V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kekayaan Spesies dan Keanekaragaman Spesies Kekayaan spesies Kekayaan spesies mengacu pada jumlah spesies yang ditemukan pada suatu komunitas (van Dyke 1954). Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui kekayaan spesies adalah rarefaction, yaitu dengan menduga harapan jumlah spesies dalam suatu contoh individu secara acak pada ukuran contoh yang distandarkan. Harapan jumlah spesies pada ukuran plot 40 m x 1 m untuk pancang, 40 m x 5 m untuk tiang dan 100 m x 20 m untuk pohon yang ditemukan di Desa Lubuk Beringin bervariasi tergantung pada tipe tutupan lahan, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Harapan jumlah spesies dan jumlah spesies aktual yang ditemukan di berbagai tipe tutupan lahan pada tingkat pancang, tiang dan pohon serta nilai simpangan baku Tipe tutupan lahan Pancang Tiang Pohon Kode plot Harapan Aktual S.B* Harapan Aktual S.B* Harapan Aktual S.B* Forest RAF60-S RAF30-F RAF30-S RAF13-S SH25-F SH10-F SH13-S Nilai probabilitas p<0.001 p<0.001 p<0.001 p<0.001 p=0.008 p<0.001 Beda Nyata Terkecil (BNT) Keterangan: *) S.B adalah simpangan baku Kekayaan spesies tingkat pancang tertinggi terdapat pada agroforest karet 60 tahun, yaitu 42 spesies dan berbeda nyata (p<0,001; BNT = 9,82) dengan tipe tutupan lahan lainnya. Kekayaan spesies di hutan primer, hutan sekunder 25 tahun dan hutan sekunder 10 tahun tidak berbeda nyata, secara berturut-turut yaitu 30,

2 24 dan 30 spesies. Agroforest karet 13 tahun dan 30 tahun serta hutan sekunder 13 tahun memiliki kekayaan spesies lebih rendah, secara berturut-turut 13, 20, 15 dan 19 spesies. Tingginya kekayaan spesies pada agroforest karet 60 tahun terjadi karena masih terdapat sumber biji yang berasal dari induk (tingkat pertumbuhan tiang dan pohon) yang terdapat pada tipe tutupan lahan tersebut. Ditemukan 15 spesies yang kemungkinan merupakan sumber biji. Artocarpus sp. dan Dacryodes rostrata ditemukan dalam pertumbuhan pancang dan tiang, Styrax benzoin, Litsea grandis, Koompassia malaccensis, Polyalthia subcordata, Madhuca kingiana, Cratoxylon cf. arborescens ditemukan dalam pertumbuhan pancang dan pohon, Syzygium claviflorum, Cephalomappa malloticarpa, Palaquium gutta, Parkia speciosa, Pternanda azurea, Lithocarpus sp. (1) 1 dan Hevea brassiliensis ditemukan dalam tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon. Selain berasal dari induk yang ditemukan pada tipe tutupan lahan tersebut, spesies tingkat pancang yang tumbuh pada agroforest karet 60 tahun berasal dari induk di tempat lain dan dipencarkan oleh satwa. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa struktur agroforest karet yang menyerupai hutan merupakan habitat atau refugia bagi berbagai spesies satwa yang beberapa diantaranya berperan sebagai pemencar biji. Jepson dan Djarwadi (2000), menemukan 5 spesies burung pemakan buah pada agroforest karet. Jumlah tersebut sama dengan di hutan primer, tetapi lebih tinggi bila dibandingkan di perkebunan karet monokultur, yaitu hanya 2 spesies. Seperti halnya di hutan alam, pada agroforest karet masih ditemukan spesies burung berukuran besar dengan berat tubuh antara gram. Pada agroforest karet ditemukan beberapa spesies burung yang umum terdapat di hutan alam, namun spesies burung belukar juga ditemukan di sini. Selain burung, agroforest karet juga merupakan habitat yang disukai beberapa spesies mamalia. Maryanto et al. (2000), menemukan 9 spesies mamalia pada agroforest karet dengan indeks keanekaragaman lebih tinggi dari hutan primer, yaitu 2,09 pada agroforest karet dan 1,67 pada hutan primer. Sebanyak 4 1 Angka (1) dibelakang nama Lithocarpus sp. diberikan untuk memberi tanda bahwa dalam pengamatan ditemukan spesies Lithocarpus lain yang belum teridentifikasi sampai tingkat spesies 32

3 33 spesies bajing dan 2 spesies tupai yang ditemukan pada agroforest karet berpotensi sebagai pemencar biji. Apabila dibandingkan dengan hutan primer, kekayaan spesies mamalia pada agroforest karet adalah 28,57% lebih tinggi. Pada lokasi penelitian yang sama yaitu di Desa Lubuk Beringin, Prasetyo (2007), melaporkan bahwa keanekaragaman spesies kelelawar di agroforest karet tua adalah 1,41; lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan primer yaitu 0,78. Tingginya keanekaragaman spesies satwa pada agroforest karet tua yang berperan sebagai pemencar biji, menyebabkan tingginya kekayaan spesies tingkat pancang. Apalagi didukung oleh lebih terbukanya tutupan lahan bila dibandingkan dengan hutan primer. Tutupan lahan diduga dari biomasa tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Total biomasa pada agroforest karet 60 tahun adalah 259 ton/hektar, sedangkan di hutan primer 470 ton/hektar. Biomasa yang lebih rendah pada agroforest karet 60 tahun mengindikasikan lebih rendahnya kerapatan kanopinya sehingga memungkinkan cahaya matahari yang mencapai lantai kebun lebih banyak bila dibandingkan dengan hutan primer. Cahaya matahari tersebut memicu perkecambahan biji yang disebarkan oleh satwa maupun yang berasal dari pohon induk di dalam kebun. Agroforest karet 60 tahun ini dikelilingi oleh lahan terbuka dan kebun karet muda sehingga menyebabkan terpecahnya (fragmentasi) habitat. Van Dyke (1954), menyatakan bahwa fragmentasi habitat cenderung meningkatkan jumlah habitat tepi yang sering berasosiasi dengan kekayaan spesies lebih tinggi. Meskipun demikian, spesies yang ditemukan pada habitat tepi biasanya spesies generalis yang memiliki jarak sebaran dan kisaran geografi luas. Pada agroforest karet 60 tahun 18 spesies yang ditemukan merupakan spesies yang sangat umum dijumpai di Desa Lubuk Beringin, karena ditemukan pada 5 tipe tutupan lahan (62,5%) dari 8 yang diamati. Pada tingkat pertumbuhan tiang, kekayaan spesies pada agroforest karet menurun secara drastis bila dibandingkan dengan tingkat pancang, dan berbeda nyata (p<0.001; BNT = 2.69) dengan hutan primer, yaitu 5 spesies pada agroforest karet tua dan 9 spesies di hutan primer. Spesies tingkat tiang yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun adalah spesies yang memiliki nilai komersial sehingga

