Ashadi ALUN-ALUN KOTA JAWA. Arsitektur UMJ Press

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Ashadi ALUN-ALUN KOTA JAWA. Arsitektur UMJ Press"

Transkripsi

1 Ashadi ALUN-ALUN KOTA JAWA Arsitektur UMJ Press

2 Ashadi, lahir 25 Pebruari 1966, di Cepu, Jawa Tengah. Pendidikan Tinggi: S1 Arsitektur UNDIP (1991), S2 Antropologi UI (2004), dan S3 Arsitektur UNPAR (2016). Ia aktif sebagai dosen di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FT-UMJ), sejak tahun Jabatan Struktural yang pernah dan sedang diemban yakni: Kepala Laboratorium Arsitektur FT-UMJ ( ); Ketua Program Studi Arsitektur FT-UMJ ( dan 2015-sekarang); Wakil Dekan FT-UMJ ( ); Kepala Pusat Afiliasi, Kajian dan Riset Teknologi FT- UMJ ( ); Kepala Lembaga Pengembangan Bisnis FT-UMJ ( ). Kegiatan ilmiah yang pernah dan sedang dilakukan: Penelitian Hibah Bersaing DIKTI, publikasi jurnal nasional maupun internasional, dan presentasi ilmiah pada forum-forum seminar skala nasional maupun internasional. Jabatan Fungsional Dosen terakhir: Lektor Kepala. Dalam 5 tahun terakhir, buku yang telah diterbitkan: Peradaban dan Arsitektur Dunia Kuno: Sumeria- Mesir-India (2016); Peradaban dan Arsitektur Klasik Yunani- Romawi (2016); Peradaban dan Arsitektur Zaman Pertengahan: Byzantium, Kekristenan, Arab dan Islam (2016); dan Peradaban dan Arsitektur Modern (2016).

3 ALUN-ALUN KOTA JAWA Ashadi Penerbit Arsitektur UMJ Press 2017

4

5 ALUN-ALUN KOTA JAWA arsitekturumjpress Penulis: ASHADI CETAKAN PERTAMA, AGUSTUS 2017 Hak Cipta Pada Penulis Hak Cipta Penulis dilindungi Undang-Undang Hak Cipta 2002 Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit. Desain Sampul Tata Letak : Abu Ghozi : Abu Ghozi Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) ASHADI Alun-Alun Kota Jawa Jumlah halaman 148 ISBN Diterbitkan Oleh Arsitektur UMJ Press Jln. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat Tetp , Fax arwityas@yahoo.com Gambar Sampul: Peta kota Yogyakarta ( akses 22 Juni 2017) Dicetak dan dijilid di Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan

6 Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp ,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp ,00 (limaratus juta rupiah).

7 ABSTRAK Dalam tata ruang kota tradisional Jawa, keberadaan alun-alun sebagai ruang terbuka kota memiliki arti yang sangat penting; ia bahkan menjadi pusat kota. Tujuan penelitian ini adalah menelusuri dan memahami konsep ruang terbuka kota dalam tata ruang kota-kota di Jawa, dengan tiga studi kasus: alun-alun kota Yogyakarta, Demak, dan Semarang. Pendekatan atau metode yang digunakan adalah gabungan dari metode penelusuran sejarah, penyelidikan deskriptif studi kasus, dan metode komparatif. Metode sejarah menitik-beratkan pada suatu narasi peristiwa masa lampau yang terintegrasi. Metode deskriptif studi kasus digunakan untuk mendeskripsikan secara akurat fakta-fakta. Dari hasil penelusuran sejarah dan deskripsi factual dari ketiga studi kasus, kemudian diperbandingkan studi kasus satu dengan studi kasus lainnya, dan dengan ruang terbuka kota dalam tata ruang kota-kota kuno di belahan Dunia Barat. Perbandingan dengan yang terakhir ini dilakukan karena kota-kota Dunia Barat merupakan cikal bakal kota-kota modern. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada awalnya, alunalun merupakan tempat untuk urusan politik, kemudian berubah secara bertahap menjadi tempat kegiatan komersial. Kata Kunci: Alun-alun, Ruang Terbuka Kota, Tata Ruang Kota.

8 KATA PENGANTAR Dengan mengucap Alhamdulillah, akhirnya buku berjudul Alun-Alun Kota Jawa bisa dirampungkan. Buku ini merupakan hasil format ulang Laporan Penelitian berjudul Alun-Alun: Menelusuri Konsep Ruang Terbuka Kota dalam Tata Ruang Kota Kuno di Jawa (2003), yang didanai oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Muhammadiyah Jakarta (LPP-UMJ). Dalam proses format ulang ditambahkan gambar-gambar baru untuk memperjelas uraian pembahasan. Dalam kesempatan ini, Penulis dengan setulustulusnya mengucapkan terima kasih, khususnya kepada Kepala LPP-UMJ, Prof. Dr. Hj. Sri Mulyani Soegiono, SH., M.Pd, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan penelitian dan memberikan kelonggaran waktu penyelesaian Laporan Hasil Penelitian. Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tentang konsep ruang terbuka dalam tata ruang kota di Jawa. Jakarta, Agustus 2017 Penulis i

9 ii

10 PENGANTAR PENERBIT Alhamdulillah, tulisan Ashadi yang berjudul Alun-Alun Kota Jawa dapat kami terbitkan. Buku ini adalah hasil format ulang dari Laporan Penelitian berjudul Alun-Alun: Menelusuri Konsep Ruang Terbuka Kota dalam Tata Ruang Kota Kuno di Jawa (2003). Dalam buku ini, penulis berusaha memahami konsep ruang terbuka kota dalam tata ruang kota di Jawa, melalui penelusuran tiga studi kasus, yaitu alun-alun kota Yogyakarta, alun-alun kota Demak, dan alun-alun kota Semarang. Pendekatan yang digunakan adalah gabungan dari pendekatan penelusuran sejarah, penyelidikan deskriptif studi kasus, dan metode komparatif. Kekuatan buku ini adalah penelusuran sejarah dan deskripsi mendalam tentang konsep alun-alun sebagai ruang terbuka kota dalam tata ruang kota-kota di Jawa. Kehadiran buku ini menjadi salah satu sumbangan penting bagi khasanah ilmu pengetahuan. Jakarta, Agustus 2017 Penerbit iii

11 iv

12 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PENGANTAR PENERBIT DAFTAR ISI HAL. i iii v BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II IHWAL KOTA Definisi Kota Asal Usul Kota Pertumbuhan dan Perkembang Kota : Ruang Terbuka Kota 14 BAB III KOTA-KOTA KUNO DI JAWA Sejarah Singkat Karakteristik dan Morfologi Kota 36 BAB IV KASUS TIGA KOTA Yogyakarta Gambaran Umum Kota dan Kehidupan Sosio-Kultural Masyarakatnya 41 v

13 vi Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Alun-alun Demak Gambaran Umum Kota dan Kehidupan Sosio-Kultural Masyarakatnya Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Alun-alun Semarang Gambaran Umum Kota dan Kehidupan Sosio-Kultural Masyarakatnya Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Alun-alun 89 BAB V ALUN-ALUN : RUANG TERBUKA KOTA DALAM STRUKTUR RUANG KOTA TRADISIONAL JAWA Asal Usul : Dari Tanah Lapang Menjadi Alun-alun Alun-alun : Bukan Sekedar Ruang Kosong Alun-alun dalam Tatanan Kosmos 127 BAB VI KESIMPULAN 131 DAFTAR PUSTAKA 141

14 BAB I PENDAHULUAN Dalam tata ruang kota kuno di Jawa, alun-alun merupakan salah satu elemen penting; ia sebagai pusat kegiatan dan menjadi landmark kota. Secara fisik, alunalun berupa tanah lapang yang luas dan selalu berbentuk persegi mendekati bujur sangkar. Di seputar alun-alun itu berdiri bangunan-bangunan penguasa seperti istana, kabupaten, tempat asisten residen, selain tempat ibadah. Di tengah-tengah alun-alun biasanya terdapat pohon beringin besar yang dapat memberi suasana teduh dalam aksentuasi ruang yang longgar. Letak kabupaten atau istana selalu memangku alun-alun, membelakangi gunung dan menghadap laut. Pohon beringin yang ditanam di halaman keraton atau di alun-alun merupakan lambang dari kehidupan; hal ini terkait dengan kepercayaan lama yang menganggap bahwa pohon beringin mempunyai kekuatan istimewa. Menurut serat Selokapatra, pohon beringin ditanam atas perintah sang raja atau penguasa; ia merupakan lambang perlindungan dan pengayoman raja kepada rakyatnya. Menurut Wiryomartono, pada awalnya alun-alun berupa tanah lapang sebagai prasarana kehidupan religius untuk mewadahi kegiatan-kegiatan ritual bersama dalam tradisi Jawa. Hinduisme dan Budhisme telah 1

15 2 memberikan kontribusi awal yang cukup berarti bagi perkembangan alun-alun (Wiryomartono, 1995:46). Kemudian tradisi-tradisi tahunan Islam Jawa seperti Sekatenan atau Garebeg yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta, Surakarta dan Demak juga memberikan peran penting kepada alun-alun. Namun tidak semua kota yang memiliki alun-alun mampu mempertahankan keberadaan ruang kosong itu. Dalam perubahan zaman yang makin deras dengan industri perdagangan menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat modern, tempat-tempat strategis di tengah kota, tidak terkecuali alun-alun, menjadi incaran para pemilik modal. Salah satu kota yang kehilangan alun-alun nya adalah kota Semarang. Areal di sebelah timur masjid Agung dan di sebelah barat pasar Johar sekarang ini, semula adalah alun-alun; kini ia menjadi pasar Yaik. Perubahan struktur masyarakat telah mempengaruhi perubahan peruntukan lahan, bangunan dan tata ruang secara keseluruhan. Alun-alun yang telah terdesak oleh mal dan berbagai pusat perbelanjaan, bagaimana ia harus mempertahankan keberadaannya? Mal adalah cerminan demokrasi masyarakat urban, terbentuk melalui kebutuhan masyarakat kota yang memang membutuhkan tempat itu. Bila kita melakukan klasifikasi terhadap morfologi kota-kota kuno di Jawa yang (pernah) memiliki alun-alun, maka terdapat tiga kelompok, yaitu pertama, kelompok yang struktur kotanya tidak berubah, seperti kota Yogyakarta dan Surakarta; kedua, kelompok yang struktur kotanya berubah tanpa hilangnya alun-alun, seperti kota Demak, Pati dan Rembang; dan ketiga,

16 kelompok yang struktur kotanya berubah dan alun-alun nya pun hilang, seperti kota Semarang. Terjadinya kondisi yang berbeda di antara kotakota di Jawa yang dahulu sama-sama memiliki alun-alun, telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kondisi alun-alun yang berbeda? b. Apakah alun-alun dalam tata ruang kota kuno di Jawa mencerminkan konsep kota Islam? ataukah ada pengaruh-pengaruh dari konsep kota dari kebudayaan Jawa Asli atau Hindu/Budha? Dan apakah kebudayaan-kebudayaan itu (Islam, Jawa Asli, Hindu/Budha) ikut mendorong terjadinya kondisi alun-alun yang berbeda? Adanya kelanggengan maupun perubahan bentuk dan fungsi alun-alun kota tidak terlepas dari sejarah panjang yang dilalui oleh sebuah kota. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengapa alun-alun kota bisa bertahan, berubah maupun hilang, dan bagaimana prosesnya. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui konsep perancangan kota kuno di Jawa yang berakar dan dipakai secara berkesinambungan baik dalam perancangan kota pada zaman Hindu/Budha, Islam maupun Kolonial Belanda. Secara ilmiah, penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa sejumlah data dan informasi mengenai berbagai aspek tata ruang kota kuno di Jawa. Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya kondisi yang berbeda di antara kota-kota Jawa yang memiliki alun-alun, dapat 3

17 4 digunakan sebagai referensi bagi pihak-pihak yang terkait dengan perencanaan dan perancangan kota modern. Obyek studi kasus dalam penelitian ini adalah alun-alun kota Yogyakarta, Demak dan Semarang. Pemilihan dan penentuan obyek studi kasus didasarkan pada kondisi alun-alun dan struktur ruang kota lama dari masing-masing kota tersebut; ketiga kota itu mewakili kelompok-kelompok dalam klasifikasi morfologi kota-kota kuno di Jawa seperti diuraikan di atas. Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan menggabungkan metode penelusuran sejarah, metode penyelidikan deskriptif studi kasus dan metode komparatif. Metode sejarah menitik beratkan pada suatu narasi peristiwa masa lampau yang terintegrasi, bertujuan melakukan pencarian kritis untuk seluruh kebenaran mengenai tata ruang kota kuno di Jawa. Dokumen dan peninggalan, baik peninggalan material maupun non material merupakan saksi pertama untuk suatu kenyataan sebagai sumber primer yang utama. Data yang terkumpul diklasifikasikan, dievaluasi dan kemudian diinterpretasikan. Metode deskriptif digunakan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena tata ruang kota kuno di Jawa. Jenis metode deskriptif yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus, dengan penentuan tiga obyek studi; dengan pertimbangan bahwa metode ini dapat memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari masing-masing obyek studi, yang kemudian dengan metode komparatif, dari latar belakang,

18 sifat-sifat dan karakter-karakter yang khas itu akan diperbandingkan satu sama lain di antara ketiga obyek kajian. Metode komparatif dilakukan untuk menemukan gambaran yang jelas tentang kesamaan dan perbedaan yang ada dari masing-masing obyek studi. Secara garis besar, tata alur isi Laporan Penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan, manfaat dan metode penelitian yang digunakan. Bab II menguraikan tentang ihwal kota; di dalamnya dipaparkan mengenai definisi kota, asal-usul kota, dan pertumbuhan dan perkembangan ruang terbuka kota di kebudayaan Yunani, Romawi dan Eropa. Bab III membahas kota-kota kuno di Jawa sejak zaman Majapahit hingga zaman Kolonial Belanda. Dalam bagian ini juga diuraikan tentang karakteristik dan morfologi kota-kota tradisional Jawa. Bab IV membahas tentang obyek studi kasus, yaitu Yogyakarta, Demak dan Semarang. Yang dibahas dari kota-kota itu adalah gambaran umum kota dan kehidupan sosio-kultural masyarakat; pertumbuhan dan perkembangan kota; dan gambaran alun-alun ketiga kota. Bab V menjelaskan keberadaan elemen alun-alun dalam struktur ruang kota tradisional Jawa. Di dalamnya diuraikan tentang asal-usul alun-alun, konsep alun-alun sebagai ruang kosong, dan alun-alun dalam tatanan kosmos. Bab VI sebagai bab penutup, berisi uraian tentang kesimpulan dari hasil keseluruhan kajian penelitian ini. 5

19 6 Gambar 01. Kota-kota obyek studi : (1) Yogyakarta, (2) Demak, dan (3) Semarang

20 BAB II IHWAL KOTA 2.1. Definisi Kota Tidak ada definisi tunggal tentang kota. Tidak ada gambaran tunggal yang akan meliputi seluruh transformasi kota, dari inti sosial yang bersifat embrio hingga kepada bentuk kompleks dari kedewasaannya dan disintegrasi dalam usaha memenuhi kebutuhan badaniah dari masa-masa tuanya (Mumford, 1961:3). Semua definisi tentang kota sangat tergantung dari fokus pendekatan. Pendekatan geografis-demografis melihat kota sebagai tempat pemusatan penduduk, walaupun berapa jumlah penduduk tersebut tidak dinyatakan secara pasti. Pendekatan dari segi ekonomi, melihat kota sebagai pusat lalu lintas ekonomi dan perdagangan dan kegiatan industri, serta tempat perputaran uang yang bergerak dengan cepat dan dalam volume yang banyak. Pendekatan sosio-antropologis melihat hubungan antar manusia yang tinggal di kota sudah renggang dan heterogen, tidak lagi seperti keadaan masyarakat yang terdapat di desa yang biasanya masih sangat akrab dan homogen (lihat Marbun, 1990:10). Parsudi Suparlan dengan merujuk kepada para ahli perkotaan, antara lain, Braidwood (1962), Jacobs (1969), Lamber-Karlovsky (1972), Mallowan (1965), 7

21 8 Mellaart (1965), Mumford (1961), dan Shapiro (1971), melihat kota sebagai sebuah tempat tinggal atau hunian yang permanen, warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan hidup yang pengelompokkanya lebih besar dari pada sebuah keluarga luas atau klen, merupakan pusat perkembangan dan pendominasian atas wilayah-wilayah pedesaan atau hinterland yang ada di sekelilingnya, corak kehidupan ekonomi yang menekankan pada usaha-usaha komersial dan jasa-jasa pelayanan serta industri, sistem-sistem pembagian kerja yang bukan semata-mata didasarkan atas perbedaan jenis kelamin dan umur, berkembang dan berfungsinya spesialis-spesialis dalam berbagai bidang keahlian dan pekerjaan dalam kehidupan warga kota, muncul dan dimantapkannya hierarki dan stratifikasi sosial dengan implikasi perbedaan-perbedaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan dalam hal fasilitas-fasilitas dan keistimewaan-keistimewaan dalam kehidupan perkotaan (Suparlan, 1996). Menurut Achmad Fedyani Saifuddin, dengan merujuk kepada Meyer (1984), Cobban (1975), Spoehr (1972), dan McGee (1969), dalam perspektif sosio-kultural kota dipandang sebagai suatu konsentrasi penduduk yang berada di bawah suatu system kekuasaan yang menyusun dan mengatur kebijakan dan kegiatan ekonomi penduduk. Dalam melaksanakan pengaturan itu, kekuasaan menggunakan dan atau memperoleh dukungan atau legitimasi dari unsure-unsur kultur lainnya. Dilihat dari definisi ini maka kota tidaklah semata-mata wilayah, sistem administrasi, atau kumpulan konsentrasi penduduk, melainkan suatu totalitas dari proses interaksi

22 yang terjadi antara penduduk dan sumber daya yang membutuhkan pengaturan dan pengorganisasian yang sistematik yang disebut kekuasaan atau pemerintahan (Saifuddin, 1999). Dalam buku The City Shaped, Spiro Kostof, berkaitan dengan pertanyaan apa itu kota, memberikan karakteristik tentang kota-kota (Kostof, 1991:37-40) : 9 (1) Energized crowding Kota-kota adalah tempat dimana sekerumunan orang yang memiliki kekuatan mengambil tempat. Premis ini lebih menekankan kepada kepadatan hunian, ketimbang ukuran dan jumlah absolut. (2) Urban clusters Kota-kota muncul dalam bentuk kelompok. Tidak ada sebuah kota yang keberadaannya tidak disertai dengan kota lainnya. Oleh karena itu, tidak bisa dihindarkan bahwa kota-kota itu terkunci dalam sebuah sistem kota, sebuah hirarki kota. (3) Physical circumscription Kota-kota adalah tempat yang memiliki banyak pembatasan fisikal, baik material maupun simbolik (a city without walls is not a city). (4) Differentiation of uses Kota-kota adalah tempat dimana di sana terdapat spesialis kerja yang berbeda-beda; ada orang yang menjadi pemuka agama, pengrajin, tentara dan lain-lain.

23 10 (5) Urban resources Kota-kota adalah tempat yang disokong oleh sumber income perdagangan, pertanian intensif dan surplus makanan; sumber fisikal seperti logam; sumber geomorfik seperti pelabuhan alami; sumber daya manusia seperti seorang raja. (6) Written records Kota-kota adalah tempat yang menyandarkan diri pada catatan-catatan tertulis. Sebab dalam analisa akhir, sebuah kota menyandarkan pada konstruk kepemilikan. (7) City and countryside Kota-kota adalah tempat yang secara intim mengikut-sertakan desa-desa di sekitarnya. (8) monumental framework Kota-kota adalah tempat yang dibedakan oleh banyak jenis definisi monumental. (9) building and people. Kota-kota adalah tempat yang terdiri atas bangunan dan orang-orang. Sementara itu, Amos Rapoport mengatakan bahwa definisi turun-temurun tentang kota agak bersifat ethnosentrik, di dasarkan pada kota Barat modern (misalnya zaman pertengahan), yang telah menuntun kita ke arah argumentasi penting seperti apakah kompleks permukiman bangsa Maya pada masa Meso-Amerika pra- Kolombia berupa kota atau bukan dan apakah perkampungan bangsa Afrika di masa prakontak, seperti Yeroba, merupakan kota atau bukan. Tidak ada satupun

24 11 dari kedua ini akan sesuai dengan perumusan klasik. Lebih lanjut Rapoport, mengemukakan pada kultur yang berbeda-beda, elemen-elemen yang berbeda-beda telah dipergunakan sebagai persyaratan minimum bagi sebuah permukiman untuk dapat disebut sebagai sebuah kota. Sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah kota tidak dari segi ciri-ciri morfologik tertentu, atau bahkan kumpulan cirri-ciri, tetapi dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyususn sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang yang efektif. Tiap rumusan mengenai sebuah kota, harus dari segi sebuah unit permukiman yang dalam beberapa cara mengorganisasikan sebuah daerah pedalaman atau wilayah yang lebih besar (Rapoport, 1985:22-23) Asal-Usul Kota Dalam sepanjang zaman dan tempat, dari Mesir kuno hingga Amerika modern, perkembangan yang paling menakjubkan dari mentalitas, inisiatif dan pencapaian tertinggi manusia ada di komunitas kota. Sejarawan melihat bahwa kota merupakan prestasi kemajuan dari evolusi sosial. Dalam usaha mengoptimalkan keberadaannya, sebelum kota dimungkinkan terbentuk, manusia mengembangkan tingkat sosialnya melebihi perjuangan primitif. Pada waktu mulanya, manusia berkembang melalui entitas perdusunan dengan lahan pertanian murni; dan dia dapat mengontrol lingkungannya sebelum membangun sebuah kota. Max Weber memberikan satu elemen sebagai ciri yang menandai keberadaan sebuah kota. Dari berbagai

25 12 macam definisi tentang kota, menurut Weber, hanya terdapat satu elemen saja yang sama, ialah bahwa kota itu terdiri atas sekelompok rumah, rumah yang satu terpisah dari pada yang lain, tetapi merupakan tempat kediaman yang relatif tertutup. Elemen berkelompok itulah yang terkandung dalam konsep sehari-hari tentang apa yang disebut kota, maka baginya kota itu lokalitas yang luas (Weber, 1966:65). Aktifitas berkelompok ini rupanya menjadi pertanda awal peradaban kota, yang diprediksikan dimulai sekitar SM, di wilayahwilayah yang terkenal dengan sebutan bulan sabit yang subur, yaitu di dataran di antara sungai Tigris-Eufrat (Mesopotamia), di lembah sungai Nil (Mesir), dan di lembah sungai Indus (India). Pada masa itu, manusia sudah membangun suatu permukiman, merajut pakaian, bercocok tanam, mengolah dan menyimpan hasil panen, memelihara binatang ternak, menavigasikan sebuah kapal kecil, bahkan membangun monumen-monumen (lihat Mumford, 1961; Burke, 1971; Catanese, 1979). Monumen-monumen yang dibangun pada umumnya bersangkut-paut dengan fasilitas persembahan kepada tuhan dan peristirahatan terakhir (makam) bagi orang-orang yang dihormati. Berkaitan dengan ini, Gideon Sjoberg yang telah mengumpulkan bukti-bukti penting tentang kota-kota pra-industri, menemukan model ideal dari kota pra-industri, terutama kota-kota zaman kuno. Bahwa karakteristik kota-kota kuno memiliki standar gabungan; dia sebagai pusat pemerintahan dan agama. Di dalam kota berdiam para elit; dan hanya di tempat kedua menjadi pusat perdagangan. Kelompok-kelompok etnis cenderung membentuk kantong-kantong terpisah, dimana

26 13 rumah tangga keluarga luas (extended family) mempunyai kedudukan penting (Sjoberg, 1960). Peradaban kota di pulau Crete ( SM) sepertinya bisa menjadi contoh yang baik. Tiga buah kota istananya yang termashur, yaitu Knossos, Phaistos, dan Mallia, menampung keluarga istana, pelayan, seniman, pengrajin, dan budak, yang semuanya diatur oleh raja yang sekaligus sebagai pemimpin agama (Priest-King). Berbeda dengan Sjoberg, Max Weber menempatkan kegiatan perekonomian sebagai hal yang sangat penting bagi sebuah kota. Istilah kota di sini, menurut Weber, berarti tempat pasar (Weber, 1966:67). Seolah-olah menggabungkan pendapat Sjoberg dan Weber, Lewis Mumford mengemukakan bahwa meskipun semua fungsi Citadel (embrio sebuah kota - berbenteng) adalah dalam fokus dan pengembangan keagamaan dan kekuatan politik, ia memungkinkan bisa memainkan peranan secara seimbang dalam kehidupan ekonomi kota (Mumford, 1961:70). Para arkeolog, dalam setiap ekskavasi, dari Uruk hingga Harappa, menemukan halaman yang bertembok. Di dalamnya, biasanya terdapat tiga buah bangunan batu atau bata bakar besar, yaitu berupa istana, lumbung, dan kuil. Jika pada permulaan, seseorang tidak dapat menemukan ruang terbuka yang dapat disebut sebuah pasar, hal itu, mungkin karena ruang yang dimaksud adalah halaman kuil. Dalam tingkat awal perkembangan kota, sebagaimana disetujui oleh Mumford, bahwa telah ada sebuah ekonomi terkontrol yang berpusat di kuil. Jadi, halaman kuil itu sendiri tidaklah benar-benar

27 14 merupakan sebuah areal religius; ia melayani juga layaknya trading estate dimana barang-barang dihasilkan, dan sebagai shopping center dimana orangorang menyimpan dan mendistribusikannya (lihat Mumford, 1961:71-72). Hippodamus, yang dianggap sebagai salah seorang perencana kota kuno Yunani (abad ke-5 SM), mengembangkan konsep sebuah agora - sebuah pasar sentral - yang diatur disepanjang garis-garis segi empat. Di lapangan ini perniagaan kota diselenggarakan. Di beberapa kota periode awal, agora ditemukan dekat gerbang kota. Agora pada mulanya merupakan sebuah tempat untuk perkumpulan politik dan pertemuan wakil rakyat. Kemudian berubah secara bertahap menjadi sebuah pusat untuk kegiatan pasar, dan akhirnya kegiatan komersial sangat mendominasi agora Pertumbuhan dan Perkembangan Kota : Ruang Terbuka Kota Sedikit kota yang kebudayaannya tinggi dimulai dengan sebuah rencana, demikian dikemukakan oleh Gallion dan Eisner. Pada umumnya, kota-kota berkembang melalui suatu proses pertumbuhan perkembangan yang tidak teratur, responsif terhadap perubahan kebiasaan penduduk, dan bersifat sukarela. Dengan surut dan berkembangnya kebudayaan, maka pola-pola tak teratur dan geometris dijalin satu sama lain. Jadi kota-kota telah mengalami proses perubahan bentuk secara terus menerus sepanjang masa, dan keragaman bentuknya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan tertentu yang dominan selama masa-masa tertentu dalam sejarahnya

28 15 (Gallion, 1996:9). Kota dibangun sedikit demi sedikit, tahap demi tahap, tumbuh sejalan dengan pertambahan populasi dan bangunan-bangunan yang dibutuhkannya. Kemudian dalam perkembangannya, kota telah berhasil memproduksi Iptek, seni dan literature, juga kebebasan seseorang, wawasan yang luas dan imajinasi. Di atas dataran tinggi Attic yang berbatu, Acropolis, negara kota Athena, mendominasi kota-kota di Yunani. Acropolis yang dibangun kembali pada tahun SM, setelah dihancurkan oleh bangsa Persia, memperlihatkan sebuah kemegahan, keagungan dan martabat yang tidak ada sejajarnya dengan kultur atau peradaban dunia kuno manapun. Acropolis dikelilingi tembok; masuk ke dalamnya melewati Propylea yang mengesankan. Di bagian atas tapak terdapat Doric Parthenon yang terkesan agung; dan Ionic Erechtheum yang anggun, juga ada kuil Nike Athena yang sederhana dan elegan dan kuilkuil lainnya yang disertai patung-patung yang kesemuanya berkombinasi menghasilkan sebuah halaman yang sifatnya religius dari sebuah keagungan dan keindahan yang unik. Di luar tembok bagian selatan terdapat Teater Dionysos yang menjadi tempat lahirnya drama-drama Yunani. Keberadaan kuil, patung dan monumen yang lain dari Acropolis (beberapa Acropolis Yunani selain Athena adalah Corinth, Selinus dan Thera) membuktikan bahwa permulaan Yunani telah mencoba secara sadar untuk mempercantik dan menghias areal sakral mereka. Tetapi cukup jelas bahwa mereka tidak mengarahkan kepada

29 16 jenis penyatuan dan integrasi ruang. Teknik pendefinisian ruang pada kesetaraan skala dengan kebutuhan manusia belum dikembangkan oleh Yunani. Gambar 02. Acropolis Athena (Burke, 1971:15) Paul Zucker dalam buku Town and Square, memberikan gambaran yang cukup gamblang tentang sejarah dan estetika ruang kosong (void) yang terbentuk secara artistik, yang menemukan bentuknya dalam ruang terbuka kota atau town square. Menurutnya, ruang terbuka kota yang sejati baru dikembangkan di kota-kota Yunani setelah 500 SM. Kota-kota di Mesopotamia, India dan Mesir pada 3000 SM, tidak pernah memunculkan dan membentuk sebuah ruang kosong dalam areal tiga

30 17 dimensional yang kita sebut ruang terbuka kota atau town square. Hal ini bisa dijelaskan secara sosiologikal : hanya dalam sebuah peradaban dimana manusia yang tidak diketahui namanya telah menjadi seorang warga negara, dimana demokrasi telah berkembang luas, memungkinkan tempat berkumpul menjadi cukup penting untuk mengambil bentuk yang spesifik (Zucker, 1959:19). Dalam argumenstasi ini, sepertinya Zucker ingin menunjukkan bahwa keberadaan sebuah ruang terbuka kota yang sejati sangat ditentukan oleh adanya demokrasi yang dikembangkan oleh warga masyarakat kota tersebut. Pada umumnya keinginan untuk membentuk ruang berkembang sangat lambat setelah abad ke 5 SM, secara perlahan meningkat pada masa Hellenistic hingga pada puncaknya pada zaman arsitekur dan perencanaan kota Romawi. Meningkatnya kemakmuran yang dibarengi dengan peningkatan jumlah populasi kota membawa tekanan penderitaan yang disebabkan oleh ketidak-seimbangan suplai makanan lokal sebagai batas kebutuhan populasi kota lokal. Kota-kota seperti Athena, Corinth, Selinus dan Thera menemui kesulitan, ditambah lagi dengan adanya pembentukan koloni-koloni di sepanjang pesisir Mediterranean dan menarik para settler, seperti kota-kota koloni Miletus, Syracus, Naples dan Pompeii. Dari situlah era Hellenistik (masa peralihan Yunani Romawi) di mulai. Miletus tercatat sebagai tempat kelahiran seorang perencana kota pertama bernama Hippodamus, yang lahir pada tahun 480 SM. Aristoteles mempertalikan nama

31 18 Hippodamus pada penemuan metode pembagian kota dengan penyediaan tapak untuk tujuan publik seperti kuil, kantor-kantor pemerintah, teater, stadium, gymnasium dan agora, dan mengatur hunian di sepanjang jalan lurus dari susunan yang cukup lebar pada sebuah grid atau lebih dikenal dengan pola papan catur. Hippodamus mengembangkan konsep sebuah agora sebuah pasar sentral yang diatur di sepanjang garis-garis segi empat. Agora tersebut berbeda dari lapangan majelis politik rakyat yang disebut Pnix, tetapi sering kali berdekatan letaknya. Di lapangan ini perniagaan kota diselenggarakan. Terdapat beberapa bukti bahwa peraturan-peraturan bangunan telah dikembangkan untuk mencegah pelanggaran perorangan pada tempattempat publik dan jalur umum. Gambar 03. Agora Yunani : ia menjadi pelataran dan menyatu dengan kuil (Zucker, 1956:plate 6)

32 19 Forum di kota-kota Romawi, yang dapat disamakan dengan agora di kota-kota Yunani, adalah sebuah ruang terbuka sentral yang digunakan sebagai tempat berkumpul, pasar, atau pertemuan-pertemuan politik warga masyarakat kota (periksa Fletcher, 1987: ). Setiap kota Romawi memiliki, paling tidak sebuah forum. Tiap kaisar baru Romawi mendirikan sebuah forum yang lebih besar dari pada sebelumnya untuk kebesaran dirinya. Gambar 04. Kota Roma Kuno dengan beberapa Forum (Staccioli, 1962:2)

33 20 Gambar 05. Forum Romanum di Roma (Staccioli, 1962:25) Setelah mengalami perubahan dan perkembangan, forum biasa didefinisikan sebagai ruang terbuka formal berbentuk segi empat, dilengkapi dengan collonade, didekorasi dengan patung-patung dan diapit oleh bangunan umum meliputi basilica (assembly room atau town hall), curia (law courts), kuil, kantor-kantor kota praja, bangunan pajak dan pertokoan. Dekat forum juga ditempatkan thermal (tempat pemandian umum). Thermal ini perkembangan dari gymnasium Yunani, mempunyai arti yang penting dalam kehidupan social sehari-hari, digunakan untuk kesenangan dan rileks. Semua kota, yang kecil mempunyai theatre dan yang besar mempunyai ampitheatre. Colloseum Roma yang sekarang masih ada adalah bukti sejarah yang mengesankan dari sebuah ampitheatre dengan tempat duduk berkapasitas orang.

34 21 Zucker menduga, dasar sejarah tipikal forum Romawi bersumber pada tiga peradaban, yaitu berturutturut : hunian terramara; kota-kota etruscans; dan kampung militer castrum Romawi. Menurut Zucker, karakteristik utama yang dengannya kota-kota Romawi dibedakan dengan pola gridiron post-hippodamic Yunani, dan yang meneruskan melalui sejarah Romawi dari zaman republik hingga ke zaman kekaisaran adalah sebagai berikut : (1) adanya sumbu dari jalan-jalan utama dan jalan-jalan kelas dua; (2) adanya penekanan pada areal kosong pada persilangan antara kedua jenis jalan; (3) lokasi sumbu dari bangunan utama square cocok dalam suasana kontras dibanding dengan lokasi lateral pada kota-kota Hellenistic; dan (4) kebanyakan, meskipun tidak selalu, batas yang berbentuk segi empat dari hunian, secara jelas berlawanan atau kontras dari lansekap sekelilingnya, berlawanan dengan transisi dari kota ke lansekap sebagaimana biasa di Yunani (Zucker, 1959:47-48). Vitruvius, seorang arsitek Romawi, dalam bukunya De Architectura, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh M. H. Morgan : The Ten Books of Architecture (1914), memberikan beberapa detail tentang kesesuaian forum. Dia menyarankan, ukuran-ukuran forum seharusnya selalu dalam hubungan populasi. Sebuah proporsi yang ideal dari sisi-sisinya sebaiknya dalam perbandingan 3 : 2. Pusat harus tetap bebas dan bangunan kota praja harus berdekatan dengannya, begitu pula bangunan penjara. Lokasi forum berada di jantung kota, hanya untuk kotakota pelabuhan dia menyarankan letak forum dekat

35 22 dengan pelabuhan. Semua saran-saran ini, Vitruvius hanya mendasarkan pada hal-hal : kesehatan, iklim, arah angin, dan kebutuhan fungsi. Setelah kekaisaran Romawi runtuh (sekitar abad ke-5 M), muncullah zaman Kegelapan, kota-kota Romawi banyak yang dihancurkan oleh bangsa Barbar atau menggunakan kota-kota Romawi sebagai perbentengan dalam peperangan setempat mereka; perencanaan dan pembangunan kota terhenti. Baru, kemudian, sejak kirakira abad ke-10 M, sejumlah besar pembangunan kota di dunia Barat dilaksanakan kembali secara intensif. Kotakota yang dibangun, baik yang merupakan pengembangan dari kota lama (zaman Romawi) maupun hasil perencanaan kota yang baru, pada umumnya, dipusatkan pada gereja; kota-kota itu mencerminkan pengaruh agama Kristen pada pemikiran Barat. Gallion dan Eisner menggambarkan situasi kotakota abad Pertengahan (sekitar abad ke-10 hingga ke-15 Masehi) awal sebagai berikut : Halaman gereja menjadi pasar dan dengan diberikannya kewarganegaraan kepada penduduk dan pedagang, serta terbentuknya perserikatan-perserikatan, maka balai kota dan gedung perserikatan dibangun pada atau bersebelahan dengan pelataran pasar. Dengan demikian, posisi gereja membentuk suatu kesatuan pada kota, yaitu kesatuan yang diperkuat oleh lingkungan tembok yang mengelilingi kota. Kastil dikelilingi oleh temboknya sendiri

36 23 sebagai suatu perlindungan akhir bila ada musuh yang dapat menembus benteng utama dan memasuki kota Jalan-jalan pada umunya memancar dari halaman gereja dan pelataran pasar ke pintu-pintu gerbang dengan jalan-jalan sekunder yang menghubungkan jalan-jalan utama tersebut Ruang-ruang terbuka - jalan dan lapangan - dikembangkan sebagai bagian terpadu dari tapak berdirinya bangunan (Gallion, 1996:31-32). Banyak konsep perencanaan perkotaan yang muncul pada abad ke-15 Masehi, seiring dengan lahirnya zaman Renaissance, dimana bibit-bibit individualisme mulai tumbuh. Bila sebelumnya, tidak diketahui siapa yang merencanakan sebuah kota, sekarang tokoh-tokoh seperti Bernini, Carlo Rainaldi, dan Michelangelo di Italia; Mansart dan Fontaine di Perancis; Christopher Wren dan Inigo Jones di Inggris; dan banyak lagi yang terkenal di seluruh dunia, diakui sebagai arsitek dan seniman besar dalam perencanaan dan perancangan kota di Dunia Barat, yang mana mereka diberi kebebasan kreatif oleh para pemesan : paus, raja, dan pedagang. Para arsitek dan seniman tersebut telah membantu dan mendorong perkembangan dalam penggunaan piazza atau ruang terbuka kota secara resmi pada perencanaan dan perancangan kota-kota di Barat, dan mencapai puncaknya pada zaman Baroque, sekitar abad ke-17 dan ke-18 Masehi. Para perencana telah membuka daerah-

37 24 daerah kota-kota perbentengan tua. Rancangan beralih dari bentuk-bentuk arsitektur dalam benteng menjadi perpanjangan dan perluasan ruang terbuka (Norberg- Schulz, 1979; Fletcher, 1987; Watterson, 1968). Salah satu contoh yang mungkin bisa dianggap dramatis dari semangat untuk memasukkan ruang terbuka ke dalam rancangan kota adalah piazza del Popolo di Roma, Italia, yang dirancang oleh Carlo Rainaldi dan diselesaikan oleh Giussepe Valadier. Ide dasarnya adalah sebuah ruang peralihan tiga dimensional yang diperoleh dengan menghubungkan ruang terbuka kota (square) dengan taman-taman di lereng Pincio (Pincio-Hill) yang berada di atasnya (lihat Bacon, 1974: ). Kota zaman Baroque telah menciptakan suatu suasana kebesaran yang meresap ke dalam istana rajaraja. Di Perancis, raja Louis XIV memerintahkan Le Notre untuk merancang taman Versailles. Jalan-jalan raya Versailles memusat ke istana raja. Di sinilah ruang yang proporsinya tidak tertandingi, skala yang sulit untuk dipahami. Pada masa pemerintahan raja Louis XV, Jacques-Ange Gabriel diperintahkan untuk merancang Place de la Concorde. Di lapangan ini, ruang hampir sama sekali dilepaskan. Ruang tersebut mengalir dari taman Tuileries dan Louvre di satu pihak, ke jalan raya lebar Champs-Elysees yang telah dimulai oleh raja Louis XIV untuk menghubungkan Paris dengan istananya di Versailles (Gallion, 1996:37-40; lihat pula Bacon, 1974: ).

38 25 Gambar 06. Layout Piazza del Popolo di Roma (Burke, 1971:81) Penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1769, menandai permulaan suatu revolusi industri, yang berarti bahwa tenaga buruh dapat digantikan oleh mesinmesin. Bersama revolusi industri tibalah suatu gejala baru kehidupan kota - perjalanan ke tempat kerja. Sebelumnya,

39 26 pekerjaan di bawa ke rumah - perindustrian rakyat - ataupun di toko-toko yang dekat dengan rumah. Periode ini merupakan awal dari proses urbanisasi yang paling penting; penduduk kota bertambah secara drastis. Gallion & Eisner menilai, kota pabrik abad kesembilan belas telah melahirkan kesederhanaan dalam semua aspek kehidupan. Puncak inspirasi kreatif sangat sedikit dan jarang terjadi (Gallion, 1996:60). Gambar 07. Kota Versailles : garis tengah dan sumbu melambangkan besarnya kekuasaan raja (Gallion, 1996:40) Gambar 08. Istana Versailles tahun 1684 (Burke, 1971:89)

40 BAB III KOTA-KOTA KUNO DI JAWA 3.1. Sejarah Singkat Pada masa-masa akhir kerajaan Majapahit, banyak hal yang kita ketahui dari berita-berita Tionghoa tentang keadaan-keadaan kota-kota kuno di Jawa. Berita Tionghoa yang sangat penting adalah uraian Ma-Huan dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan (1416), yang memberitakan sebagai berikut (Groeneveldt, 1960:43-53) : Jawa memiliki empat kota yang kesemuanya tidak memiliki dinding pembatas dan pelindung kota. Orang-orang asing yang mengunjungi Jawa akan melalui keempat kota tersebut, yaitu secara berturut-turut : Tuban Gresik Surabaya Majapahit. Kapal-kapal asing yang datang ke Jawa, terlebih dahulu berlabuh di kota Tuban. Kota ini didiami oleh lebih dari seribu keluarga, dengan seorang pemimpin (adipati?); banyak dari keluarga-keluarga ini adalah etnis Tionghoa dari Canton dan Chang-chou. Berlayar ke arah timur selama kurang lebih setengah hari, sampailah di kota Gresik. Sebenarnya pantai Gresik 27

41 28 adalah pantai yang tandus, tetapi kapalkapal asing harus berlabuh di sini sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Kota ini didiami oleh sekitar seribu keluarga Tionghoa dari Canton yang kaya raya dan sejumlah besar orang-orang dari berbagai tempat untuk melakukan kegiatan perdagangan. Berbagai jenis barang dari emas, batu permata dan barang-barang dari manca negara dijual di sini dan rakyat kota Gresik sangat kaya raya. Berlayar ke arah selatan sekitar tujuh mil, sampailah di kota Surabaya. Kapal-kapal berhenti di dekat mulut sebuah sungai yang di depannya terdapat sebuah pulau (madura?) yang dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan banyak monyet berekor panjang. Dari Surabaya, dengan menggunakan perahuperahu kecil, menyusuri sungai sekitar 25 mil, sampailah di sebuah marketplace yang dinamakan Chang-ku (Canggu). Dari sini orang-orang harus berjalan kaki ke arah selatan selama sekitar satu setengah hari untuk sampai di kota Majapahit (Trowulan?). Majapahit adalah tempat dimana raja tinggal. Tempat kediaman raja berdinding batu bata keliling dengan ketinggian lebih dari 30 kaki dan panjang lebih dari 100 kaki; dia memiliki dua buah gerbang masuk. Rumah-rumah yang ada di dalamnya adalah rumah panggung dengan

42 29 keinggian sekitar kaki, berlantai papan ditutup dengan lapik rotan yang berpola; di sinilah orang-orang duduk dengan kaki bersila. Keterangan : (A) jalan kerajaan; (B) keraton; (C) tempat duduk raja; (D) masjid; dan (E) gajah raja Gambar 09. Pusat pemerintahan Tuban-anonim-dibuat sekitar 1599 (Fruin-Mess, 1920) Jika dalam berita Tionghoa di atas, kota Tuban tidak mempunyai pagar tembok keliling, maka Tome Pires (tahun ) seperti dikutip oleh Tjandrasasmita, memberitakan bahwa kota Tuban dikelilingi oleh pagar tembok bata yang dibakar api dan panas matahari. Di sekitar tembok keliling tersebut terdapat perairan, sedangkan di bagian daratan pada keliling itu tumbuh

43 30 pohon-pohon dan semak-semak (Tjandrasasmita, 2000:64). Bisa jadi keberadaan tembok keliling kota yang disaksikan Tome Pires adalah antisipasi terhadap gangguan keamanan yang semakin meningkat; ia berfungsi sebagai benteng kota. Di pesisir utara Jawa terutama di bagian timur, sejak abad ke-11 M, abad-abad ke-14 dan 15 M, orangorang muslim mulai membentuk perkampunganperkampungan di Gresik, Tuban dan Sedayu bahkan di ibukota Majapahit sendiri. Dan sejak awal abad ke-16 M, tumbuhlah kota-kota pelabuhan yang dikuasai oleh muslim seperti kota Gresik, Tuban dan Surabaya (Tjandrasasmita, 2000:38). Di Jawa, abad ke-16 M, menyerupai sebuah tahap pokok dalam sejarah jaringan perniagaan. Selama kirakira enam puluh tahun, dari tahun 1527 hingga 1588, kekuasaan agraris dari pedalaman yang sampai saat itu unggul di bagian tengah pulau Jawa, lalu di bagian timurnya, sama sekali ditundukkan dan disingkirkan oleh kekuasaan niaga dari pesisir. Daerah kunci pesisir pada waktu itu terletak kira-kira di bagian tengahnya, sebelahmenyebelah selat yang ketika itu masih memisahkan gunung Muria dari tanah daratan Jawa dan yang merupakan jalan lintas alami tempat kapal-kapal dapat berlabuh (lihat Lombard, III, 1996:52). Kegiatan perekonomian, politik dan keagamaan dikendalikan dari pusat kerajaan Islam Jawa, yaitu Demak yang diperintah oleh Sultan Trenggono ( ). Pada periode ini, masyarakat-masyarakat dagang kosmopolit pesisir, seperti Jepara, Kudus, Juwana, Pati, Rembang, Tuban dan Surabaya di bagian tengah dan timur, kemudian Cirebon

44 31 dan Banten di bagian barat mengalami zaman keemasannya. Setelah Sultan Trenggono wafat secara mendadak dalam ekspedisi melawan Pasuruan, di ujung timur pulau Jawa pada tahun 1546, selama kurang lebih empat puluh tahun keadaan Demak kacau. Di bawah pemerintahan pengganti Sultan Trenggono, yaitu Sunan Prawoto, yang sebentar berkuasa ( ), Demak tidak lagi memegang hegemoni. Arya Penangsang, penguasa Jipang Panolan (sebelah tenggara Cepu sekarang) yang berhasil membunuh Sunan Prawoto dan mencoba merebut kekuasaan dapat dikalahkan oleh Jaka Tingkir penguasa Pajang (dekat Surakarta sekarang). Gambar 10. Kota Pajang ( ) (Santoso, 2008:146)

45 32 Jaka Tingkir, yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijoyo, telah mengubah tempat kediamannya menjadi ibu kota suatu kerajaan pedalaman di Jawa ( ), sebelum akhirnya dikalahkan oleh Senopati, anak Ki Pemanahan, penguasa Mataram di Kotagede (dekat Yogyakarta sekarang) pada tahun Serentetan ekspedisi melawan Surabaya, Madiun, Pasuruan, Tuban dan Pati memungkinkan konsolidasi kewibawaan Mataram yang dalam abad berikutnya menjadi kekuasaan terpenting di Jawa (lihat pula Graaf, 1985:83-97). Mataram mencapai puncak kejayaannya saat di bawah pemerintahan Sultan Agung ( ). Kekuatan-kekuatan dari pedalaman, yang selama kurang lebih enam puluh tahun kacau tatanannya, telah muncul kembali; ia kemudian dapat menghidupkan kembali tatanan Majapahit yang lama, sambil memanfaatkan sebagian dari ideologi Islam yang baru (lihat pula Lombard, III, 1996:52). Sultan Agung sempat mendirikan istana baru di kota Karta yang dibangun sejak awal kekuasaannya dan mulai ditempati pada tahun Selama masa pembangunan, Sultan Agung masih mendiami keraton kakeknya di Kotagede (Graaf, 1986:108). Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1646, penggantinya Sunan Amangkurat I ( ) telah melakukan tindakan-tindakan keras terhadap lawanlawan politiknya, tidak terkecuali pada keluarga kerajaan sendiri dan pembunuhan secara besar-besaran terhadap para ulama pesisir. Pada tahun 1647, Amangkurat I memindahkan ibu kota kerajaan, dari Karta ke Plered. Kota Plered sudah mulai dibangun pada masa Sultan

46 33 Agung. Pada periode ini, hubungan Mataram dengan Kompeni Belanda mengalami pasang surut. Kesempatan Kompeni untuk bisa melakukan infiltrasi ke pusat kerajaan mulai terbuka pada masa Sunan Amangkurat II ( ). Gambar 11. Kota Plered ( ) (Santoso, 2008:156)

47 34 Pada awal pemerintahan Sunan Amangkurat II diadakan perjanjian dengan Kompeni Belanda (VOC) yang salah satu opsinya adalah VOC dijanjikan memungut hasil dari pajak pelabuhan-pelabuhan daerah pesisir sampai hutang Mataram kepada Kompeni Belanda lunas. Pada tahun 1680, Sunan Amangkurat II membangun istana yang baru di Kartasura, sebab istana Plered masih dikuasai saudara raja yang bernama pangeran Puger (kelak menjadi raja bergelar Pakubuwono I). Pada masa Pakubuwono I ( ), Mataram memberikan banyak konsesi-konsesi kepada pihak Kompeni Belanda sebagai ganti bantuannya kepada sang Raja menduduki singgasananya. Pada tahun 1705, Mataram membuat perjanjian baru dengan Kompeni Belanda, salah satu opsinya adalah VOC diberikan hak membangun bentengbenteng dimanapun di Jawa. Pada tahun 1743, Pakubuwono II meninggalkan istana Kartasura yang sudah mengalami banyak kekacauan. Kira-kira dua belas kilo meter ke arah timur, di sungai Bengawan Solo, dia mendirikan sebuah istana baru Surakarta yang akan tetap didiami oleh keturunannya (Ricklefs, 1991: ). Menurut Ronald Gill, sampai dengan tahun 1746, daerah pesisir utara Jawa yang telah menjadi kekuasaan Kompeni Belanda yaitu Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan dan Blambangan (dalam Budihardjo, 1997:63). Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, kerajaan Mataram semakin lemah dan terpecah-pecah. Pada tahun 1755, berdasarkan perjanjian Giyanti, kerajaan Mataram dibagi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dengan raja Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta

48 35 dengan raja Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian pada tahun 1757, kerajaan Surakarta pecah menjadi dua, selain Kasunanan Surakarta ada Mangkunegaran dengan penguasa Mas Said yang kemudian bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro I. Kerajaan Yogyakarta, pada tahun 1812/1813, dibagi menjadi dua, selain Kasultanan Yogyakarta ada Pakualaman dengan penguasa Natakusuma yang bergelar Pangeran Pakualam I. A.permukiman orang Eropa B.pecinan C.kebalen D.kauman E.alun-alun lor F.alun-alun kidul Gambar 12. Kota Surakarta tahun 1857 (Santoso, 2008:162)

49 Karakteristik dan Morfologi Kota Dari uraian di atas, kota-kota kuno di Jawa muncul, tumbuh dan berkembang tidak hanya di daerah pesisir tetapi juga di daerah pedalaman Jawa. Betapapun berbeda karakteristik dan situasi kota-kota itu, semuanya mempunyai satu hal yang sama : kota-kota itu terletak berdekatan dengan pusat-pusat pemerintahan para bangsawan yang menawarkan keamanan bagi kota-kota itu. Kota-kota pantai, seperti Surabaya, Gresik, Pati, Demak, Jepara, Cirebon dan Banten dibangun berdasarkan suatu pola yang tetap. Pusat kerajaan, yang sejauh mungkin mengikuti pola Jawa, mendominasi keseluruhan kota. Wilayah ini menurut aturan terpisah dari kota para pedagang asing. Para pedagang dan pekerja ahli dikelompokkan dalam berbagai wilayah, menurut negara asal mereka di bawah kepala kelompok mereka. Kepala kelompok orang asing itu merupakan bawahan dari tokoh kota pelabuhan. Dengan demikian, kolonikoloni asing di wilayah pantai tidak independen; mereka pun mencari perlindungan otoritas kerajaan. Dalam kasus kota-kota di daerah pedalaman, seperti Pajang, Kota Gede, Plered, Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta, kota-kota itu tumbuh di sekitar keraton yang ada. Fungsi kota-kota itu adalah memberikan berbagai macam barang dan jasa untuk keraton, sementara kota-kota itu juga menikmati kemegahan yang melimpah dari istana kerajaan (lihat Wertheim, 1999: ). Kota-kota di atas ada yang jejak-jejak fisiknya sudah hilang, misalnya Pajang, tetapi ada yang sisasisanya masih dapat dilihat, seperti Banten. Ada pula

50 37 kota-kota yang masih hidup dan berkembang hingga saat ini, seperti Demak, Cirebon, Kota Gede dan Yogyakarta. Menurut Tjandrasasmita, kehidupan masyarakat kota-kota pesisir lebih dinamis jika dibandingkan dengan kota-kota pedalaman meskipun tetap merupakan masyarakat tradisional. Lapisan-lapisan penduduknya antara lain terdiri dari golongan pedagang, golongan nelayan, golongan budak, golongan pekarya atau tukang, golongan bangsawan atau raja-raja serta anggota birokrat. Golongan petani di dalam kota-kota tersebut tidak banyak, tetapi justru mungkin mereka itu berfungsi sebagai pemilik sawah atau ladang, kebun yang letaknya di luar kota. Golongan-golongan masyarakat di dalam kota-kota terutama di pusat-pusat kerajaan biasanya mempunyai perkampungan-perkampungan sendiri-sendiri yang didasarkan atas kedudukan, keagamaan, kebangsaan dan kekaryaan, seperti kampung-kampung Pecinan, Pekojan, Pakauman, Kademangan, Kapatihan, Kasatrian, Pangukiran dan lain-lain (Tjandrasasmita, 2000:41-42). Secara umum, kota-kota tua di Jawa tidak muncul dan berkembang secara spontan dari kemauan komunal para pedagang dan pekerja ahli. Lokasi, desain, dan ukuran kota-kota itu bergantung pada kemauan raja. Situasi yang menguntungkan, baik secara ekonomis maupun strategis, pada persimpangan jalan atau berdekatan dengan pelabuhan alam, dapat mempengaruhi keputusannya. Rencana kota yang asli dapat dikenal dengan mudah dalam tata kota keraton Jawa lama, ada alun-alun di pusat kota dengan bangunan-bangunan

51 38 penting yang diatur di sekelilingnya menurut cara tradisional, menurut empat arah mata angin. Jalan utama melintas satu sama lain dalam sudut lurus (lihat Wertheim, 1999:134). Salah satu dokumentasi penting mengenai struktur fisik kota kabupaten di Jawa sebelum Perang Pasifik adalah Kromoblanda nya H.F. Tillema yang dikerjakan oleh seorang geographer bernama Witkamp. Dengan dibantu oleh dua orang arsitek bernama Kazemier dan Tonkens, Witkamp menyelesaikan proyeknya, yaitu tipologi ibu kota kabupaten di Jawa pada tahun Dengan dokumentasi ini nampak suatu tata ruang pusat pemerintahan lokal dan kolonial yang terintegrasi melalui alun-alun. Pada poros utara-selatan di kedua sisi alunalun, saling berhadapan tempat tinggal asisten residen dan bupati yang mempresentasikan administrasi pemerintahan kolonial dan kekuasaan lokal. Di sebelah barat alun-alun ditempatkan sebuah masjid lengkap dengan tempat bersuci di bagian depan dan areal pekuburan di bagian belakang. Di kedua sisi masjid terdapat tempat tinggal penghulu atau pemimpin agama Islam dan barak-barak polisi militer dengan penjaranya. Di sebelah timur alun-alun terdapat losmen atau rumah indekos bersama-sama dengan tempat tinggal pengusaha swasta yang dianggap jauh di bawah status pegawai pemerintah. Agak jauh, menurut arah barat laut dari pojok alun-alun terdapat kamar bola, tempat perkumpulan Belanda. Bangunan-bangunan lain yang tidak jauh dari alun-alun adalah sekolahan, rumah sakit, tempat tinggal pegawai penting Belanda seperti pengumpul pajak dan kepala pengadilan. Sedangkan kampung Cina atau

52 39 pecinan letaknya dekat dengan jalan utama kota, biasanya tidak jauh dari tepian sungai yang mengalir di kota tersebut; daerah yang padat di sekitar pasar, ditandai dengan deretan pertokoan milik pedagang kecil dan pengrajin, tukang roti, tukang cuci, tukang lemari, dan sebagainya (Tillema, 1922; Wiryomartono, 1995:143 dan Gill dalam Budihardjo, 1997). Keterangan : (A) alun-alun; (B) kabupaten; (C) masjid; (D) kediaman asisten residen; (E) tangsi militer; (F) penjara; (G) kantor pejabat; dan (H) sekolah Jawa Gambar 13. Model kota Jawa : struktur ruang kota berpusat pada alun-alun (Tillema, 1922)

53 40 Gambar 14. Struktur dasar tipikal kota Jawa abad ke-19 dan 20 menurut Witkamp (Santoso, 2008:143)

54 BAB IV KASUS TIGA KOTA 4.1. Yogyakarta Gambaran Umum Kota dan Kehidupan Sosio- Kultural Masyarakatnya Secara astronomi, Yogyakarta terletak di antara Bujur Timur (BT) dan Lintang Selatan (LS) (Depdikbud, 1985:17). Gambar 15. Peta wilayah Yogyakarta dan sekitarnya ( akses 22 Juni 2017) 41

55 42 Yogyakarta termasuk Daerah Istimewa dalam Republik Indonesia. Status Daerah Istimewa diberikan kepada Yogyakarta karena pada mulanya ia merupakan daerah berpemerintahan sendiri (swapraja) pada zaman Belanda dan Jepang; dan ia diakui secara tegas oleh pemerintah Republik Indonesia semenjak permulaan revolusi nasional Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di Jawa Tengah bagian selatan; ia berbatasan dengan karesidenan Kedu di bagian barat dan separohnya di bagian utara. Di bagian timur laut dan timur dari wilayah itu terdapatlah karesidenan Surakarta. Sekarang, Yogyakarta merupakan satuan pemerintahan sendiri (lihat Soemardjan, 1981:13-15). Secara administratif, Yogyakarta memiliki batasbatas wilayah : di sebelah tenggara berbatasan dengan kabupaten Wonogiri; di sebelah timur laut berbatasan dengan kabupaten Klaten; di sebelah barat laut berbatasan dengan kabupaten Magelang; di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Purworejo; dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Dua sungai utama, yaitu Kali Progo dan Kali Opak, yang mengalir sejajar dari arah utara ke selatan, merupakan sumber air irigasi untuk persawahan di wilayah Yogyakarta. Sungai lainnya, yaitu Kali Oyo, membelah sudut timur laut wilayah itu, dan bersatu dengan Kali Opak beberapa mil sebelum keduanya masuk Samudra Indonesia. Keabadian aliran sungai-sungai itu, dari Yogyakata ke arah selatan telah menanamkan kesan yang mendalam di kalangan penduduknya sepanjang masa (lihat Soemardjan, 1981:14). Berkaitan dengan ini, Khairuddin (1995:14-15) yang merujuk pada Pemda DIY

56 43 (1992:24), mengemukakan bahwa kondisi geografis Yogyakarta tidak saja mengungkapkan deskripsi wilayah yang memberikan informasi mengenai perubahan dan perkembangan fisik kota dan kawasan, tetapi juga menyangkut mitologi yang erat dengan kepercayaan masyarakat. Yogyakarta telah melahirkan mitos tentang Ratu Kidul Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Yogyakarta tampak adanya pelapisan social. Stratifikasi social atau pelapisan masyarakat di Yogyakarta, menurut Surjomihardjo, sangat bertalian dengan kedudukan keraton di dalam struktur social di Jawa. Jika digambarkan dalam bentuk kerucut, yang di atas sekali dari system pelapisan masyarakat ialah Sultan. Lapis kedua terdiri dari kerabat keraton atau Sentana Dalem, kemudian menyusul lapis ketiga yang terdiri dari mereka yang bekerja pada administrasi kesultanan maupun pemerintahan yang disebut Abdi Dalem, atau kaum Priyayi. Lapis keempat ialah golongan Wong Cilik yang sering disebut juga sebagai rakyat jelata, baik penduduk kota maupun yang di pedesaan; mereka adalah para pekerja yang tidak terdidik atau sedikit mendapat latihan kerja di perusahaan kecil (Surjomihardjo, 2000:27-28). Namun dalam perkembangan modern saat ini, pembagian itu sudah kabur. Masyarakat hanya mengenal secara garis besar adanya golongan Priyayi dan golongan masyarakat umum (Khoiruddin, 1998:16). Tata-hubungan yang berstratifikasi antar anggota masyarakat Jawa di Yogyakarta di masa lalu dan sekarang, tercermin antara lain dalam penggunaan

57 44 bahasa Jawa untuk berkomunikasi. Bahasa ini sesungguhnya terdiri atas tiga sub-bahasa, yaitu : (1) krama hinggil, digunakan bagi orang-orang yang saling menghormati secara mendalam; (2) krama madya, digunakan oleh orang-orang yang sederajat; dan (3) ngoko, digunakan untuk berbicara dengan orang-orang yang statusnya lebih rendah. Bagi masyarakat Yogyakarta, seorang Sultan dianggap sebagai raja yang memiliki kekuasaan politik, militer dan keagamaan yang absolut, yang diakui secara tradisional; lebih jauh lagi dia dianggap mendapatkan bimbingan surgawi dan ditunjang serta dilindungi oleh berbagai kekuatan magis dari pusaka-pusaka kerajaan. Kedudukannya berakar dengan kokoh pada struktur masyarakat Yogyakarta dan secara strategis terletak di pusat susunan konsentris kerajaan (Soemardjan, 1981:27). Sultan biasa menjalankan dengan cermat semua upacara dan ritus tradisional keraton, demikian pula garebeg yang dilakukan tiga kali dalam setahun. Garebeg Mulud, diselenggarakan pada bulan Mulud atau bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang jatuh pada tanggal 12 Rabi ulawal tahun Hijriyah; garebeg Pasa, diselenggrakan pada akhir bulan Pasa atau pada tanggal 1 Syawal tahun Hijriyah, bertepatan dengan hari Idul Fitri; dan garebeg Besar, diselenggarakan pada bulan Besar, bertepatan dengan hari Idul Adha hari raya kurban, yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah tahun Hijriyah. Selama tujuh hari setiap menjelang garebeg Mulud, diselenggarakan perayaan dan keramaian yang disebut sekaten.

58 45 Pada perayaan sekaten yang berpusat di alun-alun utara, tidak hanya dimeriahkan oleh masyarakat setempat, tetapi juga para pengunjung yang datang dari berbagai daerah di sekitar Yogyakarta. Dan arena sekaten oleh sebagian warga dijadikan wahana untuk mencari berkah. Hadirnya pasar malam pada perayaan sekaten juga merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Masyarakat kota Yogyakarta dicirikan oleh adanya satu kebudayaan dominan, yaitu kebudayaan Jawa yang secara umum sering disebut orang sebagai Kejawen. Kebudayaan ini demikian kuatnya mempengaruhi mentalitas, sikap dan perilaku sehari-hari sebagian besar warga masyarakat Yogyakarta. Tradisi Kejawen dianggap mencakup suatu referensi filsafat yang sangat luas, mulai dari keyakinan asli, pengaruh Hindu-Budha dan sampai kepada tahapantahapan pengaruh Islam yang tetap berkembang dan berkesinambungan sampai sekarang. Sebagian besar orang Jawa mengaku memeluk agama Islam, sebagian lagi agama-agama minoritas, seperti Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, akan tetapi setiap orang secara bersamaan menjalankan etika Kejawen yang sungguh-sungguh (Depdikbud, 1985:40-41) Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota Yogyakarta telah lama dikenal sebelum Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I memilih tempat itu sebagai pusat pemerintahannya. Wilayah itu dikenal

59 46 dalam karya sejarah tradisional atau babad. Tempat itu disebut dalam babad sebagai kota yang diperkuat dengan tembok keliling di hutan Bringan. Setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755 ditanda-tangani, hutan Bringan mulai dibuka, yaitu di sebuah pedukuhan yang disebut Pacethokan. Tempat itu dibuka untuk pembangunan istana raja dan rumah-rumah para bupati. Pada waktu hutan itu dibuka, Sultan bertempat tinggal di istana Ambarketawang di gunung Gamping, yang juga dicatat di dalam babad Giyanti. Tempat itu terletak kurang lebih 5 kilometer sebelah barat Yogyakarta sekarang. Pembangunan keraton dimulai pada tanggal 9 Oktober 1755 dan selesai pada tanggal 7 Oktober Setelah istana selesai dibangun, pindahlah Sultan Hamengkubuwono I ke kota, yang kemudian bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. Di samping bangunan keraton, dibangun pula benteng berparit di sekitarnya, tempat tinggal patih (kepatihan), tempat tinggal residen, masjid dan tempat-tempat lain sebagai pelengkap kerajaan (Surjomihardjo, 2000:19-21; periksa pula Darban, 2000:8). Ricklefs dalam Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi menggambarkan sosok Sultan Hamengkubuwono I sebagai seorang pembangun yang besar dalam tradisi seorang raja Jawa yang terhormat. Pembuatan bangunan-bangunan besar dan spektakuler adalah sebuah unsur yang esensial dalam upaya menunjukkan haknya untuk diakui sebagai seorang raja (Ricklefs, 2002:129) Setelah bertahta sebagai Sultan Hamengkubuwono I, untuk simbol semangat persatuan dalam melawan

60 47 penjajah Belanda, pangeran Mangkubumi memerintahkan membangun sebuah tugu. Tidak ada petunjuk kapan tugu itu dibangun. Namun yang jelas tugu itu dirombak oleh Belanda pada tahun 1889 setelah sebagian badanya runtuh akibat gempa bumi dahsyat yang mengguncang Yogyakarta pada tahun 1867; dan diganti dengan monumen atau tugu yang kemudian disebut sebagai Tugu Yogyakarta, yang bisa kita lihat hingga sekarang. Tugu dengan ketinggian 15 meter yang berdiri tegak di perempatan jalan Diponegoro (sebelah barat), jalan Jenderal Sudirman (sebelah timur), jalan Pangeran Mangkubumi (sebelah selatan), dan jalan AM. Sangaji (sebelah utara), seakan menjadi saksi sejarah perubahan dan perkembangan Yogyakarta (Artha, tt:3-7). Tugu ini juga menjadi tetenger kota Yogyakarta; ia menjadi penunjuk bagi seseorang yang baru mengenal Yogyakarta. Sebab ke 4 jalan itu mempunyai arah tujuan yang jelas, ialah : ke timur menuju ke arah kota Surakarta, ke barat menuju ke arah daerah Kulon Progo, ke selatan menuju ke arah keraton Yogyakarta, dan ke utara menuju ke arah gunung Merapi. Jalan-jalan dari tugu ke 4 arah barat-timurselatan-utara, sebagaimana digambarkan oleh Poliman dan Sukirman (dalam Tashadi, 1980:37), pada masa dahulu berpagar tembok setinggi 2 meter pada tepi kanan dan kirinya. Kini tembok-tembok itu ada sebagian yang masih dapat kita jumpai, tetapi hanya setinggi 1 meter. Tetapi pada umumnya tembok-tembok itu sudah hilang. Selain itu di kanan dan kiri jalan ditanami pohon asam, sebagai pohon perindang bagi para pejalan kaki.

61 48 Jalan besar dari tugu ke arah selatan hingga masuk ke alun-alun mempunyai ketentuan tersendiri. Pada jalan besar ini, penempatan pasar Beringharjo di sebelah timur jalan, dan juga penempatan Dalem Kepatihan di sebelah timur jalan termasuk suatu ketentuan dalam konsepsi susunan kota Yogyakarta. Ada satu kisah, pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, Belanda pernah bermaksud memindahkan pasar Beringharjo ke tempat lain, karena Belanda ingin memperluas perumahan beteng Vredeburg. Tetapi Sri Sultan merasa keberatan, karena letak pasar Bringharjo termasuk ketentuan Tata Rakit Keraton Yogyakarta (lihat Tashadi, 1980:38) 1. Sebagai penguasa sebuah kerajaan Islam, Sri Sultan Hamengkubuwono I tidak lupa membangun sebuah masjid. Masjid itu terletak di sebelah muka keraton, di sebelah barat alun-alun utara. Bangunan masjid yang kemudian dikenal sebagai masjid Besar Yogyakarta itu selesai dibangun pada tahun Kemudian ditambahkan serambi di sebelah timurnya pada tahun Di halaman depan masjid, di sebelah selatan dan utara dibangun dua tempat gamelan sekaten yang kemudian dikenal dengan pagongan. Gamelan itu dibunyikan selama tujuh hari pada saat perayaan sekaten, menjelang garebeg Mulud. 1 Pada awal abad ke-xviii M, keraton Yogyakarta menata kota menjadi empat wilayah, yaitu daerah Kutonegoro, Negoro Agung, Monconegoro, dan Pesisiran. Pada daerah Kutonegoro dan Negoro Agung yang merupakan inti kerajaan terdapat pusat transaksi atau daerah transit. Letak daerah transaksi ini berada di sebelah utara alun-alun keraton Yogyakarta. Akhirnya tempat itu dikenal sebagai pasar Beringharjo (Artha, tt:30).

