UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN KONSTIPASI MELALUI MASSASE ABDOMEN, POSISI DEFEKASI, DAN PEMBERIAN CAIRAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN KONSTIPASI MELALUI MASSASE ABDOMEN, POSISI DEFEKASI, DAN PEMBERIAN CAIRAN"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN KONSTIPASI MELALUI MASSASE ABDOMEN, POSISI DEFEKASI, DAN PEMBERIAN CAIRAN KARYA ILMIAH AKHIR NERS ANDINI WULANDARI FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI DEPOK JUNI 2016

2 UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN KONSTIPASI MELALUI MASSASE ABDOMEN, POSISI DEFEKASI, DAN PEMBERIAN CAIRAN KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners ANDINI WULANDARI FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI DEPOK JUNI 2016 i

3 ii

4 iii

5 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan KIAN yang berjudul "Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi melalui Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan Pemberian Cairan". Penyusunan KIAN ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar ners di Fakultas Ilmu Keperawatan. Penyusunan KIAN ini tidak terlepas dari peran dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Juniati Sahar, PhD. selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan 2. Ibu Fajar Tri Waluyanti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.An. selaku koordinator profesi Fakultas Ilmu Keperawatan 3. Ibu Dr. Etty Rekawati, S. Kp., MKM. selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing saya dalam penyusunan KIAN ini 4. Ibu Ns. Dwi Nurviyandari Kusumawati, S.Kp., MN. selaku koordinator peminatan gerontik dan dosen penguji yang telah memberikan arahan dalam penyusunan dan perbaikan KIAN ini 5. Bapak Ns. Ibnu Abas, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Kom. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan saran dalam perbaikan KIAN ini 6. Ibu Dr. Enie Novieastari, S.Kp., MSN. selaku pembimbing akademik 7. PSTW Budi Mulia 1 Ciracas sebagai tempat untuk saya mengaplikasikan ilmu keperawatan gerontik yang telah dipelajari 8. Semua lansia yang telah menjadi klien kelolaan dan resume 9. Rekan-rekan dari Fakultas Ilmu Keperawatan 10. Kedua orang tua saya dan keluarga saya yang telah mendukung saya secara moril dan materil untuk dapat menyelesaikan KIAN ini iv

6 Penulis mengharapkan bahwa KIAN ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayan keperawatan gerontik di Indonesia, khususnya di panti werdha. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT akan membalas kebaikan orang-orang yang telah membantu serta terlibat dalam penyusunan KIAN ini. Depok, 28 Juni 2016 Penulis v

7 vi

8 ABSTRAK Nama : Andini Wulandari Program Studi : Profesi Ners Judul KIAN : Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi melalui Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan Pemberian Cairan Konstipasi pada lansia terjadi akibat penuaan pada sistem pencernaan, kurang asupan cairan dan serat, kurang aktivitas fisik, serta konsumsi obat-obatan. Konstipasi adalah penurunan frekuensi normal defekasi disertai pengeluaran feses yang sulit dan tidak tuntas selama < 3 bulan. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi konstipasi yaitu massase abdomen selama ± 15 menit, pemberian posisi defekasi dengan kaki ditopang kursi setinggi 8 inchi, dan pemberian cairan cc/kg/hari, selama > 10 hari. Evaluasi menggunakan Constipation Scoring System (CSS) dan auskultasi bising usus. Hasil yang didapatkan yaitu meningkatnya frekuensi defekasi, berkurangnya keparahan konstipasi dengan menurunnya nilai CSS yaitu 16 menjadi 6 pada klien kelolaan, 16 menjadi 9 pada klien resume 1, dan 16 menjadi 7 pada klien resume 2. Bising usus tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, namun pada evaluasi akhir bising usus dua dari tiga lansia sudah mencapai nilai normal (5-15 x/menit). Kata Kunci: Konstipasi, lansia, massase abdomen, pemberian cairan, posisi defekasi vii

9 ABSTRACT Name Major Title : Andini Wulandari : Nursing Profession : Nursing Care in the Elderly with Constipation through Abdominal Massage, Position defecation, and Fluid Administration Constipation in the elderly occured due to aging of the digestive system, lack of fluid and fiber intake, physical activity, and consumption of drugs. Constipation is a decrease in the normal frequency of defecation with evacuation of feces that are difficult and not complete for < 3 months. Nursing interventions can be done to overcome constipation are abdominal Abdominal massage for ± 15 minutes, giving the position of defecation which foot is sustained by chair, and liquids cc/kg/day for > 10 days. Evaluation using Constipation Scoring System (CSS) and auscultation of bowel sounds. The results obtained are the increasing frequency of defecation, constipation severity reduced with the declining value of CSS is that 16 to 6 on a client in under management, 16 to 9 on the client resume 1, and 16 to 7 on the client resume 2. Bowel sounds do not show significant improvements, but in the final evaluation, two of three elderly have reached the normal values (5-15 x/min). Keywords: Abdominal massage, constipation, elderly, fluid administration, position of defecation viii

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi ABSTRAK... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN GRAFIK... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Lansia Definisi Lansia Teori Penuaan Sistem Pencernaan Lansia dan Perubahannya Konsep Konstipasi pada Lansia Definisi Konstipasi Faktor-Faktor Penyebab Konstipasi pada Lansia di Perkotaan Manifestasi Klinis Konstipasi pada Lansia Akibat Konstipasi pada Lansia Asuhan Keperawatan Konstipasi pada Lansia Pengkajian Konstipasi Perumusan Diagnosis Konstipasi Rencana Intervensi Konstipasi Intervensi Utama dalam Mengatasi Konstipasi pada Lansia Massase Abdomen Posisi Defekasi Pemberian Cairan Evaluasi Konstipasi Pelayanan Keperawatan untuk Lansia Pelayanan Lanjut Usia dengan Konstipasi Peran Perawat dalam Mengatasi Konstipasi pada Lansia BAB 3. ANALISIS KASUS Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Pengkajian Analisis Data dan Diagnosis Keperawatan ix

11 3.1.3 Rencana Intervensi Implementasi Evaluasi Asuhan Keperawatan Klien Resume Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan Rencana Intervensi Implementasi Evaluasi Asuhan Keperawatan Klien Resume Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan Rencana Intervensi Implementasi Evaluasi Perbandingan Evaluasi Ketiga Lansia BAB 4. ANALISIS SITUASI Analisis Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi di Perkotaan dengan Konstipasi Analisis Intervensi Massase Abdomen Posisi Defekasi Pemberian Cairan Keterbatasan dan Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan BAB 5. PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA x

12 DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN GRAFIK Tabel 3.1 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek A selama 6 Minggu Tabel 3.2 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek F selama 6 Minggu Tabel 3.3 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek E selama 6 Minggu Gambar 2.1 Teknik Massase Abdomen Gambar 2.2 Posisi Defekasi Grafik 3.1 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek A selama 6 Minggu Grafik 3.2 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek A selama 6 Minggu Grafik 3.3 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek F selama 6 Minggu Grafik 3.4 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek F selama 6 Minggu Grafik 3.5 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek E selama 6 Minggu Grafik 3.6 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek E selama 6 Minggu Grafik 3.7 Perbandingan Frekuensi Defekasi Ketiga Lansia xi

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran xii

14 BAB 1 PENDAHULUAN Pada BAB ini, akan dibahas mengenai perihal yang melatarbelakangi masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan. 1.1 Latar Belakang Lansia merupakan kelompok usia dengan jumlah yang banyak di dunia terutama di Asia dan negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI (2013), 50% dari seluruh lansia di dunia terdapat di Asia dan jumlah lansia yang meningkat di negara berkembang seperti Indonesia lebih tinggi daripada negara maju. Pada tahun , di Indonesia, jumlah lansia akan mengalami peningkatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Usia harapan hidup (UHH) pada tahun 2020 juga akan mengalami peningkatan yaitu menjadi sekitar 71 tahun (WHO dalam Kementerian Kesehatan RI, 2013). Data-data tersebut menunjukkan bahwa kesehatan lansia masih dapat dipertahankan sehingga lansia memiliki usia hidup yang lebih panjang. Masalah kesehatan terbanyak yang dialami lansia adalah penyakit degeneratif atau tidak menular yang sering terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat pada lansia (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI (2013), 1,53% lansia di Indonesia mengalami masalah pada sistem eliminasi. Konstipasi merupakan masalah eliminasi yang sering dialami lansia terutama lansia wanita (Miller, 2012). Penyakit degeneratif disebabkan karena terjadinya penurunan berbagai fungsi tubuh akibat proses penuaan pada lansia (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Perubahan terkait usia dapat terjadi pada sistem pencernaan lansia. Perubahan tersebut terjadi pada usus besar dan rektum sehingga lansia berisiko mengalami konstipasi (Miller, 2012). Selain karena penuaan, faktor-faktor lain yang menyebabkan konstipasi pada lansia antara lain karena obat-obatan, kurang asupan cairan, menahan BAB, diet rendah serat, dan gaya hidup yang pasif atau kurang bergerak 1

15 (Anonymous, 2008; Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012; Miller, 2012). Faktor-faktor penyebab konstipasi tersebut menjadi rentan terjadi pada lansia yang tinggal di panti. Konstipasi pada lansia sering menjadi masalah kesehatan pada lansia yang mendapat perawatan di tempat perawatan jangka panjang dan praktik komunitas (Woodward, Moran, Elliott, Laurens, & Saunders, 2002). Konstipasi beberapa kali berhasil diidentifikasi di panti. Sebanyak 16,67% lansia di Wisma Bungur PSTW Cibubur mengalami konstipasi (Oktariyani, 2013). Berdasarkan penelitian terbaru, didapatkan 70 lansia di PSTW Budi Mulia 3 Ciracas dan Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan yang teridentifikasi mengalami konstipasi (Kristamuliana, 2015). Sedangkan, berdasarkan pengkajian yang dilakukan penulis pada lansia yang dapat dikaji di masing-masing wisma, didapatkan data yaitu 10 dari 24 (42%) lansia di wisma Melati mengalami konstipasi, serta 6 dari 23 (26%) lansia di wisma Mawar, 6 dari 23 (26%) lansia di wisma Anggrek, 9 dari 30 (30%) lansia di wisma Cendrawasih, dan 7 dari 25 (28%) lansia di wisma Garuda mengalami konstipasi. Berdasarkan data tersebut, kejadian konstipasi pada lansia wanita lebih banyak dibandingkan dengan lansia pria. Berdasarkan observasi secara umum, hampir seluruh lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas memiliki kebiasaan sehari-hari yang sama. Latihan fisik seperti senam lebih banyak dilakukan oleh lansia yang mandiri yaitu dua kali dalam seminggu sedangkan selain hari tersebut tampak jarang lansia yang berolahraga mandiri secara rutin. Penurunan atau gangguan sistem muskuloskeletal menjadi salah satu penyebab kurangnya latihan fisik ataupun mobilisasi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas. Setiap hari lansia di panti mendapatkan sayur dan buah, namun penurunan nafsu makan ataupun penyakit yang menyebabkan lansia menghindari sayuran menyebabkan pemenuhan kebutuhan serat kurang adekuat. Penurunan fungsi kognitif, fisik, ataupun psikologis juga dapat menyebabkan lansia di panti tidak mampu memenuhi kebutuhan cairan secara adekuat. Selain itu, banyak lansia yang 2

16 mendapat terapi obat-obatan yang diminum secara rutin setiap hari. Kebiasaan sehari-hari tersebut dapat menyebabkan terjadinya konstipasi pada lansia. Konstipasi yang dibiarkan terjadi dapat berdampak pada kualitas hidup (Everette, 2013). Perawat gerontik memiliki peran antara lain sebagai pemberi asuhan keperawatan dan peneliti (Mauk, 2010). Sebagai pemberi asuhan keperawatan, konstipasi pada lansia harus segera ditangani melalui intervensi keperawatan langsung. Sebagai peneliti, perawat harus memperbarui penelitian untuk memperkaya evidence based praktik keperawatan gerontik terutama mengenai intervensi keperawatan. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi konstipasi yang dirasakan lansia antara lain dengan massase abdomen, pemberian posisi defekasi, dan pemberian cairan. Massase dapat mengatasi konstipasi (JBI, 2008). Posisi defekasi dengan meninggikan kaki saat defekasi di toilet duduk mempermudah defekasi (Woodward, Moran, Elliott, Laurens, & Saunders, 2002). Pemberian cairan hangat meningkatkan kerja sistem pencernaan dan eliminasi fekal (Patel, Patel, Patel, & Sen, 2015). Pemberian cairan hangat setelah makan juga merupakan intervensi keperawatan menurut NIC (2013). Massase abdomen memberikan dampak yang positif dalam penanganan konstipasi (Wang & Yin, 2015). Selain cairan, massase abdomen juga dapat meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Tindakan massase abdomen tidak memberikan efek samping yang negatif (Sinclair, 2010). Berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011), massase abdomen meningkatkan frekuensi defekasi. Massase abdomen McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) diuji dalam penelitian Kristamuliana (2015) mengenai konstipasi pada lansia. Hasil dari penelitian tersebut yaitu frekuensi defekasi meningkat, defekasi lebih cepat, dan rasa nyaman meningkat setelah massase abdomen dan pemberian posisi defekasi pada 32 lansia. Oleh karena itu, massase abdomen merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi konstipasi pada lansia. 3

17 Posisi jongkok merupakan posisi yang ideal untuk defekasi, namun kondisi di panti hanya memungkinkan penggunaan toilet duduk bagi lansia. Penggunaan toilet duduk di panti lebih aman bagi lansia sehingga mengurangi risiko jatuh. Berdasarkan penelitian Sikirov (2003), defekasi dapat lebih cepat dan lebih lampias saat defekasi dengan posisi jongkok saat defekasi dibandingkan dengan posisi duduk. Posisi jongkok yang tidak memungkinkan di panti dapat diatasi dengan pemberian posisi kaki yang ditinggikan. Posisi duduk dengan panggul difleksikan dapat mengurangi mengedan saat defekasi (Sakakibara, et al., 2010). Posisi duduk saat lansia defekasi dapat ditopang oleh kursi setinggi 8 inchi (Kristamuliana, 2015). Cairan merupakan intervensi lain yang dapat diterapkan dalam mengatasi masalah konstipasi pada lansia. Berdasarkan penelitian Tampubolon (2008), pemberian cairan di pagi hari dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan membuat lebih cepat timbulnya defekasi pada klien dengan konstipasi. Menurut Patel, Patel, Patel, dan Sen (2015), minum air hangat dapat meningkatkan kerja usus sehingga membantu terjadinya eliminasi fekal. Tindakan meningkatkan asupan cairan dan mendorong minum air hangat setelah makan dianjurkan dalam NIC (2013) dalam mengatasi diagnosis konstipasi. Berbagai intervensi konstipasi yang telah diteliti pada penelitian sebelumnya diteliti secara terpisah. Berdasarkan NIC (2013), untuk menyelesaikan diagnosis konstipasi, dapat dilakukan berbagai jenis intervensi secara bersamaan. Kristamuliana (2015) telah meneliti penggunaan massase abdomen dan posisi defekasi dalam penanganan konstipasi pada lansia. Namun, manajemen cairan masih kurang ditekankan, padahal lansia yang tinggal di panti berisiko tidak dapat memenuhi kebutuhan cairannya secara adekuat. Oleh karena itu, dalam penulisan KIAN ini, massase abdomen, pemberian posisi defekasi, dan pemberian cairan perlu dilakukan sebagai intervensi utama dalam mengatasi masalah konstipasi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas. 4

18 1.2 Rumusan Masalah Kejadian konstipasi cukup banyak terjadi pada lansia secara global ataupun nasional. Masalah konstipasi memerlukan penanganan yang tepat. Lansia yang tinggal di panti berisiko mengalami konstipasi karena penuaan sistem pencernaan, gaya hidup yang kurang sehat seperti kurang asupan cairan, serat, dan latihan atau aktivitas fisik, serta efek samping obat-obatan. Saat ini sebanyak 30,4% (38 dari 125) lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas mengalami konstipasi. Masalah konstipasi yang tidak tertangani dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia, bahkan dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Massase abdomen, pemberian posisi defekasi, dan pemberian cairan telah diteliti penelitian sebelumnya sehingga direkomendasikan dilakukan dalam penanganan konstipasi termasuk pada lansia. Massase abdomen meningkatkan frekuensi defekasi (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana, 2015). Pemberian posisi defekasi dengan kaki yang ditinggikan menurunkan usaha defekasi yang berlebihan (Sakakibara, et al., 2010). Asupan cairan yang adekuat juga dapat mengatasi konstipasi (NIC, 2013). Berbagai intervensi konstipasi tersebut perlu diperkuat dengan pembuktian (evidence based), salah satunya melalui KIAN ini. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan yang dapat dibuat yaitu apakah massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan dapat mengatasi konstipasi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas?. 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan Umum Memaparkan besarnya masalah kontipasi pada lansia, konsep lansia, konsep konstipasi, dan konsep asuhan keperawatan yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah konstipasi pada lansia, serta memaparkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan terutama tiga intervensi utama pada lansia dengan masalah konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas. 5

19 1.3.2 Tujuan Khusus Teridentifikasinya kondisi kesehatan lansia dengan konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas Teridentifikasinya diagnosis keperawatan pada lansia dengan konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas Tersusunnya rencana asuhan keperawatan pada lansia dengan konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas Terlaksananya intervensi utama atau unggulan dalam mengatasi konstipasi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas Teridentifikasinya hasil evaluasi keperawatan pada lansia dengan konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas. 1.4 Manfaat Penulisan Perkembangan Ilmu Keperawatan Penulisan KIAN ini diharapkan dapat menjadi salah satu tambahan dalam memperkuat praktik keperawatan berdasarkan bukti yaitu intervensi keperawatan dalam mengatasi konstipasi pada lansia melalui massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan, sesuai dengan konsep penelitian yang telah diteliti sebelumnya sehingga ilmu keperawatan mengenai konstipasi pada lansia diharapkan dapat terus berkembang Pelayanan Keperawatan Penulisan KIAN ini diharapkan dapat menjadi salah satu inovasi dalam intervensi keperawatan untuk mengatasi konstipasi pada lansia di tempat pelayanan keperawatan terutama di panti werdha. Dengan kebermanfaatan inovasi intervensi yang telah diteliti pada penelitian sebelumnya dan pada KIAN ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan asuhan keperawatan dalam mengatasi konstipasi pada lansia terutama di panti werdha. 6

20 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada BAB ini, akan dibahas mengenai konsep dan teori lansia, konstipasi, dan asuhan keperawatan dalam mengatasi konstipasi pada lansia. 2.1 Konsep Lansia Definisi Lansia Lansia adalah seseorang yang berusia 65 tahun atau lebih (Potter & Perry, 2005; Kozier, Erb, & Berman, 2011). Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2004) dalam Kementerian Kesehatan RI (2013), di Indonesia, lansia adalah yang berusia 60 tahun ke atas. Selain definisi lansia, pengelompokkan lansia juga berbeda-beda berdasarkan beberapa referensi. Lansia dikelompokkan menjadi lansia awal (65-75 tahun), lansia (75-85 tahun), lansia tua ( tahun), dan lansia akhir (lebih dari 100 tahun) (Kozier, Erb, & Berman, 2011). Sedangkan, berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (1999) dalam BKKBN (2011), lansia dikelompokkan menjadi lansia dini (55-64 tahun), lansia (65 tahun ke atas), dan lansia yang berisiko tinggi (70 tahun ke atas). Berdasarkan WHO (1999) lansia dalam BKKBN (2011), lansia dikelompokkan menjadi lansia (60-74 tahun), lansia tua (75-90 tahun), dan lansia sangat tua (90 tahun ke atas) Teori Penuaan Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak) Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya penumpukan berbagai zat yang tidak berguna dalam tubuh seperti radikal bebas menyebabkan penurunan berbagai fungsi sistem tubuh (Stanley & Beare, 2006). Teori ini juga menjelaskan bahwa tubuh manusia akan mengalami penuaan seiring dengan bertambahnya usia (Kozier, Erb, & Berman, 2011). Kaitan teori ini dengan terjadinya konstipasi pada lansia yaitu dampak penumpukan 7

21 sampah metabolik yakni feses dalam sistem pencernaan lansia dapat menyebabkan konstipasi Teori Neuroendokrin Teori ini menjelaskan bahwa penuaan terjadi karena melambatnya produksi hormon tubuh sehingga persarafan terganggu (Kozier, Erb, & Berman, 2011; Stanley & Beare, 2006). Akibatnya, pemrosesan informasi dan reaksi lansia terhadap rangsangan lebih lambat (Kozier, Erb, & Berman, 2011; Stanley & Beare, 2006). Kaitan teori ini dengan terjadinya konstipasi pada lansia yaitu melambatnya sistem persarafan pada sistem pencernaan lansia menyebabkan konstipasi Teori Kebutuhan Dasar Teori kebutuhan dasar dikemukakan oleh Maslow dan Virginia Henderson. Menurut teori Maslow, kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum merupakan kebutuhan dasar pertama yang harus terpenuhi oleh manusia (Potter & Perry, 2005). Menurut teori Henderson, terdapat empat belas kebutuhan dasar yang harus terpenuhi yang juga mencakup kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan eliminasi (Potter & Perry, 2005). Oleh karena itu, terjadinya konstipasi pada lansia mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar lansia Sistem Pencernaan Lansia dan Perubahannya Sistem pencernaan lansia mengalami beberapa perubahan fisiologis (Potter & Perry, 2005). Proses pencernaan lansia mengalami penurunan (Potter & Perry, 2005). Pada usus halus lansia terjadi penurunan motilitas atau pergerakan usus (Kozier, Erb, & Berman, 2011). Absorbsi zat-zat makanan juga menjadi lebih lambat (Kozier, Erb, & Berman, 2011). Pada usus besar lansia terjadi penurunan elastisitas dinding usus, persepsi otak terhadap penuhnya rektum, tonus otot usus, serta gerak 8

22 peristaltik (Miller, 2012). Selain itu, terjadi penurunan kepekaan saraf, pengosongan usus tidak tuntas, dan ketidakmampuan meneruskan rangsangan untuk defekasi juga terjadi pada sistem pencernaan lansia (Stanley & Beare, 2006). Jumlah neuron pleksus mienterika berkurang dan respon terhadap rangsangan menurun sehingga persarafan mienterika yang berfungsi dalam proses pencernaan tidak berfungsi optimal (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Defekasi terjadi ketika penumpukan feses menyebabkan rektum meregang sehingga merangsang sfingter ani internal untuk melemas dan kolon sigmoid serta rektum berkontraksi, selanjutnya feses dapat dikeluarkan atau defekasi terjadi ketika sfingter ani eksternal juga melemas (Sherwood, 2012). Peregangan rektum menyebabkan rasa ingin defekasi, namun jika defekasi tidak dibutuhkan maka pengencangan pada sfingter ani eksternal dapat mencegah terjadinya defekasi (Sherwood, 2012). Tindakan ini dapat menyebabkan rektum yang meregang menjadi melemas hingga adanya penumpukan kembali feses dalam rektum yang merangsang defekasi kembali (Sherwood, 2012). Oleh karena itu, defekasi merupakan suatu kebutuhan. 2.2 Konsep Konstipasi pada Lansia Definisi Konstipasi Berdasarkan NANDA, konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi pada seseorang yang disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, tidak tuntas, keras, dan kering (Herdman & Kamitsuru, 2014). Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi yang disertai dengan pergerakan feses yang menjadi lebih lambat (Stanley & Beare, 2006). Konstipasi juga didefinisikan sebagai pergerakan feses yang tertunda, kering, dan menumpuk pada usus bagian bawah (Beers & Jones, 2000 dalam Wallace, 2008). 9

23 2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Konstipasi pada Lansia di Perkotaan Penyebab konstipasi pada lansia antara lain obat-obatan; penyakit neuropati dan miopati; idiopatik; anoreksia; dehidrasi; defekasi yang ditahan; diet yang tidak adekuat, rendah serat, tinggi protein, bahkan serat yang berlebihan; hiperglikemi; hipokalemi; hipotiroid; gangguan psikologis; gaya hidup kurang gerak; serta gangguan pada saraf pusat (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Penyalahgunaan obat-obatan narkotik pada lansia di perkotaan menyebabkan konstipasi (Allender, 2011). Jenis obat-obatan lain yang menyebabkan konstipasi pada lansia yaitu antara lain anabolik steroid, analgesik, antiinflamasi nonsteroid, antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, antihipertensi, antiparkinson, diuretik, dan obat-obatan yang mengandung ion logam (Gallegos-Orozco, Foxx- Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Gangguan mobilisasi, pengonsumsian obat pencahar dalam waktu yang lama, serta kurangnya asupan cairan juga menyebabkan konstipasi pada lansia (Miller, 2012). Kebiasaan duduk terus-menerus menyebabkan konstipasi (Anonymous, 2008). Stanley dan Beare (2006) juga menyebutkan bahwa konstipasi pada lansia disebabkan oleh menurunnya kekuatan dan tonus otot. Selain itu, konstipasi pada lansia juga dapat disebabkan karena kurangnya privasi saat defekasi (Wallace, 2008). Menurut Chu, Zhong, Zhang, Zhang, dan Hou (2014), perbedaan kejadian konstipasi di beberapa negara maju diakibatkan karena perbedaan pola diet serat dan tingkat aktivitas fisik Manifestasi Klinis Konstipasi pada Lansia Tanda dan gejala konstipasi yaitu adanya perasaan tidak tuntas terhadap feses yang dikeluarkan (Miller, 2012). Frekuensi normal defekasi pada lansia yaitu setiap tiga hari hingga seminggu sekali atau dua kali, sedangkan pada lansia dengan konstipasi, defekasi terjadi lebih lama dari waktu tersebut (Miller, 2012). Konstipasi juga ditandai dengan 10

24 karakteristik feses yang kering pada lansia (Beers & Jones, 2000 dalam Wallace, 2008) Akibat Konstipasi pada Lansia Impaksi atau feses yang menumpuk dan mengeras dapat disebabkan karena konstipasi, kemudian impaksi feses tersebut dapat mengakibatkan gangguan eliminasi urin berupa inkontinensia ataupun retensi urin (Woodward, Moran, Elliott, Laurens, & Saunders, 2002). Pada lansia, konstipasi menyebabkan gangguan perkemihan akibat dari penumpukan feses pada kolon bagian bawah dan rektum (Ginsberg, Phillips, Wallace, & Josephson, 2007). Konstipasi pada lansia juga menyebabkan gangguan anorektal seperti hemoroid, prolaps rektum, dan volvulus sigmoid (Chu, Zhong, Zhang, Zhang, & Hou, 2014). 2.3 Asuhan Keperawatan Konstipasi pada Lansia Pengkajian Identitas Pasien Identitas atau data demografi mencakup inisial nama, usia, riwayat pendidikan dan pekerjaan, serta alamat tempat tinggal (Widyatuti & Nurviyandari, 2013) Riwayat Kesehatan Riwayat kesehatan meliputi riwayat terdahulu dan saat ini serta riwayat keluarga (Widyatuti & Nurviyandari, 2013). Riwayat kesehatan terdahulu mencakup riwayat pembedahan, riwayat penyakit yang pernah diderita dan riwayat dirawat, serta riwayat obat-obatan yang juga mencakup pengetahuan klien tentang obat, kepatuhan minum obat, dan efek obat yang dirasakan (Stanhope & Knollmueller, 2008). Pengkajian riwayat lansia juga mencakup riwayat sosial (Stanhope & Knollmueller, 2008). Riwayat sosial mencakup sosioekonomi, kemampuan beraktivitas, serta hubungan dengan keluarga dan sesama lansia 11

25 (Stanhope & Knollmueller, 2008). Riwayat konstipasi juga dikaji pada masalah konstipasi (Arenson, et al., 2009) Kebiasaan Sehari-hari Kebiasaan sehari-hari meliputi pola makan, minum, tidur, eliminasi urin dan fekal, aktivitas sehari-hari dan rekreasi (Widyatuti & Nurviyandari, 2013). Pada pengkajian konstipasi, pola eliminasi fekal yang dapat dikaji meliputi frekuensi defekasi, perubahan pada pola defekasi, kesulitan saat defekasi seperti mengedan, karakteristik feses yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan, penggunaan pencahar, serta ada atau tidaknya nyeri dan darah saat defekasi (Miller, 2012) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan menyeluruh mencakup kepala, dada, abdomen, ekstremitas, serta pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan umum, dan tingkat kesadaran (Widyatuti & Nurviyandari, 2013). Pemeriksaan fisik termasuk dalam pengkajian konstipasi pada lansia (Arenson, et al., 2009). Pemeriksaan fisik pada masalah konstipasi dilakukan terhadap abdomen dan rectum (Miller, 2012). Pemeriksaan rektum dilakukan pada posisi miring (Miller, 2012). Pemeriksaan abdomen dilakukan pada posisi supine (Miller, 2012). Pada inspeksi, penemuan distensi abdomen dan jaringan parut akibat tindakan bedah perlu dicatat (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selanjutnya dilakukan auskultasi bising usus untuk mengetahui gerak peristaltik (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Pada pemeriksaan bising usus, diafragma stetoskop digunakan untuk mendengarkan bising usus mulai dari kuadran kanan bawah hingga kuadran kiri bawah abdomen selama minimal 60 detik (Nusyirwan, 2008). Secara normal, pada lansia, dapat terdengar bising usus dengan nilai normal 5-15 kali per menit (Miller, 2012). Bell stetoskop digunakan untuk mendengarkan bunyi vaskuler pada area arteri renalis, iliaka, dan femoralis dengan cara 12

26 meletakkan bell pada area sejajar garis midklavikula di samping aorta di atas umbilikus (Nusyirwan, 2008). Penyumbatan parsial pada usus menghasilkan suara yang gaduh, sedangkan penyumbatan total menghasilkan suara gemerincing dan sangat kencang (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Kemudian dilakukan perkusi hepar untuk memperkirakan ukuran hepar sehingga mengetahui ada atau tidaknya gangguan hepar (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selain itu, dilakukan perkusi di atas organ abdomen untuk mengetahui suara yang dihasilkan yaitu timpani atau dullness yang mana timpani adalah suara normal dan dullness menunjukkan adanya obstruksi (Burger, 2008). Terakhir adalah palpasi. Pada konstipasi, feses mudah dipalpasi namun hasil yang teraba berbeda dengan massa tumor (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Massa abdomen yang tidak dapat digerakkan menandakan tumor gastrointestinal (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selain itu, adanya aneurisme pada aorta abdomen dapat dirasakan seperti adanya denyutan pada massa abdomen, namun denyutan ini dapat dirasakan normal pada lansia dengan tubuh yang kurus (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006) Constipation Scoring System (CSS) Konstipasi dapat juga diidentifikasi melalui Constipation Scoring System (CSS). Pertanyaan dalam CSS mencakup frekuensi defekasi, usaha mengedan, defekasi yang tidak tuntas, nyeri abomen, lama defekasi (menit), bantuan yang digunakan untuk dapat defekasi, tidak dapat defekasi dalam 24 jam, dan riwayat konstipasi dalam setahun (Agachan, et al., 1996 dalam Kristamuliana, 2015). Total skor CSS adalah 30 dimana semakin besar skor, semakin tinggi tingkat keparahan konstipasi yang dialami (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011) Perumusan Diagnosis Berdasarkan NANDA, beberapa diagnosis keperawatan yang dapat ditegakkan dari masalah konstipasi yaitu konstipasi, risiko konstipasi, 13

27 konstipasi kronik fungsional, risiko konstipasi kronik fungsional, dan konstipasi yang dirasakan (perceived constipation) (Herdman & Kamitsuru, 2014). Berdasarkan NANDA, diagnosis konstipasi dapat ditegakkan jika terdapat data antara lain nyeri abdomen, penurunan frekuensi defekasi dan banyaknya feses yang dikeluarkan, feses yang keras, bising usus yang hiperaktif ataupun hipoaktif, tidak dapat defekasi, nyeri saat defekasi, teraba massa abdomen atau rektum, suara dullness pada abdomen, rektum penuh, tekanan pada rektum, dan mengedan saat defekasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko konstipasi didefinisikan sebagai kerentanan mengalami konstipasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi kronik fungsional ditegakkan jika konstipasi telah terjadi selama 3-12 bulan terakhir (Herdman & Kamitsuru, 2014). Konstipasi ini ditandai dengan antara lain adanya 2 gejala pada klasifikasi Rome III yaitu feses keras atau mengedan 25% defekasi; defekasi tidak tuntas atau sensasi adanya penyumbatan pada anorektal 25% defekasi; bantuan manual membantu 25% defekasi atau defekasi 3 kali seminggu (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko konstipasi kronik fungsional didefinisikan sebagai kerentanan mengalami konstipasi kronik fungsional akibat adanya faktor risiko seperti obat-obatan, diet tinggi lemak dan protein, kurang gerak, dan gangguan mobilisasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi yang dirasakan didefinisikan sebagai konstipasi yang didiagnosis oleh diri klien sendiri disertai adanya penggunaan laxatif, enema, atau suppositoria (Herdman & Kamitsuru, 2014) Rencana Intervensi Berdasarkan NIC, intervensi keperawatan dalam mengatasi diagnosis konstipasi meliputi manajemen bowel, latihan bowel, manajemen konstipasi/impaksi, diet, enema, manajemen cairan/eletrolit, manajemen cairan, pemantauan cairan, obat, manajemen nutrisi, dan manajemen 14

28 rektal yang prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen bowel adalah tindakan memelihara pola eliminasi yang teratur (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain mencatat defekasi terakhir, memantau karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi, melaporkan peningkatan atau penurunan bising usus, mengajarkan klien mencatat karakteristik fesesnya, mendorong konsumsi diet tinggi serat dan makanan rendah gas, memberikan air hangat setelah makan, mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal, dan memberikan obat suppositoria ke dalam rektal (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Latihan usus besar adalah tindakan melatih usus untuk defekasi pada waktu yang dijadwalkan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan membuat jadwal defekasi yang konsisten, mengajarkan klien prinsip latihan, mengajarkan olahraga, menjaga privasi defekasi, dan memodifikasi program latihan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen konstipasi/impaksi adalah tindakan mencegah atau mengurangi konstipasi/impaksi (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan mengidentifikasi faktor penyebab dan menjelaskan penyebab konstipasi dan rasional tindakan kepada klien, mengajarkan klien tentang penggunaan laxatif yang sesuai, hubungan diet, olahraga, dan cairan terhadap konstipasi, dan proses pencernaan yang normal, mengevaluasi nutrisi, mengukur berat badan teratur, dan melakukan pengeluaran feses secara manual (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen cairan/eletrolit adalah tindakan mengatur dan mencegah komplikasi kekurangan cairan atau elektrolit (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain 15

29 memantau tanda gejala dehidrasi, memberi cairan yang sesuai, meningkatkan asupan cairan secara oral seperti menyediakan cairan yang diinginkan klien dan mudah dijangkau, mencatat masukan dan haluaran cairan, dan mengontrol kehilangan cairan seperti akibat penggunaan antipiretik (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen cairan juga hampir sama ditambah dengan memantau status hidrasi seperti kelembaban membran mukosa, keadekuatan nadi, dan tekanan darah (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Pemantauan cairan mencakup aktivitas memantau jumlah dan jenis cairan yang dikonsumsi serta memantau tanda perubahan cairan seperti pusing (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Diet staging adalah tindakan membatasi diet (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain mengkaji adanya bising usus dan memberikan diet bertahap hingga diet khusus atau biasa (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen nutrisi adalah tindakan menyediakan nutrisi yang seimbang (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain menentukan status nutrisi dan jenis nutrisi yang dibutuhkan, menyesuaikan diet, dan mengajarkan diet yang dibutuhkan lansia yaitu tinggi serat untuk mengatasi konstipasi. Manajemen rektal yang prolaps adalah tindakan mencegah atau mengurangi prolaps rektum secara manual (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain mengkaji riwayat, mendorong klien menghindari mengedan, mengajarkan untuk teratur dalam diet, olahraga, dan obat, serta mengajarkan posisi saat terjadi prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Dalam intervensi keperawatan pada lansia yang mengalami konstipasi, edukasi kesehatan juga dapat dilakukan. Materi edukasi dapat mencakup diet tinggi serat, menghindari laxatif dan enema, pemilihan obat yang 16

30 meningkatkan defekasi seperti jenis bulk forming seperti psyllium atau methylcellulose, tidak menahan defekasi, serta olahraga teratur (Miller, 2012). Edukasi mengenai pentingnya diet, olahraga, dan toilet training merupakan juga dapat dilakukan pada lansia (Gallegos-Orozco, Foxx- Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012) Intervensi Utama (Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan Pemberian Cairan) Massase Abdomen Massase abdomen adalah tindakan pemijatan pada abdomen. Massase abdomen merupakan salah satu manajemen usus (bowel management) (NHS, 2014). Massase mengurangi konstipasi pada orang dewasa (Wang & Yin, 2015). Massase abdomen meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Massase abdomen dan pemberian posisi defekasi meningkatkan frekuensi defekasi, mempercepat defekasi, dan rasa nyaman saat defekasi (Kristamuliana, 2015). Berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011), pemberian massase abdomen pada klien multiple sclerosis yang mengalami konstipasi dapat meningkatkan frekuensi defekasi. Selain itu, massase abdomen juga meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga mengurangi mengedan (McClurg & Lowe-Strong, 2011). Meskipun demikian, massase abdomen tidak dapat dilakukan pada klien dengan riwayat obstruksi usus maligna, riwayat penyakit inflamasi usus, penyakit Crohn s, atau kolitis ulseratif, spasme kolon pada klien dengan sindrom iritasi usus, cedera saraf tulang belakang yang tidak stabil, dan jaringan parut pada abdomen atau bedah abdomen baru (NHS, 2014). Oleh karena kontraindikasi tersebut, pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan sebelum memberikan massase abdomen untuk memastikan bahwa massase abdomen dapat dilakukan atau tidak. 17

31 Massase abdomen dapat dilakukan selama 15 menit (McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong, 2011). Menurut NHS (2014), dapat juga dilakukan selama menit. Alat dan bahan yang dapat digunakan antara lain sarung tangan bersih, minyak, bantal, dan selimut atau handuk. Menurut Chung dan Choi (2011) dalam Wang dan Yin (2015), aromaterapi pada minyak tidak memberikan efek pada penanganan konstipasi, namun menurut Kim, Sakong, Kim, dan Kim (2005) dalam Wang dan Yin (2015), minyak esensial membantu penanganan konstipasi pada lansia. Minyak bayi atau baby oil merupakan salah satu minyak esensial sehingga dapat digunakan dalam massase abdomen pada lansia. Setelah persiapan diri perawat, alat, dan klien dengan memosisikan klien supine dengan kepala didukung bantal dan selimut untuk menutupi bagian tubuh lain, massase abdomen dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik. Teknik massase abdomen yang dapat digunakan yaitu berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) yang kemudian diaplikasikan dalam penelitian Kristamuliana (2015) terhadap lansia. Teknik tersebut dipilih karena telah diteliti pada pasien dengan multipel sklerosis atau gangguan neurologi yang memiliki kesamaan dengan kondisi penurunan saraf pada lansia sehingga menyebabkan konstipasi. Selain itu, teknik tersebut termasuk yang terkini dan telah banyak digunakan sebagai acuan pada penelitian selanjutnya. Teknik massase abdomen tersebut meliputi (1) melakukan pengusapan pada saraf vagus, dari puncak iliaka hingga ke kedua sisi panggul yaitu pada pangkal paha; (2) melakukan pengusapan pada kolon dari kolon asenden, transversum, hingga desenden dengan tekanan yang semakin meningkat untuk merangsang kontraksi kolon sehingga feses terdorong; (3) melakukan pemerasan pada 18

32 kolon dari asenden, transversum, hingga desenden untuk memecahkan feses; (4) melakukan pengusapan lagi sepanjang kolon kemudian melakukan pengusapan melintang ringan di atas abdomen; serta (5) melakukan vibrasi pada dinding abdomen untuk menghasilkan flatus. Gambar 2.1 Teknik Massase Abdomen (1) (2) (3) (4) (5) 19

33 Sumber: McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011); NHS (2014) Posisi Defekasi Berdasarkan hasil penelitian Kristamuliana (2015), pemberian posisi defekasi dengan menggunakan topangan kursi setinggi 8 inchi pada kaki lansia membantu mengurangi konstipasi pada lansia. Menurut Wallis, et al (2003) dan Wilson (2005) dalam Kristamuliana (2015), ketinggian kursi yang dapat diberikan yaitu 7-9 inchi. Penurunan dasar panggul dengan sudut rektoanal lurus, kontraksi otot abdomen, serta relaksasi otot puborektal dan sfingter anal eksternal diperlukan untuk dapat defekasi secara normal (Leung, Riutta, Kotecha, & Rosser, 2011). Berdasarkan penelitian Sikirov (2003), terjadi pengosongan usus yang lebih cepat dan lebih memuaskan dengan posisi jongkok saat defekasi. Selain itu, posisi jongkok atau posisi duduk dengan panggul difleksikan dapat mengurangi mengedan (Sakakibara, et al., 2010). Hal tersebut dikarenakan posisi defekasi dengan panggul difleksikan akan membuat sudut rektoanal menjadi lurus sehingga mengedan tidak dibutuhkan (Sikirov, 2003). Pada lansia wanita, rektoanal menjadi tidak membuka secara optimal sehingga feses menjadi sulit dikeluarkan (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Defekasi dengan meninggikan kaki pada posisi duduk dapat membantu mengefektifkan penggunaan otot abdomen dan dasar panggul (Woodward, Moran, Ellicott, Lourens, & Saunders, 2002). 20

34 Gambar 2.2 Posisi Defekasi yang Sehat ( Sumber: ( Pemberian Cairan Berdasarkan penelitian Tampubolon (2008), pemberian air dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan membuat lebih cepat terjadi defekasi pada klien konstipasi. Menurut Patel, Patel, Patel, dan Sen (2015), pemberian air hangat secara teratur terutama di pagi hari dapat meningkatkan kerja usus sehingga membantu eliminasi fekal. Meningkatkan asupan cairan dan minum air hangat setelah makan merupakan intervensi keperawatan dalam mengatasi konstipasi (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Pemberian cairan dapat merangsang aktivitas kolon (Wallace, 2008). Konsumsi cairan 1,5-2 liter per hari dapat mencegah konstipasi (Wallis, 2004). Kebutuhan cairan untuk lansia adalah cc/kg berat badan per hari (National Collaborating Center for Acute Care, 2006 dalam Wallace, 2008). Semua jenis cairan kecuali yang mengandung kafein dan pemanis disarankan dalam mengatasi konstipasi pada lansia (Capezuti, Siegler, & Mezey, 2008) Evaluasi Evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan pada lansia yang mengalami konstipasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi 21

35 konstipasi yang dialami, faktor yang menyebabkan konstipasi, serta pola defekasi dan masalah teratasi jika lansia dapat defekasi secara teratur dengan karakteristik feses yang lembut, tanpa mengedan atau rasa tidak nyaman saat defekasi (Miller, 2012). Evaluasi juga dapat dilakukan melalui CSS setelah intervensi selesai (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana (2015) Hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan terhadap konstipasi yaitu hidrasi, eliminasi fekal, respon terhadap medikasi, dan kontrol gejala (Miller, 2012). Berdasarkan NOC, hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan terhadap diagnosis konstipasi yaitu eliminasi fekal dengan indikator keberhasilan yang mencakup peningkatan pola eliminasi fekal, pengontrolan pergerakan usus, jumlah feses sesuai diet, feses lunak dan berbentuk, kemudahan pengeluaran feses, peningkatan tonus sfingter anal, tonus otot untuk mengeluarkan feses, pengeluaran feses tanpa bantuan, dan bising usus meningkat, warna feses dipertahankan, tidak ada lemak, darah, dan lendir pada feses, berkurangnya konstipasi, nyeri saat pengeluaran feses, penggunaan bantuan eliminasi fekal yang berlebihan (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013). Hasil tersebut dapat dievaluasi kembali terhadap intervensi keperawatan yang dilakukan. 2.4 Pelayanan Keperawatan untuk Lansia dengan Konstipasi di Perkotaan Pelayanan Lansia dengan Konstipasi Pelayanan kesehatan untuk lansia meliputi rumah sakit, panti werdha, pelayanan rawat jalan, dan pelayanan rumah (Potter & Perry, 2005). Pelayanan rumah sakit untuk lansia dengan dehidrasi kronik disertai penyakit akut, infeksi, kejadian jatuh, serta penurunan kesadaran (Potter & Perry, 2005). Panti werdha untuk yang mengalami demensia, gangguan mobilisasi dan nutrisi, serta inkontinensia (Potter & Perry, 2005). Pelayanan rawat jalan untuk lansia dengan masalah neurologi, kardiovaskuler, pencernaan, pernapasan, serta depresi (Potter & Perry, 22

36 2005). Masalah konstipasi pada lansia dapat ditangani melalui pelayanan rawat jalan. Pelayanan rumah untuk lansia dengan gangguan fungsi mobilisasi, neurologi, dan kardiovaskuler (Potter & Perry, 2005). Menurut Miller (2012), pelayanan keperawatan untuk lansia antara lain tempat perawatan akut seperti rumah sakit, rumah perawatan (nursing home), perawatan rumah (home care), dan pelayanan komunitas. Rumah perawatan (nursing home) adalah tempat perawatan bagi lansia yang membutuhkan bantuan aktivitas sehari-hari (Miller, 2012). Rumah perawatan juga menyediakan pelayanan keperawatan dan medis, gigi, perawatan kaki, konsultasi kesehatan, serta terapi rehabilitasi (Miller, 2012). Masalah kesehatan yang dapat ditangani di rumah perawatan antara lain stroke, fraktur, gagal jantung kongestif, dan rehabilitasi (Miller, 2012). Masalah konstipasi berkaitan dengan aktivitas seharihari, sehingga rumah perawatan merupakan pelayanan lain yang dapat mengatasi konstipasi pada lansia. Perawatan rumah (home care) merupakan pelayanan keperawatan pada lansia di rumah (Miller, 2012). Pelayanan ini untuk mendukung perawatan akut pada lansia yang membutuhkan perawatan yang terampil untuk jangka waktu yang pendek (Miller, 2012) Peran Perawat dalam Mengatasi Konstipasi Perawat gerontik memiliki peran sebagai pemberi asuhan, pendidik, manajer, advokator, dan peneliti (Mauk, 2010). Selain itu, perawat gerontik juga memiliki peran sebagai konselor, manajer kasus, koordinator pelayanan, dan kolaborator (Mauk, 2010). Untuk dapat mencapai tujuan pencegahan penyakit, promosi dan pemeliharaan kesehatan, perawat gerontik berperan sebagai pendidik, konselor, advokator, dan manajer keperawatan (Stanhope & Lancaster, 2004). Dalam mengatasi konstipasi pada lansia, perawat gerontik memiliki peran sebagai pemberi asuhan, pendidik, advokator, kolaborator, dan peneliti. 23

37 Pemberi Asuhan Keperawatan Sebagai pemberi asuhan, perawat harus mampu memberi asuhan keperawatan langsung terhadap lansia di berbagai tempat pelayanan (Mauk, 2010). Perawat memberikan tindakan keperawatan langsung seperti massase abdomen, pemberian posisi defekasi yang sehat, dan manajemen cairan dalam mengatasi konstipasi pada lansia. Perawat juga harus memahami tentang konsep penyakit, intervensi keperawatan berdasarkan bukti praktik, hingga rehabilitasi. Dalam mengatasi konstipasi pada lansia, perawat perlu memahami konsep sistem pencernaan lansia dan perubahan yang terjadi, konstipasi pada lansia, serta asuhan keperawatan konstipasi pada lansia Pendidik Sebagai pendidik, perawat harus dapat memberi edukasi mengenai berbagai faktor risiko penyakit yang dapat diubah serta penyakit yang sering terjadi pada lansia (Mauk, 2010). Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan edukasi kesehatan kepada lansia mengenai kebiasaan yang dapat menyebabkan konstipasi sehingga lansia dapat menghindari faktor penyebab tersebut. Panti werdha dapat dikategorikan ke dalam bentuk pelayanan nursing home dan perawat memiliki peran untuk mendidik asisten perawat mengenai perawatan lansia (Miller, 2012). Perawat dapat mengajarkan intervensi dalam mengatasi konstipasi pada lansia kepada perawat lainnya, asisten perawat, ataupun petugas lainnya Advokator Sebagai advokator, perawat harus mampu melindungi otonomi dan menguatkan keputusan klien (Mauk, 2010). Perawat dapat mendukung kebutuhan fisiologis lansia untuk mengatasi konstipasi seperti penyediaan diet cukup serat dan asupan cairan yang cukup yang harus dipenuhi oleh tempat pelayanan kesehatan bagi lansia. 24

38 Kolaborator Perawat gerontik juga memiliki peran berkolaborasi (Mauk, 2010). Dalam manajemen konstipasi pada lansia, perawat dapat berkolaborasi tentang program pengobatan lansia yang dapat berdampak pada terjadinya konstipasi pada lansia. Hal tersebut karena penggunaan obatobatan merupakan salah satu penyebab konstipasi pada lansia (Miller, 2012) Peneliti Sebagai peneliti, perawat dituntut untuk melakukan penelitian terkini terkait evidence based praktik keperawatan gerontik (Mauk, 2010). Melalui penelitian, perawat diharapkan terus mengembangkan ilmu keperawatan sehingga berbagai inovasi dalam manajemen konstipasi pada lansia dapat terus berkembang sehingga kualitas pelayanan keperawatan juga berkembang. Selain itu, dalam mengatasi konstipasi, perawat juga berperan dalam berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya, seperti dalam terapi farmakologi. 25

39 BAB 3 ANALISIS KASUS Pada BAB ini, akan dibahas mengenai asuhan keperawatan yang telah dilakukan kepada klien kelolaan dan resume. 3.1 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Pengkajian Identitas Pasien Pengkajian dilakukan pada 9 Mei Klien berinisial nama nenek A dan saat ini berusia 72 tahun. Nenek A beragama islam dan telah menikah, namun saat ini suami nenek A telah meninggal dunia. Pendidikan terakhir nenek A adalah SD. Pekerjaan terakhir nenek A yaitu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Nenek A tinggal di daerah Jakarti Timur. Nenek A dibawa ke panti oleh petugas keamanan. Oleh karena tidak memiliki keluarga ataupun sanak saudara, nenek A tinggal di panti Riwayat Kesehatan Riwayat kesehatan nenek A sebelumnya yaitu sering mengalami pusing di kepala. Nenek A memiliki riwayat katarak, anemia, dan hipertensi. Saat ini nenek A mengeluh susah BAB dengan karakteristik feses yang keras dan sedikit hingga membuat nenek A mengedan. Nenek A memiliki pola defekasi setiap 5 hari sekali, Klien defekasi terakhir pada 4 Mei Gejala konstipasi tersebut mulai dirasakan sejak empat tahun tinggal di panti. Pada riwayat kesehatan keluarga, di keluarga nenek A tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang diturunkan seperti Diabetes Mellitus dan penyakit keganasan. Namun, ada anggota keluarga yang mengalami hipertensi. Nenek A memiliki diagnosis medis hipertensi, anemia, dan Diabetes 26

40 Mellitus yang baru terdiagnosis. Oleh karena itu, nenek A mendapatkan terapi medis berupa captopril 1x2,5 mg, Fe 1x1 tab, dan metformin 1x1 tab yang baru diberikan. Keadaan psikologis nenek A labil yaitu secara umum tenang dan kooperatif, namun mudah emosi jika diperlakukan kasar oleh lansia lain atau petugas. Pengkajian Geriatric Depression Scale (GDS) menghasilkan nilai total 5 dari 15 sehingga nenek A tidak mengalami depresi saat ini. Nenek A merasa dukungan keluarga kurang karena tidak ada yang pernah mengunjungi nenek A selama tinggal di panti. Selain dengan keluarga, hubungan nenek A dengan lansia lainnya terutama penghuni wisma yang sama dan dengan orang lain cukup harmonis Kebiasaan Sehari-hari Nenek A makan tiga kali sehari dan selalu menghabiskan satu porsi makanan. Nenek A makan pada jam 06.00, 12.00, dan WIB. nenek A minum 3-4 gelas sehari atau cc per hari (1 gelas = 240cc) dan hampir setiap hari minum kopi. Pada malam sebelumnya, nenek A tidur pukul WIB dan bangun pukul WIB serta kadang-kadang tidur siang sehingga nenek A tidur ± 9 jam per hari. Nenek A defekasi setiap 5 hari sekali. Nenek A mengeluh feses keras, sedikit, dan sulit dikeluarkan sehingga diperlukan mengedan. Gejala tersebut telah dirasakan berulang selama nenek A tinggal di panti. Saat ini nenek A mengonsumsi obat rutin antihipertensi dan penurun kadar glukosa darah serta vitamin dan zat besi (Fe). Pada satu minggu setelah pengkajian, didapatkan bahwa nenek A juga memiliki Diabetes Mellitus. Nenek A mandi dua kali sehari dengan menggunakan sabun. Nenek A juga menyikat gigi setiap kali mandi. Nenek A juga sering keramas setiap 2-3 hari. 27

41 Aktivitas sehari-hari nenek A hampir sama dengan lansia pada umumnya di panti. Aktivitas sehari-hari nenek A yaitu memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, minum, tidur, dan eliminasi. Nenek A juga mengikuti senam dua kali seminggu dengan menggunakan kursi. Nenek A juga mencuci dan menjemur pakaian sendiri. Nenek A juga mengikuti setiap acara lansia di aula panti. Selain panggung gembira, nenek A mendapatkan hiburan berupa rekreasi ke suatu tempat bersama lansia lainnya dengan petugas panti. Nenek A tidak memiliki aktivitas di sore hari selain duduk-duduk dan mendengarkan radio. Nenek A melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri dan pengkajian barthel index menghasilkan nilai total 95 dari 100 sehingga nenek A memiliki tingkat kemandirian yang mandiri. Nenek A mengalami kerusakan kognitif yang ringan dengan nilai total Mini Mental Status Exam (MMSE) 21, nenek A tidak dapat menulis kalimat dan menyalin gambar karena penglihatan kurang jelas akibat katarak Pemeriksaan Fisik Keadaan umum nenek A bersih, cukup rapi, dan tenang. Tingkat kesadaran nenek A compos mentis dengan Glowcomma Scale (GCS) 15 dari 15. Nenek A memiliki tekanan darah 152/71 mmhg, frekuensi nadi 73 x/menit, frekuensi napas 21 x/menit, dan suhu 35,8 0 C. Nenek A memiliki tinggi badan 148 cm dan berat badan 43 kg sehingga nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) 19,63 kg/m 2 serta LLA 24 cm sehingga memiliki status nutrisi yang normal. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) yaitu 148 mg/dl pada 2 jam setelah makan sehingga glukosa darah masih dalam rentang normal. Kepala nenek A memiliki kulit kepala yang bersih dan sebagian rambut memutih. Konjungtiva mata nenek A sedikit anemis dan 28

42 sklera tidak ikterik. Nenek A mengalami katarak pada mata kanan dan kiri namun mata kanan lebih parah daripada kiri. Nenek A mengatakan daya penglihatan kurang jelas. Hidung dan telinga bersih dan tidak ada sumbatan. Rongga mulut bersih dan sedikit kering. Pada leher nenek A tidak ada pembesaran kelenjar getah bening ataupun tiroid serta fungsi menelan baik. Pengembangan dada nenek A simetris antara thoraks dekstra dan sinistra. Selain itu, tidak ada penggunaan otot bantu napas. Pada auskultasi, terdengar suara napas ronchi kering di anterior paruparu. Pada perkusi terdengar resonan. Selain itu, auskultasi pada jantung terdengar bunyi jantung I dan II normal. Pada pemeriksaan abdomen, tampak sedikit distensi dan otot abdomen tampak kendur, pada auskultasi terdengar bising usus dua kali dalam satu menit, pada perkusi terdengar timpani, serta pada palpasi, abdomen teraba cukup lunak dan tidak teraba massa. Pada pemeriksaan muskuloskeletal, nenek A masih memiliki fungsi muskuloskeletal yang baik yaitu tonus otot baik, kekuatan otot , RPS aktif, barthel indeks 95 dari 100 (mandiri), serta skor Morse Fall Scale (MFS) menghasilkan total nilai 25 sehingga tidak berisiko jatuh Constipation Scoring System (CSS) Berdasarkan Constipation Scoring System (CSS), nenek A memiliki total skor 15 dari 30. Berdasarkan CSS, nenek A mengalami gejala konstipasi yang meliputi frekuensi defekasi 1 kali seminggu, sering mengalami kesulitan saat defekasi (mengedan), sering merasa tidak tuntas setelah defeksi, namun jarang merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama berlangsungnya proses defekasi menit, tidak menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak berhasil 29

43 defekasi dalam 24 jam 1-3 kali, serta riwayat konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali) Analisis Data dan Diagnosis Keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dipaparkan sebelumnya, didapatkan data bahwa secara subjektif, nenek A mengatakan sudah 5 hari tidak bisa BAB, feses sulit keluar dan sedikit. Nenek A mengatakan sering mengalami sulit BAB sejak tinggal di panti. Nenek A memiliki total skor CSS = 17. Nenek A mengatakan aktivitas fisik menurun sejak menua dan tinggal di panti. Namun nenek A masih dapat mengikuti senam dua kali seminggu. Nenek A mengatakan minum 3-4 gelas per hari ( cc/hari) sedangkan kebutuhan cairan nenek A yaitu 43(30-50 cc./hari) atau cc/hari (5-6 gelas per hari). Selain itu, pada pemeriksaan abdomen, tidak tampak distensi abdomen, terdengar bising usus 2 kali per menit, pada perkusi terdengar timpani, serta pada palpasi teraba cukup lunak dan tidak ada massa. Berdasarkan data-data tersebut, masalah atau diagnosis utama pada nenek A adalah konstipasi. Selain konstipasi, nenek A juga memiliki keluahan lain. Nenek A mengatakan sering pusing dan tidak kuat jalan atau melakukan aktivitas yang terlalu berat. Berdasarkan pemeriksaan tanda-tanda vital, didapatkan tekanan darah 152/71 mmhg, frekuensi napas 21 kali per menit, kecepatan nadi 73 kali per menit, dan suhu 35,8 0 C. inspeksi pada mata menunjukkan konjungtiva yang sedikit anemis dan wajah tampak sedikit pucat. Nenek A memiliki riwayat anemia dan hipertensi. Nenek A juga berjalan agak lambat. Berdasarkan hal ini, nenek A mengalami intoleransi aktivitas. Nenek A saat ini juga mengalami ketidakefektifan bersihan jalan napas. Masalah ini didapat dari keluhan batuk dengan sedikit sputum sejak satu minggu lalu. Pada auskultasi paru-paru, juga terdengar suara napas ronchi kering di anterior paru-paru. 30

44 3.1.3 Rencana Intervensi Rencana asuhan keperawatan dibuat berdasarkan panduan NANDA, NOC, dan NIC. Pada diagnosis konstipasi (00011), intervensi yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan eliminasi fekal setelah perawatan selama 4 minggu dengan indikator meliputi pola eliminasi meningkat, feses yang lembut dan berbentuk meningkat, kemudahan mengeluarkan feses meningkat, konstipasi berkurang, dan bising usus normal (5-15 kali per menit) (NOC, 2013). Rencana intervensi yang dilakukan meliputi manajemen bowel, latihan bowel, dan manajemen konstipasi berdasarkan NIC (2013). Manajemen bowel adalah tindakan memelihara pola eliminasi yang teratur (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain mencatat defekasi terakhir; memantau karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi; mengajarkan klien mencatat karakteristik fesesnya; mendorong konsumsi diet tinggi serat; memberikan air hangat setelah makan; dan mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Latihan bowel adalah tindakan melatih usus untuk defekasi pada waktu yang dijadwalkan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan membuat jadwal defekasi; mengajarkan klien prinsip latihan; mengajarkan olahraga; menjaga privasi defekasi; dan memodifikasi program latihan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen konstipasi adalah tindakan mencegah atau mengurangi konstipasi (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan mengidentifikasi faktor penyebab dan menjelaskan penyebab konstipasi dan rasional tindakan kepada klien; mengajarkan klien tentang penggunaan laxatif yang sesuai; hubungan diet, olahraga, dan cairan terhadap konstipasi; dan proses pencernaan yang normal (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). 31

45 Pada diagnosis ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031), intervensi yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan patensi jalan napas setelah perawatan selama 1 minggu dengan indikator meliputi frekuensi napas normal (12-24 kali per menit), kemampuan membersihkan sekret meningkat, suara napas tambahan berkurang (NOC, 2013). Rencana intervensi yang dilakukan yaitu manajemen jalan napas yang meliputi aktivitas seperti memosisikan lansia pada posisi yang memberikan ventilasi maksimal; membantu menghilangkan sekret dengan mendorong batuk; mengajarkan batuk efektif; mengauskultasi suara napas; mencatat daerah penurunan/tidak ada ventilasi dan suara napas tambahan; serta mendorong asupan cairan (NIC, 2013). Pada diagnosis intoleransi aktivitas (00092), intervensi yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan toleransi aktivitas setelah perawatan selama 3 minggu dengan indikator meliputi kemudahan bernapas dengan aktivitas meningkat serta kemudahan melakukan ADL meningkat (NOC, 2013). Rencana intervensi yang dilakukan yaitu terapi latihan: mobilitas sendi yang meliputi aktivitas melindungi lansia dari trauma selama latihan; mengoptimalkan posisi tubuh untuk pergerakan sendi aktif; mendorong latihan RPS secara teratur, terencana, dan terjadwal; mengajarkan lansia cara melakukan RPS secara sistematis; membantu pergerakan sendi ritmik dan teratur dalam keterbatasan terhadap nyeri, ketahanan, dan mobilisasi; mendorong ambulasi; serta memberikan penguatan positif untuk melakukan latihan (NIC, 2013) Implementasi Ketiga bentuk intervensi yaitu massase abdomen, pemberian posisi defekasi, dan pemberian cairan diupayakan dilakukan bersamaan dalam mengatasi konstipasi pada klien sejak 10 Mei Pada saat pengkajian, kebutuhan cairan klien per hari dihitung sebelum dilakukan intervensi, yaitu cc/kgbb sehingga kebutuhan cairan klien yaitu cc/hari atau 5-6 gelas biasa/hari. Kemudian, dibuat jadwal 32

46 minum dan klien dimotivasi untuk langsung minum setelah bangun tidur dan minum air hangat setelah makan serta sisanya sesuai kebutuhan cairan harian klien. Pemberian minum air hangat juga diberikan sebelum dan setelah massase abdomen. Kemudian massase dilakukan pada waktu yang sama di setiap harinya dengan menggunakan teknik massase abdomen McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011). Massase abdomen dilakukan selama 15 hari dengan durasi setiap kali massase selama ± 15 menit sehingga terdapat pengulangan 3-4 kali massase. Sebelum dan setelah dilakukan massase abdomen, bising usus klien didengarkan selama satu menit di kuadran kanan bawah abdomen. Bising usus tidak didengarkan pada hari pertama dan kedua intervensi karena perubahan metode intervensi. Setelah massase abdomen, klien dibawa ke toilet untuk melakukan posisi defekasi yaitu posisi duduk dan kaki ditopang dengan kursi setinggi 8 inchi, sehingga sistem pencernaan klien dikondisikan mengalami eliminasi secara terjadwal. Namun, posisi defekasi tidak dilakukan setiap kali setelah massase dikarenakan kondisi klien yang tidak memungkinkan. Posisi defekasi diberikan 1-3 kali setiap minggu selanjutnya klien dimotivasi untuk mengaplikasikan saat defekasi. Kursi disediakan di depan toilet klien. Selanjutnya klien dimotivasi untuk menggunakan posisi defekasi tersebut setiap kali defekasi. Selain ketiga intervensi utama tersebut, manajemen konstipasi lainnya juga dilakukan untuk mendukung intervensi utama seperti edukasi kesehatan mengenai konstipasi pada lansia sebelum dilakukannya intervensi. Kemudian, menganjurkan dan memantau asupan diet tinggi serat klien. Selain itu, klien dimotivasi dan dibantu dalam melakukan latihan fisik berupa senam rutin dua kali seminggu serta mengajarkan latihan mengayuh sepeda di tempat tidur. Klien juga diedukasi untuk tidak menahan defekasi dan defekasi secara terjadwal. 33

47 Implementasi lainnya juga dilakukan untuk mengatasi diagnosis keperawatan kedua dan ketiga. Untuk mengatasi diagnosis intoleransi aktivitas, tanda-tanda vital klien dipantau dari buku catatan tanda-tanda vital di panti dan kadang diperiksa sendiri oleh penulis. Selain itu, aktivitas sehari-hari terutama mobilisasi, makan, dan minum juga dibantu. Klien juga dimotivasi dan dibantu mengikuti senam secara rutin di panti. Obat-obatan seperti asam folat dan antihipertensi klien yang harus diminum setiap hari dipantau dan kadang dibantu untuk minum obat. Klien juga dimotivasi untuk makan dan minum yang adekuat. Untuk diagnosis ketidakefektifan bersihan jalan napas, klien dibantu minum air hangat yang cukup dan dibantu menjaga kebersihan tempat tidur. Klien juga dimotivasi untuk makan yang adekuat. Klien diajarkan tarik napas dalam dan batuk efektif satu kali Evaluasi Klien mengalami penurunan tingkat keparahan konstipasi. Nilai CSS menurun dari 15 menjadi 6 pada pertemuan terakhir. Berdasarkan CSS, nenek A mengalami penurunan keparahan konstipasi yang meliputi frekuensi defekasi 3-4 kali seminggu, jarang mengalami kesulitan saat defekasi (mengedan), jarang merasa tidak tuntas setelah defeksi, tidak merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama berlangsungnya proses defekasi menit, tidak menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak pernah tidak berhasil defekasi dalam 24 jam, serta riwayat konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali). Pada minggu pertama, didapatkan hasil berupa terjadinya defekasi yaitu 2 hari setelah intervensi pertama atau pada tanggal 12 Mei 2016 sehingga klien defekasi tujuh hari kemudian. Pada defekasi hari tersebut, karakteristik feses dan defekasi klien yaitu defekasi satu kali di sore hari dengan feses berwarna cokelat gelap, sedikit, tidak sekeras sebelumnya dan tidak membuat klien mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. 34

48 Bising usus klien tercatat tidak mengalami perbaikan yang signifikan yaitu setelah intervensi bising usus berubah menjadi 3-10 kali per menit sedangkan nilai normal bising usus pada lansia yaitu 5-15 kali per menit. Pada minggu kedua, frekuensi defekasi klien juga tidak mengalami perubahan yang signifikan yaitu masih satu kali dalam seminggu. Karakteristik feses juga masih sama dengan minggu pertama, yaitu feses berwarna cokelat gelap, sedikit, tidak sekeras sebelumnya dan tidak membuat klien terlalu mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Meskipun demikian, bising usus tercatat mengalami perbaikan setelah intervensi yaitu 5-10 kali per menit (dalam rentang normal). Jumlah feses yang sedikit berkaitan dengan kurangnya makanan yang konsumsi klien. Pada minggu ketiga tidak dilakukan massase abdomen. Hal ini dilakukan karena klien sedang dalam tahap pemulihan pasca operasi katarak pada tanggal 21 Mei Menurut dokter setempat, selama satu minggu atau sebelum konsul satu minggu setelahnya, klien dilarang untuk dilakukan stimulasi pada seluruh bagian tubuh. Hal ini kemungkinan bertujuan untuk menghindari terjadinya valsava maneuver sehingga dapat menimbulkan penekanan pada mata, sedangkan karakteristik feses saat defekasi satu hari setelah operasi yaitu pada 22 Mei 2016, klien mengalami defekasi dengan karakteristik feses yang cair dan tidak tertahan. Namun, posisi defekasi dan pemberian cairan pada waktu yang telah terjadwal tetap dilakukan, dengan posisi defekasi yang diberikan yaitu sebanyak 2 kali dan selanjutnya hanya diberi motivasi. Selanjutnya, pada 23 Mei 2016 klien kembali mengalami defekasi dengan karakteristik feses yang lunak dan mudah dikeluarkan sehingga tidak diperlukan mengedan. Pada minggu ini tidak dilakukan pemantauan bising usus. 35

49 Pada minggu keempat atau setelah 10 kali melakukan ketiga intervensi utama secara bersamaan, tampak perubahan yang signifikan pada pola defekasi atau eliminasi fekal klien. Pada tanggal 1 Juni 2016 sore, klien defekasi kembali dengan karakteristik feses lebih banyak dan klien merasa lebih lampias dalam defekasi, warna feses sedikit cokelat gelap, lebih lunak, dan tidak membuat klien mengedan serta tidak ada darah ataupun nyeri. Kemudian, pada tanggal 3 Juni 2016 pagi, klien kembali defekasi dengan karakteristik feses banyak, mudah dikeluarkan, dan tidak mengedan serta berwarna sedikit cokelat gelap namun tidak ada darah ataupun nyeri. Selain itu, pada 4 Juni 2016 pagi, klien defekasi kembali dengan karakterstik feses cukup banyak, mudah dikeluarkan, dan tidak mengedan serta warna feses sedikit cokelat gelap namun tidak ada darah ataupun nyeri. Namun, bising usus mengalami penurunan menjadi 2-6 kali per menit. Pada satu minggu setelah intervensi, klien mengalami 4 kali defekasi. Pada 6 Juni 2016, klien defekasi setelah sahur dengan karakteristik feses yang cair. Kemudian, pada 9 Juni 2016, klien kembali defekasi dengan karakteristik feses yang berbentuk panjang 3 kali, berwarna sedikit cokelat gelap, tidak terlalu bau, tidak ada darah, dan tidak mengedan. Pada 10 dan 11 Juni 2016, klien defekasi kembali dengan karakteristik feses dan defekasi yang sama dengan hari sebelumnya. Bising usus tercatat 8 kali per menit pada kuadran kanan bawah (dalam rentang normal). Tabel 3.1 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek A selama 6 Minggu Minggu Ke- 1 minggu sebelum Waktu Defekasi 4 Mei Mei 2016 Karakteristik Feses Keras, sedikit, tidak tuntas, cokelat gelap, tidak ada darah Cokelat gelap, sedikit, tidak sekeras Karakteristik Defekasi Mengedan, kadang nyeri Tidak mengedan, tidak nyeri Bising Usus Sebelum Setelah massase massase 2 x/menit x/menit 3-10 x/ menit 36

50 Minggu Ke- Waktu Defekasi 2 22 Mei Mei Juni Juni 2016 Karakteristik Feses Karakteristik Defekasi Bising Usus Sebelum massase Setelah massase sebelumnya, tidak ada darah Cair Tidak tertahan x/ x/menit menit Lunak dan mudah Tidak mengedan - - dikeluarkan Lebih banyak, Lebih lampias, x/ cokelat gelap, lebih tidak mengedan, x/menit menit lunak, tidak ada tidak nyeri darah Banyak, mudah dikeluarkan, sedikit cokelat gelap, tidak ada darah Tidak mengedan, tidak nyeri 1 minggu setelah (terminasi) 4 Juni Juni Juni 2016 Cukup banyak, mudah dikeluarkan, sedikit cokelat gelap, tidak ada darah Cair Berbentuk panjang 3 kali, sedikit cokelat gelap, tidak terlalu bau, tidak ada darah Tidak mengedan, tidak nyeri Tidak tertahan Tidak mengedan, tidak nyeri - 8 x/ menit 10 Juni Juni 2016 Berbentuk, panjang sedikit cokelat gelap, tidak ada darah Berbentuk, sedikit cokelat gelap, tidak ada darah Tidak mengedan, tidak nyeri Tidak mengedan, tidak nyeri Tabel 3.1 menunjukkan perkembangan frekuensi defekasi, karakteristik feses dan defekasi, serta bising usus pada sebelum dan setelah massase abdomen. Berdasarkan tabel, frekuensi defekasi dan bising usus meningkat signifikan pada minggu terminasi. Karakteristik feses dan defekasi juga mengalami perbaikan mulai minggu ketiga intervensi. 37

51 Grafik 3.1 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek A selama 6 Minggu FREKUENSI DEFEKASI FREKUENSI DEFEKASI PER MINGGU Mg-1 1 Mg 2 1 Mg 3 2 Mg 4 3 Mg 5 4 Mg+1 6 MINGGU (Mg) KE- Grafik 3.1 menunjukan adanya peningkatan frekuensi defekasi pada nenek A sejak minggu keempat intervensi. Grafik 3.2 Perkembangan Bising Usus Nenek A selama 15 kali Massase Abdomen 15 BISING USUS NENEK A SEBELUM DAN SETELAH MASSASE ABDOMEN BISING USUS A Sebelum A Setelah MASSASE KE- Grafik 3.2 menunjukan tidak adanya perbaikan yang signifikan pada bising usus nenek A dari hari ke hari selama massase abdomen. Namun, mulai massase abdomen ke-9 hingga 15 bising usus setelah massase secara konsisten lebih tinggi daripada sebelum massase. Evaluasi terhadap dua diagnosis lainnya juga dilakukan. Secara umum, klien masih dapat toleransi dengan aktivitas sehari-hari yang biasa dijalani, namun pada minggu kedua klien sering mengeluh pusing. Tekanan darah dalam rentang /70 mmhg, kulit tidak teraba 38

52 hangat, dan tidak ada keluhan pernapasan. Pada minggu kedua, klien mengeluh pusing sehingga tidak kuat melaksanakan seluruh gerakan senam. Selain itu, pada minggu kedua, klien masih mengalami batuk sehingga ketidakefektifan bersihan jalan napas belum selesai diintervensi. Namun, masalah tersebut tidak lagi dirasakan lansia pada minggu berikutnya. 3.2 Asuhan Keperawatan Klien Resume Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan Identitas Pasien Klien resume 1 adalah nenek F (72 tahun) Riwayat Kesehatan dan Kebiasaan Sehari-Hari Nenek F mengalami konstipasi dengan gejala frekuensi defekasi menurun, karakteristik feses yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan, mengedan saat defekasi, serta bising usus hipoaktif (kurang dari 5 kali per menit. Nenek F mengonsumsi obat antihipertensi secara rutin. Klien juga memiliki riwayat asma sejak muda dan pemeriksaan thoraks didapatkan suara napas mengi dan penggunaan otot bantu napas Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi tampak distensi abdomen, pada auskultas bising usus kurang dari 5 kali per menit, pada palpasi tidak ada massa, dan perkusi timpani. Nenek F memiliki fungsi kognitif yang baik, yaitu dengan nilai MMSE 25 dan tidak depresi, yaitu dengan nilai GDS 5. Nenek F mengalami kelemahan pada kedua kaki dengan kekuatan otot , RPS aktif asistif, skor MFS 65 (risiko tinggi jatuh). Nenek F memiliki tingkat ketergantungan parsial dengan barthel index 70 (parsial) dan memiliki status gizi obesitas (BB = 69, TB = 155 cm, IMT = 30,67 kg/m 2 ). Hasil pemeriksaan tanda-tanda 39

53 vital yang didapatkan yaitu suhu 36,8 0 C, nadi 69 kali per menit, tekanan darah 151/82 mmhg, dan pernapasan 20 kali per menit Constipation Scoring System (CSS) Nenek F memiliki total skor CSS yaitu 16. Berdasarkan CSS, nenek F mengalami gejala konstipasi yang meliputi frekuensi defekasi 1 kali seminggu, selalu mengalami kesulitan saat defekasi (mengedan), sering merasa tidak tuntas setelah defeksi, namun jarang merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama berlangsungnya proses defekasi menit, tidak menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak berhasil defekasi dalam 24 jam 1-3 kali, serta riwayat konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali). Dari data pengkajian, didapatkan masalah atau diagnosis keperawatan konstipasi, gangguan pola napas, dan risiko jatuh Rencana Intervensi Rencana intervensi yang dilakukan pada klien resume 1 untuk mengatasi diagnosis konstipasi sama dengan klien kelolaan, yaitu manajemen konstipasi (0450), dengan hasil yang diharapkan yaitu bowel elimination (0501). Untuk mengatasi gangguan pola napas, rencana intervensi yang dilakukan yaitu positioning (0840) dan memantau pernapasan (3350), dengan hasil yang diharapkan yaitu status pernapasan (0415). Untuk mengatasi risiko jatuh, rencana intervensi yang dilakukan yaitu pencegahan jatuh (6490), dengan hasil yang diharapkan yaitu kejadian jatuh (1912) Implementasi Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi konstipasi pada nenek F sama dengan pada klien kelolaan, namun ketiga intervensi utama yaitu 40

54 massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan dilakukan hanya selama 13 hari sejak 10 Mei Bising usus juga tidak didengarkan pada hari pertama dan kedua intervensi karena perubahan metode intervensi. Singkatnya waktu intervensi dikarena ketiga intervensi tidak dapat dilaksanakan rutin secara bersamaan. Pada minggu kedua intervensi utama tidak dilakukan setiap hari dikarenakan kondisi klien yang tidak memungkinkan. Tahapan intervensi utama yang dilakukan juga sama dengan klien kelolaan. Hambatan mobilisasi dan adanya konflik internal dengan lansia lain dalam satu kamar menyebabkan kurangnya penerapan posisi defekasi secara mandiri tanpa didampingi penulis saat defekasi di waktu-waktu yang tidak terjangkau penulis. Pemberian posisi defekasi juga menjadi sedikit disbanding lansia lainnya, yaitu 1-2 kali seminggu dan selanjutnya hanya dimotivasi. Penerapan minum sesuai kebutuhan cairan klien juga mengalami hambatan karena kurangnya motivasi pada klien, yaitu kebutuhan cairan klien minimal 30(69) cc/hari atau 2070 cc/hari atau 8 gelas/hari, namun kadang-kadang klien hanya mampu minum sebanyak 6-7 gelas per hari. Manajemen konstipasi lainnya seperti edukasi kesehatan tentang konstipasi, membantu senam, mengajarkan latihan rentang pergerakan sendi dan mengayuh sepeda, dan mendorong asupan diet tinggi serat juga dilakukan untuk mendukung ketiga intervensi utama. Pada diagnosis keperawatan lainnya yaitu gangguan pola napas dan risiko jatuh juga dilakukan intervensi untuk membantu mengatasinya. Pada gangguan pola napas, klien diberikan posisi semifowler dan diajarkan posisi tripod ketika gejala asma kambuh. Klien juga dibantu dan didorong untuk menjaga kebersihan tempat tidur. Setiap intervensi, status pernapasan klien juga diobservasi. Pada risiko jatuh, klien diajarkan latihan rentang pergerakan sendi dan dibantu untuk mengikuti senam rutin di panti. Pada saat terminasi, penulis mendelegasikan ke 41

55 mahasiswa keperawatan selanjutnya untuk mengajarkan penggunaan alat bantu jalan Evaluasi Klien juga mengalami penurunan tingkat keparahan konstipasi. Nilai CSS menurun dari 16 menjadi 9 pada pertemuan terakhir. Berdasarkan CSS, nenek F memiliki frekuensi defekasi 1-2 kali seminggu, kadangkadang mengalami kesulitan saat defekasi (mengedan), kadang-kadang merasa tidak tuntas setelah defeksi, tidak merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama berlangsungnya proses defekasi menit, tidak menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak pernah tidak berhasil defekasi dalam 24 jam, serta riwayat konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali). Pada minggu pertama, beberapa jam setelah intervensi pertama, tanggal 10 Mei 2016, klien dapat defekasi dengan karakteristik feses berwarna kuning, berbentuk lonjong, masih keras dan sedikit, sehingga diperlukan mengedan, namun tidak ada darah atau nyeri. Defekasi selanjutnya terjadi pada 15 Mei 2016 sore dengan karakteristik feses berwarna hijau, lebih banyak dari biasa, feses yang keras dan mengedan berkurang. Bising usus setelah intervensi telah mengalami perbaikan, yaitu 4-5 kali per menit. Pada minggu kedua, klien kembali mengalami defekasi sebanyak satu kali dalam seminggu. Klien defekasi pada 22 Mei 2016 dengan karakteristik feses keras dan sedikit yang keluar, berwarna kehijauan, mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Namun, bising usus pada minggu kedua mengalami perbaikan yang cukup signifikan yaitu 5-10 kali per menit. Pada minggu ketiga, klien dapat defekasi kembali pada 28 Mei 2016 dan 29 Juni 2016 dengan karakteristik yang sama yaitu kehijauan, cukup 42

56 banyak, dan cukup lancar. Bising usus pada minggu ketiga sebanyak 4-7 kali per menit. Pada minggu keempat, klien masih defekasi sebanyak dua kali pada 3 dan 4 Juni 2016 dengan karaktistik yang hampir sama yaitu feses berwarna kehijauan, cukup banyak dari biasanya, cukup lancar, masih sedikit mengedan, dan tidak nyeri. Pada minggu keempat, massase abdomen dan pemantauan bising usus sudah tidak dilakukan. Pada minggu terminasi, klien defekasi sebanyak dua kali. Karakteristik feses dan defekasi pada 9 Juni 2016 yaitu feses cukup lunak, berbentuk, berwarna kehijauan, tidak ada darah, masih sedikit mengedan namun tidak nyeri. Pada 10 Juni 2016, klien defekasi dengan karakteristik feses yang cair. Bising usus pada minggu terminasi telah mencapai rentang normal yaitu 5 kali per menit. Tabel 3.2 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek F selama 6 Minggu Minggu Ke- 1 minggu sebelum Waktu Defekasi 7 Mei Mei 2016 Karakteristik Feses Keras, sedikit, tidak tuntas, kecil-kecil seperti bakso, tidak ada darah Kuning, lonjong, keras, sedikit, tidak ada darah Karakteristik Defekasi Mengedan, kadang nyeri Mengedan, tidak nyeri Bising Usus Sebelum Setelah massase massase 2 x/menit x/menit 4-5 x/ menit 15 Mei Mei Mei 2016 Hijau, lebih banyak dari biasa, feses yang keras berkurang, tidak ada darah Keras, sedikit, kehijauan, tidak ada darah Kehijauan, lebih banyak dari biasanya, lebih lancar Mengedan, tidak nyeri Mengedan, tidak nyeri Sedikit mengedan, tidak nyeri 3-10 x/menit 1-5 x/menit 5-10 x/ menit 4-7 x/ menit 29 Mei Kehijauan, cukup Sedikit 43

57 Minggu Ke- Waktu Defekasi Karakteristik Feses 2016 banyak, cukup lancar 4 3 Juni Kehijauan, cukup 2016 lancar, cukup banyak Karakteristik Defekasi mengedan, tidak nyeri Sedikit mengedan, tidak nyeri Bising Usus Sebelum massase - - Setelah massase 1 minggu setelah (terminasi) 4 Juni Juni 2016 Kehijauan, cukup banyak, cukup lancar Cukup lunak, berbentuk, kehijauan, tidak ada darah Sedikit mengedan, tidak nyeri Sedikit mengedan, tidak nyeri - 5 x/ menit 10 Juni 2016 Cair, cokelat Tidak mengedan, tidak nyeri Berdasarkan tabel 3.2, frekuensi defekasi dan bising usus meningkat pada minggu terminasi, namun tidak signifikan. Karakteristik feses dan defekasi juga mengalami perbaikan mulai minggu keempat intervensi. Grafik 3.3 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek F selama 6 Minggu FREKUENSI DEFEKASI 2,5 2 1,5 1 0,5 0 FREKUENSI DEFEKASI PER MINGGU Mg-1 1 Mg 2 1 Mg 3 2 Mg 4 3 Mg 5 4 Mg+1 6 MINGGU (Mg) KE- Berdasarkan grafik 3.3, frekuensi defekasi nenek F tidak menunjukkan perbaikan konstipasi yang signifikan selama 6 minggu. 44

58 Grafik 3.4 Perkembangan Bising Usus Nenek F selama 13 Kali Massase Abdomen BISING USUS BISING USUS NENEK F SEBELUM DAN SETELAH MASSASE ABDOMEN F Sebelum F Setelah MASSASE KE- Berdasarkan grafik 3.4, tidak terdapat perbaikan yang signifikan pada bising usus dari hari ke hari selama massase abdomen. Namun, mulai massase abdomen ke-8 hingga 13 bising usus setelah massase secara konsisten lebih tinggi daripada sebelum massase. Evaluasi terhadap intervensi pada diagnosis lainnya yaitu pada gangguan pola napas, klien dapat memperagakan kembali cara posisi semifowler dan tripod, frekuensi napas 24 kali per menit dan masih terdapat penggunaan otot bantu napas. Pada risiko jatuh, tidak terjadi kejadian jatuh selama minggu-minggu intervensi, namun skor MFS masih sama dan belum terdapat perubahan dalam mobilisasi. 3.3 Asuhan Keperawatan Klien Resume Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan Identitas Pasien Klien resume 2 adalah nenek E (89 tahun) Riwayat Kesehatan dan Kebiasaan Sehari-Hari Klien resume ini memiliki kriteria yang sama yaitu mengalami konstipasi (frekuensi defekasi menurun, karakteristik feses yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan, mengedan saat defekasi, 45

59 serta bising usus hipoaktif (kurang dari 5 kali per menit)). Nenek E tidak mengonsumsi obat rutin Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi tidak tampak distensi abdomen, pada auskultas bising usus kurang dari 5 kali per menit, pada palpasi tidak ada massa, dan perkusi timpani. Klien memiliki fungsi kognitif yang cukup baik, yaitu dengan nilai MMSE 26 dan tidak depresi, yaitu dengan nilai GDS 5. Nenek E memiliki kekuatan otot , RPS aktif, barthel indeks 75 (mandiri), skor MFS 65 (risiko tinggi jatuh). Nenek E memiliki status gizi normal (BB = 45, TB = 148 cm, IMT = 20,55 kg/m 2 ). Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital yang didapatkan yaitu suhu 36,8 0 C, nadi 72 kali per menit, tekanan darah 100/70 mmhg, dan pernapasan 24 kali per menit. Klien sering mengalami kesemutan pada jari-jari ekstremitas dan asam urat 7,5 mg/dl Constipation Scoring System (CSS) Nenek F memiliki total skor CSS yaitu 17. Berdasarkan CSS, nenek E mengalami gejala konstipasi yang meliputi frekuensi defekasi 1 kali seminggu, selalu mengalami kesulitan saat defekasi (mengedan), selalu merasa tidak tuntas setelah defeksi, namun jarang merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama berlangsungnya proses defekasi menit, tidak menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak berhasil defekasi dalam 24 jam 1-3 kali, serta riwayat konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali). Dari data pengkajian, didapatkan masalah atau diagnosis keperawatan konstipasi, gangguan rasa nyaman, dan risiko jatuh. 46

60 3.3.2 Rencana Intervensi Rencana intervensi yang dilakukan pada klien resume 2 untuk mengatasi diagnosis konstipasi juga sama dengan klien kelolaan, yaitu manajemen konstipasi (0450), dengan hasil yang diharapkan yaitu bowel elimination (0501). Untuk mengatasi gangguan rasa nyaman, rencana intervensi yang dilakukan yaitu positioning (0840) dan pain management (1400), dengan hasil yang diharapkan yaitu pain level (2102). Untuk mengatasi risiko jatuh, rencana intervensi yang dilakukan juga sama dengan klien resume 1 yaitu pencegahan jatuh (6490), dengan hasil yang diharapkan yaitu kejadian jatuh (1912) Implementasi Ketiga intervensi utama yaitu massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan juga dilakukan dengan tahapan yang sama kepada nenek E. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan harian, yaitu 45(30-35) cc/hari atau cc/hari atau 5-6 gelas per hari. Implementasi dimulai lebih terlambat daripada klien lainnya, yaitu sejak 13 Mei 2016 sehingga lama pemberian ketiga intervensi utama lebih singkat dibandingkan dengan klien lainnya, yaitu hanya selama 12 hari. Pemberian posisi defekasi dilakukan sebanyak 1-2 kali selama intervensi. Nenek E juga memiliki motivasi rendah untuk melakukan posisi defekasi setelah massase karena khawatir jatuh, sehingga klien lebih banyak dimotivasi untuk mengaplikasikan secara mandiri. Pada minggu kedua dan ketiga intervensi juga tidak dilakukan berkelanjutan setiap hari dikarenakan kondisi klien yang tidak memungkinkan seperti adanya kegiatan keagamaan di panti yang tidak dapat ditinggalkan. Intervensi lain yang mendukung ketiga intervensi utama untuk mengatasi konstipasi juga dilakukan, yaitu sama dengan pada klien resume 1. Untuk mengatasi gangguan rasa nyaman, pada klien dilakukan kompres hangat di kepala dan ektremitas dan memberikan posisi tidur yang nyaman. Untuk mengatasi risiko jatuh, klien diajarkan latihan 47

61 pergerakan sendi dan memotivasi mengikuti senam secara rutin, serta mengedukasi tentang penggunaan lingkungan yang aman Evaluasi Klien juga mengalami penurunan keparahan konstipasi. Nilai CSS menurun dari 16 menjadi 7. Berdasarkan CSS, nenek E memiliki frekuensi defekasi 3-4 kali seminggu, kadang-kadang mengalami kesulitan saat defekasi (mengedan), kadang-kadang merasa tidak tuntas setelah defeksi, tidak merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama berlangsungnya proses defekasi menit, tidak menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak pernah tidak berhasil defekasi dalam 24 jam, serta riwayat konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali). Pada minggu pertama, klien tidak mengalami perubahan pola defekasi. Klien defekasi pada 15 Mei 2016 dengan karakteristik feses sedikit keras dan sedikit yang keluar, warna kuning pucat, mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Bising usus juga belum mengalami perbaikan yaitu 1-5 kali per menit. Pada minggu kedua, klien defekasi pada 17 Mei 2016 dengan karakteristik feses lebih banyak dari biasanya, namun masih agak keras dan sedikit mengedan. Bising usus pada minggu kedua bervariasi, yaitu 2-10 kali per menit. Pada minggu ketiga, defekasi selanjutnya terjadi pada 24 Mei 2016 dengan karakteristik feses lunak dan banyak serta tidak mengedan. Kemudian, klien dapat defekasi kembali pada 28 Mei 2016 dengan karakteristik feses yang cukup banyak, warna kekuningan, dan tidak mengedan. Namun, bising usus mengalami penurunan yang signifikan yaitu menjadi 4 kali per menit. 48

62 Pada minggu terminasi, klien dapat defekasi sebanyak 3 kali seminggu yaitu pada 6, 7, dan 9 Juni Karakteristik defekasi dan feses pada minggu 6 Juni 2016 yaitu tidak begitu keras, warna cokelat, banyak, tidak berbau, tidak mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Pada 7 dan 9 Juni 2016, karakteristik defekasi dan feses sama dengan beberapa hari sebelumnya namun feses berwarna keabuan. Namun, bising usus di bawah rentang normal, yaitu 4 kali per menit. Hasil pengkajian CSS kembali, yaitu pada nenek E total skor menurun menjadi 4 sehingga keparahan konstipasi berkurang. Tabel 3.3 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek E selama 6 Minggu Minggu ke- 1 minggu sebelum Waktu Defekasi 8 Mei Mei Mei Mei Mei Juni 2016 Karakteristik feses Keras, sedikit, tidak ada darah Sedikit keras dan sedikit yang keluar, warna kuning pucat, tidak ada darah Hijau, lebih banyak dari biasa, feses yang keras berkurang, tidak ada darah Lebih banyak dari biasanya, masih agak keras Lunak dan banyak Cukp lunak, cukup banyak, kekuningan Kehijauan, cukup lancar, cukup banyak Karakteristik defekasi Kadang tidak keluar, mengedan, kadang nyeri Mengedan, tidak nyeri Mengedan, tidak nyeri Sedikit mengedan, tidak nyeri Tidak mengedan, tidak nyeri Tidak mengedan, tidak nyeri Tidak mengedan, tidak nyeri Bising usus Sebelum Setelah massase massase 2 x/menit x/menit 2-6 x/menit 1-5 x/ menit 2-10 x/ menit 1 x/menit 4 x/menit Juni 2016 Kehijauan, cukup banyak, cukup Tidak mengedan, tidak 49

63 Minggu ke- 1 minggu setelah (terminasi) Waktu Defekasi 6 Juni 2016 Karakteristik feses lancar Tidak begitu keras, cokelat, banyak, tidak berbau, ada darah Karakteristik defekasi nyeri Tidak mengedan, tidak nyeri Bising usus Sebelum massase Setelah massase - 4 x/ menit 7 Juni Juni 2016 Tidak begitu keras, cokelat, banyak, tidak berbau, keabuan Tidak begitu keras, cokelat, banyak, tidak berbau, keabuan, Tidak mengedan, tidak nyeri Tidak mengedan, tidak nyeri Berdasarkan tabel 3.3, frekuensi defekasi, karakteristik feses dan defekasi mengalami perbaikan yang signifikan saat minggu terminasi. Namun, bising usus masih di bawah nilai normal. Grafik 3.5 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek E selama 6 Minggu FREKUENSI DEFEKASI FREKUENSI DEFEKASI PER MINGGU Mg-1 1 Mg 2 1 Mg 3 2 Mg 4 3 Mg 5 4 Mg+1 6 MINGGU (Mg KE-) Berdasarkan grafik 3.5, frekuensi defekasi nenek E mengalami perbaikan pada satu minggu setelah intervensi. 50

64 Grafik 3.6 Perkembangan Bising Usus Nenek E selama 12 Kali Massase Abdomen BISING USUS BISING USUS NENEK E SEBELUM DAN SETELAH MASSASE ABDOMEN E Sebelum E Setelah MASSASE KE- Berdasarkan grafik 3.6, bising usus nenek E tidak mengalami perbaikan yang signifikan dari hari ke hari selama massase abdomen. Namun, mulai massase abdomen ke-4 hingga 12 bising usus setelah massase secara konsisten lebih tinggi daripada sebelum massase. Hasil yang didapat dari intervensi dalam mengatasi gangguan rasa nyaman yaitu klien merasa lebih nyaman setelah intervensi. Pada risiko jatuh, tidak ada kejadian jatuh selama intervensi, namun skor MFS masih sama dengan sebelumnya. 3.4 Perbandingan Hasil Intervensi Intervensi utama yang dilakukan dalam mengatasi konstipasi pada klien kelolaan dan resume menghasilkan perubahan pada pola eliminasi dan fungsi pencernaan. Frekuensi defekasi secara umum mengalami peningkatan dari minggu ketiga hingga minggu terminasi. Bising usus tidak mengalami perbaikan yang signifikan dan cenderung tidak stabil pada setiap kali massase abdomen. Namun pada minggu terminasi, didapatkan hasil perbaikan pada pengkajian Constipation Scoring System (CSS), yaitu pada pra intervensi (satu minggu sebelum intervensi) untuk nenek A, F, dan E yaitu 16 dan hasil yang didapatkan saat pasca intervensi atau terminasi (satu minggu setelah intervensi) yaitu nenek A = 6, nenek F = 8, dan nenek E = 7. Selain itu, bising 51

65 usus dua dari tiga lansia telah berada dalam rentang normal, yaitu pada nenek A 8 x/menit dan nenek F 5 x/menit, sedangkan nenek E 4 x/menit. Hasil ini menunjukkan berkurangnya keparahan konstipasi yang dialami klien kelolaan dan resume. Grafik 3.7 Perbandingan Frekuensi Defekasi Ketiga Lansia PERBANDINGAN FREKUENSI DEFEKASI TIGA LANSIA FREKUENSI DEFEKASI Mg-1 1 Mg 2 1 Mg 3 2 Mg 4 3 Mg 5 4 Mg+1 6 MINGGU (Mg) KE- A F E Berdasarkan grafik 3.7, frekuensi defekasi ketiga lansia menunjukkan peningkatan. Klien kelolaan (A) mengalami peningkatan yang paling signifikan yaitu 4 kali defekasi dalam seminggu. Klien resume 1 (F) menunjukkan peningkatan yang paling sedikit. 52

66 BAB 4 ANALISIS SITUASI Pada BAB ini, akan dibahas mengenai analisis situasi tempat praktik dan intervensi yang telah dilakukan dengan membandingkan tinjauan pustaka dan asuhan keperawatan terutama intervensi utama atau unggulan yang telah dilakukan. 4.1 Analisis Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi di Perkotaan Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) didefinisikan sebagai tempat pelayanan bagi lansia yang terlantar (Kementerian Sosial RI, 2004). Dari sekian jenis tempat pelayanan keperawatan bagi lansia, panti werdha atau PSTW dapat dikategorikan ke dalam jenis nursing home. Hal tersebut didasarkan pada fungsi nursing home yang membantu aktivitas sehari-hari lansia (Miller, 2012). Selain itu, menurut Miller (2012), nursing home juga menyediakan pelayanan keperawatan dan medis, konsultasi kesehatan, serta terapi rehabilitasi yang juga tersedia di PSTW. Namun, kondisi di panti werdha khususnya di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas belum dapat menjalankan fungsinya sebagai nursing home secara optimal. Nursing home seharusnya diawasi oleh registered nurse atau praktisi keperawatan yang bersertifikat (Miller, 2012). Di panti belum terdapat pengawasan seperti itu sehingga kurangnya pengawasan membuat pelayanan keperawatan gerontik di PSTW belum optimal. Selain itu, jumlah perawat juga tidak sebanding dengan populasi lansia, seperti di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas hanya terdapat 4-5 perawat untuk sekitar 140 lansia yang dapat ditampung berdasarkan data Pemerintah Kota DKI Jakarta (2016), sehingga hal ini menjadi hambatan dalam memberikan pelayanan keperawatan gerontik yang menyeluruh. Masalah konstipasi teridentifikasi di setiap wisma di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas. Berdasarkan hasil pengkajian, 10 lansia di wisma Melati, 6 lansia di wisma Mawar, 6 lansia di wisma Anggrek, 9 lansia di wisma Cendrawasih, 53

67 dan 7 lansia di wisma Garuda mengalami konstipasi. Selain itu, seorang perawat vokasional melaporkan bahwa lansia tidak dapat defekasi selama lebih dari 7 hari setelah diberikan obat diare. Lansia di perkotaan berisiko mengalami konstipasi. Hanya sebagian kecil dari lansia di perkotaan dengan konstipasi yang mencari pengobatan sehingga masalah konstipasi cenderung dibiarkan terjadi (Chu, Zhong, Zhang, Zhang, & Hou, 2014). Perpindahan lansia dari desa ke kota menyebabkan terancamnya sosioekonomi lansia perkotaan (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Pada studi yang dilakukan oleh Chu, Zhong, Zhang, Zhang, dan Hou (2014), didapatkan bahwa kejadian konstipasi pada lansia di daerah pedesaan (14,1%) lebih besar daripada perkotaan (12%). Hal tersebut berkaitan dengan sosioekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah di daerah pedesaan. Oleh karena itu, sosioekonomi yang rendah pada lansia di perkotaan di Indonesia juga menyebabkan risiko konstipasi dan cenderung tidak menjadi prioritas untuk ditangani seperti definisi dari PSTW sebagai tempat bagi lansia terlantar sehingga sebagian besar memiliki sosioekonomi yang rendah. Berdasarkan penelitian Daniyam, Malu, Okeke, dan Agaba (2011), kejadian konstipasi pada lansia di perkotaan (2,8%) lebih tinggi daripada di pedesaan (0,8%). Penggunaan alkohol dan kurangnya aktivitas fisik menyebabkan konstipasi pada lansia di perkotaan (Daniyam, Malu, Okeke, & Agaba, 2011). Obat-obatan seperti antihipertensi juga menyebabkan konstipasi pada lansia (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Penggunaan obat antihipertensi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas dapat memberi efek samping berupa konstipasi pada lansia. Selain itu, kurangnya privasi untuk defekasi sehingga lansia menahan defekasi juga menyebabkan konstipasi (Wallace, 2008). Selain itu, defekasi dengan menggunakan toilet duduk seperti di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas juga dapat menyebabkan konstipasi (Sinkirov, 2003). 54

68 4.2 Analisis Intervensi Utama (Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan Pemberian Cairan) Terdapat tiga jenis intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah konstipasi pada ketiga lansia yaitu massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan. Tujuan dari intervensi ini yaitu untuk meningkatkan eliminasi fekal lansia yang ditandai dengan konstipasi berkurang, pola eliminasi meningkat, feses yang lembut dan berbentuk meningkat, serta bising usus meningkat. Keberhasilan intervensi juga ditentukan dari hasil constipation scoring system (CSS) pada saat terminasi. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi konstipasi pada lansia bersumber dari jurnal. Jurnal penelitian yang menjadi acuan adalah penelitian Sikirov (2003) dan Sakakibara, et al. (2010) mengenai posisi defekasi; McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) mengenai massase abdomen; serta tampubolon (2008) dan Patel, Patel, Patel, dan Sen (2015) mengenai pemberian cairan. Selain itu, penelitian Kritamuliana (2015) mengenai massase abdomen dan posisi defekasi juga menjadi acuan dalam intervensi KIAN ini Massase Abdomen Ketiga intervensi utama dilakukan selama 15 hari pada klien keloaan sama dengan penelitian tesis Kritamuliana (2015). Menurut penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong, massase abdomen dapat mengurangi konstipasi jika dilakukan selama 4 minggu dan dilakukan 5 hari dalam seminggu, sedangkan menurut Kim, Sakong, Kim, Kim, dan Kim (2015) massase abdomen dapat dilakukan selama 10 hari. Namun, ketiga intervensi utama hanya dapat dilakukan selama 13 hari pada klien resume 1 dan 12 hari pada klien resume 2, sehingga memberikan hasil yang berbeda di antara ketiga klien intervensi. Massase abdomen yang dilakukan pada klien kelolaan dan resume meningkatkan frekuensi defekasi ketiga klien. Pada minggu keempat, 55

69 klien kelolaan mengalami peningkatan frekuensi defekasi yaitu menjadi 3 kali dalam seminggu dan pada minggu terminasi sebanyak 4 kali dalam seminggu, sedangkan pada satu minggu sebelum massase abdomen, klien hanya dapat defekasi 5-7 hari sekali. Namun, pada minggu pertama dan kedua intervensi, serta pada minggu ketiga yang mana tidak dapat dilakukan massase abdomen, peningkatan frekuensi defekasi belum terjadi. Hasil ini sesuai dengan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) dan Kristamuliana (2015) yang mendapatkan adanya peningkatan frekuensi defekasi setelah dilakukannya massase abdomen. Hasil yang berbeda terjadi pada klien resume 1 dan 2. Pada klien resume 1, tidak terjadi peningkatan frekuensi defekasi yang signifikan, yaitu dari satu kali seminggu pada sebelum intervensi menjadi dua kali seminggu pada minggu terminasi. Pada minggu kedua tidak dilakukan massase abdomen secara teratur setiap hari. Pada resume 2, peningkatan frekuensi defekasi lebih tinggi daripada resume 1, yaitu dari satu kali seminggu menjadi tiga kali seminggu. Sama seperti klien resume 1, pada minggu kedua dan ketiga, massase abdomen tidak dilakukan secara teratur setiap hari pada klien resume 2 sehingga tidak terjadi peningkatan frekuensi defekasi yang signifikan. Selain itu, berbeda dengan klien kelolaan, klien resume 1 hanya mendapatkan massase abdomen sebanyak 13 hari dan resume 2 sebanyak 12 hari. Keteraturan dan kurangnya massase abdomen yang dilakukan menurut penulis menjadi penyebab hasil intervensi tersebut, sesuai dengan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) bahwa massase abdomen dapat efektif mengatasi konstipasi setelah dilakukan selama 4 minggu (5 hari setiap minggu). Selain frekuensi defekasi, karakteristik feses dan defekasi pada ketiga lansia mengalami perbaikan setelah intervensi. Pada minggu terminasi, klien kelolaan melaporkan defekasi tidak mengedan sehingga lebih 56

70 cepat, serta feses yang cukup lembut dan dapat dikeluarkan secara tuntas, berwarna sedikit gelap dan berbau biasa. Klien resume 1 juga melaporkan defekasi dengan sedikit mengedan sehingga lebih cepat dari biasa, serta feses yang cukup lembut dan dapat dikeluarkan secara tuntas. Klien resume 2 juga melaporkan defekasi dengan sedikit mengedan sehingga lebih cepat dari biasa, serta feses yang juga cukup lembut dan dapat dikeluarkan tuntas. Mengedan memang diperlukan dalam defekasi untuk meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga feses dapat dikeluarkan (Sherwood, 2012). Namun, dengan massase abdomen tekanan intraabdomen dapat ditingkatkan, sehingga upaya mengedan dapat berkurang (McClurg & Lowe-Strong, 2011). Massase abdomen dapat meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Selain itu, setiap teknik gerakan yang digunakan dalam massase abdomen memberi efek positif yang berbeda terhadap sistem pencernaan (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011). Fungsi tersebut meliputi (1) pengusapan pada area saraf vagus merangsang persarafan sistem pencernaan sehingga merangsang gerakan peristaltik; (2) pengusapan pada kolon menuju rektum merangsang pergerakan feses ke dalam rektum; (3) pemerasan pada kolon memecahkan feses terutama pada feses yang menumpuk di rektum sehingga feses lebih mudah dikeluarkan; (4) pengusapan kolon mendorong feses bergerak ke rektum kembali; serta (5) vibrasi pada dinding abdomen membantu pengeluaran gas (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011; NHS, 2014). Oleh karena itu, hasil intervensi sebagian sesuai dengan penelitian sebelumnya. Bising usus pada setiap setelah massase abdomen pada ketiga klien tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dibandingkan dengan sebelum massase abdomen. Namun, pada minggu terminasi, bising usus dua dari tiga lansia telah normal. Bising usus adalah suara yang dihasilkan dari kontraksi otot-otot usus besar dan kecil sehingga cairan 57

71 dan isi usus bergerak ke rektum (Timby, 2009). Bising usus normal pada lansia adalah 5-15 kali per menit (Miller, 2012). Bising usus menunjukkan adanya gerak peristaltik usus (Miller, 2012). Massase abdomen yang dilakukan seharusnya dapat meningkatkan bising usus. Menurut McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) gerakan mengusap area saraf vagus dapat merangsang persarafan sistem pencernaan yang mengatur proses pencernaan, sehingga hasil intervensi tidak sesuai dengan penelitian ini. Tidak terjadinya perbaikan bising usus yang signifikan, menurut penulis berkaitan dengan penuaan pada lansia. Otak lansia menjadi tidak peka terhadap gerak peristaltik pada kolon (Miller, 2012). Saraf lansia menjadi kurang peka dan gagal dalam melaksanakan rangsangan untuk defekasi (Stanley & Beare, 2006). Selain itu, pada lansia, jumlah neuron pada pleksus mienterika berkurang dan respon terhadap stimulus langsung seperti massase abdomen terganggu sehingga persarafan tidak berfungsi optimal (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012) Posisi Defekasi Posisi defekasi yang diberikan yaitu posisi duduk yang didukung dengan kursi setinggi 8 inchi pada kaki lansia dan pemasangan poster posisi defekasi pada kamar mandi ketiga lansia. Pemilihan kursi sama dengan penelitian Kristamuliana (2015). Hasil yang didapat dari intervensi ini yaitu ketiga lansia merasa lebih mudah dalam mengeluarkan feses dan mengedan berkurang dibandingkan dengan posisi duduk biasanya. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kristamuliana (2015) yang menyebutkan bahwa posisi defekasi tersebut mempercepat keluarnya feses. Sikirov (2003) juga menyebutkan bahwa dengan posisi jongkok saat defekasi menyebabkan eliminasi yang lebih cepat dan lebih lampias dibandingkan dengan posisi duduk. Selain itu, posisi jongkok atau posisi duduk dengan panggul difleksikan dapat menyebabkan mengedan dan tekanan pada abdomen berkurang dibandingkan dengan posisi duduk (Sakakibara, et al., 2010). Oleh 58

72 karena itu, masih dirasakannya upaya mengedan yang sedikit pada klien resume 1 dan 2 menurut penulis berkaitan dengan kurangnya penerapan posisi defekasi ini pada setiap kali defekasi dikarenakan kurangnya motivasi atau kekhawatiran akan terjadi jatuh pada klien. Gangguan mobilisasi pada klien resume 1 menyebabkan kurangnya penerapan posisi defekasi Pemberian Cairan Pemberian cairan hangat setelah makan dianjurkan dalam NIC (2013) untuk mengatasi konstipasi (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Saat cairan masuk lambung, terjadi gastrorefleks sehingga dapat merangsang defekasi (Sherwood, 2012). Tampubolon (2008) juga menyebutkan bahwa minum air di pagi hari setelah bangun tidur membantu meningkatkan frekuensi defekasi dan menyebabkan defekasi pada klien konstipasi. Selain itu, menurut Patel, Patel, Patel, dan Sen (2015), minum air hangat secara teratur terutama di pagi hari dapat meningkatkan eliminasi fekal. Hal tersebut sejalan dengan hasil intervensi ini bahwa ketiga lansia mengalami peningkatan frekuensi defekasi yang cukup signifikan pada minggu terminasi, sehingga selain dengan massase abdomen, frekuensi defekasi dapat ditingkatkan dengan pemberian cairan. Hal tersebut didasarkan karena asupan cairan yang tidak adekuat menyebabkan melambatnya pergerakan feses dalam kolon dan sedikitnya jumlah feses yang dapat dikeluarkan (Anonymous, 2008). Selain itu, feses yang terlalu lama menumpuk dalam kolon menyebabkan kolon menyerap air dari feses sehingga feses menjadi kering dan keras (Sherwood, 2012). Menurut penulis, kurangnya penerapan asupan cairan yang adekuat pada klien resume 1 akibat kurangnya motivasi dan kesulitan menyediakan minum karena gangguan mobilisasi yang dialami mengakibatkan belum terjadinya peningkatan frekuensi defekasi yang signifikan pada minggu terminasi. Selain itu, kebiasaan minum yang lebih adekuat pada klien resume 2 59

73 dan adanya bantuan lansia lain dalam satu kamar menyebabkan frekuensi defekasi yang lebih banyak daripada klien resume Keterbatasan dan Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan Kendala atau keterbatasan dalam KIAN ini yaitu penulis tidak dapat mengevaluasi secara langsung karakteristik feses dan defekasi pada klien kelolaan dan resume sehingga evaluasi secara objektif menjadi terbatas. Padahal, evaluasi terhadap karakteristik feses termasuk dalam evaluasi intervensi keperawatan berdasarkan NIC (2013) (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Penulis mendapatkan data evaluasi mengenai karakteristik feses dan defekasi berdasarkan subjektif klien, kemudian diperkuat dengan hasil pemeriksaan fisik abdomen pada minggu terminasi. Hal tersebut dikarenakan jadwal defekasi klien di waktu-waktu yang tidak dapat dijangkau penulis seperti di waktu subuh, malam, ataupun sore hari di saat penulis tidak pada shift sore. Namun, hal ini telah diantisipasi terlebih dahulu dengan membuat kriteria tertentu pada lansia yang akan dijadikan sebagai klien kelolaan dan resume, yaitu lansia dengan fungsi kognitif yang baik melalui MMSE (Mini Mental State Examination) serta lansia yang tidak memiliki gangguan depresi melalui GDS (Geriatric Depression Scale) dan gangguan mental lainnya yang diketahui melalui rekam medis klien sehingga dapat dipastikan klien kooperatif dan mampu mengingat karakteristik feses dan defekasinya. Selain itu, penulis pernah mendapatkan laporan dari salah satu perawat di wisma klien bahwa klien defekasi dengan karakteristik feses yang cair beberapa kali pada 22 Mei 2016 sehingga dapat menjadi tambahan evaluasi objektif. Untuk mendukung evaluasi objektif, penulis mendapatkan data objektif dari pemeriksaan fisik abdomen yang dilakukan setiap intervensi massase abdomen sehingga mendukung evaluasi subjektif dari lansia. Selain itu, pemeriksaan fisik abdomen pada saat intervensi juga mendukung evaluasi objektif yang memperkuat evaluasi subjektif lansia. Keterbatasan lainnya yaitu mengenai massase abdomen. Massase abdomen sebaiknya dilakukan secara rutin setiap hari sesuai dengan penelitian 60

74 sebelumnya (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana, 2015). McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) melakukan massase abdomen 5 hari setiap minggu selama 4 minggu dan Kristamuliana (2015) rutin selama 15 hari. Pada minggu ketiga, pada klien kelolaan, massase abdomen tidak dapat dilakukan karena klien baru saja mendapat tindakan bedah terhadap salah satu mata yang mengalami katarak. Massase abdomen tidak dapat dilakukan karena dapat merangsang valsava manuver yang dapat berdampak pada mata, sedangkan terjadi perbaikan pada pola eliminasi dan karakteristik feses di minggu tersebut, sehingga massase abdomen dihentikan selama satu minggu yaitu sampai klien kontrol kembali ke rumah sakit. Namun, pada minggu tersebut, intervensi lainnya seperti posisi defekasi dan pemberian cairan tetap dilakukan, meskipun posisi defekasi tidak dilakukan secara rutin untuk meminimalkan risiko jatuh. Oleh karena itu, kejadian ini berdampak pada tidak adanya perubahan yang signifikan pada frekuensi defekasi di minggu tersebut. Pemantauan cairan juga menjadi keterbatasan. Lansia yang dilakukan intervensi seharusnya dapat mengonsumsi cc/kg/hari (National Collaborating Center for Acute Care, 2006 dalam Wallace, 2008). Pemantauan cairan dilakukan dengan menanyakan berapa gelas atau botol cairan yang dihabiskan pada hari sebelumnya. Pemantauan seperti ini dilakukan hampir setiap hari, kecuali pada hari minggu. Namun, terkadang lansia lupa berapa banyak cairan yang telah diminumnya dalam sehari. Untuk mengatasi permasalahan ini, penulis telah membuatkan jadwal minum harian. Namun, dua dari tiga lansia mengeluhkan kurang jelasnya pandangan sehingga mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis, hanya lansia resume 1 yang mampu mencatatnya sendiri. Oleh karena itu, jadwal minum harian tersebut diisi oleh penulis pada hari berikutnya sehingga kurang efektif sama seperti sebelumnya. Intervensi pada klien resume juga mengalami keterlambatan. Hai ini dikarenakan berubahnya lansia yang dijadikan klien resume. Pada awalnya, 61

75 penulis mendapatkan lansia pria yang akan dilakukan intervensi, namun setelah pengkajian pada seluruh lansia di panti, konstipasi lebih banyak dialami oleh lansia wanita sesuai dengan Miller (2012) dan gejala konstipasi tidak prioritas dirasakan lansia tersebut sehingga penulis mencari klien lainnya. Setelah pengkajian menyeluruh pada tiga lansia, klien resume 2 tibatiba tidak bersedia diberikan intervensi sehingga pada klien resume mengalami keterlambatan yang berdampak pada lebih singkatnya intervensi yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, lamanya waktu intervensi ketiga lansia berbeda. Namun, untuk mengatasi hal tersebut, penulis mengupayakan intervensi dilakukan minimal 10 kali sesuai dengan penelitian sebelumnya, bahwa massase abdomen dilakukan kali (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011; Kim, Sakong, Kim, Kim, & Kim, 2015). Selain ketiga intervensi utama atau unggulan, intervensi lainnya dalam mengatasi konstipasi juga dilakukan untuk mendukung intervensi. Intervensi tersebut yaitu edukasi kesehatan tentang konstipasi dan cara menanganinya, menganjurkan dan memantau diet tinggi serat seperti konsumsi sayuran, buahbuahan, dan kacang-kacangan sesuai dengan Miller (2012), membantu klien hingga dapat mengikuti senam secara rutin dua kali seminggu dan memandu gerakan senam pada klien kelolaan dan resume 1, serta mengajarkan klien berlatih mengayuh sepeda di tempat tidur. Intervensi tambahan ini membantu mengatasi keterbatasan intervensi. 62

76 BAB 5 PENUTUP Pada BAB ini, akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari penulisan KIAN ini. 5.1 Kesimpulan Sebanyak 30,4% lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas mengalami konstipasi. Terdapat 3 lansia yang memiliki tanda dan gejala konstipasi yaitu penurunan frekuensi defekasi ( 3 kali seminggu), karakteristik feses yang keras, pengeluaran feses yang tidak tuntas, serta adanya upaya mengedan saat defekasi selama < 3 bulan terakhir Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan pada ketiga lansia Rencana intervensi yang dapat dilakukan pada ketiga lansia yaitu massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan. Hasil yang diharapkan yaitu meningkatnya eliminasi fekal Implementasi massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan dilakukan selama 15 hari pada klien kelolaan, 13 hari pada klien resume 1, dan 12 hari pada klien resume 2. Implementasi dilakukan pada waktu yang sama dan selama ± 15 menit pada massase abdomen Hasil intervensi yaitu massase abdomen meningkatkan frekuensi defekasi, posisi defekasi mengurangi upaya mengedan, dan pemberian cairan membantu meningkatkan frekuensi defekasi. 5.2 Saran Perkembangan Ilmu Keperawatan Hasil dari intervensi yang meliputi massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan menunjukkan berkurangnya masalah konstipasi yang dialami lansia serta meningkatnya eliminasi fekal lansia. Keterbatasan penulis berupa pemantauan karakteristik feses dan defekasi lansia secara langsung sebaiknya menjadi perhatian bagi peneliti 63

77 selanjutnya sehingga intervensi yang dilakukan tersebut dapat dikembangkan di masa yang akan datang Pelayanan Keperawatan Perawat gerontik memiliki peran yang besar dalam merawat lansia dengan konstipasi. Perawat yang bekerja di tempat pelayanan keperawatan yaitu di panti werdha memiliki peran yang hampir sama dengan tempat pelayanan keperawatan lainnya. Oleh karena itu, perawat gerontik di panti sebaiknya mempelajari teknik massase abdomen dan intervensi baru seperti posisi defekasi dan pemberian cairan sehingga pelayanan keperawatan diberikan secara lebih komprehensif. Dengan terus menggali pengetahuan dan inovasi baru di bidang keperawatan, kualitas pelayanan keperawatan dapat terus ditingkatkan. 64

78 DAFTAR PUSTAKA Anonymous. (2008). Management of constipation in older adults. Australian Nursing Journal, 16(5): stipation_in_older_adults. Arenson, C., et al. (2009). Reichel s care of elderly 6 th ed. New York: Cambridge University. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2014). Menuju lansia paripurna Balqis, U.M. (2015). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masalah masyarakat perkotaan pada bapak A (63 tahun) dengan masalah konfusi kronik di wisma Garuda PSTW Budi Mulia 01 Ciracas, DKI Jakarta. KIAN. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan. Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2013). Nursing intervention classification (NIC) 6 th ed. St. Louis: Elsevier Mosby. Capezuti, E.A., Siegler, E.L., & Mezey, M.D. (2008). The encyclopedia of elder care 2 nd ed. New York: Springer. Chu, H., Zhong, L., H., Zhang, X., Zhang, J., Hou, X. (2014). Epidemiology characteristics of constipation for general population, pediatric population, and elderly population in China. Gastroenterol Res Pract. doi: /2014/ Daniyam, C.A., Malu, A.O., & Okeke, E.N., & Agaba, E.I. (2011). Bowel habits of urban and rural populations on the Jos Plateau, Nigeria. West African Journal of Medicine, 30(3): Everett, E. (2012). Hospice nurse perceptions of constipation and attitudes towards abdominal massage. Tesis. Faculty of Gardner-Webb University School of Nursing. digitalcommons.gardner-webb.edu/nursing_etd/114/. 65

79 Gallegos-Orozco, J.F., Foxx-Orenstein, A.E., Sterler, S.M, & Stoa, J.M. Chronic constipation in the elderly. (2012). The American Journal of Gastroenterology, 107: gi.org/wp-content/uploads/2012/10/4- ajg a.pdf. Gallo, J.J., Bogner, H.R., Pulmer, T., & Paveza, G.J. (2006). Handbook of geriatric assessment 4th ed. London: Jones and Bartlett. Ginsberg, D.A., Phillips, S.F., Wallace, J., & Josephson, K.L. (2007). Evaluating and managing constipation in the elderly. Urologic Nursing, 27(3): , Herdman, T.H., & Kamitsuru, S. (2014). Nursing diagnoses: Definitions & classification. UK: Wiley Blackwell. JBI. (2008). Management of constipation in older adults. JBI, 12(7). connect.jbiconnectplus.org/viewsourcefile.aspx?0=453 Kementerian Kesehatan RI. (2013). Gambaran kesehatan lanjut usia di Indonesia. Kementerian Sosial RI. (2014). Glosarium penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Kim, M.A., Sakong, J.K., Kim, E.J., Kim, E.H., & Kim, E.H. (2015). Effect of aromatherapy massage for the relief of constipation in the elderly. Taehan Kanho Hakhoe Chi, 35(1): Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S.J. (2011). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik edisi 7 volume 1. Jakarta: EGC. Kristamuliana. (2015). Pengaruh urut perut dan latihan eliminasi (uplanasi) terhadap konstipasi pada lansia di PSTW di DKI JAKARTA. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan. Leung, L., Riutta, T., Kotecha, J., & Rosser, W. (2011). Chronic constipation: An evidence-based review. J Am Board Fam Med, 24:

80 Mauk, K.L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care. London: Jones and Bartlett. McClurg, D., & Lowe-Strong, A. (2011). Does abdominal massage relieve constipation?. Nursing Times, 107(12): McClurg, D., Hagen, S., Hawkins, S., & Lowe-Strong, A. (2011). Abdominal massage for the alleviation of constipation symptoms in people with multiple sclerosis: A randomized controlled feasibility study. Multiple Sclerosis Journal, 17 (2): Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults 6 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes classification (NOC) 5 th ed. St. Louis: Elsevier Mosby. NHS Foundation Trust. (2014). Abdominal Massage for Constipation. Nusyirwan, S.S.O. (2008). Fisiologi manusia: Buku panduan kerja laboratorium dasar keperawatan. Depok: FIK UI. Oktariyani. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada bapak B (78 tahun) dengan masalah konstipasi di wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. KIAN. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan. lib.ui.ac.id/file?file=digital/ pr-oktariyani.pdf. Patel, S., Patel, J., Patel, M., & Sen, D.J. (2015). Say yes to warm for remove harm: Amazing wonders of two stages of water!. European Journal of Pharmaceutical and Medical Research, 2(4): Pemerintah Kota DKI Jakarta. (2016). Panti sosial perlindungan. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik edisi 4 volume 1. Jakarta: EGC. 67

81 Sakakibara, R., et al. (2010). Influence of body position on defecation in humans. Lower Urinary Tract Symptoms, 2: Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem edisi 6. Jakarta: EGC. Sikirov, D. (2003). Comparison of straining during defecation in three positions. Digestive Diseases and Sciences, 48(7): Sinclair, M. (2010). The use of abdominal massage to treat chronic constipation. Journal of Bodywork and Movement Therapies, xx: Stanhope, M., & Knollmueller, R.N. (2008). Buku saku keperawatan komunitas: Pengkajian, intervensi, dan penyuluhan. Jakarta: EGC. Stanley, M., & Beare, P.G. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik edisi 2. Jakarta: EGC. Tampubolon, L.F. (2008). Pengaruh terapi air terhadap proses defekasi pasien konstipasi di RSU Sembiring Delitua Deli Serdang. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan. Timby, B.K. (2009). Fundamental nursing skills and concepts 9 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Wallace, M. (2008). Essentials of gerontological nursing. New York: Springer. Wang, X., & Yin, J. (2015). Complementary and alternative therapies for chronic constipation. Widyatuti, & Nurviyandari, D. (2013). Buku panduan praktek profesi keperawatan gerontik. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Woodward, M., Moran, J., Ellicott, R., & Saunders, R. (2002). Constipation in older people pharmacological management issues. Journal of Pharmacy Practice and Research, 32(1): jppr.shpa.org.au/lib/pdf/2002_03/woodward_gt.pdf. 68

82 Lampiran 1 Data DS: 1. Nenek A mengatakan sudah 5 hari tidak bisa BAB, feses sulit keluar, keras, dan sedikit sehingga mengedan. 2. Nenek A mengatakan mengalami sulit BAB sejak 2 bulan terakhir. 3. Nenek A mengatakan aktivitas fisik menurun sejak tinggal di panti. Namun masih mengikuti senam dua kali seminggu. 4. Nenek A mengatakan minum ± 3 gelas biasa per hari. Analisis Data Klien Kelolaan Masalah Keperawatan Konstipasi DO: 1. Bising usus 2 kali per menit. 2. Tidak tampak distensi abdomen. 3. Palpasi teraba lunak, tidak ada massa, otot abdomen kurang lentur. 4. Perkusi abdomen timpani. DS: Nenek A mengatakan sering pusing. DO: 1. Nenek A memiliki tekanan darah 152/71 mmhg, frekuensi nadi 73 x/menit, frekuensi napas 21 x/menit, dan suhu 35,8 0 C. 2. Konjungtiva sedikit anemis. 3. Riwayat anemia. 4. Wajah tampak sedikit pucat. 5. Jalan sedikit lambat dan lemas. DS: Nenek A mengatakan batuk dengan sedikit dahak sejak satu minggu lalu namun masih dapat dibatukkan. Intoleransi aktivitas Ketidakefektifan bersihan jalan napas DO: 1. Suara napas ronchi kering di kedua lapang paru. 2. Frekuensi napas 21 kali per menit. 69

83 Lampiran 2 Rencana Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Data Diagnosa Keperawatan NOC NIC Domain 3: elimination and Domain II-physiologic health exchange Kelas F-eliminasi Kelas 2: fungsi Hasil: bowel elimination gastrointestinal (pembentukan dan evakuasi Diagnosa: konstipasi feses) (0501) (00011) DS: 1. Nenek A mengatakan sudah 5 hari tidak bisa BAB, feses sulit keluar dan sedikit. 2. Nenek A mengatakan sering mengalami sulit BAB sejak tinggal di panti. 3. Nenek A mengatakan aktivitas fisik menurun sejak tinggal di panti. 4. Nenek A mengatakan minum ± 3 gelas per hari. DO: 1. Bising usus 2 kali per menit. 2. Tampak distensi abdomen. 3. Perkusi abdomen timpani. 4. Palpasi teraba lunak, tidak ada massa, otot abdomen kurang lentur. Definisi: penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai kesulitan pengeluaran feses atau tidak tuntas dan/atau pengeluaran feses yang keras dan kering Indikator: (050101) pola eliminasi meningkat (050105) feses yang lembut dan berbentuk meningkat (050112) kemudahan mengeluarkan feses meningkat (050110) konstipasi berkurang (0501) Bising usus normal (3-6 kali per menit) Manajemen konstipasi (0450): 1. Pantau tanda dan gejala konstipasi. 2. Jelaskan etiologi masalah dan rasional tindakan pada klien. 3. Buat jadwal defekasi. 4. Dorong meningkatkan asupan cairan sesuai kebutuhan (30-50 ml/kg BB per hari) jika tidak ada kontraindikasi. 5. Anjurkan minum air hangat setelah makan. Anjurkan minum di pagi hari. 6. Ajarkan klien diet tinggi serat. 7. Ajarkan klien mengenai hubungan diet, olahraga, dan asupan cairan terhadap konstipasi. 8. Dorong latihan: mengayuh sepeda statis, jalan pagi, jalan setelah makan 9. Ajarkan klien penggunaan laxatif yang sesuai. Manajemen bowel: 1. Mencatat defekasi terakhir. 2. Memantau karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi. 3. Mengajarkan klien mencatat karakteristik fesesnya. 4. Mendorong konsumsi diet tinggi serat. 5. Memberikan air hangat setelah makan. 70

84 Data Diagnosa Keperawatan NOC NIC 6. Mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal. DS: Nenek A mengatakan sering pusing. DO: 1. Tekanan darah mmhg, frekuensi napas kali per menit, kecepatan nadi kali per menit, dan suhu 0 C. 2. Konjungtiva sedikit anemis. 3. Riwayat anemia. 4. Wajah tampak sedikit pucat. 5. Jalan sedikit lambat dan lemas. Domain 4: aktivitas/ istirahat Kelas 4: respon kardiovaskuler dan pulmoner Diagnosa: intoleransi aktivitas (00092) Definisi: ketidakcukupan energi fisiologis dan psikologis untuk menahan atau melengkapi aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau diinginkan. Domain I-kesehatan fungsi Kelas A-pertahanan energi Hasil: toleransi aktivitas (0005) Indikator: (000508) kemudahan bernapas dengan aktivitas meningkat (000518) kemudahan melakukan ADL meningkat Latihan bowel: 1. Membuat jadwal defekasi. 2. mengajarkan klien prinsip latihan. 3. Mengajarkan olahraga. 4. Menjaga privasi defekasi. 5. Memodifikasi program latihan. Terapi latihan: mobilitas sendi (0224): 1. Menjelaskan tujuan dan rencana latihan. 2. Memantau lokasi ketidaknyamanan atau nyeri selama pergerakan/aktivitas. 3. Melindungi pasien dari trauma selama latihan. 4. Membantu mengoptimalkan posisi tubuh untuk pergerakan sendi aktif. 5. Mendorong latihan RPS secara teratur, terencana, dan terjadwal. 6. Mengajarkan klien cara melakukan RPS secara sistematis. 7. Membantu pergerakan sendi ritmik dan teratur dalam keterbatasan terhadap nyeri, ketahanan, dan mobilisasi. 8. Mendorong ambulasi. 9. Memberikan penguatan positif untuk melakukan latihan. 71

85 Data Diagnosa Keperawatan NOC NIC Domain 11: keamanan Domain II-kesehatan /proteksi fisiologis Kelas 2: cedera fisik Kelas F-kardiopulmoner Diagnosa: Hasil: status pernapasan: ketidakefektifan bersihan patensi jalan napas (0410) jalan napas (00031) DS: Nenek A mengatakan batuk dengan sedikit dahak sejak satu minggu lalu. DO: 1. Suara napas ronchi kering. 2. frekuensi napas kali per menit. Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi saluran pernapasan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas. Indikator: (041004) frekuensi napas normal (12-24 kali per menit) (041012) kemampuan membersihkan sekret meningkat (041007) suara napas tambahan berkurang Manajemen jalan napas (3140): 1. Posisikan pasien untuk potensi ventilasi maksimal. 2. Hilangkan sekret dengan mendorong batuk. 3. Mengajarkan batuk efektif. 4. Auskultasi suara napas, catat daerah penurunan/tidak ada ventilasi dan suara napas tambahan. 5. Dorong asupan cairan. (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013; Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013; Herdman & Kamitsuru, 2014) 72

86 Evaluasi Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi Konstipasi 10/5/ Mengajarkan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, akibat konstipasi, cara pencegahan dan perawatan konstipasi: massase abdomen (tidak diajarkan), posisi defekasi, dan asupan cairan sesuai kebutuhan. 2. Melakukan massase abdomen. Lampiran 3 S: nenek A mengatakan perut lebih enak dan ringan, sebelum di massase terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur. Minum 6 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, demonstrasikan posisi defekasi, bantu mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan, motivasi minum di pagi hari dan air hangat setelah makan. 11/5/ /5/ Melakukan massase abdomen. 2. Mengajarkan posisi defekasi. 3. Memantau dan menyediakan minum sesuai kebutuhan, di pagi hari, dan air hangat setelah makan siang dan sore. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses serta defekasi. 1. Melakukan massase abdomen. 2. Mengajarkan posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, di pagi hari, dan air hangat setelah makan. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses serta defekasi. S: nenek A mengatakan perut lebih enak dan ringan. O: otot abdomen tampak lebih lentur. Minum 6 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau dan motivasi penggunaan posisi defekasi, pantau dan bantu minum sesuai kebutuhan, pantau bising usus. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 11 menjadi 5 x/menit, defekasi dengan feses berwarna cokelat gelap, sedikit, tidak sekeras sebelumnya dan sedikit mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Minum 7 gelas 73

87 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi sehari. A: eliminasi meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk minum di pagi hari, pantau pola defekasi. 13/5/ /5/ Mei Melakukan massase abdomen. 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan dan air hangat setelah makan. Memotivasi minum di pagi hari. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Melakukan massase abdomen. 2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, di pagi hari, dan air hangat setelah makan. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Melakukan massase abdomen. 2. Memberi posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air 74 S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 3 menjadi 3 x/menit. Minum 7 gelas sehari. A: eliminasi menurun. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau dan motivasi posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk mempertahankan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 7 menjadi 10 x/menit. Minum 7 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk mempertahankan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 4 menjadi 6 x/menit. Minum 5 gelas

88 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi hangat setelah makan. sehari. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat. feses. P: lanjutkan massase abdomen selama Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. 17 Mei Mei Mei Melakukan massase abdomen. 2. Memberi posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan dan minum air hangat setelah makan. Memotivasi minum di pagi hari. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Melakukan massase abdomen. 2. Memberi posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Melakukan massase abdomen. 2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai 75 S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 10 menjadi 6 x/menit, flatus (+). Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 10 menjadi 6 x/menit, flatus (+). Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising

89 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air usus 14 menjadi 7 x/menit. Minum 5 gelas hangat setelah makan. sehari. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat. feses. P: lanjutkan massase abdomen selama Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. 20 Mei Mei Mei Melakukan massase abdomen. 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. 3. Memantau dan memotivasi minum sesuai kebutuhan dan air hangat setelah makan. Memotivasi minum di pagi hari. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan dan air hangat setelah makan. Memotivasi minum di pagi hari. 2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air 76 S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 5 menjadi 10 x/menit. Minum 6 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan BAB lebih lancar daripada sebelumnya. O: defekasi dengan karakteristik feses yang cair dan tidak tertahan pada 22 Mei 2016 dan pada 23 Mei 2016 defekasi dengan karakteristik feses yang lunak dan mudah dikeluarkan sehingga tidak mengedan. Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi meningkat. P: lanjutkan pemantauan posisi defekasi dan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan BAB lancar. O: Minum 5 gelas sehari.

90 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi hangat setelah makan. A: eliminasi belum meningkat. 2. Memberi posisi defekasi. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai feses. kebutuhan, pantau pola defekasi. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 5. Membantu senam. Memberi bubur kacang hijau 125 cc. 25 Mei Mei Mei Mei Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 2. Memberi posisi defekasi. 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 2. Memotivasi penggunan posisi defekasi. 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 1. Memantau dan membantu minum sesuai 77 S: S: nenek A mengatakan BAB lancar. O: Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: S: nenek A mengatakan BAB lancar. O: Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: S: nenek A mengatakan BAB lancar. O: Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih

91 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 2. Memberi posisi defekasi. 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. enak. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 2 menjadi 5 x/menit. Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. 31 Mei Juni Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 2. Memberi posisi defekasi. 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 5. Membantu senam. Memberi bubur kacang hijau 125 cc. 1. Melakukan massase abdomen. 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 3 menjadi 5 x/menit. Minum 5 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 1 menjadi 2 x/menit. Minum 6 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. 78

92 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi 2 Juni Melakukan massase abdomen. 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. 3. Memantau dan memotivasi minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising usus dari 3 menjadi 5 x/menit. Minum 6 gelas sehari. A: eliminasi belum meningkat. P: lanjutkan massase abdomen selama hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. 3 Juni Juni Melakukan massase abdomen. 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 6. Membantu senam. Memberi bubur kacang hijau 125 cc. 1. Melakukan massase abdomen. 2. Memberi posisi defekasi. 3. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 79 S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih enak dan tidak sakit. O: defekasi dengan karakteristik feses lebih banyak dan lebih lampias, warna feses sedikit cokelat gelap, lebih lunak, dan tidak mengedan serta tidak ada darah ataupun nyeri. Bising usus dari 2 menjadi 3 x/menit. Minum 6 gelas sehari. A: eliminasi meningkat. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi dan minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. S: nenek A mengatakan perut terasa enak dan tidah begah. O: defekasi kembali dengan karakterstik feses cukup banyak, mudah dikeluarkan, dan tidak mengedan serta warna feses sedikit cokelat gelap namun tidak ada darah ataupun nyeri. Bising usus dari 4 menjadi 6 x/menit. Minum 6 gelas sehari. A: masalah belum teratasi P: lanjutkan pemantauan posisi defekasi dan

93 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi. Intoleransi aktivitas 11 Juni Mei Memotivasi penggunaan posisi defekasi setiap defekasi. 2. Memantau dan membantu minum sesuai kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air hangat setelah makan. 3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik feses. 4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 5. Memberikan rencana tindak lanjut pada klien: meneruskan kebiasaan minum sesuai kebutuhan harian, posisi defekasi sesuai yang telah diajarkan, diet tinggi serat, olahraga teratur. 6. Memberikan rencana tindak lanjut pada perawat panti: melakukan massase abdomen sesuai indikasi atau SOP yang telah diajarkan dan diberikan. 1. Periksa tekanan darah. 2. Memotivasi untuk minum obat teratur. 3. Membantu kebutuhan dasar seperti menyiapkan minuman hangat setelah makan. S: nenek A mengatakan BAB lancar. O: Pada 6 Juni 2016, klien defekasi setelah sahur dengan karakteristik feses yang cair. Kemudian, pada 9 Juni 2016, defekasi dengan karakteristik feses yang berbentuk panjang 3 kali, berwarna sedikit cokelat gelap, tidak terlalu bau, tidak ada darah, dan tidak mengedan. Pada 10 dan 11 Juni 2016, defekasi kembali dengan karakteristik feses dan defekasi yang sama dengan hari sebelumnya. Bising usus 8 x/menit. Minum 6 gelas sehari. A: eliminasi meningkat. P: beri edukasi kepada lansia untuk meneruskan posisi defekasi dan minum sesuai kebutuhan, di pagi hari, dan air hangat setelah makan. Beri pelatihan kepada perawat panti mengenai intervensi terutama massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan tekanan darah turun, sebelumnya 150an. O: tekanan darah 130/70 mmhg, pucat (+), lesu (+). A: toleransi aktivitas belum meningkat. P: lakukan manajemen energi (melakukan aktivitas secara bertahap). 24 Mei Membantu senam. 2. Memberi asam folat dan memotivasi minum obat teratur. S: nenek A mengatakan tidak kuat mengikuti semua gerakan dan pusing. O: lesu (+). A: toleransi aktivitas belum meningkat. P: lakukan manajemen energi (melakukan 80

94 Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi 31 Mei Membantu senam. 3. Memberi asam folat dan memotivasi minum obat teratur. aktivitas secara bertahap). S: nenek A mengatakan lebih segar. O: tampak pucat (-), lesu (-),tremor. A: toleransi aktivitas meningkat. P: lakukan manajemen energi. Ketidakefektifan bersihan jalan napas 11 Mei Menganjurkan meningkatkan minum air hangat dan menghindari udara kotor. 2. Mendorong makan sedikit tapi sering untuk meningkatkan sistem imun. S: nenek A mengatakan masih batuk sedikit. O: batuk (+), dahak sangat sedikit. A: kepatenan jalan napas belum meningkat. P: motivasi minum, berikan obat batuk sederhana, ajarkan batuk efektif. 14 Mei Mengajarkan relaksasi napas dalam dan batuk efektif. S: nenek A mengatakan dahak sedikit yang keluar. O: batuk (+), dahak sangat sedikit. A: kepatenan jalan napas belum meningkat. P: motivasi minum dan ajarkan batuk efektif kembali. 81

95 Lampiran 4 FREKUENSI DEFEKASI Frekuensi Defekasi Klien Mg-1 Mg 1 Mg 2 Mg 3 Mg 4 Mg+1 A F E BISING USUS Klien Bising Usus pada Massase Abdomen Ke Terminasi A Sebelum A Setelah F Sebelum F Setelah E Sebelum E Setelah

96 Constipation Scoring System (CSS) Lampiran 5 Nama: A.S Tgl lahir/usia: 8/7/1944 (72 tahun) Wisma: Melati No. Item Penilaian Skor Sebelum Setelah 1. Frekuensi defekasi a. 1 2 kali perhari dan/atau kali perminggu (0) b. 2 kali seminggu (1) c. 1 kali seminggu (2) d. Kurang dari sekali seminggu (3) e. Kurang dari sekali sebulan (4) 2. Kesulitan defekasi: mengedan saat defekasi a. Tidak pernah (0) b. Jarang (1) c. Kadang-kadang (2) d. Sering (3) e. Selalu (4) Merasa tidak tuntas setelah defeksi a. Tidak pernah (0) b. Jarang (1) c. Kadang-kadang (2) d. Sering (3) e. Selalu (4) Nyeri: nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut 5. Lama berlangsungnya proses defekasi 6. Bantuan yang digunakan saat defekasi 7. Tidak berhasil defekasi dalam 24 jam 8. Riwayat konstipasi dalam setahun terakhir a. Tidak pernah (0) b. Jarang (1) c. Kadang-kadang (2) d. Sering (3) e. Selalu (4) a. Kurang dari 5 menit (0) b menit (1) c menit (2) d menit (3) e. Lebih dari 30 menit (4) a. Tidak ada (0) b. Laksatif (1) c. Enema (2) a. Tidak pernah (0) b. 1 3 kali (1) c. 3 6 kali (2) d. 6 9 kali (3) e. Lebih dari 9 kali (4) a. Tidak pernah (0) b. 1 5 kali (1) c kali (2) d kali (3) e. Lebih dari 20 kali (4) Sumber: Kristamuliana (2015)

97 Constipation Scoring System (CSS) Nama: F Tgl lahir/usia: 3/7/1946 (70 tahun) Wisma: Mawar No. Item Penilaian Skor Sebelum Setelah 1. Frekuensi defekasi a. 1 2 kali perhari dan/atau kali perminggu (0) b. 2 kali seminggu (1) c. 1 kali seminggu (2) d. Kurang dari sekali seminggu (3) e. Kurang dari sekali sebulan (4) 2. Kesulitan defekasi: mengedan saat defekasi a. Tidak pernah (0) b. Jarang (1) c. Kadang-kadang (2) d. Sering (3) e. Selalu (4) Merasa tidak tuntas setelah defeksi a. Tidak pernah (0) b. Jarang (1) c. Kadang-kadang (2) d. Sering (3) e. Selalu (4) Nyeri: nyeri atau rasa tidak aman pada perut 5. Lama berlangsungnya proses defekasi 6. Bantuan yang digunakan saat defekasi 7. Tidak berhasil defekasi dalam 24 jam 8. Riwayat konstipasi dalam setahun terakhir a. Tidak pernah (0) b. Jarang (1) c. Kadang-kadang (2) d. Sering (3) e. e. Selalu (4) a. Kurang dari 5 menit (0) b menit (1) c menit (2) d menit (3) e. Lebih dari 30 menit (4) a. Tidak ada (0) b. Laksatif (1) c. Enema (2) a. Tidak pernah (0) b. 1 3 kali (1) c. 3 6 kali (2) d. 6 9 kali (3) e. Lebih dari 9 kali (4) a. Tidak pernah (0) b. 1 5 kali (1) c kali (2) d kali (3) e. Lebih dari 20 kali (4) Sumber: Kristamuliana (2015)

98 Constipation Scoring System (CSS) Nama: E Tgl lahir/usia: 22/2/27 (89 tahun) Wisma: Mawar No. Item Penilaian Skor Sebelum Setelah 1. Frekuensi defekasi f. 1 2 kali perhari dan/atau 3 kali perminggu (0) 2 0 g. 2 kali seminggu (1) h. 1 kali seminggu (2) i. Kurang dari sekali seminggu (3) j. Kurang dari sekali sebulan (4) 2. Kesulitan defekasi: mengejan saat defekasi a. Tidak pernah (0) b. Jarang (1) c. Kadang-kadang (2) d. Sering (3) e. Selalu (4) Merasa tidak tuntas setelah defeksi e. Tidak pernah (0) 4 2 f. Jarang (1) g. Kadang-kadang (2) h. Sering (3) e. Selalu (4) 4. Nyeri: nyeri atau rasa tidak aman pada perut 5. Lama berlangsungnya proses defekasi 6. Bantuan yang digunakan saat defekasi 7. Tidak berhasil defekasi dalam 24 jam 8. Riwayat konstipasi dalam setahun terakhir f. Tidak pernah (0) g. Jarang (1) h. Kadang-kadang (2) i. Sering (3) j. e. Selalu (4) e. Kurang dari 5 menit (0) f menit (1) g menit (2) h menit (3) e. Lebih dari 30 menit (4) d. Tidak ada (0) e. Laksatif (1) f. Enema (2) a. Tidak pernah (0) b. 1 3 kali (1) c. 3 6 kali (2) d. 6 9 kali (3) e. Lebih dari 9 kali (4) a. Tidak pernah (0) b. 1 5 kali (1) c kali (2) d kali (3) e. Lebih dari 20 kali (4) Sumber: Kristamuliana (2015)

99 Mini Mental Status Exam (MMSE) ASPEK KOGNITIF NILAI MAKS NILAI KLIEN KRITERIA A F E ORIENTASI Menyebutkan dengan benar: Tahun Musim Tanggal Hari Bulan ORIENTASI Dimana kita sekarang? Negara Indonesia Provinsi. Kota.. Panti werda.. Wisma. REGISTRASI Sebutkan 3 objek (oleh pemeriksa ) 1 detik untuk mengatakan masing-masing objek, kemudian tanyakan kepada klien ketiga objek tadi (untuk disebutkan) Objek Objek Objek PERHATIAN DAN KALKULASI Minta klien untuk menghitung mundur nama hari (maksimal 5 kali mundur masuk skor maksimal): Minggu Sabtu Jumat Kamis Rabu Selasa 86

100 ASPEK KOGNITIF NILAI MAKS NILAI KLIEN KRITERIA A F E Senin MENGINGAT Minta klien untuk mengulangi ke 3 objek pada nomer 2 (registrasi) tadi, bila benar 1 poin untuk masing-masing objek. BAHASA Tunjukkan pada klien suatu benda dan tanyakan namannya pada klien (misal jam tangan atau pensil) Minta kepada klien untuk mengulang kata berikut tak ada jika, dan, atau, tetapi bila benar, nilai 1 poin. Pernyataan benar 2 buah: tidak ada tetapi. Minta klien untuk mengikuti perintah berikut ini yang terdiri dari 3 langkah: ambil kertas di tangan anda,lipat 2 dan taruh di lantai. Ambil kertas Lipat dua Taruh di lantai Perintahkan pada klien untuk hal berikut (bila aktivitas sesuai perintah nilai 1 poin) Tutup mata anda. Perintah pada klien untuk menulis satu kalimat dan menyalin gambar Tulis satu kalimat Menyalin gambar Copying: Minta klien untuk mengcopy gambar di bawah. Nilai 1 point jika seluruh 10 sisi ada dan pentagon saling berpotongan membentuk sebuah gambar 4 sisi 87

101 ASPEK KOGNITIF NILAI MAKS NILAI KLIEN A F E KRITERIA Sumber: Balqis (2015) 88

102 Geriatric Depression Scale (GDS) No. Pertanyaan Jawaban Skor A F E Ya Ya Tidak Tidak Apakah anda merasa puas dengan hidup anda? Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan mengalami penurunan minat atau kesenangan anda? Apakah anda merasa hidup anda kosong/hampa? Apakah anda sering merasa bosan? Apakah anda memiliki semangat yang tinggi setiap saat? Apakah anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda? Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup? Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada pergi keluar dan melakukan sesuatu yang baru? Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat anda dibandingkan kebanyakan orang? Apakah anda pikir bahwa dapat hidup anda sekarang ini menyenangkan? Apakah anda merasa bahwa diri anda saat ini tidak berharga? Apakah anda merasa sangat bersemangat? Apakah anda merasa bahawa keadaan anda tidak ada harapan? Apakah anda merasa bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari pada anda? Sumber: Balqis (2015) Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak

103 Morse Fall Scale (MFS) Pengkajian Skala Nilai A F E Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir? Tidak Ya 25 Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih dari satu penyakit? Tidak Ya 15 Alat bantu jalan; -Bed rest/ dibantu perawat Kruk/ tongkat/ walker -Berpegangan pada benda-benda di sekitar (kursi, lemari, meja) Terapi Intravena; apakah saat ini lansia terpasang infus? Tidak Gaya berjalan/ cara berpindah -Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat bergerak sendiri) -Lemah (tidak bertenaga) -Gangguan/ tidak normal (pincang, diseret) Status Mental -Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri -Lansia mengalami keterbatasan daya ingat Sumber: Balqis (2015) Ya

104 Barthel Index Aktivitas Kemampuan Skor Skor klien A F E Makan Mandiri Perlu bantuan orang lain 5 Tergantung bantuan orang 0 lain Mandi Mandiri Tergantung bantuan orang 0 lain Membersihkan diri (lap muka, sisir rambut, sikat gigi) Mandiri Perlu bantuan orang lain 0 Berpakaian Mandiri Sebagian dibantu 5 Tergantung orang lain 0 Mengontrol BAB Kontinen diatur Kadang-kadang 5 inkontinen Inkontinen/kateter 0 Mengontrol BAK Kontinen diatur Kadang-kadang inkontinen 5 Penggunaan toilet (pergi ke/dari WC, melepaskan/ mengenakan pakaian, menyeka, menyiram) Inkontinen/kateter 0 Mandiri Perlu bantuan orang lain 5 Tergantung orang lain 0 Transfer (tidur-duduk) Mandiri Dibantu satu orang 10 Dibantu dua orang 5 91

105 Aktivitas Kemampuan Skor Skor klien A F E Tidak mampu 0 Mobilisasi (berjalan) Mandiri 15 Dibantu satu orang 0 Dibantu dua orang 5 Tergantung orang lain 0 Naik turun tangga Mandiri Perlu bantuan 5 Tidak mampu 0 92

106 Lampiran 6 JADWAL BAB Hari ini BAB? Jam berapa Warna tinja? Keras dan kering atau tidak? Bentuknya? Berapa banyak? Ada darah? Ngeden atau tidak? Waktu Ya BAB? Ya Tidak Ada Tidak Ya Tidak Pagi Siang Sore JADWAL MINUM AIR PUTIH Waktu Jumlah Pagi 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas Siang 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas Sore 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas Bangun tidur 1 gelas Setelah makan pagi 1 gelas air hangat Setelah makan siang 1 gelas air hangat Setelah makan sore 1 gelas air hangat 93

107 Lampiran 7 94

108 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 8 Nama Lengkap : Andini Wulandari Jenis Kelamin : Perempuan Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Agustus 1993 Alamat Lengkap : Jl. Rawageni no. 54 RT 003/RW 008, kelurahan Ratu Jaya, kecamatan Cipayung, Depok 16439, Jawa Barat Alamat andiniwfikui@gmail.com Riwayat Pendidikan : : SDN Ratu Jaya 2 Depok : SMPN 1 Depok : SMAN 1 Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan 95

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar dan Isezuo, 2012). Stroke juga merupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN 51 BAB V HASIL PENELITIAN Bab ini menguraikan hasil penelitian tentang pengaruh terapi air terhadap proses defekasi pasien konstipasi di RSU Sembiring Delitua Deli Serdang yang dilaksanakan pada 4 April-31

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi, penyebab, mekanisme dan patofisiologi dari inkontinensia feses pada kehamilan. INKONTINENSIA

Lebih terperinci

KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL

KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL DISUSUN OLEH : 1. SEPTIAN M S 2. WAHYU NINGSIH LASE 3. YUTIVA IRNANDA 4. ELYANI SEMBIRING ELIMINASI Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi

Lebih terperinci

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar Susah buang air besar atau lebih dikenal dengan nama sembelit merupakan problem yang mungkin pernah dialami oleh anda sendiri. Banyak yang menganggap sembelit hanya gangguan kecil yang dapat hilang sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) a. Pengertian MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan pada bayi atau anak yang berumur 6-24 bulan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MASSASE ABDOMEN DALAM MENGATASI KONSTIPASI PADA PASIEN STROKE

PENGGUNAAN MASSASE ABDOMEN DALAM MENGATASI KONSTIPASI PADA PASIEN STROKE PENGGUNAAN MASSASE ABDOMEN DALAM MENGATASI KONSTIPASI PADA PASIEN STROKE Junaedi Yunding STIKes Marendeng Majene Email : junaediy@stikes-marendeng.ac.id Abstrak Disfungsi saluran pencernaan adalah kasus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hemoroid atau wasir adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009). Hemoroid adalah struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vegetarian telah menjadi salah satu pilihan gaya hidup masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada saat berdiri tahun 1998, jumlah vegetarian yang terdaftar

Lebih terperinci

EDUKASI KLIEN BPH POST TURP DI RUMAH

EDUKASI KLIEN BPH POST TURP DI RUMAH EDUKASI KLIEN BPH POST TURP DI RUMAH Disusun Oleh : NILA NOPRIDA S. Kp NIM : 2014-35-020 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA 2015 Booklet Edukasi

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus

BAB I PENDAHULUAN. abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih dari satu periode (Udjianti,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan adanya tinja yang keras sehingga buang air besar menjadi jarang, sulit dan nyeri. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

Laporan Pendahuluan Eliminasi Alvi

Laporan Pendahuluan Eliminasi Alvi Laporan Pendahuluan Eliminasi Alvi 1. 1. DEFINISI BAB I PENDAHULUAN Eliminasi alvi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0 tahun. Tahun 2006

BAB 1 PENDAHULUAN. 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0 tahun. Tahun 2006 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Keberhasilan pembangunan, terutama di bidang kesehatan, secara tidak langsung telah menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk, serta meningkatkan usia harapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geriatri adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia (lansia) yang mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009). Menurut UU RI No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saluran pencernaan (gastrointestinal, GI) dimulai dari mulut sampai anus. Fungsi saluran pencernaan adalah untuk ingesti dan pendorongan makanan, mencerna makanan, serta

Lebih terperinci

DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar.

DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar. CA. KOLON DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar. ETIOLOGI Penyebab kanker usus besar masih

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Obstruksi usus atau illeus adalah gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi saluran cerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman modern ini banyak ibu yang memilih melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman modern ini banyak ibu yang memilih melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman modern ini banyak ibu yang memilih melakukan persalinan dengan operasi atau sectio caesarea hal ini disebabkan karena ibu memandang persalinan dengan sectio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia, sebagai sumber energi vital manusia agar dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik. Kandungan dalam makanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2011, pada tahun UHH adalah 66,4

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2011, pada tahun UHH adalah 66,4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan di bidang ekonomi, perbaikan lingkungan hidup dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada peningkatan usia harapan hidup (life expectancy) seseorang.

Lebih terperinci

TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING

TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING Disusun untuk memenuhi tugas Blok Urinary Oleh: Puput Lifvaria Panta A 135070201111004 Kelompok 3 Reguler 2 PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

4/5/2011. Oleh. Riwayat kesehatan Pemeriksaan fisik Pemeriksaan psikologis Laboratorium : Ht, gol darah dan Rh.

4/5/2011. Oleh. Riwayat kesehatan Pemeriksaan fisik Pemeriksaan psikologis Laboratorium : Ht, gol darah dan Rh. Oleh Ida Maryati, Sp.Mat 1 Kala I Fase laten : true labor dilatasi serviks 3 cm (20 jam pada nullipara, 14 jam pada multipara). Fase aktif : dari dilatasi serviks > 3 cm sampai 10 cm. Kala II: dari dilatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan menjadi sekitar 11,34%. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan menjadi sekitar 11,34%. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 7,28% dan pada tahun 2020 diperkirakan menjadi sekitar 11,34%. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir setiap wanita akan mengalami proses persalinan. Kodratnya wanita dapat melahirkan secara normal yaitu persalinan melalui vagina atau jalan lahir biasa (Siswosuharjo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy); semakin banyak

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy); semakin banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam menurunkan angka kematian dan kelahiran berdampak pada perubahan struktur penduduk yang di dominasi oleh kelompok muda, namun

Lebih terperinci

CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN No.Dx Hari/Tanggal Pukul Tindakan Keperawatan Evaluasi (SOAP) I Hari pertama Senin/17 Juni 09.00-10.30 1. Mengkaji kemampuan secara fungsional

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Bladder Retention Training 1.1. Defenisi Bladder Training Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGGUNAAN UTAMA OBAT PENCAHAR 2.1.1 KONSTIPASI Laksansia atau pencahar bekerja dengan cara menstimulasi gerakan peristaltik dinding usus sehingga mempermudah buang air besar

Lebih terperinci

Tujuan Asuhan Keperawatan pada ibu hamil adalah sebagai berikut:

Tujuan Asuhan Keperawatan pada ibu hamil adalah sebagai berikut: ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL Tujuan Asuhan Keperawatan pada ibu hamil adalah sebagai berikut: a. Menentukan diagnosa kehamilan dan kunjungan ulang. b. Memonitori secara akurat dan cermat tentang kemajuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia tersebut, tidak hanya perubahan

Lebih terperinci

CATATAN PERKEMBANGAN. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan NO. DX Hari/Tanggal Pukul (wib) Tindakan Keperawatan 1 Senin/17 Juni

CATATAN PERKEMBANGAN. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan NO. DX Hari/Tanggal Pukul (wib) Tindakan Keperawatan 1 Senin/17 Juni CATATAN PERKEMBANGAN Implementasi Evaluasi Keperawatan NO. DX Hari/Tanggal Pukul (wib) Tindakan Keperawatan 1 Senin/17 Juni 16.00 1. Mengkaji 2013 kemampuan menelan 2. Mengidentifik asi aya mual/muntah.

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA Blok Urinary System Oleh: Kelompok 3 TRIGGER JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 Ny Sophia, usia 34 tahun, datang ke klinik

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA BAPAK B (78 TAHUN) DENGAN MASALAH KONSTIPASI DI WISMA BUNGUR SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR KARYA

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah hipertensi. Dampak ini juga diperjelas oleh pernyataan World Health

BAB I PENDAHULUAN. adalah hipertensi. Dampak ini juga diperjelas oleh pernyataan World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pembangunan nasional yang berlangsung beberapa tahun terakhir telah menimbulkan pergeseran pola penyebab kematian dan masalah kesehatan. Sunaryo

Lebih terperinci

BAB II RESUME KEPERAWATAN WIB, pasien dirawat dengan Fraktur Femur pada hari ke empat:

BAB II RESUME KEPERAWATAN WIB, pasien dirawat dengan Fraktur Femur pada hari ke empat: 11 BAB II RESUME KEPERAWATAN A. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada hari Senin tanggal 22 Januari 20007 jam 07.30 WIB, pasien dirawat dengan Fraktur Femur pada hari ke empat: 1. Biodata. a. Identitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TEORI 1. Lanjut Usia (Lansia) Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 yang termuat dalam pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 tahun, tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti

Lebih terperinci

populasi yang rentan atau vulnerable sebagai akibat terpajan risiko atau akibat buruk dari masalah kesehatan dari keseluruhan populasi (Stanhope dan

populasi yang rentan atau vulnerable sebagai akibat terpajan risiko atau akibat buruk dari masalah kesehatan dari keseluruhan populasi (Stanhope dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia menarik diamati. Dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Berdasarkan data

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. dapat dilewati (Sabiston, 1997: 228). Sedangkan pengertian hernia

BAB I KONSEP DASAR. dapat dilewati (Sabiston, 1997: 228). Sedangkan pengertian hernia 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Kata hernia pada hakekatnya berarti penonjolan suatu peritoneum, suata organ atau lemak praperitoneum melalui cacat kongenital atau akuisita dalam parietas muskuloaponeurotik

Lebih terperinci

KONSEP TEORI. 1. Pengertian

KONSEP TEORI. 1. Pengertian KONSEP TEORI 1. Pengertian Kolik Abdomen adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran

Lebih terperinci

Metodologi Asuhan Keperawatan

Metodologi Asuhan Keperawatan Metodologi Asuhan Keperawatan A. Pendahuluan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah penderita stroke di Indonesia kini kian meningkat dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah penderita stroke di Indonesia kini kian meningkat dari tahun ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita stroke di Indonesia kini kian meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini di Indonesia penyakit stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi

LAPORAN PENDAHULUAN Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi LAPORAN PENDAHULUAN I. Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi Termoregulasi adalah suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai keseimbangan produksi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI. BAB 4 HASIL Dalam penelitian ini digunakan 782 kasus yang diperiksa secara histopatologi dan didiagnosis sebagai apendisitis, baik akut, akut perforasi, dan kronis pada Departemen Patologi Anatomi FKUI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK R DENGAN MASALAH KONSTIPASI DI WISMA DAHLIA PSTW BUDI MULIA 1 CIPAYUNG KARYA ILMIAH AKHIR NERS DITA NUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah pengendara kendaraan bermotor dan pengguna jalan

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah pengendara kendaraan bermotor dan pengguna jalan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kasus-kasus orthopedi bertambah banyak, semakin bertambahnya jumlah pengendara kendaraan bermotor dan pengguna jalan raya banyak kita jumpai berbagai kecelakaan

Lebih terperinci

KEPERAWATAN SISTEM PENCERNAAN

KEPERAWATAN SISTEM PENCERNAAN RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER KEPERAWATAN SISTEM PENCERNAAN NS. DWI NOVRIANDA, S.KEP., M.KEP. PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2014 KEPERAWATAN

Lebih terperinci

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) Data menunjukkan bahwa ratusan juta orang di seluruh dunia menderita penyakit hipertensi, sementara hampir 50% dari para manula dan 20-30% dari penduduk paruh baya di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit penyakit

BAB I PENDAHULUAN. menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah usaha yang diarahkan agar setiap penduduk dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya tersebut sampai saat

Lebih terperinci

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. Niken Andalasari

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. Niken Andalasari KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR Niken Andalasari 1 Kebutuhan Istirahat dan tidur Istirahat sangat luas jika diartikan meliputi kondisi santai, tenang, rileks, tidak stress, menganggur,.. Namun tidak berarti

Lebih terperinci

BAB II. Mega kolon adalah dilatasi dan atonikolon yang disebabkan olah. Mega kolon suatu osbtruksi kolon yang disebabkan tidak adanya

BAB II. Mega kolon adalah dilatasi dan atonikolon yang disebabkan olah. Mega kolon suatu osbtruksi kolon yang disebabkan tidak adanya BAB II A. Pengertian Mega kolon adalah dilatasi dan atonikolon yang disebabkan olah massa fekal yang menyumbat pasase isi kolon. (Brunner & Suddarth, 2001) Mega kolon suatu osbtruksi kolon yang disebabkan

Lebih terperinci

FORMAT PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA AKADEMI KEPERAWATAN PANTI WALUYA MALANG

FORMAT PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA AKADEMI KEPERAWATAN PANTI WALUYA MALANG FORMAT PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA AKADEMI KEPERAWATAN PANTI WALUYA MALANG 1. IDENTITAS KLIEN Nama : Jenis Kelamin : Umur : Suku : Alamat : Agama : Pendidikan : Status Perkawinan : Tanggal

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN A. Pembahasan Bab ini membahas tentang gambaran pengelolaan terapi batuk efektif bersihan jalan nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance

Lebih terperinci

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR Niken Andalasari 1 Kebutuhan Istirahat dan tidur Istirahat sangat luas jika diartikan meliputi kondisi santai, tenang, rileks,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keberhasilan pemerintah dalam pembangunan Nasional telah mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keberhasilan pemerintah dalam pembangunan Nasional telah mewujudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pemerintah dalam pembangunan Nasional telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, peraikan lingkungan hidup,

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk Pelayanan Kesehatan bagi Anak Bab 7 Gizi Buruk Catatan untuk fasilitator Ringkasan kasus Joshua adalah seorang anak laki-laki berusia 12 bulan yang dibawa ke rumah sakit kabupaten dari rumah yang berlokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lanjut usia merupakan individu yang berada pada tahapan dewasa akhir yang usianya dimulai dari 60 tahun keatas. Setiap individu mengalami proses penuaan terlihat dari

Lebih terperinci

Tindakan keperawatan (Implementasi)

Tindakan keperawatan (Implementasi) LAMPIRAN CATATAN PERKEMBANGAN No. Dx Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Hari/ Pukul tanggal 1 Senin / 02-06- 14.45 15.00 15.25 15.55 16.00 17.00 Tindakan keperawatan (Implementasi) Mengkaji kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang isi dari pendahuluan diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang isi dari pendahuluan diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas tentang isi dari pendahuluan diantaranya adalah latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. A. Latar Belakang Lansia adalah seseorang

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

MASALAH ELIMINASI FECAL

MASALAH ELIMINASI FECAL e Obat-obatan Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang normal Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS / RESUME DIARE

LAPORAN KASUS / RESUME DIARE LAPORAN KASUS / RESUME DIARE A. Identitas pasien Nama lengkap : Ny. G Jenis kelamin : Perempuan Usia : 65 Tahun T.T.L : 01 Januari 1946 Status : Menikah Agama : Islam Suku bangsa : Indonesia Pendidikan

Lebih terperinci

Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Usia Lanjut. Margaretha Teli, SKep,Ns, MSc

Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Usia Lanjut. Margaretha Teli, SKep,Ns, MSc Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Usia Lanjut Margaretha Teli, SKep,Ns, MSc Proses Keperawatan Lansia Assessment Nursing Diagnosis Intervention Implementation Evaluation Askep Lansia di tatanan Klinis (clinical

Lebih terperinci

Bagian Keperawatan. Maternitas PSIK FK UNAIR

Bagian Keperawatan. Maternitas PSIK FK UNAIR Oleh : Ni Ketut Alit A. Bagian Keperawatan. Maternitas PSIK FK UNAIR SURABAYA Frekwensi pemeriksaan post partum sesuai protap : Satu jam pertama : tiap 15 menit Dua jam selanjutnya : tiap 30 menit 24 jam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Peringkat IV di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat Sensus BPS 1998 UHH pria = 63 tahun, dan wanita = 67 tahun

PENDAHULUAN. Peringkat IV di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat Sensus BPS 1998 UHH pria = 63 tahun, dan wanita = 67 tahun B Y. L U F T H I A N I P R O G R A M S T U D I I L M U K E P E R A W A T A N F K U S U PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan & tehnologi kesehatan Asupan gizi lebih baik Usia harapan hidup Pertambahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hemoroid merupakan salah satu penyakit. anorektal yang sering dijumpai. Hemoroid adalah bantalan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hemoroid merupakan salah satu penyakit. anorektal yang sering dijumpai. Hemoroid adalah bantalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hemoroid merupakan salah satu penyakit anorektal yang sering dijumpai. Hemoroid adalah bantalan vaskular yang terdiri dari pembuluh darah, otot polos, dan jaringan

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dilihat dari usia harapan hidup (UHH) (Mubarak,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dilihat dari usia harapan hidup (UHH) (Mubarak, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi merupakan hal yang saling berkaitan. Selama ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem persarafan terdiri dari otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan mengordinasikan aktivitas sel tubuh melalui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang usia 65 tahun keatas (Potter

BAB 1 PENDAHULUAN. Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang usia 65 tahun keatas (Potter BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang usia 65 tahun keatas (Potter &Perry, 2010). Sedangkan organisasi kesehatan dunia WHO 2012 dalam Nugroho (2012) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks merupakan salah satu organ yang fungsinya belum diketahui secara pasti. Apendiks sering menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya adalah apendisitis (Sjamsuhidayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Insiden hipertensi mulai terjadi seiring bertambahnya usia. Pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Insiden hipertensi mulai terjadi seiring bertambahnya usia. Pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insiden hipertensi mulai terjadi seiring bertambahnya usia. Pada populasi umum, pria lebih banyak yang menderita penyakit ini dari pada wanita (pria 39 % dan wanita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai istilah bergesernya umur sebuah populasi menuju usia tua. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai istilah bergesernya umur sebuah populasi menuju usia tua. (1) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena penuaan populasi (population aging) merupakan fenomena yang telah terjadi di seluruh dunia, istilah ini digunakan sebagai istilah bergesernya umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar (usia 6-12 tahun) adalah pola makan yang tidak tepat. Anak usia sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN. dasar (usia 6-12 tahun) adalah pola makan yang tidak tepat. Anak usia sekolah dasar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu penyebab munculnya masalah kesehatan pada anak usia sekolah dasar (usia 6-12 tahun) adalah pola makan yang tidak tepat. Anak usia sekolah dasar memiliki

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit atau kondisi pada waktu tertentu; pembilang dari angka ini adalah jumlah kasus yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis adalah kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan medis dan keperawatan

Lebih terperinci

2. Pengkajian Kesehatan. a. Aktivitas. Kelemahan. Kelelahan. Malaise. b. Sirkulasi. Bradikardi (hiperbilirubin berat)

2. Pengkajian Kesehatan. a. Aktivitas. Kelemahan. Kelelahan. Malaise. b. Sirkulasi. Bradikardi (hiperbilirubin berat) . KOMPLIKASI Ensefalopai hepaic terjadi pada kegagalan hai berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopai hepaik. Kerusakan jaringan paremkin hai

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna tinggi artinya

BAB I KONSEP DASAR. sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna tinggi artinya BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Obstruksi usus atau ilieus adalah gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna

Lebih terperinci

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita Saat menemukan penderita ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menentukan tindakan selanjutnya, baik itu untuk mengatasi situasi maupun untuk mengatasi korbannya. Langkah langkah penilaian pada penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun),

BAB I PENDAHULUAN. masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan pada saluran pencernaan (gastrointestinal) merupakan sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan medik. Kasus pada sistem gastrointestinal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minuman pahit (Soeria, 2013). Coklat berasal dari tanaman kakao dan proses

BAB I PENDAHULUAN. minuman pahit (Soeria, 2013). Coklat berasal dari tanaman kakao dan proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Coklat berasal dari kata xocoatl (bahasa suku Aztec) yang memiliki arti minuman pahit (Soeria, 2013). Coklat berasal dari tanaman kakao dan proses pengolahan biji kakao

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan, membuat usia harapan hidup manusia relatif bertambah panjang. Menurut United Nations: World Population

Lebih terperinci

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c.

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c. APPENDISITIS I. PENGERTIAN Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997) II. ETIOLOGI Appendisitis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selulosa, insiden ini mencapai puncak pada usia tahun (Lilik, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. selulosa, insiden ini mencapai puncak pada usia tahun (Lilik, 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia lanjut merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Pada usia lanjut akan terjadi banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup,

Lebih terperinci

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2.

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2. BLADDER TRAINING BLADDER TRAINING Bladder training biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan pola eliminasi urin (inkontinensia) yang berhubungan dengan dysfungsi urologik. Pengkajian : Manifestasi

Lebih terperinci

PERAWATAN KOLOSTOMI Pengertian Jenis jenis kolostomi Pendidikan pada pasien

PERAWATAN KOLOSTOMI Pengertian Jenis jenis kolostomi Pendidikan pada pasien PERAWATAN KOLOSTOMI Pengertian * Sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses (M. Bouwhuizen, 1991) * Pembuatan lubang sementara atau permanen dari

Lebih terperinci