Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung ESTIMASI BESARAN EMISI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PERTAMBANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung ESTIMASI BESARAN EMISI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PERTAMBANGAN"

Transkripsi

1 Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung Telp : Fax : Info@tekmira.esdm.go.id LAPORAN FINAL Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya Inhouse Research ESTIMASI BESARAN EMISI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PERTAMBANGAN Oleh : M. Lutfi, Harry Tetra Antono, Nining Puspaningsih, Herni Khairunisah, Wahyu Agus Setiawan PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA - tekmira 2014

2 KATA PENGANTAR Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global sudah mulai terasa hal ini dipicu oleh kegiatan manusia terutama berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan. Dengan pertumbuhan energi yang cukup tinggi untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, sektor energi diperkirakan akan menjadi sumber emisi gas rumah kaca terbesar di tingkat nasional pada tahun 2030, apabila tidak ada aksi mitigasi (Bussines As Usual). Di sektor energi berkembang wacana yang dikenal dengan Inisiatif Energi Bersih, yang bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari penggunaan (pembakaran) energi fosil (reducing emission from fossil fuel burning REFF-Burn). Pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor energi salah satunya adalah kegiatan reklamasi lahan bekas tambang merupakan suatu upaya penting dalam mengurangi perubahan iklim. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisinya sebesar 26 % pada tahun 2020 dengan upaya-upaya unilateral dan sampai dengan 41 % dengan dukungan internasional. Sebagai tindak lanjut dari komitmen ini, Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres), yaitu Perpres no. 61 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (RAN-GRK) Kegiatan yang telah dilakukan di berbagai negara untuk mengurangi dampak gas rumah kaca (GRK) salah satunya berupa reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang pada aktivitas penambangan. Beberapa metode utama yang biasa digunakan, yaitu memanfaatkan teknologi Inderaja dan SIG untuk kegiatan pemantauan dan pengawasan karena pada kegiatan ini mudah dilakukan dan hemat biaya. Puslitbang tekmira sebagai instansi di bawah Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral ikut aktif memberikan masukan dalam kebijakan energi terutama peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Salah satunya adalah dengan memberikan informasi mengenai hasil litbang dari sisi lingkungan akibat adanya kegiatan aktivitas penambangan guna mendukung program aksi nasional mengenai perubahan iklim. Bandung, Desember 2014 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Dede Ida Suhendra Ir, M.Sc NIP i

3 ABSTRAK Hutan merupakan penyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO 2 ). Vegetasi hutan menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Deforestasi dan degradasi hutan akibat proses pertambangan memberikan dampak yang sangat besar bagi perubahan iklim global, karena perubahan penggunaan lahan hutan mejadi bukan hutan menyebabkan vegetasi hutan yang menyerap emisi CO 2 di udara semakin berkurang. Deforestasi dan degradasi hutan di kawasan pertambangan umumnya terletak di daerah yang mempunyai asesibilitas yang sangat rendah, sehingga teknologi penginderaan jauh sangat diperlukan khususnya dalam melakukan pemantauan perubahan penggunaan lahan hutannya. Kegiatan dilaksanakan di kawasan pertambangan batubara PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa. Tujuan dari pekerjaan adalah melakukan analisis perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013, menghitung besarnya perubahan simpanan karbon di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013, menghitung besarnya emisi (CO2e) di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun Metoda yang dilakukan adalah analisis temathic change hasil klasifikasi digital penutupan lahan hutan dan bukan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun Pendugaan biomasa dihitung menggunakan persamaan alometrik Biomasa = ,52 HH - 1,25 HV, dimana HH dan HV adalah nilai backscatter polarisasi HH dan HV dari citra PALSAR tahun 2007 dan Biomasa = 278,91x2-133,66x + 68,4, dimana x adalah nilai NDVI citra Landsat 8 OLI tahun Hasil penelitian adalah perubahan penutupan lahan pada kurun waktu 6 tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 di PT. Tanito Harum terjadi perubahan penggunaan lahan hutan, yaitu pada tutupan lahan hutan terjadi penurunan dari luas dari ha pada tahun 2007 menjadi 754 ha pada tahun Sedangkan di PT. Insani Bara Perkasa perubahan tutupan lahan terjadi penurunan dari luas dari ha pada tahun 2007 menjadi ha pada tahun Sedangkan pada tutupan lahan bukan hutan terjadi peningkatan dari luas 1.218,9 ha pada tahun 2007 menjadi ha pada tahun Simpanan Karbon hutan di PT. Tanito Harum pada tahun 2007 sebesar ton dan pada tahun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi ton atau mengalami penurunan 80 ton/ha. Sedangkan di PT. Insani Bara Perkasa Simpanan Karbon hutan pada tahun 2007 sebesar ton dan pada tahun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi ton atau mengalami penurunan 79.5 ton/ha. Hasil perhitungan emisi CO 2 e(carbon Dioxide Equivalent) pada kurun waktu 6 tahun dari tahun 2007 sampai dengan th 2013 di PT. Tanito Harum sebesar ,6 ton, atau 32,31 ton/ha. Sedangkan di PT. In sai Bara Perkasa menghasilkan emisi total sebesar ton, emisi sekuestrasi sebesar ton sehingga emisi yang menyebabkan gas rumah kaca sebesar ton, atau 13,0 ton/ha. ii

4 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.... i SARI... ii DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL..... iv DAFTAR GAMBAR.... v BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang Lingkup Kegiatan Tujuan Sasaran Lokasi Kegiatan Penerima Manfaat... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA/KAJIAN TEORITIS Sumber Emisi Penyerap Emisi.... Biomassa Vegetasi... Revegetasi pada Kawasan Hutan... Pengindeaan Jauh... Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh... Pixel... Karakteristik Citra Satelit... Citra Sistem RADAR (Radio Detecting and Ranging)... ALOS PALSAR (Advance Land Observing Satellite)... Sistem Satelit ERTS (Earth Resources Technology Satellite). Karakteristik Sistem... Sensor Landsat... Landsat 8 OLI BAB III PROGRAM KEGIATAN Persiapan... Pengolahan dan Analisis Data... Penyusunan Laporan BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN Metodologi... Tahap Penelitian... Pra-Pengolahan Citra... Klasifikasi Citra... Analisis Perubahan Penutupan Lahan... Analsis Perhitungan Simpanan Biomassa Carbon iii

5 Analisis Perhitungan Emisi CO 2 e BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Tutupan Lahan Hutan... Perubahan Tutupan Lahan hutan di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa Hasil Analisi Simpanan Biomassa dan Karbon Perhitungan Emisi CO 2 e di PT. Tanito Harum dan 48 PT. Insani Bara Perkasa... BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Penandaan Saluran Radar Tabel 2.2 Karakteristik Citra ALOS Tabel 2.3 Karakteristik PALSAR Tabel 2.4 Karakteristik ETM+ Landsat Tabel 2.5 Band-band Pada Landsat-TM dan Kegunaannya Tabel 2.6 Karakteristik citra Landsat 8 dengan sensor Operational Land Imager (OLI) Tabel 5.1 Klasifikasi Tutupan Lahan Menggunakan Citra PALSAR Polarisasi HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 dan Citra Landsat 8 OLI Tahun 2013 di PT. Tanito Harum Tabel 5.2 Klasifikasi Tutupan Lahan Menggunakan Citra PALSAR Polarisasi HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 dan Citra Landsat 8 OLI Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa Tabel 5.3 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007 di PT. Tanito Harum Tabel 5.4 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra tahun 2013 di PT. Tanito Harum Tabel 5.5 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007 dan Tahun 2013 di PT. Tanito Harum Tabel 5.6 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007 di PT. Insani Bara Perkasa Tabel 5.7 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa Tabel 5.8 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007 iv

6 dan Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa Tabel 5.9 Persamaan Regresi Penduga Biomassa Terpilih untuk Tahun 2007 dan Tabel 5.10 Simpanan Biomassa dan Karbon Tahun 2007 dan Tahun 2013 di PT. Tanito Harum Tabel 5.11 Simpanan Biomassa dan Karbon Tahun 2007 dan Tahun 2013 di PT. PT. Insani Bara Perkasa Tabel 5.12 Hasil Perhitungan Emisi CO 2 e dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2013 di PT. Tanito Harum Tabel 5.13 Hasil Perhitungan Emisi CO 2 e dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1 Lokasi Penelitian... 5 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Reflektansi Obyek pada Berbagai Panjang Gelombang... Citra Polarimetrik SAR Gambar 2.3 Efek Geometri Sensor/medan pada Citra SLAR Gambar 2.4 Bentuk Pantulan Radar dari Berbagai Macam Permukaan Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) Baur (a); Sempurna (b); Sudut (c) Gambar 2.5 Satelit ALOS PALSAR Gambar 2.6 Citra Landsat 7 ETM + 15 m di London, England, 15 m Data Courtesy USGS Gambar 5.1 Peta Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra PALSAR Polarisasi HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 di PT. Tanito Harum Gambar 5.2 Peta Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Tahun 2013 di PT. Tanito Harum Gambar 5.3 Peta Tutupan Lahan Hasil klasifikasi Citra PALSAR Polarisasi HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 di PT. Insani Bara Perkasa Gambar 5.4 Peta Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa Gambar 5.5 Peta Emisi CO 2 e dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2013 di PT. Tanito Harum Gambar 5.6 Peta Emisi CO 2 e dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perrkasa v

7 I. PENDAHULU AN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan suatu ekosistem hutan yang sangat ideal dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi, mempunyai siklus hara yang tertutup, stratifikasi tajuk yang tinggi, dan selalu hijau sepanjang tahun. Selain itu, hutan ini juga mempunyai sifat self nutrient recovery, yaitu dua pertiga nutrisi yang ada pada tanaman dilepas ke tubuh tanaman itu lagi sebelum tanaman tersebut menggugurkan daunnya (Setiadi 2005). Karakteristik hutan seperti ini menyebabkan hutan hujan tropis mempunyai fungsi proteksi, konservasi, dan produksi. Fungsi proteksi hutan yaitu melindungi sistem penyangga kehidupan seperti mengatur tata air, mengendalikan erosi, mencegah banjir, menjaga kesuburan tanah. Fungsi konservasi yaitu dapat mempertahankan keanekaragaman hayati, mempertahankan keseimbangan ekosistem tanah, air, dan vegetasi, serta menjaga keseimbangan iklim khususnya iklim mikro. Disamping itu hutan mempunyai juga fungsi produksi karena hutan hujan tropis sangat kaya akan sumberdaya alam sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Setiadi 2005). Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman (Kusmana et al.1992). Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO). Pada tahun 2005 luas hutan alam tropis di dunia adalah ha, dimana seluas ha terdapat di Indonesia (World Resources Institute 1999). Kebutuhan hidup manusia 1

8 yang tinggi terhadap pemanfaatan hutan menyebabkan kerusakan hutan hujan tropis. Demikian pula halnya dengan deforestasi akibat proses pertambangan, pembalakan hutan, perkebunan dan lain-lain. Hutan Indonesia yang rusak (deforestasi) pada tahun diperkirakan ha per tahun (FAO 2005). Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan-bangunan dan aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg/ha C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg/ha C per tahun. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon (Sedjo and Salomon, 1988). Dampak deforestasi terhadap lingkungan akibat proses pertambangan sangat berbahaya, sehingga usaha reforestasi sampai terbentuknya hutan hujan tropis yang lestari sangat diperlukan. Reforestasi dilakukan dengan penanaman tanaman yang dapat bertahan pada degraded land, dapat memperbaiki kondisi lahan, dan mendorong pertumbuhan tanaman. Pola penanganan yang diberikan pada proses reforestasi harus ditujukan pada terjadinya percepatan pemulihan hutan dengan mempercepat terjadinya proses suksesi untuk membentuk hutan hujan tropis yang lestari (Setiadi 2005). Salah satu sektor yang menjadi sorotan penyebab timbulnya efek rumah kaca adalah sektor pertambangan dan energi. Padahal telah diketahui bahwa sektor ini merupakan salah sektor pembangunan yang sangat penting bagi Indonesia karena industri pertambangan 2

9 sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit. (Badan Pusat Statistik, 2010) Bahan mineral dan batubara merupakan sumber daya alam potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber devisa untuk pembangunan nasional. Dalam kegiatan penambangan dilakukan dengan cara pembukaan hutan, pengupasan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu meningkatnya CO2 di atmosfir.emisi CO2 adalah pemancaran atau pelepasan gas karbon dioksida (CO2) ke udara. Emisi CO2 tersebut menyebabkan kadar gas rumah kaca di atmosfer meningkat, sehingga terjadi peningkatan efek rumah kaca dan pemanasan global. CO2 tersebut menyerap sinar matahari (radiasi inframerah) yang dipantulkan oleh bumi sehingga suhu atmosfer menjadi naik. Hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Batubara selain menghasilkan pencemaran (CO2) yang paling tinggi, juga menghasilkan karbon dioksida terbanyak per satuan energi. Membakar 1 ton batu bara menghasilkan sekitar 2,5 ton karbon dioksida. Untuk mendapatkan jumlah energi yang sama, jumlah karbon dioksida yang dilepas oleh minyak akan mencapai 2 ton sedangkan dari gas bumi hanya 1,5 ton Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia dengan areal hutan yang cukup luas, tetapi juga memiliki laju penurunan areal dan kualitas hutan yang relatif cepat. Dengan kondisi seperti ini, Kalimantan telah menjadi pusat perhatian dalam diskusi yang menyangkut dinamika tutupan hutan beserta dampaknya terhadap cadangan dan penyerapan Emisi. Inventarisasi tingkat emisi gas rumah kaca diperlukan untuk menginventarisasi tingkat emisi gas rumah kaca akibat kegiatan pertambangan batu bara untuk memperoleh data dan 3

10 informasi mengenai besarnya emisi dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink) termasuk simpanan karbon (carbon stock) di kawasan aktivitas pertambangan batubara. Sampai saat ini data mengenai tingkat emisi gas rumah kaca di sektor pertambangan belum tersedia secara memadai untuk itu salah satu misi Puslitbang Tekmira mempunyai sasaran berupa penguasaan alih teknologi yang tentunya juga berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan sasaran itulah akan diupayakan suatu kegiatan untuk memanfaatan teknologi penginderaan jauh (inderaja) dalam Inventarisasi tingkat emisi gas rumah kaca di kawasan/wilayah yang ada aktifitas pertambangan yang hasilnya sebagai informasi awal sejauh mana kualitas lingkungan dapat terjaga dan m h terjadinya keadaan degradasi kemampuan lingkungan. I.2. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup pada pekerjaan adalah : Analisis perubahan penutupan lahan hutan tambang batubara berdasarkan hasil pengolahan citra dengan menggunakan software ArGis d Carbon Dioxide Equivalent an Erdas Analisis besarnya emisi (CO2e = Carbon Dioxide Equivalent) didekati dari simpanan karbon (carbon stock). Pembahasan hasil analisis I.3. Tujuan Tujuan dari pekerjaan adalah: Melakukan analisis perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 Menghitung besarnya perubahan simpanan karbon di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun

11 Menghitung besarnya emisi (CO2e) di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun Sasaran Diperolehnya nilai estimasi besaran emisi dan besaran kebutuhan area vegetasi di kawasan pertambangan batubara 1.5. Lokasi Kegiatan Lokasi penelitian adalah perusahaan (KK) tambang batubara di Kabupaten Kutai Kertanegara (PT. Tanito Harum) dan Samarinda (PT. Insani Bina Perkasa), Propinsi Kalimantan Timur (lihat Gambar1.1) Gambar 1.1. Lokasi Penelitian 5

12 1.6. Penerima Manfaat Manfaat yang diperoleh dari keberhasilan kegiatan penelitian ini adalah tersedianya informasi nilai estimasi besaran emisi, dan serapannya serta besaran kebutuhan area vegetasi di kawasan pertambangan batubara sebagai akibat adanya aktivitas kegiatan penambangan terbuka batubara. Kegiatan penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan Balitbang/tekMIRA, membantu pemerintah pusat (KESDM, Minerba), Pemda serta Industri Pertambangan dalam penyerapan karbon untuk menekan pemanasan global dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. 6

13 II. TINJAUAN PUSTAKA/ KAJIAN TEORITIS 2.1. Sumber Emisi Sumber emisi berdasarkan pedoman pelaksanaan rencana aksi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dikelompokkan kedalam 4 sektor yaitu sektor energy, transportasi, limbah dan lahan. Sedangkan gas yang dapat menimbulkan emisi adalah CO2, SF6, CH4, N2O, HFCS, PFCs, dan emisi yang paling banyak ditimbulkan oleh kegiatan pada sektor lahan adalah CO2, CH4, dan N2O. Karbon dioksida (CO2) adalah gas yang tidak berwarna dengan rumus kimia CO2 dimana molekulnya terdiri dari suatu atom karbon dan dua atom oksigen, yang merupakan bahan pembentuk udara paling banyak keempat (Septyawardani E. 2012). Penyusunan Model Penduga Sediaan Tegakan dan Biomassa Hutan Jati (Tectona grandis Linn. F) Menggunakan Citra Dijital Non-Metrik Resolusi Tinggi [skripsi]. IPB menyatakan bahwa karbon dioksida yang masuk ke atmosfir dapat berasal dari dua sumber yaitu pertama, sumber alami yang paling penting adalah proses pernapasan mahluk hidup, baik di darat maupun di lautan dan perubahan bahan organik. Dan yang kedua, sumber buatan adalah CO2 hasil pembakaran bahan bakar fosil, industry semen, pembakaran hutan dan perubahan tata guna lahan. Menurut DEFRA (2005) Penyerap emisi Biomassa Vegetasi Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit) yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (bellow ground biomass). Komponen biomassa terbesar terdapat pada biomassa di atas permukaan tanah. Karena terdapat kesulitan pada pengumpulan data lapangan biomassa di bawah permukaan (Below-Ground Biomass, BGB), penelitian estimasi biomassa yang 7

14 telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan (Above-Ground Biomass, AGB) (Lu, 2006). Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di atas permukaan tanah yang meliputi batang, tunggak, cabang, kulit, buah/biji, dan daun. Biomassa di bawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang masih hidup kecuali serabut akar (diameter < 2mm) (Septyawardani 2012). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974 dalam Syarif 2011). Sedangkan menurut Satoo dan Madgwick (1982) dalam Rochmawati (2010) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi biomassa dapat berupa suhu, curah hujan, umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan susunan tegakan, serta kualitas tempat tumbuh. Suhu tersebut berdampak pada proses biologi dalam pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktivitas dekomposisi (Murdiyarso et al. 1999). Jumlah biomassa dalam hutan merupakan hasil perbedaan produksi melalui fotosintesis dan konsumsi tumbuhan melalui respirasi dan proses pemanenan. Biomassa merupakan ukuran penting untuk menilai perubahan struktur hutan. Perubahan dalam biomassa hutan bisa disebabkan oleh suksesi alami: kegiatan manusia seperti silvikultur, pemanenan, dan pendegradasian; serta dampak alami dari kebakaran dan perubahan iklim. Biomassa hutan juga relevan dengan isu perubahan iklim (Brown 1997). Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah bahan tersebut menjadi zat organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu dan ciri masing-masing tumbuhan. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984). Semakin tua umur suatu tanaman maka akan semakin rendah kemampuan tanaman tersebut dalam menyerap karbon dioksida. Hal ini berarti suatu saat 8

15 kandungan suatu tanaman akan mencapai titik jenuh seiring dengan akhir daur (Siringoringo dan Ginting 1997; Langi 2007; Turana 2012) Revegetasi pada Kawasan Pertambangan Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman (Kusmana et al.1992). Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO). Menurut Barrow (1991), pada kawasan pertambangan deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan mengakibatkan beberapa gangguan. Hutan primer yang hilang dapat menyebabkan perubahan pada iklim mikro. Hutan hujan tropis dapat menyimpan air hujan yang cukup besar sehingga dapat menjaga iklim di sekitarnya menjadi nyaman, mengurangi fluktuasi temperatur antara siang dan malam, menjaga kelembaban udara, dan mengurangi kecepatan angin. Hutan yang rusak juga dapat menyebabkan kehilangan spesies, dampak negatif terhadap hidrologi dan tanah, gangguan kesehatan, kehilangan hasil hutan, dampak negatif terhadap ekonomi, dan kehilangan estetika terhadap hutan. Deforestasi menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap emisi GRK khususnya penyerap gas CO2. Peranan fungsi hutan yang sangat penting bagi penyerap CO2 sehingga pada degraded land di kawasan pertambangan harus dilakukan revegetasi untuk mempercepat mengembalikan fungsi hutan sebagai penyerap CO2. Revegetasi agar berhasil harus menguasai pengetahuan tentang ekologi hutan khususnya pengetahuan tentang suksesi hutan untuk memberikan pola penanganan dalam revegetasi hutan. Pengetahuan tentang tempat tumbuh spesies dan interaksi spesies satu dengan spesies yang lain juga penting, misalnya adanya spesies yang dapat menghambat atau spesies yang toleran untuk tumbuhnya spesies yang lain atau spesies- 9

16 spesies yang mempunyai sifat sebagai fasilitator bagi tumbuhnya spesies lain. Jenis pohon yang ditanam sebaiknya tidak monokultur tetapi jenis-jenis campuran dari spesies-spesies asli yang ada di hutan primer di sekitarnya (Setiadi 2005). Salah satu bentuk usaha sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah dengan pemilihan terhadap jenis-jenis tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi dalam menyerap CO2. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam telah meneliti kemampuan penyerapan CO2 yang hasilnya berbeda-beda menurut lokasi, jenis pohon hutan dan umur tegakan (Departemen Kehutanan 2005). Menurut Heriansyah dan Mindawati (2005) bahwa hutan dapat mencegah pemanasan global dengan menyerap CO2 dari atmosfir dan menyimpannya sebagai karbon dalam bentuk materi organik tanaman. Sifat dan kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan yaitu tanaman C-3, C-4 dan CAM (Lakitan 1993). Tanaman C-3 memfiksasi CO2 melalui daur Calvin, tanaman C-4 memfiksasi CO2 melalui daur C4 asam dikarboksilat, sedangkan tanaman CAM merupakan tanaman yang memfiksasi CO2 menjadi asam malat (Dahlan 2004). Tanaman C-4 umumnya memiliki laju fotosintesis tertinggi, tanaman CAM paling lambat laju fotosintesis, sedangkan C-3 berada di antara kedua ektrim tersebut (Lakitan 1993) Penginderaan Jauh Penginderaan jauh berasal dari kata remote sensing memiliki pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan teknologi untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan obyek yang dikajinya (Lillesand dan Kiefer, 1997). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk mengindera/ menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh; perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor) yang ditempatkan pada sebuah wahana (kendaraan). 10

17 Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh Wahana untuk menempatkan sensor satelit berkembang dengan sangat cepat terutama setelah teknologi satelit. Sebelum teknologi satelit ditemukan, wahana penginderaan jauh ditempatkan pada balon udara dan pesawat. Spesifikasi sensor ditempatkan pada satelit sangat tergantung dari misi satelit, yaitu untuk pemantauan sumberdaya alam (terrestrial), sumberdaya laut atau atmosfer. Sebuah sensor biasanya terdiri dari kumpulan sensor yang mempunyai kemampuan untuk menangkap rentang panjang gelombang yang berbeda-beda, dan biasanya disebut chanel/band. Satelit biasanya mempunyai satu band hingga ratusan band (Hyperspectral). Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya. Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro. Setiap material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda terhadap cahaya matahari sehingga material-material tersebut akan mempunyai resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang Piksel Pixel adalah sebuah titik yang merupakan elemen palong kecil pada citra satelit. Angka numerik (1 byte) dari piksel disebut Digital Number (DN). Digital Number bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (greyscale), tergantung level energi yang terdeteksi. Piksel yang disusun dalam order yang benar akan membentuk sebuah citra. Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh bisa dibedakan atas (Jaya, 2002): Resolusi spasial Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya, atau sesuatu yang ukurannya bisa ditentukan. 11

18 Kemampuan ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu obyek di bumi selain mendeteksi (detectable) keberadaannya. Resolusi spektral Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif terhadap sensor Resolusi radiometrik Merupakan ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu obyek oleh permukaan bumi. Resolusi Temporal Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama (revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari, SPOT 26 hari dan lain sebagainya. Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk grayscale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk penginderaan jauh, skala yang dipakai adalah 256 shade grayscale, nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih. Untuk citra muktispektral, masing-masing piksel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing piksel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitam putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites. Citra, sebagai dataset, bisa dimanipulasi menggunakan algorithm/persamaan matematis. Manipulasi bisa merupakan pengkoreksian error, pemetaan kembali data terhadap suatu referensi geografi tertentu, ataupun mengekstrak informasi yang tidak langsung terlihat dari data. Data dari dua citra atau lebih pada lokasi yang sama dikombinasikan secara matematis untuk membuat composite dari beberapa dataset. Produk data ini, disebut derived products, bisa dihasilkan dengan beberapa penghitungan matematis atas data numerik mentah (DN) (Puntodewo, dkk, 2003) 12

19 Gambar 2.1. Reflektansi obyek pada berbagai panjang gelombang Karakteristik Citra Satelit Citra Sistem RADAR (Radio Detecting and Ranging) Radar menurut Lillesand dan Kiefer (1990) merupakan suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)-nya. Prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dan asal gema (echo) atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang. Gelombang mikro dapat menembus atmosfer dalam segala keadaan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan. Tenaga gelombang mikro dapat melalui kabut tipis, hujan, salju, awan, asap dan lainnya. Menurut Barret dan Curtais (1982) dalam Ristiana (2011), sistem radar merupakan gelombang yang merambat dari sensor dan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi lalu kemudian direkam pantulannya. Menurut JICA dan Fakultas Kehutanan IPB (2010), sebuah sistem radar mempunyai tiga fungsi sebagai berikut: 1. Sensor memancarkan gelombang microwave (radio) ke bidang permukaan tertentu, 2. Sensor tersebut menerima beberapa bagian dari energi yang dipancarkan balik (backscatter) oleh permukaan. 13

20 Sensor ini dapat menangkap kekuatan (detection, amplitude) dan perbedaan waktu (ranging, phase) dari pancar balik gelombang energi. Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sistem sensor (aktif) pencitraan yang sering digunakan pada aplikasi-aplikasi remote sensing resolusi tinggi khususnya pada pembuatan model permukaan digital, mengenali unsur-unsur buatan manusia, alat bantu navigasi, penetrasi tanah dan daun, deteksi target bergerak, dan monitoring perubahan lingkungan. Sensor yang dapat dipasang pada platform satelit atau pesawat terbang, tembus awan atau tidak terpengaruh oleh lapisan atmosfer ini dapat merekam informasi objek pada segala cuaca, baik siang maupun malam hari (Prahasta 2009). Terdapat tiga macam hamburan di atmosfer yaitu hamburan Rayleigh, hamburan Mie, dan hamburan non-selektif. Hamburan Rayleigh biasa terjadi apabila radiasi tenaga berinteraksi dengan molekul dan partikel kecil atmosfer lainnya yang garis tengahnya jauh lebih kecil daripada panjang gelombang radiasi yang berinteraksi. Langit berwarna biru merupakan salah satu perwujudan hamburan Rayleigh. Hamburan ini juga menyebabkan adanya kabut tipis pada citra (Lillesand dan Kiefer 1990). Jenis hamburan yang lain ialah hamburan Mie yang terjadi bila garis tengah partikel atmosfer sama dengan panjang gelombang tenaga yang diindera. Penyebab utama timbulnya hamburan Mie ialah uap air dan debu di atmosfer. Jenis hamburan ini cenderung mempengaruhi panjang gelombang yang lebih panjang bila dibandingkan dengan hamburan Rayleigh sehingga hamburan Mie cukup berarti pada saat cuaca agak gelap. Sedangkan hamburan non-selektif terjadi ketika garis tengah partikel (berkisar antara 5 hingga 10 µm) yang menyebabkan hamburan jauh lebih besar daripada panjang gelombang yang diindera. Sebagai akibatnya, hamburan ini tidak selektif dalam hubungannya dengan panjang gelombang. Pada panjang gelombang tampak maka cahaya biru, hijau dan merah dihamburkan dengan jumlah yang sama dan menyebabkan kabut dan awan tampak putih (Lillesand dan Kiefer 1990). Radar adalah citra-citra digital hasil rekaman sistem sensor pada domain-domain (band) spektrum gelombang elektromagnetik microwave. Pada umumnya citra-citra digital yang tergolong ke dalam kelompok ini memiliki resolusi spasial menengah hingga tinggi (Prahasta 2009). Resolusi spasial sistem radar ditentukan antara lain oleh ukuran antena. Untuk suatu 14

21 panjang gelombang tertentu maka semakin panjang antena, akan semakin baik resolusi spasialnya (Lillesand dan Kiefer 1990). Sedangkan menurut Prahasta (2009) resolusi spasial merujuk pada ukuran objek terkecil (yang terdapat di permukaan bumi) yang dapat dikenali (dibedakan). Sementara pada peta digital, resolusi ini dibatasi oleh ukuran piksel. Dengan demikian, ukuran objek terkecil (di permukaan bumi) yang dapat dibedakan tidak bisa berukuran lebih kecil dari ukuran pikselnya. Dalam kaitan ini, muncullah istilah resolusi tinggi dan resolusi rendah. Citra dengan resolusi tinggi ukuran pikselnya relatif kecil hingga dapat menggambarkan bagian permukaan bumi secara detail dan halus. Microwave: domain panjang gelombang yang sering digunakan sebagai pendukung instrumen radar yang berkisar antara 1mm hingga 1m. Selain itu domain microwave ini dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa sub-domain: (1) P-band [30-100cm]; (2) L-band [15-30cm]; (3) S- band [7,5-15cm]; (4) C-band [3,8-7,5cm]; (5) X-band [2,4-3,8cm]; (6) Ku-band [1,7-2,4cm]; (7) K- band [1,1-1,7cm] dan (8) Ka-band [0,75-1,1cm] (Prahasta 2009). Pada remote sensing tipe microwave, terdapat dua bagian: remote sensing microwave pasif dan remote sensing microwave aktif. Pada yang pertama (pasif), radiasi microwave yang dipancarkan objek akan dideteksi. Sementara pada yang kedua (aktif) yang dideteksi adalah koefisien back-scattering (Prahasta 2009). Faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi signal dari suatu sistem radar ialah panjang gelombang dan polarisasi pulsa yang digunakan. Tabel 1 menunjukan saluran panjang gelombang yang lazim digunakan dalam transmisi pulsa. Kode huruf untuk berbagai saluran (K,X,L,dsb) digunakan dan menandakan berbagai saluran yang agak berbeda panjang gelombangnya. Saluran K dan X merupakan saluran yang paling umum digunakan dalam terapan sumberdaya bumi. Penandaan saluran RADAR disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Penandaan saluran RADAR Kode saluran Panjang gelombang Frekuensi (f) = CC λλ 11 Megaherts (λ) (mm) ( putaran - dddddddddd 11 ) K a 7, K 11 16, K 4 16,

22 X C S L P Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990) Sinyal radar dapat ditransmisikan dan/atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda, artinya sinyal dapat disaring sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dikirim V diterima V (VV). Pada beberapa kasus sinyal terpolarisasi silang atau HV, menghasilkan citra dengan kontras lebih kecil dan menunjukan pembedaan lebih sedikit diantara tipe vegetasi bila dibanding terhadap citra polarisasi searah (HH). Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV atau VH. Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990). Citra polarisasi HH, HV dan VV ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Untuk mereduksi efek speckle yang ada pada masing-masing citra, sebelum diproses/ diklasifikasi lebih lanjut terlebih dahulu diaplikasikan filter yang telah umum dipakai pada citra SAR yaitu Lee filter. 16

23 HH image HV image VV image Gambar 2.2. Citra Polarimetrik SAR Sifat khas medan yang mempengaruhi pantulan radar (yang paling utama) adalah ukuran geometris dan sifat khas elektrik objektif. Sifat khas geometris atau ukuran ialah suatu corak pandangan samping di dalam mencitrakan berbagai relief medan. Hal ini timbul melalui variasi geometrik sensor medan relatif untuk berbagai orientasi medan, seperti dilukiskan di dalam Gambar 2. Variasi lokal lereng medan mengakibatkan sudut datang sinyal yang berbeda-beda. Sebaliknya, variasi ini mengakibatkan hasil balik relatif tinggi bagi lereng yang menghadap sensor, dan hasil balik yang rendah atau tidak ada sama sekali bagi lereng yang membelakangi sensor. Kekuatan hasil balik lawan grafik waktu yang ditempatkan pada medan sehingga sinyal dapat dikorelasikan terhadap kenampakan yang menghasilkannya dapat dilihat pada Gambar

24 Gambar 2.3. Efek geometri sensor/medan pada citra SLAR Sumber: Lillesand dan Kiefer (1990) Pada permukaan dengan kekasaran yang sama atau lebih besar dari panjang gelombang yang ditransmisikan, permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar semua tenaga datang ke semua arah (hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena) seperti yang digambarkan pada Gambar 3a. Pada umumnya semakin halus permukaan maka semakin jauh panjang gelombang untuk sensor menerima dan mengakibatkan sinyal balik menjadi rendah seperti tampak pada Gambar 3b (Lillesand dan Kiefer 1990). Pantulan sudut terjadi sebagai hasil dari bentuk sudut objek alami maupun objek buatan. Pantulan sudut menyebabkan pantulan gelombang kembali ke arah sensor yang menyebabkan rona sangat cerah. Hal ini terjadi pada objek yang bersudut siku-siku seperti gedung bertingkat dan lereng terjal dapat dilihat pada Gambar 2.3. (Daulay 2011). 18

25 Gambar 2.4. Bentuk pantulan radar dari berbagai macam permukaan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) Baur (a); Sempurna (b); Sudut (c) Sifat khas elektrik merupakan kenampakan medan bekerja sangat erat dengan sifat khas geometri untuk menentukan intensitas hasil balik radar. Satu ukuran bagi sifat khas elektrik objek ialah tetapan dielektrik komplek. Parameter ini merupakan suatu indikasi bagi daya pangkul dan konduktifitas berbagai material (Lillesand dan Kiefer 1990) ALOS PALSAR (Advance Land Observing Satellite) ALOS adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 (the Japanese Earth Resource Satellite-1) dan ADEOS (the Advance Earth Observing Satellite) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat (JAXA 2010). ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote_sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dan Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR). 19

26 AVNIR dan PRISM merupakan sensor optik dan PALSAR merupakan sensor SAR (Riska 2011). Bentuk dari instrumen PALSAR disajikan pada Gambar Gambar 2.5. Satelit ALOS PALSAR (Jaxa 2010) Melalui observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Karakteristik citra ALOS dapat dilihat pada Tabel

27 Tabel 2.2. Karakteristik citra ALOS Karakteristik Tanggal Peluncuran Alat Peluncuran Tempat Peluncuran Berat satelit Power Waktu operasional Keterangan 24 Januari 2006 Roket H-IIA Pusat Ruang Angkasa Tanagashima 4000 Kg 7000 W 3 sampai 5 tahun Sun-Synchronous Sub-Recurrent Orbit Repeat Cycle: 46 days, Sub Cycle: 2 days Tinggi Lintasan 691,65 Km diatas Equator Inclinasi 98,16 2,0 x (dengan GCP) Akurasi Ketinggian Akurasi Posisi Kecepatan Perekaman Onboard Data Recorder 1 m (off-line) 240Mbps (via Data Relay Technology Satellite) 120Mbps (Transmisi Langsung) Solid-state data recorder (90 Gbytes) Sumber: Jaxa 2010 JICA dan Fakultas Kehutanan IPB (2010) menjelaskan bahwa dalam PALSAR resolusi tinggi dapat diperoleh dengan berbagai cara: a. Resolusi ke arah range dapat ditingkatkan dengan sistem beam yang lebih lebar dan pengulangan waktu yang lebih pendek. b. Resolusi ke arah azimuth dapat ditingkatkan dengan beam yang lebih sempit dan pengulangan waktu yang lebih panjang. c. Resolusi sebesar 10 m ke arah range dan 6, ke arah azimuth dapat diperoleh dengan PALSAR. d. Secara umum, target merupakan objek yang dihasilkan dari sejumlah scatter dan menyebabkan speckle. 21

28 e. Sinyal yang diterima merupakan jarak antara target dengan radar Data PALSAR dapat digunakan untuk pembuatan DEM, Interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain. Karakteristik PALSAR dalam melakukan perekaman dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experiment Mode) Frekuensi Lebar Kanal Polarisasi HH/VV/HH+HV atau VV+HV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/ 20 m (4 look) Lebar cakupan Incidence Angle NE Sigma 0 70 km 8-60 derajat <-23 db (70 km) <-25 db (60 km) Panjang Bit 3 bit atau 5 bit Ukuran Sumber: Jaxa MHz (L-Band) 28/114 MHz HH atau VV 100m (multi look) km derajat <-25 db 5 bit AZ:8.9m x EL: 2.9m HH+HV+VH+VV 30 m 30 km 8-30 derajat <-29 db 3bit atau 5bit Sistem Satelit ERTS (Earth Resources Technology Satellite) Karakteristik Sistem Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini 22

29 membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu Landsat 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah Landsat 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari Landsat 6 yang gagal mengorbit. Landsat 5, diluncurkan pada 1 Maret 1984, sekarang ini masih beroperasi pada orbit polar, membawa sensor TM (Thematic Mapper), yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. Landsat 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang,1999 dalam Ratnasari, 2000). Kemampuan spektral dari Landsat-TM, ditunjukkkan pada Tabel 2.4. Program Landsat merupakan tertua dalam program observasi bumi. Landsat dimulai tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor MSS multispektral. Setelah tahun 1982, Thematic Mapper TM ditempatkan pada sensor MSS. MSS dan TM merupakan whiskbroom scanners. Pada April 1999 Landsat-7 diluncurkan dengan membawa ETM+scanner. Landsat 7 saat ini masih berfungsi namun mengalami kerusakan (striping) semenjak Mei 2003 sehingga mengganggu dalam analisis citra. Tabel 2.4. Karakteristik ETM+ Landsat Sistem Landsat-7 Orbit 705 km, 98.2 o, sun-synchonous, 10:00 AM crossing, rotasi 16 hari (repeat xyccle) Sensor ETM + (Enhanced Themathic Mapper) Swath Width 185 km (FOW = 15 o ) Off-track viewing Tidak tersedia Revisit Time 16 hari Band-band Spectral (µm) (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (PAN) 23

30 Ukuran Piksel Lapangan (Resolusi spasial) Arsip data 15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6 Eartthexpolrer.usgv.gov Sensor Landsat Sistem Landsat merupakan milik Amerika Serikat yang mempunyai tiga instrument pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (multispectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper). (Jaya, 2002) RBV Merupakan instrumen semacam televisi yang mengambil citra ìsnapshotî dari permukaan bumi sepanjang track lapangan satelit pada setiap selang waktu tertentu. MSS Merupakan suatu alat scanning mekanik yang merekam data dengan cara men-scanning permukaan bumi dalam jalur atau baris tertentu TM Juga merupakan alat scanning mekanis yang mempunyai resolusi spectral, spatial dan radiometric. Tabel 2.5. Band-band pada Landsat-TM dan kegunaannya (Lillesand dan Kiefer, 1997) Band Panjang Gelombang Spektral Kegunaan (µm) Biru Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tanah, pemetaan tumbuhan, kehutanan dan mengidentifikasi budidaya manusia Hijau Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan budidaya manusia Merah Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, dapat digunakan untuk membantuk dalam pemisahan spises tanaman serta bisa digunakan untuk pengamatan budidaya manusia 24

31 Infra merah dekat Infra merah sedang Infra merah termal Infra merah sedang Untuk membedakan jenis tumbuhan aktifitas dan kandungan biomass untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah Menunjukan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan Untuk menganalisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas Berguna untuk pengenalan mineral dan jenis batuan, juga sensitif terhadap kelembaban tumbuhan Terdapat banyak aplikasi dari data Landsat TM: pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan, pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan laut dan lain-lain. Untuk pemetaan penutupan dan penggunaan lahan data Landsat TM lebih dipilih daripada data SPOT multispektral karena terdapat band infra merah menengah. Landsat TM adalah satu-satunya satelit non meteorologi yang mempunyai band inframerah termal. Data termal diperlukan untuk studi proses-proses energi pada permukaan bumi seperti variabilitas suhu tanaman dalam areal yang diirigasi. Seperti Tabel 2.4. menunjukkan aplikasi atau kegunaan utamaprinsip pada berbagai band Landsat TM. 25

32 Gambar 2.6. Citra Landsat 7 ETM+ 15 m di London, England, 15m Data Courtesy USGS (infoterra-global.com, 2004) Landsat 8 OLI Sampai saat ini Landsat 7 masih berfungsi namun mengalami kerusakan (striping) semenjak Mei 2003 sehingga mengganggu dalam analisis citra. Pada tanggal 11 Februari 2013 diluncurkan satelit generasi terbaru dari program Landsat yaitu Landsat Data Continuity Mission (LDCM) atau dikenal dengan nama Landsat 8. Citra Landsat 8 merupakan satelit observasi bumi hasil kerjasama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan U.S Geographical Survey (USGS). Landsat 8 memiliki sensor Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan ketinggian terbang 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km yang didesain untuk dapat beroperasi selama 5 tahun. Citra satelit ini memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali. Landsat 8 memiliki 11 saluran (band) yang terdiri dari 9 band berada pada sensor OLI dan 2 band lainnya berada pada sensor TIRS (NASA 2011). Landsat 8 adalah satelit yang dibangun oleh Orbital Sciences Corporation, yang menjabat sebagai kontraktor utama untuk misi instrumen pesawat ruang angkasa yang dibangun oleh Ball 26

33 Aerospace dan NASA Goddard Space Flight Center, dan peluncurannya dikontrak oleh United Launch Alliance. Sebenarnya landsat 8 lebih cocok disebut sebagai satelit dengan misi melanjutkan Landsat 7 daripada disebut sebagai satelit baru dengan spesifikasi yang baru (NASA 2011). Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan, khususnya terkait spesifikasi-spesifikasi band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Saluran 1 merupakan band baru yang terdapat pada satelit Landsat 8, yaitu coastal blue yang memiliki panjang gelombang 0.43 sampai dengan 0.45 µm yang berguna untuk mendeteksi wilayah peisisir. Band lainnya merupakan band yang sebelumnya terdapat pada satelit Landsat generasi sebelumnya. Pada saluran 2 dengan panjang gelombang 0.45 sampai dengan 0.51 µm menurut Lo (1995) dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai, selain itu berguna untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan konifer. Pada saluran 3 dengan panjang gelombang 0.53 sampai dengan 0.59 µm dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau bagi vegetasi. Pada saluran 4 dengan panjang gelombang 0.64 sampai dengan 0.67 µm berguna sebagai saluran absorpsi klorofil yang penting untuk deskriminasi vegetasi. Pada saluran 5 dengan panjang gelombang 0.85 sampai dengan 0.88 µm bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk dilineasi tubuh air. Pada saluran 6 dengan panjang gelombang 1.57 sampai dengan 1.65 µm menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tanah. Pada saluran 7 dengan panjang gelombang 2.11 sampai dengan 2.29 µm saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal. Pada saluran 9merupakan salah satu band terbaru dari Landsat 8 yaitu cirrus dengan panjang gelombang 1.36 sampai dengan 1.38 µm untuk mendeteksi awan halus. Karakteristik citra Landsat 8 dengan sensor Operational Land Imager (OLI) disajikan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Karakteristik citra Landsat 8 dengan sensor Operational Land Imager (OLI) Band number Spectral range (µm) Sensor Resolusi (m) (coastal blue) OLI (blue) OLI (green) OLI 30 27

34 (red) OLI (NIR) OLI (SWIR-1) OLI (SWIR-2) OLI (cirrus) OLI 30 Sumber: USGS (2013) III. PROGRAM KEGIATAN Kegiatan Estimasi Besaran Emisi CO2e akibat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pertambangan meliputi : 3.1. Persiapan Persiapan pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi: a. Kajian hasil kegiatan sebelumnya. b. Persiapan teknis, meliputi : Studi literatur Pengumpulan data sekunder c. Persiapan administrasi 3.2. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi: pengolahan Data Citra Digital, análisis Sistem Informasi Geografis (SIG), dan statistik meliputi : Melaksanakan pra pengolahan citra Klasifikasi multi spektral citra Analisis perubahan tutupan lahan Analisis estimasi karbon hutan Analisis estimasi emisi CO2e 3.3. Penyusunan Laporan Hasil penelitian yang diperoleh disusun dalam bentuk laporan penelitian. 28

35 IV. PELAKSANAAN KEGIATAN 4.1. Metodologi Kegiatan dilaksanakan di kawasan pertambangan batubara PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa. Alat yang digunakan yaitu satu unit komputer pribadi yang dilengkapi dengan software pengolahan citra dan GIS yaitu Erdas Imagine Ver 9.1, Arcview GIS Ver 3.2, Arc GIS 9.3 serta aplikasi perkantoran Microsoft Word dan Microsoft Excel Bahan yang digunakan yaitu citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 resolusi spasial 50 m dan citra Landsat 8 OLI kombinasi band 852 tahun 2013 resolusi spasial 30 m (Gambar 4.1 dan 4.2), peta areal kerja kegiatan pertambangan, dan peta Rupa Bumi Indonesia. Citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 Citra Landsat 8 OLI komposit band 852 tahun 2013 Gambar 4.1. Lokasi Penelitian di PT. Tanito Harum 29

36 Citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 Citra Landsat 8 OLI komposit band 852 tahun 2013 Gambar 4.2. Lokasi Penelitian di PT. Insani Bara Perkasa 30

37 Tahapan Penelitian Secara umum penelitian dilakukan dengan tahapan pra-pengolahan citra, interpretasi visual citra satelit, dan pengolahan citra digital. Selanjutnya analisis perubahan tutupan lahan hutan, anlisis perhitungan biomasa, carbon, dan analisis perhitungan emisi CO2e Pra-Pengolahan Citra Pra-pengolahan citra adalah pemprosesan awal sebelum dilakukan pengolahan citra lebih lanjut. Pra-pengolahan citra ini terdiri dari beberapa langkah yaitu perubahan format, pemotongan citra, koreksi geometrik, dan perhitungan OIF (Optimum Index Factor). 1. Perubahan Format Citra yang diperoleh memiliki format GeoTiff yang kemudian dilakukan perubahan format menjadi format.img dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1. Pada kegiatan ini resolusi citra Landsat 8 yang digunakan adalah resolusi spasial yang sama yaitu 30 m dan menggunakan band 852 th 2013, sedangkan citra PALSAR polarisasi HH,HV, dan HH/HV tahun 2007 resolusi spasial 50 m. 2. Pemotongan Citra (Cropping) Pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk mendapatkan areal yang menjadi fokus kegiatan yaitu di kawasan pertambangan batubara PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa, Kalimantan Timur. 3. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dilakukankarena terdapat kesalahan geometrik yang terjadi pada saat perekaman.koreksi geometrik bertujuan untuk merektifikasi atau membenarkan koordinat citra agar sesuai dengan koordinat geografis. Sebagaimana diketahui, data mentah dari citra penginderaan jauh masih memiliki sejumlah kesalahan. Data hasil rekaman sensor pada satelit merupakan representasi dari bentuk permukaan bumi yang tidak beraturan. Meskipun kelihatannya merupakan daerah yang datar, tetapi area yang direkam mengandung kesalahan 31

38 (distorsi) yang diakibatkan pengaruh kelengkungan buni atau sensor itu sendiri (Jaya 2010). Penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM). Pemilihan proyeksi ini disesuaikan dengan pembagian area pada sistem UTM. PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa, Kalimantan Timur terletak pada zona UTM 50 S, sedangkan datum yang digunakan adalah World. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan peta administrasi provinsi Kalimantan Timur Klasifikasi Citra Analisis ini merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau pengelompokkan suatu piksel citra dijital multi- spektral ke dalam beberapa kelas berdasarkankategori objek. Klasifikasi citra secara dijital dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: a. Penentuan Area Contoh (Training Area) Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh dilakukan berdasarkan interpretasi citra secara visual, Peta Rupa Bumi dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area). Pengambilan informasi statistik (nilai DN) dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap kelas tutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra. Informasi statistik dari setiap kelas tutupan lahan ini digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi. b. Analisis Separabilitas Sebelum melakukan klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan dari area contoh yang telah dibuat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang memberikan informasi mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas. Metode analisis separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Tranformasi Divergensi (TD). Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas. Nilai TD ini dapat diketahui dengan rumus: 32

39 TD ij D = exp 8 ij keterangan : TDij = separabilitas antara kelas i dengan kelas j e = -2,718 Menurut Jaya (2002) kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergensi adalah sebagai berikut : a. Tidak terpisah (unseparable) : b. Keterpisahan buruk (poor) : c. Sedang (fair) : d. Keterpisahan baik (good) : e. Terpisah sempurna (excellent) : c. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra ini adalah metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood method) Analisis perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra PALSAR polarisasi HH dan HV, tahun 2007 resolusi spasial 50 m dan nilai NDVI citra Landsat 8 OLI kombinasi band 852 tahun 2013 resolusi spasial 30 m, selanjutnya dilakukan analisis perubahan tutupan lahan hutan. Analisis perubahan tutupan lahan lahan dilakukan dengan cara dua citra yang telah diklasifikasi secara terpisah dan hasilnya ditumpang tindihkan (overlay) dan hasil perubahannya dilakukan dengan metoda thematic change. 33

40 Analisis Perhitungan simpanan biomasa dan Carbon Estimasi nilai biomasa hutan dihitung berdasarkan nilai backscatter dari citra PALSAR polarisasi HH dan HV, tahun 2007 resolusi spasial 50 m dan nilai NDVI citra Landsat 8 OLI kombinasi band 852 tahun 2013 resolusi spasial 30 m. Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang akan digunakan merupakan persamaan biomassa yang didasarkan atas nilai backscatter dari citra PALSAR polarisasi HH danhv, Persamaan alometrik penduga biomassa yang digunakan adalah: Biomasa = ,52 HH - 1,25 HV Keterangan: HH dan HV adalah nilai backscatter polarisasi HH dan HV dari citra PALSAR tahun 2007 Biomasa = 278,91x2-133,66x + 68,4 Keterangan: x adalah nilai NDVI citra Landsat 8 OLI tahun Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit) yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO). Umumnya Karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman(biomasa) (Kusmana et al.1992). Sehingga nilai simpanan karbon dihitung menggunakan rumus: C hutan = 0,5 x biomassa hutan (ton/ha) 34

41 Analisis Perhitungan Emisi CO2e Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Estimasi nilai Karbon dioksida (CO2) didekati dari perbandingan berat molekul CO2 dan C sebesar nilai CO2 e = 44/12 x C atau CO2 e = 3,67 x C. Nilai CO2 hutan dihitung menggunakan rumus: CO2 (ton/ha) = C hutan x 3.67 Nilai CO2 pohon ini akan digunakan sebagai nilai serapan CO2 oleh hutan (pohon) 35

42 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Analisis Tutupan Lahan Hutan Perubahan Tutupan Lahan hutan di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa Klasifikasi penutupan lahan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 (Gambar 5.1 dan 5.2) di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa menghasilkan 3 kelas tutupan lahan yaitu hutan rapat, hutan, dan bukan hutan. Masing-masing tutupan lahan di citra dan kenampakan di lapangan disajikan pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2. Hasil klasifikasi tutupan lahan disajikan pada Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.4. Luas hasil klasifikasi tutupan lahan pada citra disajikan pada Tabel 5.3 dan Tabel 5.4. Tabel 5.1 Klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 di PT. Tanito Harum No Tipe Penutupan Lahan Kenampakan di citra Kenampakan di lapangan PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV Landsat 8 OLI 1 Bukan hutan 2 Hutan 36

43 Dalam analisis tutupan lahan di PT. Tanito Harum digunakan kombinasi komposit yang digunakan untuk anaisis tutupan lahan dengan menggunakan citra PALSAR adalah HH-HV-HH pada kanal Red, Green, dan Blue. Sementara untuk citra Landsat 8 OLI, kombinasi komposit yang digunakan adalah pada kanal Red, Green, dan Blue. Tabel 5.2 Klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa No Tipe Penutupan Lahan Kenampakan di citra Kenampakan di lapangan PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV Landsat 8 OLI 1 Bukan hutan 2 Hutan 3 Hutan rapat 37

44 Serupa dengan analisis tutupan lahan di PT. Tanito Harum, analisis tutupan lahan di PT. Insani Bara Perkasa juga menggunakan dua citra satelit yaitu ALOS PALSAR dan Landsat 8 OLI. Komposit yang digunakan pada citra ALOS PALSAR untuk analisis ini adalah HH-HV-HH pada kanal Red, Green, dan Blue. Sementara untuk citra Landsat 8 OLI, kombinasi komposit yang digunakan adalah pada kanal Red, Green, dan Blue. Pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa tutupan Bukan Hutan memiliki kenampakan mosaik ungu-tua dan ungu-muda pada citra ALOS PALSAR dengan komposit HH- HV-HH/HV. Sementara itu, tutupan lahan Hutan memiliki kenampakan warna mosaik hijaumuda dan hijau-tua dengan warna dominan hijau-tua. Tutupan lahan Hutan Rapat pada citra ALOS PALSAR memiiki kenampakan dominan hijau-tua. Pada citra alor pasar dengan polarisasi HH (horizontal-horizontal) dan HV (horizontal vertikal) nilai digital dikonversi menjadi nilai hamburan balik (backscatter) dari masing-masing polarisasi dimana nilai backscatter polarisasi HV cenderung memiliki korelasi yang erat dengan biomasa dibanding dengan nilai backscatter polarisasi HH (Tiryana 2011). Nilai backscatter dari masing-masing polarisasi merupakan besarnya hamburan balik dari distribusi gelombang elektromagnetik yang mengenai bentuk tajuk, susunan daun, diameter pohon, maupun tinggi pohon. Vegetasi pohon yang memiliki permukaan kasar dan kelembapan yang tinggi akan lebih banyak menghamburkan dan memantulkan gelombang energy yang datang (Riska 2011). Sehingga pada citra ALOS PALSAR dengan komposit HH-HV-HH/HV, polarisasi HV diberikan warna hijau, sehingga hutan mempunyai warna hijau dan semakin rapat hutan akan mempunyai warna semakin hijau tua. Pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa kenampakan objek tutupan lahan pada citra Landsat 8 OLI dengan komposit warna memperlihatkan, untuk tutupan lahan Bukan Hutan pada Landsat 8 OLI memiliki kenampakan mosaik ungu dan merah-muda, dan untuk hutan memiliki kenampakan hijau. Kenampakan tutupan lahan Hutan Rapat pada Landsat 8 OLI memiliki warna hijau-tua dengan kesan tekstur kasar. Pada citra Landsat 8 OLI band 6 mempunyai rentang spectral 1,57-1,65 µm, sedangkan band 5 mempunyai rentang spectral 0,85-0,88 µm, dan band 4 mempunyai rentang spectral 0,64-0,67 µm (USGS 2013). Hal ini 38

45 menunjukkan band 6 merupakan band MIR, band 5 adalah band NIR, dan band 4 adalah band Red. Reflektansi vegetasi (biomasa) sangat tinggi pada panjang gelombang 0,7-1,3 µm Sehingga untuk hutan yang mempunyai biomasa tinggi, akan merefleksikan sinar inframerah yang paling besar, Pada Landsat 8 OLI kombinasi band 6 5 4, band 5 diberikan warna hijau, sehingga hutan mempunyai warna hijau, semakin rapat hutan akan mempunyai warna semakin hijau tua. Hasil penafsiran citra ALOS PALSAR tahun perekaman 2007 pada kawasan pertambangan PT. Tanito Harum menggunakan acuan yang ada pada Tabel 1 menghasilkan peta tutupan lahan hutan yang ada pada Gambar 1. Gambar 5.1. Peta tutupan lahan hasil klasifikasi citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 di PT. Tanito Harum Dari hasil penafsiran diperoleh luasan total sebesar ha ha diantaranya adalah tutupan lahan hutan, 58 ha lainnya adalah bukan hutan, dan 98.2 ha adalah tutupan awan (Tabel 5.3). Tutupan lahan bukan hutan ini diduga merupakan wilayah tambang terbuka yang diakibatkan kegiatan penambangan batu bara oleh PT. Tanito Harum di tahun tersebut. 39

46 Tabel 5.3. Luas tutupan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2007 di PT. Tanito Harum Kelas tutupan lahan Th 2007 (ha) Awan Bukan Hutan Hutan Grand Total % Gambar 5.2. Peta tutupan lahan hasil klasifikasi citra Landsat 8 OLI tahun 2013 di PT. Tanito Harum Analisis tutupan lahan juga dilakukan menggunakan citra Landsat 8 OLI dengan kombinasi komposit (false natural color). Citra yang digunakan adalah citra dengan tahun perekaman Berdasarkan hasil penafsiran, luasan tutupan lahan bukan hutan tahun 2013 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan luas tutupan hutan tahun Perkiraan 40

47 luasan tutupan lahan Bukan Hutan pada tahun 2013 adalah sekitar 12% dari luasan total. Sementara itu, perkiraan tutupan lahan Hutan dan tutupan awan adalah berturut-turut sebesar 78% dan 10%. Hasil penafsiran citra Landsat 8 OLI tahun perekaman 2013 dapat dilihat pada Gambar 5.4. Tabel 5.4. Luas tutupan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2013 di PT. Tanito Harum Kelas tutupan lahan Th 2013 (ha) % Awan Bukan Hutan Hutan Grand Total Tabel 5.3 menjabarkan secara detail luasan masing-masing tutupan lahan hasil penafsiran tutupan lahan menggunakan citra Landsat 8 OLI tahun perekaman Berdasarkan hasil penafsiran, luasan tutupan lahan yang berhasil diidentifikasi adalah: tutupan awan sebesar 98.2 Ha, tutupan lahan Bukan Hutan sebesar Ha, dan tutupan lahan Hutan sebesar Ha. Perubahan tutupan lahan dari tahun 2007 hingga tahun 2013 di PT. Tanito Harum terjadi pada tutupan lahan Bukan Hutan dan Hutan. Terjadi pengurangan sebesar 57.3 ha untuk tutupan lahan Hutan dan penambahan sebesar 57.3 ha pada tutupan lahan Bukan Hutan. Rincian perubahan tutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Luas tutupan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2007 dan tahun 2013 di PT. Tanito Harum Kelas tutupan lahan Th 2007 (ha) % Luas Th 2013 (ha) % Perubahan (ha) Awan Bukan Hutan ,3 Hutan ,3 Grand Total

48 Gambar 5.3 Peta tutupan lahan hasil klasifikasi citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 di PT. Insani Bara Perkasa Hasil penafsiran citra ALOS PALSAR tahun perekaman 2007 pada kawasan pertambangan PT. Insani Bara Perkasa menggunakan acuan yang ada pada Tabel 1 menghasilkan peta tutupan lahan hutan yang ada pada Gambar 3. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa ada sekitar 2.3% luas tutupan lahan Bukan Hutan yang berhasil diidentifikasi pada citra satelit, sementara sekitar 97% lainnya adalah tutupan Hutan dan Hutan Rapat. 42

49 Tabel 5.6. Luas tutupan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2007 di PT. Insani Bara Perkasa Kelas tutupan lahan Th 2007 (ha) Awan 22, Bukan Hutan 1, Hutan 27, Hutan Rapat Grand Total 51, % Hasil penafsiran citra ALOS PALSAR tahun 2013 dengan kombinasi komposit HH-HV-HH membagi wilayah PT. Insani Bara Perkasa menjadi empat kelas: tutupan lahan Hutan Rapat seluas 260 ha, tutupan lahan Hutan seluas 27,199 ha, tutupan lahan Bukan Hutan seluas 1,218, dan tutupan Awan seluas 22,539 ha. Analisis tutupan lahan juga dilakukan menggunakan citra Landsat 8 OLI dengan kombinasi komposit (false natural color). Citra yang digunakan adalah citra dengan tahun perekaman Berdasarkan hasil penafsiran, luasan tutupan lahan bukan hutan tahun 2013 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan luas tutupan hutan tahun Perkiraan luasan tutupan lahan Bukan Hutan pada tahun 2013 adalah sekitar 8% dari luasan total. Sementara itu, perkiraan tutupan lahan Hutan dan tutupan awan adalah berturut-turut sebesar 47% dan 44%. Hasil penafsiran citra Landsat 8 OLI tahun perekaman 2013 dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 5.7. Luas tutupan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa Kelas tutupan lahan Th 2007 (ha) % Awan 22, Bukan Hutan 4, Hutan 24, Hutan Rapat - - Grand Total 51,

50 Tabel 5.7 menjabarkan secara detail luasan masing-masing tutupan lahan hasil penafsiran tutupan lahan menggunakan citra Landsat 8 OLI tahun perekaman Berdasarkan hasil penafsiran, luasan tutupan lahan yang berhasil diidentifikasi adalah: tutupan awan sebesar 22,539 ha, tutupan lahan Bukan Hutan sebesar 4,739 Ha, dan tutupan lahan Hutan sebesar 24,301 Ha. Gambar 5.4 Peta tutupan lahan hasil klasifikasi citra Landsat 8 OLI tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa 44

51 Tabel 5.8. Luas tutupan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2007 dan tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa Luas Kelas tutupan % Th 2013 % Perubahan lahan Th 2007 (ha) (ha) (ha) Awan 22, , Bukan Hutan 1, , Hutan 27, , Hutan Rapat Grand Total 51, , Hasil klasifikasi yang disajikan pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa pada kurun waktu 6 tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 penutupan lahan di PT. Insani Bara Perkasa terjadi perubahan penggunaan lahan hutan yaitu pada tutupan lahan hutan terjadi penurunan 2.89 ha dari luas dari 27,459 ha pada tahun 2007 menjadi 24,301 ha pada tahun 2013 dan hutan rapat terjadi penurunan ha dari luas dari ha pada tahun 2007 menjadi 0 ha pada tahun Sedangkan pada tutupan lahan bukan hutan terjadi peningkatan 3.1 ha dari luas 1,218 ha pada tahun 2007 menjadi 4,329 ha pada tahun Hasil Analisis Simpanan Biomasa dan Karbon Pendugaan kandungan biomassa di dalam kawasan pertambangan PT. Insani Bara Perkasa dan PT. Tanito Harum dilakukan berdasarkan hubungan nilai dijital pada citra, --baik itu backscatter, NDVI, atau nilai piksel dengan jumlah biomasa terukur di lapangan. Pengukuran lapangan telah dilakukan pada penelitian terdahulu (2010). Pengukuran lapangan dilakukan di beberapa lokasi yang berbeda simpanan biomasanya agar tercipta sebuah hubungan matematis yang relevan antara nilai dijital citra dan biomasa. Pengukuran lapangan dilakukan pada lahan hasil reklamasi dan revegetasi dengan berbagai umur tegakan dan potensi simpanan biomasa yang berbeda-beda. Selain itu, pengukuran lapangan juga dilakukan di hutan sekunder di dalam kawasan pertambangan. 45

52 Hasil regresi matematis untuk membentuk hubungan antara biomassa dan backscatter serta biomassa dengan NDVI memperoleh persamaan sebagai berikut: Tabel 5.9. Persamaan Regresi Penduga Biomassa Terpilih untuk Tahun 2007 dan 2013 Persamaan Regresi 2007 Biomasa = ,52 HH - 1,25 HV 2013 Biomasa = 278,91x2-133,66x + 68,4 Nilai biomasa dihitung menggunakan alometrik Biomasa = ,52 HH - 1,25 HV dengan HH dan HV adalah nilai backscatter polarisasi HH dan HV dari citra PALSAR tahun 2007 dan menggunakan alometrik Biomasa = 278,91x2-133,66x + 68,4 dengan x adalah nilai NDVI citra Landsat 8 OLI tahun Alat yang digunakan adalah seperangkat alat komputer dengan sofware Arc GIS 9.0 dan ERDAS IMAGINE 9.1. Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit) yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO). Umumnya Karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman(biomasa) (Kusmana et al.1992). Hasil perhitungan simpanan biomasa dan Karbon pada citra disajikan pada Tabel 5.5 dan Tabel 6.6. Menggunakan kedua persamaan diatas, kandungan biomassa di PT. Tanito Harum diduga, dan dihasilkan data sebagai berikut: Tabel Simpanan biomasa dan Karbon tahun 2007 dan tahun 2013 di PT. Tanito Harum Kelas tutupan lahan Biomasa Th 2007 Simpanan Biomas dan Karbon (ton) Karbon Biomasa Th 2007 Th 2013 Karbon Th 2013 Bukan Hutan 0 0 Hutan 129,808 64, ,643 60,321 Grand Total 129,808 64, ,643 60,321 46

53 Menurut perhitungan, total karbon tersimpan tahun 2007 di PT. Tanito Harum adalah sebesar 64,904 ton yang diperoleh dari perhitungan biomassa di daerah yang diidentifikasi sebagai hutan. Jumlah karbon sebesar ini dapat juga disetarakan dengan jumlah biomassa sebesar 129,808 ton. Setelah mengalami penurunan jumlah luasan hutan akibat adanya perubahan tutupan lahan di tahun 2013, jumlah karbon tersimpan juga turut berubah menjadi sebesar 60,321 ton atau setara dengan biomassa sebesar 120,643 ton atau 160 ton/ha dan stok Karbon sebesar 80 ton/ha. Pendugaan simpanan karbon juga dilakukan di PT. Insani Bara Perkasa menggunakan metode dan citra yang serupa. Berdasarkan perhitungan menggunakan model matematis diperoleh dugaan simpanan karbon di tahun 2007 untuk kawasan pertambangan PT. Insani Bara Perkasa adalah sebesar 2,201,019 ton yang terdiri dari 2,175,992 ton karbon di tutupan lahan Hutan dan 25,027 di tutupan lahan Hutan Rapat. Di tahun 2013, terjadi penurunan dugaan jumlah karbon tersimpan sebesar 256,963 ton menjadi 1,944,056 ton atau setara dengan biomasa 3,888,112 ton atau 159 ton/ha dan stok Karbon sebesar 79.5 ton/ha. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya pemanfaatan lahan sebagai tambang batu bara. Stok Karbon di PT. Tanito Harum dan di PT. PT. Insani Bara Perkasa pada tahun 2013 adalah masing masing sebesar 80 ton/ha dan 79.5 ton/ha. Stok Karbon ini apabila dibandingkan dengan Stok Karbon di hutan hujan tropis di Indonesia atau di Kalimantan masih relatif rendah. Stok Karbon hutan hujan tropis di Indonesia berkisar antara ton/ha (Mudiayarso et al dalam rahayu et al. 2005). Sedangkan hasil penelitian Stok Karbon hutan primer di Nunukan Kalimantan Timur memberikan hasil stok karbon sebesar 230 ton/ha (Rahayu et al. 2005), dan Kusuma (2009) menyebutkan Stok Karbon hutan primer di Kalimantan Barat sebesar ton/ha. Faktor faktor yang mempengaruhi besarnya stok karbon antara lain adal;ah jenis pohon, jumlah dan kerapatan pohon. Kondisi hutan PT. Tanito Harum dan di PT. Insani Bara Perkasa di Kalimantan Timur sebelum dilakukan penebangan sebelumnya adalah hutan alam primer. Untuk itu kegiatan revegetasi yang dilakukan harus bertujuan mengembalikan kondisi hutan pada rona awal. PT Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa harus meningkatkan kegiatan revegetasinya dalam supaya meningkatkan stok karbon. 47

54 Tabel Simpanan biomasa dan Karbon tahun 2007 dan tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa Simpanan Biomas dan Karbon (ton) Kelas tutupan lahan Biomasa Th 2007 Karbon Th 2007 Biomasa Th 2013 Karbon Th 2013 Bukan Hutan Hutan 4,351,984 2,175,992 3,888,112 1,944,056 Hutan rapat 50,054 25, Grand Total 4,402,038 2,201,019 3,888,112 1,944, Perhitungan Emisi CO2e di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa Perhitungan emisi yang diakibatkan oleh perubahan tutupan lahan ditujukan untuk melakukan analisis perhitungan emisi atau Karbon dioksida (CO2e) yang diakibatkan oleh perubahan tutupan lahan yang mengakibatkan perubahan biomasa hutan dari tahun 2007 sampai dengan tahun Dalam perhitungan emsi ini, bahan yang digunakan adalah citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 (Gambar 5.1 dan 5.2) di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa. Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Estimasi nilai Karbon dioksida (CO2) didekati dari perbandingan berat molekul CO2 dan C sebesar nilai CO2 e = 44/12 x C atau CO2 e = 3,67 x C. Hasil perhitungan emisi CO2e pada kurun waktu 6 tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa diberikan pada Tabel 5.12 dan Tabel Tabel Hasil perhitungan emisi CO2e dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 di PT. Tanito Harum Emisi CO2e (ton) Emisi CO2e total (ton) Luas Total hutan (ha) Kelas tutupan lahan Bukan Hutan Hutan Bukan Hutan 0-8, ,937.4 Hutan 33, , Emisi CO2e total (ton/ha) Grand Total 33,300-8, ,

55 Tabel Hasil perhitungan emisi CO2e dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 di PT. Kelas tutupan lahan Insani Bara Perkasa Emisi CO2e (ton) Bukan Hutan Hutan Emisi CO2e total (ton) Luas Total hutan (ha) Emisi CO2e total (ton/ha) Bukan Hutan 0-3,560-3,560 Hutan 268, ,592 Hutan rapat 52,052-1,069 50,983 Grand Total 320,644-2, , , Hasil perhitungan emisi CO2e dalam kurun waktu 6 tahun seperti ditunjukkan Tabel 5.12, maka di PT. Tanito Harum dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 dihasilkan emisi total sebesar 33,300 ton, di PT. Tanito Harum dan emisi sekuestrasi sebesar ton sehingga emisi yang menyebabkan gas rumah kaca sebesar 24,362.6 ton, atau ton/ha/tahun dengan luas hutan seluas 754 ha. Sedangkan di PT. Insani Bara Perkasa dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 dihasilkan emisi total sebesar 319,575 ton, emisi sekuestrasi sebesar -3,560 ton sehingga emisi yang menyebabkan gas rumah kaca sebesar 316,014 ton, atau 13.0 ton/ha. Sebaran spasial dari Emisi CO2e dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 di PT. Tanito Harum dan di PT. Insani Bara Perkasa disajikan pada Gambar 5.5 dan 5.6. Hasil ini menunjukkan bahwa kegitan revegetasi selama 6 tahun belum dapat mengembalikan fungsi hutan dalam menyerap karbon dioksida. Kemampuan hutan dalam menyerap Emisi CO2e masih lebih kecil dari kehilangannya. 49

56 Gambar 5.5 Peta emisi CO2e dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 di PT. Tanito Harum 50

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang

Lebih terperinci

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG + MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis.

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Radiasi Elektromagnetik

Radiasi Elektromagnetik Radiasi Elektrmagnetik 3. Radiasi Elektrmagnetik Berangkat dari bahasan kita di atas mengenai kmpnen sistem PJ, energi elektrmagnetik adalah sebuah kmpnen utama dari kebanyakan sistem PJ untuk lingkungan

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya

L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telp : 022-6030483 Fax : 022-6003373 E-mail :Info@tekmira.esdm.go.id L A P O R A N Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA) remote sensing (Inggris), teledetection (Prancis), fernerkundung (Jerman), distantsionaya (Rusia), PENGERTIAN. Lillesand and Kiefer (1994), Inderaja adalah ilmu dan seni untuk

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jarak Jauh Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang penting untuk kehidupan manusia karena hutan memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan. Fungsi lingkungan dari hutan salah

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan paling mendasar untuk menunjang suatu kehidupan. Sifat-sifat air menjadikannya sebagai suatu unsur yang paling penting bagi makhluk hidup. Manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur M. Lutfi & Harry Tetra Antono Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 41 BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 4.1 Laser Laser atau sinar laser adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang berarti suatu berkas sinar yang diperkuat dengan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211

Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telp : 022-6030483 Fax : 022-6003373 E-mail :Info@tekmira.esdm.go.id L A P O R A N Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan suatu ekosistem hutan yang sangat ideal dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi, mempunyai siklus hara yang tertutup, stratifikasi tajuk

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian dari ekosistem alam sebagai assosiasi flora fauna yang didominasi oleh tumbuhan berkayu yang menempati areal yang sangat luas sehingga menciptakan

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak KAJIAN AWAL KEBUTUHAN TEKNOLOGI SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PROGRAM REDD DI INDONESIA Oleh : Dony Kushardono dan Ayom Widipaminto LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak menyampaikan

Lebih terperinci