BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PRINSIP MARTENS CLAUSE DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PRINSIP MARTENS CLAUSE DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PRINSIP MARTENS CLAUSE DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah dan Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Hukum Humaniter Internasioanal. 1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menurut ajektiva kata Humaniter berarti bersifat kemanusiaan. Sedangakan secara nomina makna kemanusiaan berarti, pertama sifat-sifat manusia dan kedua secara manusia atau sebagai manusia. 10 Pictet mendefenisikan kata Humanitaire sebagai toute action bienfaisante pour l homme (semua tindak yang bersifat meringankan penderitaan manusia) dan yang diwujudkan, terutama, dengan humaniatarisme, yakni ; doctrine sociale universells qui vise au bonheur de tout le genre humain (doktrin sosial universal yang bersasaran kebahagiaan seluruh umat). 11 Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 12 Atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Umumnya aturan-aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Aturan- 10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional-Balai Pustaka, Edisi Ketiga, hlm Pictet,jean, Les Principes du Droit international humanitaire, Comite International dela Croix-Rouge, Geneva (Penerbitan kembali artikel yang dimuat dalam Revue Internationale de la Croix-Rouge), September,Oktober, dan November 1966, hal Arlina Permansari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, Loc.cit.

2 aturan ini antara lain terdapat dalam ajaran agam Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen, Islam. Bahkan pada masa Ketentuan-ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia dan Mesir Kuno. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Pada abad ke 18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional. Pada abad ke 19 landasan moral ini dibangun oleh Henry Dunant, yang merupakan initiator organisasi Palang Merah, yang kemudian berhasil menyusun Konvensi Janewa I tahun Di Amerika Serikat, pada saat yang hampir bersamaan telah memiliki Code Lieber atau Instructions for Government of Armies of the United States yang dipublikasi tahun Konvensi Janewa 1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan Perang Darat, merupakan Konvensi yang menjadi perintis Konvensi-konvensi Janewa berikutnya yang mengatur tentang Perlindungan Korban Perang. Pada masa-masa berikutnya kemudian perkembangan hukum humaniter Internasional dilakukan melalui traktat-traktat yang ditandatangani negara-negara. Misalnya Hukum Den Haag 1899 dan 1907 yang merupakan serangkaian, Konvensi dan Deklarasi yang mengatur tentang Alat dan Cara Berperang yang dibuat tahun 1899 dan Selain Konvensi-konvensi Den Haag yang mengatur mengenai alat dan cara berperang, terdapat juga Konvensikonvensi Janewa 1949 yang mengatur mengenai perlindungan terhadap korban

3 perang. Konvensi Janewa ini kemudian dilengkapi dengan Protokol Tambahan Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Jika pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih maka disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau international armed conflicts. Pengertian international armed conflict ini kemudian diperluas oleh Protokol I 1977 yang juga mengkategorikan CAR conflicts sebagai international armed conflict. Pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat internasional (non-international armed conflict atau internal armed conflict). Ketentuan mengenai non-international armed conflict ini diatur dalam pasal 3 Konvensi Janewa 1949 dan Prtotokol Tambahan II tahun Salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam konvensi Janewa yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Kemudian dalam Protokol I mekanisme ini dilakukan suatu International Fact Finding Commission. Disamping itu mekanisme hukum humaniter juga dapat dilakukan melalui institusi peradilan internasional, yang bersifat ad hoc maupun yang merupakan mahkamah permanen.

4 2. Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Internasional Sejarah Perkembangan Hukum humaniter menghadapi beberapa bagian zaman, diantaranya ; 1) Pada Zaman Kuno Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatakan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil dan pada waktu penghentian permusuhan maka pihak-pihak yang berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dahulu, lalu untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka,pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit di kedua pihak ditarik dari medan pertempuran. Juga, dalam berbagai peradaban besar selama tahun SM upayaupaya seperti itu berjalan terus. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut: a) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrasi, kekebalan utusan musuh dan perjanjian perdamaian. b) Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana disebutkan dalam Seven Works of True Mercy, yang menggambarkan adanya perintah untuk merawat yang sakit, dan mengguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu

5 menyatakan anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda. Seorang tamu, bahkan musuh pun tak boleh diganggu. c) Dalam kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualiaan terhadap kotakota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman. d) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahaberata dan Undang-undang Manu, para satria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi panahan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dilarang sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode prasejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dari kebiasaan dan hukum perang yang dilakukan antara lain tentang pernyataan perang, perlakuaan tawanan perang serta larangan menjadikan wanita dan anak-anak sebagai sasaran perang,

6 dan juga tentang penghakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (Prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berita Raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah Raja, akan diserang oleh bala tentara Raja. Begitu pula pada masa Kerajaan Gowa diketahui adanya perintah Raja yang memerintahkan perlakuaan tawanan perang dengan baik. 13 2) Abad Pertengahan Pada abad pertengahan ini, hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip Kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep perang yang adil atau just war, Ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Qur an surah al Baqarah: 190,191, al Anfal: 39, at Taubah: 5 al Haj: 39, 14 yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip Kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu. 3) Zaman Modern Kemajuan yang menentukan terjadi mulai abad ke-18 dan setelah berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai pecahnya Perang Dunia I. Praktek-praktek negara kemudian menjadi hukum dan kebiasaan dalam berperang (jus in bello). 13 Ibid 14 Masjhur Effendi, Moh Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional, IKIP Malang,1995,hlm.16.

