IKATAN PEREMPUAN POSITIF INDONESIA - IPPI. Jaringan Nasional Perempuan yang hidup dengan HIV dan AIDS

Transkripsi

1 LAPORAN PELATIHAN PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN BAGI PETUGAS LAYANAN MENGENAI KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN DAN PENULARAN HIV A. LATAR BELAKANG Berdasarkan Data kasus tahun 2010 dari Komnas Perempuan kasus kekerasan pada perempuan menunjukkan peningkatan hingga delapan kali lipat dibandingkan tahun Dari semua kasus yang dilaporkan termasuk diantaranya tindak kekerasan seksual yang terjadi di rumah tangga dengan jumlah 864 kasus dan di masyarakat sebanyak kasus dimana kasus kekerasan yang terjadi didominasi oleh tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Kekerasan Ranah Personal (KRP), dengan jumlah korban sebanyak orang. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya hasil studi yang telah di lakukan IPPI pada tahun 2011 dimana hasil tersebut menunjukkan karakteristik-karakteristik pelaku dan korban tindak kekerasan pada perempuan di mana sebagian besar berada dalam kelompok usia tahun. Peningkatan jumlah kasus kekerasan juga terjadi pada perempuan dalam kelompok umur tahun. Pola ini menunjukkan bahwa perempuan dalam semua kelompok usia dapat menjadi korban tindak kekerasan, namun yang paling rawan terjadi pada perempuan remaja dan dewasa. Dalam upaya melakukan kerja-kerja advokasi dan pemberdayaan terhadap perempuan yang hidup dengan HIV dan yang terdampak, IPPI akan menjalin kerjasama dengan pemerintah setempat, juga termasuk diantaranya klinik-klinik Pencegahan dan Pengobatan (CST), Konselor

2 adiksi, Layanan Konseling Sukarela (VCT), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Organisasi Masyarakat Sipil lainnya guna terjalinnya hubungan kemitraan yang dapat menjadi sarana untuk bertukar pikiran dan pendapat serta mendapatkan dukungan dan komitmen dari instansi-instansi yang relevan dalam terciptanya program pengintegrasian ini. B. TUJUAN KEGIATAN Meningkatkan pemahaman pada petugas layanan mengenai kerentanan Perempuan terhadap kekerasan khusunya pada perempuan yang hidup dengan HIV, serta menyadari pentingnya integrasi layanan HIV dan layanan kekerasan guna terbangunnya sistem dan mekanisme rujukan bagi perempuan yang hidup dengan HIV yang menjadi korban kekerasan. C. PESERTA Kegiatan ini akan mengundang perwakilan dari konselor layanan HIV dan Layanan Kekerasan sebanyak 22 orang dari: 1. Puan Amal Hayati 2. UN Women 3. Paralegal LBH APIK 4. P2TP2A Prov DKI Jkt 5. Perempuan Berbagi 6. Yayasan Anak dan Perempuan 7. Yayasan Kusuma Buana 8. SAPA INDONESIA 9. Ardhanary Institue 10. Yayasan Pelita Ilmu 11. Puskesmas Kramat Jati

3 12. Yayasan Karisma 13. PKM Cengkareng 14. PKBI DKI Jakarta 15. BPMPKB 16. RPTC Kemensos 17. LBH APIK D. WAKTU PELAKSANAAN Kegiatan akan di lakukan berupa pelatihan selama 4 (empat) hari yang telah dilaksanakan pada : Hari/Tanggal : Senin Kamis/ 30 Maret 1 April 2015 Waktu Tempat : WIB : Hotel Ibis Kemayoran, Jakarta E. Fasilitator: 1. LBH PULIH 2. LBH APIK F. HASIL YANG DI HARAPKAN Meningkatnya pemahaman petugas layanan mengenai kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan HIV Peserta yang telah di latih dapat menjelaskan kepada klien tentang keterkaitan antara HIV dan Kekerasan Terhadap Perempuan Teridentifikasinya layanan HIV dan Layanan Kekerasan yang telah ada baik yang di sediakan oleh Pemerintah maupun layanan yang disediakan oleh Organisasi non pemerintah Adanya dukungan dan komitmen dari layanan guna terwujudnya integrasi layanan HIV dan Layanan kekerasan Adanya rekomendasi yang dapat digunakan untuk membangun sistem dan mekanisme rujukan bagi perempuan dengan HIV yang juga menjadi korban kekerasan