4 34 dibiarkan tumbuh atau bahkan sengaja ditanam seperti Palaquium gutta, Parkia speciosa, Archidendron jiringa, Dyera costulata dan Hevea brasiliensis. Kejadian yang lebih buruk terjadi pada agroforest karet 13 dan 30 tahun yang hanya memiliki 2 spesies kayu tingkat tiang. Sementara itu, kekayaan spesies pada hutan sekunder tidak berbeda nyata dengan hutan primer, kecuali pada hutan sekunder muda 13 tahun. Pada tingkat pohon, kekayaan spesies pada agroforest karet 60 tahun lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat tiang yaitu 12 spesies. Jumlah tersebut hampir sama dengan hutan sekunder 25 tahun, yaitu 11 spesies, tetapi jauh lebih rendah dari hutan primer 22 spesies. Seperti halnya pada tingkat tiang, spesies tingkat pohon yang bertahan pada agroforest karet 60 tahun adalah spesies yang memiliki nilai komersial. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa rendahnya kekayaan spesies pada tingkat tiang dan pohon pada agroforest karet terjadi karena aktivitas pengelolaan kebun yang melibatkan penyiangan. Ketika melakukan pembersihan kebun, petani memilih spesies-spesies yang dianggap memiliki nilai komersial. Agroforest karet 30 tahun, baik yang berada di dekat hutan primer maupun jauh dari hutan primer dan agroforest karet 13 tahun memiliki kekayaan spesies paling rendah. Menurut Lehebel-Peron (2008), agroforest karet 30 tahun ini digolongkan ke dalam kelompok produksi maksimum dan agroforest karet 13 tahun digolongkan dalam masa pertumbuhan. Oleh karena itu, kebun dikelola secara lebih intensif untuk mempertahankan produksi karetnya melalui penyiangan setahun sekali dengan membabat habis vegetasi yang ada di dalam kebun, kecuali spesies-spesies tertentu seperti kayu komersial dan buah-buahan yang dianggap memiliki nilai ekonomi. Selain itu, rendahnya kekayaan spesies tingkat tiang pada agroforest karet 30 tahun terjadi karena jumlah spesies tingkat pancang dan pohon yang berpotensi sebagai sumber benih pada tipe tutupan lahan tersebut juga rendah. Dengan demikian, sumber benih tidak terdapat di sekitar kebun, apalagi didukung oleh rendahnya satwa pemencar biji yang ditemukan pada agroforest karet muda yang menyerupai monokultur. Maryanto et al. (2000), menyebutkan 4 spesies mamalia

5 35 ditemukan pada perkebunan karet dan hanya satu spesies yang kemungkinan sebagai pemencar biji yaitu bajing. Prasetyo (2007) juga melaporkan bahwa keanekaragaman kelelawar pada agroforest karet muda juga rendah, yaitu 0,57. Agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan memiliki kekayaan spesies paling rendah untuk tingkat pancang, tiang dan pohon. Kebun ini berada di sekitar pemukiman dan hamparan sawah. Pemukiman dan sawah kemungkinan menjadi penghalang bagi berbagai spesies pemencar biji dari hutan, sehingga biji-biji pepohonan tidak dapat disebarkan. O Connor (2005), menyatakan bahwa burung yang ditemukan di sawah didominasi oleh spesies-spesies pemakan biji dari kelompok Graminae antara lain Lonchura spp., Passer montanus, Amarournis sp., Streptopelia chinensis dan jenis-jenis pemakan serangga seperti Apus sp., Collocallia esculenta, Pycnonotus sp. serta jenis-jenis pemakan hewan air kecil seperti Ixobrychus sp. Jenis burung pemakan buah yang berperan sebagai pemencar biji tidak ditemukan lagi di sawah. Apalagi, ditambah dengan aktivitas manusia melalui penyiangan kebun yang dilakukan sekali setahun memberikan sumbangan terhadap menurunnya kekayaan spesies pohon. Pada agroforest karet 13 dan 30 tahun, spesies yang dibiarkan tumbuh ketika melakukan pembersihan kebun hanya spesies utama dan satu sampai empat spesies lain yang dianggap bernilai komersial. Kondisi seperti ini menyebabkan hilangnya spesies kayu asli yang tumbuh di Desa Lubuk Beringin. Kesempatan beregenerasi hingga tingkat pancangpun tidak memungkinkan karena pembersihan kebun dilakukan dengan membabat bersih setahun sekali. Akibat dari pengelolaan kebun secara intensif menyebabkan kelangkaan spesies kayu untuk kebutuhan mereka, sehingga mereka harus membeli dari tempat lain. Kejadian seperti ini mulai dialami oleh beberapa penduduk di Desa Lubuk Beringin Akurasi pendugaan kekayaan spesies dengan metode rarefaction Pendugaan kekayaan spesies pada suatu komunitas yang berbeda sangat sensitif terhadap ukuran contoh, karena spesies yang jarang sering kali sulit dijumpai pada contoh berukuran kecil. Secara sederhana kekayaan spesies dapat dikalibrasi dengan menggunakan kurva rarefaction dari hasil pendugaan dengan

6 36 hasil pengamatan (Kartono 2006, unpublished). Berdasarkan kurva rarefaction, nilai pendugaan kekayaan spesies tingkat pancang, tiang dan pohon yang diamati di Desa Lubuk Beringin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95%. Hasil uji t menunjukkan bahwa p< pada kekayaan spesies tingkat pancang, p< pada tingkat tiang dan p< pada tingkat pohon antara hasil pendugaan dengan hasil pengamatan seperti disajikan pada Gambar 12. Kekayaan spesies per plot Harapan-Pancang Aktual-Pancang Harapan-Tiang Aktual-Tiang Harapan-Pohon Aktual-Pohon 10 0 RA13S RA30S RA30F SH10F SH13S RA60S SH25F Forest Tipe tutupan lahan Gambar 12. Kekayaan spesies harapan dan aktual hasil pengamatan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon pada berbagai tipe tutupan lahan Keanekaragaman spesies Keanekaragaman spesies adalah jumlah spesies yang beragam yang hidup di suatu lokasi tertentu. Indeks kuantitatif keanekaragaman spesies dikembangkan untuk menunjukkan keanekaragaman spesies pada tiga skala geografi yang berbeda. Pada skala yang paling sederhana adalah keanekaragaman yang ditemukan pada suatu komunitas atau disebut dengan keanekaragaman alpha (Indrawan et al. 2007). Salah satu metoda untuk menghitung indeks keanekaragam spesies adalah dengan Indeks Shannon-Wiener.

7 37 Hasil pengamatan di Desa Lubuk Beringin menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pohon bervariasi antar tipe tutupan lahan dan tingkat pertumbuhan seperti disajikan pada Gambar Indeks Shannon-Wiener Pancang Tiang Pohon 0 RA13S RA30F RA30S RA60S SH10F SH13S SH25F Forest Tipe tutupan lahan Gambar 13. Indeks Shannon-Wiener pada tingkat pancang, tiang dan pohon di berbagai tipe tutupan lahan Keanekaragaman spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata dengan hutan primer dan hutan sekunder, tetapi berbeda nyata pada selang kepercayaan 10% dengan agroforest karet 13 dan 30 tahun. Keanekaragaman spesies pada agroforest karet 13 dan 30 tahun lebih rendah bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hutan primer dan hutan sekunder. Pada tingkat pancang, keanekaragaman spesies pada agroforest karet 13 dan 30 tahun adalah 2,99 dan 2,70 sedangkan pada agroforest karet 60 tahun mencapai 3,8 (sama dengan hutan sekunder 25 tahun). Keanekaragaman pancang di hutan primer hampir sama dengan hutan sekunder 13 tahun yaitu 3,3 dan 3,2. Aktivitas penyiangan yang dilakukan pengelola kebun memiliki peran yang sangat nyata dalam penurunan keanekaragaman spesies pohon karena menyebabkan hilangnya beberapa spesies, terutama spesies yang dianggap tidak komersial. Pada tingkat tiang, agroforest karet 13 tahun dan 30 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki indeks keanekaragaman spesies hampir sama yaitu 0,75 dan 0,66. Agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer memiliki indeks

8 38 keanekaragaman lebih tinggi yaitu 1,15 meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Bila dibandingkan dengan agroforest karet 13 dan 30 tahun, maka pada tipe tutupan lahan yang dikelola secara tidak intensif memilik indeks keanekaragaman spesies pohon lebih tinggi yaitu 2,63 untuk agroforest karet 60 tahun, 2,11 dan 2,44 untuk hutan sekunder 10 dan 13 tahun, 3,25 untuk hutan sekunder 25 tahun dan 2,85 untuk hutan primer. Pada hutan sekunder, indeks keanekaragaman spesies pohon tingkat tiang semakin meningkat dengan bertambahnya umur lahan. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tingkat pancang yang pada umur yang lebih rendah dapat berkembang hingga mencapai tingkat tiang setelah rentang waktu tertentu. Pada tingkat pertumbuhan pohon, indeks keanekaragaman spesies di agroforest karet 30 tahun lebih rendah bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder dan hutan primer. Bahkan, perbedaan yang sangat nyata (pada selang kepercayaan 5%) terjadi antara hutan primer dengan agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan primer. Indeks keanekaragaman spesies pada agroforest karet 30 tahun adalah 0,95 untuk lokasi di dekat hutan primer dan 0,16 untuk lokasi yang jauh dari hutan primer. Agroforest karet 60 tahun memiliki indeks keanekaragaman spesies lebih tinggi yaitu 2,43. Indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon di hutan sekunder dan hutan primer hampir sama yaitu 3,03 dan 3,11. Indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada lahan yang tidak dilekola seperti hutan primer dan hutan sekunder relatif stabil bila dibandingkan dengan tipe tutupan lahan yang dikelola seperti agroforest karet. Pada agroforest karet, terjadi penurunan indeks keanekaragaman spesies dari tingkat pancang ke tingkat tiang dan pohon yang sangat tajam, terutama pada agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan primer. Penurunan keanekaragaman spesies tersebut terjadi karena adanya akivitas manusia di dalam kebun, antara lain penyiangan gulma. Penyiangan yang dilakukan pada lorong sadap di agroforest karet 60 tahun, maupun peyiangan seluruh lantai kebun mengakibatkan matinya beberapa spesies tingkat pancang, sehingga menurunkan keanekaragaman pada tingkat tiang dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan.

9 39 Dengan demikian penyiangan memberikan dampak penurunan keanekaragaman spesies secara nyata dari tingkat pancang ke tiang. Pada tipe tutupan lahan yang tidak dikelola oleh masyarakat seperti hutan sekunder dan hutan primer tidak terjadi perbedaan antara keanekaragaman spesies pancang, tiang dan pohon, karena masyarakat tidak melakukan aktivitas yang menyebabkan berkurangnya keanekaragaman spesies. Lahan dibiarkan tumbuh secara alami, sehingga kematian atau hilangnya spesies lebih dipengaruhi oleh faktor alami seperti kompetisi Profil Pemencar Biji Profil pemencar biji pada berbagai tingkat pertumbuhan Lebih dari 60% spesies pohon yang ditemukan di Desa Lubuk Beringin dipencarkan oleh satwa, 64% tingkat pancang, 66% tingkat tiang dan 61% tingkat pohon. Persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan tropis di Panama yang berkisar antara 72-76% (Datta & Rawat 2008). Pada tingkat pancang, hutan primer dan hutan sekunder 10 tahun memiliki spesies terbanyak yang dipencarkan oleh satwa, yaitu 30 dan 37 spesies. Hutan sekunder 10 tahun merupakan lokasi yang paling dekat dengan kawasan hutan lindung. Pergerakan satwa yang berperan sebagai pemencar biji dari hutan primer atau menuju hutan primer berpeluang melintasi hutan sekunder 10 tahun tersebut, sehingga biji-biji yang dibawa kemungkinan jatuh dan beregenerasi di sini. Hutan sekunder 13 tahun dan agroforest karet 30 tahun memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa terrendah yaitu 19 dan 13 (simpangan baku = 7,2). Kedua lokasi tersebut berada di sekitar pemukiman yang jauh dari hutan primer (sekitar 8 km dari hutan primer). Hamparan sawah dan agroforest karet muda telah memisahkan lokasi ini dari hutan primer, sehingga pergerakan satwa pemencar biji tidak dapat mencapai lokasi ini. Tidak adanya pepohonan tinggi pada agroforest karet 30 tahun dan hutan sekunder 13 tahun yang jauh dari hutan primer kemungkinan tidak menarik satwa, terutama burung berukuran besar untuk datang ke lokasi tersebut.

10 40 Agroforest karet 60 tahun, agroforest karet 30 tahun dan hutan sekunder 25 tahun dekat hutan primer serta agroforest karet sederhana 13 tahun jauh dari hutan primer memiliki jumlah spesies pancang yang dipencarkan oleh satwa hampir sama yaitu secara berturut-turut 22, 23, 24 dan 22. Jumlah spesies tingkat pancang berdasarkan tipe pemencarannya disajikan pada Gambar Tida ada data Hydrochory Anemochory Tidak teridentifikasi Autochory Zoochory Jumlah spesies Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F Tipe tutupan lahan Gambar 14. Jumlah spesies pancang berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa jarak dari hutan dan struktur vegetasi berpengaruh terhadap potensi pemencaran biji oleh satwa. Hutan sekunder muda 10 tahun yang berbatasan dengan hutan primer memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa hampir sama dengan hutan primer. Sedangkan hutan sekunder muda 13 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa relatif rendah. Hal ini merupakan indikasi adanya keterbatasan jarak jangkauan satwa pemencar biji tersebut. Kebun karet muda berumur 4 tahun dan persawahan merupakan penghalang bagi satwa pemencar biji, seperti yang terjadi pada agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan. Kebun karet muda yang baru dibuka dan hamparan persawahan menyebabkan fragmentasi habitat sehingga satwa yang membawa biji dari tempat lain tidak dapat melintasi areal tersebut, akibatnya spesies yang beregenerasi sampai tingkat pancang tergantung pada agen pemencar lainnya misalnya angin. Meskipun jaraknya dari hutan relatif jauh, agroforest karet kompleks 60 tahun memiliki spesies pancang yang disebarkan oleh satwa sama dengan hutan