7 Salah satu tongak penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Janewa tahun Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat Presiden Lincoln memindahkan Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya, adalah Instructions for Government Armies of the United States atau disebut Lieber Code, dipublikasikan pada tahun Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti tawanan perang, yang luka dan sebagainya. Konvensi 1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang luka di Medan Perang Darat, 1864 dipandang sebagai Konvensi yang mengawali Konvensi-konvensi Janewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. 15 Berdasarkan Konvensi ini maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati baik kawan maupun lawan tak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari International Commite of the red Cross yang sebelumnya bernama International Commite for 1994, hlm Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press,

8 thr Aid of the Wonunded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Janewa dan Henry Dunant tahun Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembanganperkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter internasional, dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai Konvensi yang merupakan perkembangan hukum humaniter internasional, yang terdiri dari berbagai konvensi yang dihasilkan pada Konfrensi Perdamaian I dan II di Den Haag, serta berbagai Konvensi lainnya di bidang hukum humaniter. Jadi, istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini bisa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu; 16 1) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws) 2) Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Janewa/The Geneva Laws). 16 Arlina Permansari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, op.cit, hlm.5.

9 Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Janewa. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau defenisi mengenai hukum humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut ; 1) Menurut Jean Pictet : International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, wheater written and customary, ensuring respect for individual and his well being. 17 2) Menurut Mochtar Kusumaatmadja : Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. 18 Dengan demikian Hukum Humaniter itu merupakan seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). 17 Pictet, The Principle of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram.,hlm Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, 1980, hlm.5.

10 Dengan mencermati pengertian dan/atau defenisi yang disebutkan di atas, maka ruang lingkup hukum humaniter dapat dikelompokan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Jean Pictet misalnya, menganut pengertian hukum humaniter dalam arti yang luas, yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik hukum Janewa, Hukum Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut hukum Janewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas Hukum Janewa dan Hukum Den Haag. Dimana Hukum Humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan Mohammed Badjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiakan perang. 3. Tujuan dari Hukum Humaniter Internasional Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut : a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unneces sary suffering). b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.

11 c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan. 4. Asas-Asas Dalam Hukum Humaniter Internasional Setelah melihat pengertian dan tujuan dari hukum humaniter di atas terdapat beberapa asas-asas dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum Humaniter, diantara nya ; Dalam Hukum Humaniter dikenal ada tiga asas utama, yaitu : a. Asas Kepentingan Militer (military necessity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. b. Asas Perikemanusiaan (Humanity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. c. Asas Kesatriaan (Chivalry) Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

12 5. Prinsip-prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional Dalam Hukum Humaniter juga dikenal beberapa Prinisp-Prinsip, yaitu : A. Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity) Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah hak pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak tak terbatas. Dalam prinsip ini terbagi pula beberapa prinsip-prinsip lainnya, diantaranya; a) Prinsip pembatasan (Limitation Principle), adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa. b) Prinsip proporsionalitas (Proportionality Principle), yang menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek sipil harus proporsional sifatnya. B. Prinsip Kemanusiaan (Humanity) Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang.

13 C. Prinsip Kesatriaan (Chivalry) Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat. D. Prinsip pembedaan (Distinction Principle) Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. 19 Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu : 20 a) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil. b) Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas serangan (reprisal). c) Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang. 19 Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984, hlm Arlina Permansari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, op.cit. hlm.74

14 d) Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja menjadi kecil. e) Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. f) Rule of Engagement (ROE). E. Prinsip Martens Clause Dimana Prinsip Martens Clause atau yang sering disebut Klausula Martens ini mengatakan atau mempunyai isi sebagai berikut ; Until a more complete code of the laws of war is issued, the High Contracting Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and empire of the principles of international law, as they result from the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and the requirements of the public conscience. Dimana artinya adalah sebagai berikut ; Hingga undang-undang tentang hukum perang dikeluarkan, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian memikirkan haknya untuk menyatakan bahwa perkara yang tidak ada didalam peraturan yang telah mereka setujui, para penduduk dan negara yang berperang tetap berada dibawah perlindungan atas prinsip-prinsip hukum internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat.

15 Maksud dari isi klausul tersebut yakni menempatkan penduduk sipil combatan maupun non-combatan, serta militer yang tidak dilindungi oleh Konvensi Den Haag, tetap dalam perlindungan dari prinsip-prinsip hukum humaniter yang berasal dari kebiasaan antar-negara yang beradab dan dari hati nurani masyarakat. 6. Sumber-sumber Hukum Humaniter Internasional Dalam berbagai kepustakaan hukum internasional, kebiasaan internasional dan perjanjian internasional sering dikaitkan sebagai sumber hukum humaniter internasional atau hukum perang. Lieutenant Colonel David P. Cavaleri misalnya, menyatakan hukum perang berasal dari dua sumber yang berbeda. Hukum ini sebagian didasarkan pada aturan-aturan umum tidak tertulis yang disebut hukum kebiasaan internasional (customary international law), sementara secara specific hukum humaniter internasional dihubungkan dengan kumpulan peraturan yang dikodifikasi yang disebut hukum perjanjian internasional (conventional international law). Yang pertama, hukum kebiasaan internasional, diakui sebagai peraturan perilaku yang mengikat semua anggota masyarakat bangsa-bangsa, sedangkan yang belakangan, hukum perjanjian internasional, mencerminkan peraturan-peraturan terkodifikasi yang mengikat sebagai akibat dari persetujuan yang tegas (express consent). Tiga hal yang sangat penting menjadi bukti. Pertama hukum perang terdiri atas dua komponen yang berbeda. Kedua, hukum perang memenuhi bentuknya yang sekarang berlaku dengan evolusi kebiasaan dan konvensi sebagai perkembangannya selama bertahun-tahun. Dan ketiga, segi kebiasaan dari hukum perang ini sama pentingnya pada konstruksi keseluruhan

16 dengan sisi konvensionalnya, karena apabila sebuah prinsip mencapai kedudukan sebagai hukum kebiasaan internasioanl, hukum ini mengikat semua Negara, tidak hanya para penandatangan traktat. Pandangan ini juga diikuti oleh Fritz Kalsoven. Terkait dengan ini Kalshoven menyatakan bahwa hukum humaniter internasional pada mulanya bersumber dari kebiasaan yang merupakan praktik dari bangsa-bangsa pada zaman dahulu. Seiring dengan perjalanan waktu, praktik ini berkembang menjadi hukum kebiasaan perang yang harus dihormati para pihak pesengketa bersenjata sekalipun tidak ada pernyataan sepihak atau persetujuan timbal-balik atas hal tersebut. Dalam waktu yang lama lingkup dan isi dari hukum kebiasaan ini samar dan tidak pasti. Cara yang paling efektif untuk menghilangkan ketidakpastian ini adalah dengan pembuatan traktat (treaty-making), yakni dengan merundingkan ragam peraturan dan membuat peraturan ini di dalam sebuah instrument mengikat yang diterima secara umum. Namun, sebagai bagian dari hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional tentu saja tidak hanya kebiasaan dan perjanjian internasional. Sebagaimana hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional harus mengacu kepada Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, maka sumber hukum internasional termasuk humaniter internasional adalah: perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; kebiasaankebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang diakui

17 oleh bangsa-bangsa yang beradab; asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum. 1) Sumber Hukum Internasional serta Hukum Humaniter Internasional secara Umum Sumber Hukum Internasional serta Hukum Humaniter Internasional secara umum ini didasarkan pada aturan-aturan umum baik secara tertulis maupun tidak tertulis, dimana sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut : a. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum dan maupun khusus; Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu. Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negaranegara. Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari Dalam Konvensi ini diatur

18 mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional. Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional. Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. - Traktat atau Treaty Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat Negara secara menyeluruh, yang pada umumya bersifat multilateral. Contoh : Perjanjian Perbatasan wilayah ZEE Indonesia dan Australia.

19 - Konvensi atau Convention Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang pneting dan resmi yang bersifat multilateral. Biasanya bersifat law making treaty, yaitu yang meketakkan norma-norma hukum bagi masyarakat internasional. Contoh : United Nations Convention Against Corruption 2003, United Nations Convention on The Rights of The Child. - Persetujuan atau Agreement Persetujuan adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat bilateral, dan ruang lingkupnya lebih sempit dari treay maupun konvensi. - Piagam atau Charter Digunakan sebagai dasar pembentukan suatu organisasi internasional. Berasal dari magna charta yang dibuat tahun Contoh : Piagam PBB Tahun 1945, Charter of United Nations, ASEAN Charter. - Protokol atau Protocol Biasanya digunakan untuk perjanjian internasional yang matrinya lebih sempit daripada treaty atau convention. Merupakan instrument tunggal yang memberikan amandemen, turunan, atau pelengkap terhadap persetujuan internasional sebelumnya. Contoh : Protokol Kyototentang Emisi Gas Rumah Kaca.

20 - Memorandum of Understanding (MoU) Adalah bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat khas atau typical. Pada Negara yang menganut Common Law, biasanya tidak menganggap bahwa MoU berlaku secara mengikat atau non legally binding. Namun Indonesia menganggap bahwa MoU memiliki daya ikat seperti treaties. - Pengaturan atau Arrangement Pengaturan adalah bentuk lain dari pelaksana teknis dari suatu perjanjian yang dibuat. Sering disebut sebagai implementing arrangement. - Exchange Notes atau Pertukaran Nota Diplomatik Adalah suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi pemerintah masih-masing Negara yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu. Contoh : Exchange of Notes Between The Government of The Rrepublic of Cuba and The Government of The Republic of Indonesia on The Establishment of a Joint CommisionTahun Modus Vivendi Merupakan istilah yang digunakan sebagai instrument kesepakatan yang bersifat sementara dan informal. Pada umumnya, para pihak akan menindak lanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan permanen. - Agreed Minutes atau Summary Record Digunakan untuk kesepakatn antara wakil-wakil lembaga pemerintah tentang hasil akhir atu hasil sementara, seperti pada draft perjanjian bilateral, dan

21 suatu pertemuan tekhnis. Digunakan untuk merekam pembicaraan pada acara kunjungan resmi atau tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan. Contoh : Record of discussion between the Republic of Indonesia Rrepublic of Philipines Meeting on The Arrangement on The Utilitazation of Part of The Total Allowale Catch International The Indonesian Exclusive Economic Zone. - Proccess Verbal Istilah yang digunakan untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhnik administrative dan perubahan kecil dalam persetujuan. - Concordat Adalah suatu perjanjian yang dibuat antara Tahta Suci dengan Negara lain di bidang keagamaan. b. Kebiasaan internasional (international custom); - Menurut Bellefroid "semua peraturan-peraturan yangg walaupun tidak ditetapkan oleh negara, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, kerena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum." - Menurut Alf Ross "persetujuan (konsensus) yangg diekspresiakan melalui praktek sebagai kebiasaan internasional."

22 - Menurut J.I. Brierly "praktek negara-negara/kebiasaan internasional disatu pihak, dan adanya perasaan mewujudkan kewajiban, sebagai persetujuan (konsensus) dilain pihak internasional, karena tanpa dua unsur ini hukum tersebut tidak akan terbentuk." Dua unsur pembentuk hukum kebiasaan internasional ; - Kebiasaan internasional> unsur dalam bahasa latin> praktek negara-negara> unsur material - Opinio juris (keyakinan hukum)> unsur psikologis Kebiasaan internasional terbentuk melalui adat istiadat atau kebiasaan tingkah laku internasional yang belum diterima sebagai hukum. Bilamana adat istiadat tersebut berkembang atau dilakukan berulang-ulang, kemudian menjadi kebiasaan, maka dalam praktek mengikat sebagai hukum Kebiasaan Internasional. Sampai saat ini, hukum internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses yang panjang dan telah mendapatkan pengakuan oleh masyarakat internasional. Istilah kebiasaan dan adat Istiadat sering digunakan secara bergantian, namun ada perbedaan diantara keduanya. Kebiasaan mulai apabila adat-istiadat berakhir, adat istiadat adalah suatu kebiasaan bertindak yang belum sepenuhnya memperoleh pengesahan hukum. Viner s Abrigement yang berkenaan dengan kebiasaan dalam hukum inggris dikemukakan Kebiasaan, sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.

23 Dalam pasal 38 ayat 1 sub b Piagam Mahkamah Internasional, dikatakan International custom, as evidence of a general practice accepted as law. Artinya hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Jadi, tidak semua kebiasaan dapat dijadilan sebagai sumber hukum internasional. Untuk dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional, sebuah kebiasaan internasional harus memenuhi unsur-unsur yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Keduanya harus terpenuhi. Tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional jika keduanya atau salah satunya tidak dipenuhi. Terpenuhinya syarat yang pertama saja misalnya, namun tidak melahirkan sebuah hukum, maka bisa jadi kebiasaan tersebut hanyalah merupakan kesopanan internasional saja. Kebiasaan internasional dapat termasuk dalam kebiasaan yang bersifat umum jika ada sebuah pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula dan harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Menurut J.G Starke, unsure ini disebut sebagai syarat materi. Secara umum, harus ada suatu tindakan berulang-ulang yang melahirkan kaidah kebiasaan. Tindakan suatu badan atau negara tidak dapat begitu saja menciptakan suatu kebiasaan dan dapat dimanfaatkan negara lain yang diuntungkan karena tindakan tersebut. Hukum kebiasaan harus dilakukan secara teratur dan berulang-ulang. Pertimbangan lain yang diambil adalah juga lamanya usia tindakan-tindakan yang dilakukan. Suatu

24 kebiasaan bisa juga menjadi hukum kebiasaan dalam waktu yang singkat bila praktek negara itu telah meluas dan keseragaman dalam semua tujuan praktis. Syarat yang kedua adalah aspek psikologis yang lebih banyak dikenal dengan sebutan opinion juris sive necessitatis. Yang diartikan seorang ahli keyakinan bersama bahwa pengulangan tindakan itu merupakan akibat dari suatu kaidah yang memaksa. Pengulangan adat istiadat atau praktek cenderung untuk memperkuat dugaan bahwa dalam keadaan serupa di masa mendatang, tindakan atau sikap yang tidak melakukan tindakan (absention) demikian akan terulang lagi. Bila dugaan ini berkembang lebih jauh menjadi suatu pengakuan umum oleh negara-negara bahwa tindakan atau tidak melakukan tindakan tersebut merupakan persoalan hak dan kewajiban, maka peralihan dari adat-istiadat menjadi kebiasaan telah terjadi. Dilihat secara praktis, suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila negara-negara menerimanya sebagai demikian, artinya tidak ada keberatan oleh negara-negara apabila kebiasaan tersebut dijadikan sebuah hukum kebiasaan. Keberatan dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik, atau dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan di hadapan suatu mahkamah. Dalam menilai apakah kebiasaan tersebut dapat dimasukkan kedalam hukum kebiasaan internasional, dalam kasus West Rand Central Gold Mining Co v R, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kebiasaan tersebut haruslah dibuktikan dengan bukti yang memuaskan bahwa kaidah yang dinyatakan itu karena sifatnya, dan telah diterima secara luas dan umum, kaidah tersebut hampir tidak mungkin akan

25 ditolak oleh setiap negara beradab. Dalam hal tersebut kebiasaan yang menjadi hukum kebiasaan yang dapat dimasukkan sebagai salah satu sumber hukum internasional tersebut dikatakan telah mendapatken pengakuan umum (general recognition) oleh masyarakat internasional negara-negara. Hal tersebutlah yang disebut Opinio Juris. Menurut ketentuan Mahkamah Internasional untuk menerapkan kebiasaan internasional sebagaimana terbukti dari praktek umum yang diterima sebagai hukum dan juga ketentuan dalam pasal 53 Konvensi Wina mengenai Hukum Traktat yang menentukan bahwa suatu norma ius cogen harus norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional negara-negara secara keseluruhan. Ada kalanya penerimaan kebiasaan menjadi sebuah hukum kebiasaan membutuhkan waktu yang lama sekali, namun terkadang juga ada keadaan dimana masyarakat internasional telah menerima satu pola tindakan sebagai hukum kebiasaan dalam waktu yang tidak begitu lama. Contoh ketentuan hukum internasional yang terjadi melalui proses kebiasaan internasional misalnya di dalam hukum perang. Penggunaan bendera putih sebagai bendera tanda untuk memberikan perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh. Kebiasaan internasional ini berawal dari sebuah kebiasaan. Pada masa Yunani kuno, kaidahkaidah hukum perang dan damai timbul dari kebiasaan-kebiasaan umum yang ditaati oleh negara-negara kota Yunani.

26 Kaidah-kaidah kebiasaan yang berasal dari adat-istiadat atau praktekpraktek dikembangkan dalam tiga bidang yaitu: - Hubungan diplomatik antara negara-negara, Tindakan-tindakan, pernyataan-pernyataan,oleh negarawan, opini hukum para penasihat pemerintah, traktat-traktat bilateral, dan pengumuman berita (press release) ataupun pernyataan resmi oleh juru bicara negara semua akan menjadi bukti adat yang diikuti oleh negara-negara. Tindakan maupun pernyataan memiliki dasar yang sama - Praktek organ-organ internasional, Tindakan, maupun pernyataan yang dilakukan oleh suatu organ internasional dapat membawa pada berkembangnya kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional mengenai status mereka, atau wewenang serta tanggung jawabnya. - Perundangan-undangan negara-negara, keputusan-keputusan pengadilan nasional dan praktek-praktek militer serta administrasi negara Perundang-undangan negara, keputusan-keputusan yudisial dari pengadilanpengadilan nasional atau praktek negara akan memperlihatkan besarnya pemakaian kaidah-kaidah kebiasaan yang ada. Namun bukan hanya kebiasaan biasa namun kebiasaan yang telah menjadi hukum kebiasaan. Kebiasaan internasional sebagai sumber hukum tidak berdiri sendiri. Kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional erat hubungannya dengan perjanjian internasional. Hubungan keduanya merupakan hubungan timbale balik. Perjanjian internasional yang berulang kali diadakan akan

27 menimbulkan suatu kebiasaan dan menciptakan lembaga hukum melalui proses hukum kebiasaan internasional. c. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab Sumber Hukum Internasional ketiga menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah International adalah prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum. Pengertian prinsip-prinsip hukum umum sebagai sumber hukum internasional adalah asasasas hukum yang berlaku untuk semua lapangan hukum (privat, acara dan publik) pada segala tempat, waktu dan bagi semua bangsa/negara. Dengan kata lain, asasasas atau prinsip-prinsip hukum yang mencakup baik asas-asas hukum internasional maupun asas-asas hukum umum. Kedudukan dan hubungan asas-asas hukum umum dengan kebiasaan internasional dan perjanjian internasional adalah baik asas-asas hukum umum, kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, ketiganya merupakan sumber hukum internasional yang primer. Secara fungsional, asas-asas hukum umum merupakan sumber hukum internasional primer yang paling penting. Secara historis dan empiris, kebiasaan internasional dan perjanjian internasional juga merupakan sumber hukum internasional primer yang terpenting atau terutama,namun kedudukan itu digeser atau ditempati oleh asas-asas hukum umum, jika dipandang dari segi fungsi. Pergeseran tersebut disebabkan oleh keluwesan asas-asas hukum umum yang memberikan kesempatan bagi

28 kemungkinan terbentuknya sumber-sumber hukum internasional baru sebagai akibat dari perkembangan yang sedang berkembang. Dengan adanya sumber hukum internasional ini maka Mahkamah Internasional tidak dapat menolak untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak adanya hukum yang mengatur perkara yang diajukan itu. Mahkamah Internasional dapat menggunakan asas-asas hukum umum ini sebagai dasar sumber hukum formal dalam mengadili dan menyelesaikan secara sukarela perkara yang diajukan kepadanya. Asas-asas hukum ini memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional sebagai suatu badan yang dapatmembentuk dan menemukan sumber-sumber hukum baru, yang sangat berfaedah bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional di kemudian hari. Beberapa perbedaan antara asas-asas hukum umum di satu pihak dengan kebiasaan dan perjanjian internasional pada pihak lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut pada garis besarnya adalah demikian : - Perbedaan sifat menempatkan asas-asas hukum umum bersifat mandiri. Sedangkan kebiasaan internasional bersifat terpadu (manunggal) dengan Perjanjian Internasional. - Perbedaan fungsi menempatkan kemandirian asas-asas hukum umum dengan membuka kemungkinan bagi pembentukan sumber-sumber hukum internasional baru di masa datang, sedangkan kebiasaaan dan perjanjian tidak, atau berzsifat tertutup.

29 - Perbedaan titik tolak atau sudut pandang, dilihat dari sudut pandang sejarah maka kebiasaan internasional adalah sebagai sumber hukum yang tertua dan terpenting/terutama, dipandang dari segi kenyataan maka perjanjian internasional menempati posisi sebagai yang terutama/terpenting. Sedangkan jika ditinjau dari sudut fungsinya maka primasi itu terletak pada asas-asas hukum umum. d. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. Keputusan-keputusan peradilan memainkan peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional dapat berupa keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasa prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Contohnya dalam sengketa sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan telah memasukkan unsur-unsur baru ke dalam hukum internasional Pendapat para sarjana terkemuka, mengenai suatu masalah tertentu, meskipun bukan merupakan hukum positif, seringkali dikutip untuk memperkuat argument tentang adanya atau kebenaran dari suatu norma hukum. Pendapat para sarjana akan lebih berpengaruh jika dikemukakan oleh perkumpulan professional. Contohnya Komisi hukum internasional yang beranggotakan para ahli hukum, dibentuk oleh majelis umum PBB berdasarkan Resolusi MU 1947.

30 2) Sumber Hukum Internasional secara Khusus Dimana sumber Hukum Internasional secara khusus juga merupakan bagian dari sumber Hukum Humaniter Internasional yang dimana meliputi sebagai berikut: a. Hukum Den Haag (Hague Regulation) Sumber yang pertama adalah berasal dari Konvensi Den Haag, dinamakan Den Haag sendiri karena dibuat di wilayah ini (salah satu wilayah di Belanda). Konvensi Den Haag terjadi sebanyak dua kali. Dimana yang konvensi yang pertama pada tahun 1899 dan yang kedua pada tahun Sebenarnya isi dari kedua konvensi ini sama yakni mengatur tata cara dan alat yang diperbolehkan dalam perang yang dilakukan oleh Negara-negara yang melakukannya. Hanya saja isi dari konvensi kedua merupakan penyempurnaan dari konvensi pertama. Dalam Konvensi Den Haag pertama 1899 dihasilkan enam konvensi dan deklarasi. Sedangkan pada tahun 1907 menghasilkan empat belas konvensi yang beberapa diantaranya tidak digunakan. Akan tetapi sebagian lainnya digunakan hingga sekarang, yang paling terkenal dalam konvensi ini adalah konvensi keempat yang menyangkut tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Adapun Isi dari Konvensi Den Haag adalah sebagai berikut ; a) Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional. b) Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak c) Pembukaan Perang/ cara memulai peperangan. d) Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. e) Hak dan Keajiban Negara dan Orang Netral bilamana terjadi Perang.

31 f) Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecahnya Sebuah Perang. g) Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang. h) Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis oleh Pasukan Angkatan Laut dimasa Perang. i) Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut. j) Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut. k) Pendirian Pengadilan Hadiah International (salah satu konvensi yang tidak digunakan/tidak diratifikasi). l) Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. b. Hukum Jenewa Apabila Konvensi Den Haag lebih membahas tentang tata cara serta alat yang dipergunakan dalam berperang, maka dalam Konvensi Jenewa sendiri lebih mengarah kepada tata cara dalam memperlakukan dalam melindungi korban dari perang yang terjadi. Konvensi ini juga sama dengan Den Haag, dimana nama yang diambil berasal dari daerah tempat terjadinya Konvensi ini, yaitu Jenewa yang merupakan salah satu wilayah di Swiss. Konvensi ini terjadi pada tahun dalam Konvensi ini terdapat banyak pasal yang sangat mengarah atau membahas tentang cara memperlakukan korban maupun penduduk sipil yang tidak boleh tersentuh ketika perang berlangsung. Setelah perang dunia kedua, Konvensi ini disempurnakan menjadi empat Konvensi, yang kesemua isinya menyangkut tentang pasal-pasal yang menyangkut tentang perlindungan bagi warga sipil, orang-orang yang tertangkap

32 perang, perlindungan bagi korban perang, serta para pelayan kesehatan dalam perang. Konvensi 1949 menghasilkan empat hukum yang isinya : a) Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field (Convention I) Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat. b) Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea (Convention II) Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut. c) Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War (Convention II) Mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang. d) Geneva Convention relative to Protection of Civilian Persons in Time of War (Convention IV) Mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang. Kemudian selain empat Konvensi yang dihasilkan diatas, terdapat dua protocol tambahan yang dihasilkan pada Diplomatic Conference 8 Juni 1977 : a) Protocol Additional to the Geneva Convention of 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts [Protokol I]. b) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts [Protokol II]

33 c. Protokol Tambahan 1977 Protokol Tambahan merupakan suatu aturan tambahan untuk melengkapi konvensi Jenewa, dimana Protokol Tambahan ini terbagi atas 2, yaitu : - Protokol Tambahan I 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional Protokol Tambahan Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang judul aslinya Protocol Additional to the Geneva Convention August 1949, and Relating to the Protection of Victims Internastional Armed Conflict, mengatur mengenai konflik bersenjata yang bersifat internasional (Protokol Tambahan I). Pasal 1 ayat (3) Protokol 1977 menyatakan bahwa Protokol I berlaku dalam situasi yang dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Konvensi Jenewa 1949 hanya ada satu pasal yang mengatur mengenai korban bersenjata yang tidak bersifat internasional, yaitu ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 Common Articles. Dengan demikian ketentuan-ketentuan lain yang terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa tersebut mengatur mengenai konflik bersenjata yang bersifat Internasional. Dalam Commentary Protocols dijelaskan bahwa perang atau pertikaian bersenjata yang dimaksud adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih Pihak Peserta Agung atau antara Pihak Peserta Agung dengan yang bukan Pihak Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Disamping berlaku terhadap situasi perang antar negara, Protokol Tambahan I 1977 juga berlaku dalam situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4). Pada pasal ini dikatakan bahwa Protokol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antara suatu bangsa melawan colonial domination alien occupation, dan racist

34 regims, dalam upaya untuk melakukan hak menetukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa dan dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara sebagaimana yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan melihat kepada rumusan Pasal 1 ayat (3) dan pasal 1 ayat (4) Protokol I maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud konflik yang bersifat internasional dapat dikelompokan dalam 2 hal : a) Konflik bersenjata antar negara b) Konflik bersenjata antara peoples melawan colonial domination alien occupation dan racist regimes (CAR Conflicts) yang lazim disebut war of national liberation. - Protokol Tambahan II 1977 tentang Sengketa Bersenjata Non- Internasional Hukum Humaniter mengatur konflik bersenjata non-internasional di dalam dua macam perjanjian; yaitu dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan II Perbedaan pokok antara non-international armed conflict dan international armed conflict dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam international armed conflict, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara. Sedangkan dalam noninternational armed conflict, status ke dua pihak tidak sama ; pihak yang satu berstatus negara, sedangkan pihak lainnya adalah satuan bukan berstatus negara (non-state entity). Dalam batas-batas ini, maka non-international armed conflict

35 dapat dilihat sebagai suatu situasi di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata dengan kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed group) di dalam wilayah suatu negara. Kemungkinan lainnya, non-international armed conflict ini juga dapat berupa suatu peristiwa dimana faks-faksi bersenjata saling bertempur satu sama lain tanpa suatu intervensi dari angkatan bersenjata Pemerintah yang sah. Dalam Protokol Tambahan II 1977 berlainan dengan Konvensi Jenewa, maka pasal 1 Protokol Tambahan II menggunakan istilah sengketa bersenjata non-internasional untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional. Namun, seperti Konvensi Jenewa, Protokol II tidak memberikan suatu definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional. Dalam menerapkan Protokol Tambahan II pada suatu sengketa bersenjata non-internasional, terdapat sedemikian banyak persyaratan yang harus terpenuhi sebagaimana dimuat dalam ayat (1) dan ayat (2). Sengketa bersenjata tersebut harus benar-benar terukur sehingga ia tidak boleh memasuki ambang batas terendah, sebagaimana definisi dalam pasal 1 ayat (2) Protokol Tambahan II, maupun ambang batas konflik yang tertinggi sebagaimana definisi pasal 1 Protokol I. Persyaratan ini tergolong berat, di bandingkan dengan ketentuan dalam pasal 3 Konvensi Jenewa. Karena beratnya, maka seorang ahli, Green, merasa khawatir bahwa ada kemungkinan Protokol Tambahan II tidak dapat diterapkan dalam suatu perang saudara (civil war), kecuali sampai telah terbentuknya suatu kelompok pemberontakan yang sedemikian terorganisir.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928.

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Tujuan dari

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter? BAB I PENDAHULUAN 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang adalah suatu istilah yang tidak asing lagi bagi manusia yang ada di dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah 59 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Menurut ketentuan dalam Hukum Humaniter Internasional tentang prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) berhak

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL a. Pengertian Sumber Hukum Internasional Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Enny Narwati * Abstract Law of naval warfare did not develop since Den Haag Convention in 1907. In 1994, international community

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Email : firman.yusticia86@gmail.com ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA LEGAL PROTECTION FOR CHILDREN IN THE MIDST OF ARMED CONFLICTS Enny Narwati, Lina Hastuti 1 ABSTRACT The purposes of the research are to understand

Lebih terperinci

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Makalah Hukum Humaniter Internasional) Oleh : PRISCA

Lebih terperinci

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Erwin Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Email :erwin_80@yahoo.co.id Abstract Armed conflict (war) have been there

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto rubiyanto.151161@gmail.com Abstract In fact Humanitary law had been arranged for civil defence organization. In reality some countries

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Hukum Humaniter Internasional a. Definisi Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Palestina merupakan daerah yang seolah tidak pernah aman, senantiasa bergejolak dan terjadi pertumpahan darah akibat dari perebutan kekuasaan. 1 Sengketa

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: Keberadaan politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PERMASALAHAN: 1. Recognition is a political act with legal consequences.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

Oleh : Ardiya Megawati E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Oleh : Ardiya Megawati E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pengaturan perlindungan terhadap ICRC (International Committee Of The Red Cross) dalam konflik bersenjata internasional (berdasarkan konvensi jenewa 1949 dan protokol tambahan I 1977) Oleh : Ardiya Megawati

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT Yang Mulia Kaisar Jerman, Raja Prussia dan Menimbang bahwa, pencarian cara untuk memelihara perdamaian dan mencegah konflik bersenjata

Lebih terperinci

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Humaniter Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter merupakan istilah yang dianggap

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain.

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PENGAKUAN Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Pasal 3, Deklarasi Montevideo

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Perang merupakan suatu peristiwa yang memiliki umur yang sama tua nya dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Dimana perang itu lahir dari hubungan-hubungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Prinsip Pembeda (Distinction Principle) dalam Konflik Bersenjata di Suriah Menurut Hukum Humaniter Internasional Implementation of Distinction Principle in

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang adalah suatu kondisi dimana terjadinya pertikaian antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG Oleh: Ivan Donald Girsang Pembimbing : I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika Program

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN Iman Prihandono, Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum

Lebih terperinci

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

SENGKETA INTERNASIONAL

SENGKETA INTERNASIONAL SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Indonesia-Malaysia SENGKETA INTERNASIONAL Pada hakikatnya sengketa internasional adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antar

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Children), merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci