BAB VI PENUTUP. maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan Pergub No.

Transkripsi

1 BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan Pergub No. 30 tahun 2011 meliputi multi aktor, diantaranya : Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, Swasta dan Masyarakat. Dalam kebijakan Pergub N0. 30 Tahun 2011, aktor-aktor tersebut dijadikan satu kesatuan dalam kelembagaan khusus yang menangani pengelolaan CSR/PKBL Di Provinsi Lampung, yakni : Forum Komunikasi CSR (diketuai oleh Gubernur Lampung dan Beranggotakan Bupati/Walikota dan perwakilan dunia usaha (APINDO, FORKAPEL, HIPMI), Tim Fasilitas Tingkat Provinsi (diketuai oleh Wakil Gubenrnur, Kepala Bappeda dan perwakilan dunia usaha), Tim Koordinasi Tingkat Kabupaten/Kota (diketuai oleh Bupati/Walikota dan SKPD Kabupaten/Kota, dan kelompok masyarakat). Sehingga pelaksanaannya kelembagaan khusus ini yang menjadi implementor kebijakan. Adapun fungsi dan peran masing-masing aktor dalam Pergub No. 30 tahun 2011 sebagai berikut : a. Pemerintah berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator bagi dunia usaha dan masyarakat. Sehingga peran pemeritah adalah meyususn program pembangunan daerah berdasarkan kebutuhan masyarakat dan mensinergikannya dengan program CSR perusahaan. 126

2 b. Swasta berfungsi sebagai Akses pada permodalan, Jejaring komersial, dan pemegang kewenangan program CSR. Sehingga peran swasta dalam kebijakan ini adalah membantu program pemerintah daerah melalui sinergi program CSR yang dimiliki oleh swasta. c. Masyarakat berfungsi sebagai kelompok sasaran, akses data masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Sehingga peran masyarakat dalam kebijakan ini adalah sebagai modal sosial dan pemberdayaan masyarakat. 2. Pelaksanaan program CSR di dua perusahaan yang menjadi sample objek penelitian ini, yaitu ; PTPN 7 dan PT. Nestle pada dasarnya sudah melaksanakan program CSR sesuai dengan ketentuan Peraturan yang disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing perusahaan. a. PTPN 7 - CSR PTPN 7 diwujudkan dalam bentuk PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan). Fokus PKBL perusahaan ini kedalam tiga bidang utama yaitu : Bidang Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan. - PTPN 7 memandang CSR sebagai strategi bisnis yang mengutamakan core bisnis perusahaan, namun juga aktivitas yang sama sekali tidak terkait dengan perusahaan dengan prioritas ring terdekat perusahaan. - Kejelasan perusahaan dalam melaksanakan program CSR ditunjukan dengan adanya struktur organisasi tersendiri dikelola oleh Bagian PKBL & Umum yang berada dibawah pengawasan Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) & Umum PTPN 7 127

3 - Kejelasan dan konsistensi perusahaan dalam menjalankan CSR dapat dilihat dari anggaran. PTPN 7 mempunyai alokasi pembiayaan program secara khusus, yaitu maksimal 2% (dua persen) dari keuntungan perusahaan. Tahun 2012 anggaran PKBL PTPN7 sebesar Rp b. Nestle - CSR Nestle diwujudkan dalm bentuk CSV (Creating Shared Value) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Menciptakan Nilai Bersama. Fokus CSV Nestle dibagi dalam 3 bidang (Nutrition, Helath, Wellness), serta pembinaan kepada petani kopi Lampung. - Nestle memandang CSR sebagai strategi bisnis yang berfokus kepada mata rantai bisnisnya (supply chain). Oleh karena itu CSV Nestle hanya konsen terkait dengan rantai bisnis perusahaan. Untuk program kemitraan khusus fokus pada petani kopi di Lampung, program diberikan tidak dalam bentuk pendaaan melainkan petalihan. Sementara untuk filantropi, Nestle fokus pada jenis program, bukan wilayah dan penerima manfaat adalah konsumen. - Struktur organisasi Nestle tidak terdapat divisi khusus yang menangani program CSR, karena program CSR melekat dalam setiap proses bisnis perusahaan. - Nestle mengalokasikan pembiayaan program CSV melalui devisi pelaksana anggaran CSV melekat langsung dengan biaya proses produksi di setiap divisi, pabrik hingga departemen. 128

4 3. Dialog yang terjadi antar aktor belum berjalan dengan optimal. Walaupun mekanisme pelaksanaan program ini secara aturan terlihat cukup representatif dan jelas. Bahkan, untuk mengefektifkan program telah dibentuk kelembagaan khusus yang menangani pengelolaan CSR/PKBL di Provinsi Lampung dan kelembagaan ini yang mempunyai kewenangan untuk berdialog antar aktor lainnya, namun kenyataannya kebijakan ini tatap gagal diimplementasikan. Dinamika perbedaan kepenting dan persepsi antar aktor menjadi salah satu faktor utama gagalnya implementasi kebijakan ini. Pada dasarnya masing-masing aktor bertahan dengan kepentingannya masingmasing. Berikut ini penulis simpulkan perbedaan kepentingan dan persepsi antar aktor terhadap kebijakan pengelolaan CSR di Provinsi Lampung : a. Pemerintah tetap pada kepentingannya beranggapan bahwa program CSR harus disinergikan dengan program pembangunan daerah. Pemerintah berpendapat program CSR yang dimiliki perusahaan dapat membiayai program pembangunan daerah, serta melalaui program CSR pelaku usaha ikut bertanggungjawab mewujudkan pembangunan berkelanjutan. b. Swasta tetap pada kepentingannya beranggapan CSR bagi sektor swasta dijadikan sebagai strategi bisnis perusahaan dan peruntukannya pun disesuaikan dengan mata rantai bisnisnya (supply chain), oleh karena itu setiap aktifitas CSR dimasukan sebagai biaya produksi perusahaan. Swasta berpendapat kebijakan ini nantinya akan membebankan pelaku usaha, karena dikhawatirkan melalui sinergi program pemerintah terlalu mengintervensi peruntukan program CSR yang telah disusun perusahaan. 129

5 c. Masyarakat pada dasarnya tidak begitu mempermalahkan apakah CSR harus diatur dalam Peraturan atau dibiarkan perusahaan mempunyai kewenangan untuk menjalankannya. Hal ini karena masyarakat merupakan kelompok sasaran yang tidak dapat berbuat banyak dalam kebijakan SARAN Untuk menciptakan dialog yang optimal antar aktor dalam mengimplementasikan kebijakan pengelolaan CSR, tentu masing-masing aktor harus mawu melemahkan powernya dalam hal meletakkan kepentingan pribadi atau golongan untuk kepentingan bersama dalam rangka mencapai tujuan kebijakan. Maka adapun hal-hal yang dapat disarankan untuk mengefektifkan kembali implementasi kebijakan pengelolaan CSR/PKBL di Provinsi Lampung adalah sebagai berikut : 1. Aktor Pemerintah a. Dari segi konten kebijakan Pergub No. 30 Tahun 2011 masih terdapat kekurang dan kelemahan. Untuk itu perlu disempurnakan kembali agar tidak menimbulkan permasalahan. b. Harus ada SKPD khusus yang menangani implementasi pengelolaan CSR baik pada level Provinsi maupun Kab/Kota. Kemudia SKPD ini betul-betul memahami konsep CSR dan jelih melihat program-program yang dimiliki perusahaan yang kemudian disusun dalam bentuk program daerah. c. Pemerintah harus lebih flexibel, flexibel dalam menyusun program CSR, maupun flexibel dalam meberikan keleluasaan kepada pelaku usaha untuk 130

6 melakukan program CSR. Intervensi terlalu besar justru akan menimbulkan sikap antipati dari kalangan pelaku usaha terhadap pemerintah. d. Sosialisasi dan koordinasi diefektifkan kembali, bukan hanya sosialisasi ke perusahaan saja tetapi juga sosialisasi dilaksanakan pada tingkat pemerintah Kabupaten/Kota. Diharapkan dengan sosialisasi dan koordinasi yang inten dapat menimbulkan pemahaman yang sama tentang CSR. e. Diperlukan komitmen yang sungguh-sungguh dari pimpinan Gubernur dan Bupati/Walikota dalam rangka mensukseskan kebijakan ini. 2. Aktor swasta a. Pelaku usaha harus menghilangkan ego masing-masing perusahan dan melebur menjadi satu dalam bentuk pembangunan berkelanjutan di Provinsi Lampung. b. Dibutuhkan keterbukan dan sikap percaya dari pelaku usaha terkait pelaksanaan CSR perusahaan kepada pemerintah dan masyarakat. c. Dalam menyikapi kebijakan pengelolaan CSR di Lampung jangan dianggap beban oleh kalangan pelaku usaha, seharusnya pengusaha dapat bersikap lebih bijak dengan mengingat dampak buruk yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan. 3. Aktor masyarakat Masyarakat harus berperan aktif dengan membentuk kelompok masyarakat. Dan masyarakat harus memberikan masukan kepada pemerintah dan perusahaan tentang apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyaarakat. 131