ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN"

Transkripsi

1 i ANALISIS HEMATOLOGI NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Analisis Hematologi Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor Februari 2010 La Ode Muh. Saniwu NIM: P

3 iii ABSTRACT LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH. Analysis of Hematological Digestible Values and Behavior in Obes Male Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) Which Nicotine Intervention. Under direction of AGIK SUPRAYOGI and SRI SUPRAPTINI MANSJOER. This study was designed to obtain information on the development of hematological and digestibility values and on the behavioral conditions of 15 male obese longtailed macaques prior and after intervention with nicotine. The study was implemented in two phases. The first phase being to the making animals model for obesity during one year which started from February 23 to March The second phase consisted of the collection of haematological and digestibility data and observation of behavior during the intervention period with a nicotine solution (0.75 mg/kg body weight/12 hours) from March 12 to June The study used a Complete Randomized Design nested in time which was analized with SAS version software to find any correlation of behavior with haematological and digestibility values. The results of the study showed that there was a significantly decrease (P<0.01) in haematologial values of red blood cells haematocrits and platelets during the intervention with the nicotine solution but there was a significantly (P<0.01) increase in the values of haemoglobin and red blood cell index values (MCV MCH and MCHC). There was a decrease in the white blood cells neutrophilic and limfocyte values which were insignificant but there was a drop in the eosinophilic and monocyt values which were significantly. The intervention with nicotine caused an increase in the digestibility values and a decrease of mean feed consumption (P<0.01). The decrease in body weight and body mass index (BMI) however was statistically non-significant. The intervention of nicotine caused the long-tailed macaques to be more active which was indicated by increased feeding and drinking self grooming and locomotion frequencies. Analysis of correlation indicated that body weight had a positive correlation with haemoglobin neutrophils and drinking behavior while haemoglobin had a positive correlation with crude protein digestibility Nitrogen Free Extract (NFE) dry matter and energy with a highly significant correlation (P<0.01). Values digestibility of crude protein correlated positive with self grooming behavior and contact behavior while digestibility of crude fatty had a positive correlation (P<0.05) with contact behavior. The correlation between haematology and behavior indicated drinking behavior and self grooming (MCV and MCH) had a positive value of correlation (P<0.05). Keywords: obesity nicotinelongtailed macaque haematology consumption digestibility behavior and BMI.

4 iv RINGKASAN LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH. Analisis Hematologi Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan SRI SUPRAPTINI MANSJOER. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan dan kondisi tingkah laku dari 15 monyet ekor panjang jantan obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin. Penelitian ini dilakukan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan hewan model obes yang telah berlangsung selama satu tahun tahap pertama dari penelitian ini berlangsung dari 23 Februari sampai dengan 11 Maret Tahap kedua yakni intervensi nikotin dalam pakan (075 mg/kg bobot badan/12 jam) pada hewan coba obes tersebut dari 12 Maret sampai dengan 3 Juni Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang tersarang dalam waktu dianalisa dengan perangkat lunak SAS versi 612 untuk mendapatkan korelasi antara tingkah laku dengan nilai-nilai hematologi dan kecernaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada penurunan yang sangat signifikan (P<001) pada nilai hematologi diantaranya adalah sel darah merah hematokrit dan platelet selama intervensi nikotin namun kadar hemoglobin masih menunjukkan kisaran normal dengan nilai indeks sel darah merah (MCV MCH dan MCHC) menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan (P<001). Sedangkan jumlah sel darah putih persentase netrofil dan limfosit tidak menunjukkan adanya perubahan namun terjadi penurunan persentase eosinofil dan monosit (P<001). Intervensi nikotin tampak menunjukkan adanya peningkatan nilai kecernaan dan penurunan rataan konsumsi pakan (P<001). Penelitian menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan bobot badan dan IMT walaupun tidak signifikan. Intervensi nikotin menyebabkan monyet menjadi lebih aktif yang dibuktikan dengan indikasi peningkatan aktivitas makan dan minum self grooming dan frekuensi lokomosi. Analisis korelasi menunjukkan bahwa bobot badan mempunyai korelasi positif terhadap hemoglobin netrofil dan tingkah laku minum sedangkan hemoglobin memiliki korelasi positif terhadap kecernaan protein kasar BETN bahan kering dan energi yang menunjukkan korelasi yang sangat tinggi (P<001). Nilai kecernaan protein kasar berkorelasi positif dengan tingkah laku self grooming serta tingkah laku kontak sedangkan kecernaan lemak kasar memiliki korelasi positif (P<005) dengan tingkah laku menatap. Korelasi antara hematologi dan tingkah laku memberikan indikasi bahwa tingkah laku minum dan self grooming (MCV dan MCH) mempunyai nilai korelasi positif (P<005). Kata Kunci: obesitas nikotin monyet ekor panjang hematologi konsumsi kecernaan tingkah laku dan IMT.

5 v Hak Cipta milik IPB tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian penulisan karya ilmiah penyusunan laporan penulisan kritik atau tinjauan suatu masala; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

6 ANALISIS HEMATOLOGI NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN vi LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Primatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

7 Judul Tesis : Analisis Hematologi Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin vii Nama Mahasiswa Nomor Pokok Mahasiswa Program Studi : La Ode Muhammad Saniwu Zakariah : P : Primatologi Disetujui : Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. drh. Dondin Sajuthi MST. Ph.D. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro M.S. Tanggal Ujian: 28 Januari 2010 Tanggal Lulus:

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti M.S. viii

9 ix Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu berdasarkan kodratnya dan masing-masing ciptaan-nya memiliki nilai manfaat. Kupersembahkan karya kecilku ini kepada Agamaku Bangsa dan Negaraku Kedua Orang Tuaku Almamaterku dan Perempuanku yang telah menjadi semangatku

10 x PRAKATA Tiada kata yang terindah untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan rahim-nya sehingga penulis dapat menyelesasikan tesis ini. Penelitian ini berjudul Analisis Hematologi Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin. Dalam penyelesaian tulisan ini berbagai pihak telah banyak membantu dalam proses pneyelesaian tulisan ini oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada: 1. Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi M.Sc selaku Ketua Komisi dan Prof. Dr. Sri Supraptini Mansjoer selaku Anggota yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Bapak drh. Ikin Mansjoer M.Sc yang telah memberikan arahan dan rekomendasi sehingga penulis dapat melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB khususnya pada Program Studi Primatologi. 3. Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi MST. Ph.D sebagai Ketua Program Studi Primatologi (PRM) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menyusun tesis ini. 4. Ibu Dr.Ir. Dewi Apri Astuti MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kelengkapan dan kesempurnaan tulisan ini. 5. Ibu Dr.dr.Irma Suprapto yang telah memberikan arahan dan ijin dalam penelitian ini. 6. Asosiasi Pemerhati Satwa Primata (APERI) khususnya PT Wanara Satwa Loka yang telah memberikan biaya pendidikan selama menempuh studi. 7. Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana yang telah memberikan bantuan pendidikan dalam penyelesaian tesis ini. 8. PT IndoAnilab dan stafnya (drh. Dewi Mba Eva Sudirman Komang Erik Pak Udin dan staf lainnya) yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini. 9. Bapak dr. Anwar Wardi Warongan M.Si yang telah banyak memberikan bantuan dalam penelitian ini serta tim peneliti intervensi nikotin cair (drh. Chusnul Choliq MS drh. RP. Agus Lelana M.Si). 10. Kakak Muh. Rusdin S.Pt.M.Si yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk melanjutkan studi. 11. Bapak Ir. H. Taane La Ola MP selaku Dekan Fakultas Pertanian Unhalu dan Bapak Ir. Natsir Sandiah MS selaku Ketua Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unhalu yang memberikan arahan untuk melanjutkan studi 12. Kakak Dr. Nur Arafah SPM.Si LD. Samsul Barani SE M.Si Ir. Muh. Ramli M.Si Ir. La Anadi M.Si Ir. Budiyanto MP Ir.Wellem Muskita M.Si Nuriadi SP Akhmad Mansyur SP Asmadin S.Pi Rahmat Maulidun S.Pt Anzar S.Pt dan Rusdan S.Pt yang telah memberikan semangat dan dorongan. 13. Bibiku Nur Kija sekeluarga dan pamanku Ali Hamid sekeluarga yang telah memberikan semangat dan dukungan morilnya.

11 14. Adik-adikku L.M. Firdaus L.M. Asraf L.M. Zamrud dan WD. Yati terimakasih atas doa dan dorongannya. 15. Rekan-rekan mahasiswa PRM (Ir. Deyv Pijoh MSi Ria Oktarina S.Pt.M.Si. Keni Sultan S.Pt.M.Si. Silmi Maria S.Si dan Amor Tresna Karyawati S.Si) atas dukungan semangat dan kebersamaannya. 16. Dosen-dosen yang telah memberikan dan membukan wawasan selama penulis menempuh studi dan staf Program Studi Primatologi (Mba Yanti dan Kang Yana) yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh studi. 17. Anna Forbag yang telah banyak memberikan bantuan literaturnya 18. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dengan caranya masingmasing. 19. Terkhusus kepada kedua orang tuaku atas doa semangat dan nasehatnya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini. xi Bogor Februari 2010 La Ode Muh. Saniwu

12 xii DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1981 di Mandati II Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara dari pasangan La Ode Abdul Gani Zakariah dan WD. Da o. Penulis menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana sedangkan SMU di Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Produksi Ternak Universitas Haluoleo Kendari dan lulus tahun Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Primatologi atas bantuan pendidikan Asosiasi Pemerhati Satwa Primata (APERI) khususnya PT Wanara Satwa Loka.

13 xiii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Hipotesis... 4 Manfaat Penelitian... 4 Kerangka Pemikiran... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Obesitas... 6 Aspek Farmakologi dan Efek Nikotin sebagai Obat Monyet Ekor Panjang Hematopoiesis Kecernaan Zat-zat Makanan dan Metabolisme Tingkah Laku MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi dan Alat Metode Penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Hematologi Konsumsi Pakan Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh Kecernaan dan Energi Metabolisme Tingkah Laku Analisis Korelasi Bobot Badan Kecernaan Nutrien Hematologi dan Tingkah Laku Diskusi Umum SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv xii

14 xiv DAFTAR TABEL Halaman 1 Klasifikasi IMT menurut WHO Komposisi darah manusia Nilai hematologi pada primata Nilai hematologi pada Macaca mulatta dewasa Nilai hematologi pada Macaca fascicularis dewasa Nilai hematologi pada Saimiri sciureus dewasa Bobot badan dan nilai hematologi Macaca fascicularis dewasa Komposisi nutrisi formula pakan perlakuan Peubah tingkah laku yang diamati selama penelitian Rataan nilai hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Rataan persentase diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Rataan konsumsi pakan bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Rataan konsumsi nutrien (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Rataan kecernaan bahan kering (KCBK) (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Rataan koefisien kecernaan TDN dan energi metabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Rataan lama aktivitas dan frekuensi ingestif eliminasi sosial dan lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Matriks korelasi antara bobot badan dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin Matriks korelasi antara bobot badan dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin Matriks korelasi antara hematologi dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin xiii

15 xv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran Struktur kimia nikotin Skema aksi leptin Skema aksi umpan balik dari leptin Mekanisme molekular termogenesis pada jaringan adiposit coklat Skema tahapan katabolisme haemoglobin Evaluasi kuantitatif sel darah merah Pencernaan lemak Pencernaan protein Pencernaan karbohidrat Riwayat penggunaan MEP sebagai hewan percobaan Bagan alir penelitian penggunaan MEP Histogram perubahan nilai sel darah merah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan kadar hemoglobin monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi hematokrit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi MCV (Mean Corpuscular Volume) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi platelet monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi netrofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi limfosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin xiv

16 23 Histogram perubahan konsentrasi eosinofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram perubahan konsentrasi monosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram rataan konsumsi pakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram rataan bobot badan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram rataan IMT monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram rataan TDN monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram rataan energi termetabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram frekuensi tingkah laku makan monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram frekuensi tingkah laku minum monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram frekuensi tingkah laku sosial (menatap) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram frekuensi tingkah laku sosial (self grooming) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram persentase tingkah laku sosial (kontak/sentuhan) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram persentase tingkah laku sosial (agonistik) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Histogram persentase tingkah laku lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin xvi xv

17 xvii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Surat persetujuan ACUC xvi

18 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan lemak yang melebihi 20% pada pria dan 25% pada wanita dari bobot badan normal. Kondisi tersebut diakibatkan peningkatan asupan makanan sehingga menimbulkan kelebihan masukan energi sedangkan aktivitas tubuh berkurang hal ini menyebabkan energi yang dikeluarkan juga sedikit. Penurunan penggunaan energi tersebut menyebabkan obesitas. Obesitas menimbulkan efek yang berhubungan dengan kualitas hidup dan dianggap sebagai salah satu faktor utama dalam perkembangan penyakit kronis seperti diabetes dan kardiovaskular yaitu resiko munculnya penyakit jantung koroner strok hipertensi hiperlipidemia. Disamping itu juga dapat menimbulkan penyakit hati dan kantung empedu osteoarthritis kanker dan penyakit saluran pernafasan. Kejadian obesitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik perilaku (gaya hidup) lingkungan psikologis sosial dan budaya. Badan Kesehatan Dunia (WHO The World Health Organization 2005) melaporkan bahwa pada tahun 2005 di seluruh dunia terdapat 16 miliar orang dewasa (15 tahun keatas) mengalami overweight dan sedikitnya 400 juta diantara mengalami obesitas dan diproyeksikan pada tahun 2015 akan mengalami peningkatan sekitar 23 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta diantaranya akan mengalami obesitas. Peningkatan ini selain akibat dari perubahan pola diet dalam makanan yang memiliki kadar lemak dan karbohidrat tinggi tetapi rendah vitamin mineral dan mikronutrien lainnya juga disebabkan karena adanya kecenderungan penurun aktivitas fisik dalam bentuk kerja dan mobilisasi terutama bentuk transportasi yang digunakan. Selain itu pula pola diet dengan protein yang tinggi serta adanya kecenderungan penurunan aktivitas fisik dalam waktu yang cukup lama akan menimbulkan resiko terjadinya obesitas. Hal ini sangat beralasan karena konsumsi makanan yang lebih banyak mengandung protein dalam diet dibanding dalam jaringan tubuh maka akan langsung digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut disimpan dalam bentuk lemak atau dengan kata lain bahwa

19 2 terdapat batas tertinggi jumlah protein yang dapat tertimbun dalam setiap jenis sel tertentu dan bila sel telah mencapai batas tersebut maka setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh akan dipecah dan digunakan sebagai energi atau disimpan sebagai lemak. Perhatian yang besar terhadap obesitas ini sangat wajar karena efeknya yang kompleks disamping itu juga dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Selain masalah emosional dan psikologis obesitas juga berdampak pada masalah fisiologis. Efek yang kompleks tersebut dapat menyebabkan perubahan tingkah laku misalnya pergerakan yang lamban berkurangnya kepercayaan diri yang berkaitan dengan penampilan fisik juga menyebabkan perubahan nilai hematologi. Dari beberapa penelitian kejadian obesitas berkorelasi positif dengan level leptin insulin konsentrasi glukosa dan trigliserida serta nilai hematologi seperti konsentrasi hemoglobin nilai hematokrit konsentrasi hematokrit dalam sel darah merah (MCV mean corpuscular volume) dan jumlah sel darah merah. Berbagai cara yang dilakukan untuk mengatasi dan menurunkan obesitas antara lain diet yang ketat aktivitas fisik dan modifikasi perilaku. Disamping itu berbagai penelitian untuk mengetahui penyebab obesitas dan cara penanganan serta mekanisme pengobatan akibat sindrom metabolik ini dilakukan melalui penggunaan hewan model baik rodensia dan maupun satwa primata seperti monyet rhesus (Macaca mulatta) beruk (Macaca nemestrina) monyet bonnet (Macaca radiata) baboon (Papio hamadryas) maupun monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Penggunaan obat altenatif untuk mengatasi dan menurunkan obesitas menjadi pilihan seperti halnya penggunaan nikotin. Nikotin sebagai senyawa yang secara alamia ditemukan pada tembakau sering dikonotasikan negatif karena menimbulkan ketergantungan dan bahkan dapat menimbulkan kematian bila digunakan pada dosis yang tidak tepat. Sebaliknya nikotin juga memiliki efek farmakoterapi mengurangi dan menambah nafsu makan bila digunakan pada dosis yang tepat. Penggunaan nikotin dalam dosis rendah menyebabkan efek pada peningkatan konsumsi sehingga dapat menimbulkan kelebihan bobot badan dan disisi lain penggunaan dalam dosis yang tinggi menyebabkan penurunan konsumsi sehingga menimbulkan penurunan bobot badan namun penggunaan

20 3 dalam dosis yang tinggi tersebut dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan. Efek nikotin pada penurunan bobot badan yakni adanya sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi. Disamping itu pula eksposur dalam jangka panjang pada regulasi metabolisme dapat mengubah modulasi cannabinoid yang berperan dalam metabolisme dan pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan bobot badan. Selain itu nikotin memiliki efek langsung pada metabolisme jaringan adipose (leptin ghrelin dan neuropeptide Y) merupakan faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan indeks massa tubuh. Disamping itu pula nikotin juga membantu meningkatkan konsentrasi dan daya ingat meningkatkan perasaan senang terutama pada penyakit alzeimer dan parkinson serta mengurangi stres. Adanya manfaat positif dari nikotin dan masih belum banyaknya penelitian yang mengarah pada manfaat nikotin sebagai terapi obesitas maka informasi tentang manfaat nikotin penelitian perlu dilakukan dengan menggunakan hewan model monyet ekor panjang (MEP) yang telah obesitas. Pemanfaatan monyet ekor panjang sebagai hewan model karena secara anatomis dan fisiologis MEP memiliki kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya. Disamping itu juga adanya kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek menjadikan MEP merupakan hewan model yang sesuai untuk penelitian biomedis. Disamping itu gejala obesitas pada monyet khususnya monyet ekor panjang (MEP) memiliki kemiripan dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yakni kesamaan pola ekspresi hormon yang terlibat dalam obesitas (hormon adipocyte) yakni leptin dan adiponectin. Kesamaan ini juga terjadi pada nilai level insulin protein total glukosa kolesterol total dan trigliserida serta persentase lemak tubuh maupun nilai hematologi. Kesamaan secara morfometrik yakni adanya perubahan pada lingkar pinggang lingkar pinggul lingkar dada serta lingkar lengan adanya penimbunan lemak di sekitar perut merupakan penciri obesitas pada manusia. Dengan pola kesamaan tersebut menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia. Dilaporkan sebelumnya bahwa kejadian obesitas memiliki korelasi dengan nilai hematologi termasuk juga halnya dengan tingkah laku dan nilai kecernaan.

21 4 Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada pengamatan nilai hematologi nilai kecernaan dan tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan pada kondisi obes yang diintervensi dengan nikotin. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendapatkan informasi perkembangan nilai hematologi monyet ekor panjang obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin. 2. Untuk mendapatkan informasi pemanfaatan nutrien pada monyet ekor panjang obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin. 3. Untuk mendapatkan informasi kondisi tingkah laku monyet ekor panjang obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin. Hipotesis 1. Intervensi nikotin dapat menyebabkan perbaikan kondisi fisiologis melalui perubahan nilai hematologi pada monyet ekor panjang. 2. Intervensi nikotin menyebabkan perbaikan metabolisme nutrisi melalui perubahan nilai kecernaan pada monyet ekor panjang. 3. Intervensi nikotin menyebabkan adanya perubahan nilai pakan dan nilai hematologi yang berakibat pada terjadinya perubahan tingkah laku monyet ekor panjang. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai intervensi nikotin cair untuk mengurangi resiko sindrom metabolik sehingga dapat dijadikan alternatif pengobatan pada penderita obes. Kerangka Pemikiran Skema kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

22 5 Skema kerangka Pemikiran Masalah Obesitas (Sindrom metabolik) Sebab: Genetik perilaku (gaya hidup) lingkungan psikologi sosial dan budaya Akibat: Penurunan kualitas hidup dan penyebab penyakit kronis (diabetes dan kardiovaskular) Pemecahan Masalah Obesitas Pencegahan: Diet ketat perubahan aktivitas fisik dan modifikasi perilaku hidup Obat-obatan Pengobatan: Nikotin Hewan Model Penelitian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes (BMI= 2350) A (n=5) (BMI= 2685) B (n=5) (BMI= 2365) C (n=5) Intervensi Nikotin Cair (075 mg/kg bobot badan/12 jam) + Hipotesis: 1. Kondisi fisiologis 2. Metabolisme nutrisi 3. Tingkah laku Analisis deskriptif dan Anova Rekomendasi Peubah: Fisiologis - Hematologi (Hb Hct SDM SDP platelet diferensiasi SDP dan indeks SDM) Metabolisme - Kecernaan (PBB konsumsi pakan harian kecernaan bahan kering dan bahan kering organik konsumsi nutrien koefisien kecernaan energi termetabolisme dan TDN Tingkah laku - Ingestif (makan dan minum) - Eliminasi (defekasi dan urinasi) - Sosial (kontak autogrooming agonistik menatap) - Lokomosi Gambar 1 Kerangka pemikiran

23 6 TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas adalah kelebihan bobot badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas sering disamakan dengan overweight padahal keduanya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan kelebihan bobot badan. Overweight adalah kondisi dimana bobot badan melebihi bobot badan normal. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan lemak melebihi 18 23% (rata-rata 20%) pada pria dan 25 30% (ratarata 25%) pada wanita dari bobot badan (Drewnowski dan Specter 2004; Sylvia 1998). Obesitas dan overweight dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Juvenile obesity misalnya adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak). Orang yang menderita kegemukan pada usia muda memiliki resiko yang lebih tinggi menderita obesitas pada saat dewasa dibandingkan dengan orang yang memiliki bobot badan normal. Sementara itu wanita terutama pada pascamonopause memiliki resiko mengalami obesitas tiga kali lebih besar daripada pria (Sylvia 1998). Berdasarkan distribusi lemak di dalam tubuh ada dua jenis bentuk tubuh. Pertama bentuk android (bentuk apel) adalah bentuk tubuh akibat timbunan lemak pada pinggang rongga perut (visceral) dan bagian atas perut. Bentuk tubuh android lazim ditemukan pada pria. Timbunan lemak di bagian perut dapat mengakibatkan obesitas abdominal atau obesitas sentral. Kedua bentuk gynecoid (bentuk pir) yaitu bentuk tubuh akibat tumpukan lemak di bagian bawah perut seperti pinggul pantat dan paha. Bentuk tubuh ini umumnya dialami oleh wanita. Selain itu juga dikenal obesitas hipertropik (hypertrophic obesity) yang diakibatkan oleh meningkatnya kandungan lipid adiposit. Obesitas hipertropik umumnya menimpa orang dewasa (Sylvia 1998; Adam 2006). Obesitas hiperplastik-hipertropik (hyperplastic-hypertrophic obesity) terjadi akibat meningkatnya jumlah sel lemak dan kandungan lipid sel lemak. Obesitas jenis ini umumnya dialami oleh orang yang sejak usia muda sudah gemuk.

24 7 Obesitas anak-anak (juvenile obesity) adalah hiperplastik (bertambahnya jumlah sel) (Sylvia 1998). Cara yang paling mudah untuk mengetahui obesitas yakni dengan menghitung indeks massa tubuh (body mass index). Indeks massa tubuh (IMT) dihitung dengan cara membagi bobot badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m). Badan kesehatan dunia (WHO World Health Organization) telah mengeluarkan kategori IMT yang cocok untuk masyarakat Asia (Tabel 1). Tabel 1 Klasifikasi IMT menurut WHO Kategori IMT (kg/m 2 ) Riseko penyakit Kurus (underweight) Normal (Ideal) Overweight: Pre obes Obes I Obes II < Rendah Rata-rata Meningkat Sedang Berbahanya Menurut : World Health Organization s diacu dalam Racette et al Faktor-faktor Penyebab Obesitas dan Dampaknya pada Kesehatan Beberapa faktor utama penyebab kegemukan yaitu genetik lingkungan psikologis sosial budaya makanan dan perilaku (gaya hidup) (Jequier dan Tappy 1999; Racette et al. 2003; Misra dan Khurana 2008). Dua faktor terakhir adalah faktor yang dapat dimodifikasi untuk menurunkan bobot badan. Anak yang memiliki orang tua yang menderita kegemukan atau obesitas akan memiliki kemungkinan untuk menderita kegemukan atau obesitas yang lebih tinggi daripada anak yang orang tuanya tidak obes. Kemungkinan tersebut menjadi lebih besar apabila kedua orang tuanya menderita obesitas (Jequier dan Tappy 1999). Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Yang et al. 2007; Christakis dan Fowler 2007; Zametkin et al. 2004) 1. Faktor genetik. Obesitas cenderung diturunkan sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup yang bisa mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor genetik memberikan

25 8 pengaruh sebesar 6 85% terhadap bobot badan seseorang dan tergantung populasi yang diteliti (Yang et al. 2007). 2. Faktor lingkungan. Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya). Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya tetapi dia dapat mengubah pola makan dan aktivitasnya (Christakis dan Fowler 2007). 3. Faktor psikis. Apa yang ada didalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif. Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang menderita obesitas dan bisa menimbulkan kesadaran yang berlebihan tentang kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial (Zametkin et al. 2004). Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa seseorang makan dalam jumlah sangat banyak bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan agitasi dan insomnia pada malam hari (Haslam dan James 2005). Akibat faktor genetik akan meningkatkan kerentanan seseorang menderita obesitas ketika dia terpapar pada keadaan lingkungan yang mendorongnya untuk mengalami keseimbangan energi positif. Ada beberapa gen yang diketahui berkaitan dengan obesitas. Gen yang banyak mendapat perhatian para ahli dewasa ini adalah ob (obese) gen studi pada hewan menunjukkan bahwa ob protein leptin merupakan suatu produk gen yang dapat mengendalikan asupan pangan dan pengeluaran energi. Tanpa leptin tikus percobaan mengkonsumsi pakan secara

26 9 tak berlebih (tak terkendali) yang menghasilkan fenotipe yang obes. Mekanisme pengaturan bobot badan tubuh oleh leptin diduga melalui 2 cara yaitu menurunkan asupan pangan dan meningkatkan pengeluaran energi (Jequier Tappy 1999). Ahima et al. (1996) menyatakan bahwa leptin merupakan suatu hormon yang disekresikan oleh jaringan adipose memiliki peran penting pada pengaturan asupan pangan dan termogenesis manusia. Leptin memberi isyarat status gizi dan tingkat simpanan energi ke pusat rangsangan asupan pangan (Feeding center) melalui aksinya pada ekspresi dan pelepasan neuropeptida orexigenic dan anorexigenic. Chen et al. (2002) bahwa leptin menyediakan informasi ke pusat saraf dalam mengatur tingkah laku makan nafsu makan dan pengeluaran energi. Dan telah dilaporkan bahwa pada manusia leptin berhubungan erat dengan konsumsi tubuh yakni berat tubuh dan total berat lemak tubuh. Hasil penelitian Chen et al. (2002) bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan sintesis dan sekresi leptin dari adiposit tingginya resiko diabetes mellitus dan tingginya level hematosit. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan pola tersebut antara manusia dan cynomolgus monkeys (monyet ekor panjang) sehingga monyet ekor panjang merupakan hewan model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia. Hal ini didukung oleh Putra et al. (2006) bahwa gejala obesitas pada monyet khususnya monyet ekor panjang (MEP) memiliki kemiripan dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yakni dengan adanya penimbunan lemak di sekitar perut. Pola makan memberikan andil yang besar terhadap kegemukan atau obesitas. Pola makan yang tinggi kalori dan lemak menyebabkan keseimbangan energi yang positif (terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak). Hal ini dapat diperberat dengan kurangnya aktivitas fisik (Siagian 2006). Perubahan tingkah laku pada individu yang sedikit melakukan aktivitas cenderung lebih mudah terjadinya obesitas bila dibandingkan dengan individu yang banyak melakukan aktivitas dan cenderung tidak terjadi obesitas (Racette et al. 2003). Diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah memiliki efek jangka panjang yang tidak baik (Siagian 2006). Larosa et al. (1980) menunjukkan bahwa pemberian diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah selama 12 minggu

27 10 berdampak pada meningkatnya uric acid dan low-density lipoprotein (LDL) cholesterol. Guyton (1996) bahwa bila seseorang mempunyai lebih banyak protein dalam dietnya daripada yang ada dalam jaringannya maka akan langsung digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut akan disimpan dalam bentuk lemak. Hal ini karena terdapatnya batas tertinggi jumlah protein yang dapat tertimbun dalam setiap jenis sel tertentu. Dan bila sel telah mencapai batas tersebut maka setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh dipecahkan dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak. Plantenga et al. (2001) melakukan penelitian pada laki-laki dewasa untuk melihat pengaruh leptin pada nafsu makan dan pengeluaran energi. Kelompok perlakuan menerima leptin injeksi mingguan dan kelompok placebo. Dari hasil yang diperoleh bahwa kelompok yang mendapatkan leptin mengalami nafsu makan atau rasa lapar yang menurun dibandingkan dengan kelompok placebo disamping itu pula pemberian leptin selama 12 minggu menurunkan bobot badan sebesar rata-rata 43 dan 64 kg masing-masing untuk kelompok perlakuan dan placebo. Dan disimpulkan bahwa penanganan obesitas dengan pemberian leptin dapat menurunkan nafsu makan bukan bobot badan. Mars et al (2005) menemukan bahwa konsentrasi leptin puasa menurun pada pembatasan asupan energi jangka pendek. Karena konsentrasi glukosa rendah akibat dari pembatasan asupan energi konsentrasi insulin juga menurun selama masa pembatasan asupan energi. Chen et al. (2002) melaporkan bahwa kejadian obesitas sebagai bentuk ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang digunakan kelebihan energi yang tidak digunakan akan disimpan dalam bentuk lemak. Pada manusia hal ini dapat dilihat dari nilai kimia darah yakni adanya peningkatan kolesterol trigliserida dan asam lemak bebas. Disisi lain bahwa nilai darah penting untuk dipertimbangkan dalam mengontrol nafsu makan dan metabolisme. Selain menyebabkan masalah emosional dan psikologis misalnya berkurangnya kepercayaan diri berkaitan dengan penampilan fisik obesitas juga berdampak pada masalah fisiologis yaitu meningkatnya resiko menderita berbagai jenis penyakit (Pi-Sunyer 2002). Jia dan Lubetkin (2005) obesitas dapat menyebabkan penyakit kronis. Lebih lanjut Pi-Sunyer (2002) obesitas cenderung

28 11 menjadi diabetogenik (menyebabkan diabetes) terutama apabila sudah berlangsung lama. Obesitas meningkatkan resiko menderita penyakit jantung koroner hiperlipidemia penyakit hati dan kantung empedu osteoarthritis kanker dan penyakit saluran pernafasan. Disamping itu menyebabkan diabetes Tipe 2 hipertensi strok gagal jantung gout apneu (kegagalan bernafas secara normal ketika sedang tidur menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah) maupun sindrom pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan underventilasi dan ngantuk) (Haslam dan James 2005). Obesitas yang paling berbahaya adalah obesitas abdominal (timbunan lemak di sekitar rongga perut). Cara sederhana untuk mengetahui adanya obesitas abdominal adalah dengan mengukur panjang lingkar pinggang (waist circumference). Untuk masyarakat Asia obesitas abdominal dianggap beresiko menderita penyakit apabila panjang lingkar pinggangnya ±80 cm pada wanita dan ±90 cm untuk pria (WHO 2000). Aspek Farmakologi dan Efek Nikotin sebagai Obat Struktur Kimia Nikotin Nikotin merupakan hasil metabolisme sekunder yang tergolong dalam alkaloid sejati. Alkaloid sejati dicirikan oleh senyawa nitrogen yang membentuk bagian dari sistem cincin heterosiklik dan disintesis dari prekursor asam amino. Alkaloid semu mengandung cincin heterosiklik nitrogen yang disintesis dari prekursor selain asam amino. Alkaloid tembakau; nikotin anabasin dan anatabin disintesis dari asam nikotinik. Sintesis cincin pirolidin dari nikotin melibatkan putrescin bebas. Enzim yang berperan dalam sintesis pirolidin adalah ornitin dekarboksilase putrescine N-methyltransferase dan N-methyl putrescine oksidase (Mann 2001). Struktur kimia nikotin menurut Hukkanen et al.( 2005) disajikan pada Gambar 2.

29 12 Gambar 2 Struktur kimia nikotin (Hukkanen et al. 2005) Nikotin memiliki nama kimia (S)-3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine dengan rumus kimia C 10 H 14 N 2 dan kepadatan 101 g/ml serta titik didih 247 C (477 F). Nikotin ditemukan secara alami dalam tembakau (Nicotiana tabacum Nicotiana rustica dan Nicotiana petunioides) dengan kandungan 0.5 8% dari berat kering tembakau yang berasal dari hasil biosintesis di akar dan diakumulasikan di daun. Nikotin merupakan racun syaraf yang potensial dan digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis insektisida (IPCS ICHEM 1991). Ada tiga masalah yang perlu diperhatikan tentang nikotin dari segi farmakologinya yakni absorpsi nikotin keracunan nikotin dan daya kerja nikotin. Hal ini karena nikotin dapat diserap melalui kulit saluran pernafasan dan saluran pencernaan yang bernuansa basa (Gilman el al. 1980). Keracunan dapat terjadi karena pemakaian dosis yang kurang tepat dalam arti terlalu tinggi. Dengan kontrol yang ketat dan berhati-hati dalam pemakaian dosis efek buruk nikotin dapat diatasi (Jones 1974). Gilman el al. (1980) bahwa pada dosis rendah nikotin akan merangsang aktivitas urat syaraf dan otot-otot licin tetapi pada dosis tinggi nikotin memblokir aktivitas organ-organ tersebut. Efek Nikotin sebagai Obat Nikotin sendiri merupakan obat yang manjur dan secara addictive juga dapat membantu meringankan gejala mental seperti parkinson dan Alzheimer dan depresi. Nikotin memiliki efek terapeutik dan dimasa mendatang nikotin (bukan rokok) akan menjadi resep dokter untuk meringankan berbagai gejala penyakit skizofrenia dan alzeimer. Para ilmuwan dan dokter masih hati-hati untuk membicarakan tentang potensi keunggulan nikotin karena resiko menggunakan

30 13 tembakau lebih penting dari keuntungannya. Nikotin dapat membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat tetapi merokok merupakan cara yang berbahaya untuk memperoleh obat (nikotin) (JRHF 2004). Sahakian et al. (1989) melakukan penelitian tentang efektivitas nikotin pada penderita alzheimer dan hasil yang diperoleh bahwa nikotin secara signifikan meningkatkan kepekaan dan daya ingat. Disimpulkan bahwa nikotin bertindak pada cortical yang terlibat dalam mekanisme visual untuk persepsi dan perhatian dan juga merupakan acetylcholine transmissionmodulates kewaspadaan dan diskriminasi. Nikotin juga dapat bermanfaat sebagai obat cacing Karo-Karo (1990) melakukan penelitian efektivitas nikotin sebagai obat cacing pada kambing dan hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis nikotin (3105 mg dalam 33 ml ekstrak) mengendalikan telur cacing sebesar 78%. Nikotin dapat dijadikan sebagai obat radang usus besar selain itu nikotin dapat memperkuat syaraf pada hippocampus (struktur otak) yang berperan dalam proses belajar dan daya ingat (JRHF 2004). Pada dosis yang rendah nikotin memiliki efek merangsang meningkatkan aktivitas kewaspadaan dan daya ingat. Dosis mematikan pada nikotin yang dilaporkan dapat membunuh 50% populasi adalah 50 mg/kg bobot badan untuk tikus dan 3 mg/kg bobot badan untuk mencit (IPCS ICHEM 1991). Tembakau juga digunakan untuk membuat obat anti malaria dan ini dapat menjadi bukti sebagai sumber therapies murah disamping itu tanaman tembakau telah diuji di laboratorium sebagai obat yang dapat digunakan untuk penyakit Goucher. Dosis yang tepat nikotin adalah obat dan dapat memberikan beberapa keuntungan. Nikotin memiliki efek positif pada ulcerative colitis (peradangan pada usus besar) yang merupakan peradangan pada lapisan perut meningkatkan DHEA yang merupakan hormon seks yang meningkatkan semangat hidup dan membantu menurunkan bobot badan (JRHF 2004). Nikotin juga digunakan sebagai agen theraupetik pasca merokok akibat ketergantungan dalam bentuk nikotin gum nasal spray dan nikotin transdermal (Berrettini dan Lerman 2005). Efek nikotin yang diakui oleh organisasi kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Nikotin memenuhi kriteria penyebab kecanduan atau ketergantungan seperti dorongan penggunaan

31 14 yang kuat meskipun ada hasrat dan upaya berulang-ulang untuk berhenti; pengaruh-pengaruh psikoaktif akibat bekerjanya zat-zat ini pada otak dan perilaku-perilaku yang dimotivasi oleh efek-efek penguatan zat psikoaktif (Chaloupka 2000). Nikotin dalam bentuk nicotine lozenge menunjukkan hasil yang bermanfaat dalam membantu untuk keluar dari merokok tembakau. Penggunaan 4-mg nicotine lozenge menjanjikan untuk perawatan klinis dan adanya gejala penarikan keinginan yang terkait dengan merokok tembakau pada perokok yang akan berhenti merokok tembakau. Namun penelitian ini belum menyelidiki kemanjuran dari nikotin lozenges yang diperlukan (Ebbert et al. 2007). Hasil yang berbeda dari Rubinstein et al. (2008) bahwa penggunaan nikotin nasal spray akan efektif dijadikan sebagai therapi untuk berhenti merokok bila ada keinginan dari penggunanya untuk berhenti merokok. Arabi (2006) bahwa terapi penggantian nikotin yang aman dan lebih dikontrol dapat beresiko tinggi pada perokok tembakau jika therapi penggantian nikotin gagal dilakukan. Nikotin telah diakui selama bertahun-tahun sebagai pharmacologically bertanggung jawab sebagai efek perangsang merokok. Efek dari nikotin pada aliran darah myocardial belum diketahui. Argaca et al. (2007) menguji pengaruh nikotin yang dapat mengganggu aliran darah myocardial yang merupakan resiko penyakit arteri koroner. Hasil yang diperoleh nikotin meningkatkan tekanan darah sistolik dari 129±7 menjadi 134±7mmHg dan denyut jantung dari 67±2 menjadi 69±2 bpm. Nikotin cenderung meningkatkan aliran darah myocardial pada bagian arteri. Nikotin yang diberikan pada perokok dengan resiko kardiovaskuler yang tinggi meningkatkan kerja myocardial walaupun autoregulation aliran darah myocardial dalam keadaan istirahat. Nikotin meningkatkan densitas kapiler di ischemic hind-limb seperti bfgf (Basic Fibroblast Growth Factor). Nikotin juga meningkat nilai angiographic nilai tekan darah calf intra-arterial Doppler flow dan distribusi microsphere. Secara in vitro nikotin merangsang adhesi dan transmigrasi monocyte. Nikotin meningkatkan molekul ekspresi adhesion monocyte (CD11b dan CD11a) ekspresi molekul adhesion endothelial intercellular adhesion molecule-1 dan endothelial monocyte chemoattractant protein-1 menjadi dua sampai tiga kali lipat. Dan

32 15 dalam jangka pendek nikotin promote angiogenesis dan arteriogenesis berperan dalam pengaturan ischemia. Efek dari nikotin ini adalah sebagai media aktivasi interaksi endothelialmonocyte yang terlibat dalam arteriogenesis (Heeschen et al. 2003). Ford dan Zlabek (2005) bahwa terapi nikotin pengganti adalah therapi efektif untuk berhenti merokok. Hasil yang diperoleh bahwa nikotin pengganti tidak meningkatkan aktivitas kardiovaskular. Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh Nikotin masuk ke dalam tubuh dapat melalui tiga cara yakni saluran pernafasan saluran pencernaan dan melalui kulit. Nikotin memiliki daya larut yang tinggi baik pada kondisi polar dan non polar dengan berat molekul yang rendah (1622 g/mol) membuatnya dapat terserap secara efisien. Pada dosis yang tinggi mg/kg bobot badan untuk orang dewasa dapat menyebabkan toksit dan dapat memberikan efek kematian (Gosselin et al diacu dalam Zorin et al. 1999). Dan dilaporkan bahwa penyerapan pada kulit dengan dosis yang berarti menimbulkan efek memabukan muntah-muntah meradang dan dengan gejala keracunan serius. Keadaan tersebut menyebabkan nikotin perlu penanganan yang hati-hati sebelum digunakan (Zorin et al. 1999). Nikotin masuk ke darah melalui sirkulasi pulmonal tidak melewati vena porta dan vena sistemik. Waktu yang dibutuhkan antara merokok sampai masuknya nikotin ke otak lebih pendek daripada bila dimasukkan secara intravena yaitu 7 9 detik. Nikotin masuk secara cepat ke otak kemudian turun secara cepat setelah beredar ke seluruh jaringan tubuh. Ekskresi nikotin di ginjal tergantung pada ph aliran urin sebanyak 35 80% berupa metabolit primer kotinin dan nikotin-n-oksid. Kedua zat ini mempunyai efek farmakologis (Yano 2005). Kandungan nikotin pada tembakau tanpa asap (smokless tabacco) akan meningkat jika berada dalam mulut selama 30 menit yakin sekitar 36 mg dari 25 g pada tembakau sedotan dan 46 g nikotin dari 79 tembakau sugi (chewing tabbaco). Umumnya tembakau sugi sedotan dan permen karet nikotin ph-nya dapat diubah menjadi alkali sehingga dapat direabsorbsi melalui membran mukosa mulut dan kadarnya dalam darah akan meningkat selama 30 menit dan akan menetap serta

33 16 mengalami penurunan setelah 2 jam lebih tergantung pada besar dosisnya (Fenster et al. 1997). Daya serap nikotin melalui kulit dan melalui glove (sarun tangan) nitril dilaporkan oleh Zorin et al. (1999) hasil yang diperoleh bahwa waktu yang diperlukan nikotin untuk masuk ke dalam tubuh melalui kulit bervariasi yakni antara 3-5 menit. Pada konsentrasi yang tinggi 50% nikotin yang dilarutkan dalam air membutuhkan waktu 5 menit dan pada konsentrasi rendah 1% nikotin dalam air (dengan konsentrasi dari 1 100% dalam air) membutuhkan waktu 3 menit dan disarankan bila terkena tumpahan nikotin pada kulit agar dibilas dengan segera. Dan glove (sarun tangan) dengan ketebalan mm yang terbuat dari nitril aman untuk mencegah nikotin terserap ke kulit (Zorin et al. 1999). Setelah diabsorpsi nikotin masuk ke dalam aliran darah pada ph 74 dengan kondisi terionisasi sekitar 69 dan 31% pada kondisi tidak terionisasi. Dan kurang dari 5% terikat pada protein plasma affinitas nikotin tertinggi ditemukan di dalam hati ginjal limpa dan paru-paru dan terendah di dalam jaringan adipose (Hukkanen et al. 2005). Nikotin terikat ke sel-sel otak dengan affinitas yang tinggi dan kapasitas mengikat reseptornya lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan seseorang yang memperoleh nikotin tanpa merokok (Perry et al. 1999). Peningkatan dalam mengikat disebabkan oleh jumlah yang lebih tinggi dari reseptor nicotinic cholinergic di otak dari perokok. Nikotin terakumulasi secara nyata dalam getah lambung dan air liur (Lindell et al.1996). Akumulasi tersebut disebabkan oleh perangkap ion dari nikotin dalam getah lambung dan air liur. Nikotin juga terakumulasi dalam air susu ibu (Dahlstrom et al. 1990). Nikotin juga dapat melewati barrier plasenta dengan mudah dan ada bukti bahwa nikotin terakumulasi pada serum ketuban dan dalam cairan di amnion sedikit lebih tinggi daripada konsentrasi dalam serum ibu (Dempsey dan Benowitz 2001). Efek farmakologi dari nikotin di dalam otak dan organ tubuh lainnya tergantung pada rute dan dosis. Merokok memberikan nikotin secara cepat ke sirkulasi pulmonari dan bergerak cepat ke bagian kiri dari bilik jantung dan ke arterial sistemik serta masuk sirkulasi yang menuju ke otak. Waktu yang diperlukan nikotin untuk mencapai otak dari saat mengisap rokok yakni sekitar

34 detik. Konsentrasi nikotin dalam darah arterial setelah merokok cukup tinggi dan dapat mencapai 100 ng/ml tetapi biasanya berkisar antara 20 dan 60 ng/ml (Henningfield et al. 1993; Gourlay dan Benowitz 1997; Lunell et al. 2000). Interval waktu yang singkat dari nikotin memasuki otak juga memungkinkan pada perokok yang diberi nikotin dosis titrate yang dikehendaki. Namun sebaliknya waktu yang dibutuhkan tersebut akan lambat jika pemberian nikotin melalui sistem transdermal (Henningfield dan Keenan 1993). Metabolisme Nikotin pada Tubuh Nikotin secara umum dimetabolisme di hati. Ada enam metabolisme utama dari nikotin yang telah diidentifikasi dan secara kuantitatif yang paling penting dari metabolisme nikotin yang berhubungan dengan hewan menyusui adalah turunan kotinin. Pada manusia sekitar 70-80% dari nikotin dikonversi menjadi kotinin (Benowitz dan Jacob 1994). Transformasi ini melibatkan dua langkah. Yang pertama adalah mediasi dari cytochrome P450 yang merupakan sistem untuk menghasilkan nikotin- 1 (5 ) -iminium-ion yang equilibrium dengan 5- hydroxynicotine (Murphy 1973; Peterson et al. 1987). Langkah kedua adalah katalisasi dari cytoplasmic aldehyde oxidase (Gorrod dan Hibberd 1982). Nikotin iminium ion cukup menarik karena merupakan agen alkylating dan dapat berperan dalam farmakologi dari nikotin (Jacob et al. 1997). Metabolisme utama yang lain dari nikotin adalah nikotin N -oksida dan sekitar 4 sampai 7% nikotin diserap oleh perokok melalui jalur metabolisme ini (Byrd et al. 1992). Konversi dari nikotin ke N -oksida melibatkan flavinmonooxygenase-3 (FMO3) (Cashman et al. 1992). Pada manusia jalan ini sangat selektif untuk isomer trans (Cashman et al. 1992). Hanya isomer trans dari nikotin N -oksida terdeteksi dalam urin setelah pemberian nikotin melalui infusi darah transdermal atau merokok. Pengurangan nikotin N -oksida pada manusia dilakukan oleh bakteri dalam usus besar. Pemberian nikotin melalui mulut dalam bentuk nikotin N -oksida menghasilkan kotinin dalam urin dan feses (Park et al. 1993). Meskipun rata-rata sekitar 70 sampai 80% dari nikotin yang dimetobolisme melalui jalur kotinin pada manusia terdapat 10 sampai 15% dari nikotin tersebut diserap oleh perokok yang muncul dalam urin dan tidak berubah menjadi kotinin

35 18 atau dengan kata lain sebagian besar metabolisme nikotin dalam urin berasal dari kotinin. Konversi nikotin menjadi kotinin terutama dalam bentuk trans-3 - hydroxycotinine sekitar (33-40%) trans-3 -hydroxycotinine glucuronide sekitar (7-9%) dan cotinine glucuronide sekitar (12-17%) (Benowitz et al. 1994). Nikotin di hati diubah menjadi kotinin oleh enzim cytochrome P450 dan secara invitro dan invivo bahwa CYP2A6 merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam oksidasi nikotin dan kotinin enzim ini secara mendasar mengurangi jumlah nikotin dan kurang lebih 80% metabolisme nikotin oleh enzim CP2A6 yang merupakan kunci utama dalam kasus-kasus adiksi perokok dengan pengurangan level rasio nikotin dalam darah (Hukkanen et al. 2005; Yano 2005). Nikotin dimetabolisme terutama dalam hati. Selain itu pula metabolisme nikotin juga terjadi secara ekstrahepatik seperti di paru-paru ginjal mukosa hidung dan otak (Jacob et al. 1997). Disamping itu pula juga terjadi pada ketuban paru-paru dan epithelium cabang tenggorokan (Boyland dan de Kock 1966). Faktor yang berpengaruh dalam metabolisme nikotin yakni diet dan makanan. Aktivitas fisiologis seperti makan sikap olahraga atau obat meningkatkan aliran darah hepatik dan diduga mempengaruhi tingkat metabolisme nikotin. Konsumsi makanan selama infusi nikotin mengakibatkan penurunan konsentrasi nikotin efeknya secara maksimal mulai 30 sampai 60 menit setelah akhir makan (Gries et al. 1996). Dan peningkatan aliran darah hepatik sekitar 30% dan nikotin meningkat sekitar 40% setelah makan. Disamping itu pula umur dan jenis kelamin mempengaruhi metabolisme dari nikotin (Benowitz dan Jacob 1994). Mekanisme Nikotin pada Saraf Narahashi et al. (2000) menyimpulkan bahwa nikotin telah lama diketahui memiliki interaksi dengan reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) dan mekanisme aksi nikotin tersebut meliputi tiga variasi yakni molekuler fisiologi dan tingkah laku. Shao dan Feldman (2001) bahwa reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) memiliki peranan dalam kontrol pusat respirasi yang memegang peranan penting dalam pernapasan. Aktivasi dari reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) meningkatkan kemampuan input synaptik perasaan senang pada saraf inspirasi

36 19 dalam hal ini saraf pacemaker dan waktu yang sama menghambat fase hubungan diantara saraf yang memegang peranan dalam membawa perasaan senang. Nikotin memiliki dampak dengan ciri-ciri yang mirip dengan ketergantungan pada obat-obatan lainnya menghirup nikotin menghasilkan perubahan pada otak dan dianggap dapat menyebabkan sindrom withdrawal yang diamati pada perokok yang berhenti secara tiba-tiba. Secara farmakologi nikotin pada prinsipnya adalah suatu stimulan psikomotor seperti halnya amphetamin atau kokain. Nikotin juga memiliki efek psikoparmakologi lain terutama anti depresi dan kegelisahan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang (Balfour et al. 2000). Nikotin memiliki efek kompleks pada jalur saraf otak dengan merangsang reseptor dari kelompok saraf nikotinik. Efek ini seperti mekanisme saraf pada kompleks underpin nikotin seperti halnya efek ketergantungan narkoba khususnya efek psychostimulant mirip dengan efek nikotin yakni dengan merangsang atau meningkatkan pelepasan dopamine (DA) utamanya dari terminal sistem mesolimbik nukleus accumbens dan konsensus bahwa obat ini memainkan peran penting dalam neurobiologi yang berpotensi menimbulkan ketergantungan (Balfour 2008). Nikotin setelah melalui metabolisme di hati secara sistemik didistribusikan ke jaringan neuron preganglionik autonomik neuromuscular junction somatic (N 1 ) dan neural (N 2 ). Kemudian secara langsung menstimulasi norepineprin (NE) melalui signal β 3 adrenergik dalam sel mitokondria dan melalui mekanisme siklus creb (camp respons element binding) protein mengekspresikan protein-1 (uncoupling protein-1; UCP-1) dan bersama derivat proteinase inhibitor (PAI-1) berperan dalam proses aterosklerosis (Blanc et al. 2003). Efek Nikotin pada Penurunan Obesitas Nikotin memiliki dampak negatif yaitu dapat menekan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan pada tikus jantan namun tidak berpengaruh pada tikus betina pada masa pertumbuhan. Penghentian pemberian nikotin dapat meningkatkan konsumsi pakan dan bobot badan pada tikus jantan namun tidak pada tikus betina. Selain itu nikotin memiliki manfaat positif yaitu dapat membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat meningkatkan

37 20 perasaan senang pada penderita alzeimer dan Parkinson serta mengurangi stress (Grunberg 2007). Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa dalam jangka pendek nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan dapat mengurangi nafsu makan sehingga hal ini dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung memiliki bobot badan lebih rendah daripada bukan perokok. Namun sebaliknya perokok berat cenderung memiliki bobot badan lebih besar dibandingkan perokok ringan atau yang tidak merokok. Sebagaimana dijelaskan bahwa merokok cenderung menurunkan bobot badan dibanding yang tidak merokok hal ini sebagai efek nikotin yang sudah dilaporkan. Nikotin memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan. Selain itu nikotin memiliki efek langsung pada metabolisme jaringan adipose. Leptin ghrelin dan neuropeptide Y merupakan zat yang mungkin merupakan faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan indeks massa tubuh walaupun peran mereka sebagai penentu atau konsekuensi dari hubungan ini belum ditentukan (Chatkin dan Chatkin 2007). Nikotin mengaktifkan sistem endogenous cannabinoid yang merupakan alat modulasi metabolisme selama masa remaja dan penggunaan nikotin dapat menyebabkan eksposur dalam jangka panjang pada regulasi metabolisme dan mengubah modulasi cannabinoid untuk metabolisme dan pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan bobot badan (Lamota et al. 2008). Peningkatan bobot badan karena berhenti merokok sebagai akibat peningkatan lemak tubuh khususnya pada bagian subkutan. Disamping itu pula adanya mekanisme peningkatan energi penurunan tingkat metabolisme istirahat penurunan aktivitas fisik dan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase. Nikotin sebagai agen sekresi kuat diharapkan dapat mempengaruhi tingkat dan ekspresi dari berbagai kelas neurotransmitters serta dari selaput sel konstituen yang terhubung ke neurotransmission termasuk sinyal transducers yang terkait dengan efektor. Potensi molekul yang dapat terlibat dengan aksi yang berhubungan dengan konsumsi nikotin terutama neuropeptides dan hormon peptida yang

38 21 berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi seperti leptin neuropeptide Y (NPY) dan orexins (Filozof et al. 2004). Leptin hormon yang disekresi oleh lemak merupakan adalah regulator negatif dari asupan makanan dan energi positif pada regulator pengeluaran. Efek nikotin pada plasma leptin kontradiktif dalam studi yang menggunakan objek manusia. Dari dua studi epidemiologi pada berbagai kelompok etnis menunjukkan bahwa plasma leptin signifikan pada perokok dan lebih rendah dibandingkan tidak merokok. Selain itu penurunan konsentrasi plasma leptin secara signifikan dari adiposit juga telah dilaporkan pada ibu-ibu yang melahirkan dan merokok selama kehamilan dibandingkan dengan yang tidak merokok. Nikotin menggunakan mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi bobot badan. NPY juga sebagai stimulator kuat dari makanan penurunan dari ekspresi NPY dipengaruhi nikotin. Peningkatan NPY mrna dan peptide setelah pemberian nikotin dimana peningkatan NPY dipengaruhi reseptor hypothalamic yang mengikat Y1/Y4/Y5 pada situs ligand. Mirip dengan NPY orexins merupakan regulator positif terhadap asupan makanan. Oleh karena itu dapat diharapkan penurunan orexin akibat pemberian nikotin. Akan tetapi dosis preproorexin mrna dalam meningkatkan produksi setelah pemberian nikotin. Pemberian nikotin berafinitas dan mengurangi kepadatan orexin-binding site pada anterior hypothalamus dari otak (Filozof et al. 2004) dan aksi leptin guna penurunan nafsu makan dan peningkatan pengeluaran energi disajikan pada Gambar 3 Sekresi leptin Jaringan adipose putih asupan makan pengeluaran engeri fungsi neuroendokrin metabolisme glukosa metabolisme lemak Gambar 3 Skema aksi leptin (Mantzoros 1999).

39 22 Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa leptin bertindak secara langsung atau dengan mengaktifkan bagian spesifik pada sistem saraf pusat yang mengatur pengurangan asupan makanan peningkatan pengeluaran energi metabolisme glukosa dan lemak dan mengubah fungsi neuroendokrin (Mantzoros 1999). Lebih lanjut Mantzoros (1999) menyatakan bahwa leptin suatu hormon adipost yang beredar di dalam serum dalam bentuk bebas atau dalam bentuk leptin terikat pada protein mengaktifkan sel yang spesifik pada hipotalamus dan mengubah ekspresi beberapa neuropeptida yang kemudian mengurangi selera peningkatan pembelanjaan energi dengan meningkatakan sinyal saraf simpatis dan menurunkan sinyal saraf parasimpatik serta mengubah fungsi neuroendokrin. Peningkatan level leptin mengaktifkan hormone tiroid hormon pertumbuhan dan gonad serta menekan poros adrenal-pituitari. Leptin secara langsung atau secara tidak langsung (mengubah level hormone dan neuropeptida lain) juga mempengaruhi hemopoiesis dan fungsi kekebalan serta meningkatkan metabolisme glukosa dan lemak. Yang pada akhirnya mengubah produksi dan leve hormon dan sitokin serta produksi leptin pada adiposit. Efek umpan balik dari leptin ini disajikan pada Gambar 4. Otak selera Gonad Korteks adrenal Fungsi imun hemopoiesis β-sel langerhans saraf simpatis saraf parasimpatis Androgen Estrogen Sistem IGF Katekolamin Gen leptin Adiposit putih Gambar 4 Skema aksi umpan balik dari leptin (Mantzoros 1999).

40 23 Leptin mengatur homeostasis energi makanan yang masuk ke tubuh; disimpan dan digunakan mengatur fertilitas dan fungsi imun untuk menekan NPY yang disekresikan oleh hipotalamus. Pada pemberian nikotin Leptin akan meningkatkan neuron simpatik pada brown adipose tissue (BAT) dan diduga menurunkan nafsu makan dan mengurangi bobot badan. Peran lipoprotein merupakan kombinasi kompleks sferis dari lipid dan apoprotein yang juga berfungsi menstabilisasi emulsi lipid serta fungsi ligan untuk proses yang dapat dimediasi reseptor nikotin. Metabolisme lipoprotein melibatkan proses biokimia kompleks pembentukan berbagai sekresi transport proses dan klirens lipoprotein tersebut (Hodge et al. 1997). Disamping itu pula nikotin mempengaruhi jaringan adipose coklat (BAT: brown adipose tissue) yang mengatur panas tubuh status makan dan cadangan energi tubuh yang berpusat pada area ventromedial nucleus hipotalamus (VMN) hindbrain. Telah diketahui bila terjadi peningkatan pembakaran cadangan makanan dalam tubuh maka akan meningkatkan panas tubuh yang kemudian memberikan signal simpatis pada reseptor adrenergic nervus system jaringan sel adipose (Cannon dan Nedergaard 2004). Fungsi utama brown adipose tissue (BAT) adalah untuk menciptakan panas melalui mekanisme termogenesis nonshivering. Dan nonepineprin menjadi faktor yang berperan penting dalam termogenesis ini. NE yang menstimulasi β-oksidasi (β-ox) pada mitokondria melalui reseptor β3-adrenergic pada adiposit coklat yang diaktivasi oleh camp dan protein kinase-a (PKA)-mediated untuk lipolisis dan β-oksidasi asam lemak bebas (FFA) dari trigliserida (TG) untuk membentuk acyl-coa. Jalur ini merupakan produksi dari mitokondria pada superoksida intraseluler sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5 (Brees et al. 2008).

41 24 panas Gambar 5 Mekanisme molekular termogenesis pada jaringan adiposit coklat (Brees et al. 2008). Nikotin memiliki efek pada peningkatan termogenesis. Mekanisme tersebut melalui stimulasi pada sistem saraf simpatik yang mengarah pada peningkatan NE. Stimulasi ini memberikan efek langsung pada reseptor nicotinic acetylcholine (nachr) yang memberikan stimulasi modulasi secara langsung atau tidak langsung terhadap penurunan suhu tubuh (Rezvani dan Levin 2004). Nikotin meningkatkan pengeluaran NE dan mengikat guanosine 5'-diphosphate (sinyal termogenesis) pada mitokondria dalam waktu tiga jam serta meningkatkan ekspresi UCP-1 (Arai et al. 2001). Monyet Ekor Panjang Karakteristik Monyet Ekor Panjang Monyet ekor panjang merupakan kelompok monyet dunia lama (Old World Monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut; kelas Mammalia ordo Primates subordo Anthropoidea infraordo Catarrhini superfamili Cercopithecoidea famili Cercopithecidae subfamili Cercopithecinae genus Macaca dan spesies fasicularis (Lekagul dan McNeely 1977; Napier dan Napier 1985; Dolhinow dan Fuentes 1999). Monyet ekor panjang memiliki bobot badan yang bervariasi antara 3 12 kg pada jantan dan 3 10 kg pada betina (Putra et al. 2006). Dengan lama hidup tahun umur dewasa tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

42 25 Collinge (1993) menyatakan bahwa penentuan umur pada genus Macaca sp dapat ditentukan melalui masa dewasa kelamin dan pertumbuhan. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dewasa memiliki susunan gigi dengan dua premolar dan jumlah gigi keseluruhan adalah 32 buah dengan susunan sebagai berikut: I 2 2 C 1 1 PM M 2 3 x 2 2 Keterangan: I : incisisor (gigi seri) C : canine (gigi taring) PM : premolar (gigi geraham depan) dan M : molar (gigi geraham belakang). 3 Warna tubuh utama monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yakni coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna menurut musim umur dan lokasi (Lekagul dan McNeely 1977). Disamping itu pula perbedaan habitat mempengaruhi warna tubuh individu yang menghuni kawasan hutan umumnya lebih gelap dan mengkilap sedangkan individu yang menghuni kawasan pantai pada umumnya mempunyai warna lebih cerah. Hal ini dipengaruhi oleh udara lembab yang mengandung garam dan sinar matahari (Medway 1969). Secara umum warna rambut monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mulai dari abu-abu sampai kecoklatan dengan bagian ventral putih pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan bagian dada dan perut rambut kepala agak pendek tertarik ke belakang dahi rambut-rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang yang lebat dengan ekor tertutup rambut yang halus (Napier dan Napier 1967; Supriatna dan Wahyono 2000). Disamping itu rambut pada bagian pipi monyet jantan lebih lebat dibandingkan dengan monyet betina (Krisnawan 2000). Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Model Obes Monyet ekor panjang sebagai salah satu satwa primata merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia khususnya sebagai hewan model dalam penelitian biomedis dibandingkan hewan model lainnya seperti mencit tikus putih besar hamster dan kelinci. Hal ini disebabkan karena secara anatomi dan fisiologis mempunyai banyak kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1997; Roth et al. 2004). Dengan nilai ilmiah satwa primata selain persamaan ciri

43 26 anatomi dan fisiologis juga kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek (Bennet et al. 1995). Satwa primata adalah hewan model yang sesuai untuk penelitian biomedis khususnya obesitas didasari atas kesamaan karakteristik tersebut. Disamping itu pula ukurannya yang besar dan jangka waktu hidupnya lebih lama dibanding hewan model lainnya memungkinkan pengambilan sampel untuk waktu yang lama (Wagner et al. 1996). Penggunaan monyet ekor panjang sebagai hewan model untuk manusia juga sangat beralasan karena bentuk anatominya serta fungsi hepar kesamaan pankreas namun ukurannya lebih kecil serta vaskularisasi yang sama dengan manusia (Sabbatini 2001). Penggunaan satwa primata sebagai hewan model dalam penelitian biomedis khususnya penelitian obesitas telah dilakukan antara lain Kemnitsz et al. (1989) yang menggunakan monyet rhesus (Macaca mulatta) pada penelitian obesitas dengan melihat ukuran tubuh dan distribusi lemak tubuh toleransi glukosa serum lipid insulin dan androgen. Anthony et al. (2003) yang melakukan penelitian studi genetika pada obesitas yang menggunakan baboon. Kaufman et al. (2007) yang melihat stres sebagai salah satu faktor penyebab obesitas diabetes Tipe 2 dan hipertensi dan munculnya retensi insulin yang menggunakan monyet bonnet (Macaca radiata) juvenile Chen et al. (2002; 2003) menggunakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk melihat level dua hormon adipocyte yakni leptin dan adiponectin serta hubungan hormon ini dengan insulin protein total glukosa kolesterol total dan trigliserida serta persentase lemak tubuh termasuk nilai hematologinya. Adanya kesamaan pola ekspresi hormon yang terlibat dalam obesitas serta gambaran lainnya menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia. Disamping itu pula bahwa pola obesitas pada monyet ekor panjang memiliki kemiripan dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yang dapat terjadi pada jantan maupun betina baik dewasa maupun sub dewasa dengan pola yakni adanya penimbunan lemak di sekitar perut serta BMI (Body Mass Index) sampai 6157 kg/m 2 pada jantan dan pada betina 6007 kg/m 2 yang ditemukan pada kawasan wisata di Bali (Putra et al. 2006).

44 27 Oktarina (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diberi pakan berenergi tinggi dan lemak tinggi guna mendapatkan hewan model obes. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa formula pakan yang mengandung tallow (lemak hewan) ditambah kuning telur menjadikan monyet ekor panjang menjadi obes. Secara morfometrik bahwa ukuran lingkar paha lingkar pinggul lingkar pinggang lingkar dada tebal telapak tangan tebal telapak kaki tebal lipatan kulit perut tebal lipatan kulit lengan belakang tebal lipatan kulit punggung menandai terjadinya proses obesitas Tipe 1 pada monyet ekor panjang. Dengan penciri bahwa lingkar pinggang lingkar pinggul dan lingkar dada merupakan bagian tubuh yang memiliki kaitan paling erat dengan bobot badan sehingga lingkar pinggang lingkar pinggul dan lingkar dada dapat dijadikan penciri terjadinya obesitas pada monyet ekor panjang (Caraka I 2008). Hematopoiesis Hematopoiesis atau hemopoiesis adalah proses pembuatan darah khususnya sel darah. Sistem hematopoitik tersebar di dalam tubuh organ atau jaringan hematopoiteik ialah: sumsum tulang hati limpoglandula retikuloendotelia usus pankreas thimus ginjal dan limpa (Tortora dan Anagnostakos 1990). Setelah hewan lahir hematopoiesis pada sebagian besar mamalia terpusat pada sumsun tulang sedangkan hati dan limpa biasanya tidak aktif. Disaat kebutuhan akan pertumbuhan tubuh mulai meningkat maka hematopoiesis biasanya akan kembali ke bagian ujung (metaphyse) tulang panjang ke tulang pipih dan pelvis rusuk dan tulang belakang. Dari sini akan meluas lagi ke dalam lubang sumsum tulang juga terjadi hematopoiesis extramedulla yaitu di dalam hati limpa dan kelenjar pertahanan (lymphoglandula) terutama bila terjadi kebutuhan yang meningkat misalnya ada hipoplasia atau aplasia dari sumsum tulang atau pada penyakit-penyakit dimana sumsum tulang rusak atau mengalami fibrosis (Ganong 1983). Sistem hematopoietik dimonitor secara klinik oleh pemeriksaan sirkulasi darah dan sumsum tulang. Pemeriksaan hematologi adalah merupakan suatu bagian rutin dari beberapa pemeriksaan klinik dan adanya perbedaan status

45 28 normal akan menjadi indikasi adanya suatu respon penyesuaian terhadap kerusakan sistem lainnya atau adanya penyakit primer pada sistem hematopoietik itu sendiri. Juga dalam keadaan hemorrhagi yang akut atau anemia hemolitika maka pusat haemopoietik terangsang untuk meningkatkan produksi sel yang dibutuhkan. Ini berarti bahwa untuk setiap tipe sel ada suatu rangsangan berupa mekanisme umpan balik (feedback) yang berespon terhadap menurunnya jumlah sel. Sumsum tulang berisi sedikit sel primitif yang berespon terhadap kebutuhan ini. Kemudian sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel progenitor yang bertambah banyak (multiply) dan menjadi sel dewasa (mature). Penilaian in vitro dan in vivo telah menyatakan adanya tingkatan struktur dari stem sel multipotensial oligopotensial dan unipotensial di dalam sumsum tulang. Walaupun identitas morfologi stem sel ini masih tidak pasti namun tampaknya adalah mononuclear dengan beberapa ciri khas dari limfosit peralihan (Ganong 1983). Sel progenitor unipotensial akan berkembang menjadi sel precursor yaitu: rubriblast myeloblast monoblast lymphoblast dan megakaryoblast (Tortora dan Anagnostakos 1990). Stem Sel Pluripotensial Konsep aktual dari hematopoiesis didasarkan pada monophylactic atau teori unitarian dari pembentukan eritrosit pertimbangan produksi eritrosit semua bentuk limfosit makrofag sel mast dan megakaryosit dari stem sel pluripotensial (Jain 1993). Selama kehidupan intra uterin sel punca ini pada mulanya berasal dari kuning telur embrio (embryonic yolk sac) kemudian oleh hati fetus limpa dan sumsum tulang. Dalam kehidupan dewasa pada kebanyakan spesies sumsum tulang merupakan sumber utama. Sedikit sel punca dapat dijumpai di dalam darah perifer (1/ leukosit). Migrasi dari sel progenitor granulosit ke dalam darah dapat diinduksi oleh bermacam-macam stimuli misalnya: exercise ACTH deksametason epineprin endotoksin antigenik exposure hipoksia dan iradiasi lokal (Jain 1993). Sejumlah penyakit hematologik dapat berasal dari gangguan neoplastik (tumor) dan non-neoplastik pada stem sel. Tumor hematopoietik adalah gangguan/kerusakan stem sel termasuk leukimia myelogenous yang akut dan

46 29 kronis essensial trombositopenia dan polycytemia. Gangguan/kerusakan nonneoplastik adalah akibat dari disfungsi stem sel misalnya Cyclic hematopoiesis pada anjing Collie abu-abu; aplasia eritrosit dan anemia aplastik (pancytopenia) pada manusia. Beberapa keberhasilan telah dicapai dalam pengobatan untuk memperbaiki gangguan non-neoplastik ini yaitu dengan menggunakan transplantasi sumsum tulang. Hematopoiesis baik secara in vivo maupun in vitro amat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor endogen dan eksogen. Dalam hal ini termasuk juga lingkungan mikro dari sumsum (marrow) serta faktor humoral setempat (Robinson dan Huxtable 1988). Eritropoiesis Darah amat penting bagi kehidupan makhluk yang mempunyai banyak sel disebabkan oleh perannya untuk transpor oksigen air elektrolit zat makanan dan hormon-hormon ke setiap sel juga untuk transpor hasil atau sisa metabolisme ke organ-organ pembuangan. Pembentukan sel darah merah (eritropoiesis) merupakan suatu pengaturan umpan balik (feedback). Pembentukan ini dihambat oleh kenaikan jumlah sel darah merah dalam sirkulasi yang mencapai nilai diatas normal dan distimulasi oleh anemia. Eritropoiesis diatur oleh hormon glikogen yang beredar yang dinamakan erytropoetin yang dibentuk oleh kerja dari faktor ginjal pada globulin plasma (Ganong 1983). Erytropoietin adalah suatu glikoprotein yang dibentuk terutama oleh ginjal sebagai respon terhadap kurangnya oksigen dalam jaringan ikat ginjal (renal tissue hypoxia). Sebagian eritropoietin juga disentisis di hati. Eritropoietin diperlukan untuk pembentukan sel darah merah termasuk juga diferensiasi sel progenitor multiplikasi dan pematangan melalui berbagai tahapan (Jain 1993). Sel darah merah sel darah putih dan platelet/thrombosit merupakan bagian dari elemen darah sedangkan berbagai faktor koagulasi/zat pembekuan serta imunoglobulin adalah unsur penting dari Protein Plasma Total. Fungsi utama sel darah merah ialah mengikat haemoglobin untuk transport oksigen sedangkan sel darah putih peran utamanya ialah dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi mikrobial. Platelet/thrombosit dan protein koagulasi adalah penting untuk mempertahankan hemostasis juga untuk mencegah kehilangan banyak darah akibat terjadinya luka bulu darah. Imunoglobulin merupakan unsur penting dari

47 30 humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah hewan dari agen infeksi. Sedangkan protein-protein lain yang ada dalam darah mempunyai peranan biologis yang bervariasi yaitu mempertahankan kesehatan tubuh. Berbagai faktor mungkin akan mempengaruhi data nilai normal darah dari berbagai spesies hewan (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990). Secara umum keberadaan darah dalam tubuh dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu (1) faktor eksogen yang terdiri dari agen penyebab infeksi dan perubahan lingkungan dan (2) faktor endogen yang terdiri dari pertambahan umur status gizi kesehatan stres siklus estrus dan suhu tubuh (Guyton dan Hall 1997). Darah yang beredar dalam tubuh memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai alat transport mempertahankan lingkungan dalam tubuh agar terjaga konstan (homeostatis) ekskresi dan berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap bahan-bahan asing (Harper et al. 1979). Darah dengan komposisi yang meliputi 46 63% plasma dan 37 54% sel darah (Martini 1995) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi darah manusia No Darah persentase Komposisi persentase Keterangan 1. Elemen-elemen yang terbentuk o Sel darah merah 999 o Platelet (trombosit) o Sel darah putih Komposisi plasma o Plasma protein 7 Albumin 60 Utamanya menyumbangkan pada konsentrasi osmotik plasma; transpor lemak hormon steroid Globulin 35 Transpor ion hormon lemak fungsi imun Fibrinogen 4 Komponen esensial sistem pembekuan darah; termasuk fibrin yang tidak terlarut Pengaturan protein < 1 Enzim proenzim hormon o Cairan lain 1 Elektrolit Komposisi ion pada cairan extraseluler esensial untuk aktivitas seluler yang vital. Ion yang berperan dalam tekanan osmotik cairan tubuh yakni Na + Ca 2+ Mg 2+ Cl HCO 3 HPO SO 4 Nutrisi Digunakan untuk produksi ATP pertumbuhan dan perawatan sel; meliputi lipid (asam lemak kolesterol gliserida) karbohidrat (terutama glukosa) dan asam amino Zat-zat sisa Membawa ketempat perusakan atau ekskresi; meliputi urea asam urat kreatinin bilirubin dan ion ammonium o Air 92 Transpor molekul organik dan inorganik elemen-elemen yang terbentuk dan panas Sumber : Martini 1995 Nilai normal hematologi terjadi perbedaan diantara peneliti khusunya penelitian yang berhubungan hematologi. Perbedaan ini terjadi karena beberapa

48 31 faktor antara lain: jumlah sumber umur jenis kelamin bangsa hewan kesehatan dan pakan hewan yang digunakan juga metode pengambilan darah serta teknik hematologi yang digunakan. Adanya perbedaan fisiologis seperti eksitasi aktifitas otot waktu pengambilan sampel suhu udara sekitar keseimbangan air dan ketinggian mungkin juga memberikan perbedaan nyata. Variasi regional mungkin juga menyebabkan perbedaan nilai hematologi terutama parameter sel darah merah (Aliambar 1999). Variasi nilai hematologi pada primata ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai hematologi pada primata Parameter Bourne et al ** Schermer 1967 * Hematologi Monyet Rhesus Manusia Sel Darah Merah (juta) Hemoglobin (Sahli) (%) g/dl g/dl Trombosit (butir) Sel Darah Putih (butir) Netrofil (%) Eosonofil (%) Basofil (%) 0 2 ±10 ±05 Limposit (%) Monosit (%) * Kisaran nilai hematologi dari beberapa peneliti ** diacu dalam (Fridman 2002) Nilai hematologi yang dilaporkan Andrade et al. (2004) pada Macaca fascicularis baik jantan dan betina dewasa dari pusat primata Fiocruz dengan pembanding dari beberapa peneliti ditampilkan pada Tabel 4 5 dan 6. Tabel 4 Nilai hematologi pada Macaca mulatta dewasa Parameter Jantan Betina Pusat Primata Buchl & Stanley & Pusat Primata Buchl & Stanley & Fiocruz Howard 1997 Cramer 1968 Fiocruz Howard 1997 Cramer 1968 Sel Darah Merah (x10 6 /ml) 5062 ± ± 034a 586 ± 052a 5077 ± ± 04a 435 ± 055a Hematokrit (%) 3755 ± ± 25a 421 ± 21a 3674 ± ± 31a Hemoglobin (g/dl) 1276 ± ± 07a 138 ± 10a 1253 ± ± ± 16 MCV (fl) 7446 ± ± 22a ± ± ± 127a MCHC (%) 34 ± ± 08a ± ± 06a 313 ± 320a MCH (pg) 2534 ± ± 09a ± ± 13a 291 ± 415a Sel Darah Putih (x10 3 /ml) 789 ± ± 29a 82 ± ± ± ± 51b Neutropil (%) 6011 ± ± 603a 345 ± 143a 6032 ± ± 31b 237 ± 109a Limposit (%) 3670 ± ± 184a 613 ± 143a 3601 ± ± ± 113a Eosinopil (%) 066 ± ± ± ± 002a 51 ± 62a Basopil (%) 011 ± 032 < ± 027 < ± 06b Monosit (%) 1556 ± ± 256a 170 ± ± 003a 43 ± 29a Mielosit (%) 0 0 Metamiemosit (%) 0 0 Kolesterol (mg/dl) 108 ± ± 22a 108 ± ± 34a 219 ± 524a Lipid (mg/dl) 5966 ± ± 2102 AST (IU/l) 3286 ± ± ± 99b ALT (IU/l) 3757 ± ± ± 120a Total protein (mg/dl) 746 ± ± ± 09 Albumin (mg/dl) 4475 ± ± ± 04 Urea nitrogen (mg/dl) 3118 ± ± 3a

49 32 Tabel 5 Nilai hematologi pada Macaca fascicularis dewasa Jantan Betina Parameter Pusat Primata Fiocruz Matsumoto et al.1980 Altshuler et al.1971 Pusat Primata Fiocruz Matsumoto et al.1980 Yoshida & Katsuta 1989 Sel Darah Merah (x10 6 /ml) 63 ± ± ± ± 071b 608 ± 063 Hematokrit (%) 398 ± ± 29a 37 ± ± 38b 408 ± 45a Hemoglobin (g/dl) 136 ± ± 09a 126 ± ± ± 13a MCV (fl) 637 ± ± ± ± ± 5a MCH (pg) 2157 ± ± 08a 2031± ± 09a MCHC (%) 3409 ± ± 11a 3415 ± ± 06a Sel Darah Putih (x10 3 /ml) 975 ± ± 50a 803 ± ± 36a 97 ± 28b Neutropil (%) 6538 ± ± 1208 Limposit (%) 3104 ± ± 976 Eosinopil (%) 133 ± ± 107 Basopil (%) 005 ± Monosit (%) 195 ± ± 132 Kolesterol (mg/dl) ± ± 33a 1158 ± 179a ± ± ± 385a Total protein (mg/dl) 599 ± ± 08a 813 ± 064a Albumin (mg/dl) 36 ± ± 02a 317 ± 03a Lipids (mg/dl) 6599 ± ± 1277 Urea nitrogen (mg/dl) 2638 ± ± 3a ± ± 2b 2026 ± 536a Tabel 6 Nilai hematologi pada Saimiri sciureus dewasa Jantan Betina Beland et al. Beland et al. Parameter Pusat Primata Kakoma et al. Pusat Primata Fiocruz 1985 Fiocruz Suzuki 1981 Suzuki 1981 Sel Darah Merah (x10 6 /ml) 681 ± ± 06 b 712 ± 01 a 613 ± ± 07 a Hematokrit (%) 419 ± ± 40 b 44 ± ± ± 42 a Hemoglobin (g/dl) 1406 ± ± ± ± ± 11 a MCV (fl) 6174 ± ± ± 519 MCH (pg) 2068 ± ± 019 b 2177 ± 173 MCHC (%) 3368 ± ± ± 018 Sel Darah Putih (x10 3 /ml) 6826 ± ± 432 b 105 ± 064 a 726 ± ± 36 a Neutropil (%) 6594 ± ± 152 a 35 ± 32 a 6932 ± ± 151 a Limposit (%) 2863 ± ± 152 a 61 ± 31 a 2577 ± ± 160 a Eosinopil (%) 105 ± ± 25 1 ± ± ± 61 b Basopil (%) 0 02 ± 04 0 ± ± ± 44 Monosit (%) 447 ± ± 16 b 2 ± 03 a 29 ± ± 01 a Kolesterol (mg/dl) ± ± ± ± 24 c Total protein (mg/dl) 591 ± ± 05 b 591 ± ± 05 b Albumin (mg/dl) 355 ± ± 04 c 355 ± ± 04c Chlorider (meq/l) 9671 ± ± ± ± 5 Urea nitrogen (mg/dl) 2837 ± ± 12 c 2735 ± ± 12 c Parameter nilai hematologi antara baboon dan manusia (hemoglobin hematokrit trombosit dan jumlah sel) memiliki kesamaan begitupula antara manusia dan Callithrix jacchus (Fridman 2002). Bobot tubuh sangat berhubungan erat dengan nilai hematologi terutama konsentrasi hemoglobin nilai hematokrit konsentrasi hematokrit dalam sel darah merah (MCV mean corpuscular volume) dan jumlah sel darah merah (Chen et al. 2002) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 7 berikut.

50 33 Tabel 7 Bobot badan dan nilai hematologi Macaca fascicularis dewasa Uraian satuan Rata-rata±SD Bobot badan (kg) 449±106 Hematologi : Sel Darah Putih (x10 2 /ml) 8120±284 Sel Darah Merah (x10 4 /ml) 591±68 Hemoglobin (g/dl) 115±16 Hematokrit (%) 403±44 MCV (fl) 684±56 Platelet (x10 4 /ml) 378±89 Sel Darah Merah Sel darah merah (SDM eritrosit/red blood cells/rbc) membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Pada umumnya SDM hewan mamalia tidak mempunyai inti dan bentuknya biconcave disc sedangkan SDM yang berbentuk elips dan berinti amat khas pada satwa burung reptil dan amphibia. Adanya variasi bentuk SDM (poikilositosis) bisa bersifat fisiologik ataupun patologik (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999). Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang terutama dari tulang pendek pipih dan tak beraturan dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa dan dari sumsum dalam batang iga dan dari seternum. Perkembangan sel darah merah dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah (Pearce 2006). Jumlah sel darah merah normal pada manusia 54 juta/mm 3 pada laki-laki dan 48 juta/mm 3 pada perempuan dengan diamater sekitar 75 µm dan tebalnya 2 µm dengan lama hidup dalam sirkulasi darah sekitar 120 hari (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada nonhuman primata jumlah SDM bervariasi antara juta/mm 3 dengan diameter µm atau rata-rata 75 µm (Fridman 2002). Nilai hematologi antara nonhuman primata dan manusia dapat dilihat pada Tabel 2 begitupula nilai hematologi pada Macaca mulatta Macaca fascicularis dan Saimiri sciureus dapat dilihata pada Tabel 4 5 dan 6 (Andrade et al. 2004).

51 34 Hematokrit Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase sel darah merah dalam darah. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah. Uji ini biasa digunakan untuk mendiagnosa anemia dan polycythemia (peningkatan persentase sel darah merah) (Tortora dan Anagnostakos 1990). Perhitungan hematokrit dilakukan setelah darah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan dan disentrifuse sehingga sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung. Sedangkan plasma suatu cairan yang berwarna kekuning-kuningan akan naik ke atas. Jumlah sel-selnya adalah 45% dari volume darah total dan nilai ini dinamakan Packed Cell Volume (PCV) atau Hematokrit (HCT) yang dinyatakan dalam persen (Aliambar 1999). Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan berdasarkan metode mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah perlu untuk mengurangi plasma yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada kambing dan domba metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse yang lebih lama (10 20 menit) sedangkan spesies lainnya cukup 5 menit saja. Pada kambing parameter darah merah yaitu SDM HB dan HCT nilainya lebih tinggi di akhir musim panas dan musim gugur dibandingkan pada musim dingin dan musim semi. Sedangkan pada sapi nilainya paling tinggi selama bulan-bulan paling dingin dan paling rendah selama bulan-bulan terhangat di tahun tersebut. Perbedaan nilai ini dapat pula terjadi akibat kesalahan teknik terutama yang disebabkan oleh metode pengambilan darah tipe dan konsentrasi antikoagulan serta metode yang dipakai untuk determinasi perhitungan SDM dan SDP konsentrasi HB dan HCT (Aliambar 1999). Nilai hematokrit pada wanita berkisar 38 46% dengan rata-rata 42% sedangkan pada pria berkisar 40 54% dengan rata-rata 47%. Nilai hematokrit juga berbeda berdasarkan ketinggian individu yang tinggal dipegunungan memiliki nilai hematokrit yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tinggal ditepi pantai (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada macaque nilai hematokrit Macaca mulatta yakni 3755±323% pada jantan dan 3674±351% pada betina Macaca fascicularis yakni 398±27% pada jantan dan 3774±395% pada betina dan Saimiri sciureus yakni 419±393% pada jantan dan 3903±353% pada betina dan perbedaan nilai hematokrit pada beberapa peneliti dapat dilihata pada Tabel 4 5 dan 6 (Andrade et al. 2004).

52 35 Hemoglobin Hemoglobin (HB) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Protein hemoglobin adalah globin sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme. Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi. Konsentrasi hemoglobin normal pada manusia dewasa adalah g/dl darah atau rata-rata 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut 100 persen (Ganong 1983; Pearce 2006). Dan diperkirakan terdapat kira-kira 750 gram hemoglobin dalam seluruh darah yang beredar. Hemoglobin (HB) sangat penting untuk mempertahankan kehidupan sebab ia membawa dan mengirim oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul hemoglobin ada dalam sel darah merah dan meliputi 95% dari berat keringnya. Sedangkan sintesis hemoglobin dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan adanya gangguan pada salah satunya dapat menimbulkan gangguan hematologis yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999). Gambar 6 Skema tahapan katabolisme haemoglobin (Jain 1993). Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme. Setiap gram hemoglobin berisi 334 mg zat besi dan membawa 134 ml oksigen. Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unit dan masing-masing bergabung dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara

53 36 hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan oleh agen penyebab hemolisis. Hemoglobin yang bebas dalam plasma amat cepat terbuang dengan oksidasi menjadi bentuk yang tak berguna hilang melalui ginjal atau dimusnahkan oleh MPS. Hemoglobin dilepaskan dari sel darah merah dimusnahkan oleh macrophage dalam MPS kemudian dikatabolisme secara bertahap (Aliambar 1999). Sel darah merah hidup sekitar 120 hari. Bilamana eritrosit dirusak maka bagian porfirin hemoglobin dipecahkan dan membentuk pigmen empedu billiverdin dan billirubin yang dibawa ke hati untuk diekskresi ke dalam usus melalui empedu. Skema proses pemecahan hemoglobin menjadi biliverdin dan billirubin serta ekskresinya ke usus melalui empedu dapat dilihat pada Gambar 6 (Tortora dan Anagnostakos 1990). Indeks Eritrosit Perhitungan diagnosis banding terhadap anemia dapat dilakukan melalui perhitungan yang berasal dari konsentrasi Hb jumlah SDM dan Hematokrit dengan tiga indeks sel darah merah. Hubungan secara skematis antara masingmasing indeks SDM ini (MCV MCH MCHC) dan hematokrit jumlah SDM dan konsentrasi HB diperlihatkan dalam Gambar 7 (Robinson dan Huxtable 1988). Volume eritrosit rata-rata (MCV mean cell volume) Hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (MCHC mean corpuscular hemoglobin concentration) Sel darah merah yang belum dewasa (reticulocytes) Penilaian kuantitatif sel darah merah Konsentrasi Hemoglobin Jumlah sel darah merah Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (MCH mean corpuscular hemoglobin) Gambar 7 Evaluasi kuantitatif sel darah merah (Schermer 1967).

54 37 1. Mean Cell Volume atau Mean Corpuscular Volume (MCV) yang dapat dihitung dengan membagi hematokrit dengan jumlah sel darah merah atau dapat diukur langsung dengan cara elektronik menggunakan spektrophotometer. MCV ini dinilai dengan femto liter. Bilamana MCV berada dalam kisaran normal disebut normocytic state bila berada dibawah disebut microcytic state dan bila diatas disebut macrocytic state (Robinson dan Huxtable 1988). 2. Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) yang dapat dihitung dengan membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan jumlah sel darah merah (SDM) dan dinilai dengan picogram. Nilai MCH ini sangat bergantung pada jumlah SDM sehingga nilai normalnya sangat bervariasi diantara spesies hewan (Robinson dan Huxtable 1988). 3. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) didapat dengan membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan Hematokrit. Nilai MCHC ini cukup stabil diantara spesies yaitu g/l. Bilamana MCHC berada dalam kisaran ini disebut normochromic state dan bila dibawah disebut hypochromic state. Akan tetapi nilai MCHC ini tidak akan berada diatas nilai konsentrasi maksimum Hb eritrosit (Robinson dan Huxtable 1988). Limfopoiesis Limfopoiesies terjadi pada jaringan berbeda (sumsum tulang thymus limpa dan limpoglandula) dan mencakup beberapa fase seluler. Sel progenitor limfoid dan turunannya diidentifikasi tidak berdasarkan morfologinya tetapi terutama oleh permukaan selnya sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan diferensiasi dan multiplikasi dari sel progenitor limfoid ini sangatlah kompleks. Juga lingkungan mikro di sekitarnya (lokal) interleukin dan antigen dipercaya mempunyai peranan yang penting. Interleukin adalah merupakan salah satu limfosit growth factor yang sudah dikenal (Jain 1993). Sel Darah Putih Sel darah putih (SDP WBC Leukosit) warnanya bening bentuknya lebih besar dibandingkan dengan sel darah merah tetapi jumlahnya lebih sedikit. Sel darah putih dibuat pada sumsum tulang merah dan berisi sebuah inti yang

55 38 berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir karena itu disebut sel berbulir granulosit (Irianto 2005; Pearce 2006). Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk diagnosis leukemia serta penyakit lainnya. Dalam evaluasi sebuah leukogram amat perlu diketahui bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya tetapi untuk menetapkan adanya perubahan morfologi SDP maka informasi tentang komponen darah lainnya harus ada. Juga protein plasma total dan konsentrasi fibrinogen parameter darah merah (HCT HB SDM) dan SDM berinti serta jumlah retikulosit secara tak langsung membantu dalam interpretasi leukogram. Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies hewan dan hal ini dipengaruhi oleh umur hewan. Saat hewan lahir jumlahnya lebih tinggi kemudian secara bertahap menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2 12 bulan. Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia. Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi ephinephrine dimana neutrofil dan limfosit dimobilisasi ke dalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering terjadi pada hewan muda dan biasanya akibat pengaruh emosional stress juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Sedangkan leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990). Kecernaan Zat-zat Makanan dan Metabolisme Kecernaan Zat-zat Makanan Kecernaan merupakan banyaknya zat-zat makanan yang terdapat dalam makanan yang dapat dicerna dan diabsorbsi untuk metabolisme tubuh (Linder 2006). Sutardi (1980) menyatakan bahwa kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makan menjadi butir-butir atau partikel kecil atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kecernaan bahan makanan erat hubungannya dengan komposisi kimiawinya dan

56 39 serat kasarnya mempunyai pengaruh paling besar terhadap kecernaan dimana kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan nilai pakan. Kecernaan zat-zat makanan tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan kondisi hewan dan faktor pemberian makanan (McDonal et al. 2002). Selain komposisi zat-zat makanan genetik aspek lingkungan dan gangguan tubuh yang mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi kecernaan zat-zat makanan (Linder 2006). Pada monyet ekor panjang dewasa dengan bobot badan 57 kg dan umur 9 10 tahun membutuhkan konsumsi bahan kering 300 g x BWkg -1 dengan EM 1100 kkal BWkg -1 (NRC 2002). Kecernaan yang rendah akan mengurangi konsumsi semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan atau semakin tebal dan semakin tahan dinding selnya mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan tersebut (Parakkasi 1999). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pakan yaitu suhu laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan bentuk fisik bahan makanan dan komposisi zat-zat yang terkandung dalam bahan makanan (Anggorodi 1995). Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa tingkat energi dalam bahan makanan akan mempengaruhi banyaknya makanan yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum yang dipengaruhi oleh faktor dari hewan itu sendiri makanan yang diberikan dan lingkungan sekitarnya (Parakkasi 1999). Kebutuhan protein bagi satwa dapat dilihat dari nitrogen yang dihasilkan dalam urin dalam hal ini nitrogen pada urin merupakan hasil dari proses katabolisme dalam jaringan tubuh (Moen 1973). Dalam metabolisme basal perbandingan N (mg) yang terdapat dalam urin (Endogenous Urine Nitrogen EUN) dengan kebutuhan energi dalam kcal adalah 2 atau setiap kalori yang digunakan oleh proses fisiologi tubuh satwa akan menghasilkan 2 mg N dalam urinnya dimana W adalah bobot badan dalam kg. Banyaknya EUN (Qeun) setiap hari (g) dalam keadaan metabolisme basal: x 70 (W.kg ) Qeun = (Moen 1973) 1000

57 40 Metabolisme basal merupakan aktivitas metabolik yang dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh yang hidup dan fungsi pokok sestabil mungkin. Perhitungan penggunaan energi basal dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen (dan produksi CO 2 dan ekskresi N) setelah hewan dipuasakan (Linder 2006). Metabolisme Metabolisme merupakan semua reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh yang memerlukan dan melepaskan energi sehingga terjadi keseimbangan antara pembentukan (anabolisme) dan penguraian (katabolisme) (Tortora dan Anagnostakos 1990). Proses penguraian dan pembentukan kembali zat makanan di dalam tubuh tersebut dimulai dengan tahap pemasukan zat gizi yang dalam keadaan normal melalui proses makan (Irianto 2005). Piliang dan Djojosoebagio (2006) menyatakan bahwa metabolisme dalam tubuh berfungsi menghasilkan energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari dan untuk produktivitas. Kebanyakan nutrisi dalam makanan harus dibuat lebih kecil dipecah atau dibuat lebih larut sebelum diabsorbsi oleh saluran pencernaan. Nutrisi utama dalam makanan yang dibutuhkan tubuh yakni karbohidrat lemak protein mineral vitamin dan air (Beyer 2004). Nutrisi tersebut merupakan substansi kimia dalam makanan yang menyediakan energi pembentuk komponent tubuh yang baru atau membantu berbagai proses fungsi tubuh (Tortora dan Anagnostakos 1990). Metabolisme Lipid Lipid yang terdapat dalam makanan sebagian besar berupa lemak sehingga metabolismenya merupakan metabolisme lemak. Pada dasarnya lipid merupakan konduktor panas yang jelek sehingga lipid dalam tubuh mempunyai fungsi untuk mencegah terjadinya kehilangan panas dari tubuh. Makin banyak lemak makin baik fungsinya mempertahankan panas dalam tubuh. Selain itu lemak mempunyai fungsi melindungi organ-organ tubuh tertentu dari kerusakan akibat benturan dan goncangan. Lemak juga merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung vitamin A D E dan K serta merupakan sumber energi setelah karbohidrat (Winarno 1992; Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007).

58 41 Sebagian besar lemak dalam diet merupakan lemak netral yang juga dikenal sebagai trigliserida masing-masing molekul terdiri atas satu inti gliserol dan tiga asam lemak. Lemak netral ditemukan dalam makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam diet biasa juga terdapat sejumlah kecil fosfolipid kolesterol dan ester-ester kolesterol. Fosfolipid dan ester kolesterol mengandung asam lemak dan karena itu dapat dianggap sebagai lemak sendiri. Sebaliknya kolesterol merupakan senyawa sterol yang tidak mengandung asam lemak tetapi ia menunjukkan beberapa sifat fisika dan kimia lemak ia berasal dari lemak dan dimetabolisme sama seperti lemak. Oleh karena itu kolesterol dipandang dari segi makanan sehari-hari dianggap merupakan lemak (Guyton 1996). Lemak yang dapat dicerna di dalam lambung di bawah pengaruh lipase lambung 95 99% dari seluruh pencernaan lemak terjadi di dalam usus halus terutama di bawah pengaruh lipase pankreas. Emulsifikasi lemak oleh asam-asam empedu merupakan langkah pertama pencernaan lemak yakni dengan memecahkan butir-butir lemak menjadi ukuran-ukuran kecil sehingga enzimenzim pencernaan yang tidak larut dalam lemak dapat bekerja pada permukaan butiran. Proses ini dinamakan emulsifakasi lemak dan dicapai dibawah pengaruh empedu yang disekresikan ke dalam empedu oleh hati. Garam empedu berlaku sebagai deterjen yang sangat menurunkan tegangan antar permukaan lemak. Dengan tegangan antar permukaan yang rendah gerakan mencampur saluran pencernaan berangsur-rangsur dapat memecah globulus lemak menjadi partikel yang lebih halus disertai luas permukaan total lemak yang meningkat dua kali setiap kali terjadi penurunan diameter globulus lemak menjadi setengahnya (Guyton 1996). Dibawah pengaruh lipase pankreas kebanyakan lemak dipecah menjadi monogliserida asam-asam lemak dan gliserol. Walau lemak dalam jumlah sedang hanya dicerna sampai stadium gliserida dengan berlanjutnya proses hidrolisis lemak maka absorpsi lemak akan lebih baik seperti tercantum pada Gambar 8 (Guyton 1996).

59 42 Gambar 8 Pencernaan lemak (Guyton 1996). Sel epitel usus halus mengandung sejumlah kecil lipase yang dikenal sebagai lipase usus memberikan pengaruh yang sedikit dalam pencernaan lemak. Dalam proses pencernaan lemak menjadi misel peranan garam-garam empedu dalam mempercepat proses pencernaan tersebut penting. Hidrolisis trigliserida merupakan proses yang sangat reversible oleh karena itu penimbunan monogliserida dan asam lemak bebas sekitar lemak yang dicernakan sangat cepat menghambat pencernaan lebih lanjut. adanya garam empedu yang memegang peranan penting dalam menyingkirkan monogliserida dan asam lemak bebas dari sekitar butiran lemak yang sedang dicernakan hampir secepat hasil akhir pencernaan dibentuk (Guyton 1996). Selama pencernaan trigliserida secepat pembentukan monogliserida dan asam lemak bebas mereka larut dalam bagian lemak misel yang segera membuang hasil akhir pencernaan ini dari sekitar butiran lemak yang sedang dicernakan. Akibatnya proses pencernaan dapat berlangsung tanpa ada yang menghambat. Misel garam empedu juga bekerja sebagai media transpor untuk membawa monogliserida dan asam lemak bebas ke brush border sel epitel. Di sini monogliserida dan asam lemak bebas diabsorpsi. Setelah mengangkut zat-zat tersebut ke brush border garam empedu sekali lagi kembali lagi masuk kimus untuk digunakan berkali-kali dalam prose pengangkut tersebut (Guyton 1996). Lemak yang dicernakan membentuk monogliserida dan asam lemak bebas kedua zat hasil akhir pencernaan ini terutama larut dalam bagian lipid misel asam empedu. Karena ukuran molekul misel ini dan juga karena muatannya yang sangat besar dibagian luar menyebabkan larut dalam kimus. Dalam bentuk ini monogliserida dan asam lemak ditranspor ke permukaan sel epitel. Waktu kontak dengan permukaan ini monogliserida dan asam lemak keduanya dengan cepat

60 43 berdifusi melalui membran epitel meninggalkan misel sedangkan asam empedu tetap dalam kimus. Misel ini kemudian berdifusi kembali ke dalam kimus dan terus mengabsorpsi monogliserida dan asam lemak dan hal yang sama juga menstranspor zat-zat ini ke sel epitel. Jadi asam empedu melakukan fungsi pengangkut yang sangat penting untuk absorpsi lemak. Dengan adanya banyak asam empedu kira-kira 97% lemak di absorpsi; tanpa adanya asam empedu hanya 50 60% yang diabsorpsi dalam keadaan normal (Guyton 1996). Mekanisme absorpsi monogliserida dan asam lemak melalui brush border didasarkan bukti bahwa kedua zat tersebut sangat larut dalam lemak. Oleh karena itu mereka larut dalam membran dan berdifusi ke bagian dalam sel. Setelah masuk ke dalam sel epitel banyak monogliserida dicernakan lebih lanjut menjadi gliserol dan asam lemak oleh lipase sel epitel. Kemudian asam lemak bebas dibentuk kembali oleh retikulum endoplasma menjadi trigliserida. Hampir semua gliserol yang digunakan untuk tujuan ini disintesis denovo dari alfa-gliserofosfat. Akan tetapi sejumlah kecil gliserol asli dari monogliserida terdapat dalam trigliserida yang baru disintesis. Setelah terbentuk trigliserida terkumpul dalam butiran bersama dengan kolesterol yang diabsorpsi fosfolipid yang diabsorpsi dan fosfolipid yang baru disintesis. Masing-masing zat tersebut diliputi oleh selubung protein β lipoprotein yang digunakan juga disintesis oleh retikulum endoplasma. Massa berbutir ini bersama dengan selubung protein dikeluarkan dari sisi sel epitel masuk ruang intersel dan dari sini berjalan masuk lakteal sentral vili. Butiran seperti ini dinamakan kilomikron. Selubung protein kilomikron membuat mereka hidrofilik memungkinkan stabilitas suspensi yang layak dalam cairan ekstrasel (Guyton 1996). Metabolisme Protein Protein yang terdapat dalam makanan dicerna dalam lambung dan usus menjadi asam-asam amino yang diabsorbsi dan dibawa oleh darah ke hati. Sebagian asam amino diambil oleh hati sebagian lagi diedarkan ke dalam jaringan-jaringan di luar hati. Protein dalam sel-sel tubuh dibentuk dari asam amino. Bila ada kelebihan asam amino dari jumlah yang digunakan untuk biosintesis protein kelebihan asam amino akan diubah menjadi asam keto yang

61 44 dapat masuk ke dalam siklus asam sitrat atau diubah menjadi urea (Poedjiadi dan Supriyanti 2007). Pencernaan protein yang dimulai di dalam lambung dengan enzim pepsin yang memecah protein menjadi pentosa pepton dan polipeptida besar. Enzim ini hanya berfungsi dalam medium yang sangat asam yakni pada ph 2 sehingga sekresi asam hidroklorida dalam lambung sangat penting untuk proses pencernaan ini (Guyton 1996) seperti tercantum pada Gambar 9. Gambar 9 Pencernaan protein (Guyton 1996). Pepsin penting karena kesanggupannya untuk memecah kolagen suatu albuminoid yang sedikit dipengaruhi oleh enzim pencernaan lain. Protein dicerna lebih lanjut di dalam usus halus dibawah pengaruh enzim pankreas yakni tripsin kimotripsin dan karboksipolipeptidase. Produk akhir pencernaan ini adalah polipeptida kecil ditambah beberapa asam amino yang kemudian polipeptida kecil ini dicerna menjadi asam amino sewaktu berkontak dengan sel epitel usus halus. Karena sel ini mengandung beberapa enzim (peptidase) yang mengkonversi produksi protein sisanya menjadi protein (Guyton 1996). Selain mensintesis jaringan untuk membangun (pertumbuhan) dan memperbaiki sel yang rusak protein juga dapat menjadi sumber energi jika persediaan asam amino dalam tubuh melebihi kebutuhan maka kelebihannya dapat digunakan untuk menghasilkan energi dimana tiap gram protein menghasilkan 4 kkal (Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007). Estimasi kebutuhan protein dapat dilakukan dengan: (a) pengukuran N normal yang keluar melalui feses urin kulit keringat rambut untuk memperkirakan kebutuhan minimal dan (b) penelitian neraca dimana konsumsi

62 45 relatif dan yang hilang dibandingkan pada berbagai level konsumsi protein rendah untuk mengekstrapolasi menjadi kebutuhan minimal (Linder 2006). Metabolisme Karbohidrat Dalam makanan sumber utama karbohidrat yakni sukrosa yang merupakan disakarida yang telah dikenal sebagai gula tebu; laktosa yang merupaka disakarida dalam susu dan pati yang merupaka polisakarida besar yang terdapat hampir pada semua makanan dan khususnya dalam padi-padian. Pencernaan karbohidrat yakni dengan menghidrolisis pati menjadi maltosa (isomaltosa) yang merupakan disakarida dan bersama disakarida utama lain laktosa dan sukrosa dihidrolisis menjadi monosakarida glukosa galaktosa dan fruktosa (Gambar 10) (Guyton 1996). Gambar 10 Pencernaan karbohidrat (Guyton 1996). Hidrolisis pati dimulai di dalam mulut dibawah pengaruh enzim ptialin yang disekresikan di dalam saliva dari glandula parotidea. Asam hidroklorida lambung melakukan sedikit hidrolis tambahan yang akhirnya bagian utama hidrolisis terjadi di dalam bagian atas usus halus dibawah pengaruh enzim amilase pankreas. Enzim lakatase sukrase maltase dan isomatase untuk pemecahan disakarida terletak dalam mikrovili brus border sel epitel. Disakarida ini dicerna menjadi monosakarida sewaktu berkontak dengan mikrovili sewaktu berdifusi ke dalam mikrovili. Produk pencernaan monosakarida glukosa galaktosa dan fruktosa kemudian segera diabsorbsi ke dalam darah porta (Guyton 1996).

63 46 Tingkah Laku Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang disebabkan oleh berbagai faktor baik dari dalam tubuh maupun faktor luar. Tingkah laku tersebut perlu diamati agar dapat diketahui bagaimana hewan bereaksi atas suatu perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennet et al. 1995). Monyet ekor panjang merupakan hewan diurnal yang seluruh aktivitasnya dilakukan pada siang hari. Lindburg (1980) diacu dalam Pijoh (2006) mengklasifikasikan aktivitas harian monyet di alam sebagai berikut: 1) makan: aktivitas yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi pergerakan di antara sumber makanan biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak melakukan aktivitas apapun hanya diam atau tiduran; 4) berkelahi: aktivitas ini ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan menyerang memburu dan baku hantam: 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu terutama anak monyet. Bila orang memberi perlakuan menatap lama pada seekor monyet maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang tersebut akan menyerangnya sehingga monyet akan memberi respon dengan cara balas menatap dengan mulut terbuka dan dengkuran kemudian menyerang sambil berteriak memukul dan menggigit atau kemungkinan lainnya mereka menunjukkan reaksi patuh dengan tidak melihat menghindar atau meringis ketakutan (Vandenberg 2000 diacu dalam Pijoh 2006). Tingkah laku sebagai ekspresi suatu hewan yang disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor eksogenus endogenus pengalaman dan fisiologis (Suratmo 1979 diacu dalam Sari 2004). Aktivitas tingkah laku hewan di alam dan di kandang akan berbeda. Di kandang pola tersebut akan memunculkan tingkah laku abnormal dari hewan seperti stereotipe melukai diri sendiri maupun hiperagresif dan pola ini sangat berkaitan erat dengan ukuran dari kandang yang digunakan dimana ukuran kandang yang kecil lebih tinggi ditemukan tingkah laku abnormal dibandingkan dengan kandang yang

64 47 memiliki ukuran yang lebih kompleks (Kitchen dan Martin 1996). Röder dan Timmermans (2002) bahwa untuk mereduksi tingkah laku abnormal maka perlu pengkayaan laboratorium meliputi kondisi sosial ketentuan kandang dan teknik penyajian makanan. Honess et al. (2004) yang melakukan studi mengenai respon tingkah laku Macaca fascicularis pada transportasi melalui udara dan rehousing hasil penelitian dari tiga fase pengamatan menunjukkan bahwa tingkah laku yang paling dominan ditunjukkan yakni tingkah laku eksplorasi dan affiliatif (meliputi: presenting allogroming bermain dengan air dan di tempat duduk bermain dengan mainan manipulasi kadang/lingkungan) perawatan diri sendiri (meliputi: self groming minum dan makan) dan tingkah laku lainnya (meliputi: memperhatikan hewan lainnya urinasi defekasi bersin memperhatikan sekitarnya vokalisasi dan bersembunyi. Chrousos dan Gold (1992) diacu dalam Habib et al. (2000) bahwa poros kelenjar hipotalamus-adrenal dan sistem saraf simpatis memegang peranan dalam mengaktifkan pengaturan metabolisme dan kardiovaskular. Dan pada waktu yang sama berperan mengatur fungsi neurovegetative saat terjadi penurunan kemampuan bertahan hidup pada situasi yang terancam mekanisme endokrin untuk pertumbuhan dan reproduksi termasuk penggunaan energi untuk menghindari keadaan yang membahayakan. Disamping itu beberapa substrat neuroanatomik dan sistem hormonal memberikan kontribusi yang lebih besar pada tingkah laku neuroendokrin autonomik dan respon neurovegetative pada stres (Behan et al diacu dalam Habib et al. 2000). Habib et al. (2000) melihat peranan sistem hormonal dalam hubungannya dengan tingkah laku stres khususnya efek dari pemberian antalarmin untuk menghambat reseptor Corticotropin Releasing Hormon (CRH) tipe-1 dalam hubungannya dengan tingkah laku neuroendokrin dan komponen autonomi pada respon stres dari monyet rhesus (Macaca mulatta). Hasil yang diperoleh bahwa pemberian antalarmin secara nyata menghambat tingkah laku yang berhubungan dengan kecemasan dan rasa takut seperti menggigil menyeringai gigi berdecak urinasi dan defekasi terutama pada situasi dengan tingkat stres yang tinggi meningkatkan ekplorasi dan tingkah laku seksual dibandingkan tekanan stres

65 48 secara normal. Lebih lanjut disimpulkan bahwa CRH memiliki peranan yang besar pada respon fisiologis terutama cekaman psikologis pada primata serta menghambat peran reseptor CRH tipe-1 yang memiliki nilai tereupatik pada psikologi reproduksi dan kardiovaskuler pada manusia yang berhubungan dengan sistem hiperaktivitas dari CRH yang tidak teratur. Tingkah laku dari hewan juga sangat dipengaruhi oleh makanan sebagaimana Kaplan et al. (1994) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara makan berkolesterol aktivitas pusat serotogenik dan tingkah laku sosial pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) remaja. Hasil yang diperoleh bahwa hewan yang mengkonsumsi makanan rendah kolesterol lebih agresif kurang affiliatif dan mempunyai konsentrasi cairan cerebrospinal yang rendah dibandingkah dengan yang menkonsumsi makanan kolesterol tinggi dengan perbedaan yang nyata. Penelitian yang serupa dengan menggunakan spesies yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda pula dan sebagai tambahan bahwa makanan yang mengandung protein dapat mempengaruhi tingkah laku dan neurokimia otak fenomena ini relevan dengan pemahaman bahwa peningkatan kematian akibat kejadian kekerasan dan menyakiti diri sendiri ditemukan pada percobaan yang rendah koleterol.

66 49 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari 23 Februari 2009 sampai dengan 3 Juni 2009 di PT IndoAnilab Bogor. Penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pertama adalah pembentukan hewan model obes yang telah berlangsung selama satu tahun dan untuk penelitian ini tahap pertama dimulai dari 23 Februari sampai dengan 11 Maret 2009 yang kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua yakni intervensi nikotin (075 mg/kg bobot badan/12 jam) pada hewan coba obes tersebut dari 12 Maret sampai dengan 3 Juni 2009 (skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 11). Analisis hematologi dilakukan di Laboratorium Patologi dan Lipida Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB) sedangkan analisis sampel pakan feses dan urine dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Bogor. Materi dan Alat Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor panjang (MEP) jantan dewasa obes dengan umur 6 8 tahun sebanyak 15 ekor yang dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan perlakuan pakan masing-masing terdiri dari 5 ekor. Perlakuan dengan pakan A memiliki indeks massa tubuh (IMT) 2350 kg/m 2 perlakuan dengan pakan B memiliki IMT 2685 kg/m 2 dan perlakuan dengan pakan C memiliki IMT 2365 kg/m 2. Semua MEP yang dijadikan sebagai hewan percobaan telah mendapat pakan berenergi tinggi pada penelitian tahap pertama. Seluruh perlakuan yang melibatkan hewan model dilakukan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh Animal Care and Use Committee (ACUC) merupakan Komisi Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan dari PT IndoAnilab dengan nomor protokol: 04 IA ACUC 09 (Lampiran 1).

67 50 Pakan Perlakuan Pakan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pakan energi tinggi dengan formula yaitu pakan A sumber energi berasal dari tallow dan gandum; pakan B energi bersumber dari tallow kuning telur dan gandum; dan pakan C (monkey cow). Pakan A dan B adalah pakan yang bersumber dari bahan-bahan lokal sedangkan pakan C adalah pakan komersial produk pabrik. Pakan tersebut merupakan pakan yang digunakan pada penelitian tahap pertama yang bertujuan untuk pembentukan hewan model obes. Ketiga pakan yang diberikan tersebut sekaligus merupakan perlakuan yang selanjutnya ditambahkan nikotin (075 mg/kg bobot badan) (komposisi nutrisi formula pakan perlakuan pada Tabel 8). Selain mendapatkan pakan tersebut guna pengkayaan lingkungan (environmental enrichment) MEP juga mendapat pakan tambahan berupa buah pisang serta diberikan jambu dengan bobot 10 g/ekor/hari yang telah diberikan dalam bentuk beku karena sebelumnya telah dibekukan dalam lemari es selain itu pula pemberian air minum diberikan adlibitum. Tabel 8 Komposisi nutrisi formula pakan perlakuan Kandungan Nutrisi Pakan A Pakan B Pakan C Protein (%) Lemak (%) Serat Kasar (%) BETN (%) BK (%) Gross Energi (Kal/kg) Nikotin Cair (mg/kg) Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Bogor Intervensi nikotin yang diberikan yakni dengan dosis 075 mg/kg bobot badan/12 jam. Nikotin yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk cair yang dicampurkan pada saat pembuatan pakan nikotin yang digunakan setara dengan dosis yang diabsorpsi oleh manusia saat merokok 2 3 batang. Dosis fatal dari nikotin murni adalah mg/kg bobot badan. Dosis yang digunakan tersebut (075 mg/kg bobot badan/12 jam) merupakan dosis aman (MOS Margin of Safety) penggunaan nikotin. Pemberian nikotin dilakukan melalui pakan yang diberikan dua kali sehari. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ketamin alkohol 70% kapas dan H 2 SO 4 kertas label serta alat dan bahan untuk analisis proksimat.

68 51 Alat Alat yang digunakan adalah kandang individu metabolik stainless steel (squeeze back cage) untuk mempermudah pemeliharaan dan pengendalian dengan ukuran 06x06x09 m yang ditempatkan pada tempat tertutup dengan ventilasi yang cukup. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan tempat air minum yang ditempelkan diluar kandang serta tempat penampungan feses. Kandang di letakan sebaik mungkin agar masing-masing individu dapat saling berinteraksi. Selain itupula digunakan timbangan untuk menimbang bobot badan (merek Five Goats) dan pakan (Merek Acis) alat pencampur pakan pengukur tinggi duduk (tongkat ukur merek FHK) syringe 5 ml kotak pendingin tabung untuk koleksi feses dan urine CCTV (Closed Circuit Television) untuk pengamatan tingkah laku yang dipasang pada bagian depan kandang dan digeser untuk mendapatkan gambar tingkah laku selama penelitian. Metode Penelitian Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang tersarang dalam waktu dengan tiga perlakuan pakan dan empat perlakuan periode pengamatan (waktu) masing-masing perlakuan terdiri dari lima ulangan yang dianalisis dengan program SAS. Disamping itu pula digunakan análisis korelasi linear untuk melihat hubungan beberapa parameter yang diamati. Model matematik RAL yang digunakan sebagai berikut: Y ijk = µ + α i + ω j(i) + ε ijk Keterangan: Y ijk = respon pengamatan yang memperoleh perlakuan pakan level ke-i dan periode pengamatan (waktu) level ke-j pada ulangan ke-k µ = rata-rata umum α i ω j(i) ε ijk = pengaruh perlakuan pakan level ke-i = pengaruh periode pengamatan (waktu) level ke-j yang tersarang pada pakan level ke-i dan = galat percobaan yang disebabkan oleh perlakuan pakan level ke-i dan periode pengamatan (waktu) level ke-j pada ulangan ke-k.

69 52 MEP yang digunakan sebagai hewan percobaan merupakan hewan model obes yang telah mendapatkan pakan berenergi tinggi selama 1 tahun (Februari 2008 Februari 2009) karateristik dari MEP pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada skema penelitian (Gambar 11) berikut. Pelaksanaan penelitian sebelum dan selama intervensi nikotin Penelitian sebelumnya selama 1 tahun untuk pembentukan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai hewan model obes Penelitian pemberian nikotin Feb 2008 Mar 2008 Apr 2008 Mei 2008 Jun 2008 Jul 2008 Agt 2008 Sept 2008 Okt 2008 Nov 2008 Des 2008 Jan 2009 Feb 2009 Mar 2009 Apr 2009 Mei 2009 Jun 2009 Dilakukan aklimatisasi selama 2 minggu dan kemudian pemberian pakan (pakan A pakan B dan pakan C) selama 1 tahun (Februari 2008 Februari 2009) Diberi pakan (pakan A pakan B dan pakan C) + nikotin 075 mg/kg BB/12 jam Dilakukan pengukuran parameter: PBB IMT Hematologi Morfometrik dan Kecernaan IMT (Indek Massa Tubuh) A = 2488 kg/m 2 (pre obes) B = 2666 kg/m 2 (obes tipe I) C = 2355 kg/m 2 (pre obes) Dilakukan pengukuran parameter : PBB IMT Hematologi Morfometrik Kecernaan dan Tingkah laku IMT (Indek Massa Tubuh) A = 2350 kg/m 2 (pre obes) B = 2685 kg/m 2 (obes tipe I) C = 2365 kg/m 2 (pre obes) Dilakukan pengukuran parameter: PBB Berat Feses IMT Hematologi Kecernaan Tingkah laku Gambar 11 Riwayat penggunaan MEP sebagai hewan percobaan Prosedur Penelitian MEP yang digunakan berjumlah 15 ekor yang dibagi kedalam tiga perlakuan dengan jumlah ulangan masing-masing terdiri dari 5 ekor dengan karakteristik obesitas yakni perlakuan A dengan IMT 2350 kg/m 2 (pre obes) perlakuan B dengan IMT 2685 kg/m 2 (obes Tipe I) serta perlakuan C dengan IMT 2365 kg/m 2 (pre obes) berdasarkan kriteria obes untuk orang Asia (Tabel 1). Penelitian untuk mendapatkan monyet obes tersebut dimulai dari Februari 2008 Februari 2009 dengan masa aklimatisasi 2 minggu kemudian diberi perlakuan pemberian pakan yakni pakan A pakan B dan pakan C (monkey cow) dengan kandungan nutrisi seperti ditampilkan pada Tabel 8. Sebelum diintervensi dengan nikotin dilakukan pengamatan pada semua parameter yang diamati (23 Februari 11 Maret 2009) dan mulai tanggal 12 Maret 3 Juni 2009 dilakukan intervensi nikotin cair dan kemudian dilakukan pengamatan

70 53 untuk semua parameter yang diamati dengan pengukuran masing-masing parameter dilakukan setiap empat minggu. Sebagaimana dalam hipotesis awal bahwa pemberian nikotin dapat menurunkan obesitas yang ditandai perubahan indeks masa tubuh (IMT) termasuk perubah tingkah laku maupun kondisi fisiologi dari hewan coba. Untuk itu penelitian ini dibagi dalam dua bagian guna membandingkan perubahan tersebut setelah intervensi nikotin. 1. Pertama yakni pengumpulan data pada bulan pertama untuk semua parameter yang diamati sebelum diintervensi nikotin yang merupakan data awal (B1). 2. Kedua yakni pengamatan pada semua parameter yang diamati selama intervensi nikotin yang dilakukan setiap bulan selama tiga bulan (B2 yakni satu bulan setelah intervensi nikotin; B3 yakni dua bulan setelah intervensi nikotin dan B4 yakni tiga bulan setelah intervensi nikotin). Berdasarkan penjelasan di atas maka bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 12 berikut. Monyet Ekor Panjang (MEP) (Macaca fascicularis) Pakan A (energi tinggi bersumber dari tallow dan gandum) Kriteria Pra Obes (IMT= 2350) Pakan B (energi tinggi bersumber dari tallow kuning telur dan gandum) Obes (IMT= 2685) Pakan C (monkey chow protein tinggi) Pra Obes (IMT= 2365) MEP telah diberi pakan A B dan C selama 12 bulan (Februari 2008 Februari 2009) untuk menjadikan MEP menjadi obes Pengamatan Pertama Peubah: 1. Hematologi 2. Nilai kecernaan o Perubahan bobot badan o Konsumsi pakan harian o Kecernaan Bahan Kering o Konsumsi nutrien o Koefisien kecernaan o TDN o Energi termetabolisme 3. Tingkah laku MEP obes yang diberi pakan A B dan C sebelum diintervensi nikotin selama 1bulan (Februari-Maret 2009) Analisis Interpretasi data Hasil dan kesimpulan Pengamatan Kedua MEP obes yang diberi pakan A B dan C dengan intervensi nikotin 075 mg/kg bobot badan/12 jam melalui pakan selama 3 bulan (Maret-Juni 2009) Gambar 12 Bagan alir penelitian penggunaan MEP

71 54 Pembuatan Pakan dan Penambahan Nikotin Pembuatan pakan A dan B dilakukan setiap minggu dengan bahan terdiri dari gandum gula tallow (lemak hewan) minyak goreng tepung ikan tepung maizena bungkil kedelai dedak padi agar-agar CMC (carboxymethyl cellulose) mineral mix kalsium karbonat kalsium fosfat serta kuning telur. Sedangkan untuk pakan C menggunakan monkey chow yang merupakan pakan berbentuk biskuit padat kering dan agak keras dengan kandungan protein dan energi yang tinggi. Perbedaan antara pakan A dan B yakni adanya penambahan kuning telur pada pakan B sedangkan pakan A tidak memiliki kuning telur. Penambahan nikotin cair dilakukan saat pembuatan pakan dengan dosis didasarkan pada rataan umum bobot badan untuk masing-masing perlakuan. Untuk pakan C monkey chow terlebih dahulu dihancurkan menjadi remah-remah kemudian ditambahkan dengan nikotin cair yang kemudian dibentuk menjadi padatan dengan berat 50 g/biji. Untuk pakan A dan B padatan dibuat dengan berat 30 g/biji. Sebelum dicampur dalam pakan nikotin yang digunakan terlebih dahulu dihitung jumlahnya (dalam setiap ml cairan mengandung 04 mg nikotin) adapun formula untuk mengetahui jumlah dosis nikotin yang dicampurkan pada saat pembuatan pakan yakni: kp jb Jumlah nikotin cair (ml) = ( x. dp) x 2 Keterangan : x = rata-rata umum bobot badan MEP setiap perlakuan dp = dosis nikotin yang digunakan (075 mg/kg bobot badan) kp = jumlah kg pakan yang dibuat (g) dan jb = berat per biji dari pakan yang dibuat menjadi padatan. Untuk pakan A dan B dalam sekali pembuatan yakni 15 kg dengan berat per biji yang dibuat padatan yakni 30 g. Dari formula tersebut dapat diketahui jumlah nikotin (ml) yang digunakan dikalikan dengan 2 hal ini karena dalam setiap 1 ml cairan mengandung 04 mg nikotin sehingga untuk mendapatkan dosis 075 mg/kg bobot badan harus setara dengan 2 ml cairan nikotin. Untuk pakan C dalam sekali pembuatan pakan yakni 5 kg dengan berat per biji yang dibuat padatan yakni 50 g.

72 55 Penimbangan Bobot Badan dan Pengambilan Sampel Darah Sebelum penimbangan bobot badan monyet terlebih dahulu dibius dengan ketamin (10 mg/kg secara intramuskuler) (Unwin 2005). Setelah itu dilakukan penimbangan bobot badan yang kemudian dilanjutkan pengambilan darah pada daerah vena femoralis menggunakan syringe 5 ml yang kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan EDTA. Penimbangan bobot badan dan pengambilan sampel darah dilakukan setiap satu bulan. Disamping penimbangan bobot badan juga dilakukan pengukuran tinggi duduk untuk mendapatkan nilai indeks massa tubuh (IMT) karena data IMT merupakan data pendukung untuk mengetahui respon dari nikotin cair yang diberikan terhadap perubahan kondisi tubuh dari MEP dalam hal ini obesitas. Pengamatan Sampel Darah Sampel darah yang berada dengan antikoagulan EDTA dimasukkan ke dalam kotak pendingin yang berisi es dan kemudian dilakukan analisis hematologi di Laboratorium Patologi dan Lipida Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB). Parameter hematologi diukur dengan menggunakan Hematology Analyzer (Nihon Kohden Hematology Veterinary). Pengamatan Kecernaan Zat-zat Makanan Konsumsi Pakan Pakan diberikan dua kali sehari yakni pada pagi hari jam 8.00 WIB dan siang hari jam WIB yang sebelumnya ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat awalnya disamping itupula pakan yang tersisa atau yang tidak terkonsumsi oleh monyet pada pagi berikutnya juga ditimbang. Selisih antara berat pakan awal dikurangi dengan pakan sisa atau yang tidak terkonsumsi pada pagi berikutnya merupakan jumlah konsumsi harian dari hewan percobaan yang dinyatakan dalam gram. Koleksi Feses dan Penyimpanan Sampel Feses Feses harian (g/hr) yakni diperoleh melalui pengumpulan feses secara komposit. Pengumpulan feses segar dilakukan setiap hari pukul WIB saat

73 56 pembersihan dan pemberian makanan setelah ditimbang beratnya kemudian diambil 10% dari berat segarnya yang kemudian diletakkan dalam tabung untuk kemudian disimpan pada suhu -20 C sampai dilakukan analisis. Feses yang terkumpul selama penelitian kemudian dikering ovenkan pada suhu 60 C kemudian ditimbang kembali serta dilakukan penggilingan untuk kemudian dianalisis proksimat. Koleksi Urine dan Penyimpanan Sampel Urine Sampel urine dikoleksi dari baki penampungan urine yang berada di bawah kandang metabolik individu. Koleksi urine dilakukan setiap hari pada saat pembersihan dan pemberian makanan pada jam WIB (bersamaan dengan koleksi feses). Pemisahan antara feses dan urine dilakukan dengan menggunakan kain kasa yang ditempatkan di atas baki penampung urine dimana feses akan tertahan pada kain kasa sedangkan urine akan turun ke bawah dan tertampung dalam baki penampungan. Urine yang tertampung tersebut kemudian disedot dengan menggunakan spuit. Selanjutnya spesimen urine sebanyak 2 ml dituangkan ke dalam tabung dan diberi keterangan (nomor kandang perlakuan serta waktu pengambilan) kemudian disimpan pada suhu -20 C sampai dilakukan analisis berikutnya. Untuk menghindari adanya kehilangan N urine yang menguap dalam bentuk amonia maka ke dalam spesimen urine ditambahkan dua tetes H 2 SO 4 (3 M). Pengamatan Tingkah Laku Pengamatan tingkah laku dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tingkah laku monyet ekor panjang yang diberi pakan berenergi tinggi pada kondisi obes Tipe 1 dan pra obes sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin (075 mg/kg bobot badan/12 jam). Pengamatan tingkah laku menggunakan alat bantu monitor dan perekam berupa Closed Circuit Television (CCTV). Perekaman seluruh aktivitas MEP dilakukan dilakukan dengan Metode Kontinyu yaitu dilakukan perekaman sepanjang hari satu kali 24 jam dan pengamatan individu menggunakan metode Focal Animal Sampling yaitu metode pencatatan tingkah laku dengan mengamati hewan tertentu yang menjadi fokus pengamatan (Altman 1974). Pengamatan dilakukan dengan interval 30 menit dengan urutan

74 57 pengamatan dilakukan secara acak. Pencatatan meliputi jenis tingkah laku yang dilakukan waktu melakukan jenis tingkah laku durasi persentase dan jumlah waktu observasi setiap hewan. Peubah yang Diamati 1. Hematologi meliputi hemoglobin (g/dl) hematokrit (%) eritrosit (10 6 /ml) platelet (10 9 /L) leukosit (10 3 /ml) diferensiasi leukosit (%) dan indeks sel darah merah meliputi MCV; Mean Corpuscular Volume (fl) MCH; Mean Corpuscular Hemoglobin (pg) dan MCHC; Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (g/dl) yang diukur dengan menggunakan Hematology Analyzer (Nihon Kohden Hematology Veterinary). 2. Nilai kecernaan yakni dilakukan analisis kimia feses meliputi protein lemak serat kasar dan BETN dan melakukan pengukuran parameter berikut: a. Perubahan bobot badan monyet ekor panjang di ukur pada setiap individu di peroleh dari penimbangan yakni selisih bobot badan awal (kg) dengan bobot badan akhir setiap periode (per bulan). b. Konsumsi ransum harian (g/hr) merupakan jumlah konsumsi ransum dalam sehari yang diperoleh dengan cara menghitung selisih jumlah makanan yang diberikan (g) - jumlah makanan yang tersisa (g) c. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) yang dinyatakan dalam gram. d. Konsumsi nutrien (g/ekor): konsumsi nutrien didapat dari mengkalikan konsumsi bahan kering makanan dengan persentase zat-zat makanan yang terkandung dalam setiap bahan makanan hasil analisis proksimat e. Koefisien kecernaan (%) merupakan gambaran dari kemampuan hewan mencerna pakan yang diberikan. f. Total Digestible Nutrient (TDN) g. Energi metabolisme 3. Tingkah laku meliputi waktu melakukan jenis tingkah laku durasi persentase dan jumlah waktu observasi setiap hewan. Adapun jenis tingkah laku yang diamati tersebut disajikan pada Tabel 9.

75 58 Tabel 9 Peubah tingkah laku yang diamati selama penelitian Aktivitas Tingkah laku Deskripsi Ingestif Makan proses mengambil makanan memasukkan dan mengunyah makanan. Minum aktivitas minum yang meliputi teknik mengambil minum posisi badan saat minum. Eliminasi membuang kotoran baik dalam bentuk padatan (feses) maupun dalam bentuk cairan (urine) meliputi posisi untuk kencing maupun defekasi Tingkah laku Sosial Kontak/sentuhan kontak pisik dengan kandang (tidak termasuk waktu yang dihabiskan untuk selfgrooming) Self grooming membersihkan atau merawat bulu sendiri dengan tangan atau mulut Agonistik tingkah laku agonistik yang dilampiskan ke kandang Menatap tingkah laku yang dilakukan dengan melihat individu lain baik dalam bentuk mengancam atau tidak Lokomosi pengukuran semua bentuk lokomosi Analisis Data Hematologi Data hematologi yang diperoleh ditabulasi dan disajikan dalam rataan simpangan baku dan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dengan taraf nyata 5%. Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan berbeda nyata (p<005) maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie 1993). Sebagai tambahan nilai hematologi akan diinterpretasikan secara deskriptif dengan perbandingan berdasarkan kondisi fisiologis dari hewan. Perhitungan indeks sel darah merah sebagai berikut: MCV (Mean Cell Volume atau Mean Corpuscular Volume) MCV yang mengindikasikan rata-rata volume sel-sel darah merah didapatkan dari perbandingan antara volume sel darah merah dengan jumlah selsel darah merah Hematokrit x 10 MCV (fl) = -6 Jumlah Eritrosit per ml darah x 10 MCH (Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin) MCH yang mengekspresikan rata-rata bobot hemoglobin di dalam sel-sel darah merah didapatkan dari rasio antara berat hemoglobin dalam ml darah dengan jumlah sel darah merah dalam mm darah per 100 ml. Hemoglobin (g/dl) x 100 MCH (pg) = -6 Jumlah Eritrosit per ml darah x 10

76 59 MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) MCHC yang mengekspresikan rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam sel-sel darah merah didapatkan dari rasio antara hemoglobin (g/100 ml darah) dengan hematokrit per 100 ml Hemoglobin (g/dl) x 100 MCHC (%) = Hematokrit (ml/dl) Nilai Kecernaan Data nilai kecernaan yang diperoleh ditabulasi dan disajikan dalam rataan simpangan baku yang kemudian dianalisis secara desktiptif dan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dengan taraf nyata 5%. Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan berbeda nyata (p<005) maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie 1993). Kecernaan Bahan Kering (KCBK) (g) dihitung dengan rumus: KCBK (g) = Koefisien kecernaan (%) Σ zat makanan dikonsumsi(g) Σ zat makanan dalamfeses(g) Σ zat makanan dikonsumsi(g) KZM - ZMF KKC (%) = x100% KZM Keterangan : KKC KZM ZMF = koefisien kecernaan = koefisien zat-zat makanan dan = zat-zat makanan yang ditemukan kembali dalam feses. Jumlah zat-zat makanan dalam feses = jumlah feses x persentase bahan kering feses x persentase zat makanan dalam feses. Total Digestible Nutrient (TDN) yang dihitung berdasarkan rumus Persentase TDN = %PKdd + %SKdd + %BETNdd + (225 x %LKdd) Keterangan : PKdd SKdd BETNdd LKdd (Tillman dkk. 1989) = protein kasar dapat dicerna = serat kasar dapat dicerna = BETN dapat dicerna dan = lemak kasar dapat dicerna.

77 60 Energi metabolisme Energi metabolisme ditentukan dengan metode koleksi total yakni dengan menentukan energi total yang terkandung dalam pakan dan ekskreta (feses dan urine). Energi metabolisme ditentukan dengan rumus: B = S (F + U) Keterangan : B = energi rmetabolisme (kkal) S = jumlah energi yang dikonsumsi (kal/g) F = energi yang hilang melalui feses (kal/g) dan U = energi yang hilang melalui urin (kkal). (Sturkie 1976). Energi dalam urine dihitung berdasarkan petunjuk Crampton dan Harris (1969) serta Ranjhan (1980) yakni jumlah N (mg) urine dikalikan dengan 745 kkal. Tingkah Laku Semua pola tingkah laku yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dihitung persentase jumlah waktu serta frekuensi masing-masing tingkah laku tersebut yang kemudian dianalisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dengan taraf nyata 5%. Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan berbeda nyata (p<005) maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan yang kemudian diinterpresikan berdasarkan pola tingkah laku yang teramati. Korelasi Untuk melihat hubungan tingkah laku dengan nilai hematologi maupun nilai kecernaan dilakukan analisis korelasi (Gomez dan Gomez 2007) yang kemudian diinterpretasikan secara deskriptif. r = Sxy 2 2 S x Sy Keterangan : r = koefisien korelasi Sxy = kovarian antara x dan y S 2 x = ragam x dan 2 S y = ragam y.

78 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang bertujuan untuk mendapatkan hewan model obes yang telah berlangsung selama satu tahun (Februari 2008 Februari 2009) sehingga hewan coba telah teradaptasi dengan lingkungan penelitian dan telah mengalami obesitas. Penelitian ini menggunakan fasilitias dari PT IndoAnilab pada ruang tertutup dengan ventilasi yang baik dan akses terbatas. Kondisi lingkungan selama penelitian menunjukkan rata-rata kelembaban udara yakni 68±835% dengan rata-rata suhu ruangan yakni 2866±174 C. Selama penelitian berlangsung hewan percobaan dikontrol kondisi kesehatannya oleh dokter hewan yang berwenang dan setiap bulan dilakukan pemberian anti TBC dengan tuberkulin yang diberikan melalui injeksi subkutan pada kelopak mata serta pemberian obat-obatan untuk menjaga kondisi kesehatan hewan tersebut. Pemberian pakan dan air minum dilakukan setelah pembersihan kandang yakni sekitar pukul WIB pada pagi hari dan pada siang hari sekitar pukul WIB disamping pemberian pakan perlakuan hewan coba juga diberikan pengkayaan lingkungan (environmental enrichment) terutama pengkayaan pakan yakni dengan pemberian buah-buahan (pisang dan jambu biji). Hematologi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi nikotin sebagai upaya mengatasi masalah obesitas memberikan pengaruh pada gambaran darah. Hal ini ditunjukkan melalui pengamatan hematologi yang meliputi jumlah sel darah merah (SDM) sel darah putih (SDP) kadar hemoglobin (Hb) nilai hematokrit (Hct) indeks sel darah merah (MCV; Mean Corpuscular Volume MCH; Mean Corpuscular Hemoglobin dan MCHC; Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) platelet dan diferensiasi sel darah putih. Gambaran hematologi penelitian ini ditampilkan pada Tabel 10.

79 62 Tabel 10 Rataan nilai hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Hematologi Bulan Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C B1 605 ± 027 A 627 ± 036 A 598 ± 067 A SDM B2 626 ± 046 A 642 ± 067 A 603 ± 033 A (10 6 Y X /ml) B3 366 ± 041 B 454 ± 056 B 469 ± 055 B X B4 352 ± 040 B 453 ± 029 B 473 ± 036 B B ± ± ± 123 Hb B ± ± ± 094 Z X (g/dl) B ± ± ± 123 Y B ± ± ± 100 B ± 130 A 3774 ± 246 A 3782 ± 400 A Hct B ± 337 A 3840 ± 348 A 3782 ± 294 A Y X (%) B ± 287 B 3136 ± 407 B 3264 ± 401 B X B ± 273 B 3146 ± 216 B 3300 ± 269 B B ± 209 B 6030 ± 317 C 6330 ± 261 B MCV B ± 216 B 5986 ± 323 C 6264 ± 261 B Z Y (fl) B ± 027 A 6806 ± 239 B 6950 ± 049 A X B ± 016 A 6950 ± 058 A 6968 ± 054 A B ± 095 B 1958 ± 142 B 2046 ± 119 B MCH B ± 087 B 1988 ± 154 B 2070 ± 073 B x xy (pg) B ± 242 A 2864 ± 202 A 2630 ± 145 A y B ± 275 A 2916 ± 155 A 2612 ± 089 A B ± 074 A 3246 ± 083 B 3230 ± 080 B MCHC B ± 108 A 3314 ± 107 B 3304 ± 041 B X Y (g/dl) B ± 355 B 4142 ± 313 A 3784 ± 222 A Z B ± 393 B 4196 ± 218 A 3748 ± 144 A B ± 9563 A ± 5499 A ± 9391 A Platelet B ± 4094 A ± 2804 B ± 9927 A (10 9 Y Y /L) B ± 3597 B ± 3073 A ± 5529 B X B ± 3134 B ± 611 C ± 4442 B B1 606 ± ± ± 362 SDP B2 652 ± ± ± 408 (10 3 /ml) B3 616 ± ± ± 276 B4 568 ± ± ± 252 Keterangan: SDM = sel darah merah Hb = hemoglobin Hct = hematokrit MCV = mean corpuscular volume MCH = mean corpuscular hemoglobin dan MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration. SDP = sel darah putih Huruf (X Y Z) yang berbeda pada baris dan (A B C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda sangat nyata (P<001). Huruf (x y z) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<005). Hasil analisis statistik nilai hematologi dirinci sebagai berikut ini. Sel Darah Merah Sel darah merah memiliki peranan dalam sirkulasi karena fungsinya yang mengikat oksigen dan mengedarkannya keseluruh jaringan tubuh. Nilai sel darah merah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 13.

80 63 sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Nilai Sel Darah Merah (10 6 /ml) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 13 Histogram perubahan nilai sel darah merah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 13 ternyata intervensi nikotin 075 mg/kg bobot badan/12 jam dapat menurunkan jumlah sel darah merah seiring dengan pertambahan waktu intervensi nikotin yang diberikan. Penurunan sel darah merah selama intervensi nikotin yakni 2595% pada perlakuan A 1765% (perlakuan B) dan 1388% pada perlakuan C. Berdasarkan hasil analisis statistik penurunan tersebut menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<001) baik antar perlakuan pakan maupun perbedaan waktu pengamatan. Rataan nilai sel darah merah sebelum intervensi nikotin relatif sama dengan yang dilaporkan Andrade et al. (2004) pada Macaca fascicularis jantan dewasa sekitar 63±06 juta/ml sedangkan selama intervensi nikotin sel darah merah yang diperoleh lebih rendah dari yang dilaporkan Andrade et al. (2004). Dari Tabel 10 dapat dilihat rataan nilai sel darah merah menurun selama penelitian pada semua perlakuan namun kemudian relatif konstan pada dua bulan setelah intervensi nikotin (B3) dan tiga bulan setelah intervensi nikotin (B4). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwan terjadi penurunan yang berbeda sangat nyata (P<001) namun jumlah sel darah merah masih dalam kisaran normal untuk satwa primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002). Ganon (1985) menyatakan bahwa sel darah merah (eritrosit) dibentuk di dalam sumsum tulang dengan kecepatan yang sama dengan rusaknya sel yang lama. Penurunan jumlah sel darah merah ini masih dapat diatasi oleh tubuh kondisi ini berkaitan dengan

81 64 efek fisiologis dimana jumlah eritrosit selalu diusahakan dalam kisaran normal (homeostasis). Nilai rataan sel darah merah pada semua perlakuan sebelum intervensi nikotin relatif sama hal ini memberikan arti bahwa perbedaan nilai nutrisi pada pakan yang diberikan tersebut tidak menyebabkan proses fisiologis terganggu terutama proses eritropoietin sebagaimana Phillis (1979) bahwa bentuk dan jumlah sel darah merah bervariasi dan dipengaruhi oleh spesies umur kondisi tubuh jenis kelamin asupan makanan dan lingkungan. Penurunan nilai rataan sel darah merah sangat nyata (P<001) pada semua perlakuan akibat intervensi nikotin walaupun masih dalam kisaran normal penurunan nilai sel darah merah tersebut dapat disebabkan oleh kebutuhan oksigen dari hewan percobaan telah terpenuhi dengan baik akibat intervensi nikotin. Efek nikotin yang memiliki interaksi dengan reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) memiliki peranan pada kontrol pusat respirasi yang memegan peranan penting dalam pernafasan (Narahashi et al. 2000; Shao dan Feldman 2001) efek nikotin tersebut mampu meningkatkan frekuensi respirasi hingga 280% (Shao dan Feldman 2001). Adanya efek nikotin yang mampu meningkatkan frekuensi respirasi tersebut menyebabkan pasokan oksigen ke dalam tubuh jumlahnya terpenuhi. Sebagaimana Guyton (1993) bahwa jika kebutuhan oksigen jaringan telah terpenuhi maka konsentrasi O 2 tersebut akan menjadi feed back negative untuk menurunkan jumlah sel darah merah. Disamping itu pula penurunan nilai sel darah merah yang terjadi belum memberikan gangguan pada hewan penelitian. Hal ini karena kadar hemoglobin tidak mengalami penurunan seiring dengan penurunan nilai sel darah merah sehingga kebutuhan oksigen bagi tubuh baik kapiler maupun seluler tetap terpenuhi yang berakibat pada aktivitas tubuh tetap terjaga. Hemoglobin Rataan nilai hemoglobin monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 14. Berdasarkan hasil pengukuran kadar hemoglobin menunjukkan bahwa selama intervensi nikotin kadar hemoglobin meningkat dan relatif konstan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 14.

82 65 sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Kadar Hemoglobin (g/dl) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 14 Histogram perubahan kadar hemoglobin monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Kadar hemoglobin yang diperoleh relatif tidak berbeda dengan kisaran normal kadar hemoglobin sebagaimana yang dilaporkan Matsumoto et al. (1980) sebesar 121±09 g/dl dan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 136±091g/dl. Secara statistik kadar hemoglobin tersebut tidak berbeda nyata (P>005) berdasarkan perbedaan waktu pengamatan (lamanya intervensi nikotin) namun berbeda sangat nyata (P<001) berdasarkan perbedaan pakan. Selama intervensi nikotin Hb mengalami peningkatan yakni 160% (perlakuan A) 555% (perlakuan B) dan 136% (perlakuan C) dan nilai tersebut tidak berbeda nyata (P>005) berdasarkan lamanya intervensi nikotin. Kadar hemoglobin yang diperoleh selama intervensi nikotin ini berbanding terbalik dengan nilai sel darah merah dan nilai hematokrit. Sebagaimana Coles (1980) menyatakan bahwa penurunan dan peningkatan hemoglobin setara dengan penurunan sel darah merah karena hemoglobin merupakan pigmen darah pembawa oksigen dalam sel darah merah (eritrosit) dimana derajat penurunan dalam tingkat total hemoglobin tergantung pada jumlah sel darah merah yang hilang. Tabel 10 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan nilai sel darah merah selama intervensi nikotin namun kadar hemoglobinnya relatif normal sebagaimana yang dinyatakan Matsumoto et al. (1980) dan Andrade et al. (2004).

83 66 Keadaan tersebut memberikan arti bahwa penurunan nilai sel darah merah tidak dibarengi dengan penurunan kadar hemoglobin hal ini dapat dilihat dari nilai MCH dan MCHC yang merupakan ukuran kepekatan hemoglobin cenderung mengalami peningkatan. Normalnya atau tidak terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat disebabkan oleh nilai nutrisi dari pakan terutama konsumsi protein yang dibarengi oleh tingkat kecernaan dari protein tersebut. Kondisi lain yang diduga menyebabkan normalnya kadar hemoglobin tersebut adalah efek fisiologis untuk mempertahankan keadaan homeostasis dari tubuh penurunan SDM direspon oleh tubuh dengan mempertahankan kadar hemoglobin sehingga suplai oksigen bagi tubuh tetap terjaga sehingga tidak terjadi keadaan hipoksia. Secara statistik menunjukkan bahwa nutrisi pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<001) dan ternyata mampu mempertahankan kondisi homeostasis tersebut terutama mempertahankan kadar hemoglobin nilai nutrisi terutama protein memberikan pengaruh yang sangat berarti. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa konsumsi protein berhubungan dengan pembentukan hemoglobin. Selain protein konsumsi karbohidrat juga mempengaruhi pembentukan hemoglobin walaupun tidak signifikan (Boeing et al. 2000). Sebagai tambahan bahwa normalnya kadar hemoglobin selama intervensi nikotin dapat disebabkan oleh nikotin itu sendiri sebagaimana Cuming (2003) dan Nedergaard et al. (2003) bahwa induksi nikotin dalam dosis rendah memungkinkan peningkatan kadar hemoglobin. Hematokrit Hematokrit (Hct) atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Pada kondisi normal jumlah Hct sebanding dengan jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar 1986). Adapun konsentrasi nilai hematokrit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa persentase sel darah merah dalam seluruh volume darah merah mengalami penurunan selama intervensi nikotin.

84 67 sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi Hematokrit (%) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 15 Histogram perubahan konsentrasi hematokrit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Lamanya periode pemberian secara statistik berbeda sangat nyata (P<001) terhadap persentase hematokrit demikian juga pengaruh pakan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<001) terhadap persentase hematokrit. Penurunan hematokrit selama intervensi nikotin tersebut yakni 1820% (perlakuan A) 1060% (perlakuan B) dan 881% (perlakuan C). Nilai persentase hematokrit ini lebih rendah seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004) dan yakni sebesar 398±27% pada monyet ekor panjang jantan. Nilai hematokrit seperti yang dapat dilihat pada Gambar 15 mengalami penurunan dengan derajat yang sangat nyata (P<001) namun masih dalam kisaran normal sebagaimana (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) yakni 24 43%. Indeks Sel Darah Merah (MCV MCH dan MCHC) MCV (Mean Corpuscular Volume) Mean Corpuscular Volume (MCV) atau volume sel darah merah rata-rata merupakan ukuran untuk menilai besar rata-rata sel darah merah yang diukur dalam satuan femto liter (fl). Nilai rataan MCV yang kecil menunjukkan bahwa ukuran sel darah merahnya lebih kecil dari ukuran normal yang biasanya disebabkan karena kekurang zat besi atau penyakit kronis. Sedangkan rataan nilai MCV yang besar dapat disebabkan oleh obat antiretroviral namun kondisi ini tidak berbahaya. MCV yang besar menunjukkan adanya anemia megaloblastik

85 68 dengan sel darah merahnya besar dan berwarna merah muda yang dapat disebabkan karena kekurangan asam folat (Yayasan Spritia 2008). Adapun rataan konsentrasi nilai MCV monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang diperlihatkan pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa nilai MCV mengalami peningkatan selama intervensi nikotin. sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi MCV (fl) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 16 Histogram perubahan konsentrasi MCV (Mean Corpuscular Volume) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Secara statistik peningkatan nilai konsentrasi MCV tersebut menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<001) baik antar perlakuan pakan maupun berdasarkan lamanya intervensi nikotin. Selama intervensi nikotin rataan nilai MCV mengalami peningkatan sebesar 1303% pada perlakuan A 913% pada perlakuan B dan 628% pada perlakuan C. Peningkatan nilai rataan MCV pada penelitian ini masih berada dalam kisaran normal dari rata-rata nilai MCV monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 637±651 fl dan lebih rendah dari hasil penelitian Chen et al. (2002) yang melihat rataan nilai MCV berdasarkan variasi bobot badan yakni sebesar 684±56 fl. Dari nilai MCV seperti yang ada pada Tabel 10 maupun Gambar 16 menunjukkan bahwa monyet ekor pajang yang digunakan dalam penelitian ini

86 69 baik sebelum intervensi nikotin maupun selama intervensi nikotin memperlihatkan nila MCV yang relatif normal (normocytic state). MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) atau hemoglobin sel darah merah rata-rata merupakan ukuran untuk menilai kepekatan hemoglobin yang dinyatakan dalam satuan picogram (pg). Adapun rataan konsentrasi nilai MCH monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang tertera pada Gambar 17 menunjukkan bahwa rataan nilai MCH mengalami peningkatan selama intervensi nikotin dan secara statistik peningkatan nilai konsentrasi MCH tersebut menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<005) antar perlakuan pakan dan berbeda sangat nyata (P<001) berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi MCH (pg) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 17 Histogram perubahan konsentrasi MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Peningkatan nilai MCH selama intervensi nikotin yakni sebesar 4690% pada perlakuan A 3224% pada perlakuan B dan 1913% pada perlakuan C. Nilai MCH yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 2157±211 pg. Robinson dan Huxtable

87 70 (1988) menyatakan bahwa nilai MCH sangat bergantung pada jumlah SDM sehingga nilai normalnya sangat bervariasi diantara spesies hewan. Karena nilai MCH menggambarkan tingkat kepekatan hemoglobin maka nilai MCH yang diperoleh dari penelitian ini juga cukup tinggi sebagai akibat dari tingginya rataan konsentrasi hemoglobin yang diperoleh dan disisi lain rataan nilai sel darah merah mengalami penurunan. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) juga digunakan untuk mengukur kepekatan dari hemoglobin. Adapun rataan konsentrasi nilai MCHC monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang tertera pada Gambar 18 menunjukkan bahwa rataan nilai MCHC mengalami peningkatan selama intervensi nikotin dan secara statistik peningkatan nilai konsentrasi MCHC tersebut menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<001) baik antar perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi MCHC (%) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 18 Histogram perubahan konsentrasi MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Rataan nilai MCHC tersebut mengalami peningkatan sebesar 2852% pada perlakuan A 1965% pada perlakuan B dan 1183% pada perlakuan C. Sebelum

88 71 intervensi nikotin rataan nilai MCHC relatif tidak berbeda seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 3409±030%. Namun selama intervensi nikotin nilai rataan tersebut meningkat dan peningkatan tersebut berbeda sangat nyata (P<001) baik antar perlakuan maupun antar waktu (lamanya intervensi nikotin). Sebagaimana MCH MCHC juga merupakan ukuran untuk menggambarkan tingkat kepekatan hemoglobin dalam hematokrit sehingga nilai MCHC juga meningkat seiring dengan lamanya intervensi nikotin sebagai akibat dari tingginya rataan konsentrasi hemoglobin yang diperoleh seiring dengan lamanya intervensi nikotin. Platelet Platelet atau trombosit merupakan salah satu sel darah yang memiliki ukuran paling kecil diantara sel darah lain platelet berperan dalam proses pembekuan darah ketika terjadi perlukaan jaringan (Guyton 1993). Adapun konsentrasi nilai platelet monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini seperti yang tercantum pada Gambar 19 bahwa terjadi penurunan jumlah platelet selama intervensi nikotin terutama pada perlakuan A dan C namun pada perlakuan B memiliki peningkatan. sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Nilai Platelet (10 9 /L) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 19 Histogram perubahan konsentrasi platelet monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

89 72 Penurunan dan peningkatan tersebut secara statistik menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<001) baik antar perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). Sebelum intervensi nikotin rataan nilai platelet berbeda sangat nyata (P<001) lebih tinggi dengan nilai rataan platelet selama intervensi nikotin penurunan rataan nilai platelet ini masih dalam kisaran normal seperti yang dilaporkan Mahoney (2005) pada beberapa spesies satwa primata yakni 260± ± /L. Selama intervensi nikotin penurunan jumlah platelet yakni 2475% pada perlakuan A dan 1452% pada perlakuan C. Perlakuan B mengalami peningkatan sebesar 127%. Penurunan rataan nilai platelet ini berbeda sangat nyata (P<001) antar perlakuan dimana perlakuan C memiliki rataan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya demikian pula perlakuan B lebih tinggi dari perlakuan A. Hal ini dapat disebabkan kandungan nutrien dari pakan yang diberikan sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 8 dimana perlakuan C memiliki protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perbedaan kandungan protein kasar pakan ini memperlihatkan rataan nilai platelet yang berbeda pula pakan yang memiliki protein kasar yang tinggi memperlihatkan rataan plateletnya juga tinggi sebagaimana Amador (1999) bahwa platelet memiliki lapisan membran berupa glikoprotein yang memiliki fungsi untuk berikatan pada dinding pembulu darah bila terjadi perlukaan berperan dalam pembentukan trombus. Jadi kandungan nutrisi pakan terutama protein kasar yang tercerna dalam tubuh menjadi penyebab peningkatan nilai platelet. Sel Darah Putih Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu benda darah yang memiliki aktivitas yang sangat mobile hal ini terkait dengan fungsinya yang menjaga sistem kekebalan tubuh (Guyton 1993). Sel darah putih memiliki fungsi yang vital dan spesifik yakni kemampuan fagositosis dan diapedesis. Adapun konsentrasi nilai sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 20.

90 73 sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Nilai Sel Darah Putih (10 3 /ml) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 20 Histogram perubahan konsentrasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa baik perlakuan A B dan C mengalami kecenderungan peningkatan rataan jumlah nilai sel darah putih pada empat minggu pertama intervensi nikotin dan pada empat minggu kedua dan ketiga terjadi perubahan. Pada perlakuan A dan C mengalami kecenderungan (trend) penurunan sedangkan perlakuan B masih mengalami kecenderungan peningkatan dan kemudian menurun tajam pada empat minggu ketiga intervensi nikotin. Secara statistik rataan nilai sel darah putih baik perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) tidak berbeda nyata (P>005). Sebelum intervensi nikotin rataan nilai sel darah putih berkisar 606± /ml untuk perlakuan A 618± /ml untuk perlakuan B dan 784± /ml untuk perlakuan C. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan namun rataaan secara umum sel darah putih selama intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan yang tidak berbeda nyata (P>005) sebesar 099% untuk perlakuan A 485% untuk perlakuan B dan untuk perlakuan C mengalami kecenderungan penurunan sebesar 1480%. Terjadinya kecenderungan peningkatan dan penurunan nilai rataan sel darah putih dari penelitian lebih rendah bila dibandingkan dengan sel darah putih yang dilaporkan Mahoney (2005) yakni 721± ± /ml. Gambaran sel darah putih yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa intervensi nikotin tidak

91 74 mengganggu kekebelan tubuh hal ini dapat dilihat dari nilai statistik yang tidak bermakna. Diferensiasi Sel Darah Putih Sel darah putih yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh memiliki beberapa bentuk dan komponen dengan fungsi yang berbeda pula. Adapun rataan diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Rataan persentase diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Diferensiasi sel darah putih Bulan Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C B ± ± ± 1436 Netrofil (%) B ± ± ± 680 B ± ± ± 1829 B ± ± ± 1442 B ± ± ± 1518 Limfosit (%) B ± ± ± 709 B ± ± ± 1377 B ± ± ± 1169 B1 500 ± 316 A 600 ± 308 A 340 ± 152 A Eosinofil (%) B2 160 ± 182 B 260 ± 182 B 220 ± 164 A B3 220 ± 228 B 380 ± 192 B 360 ± 472 A B4 300 ± 173 B 360 ± 261 B 240 ± 378 A B1 500 ± 255 A 460 ± 167 A 660 ± 666 A Monosit (%) B2 220 ± 164 B 300 ± 212 AB 220 ± 164 B B3 220 ± 192 B 160 ± 089 BC 100 ± 122 BC B4 020 ± 045 B 020 ± 045 C 040 ± 055 C Keterangan: Huruf (A B C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<001). Netrofil berfungsi melawan infeksi bakteri dan dilaporkan sebagai persentase leukosit atau % NEUT dengan jumlah sekitar 55 70%. Peranan neutrofil sebagai salah satu komponen sel darah putih sangat penting jika jumlah neutrofil rendah (neutropenia) maka tubuh lebih mudah terkena infeksi bakteri. Rataan persentase netrofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 11. Persentase jumlah netrofil seperti yang dapat dilihat pada Gambar 21 sebelum intervensi nikotin yakni 4580±1291% pada perlakuan A 4460±1822% untuk perlakuan B dan 4840±1436% untuk perlakuan C. Rataan nilai tersebut

92 75 secara statistik tidak berbeda nyata (P>005) demikian juga dengan rataan neutrofil selama intervensi nikotin tidak berbeda nyata (P>005). sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi Netrofil (%) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 21 Histogram perubahan konsentrasi netrofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Selama intervensi nikotin persentase neutrofil mengalami kecenderungan peningkatan pada satu bulan setelah intervensi nikotin dan mengalami kecenderungan penurunan pada dua dan tiga bulan setelah intervensi nikotin untuk perlakuan B dan C sedangkan pada perlakuan A mengalami kecenderungan penurunan pada satu bulan setelah intervensi nikotin tetapi pada dua dan tiga bulan setelah intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan. Secara umum rataan persentase jumlah neutrofil dari penelitian ini adalah 4400± ±680% nilai tersebut lebih rendah dari hasil penelitian yang dilaporkan Andrade et al. (2004) sebesar 6538±893%. Namun nilai yang diperoleh dari penelitian ini masih berada dalam kisaran normal neutrofil untuk primata seperti yang dilaporkan Fridman (2002) sebesar 21 47%. Limfosit merupakan salah satu jenis leukosit agranulosit yang merupakan bagian terbesar dari leukosit. Limfosit dibedakan dalam dua bentuk yaitu limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit tipe besar merupakan limfosit muda dengan diameter 1µ intu melekuk heterokromatik dikelilingi sitoplasma perbandingan sitoplasma dan inti adalah 1:1 dan jarang ditemukan dalam peredaran darah. Tipe kedua adalah limfosit kecil merupakan bentuk limfosit dewasa memiliki diameter 8 µm inti bulat heterokromatik dikelilingi lingkaran tipis sitoplasma dengan

93 76 perbandingan inti 1:9 dan kadang pada limfosit sering ditemukan penjuluran sitoplasma (Guyton 1993). Limfosit dalam sistem kekebalan tubuh terdiri dari dua yaitu limfosit-t yang berperan dalam sistem kekebalan yang diperantarai sel dan limfosit-b yang berperan dalam pembentukan antibodi serta bertanggungjawab pada sistem kekebalan humoral. Limfosit memiliki fungsi yang kompleks dengan fungsi utama adalah memproduksi antibodi (limfosit-b) atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag (limfosit-t) (Tizard 1987). Peran limfosit dalam sistem imunitas yakni dengan mengikatkan diri pada benda asing serta merusaknya yang merupakan fungsi dari limfosit-t dengan waktu hidup dari limfosit berkisar hari atau bahkan bertahun-tahun (Guyton 1993; Guyton dan Hall 1997). Rataan persentase limfosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Gambar 22 rataan persentase limfosit sebelum intervensi nikotin yakni 4220±1173% pada perlakuan A 4480±1819% untuk perlakuan B dan 4160±1518% untuk perlakuan C. Rataan persentase limfosit tersebut secara statistik tidak berbeda nyata (P>005) baik antar perlakuan maupun berdasarkan lamanya intervensi nikotin. sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi Limfosit (%) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 22 Histogram perubahan konsentrasi limfosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

94 77 Selama intervensi nikotin persentase limfosit mengalami kecenderungan peningkatan namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>005) dengan rataan sebesar 4987±881% pada perlakuan A 4720±1572% untuk perlakuan B dan 4767±1085% untuk perlakuan C. Rataan persentase limfosit yang diperoleh dari penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 3104±896%. Namun masih dalam kisaran normal persentase limfosit primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002) sebesar 47 75%. Kecenderungan peningkatan persentase limfosit selama intervensi nikotin ini kemungkinan disebabkan karena efek dari nikotin sebagaimana dikemukan oleh Geng et al. (1996) bahwa penggunaan nikotin kronik secara in vivo menjadikan sel T lebih banyak terpapar dan kontribusi nikotin dari rokok menekan immunosuppression atau dengan kata lain meningkatkan immunostimulan yang efeknya meningkatkan jumlah limfosit. Namun peningkatan jumlah limfosit ini kemungkinan tidak menyebabkan fungsi dari limfosit menjadi efektif sebagaimana dinyatakan lebih lanjut oleh Geng et al. (1996) bahwa efek nikotin secara parsial menghalangi stimulasi d-tubocuranine sehingga menghambat perkembangan pematangan dan pendewasaan tymocytes dan kehadiran ligan endogenous yang melibatkan reseptor nikotin asetilkolin pada perkembangan tymocytes dapat mempengaruhi keadaan ontogenetis tymik normal. Penggunaan nikotin secara luas pada masyarakat modern juga dapat berdampak pada perkembangan sistem imun bahwa paparan nikotin selama kehamilan dapat mengubah kemampuan sel darah awal manusia yang berisi prekursor sel T untuk perkembangan kultur organ (Middlebrook et al. 2002). Eosinofil merupakan salah satu jenis leukosit yang terlibat dengan alergi atau tanggapan terhadap parasit yang dinyatakan dengan %EOS dengan jumlah sekitar 1 3% (Yayasan Spritia 2008). Rataan persentase eosinofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23 bahwa terjadi penurunan persentase jumlah eosinofil selama intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin rataan persentase eosinofil sebesar 500±316% pada perlakuan A 600±308% untuk perlakuan B dan 340±152% untuk perlakuan C.

95 78 Selama pemberian mengalami penurunan yang berbeda sangat nyata (P<0.01) sebesar 227±194% pada perlakuan A 333±212% untuk perlakuan B dan 273±338% untuk perlakuan C. sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi Eosinofil (%) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 23 Histogram perubahan konsentrasi eosinofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa persentase jumlah eosinofil pada satu bulan setelah intervensi nikotin mengalami penurunan untuk semua perlakuan dan kemudian meningkat pada dua dan tiga bulan setelah intervensi nikotin. Peningkatan dan penurunan rataan nilai eosinofil setara dengan nilai normal eosinofil primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002) yakni 0 6% dengan rataan 3%. Adanya perubahan nilai eosinofil terutama bila terjadi peningkatan menunjukkan bahwa terjadi infeksi atau adanya reaksi alergi pada jaringan yang disebabkan oleh parasit. Persentase yang sedikit dari eosinofil berhubungan dengan daya fagositosisnya yang lemah tetapi sel eosinofil dalam pembuluh darah dapat melakukan gerakan kemotaksis menuju tempat terjadinya infeksi (Guyton 1993). Adanya penurunan nilai eosinofil seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23 menunjukkan bahwa hewan percobaan tidak mengalami alergi atau infeksi oleh parasit atau dengan kata lain hewan percobaan dalam kondisi sehat. Kondisi ini merupakan efek dari nikotin yang dapat dijadikan sebagai obat untuk mengendalikan parasit sebagaimana Karo-Karo (1990) yang melaporkan bahwa

96 79 nikotin bermanfaat untuk dijadikan sebagai obat anti parasit terutama untuk obat cacing. Monosit merupakan salah satu jenis leukosit agranulosit yang berukuran sangat besar dengan diameter µm serta memiliki perbandingan sitoplasma dan inti 6:4 (Swenson 1970). Monosit bersifat motil dapat berpindah dengan gerakan amuboid serta mempunyai kemampuan memfagositosis mikroorganisme sel yang nekrotik dan runtuhan sel (Tizard 1987). Monosit yang dinyatakan dengan %MONO jumlahnya sekitar 2 8% dan jumlahnya akan tinggi jika terjadi infeksi bakteri (Yayasan Spritia 2008). Rataan persentase monosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian seperti yang tercantum pada Gambar 24 bahwa terjadi penurunan persentase jumlah monosit selama intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin rataan persentase monosit sebesar 500±255% pada perlakuan A 460±167% untuk perlakuan B dan 660±666% untuk perlakuan C. sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Konsentrasi Monosit (%) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 24 Histogram perubahan konsentrasi monosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin 1.20 Selama intervensi nikotin jumlah monosit mengalami penurunan yang berbeda sangat nyata (P<0.01) sebesar 153±134% pada perlakuan A 160±115% untuk perlakuan B dan 120±114% untuk perlakuan C. Persentase jumlah monosit selama intervensi nikotin menurun dan berada pada kisaran

97 80 normal sebagaimana yang dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 195±132%. Penurunan jumlah monosit selama intervensi nikotin dapat disebabkan karena monosit masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag. Guyton (1996) menyatakan bahwa pada kondisi tertentu monosit dapat masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag serta dapat bertahan hidup bertahun-tahun. Disamping itu penurunan tersebut sebagai efek dari nikotin yang mempercepat masuknya monosit ke dalam jaringan sehingga persentase yang ditemukan dalam darah putih lebih rendah dari normal. Pengaruh nikotin terhadap adhesi dan perpindahan monosit dinyatakan oleh Heeschen et al. (2003) bahwa secara in vitro nikotin merangsang adhesi dan transmigrasi monosit. Konsumsi Pakan Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh Konsumsi Pakan Konsumsi merupakan faktor terpenting untuk penentuan kebutuhan hidup pokok dan produksi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan secara ad libitum (Parakkasi 1999). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rataan konsumsi monyet ekor panjang sebelum dan selama diintervensi nikotin disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Rataan konsumsi pakan bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Perlakuan Perubahan Bulan Pakan A Pakan B Pakan C B ± 2167 A 8662 ± 1495 A ± 2656 B Konsumsi B ± 1453 B 6085 ± 1187 B ± 3122 B Y Y X (g) B ± 1243 A 7876 ± 1136 A ± 1739 B B ± 857 A 6836 ± 523 B ± 1399 A B1 453 ± ± ± 019 Bobot B2 439 ± ± ± 024 Badan (kg) Y X X B3 442 ± ± ± 031 B4 444 ± ± ± 045 B ± ± ± 057 IMT (kg/m 2 B ± ± ± 085 ) Z X Y B ± ± ± 102 B ± ± ± 219 Keterangan: Huruf (X Y Z) yang berbeda pada baris dan (A B C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<001).

98 81 Dari hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa monyet ekor panjang sebelum diberikan nikotin memiliki rataan konsumsi sebesar 7904±2167 g/ekor/hari untuk individu yang mendapat perlakuan A dan rataan konsumsi pada individu yang mendapat perlakuan B dan C masing-masing sebesar 8662±1495 g/ekor/hari dan 12498±2656 g/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan ini secara statistik berbeda sangat nyata (P<001) dimana konsumsi yang mendapat perlakuan C menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<001) lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Selama intervensi nikotin monyet ekor panjang memiliki penurunan konsumsi dimana rataan konsumsi pada perlakuan A selama intervensi nikotin menurun sebesar 1597% sedangkan perlakuan B menurun sebesar 1997%. Hal yang berbeda pada monyet yang mendapat perlakuan C intervensi nikotin cenderung meningkatkan konsumsi sebesar 657% seperti yang dapat dilihat pada Gambar 25. Penurunan rataan konsumsi selama intervensi nikotin menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<001). sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Rata-rata Konsumsi Pakan (g) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= Pakan B dan C= pakan C. Gambar 25 Histogram rataan konsumsi pakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa konsumsi terendah sebelum intervensi nikotin yakni monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A kemudian perlakuan B dan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar 12498±2656 g/ekor/hari. Perbedaan konsumsi tersebut berbeda sangat nyata (P<001) antar perlakuan selanjutnya pada satu bulan setelah intervensi nikotin

99 82 terjadi penurunan konsumsi pakan untuk semua perlakuan namun kemudian meningkat pada dua bulan setelah intervensi nikotin untuk semua perlakuan sedangkan pada tiga bulan setelah intervensi nikotin terjadi penurunan konsumsi terutama individu yang mendapat perlakuan A dan B sedangkan untuk individu yang mendapat perlakuan C terjadi peningkatan konsumsi pakan. Penurunan dan peningkatan konsumsi pakan berdasarkan waktu (selama intervensi nikotin) menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<001). Penurunan konsumsi pada pakan A dan B tersebut merupakan efek dari nikotin yang dapat menekan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan sebagaimana Grunberg (2007) dan Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa dalam jangka pendek nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan dapat mengurangi nafsu makan sehingga dapat menekan pertambahan bobot badan hal ini dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung memiliki bobot badan lebih rendah daripada bukan perokok. Efek nikotin tersebut melalui sistem saraf dan mempengaruhi tiga faktor penentu yang mengatur pembelanjaan energi dan nafsu makan sebagaimana yang dijelaskan Chatkin dan Chatkin (2007) bahwa nikotin memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan. Selain itu nikotin memiliki efek langsung pada stimulasi metabolisme jaringan adipose untuk menghasilkan hormon Leptin ghrelin dan neuropeptide Y sebagai faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan indeks massa tubuh. Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 26 dapat dilihat bahwa bobot badan monyet ekor panjang mengalami kecenderungan penurunan selama intervensi nikotin. Rataan bobot badan monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A mengalami kecenderungan penurunan sebesar 011 kg atau 250% dari 453±069 kg menjadi 442±003 kg selama tiga bulan penelitian begitupula dengan monyet yang mendapat perlakuan B mengalami kecenderungan penurunan sebesar 011 kg atau 219% dari 502±120 kg menjadi 491±003 kg serta monyet yang mendapat perlakuan C juga mengalami kecenderungan penurunan sebesar 006 kg atau 122% dari 492±019 kg menjadi 486±017 kg (Gambar 26). Angka

100 83 bobot badan menunjukkan kecenderungan penurunan namun secara statistik tidak bermakna berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Rata-rata Bobot Badan (kg) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= Pakan B dan C= pakan C. Gambar 26 Histogram rataan bobot badan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Berdasarkan hasil seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa monyet yang mendapat perlakuan B selama intervensi nikotin mengalami kecenderungan penurunan bobot badan mulai pada satu bulan setelah intervensi nikotin hingga tiga bulan setelah intervensi nikotin. Berbeda dengan monyet yang mendapat perlakuan A dan C mengalami kecenderungan penurunan pada satu bulan setelah intervensi nikotin namun pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan bobot badan walaupun terjadi peningkatan bobot badan pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin namun rataan bobot badan monyet ekor panjang selama intervensi nikotin mengalami kecenderungan penurunan yang tidak bermakna. Penurunanan bobot badan ini merupakan efek nikotin yang menggunakan mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi bobot badan. NPY juga sebagai stimulator kuat dari makanan penurunan dari ekspresi NPY dipengaruhi nikotin. Peningkatan NPY mrna dan peptide setelah pemberian nikotin dimana peningkatan NPY dipengaruhi reseptor hypothalamic yang mengikat Y1/Y4/Y5 pada situs ligand. Mirip dengan NPY orexins merupakan regulator positif terhadap asupan makanan. Oleh karena itu dapat 4.86

101 84 diharapkan penurunan orexin akibat pemberian nikotin. Akan tetapi dosis preproorexin mrna dalam meningkatkan produksi setelah pemberian nikotin. Pemberian nikotin berafinitas dan mengurangi kepadatan orexin-binding site pada anterior hypothalamus dari otak (Filozof et al. 2004). Setelah intervensi nikotin terlihat adanya kecenderungan penurunan bobot badan begitupula halnya dengan indeks massa tubuh seperti tercantum pada Gambar 27 namun secara statistik tidak bermakna (P>005). sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Rata-rata Indeks Massa Tubuh (kg/m 2 ) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= Pakan B dan C= pakan C. Gambar 27 Histogram rataan IMT monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Kecenderungan terjadinya penurunan bobot badan ini dibarengi pula dengan kecenderungan penurunan indeks massa tubuh (IMT) sebagai indikator parameter obesitas namun secara statistik tidak bermakna (P>005) berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). Dari hasil penelitian seperti pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa IMT sebelum intervensi nikotin yakni 2341±223 kg/m 2 pada perlakuan A 2660±682 kg/m 2 pada perlakuan B dan 2471±057 kg/m 2 pada perlakuan C. Berdasarkan klasifikasi IMT yang dikeluarkan oleh WHO untuk masyarakat Asia bahwa nila tersebut menunjukkan bahwa monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A dan C tergolong pre obes (kriteria WHO yakni kg/m 2 ) sedangkan monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan B tergolong obes Tipe I (kriteria WHO yakni kg/m 2 ). Angka IMT yang

102 85 diperoleh menunjukkan kecenderungan penurunan namun secara statistik tidak bermakna berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini seperti yang dapat dilihat pada Gambar 27 di atas bahwa IMT monyet ekor panjang yang mendapat pakan A dan B mengalami kecenderungan penurunan selama intervensi nikotin sedangkan IMT pada monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan C mengalami kecenderungan penurunan pada satu bulan setelah intervensi nikotin namun pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan walaupun terjadi kecenderungan peningkatan pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin tetapi rataan IMT secara umum dari perlakuan C mengalami kecenderungan penurunan. Rataan IMT secara umum dari monyet ekor panjang selama intervensi nikotin yakni 2239±069 kg/m 2 pada perlakuan A 2540±116 kg/m 2 pada perlakuan B dan 2432±073 kg/m 2 pada perlakuan C. Selama intervensi nikotin kecenderungan penurunan IMT tersebut sebesar 102 kg/m 2 atau 433% pada perlakuan A 120 kg/m 2 atau 452% pada perlakuan B dan 073 kg/m 2 atau 158% pada perlakuan C dari. Berdasarkan kriteria dari WHO tentang klasifikasi IMT untuk masyarakat Asia maka perlakuan A mengalami penurunan kriteria dari pre obes menjadi normal (ideal) (kriteria WHO yakni kg/m 2 ) sedangkan untuk monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan B dan C kriteria obesitasnya tetap namun terjadi penurunan IMT. Sebagaimana dijelaskan Lupien dan Bray (1988) diacu dalam Yettefty et al. (1997) bahwa efek nikotin yakni menurukan bobot badan akibat peningkatan penggunaan energi yang distimulasi melalui reseptor nikotinik asetilkolin. Chatkin dan Chatkin (2007) menyatakan bahwa nikotin memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan dan peningkatan pembelanjaan energi yang merupakan efek langsung dari nikotin pada metabolisme jaringan adipose (Leptin ghrelin dan neuropeptide Y). Ketiga faktor tersebut merupakan zat yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan indeks massa tubuh. Lamanya ketiga faktor tersebut terpapar oleh nikotin sehingga dampak yang ditimbulkan yakni penurunan komsumsi yang berakibat

103 86 pada kecenderungan penurunan bobot badan dengan peningkatan pembelanjaan energi yang berakibat pada kecenderungan penurunan rataan IMT. Kecernaan dan Energi Metabolisme Peran penting makanan bagi mahluk hidup adalah untuk kebutuhan pokok produksi dan reproduksi. Nutrien yang terkandung dalam pakan yang diberikan tidak semuanya dapat dicerna dan diserap oleh alat pencernaan karena nilai koefisien cerna pakan yang berbeda dan kemampuan hewan dalam mencerna bahan pakan juga berbeda sehingga dapat berpengaruh pada nilai guna pakan bagi hewan (Maynard et al. 1979). Bahan pakan mempunyai tiga fungsi yaitu peran dalam proses fisiologis sosial dan psikologis. Secara umum pakan mempunyai fungsi yaitu menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses di dalam tubuh menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaharui jaringan tubuh yang telah rusak dan mengatur proses di dalam tubuh dan kondisi lingkungan di dalam tubuh. Penyediaan energi dibebankan pada bahan kering sedangkan pembentukan bangunan tubuh merupakan tugas dari protein mineral dan air (Sutardi 1980). Konsumsi Nutrien (KN) dan Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Konsumsi nutrien diperoleh dengan menghitung jumlah konsumsi per hari dikalikan dengan persentase masing-masing zat makanan yang terkandung dalam pakan yang diberikan sedangkan kecernaan bahan kering merupakan jumlah bahan kering yang dapat diabsorpsi oleh hewan dari konsumsi nutrien. Rataan konsumsi nutrien harian monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin dapat dilihat pada Tabel 13 dan rataan kecernaan bahan kering harian monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin dapat dilihat pada Tabel 14. Rataan konsumsi nutrien (KN) maupun kecernaan bahan kering (KCBK) dari monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin menunjukkan respon yang berbeda. Rataan konsumsi nutrien kecernaan bahan kering monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A dan B cenderung mengalami penurunan namun respon berbeda pada monyet yang mendapat perlakuan C

104 87 mengalami peningkatan rataan KN termasuk KCBK selama intervensi nikotin sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13 dan 14. Tabel 13 Rataan konsumsi nutrien (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Kandungan Perlakuan Bulan Nutrien Pakan A Pakan B Pakan C B ± 1690 a 6646 ± 1147 a ± 2339 b BK B ± 1134 a 4668 ± 911 c ± 2750 b Y Y B ± 970 b 6043 ± 871 ab ± 1532 b B ± 669 a 5244 ± 401 bc ± 1232 a B1 950 ± ± ± 712 PK B2 683 ± ± ± 837 Y Y B3 858 ± ± ± 466 B4 854 ± ± ± 375 B ± 451 A 1691 ± 292 A 519 ± 110 A LK B ± 302 B 1188 ± 232 D 511 ± 130 A X X B ± 258 B 1537 ± 222 B 519 ± 072 A B ± 178 B 1334 ± 102 C 628 ± 058 A B1 168 ± 046 a 108 ± 019 a 281 ± 060 b SK B2 120 ± 031 b 076 ± 015 b 277 ± 070 b Y Z B3 151 ± 026 a 098 ± 014 ab 282 ± 039 b B4 151 ± 018 a 085 ± 007 ab 340 ± 031 a B ± 1153 A 4691 ± 810 A 7264 ± 1544 B BETN B ± 774 B 3296 ± 643 C 7161 ± 1815 B Y Y B ± 662 A 4266 ± 615 AB 7273 ± 1011 B B ± 456 A 3702 ± 283 BC 8790 ± 813 A B ± A ± A ± B GE B ± B ± C ± B Y Y (kal/g) B ± A ± B ± B B ± A ± BC ± A Keterangan: PK= protein kasar LK = lemak kasar SK= serat kasar BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen BK= bahan kering GE = gross energi. Huruf (X Y Z) yang berbeda pada baris dan (A B C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<001). Huruf (x y z) yang berbeda pada baris dan (a b c) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<005). X X Y X X X Konsumsi bahan kering sebelum intervensi nikotin yakni sebesar 6167± ±2339 g/ekor/hari dengan rataan bahan kering yang dapat tercerna sebesar 3323± ±597 g/ekor/hari. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda nyata (P<005) terhadap konsumsi bahan kering demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda nyata (P<005) terhadap kecernaan bahan kering. Rataan konsumsi bahan kering pada perlakuan A lebih rendah bila dibandingkan dengan rataan konsumsi dari hasil penelitian sebelumnya (Oktarina

105 ) dengan hewan yang sama yakni 6807 g/ekor/hari demikian pula dengan perlakuan B sebesar 8953 g/ekor/hari. Namun berbeda dengan perlakuan C rataan konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yakni sebesar 6930 g/ekor/hari. Selama intervensi nikotin konsumsi bahan kering menurun sebesar 1597% pada perlakuan A 1998% pada perlakuan B dan mengalami peningkatan sebesar 657% pada perlakuan C. Disisi lain terjadi peningkatan kecernaan nutrien sebesar 3536% pada perlakuan A 1739% pada perlakuan B dan 2790% pada perlakuan C. Penurunan dan peningkatan konsumsi dan absorpsi bahan kering memberikan hasil yang berbeda sangat nyata (P<001). Konsumsi bahan kering monyet ekor panjang dari penelitian ini baik sebelum dan sesudah intervensi nikotin telah melebihi kebutuhan harian sebagaimana NRC (2003) yakni sebesar g/ekor/hari. Dari hasil analisis statistik perlakuan pakan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<001) terhadap konsumsi protein kasar maupun absorpsi protein kasar namun berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>005). Sebelum intervensi nikotin rataan konsumsi protein kasar yakni 950± ±712 g/ekor/hari dengan rataan protein yang dapat absorpsi sebesar 538± ±105 g/ekor/hari rataan konsumsi protein ini relatif sama dengan hasil penelitian Oktarina (2009) dengan monyet yang sama yakni 982 g/ekor/hari.selama intervensi nikotin konsumsi protein kasar mengalami penurunan sebesar 1596% pada perlakuan A dan 1997% pada perlakuan B akan tetapi perlakuan C mengalami peningkatan sebesar 657%. Disisi lain walaupun terjadi penurunan konsumsi protein namun terjadi peningkatan absorpsi selama intervensi nikotin sebesar 1221% pada perlakuan A 899% pada perlakuan B dan 295% pada perlakuan C. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa protein yang dikonsumsi oleh monyet ekor panjang telah mencukupi kebutuhan proteinnya sebagaimana Bennet et al. (1995) bahwa kebutuhan protein pada monyet ekor panjang adalah 35 g/ekor/hari. Peningkatan konsumsi protein kasar pada perlakuan C juga dibarengi dengan peningkatan kehilangan protein dalam bentuk nitrogen urine dan feses

106 89 yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A dan B hal ini dapat dilihat dari jumlah protein yang dapat diabsorpsi. Sebagaimana Banerjee (1978) bahwa protein yang dimakan akan dikeluarkan melalui nitrogen feses dan nitrogen urine nitrogen feses merupakan nitrogen dari makanan yang tidak tercerna dan tidak terabsopsi serta nitrogen endogen yang meliputi nitrogen yang berasal dari dalam tubuh seperti nitrogen dari sisa cairan empedu dan getah pencernaan reruntuhan sel epitel usus dan mikroba saluran pencernaan yang tidak tercerna. Sedangkan nitrogen urine berasal dari dua sumber yakni dari pergantian nitrogen penyusun jaringan yang mutlak selalu terjadi dan dari konsumsi protein. Sehingga jika konsumsi protein tinggi maka jumlah protein dari hasil metabolisme dalam bentuk nitrogen urine pun menjadi tinggi. Tabel 14 Rataan kecernaan bahan kering (KCBK) (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Kandungan Perlakuan Bulan Nutrien Pakan A Pakan B Pakan C B ± 761 B 4310 ± 1145 B 4355 ± 597 C BK B ± 645 B 4311 ± 613 B 5794 ± 541 A Z Y B ± 390 A 5442 ± 712 A 5200 ± 529 B X B ± 188 A 5426 ± 548 A 5716 ± 239 A B1 538 ± 113 B 805 ± 184 A 1900 ± 105 A PK B2 416 ± 117 C 743 ± 110 C 2006 ± 121 A Z Y B3 683 ± 071 A 946 ± 128 A 1873 ± 119 B X B4 712 ± 034 A 943 ± 098 A 1989 ± 054 A B1 609 ± 250 C 1249 ± 239 C 141 ± 037 A LK B ± 088 B 1362 ± 107 B 141 ± 049 A Y X B ± 053 A 1561 ± 125 A 087 ± 048 C Z B ± 026 A 1558 ± 096 A 134 ± 022 B B1 095 ± 020 B 058 ± 023 A 049 ± 024 C SK B2 040 ± 026 C 022 ± 019 B 106 ± 021 A X Y B3 098 ± 015 AB 057 ± 022 A 083 ± 021 B X B4 105 ± 007 A 056 ± 017 A 103 ± 009 A B ± 335 B 3571 ± 628 B 4401 ± 189 B BETN B ± 419 C 3323 ± 382 C 4653 ± 208 A Z Y B ± 253 AB 4027 ± 443 A 4424 ± 204 B X B ± 122 A 4017 ± 341 A 4623 ± 092 A B ± B ± B ± C GE B ± C ± B ± A Y X Y (kal/g) B ± A ± A ± B B ± 9819 A ± A ± A Keterangan: PK= protein kasar LK = lemak kasar SK= serat kasar BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen BK= bahan kering GE = gross energi. Huruf (X Y Z) yang berbeda pada baris dan (A B C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<001) pada taraf 99%.

107 90 Rataan konsumsi lemak sebelum intervensi nikotin yakni 519± ±451 g/ekor/hari dengan rataan lemak yang dapat diabsorpsi sebesar 141± ±239 g/ekor/hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<001) terhadap konsumsi lemak kasar namun demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<001) terhadap kecernaan lemak kasar. Konsumsi lemak yang tinggi pada perlakuan A dan B dideposisi menjadi sumber energi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh hal ini terlihat dari IMT dari monyet yang mendapat perlakuan A dan B. Berbeda dengan perlakuan C walaupun konsumsi lemaknya rendah namun IMT-nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan monyet yang mendapat perlakuan A. Fenomena ini karena tingginya konsumsi protein (jumlah protein yang dapat diabsorpsi sebesar 1900±105 g/ekor/hari atau 7083%) dari monyet yang mendapat perlakuan C. Sebagaimana Guyton (1996) bahwa konsumsi protein yang tinggi akan langsung digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut disimpan dalam bentuk lemak kondisi ini dapat meningkat IMT. Selama intervensi nikotin rataan konsumsi lemak menurun sebesar 1598% pada perlakuan A 199% pada perlakuan B dan pada perlakuan C terjadi peningkatan sebesar 649%. Disisi lain terjadi peningkatan absorpsi lemak sebesar 16727% pada perlakuan A 1959% pada perlakuan B sedangkan perlakuan C mengalami penurunan absorpsi sebesar 1442%. Peningkatan dan penurunan konsumsi lemak kasar berdasarkan waktu (lamanya intervensi nikotin) menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<001) secara statistik. Konsumsi lemak pada perlakuan A lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Oktarina (2009) pada hewan yang sama sebesar 1336 g/ekor/hari. Sedangkan pada perlakuan B konsumsi lemak tersebut lebih rendah dari penelitian sebelumnya dengan hewan yang sama yakni sebesar 1756 g/ekor/hari. Rataan konsumsi serat kasar pada perlakuan A dan B selama intervensi nikotin mengalami penurunan. Dari hasil analisis statistik perbedaan perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<001) terhadap konsumsi serat kasar. Demikian pula

108 91 kecernaan serat kasar menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<001) baik perbedaan perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). Konsumsi serat kasar sebelum intervensi nikotin yakni 108± ±060 g/ekor/hari dengan rataan serat kasar yang dapat diabsorpsi sebesar 049± ±020 g/ekor/hari. Selama intervensi nikotin terjadi penurunan konsumsi serat kasar sebesar 1627% pada perlakuan A 2006% pada perlakuan B sedangkan untuk monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan C mengalami peningkatan konsumsi serat kasar sebesar 664%. Rataan konsumsi serat kasar baik pada perlakuan A B dan C tidak jauh berbeda dengan rataan konsumsi serat kasar sebagaimana hasil penelitian Pijoh (2006) pada monyet ekor panjang yang mengalami pengangkutan dengan pakan yang berbeda yakni g/ekor/hari. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) merupakan bahan yang berisi monosakarida (pentosa dan heksosa) disakarida (maltosa dan laktosa) trisakarida dan polisakarida terutama pati yang mudah larut dalam asam dan basa yang mempunyai daya cerna yang tinggi (Tillman dkk. 1989). Rataan konsumsi BETN sebelum intervensi nikotin yakni 4208± ±1544 g/ekor/hari dengan rataan absorpsi sebesar 3354± ±189 g/ekor/hari pada perlakuan C. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<001) terhadap konsumsi BETN demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<001) terhadap kecernaan BETN. Rataan konsumsi BETN pada perlakuan A ini relatif sama dengan hasil penelitian sebelumnya (Oktarina 2009) pada hewan yang sama yakni 4045 g/ekor/hari sedangkan pada perlakuan B lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Namun pada perlakuan C rataan konsumsi BETN lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya pada hewan yang sama. Selama intervensi nikotin rataan konsumsi BETN menurun sebesar 1598% pada perlakuan A 1996% pada perlakuan B dan terjadi peningkatan pada perlakuan C sebesar 657%. Disamping itu pula terjadi peningkatan absorpsi BETN sebesar 610% pada perlakuan B dan 376% pada perlakuan C sedangkan pada perlakuan A mengalami penurunan sebesar 522%. Penurunan dan

109 92 peningkatan konsumsi dan absorpsi BETN memberikan hasil yang berbeda sangat nyata (P<001). Rataan konsumsi energi sebelum intervensi nikotin yakni ± ± kal/g/ekor/hari dengan rataan yang dapat dicerna sebesar ± ±25474 kal/g/ekor/hari. Rataan konsumsi energi pada perlakuan C selama intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya dengan peningkatan sebesar 657% sedangkan pada perlakuan A dan B mengalami penurunan sebesar 1598% dan 2686%. Disamping itu terjadi peningkatan absorpsi energi sebesar 1541% pada perlakuan A 1101% pada perlakuan B dan 2719% pada perlakuan C. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda nyata (P<005) terhadap konsumsi energi demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda nyata (P<005) terhadap kecernaan energi. Berdasarkan hasil rataan konsumsi energi dan rataan energi metabolisme menunjukkan bahwa selama intervensi nikotin jumlah energi yang diperoleh dari pakan mengalami penurunan bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin sehingga memungkinkan energi yang digunakan dalam proses metabolisme zatzat makanan dan proses fisiologis berasal dari energi yang tertimbun dalam tubuh dalam bentuk deposit lemak yang telah ditimbun sebelumnya dalam tubuh guna menjalankan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis normal tubuhnya. Yettefty et al. (1997) menyatakan bahwa efek nikotin tidak menyebabkan intake energi meningkat melainkan menyebabkan peningkatan penggunaan energi dalam tubuh. Peningkatan penggunaan energi tersebut melalui mobilisasi asam lemak bebas pada proses lipolisis di jaringan adipose (Andersson dan Arner (2001). Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan konsumsi nutrien namun secara umum bahwa kecernaan nutrien mengalami peningkatan yang berbeda nyata (P<005) berdasarkan perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun konsumsi nutrien rendah namun nutrien yang terkonsumsi tersebut mampu dicerna secara optimal oleh tubuh dengan yang dilihat dari peningkatan nilai kecernaan nutrien selama intervensi nikotin.

110 93 Koefisien Kecernaan dan Energi Metabolisme Kecernaan merupakan suatu gambaran mengenai jumlah zat makanan yang dapat dicerna oleh hewan dan digunakan untuk kelangsungan proses kegiatan di dalam tubuhnya. Nilai koefisien kecernaan menggambarkan seberapa hewan dapat mencerna pakan yang diberikan. Rataan koefisien kecernaan TDN dan energi metabolisme monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rataan koefisien kecernaan TDN dan energi metabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Kandungan Perlakuan Bulan Nutrien Pakan A Pakan B Pakan C B ± 975 B 5618 ± 1492 B 4945 ± 678 C KC BK B ± 827 B 5619 ± 799 B 6579 ± 614 A Z X (%) B ± 500 A 7094 ± 928 A 5904 ± 601 B Y B ± 241 A 7073 ± 714 A 6490 ± 272 A B ± 939 B 5979 ± 1369 B 7083 ± 391 B KC PK B ± 972 C 5516 ± 817 C 7481 ± 452 A Z Y (%) B ± 588 A 7025 ± 950 A 6983 ± 442 B X B ± 284 A 7004 ± 730 A 7415 ± 200 A B ± 1202 C 6400 ± 1226 C 3387 ± 886 A KC LK B ± 425 B 6979 ± 551 B 3405 ± 1184 A Y X (%) B ± 257 A 7996 ± 640 A 2103 ± 1158 B Z B ± 124 A 7981 ± 492 A 3234 ± 524 A B ± 937 B 4614 ± 1834 A 2185 ± 1047 C KC SK B ± 1206 C 1757 ± 1502 B 4731 ± 946 A (%) B ± 730 A 4532 ± 1746 A 3691 ± 925 B B ± 352 A 4493 ± 1343 A 4594 ± 419 A B ± 628 B 6594 ± 1160 B 7572 ± 325 B KC B ± 787 C 6135 ± 704 C 8006 ± 358 A BETN Z Y B ± 476 A 7436 ± 819 A 7612 ± 350 B (%) B ± 230 A 7418 ± 630 A 7954 ± 159 A X B ± 793 B 6497 ± 1193 B 5052 ± 663 C KC E (%) B ± 751 C 6413 ± 654 B 6674 ± 597 A Y X B ± 454 A 7620 ± 760 A 6017 ± 584 B Y B ± 219 A 7603 ± 584 A 6587 ± 264 A B ± 1030 C 7245 ± 1374 B 6666 ± 400 B TDN (%) B ± 760 B 7153 ± 752 B 7084 ± 461 A Y X B ± 460 A 8542 ± 874 A 6577 ± 451 B Y B ± 222 A 8522 ± 672 A 7017 ± 204 A B ± B ± 69309A ± 77419C EM (kkal) B ± C ± 40085C ± 75778B Z Y B ± A ± 47689A ± 65083B X B ± A ± 24196B ± 58130A Keterangan: KC= koefisien cerna PK= protein kasar LK = lemak kasar SK= serat kasar BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen TDN = total digentible nutrient BK= bahan kering GE = gross energi ET = energi termetabolisme. Huruf (X Y Z) yang berbeda pada baris dan (A B C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<001) pada taraf 99%..

111 94 Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa koefisien kecernaan nutrien sebelum dan selama intervensi nikotin memberikan hasil yang berbeda. Nilai rataan koefisien kecernaan sebelum intervensi nikotin berkisar 44 80% (protein kasar) 29 64% (lemak kasar) 21 46% (serat kasar) 63 80% (BETN) 42 56% (bahan kering) dan 50 65% untuk energi. Dan selama intervensi nikotin terjadi kecenderungan peningkatan koefisien kecernaan dengan sebesar %. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<001) terhadap rataan koefisien kecernaan. Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa koefisien kecernaan lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya Oktarina (2009) dengan menggunakan hewan yang sama dimana rataan koefisien kecernaan sebesar 90% hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diberikan memiliki kualitas ransum yang baik. Dengan intervensi nikotin rataan koefisien tersebut lebih rendah kondisi ini bukan berarti pakan yang digunakan memiliki kualitas buruk tetapi hewan percobaan menggunakan energi dan zat nutrisi yang telah ditimbun sebelumnya dalam tubuh guna menjalankan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis tubuhmya hal ini terlihat dari tingginya kandungan nutrien yang ditemukan kembali dalam feses disamping itu adanya kecenderungan penurunan IMT sebagai salah satu indikator obesitas. Atau dengan kata lain bahwa kecenderungan penurunan IMT dan rendahnya koefisien kecernaan yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi penggunaan zat nutrisi dan energi yang ada dalam tubuh guna menjalankan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis tubuh. Sebagaimana Lamota et al. (2008) bahwa nikotin mengaktifkan sistem endogenous cannabinoid yang merupakan alat modulasi metabolisme yang menyebabkan pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan bobot badan. Selain itupula efek langsug dari nikotin pada metabolisme jaringan adipose terutama aksinya pada leptin ghrelin dan neuropeptide Y merupakan zat yang berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi yang sangat berhubungan dengan indeks massa tubuh (Chatkin dan Chatkin 2007). Total digestible nutrient (TDN) merupakan bahan organik yang dapat dicerna yang diperoleh dengan mengalikan protein dapat dicerna dan serat kasar

112 95 dapat dicerna serta BETN dapat dicerna dengan lemak kasar dapat dicerna dan faktor 225 (Tillman dkk. 1989). TDN merupakan cara untuk menghitung energi bahan makanan yang dapat dicerna. Dari hasil penelitian nilai TDN sebelum dan selama intervensi nikotin dicantumkan pada Gambar 28. sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Rata-rata TDN (%) A B C Pakan Keterangan: A= pakan A B= pakan B dan C= pakan C. Gambar 28 Histogram rataan TDN monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang dapat dilihat pada Gambar 28 di atas menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan nilai TDN yang berbeda sangat nyata (P<001) baik berdasarkan perlakuan pakan maupun waktu (lamanya intervensi nikotin). Sebelum intervensi nikotin rataan nilai TDN sebesar 5357± ±1374%. Selama intervensi nikotin rataan nilai TDN meningkat sebesar 4049% pada perlakuan A 1142% pada perlakuan B dan 340% pada perlakuan C. Perbedaan nilai energi dari bahan makanan yang dapat dicerna tersebut menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<001). Energi metabolisme merupakan kebutuhan energi bagi hewan guna berlangsungnya proses fisiologis. Rataan energi metabolisme sebelum intervensi nikotin berkisar ± ±77419 kkal. Rataaan nilai energi metabolisme menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<001) terhadap perbedaan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin. Berdasarkan hasil penelitian rataaan nilai energi metabolisme sebelum dan selama intervensi nikotin ditampilkan pada Gambar 29.

113 96 sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin Rata-rata Energi Metabolisme (kkal) A B C Pakan Keterangan: A = pakan A B = Pakan B dan C = pakan C. Gambar 29 Histogram rataan energi termetabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Selama intervensi nikotin nilai energi metabolisme mengalami penurunan sebesar 1083% pada perlakuan B namun pada perlakuan A dan C mengalami peningkatan sebesar 003% dan 3540%. Sebagaimana hasil yang diperoleh yakni adanya kecenderungan penurunan IMT merupakan salah satu indikator penggunaan energi yang ada terutama dalam bentuk timbunan lemak yang telah dibakar dalam proses metabolisme sehingga timbunan lemak menjadi berkurang. Pengurangan timbunan lemak tersebut tercermin pada kecenderungan penurunan IMT dari hewan percobaan. Chatkin dan Chatkin (2007) menyatakan bahwa efek langsug dari nikotin pada metabolisme jaringan adipose terutama aksinya pada leptin ghrelin dan neuropeptide Y yang berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi yang sangat berhubungan dengan indeks massa tubuh. Disamping itu pula Filozof et al. (2004) menyatakan bahwa molekul yang dapat terlibat dengan aksi yang berhubungan dengan konsumsi nikotin yakni neuropeptides dan hormon peptide (leptin neuropeptide Y (NPY) dan orexins) yang berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi. Lebih lanjut dikatakan bahwa nikotin menggunakan mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi bobot badan karena leptin merupakan regulator negatif dari asupan makanan dan energi positif pada

114 97 regulator pengeluaran energi. Sedangkan efeknya pada NPY yakni menurunkan ekspresi dari NPY akibat intervensi nikotin yang merupakan stimulator kuat dari asupan makanan. Orexins sebagai regulator positif terhadap asupan makanan juga memberikan respon yang menurun dengan intervensi nikotin. Hal tersebut menjadi jelas dengan bertambahnya waktu intervensi nikotin memberikan efek paparan nikotin yang lebih lama pada neuropeptides dan hormon peptide dengan respon yang menyebabkan peningkatan modulasi penggunaan energi penurunan konsumsi sehingga ada kecenderungan penurunan bobot badan dan IMT. Tingkah Laku Sebagai hewan diurnal monyet ekor panjang melakukan aktivitasnya pada siang hari. Walaupun pola aktivitas sebagian besar dilakukan pada siang hari namun keadaan ini dapat berubah baik karena faktor dari dalam tubuh hewan tersebut maupun dari faktor luar (lingkungan). Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa kondisi sebagaimana disebutkan sebelumnya memberikan andil terhadap tingkah laku hewan yang diteliti hal ini dapat dilihat adanya perubahan pola tingkah laku yang diperlihatkan sebelum dan selama intervensi nikotin (075 mg/kg bobot badan/12 jam) dalam pakan. Pembagian pola tingkah laku tersebut meliputi ingestif (makan dan minum) eliminasi (defekasi dan urinasi) tingkah laku sosial (menatap self grooming kontak/sentuhan dan agonistik) serta lokomosi dari penelitian ini ditampilkan pada Tabel 16.

115 98 Tingkah Laku Ingestif Makan Minum Eliminasi Defekasi Urinasi Sosial Tabel 16 Rataan lama aktivitas dan frekuensi ingestif eliminasi sosial dan lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin Sebelum intervensi nikotin Selama intervensi nikotin Sebelum intervensi nikotin Selama intervensi nikotin Sebelum intervensi nikotin Selama intervensi nikotin Sebelum intervensi nikotin Selama intervensi nikotin Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C F menit/jam (kali)/jam menit/jam F (kali)/jam menit/jam F (kali)/jam B B B A A A X Y X Menatap Sebelum intervensi 0024b 008b 0287b 017b nikotin Selama intervensi y a x a y 0140a 038a 1455a 054a nikotin b Sebelum intervensi 0139A 046B 0747A 092B 0433A 129B Self nikotin Y Z grooming Selama intervensi b X ab 0041B 125A 0338B 200A 0203A 233A nikotin Sebelum intervensi Kontak/ nikotin sentuhan Selama intervensi Y B Y B X nikotin a A Agonistik Sebelum intervensi nikotin Selama intervensi nikotin Lokomosi Sebelum intervensi nikotin Selama intervensi nikotin Keterangan: Huruf (x y z) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<005). Huruf (X Y Z) yang berbeda pada baris dan (A B C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<001). Huruf (a b c) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<005). Ingestif Ingestif merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh hewan yang berhubungan dengan aktivitas makan dan minum. Tingkah laku ingestif dari monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin mengalami

116 99 perubahan hal ini dapat dilihat pada Tabel 16. Perubahan yang terjadi meliputi jumlah alokasi waktu yang dibutuhkan maupun frekuensi melakukan aktivitas tersebut baik tingkah laku makan dan minum. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa rataan frekuensi makan dari monyet ekor panjang selama intervensi nikotin mengalami peningkatan untuk semua perlakuan bila dibandingkan rataan frekuensi sebelum intervensi nikotin. Frekuensi tingkah laku makan terlihat sebelum intervensi nikotin berkisar kali/jam. Sedangkan selama intervensi nikotin mengalami peningkatan antara kali/jam. Dari Gambar 30 dapat dilihat bahwa frekuensi tingkah laku makan tersebut tertinggi pada pagi hari dan kemudian menurun pada sore hari. Persentase frekuensi makan selama intervensi nikotin dibandingkan sebelum intervensi nikotin berturut-turut; pakan A (5833%:4167%) pakan B (5000%:5000%) dan pakan C (5185%:4815%). Peningkatan rataan persentase frekuensi makan selama 24 jam pada pagi siang sore dan malam dengan pembagian berdasarkan periode waktu dapat dilihat pada Gambar 30. Gambar 30 Histogram frekuensi tingkah laku makan monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Peningkatan frekuensi minum juga terjadi selama intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin frekuensi minum berkisar kali/jam. Sedangkan selama intervensi nikotin mengalami peningkatan antara kali/jam. Dengan rataan persentase frekuensi minum selama intervensi nikotin

117 100 yakni 66%. Rataan persentase frekuensi tingkah laku minum tersebut tidak berbeda nyata (P>005) pada masing-masing perlakuan selama intervensi nikotin dibandingkan sebelum intervensi nikotin dengan besaran pada masing-masing perlakuan yakni pakan A (6667%:3333%) pakan B (7400%:2600%) dan pakan C (7333%:2667%). Rataan persentase frekuensi minum selama 24 jam pada pagi siang sore dan malam dengan pembagian berdasarkan periode waktu dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31 Histogram frekuensi tingkah laku minum monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Walaupun rataan persentase frekuensi makan dan minum selama intervensi nikotin lebih tinggi dibandingkan sebelum intervensi nikotin tetapi perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (P>005). Namun sebelum intervensi nikotin waktu yang dibutuhkan oleh monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A dan B mulai dari mengambil makan menggigit melepeh (mengeluarkan kembali) dan mengunya makanan lebih lama bila dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan monyet ekor panjang pada perlakuan yang sama selama intervensi nikotin. Rataan lamanya waktu makan yang dibutuhkan monyet ekor panjang sebelum intervensi nikotin berkisar menit/jam dan menit/jam sedangkan selama intervensi nikotin lamanya waktu yang dibutuhkan cenderung mengalami penurunan antara menit/jam menit. Berdasarkan hasil analisis statistik perbedaan lamanya waktu makan sebelum dan selama intervensi nikotin tidak berbeda nyata (P>005).

118 101 Berdasarkan hasil observasi pada Gambar 30 di atas bahwa pola tingkah laku makan dari monyet penelitian mengikuti pemberian makanan yakni pada pagi hari (08.00 WIB) dan siang hari (13.00 WIB). Aktivitas makan dari monyet pada perlakuan A sebelum intervensi nikotin ditemukan lebih tinggi yakni pada pagi hari ( ) baik dari segi alokasi waktu maupun frekuensi tingkah laku makan hal yang serupa juga terlihat pada alokasi waktu dan frekuensi waktu yang dibutuhkan untuk minum. Sedangkan untuk monyet yang mendapat perlakuan B aktivitas makan dan minum sebelum intervensi nikotin ditemukan pada semua periode waktu dari pagi siang sore dan malam. Dengan aktivitas tertinggi baik alokasi waktu yang dibutuhkan untuk makan dan minum yakni malam hari ( ). Pola tingkah laku makan ini dapat menjadi salah faktor pendorong tingginya rataan indeks massa tubuh dari monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan B yakni Sebagaimana Haslam dan James (2005) menyatakan bahwa ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Pola tingkah laku makan dari setiap individu monyet yang terlihat pada penelitian menunjukkan pola yang tidak menetap pada kondisi tertentu monyet mengambil makanan yang kemudian diperiksa dengan cara membaui yang kemudian digigit dan dikunyah. Disamping itu pula sebelum dimakan makanan dibuat memanjang dengan cara menggosokkan kedua tangan dan kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Pola yang lain juga terlihat pakan langsung dimakan tanpa diperiksa. Begitupula halnya dengan pola tingkah laku minum menunjukkan pola yang tidak menetap. Dimana pada kondisi tertentu monyet meminum langsung dengan mulut pada tempat minum dan kadang juga ditemukan meminum dengan menggunakan tangan yakni tangan dimasukkan ke dalam tempat air minum dan kemudian mengangkat tangannya dari tempat minum lalu menjilati tangan yang telah dimasukkan tersebut. Eliminasi Eliminasi merupakan tingkah laku dalam membuang kotoran baik dalam bentuk padatan (feses) maupun dalam bentuk cairan (urine). Tingkah laku defekasi sebelum dan selama intervensi nikotin relatif sama. Aktivitas defekasi

119 102 ditemukan hampir disemua periode pembagian waktu (pagi siang sore dan malam) baik pada monyet yang mendapat perlakuan A B dan C dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>005). Pola tersebut juga terjadi pada tingkah laku urinasi baik sebelum pemberian maupun selama pemberian namun persentase frekuensi urinasi selama intervensi nikotin lebih tinggi yakni 5615% sedangkan sebelum intervensi nikotin yakni 4385% walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P>005). Rataan lama aktivitas dan frekuensi tingkah laku eliminasi baik defekasi maupun urinasi dapat dilihat pada Tabel 16. Rata-rata lama waktu yang dibutuhkan untuk membuang kotoran terutama defekasi yakni menit sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk urinasi yakni 007 menit. Frekuensi tingkah laku defekasi cenderung lebih tinggi sebelum intervensi bila dibandingkan selama intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin frekuensi defekasi berkisar kali/jam dengan lama waktu yakni menit/jam. Sedangkan selama intervensi nikotin frekuensi defekasi berkisar kali/jam dengan lama waktu 0010 menit/jam. Frekuensi tingkah laku urinasi selama intervensi nikoitin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 16. Secara statistik waktu yang dibutuhkan untuk urinasi berbeda sangat nyata (P<001) berdasarkan perbedaan pakan. Dari pengamatan yang diperoleh bahwa tingkah laku defekasi umumnya dilakukan pada pagi hari sebelum maupun saat pembersihan dan pemberian pakan. Rata-rata tingkah laku eliminasi baik tingkah laku defekasi maupun urinasi dilakukan 2 kali sehari. Monyet melakukan tingkah laku defekasi dengan cara duduk di atas besi tempat bertengger dalam kandang duduk dilantai kandang berdiri bergantung maupun jongkok. Demikian pula pola yang sama juga dilakukan saat urinasi. Tingkah laku eliminasi (defekasi dan urinasi) juga ditemukan saat terjadi tingkah laku agonistik yakni saat menggocang-goncangkan kandang. Tingkah Laku Sosial Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku sebagai bagian integral dari usaha setiap individu untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya dan mencapai sukses. Bentuk tingkah laku sosial yang diamati sebagai upaya dari individu untuk tetap menjaga proses tersebut meliputi tingkah laku menatap merawat diri

120 103 (grooming) dalam hal ini secara self grooming kontak dengan kandang maupun agonistik. Adapun pola tingkah laku sosial yang diamati disajikan dalam Tabel 16 berikut baik lama waktu yang dihabiskan maupun frekuensi dalam melakukan kegiatan tersebut. Tingkah laku menatap yang dimaksudkan adalah merupakan bentuk tingkah laku sosial dari individu untuk melakukan komunikasi secara visual yakni dengan menatap individu lain pada kandang yang berbeda baik dengan ekspresi menyeringai sebagai tanda untuk menekan atau menakuti individu lainnya maupun tanpa ekspresi apapun. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 16 bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan individu dalam melakukan tingkah laku ini lebih lama selama intervensi nikotin dibandingkah dengan sebelum pemberian yakni menit/jam berbanding menit/jam terutama untuk perlakuan A dan B. Sedangkan pada individu yang mendapat perlakuan C tidak teramati. Rataan frekuensi tingkah laku menatap tertinggi selama intervensi nikotin dan tingkah laku ini umumnya dilakukan saat pagi hari yakni pukul WIB dan saat sore ( WIB) serta malam hari ( WIB) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 32. Gambar 32 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (menatap) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

121 104 Tingkah laku menatap yang tertinggi dilakukan pada pagi dan menjelang sore hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku dan lama waktu melakukan tingkah laku secara statistik berbeda nyata (P<005). Tingkah laku menatap menjelang malam atau saat sore hari ini kemungkinan mengandung maksud bahwa individu tersebut berusaha mengetahui kondisi atau keadaan dari individu lain yang ada di sekitarnya dan sebagai salah satu upaya untuk melakukan komunikasi visual menjelang istrahat hal ini karena monyet ekor panjang merupakan hewan yang memiliki perilaku sosial seperti hidup berkelompok. Begitupula halnya tingkah laku ini teramati saat pagi hari dimaksudkan bahwa individu tersebut berusaha mengetahui kondisi individu lainnya apakah dalam kondisi yang baik atau tidak. Tingkah laku merawat diri (grooming) yang teramati yakni secara self grooming (membersihkan atau merawat bulu dengan tangan atau mulut) aktivitas tersebut ditemukan pada disemua periode pembagian waktu (pagi siang sore dan malam) baik pada monyet yang mendapat perlakuan A B dan C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa frekuensi melakukan merawat diri selama intervernsi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin namun lama waktu yang dibutuhkan melakukan tingkah laku tersebut lebih tinggi sebelum intervensi nikotin sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 33. Gambar 33 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (self grooming) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

122 105 Rataan persentase frekuensi tingkah laku merawat diri selama intervensi nikotin yakni 7317% pada perlakuan A 6857% pada perlakuan B dan 6437% pada perlakuan C. Sebelum intervensi nikotin hanya ditemukan 2683% pada perlakuan A 3143% pada perlakuan B dan 3563% pada perlakuan C. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tingkah laku self grooming berbeda sangat nyata (P<001) berdasarkan perbedaan pakan dan waktu (sebelum dan selama intervensi nikotin) disamping itu pula frekuensi tingkah laku self grooming berdasarkan perbedaan pakan dan waktu (sebelum dan selama intervensi nikotin) juga berbeda sangat nyata (P<001) namun berdasarkan perbedaan pakan terhadap frekuensi tingkah laku self grooming secara statistik berbeda nyata (P<005). Pola tingkah laku merawat diri yang terlihat antara lain dilakukan dengan menggaruk-garuk rambut baik badan tangan maupun kaki. Tingkah laku merawat diri yang dilakukan pada pagi hari dilakukan sebelum melakukan aktivitas makan disamping itu tingkah laku ini dilakukan setelah melakukan aktivitas makan baik pada pagi (setelah pemberian makan pada pagi hari) maupun pada siang hari (setelah pemberian makan pada siang hari). Atau dengan kata lain bahwa tingkah laku merawat diri dilakukan pada waktu senggang setelah selesai melakukan aktivitas makan maupun saat menunggu makanan. Tingkah laku merawat diri ini merupakan aktivitas tingkah laku dengan frekuensi terbanyak yakni 1203 kali atau (1914%) dibandingkah dengan aktivitas tingkah laku yang lainnya. Walaupun rataan persentase frekuensi aktivitas merawat diri selama intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin namun alokasi waktu yang dibutuhkan berbeda. Sebelum intervensi nikotin lama waktu yang dibutuhkan yakni menit/jam. Sedangkan lama waktu yang dibutuhkan selama intervensi nikotin yakni menit/jam. Lamanya durasi waktu yang dibutuhkan sebelum intervensi nikotin kemungkinan disebabkan karena kondisi bobot badan individu yang lebih tinggi sehingga pergerakan (lokomosi) lebih sedikit sehingga alokasi waktu untuk melakukan aktivitas merawat diri lebih banyak. Tingkah laku kontak/sentuhan dalam pengamatan seperti yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh individu dengan

123 106 melakukan kontak/sentuhan dengan lantai kadang atau berbaring terlentang maupun tengkurap yang dibarengi dengan mengelus-elus lantai kadang. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa tingkah laku kontak/sentuhan yang tertinggi ditemukan selama intervensi nikotin dengan rataan persentase frekuensi yakni 8125% pada perlakuan A 100% pada perlakuan B dan 6250% pada perlakuan C. Sedangkan sebelum intervensi nikotin rataan persentase frekuensi yakni 1875% pada perlakuan A 0% pada perlakuan B dan 3750% pada perlakuan C sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 34 Gambar 34 Histogram persentase tingkah laku sosial (kontak/sentuhan) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa baik frekuensi maupun lamanya waktu yang dibutuhkan secara statistik berbeda sangat nyata (P<001) terhadap tingkah laku kontak/sentuhan. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 34 bahwa umumnya tingkah laku ini dilakukan dilakuan pada siang hari ( WIB) sore hari ( WIB) dan malam hari ( WIB) untuk individu yang mendapat perlakuan A dan B. Untuk individu yang mendapat perlakuan C teramati hampir disemua periode waktu (pagi siang sore dan malam). Tingkah laku merawat diri tingkah laku kontak/sentuhan ini dilakukan sebelum melakukan aktivitas makan maupun setelah melakukan aktivitas makan baik pada pagi (setelah pemberian makan pada pagi hari) maupun pada siang hari (setelah pemberian makan pada siang hari).

124 107 Seperti halnya tingkah laku merawat diri kondisi bobot badan individu yang lebih tinggi sebelum intervensi nikotin menyebabkan alokasi waktu yang dibutuhkan dalam aktivitas kontak lebih banyak. Lama waktu kontak yang dibutuhkan oleh individu pada perlakuan A sebelum intervensi nikotin yakni sekitar 0059 menit/jam dan 0025 menit/jam selama intervensi nikotin. Pada perlakuan B lama waktu kontak yakni 0134 menit/jam (selama intervensi nikotin) dan pada perlakuan C yakni 0428 menit/jam (sebelum intervensi nikotin) dan 0438 menit/jam (selama intervensi nikotin). Tingkah laku agonistik merupakan tingkah laku agresif. Tingkah laku ini juga merupakan bentuk pertahanan terhadap adanya bahaya yang mengancam. Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini tingkah laku agonistik yang terjadi yakni tingkah laku agresifitas yang dilampiaskan ke kandang dengan mengoyang-goyangkan kandang. Secara umum tingkah laku agonistik selama intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin. Pada perlakuan A rataan persentase frekuensi agonistik selama intervensi nikotin yakni 7500% (013 kali/jam) 6000% (013 kali/jam) pada perlakuan B dan 5000% (033 kali/jam) pada perlakuan C. Sedangkan sebelum intervensi nikotin tingkah laku agonistik yakni 2500% (004 kali/jam) ditemukan pada perlakuan A 4000% (008 kali/jam) pada perlakuan B dan 5000% (033 kali/jam) ditemukan pada perlakuan C seperti yang dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Histogram persentase tingkah laku sosial (agonistik) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin

125 108 Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa frekuensi maupun lamanya waktu yang dibutuhkan secara statistik tidak berbeda nyata (P>005) terhadap tingkah laku agonistik. Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar 35 bahwa tingkah laku agonistik selama intervensi nikotin frekuensinya lebih tinggi dibandingkan sebelum intervensi nikotin. Namun berdasarkan periode waktu frekuensi tingkah laku agonistik sebelum intervensi nikotin lebih banyak baik pada individu yang mendapat perlakuan A B dan C dengan lama waktu yang dibutuhkan menit/jam sedangkan selama intervensi nikotin lama waktu yang dibutuhkan yakni menit/jam. Pada perlakuan A ditemukan pada pukul WIB dan pukul WIB dengan persentase masing-masing 5000%. begitupula halnya dengan individu yang mendapat perlakuan B ditemukan dua kali dengan persentase masing-masing 5000%. Sedangkan pada perlakuan C baik sebelum dan selama intervensi nikotin tingkah laku agonistik ditemukan masing-masing pada dua periode waktu. Lokomosi Tingkah laku lokomosi atau perpindahan yang dilakukan oleh individu dalam kandang baik ke arah bagian lain dari sisi kandang maupun pergerakan ke atas atau ke bawah (pada lantai kandang). Berdasarkan hasil penelitian bahwa tingkah laku lokomosi ditemukan pada semua periode waktu baik pagi siang sore dan malam hari seperti yang ditampilkan pada Gambar 36. Gambar 36 Histogram persentase tingkah laku lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan lemak yang melebihi 20% pada pria dan 25% pada wanita dari bobot badan normal. Kondisi tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN

ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN i ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan

Lebih terperinci

PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN KEDUA

PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN KEDUA PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN KEDUA SKRIPSI DIANTI DESITA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami perubahan, yaitu dari deposisi lemak subkutan menjadi lemak abdominal dan viseral yang menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin

Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 7 No.1 Juni 2010, p.3-10. ISSN 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan Berdasarkan hasil penimbangan BB monyet ekor panjang, penambahan nikotin cair pada kedua kelompok pakan terdapat kecenderungan penurunan BB dibandingkan sebelum diberi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh kemudian dibungkus dengan kertas rokok berukuran panjang 70 120 mm dengan diameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di zaman modern ini. Obesitas merupakan suatu kelainan atau penyakit dimana terjadi penimbunan lemak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. (1) Obesitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index (BMI), pengukuran lingkar pinggang, rasio lingkar panggul pinggang, skinfold measurement, waist stature rasio,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan penurunan fungsi organ tubuh, maka resiko terjadinya penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering terjadi pada lansia antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut data

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut data BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut data Riskesdas (2013), prevalensi obesitas dewasa (>18 tahun) di Indonesia mencapai 19,7% untuk laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak dalam tubuh. 1 Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak dalam tubuh. 1 Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak dalam tubuh. 1 Menurut WHO tahun 2005 terdapat 1,6 milyar penduduk dunia mengalami kelebihan berat badan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah penumpukan lemak secara abnormal yang berlebihan pada tubuh sehingga dapat mempengaruhi kesehatan. BMI (Body Mass Index) adalah standar ukuran internasional

Lebih terperinci

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita 12 Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita hiperkolesterolemia yang menderita penyakit jantung koroner, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi diet tinggi lemak dan fruktosa di masyarakat saat ini mulai meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya konsumsi junk food dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia saat ini menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi muncul masalah gizi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG Penyakit tidak menular terus berkembang dengan semakin meningkatnya jumlah penderitanya, dan semakin mengancam kehidupan manusia, salah satu penyakit tidak menular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lemak tubuh karena ambilan makanan yang berlebih (Subardja, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. lemak tubuh karena ambilan makanan yang berlebih (Subardja, 2004). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obesitas atau kegemukan adalah keadaan yang terjadi apabila kuantitas jaringan lemak tubuh dibandingkan berat badan total lebih besar daripada normal. Hal ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. OBESITAS. 2.1.1. Pengertian Obesitas. Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gemuk merupakan suatu kebanggaan dan merupakan kriteria untuk mengukur kesuburan dan kemakmuran suatu kehidupan, sehingga pada saat itu banyak orang berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lemak oleh manusia, akhir-akhir ini tidak dapat dikendalikan. Hal ini bisa

BAB I PENDAHULUAN. lemak oleh manusia, akhir-akhir ini tidak dapat dikendalikan. Hal ini bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan pola makan atau mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak oleh manusia, akhir-akhir ini tidak dapat dikendalikan. Hal ini bisa disebabkan karena gaya hidup

Lebih terperinci

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight?

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight? Obesitas yang dalam bahasa awam sering disebut kegemukan merupakan kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam era globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang artinya masalah gizi kurang belum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun sosial. Perubahan fisik pada masa remaja ditandai dengan pertambahan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun sosial. Perubahan fisik pada masa remaja ditandai dengan pertambahan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial.

Lebih terperinci

statistik menunjukkan bahwa 58% penyakit diabetes dan 21% penyakit jantung yang kronik terjadi pada individu dengan BMI di atas 21 (World Heart

statistik menunjukkan bahwa 58% penyakit diabetes dan 21% penyakit jantung yang kronik terjadi pada individu dengan BMI di atas 21 (World Heart BAB 1 PENDAHULUAN Obesitas berasal dari bahasa Latin yaitu obesus yang berarti gemuk. Obesitas atau yang lebih dikenal dengan kegemukan adalah kondisi dimana terjadi peningkatan berat badan melebihi batas

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS TEH HIJAU (Camellia sinensis) KONDISI ASAM UNTUK PENCEGAHAN KELAINAN TERKAIT SINDROMA METABOLIK PADA TIKUS Sprague-Dawley MIRA DEWI

EFEKTIVITAS TEH HIJAU (Camellia sinensis) KONDISI ASAM UNTUK PENCEGAHAN KELAINAN TERKAIT SINDROMA METABOLIK PADA TIKUS Sprague-Dawley MIRA DEWI EFEKTIVITAS TEH HIJAU (Camellia sinensis) KONDISI ASAM UNTUK PENCEGAHAN KELAINAN TERKAIT SINDROMA METABOLIK PADA TIKUS Sprague-Dawley MIRA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia umumnya digunakan untuk menggambarkan makanan yang dianggap bermanfaat bagi kesehatan, melebihi diet sehat normal yang diperlukan bagi nutrisi manusia. Makanan Sehat "Makanan Kesehatan" dihubungkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas merupakan penyakit yang sejak lama sudah dikenal masyarakat dan sampai sekarang merupakan masalah yang sering dibicarakan karena angka kejadian yang semakin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lipid 2.1.1 Pengertian lipid Lipid adalah golongan senyawa organik yang sangat heterogen yang menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa organik

Lebih terperinci

badan berlebih (overweight dan obesitas) beserta komplikasinya. Selain itu, pengetahuan tentang pola makan juga harus mendapatkan perhatian yang

badan berlebih (overweight dan obesitas) beserta komplikasinya. Selain itu, pengetahuan tentang pola makan juga harus mendapatkan perhatian yang BAB 1 PENDAHULUAN Masalah kegemukan (obesitas) dan penurunan berat badan sangat menarik untuk diteliti. Apalagi obesitas merupakan masalah yang serius bagi para pria dan wanita, oleh karena tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung beristirahat. Dua faktor yang sama-sama menentukan kekuatan denyut nadi

BAB I PENDAHULUAN. jantung beristirahat. Dua faktor yang sama-sama menentukan kekuatan denyut nadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekanan darah merupakan ukuran tekanan yang digunakan oleh aliran darah melalui arteri berdasarkan dua hal yaitu ketika jantung berkontraksi dan ketika jantung beristirahat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya prevalensi obesitas merupakan masalah kesehatan utama diseluruh dunia (Park & Kim,2012). Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun terkait

Lebih terperinci

PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN PERTAMA

PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN PERTAMA PROFIL DARAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIBERI PAKAN BERENERGI TINGGI PADA PERIODE OBESITAS EMPAT BULAN PERTAMA SKRIPSI MERI AFIZA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini berbagai laporan kesehatan mengindikasikan bahwa prevalensi penyakit tidak menular lebih banyak dari pada penyakit menular. Dinyatakan oleh World

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN Steffanny H H Katuuk, 1310114, Pembimbing I : Lusiana Darsono,

Lebih terperinci

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI OLEH : KELOMPOK 5 HAPPY SAHARA BETTY MANURUNG WASLIFOUR GLORYA DAELI DEWI RAHMADANI LUBIS SRI DEWI SIREGAR 061101090 071101025 071101026 071101027 071101028 Nutrisi adalah apa yang manusia makan dan bagaimana

Lebih terperinci

Mitos dan Fakta Kolesterol

Mitos dan Fakta Kolesterol Mitos dan Fakta Kolesterol Oleh admin Selasa, 01 Juli 2008 09:19:20 Apakah mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tidak baik bagi tubuh? Apakah kita tak boleh mengonsumsi makanan berkolesterol?

Lebih terperinci

Mengatur Berat Badan. Mengatur Berat Badan

Mengatur Berat Badan. Mengatur Berat Badan Mengatur Berat Badan Pengaturan berat badan adalah suatu proses menghilangkan atau menghindari timbunan lemak di dalam tubuh. Hal ini tergantung pada hubungan antara jumlah makanan yang dikonsumsi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi industri. Salah satu karakteristik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola perilaku makan seseorang dibentuk oleh kebiasaan makan yang merupakan ekspresi setiap individu dalam memilih makanan. Oleh karena itu, ekspresi setiap individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (double burden). Disamping masalah penyakit menular dan kekurangan gizi terjadi pula peningkatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging puyuh merupakan produk yang sedang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Meskipun populasinya belum terlalu besar, akan tetapi banyak peternakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tahun lebih dari 36 juta orang meninggal karena penyakit tidak menular (PTM) (63% dari seluruh kematian) di dunia. Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja,

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi lebih merupakan keadaan patologis, yaitu dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal. (1) Gizi lebih

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

Tingkat Cholesterol Apa artinya, Diet dan Pengobatannya

Tingkat Cholesterol Apa artinya, Diet dan Pengobatannya Tingkat Cholesterol Apa artinya, Diet dan Pengobatannya Apakah Kolesterol Kita dapat mengaitkan kolesterol dengan makanan berlemak, tetapi sebagian besar zat lilin dibuat oleh tubuh kita sendiri. Hati

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI LOGISTIK DAN CHAID: KASUS DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

ANALISIS FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI LOGISTIK DAN CHAID: KASUS DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR ANALISIS FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI LOGISTIK DAN CHAID: KASUS DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR ASTRI ATTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia dan prevalensinya akan terus bertambah hingga mencapai 21,3 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. Agus Yohena Zondha (2010), membahas mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. Agus Yohena Zondha (2010), membahas mengenai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan pustaka Agus Yohena Zondha (2010), membahas mengenai Aplikasi Informasi Diet Berdasarkan Golongan Darah, aplikasi ini dirancang untuk dapat membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan, sosial. dan ekonomi pada berbagai kelompok usia di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan, sosial. dan ekonomi pada berbagai kelompok usia di seluruh BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan, sosial dan ekonomi pada berbagai kelompok usia di seluruh dunia. Tahun 2013, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan lebih

Lebih terperinci

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. a. Perokok aktif adalah orang yang memang sudah merokok.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. a. Perokok aktif adalah orang yang memang sudah merokok. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok dan Merokok Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. Merokok adalah menghisap gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. (Kamus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari persentase pria dan wanita dari penduduk lanjut usia berdasarkan estimasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dari persentase pria dan wanita dari penduduk lanjut usia berdasarkan estimasi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk lanjut usia pria lebih rendah dibanding wanita. Terlihat dari persentase pria dan wanita dari penduduk lanjut usia berdasarkan estimasi dan proyeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya peningkatan akumulasi lemak tubuh yang disebabkan oleh asupan kalori

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya peningkatan akumulasi lemak tubuh yang disebabkan oleh asupan kalori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan terjadinya peningkatan akumulasi lemak tubuh yang disebabkan oleh asupan kalori yang melebihi kebutuhan

Lebih terperinci

GAYA HIDUP DAN STATUS GIZI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS PADA PRIA DAN WANITA DEWASA DI DKI JAKARTA SITI NURYATI

GAYA HIDUP DAN STATUS GIZI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS PADA PRIA DAN WANITA DEWASA DI DKI JAKARTA SITI NURYATI 49 GAYA HIDUP DAN STATUS GIZI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS PADA PRIA DAN WANITA DEWASA DI DKI JAKARTA SITI NURYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 50

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Obesitas

TINJAUAN PUSTAKA. Obesitas 6 TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas adalah kelebihan bobot badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas sering disamakan dengan overweight, padahal keduanya berbeda walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan World Health Organization (WHO) tahun 1995 menyatakan bahwa batasan Berat Badan (BB) normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan salah satu dari 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan salah satu dari 5 kondisi yang berisiko

Lebih terperinci

PROFIL LEMAK DARAH DAN RESPON FISIOLOGIS TIKUS PUTIH YANG DIBERI PAKAN GULAI DAGING DOMBA DENGAN PENAMBAHAN JEROAN SKRIPSI AZIZ BAHAUDIN

PROFIL LEMAK DARAH DAN RESPON FISIOLOGIS TIKUS PUTIH YANG DIBERI PAKAN GULAI DAGING DOMBA DENGAN PENAMBAHAN JEROAN SKRIPSI AZIZ BAHAUDIN PROFIL LEMAK DARAH DAN RESPON FISIOLOGIS TIKUS PUTIH YANG DIBERI PAKAN GULAI DAGING DOMBA DENGAN PENAMBAHAN JEROAN SKRIPSI AZIZ BAHAUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara mengingat beban biaya serta morbiditas dan mortalitas yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara mengingat beban biaya serta morbiditas dan mortalitas yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegemukan dan obesitas menjadi masalah kesehatan yang serius di berbagai negara mengingat beban biaya serta morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh obesitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman yang semakin pesat secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup di masyarakat. Kemajuan teknologi dan industri secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan, penyerapan dan penggunaan zat gizi. Status gizi berkaitan dengan asupan makanan yang dikonsumsi baik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 39 MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai dengan Juni 2008 di PT IndoAnilab, Bogor. Penelitian berlangsung tiga tahap, yaitu tahap pertama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Dislipidemia 1. Definisi Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia. Sebelumnya menduduki peringkat ketiga (berdasarkan survei pada tahun 2006). Laporan Departemen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009 BAB V KOLESTEROL TINGGI Kolesterol selalu menjadi topik perbincangan hangat mengingat jumlah penderitanya semakin tinggi di Indonesia. Kebiasaan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari berperan penting

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN Linda Lingas, 2016 ; Pembimbing I : Lusiana Darsono, dr., M.Kes Pembimbing II

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini kecenderungan pola makan yang serba praktis dan instant seperti makanan cepat

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini kecenderungan pola makan yang serba praktis dan instant seperti makanan cepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kecenderungan pola makan yang serba praktis dan instant seperti makanan cepat saji dan makanan awetan telah berkembang dengan pesat di masyarakat. Semua makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini, penyakit jantung menjadi penyakit pembunuh

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini, penyakit jantung menjadi penyakit pembunuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, penyakit jantung menjadi penyakit pembunuh nomor satu di dunia (WHO, 2009). Hal tersebut tidak hanya semata-mata akibat usia lanjut,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka kematian, membaiknya status gizi, dan Usia Harapan Hidup. (1) Penyakit degeneratif adalah salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah menjadi faktor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) sudah menjadi masalah kesehatan yang cukup serius di negara maju. Di Amerika Serikat (USA) dan negara-negara Eropa, 33,3% -50% kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat modern cenderung hidup dengan tingkat stres tinggi karena kesibukan dan tuntutan menciptakan kinerja prima agar dapat bersaing di era globalisasi, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan sebagai lambang kemakmuran. Meskipun demikian, pandangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan sebagai lambang kemakmuran. Meskipun demikian, pandangan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegemukan sudah lama menjadi masalah. Bangsa Cina kuno dan bangsa Mesir kuno telah mengemukakan bahwa kegemukan sangat mengganggu kesehatan. Bahkan, bangsa Mesir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolesterol terdapat dalam jaringan dan dalam plasma baik sebagai kolesterol bebas atau dikombinasikan dengan asam lemak rantai panjang seperti cholesteryl ester. Kolesterol

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan merupakan masalah yang ada di setiap negara, baik di

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan merupakan masalah yang ada di setiap negara, baik di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan merupakan masalah yang ada di setiap negara, baik di negara miskin, negara berkembang, maupun negara maju. Negara miskin cenderung dengan masalah

Lebih terperinci

Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah

Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah Dr. Nur Indrawaty Lipoeto, MSc, PhD; Dra Eti Yerizel, MS; dr Zulkarnain Edward,MS, PhD dan Intan Widuri, Sked Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Gizi lebih merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Gizi lebih tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik. adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik. adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Secara fisiologis,

Lebih terperinci

Pengetahuan tentang overweight dan obesitas, baik yang menyangkut penyebab, maupun akibatnya perlu diketahui orang banyak khususnya bagi remaja, guna

Pengetahuan tentang overweight dan obesitas, baik yang menyangkut penyebab, maupun akibatnya perlu diketahui orang banyak khususnya bagi remaja, guna BAB 1 PENDAHULUAN Kesehatan sangat penting bagi manusia dan harus dijaga. Apabila kesehatannya tidak diperhatikan, maka menimbulkan masalah yang merugikan. Salah satu masalah kesehatan yang sering dialami

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density.

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density. ABSTRACT SURYONO. The Effects of High Calcium Milk Consumption on Blood Calcium Concentration and Bone Density of Adolescents Boys. Under supervision of ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO, BUDI SETIAWAN, and

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 200 SM sindrom metabolik yang berkaitan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein, diberi nama diabetes oleh Aretaeus, yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang ini, kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah kesehatan dunia yang semakin sering ditemukan di berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang digunakan untuk menilai status gizi seorang individu. IMT merupakan metode yang murah dan mudah dalam mengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya sensitivas otot

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah hal yang paling penting bagi masyarakat, terutama remaja yang memiliki aktivitas yang padat. Salah satu cara agar tubuh tetap sehat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fruktosa merupakan gula yang umumnya terdapat dalam sayur dan buah sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa fruktosa sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, setelah menjadi masalah pada negara berpenghasilan tinggi, obesitas mulai meningkat di negara-negara

Lebih terperinci