4 G. PROSES KEGIATANa Training peningkatan keterampilan bagi konselor ini mulai dibuka pada pukul dikarenakan sebagian besar peserta terhambat datang karena KRL rusak. Menjelang pukul 11.00, peserta yang hadir sudah 20 orang dan terdiri dari berbagai layanan pemerintah baik HIV maupun Kekerasan (PKM, P2TP2A) dan LSM HIV, LSM Kekerasan. Sebagian besar yang hadir adalah dari LSM, beberapa undangan dari rumah sakit seperti RS Polri dan RSCM tidak hadir dan tidak memberikan konfirmasi. Terlihat juga kehadiran dari wakil UN Women. Acara diawali dengan paparan program IPPI tentang integrasi layanan HIV dan kekerasan, yang dibawakan oleh Program Manager, Melly Lindi. Sesi pertama ini dimulai dengan pertanyaan dari beberapa peserta apakah IPPI ada di beberapa wilayah di Indonesia? Ini terkait dengan system rujukan dan kerja sama dengan lembaga layanan. Ada lebih dari 100 layanan yang tersebar dan bisa digunakan. IPPI telah bermitra dengan Komnas Perempuan untuk mendorong agar kasus kekerasan yang dialami dapat masuk ke Catahu Komnas Perempuan, dan akan ada wacana ke depan untuk mendokumentasikan kekerasan pada perempuan dengan latar belakang yang berbeda. Sesi kedua dimulai dengan Kontrak Belajar dari LBH APIK dan pre test. Peserta diminta menuliskan di atas kertas tentang harapan, usulan dan kekhawatiran para peserta terkait pelaksanaan training ini. Sebagian besar peserta berharap akan memahami lebih dalam tentang informasi HIV yang benar, lebih memahami bagaimana kasus kekerasan terhadap perempuan dan tahu bagaimana merujuknya. Kekhawatiran peserta adalah kurangnya maksimalnya materi karena keterlambatan para peserta. Sesi ketiga dimulai dengan memberikan kuiz tentang gender dan seks. Sebagian peserta sudah memahami perbedaan keduanya,bahwa gender adalah konstruksi sosial dan seks adalah jenis kelamin yang merupakan pemberian Tuhan. Pemahaman awal tentang gender cukup baik, terbukti dari salah seorang peserta yang memberikan gambaran tentang Dena, seorang transgender yang melakukan hormonal terapi, namun tidak melakukan operasi kelamin, peserta tersebut juga menjelaskan tentang interseks yang tidak hanya dikarenakan operasi kelamin juga karena alat kelamin yang terlahir tidak teridentifikasi (ambigu), ada juga interseks yang memiliki vagina tetapi tidak memiliki rahim, ada juga yang memiliki penis tapi kromosomnya bukan XY tapi XXY. Selanjutnya LBH APIK memutarkan film yang berjudul Impossible Dream, yang bercerita tentang pembagian peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Film tersebut menggambarkan tentang ketidakadilan gender yang terjadi di dalam masyarakat, dimana peran perempuan masih

5 sangat minor dalam rumah tangga. Peserta mendapat pemahaman tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan tentang adanya keberagaman seksualitas. Sesi keempat membahas tentang bentuk ketidakadilan gender di masyarakat, keluarga dan kebijakan. Dalam sesi ini peserta dibagi menjadi 5 kelompok. Dari lima kelompok tersebut muncul pertanyaan bahwa Apa yang pernah dilakukan sebagai konselor terkait pemahaman konselor tentang aturan payung? Apakah aspek hukum dijadikan bagian dari penguatan korban? Menurut LBH APIK, Konselor harus memberikan informasi hukum kepada korban, agar korban paham kemana harus merujuk kasusnya. Konselor harus memberikan beberapa informasi terkait payung hukum. Pada hari kedua, materi dibawakan oleh fasiltator yang berasal dari PULIH, yaitu Mas Cahyo dan Mba Danike. Sesi pertama dimulai dengan mereview apa yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender, bentuk ketidakadilan gender dan contohnya. Lalu mas Cahyo memulai diskusi kelompok dengan membagi menjadi kelompok sosial dan psikologis. Yang menjadi fokus pembahasan adalah apakah efeks sosial dan psikologis dari seseorang yang telah mengalami kekerasan fisik dari pasangannya. Terdapat siklus kekerasan yang dialami oleh korban yang biasanya perempuan, siklus tersebut disebabkan oleh cinta dan harapan yang melanggengkan kekerasan tersebut terjadi. Sesi kedua menjelaskan tentang pemulihan psikososial bagi korban kekerasan, terutama bagi perempuan dengan HIV.Pentingnya mengembalikan kebutuhan psikosial korban agar korban dapat melanjutkan hidupnya. Fasilitator menjelaskan tentang tanda-tanda seseorang telah pulih psikosialnya. Pada sesi ketiga, PULIH menjelaskan tentang pentingnya Psychological First Aid, yaitu pemberian bantuan psikologi awal yang dapat meminimalkan dampak psikologis setelah mendapat kekerasan. Selanjutnya PULIH memutarkan video berjudul Diversity & inclusion : Love has no labels, sebagai pengantar dalam menjelaskan bias. Sebagian besar peserta belum memahami tentang bias dan bentuk bentuknya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana penilaian sangat mempengaruhi cara bersikap seorang konselor. Pada hari ketiga, IPPI mendapat masukan dari peserta agar informasi tentang HIV dapat dimasukkan dalam materi training. Sebagian besar layanan Kekerasan belum memahami tentang informasi HIV yang benar. PKM Kramat Jati mengirimkan peserta yang cukup senior dan ahli dalam memberikan penyuluhan, sehingga pemaparan HIV pagi itu dibawakan oleh bu Ida, konselor PKM Kramat jati. Bu Ida menjelaskan bahwa HIV adalah penyakit yang kurang berbahaya dibandingkan TB tapi mengapa jika mendengar HIV, tanduk langsung panjang.bu Ida juga menjelaskan tentang LKB, layanan komprehensif berkesinambungan, dimana PKM hingga RS akan memberikan layanan bagi HIV yang

6 berkelanjutan, mulai dari tes HIV hingga pengobatan dan dukungan psikososial. Bu Ida juga menjelaskan adanya fenomena tenaga kerja indonesia (TKI) yang datang ke layanan dan tidak lolos jadi TKI karena katanya unfit alasannya darah kotor, ternyata Medical Record menunjukkan dia menderita HIV. Sebenarnya pihak penyeleksi harus menjelaskan alasan dia unfit, dengan memberikan konseling post test,agar pasien memahami kondisi kesehatannya. Pada hari ketiga, PULIH mulai membagi forum menjadi kelompok studi kasus. Setiap kasus akan dibahas bagaimana teknik bertanya konselor untuk mengetahui kerentanan terhadap kekerasan dan kerentanan terhadap HIV. Bagi konselor yang berada di layanan kekerasan, terdapat beberapa pertanyaan kunci yang harus ditanyakan seperti: (1) Perasaan2 yang dominan pada korban (2) Bentuk kekerasan yang dialami (3) Potensi terjadinya bentuk kekerasan lain dan argumentasinya (4) potensi terjadinya bentuk kekerasan lain? (5) Adakah kemungkinan terinfeksi HIV? (6) Siapa saja yang sudah mengetahui status HIV (7) Bagaimana kondisi saat ini (8) Bagaimana jika masyarakat mengetahui status? Pertanyaan diatas juga dapat digunakan untuk layanan HIV, namun dengan prioritas pertanyaan yang dibalik. Pada sesi selanjutnya peserta bermain peran, menjadi konselor dan klien. Tugas yang diberikan oleh PULIH adalah bagaimana konselor menunjukkan konseling yang (1) berempati pada klien (2) bersimpati pada klien. Dari hasil bermain peran, PULIH menganalisa bahwa sebagian besar dari konselor masih bersimpati pada klien, dimana simpati adalah salah satu bagian yang harus dihindari dalam proses konseling karena akan menimbulkan ketergantungan klien pada konselor. Peserta juga masih kurang mendengar aktif, dan lebih banyak menasihati klien. Dalam konseling simpati, konselor biasanya melarang klien memiliki perasaan dan mengungkapkan apa yang dia rasakan, misalnya ketika klien memiliki keinginan untuk bunuh diri, konselor tidak boleh melarang tapi membiarkan saja dulu ungkapan tersebut keluar dari dalam pikiran dan hatinya. Selanjutnya, dalam konseling simpati, konselor kadang menjanjikan hal-hal yang belum tentu dapat ditepati misalnya menawari tempat tinggal, biaya hidup, dll. Selain itu konselor sebaiknya tidak mengatakan saya paham masalah anda, hal ini untuk menghindari anggapan bahwa konselor merasa serba tahu dengan permasalahan klien. Pada hari keempat, PULIH meminta kepada seluruh peserta untuk memetakan layanannya masing masing berdasarkan jenis layanan yang disediakan, jam layanan, alamat, kontak layanan dan kontak

7 person. Hal ini dapat menjadi data yang bisa digunakan oleh IPPI untuk memberikan informasi tentang daftar penyedia layanan di DKI Jakarta. Sesi kedua, mba Early dari ResultinHealth memberikan pengantar tentang penyusunan Rencana Tindak Lanjut dan apa pentingnya melakukan RTL. Menurut Early,setiap lembaga memiliki prioritas kebijakan, SDM dan SOP sendiri dalam mengambil tindakan. Jika berbicara tujuan yang lebih tinggi, maka kita akan berbicara tentang bagaimana membangun sistem layanan yang terintegrasi antara HIV dan kekerasan. Kembali kepada lembaga masing-masing,apakah unsur-unsur untuk mendukung sistem tersebut sudah terpenuhi atau tidak. Unsur-unsur yang dibutuhkan adalah : SOP, SDM, Layanan rujukan sehingga sistem tersebut akan berjalanan. Saat ini yang dilakukan IPPI adalah mendorong terciptanya SDM yang siap dalam menjalankan sistem integrasi tersebut. Rencana Tindak Lanjut ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan dari tujuan training yang dilakukan IPPI dan tujuan lembaga mengikuti training tersebut. Dalam sesi penutup, PULIH mengakui mendapatkan ilmu baru dari training integrasi kekerasan dan HIV. Bahwa dalam penanganan kekerasan, perlu metode yang integratif dan menyeluruh. Sementara RiH mengakui bahwa training ini adalah sebagai langkah sederhana dalam memberikan pelayanan yang lebih baik bagi korban kekerasan. H. KENDALA YANG DITEMUI Kendala yang ditemukan dalam training tersebut adalah dalam penyampaian materi, baik fasilitator dari LBH APIK maupun dari PULIH masih belum mendapatkan metoda yang efektif dalam membahas isu kekerasan terkait dengan kekhasan perempuan dengan HIV. Apakah isu ini adalah hal baru bagi fasilitator atau memang butuh studi kasus yang lebih mendalam dalam menyampaikan materi agar lebih menyentuh isu HIV. Selain itu, kasus kasus yang digunakan oleh fasilitator tidak banyak tentang kasus yang mengangkat perempuan dengan HIV, namun lebih ke kasus KDRT pada umumnya. Kendala lainnya adalah keterbatasan waktu tidak sebanding dengan banyaknya beban materi yang disampaikan kepada peserta sehingga ada beberapa materi dasar yang hampir lupa disampaikan, yaitu informasi dasar HIV (baru disampaikan pada hari ke-3), padahal sebagian besar peserta yang datang berasal dari lembaga pemerhati kekerasan (11 lembaga). Pelaksanaan post test yang terkesan asal isi dan terburu buru juga menjadi hambatan utama karena peserta yang sudah terburu-buru untuk pulang. disiplin waktu peserta pelatihan di Medan mengalami rata-rata keterlambatan 5-10 menit untuk setiap sesi yang dimulai setelah waktu istirahat (snack pagi, makan siang dan snack sore) sementara di Jakarta rata-rata keterlambatannya menit dari jadwal yang ada untuk sesi-sesi yang dimulai setelah waktu istirahat.

8 I. RENCANA TINDAK LANJUT 1. Penyusunan kurikulum yang lebih padat dan sesuai kebutuhan di lapangan 2. Penyampaian materi dengan lebih maksimal oleh fasilitator dengan mempertimbangkan materi yang sesuai kebutuhan. 3. Studi kasus yang lebih representatif bagi kekhasan perempuan dengan HIV 4. Pelaksanaan pre dan post test yang lebih baik dengan waktu yang lebih luang 5. Peserta lebih berkomitmen dalam kontrak belajar J. ANALISA HASIL PRE TEST DAN POST TEST (dari LBH PULIH) Grafik 1. Hasil Pre dan Post test Konselor Layanan di DKI Jakarta Pre Post

9 Jumlah data. Hasil pre dan post test yang dikerjakan oleh konselor di DKI Jakarta adalah 13 orang, sebab sisanya ada yang tidak mengerjakan dan tidak diberi nama sehingga sulit untuk membandingkan. Jika dianalisa secara individu, maka persentase peningkatan/penurunan pengetahuan adalah sbb: Grafik 2. persentase peningkatan kemampuan konseling kerentanan HIV pada perempuan korban kekerasan Evie Permatasari Neneng Wulan Ayi Suherman Devy Feriani Ela Hayati Amalia R Fetty Fajriati Ayu Regina Yolandari Hikmah Lubis Indarto Siska Sriyanti Laelatus Saidan Series Dari grafik diatas perubahan positif terjadi pada konselor dari PKBI (Ayi Suherman) yang meningkat sebanyak 77,8%, lalu konselor dari Yayasan Kusuma Buana sebanyak 71,8% (Hikmah Lubis), kemudian disusul oleh konselor dari layanan pemerintah PKM Cengkareng (Devi Feriani) dan PKBI DKI (ela Hayati) sebanyak 45%. Perubahan negatif ditunjukkan oleh konselor dari Perempuan Berbagi yang menurun sebanyak 50% (Siska Sriyanti) dan dari SAPA Perempuan (Evie) sebanyak 12,5 %.