62 49 Di masjid Besar Yogyakarta sering diadakan berbagai upacara keraton Yogyakarta, seperti dibunyikannya gamelan sekaten, tempat disajikannya gunung-gunungan keraton, udhik-udhik, pembacaan riwayat hidup Nabi, upacara njejak bata, dan lain sebagainya (Tashadi, 1980:44). Dan pada acara garebeg, kompleks masjid Besar Yogyakarta menjadi salah satu tempat yang penting, di samping tratag sitihinggil keraton. Setelah melihat Belanda membangun benteng Vredeburg di sebelah utara keraton yang dimulai pada tahun 1760 (selesai tahun 1789), maka Sri Sultan Hamengkubuwono I berkeinginan pula melindungi keratonnya dengan benteng. Kemudian pada tahun 1782 pembangunan benteng yang mengelilingi pusat kota Yogyakarta kuno (ibu kota kerajaan) pun dilaksanakan. Dilihat dari bekas-bekasnya, benteng pertahanan kota Yogyakarta kuno mempunyai denah segi empat, tiaptiap sisinya menghadap ke arah empat mata angin utama timur-barat-selatan-utara. Pada sisi timur, barat dan selatan masing-masing terdapat sebuah gapura (plengkung), sedangkan pada sisi utara terdapat dua buah gapura (plengkung). Di tiap-tiap pojoknya terdapat gardu pengintai yang dinamakan tulak tala (bastion). Tiap-tiap sisi benteng yang panjangnya lebih kurang 1 kilometer, terdiri atas dua lapis dinding, masing-masing tebalnya 0,5 meter. Tinggi dinding bagian luar 3,5 meter dan bagian dalam tingginya 2 meter. Ruang di antara kedua dinding tersebut memiliki lebar kurang lebih 4 meter dan diisi dengan tanah (lihat Hendro, 2001:47-48).

63 50 Di sepanjang dinding benteng bagian luar dibuatkan parit keliling atau jagang. Di dalam benteng kota Yogyakarta kuno, selain terdapat istana Sri Sultan Hamengkubuwono dan kompleks Tamansari, dijumpai pula bangunan-bangunan diantaranya tempat tinggal para bangsawan atau pejabat kerajaan, tempat tinggal para abdi dalem dan tempat tinggal kelompok prajurit keraton. Perkembangan Yogyakarta terutama sesudah tahun 1870 sangat pesat karena munculnya pabrik-pabrik gula di sebelah selatan dan barat kota khususnya yang dimiliki oleh orang-orang Belanda. Mengingat perlunya transportasi ekonomi untuk pabrik-pabrik itu akhirnya dibuka jalur kereta api oleh NIS (Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij) pada tahun Stasiun pertama yang dibangun terletak di Lempuyangan. Akibatnya, di sekitar daerah ini tumbuh permukimanpermukiman baru dari berbagai golongan masyarakat yang ada di kota Yogyakarta; dan mereka pada dasarnya ikut memberikan andil dalam perkembangan geografis wilayah kota. Kemudian, pada tahun 1887, pemerintah membuka lagi sebuah jalur kereta api dengan sebuah stasiun di sebelah selatan Tugu. Akhirnya secara berturut-turut NIS membuka jaringan transportasi kereta api ke arah utara dan timur, yang berakibat juga pada perluasan permukiman penduduk yang diwakili oleh orang-orang Cina seperti yang terjadi atas daerah Kranggan (Depdikbud, 1985:24-25). Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Kotamadya Yogyakarta , sebagaimana dikutip oleh Khairuddin (1995:3), bahwa corak pembentukan kota Yogyakarta pada hakekatnya merupakan implementasi

64 51 dari konsep Pangeran Mangkubumi tahun 1755, yang berdasarkan pada bentuk tata tubuh manusia, dimana kota Yogyakarta terbagi menjadi dua wilayah, bagian selatan merupakan simbol rohani dan bagian utara merupakan simbol duniawi. Khairuddin menambahkan, planologi kota Yogyakarta juga didasarkan pada keserasian makna filosofis sumbu imajiner. Yang dimaksud dengan sumbu imajiner adalah garis lurus yang ditarik secara imajiner dari poros Laut Selatan sampai gunung Merapi dengan melalui bangunan-bangunan yang secara filosofis mempunyai arti dan makna tersendiri, yakni secara berturut-turut dari arah selatan ke utara : Panggung Krapyak, Kraton, Tugu, dan Monumen Yogya Kembali. Semua ini berada pada satu garis lurus, garis ordinat alam semesta, yang menggambarkan sumbu kelanggengan. Melihat bentuk dan tata ruang kota Yogyakarta, maka pola perkembangan kota yang terjadi adalah pola inti berganda (multy nuclei) dimana terdapat beberapa inti pemacu aktivitas untuk berkembangnya atau mekarnya kota disamping inti utama keraton. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan beberapa bangunan pokok yang dibangun setelah keraton, seperti pasar Bringhardjo, Taman Hiburan Rakyat (terminal lama), Rumah Sakit Panti Rapih dan Bethesda, perumahan serdadu Belanda di Cemara Sewu, dan berikutnya Universitas Gajah Mada, kompleks perumahan Kota Baru dan sebagainya (Khairuddin, 1995:30).

65 Alun-alun Dalam struktur kota Yogyakarta kuno, alun-alun adalah bagian kota yang tidak terpisahkan dari keraton. Alunalun (utara) merupakan halaman depan keraton, sedangkan alun-alun (selatan) merupakan halaman belakang keraton atau disebut juga alun-alun pengkeran. Alun-alun pengkeran yang memiliki luas kurang lebih 165 m x 165 m, pada masa dahulu dipenuhi pasir halus dan digunakan sebagai tempat melatih prajuritprajurit dalam ilmu kanuragan dan juga ketangkasan berkuda untuk pasukan kavaleri. Di tengah-tengah alunalun terdapat dua buah pohon beringin kurung. Di sebelah barat alun-alun terdapat bangunan kandang gajah, yang setiap keramaian garebeg dibawa ke alun-alun utara. Pada masa itu, gajah-gajah itu dihias. Di sebelah utara, tepat di depan siti hinggil terdapat bangunan tratag dari bahan bambu dengan tiang-tiang dari besi. Di tengahtengah tratag ini terdapat sebuah sela gilang yang digunakan oleh Sri Sultan apabila dia berkenan untuk melihat keramaian rampogan harimau. Juga dipergunakan apabila dia berkenan menghadiri keramaian gladi resik prajurit keraton menjelang upacara garebeg. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon gayam, kweni dan pakel (lihat Tashadi, 1980:71-72). Sekarang ini, alun-alun pengkeran tidak lagi berpasir halus melainkan ditumbuhi rumput dan di sekelilingnya telah diberi jalan beraspal; ia dipergunakan untuk berbagai kegiatan olah raga di pagi hari dan untuk bersantai di waktu malam hari. Masyarakat bersantai dalam keburaman cahaya dari lampu-lampu di pinggir alun-alun sambil makan nasi liwet. Di situ pulalah, hampir tiap malam beberapa orang

66 53 melakukan apa yang disebut masangin, yaitu melewati jalan di antara dua buah pohon beringin kurung (jarak antara dua pohon sekitar 12 meter) yang terletak di tengah-tengah alun-alun dengan mata tertutup. Bagi orang yang berhasil melakukannya, konon bakal terkabul apa yang dicita-citakan. Berbeda dengan alun-alun pengkeran, alun-alun utara memiliki luas yang lebih besar, yaitu sekitar 300 m x 300 m. Dan di alun-alun utara denyut nadi kehidupan social dan budaya masyarakat Yogyakarta lebih terasa. Di masa lalu, alun-alun utara juga dipenuhi pasir halus, di sekelilingnya dipagari oleh bangunan pacak suji. Kini bangunan tidak ada lagi, diganti dengan pagar tembok keliling. Bila orang-orang ingin masuk atau melewati alun-alun tidak diperkenankan berkendaraan, mengenakan sepatu atau sandal, mengembangkan paying, dan bertongkat. Menurut Tashadi (1980:42), mengapa alun-alun tidak ditanami rumput, karena bila berumput tidak baik untuk duduk. Alun-alun utara, pada zaman kerajaan dahulu digunakan sebagai tempat berkumpul rakyat untuk menghadap raja, tempat upacara kenegaraan, dan tempat keramaian sekaten menjelang garebeg Mulud. Masyarakat dalam melakukan protes atau pengaduan kepada Sri Sultan, menggunakan pakaian putih-putih dengan ikat kepala putih duduk berjemur (pepe : bhs Jawa) di antara dua pohon beringin kurung yang ada di tengah-tengah alun-alun menghadap ke keraton. Mereka melakukan pepe ini tentunya berharap dilihat oleh Sultan yang sedang duduk di siti hinggil.

67 54 Sesuai perkenan Sultan, mereka yang melakukan protes atau pengaduan ini akan dipanggil untuk menjelaskan maksud dan tujuan melakukan pepe (lihat Khairuddin, 1995:53). Di sekeliling alun-alun ditanami banyak pohon beringin, ditambah 2 buah di tengah-tengah alun-alun. Kedua beringin tengah ini biasa disebut beringin kurung sebab keduanya dipagari oleh dinding berbentuk bujur sangkar. Beringin tengah yang sebelah barat bernama Kyai Dewadaru, konon bibitnya berasal dari Majapahit, dan yang sebelah timur bernama Kyai Wijayadaru, konon bibitnya berasal dari Pajajaran. Setiap bulan Suro, pohonpohon beringin itu dipangkas untuk dirapikan. Menurut Serat Salokapatra, pohon beringin ditanam di lingkungan keraton atas kehendak raja untuk dijadikan tanaman kerajaan (Astuti, 1995). Pohon beringin merupakan lambang perlindungan, pengayoman raja kepada rakyatnya. Oleh karenanya pohon beringin yang ada di lingkungan keraton sangat dipelihara supaya tetap lestari. Bangunan-bangunan yang ada di sekitar alun-alun utara, antara lain : (1) Bangsal Pekapalan Semua bangunan pekapalan yang berjumlah 19 buah memiliki bentuk joglo, dan menghadap ke arah alun-alun; ia berfungsi untuk tempat para bupati luar daerah menjalankan tugur apabila di keraton sedang diadakan suatu upacara kenegaraan, seperti misalnya perkawinan putra putrid raja, dan upacara malam

68 55 selikuran. Sekarang ini, bangunanbangunan pekapalan telah beralih fungsi; bangunan sebelah timur yang paling utara untuk Yakindrata, sebagai tempat pameran barang-barang hasil seni kerajinan tangan rakyat Yogyakarta; sebelah sudut timur laut dipergunakan untuk gedung bioskop Soboharsono; sebelah utara sisi timur, antara lain untuk Koramil kecamatan Gondomanan, markas panitia sekaten, Dinas Social, dan di antara pekapalan satu dengan yang lainnya ditambahkan bangunan-bangunan rumah makan; sebelah utara sisi barat dipergunakan untuk kantor-kantor Dinas Inspeksi Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen Kesehatan; sebelah barat ujung utara dipergunakan untuk gedung Persaudaraan Jemaah Haji Indonesia (PJHI); di sebelah selatan PJHI dipergunakan untuk Dinas Pertanian dan Perikanan, di dekat pekapalan ini juga untuk keperluan kegiatan pramuka Kwarcab; di dekat jalan menuju ke Masjid Besar dipergunakan untuk Bidang Urusan Agama Islam; di sudut barat daya, dulu pernah untuk terminal bis. Kemudian didirikan sebuah bangunan untuk

69 56 keperluan Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun (2) Masjid Besar Masjid Besar terletak lurus di sebelah barat alun-alun. Pintu gerbang masjid berbentuk limasan samar tinandu. Bangunan masjid berbentuk tajug lambang teplok berlapis tiga, dengan serambi depan berbentuk limasan, serta dikelilingi parit (sekarang tidak ada lagi). Sehingga untuk memasuki masjid termasuk serambinya harus dengan menyeberangi parit. Untuk Sri Sultan dibuatkan jembatan gantung yang hanya digunakan apabila ada upacara. Di halaman masjid terdapat bangunan balemangu yang terletak di samping kanan dan kiri pintu gerbang, dan dua buah bangunan pagongan di sebelah utara dan selatan untuk menempatan gamelan sekaten. Sedang di belakang masjid terdapat makam, antara lain makam Nyai Ahmad Dahlan, istri pendiri Muhammadiyah. Dalam kegiatan tradisi garebeg, pelataran depan serambi masjid dipergunakan untuk memperdengarkan gamelan sekaten. Ambang pintu depan serambi masjid dipergunakan untuk upacara penerimaan sesajian selamatan negara yaitu berupa sesajian gunungan oleh Kyai Pengulu. Tempat ini juga dipergunakan untuk upacara penyambutan

70 57 terhadap Sultan setiap kali berkunjung ke masjid Besar. Serambi masjid adalah tempat dimana Sultan melakukan upacara religius pasowanan mulud dalam acara tradisi garebeg Mulud dan garebeg Mulud Dal. Acara intinya adalah mendengarkan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang biasanya dibacakan oleh Kyai Pengulu dari kitab Berzanji, yang sebelumnya diawali dengan dzikir dan shalawatan. (3) Kandang Harimau Di sebelah sudut tenggara alun-alun terdapat bangunan kandang harimau. Harimau-harimau ini dahulu digunakan pada permainan rampogan yang diselenggarakan di alun-alun pengkeran. Kini bangunan kandang harimau itu sudah tidak ada lagi. (4) Keraton Komplek keraton terletak persis di sebelah selatan alun-alun utara. Susunan bangunan pusat keraton menghadap ke arah timur. Pada masa dulu tidak ada rumah yang menghadap ke arah timur kecuali keraton. Walaupun susunan bangunan pusat keraton itu menghadap ke arah timur, tetapi Dalem Prabayeksa sebagai bangunan inti keraton ternyata menghadap ke arah selatan, jadi sama dengan perumahan masyarakat pada umumnya. Sedangkan

71 58 pintu-pintu gerbang keraton terletak di sebelah utara dan selatan yang masingmasing memiliki tiga buah pintu gerbang. Hingga sekarang, status alun-alun, baik yang berada di sebelah selatan maupun utara keraton tetap milik kerajaan, sehingga siapapun yang ingin menggunakannya berkewajiban mendapatkan ijin dari kerajaan. Gambar 16. Sketsa kuas dan tinta keraton Yogyakarta dilihat dari alun-alun utara, dibuat kita-kira tahun 1771 oleh A. de Nelly. Kedua pohon beringin kurung kelihatan di tengah-tengah gambar dan bangunan tinggi ruang audensi sitihinggil pada latar belakang (Carey, 1986:apendiks)

72 59 Gambar 17. Alun-alun utara Yogyakarta, dengan latar belakang tratag sitihinggil (Dokumentasi Penulis) Gambar 18. Alun-alun utara Yogyakarta pada saat sekaten, dengan latar belakang masjid Agung (Dokumentasi Penulis)

73 60 Gambar 19. Sumbu imajiner laut Selatan-gunung Merapi (Khairuddin, 1995:11) Gambar 20. Kompleks keratin Yogyakarta (Soelarto, 1993:26)

74 Gambar 21. Peta wilayah kota Yogyakarta tahun (Andriati, 2002:lampiran, merujuk IAI-P2K-Yogyakarta) 61

75 62 Gambar 22. Peta wilayah kota Yogyakarta tahun (Andriati, 2002:lampiran, merujuk IAI-P2K-Yogyakarta)

76 Gambar 23. Peta wilayah kota Yogyakarta tahun (Andriati, 2002:lampiran, merujuk IAI-P2K-Yogyakarta) 63

77 64 Gambar 24. Peta wilayah kota Yogyakarta tahun (Andriati, 2002:lampiran, merujuk IAI-P2K-Yogyakarta)

78 Demak Gambaran Umum Kota dan Kehidupan Sosio- Kultural Masyarakatnya Demak adalah ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Demak, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah; ia terletak sekitar 27 kilometer di sebelah timur laut Semarang, ibu kota propinsi. Di sebelah utara berbatasan dengan laut jawa, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dati II Kudus dan Jepara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dati II Purwodadi/Grobogan, di sebelah barat berbatasan dengan Kotamadya Dati II Semarang. Gambar 25. Peta wilayah Demak dan sekitarnya ( akses 22 Juni 2017)

79 66 Seperti halnya dengan daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa lainnya, wilayah Demak mengalami dua musim dalam satu tahun, yaitu musim kemarau selama enam bulan dan musim hujan selama enam bulan berikutnya. Berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Demak dan sekitarnya mengalami kesulitan air bersih untuk dikonsumsi. Untuk memperoleh air bersih, mereka menampung air hujan dan ada kalanya mengambil air sungai untuk dimasak menjadi air minum sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas tanah di daerah Demak dan untuk memperoleh air yang baik harus dilakukan pemboran sekurangkurangnya 90 meter ke dalam bumi. Pada musim hujan, sebagian wilayah Demak, terutama daerah sekitar sungai jajar, sungai Tuntang dan sungai Serang, mengalami kebanjiran (lihat Zuhdi, 1994:12). Menurut sumbersumber sejarah, memang dulu Demak merupakan daerah yang berawa-rawa dan rawan banjir. Pada masa kolonial, pemerintah Belanda pernah membangun kanal-kanal untuk menyalurkan air sungai Tuntang yang menyebabkan banjir di kota Demak. Dengan dibangunnya beberapa kanal sebagian rawa dapat dikeringkan dan bahaya banjir dapat diatasi meskipun tidak secara tuntas. Center point kota Demak adalah alun-alun atau town square. Alun-alun merupakan ruang terbuka yang berfungsi sebagai pusat aktifitas komunal kota dan sekaligus membagi pusat kota ke dalam empat zone dengan karakteristik lingkungan yang berbeda, yang merefleksikan kepadatan pemukiman di sekitar alun-alun. Lingkungan di sebelah selatan alun-alun dinamakan kampung Sitihinggil, sebuah toponim dari sebuah istana

80 67 penguasa kerajaan Islam Demak yang diduga pernah ada. Lingkungan di sebelah barat alun-alun dinamakan kampung Kauman dengan masjid Demak sebagai sentral aktivitas sehari-hari pemukimnya. Kauman yang biasa dikaitkan dengan kaum atau umat beriman (kaum iman) adalah orang-orang yang memegang peranan penting dalam kegiatan ritual di masjid. Pada umumnya, mereka berstatus sebagai pedagang. Lingkungan di sebelah utara alun-alun menjadi area perdagangan dan pecinan. Tidak jauh dari alun-alun ke arah timur laut terdapat sebuah klenteng, tempat peribadatan orang-orang Cina. Shopping center dengan dominasi bangunan-bangunan bergaya Cina mengindikasikan keberadaan pecinan atau kampung Cina yang secara gradual berkembang di sisi-sisi sepanjang jalan utama dimulai dari alun-alun hingga berujung di pasar tradisional, di sebelah selatan lingkar sungai Tuntang. Agak jauh di sebelah barat laut alunalun, di seberang sungai Tuntang terdapat kantor Bupati Dati II Demak. Lingkungan di sebelah timur alun-alun kurang mencerminkan adanya pemukiman yang khas sebab arealnya sangat sempit, dibatasi oleh aliran sungai Tuntang. Bangunan yang ada adalah bangunan tua peninggalan kolonial Belanda; salah satunya adalah penjara. Demak adalah salah satu wilayah di Jawa Tengah bagian utara (daerah lain : Jepara, Kudus dan Rembang) yang diharapkan dapat menceritakan identitas kepariwisataan Jawa Tengah. Adapun obyek-obyek pariwisata yang secara tradisional memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata adalah : (1)

81 68 Masjid Agung Demak; (2) Makam Kadilangu; (3) Tradisi Garebeg Besar; dan (4) Tradisi Syawalan. Sebagian besar pengunjung yang datang ke Demak bertujuan untuk berziarah ke makam kerabat kesultanan Demak yang berada di belakang masjid Agung Demak dan ke makam kerabat Sunan Kalijaga di Kadilangu, sekitar 3 kilometer ke arah timur laut dari alun-alun. Perayaan garebeg Besar diselenggarakan setiap tahun sekali, yaitu pada tanggal 10 bulan Dzulhijah tahun Hijriyah, yang bertepatan dengan hari Idul Adha atau hari Raya Haji. Selama satu minggu menjelang perayaan garebeg diadakan kegiatan pasar malam yang bertempat di alun-alun. Pada tanggal 7 Dzulhijah, tradisi garebeg Besar dibuka secara resmi oleh bapak Bupati Demak di gapura masjid Agung Demak. Kemudian pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijah diadakan kegiatan ceramah-ceramah agama di masjid dan dilanjutkan dengan ziarah ke makam kerabat kesultanan Demak. Pada malam 10 Dzulhijah, disamping acara takbiran menyambut hari raya Besar, juga diadakan upacara selamatan tumpeng sembilan. Tumpeng sembilan diarak dari pendopo kabupaten Demak, dikawal oleh para prajurit keraton dan pasukan rebana, menuju masjid Agung Demak. Pada tanggal 10 Dzulhijah pagi hari sekitar jam wib diselenggarakan shalat Idul Adha di masjid Agung Demak dan selanjutnya dilakukan pemotongan hewan kurban. Di kompleks makam Kadilangu sendiri, pada tanggal 10 Dzulhijah diselenggarakan upacara khusus yaitu mencuci pusakapusaka keramat milik Sunan Kalijaga, salah seorang anggota Walisanga, yaitu berupa baju antakusuma dan

82 69 dua buah keris yaitu keris Kyai Crubuk dan Kyai Sirikan (lihat pula Syamlawi, 1983:73-74). Pada tanggal-tanggal tersebut, banyak orang berdatangan dari segala penjuru sekitar Demak, sehingga pusat kota alun-alun dijejali oleh lautan manusia yang terdiri dari anak-anak, orang dewasa maupun orang tua. Sementara itu, tradisi Syawalan diselenggarakan setiap tahun sekali, yaitu pada tanggal 7 bulan Syawal tahun Hijriyah, tepatnya seminggu setelah hari Raya Fitri (Idul Fitri), oleh masyarakat Demak yang tinggal di sekitar pantai, bertempat di muara sungai Tuntang. Dibanding dengan garebeg Besar, kegiatan tradisi Syawalan yang berupa acara sedekah laut, gaungnya masih kurang didengar oleh masyarakat luas sekitar Demak. Sehingga pengunjung yang datang menyaksikan acara upacara sedekah laut itu relatif sedikit, mereka sebagian besar adalah masyarakat yang tinggal di sekitar muara sungai Tuntang Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Demak yang dikenal dengan sebutan kota wali dahulunya pernah menjadi pusat kerajaan Islam pertama di tanah Jawa pada perempat terakhir abad ke-xv. Pada saat itu memang kota Demak sangat potensial letaknya di pesisir utara Jawa, lepas dari pegunungan Muria. Karena letaknya strategis di pantai selat yang memisahkan pegunungan Muria dan tanah Jawa, pada abad ke-xvi, Demak telah menjadi tempat penimbunan perdagangan padi dengan perairan yang tenang untuk pelayaran. Namun sejak abad ke-xvii selat tersebut tidak bisa lagi

83 70 dilayari karena telah terjadi pengendapan (Graaf,1985:37). Ketika pada tahun 1602 laksamana Belanda bernama Jacob Van Heemskerck dengan empat kapalnya muncul di kota Demak telah menggunakan teluk Jepara sebagai sandaran kapal-kapalnya. Berarti kapal-kapal Belanda tidak bisa merapat lagi di perairan Demak (Graaf,1986:6-7). Sebagaimana kota-kota pesisir lainnya, seperti Tuban, Cirebon dan Banten, berdasarkan berita dari orang-orang Belanda, bahwa struktur asli kota Demak dikelilingi dengan tembok bata tebal dan tinggi. Pembuatan pagar keliling kemungkinan untuk mencegah gangguan keamanan dari luar kota; dengan demikian bisa berfungsi sebagai benteng (Tjandrasasmita,2000:66-68). Salah satu faktor penyebab dibangunnya kubu-kubu pertahanan, menurut Graaf adalah adanya golongan menengah Islam yang bertempat tinggal di perkampungan sekitar masjid besar merasa perlu mengamankan kepentingan materi mereka dan membantu perlindungan agama (Graaf,1985:81). Menurut Wiryomartono, struktur pusat Demak kemungkinan merujuk pada ibukota Majapahit dengan skala lebih kecil. Di dalam struktur ini alun-alun atau halun-halun menjadi struktur ruang pengikat bagi ndalem/keraton maupun masjid yang bersangkutan (Wiryomartono, 1995:37). Namun kampung Sitihinggil (Sitihinggil) 2 yang dinisbahkan kepada adanya sebuah 2 Menurut Graaf, istilah sitihinggil yang berarti tanah yang tinggi muncul pada masa Sultan Agung sebagai raja Mataram Islam. Pada awalnya, sebagaimana yang digambarkan oleh Jan Vos, seorang utusan Belanda, yang mengunjungi keraton Mataram

84 71 istana atau keraton kesultanan Demak pada jaman dahulu di sebelah selatan alun-alun rupaya terlalu sulit dilacak sisa-sisa peninggalannya disebabkan oleh kurangnya data-data arkeologi. Berdasarkan pemetaan terintegrasi kepurbakalaan daerah Demak, ternyata sulit menentukan lokasi bekas bangunan kesultanan Bintoro. Begitu pula toponim sitihinggil, nama sebuah kampung yang lokasinya di sebelah selatan alun-alun, yang diperkirakan sebagai bekas keraton, tidak terdapat kenampakannya (Bakosurtanal, 1986: ). Menarik perhatian bahwa toponim keraton raja Demak dikaitkan dengan nama kampung Sitihinggil pada hari Rabu tanggal 9 September 1624, bahwa keraton Karta tidak memiliki sitihinggil. Setelah kepulangan Jan Vos, menurut beberapa sumber, keraton diperluas. Hal ini diduga berkaitan dengan pemberian gelar baru Soesoehoenan Ingalaga Mataram kepada Sultan Agung pada tanggal 15 Agustus 1624 bertepatan dengan Gerebeg Puasa. Sesuai dengan peningkatan gelar yang disandang oleh raja, maka pada tahun keraton mengalami perluasan yang hebat, dilengkapi pula dengan sitihinggil. Keraton Karta semula mengahadap ke arah selatan dimana di bagian depan terdapat alun-alun. Dengan semakin menyempitnya alun-alun karena sebagian dijadikan sitihinggil, maka perlu memindahkan alun-alun di sebelah utara keraton. Lebih lanjut, Graaf menduga bahwa ide sitihinggil diperoleh Sultan Agung dari keraton Cirebon yang memang memiliki sitihinggil. Hal ini didasarkan kepada kehormatan spiritual yang dimiliki Panembahan Ratu Cirebon sebagai keturunan yang mulia dari Sunan Gunung Jati (Graaf, 1986: ). Sitihinggil dipergunakan untuk Sultan apabila dia menyaksikan keramaian yang diselenggarakan di alun-alun. Pada acara keramaian ini, tidak hanya dinikmati oleh Sultan, keluarga kerajaan, pejabat pemerintah pusat atau daerah, tetapi juga rakyat umumnya, baik penduduk kota pusat kerajaan maupun penduduk desadesa sekitarnya.

85 72 berada di sebelah selatan alun-alun menghadap ke arah utara. Hal serupa juga diperbuat oleh keraton-keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon, keraton Banten di Surosowan, keraton Yogyakarta dan Surakarta. Keraton yang berada di luar Jawa pun, yaitu Samudra Pasai juga besar kemungkinan mengahadap ke arah utara, ke selat malaka dan keraton Banda Aceh dari masa Iskandar Muda abad ke-xvii berdasarkan berita asing dan berdasarkan peninggalannya diarahkan ke barat laut, mendekati arah utara (Tjandrasasmita, 2000:56 dan 87). Berdasarkan keterangan di atas, keberadaan keraton raja Demak kemungkinan besar memang terletak di sebelah selatan alun-alun yang sekarang dikenal dengan kampung Sitihinggil. Kedekatan antara kerajaan Islam Demak pada masa Sultan Trenggana dengan kerajaan Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati di satu pihak dan kedekatan kerajaan Mataram Islam pada masa Sultan Agung dengan Panembahan Ratu di Cirebon di pihak lain telah memperkuat dugaan adanya keseragaman pola rancang bangun keraton. Namun tidak menutup kemungkinan pula bahwa keraton Sultan Demak tidak memiliki Sitihinggil. Sebab sulit menerima sangkaan bahwa penghancuran kota Demak disertai pula dengan meratakan tanah yang tinggi tempat istana raja berada. Pada kenyataan sekarang memang tidak ada tanda-tanda di kampung Sitihinggil terdapat gundukan tanah sekedar membedakan dengan tanah datar di sekitarnya. Tetapi hal ini masih bisa diperdebatkan lebih lanjut sebab tidak bisa dipungkiri bahwa konon masjid Agung Cirebon memiliki sebuah tiyang dari tatal atau saka tatal sebagaimana keadaan masjid Agung Demak. Konon Sunan Gunung Jati

86 73 sengaja mereplika masjidnya menyerupai masjid Agung Demak yang terlebih dahulu didirikan oleh Walisongo. Jadi, apakah Sunan Gunung Jati juga perlu berpaling kepada Demak ketika membangun keratonnya? Wallahu A lam. Kehancuran kota Demak akibat perang saudara telah menghilangkan jejak keberadaan istana / keraton Demak. Kehancuran kota Demak diawali dengan penyerbuan Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan, demi menuntut balas kematian ayahnya oleh Sunan Prawata, Sultan Demak pengganti Sultan Trenggana. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun Dalam Catatan Tahunan Melayu : Teks Parlindungan diceritakan kisah suksesi di kerajaan Demak; Tung Ka Lo dengan armada Demak menyerang ke jurusan Timur. Tung Ka Lo wafat, Muk Ming naik tahta di Demak. Tentara Ji Pang Kang merebut Demak. Ji Pang Kang adalah juga cucu Jin Bun. Terjadilah perang saudara di Demak. Seluruh kota dan keraton Demak musnah, kecuali masjid. Dugaan Parlindungan : Tung Ka Lo adalah Sultan Trenggono, Muk Ming adalah pangeran Mukmin (alias Sunan Prawata), Ji Pang Kang adalah Arya Penangsang, dan Jin Bun adalah Raden Patah. Menurut Komentar Graaf, cerita kemenangan Ji Pang kang atas Demak, yang meluluhlantakkan kota sangat mungkin didasarkan atas kebenaran, walaupun tidak terdapat dalam buku-buku cerita Jawa secara terperinci (Graaf, 1998:119). Kehancuran berikutnya kemungkinan terjadi sekitar tahun 1588, ketika raja Pajang terakhir (seorang adipati di Demak) dapat dikalahkan oleh Senapati dari kerajaan

87 74 Mataram. Babad Sengkala memberitakan kejadian tahun Jawa 1510 atau Masehi 1588 : rusake nagri Demak, salungane Dipati tilar praja, angambang ing sagara. Pada tahun ini juga diberitakan oleh Babad momana : sirna kitha Demak, sareng Dipati Demak dipun bucal (Graaf,1985:96-97). Pada tahun juga terjadi penumpasan oleh raja Mataram, Panembahan Seda Ing Krapyak terhadap pemberontakan yang dilakukan Pangeran Puger, seorang adipati Demak yang juga saudara tua raja. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dibentuklah regentschap (kabupaten) Demak yang kemudian disusul pengangkatan seorang regent atau bupati Demak yang pertama yaitu Kyai Adipati Adinegoro pada tahun Pada jaman kemerdekaan RI, kedudukan Demak sebagai daerah kabupaten diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.13 Tahun 1950 tentang daerah-daerah kabupaten di Jawa Tengah. Kemungkinan pembangunan kota Demak modern dilaksanakan paling awal pada tahun 1820; setelah Demak memiliki pemerintahan kota yang teratur dan terkontrol. Bisa jadi kosep tata ruang kota Demak sekarang mengadopsi Yogyakarta Alun-alun Konsep alun-alun kota Demak sebagai tanah lapang, tempat berkumpul masyarakat kota, telah ada bersamaan dengan pembangunan masjid Agung Demak sebagai masjid kerajaan. Dahulu, di tengah-tengah alun-alun terdapat dua buah pohon beringin. Keterangan yang ada pada Babad Tanah Jawa bahwa ketika terjadi huru hara

88 75 di kerajaan Majapahit, di alun-alun Demak sedang dibangun sebuah masjid, kemungkinan besar cerita tersebut benar dan yang disebutkan alun-alun adalah sebuah tanah lapang yang boleh jadi sekarang menjadi alun-alun kota Demak. Sedangkan konsep alun-alun kota Demak sebagai town square baru muncul setelah pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem kontrol administrasi terhadap kota-kota di Jawa. Hal ini bisa dilihat dari gambar-gambar bangunan masjid Demak yang lama dimana alun-alun sebagaimana disebutkan diatas masih berupa tanah lapang. Jalan-jalan yang membentuk alun-alun sebagai town square belum kelihatan. Bangunan-bangunan yang ada di sekeliling alunalun Demak, yaitu : (1) Bangunan Pemerintah dan Sekolah Di sebelah tenggara pojok alun-alun terdapat kantor Imigrasi; di sebelah timur terdapat bangunan Sekolah Islam Aliyah, kantor Dinas Pekerjaan Umum, Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang dahulunya adalah penjara, dan bangunan kantor Pos; di sebelah utara terdapat pecinan dan kantor Kabupaten; di sebelah selatan terdapat kantor Kejaksaan, kantor Dinas Pendapatan Daerah, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. (2) Tempat Peribadatan Di sebelah timur laut pojok alun-alun terdapat bangunan Wihara Budhi Luhur,

89 76 tempat peribadatan umat beragama Budha yang memiliki gaya arsitektur Cina; di sebelah barat alun-alun terdapat bangunan masjid dengan bentuk tajug bertumpang tiga. Masjid Agung Demak, konon didirikan oleh Walisanga secara bergotong royong bersama-sama dengan masyarakat setempat. Menurut Abdul Ghani Hamid dalam buku Seni Indah Masjid di Singapura, bahwa penampilan masjid Agung Demak merupakan bentuk masjid dengan atap tumpang yang paling tua di tanah Melayu (Hamid, 1990:19). Berdasarkan penelitian, awal pembangunan masjid Agung Demak diperkirakan pada tahun Masehi 1477 dan selesai pada tahun 1479 (Ashadi, 2001:82). Selama masa keberadaannya masjid Agung Demak sudah beberapa kali mengalami perbaikan dan perluasan. Menurut Serat Kandha pada tahun Jawa 1429 atau Masehi 1507, masjid diperluas dan diperindah dimana raja sendiri, Sultan Trenggana, menghadiri acara peresmiannya. Kemudian, menurut Babad tanah Jawa, pada tahun Jawa 1634 atau Masehi 1710 masjid diperbaiki dan diganti atap sirapnya atas perintah raja Mataram, Pakubuwono I. Penambahan fasilitas yang mula-mula adalah bangunan serambi yang

90 77 terkenal dengan serambi Majapahit, yang diperkirakan menyatu dengan bangunan utama masjid pada tahun Masehi Sebelumnya yang ada di depan, di sebelah timur adalah paseban yang letaknya terpisah dengan masjid. Dalam buku Geschiedenis Van Java Deel II, terbitan tahun 1920 menampilkan gambar masjid Agung Demak. Dari gambar terlihat sebuah regol berlanggam arsitektur kolonial sebagai gerbang utama masuk ke dalam kompleks yang di samping kanan dan kirinya dihubungkan dengan pagar keliling berupa pilar-pilar dengan susunan jeruji atau kisi-kisi kayu di antara pilar-pilar. Konon, sebelumnya regol masjid berbentuk semar tinandhu seperti yang terdapat pada kompleks masjid Besar Yogyakarta. Di belakang regol terdapat bangunan penghubung ke serambi masjid Agung Demak yang dinamakan tratag rambat. Dalam gambar terlihat pula bahwa jalan (raya) sebagai pembentuk sebuah town square belum ada. Hanya terlihat jalan setapak berupa hamparan batu-batu putih kecil-kecil di atas tanah dengan lebar jalan setapat sekitar 1,5 meter, itupun tidak sejajar atau searah dengan arah mata angin barat-timur atau utara-selatan, melainkan

91 78 menyerong dari arah sisi timur alun-alun menuju ke arah dimana regol berada. Sekarang ini, kompleks masjid Agung Demak menempati areal seluas kurang lebih meter persegi. Di dalam kompleks ini, selain bangunan masjid itu sendiri juga terdapat beberapa makam kerabat kesultanan Demak, sebuah menara dari rangka baja, sebuah kolam, sebuah bangunan musium, dan bangunan kantor pengelola. Gambar 26. Peta pusat kota Demak (Direktorat, 1985/1986)

92 79 Gambar 27. Alun-alun Demak ditumbuhi semak (Graaf, 1949) Gambar 28. Alun-alun Demak sekitar tahun 2003 (Dokumentasi Penulis)

93 Semarang Gambaran Umum Kota dan Kehidupan Sosio- Kultural Masyarakatnya Semarang berada di pesisir utara Jawa Tengah dan menjadi ibukota propinsi Jawa Tengah. Secara astronomi, Semarang terletak di antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Wilayah kota Semarang berbatasan di sebelah utara dengan laut Jawa, di sebelah timur dengan kabupaten Demak, di sebelah selatan dengan kabupaten Semarang, dan di sebelah barat dengan kabupaten Kendal. Gambar 29. Peta wilayah Semarang dan sekitarnya ( akses 22 Juni 2017) Wilayah kota Semarang terdiri atas dua daerah yang memiliki karakteristik yang berlainan, yaitu kota Bawah dan kota Atas. Kota Bawah meliputi daerah dataran rendah yang dimulai dari pantai utara sampai

94 81 perbatasan daerah perbukitan Candi. Di kota Bawah terdapat berbagai ragam bangunan dari gaya kolonial hingga bangunan modern. Kehidupan sehari-hari masyarakat Semarang sebagaian besar berlangsung di kota Bawah ini. Seperti daerah pantai pada umumnya, kota Bawah beriklim panas. Sedangkan kota Atas merupakan daerah perbukitan yang berhawa sejuk dan segar, mempunyai ketinggian antara meter di atas permukaan air laut. Di kota Atas terdapat daerah yang bernama Candi; dari sini bisa mendapatkan panorama yang indah terutama di waktu malam hari. Semarang yang berfungsi sebagai ibukota propinsi Jawa Tengah tidaklah secara kebetulan. Kota ini sudah sejak lama merupakan kota transit atau pemusatan lalu lintas perdagangan ekspor dan impor untuk wilayah karesidenan Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Kedu dan Rembang. Banyak kantor-kantor dagang dari bangsa Eropa dan Cina terdapat di kota Semarang, demikian pula perwakilan perbankan, perwakilan perusahaan besar, industri, perusahaan pelayaran dan sebagainya. Lalu lintas perdagangan dilakukan dalam dua bentuk, yakni lalu lintas darat (kereta apai dan jalan raya) dan pelabuhan lalu lintas laut (lihat pula Depdikbud, 1985:33-34). Di bawah pengaruh kolonial Belanda, Semarang tumbuh dengan segala heterogenitas dan kompleksitasnya sebagai kota metropolitan. Di sini ada tiga budaya yang dominan yang permukiman etnik pendukungnya juga menjadi titik pusat perkembangan (center of growth), yaitu Kauman (etnik pribumi), Kota Lama (etnik Belanda), dan

95 82 Pecinan (etnik Cina), masing-masing dengan latar belakang budayanya sendiri. Ketiganya tumbuh dalam lingkup spasial dan komunitas sosialnya sendiri, berjalan seiring dan saling mempengaruhi satu sama lain (Undip, 2000:42). Tokoh legendaries Sam PO Kong atau dikenal pula dengan Cheng Ho, seorang laksmana berkebangsaan Cina, yang pernah mengunjungi Semarang pada abad ke-xv Masehi, oleh masyarakat terutama etnis Cina di Semarang dipuja sebagai dewa pelindung. Tradisi yang sekarang masih hidup adalah upacara pemujaan dan arak-arakan yang diadakan setiap tahun pada hari terakhir dari bulan yang keenam dari kalender Cina (tanggal 29 Lak Gwee). Dengan arak-arakan, patung Sam Po Kong di bawa dari klenteng Sam Po di Gedung Batu, Simongan menuju ke klenteng Tay Kek Sie di Gang Lombok (Pecinan) dan pada keesokan harinya dikembalikan lagi ke klenteng Sam Po di Gedung Batu. Arak-arakan itu diikuti banyak sekali orang dengan membawa berbagai peralatan, misalnya gamelan dan tiruan berbagai senjata yang terbuat dari kayu, joli tempat membawa patung Sam Po Kong, seekor kuda yang disediakan sebagai kendaraan arwah Sam Po Kong, dan permainan liang-liong. Semenjak beberapa tahun terakhir, karena alasan supaya tidak mengganggu lalu lintas umum, maka dari klenteng Tay Kek Sie para peserta pawai diangkut dengan truk sampai di Banjir Kanal beberapa ratus meter dari klenteng Gedung Batu, dimana dari tempat itu mereka diperbolehkan melakukan pawai. Sementara itu tradisi masyarakat Semarang yang diadakan menjelang bulan Ramadlan atau bulan puasa bagi umat Islam, yaitu dugderan sudah tidak ada lagi

96 83 bersamaan dengan hilangnya alun-alun kota Semarang. Menurut penuturan Suratmin Utomo (usia 52 tahun), seorang rekan sejawat Penulis di Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang masa kecilnya sering bermain di alun-alun Semarang, pada waktu itu, selama tujuh hari menjelang bulan Ramadlan, di alun-alun diadakan keramaian dan pasar malam. Dan pada hari terakhir diadakan arak-arakan warak ngendog (warak bertelur), seekor binatang imajinatif yang terbuat dari kertas warna-warni dengan kerangka kayu, mulai dari Kanjengan (kabupaten) di sebelah selatan alun-alun menuju ke tengah-tengah alun-alun. Banyak sekali anakanak yang ikut berebut telur, sebab telur-telur yang diikutkan dalam arak-arakan ini adalah telur sungguhan. Dan pada waktu malam harinya, di masjid Besar yang terdapat di sebelah barat alun-alun ditabuh bedug bertalutalu yang sesekali diselingi dengan bunyi mercon atau petasan sebagai pemberitahuan bahwa esok harinya adalah hari permulaan bulan puasa bagi umat Islam. Sehingga dari bunyi dug-dug-dug dari bedug yang dipukul dan bunyi der-der-der dari petasan maka tradisi ini dikenal dengan dugderan. Bagi banyak orang tua pada waktu itu, seperti merupakan suatu keharusan membelikan untuk putra putrinya warak ngendog (berukuran kecil) dan lampu nteng-nteng (seperti lampion dengan cahaya lilin yang ada di dalamnya) yang banyak dijual di alun-alun saat tradisi dugderan. Pada masa walikota H. Imam Suparto, tradisi itu ditingkatkan menjadi semacam festival berupa arakarakan Warak Ngendog diiringi kelompok-kelompok

97 84 kesenian Islam, yang dilepas dari halaman Balaikota kemudian berjalan menuju masjid Agung Kauman Pertumbuhan dan Perkembangan Kota R.W. van Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda, sebagaimana ditulis Amen Budiman, pernah mengajukan teori, bahwa lima abad berselang laut Jawa masih luas membentang hingga menyentuh kaki-kaki daerah bukitbukit Candi. Pada masa itu perairan yang berada di muka daerah bukit-bukit Candi merupakan sebuah perairan yang dalam. Dan pengukuban Lumpur di kawasan Semarang selama 2,5 abad terakhir telah menjangkau jarak hingga 2 kilometer jauhnya. Muara Kali Garang (Sungai Banjir Kanal Barat) merupakan pelabuhan alamiah yang terlindung untuk daerah Semarang, yang pada masa itu berada di belakang pulau kecil Bergota, yang luas daerahnya tidak hanya meliputi daerah Bergota yang kita kenal pada masa sekarang, akan tetapi juga mencakup daerah Mugas (Budiman, 1978:1-2). Yang dimaksud dengan pulau kecil, yang dalam beberapa naskah dinamakan pulau Tirang adalah daerah bukitbukit Bergota dan Mugas, yang pada abad ke-xv Masehi masih merupakan sebuah semenanjung. Bergota diduga pernah menjadi pelabuhan penting bagi kerajaan Mataram Kuno (dinasti Syailendra) sebelum pusat kerajaan itu dipindah ke Jawa Timur. Menurut tradisi masyarakat Semarang, Ki Pandan Arang adalah pendiri kota Semarang dan sekaligus sebagai bupati Semarang yang pertama sekitar seperempat terakhir abad ke-xv Masehi. Awal mulanya, Ki Pandan Arang membuka padepokan dalam rangka

98 85 pengislaman para ajar di sekitar pulau Tirang, namun kemudian memindahkan padepokannya ke daerah pegisikan (pantai), ialah yang sekarang dikenal dengan Bubakan, dari kata bubak yang berarti membuka sebidang tanah untuk dijadikan tempat bermukim. Semarang pada waktu itu masih menjadi bagian dari wilayah kerajaan Islam Demak. Dan Ki Pandan Arang diangkat menjadi bupati pertama Semarang oleh penguasa Demak. Dari sketsa kota Semarang kuno terlihat bahwa selain kabupaten di Bubakan, terdapat pula sebuah pasar di sebelah baratnya yang keduanya terletak di sebelah timur Kali Semarang.. Dan sebuah masjid yang letaknya di sebelah barat, di seberang Kali Semarang di daerah Pedamaran sekarang. Rupanya kampung Kauman berada agak jauh, di sebelah barat, dari bangunan masjid. Permukiman penduduk tersebar mulai dari sekitar Bubakan, Pedamaran, Kauman hingga Gendingan (daerah di sebelah utara Kauman). Pada masa kerajaan Mataram Islam, tidak hanya pergantian bupati yang terjadi, tetapi juga bangunan kabupaten Semarang beberapa kali mengalami pemindahan lokasi. Dalam Laporan Penelitian : Konservasi dan Pengembangan Masjid Agung Kauman Untuk Identitas Budaya dan Pariwisata, dengan mengutip Soekirno (1956) dinyatakan bahwa raja Mataram, Amangkurat, menunjuk Mas Tumenggung Tambi untuk menjabat Bupati Semarang. Tidak lama kemudian, ialah pada tahun 1659, lalu diganti oleh Mas Tumenggung Wongsoredjo berasal dari Sedaju. Ia dapat bertahan memegang jabatannya

99 86 selama tujuh tahun dan Dalem kabupatennya berada di kampung Gabahan. Seberhentinya Mas Tumenggung Wongsoredjo, lalu diganti oleh Mas Tumenggung Prawiroprodjo yang Dalem kabupatennya di Sekaju. Ia menjabat bupati selama empat tahun (Undip, 2000:26). Kemudian pada masa Amangkurat II ( ), Mertonoyo yang konon masih keturunan trah Pandan Arang diangkat menjadi bupati Semarang dengan gelar Tumenggung Yudonegoro. Dia memindahkan kembali Dalem kabupaten atau Dalem Kanjengan ke lokasi semula di sekitar Bubakan, bergeser sedikit ke arah barat, yaitu di sebelah selatan alun-alun kota Semarang. Di samping zona kota Dalem dengan alun-alun sebagai orientasi kota, Semarang juga memiliki Kota Benteng yang merupakan tempat permukiman orangorang Belanda; ia dinamakan Kota Benteng karena kota ini dikelilingi oleh benteng yang kuat. Kota Benteng ini pada mulanya berpusat di sekitar Benteng De Vijfhoe yang dibangun oleh VOC di daerah Sleko sejak adanya hubungan antara VOC dengan Sunan Amangkurat I pada tahun Dan sejak tahun 1708, setelah VOC memindahkan pusat pemerintahannya di Jawa Tengah dari kota Jepara ke Semarang, kota ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kota Semarang menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan VOC setelah kota Batavia (Jakarta). Pada peta PAAN van het Fort en Omleggende Cituatie van Semarang terlihat situasi kota Semarang tahun Loji Kompeni yang dikenal dengan Vijfhoek van Semarang terletak di kawasan Sleko, di tepi Kali Semarang. Loji ini memiliki lima bastion yang berbentuk

100 87 runcing dan masing-masing sudut itu diberi nama, yaitu Zeeland, Amsterdam, Utrech, Raamsdonk, dan Bunschoten. Di sebelah barat Loji, di seberang Kali Semarang terdapat Negorij (kampung Melayu sekarang) yang dikelilingi oleh persawahan. Dari arah Loji terdapat jalur jalan ke arah timur (Demak) dan ke selatan (Kartasura) (lihat Undip, 2000:32). Kemudian dalam rencana pembangunan kota Semarang yang tertuang dalam peta Plan of Platte Grond van Semarang met hes Dies Environs op een Afstand yang dibuat pada tahun 1760-an, terlihat bahwa pembangunan Kota Benteng atau dikenal dengan Kota Lama Semarang dilakukan dengan memotong Vijfhoek dan hanya disisakan dua sudut sebelah barat dan utara yang terletak di tepi Kali Semarang. Selanjutnya bangunan benteng diperluas dan di sana dibangun sejumlah fasilitas yang memadai bagi suatu pusat pemerintahan, misalnya : gedung perkantoran, gedung Gouvernement, gereja Protestan (gereja Blendug sekarang), sekolah Marine, gedung Keuangan, kuburan umat kristiani, rumah sakit, tangsi, penjara, gudang peluru, dan sebagainya. Struktur Kota Lama Semarang sebagai satu satuan area dapat dikatakan unik. Pola kawasan ini merupakan gabungan antara kota Barat (Belanda) dengan lokal. Pada dasarnya pola yang terbentuk menjadi konsentrik dengan node yang menjadi pusat kegiatan dan arus pergerakan. Kawasan ini seolah terbelah menjadi dua bagian oleh sumbu yang membujur dari timur ke barat, yaitu jalan Letnan Jenderal Suprapto, mainstreet yang pada zaman Daendels merupakan jalan pos. Selain itu terdapat sumbu

101 88 melintang, yaitu jalan Suari yang menuju ke arah gereja dan menjadi penghubung kegiatan antara pasar Johar dengan stasiun kereta api Tawang. Pada masa lalu pusat kegiatan utama berada di sepanjang mainstreet (Bappeda, 1995:383). Orang Belanda mulai membuka tembok benteng di sekeliling Kota Lama pada paruh kedua abad ke-xviii Masehi dan mulai membangun villa-villa di sepanjang jalan Bojong sampai Randusari. Jalan-jalan baru dibangun, antara lain jalan Bojong, jalan Mataram, jalan Kali Gawe, jalan Depok, dan jalan kecil menuju daerah Candi melalui Randusari. Grid-grid jalan kecil di sekitar Poncol, Sekayu, Jayenggaten, Gabahan, Jagalan, mulai terbentuk (lihat Depdikbud, 1985:27). Kota Semarang mengalami perkembangan yang sangat pesat menjelang terbentuknya Gemeente van Semarang pada tahun 1906 yang juga menandai adanya pemerintahan kota praja Semarang. Pada tahun 1914 mulai dibangun permukiman baru di bukit Candi yang disebut permukiman Candi Baru (Kota Atas) yang merupakan perluasan dari daerah Candi Lama (yang sudah dibuka untuk perumahan Belanda tidak lama setelah pemerintah Kolonial membongkar benteng kota Lama Semarang). Dalam paruh pertama abad ke-xx Masehi, permukiman di daerah perbukitan Candi Baru ini telah semakin berkembang menjadi daerah tempat tinggal bagi golongan bangsa Eropa. Selain itu, untuk menghadapi permasalahan-permasalahan perluasan kota, pemerintahan kota praja juga merestorasi pasar Johar, membangun rumah pemotongan hewan yang cukup modern di Kabluk, membangun perumahan-perumahan di

102 89 Halmahera, Blimbing dan Mangga, membangun pipa-pipa saluran air, dan membangun jalan-jalan baru. Pada masa wali kota dijabat oleh Letnan Kolonel R. Warsito Soegiarto ( ), kota Semarang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pembangunan kota Semarang yang nampak antara lain : memperlebar jalanjalan dalam kota dan melengkapi dengan lampu-lampu jalan; menertibkan kampung yang penuh dengan rumahrumah liar dan memperbaiki assainering; menyelesaikan proyek Simpang Lima (yang sudah dimulai tahun ) dengan bangunan gedung di sekitarnya; membangun hotel Patra Jasa dan Metro Hotel; dan membangun Shopping Centre Johar dan pertokoan Yaik Permai (lihat Pemda, 1979:49-51) Alun-alun Sekarang ini, alun-alun kota Semarang sudah tidak ada lagi. Di atas lahan yang dulu sering ramai oleh pasar malam dan tradisi Warag Ngendog nya menjelang bulan Ramadlan, telah dibangun kompleks pasar dan pertokoan Yaik Permai. Dalem Kanjengan sebagai simbol kota Semarang tempo dulu telah pula lenyap digantikan oleh pusat perbelanjaan Kanjengan Plaza. Rupanya alun-alun kota Semarang menjadi korban dari perubahan zaman yang makin deras dengan industri perdagangan menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat modern. Pada masa bupati Tumenggung Yudonegoro, tata ruang kota Semarang masih belum menunjukkan ciri khas seperti lazimnya kota-kota Islam di Jawa dikarenakan bangunan masjid masih menggunakan

103 90 masjid lama di Pedamaran, yang berarti terletak di sebelah timur alun-alun kota Semarang. Baru setelah Adiapti Surohadimenggolo II, penguasa Semarang, menyelesaikan pembangunan sebuah masjid Besar sebagai pengganti masjid Pedamaran yang rusak akibat Perang Cina (1741) dan meresmikannya pada tahun 1756, sejak itu maka kota Semarang benar-benar menunjukkan ciri morfologi sebagai kota Islam. Di sini ada Dalem Kanjengan di sebelah selatan alun-alun menghadap ke arah utara menghadap alun-alun, sementara masjid terletak di sebelah barat alun-alun; di samping itu juga terdapat pasar Pedamaran (dikenal pula dengan pasar Semarang) yang nantinya diperluas menjadi pasar Johar sekarang (lihat Undip, 2000:41-42). Sedangkan di sebelah utara alun-alun masih berupa tanah lapang yang kemudian disebut juga dengan alun-alun utara. Pada tahun 1860, pasar Johar sudah muncul, sebagai perluasan ke arah barat dari pasar Pedamaran. Dinamakan pasar Johar sebab di sekeliling pasar ini banyak ditumbuhi pohon johar. Pasar Johar berada tepat di sebelah timur dan menjadi satu dengan alun-alun. Di sebelah timur alun-alun ini juga terdapat bangunan penjara. Pasar Johar menjadi semakin ramai mengalahkan pasar Pedamaran dan memerlukan perluasan ruang. Setelah melalui proses pengkajian, akhirnya diadakan perluasan pasar Johar dengan menebang pepohonan johar dan membangun los baru. Pada tahun 1931 gedung penjara tua yang terletak di dekat pasar Johar dibongkar sehubungan dengan rencana pemerintah kota praja mendirikan pasar sentral modern. Pasar baru ini

104 91 dibangun untuk mempersatukan fungsi lima pasar yang telah ada yaitu pasar Johar, Pedamaran, Beteng, Jurnatan dan Pekojan. Adapun tapak pasar yang direncanakan meliputi tapak pasar Pedamaran, pasar Johar, ditambah tapak rumah penjara, beberapa toko, sebagian halaman Kanjengan dan sebagian lagi alun-alun. Pada tahun 1933 dibuatlah usulan rancangan pertama oleh Ir. Thomas Karsten, dengan gagasan konstruksi cendawan atau jamur (Bappeda, 1995:170; lihat pula Sumalyo, 1993:43; dan Joe, 1933: ). Di sebelah selatan alun-alun terdapat Dalem Kanjengan atau Kadipaten yang letaknya agak menjorok ke arah selatan dengan halaman depannya yang luas dan memanjang. Berdasarkan peta tahun 1695, 1719 dan 1741 terlihat jelas bahwa saat itu Dalem Kanjengan sudah berada di tempatnya yang sekarang (sebelum akhirnya dibongkar), di wilayah Kauman sekarang, namun masjidnya masih menggunakan masjid lama (peninggalan era Bubakan) yang lokasinya di Pedamaran. Dalem Kanjengan yang merupakan simbol pusat pemerintahan tradisional (kabupaten Semarang), pada sekitar tahun 1976 telah dibongkar dan dipindahkan dari tempat asalnya di Kauman ke puncak gunung Talang di Sampangan. Ketika bangunan itu roboh oleh terjangan angin, sisa-sisa bangunan bersejarah itu sekarang dibiarkan teronggok di rumah dinas Walikota di Manyaran dalam keadaan merana (Undip, 2000:1 dan 51-52). Tapak Dalem Kanjengan, sekarang diperuntukkan sebagai pusat perbelanjaan Kanjengan Plaza.

105 92 Di sebelah barat alun-alun terdapat masjid Agung Kauman yang merupakan satu-satunya bangunan bersejarah yang masih tersisa. Bangunan ini dibangun sebagai pengganti masjid lama (di Pedamaran) yang rusak akibat Perang Cina. Kanjeng Adipati Surohadimenggolo II sebagai pendiri masjid baru itu menjadi termasyhur dan tercatat dalam lembaran sejarah kota Semarang sebagai de stichter van de eerste missigit van Semarang (pendiri masjid besar yang pertama di kota Semarang). Dalam peta Plan of Platte Grond van Semarang Het Environs op een Afstand (tanpa tahun), legenda de Javaansche Tempel berada di sebelah barat laut Dalm of Woning van den Samarangsch Hoofd Regent, sedangkan Paschaar Padamarang terletak persis di sebelah timur Dalm of Woning van den Samarangsch Hoofd Regent. Melihat bahwa Stadhuis sudah berada di ujung jalan Bojong, maka diperkirakan peta ini dibuat pada dekade 1760-an, sebab Stadhuis baru itu dibangun untuk menggantikan Stadhuis di Kota Lama Semarang yang terbakar pada tahun Pada peta ini masjid menghadap Stadhuis Plein (alun-alun) yang berbentuk diagonal. Alun-alun ini dipotong oleh ruas jalan yang berawal dari sudut barat ke bagian tengah sisi tenggara dan ruas jalan dari bagian tengah sisi utara ke sisi tenggara, sehingga membentuk perempatan jalan di tengah-tengah alun-alun. Sementara di depan masjid belum terlihat adanya jalan. Dari arah masjid terdapat jalan ke arah selatan (sekarang jalan Kauman) yang kemudian menyambung dengan jalan Plampitan sekarang hingga di tepi kali Semarang. Di sebelah barat masjid terlihat ada sebuah gang tembus ke jalan Bojong

106 93 (sekarang gang Suromenggalan) (Undip, 2000:53, dengan merujuk pada Brommer, 1995:15). Masjid Agung Kauman pernah mengalami kebakaran pada tahun Pembangunan kembali masjid ini dimulai pada tahun 1889 dan dapat diselesaikan pada tahun 1890 atas bantuan G.I. Blume, Asisten Residen Semarang dan Kanjeng Raden Tumenggung Cokrodipoero, Bupati Semarang, sebagaimana dapat dilihat pada inskripsi yang tertera pada pahatan di sisi gapura masjid. Di sebelah utara alun-alun terdapat kompleks Hotel Metro yang mulai dibangun sekitar akhir tahun 1960-an. Lahan yang digunakan oleh kompleks Hotel Metro dulunya adalah alun-alun utara. Hampir bersamaan waktunya, telah terjadi pula proses penghilangan alunalun (selatan) sebab di atas tapak alun-alun tersebut dibangun pertokoan Yaik Permai. Gambar 30. Peta kota Semarang pada masa Ki Pandan Arang; Kabupaten terletak di daerah Bubakan (Budiman, 1978)

107 94 Gambar 31. Peta kota Semarang sekitar tahun 1741; (A) loji, (B) kampung Eropa, (C) permukiman Jawa, (D) kampung Cina, (E) jalan tradisional (Undip, 2000: lampiran G)

108 Gambar 32. Peta kota Semarang sekitar tahun 1912 (Listiati, 1997:47, merujuk Tillema, 1913) 95

109 96 Gambar 33. Peta kota Semarang sekitar tahun 1997 (Listiati, 1997:6, merujuk Dinas Tata Kota Semarang, 1997)

110 97 Gambar 34. Alun-alun Semarang sekitar tahun 1930 (Joe, 1933:bag XVI) Gambar 35. Alun-alun Semarang telah menjadi pasar Yaik (Dokumentasi Penulis)

111 98 Gambar 36. Alun-alun Semarang tahun 1900 (Raap, 2015:8)

112 BAB V ALUN-ALUN : RUANG TERBUKA KOTA DALAM STRUKTUR RUANG KOTA TRADISIONAL JAWA 5.1. Asal-Usul : Dari Tanah Lapang Menjadi Alun-alun Alun-alun menurut KRT. Puspodiningrat (1984:2) dengan merujuk alun-alun (utara) kota Yogyakarta seperti dikutip Khairuddin (1995:53) berasal dari kata alun (gelombang). Gelombang yang mengayun-ayunkan hidup manusia di dalam samudra masyarakat. Gelombang ini digerakkan oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang tumbuh di sekeliling alun-alun. Angin ini ibarat bermacam-macam aliran yang membawa pengaruh kepada manusia, misalnya ideologi, agama, ilmu pengetahuan, kepercayaan, dan sebagainya. Sedangkan beringin yang ada di tengah alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kesatuan ini dapat juga ditafsirkan sebagai usaha seseorang untuk mendekatkan diri dan bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula-gusti) di tengah-tengah banyaknya godaan. 99

113 100 Kata alun-alun (halun-halun) mungkin diasosiasikan dengan suatu tempat yang memiliki sifat telaga dengan riak yang tenang. Sifat ini diperlukan oleh konsep kekuasaan Jawa sebagai integrator segala keragaman : peran, aspirasi, dan tradisi. Dengan kemampuan integrasi dan toleransi yang tinggi, kemungkinan besar konsep alun-alun ini mempresentasikan orang Jawa (Wiryomartono, 1995:46). Istilah alun-alun sudah dikenal dalam kitab Negarakretagama karya empu Prapanca, seorang pujangga kerajaan Majapahit pada abad ke-xiv Masehi. Kitab Negarakretagama terdiri dari 98 pupuh. Kata alun-alun terdapat dalam pupuh 9 bait 2 (lihat Pigeaud, 1960, I:8) : nahan tadinya mungwin watanan alunalun tan / pgat lot maganti, tanda mwan gusti wadwa haji muwah ikan amwan tuhan / rin (yawabap), mukyan mungwin wijil / pi kalih adika bhayankaryapintapu- (96a) pul / sok, lor nin dware dalm / ngwanya kidul ika para ksatriya mwan (bhujanga). Slametmulyana (1979:278) memberikan penafsiran puja sastra tersebut : begini keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak terbatas mentri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka bhayangkari tingkat tinggi berjejal meyusul di deret yang kedua

114 101 di sebelah utara pintu istana, di selatan satria dan pujangga Kutipan di atas adalah dalam konteks menggambarkan para pengawal keraton Majapahit. Dan jelas bahwa alun-alun yang digambarkan berupa lapangan luas bagaikan tak terbatas letaknya dekat dengan istana raja. Slametmulyana dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit (1983: ) dengan merujuk kitab Negarakretagama menggambarkan komposisi keraton Majapahit sebagai berikut : Keraton Majapahit menghadap ke arah barat, dikelilingi benteng dari batu merah lagi tinggi. Di muka benteng terdapat lapangan luas, dikelilingi parit berisi air. Di antara parit dan benteng terdapat jalan yang mengelilingi keraton. Pintu di sebelah barat bernama Pura Waktra yang artinya pintu muka. Dari pintu muka itu terdapat jalan lurus ke arah timur sampai benteng di sebelah timur, membelah alun-alun menjadi dua. Di sebelah utara ada lagi gapura dengan pintu besi penuh ukiran untuk masuk ke keraton. Dari pintu utara terbentang jalan ke arah selatan sampai benteng sebelah selatan. Jalan dari pintu utara bertemu dengan jalan dari pintu barat tepat di tengah-tengah kompleks

115 102 keraton. Pertemuan dua jalan itu disebut jalan prapatan. Masuk dari pintu utara mengikuti jalan ke arah selatan, di sebelah kanan jalan ialah alun-alun, di sebelah kiri jalan ialah bangunan-bangunan kenegaraan dalam kompleks keraton. Dari prapatan ke arah timur, di kanan dan kiri jalan ialah bangunan-bangunan tempat kediaman, ditanami pohon tanjung. Di tepi alun-alun sepanjang benteng berjajar pohon brahmastana. Alun-alun bagian selatan digunakan sebagai lapangan watangan. Kita perhatikan bangunan-bangunan apa yang didirikan di bagian timur. Masuk dari pintu utara ke arah selatan, di sebelah kiri jalan ialah panggung tinggi, lantainya terbuat dari marmer putih bersih mengkilat, menghadap ke alun-alun. Di sebelah selatan panggung ialah pekantoran dan perumahan yang memanjang ke arah timur. Tepat di sebelah selatan prapatan ialah balai agung tempat pertemuan pada permulaan bulan Caitra setiap tahun. Kemudian menyusul balai manguntur, sama dengan tratag rambat atau pendapa agung tempat para pembantu utama menghadap Sang Prabu. Balai manguntur juga biasa disebut balai paseban atau balairung. Di tengah-tengah balai manguntur terdapat rumah kecil dengan tahta tempat duduk

116 103 Sang Prabu. Rumah kecil itu disebut balai witana. Di sebelah selatan balai manguntur terdapat bangunan memanjang ke selatan ke arah pintu kedua, terbagi atas beberapa ruangan, masing-masing dengan pintunya sendiri. Tempat ini ialah ruang kerja Sang Panca Wilwatikta. Di situ banyak kedapatan perwira yang sedang dapat giliran berjaga. Masuk pintu kedua dari selatan, di sebelah kanan jalan ialah halaman istana. Di sebelah utara halaman ialah istana Sri Kertawardhana dan permaisurinya. Di sebelah selatan halaman ialah istana Raja Paguhan Singawardhana dan permaisurinya. Di sebelah timur halaman ialah istana Sang Prabu. Di pendapa yang bentuknya sangat bagus Sang Prabu menerima para tamu yang sudah menunggu di ruang tamu. Keadaan di luar benteng. Di bagian timur ialah tempat tinggal Dharmadhyaksa Kasaiwan Hyang Brahmaraja dan para pendeta Siwa. Di bagian selatan ialah tempat tinggal Dharmadhyaksa Kasogatan dan para pendeta Budha. Di bagian barat ialah tempat tinggal para arya, mentri dan sanak-kadang rajadiraja. Di sebelah timur, terpisah oleh jalan ialah pesanggrahan Bhatara Wengker Sri Wijayarajasa dan

117 104 Permaisurinya. Di sebelah selatan pesanggrahan Bhatara Wengker ialah pesanggrahan Bhatara Matahun Sri Rajasawardhana dan permaisurinya Bhre Lasem. Di bagian utara terdapat pasar. Di belakang pasar itu ialah tempat pesanggrahan Bhatara Narapati. Di sebelah timur laut keraton ialah rumah kediaman Patih Amangkubhumi Gajah Mada. Ibukota dan istana Majapahit yang semegah itu telah lama musnah. Di situs Trowulan, ibukota Majapahit, yang tinggal dan masih dikenal oleh penduduk setempat ialah toponim kedhaton, sedangkan toponim alun-alun sulit sekali ditemukan. Berdasarkan gambaran di atas, orientasi keraton kerajaan Majapahit bersama alun-alun nya di bagian barat yang merupakan simbol kekuasaan berbeda dengan keadaan pusat-pusat kekuasaan di Jawa pada masa sesudahnya dimana poros Utara-Selatan menjadi sumbu absis yang kuat. Keberadaan prapatan di dalam kompleks keraton memperlihatkan bahwa pusat kota kerajaan Majapahit menempatkan kedua sumbu mata angin Utara- Selatan dan Barat-Timur tidak saling melemahkan. Struktur simpul kota Majapahit seperti digambarkan di atas mungkin serupa dengan Perempatan-Agung nya kotakota di Bali dan kota Cakranegara di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dimana kedua sumbu mata angin mengorganisir tata ruang dan bangunan secara keseluruhan.

118 Gambar 37. Layout keraton Majapahit menurut Slametmuljana (Slametmuljana, 2005:269) 105

119 106 Gambar 38. Layout keraton Majapahit menurut Stutterheim (Stutterheim, 1948:124)

120 107 1 = Kuta 2 = Purawaktra 3 = Lebuh Ageng = Bubat 4 = Brahmasthana 5 = Gopura 6 = Panggung 7 = Peken Agong 8 = Catusphata 9 = Lebuh (Pahoman Balasamuha) 10 = Wanguntur 11 = Witana 12 = Wecma Panangkilan 13 = Nggwan Caiwabodha 14 = Rijkstempelerf 15 = Pasewan I 16 = Hawan 17 = Tanjung 18 = Mandapa 19 = Pasewan II 20 = Wijil Ping Kalih 21 = Natar 22 = Grhanopama 23 = Witana 24 = Wijil Pisan 25 = Singhawarddhanan 26 = Krtawarddhanan 27 = Woonplaatsen Ciwaieten 28 = Woonplaatsen Buddhisten 29 = Woonplaatsen Mantri s 30 = Pura van Wengker 31 = Dalem van Matahun 32 = Dalem (Kuwu) van Patih van Daha 33 = Dalem (Kuwu) van Patih van Majapahit 34 = Kadharmmadhyaksan Kacaiwan 35 = Kadharmmadhyaksan Kaboddhan Keterangan Layout keraton Majapahit menurut Stutterheim

121 108 Gambar 39. Layout keraton Majapahit menurut Pigeaud (Pigeaud, 1960)

122 1 = Royal Compound, Majapahit 2 = Compound of Wengker Kadiri 3 = Manor of Narapati, vizir of Kadiri 4 = Manor of Gajah Mada, vizir of Majapahit 5 = Manor of the Buddhist bishop 6 = Manor of the Shiwaite bishop 7 = sacred crossroads 8 = ring surrounded by trees 9 = redoubt 10 = market-place 11 = long assembly hall 12 = Main Gate of the Royal Compound 13 = common mandarins pavilions 14 = common ecclesiastic officers pavilions 15 = watch-tower 16 = pavilions with circular canal 17 = central hall of the main courtyard 18 = common Buddhist priests pavilions 19 = common Shiwaite priests pavilions 20 = Shiwaite shrines 21 = Wishnuite shrines 22 = chthonic spirits offering terrace 23 = Buddhist shrines 24 = Main Courtyard, Wanguntur 25 = terraced courtyard with Royal servants pavilions 26 = road leading West, with trees 27 = Second Gate of the Royal Compound 28 = Interior of the Royal Compound, Ceremonial Courtyard, with trees 29 = Great Hall of the Ceremonial Courtyard 30 = four corner halls 31 = First Gate, entrance to the Private Courtyard 32 = Interior, Private Courtyard of the Royal Family 33 = House of the King s Father, Kertawardhana, Prince of Singasari 34 = House of King Hayam Wuruk of Majapahit 35 = House of the King s sister and his brother-in-law Singhawardhana, of Pajang-Paguhan 36 = courtyard with Wira (bhumi) servants pavilions 37 = courtyard with Paguhan servants pavilions 38 = houses of the Shiwaite clergy 39 = houses of the Buddhist clergy 40 = houses of the Royal kinsmen 41 = Royal Compound s wall 42 = Great Field, Lebuh Agung, Yawi 109 Keterangan Layout keraton Majapahit menurut Pigeaud

123 110 Gambar 40. Layout keraton Majapahit menurut Maclaine Pont (Santoso, 2008:92)

124 111 Setelah era Majapahit berakhir, Sultan Agung adalah salah seorang raja Jawa yang tetap memelihara makna alun-alun. Dia sebagai penguasa kerajaan Mataram Islam telah memberikan tauladan bagaimana mengaktualisasikan konsep alun-alun yang mampu membina makna kota Jawa melalui pesta kerajaan, kepada para penguasa sesudahnya. Sekatenan atau upacara garebeg yang hingga sekarang menjadi agenda tetap tahunan keraton Yogyakarta adalah salah satu warisan Sultan Agung. Dalam sekatenan, tradisi-tradisi yang dimiliki Jawa dari kebudayaan Animisme, Hindu, dan Islam dapat berpadu dalam satu upacara sekaligus. Alun-alun yang menjadi pusat kota-kota kerajaan dan simbol kekuasaan di Jawa, dari zaman Majapahit hingga sekarang, sengaja dibentuk secara meruang oleh struktur atau bangunan sekitarnya sehingga membentuk suatu enclosure yang terencana - suatu ruang terbuka yang terbatas - yang tentu saja proses pembentukannya tidaklah sama antara satu kota dengan kota lainnya. Berdasarkan penyelidikan sejarah dan penggalian arkeologi kota Trowulan (Majapahit) dan kota-kota kerajaan Mataram Islam seperti Kotagede, Karta, Plered, dan Kartasura diduga kuat bahwa kota-kota itu memiliki alun-alun yang letaknya persis didepan keraton. Perpaduan antara alun-alun dan keraton yang telah menciptakan keharmonisan fungsi dan saling ketergantungan antara keduanya, merupakan bukti adanya kesatuan rancangan sejak awal pembangunannya. Artinya, alun-alun diadakan karena ia dibutuhkan oleh keraton; ia menjadi satu dengan keraton. Sehingga

125 112 menjadi satu keharusan bahwa alun-alun berada di dalam benteng. Alun-alun dan keraton Yogyakarta dan Surakarta adalah sisa-sisa terakhir warisan kota Jawa yang masih dapat kita saksikan hingga sekarang. Dilihat dari proses terbentuknya, mestinya kita dapat membedakan alun-alun menjadi dua yaitu alun-alun yang semula memang sudah merupakan suatu enclosure yang terencana dan alun-alun yang proses terbentuknya diawali dengan lapangan terbuka - ruang terbuka yang lepas - sebelum menjadi enclosure terencana. Untuk contoh yang pertama adalah termasuk alun-alun kota-kota yang telah disebutkan di atas : Trowulan, Kotagede, Karta, Plered, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Alun-alun beberapa kota kabupaten dan karesidenan di Jawa yang dirancang oleh Kolonial Belanda juga termasuk dalam kelompok pertama. Sedangkan untuk contoh yang kedua bisa disebutkan di sini adalah alun-alun Semarang dan kemungkinan Demak. Meskipun alun-alun kota Trowulan digambarkan oleh empu Prapanca sebagai lapangan luas yang seolaholah tiada batas, toh ia berada di dalam benteng keraton; ia merupakan suatu enclosure. Disebutkan dalam kitab Negarakretagama : di tepi alun-alun sepanjang benteng berjajar pohon brahmastana. Benteng dan jajaran pohon brahmastana telah menjadi struktur pembentuk ruang terbuka yang terbatas - alun-alun. Alun-alun (utara) kota Yogyakarta, hingga sekarang, masih berada di dalam benteng. Benteng keraton yang sekaligus merupakan benteng kota Yogyakarta kuno dibangun pada tahun 1782, dua puluh tujuh tahun setelah kerajaan Yogyakarta Hadiningrat

126 113 berdiri. Sebelum benteng tembok dibangun, berdasarkan gambar kuno, terlihat bahwa alun-alun (utara) kota Yogyakarta dipagari kayu tinggi di sekelilingnya. Jauh sebelumnya, Sultan Agung juga memagari alun-alun keratonnya dengan jejeran kayu 1. Berbeda dengan Yogyakarta, alun-alun kota Demak dan Semarang proses terbentuknya diawali dari sebuah tanah lapang. Kota Demak, meskipun di sebelah selatan alun-alun terdapat toponim sitihinggil, tetapi berdasarkan penelitian tidak ditemukan bukti-bukti kuat bahwa di situ pernah ada istana raja atau kesultanan Demak. Sebagaimana yang telah saya uraikan di bagian depan, bahwa Demak kemungkinan besar meniru tradisi kerajaan Yogyakarta Hadiningrat dalam memaknai alun-alun, seperti penyelenggaraan perayaan sekatenan atau 1 Gambaran mengenai alun-alun keraton Karta, istana Sultan Agung, penguasa kerajaan Mataram Islam pada paruh pertama abad ke-xvii Masehi kita peroleh dari utusan Belanda Jan Vos dari kunjungannya pada tahun Ia menceritakan bagaimana ia pada hari Rabu, 9 September 1624 datang di lapangan yang sangat luas, yaitu alun-alun yang dikelilingi pagar kayu disusun dalam bentuk-bentuk wajik. Tempat ini sangat datar dan dirawat bersih sekali. Di kedua sisi terdapat suatu bangsal atau balai panjang yang sangat ramping dan terang, di sana orang duduk di tanah. Dan di dekatnya ditanam banyak pohon besar yang indah. Ini adalah pohon-pohon waringin yang dipangkas dalam bentuk payung. Dan dari tempat ini di sebelah kanan terdapat sebuah bangsal besar, tempat banyak kuda berpelana kepunyaan pembesar-pembesar yang ada di istana. Selanjutnya terdapat bangsal-bangsal di luar barisan pohonpohon, tempat orang-orang terkemuka berkumpul bila mereka datang di istana (lihat Graaf, 1986:109).

127 114 garebeg; bukan sebaliknya sebagaimana diyakini banyak kalangan. Kota Demak sebagai ibukota kerajaan Islam di Jawa telah musnah, kecuali bangunan masjid, oleh serangan barbar Arya Penangsang dari Jipang Panolan dalam rangka perebutan kekuasaan. Hingga sekarang sulit bagi kita merekonstruksi struktur ruang kota Demak kuno. Keadaan pusat kota Demak sekarang lebih merupakan produk Kolonial Belanda. Namun demikian, bukan berarti kota Demak kuno tidak memiliki alun-alun. Sebagai sebuah pusat kerajaan, hampir dapat dipastikan di depan keraton terdapat alun-alun. Hanya saja alun-alun kota Demak modern apakah merupakan kelanjutan alunalun kota Demak kuno. Hal ini perlu kajian lebih lanjut. Apabila dilihat dari letak kabupaten yang agak jauh dari alun-alun, bisa jadi dulunya alun-alun kota Demak berupa tanah lapang yang luas dimana sisi utara menyentuh atau menjadi halaman depan kabupaten. Tetapi inipun sulit untuk dicarikan pembenaran sebab antara alun-alun dan kabupaten dipisahkan oleh kali (sungai kecil). Kesulitan selalu menyertai kita ketika akan merekonstruksi kota Demak kuno disebabkan oleh minimnya data tertulis dan peta tentang perkembangan kota Demak, terutama periode setelah runtuhnya dinasti kesultanan Demak hingga sebelum abad ke-xix Masehi. Kajian yang banyak dilakukan oleh para ahli pada umumnya hanya terfokus pada arsitektur masjid Demak yang dianggap sebagai bangunan peninggalan Walisongo. Beruntung kita masih bisa membayangkan keadaan kota Demak kuno, abad ke-xvi Masehi, berkat jasa Tome Pires, seorang Portugis, dan orang-orang Belanda. Di antara kota-kota pusat kerajaan dan

128 115 pelabuhan yang sudah mempunyai pagar tembok, menurut cerita orang-orang Belanda yang datang di Jawa pada tahun 1596, adalah Demak (yang lain Banten, Cirebon dan Tuban). Namun disayangkan bahwa pagar tembok keliling kota Demak hampir tidak dapat kita saksikan lagi. Merujuk kepada kota Trowulan dan kotakota Mataram Islam, alun-alun kota Demak kuno pastilah terletak di dalam pagar tembok. Perkembangan alun-alun secara agak tuntas diperlihatkan oleh kota Semarang muncul dari ruang terbuka yang lepas, dengan proses yang cukup lama terbentuklah alun-alun dan kemudian hilang. Disertai dengan data tertulis dan peta yang cukup memadai, kajian tentang kota Semarang kuno telah banyak dilakukan oleh para ahli, diantaranya oleh Amen Budiman dan Liem Thian Joe. Alun-alun kota Semarang pada awalnya berupa tanah lapang ruang terbuka yang lepas; ia baru mulai terbentuk setelah Tumenggung Yudonegoro, bupati Semarang memindahkan bangunan kabupaten dari daerah Sekaju ke sebelah selatan janin alun-alun, dimana sudah sejak lama di sebelah barat ruang terbuka itu terdapat perkampungan Kauman. Pada masa itu, bangunan masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam tidak berada di perkampungan Kauman melainkan di daerah Pedamaran di dekat pasar Pedamaran, sebelah timur janin alun-alun kota Semarang. Kemudian setelah bangunan masjid dipindah dari Pedamaran ke sebelah barat janin alun-alun, di dekat perkampungan Kauman, saat itulah alun-alun kota Semarang terbentuk dengan

129 116 struktur pembentuknya yaitu di sebelah timur adalah pasar, di sebelah selatan kabupaten (kanjengan), dan di sebelah barat bangunan masjid. Sementara itu di sebelah utara masih berupa tanah lapang. Pasar Pedamaran kemudian mengalami perluasan hingga menjadi pasar Johar yang terkenal itu. Pada awalnya alun-alun bentuknya tidak persegi, sebab di sebelah utara memiliki bentuk miring. Bentuk persegi dihasilkan setelah beberapa bangunan berdiri di atas tanah lapang bagian utara. Hal yang menarik adalah keberadaan masjid terhadap alun-alun. Apakah perpindahan masjid dari Pedamaran ke perkampungan kauman didasarkan kepada kepakeman tata ruang kota Jawa? atau lebih karena memberikan kedekatan bersifat fungsional kepada jama ahnya yang mungkin sebagian besar adalah penduduk yang tinggal di perkampungan Kauman? Apabila kita melihat secara cermat posisi perkampungan Kauman, bangunan masjid dan bangunan kabupaten terhadap alun-alun maka terlihat bahwa letak bangunan masjid lebih berorientasi ke perkampungan Kauman; ia tidak tepat di sebelah barat alun-alun tetapi lebih bergeser ke arah selatan, lebih dekat dengan perkampungan Kauman (sebelah barat daya alun-alun). Jadi perpindahan itu menurut saya lebih bersifat fungsional. Untuk alasan yang mengaitkan keduanya (masjid dan kabupaten) dengan tradisi tata ruang kota Jawa, dimana alun-alun menjadi pusat orientasi masih perlu penjelasan lebih lanjut. Patut menjadi bahan pertimbangan bahwa periode terbentuknya alun-alun kota Semarang hampir berbarengan dengan dibangunnya kota Yogyakarta kuno.

130 117 Jika keberadaan masjid dikaitkan dengan alunalun dalam hal penyediaan ruang ekstensi untuk aktivitas sholat bila jama ah tidak tertampung di dalam masjid, pada kenyataannya, seperti sekarang ini sholat Jum ah yang dilaksanakan setiap minggu sekali dan banyak dihadiri jama ah, hampir tidak ada yang mempergunakan alun-alun sebagai ruang ekstensi. Pada umumnya, alunalun dipergunakan untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi sebagian umat Islam. Dikatakan hanya sebagian kaum muslim, sebab ada sebagian lagi yang beranggapan bahwa sholat Id di masjid lebih utama. Pada prakteknya, mereka yang sholat Id di alun-alun tidak mempergunakan masjid sebagai tempat sholat, dan bagi mereka yang sholat Id di masjid juga tidak mempergunakan alun-alun sebagai ruang ekstensi untuk sholat. Bahkan sekarang ini, ruas jalan raya pun bisa menjadi ruang untuk sholat Id. Saya semula menduga bahwa keberadaan alun-alun menjadi satu kesatuan dengan masjid dalam struktur ruang kota Jawa, tetapi kemudian terlalu sulit menempatkan keduanya dalam suatu keadaan yang saling membutuhkan. Mungkin hanya ada dua kota di Jawa sebagai pengecualian, yaitu Yogyakarta dan Surakarta kuno. Dalam tradisi garebeg, ketiga elemen kota : istana, alun-alun, dan masjid menjadi ruang-ruang yang saling kait mengait satu sama lain. Kesatuan tersebut tidak ada hubungannya dengan urusan sholat. Besar kemungkinan tradisi sekatenan atau garebeg di Demak usianya lebih muda dari penyelenggaraan kegiatan upacara garebeg di Yogyakarta maupun Surakarta yang menjadi pusat kebudayaan Jawa. Dan bila cermati cerita dalam Babad

131 118 Tanah Jawa berkaitan dengan keberadaan alun-alun kota Demak kuno dan bangunan masjid keramat Walisongo maka kita bisa menempatkan keduanya pada kedudukan yang tidak saling bergantung, tidak saling membutuhkan. Berdasarkan cerita Babad Tanah Jawa, dapat disimpulkan bahwa istana raja dan alun-alun nya lebih dahulu ada ketimbang masjid keramat itu. Tahapan terakhir dalam perencanaan dan perancangan kota, setelah kota-kota Trowulan (Majapahit), Kotagede, Karta, Plered, Kartasura (Mataram Islam), Yogyakarta, dan Surakarta, yang menjadikan alunalun sebagai pusat orientasi kota dan memancarkan simbol kekuasaan adalah kota-kota kabupaten di seluruh tanah Jawa pada zaman Kolonial Belanda. Salah satu dokumentasi penting mengenai struktur fisik kota kabupaten di Jawa sebelum Perang Pasifik adalah Kromoblanda nya H.F. Tillema. Dengan dokumentasi itu nampak suatu tata ruang pusat pemerintahan lokal dan kolonial yang terintegrasi melalui alun-alun. Pihak pemerintah Hindia Belanda telah menghadirkan kembali dan mempraktekkan konsep alun-alun dalam perencanaan dan perancangan kota. Kuat dugaan bahwa tata ruang kota Yogyakarta kuno menjadi rujukan pemerintah Kolonial dalam merencanakan dan merancang kota-kota kabupaten itu. Pihak Belanda tahu dan sadar betul bahwa alunalun adalah simbol pusat kekuasaan raja-raja Jawa. Dan raja adalah panutan rakyat; titah raja harus dan wajib dilaksanakan oleh seluruh rakyatnya. Sehingga ketika Belanda makin berkuasa di tanah Jawa, maka mereka memerintah tidak secara langsung melainkan melalui

132 119 seorang bupati yang biasanya dari kalangan ningrat. Di bawah gubernur jenderal ada residen, di bawahnya ada bupati yang bertanggung jawab kepada residen. Belanda menempatkan seorang asisten residen sebagai wakil Belanda. Posisi asisten residen ini setingkat dengan bupati, tetapi asisten residen tidak punya hubungan kekuasaan langsung dengan rakyat. Kediaman para penguasa itu umumnya di sekitar alun-alun. Belanda ingin menciptakan citra kekuasaan kolonial dengan figur dan struktur kekuasaan lokal. Dalam prakteknya, struktur ruang kota tradisional Jawa tidak sama persis dengan tipologi kota yang dirancang oleh Belanda. Sebagai contoh, penjara kota kabupaten Demak dan Semarang terletak di sebelah timur alun-alun. Gambar 41. Rumah Asisten Residen di Wonosobo tahun 1915 (Raap, 2015:15)

133 Alun-alun : Bukan Sekedar Ruang Kosong Sardono W. Kusumo, seorang penari dan penggagas budaya, mengatakan bahwa alun-alun adalah ruang kosong dimana aktivitas yang dibangun didasarkan pada agenda perilaku dan ritual masyarakat. Alun-alun bisa menjadi panggung masyarakat; kegiatannya bisa berupa ritual sosial maupun ritual adat. Pada dasarnya kekosongan di alun-alun mewadahi nilai-nilai yang kasat mata. Sebuah alun-alun harus dalam kondisi status free, bebas dari hegemoni strata sosial manapun (Kompas, 20/8, 2000). Pendapat di atas dilatar-belakangi semakin hilangnya alun-alun di beberapa kota di Jawa (salah satunya Semarang) akibat terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Namun bila kita menelusuri sejarah keberadaan alun-alun dari zaman Majapahit hingga dipraktekannya konsep dan rancangan kota-kota kabupaten dan karesidenan di Jawa oleh Belanda yang menjadikan alunalun sebagai pusat orientasi, maka terlihat bahwa keberadaan alun-alun berkait erat dengan kekuasaan atau penguasa. Artinya alun-alun tidak terbebas dari hegemoni strata sosial. Disamping memiliki nilai-nilai yang kasat mata, alun-alun juga mewadahi kegiatan-kegiatan yang tidak kasat mata. Setiap bangunan milik penguasa mulai dari raja, bupati, wedana hingga ke tingkat terkecil dalam hirarki kekuasaan, di depannya selalu terdapat alun-alun, yang secara fisik selalu berbentuk square (mendekati bujur sangkar). Berdasarkan gambaran kitab Negarakretagama pupuh 8-12, bahwa istana raja menghadap ke arah barat

134 121 dan di depannya terdapat alun-alun. Di situlah tempat para tanda berjaga secara bergilir, meronda, mengawasi paseban (balai manguntur). Alun-alunnya membujur dari utara ke selatan, berpagar rumah berimpit-impit, memanjang sangat indah. Di situlah tempat berkumpul para prajurit tiap bulan Caitra. Dalam pupuh 85 diceritakan pertemuan tiap bulan Caitra (Maret-April) atau bulan pertama setiap tahun. Maksudnya adalah untuk mengadakan semacam musyawarah antara semua orang yang mempunyai tanggung jawab dalam pemerintahan. Oleh karena itu pertemuan itu dihadiri oleh para mentri, para perwira, pembantu baginda, kepala daerah, kepala desa, dan pendeta dari tiga aliran agama. Musyawarah membahas jalannya pemerintahan untuk keselamatan negara (lihat Slametmuljana, 1979:23-27). Sedangkan perayaan bulan Caitra itu sendiri di selenggarakan dua hari kemudian dan bertempat di lapangan Bubat yang terletak agak jauh di sebelah utara dari keraton. Hal yang menarik adalah bahwa kitab Negarakretagama tidak menyebut lapangan Bubat sebagai alun-alun Bubat, meskipun ia digunakan untuk kegiatan kenegaraan yang dihadiri baginda. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua lapangan terbuka yang berkaitan dengan kekuasaan dinamakan alun-alun. Rupanya kedekatan fisik antara alun-alun dan kediaman penguasa menjadi hal penting; ia bagaikan pelataran atau halaman depan dari sebuah rumah tinggal. Pada zaman Sultan Agung, alun-alun Karta, disamping memiliki peran penting dalam upacara Garebeg : Garebeg Poso (setelah menjalankan ibadah puasa bulan

135 122 Romadlon pada tanggal 1 Syawal tahun Hijriyah Hari Raya Fitri); Garebeg Mulud (memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW 12 Rabi ul Awal tahun Hijriyah); dan Garebeg Besar (Hari Raya Qurban pada tanggal 10 Dzlhijjah tahun Hijriyah), juga mewadahi kegiatankegiatan lainnya yang tetap berlangsung menurut aturan tertentu. Upacara Garebeg pada masa Sultan Agung, sebagaimana dikatakan oleh H.J. de Graaf, dirayakan hampir sama dengan sekarang. Pada upacara Garebeg Poso, Raja pergi ke masjid pada pukul 9 pagi dan pulang dari masjid pukul 11 siang. Raja menerima banyak tamu yang mengunjunginya. Sekitar pukul 12 siang dibunyikan beberapa gong dan terdengar tiga kali rentetan tembakan senapan. Bunyi gamelan dan rentetan tembakan itu untuk menghormati gunungan-penganan yang dipikul keluar (Graaf, 1986:126). Permainan tombak dengan naik kuda oleh semua orang yang berkedudukan baik rendah maupun tinggi diadakan setiap hari Sabtu sore. Juga pertarungan lawan harimau tidak terlupakan. Merujuk Coen (Bescheiden, VIII, hlm. 608), Graaf menceritakan pertunjukkan yang dikenal kemudian dengan Rampogan ini. Pada tahun 1620, Raja memerintahkan menangkap 200 ekor harimau, suatu pekerjaan yang memakan waktu kurang lebih dua bulan. Harimau-harimau itu kemudian dibawa ke alunalun kota istana, tempat mereka dihasut-hasut menghadapi penombak-penombak jitu yang duduk dalam suatu lingkaran. Siapa yang dianggap berani mendapat penghargaan dari Raja (Graaf, 1986:127).

136 123 Sejak abad ke-xviii Masehi, setelah mendapat saran dari seorang pembesar Belanda bernama J. Greeve, di alun-alun istana kerajaan Surakarta, sebelum rampog macan didahului pertunjukkan yang menghadapkan dua ekor harimau dengan seeokor banteng. Kebiasaan mempertarungkan dua ekor macan dengan seekor banteng berlanjut hingga abad ke-xix Masehi. Tontonan pengisi waktu luang yang populer itu sesungguhnya juga merupakan suatu acara bagi orang Jawa dimana hubungan antara raja Jawa, patih, dan rakyatnya mendapatkan bentuknya (lihat Houben, 2002: ). Alun-alun (utara) kota Yogyakarta pada masa Sultan Mangkubumi juga digunakan tempat untuk menghukum para punggowo kerajaan yang dianggap melakukan kesalahan. Diceritakan oleh M.C. Ricklefs dalam Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi , bahwa pada tahun 1789 Sultan Mangkubumi bereaksi langsung terhadap otoritas putranya di Yogyakarta. Raja telah menghukum beberapa pejabat keraton, dengan menyita seluruh tanda jabatan dan memerintahkan mereka duduk di tempat terbuka di alunalun selama lebih dari dua hari di tengah-tengah hujan lebat sebelum Raja mengampuni mereka. Mereka dihukum karena terlalu tunduk kepada perintah-perintah Putra Mahkota ketimbang dirinya (Ricklefs, 2002:492). Pertunjukkan permainan tombak dengan naik kuda yang usianya sudah cukup tua, juga diselenggarakan di kota-kota kabupaten dan karesidenan di Jawa. Pertunjukkan itu dinamakan Senenan sebab diselenggarakan setiap hari senen. Salah satunya adalah

137 124 kota Jepara, sebagaimana dilihat oleh Francois Valentijn yang mengunjungi Jepara tahun 1686 dan Penguasa daerah itu mempunyai kebiasaan berkuda dengan tombak untuk berlatih setiap hari Senen. Pertunjukkan Senenan juga diadakan oleh penguasa kota Tuban, seperti dilihat oleh bangsa Belanda pada tahun Di Jepara, tempat pertunjukkan Senenan adalah lapangan luas yang oleh masyarakat pribumi disebut posveboon. Sedikit mengherankan bahwa mereka tidak menyebut tempat itu alun-alun. Di Tuban, tempat pertunjukkan Senenan adalah lapangan luas yang dipagari melingkar dengan tembok. Terlalu sulit melacak apakah lapangan luas yang digunakan sebagai tempat pertunjukan Senenan itu adalah lapangan luas yang dikenal dengan alun-alun yang dihadirkan kemudian dalam tata ruang kota-kota kabupaten dan karesidenan di Jawa oleh Belanda pada abad ke-xix Masehi. Meskipun alun-alun pada periode kerajaan (Majapahit, Mataram Islam, Yogyakarta dan Surakarta) dan pada periode Kolonial Belanda sama-sama mengusung kepentingan penguasa, namun keduanya berdasarkan prinsip-prinsip ruang arsitektural tidaklah sama. Struktur pembentuk enclosure alun-alun kota istana kerajaan begitu jelas dan seakan-akan tidak ada celah pada enclosure itu alun-alun benar-benar terlingkupi oleh struktur-struktur pembentuknya. Struktur pembentuk ini bisa berupa benteng, jejeran pohon, parit, atau komposisi bangsal-bangsal di sekeliling alun-alun. Bangunan fungsional yang paling penting dalam membentuk alun-alun adalah istana raja.

138 125 Sedangkan enclosure alun-alun kota-kota kabupaten dan karesidenan di Jawa era Kolonial Belanda dibentuk oleh bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya. Dalam konsep tata ruang kota kabupaten dan karesidenan, keberadaan bangunan-bangunan seperti kediaman residen atau asisten residen, bupati, masjid dan bangunan-bangunan pemerintahan lainnya adalah mutlak. Pada kasus pertama, alun-alun benar-benar menjadi pemangku istana, baik secara simbolik maupun fungsional. Sedangkan pada kasus kedua, alun-alun hanya secara simbolik menjadi pemangku kabupaten; secara fungsional penguasa pusat dalam hal ini Gubernur Jenderal Hindia Belanda lebih berkepentingan. Gambar 42. Rampog macan yang diselenggarakan di alun-alun sekitar permulaan abad ke-xix; disketsa oleh Stuers pada tahun 1825 (Reid, 1992:215)

139 126 Gambar 43. Senenan, perlombaan ketangkasan berkuda di Tuban, Jawa Timur sekitar tahun 1599 (Reid, 1992:217) Gambar 44. Senenan, perlombaan ketangkasan berkuda di Jawa Tengah sekitar abad ke-xix (Reid, 1992:217)

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR Oleh : PRIMA AMALIA L2D 001 450 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, sehingga kemudian jalur perdagangan berpindah tangan ke para

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II Pengertian dan Sejarah (Materi pertemuan 1 )

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II Pengertian dan Sejarah (Materi pertemuan 1 ) PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II Pengertian dan Sejarah (Materi pertemuan 1 ) DOSEN PENGAMPU: ARDIANSYAH, S.T, M.T PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI 23/2/2017 MATERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sesuai dengan berkembangnya zaman, kita perlu tahu tentang sejarahsejarah perkembangan agama dan kebudayaan di Indonesia. Dengan mempelajarinya kita tahu tentang sejarah-sejarahnya

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR Oleh: RINA AFITA SARI L2D 306 021 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAKSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian

I. PENDAHULUAN. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian yang ada di Jawa. Sebelum daerah ini menjadi salah satu kerajaan yang berbasis Islam, di daerah

Lebih terperinci

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR Oleh: M Anwar Hidayat L2D 306 015 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, terdiri dari berbagai sarana dan prasarana yang tersedia, kota mewadahi berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR

STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR Oleh : SEVINA MAHARDINI L2D 000 456 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

Sejarah Seni Rupa Yunani Kuno 1. Sejarah Yunani Kuno

Sejarah Seni Rupa Yunani Kuno 1. Sejarah Yunani Kuno Sejarah Seni Rupa Yunani Kuno 1. Sejarah Yunani Kuno Yunani kuno tidak diragukan lagi merupakan salah satu peradaban paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Dari daerah yang terletak di ujung semenanjung

Lebih terperinci

PENGARUH KERAJAAN ISLAM TERHADAP POLA BENTUK KOTA PASURUAN

PENGARUH KERAJAAN ISLAM TERHADAP POLA BENTUK KOTA PASURUAN PLANO MADANI VOLUME 6 NOMOR 1, APRIL 2017, 27-35 2017P ISSN 2301-878X- E ISSN 2541-2973 PENGARUH KERAJAAN ISLAM TERHADAP POLA BENTUK KOTA PASURUAN Junianto Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Sejarah Perencanaan Kota Pre-Revolusi Industri. Perencanaan Kota Wahyu Utami,ST,MT

Sejarah Perencanaan Kota Pre-Revolusi Industri. Perencanaan Kota Wahyu Utami,ST,MT Sejarah Perencanaan Kota Pre-Revolusi Industri Perencanaan Kota Wahyu Utami,ST,MT Perencanaan Kota di YUNANI kuno Faktor-Faktor yang mempengaruhi Topografi perencanaan kota Yuuuuu : Iklim, mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 102 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Peran Cheng Ho dalam proses perkembangan agama Islam di Nusantara pada tahun 1405-1433 bisa dikatakan sebagai simbol dari arus baru teori masuknya agama Islam

Lebih terperinci

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR Oleh : SABRINA SABILA L2D 005 400 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. menjalar ke Suriah merupakan akar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah.

BAB V KESIMPULAN. menjalar ke Suriah merupakan akar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah. BAB V KESIMPULAN Fenomena Arab Spring yang dimulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan menjalar ke Suriah merupakan akar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah. Fenomena ini menjadi momen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan

Lebih terperinci

PERADABAN PALMYRA. Sejarah Perkembangan Arsitektur Barat dan Timur

PERADABAN PALMYRA. Sejarah Perkembangan Arsitektur Barat dan Timur PERADABAN PALMYRA Kelompok: 1. Muanisya Sanjaya (37368) 2. Rifan Ridwana (36867) 3. Fauzi Abdul Aziz (37062) 4. Candra Bayu P. (36448) 5. M. Cakra buana (36147) 6. Andhi Ardianto (36625) 7. Wisnu Rizky

Lebih terperinci

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak KERAJAAN DEMAK Berdirinya Kerajaan Demak Pendiri dari Kerajaan Demak yakni Raden Patah, sekaligus menjadi raja pertama Demak pada tahun 1500-1518 M. Raden Patah merupakan putra dari Brawijaya V dan Putri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal memiliki segudang sejarah yang panjang dari kebudayaankebudayaan masa lampau. Sejarah tersebut hingga kini masih dapat dinikmati baik dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bangsa Barat datang ke Indonesia khususnya di Bengkulu sesungguhnya adalah

I. PENDAHULUAN. Bangsa Barat datang ke Indonesia khususnya di Bengkulu sesungguhnya adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Barat datang ke Indonesia khususnya di Bengkulu sesungguhnya adalah usaha untuk memperluas, menjamin lalu lintas perdagangan rempah-rempah hasil hutan yang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kota Yogyakarta 4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah perancangan yang mencakup pengubahan-pengubahan terhadap lingkungan fisik, arsitektur dapat dianggap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang damai, dimana agama ini mengajarkan keharusan terciptanya keseimbangan hidup jasmani maupun rohani sehingga dimanapun Islam datang selalu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Lokasi Solo baru adalah daerah bagian selatan dan sebelah utara kota Surakarta jawa tengah untuk daerah ini bertepatan dengan kabupaten Sukoharjo daerah ini dulunya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota pada perkembangannya memiliki dinamika yang tinggi sebagai akibat dari proses terjadinya pertemuan antara pelaku dan kepentingan dalam proses pembangunan. Untuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh masyarakat khusunya generasi muda. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi membuat bangunan-bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara berfikir, lingkungan, kebiasaan, cara

Lebih terperinci

Arsitektur Vernakuler

Arsitektur Vernakuler Arsitektur Vernakuler Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya. Vernakular,

Lebih terperinci

Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk

Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk Gambar 16. Sketsa Perspektif Masjid Paljagrahan di Cireong, Cirebon Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk dengah persegi dengan pembagian ruang sama dengan yang

Lebih terperinci

Benteng Fort Rotterdam

Benteng Fort Rotterdam Benteng Fort Rotterdam Benteng Fort Rotterdam merupakan salah satu benteng di Sulawesi Selatan yang boleh dianggap megah dan menawan. Seorang wartawan New York Times, Barbara Crossette pernah menggambarkan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL RANCANGAN

BAB VI HASIL RANCANGAN BAB VI HASIL RANCANGAN 6.1 Dasar Perancangan Perancangan Wisata Bahari Di Pantai Boom Tuban ini merupakan sebuah rancangan arsitektur yang didasarkan oleh tema Extending Tradition khususnya yaitu dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Salatiga merupakan kota kecil yang berada di lereng gunung Merbabu.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Salatiga merupakan kota kecil yang berada di lereng gunung Merbabu. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salatiga merupakan kota kecil yang berada di lereng gunung Merbabu. Letaknya yang di kelilingi oleh pegunungan selalu memberikan suasana yang sejuk. Secara astronomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislamannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR I Pengertian Perkembangan Arsitektur (Materi pertemuan 1 dan 2)

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR I Pengertian Perkembangan Arsitektur (Materi pertemuan 1 dan 2) PERKEMBANGAN ARSITEKTUR I Pengertian Perkembangan Arsitektur (Materi pertemuan 1 dan 2) DOSEN PENGAMPU: ARDIANSYAH, S.T, M.T PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kota Kota merupakan suatu komponen yang rumit dan heterogen. Menurut Branch (1996: 2) kota diartikan sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu atau lebih penduduk, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1-3 Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Gambar 3.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1-3 Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Gambar 3. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Solo telah banyak mengalami bencana ruang kota dalam sejarah perkembangannya. Setidaknya ada tiga peristiwa tragedi besar yang tercatat dalam sejarah kotanya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat

BAB V KESIMPULAN. Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat 112 BAB V KESIMPULAN Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat perdagangan di Kota Surakarta berawal dari migrasi orang-orang Cina ke pesisir utara pulau Jawa pada abad XIV. Setelah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

Konversi bangunan tua bersejarah

Konversi bangunan tua bersejarah Konversi bangunan tua bersejarah ari widyati purwantiasning Konversi bangunan tua bersejarah ari widyati purwantiasning arsitekturumjpress Jakarta 2015 ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X Sanksi Pelanggaran Pasal 72:

Lebih terperinci

BAB V KAJIAN TEORI. Pengembangan Batik adalah arsitektur neo vernakular. Ide dalam. penggunaan tema arsitektur neo vernakular diawali dari adanya

BAB V KAJIAN TEORI. Pengembangan Batik adalah arsitektur neo vernakular. Ide dalam. penggunaan tema arsitektur neo vernakular diawali dari adanya BAB V KAJIAN TEORI 5. V 5.1. Kajian Teori Penekanan /Tema Desain Tema desain yang digunakan pada bangunan Pusat Pengembangan Batik adalah arsitektur neo vernakular. Ide dalam penggunaan tema arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kotagede adalah sebuah kota lama yang terletak di Yogyakarta bagian selatan yang secara administratif terletak di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sebagai kota

Lebih terperinci

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Propinsi Jawa Tengah yang merupakan salah satu Daerah Tujuan Wisata ( DTW ) Propinsi di Indonesia, memiliki keanekaragaman daya tarik wisata baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang baru menginjak usia 8 tahun ini diresmikan tepatnya pada 15

Lebih terperinci

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR Oleh: LAELABILKIS L2D 001 439 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. GambarI.1 Teknik pembuatan batik Sumber: <www.expat.or.id/infi/info.html#culture>

BAB I PENDAHULUAN. GambarI.1 Teknik pembuatan batik Sumber: <www.expat.or.id/infi/info.html#culture> BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberadaan museum tidak hanya sekedar untuk menyimpan berbagai bendabenda bersejarah saja. Namun dari museum dapat diuraikan sebuah perjalanan kehidupan serta

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Dari uraian pada bab-bab terdahulu, dapat dikemukakan. beberapa temuan sebagai kesimpulan dalam penelitian ini.

BAB VI KESIMPULAN. Dari uraian pada bab-bab terdahulu, dapat dikemukakan. beberapa temuan sebagai kesimpulan dalam penelitian ini. BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Dari uraian pada bab-bab terdahulu, dapat dikemukakan beberapa temuan sebagai kesimpulan dalam penelitian ini. 1. Perkembangan morfologi dan aspek-aspek simbolik di Kota

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Provinsi Banten Dewasa ini. Peta Provinsi Banten

Lampiran 1. Peta Provinsi Banten Dewasa ini. Peta Provinsi Banten Lampiran 1. Peta Provinsi Banten Dewasa ini. Peta Provinsi Banten Sumber: Achmad Chaldun & Achmad Rusli. (2007). Atlas Tematik Provinsi Banten. Surabaya: Karya Pembina Swajaya. Hlm. 26. 206 207 Lampiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Perumusan Masalah 1. Latar belakang dan pertanyaan penelitian Berkembangnya arsitektur jaman kolonial Belanda seiring dengan dibangunnya pemukiman bagi orang-orang eropa yang tinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki beraneka ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak jaman kerajaan-kerajaan

Lebih terperinci

BAB III DATA OBSERVASI LAPANGAN 3.1. TIJAUAN UMUM KOTA TEGAL

BAB III DATA OBSERVASI LAPANGAN 3.1. TIJAUAN UMUM KOTA TEGAL BAB III DATA OBSERVASI LAPANGAN 3.1. TIJAUAN UMUM KOTA TEGAL Tegal Kota Bahari 3.1.1. Sejarah Kota Tegal merupakan perwujudan dari sebuah desa kecil bernama "Tetegual". Modernisasi desa dimulai pada awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 : Gedung Setda Kab. Purworejo Sumber : Dokumen Pribadi

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 : Gedung Setda Kab. Purworejo Sumber : Dokumen Pribadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara administratif, Kabupaten Purworejo meliputi 16 kecamatan yang terdiri dari 496 desa, 25 kelurahan. Kabupaten Purworejo sekarang ini telah berkembang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara harfiah arti kata Boom sama dengan Haven dalam bahasa Belanda atau

BAB I PENDAHULUAN. Secara harfiah arti kata Boom sama dengan Haven dalam bahasa Belanda atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara harfiah arti kata Boom sama dengan Haven dalam bahasa Belanda atau pelabuhan dalam bahasa Indonesia. Orang-orang Tuban setempat mengatakan bahwa boom dibangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beragam budaya dan tradisi Indonesia membuat banyaknya kerajinan tradisional di Indonesia. Contohnya yang saat ini lagi disukai masyarakat Indonesia yaitu kerajinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Setiap daerah mempunyai kesenian yang disesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat. Jawa Barat terdiri

Lebih terperinci

Pendidikan di Indonesia dan Maroko (27/M) Oleh : Mar'atus Sholihah Minggu, 15 Mei :53

Pendidikan di Indonesia dan Maroko (27/M) Oleh : Mar'atus Sholihah Minggu, 15 Mei :53 KOPI, Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang. Sebagai Negara yang sedang berkembang Indonesia berusaha untuk menjalin dan menjaga hubungan baik dengan Negara tetangga guna menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya akan memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan ruang. Pertumbuhan penduduk di kota besar

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem. Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan

BAB VI KESIMPULAN. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem. Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan BAB VI KESIMPULAN Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan penghubung jaringan transportasi darat antara sentral di Surabaya

Lebih terperinci

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : NURUL FATIMAH Y.M. L2D 002 422 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG ARSITEKTUR BANGUNAN BERCIRI KHAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

ARSITEKTUR ABAD PERTENGAHAN (MEDIAFAL) ARSITEKTUR BIZANTIUM

ARSITEKTUR ABAD PERTENGAHAN (MEDIAFAL) ARSITEKTUR BIZANTIUM ARSITEKTUR ABAD PERTENGAHAN (MEDIAFAL) ARSITEKTUR BIZANTIUM Sejarah Singkat Byzantium Pada mulanya, daerah Eropa Timur yang disebut Byzantium adalah koloni bangsa Yunani sejak tahun 660 sebelum masehi,

Lebih terperinci

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Medan dewasa ini merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami perkembangan dan peningkatan di segala aspek kehidupan, mencakup bagian dari

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN PERSAMAAN DAN PERBEDAAN GAYA KALIGRAFI

BAB IV PERBANDINGAN PERSAMAAN DAN PERBEDAAN GAYA KALIGRAFI BAB IV PERBANDINGAN PERSAMAAN DAN PERBEDAAN GAYA KALIGRAFI A. Persamaan Gaya Corak Kaligrafi di Masjid Al- Akbar Surabaya dengan Masjid Syaichuna Kholil Bangkalan Masjid merupakan tempat ibadah umat muslim

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok,

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok, BAB 5 PENUTUP 5.1 Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok, yaitu untuk menjawab pertanyaan mengenai sejak kapan permukiman di Depok telah ada, juga bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional dibangun, namun cukup banyak ditemukan bangunan-bangunan yang diberi sentuhan tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari

Lebih terperinci

PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB ANALISIS BENTUK TAMANSARI III.1. TAMANSARI. GAMBAR III.1. Umbul Winangun

PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB ANALISIS BENTUK TAMANSARI III.1. TAMANSARI. GAMBAR III.1. Umbul Winangun PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB III.1. TAMANSARI GAMBAR III.1. Umbul Winangun Tamansari dibangun pada tahun 1749, oleh sultan Hamengkubuwomo I (Pangeran Mangkubumi) kompiek ini merupakan

Lebih terperinci

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Batik merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu amba yang berarti menulis dan tik yang berarti titik. Batik

Lebih terperinci

PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA-KOTA AWAL DI KABUPATEN REMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: OCTA FITAYANI L2D

PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA-KOTA AWAL DI KABUPATEN REMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: OCTA FITAYANI L2D PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA-KOTA AWAL DI KABUPATEN REMBANG TUGAS AKHIR Oleh: OCTA FITAYANI L2D 001 448 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada abad ke 14, bangsa Tionghoa mulai bermigrasi ke Pulau Jawa, terutama di sepanjang pantai utara Jawa. Perpindahan ini merupakan akibat dari aktivitas perdagangan

Lebih terperinci

ARSITEKTUR BYZANTIUM

ARSITEKTUR BYZANTIUM ARSITEKTUR BYZANTIUM Seni bangunan ini kemudian disebut sebagai arsitektur klasik, karena prinsip-prinsip, konsep dan romantika bangunan pada jaman itu akan tetap abadi. Salah satu jenis arsitektur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan

BAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan peranan penting dan strategis. Bukan hanya dalam peningkatan spiritual umat, melainkan juga

Lebih terperinci

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA

2015 ORNAMEN MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Cirebon sejak lama telah mendapat julukan sebagai Kota Wali. Julukan Kota Wali disebabkan oleh kehidupan masyarakatnya yang religius dan sejarah berdirinya

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG 124 Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.7 No.2 IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG Wiwik Dwi Susanti Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional

Lebih terperinci

ARSITEKTUR MESIR KUNO: STRUKTUR PIRAMIDA CHEOPS/KHUFU

ARSITEKTUR MESIR KUNO: STRUKTUR PIRAMIDA CHEOPS/KHUFU ARSITEKTUR MESIR KUNO: STRUKTUR PIRAMIDA CHEOPS/KHUFU Bangunan untuk Dewanya yaitu kuil Bangunan makam untuk Firaun /Raja yang sudah meninggal Bangunan rumah tinggal untuk orang hidup berdasarkan strata

Lebih terperinci

Sebagai suatu bidang karya, sampai dengan abad 19, arsitektur masih belum dipisahkan secara tegas dari berbagai bidang lainnya. Tokoh-tokoh perencana

Sebagai suatu bidang karya, sampai dengan abad 19, arsitektur masih belum dipisahkan secara tegas dari berbagai bidang lainnya. Tokoh-tokoh perencana Sejarah Arsitektur Pada dasarnya, sejak generasi pertamanya manusia sudah berarsitektur, dalam batas pengertian bahwa arsitektur berkaitan dengan perencanaan dan perancangan lingkungan binaan. Jejak-jejak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.

Lebih terperinci

BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA

BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA 3.1. Tata letak Perletakan candi Batujaya menunjukkan adanya indikasi berkelompok-cluster dan berkomposisi secara solid void. Komposisi solid ditunjukkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, BUPATI SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan catatan dan

Lebih terperinci

Hubungan Arsitektur dan Budaya. Oleh: Nuryanto, S.Pd., M.T. Bahan Ajar Arsitektur Vernakular Jurusan Arsitektur-FPTK UPI-2010

Hubungan Arsitektur dan Budaya. Oleh: Nuryanto, S.Pd., M.T. Bahan Ajar Arsitektur Vernakular Jurusan Arsitektur-FPTK UPI-2010 Hubungan Arsitektur dan Budaya Oleh: Nuryanto, S.Pd., M.T. Bahan Ajar Arsitektur Vernakular Jurusan Arsitektur-FPTK UPI-2010 Budaya dan Peradaban Budaya: Totalitas dari pola-pola perilaku yang terproyeksikan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009 SEJARAH KERAJAAN CIREBON DAN KERAJAAN BANTEN Disusun Oleh Kelompok 3 Rinrin Desti Apriani M. Rendi Arum Sekar Jati Fiqih Fauzi Vebri Ahmad UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009 KERAJAAN CIREBON Kerajaan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan kota dengan lintasan sejarah yang cukup panjang, dimulai pada tanggal 13 Februari 1755 dengan dilatari oleh Perjanjian Giyanti yang membagi

Lebih terperinci

mereka sebagai satu-satunya masa yang membawa perubahan mendasar bagi umat manusia. Pengaruh masa lampau diperkuat oleh kenyataan bahwa Renaissance

mereka sebagai satu-satunya masa yang membawa perubahan mendasar bagi umat manusia. Pengaruh masa lampau diperkuat oleh kenyataan bahwa Renaissance SEJARAH RENAISSANCE Masa Renaissance sering disebut juga masa pencerahan Atau masa kelahiran, karena menghidupkan kembali budaya-budaya klasik, hal ini disebabkan banyaknya pengaruh filsuf-filsuf dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten Alya Nadya alya.nadya@gmail.com Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Existensi proyek

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Existensi proyek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Existensi proyek Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki keistimewaan. Dikatakan istimewa, karena kota ini adalah salah satu dari beberapa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENAMAAN JALAN DAN PENOMORAN BANGUNAN BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN SETDA KABUPATEN WAKATOBI TAHUN

Lebih terperinci

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D 003 381 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN

BAB III METODE PERANCANGAN BAB III METODE PERANCANGAN 3.1. Metode Perancangan Sebuah proses perancangan dibutuhkan sebuah metode untuk memudahkan perancang dalam mengembangkan ide rancangan. Metode deskriptif analisis adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini didiami oleh beberapa kelompok etnis yaitu Etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun.

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

Matakuliah : Sejarah Seni Rupa 1 Tahun : Era Neolitikum Pertemuan 2

Matakuliah : Sejarah Seni Rupa 1 Tahun : Era Neolitikum Pertemuan 2 Matakuliah : Sejarah Seni Rupa 1 Tahun : 2009 Era Neolitikum Pertemuan 2 Era Neolitikum Di Eropa Barat pembaharuan hidup dari berburu dan beternak, mempengaruhi bentuk seni baru: arsitektur batu yang monumental.

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2 Jum'at, 3 Mei :48 wib

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2  Jum'at, 3 Mei :48 wib Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek A. Umum Pertumbuhan ekonomi DIY meningkat 5,17 persen pada tahun 2011 menjadi 5,23 persen pada tahun 2012 lalu 1. Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Menara Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Kota Semarang. Oleh penduduk kota Kudus dan sekitarnya,

Lebih terperinci