11 41 sekunder tua 25 tahun dan agrforest karet 30 tahun dekat hutan primer. Struktur vegetasi pada agroforest karet 60 tahun yang terdiri dari beberapa lapisan kanopi menyerupai hutan sekunder memungkinkan satwa pemencar biji tinggal di tempat tersebut. Agroforest karet sederhana 13 tahun, meskipun berada jauh dari hutan primer dan memiliki struktur vegetasi menyerupai perkebunan tetapi memiliki spesies tingkat pancang yang dipencarkan oleh satwa sama dengan agroforest karet kompleks 60 tahun. Lokasi kebun yang dikelilingi oleh agroforest karet 60 tahun dan 30 tahun merupakan salah satu faktor penyebabnya. Satwa yang tinggal pada agroforest karet 30 dan 60 tahun kemungkinan melintasi agroforest karet 13 tahun tersebut dan memiliki peluang untuk memencarkan biji. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa banyaknya spesies pancang yang dipencarkan oleh satwa yang tumbuh pada suatu areal sangat tergantung pada struktur vegetasi di sekitarnya. Fragmentasi yang mengakibatkan perubahan struktur vegetasi menjadi lebih terbuka menyebabkan menurunnya jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa. Pada agroforest karet, jumlah spesies tingkat pancang yang dipencarkan oleh angin dipengaruhi oleh kerapatan tajuk. Semakin rendah kerapatan tajuk, semakin banyak spesies yang dipencarkan oleh angin. Pada penelitian ini, kerapatan tajuk diduga dengan menghitung jumlah individu tingkat tiang dan pohon per petak contoh. Pada tipe tutupan lahan yang relatif terbuka dengan jumlah individu sedikit, biji-bijian yang terbawa angin dapat mencapai tanah dan berkecambah, sedangkan pada tipe tutupan lahan yang kerapatannya relatif tinggi (jumlah individu banyak), maka kemungkinan biji mencapai permukaan tanah relatif sedikit karena tersangkut pada kanopi vegetasi pohon yang ada di lahan tersebut. Hubungan antara jumlah individu tiang dan pohon per petak contoh pada tiap tipe tutupan lahan dengan jumlah spesies yang dipencarkan oleh angin disajikan pada Gambar 15.

12 42 Jumlah spesies 'anemochory' y = e x R² = Jumlah individu per plot Agroforest karet Hutan sekunder Gambar 15. Hubungan antara jumlah individu tiang dan pohon per petak contoh dan jumlah spesies yang dipencarkan oleh angin ( anemochory ) Pada tingkat tiang, jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa di hutan primer, hutan sekunder 25 tahun dan agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata (simpangan baku = 6,3), yaitu secara berturut-turut 15, 19 dan 14 spesies. Pada agroforest karet yang dikelola secara lebih intensif, jumlah spesies tiang yang dipencarkan oleh satwa relatif sedikit, yaitu 3 spesies pada agroforest karet 30 tahun dan 2 spesies pada agroforest karet 13 tahun. Spesies-spesies tersebut merupakan tanaman bernilai ekonomi seperti nangka (Artocarpus heterophyllus), jengkol (Archidenron jiringa) dan kayu manis (Cinnamomum iners) yang sengaja dibiarkan tumbuh. Jumlah spesies tiang berdasarkan tipe pemencaran bijinya disajikan pada Gambar 16. Jumlah spesies tingkat tiang yang dipencarkan oleh satwa mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tingkat pancang antara 20-50% pada hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer. Pada agroforest karet 13 dan 30 tahun, penurunan jumlah spesies yang dipencarkan satwa dari tiang ke pancang mencapai 85%. Meskipun demikian, pada agroforest karet 60 tahun, penurunan jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa tidak berbeda dengan hutan primer dan hutan sekunder yaitu 63%. Aktivitas pengelolaan lahan yaitu pembersihan kebun dengan membabat bersih spesies tingkat pancang pada agroforest karet 13 dan 30 tahun menyebabkan menurunnya spesies pancang, sedangkan pada hutan

13 primer dan hutan sekunder penurunan jumlah spesies terjadi karena kompetisi dengan spesies lain Tida ada data Hydrochory Anemochory Tidak teridentifikasi Autochory Zoochory Jumlah spesies Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F Tipe tutupan lahan Gambar 16. Jumlah spesies tiang berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan Pada tingkat pohon, jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer masih relatif banyak yaitu 17, 20 dan 22 spesies. Spesies-spesies yang mencapai tingkat pohon tersebut merupakan spesies yang dipencarkan oleh satwa sekitar 20 tahun yang lalu atau lebih. Rendahnya pengelolaan oleh manusia selama proses regenerasi menyebabkan spesies-spesies tersebut bertahan hingga mencapai pertumbuhan pohon. Sementara itu, pada agroforest karet 30 tahun, jumlah spesies pohon yang dipencarkan oleh satwa hanya 5 spesies untuk kebun di dekat hutan primer dan 1 spesies untuk kebun yang jauh dari hutan primer. Jumlah spesies yang dipencarkan oleh angin terbanyak terdapat di hutan primer yaitu 10 spesies, kemudian di hutan sekunder 25 tahun 6 spesies. Pada agroforest karet 60 tahun hanya 2 spesies dan pada agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer hanya 1 spesies. Jumlah ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun. Jarak yang relatif jauh dari hutan, yaitu sekitar 8 km merupakan pembatas bagi pemencaran biji oleh angin. Wilkinson (1997), mengatakan bahwa mekanisme penyebaran biji oleh angin hanya mungkin

14 terjadi pada penyebaran lokal (hanya jarak beberapa diameter kanopi), sedangkan penyebaran dalam skala yang lebih luas terjadi karena pemencaran oleh burung. Jumlah spesies tingkat pohon yang dipencarkan oleh satwa tidak berbeda antara hutan primer, hutan sekunder 25 tahun dan agroforest karet 60 tahun, yaitu 22, 20 dan 17 spesies. Demikian pula dengan jumlah spesies pada tingkat pancang dan tiang. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut masih terdapat satwa pemencar biji. Jumlah spesies tingkat pohon berdasarkan tipe pemencaran bijinya disajikan pada Gambar 17. Jumlah spesies Tida ada data Hydrochory Anemochory Forest RA60S RA30F RA30S SH25F Tipe tutupan lahan Tidak teridentifikasi Autochory Zoochory Gambar 17. Jumlah spesies tingkat pohon berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan Tingginya spesies yang dipencarkan oleh biji pada hutan primer, hutan sekunder dan agroforest karet 60 tahun membuktikan bahwa satwa pemakan buah-buahan yang berpotensi sebagai pemencar biji memiliki peranan yang sangat penting dalam pelestarian spesies. Satwa yang berpotensi sebagai pemencar biji antara lain Hylobates lar agilis, Presbytis melalophos, Muntiacus muntjak, Sus barbatus, Tupaia glis, Scundasciurus hippurus, Tupaia tana, Tragulus javanicus, Macaca fascicularis, Sundasciurus lowii, Callosciurus notatus, Callosciurus prevostii, Cervus unicolor dan Trachypithecus cristatus (Maryanto et al. 2000). Prasetyo 2007, menyebutkan bahwa pada agroforest karet muda dan tua di Desa Lubuk Beringin ditemukan kelelawar pemakan buah Cynopterus brachyotis, Cynopterus horsfieldi dan Balionycteris maculate. 44

