahun. Sedangkan wisatawan snorkeling menimbulkan dampak kerusakan sebesar 5.05% dan wisatawan selam yang sudah berlisensi berpotensi menimbulkan dampak kerusakan paling rendah yaitu 2.6%. Daya dukung terkoreksi ekosistem terumbu karang Kelurahan Pulau Panggang sebesar orang untuk wisata snorkeling. Sedangkan untuk wisata selam yang sudah berlisensi sebesar orang dan yang belum berlisensi orang. Kata kunci: daya dukung, Kepulauan Seribu, Pulau Panggang, terumbu karang, wisata bahari.

5 SUMMARY MUHIDIN. Coral Reef Ecosystem Carrying Capacity Analysis Based on Marine Tourism Potential Impact in Panggang Island Residence Seribu Islands National Park. Supervised by FREDINAN YULIANDA and NEVIATY PUTRI ZAMANI. The increasing of travel activities not only give economic advantages but also remain negative impact, especially against the coral reef ecosystem (Hughes et al. 2003). One region which becomes a travel location especially snorkeling and diving is Panggang Island Region, Seribu Island. Author has conducted this research from March until May 2016 in this region. The research is about tourism characteristics, impact of snorkeling activities, diving activities, and reviewing the carrying capacity of coral reef ecosystems. Methods used include observation method of tourist activity and observe the impact that activity against coral reef with belt transect. Interviews (include questionnaires) were used to dig more information about tourism characteristics and perception of tourism activity and tourism management. LIT methods were used to review ground substrate coverage and literature study to know the change of coral reef ecosystem conditions by time series. Result of this research shows that tourism activities in Panggang Island Region commonly occur in the weekend and peak visits in the days of national holiday. Snorkeling activity, diving activity, and camp activity has main line and different location tendencies. Observation against tourism activities shows destructive behavior which is frequently occurs while snorkeling and diving activities such as stepping, kicking, holding, and stirring corals. Destructive behavior that contributed the most by unlicensed diver is holding the coral with a chance of doing of While destructive behavior that the most contributed by licensed diver and snorkeller is stepping coral with the probability of 0.01 (licensed diver) and 0.22 (snorkeller). The impact of destructive behavior such as broken on part of the coral colonies, scratches and wounded on the surface of the massive coral colonies. One of destructive behavior long-term impact toward the reef is the vertical growth of coral colonies tend to be shorter. This is due to the trampling that caused the fracture continuously and make the vertical growth of coral colonies was not optimal. Unlicensed diving tourists are potentially contributing the biggest damage of 13.55% ecological potential expansion per year. While snorkeling tourists contribute the damage of 5.05% and licensed diving tourists contribute the lower damage impact of 2.36%. Corrected carrying capacity of coral reef ecosystems at Panggang Island was people for snorkeling. While, for diver who has licensed was people and for diver unlicensed was people. Keywords: carrying capacity, coral reefs, marine tourism, Panggang Island, Seribu Islands.

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KAJIAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERDASARKAN POTENSI DAMPAK WISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU PANGGANG TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU MUHIDIN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Handoko Adi Susanto, MSc.

9 Judul Tesis Nama NIM : Kajian Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Potensi Dampak Wisata Bahari di Kelurahan Pulau Panggang Taman Nasional Kepulauan Seribu : Muhidin : C Disetujui oleh Komisi Pembimbing ' Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua Dr Ir Neviaty P Zamani, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan ~ Dr Ir Achmad Fahrudin, Msi Tanggal Ujian: 9 Februari 2017 Tanggal Lulus: 2 4 MAR 2017

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia dan rahmat-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 ini ialah daya dukung terumbu karang, dengan judul Kajian Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Potensi Dampak Wisata Bahari di Kelurahan Pulau Panggang Taman Nasional Kepulauan Seribu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda MSc dan Ibu Dr Ir Neviaty Putri Zamani selaku pembimbing, serta Bapak Dr Handoko Adi Susanto selaku penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan perbaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang telah memberikan bantuan dana untuk penyelesaian penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Habibi Pulau Pramuka dan Bapak Mahyudin Pulau Pramuka yang telah banyak membantu kelancaran penelitian dan pengumpulan data di lapangan. Teruntuk ayah, ibu, isteri serta seluruh keluarga, penulis mengucapkan terimakasih atas doa dan kasih sayang yang sangat besar. Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih kepada adik-adik kelas (Dul, Boy, Azhar dan Muzrini), dan Cahya serta Riki yang telah membantu dan menemani selama di lapangan serta kepada teman-teman kuliah yang telah banyak memberikan dukungan hingga penelitian ini selesai dan menjadi sebuah karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2017 Muhidin

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Ruang Lingkup Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 Kerangka Pemikiran 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Biologi Karang 7 Struktur Rangka Terumbu Karang 8 Pertumbuhan dan Bentuk Koloni Karang 10 Ekowisata Bahari 10 Daya Dukung Kawasan 11 3 METODE PENELITIAN 13 Lokasi dan Waktu Penelitian 13 Jenis dan Sumber Data 14 Metode Pengumpulan Data 16 Pengambilan Sampel 16 Teknik Observasi Objek Penelitian 17 Data Persentase Tutupan Substrat 17 Analisis Data 18 Analisis Tutupan Terumbu Karang 18 Analisis Uji-t 18 Analisis Dampak Wisata Bahari 18 Daya Dukung Terkoreksi 19 Rekomendasi Pengelolaan 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21 Karakteristik Wisata di Kelurahan Pulau Panggang 21 Komposisi Substrat Dasar 31 Perilaku Destruktif Wisatawan Snorkeling 34 Menginjak Karang 34 Menendang Karang 36 Memegang Karang 36 Mengaduk Sedimen 37 Perilaku Destruktif Wisatawan Selam 37 Menginjak Karang 37 Menendang Karang 38 Memegang Karang 38 xiii xiii xiv

12 xii Mengaduk Sedimen 39 Dampak Terhadap Terumbu Karang 40 Analisis Dampak Wisata Bahari 48 Daya Dukung Terkoreksi Ekosistem Terumbu Karang 49 Rekomendasi Pengelolaan 53 5 SIMPULAN DAN SARAN 60 Simpulan 60 Saran 60 DAFTAR PUSTAKA 62 LAMPIRAN 66 RIWAYAT HIDUP 76

13 xiii DAFTAR TABEL 1 Koordinat Lokasi Penelitian 13 2 Matriks Jenis Data, Sumber Data dan Metode Pengambilan Data 15 3 Nama dan Luas Daratan Menurut Pulau di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu 21 4 Jumlah Dive Shop di Pulau di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu 22 5 Jumlah Wisatawan yang Melakukan Snorkeling pada Masing-Masing Lokasi Wisata di Kelurahan Pulau Panggang 30 6 Jumlah Total Wisatawan yang Melakukan Snorkeling di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu 31 7 Komposisi Kategori Substrat Dasar pada Sembilan Titik Pengamatan di Perairan Kelurahan Pulau Panggang (Kedalaman 3 meter) 32 8 Komposisi Kategori Substrat Dasar pada Sembilan Titik Pengamatan di Perairan Kelurahan Pulau Panggang (Kedalaman 10 meter) 32 9 Persentase Lifeform pada Sembilan Titik Pengamatan di Masing- Masing Kedalaman Perilaku Destruktif selama Aktifitas Snorkeling Berlangsung Perilaku Destruktif selama Aktifitas Selam Berlangsung Jumlah Kerusakan pada Setiap Lifeform Karang yang Diakibatkan Oleh Kegiatan Snorkeling dan Selam Jumlah Kerusakan pada Setiap Lifeform Karang yang Diakibatkan Oleh Kegiatan Snorkeling Jumlah Kerusakan pada Setiap Lifeform Karang yang Diakibatkan Oleh Kegiatan Selam Jumlah Kerusakan pada Setiap Genera Karang yang Diakibatkan Oleh Kegiatan Snorkeling dan Selam Jumlah Kerusakan Karang pada Masing-Masing Lokasi Penelitian Berdasarkan Kedalaman dan Jenis Kerusakannya Analisis Dampak Wisata Snorkeling dan Selam (License dan Nonlicense) Perhitungan Daya Dukung Terkoreksi Daya Dukung Terkoreksi pada Masing-Masing Lokasi Wisata Perbandingan Data Persentase Tutupan Substrat Dasar Lokasi Wisata di Perairan Kelurahan Pulau Panggang (2010 dan 2016) Matriks Strategi Pengelolaan 59 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan Alir Rumusan Kerangka Masalah 5 2 Alur Penelitian 6 3 Bentuk-Bentuk Pertumbuhan Koralit Karang (Veron 2000) 8 4 Peta Lokasi Penelitian 13 5 Profil Wisatawan Berdasarkan Jumlah Anggota Kelompok yang Datang 23 6 Profil Wisatawan Berdasarkan Rentang Usia 23 7 Profil Wisatawan Berdasarkan Jenis Kelamin 23

14 xiv 8 Profil Wisatawan Berdasarkan Daeral Asal 24 9 Profil Wisatawan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Guide Memberikan Pelatihan Kepada Wisatawan Sebelum Snorkeling di Karang Jangkar Kapal yang Menimbulkan Kerusakan pada Karang (a) Tali Kapal yang Diikatkan pada Batu Karang Jumlah Wisatawan yang Melakukan Aktifitas Snorkeling Jumlah Wisatawan yang Melakukan Aktifitas Selam Persentase Pengunjung yang Singgah dan Tidak di Nusa Dua Setelah Melakukan Aktifitas Snorkeling dan Menyelam Jalur Wisata Snorkeling Jalur Wisata Selam Jalur Wisata Kemah Wisatawan Menginjak Karang Menggunakan Sepatu di Lokasi Barat Pulau Air Wisatawan Menginjak Karang di Lokasi Barat Pulau Air Genus Acropora yang Patah Akibat Terkena Tendangan Fins Wisatawan yang Menginjak dan Memegang Karang Perilaku Destruktif Wisatawan Selam yang Menginjak Karang Perilaku Destruktif Wisatawan Selam yang Memegang Karang Perilaku Destruktif Wisatawan Selam yang Mengaduk Sedimen Genus Porites yang Patah Akibat Kegiatan Wisata Snorkeling Kategori Rusak Kecil (a) dan Rusak Besar (b) Genus Millepora yang Patah Akibat Kegiatan Wisata Snorkeling Kategori Rusak Sedang (a) dan Genus Acropora Kategori Rusak Kecil (b) Karang Genus Porites yang Rusak Berupa Goresan (a) dan Luka (b) Akibat Aktifitas Wisata Snorkeling Permukaan yang Cenderung Tumpul atau Rata pada Bagian Atas Koloni Karang Millepora Permukaan yang Cenderung Rata pada Genus Porites Batu Karang yang Dieksploitasi di Pulau Panggang Tumpahan Minyak di Kelurahan Pulau Panggang 56 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian Wisatawan 65 2 Daftar Penggolongan Komponen Substrat Bentik Penyususn Komunitas Karang, Lifeform Karang dan Kodenya 67 3 t-test: Paired Two Sample for Means (Kedalaman 3 meter dan 10 meter) 68 4 t-test: Paired Two Sample for Means (Kedalaman 3 meter) 69 5 t-test: Paired Two Sample for Means (Kedalaman 10 meter) 69 6 Alat-Alat Penelitian 70 7 Foto-Foto Pengambilan Data Penelitian 71 8 Nilai Resiliensi Masing-Masing Lokasi Wisata 72 9 Perhitungan Daya Dukung Terkoreksi Masing-Masing Lokasi Wisata 73

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling beragam, produktif dan memiliki nilai ekologi yang besar di Bumi (Briggs 2005). Ekosistem terumbu karang memiliki nilai keindahan sehingga menjadi salah satu objek wisata yang menarik. Snorkeling dan selam adalah jenis wisata yang menjadikan terumbu karang sebagai objek wisata untuk dinikmati keindahannya. Dewasa ini, dengan semakin canggihnya peralatan selam semakin meningkatkan ketertarikan orang untuk mengeksplorasi keindahan alam laut (Ceballos-Lascurain 1993; Orams 1999). Kegiatan wisata selain memberikan keuntungan ekonomi namun juga memberikan dampak negatif terhadap ekosistem khususnya ekosistem terumbu karang (Hughes et al. 2003). Kegiatan wisata seperti snorkeling dan selam memberikan kontribusi terhadap perubahan kondisi ekosistem terumbu karang (Loya 1976 in Liew 2001). Beberapa perilaku wisatawan berpotensi merusak terumbu karang seperti menendang karang, memegang karang, berjalan di atas karang, serta penambatan jangkar di karang (Rouphael and Inglis 1997). Menurut Hawkins and Robert (1992) dampak yang diakibatkan oleh masing-masing perilaku wisatawan terhadap terumbu karang sangat kecil, namun secara kumulatif perilaku tersebut dapat memberikan tekanan terhadap terumbu karang dan mempengaruhi persentase tutupan karang. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kontak wisatawan yang menyebabkan kerusakan terhadap terumbu karang. Penelitian Poonian et al. (2010) menyatakan terjadinya kontak penyelam dengan karang keras dengan kisaran 0.87±0.27 hingga 2.98±0.59 kali perpenyelam setiap 10 menit. Peneltian Zakai and Furman (2002) mendapatkan 10 kali kontak wisatawan perpenyelaman yang sebagian besar menyebabkan teraduknya sedimen dan patahan pada karang. Penelitian Barker and Robert (2004) mendapatkan adanya kerusakan yang cukup besar dari penyelam yang membawa kamera dengan rata-rata sekali kontak permenit. Penelitian Luna et al. (2009) mendapatkan kontak penyelam dengan sedimen dasar perairan dengan rata-rata 41.20±3.55 kali perpenyelam per 10 menit. Sementara itu, penelitian Kartawijaya et al. (2013) di perairan Gili Matra tahun 2013 menunjukkan adanya pengaruh dari tekanan kegiatan wisata terhadap kondisi terumbu karang dengan tingkat kerusakan berkisar antara 0.07 sampai dengan 5.12 m 2 /25m 2. Degradasi terumbu karang akan menyebabkan hilangnya fungsi dan manfaat ekosistem tersebut sehingga pada akhirnya akan merugikan masyarakat terutama masyarakat lokal. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu solusi pengelolaan agar kegiatan wisata bisa berjalan dengan tetap memperhatikan kelestarian terumbu karang. Salah satu solusi tersebut adalah dengan konsep daya dukung sehingga kegiatan wisata tidak melebihi daya dukungnya dan terumbu karang dapat tetap lestari. Salah satu wilayah yang menjadi objek wisata adalah terumbu karang di Kepulauan Seribu. Kunjungan wisata ke Kepulauan Seribu terus mengalami

16 2 peningkatan setiap tahunnya. Jumlah kunjungan wisatawan yang telah dihimpun oleh Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kepulauan Seribu dari tahun 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013 sampai tahun 2014 secara berurutan yaitu sebanyak jiwa, jiwa, jiwa, jiwa, jiwa, jiwa dan jiwa (BPS 2015). Data ini menunjukkan adanya peningkatan wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Seribu dengan rata-rata kenaikan dari tahun 2008 hingga 2014 sebesar 80.50% pertahun. Kepulauan Seribu memiliki beberapa wilayah konservasi salah satunya yaitu Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Taman Nasional ini dikukuhkan sebagai taman nasional melalui SK Menhut No. 6310/Kpts-II/2002 yang meliputi perairan seluas ha terletak pada posisi 5 o 24-5 o 45 LS dan 106 o o 40 BT (Balai TNKpS 2003). Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 kawasan TNKpS terbagi dalam empat zona sebagai alokasi peruntukan kegiatan didalamnya yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata dan Zona Pemukiman. Perairan Kelurahan Pulau Panggang adalah salah satu wilayah di Kepulauan Seribu yang menjadi daya tarik bagi paara wisatawan. Kelurahan Pulau Panggang termasuk kedalam wilayah TNKpS dimana beberapa wilayahnya termasuk zona pemukiman dan ada juga yang termasuk zona pemanfaatan wisata. Jumlah wisatawan snorkeling dan selam yang berkunjung ke Kelurahan Pulau Panggang merupakan yang tertinggi dibandingkan kelurahan lain di Kecamatan Seribu Utara. Selain karena daya tarik alam lautnya, akses yang mudah, fasilitas yang memadai dan harga yang terjangkau, membuat wisatawan semakin tertarik untuk berwisata. Selain itu, Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau di Kelurahan Pulau Panggang berstatus sebagai Pusat Administrasi Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Seribu sehingga fasilitas-fasilitas lain pun ditingkatkan untuk menunjang pelayanan pemerintah seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kepulauan Seribu, fasilitas automatic teller machine dan fasilitas taman serta tempat kuliner. Jumlah wisatawan yang datang ke Pulau Pramuka mengalami kenaikan dari jiwa pada tahun 2011 menjadi jiwa tahun 2012 (BPS 2015). Pulau Pramuka merupakan salah satu dari 11 pulau yang termasuk ke dalam kawasan Kelurahan Pulau Panggang. Berdasarkan laporan dari salah satu kelompok usaha yang ada di Pulau Pramuka yaitu Elang Ekowisata dan dari yayasan terumbu karang indonesia (TERANGI) menyebutkan bahwa sekitar 90% wisatawan yang datang ke Pulau Pramuka melakukan aktifitas selam dan snorkeling. Lokasi-lokasi selam dan snorkeling di kawasan Kelurahan Pulau Panggang tersebar di beberapa lokasi yang berada di kawasan ini. Purwita (2010) telah menghitung daya dukung kawasan untuk wisata snorkeling dan selam di Kelurahan Pulau Panggang namun perhitungan yang dilakukan belum memasukkan potensi kerusakan dari perilaku destruktif wisatawan. Sementara itu, penelitian Yusnita (2014) memperlihatkan adanya potensi dampak dari kegiatan wisata snorkeling dan selam di Kelurahan Pulau Panggang. Besar potensi kerusakan yang ditimbulkan dari aktifitas snorkeling adalah 8,196% dan selam 7,574% terhadap luasan potensi ekologis terumbu karang. Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya perhitungan daya dukung dengan mempertimbangkan parameter perilaku destruktif wisatawan sehingga daya dukung yang dihasilkan akan lebih komprehensif.

17 3 Perumusan Masalah Jumlah kunjungan wisatawan yang ke Kepulauan Seribu terus mengalami pengingkatan (BPS 2015). Peningkatan ini semakin deras dengan semakin berkembangnya animo masyarakat untuk melakukan wisata pesisir sehingga memicu terjadinya peningkatan yang signifikan terhadap wisata pesisir. Penelitian ini akan menjawab sejauh mana tingkat pemanfaatan ekosistem Kepulauan Seribu khususnya Kelurahan Pulau Panggang terutama untuk wisata menyelam dan snorkeling. Wisata selain memberikan keuntungan secara ekonomi namun juga memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya alam. Hughes et al. (2003) menyatakan aktifitas wisata termasuk salah satu faktor antropogenik penyebab degradasi terumbu karang selain tangkap lebih, polusi dan pemanasan global. Terlebih pola kegiatan wisata yang berlangsung sampai saat ini di Kepulauan Seribu khususnya Kelurahan Pulau Panggang masih menganut konsep wisata mass tourism atau pola wisata konvensional yang bersifat massal. Konsep ini biasanya berorientasi pada kuantitas pengunjung dan pertumbuhan yang setinggitingginya sehingga sangat rawan terjadi over carrying capacity dan berpotensi pada terjadinya degradasi lingkungan. Kegiatan wisata pesisir yaitu snorkeling dan menyelam biasanya terfokus pada beberapa spot yang menjadi primadona untuk dikunjungi sehingga tekanan pada lokasi-lokasi itu cukup besar dan terus menerus. Besarnya tekanan itu menyebabkan rusaknya terumbu karang akibat terkena fins, tersenggol, dipegang baik sengaja ataupun tidak sengaja, terkena pengaruh jangkar kapal dan akibat terkena badan kapal. Selain itu, kegiatan menyelam dan snorkeling menyebabkan timbulnya lession atau luka pada karang terutama karang-karang massive akibat dipegang oleh wisatawan. Penelitian ini akan mengkaji seberapa besar pengaruh wisata yang terjadi terhadap degradasi terumbu karang di Kepulauan Seribu khususnya Kelurahan Pulau Panggang. Yulianda dan Purwita (2010) menyatakan daya dukung di Kelurahan Pulau Panggang untuk wisata snorkeling sebesar pengunjung dengan luas kawasan yang sesuai untuk pengembangan wisata snorkeling sekitar 305,26 hektar, sedangkan daya dukung untuk wisata selam sebesar pengunjung dengan luas kawasan yang sesuai untuk pengembangan wisata selam sekitar 42,91 hektar. Penelitian Yusnita (2014) menunjukkan adanya perilaku destruktif dari wisatawan di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, terhadap kelestarian terumbu karang dimana salah satu akibat perilaku destruktif tersebut yaitu adanya patahan karang yang sebabkan oleh tersenggol fins, terinjak serta kontak secara sengaja ataupun tidak sengaja dengan bagian anggota tubuh wisatawan. Adanya kerusakan karang akibat perilaku destruktif ini akan menyebabkan degradasi terumbu karang. Secara alamiah ekosistem terumbu karang terus melakukan proses tumbuh dan beregenerasi sehingga mampu mempertahankan keberlangsungan ekosistemnya. Namun, semakin besar tekanan yang menyebabkan semakin meningkatnya degradasi terumbu karang, maka pada titik tertentu kemampuan tumbuh dan regenerasi terumbu karang tidak akan mampu mengimbangi tingkat kerusakan sehingga lambat laun terumbu karang akan punah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian daya dukung terumbu karang dengan memperhatikan tingkat

18 4 ancaman kerusakan yang ditimbulkan dari kegiatan wisata selam dan snorkeling terhadap terumbu karang tersebut. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis karakteristik wisata di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. 2. Menganalisis dampak perilaku destruktif wisatawan terhadap terumbu karang di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. 3. Mengkaji daya dukung ekosistem terumbu karang dengan memasukkan parameter perilaku destruktif wisatawan snorkeling dan selam di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. 4. Memberikan rekomendasi strategi pengelolaan untuk meminimalisasi dampak negatif wisata terhadap terumbu karang. Ruang Lingkup Penelitian Pokok kajian dalam penelitian ini adalah menganalisis daya dukung wisata snorkeling dan selam dengan mempertimbangkan perilaku destruktif wisatawan sebagai salah satu parameter perhitungan. Fokus penelitian dilakukan terhadap pola dan karakteristik wisata, perilaku wisatawan snokeling dan selam, serta dampak kerusakan dari perilaku destruktif terhadap terumbu karang. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihakpihak yang terkait dalam pengelolaan wisata khususnya di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Rekomendasi pengelolaan yang diberikan diharapkan dapat meminimalisir dampak wisata snorkeling dan selam sehingga terumbu karang tetap lestari dan berkelanjutan. Kerangka Pemikiran Terumbu karang adalah salah satu sumberdaya alam yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang baik secara alami maupun secara buatan melalui campur tangan manusia seperti transplantasi, biorock dan sebagainya. Namun, seperti halnya sumberdaya alam yang lain, ekosistem terumbu karang diekspoitasi baik secara langsung (perikanan tangkap, perikanan hias, pengambilan batu karang, karang hias dst.) maupun tidak langsung seperti untuk kebutuhan jasa wisata. Adanya eksploitasi menimbulkan dampak terhadap degradasi terumbu karang. Secara alami ekosistem terumbu karang mempunyai kemampuan dalam mengabsorpsi setiap gangguan yang masuk sehingga eksistensinya tetap stabil. Namun, kemampuan mengabsoprsi gangguan tersebut mempunyai batas artinya tidak semua gangguan bias diterima oleh ekosistem terumbu karang, tergantung dari besarnya gangguan yang masuk dan kemampuan ekosistem terumbu karang

19 5 dalam bertahan. Batas kemampuan dalam menerima gangguan ini disebut daya dukung. Apabila gangguan yang masuk lebih besar dari kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang maka bisa dikatakan gangguan tersebut melebihi daya dukung (over carrying capacity). Sebaliknya, apabila gangguan yang masuk masih dibawah kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang maka gangguan tersebut masih dibawah daya dukung (under carrying capacity) (Gambar 1). Ekosistem Terumbu Karang Kepulauan Tumbuh Pemanfaatan atau eksploitasi Alami Manusia Wisata Perikanan Kegiatan lain Pulih Dampak Daya Dukung Lestari Gambar 1 Bagan alir rumusan kerangka masalah Berdasarkan hal tersebut, maka kajian daya dukung sangat penting dilakukan sehingga ekosistem terumbu karang akan tetap lestari dan berkelanjutan (Gambar 1). Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji daya dukung dengan mempertimbangkan parameter perilaku destruktif wisatawan. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi analisis pola dan karakteristik wisatawan, analisis perilaku destruktif dan dampaknya terhadap terumbu karang, analisis daya dukung serta merumuskan rekomendasi pengelolaan. Lebih jelas dijabarkan pada Gambar 2.

20 6 KARAKTERISTIK WISATA Metode: Observasi, wawancara Analisis: Deskriptif PERILAKU DESTRUKTIF Metode: Observasi Analisis: Analisis deskriptif DAMPAK LANGSUNG Metode: Belt transect Analisis: Analisis Foto KAJIAN DAYA DUKUNG Metode: LIT, Studi literatur Analisis: Analisis persentase tutupan substrat, Uji-t, dan Analisis Potensi Dampak Wisata REKOMENDASI PENGELOLAAN Metode: Observasi, wawancara, Studi literature Analisis: Deskriptif Gambar 2 Alur penelitian

21 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Karang Karang tergolong dalam jenis makhluk hidup (hewan) yaitu sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat hewan. Dalam bentuk yang paling sederhana, karang hanya bisa terdiri dari sebuah polip yang mempunyai bentuk seperti tabung dengan mulut di bagian atas yang dikelilingi oleh tentakel (Burke et al 2002). Menurut Veron (2000) hewan karang adalah hewan sessile renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral, hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk ke dalam Phylum Cnidaria (Coelenterata). Klasifikasi dari komunitas hewan-hewan dalam ekosistem terumbu karang adalah sebagai berikut. Klas Hydrozoa Ordo Hydroidea (hydroids) Ordo Milleporina (meliputi Genus Millepora) Ordo Stylasterina (meliputi Genus Distichopora and Stylaster) Klas Cubozoa (sea wasps) Klas Anthozoa SubKlas Octocorallia Ordo Helioporacea (Genus Heliopora) Ordo Alcyonacea (soft corals, Tubipora, sea fans) Ordo Pennatulacea (sea pens) SubKlas Hexacorallia Ordo Actiniaria (sea anemones) Ordo Zoanthidia (zoanthids) Ordo Corallimorpharia (corallimorpharians) Ordo Scleractinia (stony corals) SubKlas Ceriantipatharia Ordo Antipatharia (black corals) Ordo Ceriantharia (tube anemones) Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang, yang hidup di dasar perairan, yang berupa batuan kapur (CaCO 3 ), dan mempunyai kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut (Supriharyono 2007). Terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat yang dihasillkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatifik) dari filum Cnidaria, ordo Sclerectinia yang hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan sedikit tambahan alga berkapur dan organisme lain yang mengsekresi kalsium karbonat (Bengen 2001). Terumbu karang merupakan ekosistem yang terdapat khas di daerah tropis, mempunyai produktifitas yang sangat tinggi, dan juga keanekaragaman biota yang ada didalamnya. Banyak sekali jenis biota yang hidupnya berkaitan erat dengan terumbu karang, dimana semuanya terjalin dalam hubungan harmonis dalam satu ekosistem terumbu karang. Karang yang ada di dunia terbagi dua kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu. Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang

22 8 bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik yang dinamakan zooxanthellae. Hasil samping dari aktivitas fotosintesis tersebut adalah berupa endapan kalsium karbonat, yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Struktur Rangka Terumbu Karang Pembentukan terumbu karang dimulai adanya individu karang (polip) yang hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk, sedangkan karang yang hidup sendiri hanya membangun satu bentuk rangka kapur. Gabungan beberapa bentuk rangka kapur tersebut disebut terumbu (Veron 2000). Rangka kapur yang dibentuk hewan karang sangat kompleks. Morfologi dari rangka kapur inilah yang saat ini umumnya digunakan untuk mengidentifikasi jenis karang. Salah satu dasar pengamatan karang yang paling banyak digunakan adalah pengamatan struktur koralit. Di dalam koralit terdapat septa yang tumbuh keluar dari dasar koralit, septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang (Nybakken 1992). Gambar 3 Bentuk-bentuk pertumbuhan koralit karang (Veron 2000) Ukuran koralit sangat bervariasi, dari yang seukuran kepala jarum sampai yang sebesar sepatu. Koralit diperbanyak melalui proses yang disebut budding. Terdapat dua proses budding yaitu intra tentacular dimana polip akan terbagi menjadi dua atau lebih polip dan extratentacular dimana polip baru terbentuk dari sisi polip pertama (Delbeek 1995). Umumnya ribuan polip yang terbentuk saling

23 berhubungan (interconnected) dalam satu koloni. Tumbuh di luar koralit terdapat costae. Pada beberapa karang terdapat bagian yang muncul seperti tiang pada dasar septa yang disebut paliform lobe dan di bagian tengah koralit terdapat columella. Koralit digabungkan secara horizontal oleh coenesteum (Van Woesik 1997). Bentuk dari koralit tergantung dari model pertumbuhannya, bila koralit membentuk dinding sendiri yang pendek disebut plocoid atau yang lebih panjang disebut phaceloid. Bila koralit membentuk diding bersama disebut ceroid, bila membentuk dinding lembah sendiri disebut meandroid dan bila membentuk dinding lembah bersama disebut flabello-meandroid (Veron 2000). Bentuk-bentuk pertumbuhan koralit dari karang disajikan pada Gambar 3. Keanekaragaman, penyebaran, dan pertumbuhan hermatifik karang tergantung pada lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisika, kimia, maupun biologis. Faktor-faktor fisika-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan/atau laju pertumbuhan karang antara lain cahaya matahari, suhu, salinitas, Ph dan sedimen. Sedangkan faktor biologis, biasanya berupa predator atau pemangsanya (Supriharyono 2007). Titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara f.c. atau umumnya terletak antara f.c. (Nybakken 1992). Birkeland (1997) menyatakan pada umumnya terumbu karang ditemukan pada perairan dengan suhu C, Pada daerah tropis suhu rata-rata tahunan untuk perkembangan optimal terumbu karang adalah C, sedangkan salinitas air laut yang normal untuk kehidupan karang hermatifik adalah / 00 (Nybakken 1992). Padatan tersuspensi (kekeruhan) berhubungan dengan kecerahan perairan. Thamrin (2006) menyatakan bahwa padatan tersuspensi mempengaruhi sepanjang siklus hidup hewan karang. Sedimen berpengaruh terhadap pertumbuhan binatang karang baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung sedimen adalah dengan menutupi polip karang sehingga menyebabkan kematian pada karang. Sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu menghalangi penetrasi cahaya sehingga mengganggu fotosintesis (Bak 1978 in Supriharyono 2007). Selain itu, sedimen yang tinggi memaksa karang untuk mengeluarkan energi lebih guna menghalau sedimen tersebut yang mengakibatkan turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985 dalam Supriharyono 2007). Tingkat kekeruhan yang normal bagi terumbu karang berkisar antara 0-10 mg/liter (Rogers 1990, Larcombe et al dalam Thamrin 2006). Rachmawati (2001) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Karang sendiri memiliki kemampuan dalam membersihkan permukaan tubuhnya (koloninya) dari sedimen, tetapi dalam jumlah yang sangat terbatas, sehingga jenis karang yang ditemukan dalam perairan yang memiliki tingkat sedimentasi yang tinggi hanya terbatas pada jenis karang tertentu. Amonium tidak bersifat toksik (innocuous) namun pada suasana alkalis (Ph tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik (Tebbut 1992 in Effendi 2003). Karang biasanya hidup pada perairan dengan nutrien anorganik yang rendah (Grover 2003). Nutrien yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga pada perairan tersebut juga meningkat. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi 9

24 10 karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001). Pertumbuhan dan Bentuk Koloni Karang Laju pertumbuhan pada tiap koloni karang bisa berbeda satu dengan yang lainnya tergantung kepada spesies, umur koloni, dan lokasi terumbu tersebut. Namun, koloni yang muda dan kecil cenderung tumbuh lebih cepat daripada koloni yang lebih tua, koloni yang besar dan bercabang (Nybakken 1992). Raymond et al. (2006) menyatakan karang dengan bentuk submasif dan masif biasanya menampilkan pertumbuhan lebih lambat tapi lebih baik dalam bertahan hidup. Sedangkan spesies dengan bentuk percabangan yang halus dan foliose memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi namun buruk dalam bertahan hidup. Nybakken (1992) menyatakan bahwa lokasi karang juga mempengaruhi bentuk pertumbuhan dari spesies karang. Spesies karang yang terdapat di tempat yang lebih dalam memiliki bentuk yang lebih tipis dan kurus, hal ini mungkin disebabkan oleh proses kalsifikasi yang kurang optimal. Arus menyebabkan bentuk cabang mempunyai penyesuaian arah tertentu sedangkan gerakan gelombang menyebabkan spesies bercabang mempunyai cabang yang lebih pendek dan tumpul. English et al. (1994) membagi karang batu berdasarkan bentuk pertumbuhannya menjadi dua yaitu karang Acropora dan non-acropora. Pengelompokkan ini berdasarkan kepada ada tidaknya koralit axial dan radial pada karang batu tersebut. Karang Acropora mempunyai axial dan radial koralit sedangkan karang non-acropora hanya mempunyai radial saja. Selain itu, pengelompokkan ini didasarkan pada jumlah kelompok karang Acropora yang menurut Thamrin (2006) umumnya merupakan salah satu kelompok karang yang sangat dominan pada suatu perairan. Genera karang Acropora umumnya memiliki bentuk morfologi koloni yang bercabang dan salah satu komponen utama pembangun terumbu karang. Pertumbuhan karang bercabang berlangsung lebih cepat pada bagian ujung cabang tanpa zooxanthellae dibandingkan dengan bagian basal (Rinkevich & Loya 1984 in Rani dan Jamaludin. 2005). Ekosistem terumbu karang memiliki banyak manfaat dan fungsi. Manfaat ekosistem terumbu karang tidak hanya berasal dari hewan karang, tetapi juga dari berbagai macam penyusun ekositem tersebut yang berkaitan erat dengan hewan karang ini dalam hubungan fungsional dan harmonis. Manfaat terumbu karang bisa berupa manfaat barang maupun jasa yang dihasilkannya (Moberg dan Folk 1999 in Cesar 2000). Manfaat barang adalah manfaat dari sumberdaya yang dapat pulih yang dieskploitasi untuk memenuhi kebutuhan seperti penangkapan ikan, penjualan karang-karang hias, kayu-kayu mangrove dan sebagainya. Sedangkan manfaat jasa di kategorikan kedalam manfaat struktur fisik, biotik, informasi dan manfaat sosial budaya. Ekowisata Bahari Wisata adalah perjalanan atau sebagai dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik

25 11 wisata (Fandeli 2001). Wisata merupakan perjalanan ke suatu tempat untuk sementara waktu guna untuk memenuhi keinginan dan kepuasan diri. Kegiatan wisata yang tidak bersifat konservatif dan tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang menjadi objek wisata tersebut. Konsep yang sekarang berkembang adalah ekowisata yaitu jenis wisata yang tidak hanya sekedar menikmati keindahan alam tapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan. Menurut Yulianda (2007) konsep ekowisata tidak mengedepankan faktor pertumbuhan ekonomi, melainkan menjaga keseimbangan antara kegiatan pemanfaatan dan kelestarian sumber daya. Lebih lanjut Yulianda (2007) menyatakan bahwa ekowisata bahari merupakan bentuk pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi. Lebih lanjut Latupapua (2008) mengatakan bahwa ekowisata merupakan konsep dan istilah yang menghubungkan dengan konservasi. Ekowisata sering dipahami sebagai pariwisata berwawasan lingkungan dan merupakan salah satu bentuk pariwisata alternatif yang menonjolkan tanggungjawab terhadap lingkungan. Ekowisata telah berkembang sebagai salah satu pariwisata potensial untuk kepentingan pariwisata berkelanjutan. Pertumbuhan ekowisata diduga lebih pesat dari wisata lainnya. Pertumbuhan rata-rata ekowisata sebesar 10 persen pertahun (World Travel Tourism Council 2004) melampaui pertumbuhan rata-rata pertahun pariwisata pada umumnya yang hanya mencapai 4.6 persen pertahun. Ekowisata sebagai salah satu jenis wisata yang berbasis konservasi lingkungan memiliki beberapa misi, yaitu: 1. Mengembangkan kepariwisataan yang berbasis kepada alam dengan tetap menjaga kelestarian alam, 2. Mengangkat budaya setempat sebagai wisata budaya yang mendukung wisata alam, 3. Mengembangkan kepariwisataan secara terpadu antara alam dengan budaya, 4. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kepariwisataan yang ramah lingkungan. Konsep ekowisata sangat penting diterapkan pada wisata bahari. Sejauh ini kegiatan wisata pesisir seperti snorkeling dan selam menimbulkan dampak terhadap terumbu karang. Beberapa peneliti mengungkapkan kerusakan-kerusakan yang terjadi diantaranya penelitian Poonian et al. (2010), Zakai and Chadwick- Furman (2002), Barker and Robert (2004), Luna et al. (2009) dan penelitian Kartawijaya et al. (2013) di perairan Gili Matra-Indonesia. Konsep ekowisata bahari akan menggeser konsep wisata massal (mass tourism) ke dalam wisata baru yang lebih menekankan kepuasan dan mencari daya tarik, tidak hanya sekedar jalan-jalan. Daya Dukung Kawasan Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan sumberdaya alam juga meningkat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut maka eksploitasi akan sumberdaya alam pun semakin intensif. Eksploitasi yang tidak diikuti dengan pengelolaan yang baik dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di kawasan tersebut. Jika gangguan itu terlalu besar maka ekosistem pada kawasan tersebut akan rusak sedangkan jika gangguan itu masih bisa

26 12 ditolerir maka ekosistem di kawasan tersebut akan tetap lestari. Batas dimana kawasan masih mampu menerima gangguan itu sering disebut daya dukung. Rees (1990) menyatakan pengertian daya dukung dalam konteks ekologis adalah jumlah populasi atau komunitas yang dapat didukung oleh sumberdaya dan jasa yang tersedia dalam ekosistem tersebut. Konsep daya dukung lingkungan dalam konteks ekologis tersebut terkait erat dengan modal alam. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, suatu komunitas tidak hanya memiliki modal alam, melainkan juga modal manusia, modal sosial dan modal lingkungan buatan. Salah satu konsep yang berkembang adalah konsep daya dukung kawasan yaitu kemampuan kawasan untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) tanpa merusak ekosistem yang ada di dalam kawasan tersebut. Daya dukung kawasan ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai, dan pulau-pulau kecil secara lestari. Yulianda (2007) menyatakan bahwa secara umum ragam daya dukung wisata bahari meliputi daya dukung ekologis, daya dukung fisik, dan daya dukung sosial. Lebih lanjut Yulianda (2007) menyatakan konsep daya dukung wisata mempertimbangkan dua hal yaitu pertama, kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan kedua, kemampuan alam dalam mempertahankan keaslian sumberdaya alam tersebut. Kemampuan ini ditentukan oleh besarnya gangguan yang kemungkinan akan muncul dari kegiatan wisata. Konsep daya dukung kawasan adalah metode yang diperkenalkan dalam menghitung daya dukung pengembangan ekowisata bahari (Yulianda 2007). Defenisi lain yang lebih luas tentang daya dukung lingkungan adalah memperhitungkan jenis dan perilaku pengunjung. Dalam hal ini, dayang dukung tidak hanya ditentukan oleh kapasitas fisik kawasan dalam menampung wisatawan tapi juga mempertimbangkan hal salah satunya adalah perilaku pengunjung. Daya dukung dengan memasukkan memasukkan parameter perilaku pengunjung akan bersifat dinamis karena sangat tergantung dengan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh perilaku pengunjung. Semakin baik tingkat keterampilan dan kepedulian pengunjung terhadap alam maka daya dukung akan semakin besar dan sebaliknya. Semakin rendah tingkat keterampilan dan kepedulian maka kemungkinan dampak akan semakin besar sehingga kapasitas daya tampungnya juga semakin rendah.

27 13 3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Seribu yaitu di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 4). Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Desember 2016 yang meliputi tahap pengumpulan data, analisis data dan penulisan laporan. Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan berjumlah 9 (Sembilan) titik dimana 6 (enam) diantaranya adalah lokasi yang pernah diteliti oleh Purwita (2010). Penelitian ini mengambil titik yang sama (kordinat dan kedalaman sama) sehingga bisa dibandingkan dan dikaji perubahannya. Tabel 1 Koordinat lokasi penelitian No Lokasi Latitude Longitude Keterangan 1 Utara Karang Lebar 05ᴼ ᴼ Barat Panggang 05ᴼ ᴼ Selatan Semak Daun 05ᴼ ᴼ Sama dengan 4 Utara Semak Daun 05ᴼ ᴼ Purwita 5 Gosong Balik Layar 05ᴼ ᴼ Tanjung Penyu 05ᴼ ᴼ Selatan Pulau Air 05ᴼ ᴼ Selatan Pulau Kotok 05ᴼ ᴼ Lokasi baru

28 14 No Lokasi Latitude Longitude Keterangan 9 Barat Pulau Air 05ᴼ ᴼ Tiga titik tambahan merupakan lokasi wisata baru yang sering dikunjungi wisatawan. Ground-truthing Ketiga titik tersebut menggunakan GPS (Global Positioning System). Nama lokasi serta kordinat penelitian dijelaskan pada Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan meliputi data pola dan karakteristik wisata, data perilaku destruktif wisatawan dan dampaknya terhadap terumbu karang serta data pendukung lain hasil wawancara. Responden yang menjadi objek penelitian adalah wisatawan, operator wisata dan pemandu wisata (guide). Data sekunder dalam penelitain ini terutama data-data peneitian terdahulu dan data pendukung lain yang didapatkan dari buku-buku laporan, website dan jurnal. Matriks jenis data, sumber data dan analisis data secara lengkap disajikan dalam Tabel 2. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan karakteristik wisatawan. Pengambilan sampel wisatawan untuk mengisi data kuesioner dilakukan di Pulau Pramuka sebelum wisatawan pergi ke laut (melakukan snorkeling atau menyelam) ataupun setelah wisatawan selesai dan kembali ke Pulau Pramuka.

29 15 Tabel 2 Matriks jenis data, sumber data dan metode pengambilan data No Tujuan Jenis Data Komponen Data Metode Pengumpulan Data Analisis Data 1 Menganalisis karakteristik wisata di Kelurahan P.Panggang Data primer - Data lokasi dan jalur wisata - Data kunjungan wisatawan - Data kapal wisata - Observasi dan wawancara - Analisis Deskriptif 2. Menganalisis dampak perilaku destruktif wisatawan terhadap terumbu karang 3. Mengkaji daya dukung terumbu karang dengan memasukkan parameter perilaku destruktif 4. Merumuskan rekomendasi pengelolaan Data primer Data primer dan sekunder Data primer dan sekunder - Data perilaku destruktif wisatawan - Data dampak langsung terhadap terumbu karang - Data persentase tutupan substrat dasar - Data hasil analisis dampak wisata bahari - Data hasil analisis karakteristik wisata di Kelurahan Pulau Panggang, - Data hasil analisis dampak perilaku destruktif wisatawan, - Data hasil kajian daya dukung terkoreksi - Data pendukung hasil observasi (faktor-faktor positif yang mendukung terumbu karang, permasalahan yang mendukung kerusakan karang) - Observasi - Metode Belt transect - Metode Line intercept transect (LIT) atau transek garis menyinggung (English et al. 1994) - Perbandingan data terdahulu - Hasil analisis karaktersitik wisata, analisis dampak perilaku destruktif dan hasil kajian daya dukung - Hasil observasi di lapangan dan wawancara - Analisis Deskriptif - Analisis dampak wisata bahari (DWB) - Analisis persentase tutupan - Analisis daya dukung terkoreksi - Analisis deskriptif

30 16 Metode Pengumpulan Data Pengambilan Sampel Penentuan jumlah sampel wisatawan dilakukan dengan menggunakan metode slovin (Sevilla et al. 2007). Metode Slovin adalah metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel pada rancangan penelitian simple random sampling. Rumus yang digunakan sebagai berikut: Dimana: n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi e = Tingkat kesalahan Jumlah populasi ditentukan dari jumlah rata-rata wisatawan yang datang. Sedangkan jumlah rata-rata wisatawan didapatkan dari pengambilan data yang dilakukan selama beberapa minggu (Gambar 4 dan 5). Tingkat kesalahan (error tolerance) yang digunakan sebesar 15% dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya, waktu dan dana yang dimiliki. Jumlah populasi wisatawan snorkeling sebanyak 324 orang/hari sehingga jumlah sampel yang diambil minimal sebanyak 40 orang. Dalam penelitian ini sampel wisatawan snorkeling untuk pengamatan perilaku destruktif yang didapatkan sebanyak 45 orang. Sedangkan jumlah populasi wisatawan selam sebanyak 83 orang/hari sehingga jumlah sampel yang diambial adalah 20 orang. Hasil wawancara dengan operator wisata yaitu Elang Ekowisata menyatakan bahwa wisatawan selam yang datang ke Kelurahan Pulau Panggang hanya 30% yang memiliki lisensi atau surat izin menyelam (SIM) dan sisanya sebanyak 70% tidak atau belum memiliki lisensi atau masih dalam tahap proses pengambilan lisensi selam. Berdasarkan hal tersebut maka penulis mengelompokkan sampel wisatawan selam menjadi dua yaitu wisatawan selam yang sudah berlisensi dan wisatawan selam yang belum berlisensi (masih dalam tahap belajar). Jumlah sampel wisatawan selam berlisensi sebanyak 30% dari 20 orang yaitu 6 orang sedangkan jumlah sampel wisatawan yang belum berlisensi adalah 70% dari 20 orang yaitu 14 orang. Sedangkan untuk pengambilan sampel responden penyedia jasa (operator dan pemandu wisata) ditentukan dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan (sifat-sifat, karakteristik, ciri, kriteria). Metode observasi lapangan dan wawancara terhadap wisatawan serta penyedia jasa dilakukan untuk mendapatkan beberapa informasi diantaranya: 1. Informasi yang berhubungan dengan keterampilan wisatawan dalam menyelam ataupun snorkeling seperti jenjang selam, intensitas penyelaman dan intensitas kegiatan snorkeling (bagi wisatawan snorkeling) dan frekuensi kunjungan. 2. Informasi tentang daerah-daerah penyelaman, jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling dan selam serta jumlah wisatawan dalam satu kali trip ke lokasi wisata.

31 17 Teknik Observasi Objek Penelitian Data perlaku destruktif wisatawan dan dampak kerusakan yang ditimbulkan didapatkan melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap wisatawan baik wisatawan snorkeling dan selam. Peneliti mengamati wisatawan selama wisatawan melakukan aktifitas wisata dari mulai turun ke laut hingga naik kembali ke kapal. Dalam hal ini, peneliti tidak menyatakan diri sebagai peneliti yang sedang mengamati perilaku destruktif wisatawan. Peneliti mencatat segala jenis perilaku destruktif, frekuensi dan lama waktu melakukan perilaku destruktif tersebut. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 45 orang untuk wisatawan snorkeling dan 20 orang untuk wisatawan selam sesuai dengan hasil perhitungan menggunakan metode slovin. Peneliti dibantu oleh tiga orang pengamat dan setiap pengamat maksimal mengamati dua orang sampel wisatawan dalam sekali pengamatan. Sampel yang diambil tidak hanya dari satu kapal melainkan dari beberapa kapal dan dari jenjang usia yang berbeda-beda (Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak dan remaja baik laki-laki maupun perempuan) serta di lokasi yang berbeda-beda. Setelah pengamatan perilaku destruktif selesai kemudian tim membentangkan transek garis sepanjang 100 meter. Transek garis ini digunakan sebagai patokan (garis tengah) untuk melakukan pengambilan data kerusakan terumbu karang akibat perilaku destruktif wisatawan. Sebelumnya titik-titik karang yang rusak sudah ditandai menggunakan cable ties. Penandaan ini dilakukan sesaat setelah perilaku destruktif yang menyebabkan kerusakan terhadap terumbu karang terjadi. Setelah transek sepanjang 100 meter dibentangkan maka peneliti mengambil data kerusakan menggunakan transek kuadrat dengan lebar kiri sebesar tiga meter dan kanan tiga meter. Adapun batas lebar kiri dan kanan tiga meter, peneliti menggunakan transek imaginer (estimasi penulis dengan berpatokan pada transek garis yang sudah dibentangkan). Data kerusakan yang dicatat dikelompokkan kedalam beberapa jenis kerusakan yaitu kategori rusak berupa goresan, luka, patah, hancur dan terbalik. Sedangkan ukuran besar kerusakan dikelompokkan menjadi tiga yaitu kecil, sedang dan besar. Ukuran ini didasarkan dari persentase kerusakan pada setiap koloni karang dimana jika rusaknya 30% masuk kategori rusak kecil, 30-70% rusak sedang dan 70% rusak besar. Sebelum melakukan pengambilan data kerusakan karang peneliti telah melakukan observasi lapangan sebelumnya sebanyak tiga kali. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Lebih meyakinkan dan memastikan jenis kerusakan karang akibat wisatawan, bukan oleh sebab lain. 2. Memastikan bahwa lokasi yang diteliti benar-benar lokasi utama kegiatan wisata. 3. Meyakinkan dan menyamakan persepsi jenis kerusakan yang diakibatkan oleh wisatawan antara peneliti dan beberapa rekan yang membantu dalam proses pengambilan data. Data Persentase Tutupan Substrat Data persentase tutupan substrat dasar perairan didapatkan dengan melakukan pengamatan langsung menggunakan alat selam. Metode yang

32 18 digunakan adalah line intercept transeck (LIT) atau transek garis menyinggung mengacu kepada English et al. (1994). Total panjang transek yang digunakan 100 meter yang dibagi menjadi tiga ulangan dengan masing-masing ulangan memiliki panjang 30 meter dan jeda antar ulangan 5 meter. Pengambilan data dilakukan pada dua kedalaman, yaitu kedalaman 3 meter yang mewakili perairan dangkal dan kedalaman 10 meter mewakili perairan dalam. Lokasi pengamatan berjumlah sembilan titik dimana enam titik merupakan lokasi yang pernah diteliti oleh Purwita pada tahun 2010 (Tabel 1). Penulis menggunakan lokasi yang sama ditambah dengan tiga titik baru. Lokasi yang sama digunakan dengan pertimbangan agar data yang didapatkan bisa dibandingkan sehingga bisa diketahui perubahannya. Pencatatan data terumbu karang meliputi data jenis substrat dasar perairan, jenis-jenis lifeform atau bentuk pertumbuhan terumbu karang, biota makrobenthos yang terdapat di bawah transek garis serta keterangan-keterangan lain yang mendukung data penelitian (Lampiran). Ketelitian pendataan terumbu karang dilakukan hingga ke tingkat genus dengan mengacu kepada buku Coral of The World (Veron 2000), Coral ID dan Coral Finder (Kelley 2009). Analisis Tutupan Terumbu Karang Analisis Data Persentase penutupan karang digunakan untuk menduga kondisi terumbu karang. Pengambilan data terutama dilakukan pada lokasi-lokasi yang menjadi tujuan wisata. Rumus yang digunakan untuk menghitung penutupan biota karang (English et al. 1994): Li = 100% Dengan: Li = persentase penutupan biota karang ke-i; ni = panjang total kelompok biota karang ke-i; dan L = panjang total transek garis. Hasil penutupan karang hidup yang tinggi biasanya menandakan bahwa terumbu karang di suatu daerah berada dalam kondisi yang sehat. Namun, jika persentase penutupan karang rendah dan persentase karang rusak tinggi menandakan telah terjadi tekanan yang besar. Analisis Uji-t Analisis uji-t digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata dua populasi. dalam kasus penelitian digunakan uji-t data berpasangan karena objek yang diteliti adalah objek yang sama (kordinat dan kedalaman yang sama) pada waktu yang berbeda. Analisis dilakukan dengan menggunakan microsoft excel. Analisis Dampak Wisata Bahari Analisis ini digunakan untuk melihat potensi kerusakan yang ditimbulkan akibat perilaku destruktif wisatawan baik wisatawan snorkeling maupun wisatawan selam. Analisis dampak wisata menggunakan rumus dari modifikasi Yulianda (2007) sebagai berikut:

33 19 Dimana: DWB = Persentase dampak wisata bahari (%) K = Potensi ekologis pengunjung per satuan area untuk kategori wisata bahari tertentu (m 2 /orang) Lp = Luas area yang dapat dimanfaatkan untuk kategori wisata bahari tertentu (m 2 ) Lt = Luas area yang dapat dibutuhkan untuk kategori wisata bahari tertentu (m 2 ) P = Jumlah wisatawan untuk kategori wisata bahari tertentu (m 2 ) = Jumlah waktu dan prekuensi perilaku pengunjung yang berpotensi merusak terumbu karang untuk kategori wisata tertentu (menit) Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk kategori wisata bahari tertentu (menit) Daya Dukung Terkoreksi Daya dukung terkoreksi adalah daya dukung baru yang dihitung dengan memasukkan parameter perilaku destruktif wisatawan ke dalam perhitungan daya dukung. Pada tahun 2010, Purwita telah melakukan penelitian terkait daya dukung kawasan untuk wisata snorkeling dan selam di Kelurahan Pulau Panggang. Namun, perhitungan tersebut belum mempertimbangkan parameter potensi kerusakan dari perilaku destruktif wisatawan. Dalam tesis ini, penulis mencoba menghitung ulang daya dukung dengan memasukkan parameter potansi kerusakan dari perilaku destruktif wisatawan. Adapun rumus yang digunakan yaitu dengan mengalikan nilai dampak wisata bahari (DWB) dengan luasan terumbu karang keseluruhan (Lp) sehingga dihasilkan luasan karang yang rusak. Luasan karang yang rusak dapat dikonversi kedalam jumlah orang karena asumsi perhitungan daya dukung kawasan adalah setiap satu orang wisatawan snorkeling membutuhkan luasan wilayah sebesar 500m 2 dan dua wisatawan selam sebesar 2000m 2. Jumlah orang hasil perhitungan daya dukung awal (Purwita 2010) dikurangi jumlah orang hasil konversi dari luasan karang yang rusak sehingga didapatkan daya dukung baru atau disebut daya dukung terkoreksi. Daya dukung terkoreksi = Daya dukung lama (Purwita 2010) - jumlah orang (hasil konversi kerusakan) Jumlah orang (hasil konversi kerusakan) = DWB x Lp Rekomendasi Pengelolaan Rekomendasi pengelolaan disusun dengan menggunakan metode deskriptif. Rekomendasi ini berdasarkan hasil analisis yang meliputi analisis karakteristik wisata, analisis dampak perilaku wisatawan dan kajian daya dukung. Selain itu, ditambah dengan data hasil observasi selama di lapangan dan juga wawancara. Berdasarkan hasil analisis, observasi dan wawancara diketahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan khususnya yang berkaitan

34 20 dengan kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap terumbu karang. Selain permasalahan, ditemukan juga faktor positif yang mendukung kehidupan terumbu karang. Permasalahan dan faktor positif ini menjadi acuan untuk merumuskan rekomendasi pengelolaan.

35 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wisata di Kelurahan Pulau Panggang Kelurahan Pulau Panggang memiliki 13 pulau (Tabel 3) dimana sebagian besar pulau-pulaunya berdekatan (jarak tidak lebih dari 6 km dari Pulau Pramuka) kecuali Pulau Paniki yang terletak cukup jauh dengan jarak sekitar 12 km dari Pulau Pramuka. Kegiatan wisata di Kelurahan Pulau Panggang terpusat di Pulau Pramuka karena di pulau inilah pusat pemerintahan, penginapan-penginapan dan juga pusat fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Pulau Pramuka sendiri merupakan pusat Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai fasilitas pendukung seperti ATM (Automatic Teller Machine), RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kabupaten Kepulauan Seribu, kapal-kapal pengangkut antar pulau dan juga pelabuhan tempat berangkat kapal-kapal yang menuju pelabuhanpelabuhan di daratan utama seperti Pelabuhan Kali Adem/Angke. Kelurahan Pulau Panggang memiliki fasilitas alat snorkeling dan selam yang cukup lengkap dan banyak dimana fasilitas-fasilitas ini semuanya terpusat di Pulau Pramuka. Sedikitnya ada tiga dive shops komersial yang menyediakan alatalat selam lengkap dengan pengisian tank di Pulau Pramuka, sedangkan dive shops yang khusus menyewakan alat-alat snorkeling cukup banyak. Selain itu, Kantor Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu juga menyediakan alat selam lengkap namun tidak untuk tujuan komersil tapi untuk tujuan penelitian dan pengabdian masyarakat. Tabel 3 Nama dan luas daratan menurut Pulau di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu No Nama Pulau Luas Pulau (Ha) Keterangan 1 Pulau Opak Kecil 1.10 Peristirahatan 2 Pulau Karang Bongkok 0.50 Peristirahatan 3 Pulau Kotok Kecil 1.30 Pulau Hunian Utama (PHU) 4 Pulau Kotok Besar Pariwisata 5 Pulau Karang Congkak 0.60 Peristirahatan 6 Pulau Gosong Pandan 0.00 Peristirahatan 7 Pulau Semak Daun 0.75 Pulau Hunian Utama (PHU) 8 Pulau Panggang 9.00 Pemukiman 9 Pulau Karya 6.00 Perkantoran/Tempat Pemakaman Umum (TPU) 10 Pulau Pramuka Pemukiman 11 Pulau Gosong Sekati 0.20 Peristirahatan 12 Pulau Air 2.90 Peristirahatan 13 Pulau Peniki 3.00 Navigasi Jumlah 62.10

36 22 Tabel 4 Jumlah dive shop di Pulau Pramuka Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu No. Nama Dive shop Alat selam Alat dasar selam 1. Elang Ekowisata 2. Mazu Dive center 3. Ody Dive Center 4. TNKpS (PHPA) 5. Villa Delima 6. Wisma Darmaga - 7 Sigit - 8 Pirdayanti - 9 Boyo - 10 Fahroni - 11 Tawa - 12 Marjuki - 13 Rohada - 14 Dadi - 15 Jiba - 16 Muhasil - 17 Sari Saputra - 18 Muhajar (Gonyor) - 19 Kasin (Aing) - Beberapa pemilik kapal mempunyai alat-alat dasar selam (fins, masker dan snorkel) sendiri. Selain itu, banyak pemilik kapal yang memiliki affiliasi dengan orang-orang yang mempunyai alat dasar selam sehingga wisatawan yang menyewa kapal dapat langsung meminta paket alat dasar selam untuk melakukan wisata snorkeling. Jumlah fasilitas alat selam baik alat selam untuk menyelam maupun alat-alat dasar untuk snorkeling di kelurahan Pulau Panggang sejauh ini termasuk yang paling banyak jika dibandingkan daerah-daerah wisata di kelurahan lain di Kepulauan Seribu. Ada lima tempat yang menyediakan peralatan selam secara lengkap (mencakup seluruh peralatan untuk kegiatan snorkeling dan selam). Selain itu, ada beberapa dive shops kecil yang menyediakan peralatan khusus untuk snorkeling saja (Lihat Tabel 4). Beberapa toko yang berjejer sepanjang pinggir pulau pramuka juga menyediakan alat-alat khusus selam. Sebagian besar wisatawan yang datang adalah dengan cara berkelompok yang sebagian besar berjumlah 2 hingga 5 orang (Gambar 5). Wisatawan yang dating mayoritas berusia 20 sampai 29 tahun (Gambar 6). Sedangkan jika dilihat dari jenis kelamin mayoritas wisatawan yang dating didominasi oleh laki-laki dengan persentase mencapai 67% dan sisanya yaitu 33% adalah perempuan (Gambar 7). Sebagian besar wisatawan berasal dari ibukota Jakarta (62%) dan sisanya berasal dari daerah-daerah yang dekat dengan Jakarta seperti Depok, Bogor, Bekasi dan Tangerang (Gambar 8).

37 orang 7% orang 2% >20orang 7% 2-5 orang 48% 5-10 orang 36% Gambar 5 Profil wisatawan berdasarkan jumlah anggota kelompok yang datang Tahun 7% Tahun 24% >50 Tahun 2% <20 Tahun 12% Gambar 6 Profil wisatawan berdasarkan rentang usia Tahun 55% Perempuan 33% Laki-laki 67% Gambar 7 Profil wisatawan berdasarkan jenis kelamin

38 24 Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas wisatawan yang dating memiliki tingkat pendididikan paling tinggi sampai jenjang SMA saja sebanyak 48%, kemudian menyusul tingat pendidikan hingga sarjana sebesar 38% (Gambar 9). Sebagian kecil wisatawan memiliki jenjang pendidikan terakhir hingga Diploma (7%), SMP (5%) dan lainnya (2%). Pendidikan berpengaruh terhadap kematangan berfikir dan pemahaman akan fungsi ekologis, ekonomi dan social terhadap sumberdaya alam. Semakin tinggi pendidikan maka tingkat kematangan berfikir dan pemahamannya juga semakin tinggi sehingga dapat mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan (Davis and Tisdell 1995). Depok 14% Bekasi 7% Tangerang 5% Bogor 12% Jakarta 62% Gambar 8 Profil wisatawan berdasarkan tingkat pendidikan Sarjana 38% Lainnya 2% SMP 5% Diploma 7% Gambar 9 Profil wisatawan berdasarkan daerah asal SMA 48% Kegiatan utama wisatawan yang datang adalah untuk melakukan wisata snorkeling melihat terumbu karang kemudian ada juga wisatawan yang menyelam. Sedangkan aktifitas lain selain itu seperti wisata kayak, kano, wisata mangrove, lamun dan pantai. Kegiatan wisata snorkeling dan selam di Kelurahan Pulau Panggang terpusat pada beberapa titik lokasi yang menjadi lokasi favorit. Selatan Pulau Air adalah salah satu lokasi favorit untuk wisata snorkeling selain Barat Pulau Air dan Pulau Semak Daun (Utara dan Selatan). Sedangkan Barat

39 25 Pulau Panggang adalah salah satu lokasi favorit selam. Faktor jarak serta pertimbangan keamanan menjadi alasan pemilihan lokasi-lokasi tersebut selain faktor ekosistem terumbu karang. Wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling atau selam biasanya menyewa perahu khusus untuk wisata. Ukuran kapal yang biasa digunakan untuk kegiatan wisata ada dua yaitu ukuran 3 GT dan 5 GT. Berdasarkan gambar 4 dan 5 terlihat bahwa komposisi jumlah wisatawan yang diangkut oleh kapal berbedabeda dan tidak tentu. Berdasarkan hasil wawancara, kapal ukuran 3 GT umumya megangkut sekitar 12 orang dengan jumlah maksimal 15 orang, sedangkan kapal 5 GT mengangkut sekitar 25 orang maksimal 30 orang. Namun, berdasarkan hasil pengamatan, jumlah wisatawan yang diangkut oleh kapal wisata tidak selalu sesuai kapasitasnya. Beberapa kapal mengangkut melebihi kapasitas normal, beberapa kapal mengangkut sampai orang bahkan ada sampai 40 orang. Selain melebihi kapasitas muatan, beberapa kapal tidak memiliki guide wisata terutama saat melakukan kegiatan snorkeling (hanya diawasi oleh pemilik/pengemudi kapal dari atas kapal). Padahal guide wisata berfungsi untuk mengawasi wisatawan saat melakukan kegiatan wisata dan juga yang paling penting guide wisata memberikan edukasi kepada wisatawan tentang cara bersnorkeling yang baik. Sebanyak 61.90% wisatawan mengatakan sudah mendapat informasi dari pemandu tentang wisata ramah lingkungan sedangkan sisanya 38.10% tidak mendapat informasi. Berdasarkan hasil wawancara, faktor ekonomi menjadi salah satu pertimbangan mengapa pengemudi kapal tidak membawa guide. Selain itu, kondisi di lapangan memperlihatkan komposisi guide dengan wisatawan tidak proporsional dimana jumlah wisatawan jauh melebihi jumlah guide yang dibawa. Sejauh ini tidak ada aturan tertulis yang mengatur jumlah maksimal wisatawan dalam kapal dan juga komposisi antara jumlah guide dengan jumlah wisatawan. Selain itu, tidak ada standard baku mengenai hal apa saja yang harus disampaikan oleh guide kepada wisatawan terutama terkait kegiatan wisata yang ramah lingkungan khususnya terhadap terumbu karang. Gambar 10 memperlihatkan guide sedang memberikan pelatihan snorkeling kepada wisatawan. Gambar 10. Guide memberikan pelatihan snorkeling kepada wisatawan sebelum snorkeling di karang

40 26 Berdasarkan hasil pengamatan, dua dari 12 kapal yang mengangkut wisatawan masih menggunakan jangkar yang dilempar ke atas karang. Sedangkan kapal lain mengikatkan tali ke batu karang (umumnya ke karang massif). Disini faktor guide sangat berperan dimana kapal yang umumnya melemparkan jangkar di atas karang adalah kapal yang tidak memiliki guide, meskipun ada juga kapal yang tidak memiliki guide tapi pengemudi kapal yang mengikatkan tali ke karang. Kapal yang melempar jangkar ke karang menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap kerusakan karang. Jangkar kapal umumnya akan terseret beberapa meter sebelum tersangkut ke batu karang. Proses terseret ini yang akan menggerus karang-karang terutama koloni karang yang kecil dan lifeform yang rapuh seperti branching, foliose, tabulate dan digitate (Gambar 11). Bahkan salah satu temuan saat di lapang, karang submasif pun dapat hancur ketika tertimpa lemparan jangkar kapal. (a) (b) Gambar 11 Jangkar kapal yang menimbulkan kerusakan pada karang (a); tali kapal yang diikatkan pada batu karang (b) Pola kegiatan wisata di Kelurahan Pulau Panggang adalah pola mingguan dimana kegiatan wisata umumnya berlangsung pada tiap akhir pekan yaitu hari sabtu dan minggu (Gambar 12 dan 13). Diluar waktu akhir pekan tersebut, kadang ada wisatawan yang berwisata di hari biasa namun jumlahnya sedikit dan tentatif. Selain itu, ada juga wisatawan yang melakukan kegiatan kemah di pulau yang tidak berpenghuni seperti Pulau Semak Daun, Pulau Karang Beras, Karang Congkak dan Pulau Tikus. Jumlah wisatawan yang melakukan wisata kemah ini bervariasi namun umumnya dalam jumlah lebih dari lima orang dan maksimal 25 orang. Adapun waktu wisatawan melakukan kegiatan berkemah ini juga tentatif. Pada tanggal libur nasional terutama libur yang cukup panjang di akhir pekan jumlah wisatawan yang melakukan wisata di akhir pekan umumnya sangat banyak. Jumlah wisatawan yang berkunjung pada event liburan nasional di akhir pekan ini bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan pada hari akhir pekan normal.

41 27 Jumlah Orang Jumlah Kapal Mar 16-Apr 17-Apr 23-Apr 24-Apr 30-Apr 6-May 7-May 8-May 21-May Tanggal Gambar 12 Jumlah wisatawan yang melakukan aktifitas snorkeling Jumlah Orang Jumlah Kapal Apr 17-Apr 23-Apr 24-Apr 30-Apr 1-May 6-May 7-May 8-May 21-May 22-May Tanggal Gambar 13 Jumlah wisatawan yang melakukan aktifitas selam Jalur kegiatan wisata snorkeling dan selam yang digunakan di Kelurahan Pulau Panggang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang singgah ke Keramba Nusa Dua dan yang langsung kembali ke Pulau Pramuka. Sejauh ini, Keramba Nusa Dua yang merupakan lokasi wisata berupa penangkaran ikan-ikan besar seperti ikan kerapu, hiu sirip hitam (black tip shark), ikan remora dan beberapa jenis ikan lainnya menjadi atraksi wisata yang cukup menarik untuk para wisatawan. Wisatawan yang berwisata snorkeling sebagian besar singgah ke Keramba Nusa Dua sedangkan wisatawan selam umumnya langsung kembali ke Pulau Pramuka. Sebanyak 67% wisatawan (sebagian besar wisatawan snorkeling) singgah di Keramba Nusa Dua sebelum kembali ke Pulau Pramuka sedangkan

42 28 33% langsung menuju Pulau Pramuka (didominasi oleh wisatawan selam) (Gambar 14). Tidak singgah ke Nusa Dua Singgah ke Nusa Dua 33% 67% Gambar 14 Persentase pengunjung yang singgah dan tidak di Nusa Dua setelah melakukan aktifitas snorkeling dan selam Jalur utama wisata dibagi menjadi tiga yaitu jalur utama wisata snorkeling, selam dan kemah. Jalur utama wisata snorkeling, yaitu: 1. Pulau Pramuka - Pulau Air - Pulau Semak Daun - Keramba Nusa Dua -Pulau Pramuka (ditunjukkan oleh angka pada gambar 15). 2. Pulau Pramuka - Pulau Air - Keramba Nusa Dua - Pulau Pramuka (ditunjukkan oleh angka pada gambar 15). 3. Pulau Pramuka - Barat Pulau Panggang/Soft Coral Garden - Pulau Air - Pulau Semak Daun - Keramba Nusa Dua - Pulau Pramuka (ditunjukkan oleh angka pada gambar 15). Gambar 15 Jalur wisata snorkeling Ket: Garis tebal adalah jalur utama sedangkan garis putus-putus adalah jalur alternatif. Angka satu (1) adalah Pulau Pramuka, angka dua (2) adalah Pulau Air, angka tiga (3) adalah Barat Pulau Panggang, angka empat (4) adalah Pulau Semak Daun, angka lima (5) adalah Keramba Nusa Dua, dan angka enam (6) adalah Tanjung Penyu.

43 29 Selain menggambarkan alur perjalanan, jalur wisata juga memberikan gambaran tentang lokasi-lokasi yang menjadi kunjungan favorit wisatawan. Lokasi favorit yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan snorkeling adalah Barat Pulau Panggang/Soft Coral Garden, Pulau Air yang terbagi menjadi dua titik yatu lokasi Selatan Pulau Air dan Barat Pulau Air serta Pulau Semak Daun yang terbagi menjadi tiga yaitu Utara Semak Daun, Selatan Semak Daun dan Gosong Balik Layar. Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada gambar 15 serta Tabel 5. Gambar 16 Jalur wisata selam Ket: Garis tebal adalah jalur utama sedangkan garis putus-putus adalah jalur alternatif. Angka satu (1) adalah Pulau Pramuka, angka dua (2) adalah Barat Pulau Panggang, angka tiga (3) adalah Pulau Air, angka empat (4) adalah Tabularasa, angka lima (5) adalah Pulau Semak Daun, dan angka enam (6) adalah Tanjung Penyu. Berbeda dengan jalur utama wisata snorkeling, jalur utama wisata selam hanya ada dua yaitu: 1. Pulau Pramuka - Tabularasa - Soft Coral Garden/Barat Pulau Panggang - Pulau Pramuka (ditunjukkan oleh angka pada gambar 16). 2. Pulau Pramuka - Soft Coral Garden/Barat Pulau Panggang - Tanjung Penyu - Pulau Pramuka (ditunjukkan oleh angka pada gambar 16). Gambar 17 Jalur wisata kemah Ket: Garis tebal adalah jalur utama sedangkan garis putus-putus adalah jalur alternatif. Angka satu (1) adalah Pulau Pramuka, angka dua (2) adalah Barat Pulau Panggang, angka tiga (3) adalah Pulau Air, dan angka empat (4) adalah Pulau Semak Daun.

44 30 Jalur wisata kemah terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Pulau Pramuka - Pulau Air - Pulau Semak Daun - Pulau Pramuka (ditunjukkan oleh angka pada gambar 17). 2. Pulau Pramuka - Soft Coral Garden/ Barat Pulau Panggang - Pulau Semak Daun - Pulau Pramuka (ditunjukkan oleh angka pada gambar 17). Lokasi-lokasi utama untuk wisata selam adalah Tabularasa, Soft coral garden/barat Pulau Paggang dan Tanjung Penyu. Tabularasa yang berada di sebelah Timur Pulau Pramuka merupakan objek wisata berupa kapal tenggelam yang berada pada kedalaman 20 (ujung depan kapal) hingga 30 meter (ujung belakang kapal). Pada umumnya wisatawan snorkeling menginap di Pulau Pramuka. Namun, pada wisata kemah, wisatawan melakukan aktifitas snorkeling kemudian menginap di Pulau Semak Daun dengan cara berkemah dengan mendirikan tenda. Lokasi snorkeling yang dikunjungi (sembari menuju ke Pulau Semak Daun) adalah Pulau Air yaitu bagian Selatan dan Barat serta Soft coral garden/barat Pulau Panggang. Setelah melakukan aktifitas snorkeling di dua lokasi ini kemudian wisatawan menuju Pulau Semak Daun untuk menginap semalam. Keesokan hari nya mereka bermain di pantai Pulau Semak Daun dan melakukan snorkeling di sekitar Pulau Semak Daun yaitu di Utara dan Selatan. Pola lokasi wisata baik untuk snorkeling maupun selam terpusat hanya di beberapa lokasi saja. Jumlah kunjungan pada lokasi-lokasi tersebut berbeda-beda dan terpusat di beberapa lokasi yang menjadi lokasi favorit (Tabel 5). Lokasilokasi snorkeling dengan kunjungan terbanyak di Kelurahan Pulau Panggang diantaranya Selatan Semak Daun, Barat Pulau Air, Utara Semak Daun, Barat Pulau Panggang/Soft Coral Garden dan Selatan Pulau Air. Dalam satu kali trip, lokasi snorkeling yang dikunjungi oleh wisatawan biasanya lebih dari satu lokasi,bisa dua hingga tiga lokasi. Tabel 5 adalah jumlah kunjungan wisatawan snorkeling yang dilakukan di lebih dari satu lokasi dalam satu kali trip. Sedangkan Tabel 6 adalah jumlah sebenarnya dari wisatawan snorkeling. Tabel 5 Jumlah wisatawan yang melakukan snorkeling pada masing-masing lokasi wisata di Kelurahan Pulau Panggang Tanggal Lokasi 30 April 6 Mei 7 Mei 8 Mei 21 Mei Total 2016 Barat P Panggang Barat Pulau Air Selatan Semak Daun Utara Semak Daun Gosong Balik Layar Karang Lebar Selatan Pulau Air Pulau Kotok Timur Air Lainlain Gosong Petrik Pramuka Tabularasa Jumlah

45 31 Tabel 6 Jumlah total wisatawan yang melakukan snorkeling di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Tanggal Kategori 30 April 6 Mei 7 Mei 8 Mei 21 Mei Total 2016 Jumlah orang Jumlah kapal Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa komposisi jumlah kapal dengan jumlah wisatawan berbeda-beda. Perbedaan paling besar terdapat pada tanggal 21 Mei dimana jumlah wisatawan yang melakukan snorkeling sebanyak 290 orang sedangkan kapal yang digunakan hanya delapan kapal. Artinya, rata-rata wisatawan yang diangkut lebih dari 30 orang. Beberapa kapal mengangkut jumlah wisatawan yang cukup banyak bahkan melebihi kapasitas seharusnya (Lihat Lampiran). Tidak semua kapal yang mengangkut wisatawan membawa guide sebagai pendamping wisatawan. Selain itu, kapal yang membawa guide terkadang mempunyai komposisi yang terlalu jauh antara jumlah wisatawan dengan jumlah guide. Tiga poin permasalahan ini sedikit banyak akan mempengaruhi berlangsungnya kegiatan wisata baik dari aspek keselamatan maupun aspek dampak kegiatan wisata terhadap terumbu karang. Penelitian Barker and Robert (2004) mendapatkan pengaruh signifikan dari adanya guide yang berfungsi sebagai pemimpin penyelaman (dive leader) dalam kegiatan wisata selam terhadap penurunan kerusakan terumbu karang akibat sentuhan wisatawan. Hal ini mungkin dapat diterapkan terhadap wisatawan snorkeling di Kelurahan Pulau Panggang. Adapun edukasi penting untuk memberikan pemahaman tentang wisata yang ramah lingkungan. Namun, sejauh ini para guide berbeda dalam memberikan materi ataupun pelatihan. Beberapa guide hanya memberikan pelatihan saja (tanpa edukasi wisata ramah lingkungan) meskipun ada juga yang memberikan materi cukup lengkap. Sejauh ini tidak ada prosedur atau standar baku dari materi yang harus dikuasai oleh guide dan disampaikan kepada wisatawan. Pada kegiatan wisata selam, Medio et al. (2007) menemukan adanya pengaruh yang signifikan dari edukasi (melalui kegiatan briefing sebelum melakukan penyelaman) terhadap wisatawan. Komposisi Substrat Dasar Secara umum persentase tutupan karang keras (hard coral) di kedalaman 3 m berada pada kisaran 40,03% sampai 62,80% dengan tutupan terendah terdapat pada lokasi Utara Karang Lebar dan tertinggi pada lokasi Selatan Pulau Kotok (Tabel 7). Sedangkan untuk kedalaman 10 m (Tabel 8) berada pada range 21,41% sampai 62,79% dimana persentase terendah terdapat pada lokasi Gosong Balik Layar dan tertinggi pada lokasi Selatan Semak Daun. Secara keseluruhan persentase tutupan karang pada semua lokasi penelitian berada pada kategori sedang (persentase karang 25%-49,9%) dan baik (persentase 50%-74,9%) mengacu kepada Gomez and Yap (1988) kecuali pada lokasi Gosong Balik Layar yang masuk kategori buruk karena memiliki persentase kurang dari 25% di kedalaman 10 m. Persentase dead coral atau karang mati secara umum memiliki

46 32 persentase kedua tertinggi setelah tutupan hard coral kecuali pada lokasi Barat Pulau Air dimana pada lokasi ini persentase algae memiliki persentase kedua tertinggi setelah tutupan hard coral. Tabel 7 Komposisi kategori substrat dasar pada sembilan titik pengamatan di perairan Kelurahan Pulau Panggang (kedalaman 3 meter) Lokasi Algae Hard Soft Dead Others coral coral Coral Abiotik Barat Pulau Air Barat Pulau Panggang Gosong Balik Layar Selatan Pulau Air Selatan Pulau Kotok Selatan Semak Daun Tanjung Penyu Utara Karang Lebar Utara Semak Daun Total Tabel 8 Komposisi kategori substrat dasar pada sembilan titik pengamatan di perairan Kelurahan Pulau Panggang (kedalaman 10 meter) Lokasi Algae Hard Soft Dead Others coral coral Coral Abiotik Barat Pulau Air Barat Pulau Panggang Gosong Balik Layar Selatan Pulau Air Selatan Pulau Kotok Selatan Semak Daun Tanjung Penyu Utara Karang Lebar Utara Semak Daun Total Secara umum sustrat dasar pada lokasi penelitian didominasi oleh lifeform coral masif (CM) (Tabel 9). Beberapa lokasi yang didominasi oleh bukan lifeform masif seperti lokasi Barat Pulau Panggang pada kedalaman 3 m yang didominasi oleh Acropora branching (ACB) dengan persentase mencapai 42.85%. Ada juga lokasi Utara karang lebar pada kedalaman dalam yang didominasi oleh lifeform foliose dengan persentase mencapai 53.65%. Selain dua lokasi tersebut yang memiliki dominasi lifeform bukan coral masif, lokasi lainnya hampir semua didominasi oleh coral masif atau memiliki persentase coral masif yang tinggi (menyamai total jumlah lifeform lainnya atau mendominasi lifeform lainnya).

47 33 Tabel 9 Persentase lifeform pada sembilan titik pengamatan di masing-masing kedalaman Lokasi Kedalaman Lifeform (meter) ACB ACT CB CE CF CHL CM CME CMR CS Barat Pulau Air Barat Pulau Panggang Gosong Balik Layar Selatan Pulau Air Selatan Pulau Kotok Selatan Semak Daun Tanjung Penyu Utara Karang Lebar Utara Semak Daun Total

48 34 Substrat dasar dengan lifeform tertentu seperti branching dan foliose memiliki karakteristik yang mudah hancur karena sifatnya yang rapuh dan mudah patah. Sedangkan beberapa lifeform seperti lifeform masif dan submasif cenderung memiliki tingkat kekokohan yang lebih tinggi karena struktur terumbunya yang padat dan bentuknya yang kokoh. Perilaku Destruktif Wisatawan Snorkeling Perilaku destruktif yang ditemukan selama di pengamatan terhadap wisatawan di lapangan ada empat jenis yaitu menginjak karang, menendang karang, memegang karang dan mengaduk sedimen. Selama pengamatan tidak ditemukan wisatawan yang mengambil biota tertentu. Intensitas dan peluang terjadinya perilaku destruktif paling besar adalah menginjak karang, diikuti oleh menendang karang, memegang karang dan paling rendah mengaduk sedimen (Tabel 10). Sementara itu penelitian Webler and Jakubowski (2016) mendapatkan perilaku destruktif yang paling banyak dilakukan oleh wisatawan snorkeling di Puerto Rico adah tendangan fins, kemudian mengaduk sedimen, duduk dan menginjak karang serta memegang karang. Wisatawan di Kelurahan Pulau Panggang masih jarang menggunakan fins, sebagian besar hanya bertelanjang kaki atau menggunakan sepatu sehingga untuk menghemat tenaga mereka lebih sering berdiri di atas karang (menginjak karang). Tabel 10 Perilaku destruktif selama aktifitas snorkeling berlangsung No. Perilaku Destruktif Intensitas (kali) Peluang Waktu (menit)/pd 1 Menginjak karang * 2 Menendang karang * 3 Memegang karang * 4 Mengaduk sedimen * *Rata-rata lama snorkeling 67 menit Menginjak Karang Berdasarkan data yang didapatkan, rata-rata wisatawan menginjak karang sebanyak 3.82 kali dengan rata-rata selang waktu menginjak setiap menit. Kegiatan menginjak karang umumnya dilakukan pada kedalaman 2 hingga 3 meter. Perilaku ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya karena kelelahan ketika snorkeling, mengajarkan atau membimbing anak atau teman, ataupun mengobrol atau bercanda dengan rekan ketika melakukan aktifitas snorkeling. Aktitfitas menginjak karang ini terutama dilakukan diatas karang-karang masif dan submasif (Gambar 18 dan 19). Berdasarkan hasil wawancara, banyak wisatawan beranggapan bahwa kegiatan menginjak karang masif dan submasif tidak memberikan dampak merusak terhadap karang karena karang yang diinjak memiliki lifeform atau bentuk/struktur yang kokoh seperti batu. Hal ini juga terpaksa dilakukan untuk memulihkan tenaga atau beristirahat ketika sudah mulai merasa kelelahan melakukan snorkeling.

49 35 Gambar 18 Wisatawan menginjak karang menggunakan sepatu di lokasi Barat Pulau Air Gambar 19 Wisatawan menginjak karang di lokasi Barat Pulau Air Perilaku menginjak karang ini merupakan perilaku destruktif yang paling sering dilakukan wisatawan diantara empat jenis perilaku destruktif yang peneliti amati. Perilaku menginjak karang ini berhubungan dengan tingkat keterampilan atau pengalaman wisatawan. Wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu umumnya merupakan wisatawan pemula dengan rata-rata frekuensi melakukan snorkeling baru satu hingga tiga kali. Tingkat keterampilan ini mempengaruhi perilaku wisatawan salah satu nya sering menginjak karang karena belum terbiasa. Allison (1996) in Webler and Jakubowski (2016) mengatakan kerusakan lebih besar sering dilakukan oleh wisatawan snorkeling yang tidak berkompeten, mereka datang secara berkelompok, ketika mereka berdiri (diatas karang) mereka berdesakandesakan dan sering terdorong gelombang. Selain itu, hampir sebagian besar wisatawan yang melakukan snorkeling belum bisa memakai fins atau kaki katak yang menandakan bahwa tingkat frekuensi snorkeling dan tingkat keterampilan masih kurang. Padahal memakai fins dapat menghemat tenaga sehingga dapat mengurangi kelelahan saat snorkeling.

50 36 Menendang Karang Frekuensi menendang karang terjadi sebesar 1,56 kali dengan lama waktu terjadi setiap 43,07 menit. Perilaku menendang karang sering menimbulkan kerusakan pada bagian koloni karang terutama pada karang-karang branching, foliose atau tabulate. Perilaku menendang karang terjadi baik oleh wisatawan yang menggunakan kaki katak maupun wisatawan yang memakai sepatu dan wisatawan yang tidak memakai alas kaki. Genus Acropora adalah salah satu genus yang cukup banyak terkena patahan dimana salah satu penyebabnya adalah akibat tendangan ketika wisatawan mengaayuh kaki saat snorkeling (Gambar 20). Gambar 20 Genus Acropora yang patah akibat kena tendangan fins Memegang Karang Frekuensi memegang karang terjadi sebesar 1.13 kali dengan rentang waktu menit perperilaku. Kegiatan memegang karang ini terjadi karena beberapa hal diantaranya rasa ingin tahu terhadap hal-hal baru (Gambar 21). Hal ini berhubungan dengan pengalaman wisatawan yang masih baru sehingga rasa penasaran masih cukup tinggi dan salah satu cara pemuasannya adalah dengan memegang karang. Selain itu, alasan lain memegang karang adalah untuk mempertahankan posisi ketika saat mengamati objek tertentu atau mempertahankan posisi dari pengaruh arus dan gelombang. Gambar 21 Wisatawan yang menginjak dan memegang karang

51 37 Mengaduk Sedimen Frekuensi mengaduk sedimen terjadi sebesar 0,71 kali dengan selang waktu terjadi selama 88,68 menit perperilaku. Perilaku mengaduk sedimen terjadi karena gerakan kaki atau fins yang terlalu dekat dengan sedimen dasar sehingga menyebabkan terjadinya kekeruhan pada perairan dasar. Kejadian mengaduk sedimen tidak terlalu sering karena sebagian besar kegiatan snorkeling dilakukan di perairan yang memiliki substrat terumbu karang. Perilaku Destruktif Wisatawan Selam Perilaku destruktif pada wisatawan selam dibagi menjadi kelompok yaitu wisatawan selam yang sudah berlisensi dan wisatawan yang belum berlisensi. Wisatawan yang belum berlisensi biasanya adalah penyelam yang masih dalam tahap belajar atau dalam proses mengikuti pelatihan untuk mengambil sertifikasi selam. Namun, ada juga wisatawan yang menyelam saja (bukan dalam rangka mengambil sertifikasi). Biasanya secara pengalaman wisatawan ini memiliki tingkat keahlian dan jam selam yang cukup banyak tapi belum banyak mendapatkan materi-materi terkait penyelaman. Materi-materi penyelaman secara formal hanya bisa didapatkan apabila penyelam mengikuti kursus selam. Perilakuperilaku destruktif penyelam dijelaskan dalam Tabel 11 sebagai berikut: Tabel 11 Perilaku destruktif selama aktifitas selam berlangsung No. Perilaku Destruktif Intensitas (kali) Peluang Waktu (menit)/pd Sudah berlisensi 1 Menginjak karang * 2 Menendang karang * 3 Memegang karang * 4 Mengaduk sedimen * Belum berlisesni 1 Menginjak karang * 2 Menendang karang * 3 Memegang karang * 4 Mengaduk sedimen * *Rata-rata lama selam 54 menit Menginjak Karang Perilaku menginjak karang terjadi dengan intensitas 0.82 kali pada wisatawan yang sudah berlisensi dan 1,89 pada wisatawan selam yang belum berlisensi. Perilaku menginjak karang terutama dilakukan oleh penyelampenyelam pemula yang masih belajar dan penyelam-penyelam sertifikat namun belum memiliki tingkat bouyancy yang bagus (Gambar 22). Penyelam-penyelam tersebut menginjak karang untuk menyeimbangkan posisi mereka di perairan. Selain itu, saat merapikan alat selam nya para penyelam tersebut sering diam dengan menginjak karang dan juga saat mengambil foto untuk mempertahankan posisi mereka.

52 38 Gambar 22 Perilaku destruktif wisatawan selam yang menginjak karang Menendang Karang Rata-rata intensitas menendang karang yang dilakukan oleh wisatawan saat menyelam terjadi sebanyak 0.73 kali sedangkan pada wisatawan selam yang belum berlisensi lebih tinggi yaitu 1.33 kali. Perilaku destruktif ini terjadi terutama pada penyelam-penyelam pemula yang masih dalam proses belajar dan juga penyelam yang belum memiliki buoyancy yang baik. Selain itu, aktifitas menendang karang juga terjadi akibat penyelam terlalu dekat ke substrat sehingga ketika akan menaikkan posisi nya (agar menjauh dari substrat) penyelam mengepakkan fins dengan cukup kencang dan sering mengenai karang. Menurut Harriott et al. (1997) dan Zakai and Chadwick-Furman (2002) saat mengambil gambar objek tertentu, fins penyelam sering menendang karang dan memaksakan diri ke posisi tertentu (untuk mendapatkan posisi yang pas mengambil gambar) sehingga sering terjadi kontak dengan karang. Memegang Karang Intensitas rata-rata penyelam memegang karang sebesar 0.45 kali pada wisatawan selam yang sudah berlisensi dan 2.89 kali pada wisatawan selam yang belum berlisensi. Frekuensi memegang karang termasuk perilaku yang paling banyak dilakukan oleh wisatawan selam yang belum berlisensi. Beberapa faktor yang menjadi alasan wisatawan memegang karang saat menyelam adalah faktor keingintahuan dan juga mempertahankan posisi baik saat menyeimbangkan buoyancy (Gambar 23) maupun saat melakukan pengambilan foto. Perilaku penyelam saat mengambil foto sering menimbulkan patahan pada karang karena dipegang terlalu kuat maupun tersenggol kamera. Penelitian Rouphael and Inglis (2001) menunjukkan bahwa penggunaan kamera sangat berasosiasi dengan tingkat kerusakan karang. Umumnya penyelam yang membawa kamera menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan penyelam yang tidak membawa kamera.

53 39 Gambar 23 Perilaku destruktif wisatawan selam yang memegang karang Aktifitas memegang karang dapat menimbulkan stress dimana salah satu tanda indikasi stress terumbu karang adalah munculnya lendir pada karang yang dipegang terlalu lama. Lendir ini dikeluarkan sebagai antisipasi karang terhadap gangguan dari luar, sebagai pertahanan diri dan penutup luka. Mengaduk Sedimen Aktifitas mengaduk sedimen terjadi dengan frekuensi 0.45 kali pada wisatawan selam yang sudah berlisensi dan 1.11 pada wisatawan selam yang belum berlisensi. Aktifitas ini cukup sering terjadi terutama akibat kibasan dari fins saat penyelam melakukan aktifitas jelajah ataupun saat mempertahankan buoyancy dan juga saat mempertahankan keseimbangan saat mengambil foto. Beberapa penyelam melakukan posisi menempel ke substrat pasir atau lumpur saat mengamati biota tertentu dan saat melakukan pengambilan foto. Sedimen teraduk terutama ketika penyelam berpindah dari posisi diam ke posisi bergerak, baik untuk merubah posisi ataupun untuk melanjutkan kegiatan menjelajah (Gambar 24). Gambar 24 Perilaku destruktif wisatawan yang mengaduk sedimen

54 40 Sedimen yang teraduk dapat meningkatkan kekeruhan perairan. Sedimen ini dapat menutupi polip-polip karang sehingga dapat mengganggu kehidupan terumbu karang terutama pada karang-karang yang mempunyai ukuran polip kecil. Meskipun secara alami, karang memili kemampuan membersihkan diri dari sedimen yang menutupinya namun apabila frekuensi sedimen ini sering terjadi dan kuantitas nya semakin besar maka akan membuat energi yang seharusnya digunakan untuk tumbuh dan bereproduksi akan terbagi untuk membersihkan diri dari sedimen (Rogers 1990; Richmond 1996). Nystroom et al. (2000) menyatakan kerusakan kecil dan teraduknya sedimen oleh sebagian besar penyelam mungkin terlihat sepele, tapi ketika bergabung dengan faktor pengganggu lain mereka dapat mengganggu kehidupan terumbu karang. Sedimen berpengaruh terhadap pertumbuhan binatang karang baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung sedimen adalah dengan menutupi polip karang sehingga menyebabkan kematian pada karang. Sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu menghalangi penetrasi cahaya sehingga mengganggu fotosintesis (Bak 1978 in Supriharyono 2007). Selain itu, sedimen yang tinggi memaksa karang untuk mengeluarkan energi lebih guna menghalau sedimen tersebut yang mengakibatkan turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985 in Supriharyono 2007) Dampak Langsung Terhadap Terumbu Karang Perilaku destruktif berpotensi menimbulkan dampak terhadap degradasi terumbu karang. Selain mengamati perilaku destruktif, peneliti juga mengamati langsung dampak lanjutan dari perilaku destruktif tersebut terhadap terumbu karang. Beberapa perilaku destruktif seperti menginjak dan menendang karang menimbulkan terjadinya patahan pada bagian-bagian cabang karang branching, karang foliose, karang api atau Millepora, karang biru atau Heliopora, karang tabulate dan karang digitate. Selain menimbulkan patahan, aktifitas menginjak karang menimbulkan goresan dan luka pada karang lifeform masif dan submasif. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis dampak langsung yang paling besar dari aktifitas snorkeling adalah patahan-patahan pada karang (Tabel 12). Patahanpatahan ini terjadi disebabkan beberapa hal diantaranya tersenggol kaki/sepatu/fins, terinjak secara langsung, patah karena dipegang, dan juga patah karena jangkar kapal. Penelitian Frederick et al. (2005) mendapatkan kontak fins adalah perilaku yang paling sering dilakukan oleh wisatawan dan cukup potensial merusak karang selain perilaku mengaduk sedimen. Selain itu, penelitian Rouphael and Inglis (1997) mendapatkan adanya kerusakan berupa patahanpatahan karang pada daerah wisata dimana pola patahan yang terjadi berasosiasi dengan tingkah laku wisatawan. Besar nilai kerusakan berupa patah ditemukan sebanyak 240 kejadian, sangat jauh jika dibandingkan dengan jenis kerusakan berupa goresan (34 kejadian), luka (36 kejadian), hancur (6 kejadian) dan terbalik (satu kejadian). Menurut Zakai et al. (2000) kerusakan karang berpengaruh terhadap proses biologi karang seperti pertumbuhan dan reproduksi seksual. Munculnya gangguan berupa luka pada koloni karang akan mengalihkan energi yang seharusnya digunakan untuk tumbuh dan melakukan reproduksi, digunakan untuk pemulihan luka tersebut.

55 41 Patahan-patahan karang yang tercatat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu kecil (patah <30%), sedang (30-70%) dan besar (>70%). Patahan-patahan terbanyak yang ditemukan termasuk kategori patahan kecil yang ditemukan sebanyak 204 patahan karang. Patahan kecil sebagian besar terjadi pada karang foliose (88 patahan), karang branching (37 patahan) dan Acropora branching (26 patahan) (Gambar 26 [b]. Dampak kerusakan yang termasuk kelompok sedang didominasi oleh patahan karang (didominasi lifeform branching dan Acropora branching) dan goresan (didominasi lifeform masif). Sedangkan untuk dampak langsung dari kategori dampak besar didominasi oleh jenis kerusakan berupa luka (didominasi lifeform coral masif), kemudian goresan (didominasi lifeform coral masif) dan paling rendah berupa patahan karang. Tabel 12 Jumlah kerusakan pada setiap lifeform karang yang diakibatkan oleh kegiatan snorkeling dan selam Jenis kerusakan Kecil Sedang Besar Kategori Total Goresan CB CM CS Luka CM Hancur CB CF Patah ACB ACD ACS ACT CB CF CM CME CS CT Terbalik CF Grand Total

56 42 Tabel 13 Jumlah kerusakan pada setiap lifeform karang yang diakibatkan oleh kegiatan snorkeling Jenis Kerusakan Kecil Sedang Besar Total Goresan CB 2 2 CM CS 2 2 Luka CM Hancur CB 2 2 CF Patah ACB ACD ACS 3 5 ACT CB CF CM 2 2 CME CS 4 4 Total Tabel 14 Jumlah kerusakan pada setiap lifeform karang yang diakibatkan oleh kegiatan selam Jenis kerusakan Kecil Sedang Besar Total Goresan CM Luka 1 1 CF 1 1 Patah ACB 4 9 ACT 1 1 CB CF CME 2 4 CS 4 4 Terbalik 1 1 CF 1 1 Total Berdasarkan Tabel 13 dan 14, kegiatan wisata snorkeling memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan wisata selam terutama dilihat dari

57 43 jeniskerusakan berupa goresan dan luka. Wisatawan snorkeling sering menjadikan karang masisive terutama karang genus Porites sebagai pijakan untuk berdiri sehingga menimbulkan goresan dan luka pada permukaan koloni karang. Berdasarkan jenis lifefrom, karang branching dan foliose merupakan dua jenis lifeform yang paling banyak terkena dampak patahan. Pada wisata snorkeling karang branching baik dari genus Acropora (ACB) maupun non-acropora (CB) adalah lifeform yang cukup banyak terkena dampak patahan. Sedangkan pada wisata selam lifeform foliose (CF) dan branching non-acropora (CB) paling banyak terkena dampak patahan. Tabel 15 Jumlah kerusakan pada setiap genera karang yang diakibatkan oleh kegiatan snorkeling dan selam Genus Kecil Sedang Besar Kategori Total Goresan Favites Galaxea Goniastrea Goniopora Platygyra Pociilopora Porites Psammocora Symphyllia Luka Favites Porites Hancur Montipora Pachyseris Porites Stylophora Patah Acropora Echinopora Isopora Millepora Montipora Mycedium Pachyseris Pectinia Pociilopora Pocillopora Porites Psammocora Seriatopora

58 44 Genus Kecil Sedang Besar Kategori Total Turbinaria Terbalik Podabacia Total Salah satu genus karang diluar kelas Anthozoa yang banyak terkena dampak patahan adalah genus Millepora atau karang api. Genus ini termasuk ke dalam kelas Hydrozoa yang memiliki struktur rangka cukup rapuh sehingga sangat mudah patah bila tersenggol atau terinjak. Genus ini akan menimbulkan rasa panas seperti tersengat ketika mengenai kulit. Rasa panas ini menimbulkan kepanikan pada wisatawan sehingga terkadang gerakan panik yang ditimbulkan malah berdampak pada kerusakan koloni karang itu sendiri (gerakan refleks). Berdasarkan genus yang ditemukan, sebagian kerusakan berupa patah kecil terdapat pada karang genus Montipora dengan lifeform foliose atau berupa lembaran, kemudian Acropora terutama Acropora dengan lifeform branching atau bercabang. Selain dua genera tersebut, genus lain yang cukup banyak terkena dampak berupa patah adalah genus Millepora atau karang api (Gambar 26 [a]). Genus ini memang cukup rapuh secara jika tersenggol sedikit saja sehingga mudah patah. Porites dengan lifeform branching juga cukup sering kena dampak berupa patah cabang akibat aktifitas wisata (Gambar 25). Genus dengan lifeform foliose lain yang terkena dampak wisata adalah Pachyseris (Tabel 15). Genus Montipora, Acropora dan Porites merupakan tiga genera yang memiliki kelimpahan cukup tinggi di perairan Indonesia. Montipora merupakan salah satu genus yang memiliki kelimpahan tertinggi di Kepulauan Seribu (Estradivari et al. 2009). Selain itu, Porites dan Pachyseris merupakan dua genera yang cukup banyak ditemukan di Kepulauan Seribu dimana Porites memiliki kelimpahan paling tinggi (Muhidin 2015). Sedangkan Acropora adalah salah satu genus yang memiliki kelimpahan dan jumlah jenis paling banyak di dunia termasuk di perairan Indonesia (Veron 2000). (a) (b) Gambar 25 Genus Porites yang patah akibat kegiatan wisata snorkeling kategori rusak kecil (a) dan rusak besar (b)

59 45 (a) (b) Gambar 26 Genus Millepora yang patah akibat kegiatan wisata snorkeling kategori rusak sedang (a) dan genus Acropora kategori rusak kecil (b) Kerusakan berupa patah tingkat sedang sebagian besar dialami oleh genus Acropora dan Porites branching sedangkan genus yang terdampak berupa goresan mayoritas pada genus Porites masif (Gambar 27 [a]). Porites masif memiliki struktur polip yang kecil dan ukuran koloni yang besar sehingga genus ini merupakan genus favorit wisatawan untuk menjadi pijakan, struktur permukaannya yang berpolip kecil sangat nyaman ketika diinjak. Genus lain yang terkena dampak goresan adalah genus Favites. Hampir sama dengan kategori rusak sedang, pada kategori rusak besar berupa goresan didominasi oleh genus Porites, begitu pula pada kategori rusak besar semuanya terjadi pada karang genus Porites masif. Kategori rusak berupa patahan pun masih sama dengan kategori rusak kecil dan sedang yaitu pada genus Acropora branching. Adanya dampak berupa goresan ataupun luka pada karang masif dapat menimbulkan dampak lanjutan. Hall (2001) menyatakan terumbu karang yang mengalami luka atau goresan cenderung lebih mudah terkena infeksi fatogen ataupun organisme penginvasi lainnya. Penelitian Hawkins et al. (1999) mendapatkan berkembangnya penyakit karang (coral disease) pada karang masif yang tergores atau luka akibat penyelam di lokasi penyelaman di Bonaire. Lebih lanjut implikasi dari infeksi penyakit karang ini menyebabkan penurunan jumlah koloni karang masif di lokasi penyelaman di Bonaire. Berbeda dengan karang lifeform masif, menurut Rouphael and Inglis (1997) dan Garrabou et al. (1998) pada lifeform branching umumnya koloni karang akan cepat pulih ketika terkena dampak patahan. Penelitian Hawkins et al. (1999) menemukan terjadinya peningkatan persentase karang branching sebesar 8,2% di Bonaire pada perairan yang padat wisatawan selam. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan beberapa koloni karang terutama karang dengan tipe lifeform bercabang yang memiliki bentuk pertumbuhan abnormal. Abnormal disini yaitu bentuk cabang pada permukaan koloni cenderung tumpul dan lebih pendek. Hal ini merupakan indikasi dari adanya gangguan yang terjadi secara terus menerus sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terumbu karang untuk pulih ke bentuk pertumbuhan yang normal. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pola wisata di Kelurahan Pulau Panggang adalah pola yang terpusat pada beberapa lokasi saja yang didatangi secara terus-menerus dan bersama-sama. Setiap minggu

60 46 wisatawan akan datang dan melakukan aktifitas wisata di lokasi yang sama sehingga yang diterima terumbu karang terjadi secara terus menerus. Menurut sebaran kerusakan yang didapat pada semua lokasi penelitian, kerusakan tertinggi ditemukan di lokasi Selatan dan Barat Pulau Air dengan jumlah ditemukan kerusakan diatas 70 (Tabel 14). Jumlah kerusakan terendah terdapat pada lokasi Selatan Pulau Kotok yang hanya berjumlah 15. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan, Selatan dan Barat Pulau Air merupakan lokasi yang paling sering dikunjungi (selain Semak Daun). Pulau Kotok berada cukup jauh dari pusat wisata (Pulau Pramuka). Wisatawan yang datang ke Pulau ini bukanlah wisatawan reguler seperti yang datang ke delapan lokasi wisata lainnya (Barat Pulau Panggang, Selatan Pulau Air, Barat Pulau Air, Utara Semak Daun, Selatan Semak Daun, Gosong Balik Layar, Tanjung Penyu dan Utara Karang Lebar) melainkan wisatawan yang khusus berwisata di sekitar pulau Kotok dan menginap disana. Jumlah kunjungan ke lokasi ini tidak sebanyak ke lokasi-lokasi lain yang dekat dengan Pulau Pramuka. (a) (b) Gambar 27 Karang genus Porites yang rusak berupa goresan (a) dan luka (b) akibat aktifitas wisata snorkeling Lokasi Selatan Pulau Air dan Barat Pulau Air memiliki tipikal pantai yang landai dari kedalaman 3 meter kearah pantai (sekitar 50 meter panjang vertikal). Struktur pantai slope dan curam mulai dari kedalaman 3 meter hingga 12 meter (lebih dari 12 meter struktur dasar sudah mulai landau dan didominasi oleh pasir). Panjang horizontal pantai membentang sekitar 500 meter di Barat Pulau Air dan 300 meter di bagian Selatan Pulau. Tipologi pantai yang landai dari kedalaman 3 meter hingga ke pantai dan juga membentang cukup panjang secara horizontal menjadi lokasi favorit untuk wisatawan melakukan aktifitas snorkeling. Selain itu, kedua lokasi ini cenderung terlindung sehingga menjadi salah satu alasan mengapa lokasi ini dipilih untuk aktifitas wisata selam maupun snorkeling terutama untuk tingkat pemula (hasil wawancara).

61 47 Tabel 16 Jumlah kerusakan karang pada masing-masing lokasi penelitian berdasarkan kedalaman dan jenis kerusakannya Lokasi Kedalaman 8-10 meter Kedalaman 2-3 meter Goresan Hancur Patah Terbalik Subtotal Goresan Luka Hancur Patah Subtotal Total Barat Pulau Air Barat Pulau Panggang Gosong Balik Layar Selatan Pulau Air Selatan Pulau Kotok Selatan Semak Daun Tanjung Penyu Utara Karang Lebar Utara Semak Daun Total Berdasarkan kedalamannya, pada kedalaman 2-3 m tingkat kerusakan karang lebih tinggi dibandingkan kedalaman 8-10 m. Kedalaman dangkal merupakan tempat aktifitas snorkeling sedangkan kedalaman dalam mewakili kerusakan yang diakibatkan oleh aktifitas menyelam. Pada kedalaman 8-10 m, kerusakan terbesar pada lokasi barat Pulau Air. Barat Pulau Air merupakan lokasi dengan tutupan karang yang cukup tinggi, termasuk kategori sedang dengan persentase tutupan diatas 50%. Persentase abiotik berupa pasir memiliki persentase tidak sampai 1%, sehingga secara estetika memiliki nilai keindahan yang cukup baik dan dengan persentase tutupan pasir yang sedikit kemungkinan timbul efek kekeruhan akibat sedimen cukup kecil sehingga kecerahan perairan tetap terjaga. Kemungkinan teraduk oleh penyelam pun sangat kecil karena persentase substratnya didominasi oleh biotik. Faktor lain yang menjadi alasan Barat Pulau Air menjadi salah satu tujuan favorit menyelam adalah faktor keamanan dan jarak. Secara geografis, Barat Pulau Air cenderung terlindung dan juga jaraknya cukup dekat dengan pulau utama dibandingkan dengan lokasi lain sehingga cukup menghemat pengeluaran bensin kapal wisata. Faktor jarak menjadi salah satu pertimbangan pengemudi kapal dalam memilih lokasi wisata. Pada kedalaman dua sampai tiga meter, kerusakan terbanyak ditemukan di lokasi Selatan Pulau Air. Berdasarkan pengamatan peneliti, lokasi Selatan Pulau Air terutama pada kedalaman tiga hingga satu meter didominasi oleh karang Acropora dengan lifeform branching. Selain itu, terdapat beberapa karang Porites

62 48 masif dengan ukuran yang cukup besar (diameter lebih dari satu meter). Banyaknya karang Acropora branching memungkinkan terjadinya patahan pada karang-karang tersebut lebih besar, selain itu banyaknya Porites masif menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk mendekat karena karang tersebut dapat dijadikan pijakan. Pola wisatawan saat melakukan aktifitas snorkeling khususnya di Kelurahan Pulau Panggang adalah bergerombol. Ketika berpijak ke salah satu karang masif wisatawan berdiri bersama-sama di satu koloni. Beberapa wisatawan lain yang berada di pinggir koloni menyenggol karang-karang didekat koloni yang dijadikan pijakan tersebut sehingga menimbulkan patahan pada karang-karang sekitarnya terutama pada karang branching. Analisis Dampak Wisata Bahari Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yaitu (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan (2) standar keaslian sumberdaya alam. Metode umum yang digunakan untuk menghitung konsep daya dukung kawasan (DDK), yaitu jumlah maksimum pengunjung secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda 2007). Penelitian Fredinan dan Purwita (2010), menyatakan daya dukung ekosistem terumbu karang Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu dalam menampung kegiatan wisata adalah pengunjung wisata snorkeling dengan luas wilayah sekitar 305,6 ha dan pengunjung wisata selam dengan luas wilayah sekitar 422,91 ha. Daya dukung ini menghitung kapasitas ekosistem terumbu karang dalam menampung jumlah wisatawan agar seimbang dengan mempertimbangkan beberapa parameter diantaranya kualitas air, jenis lifeform karang dan tutupan komunitas karang (karang keras, karang lunak dan biota lain). Namun, daya dukung ini belum memasukkan parameter perilaku destruktif wisatawan. Data hasil pengamatan dalam penelitian tesis ini menunjukkan bahwa wisatawan memberikan potensi kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang akibat dari perilaku-perilaku destruktif baik yang disadari ataupun tidak disadari oleh wisatawan. Dampak ini memberikan tekanan terhadap keberlangsungan kelestarian ekosistem terumbu karang. Pengamatan terhadap perilaku destruktif wisatawan mendapatkan nilai dampak wisata bahari dari masing-masing kegiatan wisata baik snorkeling maupun selam dimana untuk wisata selam dibagi menjadi dua yaitu wisatawan selam yang sudah berlisensi dan wisatawan yang belum berlisensi. Tabel 17 Analisis dampak wisata snorkeling dan selam (license dan non-license) Jenis Wisata P K (orang) (orang) Lp Lt Wp (m2 ) (m 2 ) (menit) DWB Snorkeling * ,23 5,05% License 0,44 2,36% Selam Nonlicense * ,51 13,55%

63 49 Keterangan : DWB : Persentase Dampak Wisata Bahari (%) K : Potensi ekologis pengunjung per satuan area untuk kategori wisata bahari tertentu (m2/orang) Lp : Luas area yang dapat dimanfaatkan untuk kategori wisata bahari tertentu (m2) Lt : Luas area yang dibutuhkan untuk kategori wisata bahari tertentu (m2) P : Jumlah wisatawan untuk kategori wisata bahari tertentu (orang/tahun) ΣwiFi : Jumlah waktu dan frekuensi perilaku pengunjung yang berpotensi merusak terumbu karang untuk kategori wisata tertentu (menit) Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk kategori wisata bahari tertentu (menit) Berdasarkan Tabel 17 di atas terlihat bahwa perilaku destruktif wisatawan snorkeling memberikan potensi dampak kerusakan terhadap terumbu karang sebesar 5.05% terhadap luasan potensi ekologis terumbu karang. Sedangkan dari perilaku destruktif wisatawan selam terbagi dua yaitu wisatawan selam yang sudah berlisensi memberikan potensi dampak kerusakan sebesar 2.36% dan wisatawan selam yang belum berlisensi memberikan dampak yang paling besar yaitu 13.55% terhadap luasan potensi ekologis terumbu karang. Tingkat kemampuan dan pengalaman memberikan pengaruh terhadap dampak yang muncul. Wisatawan selam yang sudah mempunyai lisensi selam memiliki dampak yang lebih rendah dibandingkan wisatawan selam yang belum berlisensi. Robert and Harriot (1994) mengatakan wisatawan yang belum berpengalaman, dengan jumlah penyelaman kurang dari 100 kali cenderung lebih banyak memberikan dampak kerusakan dibandingkan wisatawan yang sudah berpengalaman. Wisatawan selam yang sudah berlisensi memiliki pengalaman menyelam yang lebih banyak karena ketika akan mengambil lisensi selam ada syarat jumlah penyelaman yang harus dipenuhi. Selain itu, lisensi selam akan diberikan oleh instruktur selam apabila sudah memenuhi syarat tertentu salah satunya sudah memiliki daya apung (buoyancy) yang bagus. Sementara menurut Rouphael (1997) beberapa studi menunjukkan tidak ada tren hubungan antara dampak kerusakan dengan tingkat pengalaman penyelam. Menurut Rouphael and Inglis (2001) penyelam perempuan, penggunaan kamera dan tahap awal ketika penyelam turun ke laut sangat berasosiasi dengan tingkat kerusakan karang. Dalam penelitian ini, peneliti tidak melakukan kajian terhadap gender penyelam, kamera maupun tahap awal penyelam turun. Penelitian Yusnita (2014) di Kelurahan Pulau Panggang mendapatkan potensi kerusakan pada wisata snorkeling sebesar 8.196% dan pada wisata selam sebesar 7.574%. Jika dibandingkan, maka terjadi penurunan potensi kerusakan pada wisata snorkeling, sedangkan pada wisata selam jika dirata-ratakan antara wisatawan selam yang sudah berlisensi dan yang belum berlisensi nilainya hampir sama dengan hasil yang didapatkan oleh Yusnita (2014). Daya Dukung Terkoreksi Ekosistem Terumbu Karang Perhitungan daya dukung terkoreksi mengacu kepada data dampak wisata bahari (DWB) yang telah dihitung (Tabel 17). Nilai DWB ini kemudian dikalikan

64 50 dengan luas terumbu karang yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata (Lp) sehingga didapatkan luasan terumbu karang yang rusak. Luas terumbu karang yang rusak kemudian dikonversi kedalam jumlah orang dengan menggunakan asumsi luasan pada daya dukung kawasan menurut Yulianda (2007). Asumsi tersebut adalah satu orang wisatawan snorkeling membutuhkan luasan terumbu karang sebesar 500m 2 sedangkan dua orang wisatawan selam membutuhkan luasan terumbu karang sebesar 2000m 2. Waktu yang dihabiskan untuk satu kali snorkeling (dengan persiapan) adalah tiga jam sehingga dalam sehari hanya ada dua kali kegiatan snorkeling. Artinya, kapasitas yang disediakan dalam sehari untuk wisata snorkeling adalah dua orang/500m 2. Sedangkan pada wisata selam, waktu yang diperlukan untuk satu kali penyelaman (dengan persiapan) adalah dua jam sehingga dalam sehari ada empat kali kegiatan penyelaman. Artinya kapasitas yang disediakan untuk wisatawan selam dalam sehari adalah delapan orang/2000m 2. Tabel 18 Perhitungan daya dukung terkoreksi Jenis kegiatan DWB DWB*Lp Konversi Daya Dukung (orang) (%) (m²) ke orang Lama Terkoreksi Snorkeling License Selam Nonlicense Berdasarkan Tabel 18 diatas, maka kapasitas ekosistem terumbu karang Kelurahan Pulau Panggang dalam menampung jumlah wisata hanya sebesar orang untuk wisatawan snorkeling, orang untuk wisatawan selam yang sudah berlisensi dan orang untuk wisatawan selam yang belum berlisensi (masih dalam tahap proses sertifikasi). Jumlah ini lebih rendah dari kapasitas daya dukung sebelumnya yang diteliti oleh Purwita (2010) karena pada penelitian ini terdapat parameter perilaku destruktif yang berpengaruh terhadap daya dukung terumbu karang nya. Kelurahan Pulau Panggang memiliki beberapa lokasi wisata snorkeling dan selam yang tersebar di Pulau Air, Pulau Semak Daun, Pulau Panggang dan beberapam lokasi di sekitarnya. Masing-masing lokasi mempunyai hamparan terumbu karang yang berbeda-beda baik luas maupun tipe atau topografi substrat dasarnya. Berdasarkan data perilaku destruktif wisatawan maka kapasitas daya dukung yang telah dihitung sebelumnya oleh Purwita (2010) perlu dikoreksi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem terumbu karang dari dampak negatif perilaku wisata yang merusak (Tabel 19). Berdasarkan perhitungan daya dukung pada Tabel 16 di atas terlihat bahwa daya dukung yang baru memiliki kapasitas lebih rendah dalam menampung wisatawan. Data jumlah kunjungan pada tabel menunjukkan bahwa jumlah kunjungan ke Kelurahan Pulau Panggang tersebar tidak merata. Ada beberapa lokasi yang menjadi kunjungan paling banyak dibandingkan lokasi lainnya diantaranya Selatan Pulau Air, Utara Semak Daun dan Selatan Semak Daun. Berdasarkan data jumlah kunjungan wisatawan maka beberapa lokasi telah melebihi kapasitas daya dukungnya dalam menampung wisatawan seperti di lokasi Selatan Pulau Air, Utara Semak Daun, Selatan Semak Daun, dan Gosong

65 51 Balik Layar. Sementara lokasi Utara Karang Lebar yang memiliki kapasitas daya dukung paling besar justru memiliki jumlah kunjungan wisatawan yang masih jauh dibawah kapasitas maksimal daya dukungnya. Tabel 19 Daya dukung terkoreksi pada masing-masing lokasi wisata No Lokasi Daya Dukung Lama* (orang) Daya Dukung Terkoreksi (orang) Snorkeling Selam Snorkeling Selam nonlicense License 1 Selatan Pulau Air Barat Pulau Panggang Selatan Semak Daun Utara Semak Daun Utara Karang Lebar Gosong Balik Layar Peneliti mencoba membandingkan data persentase tutupan karang keras untuk melihat apakah terjadi perubahan yang signifikan terhadap tutupan terumbu karang antara data tahun 2010 dengan data terbaru tahun Perbandingan data tutupan terumbu karang berfungsi untuk melihat dalam jangka panjang apakah ada pengaruh yang signifikan pada terumbu karang selama kurun waktu enam tahun di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Tabel 20 Perbandingan persentase tutupan substrat dasar di lokasi wisata Kelurahan Pulau Panggang (2010 dan 2016) Lokasi Kedalaman Hard coral (%) (meter) Purwita (2010) Muhidin (2016) Barat Pulau Panggang Gosong Balik Layar Selatan Pulau Air Selatan Semak Daun Utara Karang Lebar Utara Semak Daun Rata-rata Berdasarkan perbandingan data antara tahun 2010 dengan tahun 2016 terlihat bahwa persentase karang keras mengalami sedikit kenaikan dari 43.70% menjadi 46.64% (Tabel 20). Namun, berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji-t, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap persentase karang keras (hard

66 52 coral). Secara keseluruhan dari Sembilan lokasi pengamatan, persentase karang keras cukup stabil dari tahun 2010 ke tahun Uji t pada masing-masing kedalaman juga menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak ada perubahan yang signifikan terhadap persentase tutupan karang keras baik pada kedalaman 3 meter maupun 10 meter (Lampiran 3-5). Dampak kegiatan wisata belum memberikan pengaruh terhadap berkurangnya tutupan karang keras. Namun, pengamatan terhadap kondisi koloni karang di lapangan menunjukkan ada pengaruh akibat kegiatan wisata terhadap kualitas koloni karang. Beberapa karang seperti genus Millepora dan Porites memiliki bentuk perutmbuhan vertikal yang lebih rendah dikarenakan terjadinya patahan pada ujung-ujung bagian atas koloni karang. Gambar 28 Permukaan yang cenderung tumpul atau rata pada bagian atas koloni karang Millepora Gambar 28 menunjukkan genus Millepora yang cenderung rata pada permukaan koloni nya. Secara normal, seharusnya cabang-cabang di bagian atas permukaan tumbuh vertikal namun beberapa koloni ditemukan cenderung lebih pendek dan tumpul. Selain genus Millepora, kondisi tersebut ditemukan pada karang genus Porites (Gambar 29) dimana cabang-cabang pada bagian atas cenderung rata. Kondisi ini sangat berbeda dengan cabang pada bagian samping yang tumbuh normal. Gambar 29 Permukaan yang cenderung rata pada genus Porites

67 53 Ada beberapa hal terkait kondisi persentase karang keras yang tidak menunjukkan perubahan yang signifikan di lokasi-lokasi wisata di Kelurahan Pulau Panggang. 1. Faktor-faktor positif turut memberikan pengaruh terhadap stabilnya kondisi persentase tutupan karang keras diantaranya kegiatan rehabilitasi terumbu karang (transplantasi karang) di lokasi Barat Pulau Panggang, Pulau Semak Daun, Pulau Karya dan sekitar Selatan Pulau Pramuka. Kegiatan-kegiatan rehabilitasi mangrove seperti di Pulau Pramuka, Pulau Semak Daun (salah satu nya oleh klub selam FDC-IPB tahun 2011). Semakin baiknya sarana prasarana kebersihan diantaranya adanya tim kebersihan pantai (tim orange) dan kapal pembersih sampah di Kelurahan Pulau Panggang. Pembentukan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) di Pulau Pramuka. Edukasi masyarakat dan guide-guide wisata oleh pemerintah setempat dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 2. Salah satu kelemahan pengambilan data karang keras menggunakan metode LIT pada transek non permanen adalah adanya bias data. Meskipun kordinat yang digunakan sama kemungkinan terjadinya pergeseran titik akibat pengaruh kondisi saat pengambilan data (arus, ombak, gelombang dan faktor teknis lainnya) dapat saja terjadi sehingga menimbulkan bias data. Rekomendasi Pengelolaan Rekomendasi pegelolaan yang diajukan berdasarkan kondisi permasalahan yang terjadi di lapangan. Strategi ini adalah solusi yang bisa digunakan dalam rangka meminimalisasi dampak kegiatan wisata. Permasalahan yang terjadi di lapangan berdasarkan hasil penelitian dan observasi meliputi dimensi sosial, kelembagaan, dan ekologi. Beberapa permasalahan yaitu: A. Permasalahan 1. Dimensi Sosial Tidak ada standarisasi dan standar baku guide wisata Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan tidak semua guide memberikan edukasi tentang tata cara wisata yang ramah lingkungan. Berdasarkan data kuesioner terhadap sampel wisatawan sebanyak 61.90% wisatawan sudah diberikan informasi oleh pemandu dan sisanya 38,10% belum. Namun, tidak ada keseragaman atau standard baku tentang informasi apa saja yang harus diberikan kepada wisatawan terutama menyangkut wisata yang ramah lingkungan. Guide-guide tersebut terkadang hanya memberikan materi tentang cara penggunaan alat selam saja. Selain itu, beberapa kapal tidak membawa guide untuk mendampingi wisatawan. Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan pengemudi kapal tidak mau membawa guide. Adanya guide wisata akan membuat pemasukan menjadi terbagi antara pengemudi/pemilik kapal dengan guide tersebut. Proses perekrutan guide pun tidak ada syarat-syarat yang tertulis secara khusus. Pertimbangan seorang untuk bisa menjadi guide asalkan orang tersebut bisa berenang, mempunyai fisik yang cukup kuat dan terbiasa ke laut.

68 54 Tidak ada proses pembinaan atau standarisasi dari segi pengetahuan tentang wisata yang baik dan pemahaman tentang ekosistem terumbu karang terutama tentang dampak dari kegiatan wisata yang merusak. Tidak ada pengaturan kunjungan wisatawan sesuai daya dukung lokasi Pola wisata di Kelurahan Pulau Panggang adalah pola kunjungan yang terpusat di beberapa lokasi saja. Untuk kegiatan wisata snorkeling lokasi yang menjadi kunjungan favorit terdiri dari lima lokasi yaitu Selatan Semak Daun, Barat Pulau Air, Utara Semak Daun, Barat Pulau Panggang, dan Selatan Pulau Air (Lihat Tabel 5). Lokasi favorit wisata selam adalah Barat Pulau Panggang, Tabularasa dan Tanjung Penyu. Setiap minggu kunjungan wisatawan ke lokasi-lokasi tersebut selalu ramai. Hampir sepanjang lereng terumbu karang berjajar kapal-kapal yang mengangkut wisatawan selam. Selain itu, sepanjang lereng terumbu karang di kedalaman 2-3 meter wisatawan snorkeling berjejer dengan jumlah yang bervariasi (Gambar 12). Rata-rata satu kapal mengangkut 20 orang wisatawan snorkeling. Sedangkan wisata selam dalam satu kapal rata-rata berjumlah 15 orang (Gambar 13). Berdasarkan analisis daya dukung terkoreksi, jumlah wisatawan yang dapat ditampung pada lokasi-lokasi wisata di Kelurahan Pulau Panggang tidak lebiih dari 100 orang, terkecuali untuk lokasi Utara Karang Lebar. Namun, yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Lokasi yang mempunyai kapasitas daya dukung yang besar hanya dikunjungi oleh sedikit wisatawan. Sedangkan lokasi yang daya dukungnya sedikit seperti Selatan Semak Daun dan Barat Pulau Panggang banyak dikunjungi dengan jumlah melebihi kapasitas yang dapat ditampung. Oleh karena itu, sangat perlu adanya pengaturan kunjungan wisatawan sesuai daya dukung lokasi-lokasi tersebut. Edukasi penduduk terkait ekosistem terumbu karang masih kurang Beberapa penduduk di Pulau Panggang masih melakukan pengambilan batu karang sebagai bahan bangunan dan juga untuk menambah area pulau. Pengambilan batu karang cukup massif dimana batu karang yang diambil cukup banyak. Selain itu, pengamatan penulis selama di lapang menunjukkan karang yang diambil adalah karang-karang yang masih hidup dan dalam kondisi baik. Selain di Pulau Panggang (Gambar 30). Pengambilan batu karang juga dilakukan oleh penduduk di Pulau Pramuka, namun tidak sebanyak seperti di Pulau Panggang.

69 55 Gambar 30 Batu Karang yang dieksploitasi di Pulau Panggang Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu ada edukasi kepada penduduk mengenai ekspolitasi batu karang tersebut. Terutama eksploitasi terhadap batu karang yang masih dalam kondisi sangat baik. Eksploitasi batu karang umumnya terhadap karang-karang lifeform masif. Padahal, sebagaimana kita ketahui, karang lifeform masif adalah jenis karang yang paling lama pertumbuhannya. Selain itu, lifeform ini adalah yang paling tahan terhadap gangguan dari luar termasuk oleh kegiatan wisata. Data dampak wisata menunjukkan dampak terhadap karang masif tidak langsung menyebabkan hancurnya koloni karang tapi hanya berupa goresan saja. Bila dibandingkan dengan kerusakan pada karang branching, foliose ataupun tabulate, karang masif masih lebih tahan. Karang masif juga dijadikan pijakan oleh wisatawan sehingga keberadaannya dapat mengurangi kemungkinan kerusakan pada karang bercabang karena wisatawan cenderung menginjak karang masif. Pengendalian dan pengawasan masih lemah Pengendalian dan pengawasan adalah salah satu cara dalam mencegah terjadinya pelanggaran aturan dan kegiatan-kegiatan illegal atau merusak. Pengendalian dan pengawasan di Kelurahan Pulau Panggang diperlukan terutama untuk menegakkan aturan-aturan seperti pelarangan pengunaan alat tangkap yang merusak seperti bom dan sianida, eksploitasi batu karang secara massif dan sebagainya. Hasil wawancara terhadap guide dan operator wisata menunjukkan masih ada penggunaan alat tangkap yang merusak di Perairan Kelurahan Pulau Panggang. Meskipun bila dengan tahun-tahun sebelumnya, kejadian pemboman karang dan juga penggunaan potassium sudah sangat jarang. Kegiatan ini sesekali masih terjadi dan pada waktu-waktu tertentu, salah satunya yaitu pada waktu jumatan. Pengendalian dan pengawasan juga diperlukan untuk menegakkan aturan pemakaian life jacket bagi wisatawan terutama wisatawan yang tidak bisa berenang. Life jacket memberikan daya apung bagi pemakainya sehingga pemakai lebih cenderung mengambang di perairan. Penggunaan life jacket selain untuk keselamatan, juga bisa mengurangi frekuensi kelelahan bagi pemakai. Berkurangnya fekuensi kelelahan akan mengurangi frekuensi wisatawan menginjak terumbu karang sehingga mengurangi kerusakan karang. Selain untuk menegakkan aturan pemakaian life jacket, pengendalian dan pengawasan diperlukan untuk mendorong para pemilik kapal dan guide wisata agar menyediakan life jacket ketika akan membawa wisatawan bersnorkeling. Penyediaan life jacket sebenarnya sudah masuk dalam mekanisme pembayaran biaya kapal. Artinya, ketika wisatawan menyewa kapal maka otomatis harga sewa kapal sudah mencakup biaya penyewaan life jacket. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan banyak kapal yang tidak menyediakan life jacket sebagai bagian dari fasilitas sewa kapal.

70 56 2. Dimensi Kelembagaan Kurangnya kordinasi dan keterpaduan stakeholder Hasil wawancara menunjukkan banyaknya konflik yang terjadi antara guide wisata, pemerintah setempat, peguyuban wisata, pengurus APL (Area Perlindungan Laut) serta organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM). Stakeholder yang ada cenderung bergerak sendiri dan hanya untuk kepentingan golongan saja. Hasil wawancara menunjukkan adanya rasa tidak suka dari guide-guide di pulau pramuka dengan paguyuban wisata. Rasa tidak suka ini muncul karena guide wisata merasa hanya dimanfaatkan saja oleh pengurus paguyuban. Paguyuban wisata lebih banyak terbuka dan mendapatkan sorotan media sehingga mendapatkan keuntungan. Namun, kurang berbaur dengan guide-guide di lapangan. Beberapa konflik terjadi karena adanya misskomunikasi seperti beberapa penduduk yang merasa wilayah APL Kelurahan Pulau Panggang terlalu di monopoli oleh segelintir orang. Sementara berdasarkan keterangan pengurus APL, tidak semua orang bisa menjadi pengurus APL, tergantung dari kemampuan dan keseriusannya. Selain itu, selama di lapangan penulis melihat gap yang cukup terlihat antara kelompok-kelompok di Pulau Pramuka. Gap ini menyebabkan masing-masing kelompok atau stakeholder cenderung kurang kordinasi termasuk dalam pengelolaan wisata. Gambar 31 Tumpahan minyak di Kelurahan Pulau Panggang Temuan lain di lapangan adalah adanya tumpahan minyak yang tidak diketahui berasal dari mana. Hasil wawancara terhadap beberapa penduduk termasuk pemerintah setempat mengatakan tumpahan minyak berasal dari tengah laut dan hampir setiap tahun terjadi. Efek dari tumpahan minyak ini

71 57 sangat besar diantaranya menutupi seluruh mangrove (Gambar 31) dan lamun di belakang Pulau Pramuka. Kapal-kapal penduduk juga terkena tutupan minyak tersebut dan menyebabkan masalah terutama pada bagian mesin kapal. Tumpahan minyak ini tersebar di sepanjang pantai Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Air, Pulau Semak Daun dan Pulau-pulau lain disekitarnya. Dalam hal ini tidak ada keterangan jelas yang didapatkan mengenai solusi apa yang harus dilakukan dan siapa yang bertanggungjawab. 3. Dimensi Ekologi Tidak ada data secara time series di lokasi-lokasi wisata Data hasil penelitian menunjukkan adanya dampak dari kegiatan wisata diantaranya banyaknya karang masif yang rusak baik berupa goresan maupun luka. Selain itu, karang-karang banyak yang patah dan hancur. Persentase lifeform karang terutama karang bercabang sangat sedikit. Umumnya lokasilokasi wisata di Kelurahan Pulau Panggang didominasi oleh karang-karang massif yang cenderung lebih tahan terhadap gangguan. Pengamatan penulis dilapangan salah satunya di lokasi Selatan Pulau Air menunjukkan banyak karang bercabang yang hancur diantara sela-sela karang masif. Salah satu perilaku wisatawan adalah menginjak karang dan umumnya karang masif adalah lifeform yang sering dipilih sebagai bahan pijakan terutama genus Porites. Pola menginjak karang ini secara bergerombol sehingga wisatawan yang mendapat pijakan di bagian pinggir koloni sering menyenggol karang branching. Beberapa koloni karang menunjukkan bentuk pertumbuhan yang abnormal dimana pertumbuhan vertikal cenderung lebih pendek (Gambar 31 dan 32). Kondisi permukaan koloni karang agak rata akibat tekanan yang terjadi secara terus menerus di permukaan bagian atas koloni karang. Kondisi ini menunjukkan indikasi dari adanya patahan yang terjadi secara terus menerus pada bagian atas permukaan koloni karang. Perlu ada monitoring secara berkala sehingga didapatkan data secara time series mengenai kondisi terumbu karang di lokasi-lokasi wisata. Data ini bisa digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi sehingga bisa dilakukan langkah-langkah untuk meminimalisir kerusakan tersebut. B. Faktor Positif Beberapa faktor positif yang ditemukan dilapangan terkait pengelolaan wisata dan terumbu karang adalah: Kesadaran untuk merehabilitasi karang Beberapa lokasi telah dilakukan rehabilitasi karang melalui transplantasi. Untuk lokasi wisata sendiri, salah satu lokasi yang dilakukan transplantasi adalah Barat Pulau Panggang. Di lokasi ini telah dilakukan transplantsi fragmen karang dalam kurun waktu tahun 2010 hingga Dampak dari transplantasi ini adalah adanya kenaikan persentase tutupan di Barat Pulau Panggang dari 44,45% ke 55,30% di kedalaman 3 meter dan dari 36,70% ke 60,71% di kedalaman 10 meter berdasarkan data Purwita (2010) dan Muhidin (2016). Padahal Barat Pulau Panggang adalah salah satu lokasi yang cukup padat dikunjungi baik oleh

72 58 wisatawan snorkeling maupun selam. Barat Pulau Panggang merupakan salah satu lokasi favorit untuk kegiatan snorkeling dan selam. Masyarakat terbuka terhadap wisatawan Sejauh ini masyarakat Kelurahan Pulau Panggang sangat terbuka dengan tamu yang datang termasuk wisatawan. Tidak pernah ada konflik antara wisatawan dengan penduduk lokal. Hal ini menjadi salah satu faktor positif yang turut mempengaruhi minat kunjungan wisatawan. Berdasarkan pengamatan dan juga pengalaman penulis dari tahun 2007, masyarakat Kelurahan Pulau Panggang sangat terbuka dan bersahabat. Penduduk Kelurahan Pulau Panggang sangat senang berhubungan atau menjalin silaturrahmi dengan orang luar dan juga sangat terbuka dengan ide-ide baru. Beberapa wisatawan memiliki kepedulian terhadap lingkungan Berdasarkan pengamatan penulis ketika mengikuti wisatawan selam, ada beberapa wisatawan yang mengambil sampah-sampah di dalam laut kemudian menyimpannya di saku mereka. Bahkan ada juga yang membawa kantong kecil khusus untuk menyimpan sampah. Hal ini menandakan adanya kepedulian yang cukup tinggi dari wisatawan terhadap lingkungan. Terbentuknya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), tim orange dan kapal pembersih sampah Mulai tahun 2014 Pulau Pramuka telah memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Selain itu, Kelurahan Pulau Panggang mempunyai pasukan orange yang khusus membersihkan sampah-sampah di pinggir pantai dan juga perahu khusus untuk membersihkan sampah di laut. Adanya pengolahan air limbah dan juga fasilitas pembersih sampah dapat mengurangi limbah yang bisa mencemari perairan dan mengganggu kehidupan biota laut termasuk karang. Masih ada biota-biota penting/indikator Berdasarkan pengamatan selama melakukan penelitian, penulis cukup sering menemukan adanya biota penting seperti penyu dan lumba-lumba. Penyu ditemukan di lokasi Barat Pulau Air, Tanjung Penyu, dan di Utara Semak Daun. Sedangkan lumba-lumba sering terlihat melintas di perairan antara Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Adanya biota-biota ini menandakan kondisi lingkungan di Kelurahan Pulau Panggang maasih cukup baik. Resiliensi karang cukup baik Berdasarkan perhitungan indeks resiliensi (Bachtiar 2012), tingkat resiliensi rata-rata terumbu karang di lokasi-lokasi wisata Kelurahan Pulau Panggang termasuk dalam kategori baik. Kemampuan resiliensi terumbu karang sangat mempengaruhi daya tahan karang dan juga kemampuan karang untuk pulih dari gangguan yang masuk. Berdasarkan permasalahan dan faktor positif maka dirumuskan rekomendasi pengelolaan. Rekomendasi pengelolaan tersebut dijabarkan pada Tabel 21.

73 Monitoring secara berkala 59 Tabel 21 Matriks Strategi Pengelolaan No Dimensi Permasalahan Faktor Positif Strategi pengelolaan 1 Sosial Belum semua guide memberikan edukasi tentang wisata ramah lingkungan, Materi yang diberikan oleh guide belum seragam (tidak ada aturan atau standard baku) Adanya kesadaran untuk merehabilitasi karang Masyarakat terbuka terhadap wisatawan Masih ada kapal yang tidak membawa guide (alasan ekonomi) Beberapa wisatawan Perbandingan jumlah wisatawan dengan guide tidak seimbang, memiliki kepedulian terhadap lingkungan Tidak ada aturan tertulis komposisi jumlah guide dengan jumlah wisatawan Kegiatan wisata cenderung menumpuk di satu lokasi Masih banyak perilaku wisatawan merusak terumbu karang baik sengaja ataupun tidak Tidak ada pelampung yang berfungsi sebagai penambat kapal Masih banyak eksploitasi batu karang oleh penduduk Bom dan penggunaan potassium oleh nelayan dair luar Kelurahan Pulau Panggang 2 Kelembagaan Misskomunikasi antara guide di lapangan, paguyuban wisata dan pemerintah setempat, Adanya tumpahan minyak yang tidak diketahui darimana asalnya dan terjadi setiap tahun. Terbentuknya Instalasi Pengolahan Air Limbah dan pasukan kebersihan Pulau Pramuka dan kapal pembersih sampah Standarisasi guide Pengaturan wisatawan sesuai daya dukung Pengawasan dan Pengendalian Edukasi penduduk Pelibatan wisatawan dan penduduk dalam menjaga lingkungan Kordinasi dan keterpaduan antar stakeholder Peningkatan sarana prasarana kebersihan di Pulau Panggang 3 Ekologi Banyak karang-karang branching, foliose, digitate dan tabulate patah dan hancur Bentuk koloni yang tidak normal (pertumbuhan Terganggu) Resiliensi karang Baik Masih ada biota-biota penting/indicator 59

74 60 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola wisata di Kelurahan Pulau Panggang adalah pola mingguan yaitu kegiatan wisata yang umumnya berlangsung di akhir pekan (jumat sampai minggu). Puncak kunjungan tertinggi terjadi pada hari libur panjang di akhir pekan (longweekend) seperti hari libur di hari kamis, jumat, senin atau selasa. Karakteristik wisatawan didominasi oleh laki-laki sebanyak 67% sedangkan wanita 33%. Wisatawan yang datang dengan cara berkelompok dengan persentase tertinggi adalah kelompok berjumlah yaitu 2-5 orang (48%) dan 6-10 orang (36%). Berdasarkan rentang usia sebagian besar pengunjung berusia 20-29% dengan mayoritas tingkat pendidikan terakhir adalah SMA (48%) Dan Sarjana (38%). 2. Kegiatan wisata snorkeling dan selam memberikan dampak terhadap kerusakan terumbu karang. Potensi kerusakan yang paling besar terutama dari wisatawan selam yang belum berlisensi (masih dalam tahap proses pengambilan lisensi selam) dimana dampak wisata yang ditimbulkan sebesar 13.55%. Kemudian dari wisatawan snorkeling sebesar 5.05% dan yang paling rendah dari wisatawan selam yang sudah berlisensi sebesar 2.36%. Dampak terhadap terumbu karang didominasi oleh jenis kerusakan beruapa patahan pada koloni karang. Sedangkan berdasarkan ukuran sebagian besar kerusakan berskala kecil. 3. Daya dukung dengan memasukkan parameter perilaku destruktif wisatawan menghasilkan nilai daya dukung terkoreksi sebesar orang untuk wisata snorkeling. Sedangkan untuk wisata selam yang sudah berlisensi sebesar orang dan untuk wisatawan selam yang belum berlisesni sebesar Perbandingan data LIT 2010 dengan 2016 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan pada tutupan karang keras di Kelurahan Pulau Panggang. Secara kualitas terjadi perubahan bentuk pertumbuhan koloni karang dimana pertumbuhan vertikal pada koloni karang di lokasi wisata tidak optimal (cenderung lebih pendek). Saran Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlu adanya pengamatan secara time series yang mencakup: 1. Perlu adanya penelitian lanjutan terutama pengamatan secara time series pada koloni dan lifeform karang yang terkena dampak wisata. Selain itu, perlu ada transek permanen di lokasi wisata sehingga bisa dilakukan pengamatan terus menerus pada lokasi yang sama. Pengamatan terutama terhadap karang branching yang cenderung mudah patah akibat kegiatan wisata. Penggunaan metode mantatau perlu dilakukan secara berkala untuk melihat kondisi secara umum pada ekosistem terumbu karang khususnya di lokasi-lokasi wisata. 2. Perlu adanya aturan yang lebih jelas dan tertulis terkait kegiatan wisata (jumlah wisatawan sesuai kapasitas kapal, jumlah guide sesuai dengan komposisi jumlah wisatawan, fasilitas pendukung seperti life jacket,

75 pelampung di lokasi wisata untuk penambat kapal, pelarangan jangkar kapal di lokasi wisata). 3. Perlu adanya keterpaduan stakeholder di Kelurahan Pulau Panggang khususnya dan juga di Kepulauan Seribu sehingga kegiatan yang dilakukan bisa sinergis, efektif, saling mendukung dan tidak ada misskomunikasi. 61

76 62 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistika Kabupaten Kepulauan Seribu Informasi Data Statistik Wisatawan ke Kepulauan Seribu, Jakarta Utara [internet]. [diacu tanggal 21 Februari 2014]. Tersedia dari: Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Laporan Kegiatan Pelestarian Penyu Sisik (Erethmocelys imbricata) di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Proyek Pemantapan Pengelolaan Taman Nasional Laut Pulau Seribu. Jakarta (ID): Balai TNKpS. Barker NHL dan Robert CM Scuba Diver Behaviour and the Management of Diving Impact on Coral Reefs. Biological Conservation 120: Bengen DG Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Birkeland C Life and Death of Coral Reefs. New York (USA): International Thomson Publishing. 536p. Briggs JC Coral reefs: conserving the evolutionary sources. Biological Conservation 126: Burke L, Selig E, dan Spalding M (ed.) Reefs at risk in Southeast Asia. Word Resources Institute, United Nations Environment Program-World Conservation Monitoring Centre, World Fish Centre, and International Coral Reef Action Network. 40p. Ceballos-Lascurain H Ecotourism as a worldwide phenomenon. In: Lindberg, K., Hawkins, D.E. (Eds.), Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. The Ecotourism Society, North Bennington, Australia. 175p. Cesar HSJ Coral reefs: Their functions, threats and economic value. In Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. CORDIO. Department for Biology and Environmental Sciences, Kalmar University, Sweden. pp Davis D dan Tisdell C Economic Management of Recreational Scuba Diving and the Environment. Journal of Environmental Management 48: Delbeek C dan Charles J A Comprehensive Guide to the Identification and Care of Tropical Marine Invertebrates, vol. 1. Effendi H Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius. 258hlm. English S, Wilkinson C, Baker V Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australian Marine Science Project: Living Coastal Resources. Townsville (AU): Australian Institut of Marine Science. Estradivari, Setyawan E dan Yusri S Terumbu karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu ( ). Jakarta (ID): Yayasan TERANGI.viii +102 hlm. Fandeli C Pengertian dan Kerangka Daras Pariwisata dalam Fandeli, C. (ed) Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Yogyakarta (ID): Liberty. 35hlm.

77 Frederick A, Caindec VEC, Perez JLD and Danilo T Impact of Recreational Scuba Diving on A Marine Protected Area in Central Philippines: A Case of Gilutongan Marine Sanctuary. Philipp Science 42: Garrabou J, Sala E, Arcas A, Zabala M The impact of diving on rocky sublittoral communities: a case study of a Bryozoan population. Conservation Biology 12: Gomez ED, Yap HT Monitoring Reef Condition. In Kenchington, R.A. and Hudson, B.T., Eds., Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. CRC Press. New York (US). Taylor & Francis Group CRC Press LLC pp. Grover R Nitrate uptake In the scleractinian coral Stylophora pistillata. Limnol Oceanogr 48: Hall VR The response of Acropora hyacinthus and Montipora tuberculosa to three different types of colony damage: scraping injury, tissue mortality and breakage. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 264: Harriot VJ, Davis D, Banks SA Recreational Diving and It s Impact in Marine Protected Areas in Eastern Australia. Lismore (AU): School of Resources Science and Management. Southern Cross Univ. Lismore Australia. Hawkins JP dan Robert CM Effect of Recreational Scuba Diving on Reef Slope Communities of Coral Reef. Biological Conservation 62: Hawkins JP, Roberts CM, Van t Hof T, De Meyer K, Tratalos J, Aldam C Effects of recreational scuba diving on Caribbean coral and fish communities. Conservation Biology 13: [WTTC] World Travel Tourism Council Global Travel and Tourism Economics Impact Update August Oxford Economics. Oxford (UK). 23p. Hughes TP et al Climate change, human impacts, and the resilience of coral reefs. Science 301: Kartawijaya T, Tarigan SA, Ningtias P, Herdiana Y, Hasbi KM, Muttaqien E, Lubis Z, Hotmariyah Kajian Dampak dan Daya Dukung Kegiatan Wisata di Taman Wisata Perairan Gili Matra. Bogor (ID): WCS Marine Indonesia Program. Kelley RA Indo Pasific Coral Finder. Townsville (AU): BYOGUIDES. Latupapua YT Studi Potensi Kawasan dan Pengembangan Ekowisata di Tual Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Ichsan Gorontalo, 3 (1): Liew HC The Impact on Coral Reefs by Leisure Divers in Redang. National Symposium on Marine Park and Island in Trengganu. Malaysia. Luna B, Valle-Pe rez C, Sa nchez-lizaso JL Benthic impacts of recreational divers in a Mediterranean Marine Protected Area. Journal of Marine Science, 66: Medio D, Ormond RFG, Pearson M Effect of Briefing on Damage to Corals by Scuba Diver. Biological Conservation, 79: Muhidin Laporan hasil survey ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu. Di dalam: Seminar Edukasi Pemaparan Hasil Monitoring 17 Pulau 63

78 64 Guna Menjaga Keindahan Seribu Pulau di DKI Jakarta; 2015 Okt 30-31; Jakarta; Indonesia. Jakarta (ID): BPLHD Jakarta. 27hlm. Nontji A Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Jakarta (ID): Djambatan. Nybakken JW Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Tama. 480hlm. Nystroom M, Folke C, Moberg F Coral reef disturbance and resilience in a human-dominated environment. Trends in Ecology and Evolution 15: Orams M Marine Tourism: Development, Impacts and Management. Routledge (UK). 115p. Poonian C, Davis PZR, McNaughton CK Impacts of recreational divers on Palauan coral reefs and options for management. Pac. Sci. 64 (4): Purwita IH Pengelolaan Wisata Bahari dengan Pendekatan Ekosistem Terumbu Karang di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachmawati R Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarat (ID): DKP RI. 50hlm. Rani C dan Jamaluddin J Tingkah Laku Memijah Karang A. nobilis dan Pocillopora verrucosa di Terumbu Karang Tropik Pulau Baranglumpo, Makassar. Makassar (ID): Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanudin, Makassar. Hlm Raymond, Dizon T, Yap HT Effect of coral transplantation in sites of varying disntances and environmental conditions. Marine Biology, 4 (5): Rees W Sustainable development and the biosphere. Teilhard Studies Number 23. American Teilhard Association for the Study of Man, or: The Ecology of Sustainable Development. The Ecologist 20 (1): Richmond RH Effects of coastal runoff on coral reproduction. Biological Conservation 76: 211. Roberts L dan Harriott VJ Recreational scuba diving and its potential for environmental impact in a marine reserve. In: Bellwood, O., Choat, H., Saxena, N. (Eds.), Recent Advances in Marine Science and Technology Townsville (AU): James Cook University of North Queensland pp. Rogers CS Responses of coral reef organisms to sedimentation. Marine Ecology Progress Series 62: Rouphael AB The temporal and spatial patterns of impact caused by SCUBA diving in coral reefs, and the human and site specific characteristics that influence these patterns. [Thesis]. Townsville (AU): James Cook University of North Queensland, Townsville. Rouphael AB dan Inglis GJ Impact of Recretional Scuba Diving at Sites With Different Reef Topographoies. Biological Conservation 82: Rouphael AB dan Inglis GJ Take only photographs and leave only footprints?: an experimental study of the impacts of underwater

79 photographers on coral reef dive sites. Biological Conservation 100: Sevilla, CG et al Research Methods. Rex Printing Company. Quezon City. Supriharyono Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta (ID): Djambatan. 129hlm. Thamrin Karang: Biologi Reproduksi dan Ekologi. Pekanbaru (ID): Minamandiri Pres. Van Woesik R Coral communities and reef growth in the southern Great Barrier Reef. Coral Reefs Report. Coral Reefs 16(2): Veron JEN Coral of The World. Edited by Mary Stafforf Smith. Townsville (AU): Australian Institute of Marine Science. Webler T dan Jakubowski K Mitigating damaging behaviours of snorklelers to coral reefs in Puerto Rico though a pre-trip media-based intervention. Biological Conservation 197: Yulianda F Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah Seminar Sains Pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yulianda F dan Purwita IH Pendekatan Ekosistem Terumbu Karang untuk Pengelolaan Wisata Bahari di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Seminar Nasional Kelautan ke-x. Surabaya (ID): KKP RI. Yusnita I Kajian Potensi Dampak Wisata Bahari terhadap Terumbu Karang di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zakai D dan Chadwick-Furman NE Impact of Intensive Recretional Diving on Reef Corals at Eilat, Northern Red Sea. Biological Conservation 105: Zakai D, Levy O, Chadwick-Furman NE Experimental Fragmentation reduce sexual reproductive output by the reef-building coral Pocillopora damicornis. Coral reefs 19:

80 66 LAMPIRAN

81 67 Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Wisatawan KUESIONER PENELITIAN KAJIAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERDASARKAN DAMPAK POTENSI WISATA BAHARI DI KELURAHAN PANGGANG TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU (DALAM KEGIATAN SELAM DAN SNORKELING) Kepada Yth. Bapak/Ibu/Saudara/i Responden Saya Muhidin mahasiswa tingkat akhir pada program Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor yang sedang melakukan riset pengunjung untuk pengumpulan data yang akan digunakan dalam pembuatan tesis. Kuesioner ini semata-mata demi kepentingan akademik, identitas dan informasi dari Bapak/Ibu/Saudara/i ini bersifat rahasia. Saya berharap informasi yang diberikan adalah jujur dan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apabila terdapat kesulitan dalam menjawab, dapat bertanya langsung kepada interviewer. Terima kasih atas bantuan dan kesediaan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner ini. Salam, Muhidin Petunjuk: Lingkarilah pada nomor dan tabel yang tersedia sesuai dengan jawaban yang anda pilih. Pilih sakah satu jawaban saja untuk masing-masing pertanyaan. A. IDENTITAS 1. Nama Lengkap : Usia : 1). <20 2) ) ) ). >50 3. Jenis Kelamin : 1). Laki-laki 2). Perempuan 4. Pendidikan Terakhir : 1). SMP 2). SMA 3). D3 4). S1 5). S2 6). Lainnya Status anda saat ini : 1). Menikah 2). Belum Menikah 3). Janda/Duda 6. Tempat tinggal anda saat ini : a. Jakarta b. Bogor c. Depok d. Tangerang e. Bekasi f. Lainnya Pekerjaan : a. Mahasiswa b. Ibu Rumah Tangga c. Pegawai Swasta d.pegawai Negeri e. Wiraswasta f. Lainnya Pendapatan perbulan : a). Rp b). Rp Rp c). Rp Rp d). Rp Rp e). Rp Apakah anda tahu tentang wisata bahari berkelanjutan (ekowisata)? 1). Tahu 2). Tidak tahu 10. Apakah terumbu karang hidup atau mati?

82 Apakah defenisi terumbu karang? 1). Hewan 2). Tumbuhan 12. Menurut anda pertumbuhan terumbu karang cepat atau lambat? 1). Cepat 2). Lambat 13. Apa manfaat terumbu karang menurut anda? 14. Menurut anda apa kegiatan yang merusak terumbu karang 15. Apakah terumbu karang dapat diperbaharui? a). Bisa b). Tidak bisa 16. Secara umum menurut anda bagaimana kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu? a). Sangat baik b). Baik c). Sedang d). Buruk 17. Menurut anda apakah ekosistem terumbu karang merupakan obyek utama wisata bahari di Kepulauan Seribu? a). Ya, alasannya... b). Tidak, alasannya Menurut anda kegiatan yang ramah lingkungan seperti apa? 19. Apakah anda pernah memegang biota pada saat melakukan kegiatan selam/snorkeling? a). Pernah b). Tidak pernah 20. Apakah anda pernah menginjak karang selama anda melakukan kegiatan snorkeling dan selam? a). Pernah b). Tidak pernah 21. Apakah anda pernah mematahkan karang selama anda melakukan kegiatan snorkeling/selam? a). Pernah b). Tidak pernah 22. Apakah anda pernah membuang sampah ke laut? a). Pernah b). Tidak pernah 23. Apa motivasi utama anda berkunjung ke Kepulauan Seribu? a). Pemandangan b). Rasa ingin tahu c). Hobi d). Lainnya Anda berkunjung secara rombongan atau sendiri ke Kepulauan Seribu a). Sendiri b). Romobongan, dengan jumlah : 1). 2-5 orang 2) orang 3) orang 4) orang 5). >20 orang 25. Alasan memilih Kepulauan Seribu? a). Ingin tahu b.) Ketertarikan terhadap objeknya c). Akses yang mudah d). Fasilitas yang memadai e). Harga yang terjangkau 26. Berapa kali anda pernah datang ke Kepulauan Seribu? a). Baru pertama kali b). 2-3 kali c). 3-5 kali

83 69 d). >5 kali 27. Apakah setiap kunjungan pasti melakukan selam atau snorkeling? a) Ya b) Tidak 28. Mana lokasi di Kelurahan Pulau Panggang yang sering anda kunjungi? 29. Kunjungan di luar Kelurahan Pulau Panggang? 30. Bagaimana pengelolaan terumbu karang Kepulauan Seribu terkait kegiatan wisata (dibandingkan daerah lain)? a) Cukup b) Kurang, alasannya Berapa kali anda melakukan snorkeling? 32. Berapa kali anda melakukan selam? 33. Apa tingkat sertifikasi selam anda saat ini? a) A1 b) A2 c) A3 d) Tidak ada 34. Apakah anda sudah diberikan informasi oleh pemandu? a) Sudah b) Belum Lampiran 2 Daftar Penggolongan Komponen Substrat Bentik Penyusun Komunitas Karang, Lifeform Karang dan Kodenya Kategori Kode Keterangan Dead Coral DC Karang-karang mati Acropora Acropora ACB Paling tidak memiliki dua Branching percabangan, memiliki axial dan radial koralit Acropora ACT Bentuk seperti meja datar Tabulate Acropora Encrusting ACE Merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa Acropora ACS Tegak dengan bentuk seperti baji Submassive Acropora ACD Karang menjari; bercabang tidak lebih Non Acropora Digitate dari dua Coral Branching CB Karang bercabang; paling tidak dua percabangan, memiliki radial koralit Coral Encrusting CE Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak), paling tidak dua percabangan Coral Foliose CF Karang berbentuk lembaran daun atau berupa piring Coral Massive CM Seperti batu besar atau gundukan Coral Submasive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji Coral Mushroom CMR Soliter; karang hidup bebas Heliopora CHL Karang biru Millepora CME Karang api Tubipora CTU Karang merah; berbentuk seperti pipapipa kecil Bentos lain Sponges SP

84 70 Kategori Kode Keterangan (OF) Zoanthids ZO Others OT Ascidian, Anemon, Gorgonian dll. Soft coral SC Karang-karang lunak Alga Halimeda, Coraline algae, Turf algae Abiotik Sand S Pasir Silt Si Lumpur Rock Rck Batu (Sumber: Modifikasi English et al. 1994) Lampiran 3 t-test: Paired Two Sample for Means (Kedalaman 3 meter dan 10 meter) Variable 1 Variable 2 Mean 0, , Variance 0, , Observations Pearson Correlation 0, Hypothesized Mean Difference 0 Df 11 t Stat 0, P(T<=t) one-tail 0, t Critical one-tail 1, P(T<=t) two-tail 0, t Critical two-tail 2, Lampiran 4 t-test: Paired Two Sample for Means (kedalaman 3 meter) Variable 1 Variable 2 Mean Variance Observations 6 6 Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference 0 Df 5 t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail

85 71 Lampiran 5 t-test: Paired Two Sample for Means (kedalaman 10 meter) Variable 1 Variable 2 Mean Variance Observations 6 6 Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference 0 Df 5 t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail

86 72 Lampiran 6 Alat-Alat Penelitian Scuba set (BCD, Tank dan Regulator) Kamera underwater (Canon D30) GPS Roll meter Newtop dan Pinsil (alat tulis bawah air) Wetsuit Alat Dasar Selam (Masker, Fins, Snorkel)

87 73 Lampiran 7 Foto-Foto Pengambilan Data Penelitian Wawancara dengan guide dan pemilik kapal Transek pengambilan data LIT Kapal yang membawa wisatawan snorkeling Pemasangan roll meter Alat-alat selam

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

DAMPAK SNORKELING DAN DIVING TERHADAP EKOSISTEM TERUMBU KARANG IMPACT OF SNORKELING AND DIVING TO CORAL REEF ECOSYSTEM

DAMPAK SNORKELING DAN DIVING TERHADAP EKOSISTEM TERUMBU KARANG IMPACT OF SNORKELING AND DIVING TO CORAL REEF ECOSYSTEM Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 9, No. 1, Hlm. 315-326, Juni 2017 DAMPAK SNORKELING DAN DIVING TERHADAP EKOSISTEM TERUMBU KARANG IMPACT OF SNORKELING AND DIVING TO CORAL REEF ECOSYSTEM

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG PADA LOKASI WISATA SNORKELING DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH

KONDISI TERUMBU KARANG PADA LOKASI WISATA SNORKELING DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH JOURNAL OF MARINE RESEARCH Volume, Nomor, Tahun 4, Halaman 182- KONDISI TERUMBU KARANG PADA LOKASI WISATA SNORKELING DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH Ias biondi *), Munasikdan Koesoemadji Program

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU JOURNAL OF MARINE RESEARCH KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU Oscar Leonard J *), Ibnu Pratikto, Munasik Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Suharsono (1996) menyatakan karang termasuk binatang yang mempunyai sengat atau lebih dikenal sebagai cnidaria (Cnida = jelatang) yang dapat menghasilkan kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

A Correlation between Knowledge about Coral Reef Ecosystem and Marine Tourist Attitude toward Conservation at Pramuka Island, Kepulauan Seribu

A Correlation between Knowledge about Coral Reef Ecosystem and Marine Tourist Attitude toward Conservation at Pramuka Island, Kepulauan Seribu BIOSFER 8 (1), 2015 / ISSN : 0853 2451 Hubungan Pengetahuan tentang Ekosistem Terumbu Karang dengan Sikap Wisatawan Bahari terhadap Konservasi di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu A Correlation between Knowledge

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik

TINJAUAN PUSTAKA. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik 6 TINJAUAN PUSTAKA Pulau-Pulau Kecil Pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km 2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang. Secara ekologis terpisah

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

POTENSI DAYA TARIK DAN PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP EKOWISATA LAUT DI PULAU HARAPAN, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

POTENSI DAYA TARIK DAN PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP EKOWISATA LAUT DI PULAU HARAPAN, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) POTENSI DAYA TARIK DAN PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP EKOWISATA LAUT DI PULAU HARAPAN, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) (The Potential of an Attractiveness and Perception of Visitors to Marine

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan data primer. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Perameter

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 8 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. Keadaan Wilayah Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulaupulau kecil yang terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Terumbu Karang 6 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup diperairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistim terumbu karang komponen utamanya disusun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar di dunia. Berdasarkan publikasi yang ada mempunyai 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berlokasi di Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan yang berada di kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra, Desa Gili Indah,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

AUDIO VISUAL EDUKASI PEMELIHARAAN TERUMBU KARANG STUDI KASUS TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

AUDIO VISUAL EDUKASI PEMELIHARAAN TERUMBU KARANG STUDI KASUS TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA PROYEK AKHIR DESAIN KOMUNIKASI VISUAL PERIODE 08 AUDIO VISUAL EDUKASI PEMELIHARAAN TERUMBU KARANG STUDI KASUS TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Dikerjakan oleh : Stella Yovita Vony Setiawan 08.13.0003 Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dikelilingi oleh ratusan pulau-pulau kecil yang disebut Gili (dalam

Lebih terperinci

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang mempakan habitat laut yang penting di perairan tropis yang berfungsi sebagai tempat hidup dan berlindung, mencari makan, memijah dan berkembang biak serta sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI Ekosistem Pesisir dan Laut 1. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO 3) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

JENIS SEDIMEN PERMUKAAN DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU GILI LABAK KABUPATEN SUMENEP

JENIS SEDIMEN PERMUKAAN DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU GILI LABAK KABUPATEN SUMENEP JENIS SEDIMEN PERMUKAAN DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU GILI LABAK KABUPATEN SUMENEP Septian Dwi Suryantya Putra 1, Aries Dwi Siswanto 2, Insafitri 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU Andri, Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji Ita Karlina,

Lebih terperinci

Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta

Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta Julianto Subekti, Suradi Wijaya Saputra, Imam Triarso Program Studi Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data

3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data 5. METODOLOGI.. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan laut pulau Biawak dan sekitarnya kabupaten Indramayu propinsi Jawa Barat (Gambar ). Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Hari Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi penelitian ditentukan

Lebih terperinci

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI KETERKAITAN KEANEKARAGAMAN BENTUK PERTUMBUHAN TERUMBU KARANG DENGAN IKAN KARANG DI SEKITAR KAWASAN PERAIRAN PULAU RU DAN PULAU KERINGAN WILAYAH BARAT KEPULAUAN BELITUNG Oleh : ASEP SOFIAN COG498084

Lebih terperinci