15 Ketersambungan habitat Ketersambungan habitat (habitat connectivity) adalah terhubungnya habitat melalui suatu habitat penghubung, sehingga masih memberikan kesempatan pergerakan bagi satwa dan pemencaran bagi tumbuhan. Keberhasilan regenerasi spesies pohon yang dipencarkan oleh satwa dipengaruhi oleh adanya ketersambungan habitat. Pohon-pohon yang tumbuh pada areal tidak berhutan merupakan struktur yang umum dijumpai pada suatu lansekap hutan dan memiliki nilai konservasi tinggi karena berperan sebagai penghubung (batu loncatan) pada hutan yang terfragmentasi (Herrera & Garcia 2009). Pohon penghasil buah dapat menjadi sumber biji untuk beberapa pohon hutan (Guevara et al. 1986). Agroforest karet 60 tahun dan hutan sekunder 25 tahun yang ditumbuhi berbagai spesies pohon hutan dapat berperan sebagai habitat penghubung. Pohonpohon tersebut berfungsi sebagai tempat hidup, tempat mencari makan dan tempat bertengger bagi satwa pemencar biji serta sebagai sumber biji dari beberapa spesies pohon (Guevara et al. 1986). Biji-biji yang dijatuhkan atau dibuang bersama kotoran oleh satwa pemakan biji akan tumbuh pada tempat tersebut sehingga menjadi tempat regenerasi. Herrera & Garcia 2009 menyatakan bahwa pohon-pohon yang tumbuh pada areal tidak berhutan tersebut memiliki peranan setara dengan pohon-pohon hutan dalam kaitannya dengan pemencaran biji. Beberapa pustaka ilmiah menekankan perlunya areal alami untuk tujuan konservasi (DellaSala et al. 1996) dan menghubungkan areal alami tersebut dengan habitat korodor aau habitat penghubung (Harrison 1992). Hutan sekunder yang terdapat di desa Lubuk Beringin merupakan areal alami yang perlu dilindungi. Perlindungan terhadap areal alami dalam suatu lansekap yang dikelola dapat memberikan manfaat sebagai refugia bagi tumbuhan dan satwa (Sayer et al. 1995) Pola sebaran spasial spesies Di Desa Lubuk Beringin tidak ditemukan spesies yang memiliki pola sebaran acak, tetapi beberapa spesies hanya ditemukan pada satu petak Spesies

16 46 tingkat pancang, tiang dan pohon didominasi oleh spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok yaitu (50%) untuk tingkat pancang dan tiang serta 30% untuk tingkat pohon. Sebaran mengelompok merupakan pola yang paling banyak dijumpai pada populasi alami (Odum 1986, Krebs 1999). Pola sebaran spesies dipengeruhi oleh tipe pemencaran biji dari spesies tersebut. Selain itu, kondisi tanah, cahaya matahari, kelembaban dan topografi juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pola sebaran spasial (Datta & Rawat 2008). Pada agroforest karet 60 tahun jumlah spesies pancang yang memiliki pola sebaran mengelompok tertinggi bila dibandingkan dengan tipe tutupan lahan lainnya. Hal ini terjadi karena pada agroforest karet 60 tahun terdapat spesies pemencar biji yang beradaptasi pada tempat terbuka dan hutan primer. Mamalia pemakan buah yang ditemukan pada agroforest karet dan beradaptasi dengan habitat hutan antara lain Sus barbatus dan Callosciurus prevostii, sedangkan yang berdaptasi dengan habitat terbuka adalah Cervus unicolor (Maryanto et al. 2000). Tingginya spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok di hutan primer dan hutan sekunder tua terjadi karena masih ada pemakan buah berupa satwa yang berukuran besar. Hasil pengamatan di lapangan ditemukan burung rangkong papan (Buceros bicornis) di hutan primer. Seperti dikemukakan oleh Howe (2004), bahwa spesies pohon menyebar secara mengelompok karena adanya satwa besar yang memakan buah, baik satwa arboreal maupun terestrial. Pemencaran yang dilakukan oleh burung, kelelawar dan satwa kecil memiliki pola sebaran lebih menyebar. Jumlah spesies pancang berdasarkan tipe sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan disajikan pada Gambar 18.

17 47 Jumlah spesies Ditemukan pada 1 plot Mengelompok Seragam 0 Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F Tipe tutupan lahan Gambar 18. Jumlah spesies pancang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan Agroforest karet 60 tahun memiliki spesies yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan terbanyak bila dibandingkan dengan tipe tutupan lahan lainnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pada agroforest karet 60 tahun terdapat spesies yang cenderung mengalami kelangkaan, karena hanya ditemukan dalam jumlah individu dan habitat terbatas. Malhado & Petrere (2004) menyatakan bahwa analisa pola sebaran spesies dapat digunakan dalam pengelolaan hutan. Selain itu juga dapat digunakan untuk menentukan luas area yang dipilih untuk tujuan konservasi (Rossi & Higuchi 1998) dan untuk menduga kepadatan populasi spesies (Krebs 1999). Pada tingkat tiang, jumlah spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok di hutan primer, hutan sekunder dan agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata. Hutan sekunder 25 tahun memiliki jumlah terbanyak untuk spesies yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan. Seperti halnya tingkat pancang, hal tersebut juga merupakan indikasi bahwa pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder dan hutan primer ditemukan spesies yang memiliki jumlah individu terbatas. Jumlah spesies tiang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan di sajikan pada Gambar 19.

18 48 Jumlah spesies Ditemukan pada 1 plot Mengelompok Seragam Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F Tipe tutupan lahan Gambar 19. Jumlah spesies tiang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan Hutan primer memiliki jumlah spesies tingkat pohon dengan pola sebaran mengelompok tertinggi dibandingkan tipe tutupan lahan lainnya, yaitu 19 spesies. Sementara, agroforest karet 60 tahun memiliki komposisi jumlah spesies yang menyebar secara mengelompok, maupun spesies yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan hampir sama dengan hutan sekunder 25 tahun. Jumlah spesies pohon berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan disajikan pada Gambar 20. Jumlah spesies Ditemukan pada 1 plot Mengelompok Seragam Forest RA60S RA30F RA30S SH25F Tipe tutupan lahan Gambar 20. Jumlah spesies pohon berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan

19 49 Banyaknya spesies pohon yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan merupakan indikator yang kuat dari potensi kepunahan suatu spesies. Di hutan primer ditemukan 6 spesies tingkat pohon yang hanya ditemukan pada satu dari 22 petak pengamatan yaitu seluas 4,5 hektar. Spesies yang ditemukan pada satu petak pengamatan di hutan sekunder 25 tahun sama dengan di agroforest karet 60 tahun, yaitu 12 spesies. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agroforest karet 60 tahun, hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun di Desa Lubuk Beringin harus tetap dipertahankan dalam kaintannya dengan konservasi spesies yang saat ini telah mengalami penurunan populasi dan memiliki sebaran terbatas. Jumlah spesies yang menyebar secara mengelompok pada agroforest karet 60 tahun semakin berkurang seiring dengan bertambahnya tingkat pertumbuhan tanaman, yaitu 55 spesies pancang, 10 spesies tiang dan 13 spesies pohon. Penurunan jumlah spesies tersebut terjadi karena kompetisi antar spesies. Spesies yang mampu beradaptasi akan tumbuh hingga mencapai tingkat pertumbuhan tiang dan pohon, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan mati. Jumlah spesies dengan pola sebaran mengelompok semakin meningkat dengan bertambahnya umur lahan, baik lahan yang dikelola seperti agroforest karet maupun lahan yang tidak dikelola seperti hutan sekunder. Semakin tua umur lahan maka semakin rapat tutupan kanopinya dan semakin bertambah spesies pohon yang tumbuh, sehingga menarik satwa pemencar biji seperti burung, mamalia besar dan primata mendatangi tempat tersebut, baik untuk bersarang maupun hanya sebagai tempat singgah dan mencari makan. Menurut Datta dan Rawat (2008), burung-burung besar seperti rangkong, mamalia dan primata menyebabkan terjadinya sebaran spesies pohon memiliki pola mengelompok. Jumlah spesies dengan pola sebaran mengelompok pada berbagai umur disajikan pada Gambar 21.

20 50 Jumlah spesies Pancang Agroforest karet Pancang Hutan sekunder Tiang Agroforest karet Tiang Hutan sekunder Pohon Agroforest karet y = x R² = y = x R² = y = x R² = y = x R² = y = x R² = Umur kebun (tahun) Gambar 21. Jumlah spesies tingkat pancang, tiang dan pohon yang memiliki pola sebaran mengelompok pada berbagai umur lahan Penambahan jumlah spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok pada lahan yang tidak dikelola seperti hutan sekunder lebih cepat bila dibandingkan dengan agroforest karet baik pada tingkat pancang maupun tiang. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya aktivitas pembersihan lahan pada agroforest karet yang mengakibatkan matinya beberapa spesies terutama pada tingkat pancang. Berdasarkan Gambar 12, penambahan jumlah spesies pancang pada agroforest karet yang memiliki pola sebaran mengelompok diperkirakan hanya dua (2) spesies dalam 3 tahun, sedangkan pada hutan sekunder akan mengalami penambahan satu (1) spesies per tahun. Penyiangan yang dilakukan pada agroforest karet akan menyebabkan penambahan jumlah spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok menjadi lebih rendah dari hutan sekunder yang tidak dikelola. Pada agroforest karet penambahan spesies tingkat tiang diperkirakan satu (1) spesies dalam 5 tahun, sedangkan pada hutan sekunder satu (1) spesies dalam 3 tahun.

21 Kuantifikasi Spesies yang Mampu Beregenerasi pada Agroforest Karet Komposisi spesies berdasarkan tingkat pertumbuhan Spesies memiliki potensi untuk beregenerasi apabila mampu tumbuh hingga mencapai tahap generatif. Dalam penelitian ini, spesies yang telah mencapai tingkat tiang (DBH > 10 cm) dianggap mencapai masa generatif. Hal ini seperti dikemukakan oleh Datta & Rawat (2008) yang menyebutkan bahwa di hutan tropis, pohon yang telah mencapai lingkar batang lebih dari 30 cm (GBH > 30 cm) dianggap sebagai tanaman dewasa. Hasil pengamatan menemukan bahwa jumlah spesies yang mencapai tahap generatif pada agroforest karet 60 tahun sebanyak 28 spesies, tidak berbeda nyata dengan hutan primer, yaitu 35 spesies dengan simpangan baku 14,5. Sementara itu, pada agroforest karet 30 tahun hanya ditemukan 6 spesies pada kebun dekat hutan primer dan 3 spesies pada kebun jauh dari hutan primer yang mampu mencapai tahap generatif. Pada hutan sekunder, jumlah spesies yang mampu mencapai tahap generatif semakin bertambah seiring pertambahan umur lahan, yaitu 11 spesies di hutan sekunder 10 tahun, 14 spesies di hutan sekunder 13 tahun dan 29 spesies di hutan sekunder 25 tahun. Jumlah spesies yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan lahan berdasarkan tingkat pertumbuhannya disajikan pada Gambar 22. Rendahnya jumlah spesies yang mencapai tahap generatif pada agroforest karet 30 tahun terjadi karena meningkatnya intensitas pengelolaan kebun yaitu pembersihan kebun setahun sekali. Pembersihan kebun dilakukan dengan menebas semua spesies pada tingkat pertumbuhan pancang dengan hanya meninggalkan spesies yang dianggap memiliki nilai ekonomi seperti Cinnamomum iners dan Pometia pinnata.

22 52 Pancang-Tiang-Pohon Tiang-Pohon Pancang-Pohon Pancang-Tiang Pohon Tiang Pancang 100 Jumlah spesies Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F Tipe tutupan lahan Gambar 22. Jumlah spesies berdasarkan tingkat pertumbuhan yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan lahan Spesies yang mencapai tahap generatif pada agroforest karet 60 tahun terdiri dari spesies yang memiliki nilai ekonomi seperti Archidendron jiringa, Lansium domesticum, Palaquium gutta, Koompassia malaccensis, Parashorea malaanonan, Diospyros lanceifolius, Shorea gibbosa, Shorea sp. Elaeocarpus sp, Endospermum malaccensis, Litsea firma, Litsea elliptica, Lithocarpus sp., Madhuca kingiana, Parkia speciosa, Polyalthia subcordata, Sterculia cordata, Styrax benzoin, Trema tomentosa,trichospermum javanicum, Dillenia sp. dan Xanthophyllum incertum. Meskipun demikian, masih ditemukan spesies kayu yang kurang dikenal seperti Artocarpus sp., Cephalomappa malloticarpa, Hydnocarpus sumatrana, Girroniera nervosa, Syzygium claviforum dan Syzygium rostratum Similaritas spesies antar tingkat pertumbuhan Keberadaan suatu spesies dengan berbagai tingkat pertumbuhan dalam suatu tempat menunjukkan bahwa spesies tersebut mampu beregenerasi. Spesies pada tingkat tiang dan pohon yang telah mencapai tahap generatif merupakan sumber benih dan spesies tingkat pancang merupakan petunjuk bahwa benih yang tersedia mampu tumbuh di tempat tersebut. Similaritas antar tingkat pertumbuhan dalam suatu tipe tutupan lahan dihitung untuk menunjukkan besarnya spesies yang

23 bertahan dari tingkat pancang sampai pohon. Similaritas antar tingkat pertumbuhan disajikan pada Gambar Jumlah spesies yang sama Pancang-Tiang Pancang-Pohon Tiang-Pohon Forest RA60S SH25F SH10F SH13S RA30F RA30S RA13S Tipe tutupan lahan Gambar 23. Similaritas antar tingkat pertumbuhan pada berbagai tipe tutupan lahan Pada agroforest karet 60 tahun ditemukan 12 spesies pancang sama dengan spesies tiang, 17 spesies pancang sama dengan spesies pohon. Jumlah tersebut mengindikasikan bahwa hanya 29 (23%) spesies pancang dapat beregenerasi sampai tahap generatif. Sementara itu, 77% spesies pancang lainnya tidak mampu beregenerasi hingga mencapai tingkat generatif. Jumlah tersebut tidak berbeda nyata dengan hutan primer, yaitu 8 spesies pancang sama dengan spesies tiang dan 15 spesies pancang sama dengan spesies pohon, atau 20% spesies pancang mampu beregenerasi mencapai tahap generatif. Pada hutan sekunder 25 tahun jumlah spesies pancang yang sama dengan spesies tiang mencapai 20 spesies, jumlah spesies pancang yang sama dengan spesies pohon adalah 17 spesies. Berdasarkan jumlah tersebut, 38% spesies pancang mencapai tahap pertumbuhan generatif. Jumlah spesies tiang yang sama dengan spesies pohon pada agroforest karet 60 tahun dan hutan primer adalah 10 spesies (22% dari spesies di hutan primer dan 18% dari spesies di agroforest karet). Demikian juga yang ditemukan pada hutan sekunder 25 tahun yaitu 11 spesies (18%). Spesies-spesies yang mencapai pertumbuhan pohon antara lain Shorea sp. (4 spesies), Shorea gibbosa, Polyalthia

24 subcordata, Litsea firma, Litsea oppositifolia, Parashorea malaanonan, Lithocarpus sp., Knema curtisii, Hydnocarpus sumatrana, Dyera costulata, Palaquium gutta, Scaphium macropodum dan Madhuca kingiana. Pada agroforest karet 30 tahun, jumlah spesies pancang yang mencapai tingkat pohon adalah Hevea brasiliensis dan Canarium littorale. Jadi, hanya 8% spesies pancang yang mampu beregenerasi sampai tingkat tiang dan pohon Similaritas spesies antar tipe tutupan lahan Similaritas menunjukkan proporsi banyaknya spesies yang sama yang menempati tipe habitat (tutupan lahan) berbeda. Pada tingkat pancang, diagram pengelompokan similaritas spesies disajikan pada Gambar 24. RA13S RA30S RA30F SH13S SH25F Forest RA60S SH10F Gambar 24. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pancang pada berbagai tipe tutupan lahan Agroforest 13 tahun memiliki similaritas spesies paling dekat dengan agroforest 30 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 18 spesies yang sama (25%) dari total spesies pada keduanya. Spesies yang ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan tersebut merupakan spesies pioner dan umum ditemukan di berbagai tipe tutupan lahan yaitu Aporusa octandra, Canarium littorale, Desmon sp., Eugenia papilosa, Glochidion cf. arborescens, Gynotroches axillaris, Ixonanthes petiolaris, Litsea elliptica, Litsea firma, Mallotus macrostachyus, 54

25 55 Perunema canescens, Piper aduncum, Pternandra azurea, Rhodamnia cinerea, Saurauia cf. pentapetala, Teras bukit, Vitex pinnata dan Hevea brasiliensis. Spesies yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun memiliki kemiripan paling dekat dengan hutan sekunder 25 tahun. Sebanyak 30 spesies (18%) yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun juga ditemukan di hutan sekunder 25 tahun. Spesies-spesies tersebut sebagian besar merupakan spesies pioner dan umum dijumpai pada berbagai tipe tutupan lahan. Spesies spesifik yang hanya ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan tersebut adalah Parashorea malaanonan dan Urophyllum hirsutum. Spesies tingkat pertumbuhan lanjut yang ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan adalah Diospyros lanceifolia, Elaeocarpus stipularis, Lithocarpus sp. dan Madhuca kingiana. Agroforest karet 60 tahun dan hutan sekunder 25 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan sekunder 10 tahun dan hutan primer. Hasil pengamatan menemukan 20 spesies yang sama terdapat pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 25 tahun dan hutan sekunder 10 tahun. Beberapa spesies tingkat pertumbuhan lanjut seperti Diospyros lanceifolia, Elaeocarpus stipularis, Lithocarpus sp. dan Madhuca kingiana sudah ditemukan pada hutan sekunder 10 tahun, tetapi Parashorea malaanonan tidak ditemukan lagi. Spesies tingkat suksesi lanjut yang ditemukan adalah spesies-spesies zoochory. Similaritas pancang antara agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 25 dan 10 tahun mengalami penurunan bila dibandingkan dengan hutan primer. Sebanyak 16 spesies (5%) dari totalditemukan pada keempat tipe tutupan lahan tersebut. Spesies-spesies tersebut adalah spesies yang memiliki kisaran habitat luas, karena ditemukan hampir pada tiap tipe tutupan lahan di Lubuk Beringin. Sementara itu, agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer memiliki similatitas spesies dengan hutan sekunder 13 tahun yang jauh dari hutan primer. Sebanyak 16 spesies (19%) ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan tersebut. Spesies yang ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan hampir semuanya adalah spesies pioner, kecuali Shorea venulosa. Keberadaan S. venulosa yang memiliki ciri penyebaran biji anemochory kemungkinan dapat terjadi karena pohon induk berada tidak jauh dari lokasi ditemukannya. Agroforest karet 30 tahun berada

26 sekitar 300 m dari hutan primer dan hutan sekunder 13 tahun berbatasan dengan agroforest karet 50 tahun. Tipe tutupan lahan yang ada di sekitar kedua tipe tutupan lahan tersebut merupakan sumber biji dari S. venulosa. Pada tingkat tiang, similaritas spesies terdekat adalah antara hutan sekunder 10 tahun 13 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan ditemukan 6 spesies (21%) yang sama dan semuanya merupakan spesies pioner. Agroforest karet 60 tahun memiliki silimaritas spesies terdekat dengan hutan sekunder 10 dan 13 tahun, meskipun hanya ada 2 spesies (4%) sama yang ditemukan pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut. Spesies yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 10 dan 13 tahun adalah Macaranga peltata dan Macaranga sp. yang merupakan tumbuhan pioner. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat tiang disajikan pada Gambar 25. SH13S SH10F RA60S RA30S RA30F RA13S SH25F Forest Gambar 25. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat tiang pada berbagai tipe tutupan lahan Hutan primer memiliki similaritas spesies tingkat tiang terdekat dengan hutan sekunder 25 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 8 spesies (17%) yang sama yaitu Gymnacranthera contracta, Lithocarpus sp., Mitrephora maingayi, Scaphium macropodum, Shorea sp., Sterculia foetida, 56

27 57 Dacryodes laxa dan Elaeocarpus lanceifolius. Spesies-spesies tersebut merupakan spesies yang hanya ditemukan pada hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer kecuali Lithocarpus sp. dan Elaeocarpus lanceifolius. Bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hanya ditemukan satu spesies tiang (1%) yang sama dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun yaitu Elaeocarpus lanceifolius. Agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki similaritas spesies terdekat dengan agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer dan agroforest karet 13 tahun. Pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu karet (Hevea brasiliensis). Pada tingkat pohon, agroforest karet 60 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan primer. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 7 spesies (11%) yang sama yaitu Dacryodes rostrata, Eugenia papilosa, Lithocarpus sp., Diospyros sp., Koompassia malaccensis, Palaquium gutta dan Parkia speciosa. Spesies-spesies tersebut sengaja dibiarkan tumbuh pada agroforest karet 60 tahun, karena memiliki manfaat sebagai penghasil kayu bangunan, resin dan buah. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pohon disajikan pada Gambar 26. SH25F Forest RA60S RA30F RA30S Gambar 26. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pohon pada berbagai tipe tutupan lahan

28 58 Hutan sekunder 25 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan primer. Pada kedua tipe tutupan lahan ditemukan 10 spesies (15%) yang sama, yaitu Ficus sp., Lithocarpus sp., Litsea firma, Melanochyla sp., Parashorea malaanonan, Scaphium macropodum, Shorea sp., Sterculia cordata, Xanthophyllum incertum dan Shorea dasyphylla. Spesies-spesies tersebut hanya ditemukan pada hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun, kecuali Lithocarpus sp. Agroforest karet 60 tahun memiliki similaritas spesies pohon paling dekat dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun, meskipun hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu Lithocarpus sp. Agroforest karet 30 tahun yang dekat dan jauh dari hutan primer hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu kareta (Hevea brasiliensis) Potensi Kepunahan Lokal Spesies Kayu Suatu spesies berpotensi mengalami kepunahan apabila tidak mampu beregenerasi. Hasil pengamatan menemukan 7 spesies yang hanya memiliki tingkat pertumbuhan pohon dengan populasi 1 batang pada luasan sekitar 4,5 hektar, yaitu Anisoptera costata, Shorea acuminata, Lithocarpus sp., Santiria conferta dan 3 spesies yang belum teridentifikasi yang diberi nama Sp7, Sp27 dan Sp30. Lithocarpus sp. dan Santiria conferta ditemukan pada agroforest karet 60 tahun, sedangkan 5 spesies lainnya hanya ditemukan di hutan primer. Rendahnya populasi pohon dan tidak ditemukannya tingkat pertumbuhan pancang serta tiang merupakan suatu indikasi bahwa spesies tersebut tidak mampu beregenerasi. A. costata hanya ditemukan di hutan primer, sedangkan tiga spesies lainnya ditemukan hanya pada agroforest karet 60 tahun. Anisoptera costata Anisoptera costata yang dikenal dengan nama dagang mersawa merupakan spesies kayu yang sangat penting di Indonesia dan digolongkan dalam kelompok kayu paling komersial. Anakan dari A. costata memerlukan intensitas cahaya yang tinggi dan tidak dapat bertahan hidup pada kanopi yang rapat. Pemencaran bijinya sangat terbatas, 90% anakan ditemukan di bawah pohon induknya. Viabilitas

29 59 bijinya sangat cepat menurun, dalam waktu 2-3 minggu laju perkecambahannya hampir 0 atau tidak dapat berkecambah (Soerianegara & Lemmens 1994). Beberapa penduduk lokal juga mengatakan bahwa anakan yang tumbuh di hutan tidak pernah berhasil hidup apabila dipindahkan ke lahan mereka (Baiki, petani di Lubuk Beringin, komunikasi pribadi). Karakteristik pertumbuhannya yang unik menyebabkan spesies tersebut tidak mampu beregenarasi sehingga memiliki potensi mengalami kepunahan. Bahkan A. costata sudah termasuk dalam status kritis menurut IUCN Red List of Treathened Species Shorea acuminata Shorea merupakan genus penghasil kayu yang secara ekonomi dianggap paling penting di Asia. Shorea merupakan spesies yang dipencarkan oleh angin. Pada kondisi angin normal dan hutan rapat, biji Shorea dapat terpencar pada jarak 30 m. Hingga saat ini, meranti merah masih dikembangbiakkan dengan biji. Namun demikian, biji meranti cepat menurun viabilitasnya (Soerianegara & Lemmens 1994). Penurunan viabilitas biji, keterbatasan penyebaran dan persyaratan tumbuh lain seperti keberadaan mikorisa menjadi kendala dalam regenerasi Shorea acuminata. Oleh karena itu, spesies ini sekarang dalam status kritis menurut IUCN Red List. Lithocarpus sp. Beberapa spesies Lithocarpus termasuk kayu bernilai ekonomi dan dapat merupakan komoditi ekspor, tetapi kemampuan regenerasinya rendah. Viabilitas bijinya sangat rendah, perkecambahan bijinya memerlukan waktu 1-9 bulan. Lithocarpus juga merupakan spesies yang tidak tahan terhadap kebakaran (Lemmens et al. 1995). Karakteristik spesies tersebut menyebabkan populasi saat ini di Desa Lubuk Beringin sangat rendah dan hanya ditemukan pada tingkat pohon (berdiameter lebih dari 30 cm). Proses tebas-bakar yang dilakukan ketika membuka lahan, baik untuk kebun karet maupun hanya dibiarkan tumbuh menjadi hutan sekunder menyebabkan Lithocarpus sp. tidak dapat bertahan hidup. Pemencaran biji Lithocarpus sp. terjadi dengan bantuan mamalia selain kelelawar (Webb & Peart 2001). Hasil pengamatan yang menemukan bahwa spesies Lithocarpus sp. ini hanya ditemukan pada agroforest karet kompleks 60

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKSI PENELITIN 3.1. Luas dan Letak Desa Desa Lubuk eringin memiliki luas areal sekitar 2.800 hektar yang terbagi dalam dua dusun yaitu Dusun Sungai lai dan Dusun Lubuk eringin. Dari

Lebih terperinci

Garbert PA and JE Lambert Introduction to primate seed dispersal. Primate and seed dispersers: Ecological process and directions for future

Garbert PA and JE Lambert Introduction to primate seed dispersal. Primate and seed dispersers: Ecological process and directions for future VII. DATAR PUTAKA Asquith NM and MM Chang. 2005. Mammals, edges effects and the lost of tropical forest diversity. Ecology 8(2):379-390. Beukema HJ, Danielsen, G Vincent, Hardiwinoto and J van Andel. 2007.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lereng selatan Gunung Merapi meliputi Taman Nasional Gunung Merapi merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Yogyakarta. Kawasan ini memiliki luas sekitar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor Fisik Lingkungan Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki jumlah keanekaragaman hayati nomor 2 paling banyak di dunia setelah Brasil (Noerdjito et al. 2005), yang mencakup 10% tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia,

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 1961 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Fauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Lampiran 2. Foto Objek Fokal Orangutan Dalam Penelitian Individu jantan dewasa Individu jantan remaja Individu betina dewasa Individu betina dewasa bersama anaknya Lampiran

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi

PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi SUBEKTI RAHAYU E351070011 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008). I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada 104 27-104 54 BT dan 5 5-5 22 LS. KPHL Batutegi meliputi sebagian kawasan Hutan Lindung

Lebih terperinci

PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi

PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi SUBEKTI RAHAYU E351070011 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU Diana Sofia 1 dan Riswan 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Medan Staf Pengajar SMAN I Unggulan (Boarding

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan

I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia dan menjadi salah satu pulau yang memiliki keragaman biologi dan ekosistem yang tinggi (MacKinnon, 1997). Hakim

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang strategis karena terletak di daerah khatulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropis cukup unik dengan keanekaragaman jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan A B I B PENDAHULUAN Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menjamin tersedianya secara lestari bahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah

Lebih terperinci

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara

Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara Gambar 1. Papan Nama KHDTK Siali-ali KHDTK Siali-ali dengan luasan ± 130,10 Hektar, secara geografis terletak pada koordinat 1º08 10,3-1º09 18,4 LU dan 99º49 57,9-99

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial tumbuhan dan satwa adalah salah satu karakteristik yang penting dalam suatu komunitas ekologi. Hal ini merupakan suatu hal yang mendasar

Lebih terperinci

TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN. Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan

TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN. Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan Tanggal : 29 Mei 2014 Posisi (GPS) waypoint permulaan jalur/transek : Akhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci