KONEKTIVITAS JUVENIL IKAN ANTARA HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA FATHUL AMIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONEKTIVITAS JUVENIL IKAN ANTARA HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA FATHUL AMIN"

Transkripsi

1 KONEKTIVITAS JUVENIL IKAN ANTARA HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA FATHUL AMIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konektivitas Juvenil Ikan antara Habitat Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Fathul Amin NRP C

4 RINGKASAN FATHUL AMIN. Konektivitas Juvenil Ikan antara Habitat Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL dan AM AZBAS TAURUSMAN. Pulau Pramuka merupakan bagian dari kawasan pesisir di Kepulauan Seribu yang terdiri atas tiga habitat utama yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang yang saling terkoneksi satu sama lain. Secara spasial konektivitas ekologis yang paling dekat adalah antara habitat mangrove dan lamun dimana terdapat zona transisi yang merupakan zona campuran antara keduanya. Salah satu bentuk interaksi dari konektivitas tersebut adalah migrasi fauna terutama ikan stadia juvenil. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas juvenil ikan yang meliputi komposisi jenis, kelimpahan dan biomassa antara habitat mangrove dan lamun; mengkaji distribusi kumpulan juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun; mengkaji tingkat kesamaan (similaritas) diantara habitat yang berdekatan. Penelitian dilakukan pada bulan April - Juni 2015 dengan interval sampling setiap sebulan sekali di sebelah timur Pulau Pramuka. Penentuan lokasi pengamatan berdasarkan keterwakilan interaksi spasial dari habitat mangrove dan lamun yang terbagi dalam tiga zona pengamatan yaitu zona mangrove, transisi dan lamun. Penentuan area pengamatan menggunakan tiga transek garis tegak lurus dalam luas total area ± 2,16 ha. Sampling ikan dilakukan menggunakan jaring insang (gill net) mesh size 1 cm. Analisis data yang dilakukan diantaranya analisis struktur komunitas ikan, distribusi dan similaritas habitat yang dibantu perangkat lunak PRIMER versi 5.2 dan program SPSS. Hasil sampling ikan selama penelitian didapatkan 24 spesies ikan dengan total kelimpahan individu per 2,16 ha yang terdiri dari 15 famili yaitu Siganidae (4 spesies), Apogonidae (3 spesies), Gerreidae, Terapontidae, Gobiidae dan Labridae (2 spesies), Mugilidae, Nemipteridae, Hemiramphidae, Sphyraenidae, Moncanthidae, Atherinidae, Pomacentridae, Lutjanidae dan Lethrinidae (1 spesies). Berdasarkan struktur komunitas, perbedaan antar zona pengamatan yang berdekatan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah jenis, kelimpahan dan biomassa ikan. Berdasarkan distribusi ikan menurut habitat, spesies ikan di zona transisi dan lamun relatif sama yang didominasi oleh Gerres oblongus, Fibramia lateralis dan Siganus canaliculatus, sedangkan di zona mangrove relatif berbeda yang didominasi oleh Gerres oblongus dan Siganus guttatus. Berdasarkan similaritas, zona transisi dan lamun dikelompokkan secara bersama dalam satu kelompok dan tidak berbeda nyata antara keduanya, sedangkan zona mangrove terpisah dari kelompok tersebut dan terdapat perbedaan sangat nyata dengan kedua zona tersebut. Kata kunci: konektivitas, juvenil, mangrove dan lamun, pulau Pramuka, Siganidae

5 SUMMARY FATHUL AMIN. Connectivity of Juvenile Fish between Mangrove and Seagrass Habitat in Pramuka Island, Seribu Islands, Jakarta. Supervised by MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL and AM AZBAS TAURUSMAN. Pramuka Island is part of coastal area of Seribu Islands characterized by three habitats namely mangrove, seagrass, and coral reef is between connected. The nearest spatially ecological connection is between mangrove and seagrass where in between there is a transition zone. The connectivity between two habitats are those fauna migration especially fish juvenile. This study is aimed to investigate the community structure of fish juvenile consist of species composition, abundance, and biomass of the fish between mangrove and seagrass; to explore the distribution of fish assemblage; to analyse the level of similarity between the adjacent habitats. This study was conducted from April to June 2015 with once a month sampling time in the eastern part of Pramuka Island. The determination of sampling location was based on the three observation zones, representing mangrove, transition and seagrass zones. The determination of sampling area was three perpendicular transect line making total area of ± 2,16 ha. Fish sampling was made by using gill net with mesh size of 1 cm. The data were analyses by means community structure, distribution and habitat similarity supported by software PRIMER version of 5.2 and SPSS program. The result of the study revealed that there werw 24 fish species with abundance of individuals in each of 2.16 ha, consist of 15 families namely Siganidae (4 species), Apogonidae (3 species), Gerreidae, Terapontidae, Gobiidae and Labridae (2 species), Mugilidae, Nemipteridae, Hemiramphidae, Sphyraenidae, Monacanthidae, Atherinidae, Pomacentridae, Lutjanidae and Lethrinidae (1 species). According to community structure, the observation zone that was adjacent did not give a significant differences to the number of species, abundance and biomass. According to fish distribution, fish species in transition zone and seagrass zone were relatively the same in which it was dominated by Gerres oblongus, Fibramia lateralis and Siganus canaliculatus. Meanwhile, mangrove zone was relatively different in which it was dominated by Gerres oblongus and Siganus guttatus. Based on similarity, transition zone and seagrass zone was grouped in one group and there was no significant difference between the two zones, while mangrove zone was separated from the group in which there was a significant difference between the groups. Keywords: connectivity, juvenile, mangrove and seagrass, Pramuka island, Siganidae

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 i KONEKTIVITAS JUVENIL IKAN ANTARA HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA FATHUL AMIN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8 Penguji Luar Komisi Pembimbing Pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA

9 Judul Tesis : Konektivitas Juvenil Ikan antara Habitat Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta Nama : Fathul Amin NRP : C Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc Ketua Dr Am Azbas Taurusman, SPi,MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 29 Januari 2016 Tanggal Lulus:

10

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini mengambil tema tentang Konektivitas Juvenil Ikan antara Habitat Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Penelitian ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada penulis 2. Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc selaku pembimbing I dan Dr Am Azbas Taurusman, SPi,MSi selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis 3. Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis 4. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis 5. Keluarga penulis: Orang tua (Ibunda Syarifah dan Almarhum Badrin), Abang dan Ayuk, serta keluarga besar lainnya, terima kasih untuk do a, motivasi dan kasih sayang yang tulus kepada penulis 6. Pihak DIKTI selaku sponsor beasiswa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik 7. LPPM IPB yang telah mendukung penelitian ini melalui hibah penelitian institusi IPB Pengembangan Perikanan Baronang Terpadu 8. Staf dan Teknisi di Laboratorium Biologi Makro dan Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan yang telah memberikan fasilitas dan bantuan kepada penulis selama penelitian 9. Pihak Balai Taman Nasional Kepuluan Seribu (BTNKPs) atas segala bantuan administratif dan fasilitas penginapan selama di lapangan 10. Teman-teman yang telah membantu selama kegiatan penelitian di lapangan: Indra Mahyudi, Arif Rahman, La Ode Hasrun dan Rudiansyah 11. Teman-teman SDP 2013 atas semangat, dukungan dan do a kepada penulis 12. Serta pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2016 Fathul Amin

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 METODE 4 Lokasi Penelitian 4 Alat 5 Prosedur Penelitian 5 Analisis Data 7 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan 12 Status Kondisi Mangrove dan Lamun 15 Struktur Komunitas Ikan 17 Distribusi 24 Similaritas 29 Implikasi Pengelolaan 31 4 SIMPULAN DAN SARAN 32 Simpulan 32 Saran 32 DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN 37 RIWAYAT HIDUP vi vi vi

13 DAFTAR TABEL 1 Peralatan dan parameter dalam penelitian 5 2 Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Kepmen LH No. 201 Tahun Status padang lamun menurut Kepmen LH No. 200 Tahun Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan 12 5 Rerata kelimpahan jenis ikan di Pulau Pramuka (ind m -2 ) 18 6 Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi 24 7 Persen kontribusi spesies penciri habitat 30 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alur perumusn masalah 3 2 Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka 4 3 Rancangan penentuan stasiun penelitian 6 4 Kerapatan jenis mangrove di Pulau Pramuka 15 5 Persen penutupan lamun di Pulau Pramuka 16 6 Nilai rerata kelimpahan ikan: (a) Spasial, (b) Temporal 19 7 Persentase kelimpahan famili ikan: (a) Mangrove, (b) Lamun, (c) Transisi 20 8 Nilai rerata biomassa ikan: (a) Spasial, (b) Temporal 22 9 Persentase kelimpahan biomassa ikan Persentase stadia ikan Konfigurasi distribusi ikan pada zona pengamatan Distribusi spesies ikan berdasarkan: (a) Habitat, (b) Ukuran Dendrogram similaritas antar zona pengamatan 29 DAFTAR LAMPIRAN 14 Taksonomi jenis ikan di Pulau Pramuka Total kelimpahan ikan di Pulau Pramuka (ind) Total biomassa ikan di Pulau Pramuka (g) Kisaran distribusi panjang (mm) dan stadia ikan Hasil ANOVA perlakuan habitat dan bulan terhadap kelimpahan Hasil ANOVA perlakuan habitat dan bulan terhadap biomassa Hasil analisis similaritas Bray-Curtis dan uji statistik ANOSIM Hasil analisis Similarity of Percentage (SIMPER) Dokumentasi beberapa jenis ikan di Pulau Pramuka 47

14 2 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan suatu wilayah yang unik yaitu wilayah daratan berbatasan dengan lautan dan strategis karena terdiri atas beberapa komponen ekologi yang saling terkait sehingga memiliki produktivitas yang sangat tinggi baik secara ekologi maupun ekonomi. Kepulauan Seribu merupakan salah satu yang termasuk dalam kawasan pesisir yang secara geografis memiliki peran penting terhadap pertumbuhan ekonomi daerah baik dalam bidang perikanan, jasa transportasi laut maupun pariwisata (Sachoemar 2008). Pulau Pramuka merupakan bagian dari kawasan pesisir di Kepulauan Seribu yang secara ekologi terdiri atas tiga habitat utama yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang yang saling terkoneksi satu sama lain. Secara spasial konektivitas ekologis yang paling dekat dari tiga habitat tersebut adalah antara mangrove dengan lamun dimana terdapat zona transisi yang merupakan zona campuran antara keduanya. Adanya konektivitas ekologis dari tiga habitat utama kawasan pesisir yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang membentuk suatu sistem interaksi diantaranya yaitu interaksi fisik, nutrien ataupun bahan-bahan organik terlarut dan partikulat sehingga mampu menciptakan stabilitas lingkungan (UNESCO 1983). Habitat mangrove dan lamun memberikan nutrisi penting dari dekomposisi bahan organik dan sumber penting detritus sehingga membentuk dasar jaring makanan serta mampu menyediakan air yang lebih jernih bagi habitat terumbu karang, sementara habitat terumbu karang dengan struktur fisiknya mampu menurunkan aliran pasang surut sehingga memberikan tekanan air yang lebih rendah bagi habitat mangrove dan lamun (Kathiresan 2014). Begitulah seterusnya interaksi tersebut berlangsung sehingga menciptakan kestabilan lingkungan yang sangat mendukung bagi berbagai biota yang berada didalamnya, terutama ikan yaitu pada stadia juvenil. Stadia juvenil menurut Kendall et al. (1983) adalah akhir transformasi dari larva yang ditandai dengan hilangnya karakter larva seperti mulai terbentuknya pigmen warna, sisik dan sirip yang lengkap sehingga karakter juvenil sudah seperti ikan dewasa, yang mana perbedaannya adalah pada ukuran dan organ reproduksi yang belum berfungsi. Effendi (2009) juga menyatakan bahwa juvenil merupakan anakan ikan yang secara morfologi sudah memiliki bentuk tubuh seperti induknya, namun ukurannya lebih kecil merupakan ikan muda dimana organ reproduksinya masih dalam tahap perkembangan sehingga belum berfungsi. Kelangsungan hidup juvenil ikan umumnya lebih banyak disediakan oleh habitat mangrove dan lamun. Hal tersebut terkait dengan peranan kedua habitat tersebut dalam sistem ekologi. Beberapa peranan mangrove dan lamun bagi kehidupan juvenil ikan diantaranya yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan, sumber makanan dan tempat mencari makan (Nagelkerken 2000; Nakamura 2008; Verweij 2008). Pada beberapa ikan, pemanfaatan habitat mangrove dan lamun umumnya sebagai habitat dasar pembibitan terutama pada stadia juvenil sebelum bermigrasi ke terumbu karang pada fase dewasa (Harm et al. 2012). Huijbers et al. (2008) juga menyatakan sebagian besar ikan-ikan karang menghabiskan stadia juvenilnya di habitat mangrove dan lamun.

15 Keberadaan habitat mangrove dan lamun di pulau Pramuka yang terkoneksi spasial sangat penting terutama bagi juvenil ikan. Kajian mengenai juvenil ikan di habitat tersebut sangat diperlukan dalam rangka untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahannya. Hal tersebut mengingat pentingnya peranan juvenil ikan sebagai cikal bakal ikan-ikan dewasa di masa mendatang dimana jika kelestarian juvenil ikan terganggu, maka dapat menyebabkan produksi ikan menurun. Oleh karena itu, sangat diperlukan kajian mengenai konektivitas juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan di wilayah tersebut. 3 Perumusan Masalah Adanya konektivitas spasial dari habitat mangrove dan lamun di pulau Pramuka menyebabkan terjadinya interaksi yang saling terkait erat satu sama lain. UNESCO (1983) menyatakan bahwa terdapat lima bentuk interaksi yang terjadi di habitat pesisir yaitu interaksi fisik, nutrien (bahan organik terlarut), bahan organik partikulat, migrasi fauna dan interaksi yang terjadi karena pengaruh manusia. Dari kelima bentuk interaksi tersebut, migrasi fauna merupakan bentuk interaksi yang paling dinamis terjadi terutama dari golongan nekton (ikan) karena terkait dengan pergerakan ikan yang juga dinamis. Komunitas ikan terutama pada stadia juvenil banyak di temukan di habitat mangrove dan lamun karena terkait dengan peranan habitat tersebut secara ekologi. Oleh karena itu, kajian mengenai konektivitas juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun perlu dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan: (1) Apakah terdapat perbedaan dalam komposisi jenis dan kelimpahan juvenil ikan secara keseluruhan antara habitat mangrove dan lamun; (2) Apakah terdapat perbedaan distribusi ikan antara kedua habitat yang berdekatan tersebut; (3) Apakah terdapat famili atau spesies ikan tertentu yang menempati habitat tertentu dari kedua habitat tersebut, selengkapnya disajikan pada bagan alur perumusan masalah (Gambar 1). Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji struktur komunitas juvenil ikan yang meliputi komposisi jenis, kelimpahan dan biomassa antara habitat mangrove dan lamun 2. Mengkaji distribusi juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun 3. Mengkaji tingkat kesamaan (similaritas) diantara habitat yang berdekatan Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah dari struktur komunitas dan distribusi juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun sehingga dapat menjadi masukan dalam pengelolaan ekosistem pesisir di pulau Pramuka dan perikanan yang berkelanjutan.

16 4 Interaksi antara habitat mangrove dan lamun di Pulau Pramuka Habitat Mangrove Migrasi Fauna (Juvenil Ikan) Habitat Lamun Status kondisi habitat 1. Analisis kerapatan mangrove 2. Persen penutupuan lamun Biota ikan ; Juvenil 1. Komposisi jenis 2. Kelimpahan 3. Biomassa 4. Distribusi 5. Similaritas Parameter lingkungan 1. Suhu 2. Kedalaman 3. ph 4. Salinitas 5. Oksigen terlarut 6. Nitrat dan Ortofosfat 7. Konektivitas juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun Gambar 1 Bagan alur perumusan masalah

17 5 2 METODE Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian yang dilakukan dibagi dalam tiga tahapan yaitu (1) tahap pertama; pengumpulan data berupa studi lapangan dan studi literatur, (2) tahap kedua; analisis dan identifikasi sampel, (3) tahap ketiga; pengolahan data. Kegiatan tahap pertama dilakukan di pulau Pramuka, Kep. Seribu pada bulan April - Juni 2015 dengan frekuensi sampling 1x/bulan. Penentuan zona pengamatan berdasarkan pada keterwakilan interaksi spasial dari habitat mangrove dan lamun yang berada di sebelah timur pulau Pramuka (Gambar 2). Zona 1 mewakili area mangrove, zona 2 mewakili area transisi (pertemuan antara mangrove dan lamun) dan zona 3 mewakili area lamun. Kegiatan tahap kedua dilakukan di Laboratorium Biologi Makro Departemen MSP-FPIK IPB (pengamatan atau identifikasi sampel juvenil ikan), serta di Laboratorium Produktifitas Lingkungan Departemen MSP- FPIK IPB (analisis kualitas air; nitrat dan ortofosfat). Kegiatan tahap ketiga dilakukan berdasarkan metode anlisis masing-masing parameter yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Gambar 2 Peta lokasi penelitian di pulau Pramuka

18 6 Alat Alat yang digunakan yaitu peralatan dalam pengukuran parameter kualitas air meliputi fisika, kimia dan biologi untuk parameter mangrove dan lamun serta juvenil ikan yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Peralatan dan parameter yang dianalisis dalam penelitian Parameter Satuan Metode Peralatan Ket. Fisika Suhu o C Pemuaian Termometer In situ Kedalaman m Pengukuran Roll meteran In situ Kimia Salinitas ppt Konduktivimetrik Refraktometer In situ Oksigen terlarut ppm Elektrokimiawi DO Meter In situ ph Elektrokimiawi ph Meter Nitrat (NO3 - ) ppm Spektrofotometri Spektrofotometer Lab. Ortofosfat (PO4 - ) ppm Spektrofotometri Spektrofotometer Lab. Biologi Mangrove, Lamun Kerapatan Ind/m 2 Penghitungan Kuadran In situ Persen penutupan % Penghitungan Kuadran In situ Juvenil Ikan Jenis/spesies - Identifikasi Buku Identifikasi In situ /Lab. Bobot g Pengukuran Timbangan digital In situ /Lab. Panjang mm Pengukuran Mistar In situ /Lab. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian terdiri atas penentuan stasiun penelitian, pengamatan status kondisi mangrove dan lamun, sampling juvenil ikan dan pengukuran parameter fisika dan kimia perairan. Penentuan Stasiun Penelitian Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan keterwakilan spasial habitat mangrove dan lamun. Oleh karena itu, metode pengambilan contoh yang digunakan adalah pengambilan contoh acak berlapis (stratified random sampling). Menurut Setyobudiandi et al. (2009), pengambilan contoh acak berlapis merupakan suatu metode pengambilan contoh dimana unsur populasinya digolongkan menjadi beberapa lapisan dan contoh diambil secara bebas dengan acak sederhana dari setiap lapisan. Adapun yang menjadi strata atau lapisan adalah perbedaan habitat yaitu habitat mangrove, transisi (mangrove + lamun) dan lamun. Daerah pengamatan ditentukan pada lokasi yang mewakili tiga lapisan tersebut dengan luas kawasan ± m 2 atau 2,16 ha (135 x 160 m) yang terbagi ke dalam 3 garis

19 transek (A, B, C) yang ditarik tegak lurus dari daratan ke arah laut. Jarak antar garis transek ± 80 m dan pada setiap garis transek dibuat petak contoh atau kuadran yang jumlahnya mewakili pengamatan masing-masing habitat, selengkapnya disajikan pada Gambar 3. 7 Keterangan : : Area pengamatan mangrove dan lamun : Area sampling juvenil ikan dan kualitas air Gambar 3 Rancangan penentuan stasiun penelitian Penentuan Status Kondisi Mangrove dan Lamun Metode yang digunakan dalam penentuan status kondisi mangrove dan lamun adalah dengan menggunakan metode transek garis (line transect) dan petak contoh (kuadran). Pada setiap garis transek (A, B, C) dari habitat mangrove sampai lamun ditempatkan petak contoh seperti pada Gambar 3. Ukuran petak contoh untuk penentuan kerapatan mangrove adalah 5 x 5 m dimana jarak antar kuadran adalah 2,5 m, kemudian dilakukan penghitungan jumlah individu atau tegakan mangrove yang terdapat dalam petak contoh tersebut. Penentuan status kondisi mangrove dilakukan berdasarkan standar dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 201 tahun 2004.

20 8 Selanjutnya ukuran petak contoh untuk pengamatan persen penutupan lamun adalah 50 x 50 cm. Petak contoh atau kuadran pertama setiap transek diletakkan ± 5 m dari habitat mulai terdapatnya lamun, kemudian kuadran selanjutnya ditempatkan dengan jarak ± 15 m. Pengamatan lamun dilakukan secara langsung menggunakan standar metode monitoring lamun yakni seagrass-watch manual for mapping and monitoring (McKenzie et al. 2003); dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun Sampling Juvenil Ikan Pengambilan sampel juvenil ikan dilakukan secara harian dengan cara mengambil contoh ikan yang berada dalam area sapuan wilayah garis transek. Sampling dilakukan dari pagi - sore hari (sekitar jam WIB). Menurut Ramdhan (2011), tipe pasang surut di pulau Pramuka termasuk dalam tipe pasang surut campuran condong harian tunggal yaitu terjadi 2 kali pasang dan 1 kali surut. Pasang tertinggi terjadi pada waktu malam ( WIB) dan siang hari ( WIB), sedangkan surut terendah terjadi pada pagi hari ( WIB). Sampling ikan dilakukan dengan menggunakan jaring insang (gill net) mesh size 1 cm, panjang 10 m dan tinggi 1,2 m (luas jaring = 12 m 2 ). Cara pengambilan sampel juvenil ikan yaitu jaring dibentangkan secara melingkar, setelah kedua tali bertemu maka jaring diseret secara menyapu sejauh 5 m (luas per unit sampling: 12 m x 5 m = 60 m 2 ) hingga menjadi lingkaran kecil agar ikan terkumpul, kemudian sampel diambil dan dimasukkan ke dalam wadah sampel. Selanjutnya sampel di lapangan dilakukan pengawetan dengan formalin 4%, kemudian diganti dengan alkohol 70% ketika di laboratorium. Selanjutnya sampel juvenil ikan diidentifikasi dengan berpedoman pada Kottelat (1993); Allen et al. (1999); Allen et al. (2003); Kuiter dan Tonozuka (2001); Allen dan Adrim (2003); Peristiwady (2006); White et al. (2013). Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dengan dua cara yaitu pengukuran langsung di lapangan (in situ) dan analisis di laboratorium. Pengukuran secara in situ seperti suhu, ph, oksigen terlarut, salinitas dan kedalaman dengan menggunakan alat pengukuran masing-masing parameter seperti yang disajikan pada Tabel 1. Sedangkan pengukuran parameter nitrat dan ortofosfat dilakukan dengan mengambil sampel air dan disimpan dalam botol sampel 250 ml lalu dimasukkan ke dalam freezer untuk pengawetan, selanjutnya dipindahkan ke dalam cool box yang sudah diisi es batu untuk menjaga agar kondisi air terhindar dari kerusakan sebelum analisis lebih lanjut di laboratorium. Analisis Data Analisis data yang dilakukan meliputi analisis kerapatan mangrove, persen penutupan lamun dan beberapa analisis parameter biologi juvenil ikan yang meliputi struktur komunitas, distribusi dan similaritas.

21 Analisis Kerapatan Mangrove Kerapatan jenis mangrove merupakan jumlah tegakan atau individu dalam suatu unit area atau luasan petak contoh, dengan rumus dari Brower et al. (1990) yaitu : Di = ni A Keterangan : Di : Kerapatan jenis ke-i (individu/m 2 ) ni : Jumlah total tegakan ke-i dalam luasan area (individu) A : Luas area pengambilan contoh (m 2 ) Setelah didapatkan hasil analisis kerapatan mangrove, selanjutnya dibandingkan dengan kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 Kondisi Kerapatan (ind/ha) Baik Sangat padat > 1500 Sedang Rusak Jarang < 1000 Persen Penutupan Lamun Persen penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh lamun. Perhitungan penutupan spesies lamun, dengan formulasi : ( Ci) C = N Keterangan : C : Persen Penutupan lamun pada tiap sub stasiun (%) Ci : Persen penutupan lamun pada tiap plot transek N : Jumlah plot transek di setiap sub stasiun Setelah didapatkan hasil persentase penutupan lamun, selanjutnya dibandingkan dengan kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004, disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Status padang lamun menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya / Sehat > 60 Rusak Kurang kaya / Kurang sehat 30 59,9 Miskin < 29,9 9

22 10 Parameter Juvenil Ikan Parameter juvenil ikan yang dianalisis terdiri dari struktur komunitas ikan meliputi kelimpahan dan indeks ekologis, pola pengelompokan habitat yang meliputi distribusi, analisis similaritas, analisis Similarity of Percentage (SIMPER) dan uji statistik Analysis of Similarity (ANOSIM). Kelimpahan Juvenil Ikan Kelimpahan ikan didefinisikan sebagai banyaknya jumlah ikan persatuan luas pengambilan contoh, dihitung menggunakan rumus : K = Xi L Keterangan : K : Kelimpahan juvenil ikan (ind/m 2 ) Xi : Jumlah individu semua jenis ikan yang tertangkap pada stasiun ke-i (ind) L : Luas area sapuan pada stasiun ke-i (m 2 ) Indeks Keanekaragaman (H ) Keanekaragaman merupakan kehadiran jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas, atau bisa dikatakan sebagai ukuran kekayaan spesies dilihat dari jumlah spesies dalam suatu komunitas dan kelimpahan relatif (jumlah individu tiap spesies). Keanekaragaman juvenil ikan dihitung menggunakan indeks Shannon - Wiener (Krebs 1989) dengan persamaan sebagai berikut : n H = (pi)(log 2 pi) i=1 Keterangan : H : Indeks keanekaragaman (Shannon - Wiener) pi : Jumlah individu spesies ke-i, pi = ni / N N : Jumlah total individu Indeks Keseragaman (E) Keseragaman merupakan gambaran tentang sebaran individu antar spesies dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman juvenil ikan dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut (Krebs 1989) : E = H H max atau E = H Log 2 S Keterangan : E : Indeks keseragaman H : Indeks keanekaragaman (Shannon - Wiener) H max : Log2 S S : Jumlah taksa (jenis atau spesies) Kriteria nilai indeks keseragaman berdasarkan Odum (1993) adalah berkisar antara 0-1. Apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran individu antar spesies dapat dikatakan merata (seragam). Sedangkan apabila nilai E mendekati 0, maka sebaran

23 individu antar jenis tidak merata atau dapat dikatakan ada sekelompok jenis tertentu yang dominan. Lebih lanjut Manik (2011) menyatakan semakin merata penyebaran individu/proporsi antar spesies, maka keseimbangan komunitas akan makin baik. Indeks Dominansi (C) Indeks dominansi merupakan ukuran jumlah spesies yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai indeks dominansi dapat dihitung berdasarkan persamaan Odum (1993) sebagai berikut : n C = (pi) 2 = ( ni i=1 Keterangan : C : Indeks dominansi ni : Jumlah individu genus ke-i N : Jumlah total individu : Proporsi individu spesies ke-i (ni/n) pi n i=1 N )2 Kriteria penentuan nilai indeks dominansi adalah apabila nilai C mendekati 0, maka tidak ada jenis yang mendominasi. Namun apabila nilai C mendekati 1, maka terdapat jenis yang mendominasi jenis yang lainnya. Distribusi Analisis nmds (non-metric Multidimensional Scaling) Distribusi spesies ikan pada habitat atau stasiun pengamatan dilakukan berdasarkan analisis nmds (non-metric Multidimensional Scaling) menggunakan software Plymouth routines in multivariate ecological research (PRIMER) versi 5.2. Pola distribusi kelimpahan ikan pada zona pengamatan tergambar berdasarkan letak atau jarak plot dalam konfigurasinya. Letak plot yang berdekatan bahkan tertutupi secara bersama satu sama lain menggambarkan pola distribusi yang sama atau mirip, sedangkan letak plot yang berjauhan menggambarkan pola distribusi yang berbeda. Selain itu, dari plot tersebut juga tergambar spesies yang dominan pada habitat atau stasiun pengamatan. Indikasi baik buruknya konfigurasi tersebut dapat dilihat dari nilai stress. Konfigurasi yang lebih baik ditentukan oleh nilai stress yang lebih rendah yaitu < 0,25. Jika nilai stress > 0,25 maka dapat dikatakan model konfigurasi tersebut tidak dapat dipergunakan (Hobbs et al in Sutomo dan Darma 2011). Indeks Similaritas Tingkat similaritas diantara habitat dilakukan berdasarkan analisis similaritas Bray-Curtis juga menggunakan software PRIMER versi 5.2 yang mampu mengelompokkan zona pengamatan berdasarkan spesies ikan yang menjadi karakteristik penciri dalam kelompok habitat tersebut. Spesies ikan yang menjadi penciri dalam suatu grup atau kelompok adalah yang memiliki kelimpahan tinggi secara konsisten dalam pengambilan contoh, sehingga menjadi penciri atau pembeda yang baik dalam kelompok (Clarke and Gorley 2001). Berdasarkan karakteristik penciri tersebut dapat dilihat persentase kesamaan antar habitat yang dibandingkan. Analisis similaritas selanjutnya disajikan dalam bentuk cluster atau 11

24 12 dendrogram sehingga tergambar hirarki kelompok atau habitat yang dibandingkan. Tingginya tingkat kesamaan antar habitat ditunjukkan oleh tingginya nilai persentase similaritas. Menurut Krebs (1989), indeks similaritas Bray - Curtis adalah sebagai berikut : B = n i=1 [X ij X ik ] n i=1[x ij + X ik ] Keterangan : B : Disimilaritas (indeks ketidaksamaan) Bray Curtis Xij : Jumlah individu spesies ke-i dalam setiap contoh (pengamatan) ke-j : Jumlah individu spesies ke-i dalam setiap contoh (pengamatan) ke-k Xik Analysis of Similarity (ANOSIM) Uji statistik Analysis of Similarity (ANOSIM) merupakan suatu program dalam software PRIMER yang digunakan untuk menganalis secara statistik ada tidaknya perbedaan diantara parameter uji atau secara sederhana untuk menguji apakah terdapat beda nyata antara faktor uji yang dibandingkan (Clarke and Gorley 2001; Chapman and Underwood 1999; Taurusman et al. 2013). Perbedaan tersebut tergambar dari nilai Global R berdasarkan persamaan berikut : R = aver. rb aver. rw M/2 Keterangan : aver. rb aver. rw n M = n(n 1) 2 : Rerata ranking similaritas data antar grup habitat : Rerata ranking similaritas data dalam grup habitat : Jumlah data yang digunakan dalam analisis Nilai Global R tersebut menggambarkan tingkat perbedaan antar kelompok, berkisar antar 0 (tidak dapat dibedakan) hingga 1 (semua similaritas data dalam group < similaritas data antar group). Selain itu, tingkat perbedaan tersebut juga dilihat berdasarkan nilai persentase signifikansi level secara statistik. Terdapat perbedaan nyata jika signifikansi level < 5% (p < 0,05) dan sangat nyata jika signifikansi level < 1% (p < 0,01). Persentase Kesamaan (Similarity of Percentage) Analisis Similarity of Percentage (SIMPER) juga menggunakan software PRIMER versi 5.2 dilakukan untuk menentukan kesamaan dan perbedaan dari spesies yang menyusun suatu komunitas dari habitat yang diuji. Analisis SIMPER mampu mengidentifikasi jenis organisme tertentu yang menjadi spesies dominan di lokasi yang berbeda, dan untuk mengetahui perbedaan spesies diantara faktor uji, serta spesies mana yang menjadi pembeda (Clarke and Gorley 2001). Besar kecilnya perbedaan terlihat dari nilai persentase perbedaannya. Semakin tinggi nilai persentase perbedaan, maka semakin besar perbedaan antar lokasi yang diuji, begitupun sebaliknya.

25 13 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kehidupan organisme perairan akan tumbuh dan berlangsung baik apabila didukung oleh kondisi atau kualitas perairan yang baik. Beberapa parameter yang dapat menjelaskan kualitas perairan adalah parameter fisika dan kimia perairan. Berikut hasil pengukuran parameter kualitas perairan di pulau Pramuka disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan No Bulan Parameter Satuan 1 April Baku Mutu* Fisika Hasil Pengukuran Mangrove Transisi Lamun Suhu o C ,7 33,2 34,4 Kedalaman meter - 0,35 0,38 0,39 Kimia Salinitas o / oo s/d ph - 7,0 8,5 8,3 8,4 8,4 DO mg/l > 5 5,13 5,62 7,08 Nitrat (NO 3-N) mg/l 0,24** 0,052 0,043 0,025 Ortofosfat (PO 4-P) mg/l 0,015 0,028 0,011 0,009 Fisika Suhu o C ,7 33,5 34,1 2 Mei Kedalaman meter - 0,36 0,38 0,42 Kimia Salinitas o / oo s/d ph - 7,0 8,5 8,3 8,5 8,5 DO mg/l > 5 5,15 5,55 6,67 Nitrat (NO 3-N) mg/l 0,24** 0,072 0,065 0,031 Ortofosfat (PO 4-P) mg/l 0,015 0,137 0,026 0,003

26 14 Tabel 4 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan (lanjutan) No Bulan Parameter Satuan 3 Juni Baku Mutu * Fisika Hasil Pengukuran Mangrove Transisi Lamun Suhu o C ,2 Kedalaman meter - 0,38 0,40 0,52 Kimia Salinitas o / oo ph - 7,0 8,5 8,2 8,3 8,3 DO mg/l > 5 5,49 5,87 6,82 Nitrat (NO 3-N) mg/l 0,24** 0,041 0,034 0,029 Ortofosfat (PO 4-P) mg/l 0,015 0,005 0,006 0,006 *Kepmen LH No 51 tahun 2004 (Baku mutu air laut untuk biota laut) **Sanusi (2006) Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi metabolisme dan distribusi organisme dalam suatu ekosistem. Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi suhu perairan antara lain adalah intensitas cahaya matahari, kondisi atmosfer ataupun cuaca (Kordi dan Tancung 2007). Hasil pengukuran pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai suhu diantara waktu pengamatan tidak terlalu berbeda, namun antar habitat terlihat berbeda. Suhu pada habitat mangrove berkisar antara 30,7 31,7 o C, transisi berkisar antara 31 33,5 o C dan lamun berkisar antara 33,2 34,4 o C. Hasil tersebut terlihat bahwa semakin ke arah lamun, suhu perairan cenderung semakin tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada habitat lamun umumnya intensitas paparan cahaya matahari lebih tinggi dibandingkan dengan habitat transisi dan mangrove yang masih terhalang oleh rerumpunan mangrove. Kisaran suhu tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu menurut Kepmen Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004, pada habitat mangrove masih dalam kisaran baku mutu. Hogarth (2007) menyatakan bahwa proses fotosintesis pada Rhizopora sp. berlangsung optimal pada suhu o C dan akan terhambat jika pada suhu diatasnya. Pada habitat lamun, kisarannya cenderung melebihi baku mutu. Meskipun demikian, kisaran tersebut masih dalam kondisi yang normal dimana kisaran optimal untuk fotosintesis lamun juga berkisar antara o C. Suhu yang terlampau tinggi yaitu o C dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan proses fotosintesis lamun (McKenzie & Yoshida 2009; Waycott et al 2007). Kedalaman Kedalaman suatu perairan terkait dengan penetrasi cahaya matahari yang digunakan oleh organisme tanaman air dalam proses fotosintesis. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4, kisaran kedalaman untuk di habitat mangrove yaitu 0,35 0,38 m, transisi yaitu 0,38 0,40 m dan lamun yaitu 0,39 0,52 m. Ketiga habitat tersebut tergolong ekosistem peisir laut dangkal dimana penetrasi cahaya matahari dapat tembus 100% hingga ke dasar perairan. Hasil pengukuran tersebut

27 menunjukkan bahwa kedalaman di habitat mangrove cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan habitat yang secara spasial terletak setelahnya. Hal itu dapat dikarenakan adanya padatan tersuspensi yang terbawa ke daratan karena adanya dinamika pasang surut air laut sehingga seiring bertambahnya waktu akan terjadi akumulasi padatan tersuspensi yang terbawa ke daratan dan mengakibatkan pendangkalan di habitat mangrove tersebut. Salinitas Parameter salinitas menggambarkan konsentrasi ion di air serta mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme perairan laut. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4, salinitas di habitat mangrove yaitu 29 o C, transisi berkisar antara o C dan lamun berkisar antara o C. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai salinitas kecenderungannya semakin tinggi ke arah laut. Pada habitat mangrove, salinitasnya lebih rendah dikarenakan lokasinya yang dekat dari daratan sehingga adanya pengaruh pencampuran dari air tawar yang terjadi pada saat hujan dan mengakibatkan penurunan nilai salinitas tersebut. Jika dibandingkan dengan baku mutu, kisaran salinitas tesebut masih sesuai dengan baku mutu sehingga masih menunjang terhadap pertumbuhan mangrove dan lamun di pulau Pramuka. Hogarth (2007) juga menyatakan bahwa mangrove dapat hidup di air tawar dan air laut hingga 35 ppt, sedangkan lamun dapat hidup dengan kisaran salinitas antara ppt, dimana optimumnya 35 ppt. ph Derajat keasaman atau ph menggambarkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai ph di antara habitat dan waktu pengamatan relatif sama. Pada habitat mangrove nilai ph berkisar antara 8,2 8,3, transisi dan lamun berkisar antara 8,3 8,5. Kisaran nilai ph tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu masih sesuai dengan baku mutu serta menunjukkan kisaran air laut yang normal sehingga masih menunjang terhadap pertumbuhan biota laut. Kisaran ph optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar antar 7,8 8,5 (Philips & Menez 1988). Oksigen terlarut Oksigen terlarut merupakan senyawa kimia gas yang larut dalam air dan sangat berperan penting terhadap kelangsungan hidup organisme air. Kandungan oksigen terlarut berkaitan erat dengan terjadinya proses fotosintesis serta metabolisme organisme air. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4, nilai oksigen terlarut di habitat mangrove berkisar antara 5,13 5,49 mg/l, transisi berkisar antara 5,55 5,87 mg/l dan lamun berkisar antara 6,67 7,08 mg/l. Hasil tersebut masih sesuai dengan baku mutu dan menunjang kelangsungan hidup biota laut. Jika dibandingkan secara habitat, terlihat bahwa kadar oksigen terlarut kecenderungannya semakin tinggi ke arah lamun. Pada habitat mangrove, kadar oksigen terlarut cenderung lebih rendah dikarenakan tingginya kandungan bahan organik di habitat tersebut baik yang bersumber dari serasah tanaman mangrove itu sendiri maupun yang berasal dari limpasan daratan yang masuk ke perairan pada saat terjadinya hujan. Tingginya bahan organik tersebut tentunya memerlukan 15

28 16 mikroorganisme dekomposer yang lebih banyak dalam proses dekomposisi sehingga konsumsi oksigen terlarut yang diperlukan juga lebih besar. Nutrien (Nitrat dan Ortofosfat) Nitrat dan ortofosfat merupakan senyawa anorganik yang larut dalam air dan sangat berperan penting sebagai sumber nutrien bagi tanaman di perairan. Pada habitat mangrove, hasil pengukuran nitrat dan ortofosfat berkisar antara 0,041 0,072 mg/l dan 0,005 0,137 mg/l. Pada habitat transisi, kadar nitrat dan ortofosfat berkisar antara 0,034 0,065 mg/l dan 0,006 0,026 mg/l, selanjutnya pada habitat lamun berkisar antara 0,025 0,031 mg/l dan 0,003 0,009 mg/l. Kisaran kadar nitrat jika dibandingkan dengan baku mutu menurut Sanusi (2006) yaitu 0,24 mg/l masih sesuai dengan baku mutu, sedangkan kadar ortofosfat berdasarkan Kepmen LH No. 51 tahun 2004 yaitu 0,015 mg/l cenderung diatas baku mutu. Habitat tersebut tergolong subur nutrien dimana kadar ortofosfat perairan subur yaitu 0,031 0,1 mg/l Effendi (2003). Berdasarkan hasil tersebut, kisaran nitrat dan ortofosfat tertinggi di habitat mangrove dan semakin rendah kadarnya ke arah habitat lamun. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena bahan-bahan organik yang berasal dari daratan masuk ke habitat mangrove terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan proses dekomposisi yang lebih maksimal di habitat tersebut sehingga senyawa-senyawa anorganik yang dihasilkan dari proses dekomposisi tersebut juga lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan hasil pengukuran oksigen terlarut yang semakin rendah nilainya ke arah habitat mangrove. Selain itu, kadar nitrat dan ortofosfat tersebut kemungkinan juga sudah dimanfaatkan sebagai sumber nutrien oleh tanaman dan juga fitoplankton ketika masih berada di habitat mangrove sehingga semakin ke arah habitat lamun kadarnya cenderung semakin rendah. Status Kondisi Mangrove dan Lamun di Pulau Pramuka Kerapatan Jenis Mangrove Kerapatan jenis menggambarkan jumlah tegakan atau individu mangrove dalam suatu unit area atau luasan petak contoh. Hasil pengamatan kerapatan jenis mangrove disajikan pada Gambar 4. Kerapatan (Ind/m 2 ) A 2 A 3 A 1 B 2 B 3 B 1 C 2 C 3 C 4 A 5 A 4 B 5 B 4 C 5 C Mangrove Transisi Tipe Habitat Gambar 4 Kerapatan jenis mangrove di pulau Pramuka

29 Berdasarkan data pada gambar 4 terlihat bahwa adanya perbedaan kerapatan secara spasial antara habitat mangrove dan transisi. Kerapatan di habitat mangrove berkisar antara ind/m 2, sedangkan di transisi berkisar antara ind/m 2. Hal tersebut mengindikasikan kerapatan di habitat mangrove lebih tinggi dibandingkan habitat transisi. Secara luasan total area pengamatan, total kerapatan pada habitat mangrove yaitu individu dalam luasan area 3200 m 2, sedangkan untuk habitat transisi yaitu 793 individu dalam luasan area 2400 m 2. Hasil tersebut jika dibandingkan dengan kriteria baku mangrove menurut Kepmen LH No 201 tahun 2004 yaitu > individu/ha termasuk dalam status kondisi baik (sangat padat). Jenis mangrove yang ditemukan dari hasil pengamatan hanya Rhizopora stylosa Griff. yang mana vegetasi tumbuhnya secara berumpun. Departemen Kehutanan (2008) menyatakan bahwa penyebaran mangrove di pulau Pramuka tidak memiliki zonasi spesies. Hal tersebut dikarenakan kondisi pulau yang miskin hara dimana kondisi substratnya adalah pasir dan sedikit lumpur sehingga tidak semua jenis mangrove yang dapat hidup pada kondisi tersebut. Selain itu, mangrove tersebut bukanlah mangrove yang tumbuh secara alami, namun merupakan hasil dari kegiatan penanaman yang menggunakan metode rumpun berjarak. Berdasarkan kerapatan secara transek yaitu line transek A,B dan C terlihat bahwa baik di habitat mangrove maupun transisi, kerapatan tertinggi terdapat pada transek C sedangkan terendah terdapat pada transek A. Secara lokasi, transek C berada di bagian paling ujung bagian timur, transek A berada di bagian paling awal bagian timur dan transek B terletak diantara keduanya. Secara aktivitas penduduk, transek C berada lebih jauh dari pemukiman penduduk sehingga kemungkinan pengaruh kegiatan manusia lebih rendah menjadikan mangrove yang tumbuh lebih rapat. Sedangkan transek A lebih dekat dari pemukiman penduduk dimana terdapat saluran pembuangan limbah masyarakat yang langsung menuju area transek tersebut. Persen Penutupan Lamun Persen penutupan lamun menggambarkan luasan area yang tertutupi oleh lamun, selengkapnya hasil pengamatan disajikan pada Gambar 5. Persen Penutupan (%) A A 4 B 5 B Transisi C 5 C 5 6 A 25 7 A 70 8 A 30 9 A A Gambar 5 Persen penutupan lamun di Pulau Pramuka A Tipe Habitat 75 6 B 10 7 B 35 8 B B Lamun 10 B 11 B 15 6 C 5 7 C C 9 C C C

30 18 Berdasarkan data pada Gambar 5, terlihat bahwa persen penutupan lamun pada kedua habitat bervariasi. Pada habitat transisi, persen penutupan lamun berkisar antara 7 35%, sedangkan pada habitat lamun berkisar dari 5 75%. Secara hasil rata-rata dari setiap transek terlihat nilai persen penutupannya adalah < 60%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa status kondisi lamun di pulau Pramuka tergolong dalam kategori rusak (kurang kaya) menurut Kepmen LH No 200 tahun Secara umum, jenis lamun di pulau Pramuka terdiri atas 6 jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium, dimana secara total persen penutupannya adalah 41,86% dengan status kondisi rusak (Wibowo 2013). Status kondisi tersebut juga sejalan dengan hasil pengamatan dalam penelitian ini. Struktur Komunitas Ikan Karakteristik struktur komunitas ikan dalam suatu habitat dapat di deskripsikan dalam tiga kategori yaitu jumlah taksa (spesies), kelimpahan dan biomassa. Jumlah Taksa (Spesies) Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan 24 spesies ikan dari 15 famili yang berbeda. Spesies terbanyak yaitu dari famili Siganidae (4 spesies), Apogonidae (3 spesies), Gerreidae, Labridae, Gobiidae dan Terapontidae (2 spesies) dan famili lainnya (1 spesies), selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. Secara kelimpahan total, jumlah individu yang ditemukan sebanyak individu dalam luasan total area pengamatan 2,16 ha. Spesies yang memiliki kelimpahan total tertinggi diantaranya yaitu G. oblongus (1.797 individu), F. lateralis (887 individu), S. guttatus (115 individu), A. endrachtensis (107 individu), P. trivittatus (78 individu), selengkapnya disajikan pada Lampiran 2. Secara persentase, spesies G. oblongus dari famili Gerreidae memiliki persentase kelimpahan yang sangat tinggi dibandingkan spesies lainnya yaitu sebesar 55,77%. Sedangkan spesies F. Lateralis dan S. guttatus memiliki persentase yang lebih rendah yakni sebesar 27,53% dan 3,57%. Tingginya persentase spesies G. oblongus terkait dengan dukungan habitat di pesisir tersebut seperti faktor lingkungan ataupun ketersediaan sumberdaya makanan yang sesuai dengan kelangsungan hidup G. oblongus tersebut. Secara habitat, keragaman spesies tertinggi terdapat di zona lamun yaitu 17 spesies dan tidak berbeda dengan zona mangrove dan transisi masing-masing 16 dan 15 spesies. Berdasarkan rerata kelimpahan, terdapat sepuluh besar spesies dengan kelimpahan tertinggi yaitu G. Oblongus (9,983 ind m -2 ), F. lateralis (4,928 ind m -2 ), S. guttatus (0,639 ind m -2 ), A. endrachtensis (0,594 ind m -2 ), P. trivittatus (0,433 ind m -2 ), S. canaliculatus (0,373 ind m -2 ), Z. Dispar (0,283 ind m -2 ), A. Stethophthalmus (0,156 ind m -2 ), M. Engeli (0,144 ind m -2 ) dan S. virgatus (0,089 ind m -2, selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Secara habitat, spesies G. Oblongus terlihat memiliki kelimpahan yang tinggi disemua habitat, sedangkan spesies F. Lateralis lebih melimpah di habitat transisi dan lamun, serta spesies S. guttattus yang lebih melimpah di habitat mangrove.

31 19 Tabel 5 Rerata kelimpahan jenis ikan di Pulau Pramuka (ind m -2 ) Spesies Habitat Mangrove Transisi Lamun Total Atherinomorus endrachtensis 4 0,328 0,194 0,072 0,594 Zenarchopterus dispar 7 0,233 0,050-0,283 Moolgarda engeli 9 0, ,144 Cheilodipterus quinquelineatus 0,006-0,017 0,022 Fibramia lateralis 2 0,433 2,633 1,861 4,928 Sphaeramia orbicularis 0,006 0,017 0,006 0,028 Gerres oblongus 1 3,100 3,761 3,122 9,983 Gerres oyena 0,050 0,011-0,061 Amblygobius stethophthalmus 8 0,006 0,106 0,044 0,156 Pseudogobiopsis oligactis - 0,006 0,006 0,011 Halichoeres chloropterus - - 0,006 0,006 Halichoeres argus - 0,011 0,011 0,022 Lethrinus laticaudis - - 0,006 0,006 Lutjanus fulviflamma 0,006-0,022 0,028 Pentapodus trivittatus 5 0,056 0,211 0,167 0,433 Dischistodus fasciatus 0, ,011 Siganus canaliculatus 6 0,033 0,150 0,189 0,372 Siganus guttatus 3 0,528 0,089 0,022 0,639 Siganus javus - - 0,006 0,006 Siganus virgatus 10-0,044 0,044 0,089 Sphyraena barracuda 0, ,022 Lagusia micracanthus - 0,006-0,006 Terapon Jarbua 0, ,006 Acreichthys tomentosus - 0,006 0,039 0,044 Keterangan angka : 1-10 = Peringkat atau ranking 1 s/d 10 Berdasarkan data jenis ikan pada Tabel 5, beberapa jenis ikan yang ditemukan termasuk jenis ikan-ikan ekonomis penting diantaranya yaitu ikan Baronang (Siganus sp.), Kapasan atau Putihan (Gerres sp.), Belanak (M. engeli), Kembang waru atau Jenaha (L. fulviflamma), Ketambak (Lethrinus sp.), Pasir-pasir (P. trivittatus), Kerong-kerong (T. jarbua) dan Baracuda (S. barracuda) menurut White (2013) dan Peristiwady (2006). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya peranan habitat mangrove dan lamun tersebut bagi produksi ikan dimana jika kelestarian juvenil ikan tersebut terganggu maka produksi ikan dewasa tangkapan juga menurun. Peranan tersebut sejalan dengan Ikejima et al. (2003) dan Unsworth et al. (2009) yang menyatakan bahwa baik mangrove estuari maupun non-estuari dan lamun memiliki fungsi yang sama sebagai nursery habitat bagi kumpulan jenis ikan. Selanjutnya beberapa jenis ikan tersebut juga termasuk dalam jenis ikan-ikan terumbu karang diantaranya yaitu dari famili Siganidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Gobiidae, Apogonidae dan Pomacentridae (Allen dan Adrim 2003). Sejalan dengan Dorenbosch et al. (2004) yang menyatakan sebagian besar ikan-ikan karang

32 20 memanfaatkan habitat mangrove dan lamun sebagai nursery habitat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa beberapa spesies ikan karang memanfaatkan habitat mangrove dan lamun sebagai ontogenetik habitat pada stadia juvenil. Sejalan dengan studi dari Kimirei et al. (2011) yang menyatakan beberapa jenis ikan karang seperti Lutjanus fulviflamma, Lethrinus lentjan, Lethrinus harak dan Siganus sutor menghabiskan stadia juvenilnya (ukuran < 15 cm ) di perairan dangkal (mangrove dan lamun) dan bermigrasi ke perairan yang lebih dalam seperti terumbu karang pada ukuran yang lebih besar (> 15 cm). Lebih lanjut El-Regal et al. (2014) menyatakan kumpulan ikan-ikan dewasa terumbu karang yang lokasinya disekitar mangrove dan lamun memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karang yang jauh dari nursery area. Kelimpahan Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat variasi rerata kelimpahan ikan baik secara spasial maupun temporal. Secara spasial berdasarkan perbedaan tipe habitat, kelimpahan tertinggi secara berturut-turut terdapat pada zona transisi, lamun dan mangrove. Kelimpahan pada zona transisi sebesar 0,48 ± 0,06 ind m -2, zona lamun sebesar 0,37 ± 0,06 ind m -2, sedangkan pada zona mangrove sebesar 0,33 ± 0,03 ind m -2 (Gambar 6a). Secara rata-rata, diketahui bahwa kelimpahan ikan di Pulau Pramuka sebesar 0,39 ind m -2 atau setara dengan individu per hektar. Hasil uji statistik ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perbedaan habitat tersebut tidak berbeda terhadap kelimpahan (p > 0,05). Hal tersebut dapat dikarenakan faktor kedekatan secara spasial habitat tersebut sehingga memberikan konektivitas yang erat antar habitat dalam pergerakan juvenil ikan. Kelimpahan (ind m -2 ) 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 (a) Spasial Kelimpahan (ind m-2) 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 (b) Temporal 0 0 Mangrove Transisi Lamun April Mei Juni Tipe Habitat Bulan Pengamatan Gambar 6 Nilai rerata kelimpahan ikan: (a) Spasial, (b) Temporal Secara temporal berdasarkan bulan pengamatan, kelimpahan tertinggi terdapat pada bulan Mei dan terendah di bulan April (Gambar 6b). Kelimpahan di bulan Mei sebesar 0,43 ± 0,10 ind m -2, bulan Juni sebesar 0,42 ± 0,05 ind m -2, sedangkan pada bulan April sebesar 0,33 ± 0,07 ind m -2. Selanjutnya hasil uji statistik ANOVA (Lampiran 5) juga menunjukkan bahwa perbedaan bulan tersebut tidak berbeda terhadap kelimpahan (p > 0,05). Hal tersebut dapat dikarenakan ketiga bulan tersebut masih berada dalam satu musim yang sama. Departemen

33 Kehutanan (2008) menyatakan musim hujan di Kep. Seribu berlangsung dari bulan November - April, sedangkan musim kemarau dari Mei - Oktober. Dengan demikian, dapat dikatakan ketiga musim pengamatan termasuk dalam musim peralihan (pergantian dari musim hujan - kemarau). Kelimpahan yang tinggi pada zona transisi dapat disebabkan oleh struktur fisik habitat tersebut yang lebih kompleks karena merupakan campuran dari kedua habitat sehingga memiliki kestabilan kondisi yang lebih mendukung bagi juvenil ikan. Huijbers (2008) menyatakan kelimpahan juvenil ikan di habitat berdekatan secara ekologis lebih tinggi dibandingkan dengan habitat tunggal atau terpisah. Hal tersebut diperkuat oleh Sinchum dan Tantichodok (2013) yang menyatakan kumpulan ikan di habitat bervegetasi seperti mangrove dan lamun memiliki kelimpahan dan keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan habitat nonvegetasi. Vegetasi lamun yang subur juga memiliki keanekaragamn ikan yang lebih tinggi (Pogoreutz et al. 2012). Menurut Prabhakaran et al. (2013) dan Unsworth et al. (2008), struktur fisik habitat yang subur umumnya memiliki ketersediaan sumber makanan yang tinggi dan resiko predasi yang rendah sehingga banyak ditemukan kumpulan ikan-ikan kecil (schooling) di habitat tersebut. Pada zona lamun, kelimpahan lebih tinggi dibandingkan dengan zona mangrove disebabkan adanya spesies ikan tertentu yang berasosiasi dengan tanaman lamun tersebut dalam jumlah yang besar (schooling) sehingga memberikan proporsi yang tinggi terhadap kelimpahan di habitat tersebut. Meskipun demikian, perbedaan yang tidak berbeda nyata antar zona tersebut secara statistik mengindikasikan bahwa secara umum kelimpahan antar habitat yang terkoneksi erat secara spasial memiliki kelimpahan yang relatif sama. Selanjutnya berdasarkan komposisi famili ikan secara habitat, terlihat adanya perbedaan jumlah dan komposisi famili ikan yang ditemukan (Gambar 7). 21 1,12 0,45 0,11 6,60 2,91 8,95 4,70 0,22 0,11 0,11 63,42 11,30 (a) Mangrove 3,88 Gerreidae Siganidae Apogonidae Atherinidae Hemiramphidae Mugilidae Nemipteridae Sphyraenidae Pomacentridae Terapontidae Gobiidae Lutjanidae 2,89 2,67 1,52 0,69 0,15 36,33 51,71 (c) Transisi (b) Lamun 0,08 0,08 Gerreidae Apogonidae Siganidae Nemipteridae Atherinidae Gobiidae Hemiramphidae Labridae Terapontidae Monacanthidae Gambar 7 Persentase kelimpahan famili ikan: (a) Mangrove, (b) Lamun, (c) Transisi

34 22 Pada habitat mangrove terdapat 12 famili, sedangkan pada habitat transisi dan lamun masing-masing 10 famili. Famili yang ditemukan di semua habitat yaitu Gerreidae, Siganidae, Apogonidae, Nemipteridae, Gobiidae dan Atherinidae. Famili Mugilidae, Sphyraenidae dan Pomacentridae ditemukan hanya pada habitat mangrove, famili Lethrinidae hanya ditemukan pada habitat lamun. Famili Hemiramphidae dan Terapontidae ditemukan pada habitat mangrove dan transisi, sedangkan famili Labridae dan Monachantidae ditemukan pada habitat transisi dan lamun. Berdasarkan persentase total, terlihat bahwa famili yang kelimpahannya tertinggi secara berturut-turut yaitu Gerreidae (56,11%), Apogonidae (27,81%), Siganidae (6,18%), Atherinidae (3,32%), Nemipteridae (2,42%) dan Hemiramphidae (1,58%), sedangkan famili lainnya dengan persentase yang lebih rendah yaitu < 1%. Jenis famili yang mendominasi tersebut relatif sama dengan hasil pengamatan Unsworth et al. (2009) dimana jenis famili yang dominan yaitu Atherinidae, Apogonidae, Siganidae dan Labridae. Famili Gerreidae yang mendominasi semua habitat mengindikasikan bahwa famili tersebut memiliki jalur migrasi yang bebas diantara habitat. Famili Apogonidae kecenderungannya lebih ke arah lamun dikarenakan asosiasi famili tersebut terutama spesies Fibramia lateralis yang ditemukan hidup secara bergerombol pada dedaunan tumbuhan lamun. Famili Siganidae memiliki kelimpahan yang berbeda-beda tergantung spesies dan tipe habitat. Selain itu, famili yang ditemukan dengan persentase yang sangat kecil seperti famili Mugilidae hanya ditemukan di habitat mangrove, terkait dengan sumber makananya yaitu detritus mangrove (Sasekumar et al dalam Unsworth et al. 2009). Famili Sphyraenidae juga hanya ditemukan di mangrove terkait dengan struktur habitat tersebut dalam kemampuannya untuk mencari makan (Verweij et al dalam Unsworth et al. 2009). Biomassa Nilai biomassa total dari ketiga habitat pengamatan yaitu sebesar 6824,91 g per area 2,16 ha (Lampiran 3). Seperti halnya kelimpahan, secara spasial nilai biomassa tertinggi juga terdapat pada zona transisi dan terendah pada zona mangrove. Biomassa pada zona transisi sebesar 0,88 ± 0,32 g m -2, zona lamun sebesar 0,84 ± 0,37 g m -2, sedangkan pada zona mangrove sebesar 0,80 ± 0,32 g m - 2 (Gambar 8a). Hasil uji statistik ANOVA (Lampiran 6) yang dilakukan juga menunjukkan bahwa antar zona tersebut tidak berbeda nyata terhadap biomassa (p > 0,05). Secara temporal, biomassa tertinggi terdapat pada bulan Juni dan terendah pada bulan April. Biomassa pada bulan Juni sebesar 1,09 ± 0,16 g m -2, bulan Mei sebesar 0,98 ± 0,19 g m -2, sedangkan pada bulan April sebesar 0,44 ± 0,09 g m -2 (Gambar 8b). Hasil uji ANOVA (Lampiran 6) menunjukkan bahwa adanya perbedaan bulan tersebut berbeda nyata terhadap biomassa (p < 0,05), dimana perbedaan terjadi antara bulan April dengan kedua bulan berikutnya yaitu Mei dan Juni. Hal ini berbeda dengan kelimpahan secara temporal yang tidak berbeda antar waktu pengamatan. Adanya perbedaan biomassa secara temporal tersebut dapat dikarenakan faktor pertambahan bobot individu juvenil ikan, dimana seiring bertambahnya waktu secara bulanan menjadikan juvenil ikan juga mengalami pertumbuhan sehingga bobotnya juga semakin bertambah.

35 23 1,4 1,2 (a) Spasial 1,4 1,2 (b) Temporal b b Biomassa (g m -2 ) 1 0,8 0,6 0,4 Biomassa (g m -2 ) 1 0,8 0,6 0,4 a 0,2 0,2 Gambar 8 Nilai rerata biomassa ikan: (a) Spasial, (b) Temporal Selain dipengaruhi oleh kelimpahan, biomassa ikan juga dipengaruhi oleh faktor ukuran ikan tersebut sehingga adanya jenis ikan tertentu yang memiliki bobot yang besar juga mempengaruhi biomassa. Terlihat dari perubahan persentase famili ikan secara biomassa jika dibandingkan dengan persentase kelimpahan yang telah dibahas sebelumnya, selengkapnya disajikan pada Gambar 9. 3,97 5,34 6,52 7,42 10,62 0 1,51 3,86 Mangrove Transisi Lamun Tipe Habitat 1,28 0,73 0,37 0,34 58,05 (a) Mangrove Gereidae Siganidae Mugilidae Atherinidae Hemiramphidae Nemipteridae Apogonidae Sphyraenidae Pomacentridae Terapontidae Lutjanidae Gobiidae 1,12 7,88 2,43 14,95 1,81 0 0,71 0,57 April Mei Juni Bulan Pengamatan 0,27 0,18 70,07 (b) Lamun Gerreidae Apogonidae Nemipteridae Siganidae Gobiidae Monacanthidae Atherinidae Labridae Lutjanidae Lethrinidae 0,62 0,21 3,81 2,58 0,21 0,03 8,95 4,66 20,55 58,37 (c) Transisi Gerreidae Apogonidae Nemipteridae Gobiidae Atherinidae Siganidae Hemiramphidae Monacanthidae Labridae Terapontidae Gambar 9 Persentase biomassa famili ikan: (a) Mangrove, (b) Lamun, (c) Transisi

36 24 Pada habitat mangrove misalnya terlihat bahwa famili Mugilidae memiliki proposi terbesar ke-3 secara biomassa meskipun secara kelimpahan pada gambar 8 memiliki proporsi yang lebih kecil. Demikian juga halnya dengan famili Siganidae pada habitat transisi dan lamun yang secara kelimpahan memiliki proporsi yang besar, namun secara biomassa lebih rendah. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh ukuran atau stadia dari jenis ikan-ikan itu sendiri. Berdasarkan data pada Lampiran 4, terlihat sebanyak 20 spesies dari jumlah total 24 spesies ikan berada pada stadia juvenil, sedangkan 4 spesies lainnya berada pada stadia juvenil dan dewasa. Spesies yang hanya ditemukan pada stadia juvenil didominasi oleh jenis ikan yang termasuk kategori ikan besar dimana pada stadia dewasa memiliki panjang maksimum > 30 cm seperti dari famili Siganidae, Gerreidae, Sphyraenidae, Lutjanidae dan Terapontidae. Sedangkan spesies yang ditemukan pada semua stadia didominasi oleh jenis ikan kecil (small fishes) dimana pada stadia dewasa juga memiliki ukuran yang kecil seperti dari famili Apogonidae (Cardinal fish) dan Gobiidae. Secara persentase rasio stadia juvenil dan dewasa, sebagian besar ikan yang dikumpulkan berada pada stadia juvenil (Gambar 9). Kisaran stadia juvenil yaitu antara 97,87 99,21%, sedangkan untuk stadia dewasa hanya berkisar antara 0,79-2,13%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa habitat mangrove dan lamun di pulau Pramuka sangat mendukung sebagai habitat asuhan bagi komunitas juvenil ikan, terutama untuk ikan-ikan yang ketika dewasa bermigrasi ke perairan yang lebih dalam seperti terumbu karang. Sejalan dengan hasil penelitian Harm et al. (2012) yang menunjukkan komunitas ikan di habitat mangrove dan lamun didominasi oleh stadia juvenil, sedangkan di habitat terumbu karang didominasi oleh stadia dewasa. Lamun Transisi Juvenil Dewasa Mangrove 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 Gambar 10 Persentase stadia ikan Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Karakteristik struktur komunitas ikan juga didukung oleh indeks ekologis seperti indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominasi. Adapun nilai indeks tersebut disajikan pada Tabel 6. Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui keanekaragaman ikan dalam suatu komunitas yang dipengaruhi oleh dua hal pokok yaitu banyaknya jumlah spesies ikan dan kelimpahan total individu ikan dalam suatu habitat. Berdasarkan hasil pada Tabel 6, terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,73 1,99. Keanekaragaman tertinggi terdapat pada habitat mangrove dengan nilai 1,99, sedangkan terendah pada habitat

37 lamun dengan nilai 1,73 yang tidak berbeda dengan habitat transisi sebesar 1,77. Rendahnya keanekaragaman di kedua habitat tersebut terkait dengan nilai kelimpahan. Secara kelimpahan memiliki jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan habitat mangrove, namun secara spesies memiliki jumlah spesies yang hampir sama. Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E) dan dominansi (C) Habitat Luas Individu Spesies Indeks (m 2 ) (N) (S) H' E C Mangrove ,99 0,5 0,42 Transisi ,77 0,45 0,86 Lamun ,73 0,42 0,54 Indeks keseragaman digunakan untuk menggambarkan kemerataan distribusi komposisi spesies dalam suatu komunitas. Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0,42 0,50, dimana keseragaman tertinggi terdapat pada habitat mangrove dengan nilai 0,50 dan terendah pada habitat lamun dengan nilai 0,42 dan tidak berbeda dengan habitat transisi sebesar 0,45. Nilai keseragaman yang rendah menunjukkan adanya kehadiran spesies dengan jumlah yang tidak seimbang dalam kelimpahannya, sehingga ada spesies yang mendominasi dalam komunitas tersebut. Indeks dominansi digunakan untuk menggambarkan ada atau tidaknya spesies tertentu yang mendominasi dalam suatu komunitas. Nilai dominansi berkisar antara 0,42 0,86, dimana dominansi tertinggi terdapat pada habitat transisi yaitu 0,86 dan terendah pada habitat mangrove sebesar 0,42. Tingginya nilai dominasi pada habitat transisi mencirikan adanya kehadiran spesies yang dominan yaitu Gerres oblongus dan Fibramia lateralis sehingga memberi proporsi yang besar terhadap kelimpahan total pada habitat tersebut. Nilai dominansi yang rendah terdapat pada mangrove, hal tersebut sejalan dengan nilai keseragaman yang tinggi habitat tersebut dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. 25 Distribusi Hasil analisis nmds menunjukkan bahwa pola konfigurasi hasil pengamatan termasuk dalam konfigurasi yang baik (nilai stress = 0,13). Berdasarkan konfigurasinya, secara umum distribusi spesies ikan di habitat transisi (kode T ) relatif lebih dekat dengan habitat lamun (kode L ), sedangkan habitat mangrove (kode M ) dengan letak yang lebih jauh bahkan terlihat lebih mengelompok sendiri, disajikan pada Gambar 11. Hal tersebut mengindikasikan bahwa distribusi kelimpahan spesies ikan di habitat transisi secara konsisten lebih dekat dengan habitat lamun. Konfigurasi atau susunan distribusi tersebut berdasarkan komposisi jenis ikan yang memiliki kelimpahan yang tinggi secara konsisten sehingga memberikan karakter dalam suatu plot. Selanjutnya dari setiap plot tersebut akan tergambar letak atau posisinya terhadap plot lainnya. Semakin dekat bahkan saling tertutupi satu sama lain antar plot maka distribusi spesies ikan antar plot tersebut relatif dekat atau

38 26 DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA mirip, sedangkan semakin jauh jarak antar plot maka distribusi spesies ikan antar plot relatif berbeda. TAa MAb MMc MMb MMa Stress: 0,13 MJb TJa LMa LAa LJc LJa LMc TMc TJc TMa TMb LJb LMb TJb MAc TAc MAa MJc TAb MJa LAc LAb Keterangan kode plot stasiun pengamatan : Habitat Bulan Transek M : Mangrove A : April a : Transek a T : Transisi M : Mei b : Transek b L : Lamun J : Juni c : Transek c Gambar 11 Konfigurasi distribusi ikan pada zona pengamatan Distribusi beberapa spesies ikan yang dominan meliputi distribusi habitat maupun distribusi ukuran disajikan pada Gambar 12. Spesies yang memiliki kelimpahan yang sangat tinggi jika dibandingkan spesies lainnya yaitu Gerres oblongus. Berdasarkan distribusi habitat pada Gambar 12, terlihat bahwa Gerres oblongus terdistribusi dengan kelimpahan tinggi di semua tipe habitat baik di mangrove, transisi maupun lamun. Secara distribusi ukuran, juvenil ikan yang berukuran lebih kecil (selang kelas panjang mm hingga mm) lebih banyak terdistribusi pada habitat mangrove dan transisi dimana kelimpahan tertinggi pada selang kelas panjang mm. Namun, juvenil ikan yang berukuran lebih besar (selang kelas panjang mm hingga mm) lebih banyak terdistribusi pada habitat lamun meskipun dengan kelimpahan yang relatif rendah. Menurut White et al. (2013), spesies dari famili Gerreidae sangat menyukai perairan pantai dangkal dan dekat dengan daratan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa spesies Gerres oblongus dapat bermigrasi secara bebas diantara habitat yang berdekatan tersebut, meskipun kecendrungannya akan bergerak ke arah habitat lamun ketika mencapai ukuran yang lebih besar. Hal tersebut dapat dikarenakan dukungan habitat baik dalam faktor lingkungan ataupun ketersediaan sumberdaya makanan. Abreyami dan Sivashanthini (2008) menyatakan bahwa kebiasaan makan Gerres oblongus termasuk dalam omnivora, dimana sumber makanan utamanya yaitu Alga, Diatom, Makrofita, Molluska, Krustasea dan Cacing Polikaeta. Di habitat lamun dan transisi, distribusi kelimpahan jenis ikan didominasi oleh spesies Fibramia lateralis, Siganus canaliculatus dan Pentapodus trivittatus (Gambar 12). Secara distribusi ukuran, semua selang kelas panjang spesies Fibramia lateralis terlihat lebih banyak terdistibusi pada habitat lamun dan transisi.

39 DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA (a) Distribusi Habitat Stress: 0,13 MAb MMb MMc MJb TAa MMa TJa LMa LJc MAc LAa LJa TMc LMc TAc MAa TJcTMa TMb MJc LJb LMb TJb TAb MJa LAc Gerres oblongus LAb DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA Frekuensi (b) Distribusi Ukuran Gerres oblongus Panjang (mm) Mangrove Transisi Lamun Stress: 0,13 MAb MMb MMc MJb TAa MMa TJa LMa LJc MAc LAa LJa TMc LMc TAc MAa TJcTMa TMb MJc LJb LMb TJb TAb MJa LAc Fibramia lateralis LAb DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA Frekuensi Fibramia lateralis Panjang (mm) Mangrove Transisi Lamun MAb MMb MMc TAa MMa TJa LMa LJc MAc LAa LJa TMc LMc TAc MAa TJcTMa TMb MJc LJb LMb TJb TAb MJa LAc Pentapodus trivittatus LAb Stress: 0,13 MJb Frekuensi Pentapodus trivittatus Panjang (mm) Mangrove Transisi Lamun Gambar 12 Distribusi spesies ikan berdasarkan: (a) Habitat, (b) Ukuran

40 28 DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA (a) Distribusi Habitat Stress: 0,13 MAb MMb MMc MJb TAa MMa TJa LMa LJc MAc LAa LJa TMc TAc LMc MAa TJc TMa TMb MJc LJb LMb TJb TAb MJa LAc Siganus canaliculatus LAb DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA Frekuensi (b) Distribusi Ukuran Siganus canaliculatus Panjang (mm) Mangrove Transisi Lamun Stress: 0,13 MAb MMb MMc MJb TAa MMa TJa LMa LJc MAc LAa LJa TMc LMc TAc MAa TJcTMa TMb MJc LJb LMb TJb TAb MJa LAc Siganus guttatus LAb DISTRIBUSI KELIMPAHAN IKAN DI PULAU PRAMUKA Frekuensi Siganus guttatus Panjang (mm) Mangrove Transisi Lamun LMa TJa LAa TAa Atherinomorus endrachtensis LJc MAb MMb MMc MMa MAc LJa TMc LMc TAc MAa TJcTMa TMb MJc LJb LMb TJb TAb MJa LAc LAb Stress: 0,13 MJb Frekuensi Atherinomorus endrachtensis Panjang (mm) Mangrove Transisi Lamun Gambar 12 Distribusi spesies ikan berdasarkan: (a) Habitat, (b) Ukuran (Lanjutan)

41 Hal tersebut dapat dikarenakan adanya asosiasi spesies Fibramia lateralis terhadap tumbuhan lamun, sejalan dengan Edrus dan hartati (2013) yang menyatakan umumnya spesies dari famili Apogonidae merupakan penghuni tetap padang lamun. Selain itu, hal tersebut diperkuat dengan hasil pengamatan di lapangan yang menunjukkan adanya kumpulan (Schooling) spesies Fibramia lateralis pada dedaunan tumbuhan lamun Enhalus acoroides. Meskipun demikian, jika dilihat secara kelimpahan pada Lampiran 2, beberapa spesies yang tergolong penghuni lamun seperti Fibramia lateralis, Pentapodus trivittatus, Amblygobius stethophthalmus dan Sphaeramia orbicularis menunjukkan kecendrungan kelimpahan yang lebih tinggi pada habitat transisi. Berdasarkan Gambar 12, sebagian besar selang kelas panjang spesies Pentapodus trivittatus menunjukkan kecendrungannya di habitat transisi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya kehadiran habitat lain yang berdekatan dalam mendukung kelimpahan ikan di habitat tersebut, dimana habitat transisi merupakan zona pertemuan antara habitat mangrove dengan lamun. Mwandya et al. (2010) menyebutkan bahwa pola distribusi kumpulan ikan di suatu perairan lebih dipengaruhi oleh preferensinya terhadap kondisi substrat dasar atau vegetasi tanaman di perairan jika dibandingkan dengan kondisi kualitas perairan itu sendiri. Selanjutnya distribusi kelimpahan spesies dari famili Siganidae yaitu Siganus canaliculatus juga lebih banyak ditemukan pada habitat lamun dan transisi (Gambar 12). Secara distribusi ukuran, juvenil ikan pada selang kelas panjang mm lebih banyak terdistribusi di habitat lamun, sedangkan untuk selang kelas panjang mm lebih banyak terdistribusi di habitat transisi. Randall et al. (1997) dalam Grandcourt et al. (2007) menyebutkan bahwa stadia juvenil Siganus canaliculatus banyak ditemukan bergerombol pada area bervegetasi seperti lamun dan makroalga, dimana makanan utamanya adalah filamen alga. Lebih lanjut juga disebutkan kumpulan Siganus canaliculatus banyak ditemukan disekitar petakan terumbu karang (Woodland 1999). Sejalan dengan penelitian kondisi lamun di pulau Pramuka yang juga terdapat pecahan terumbu karang (reef cest). Spesies dari famili Siganidae lainnya yaitu Siganus virgatus juga menunjukkan kelimpahan yang sama antara habitat lamun dan transisi (Lampiran 2). Di habitat mangrove, distribusi kelimpahan jenis ikan di dominasi oleh spesies Siganus guttatus dan Atherinomorus endrachtensis (Gambar 12). Secara distribusi habitat dan ukuran, semua selang kelas panjang juvenil ikan Siganus guttatus menunjukkan distribusinya lebih banyak terdapat di habitat mangrove. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan faktor lingkungan yaitu salinitas. Hasil pengamatan kualitas air di lapangan menunjukkan nilai salinitas di habitat mangrove lebih rendah dibandingkan dengan habitat transisi dan lamun. Sejalan dengan Woodland (1999) menyatakan spesies Siganus guttatus lebih menyukai perairan pesisir dengan salinitas rendah. Hal tersebut diperkuat dengan Komatsu et al. (2006) yang menyebutkan stadia juvenil Siganus guttatus banyak bermigrasi dan menetap di mulut sungai atau area estuarine. Selanjutnya, spesies Atherinomorus endrachtensis juga menunjukkan pola yang sama, dimana sebagian besar selang kelas panjangnya lebih banyak terdistribusi pada habitat mangrove. Selain itu, terdapat juga spesies yang hanya ditemukan di habitat mangrove seperti Moolgarda engeli dan Sphyraena barracuda. Stadia juvenil kedua spesies tersebut umumnya banyak ditemukan di mangrove atau muara sungai dalam mencari makan (Kottelat et al. 1993). 29

42 30 Secara umum, hasil distribusi tersebut memberikan gambaran terdapat konektivitas juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun yang berdekatan dimana sebagian besar ikan terdistribusi di kedua habitat tersebut. Berdasarkan distribusi selang kelas ukuran juvenil ikan antar habitat, spesies Gerres oblongus memiliki pola konektivitas yang lebih terlihat dimana juvenil yang berukuran kecil banyak terdistribusi di habitat mangrove dan transisi, kemudian akan bermigrasi ke habitat lamun ketika ukurannya lebih besar. Beberapa pola distribusi juvenil ikan dari kajian ini secara umum yaitu; 1) Spesies yang bermigrasi secara bebas diantara habitat seperti Gerres oblongus, 2) Spesies yang preferensinya pada habitat lamun dan transisi seperti Fibramia lateralis, Pentapodus trivittatus, Siganus canaliculatus dan Siganus virgatus, 3) Spesies yang preferensinya pada habitat mangrove seperti Siganus guttatus, Atherinomorus endrachtensis dan Moolgarda engeli. Similaritas Adapun hasil analisis tingkat kesamaan atau similaritas antar zona pengamatan tergambar dari cluster atau dendrogram hasil analisis similaritas Bray- Curtis (Gambar 13). 40 Similarity M T L Gambar 13 Dendrogram similaritas antar zona pengamatan Berdasarkan dendrogram, terdapat pengelompokan habitat pengamatan yang terbagi dalam dua kelompok besar. Pengelompokan tersebut berdasarkan kelimpahan spesies ikan yang menjadi karakter penciri antar habitat. Habitat transisi (kode T ) dan lamun (kode L ) dikelompokkan secara bersama dalam satu group dengan persentase similaritas sebesar 55,22%, sedangkan habitat mangrove (kode M ) secara hirarki terpisah dari group tersebut dengan persentase similaritas yang lebih rendah yaitu sebesar 48,44%, selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan spesies ikan yang menjadi penciri di setiap habitat (Tabel 7), habitat transisi dan lamun dicirikan oleh 2 spesies penciri yang sama yaitu Gerres oblongus dan Fibramia lateralis sehingga secara similaritasnya dikelompokkan dalam satu group, sedangkan habitat mangrove dicirikan oleh spesies Gerres

43 oblongus dan Siganus guttatus. Spesies Gerres oblongus memiliki persen kontribusi yang sangat tinggi di semua tipe habitat (berkisar antara 73,59% - 88,22%). Spesies Fibramia lateralis memiliki persen kontribusi yang relatif sama baik di habitat transisi maupun lamun (20,85% 22,4%), sedangkan spesies Siganus guttatus yang menjadi penciri di habitat mangrove memiliki persentase kontribusi yang lebih rendah yaitu sebesar 5,02%. Tabel 7 Persen kontribusi spesies penciri habitat No Spesies Kontribusi spesies (%) Mangrove Transisi Lamun 1 Gerres oblongus 88,22 75,83 73,59 2 Fibramia lateralis - 20,85 22,4 3 Siganus gutttatus 5, Selanjutnya berdasarkan hasil uji Analysis of Similarity (Lampiran 7), diketahui persentase tingkat perbedaan antara habitat mangrove dengan transisi adalah 0,1% atau 0,001 (berbeda sangat nyata), begitu juga halnya antara habitat mangrove dengan lamun. Sedangkan antara habitat transisi dengan lamun, persentase tingkat perbedaannya adalah sebesar 68,2% atau 0,682 (tidak berbeda nyata). Secara keseluruhan tingkat perbedaan antar zona menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (Global R = 0,116, p < 0,001), dimana perbedaan terjadi antara habitat mangrove dengan kedua habitat lainnya yaitu lamun dan transisi. Berdasarkan hasil uji Similarity of Percentage (SIMPER) yang mampu mengidentifikasi tingkat perbedaan diantara faktor uji, diketahui bahwa tingkat perbedaan tertinggi yaitu antara habitat mangrove dengan lamun sebesar 61,42%, sedangkan antara habitat mangrove dengan transisi sebesar 58,92% dan yang terendah yaitu antara habitat lamun dan transisi sebesar 52,55% (Lampiran 8). Hal ini berarti dari ketiga habitat pengamatan yang dibandingkan, antara habitat mangrove dengan lamun yang paling berbeda penyusun komunitas ikannya. Tingkat perbedaan berkorelasi negatif dengan kesamaan (similaritas) sehingga semakin rendah tingkat perbedaan, maka tingkat kesamaannya semakin tinggi. Oleh karena itu, rendahnya tingkat perbedaan antara habitat transisi dengan lamun menjadikan keduanya tidak berbeda nyata secara statistik (uji ANOSIM) sehingga tergabung dalam satu kelompok pada dendogram similaritasnya. Secara umum, hasil penelitian yang telah dilakukan menegaskan bahwa habitat mangrove dan lamun di pulau Pramuka sangat menunjang sebagai habitat asuhan bagi berbagai juvenil ikan terutama ikan-ikan yang pada stadia dewasa bermigrasi ke habitat yang lebih dalam seperti terumbu karang. Selain itu, secara distribusi terlihat sebagian besar jenis ikan yang dominan terdistribusi di semua habitat meskipun dengan kelimpahan yang berbeda-beda antar habitat. Hal tersebut dikarenakan kedekatan spasial sehingga terjadi konektivitas yang erat antar habitat tersebut dalam pergerakan juvenil ikan. Meskipun demikian, kecendrungan distribusi ikan antar habitat yang berdekatan tersebut akan berbeda-beda tergantung dengan jenis habitat yang mendukung bagi kelangsungan hidup jenis ikan-ikan tersebut. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya kecendrungan preferensi suatu spesies terhadap suatu habitat tertentu. 31

44 32 Sisi lain dari kajian ini juga menunjukkan bahwa meskipun habitat mangrove di Pulau Pramuka merupakan hasil dari kegiatan penanaman dan bukan merupakan mangrove yang tumbuh secara alami, namun habitat tersebut sangat berperan penting sebagai habitat tambahan bagi juvenil ikan. Hal itu terlihat dari kelimpahan dan distribusi jenis ikan pada habitat mangrove tersebut. Selain itu, adanya habitat mangrove tersebut juga memberikan suatu interaksi dengan habitat terdekat yaitu habitat lamun sehingga dari interaksi tersebut dapat memberikan nilai manfaat yang kompleks baik bagi juvenil ikan maupun biota akuatik lainnya. Implikasi Pengelolaan Kajian yang telah dilakukan menegaskan bahwa cukup signifikan kontribusi habitat yang berdekatan yaitu mangrove dan lamun bagi berbagai jenis juvenil ikan, terutama jenis ikan-ikan ekonomis penting dan beberapa jenis ikan yang dewasanya bermigrasi ke perairan yang lebih dalam seperti habitat terumbu karang. Oleh karena itu, sangat diperlukan pemahaman bagi masyarakat mengenai peranan habitat tersebut bagi keberlanjutan perikanan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa > 97% juvenil ikan sangat bergantung terhadap habitat mangrove dan lamun di Pulau Pramuka, terutama bagi juvenil ikan-ikan ekonomis seperti Gerres oblongus yang memiliki persen kontribusi > 73% dan ikan dari famili Siganidae yang memiliki keragaman spesies tertinggi (4 spesies) serta menjadi salah satu ikan tangkapan utama masyarakat di Pulau Pramuka. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya kedua habitat yang berdekatan tersebut secara tak langsung bagi perikanan tangkap. Berdasarkan sistem Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu yang mengacu kepada Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004, Pulau Pramuka termasuk dalam Zona Pemukiman Taman Nasional yaitu bagian taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk. Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,21% per tahun, dimana mata pencaharian penduduknya (70,99%) sebagai nelayan (Departemen Kehutanan 2008; DKKJI 2015). Seiring dengan penetapan zonasi tersebut, adanya pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahun menyebabkan meningkatnya aktivitas masyarakat dan kegiatan pembangunan sehingga ancaman terhadap kelestarian habitat pesisir di Pulau Pramuka tersebut tentunya juga akan semakin tinggi. Beberapa bentuk ancaman yang terjadi dapat berupa pencemaran seperti limbah antropogenik, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, pembangunan tanpa memperhitungkan aspek ekologi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengelolaan demi kelestarian habitat pesisir tersebut. Beberapa alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya yaitu: (1) Meningkatkan pengetahuan atau pemahaman masyarakat dalam bentuk penyuluhan mengenai interaksi habitat pesisir dan kontribusinya bagi keberlanjutan perikanan; (2) Perbaikan atau rehabilitasi lamun; (3) Pelarangan penangkapan juvenil ikan; (4) Efektivitas perlindungan dan pengawasan habitat mangrove dan lamun dari kegiatan pengrusakan; (5) Membangun hubungan yang erat dan sinergis antar pemangku kepentingan (ekonomi, ekologi dan sosial).

45 33 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Adapun kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut : 1. Berdasarkan struktur komunitas, perbedaan antar habitat pengamatan yang berdekatan tidak berbeda nyata menurut parameter jumlah jenis, kelimpahan dan biomassa ikan 2. Berdasarkan distribusi ikan menurut habitat, spesies ikan di habitat transisi dan lamun relatif sama dan didominasi oleh ikan Putihan (Gerres oblongus), Beseng (Fibramia lateralis) dan Baronang lingkis (Siganus canaliculatus), sedangkan habitat mangrove relatif berbeda dan didominasi oleh ikan Putihan (Gerres oblongus) dan Baronang totol (Siganus guttatus) 3. Hasil analisis similaritas habitat berdasarkan distribusi kelimpahan jenis ikan menunjukkan bahwa habitat transisi dan lamun relatif sama dan berbeda sangat nyata dengan habitat mangrove Saran Besarnya kontribusi habitat mangrove dan lamun yang lokasinya berdekatan bagi keanekaragaman dan kelimpahan sebagian besar juvenil ikan, maka sangat diperlukan penjagaan kelestarian dan pengelolalan habitat tersebut dari segala ancaman atau tekanan. Pengelolaan yang dilakukan hendaknya dilakukan dengan melibatkan hubungan yang sinergis antar pemangku kepentingan di Pulau Pramuka. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji secara menyeluruh mengenai keterkaitan juvenil ikan antara habitat mangrove, lamun dan terumbu karang sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih detail dan kompleks dalam distribusi juvenil ikan tersebut. Selain itu, kajian temporal berdasarkan perbedaan musim juga diperlukan sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih spesifik.

46 34 DAFTAR PUSTAKA Abreyami B, Sivashanthini K Some aspects on the feeding of Gerres oblongus (Cuvier, 1830) dwelling from the Jaffna lagoon. Pakistan journal of biological sciences. 11(9): Allen G, Swainston R, Ruse J Marine Fishes of Topical and South-East Asia; A Field Guide for Anglers and Divers. Australia: Periplus Edition (HK) Ltd. [APHA] American Public Health Assosiation Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. Maryland: American Public Health Association Publication Sales. Allen G, Adrim M Coral reef fishes of Indonesia. Zoological studies. 42(1):1-72. Allen G, Steene R, Humann P, Deloach N Reef Fish Identification Tropical Pacific. Florida: New World Publication. Brower JE, Zar JH, Ende CN Field and Laboratory Methods for General Ecology 3nd ed. Iowa: Co. Pub.Dubuque. Chapman MG, Underwood AJ Ecological patterns in multivariate assemblages: information and interpretation of negative values in ANOSIM test. Marine Ecology. 180: Clarke KR, Gorley RN Plymouth Routines in Multivariate Ecological Research (PRIMER) V 5.2: User manual/tutorial. Primer-E Ltd. [DEPHUT] Departemen Kehutanan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jakarta: Departemen Kehutanan. [diunduh 14 April 2015]. Tersedia pada: pdf. [DKKJI] Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Profil Kawasan Konservasi Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Dorensborch M, Riel MC, Nagelkerken I, Velde GD The relationship of reef fish densities to the proximity of mangrove and seagrass nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 60: Effendi I Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya. Effendi H Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. El-Regal MA, Ibrahim NK Role of mangrove as a nursery ground for juvenile reef fishes in the Southern Egyptian Red Sea. Egyptian Journal of Aquatic Research. 40: Grandcourt E, Abdessalaam T, Francis F, Shamsi A Population biology and assesment ot the White-Spotted Spinefoot, Siganus canaliculatus (Park, 1979) in the Southern Arabian Gulf. J. Appl. Ichtyol. 23: Harm JJ, Saunders J, Speight MR Distribution of fish in seagrass, mangroves and coral reefs: life-stage dependent habitat use in Honduras. International Journal Biology Trop. 60(2): Hogarth P The Biology of Mangrove and Seagrasses. New York: Oxford University Press. Huijbers CM, Mollee EM, Nagelkerken I Post-larval French grunts (Haemulon flavolineatum) distinguish between seagrass, mangrove and coral

47 reef water: Implications for recognition of potential nursery habitats. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 357: Ikejima K, Tongnunui P, Medej T, Taniuchi T Juvenile and small fishes in a mangrove estuary in Tang province, Thailand: seasonal and habitat differences. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 56: Kathiresan K Interconnectivity of Coastal Ecosystem. Indian Journal of Geo Marine Science. 43 (6): [Kepmen LH 51] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Baku mutu air laut untuk biota laut. Jakarta: Kepmen LH. [Kepmen LH 200] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Jakarta: Kepmen LH. [Kepmen LH 201] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kriteria baku kerusakan mangrove. Jakarta: Kepmen LH. Kendall AW, Ahlstrom EH, Moser HG Early Life History Stages of Fishes and Their Characters in: Ontogeny and systematic of fishes. Based on An International Symposium Dedicated to the Memory of Elbert Halvor Ahlstrom. United State: National Marine Fisheries Service. Kimirie IA, Nagelkerken I, Griffioen B, Wagner C, Mgaya YD Ontogenetic habitat us by mangrove/seagrass-associated coral reef fishes shows flexibility in time and space. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 92: Kottelat M, Whitten A.J, Kartikasari S.N, Wirjoatmodjo S Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Editions (HK) Ltd. Komatsu T, Nakamura S, Nakamura M A sex cord-like structure and some remarkable features in early gonadal sex differentiation in the marine teleost Siganus guttatus (Bloch). Journal of Fish Biology. 68: Krebs JC Ecological Methodology. New York: R.R.Donnelley & Sons Company. Kuiter RH, Tonozuka T Pictorial Guide to: Indonesian Reef Fish. Australia: Zoonetics. Manik N Struktur komunitas ikan di padang lamun kecamatan Wori, Sulawesi Utara. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 37(1): McKenzie LJ, Campbell SJ, Roder CA Seagrass Watch: manual for mapping and monitoring seagrass resources by community volunteers. Australia: Marine Plant Ecology Group, Northern Fisheries Centre. McKenzie LJ, Yoshida R Seagrass Watch. Bali. Proceeding of a workshop for monitoring seagrass habitat in Indonesia. Mwandya AW, Gullstrom M, Andersson MH, Ohman MC, Mgaya YD, Bryceson I Spatial and seasonal variations of fish assemblages in mangrove creek system in Zanzibar (Tanzania). Estuarine, Coastal and Shelf Science. 89: Nagelkerken I, Velde G, Gorissen MW, Meijer GJ, Hof TV, Hartog C Importance of mangroves, seagrass beds and the shallow coral reef as a nursery for important coral reef fishes, using a visual census technique. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 51: Nakamura Y, Tsuchiya M Spatial and temporal patterns of seagrass habitat use by fishes at the Ryukyu Islands, Japan. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 76:

48 36 Odum EP Dasar-dasar ekologi. (Terjemahan Samingan T dan Srigandono B) Edisi ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Peristiwady T. Ikan-Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia: Petunjuk Identifikasi Jakarta: LIPI. Pogoreutz C, Kneer D, Litaay M, Asmus H, Ahnelt H The influence of canopy structure and tidal level on fish assemblages in tropical southest Asian seagrass meadows. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 107: Prabhakaran MP, Nandan B, Jayachandaran PR, Pillai NGK Species diversity and community structure of ichtyofauna in the seagrass ecosystem of Minicoy Atoll, Lakshadweep, India. Indian Journal of Geo-Marine Sciences. 42(3): Ramdhan M Komparasi hasil pengamatan pasang surut di perairan Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati dengan prediksi pasang surut Tide Model Driver. Jurnal Segara. 7(1):1-12. Sachoemar SI Karakteristik lingkungan perairan Kepulauan Seribu. Jurnal Air Indonesia. 4(2): Sanusi HS Kimia Laut : Proses Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar Sampling dan Analisis Data Perikanan; Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. Bogor: Makaira FPIK IPB. Sichum S, Tantichodok P Diversity and assemblage pattern of juvenile and small sized fishes in the nearshore habitats of the gulf of Thailand. The Raffless of Bulletin Zoology. 61(2): Sutomo, Darma DP Analisisis vegetasi di kawasan hutan danau Buyan Tamblingan Bali sebagai dasar untuk manajemen kelestarian kawasan. Jurnal Bumi Lestari. 11(1): Taurusman AA, Isdahartati, Isheliadisti, Ristiani Pemulihan stok dan restorasi habitat Teripang: Status ekosistem lamun di lokasi restocking Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kep. Seribu, Jakarta. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 18(1):1-5. Unsworth RKF, Leon PSD, Garrard SL, Jompa J, Smith DJ, Bell JJ High connectivity of Indo-Pacific seagrass fish assemblages with mangrove and coral reef habitats. Marine Ecology Progress Series. 353: Unsworth RKF, Garrard SL, DeLeon PS, Cullen LC, Smith DJ, Sloman KA, Bell JJ Structuring of Indo-Pacific fish assemblages along the mangroveseagrass continuum. Aquatic Biology. 5: Verweij MC, Nagelkerken I, Hans I, Ruseler SM Seagrass nurseries contribute to coral reef fish populations. American Society of Limnology and Oceanography. 53(4): [UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization Coral reefs, sea grass beds and mangroves: their interaction in the Coastal Zones of The Caribbean. UNESCO reports in marine science 23. Walpole RE Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

49 Waycott L, Collier C, McMahon K, Ralph P, McKenzie L, Udy J, Grech A Vulnerability of seagrass in the great barrier reef to climate change. Chapter 8. White WT, Last PR, Dharmadi, Faizah R, Chodrijah U, Prisantoso BI, Pogonoski JJ, Puckridge M, Blaber SJM Market Fishes of Indonesia. Australia: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Wibowo A Struktur komunitas lamun dan keterkaitannya dengan kelimpahan ikan di Pulau Pramuka, Kep. Seribu. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Woodland DJ An examination of the effect of ecological factors, especially competitive exclusion, on the distributions of species of an inshore, tropical, marine family of Indo-Pacific fishes (Siganidae): In Proceedings of the 5th Indo-Pacific Fish Conference, Noumea,

50 38 Lampiran 1 Taksonomi jenis ikan di pulau Pramuka Tingkatan Taksonomi Ordo Atheriniformes Famili Atherinidae Ordo Beloniformes Nama Latin Nama Lokal Nama Umum Atherinomorus endrachtensis Balombong Eendracht land silverside Famili Hemiramphidae Zenarchopterus dispar Julung-julung Ordo Mugiliformes Famili Mugilidae Moolgarda engeli Belanak Kanda Ordo Percifomes Famili Apogonidae Famili Gerreidae Famili Gobiidae Famili Labridae Cheilodipterus quinquelineatus Fibramia Lateralis Sphaeramia orbicularis Gerres oblongus Serinding Beseng Capungan Kapasan/Putihan Feathered rivergarfish Five-lined cardinalfish Humpback cardinalfish Orbiculate cardinalfish Slender silverbiddy Common silverbiddy Gerres oyena Kapasan/Putihan Amblygobius stethophthalmus Glodok Freckled goby Pseudogobiopsis oligactis Pastel-green wrasse Halichoeres chloropterus Keling hijau Halichoeres argus Bayeman Argus wrasse Famili Lethrinidae Lethrinus laticaudis Ketambak Grass emperor Famili Lutjanidae Lutjanus fulviflamma Jenaha Dory snapper Famili Nemipteridae Pentapodus trivittatus Pasir-pasir Three-striped whiptail Famili Pomacentridae Dischistodus fasciatus Padi-padi Banded damsel Famili Siganidae Baronang White-spotted Siganus canaliculatus lingkis spinefoot Siganus guttatus Baronang totol Goldlined spinefoot Siganus javus Baronang Streaked spinefoot Barhead spinefoot Siganus virgatus Kea-Kea Famili Sphyraenidae Sphyraena barracuda Barracuda Great barracuda Famili Terapontidae Lagusia micracanthus Piri Terapon Jarbua Kerong-kerong Jarbua terapon Ordo Tetraodontiformes Famili Monacanthidae Acreichthys tomentosus Bembeg Bristle-tail filefish

51 39 Lampiran 2 Total kelimpahan ikan di Pulau Pramuka (ind) Spesies Habitat Mangrove Transisi Lamun Total Atherinomorus endrachtensis Zenarchopterus dispar Moolgarda engeli Cheilodipterus quinquelineatus Fibramia Lateralis Sphaeramia orbicularis Gerres oblongus Gerres oyena Amblygobius stethophthalmus Pseudogobiopsis oligactis Halichoeres chloropterus Halichoeres argus Lethrinus laticaudis Lutjanus fulviflamma Pentapodus trivittatus Dischistodus fasciatus Siganus canaliculatus Siganus guttatus Siganus javus Siganus virgatus Sphyraena barracuda Lagusia micracanthus Terapon Jarbua Acreichthys tomentosus Total

52 40 Lampiran 3 Total biomassa ikan di Pulau Pramuka (g) Spesies Habitat Mangrove Transisi Lamun Total Atherinomorus endrachtensis 141,2 90,87 16,2 248,27 Zenarchopterus dispar 115,66 14,79-130,45 Moolgarda engeli 160, ,57 Cheilodipterus quinquelineatus 1,51-3,99 5,5 Fibramia Lateralis 70,68 485,42 326,09 882,19 Sphaeramia orbicularis 11,44 4,44 10,2 26,08 Gerres oblongus 1237,4 1383, , ,83 Gerres oyena 19,57 7,62-27,19 Amblygobius stethophthalmus 7,37 106,14 40,5 154,01 Pseudogobiopsis oligactis - 5,01 0,7 5,71 Halichoeres chloropterus - - 6,28 6,28 Halichoeres argus - 4,89 6,71 11,6 Lethrinus laticaudis - - 4,18 4,18 Lutjanus fulviflamma 8,06-6,15 14,21 Pentapodus trivittatus 85,92 213,31 179,34 478,57 Dischistodus fasciatus 27, ,75 Siganus canaliculatus 15,72 39,39 40,57 95,68 Siganus guttatus 214,15 16,54 3,69 234,38 Siganus javus - - 0,61 0,61 Siganus virgatus - 5,58 10,4 15,98 Sphyraena barracuda 32, ,6 Lagusia micracanthus - 0,81-0,81 Terapon Jarbua 15, ,81 Acreichthys tomentosus - 5,08 25,57 30,65 Total 2165, ,3 2276,2 6824,91

53 41 Lampiran 4 Kisaran distribusi panjang total (mm) dan stadia ikan Habitat Panjang Stadia Spesies Maks Mangrove Transisi Lamun (mm) J D Atherinomorus endrachtensis a Zenarchopterus dispar b - Moolgarda engeli b - Cheilodipterus quinquelineatus a - Fibramia Lateralis c - Sphaeramia orbicularis a Gerres oblongus c - Gerres oyena c - Amblygobius stethophthalmus d - Pseudogobiopsis oligactis a Halichoeres chloropterus d - Halichoeres argus d - Lethrinus laticaudis c - Lutjanus fulviflamma b - Pentapodus trivittatus c - Dischistodus fasciatus a - Siganus canaliculatus d - Siganus guttatus d - Siganus javus d - Siganus virgatus d - Sphyraena barracuda b - Lagusia micracanthus b - Terapon Jarbua c - Acreichthys tomentosus a - Keterangan : a = Allen et al. (1999), b = Kottelat et al. (1993), c = Fishbase (2015), d = Kuiter and Tonozuka (2001)

54 42 Lampiran 5 Hasil ANOVA perlakuan habitat dan bulan terhadap kelimpahan Descriptive Statistics Dependent Variable: Kelimpahan Habitat Bulan Mean Std. Deviation N Total 1 0, , , , , , Total 0, , , , , , , , Total 0, , , , , , , , Total 0, , , , , , , , Total 0, , Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kelimpahan Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 0,173 a 8 0,022 1,289 0,309 Intercept 4, , ,388 0,000 Habitat 0, ,057 3,418 0,055 Bulan 0, ,024 1,434 0,264 Habitat * Bulan 0,01 4 0,003 0,153 0,959 Error 0, ,017 Total 4, Corrected Total 0,476 26

55 43 Lampiran 6 Hasil ANOVA perlakuan habitat dan bulan terhadap biomassa Descriptive Statistics Dependent Variable: Biomassa Habitat Bulan Mean Std. Deviation N Total 1 0, , , , , , Total 0, , , , , , , , Total 0, , , , , , , , Total 0, , , , , , , , Total 0, , Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Biomassa Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 2,625 a 8 0,328 6,854 0 Intercept 19, , ,406 0,000 Habitat 0, ,015 0,306 0,740 Bulan 2, ,092 22,805 0,000 Habitat * Bulan 0, ,103 2,153 0,116 Error 0, ,048 Total 22, Corrected Total 3,487 26

56 44 Post Hoc Tests Biomassa Duncan Bulan N Subset , , , Sig. 1 0,323

57 45 Lampiran 7 Hasil analisis similaritas Bray-Curtis dan uji statistik ANOSIM Similarity Create triangular similarity/distance matrix Parameters Analyse between: Samples Similarity measure: Bray Curtis Standardise: Yes Transform: Square root CLUSTER Hierarchical Cluster analysis Parameters Cluster mode: Group average Use data ranks: No Samples 1 M 2 T 3 L Combining 2+3 -> 4 at 55, > 5 at 48,44 ANOSIM Analysis of Similarities One-way Analysis Factor: Habitat M T L Global Test Sample statistic (Global R): 0,116 Significance level of sample statistic: 0,1% Number of permutations: 999 (Random sample from a large number) Number of permuted statistics greater than or equal to Global R: 0 Pairwise Tests R Significance Possible Actual Number >= Groups Statistic Level % Permutations Permutations Observed M, T 0,183 0,1 Too Many M, L 0,175 0,1 Too Many T, L -0,007 68,2 Too Many

58 46 Lampiran 8 Hasil analisis Similarity of Percentage (SIMPER) SIMPER Similarity Percentages - species contributions Parameters Transform: None Cut off for low contributions: 90,00% Factor name: Habitat Factor groups M T L Group M Average similarity: 40,24 Species Av.Abund Av.Sim Sim/SD Contrib% Cum.% Gerres oblongus 12,40 35,50 1,63 88,22 88,22 Siganus guttatus 2,11 2,02 0,38 5,02 93,24 Group T Average similarity: 50,10 Species Av.Abund Av.Sim Sim/SD Contrib% Cum.% Gerres oblongus 15,04 37,99 1,86 75,83 75,83 Fibramia lateralis 10,53 10,44 0,77 20,85 96,68 Group L Average similarity: 44,54 Species Av.Abund Av.Sim Sim/SD Contrib% Cum.% Gerres oblongus 12,49 32,78 1,43 73,59 73,59 Fibramia lateralis 7,44 9,98 0,60 22,40 96,00 Groups M & T Average dissimilarity = 58,92 Group M Group T Species Av.Abund Av.Abund Av.Diss Diss/SD Contrib% Cum.% Gerres oblongus 12,40 15,04 22,50 1,33 38,18 38,18 Fibramia lateralis 1,73 10,53 18,15 0,95 30,81 68,99 Siganus guttatus 2,11 0,36 4,66 0,59 7,91 76,91 Atherinomorus endrachtensis 1,31 0,78 3,47 0,45 5,88 82,79 Zenarchopterus dispar 0,93 0,20 2,39 0,43 4,06 86,84 Pentapodus trivittatus 0,22 0,84 1,96 0,75 3,32 90,16

59 47 Groups M & L Average dissimilarity = 61,42 Group M Group L Species Av.Abund Av.Abund Av.Diss Diss/SD Contrib% Cum.% Gerres oblongus 12,40 12,49 24,80 1,34 40,38 40,38 Fibramia lateralis 1,73 7,44 17,12 0,93 27,87 68,25 Siganus guttatus 2,11 0,09 4,85 0,56 7,89 76,15 Atherinomorus endrachtensis 1,31 0,29 2,96 0,39 4,81 80,96 Zenarchopterus dispar 0,93 0,00 2,38 0,38 3,88 84,84 Siganus canaliculatus 0,13 0,76 2,21 0,52 3,59 88,43 Pentapodus trivittatus 0,22 0,67 2,11 0,51 3,44 91,87 Groups T & L Average dissimilarity = 52,59 Group T Group L Species Av.Abund Av.Abund Av.Diss Diss/SD Contrib% Cum.% Gerres oblongus 15,04 12,49 20,93 1,29 39,79 39,79 Fibramia lateralis 10,53 7,44 20,42 1,10 38,82 78,61 Pentapodus trivittatus 0,84 0,67 2,42 0,72 4,60 83,21 Siganus canaliculatus 0,60 0,76 2,34 0,67 4,45 87,66 Atherinomorus endrachtensis 0,78 0,29 1,67 0,36 3,17 90,83

60 48 Lampiran 9 Dokumentasi beberapa jenis ikan di Pulau Pramuka Gerres oblongus (TL 45 mm) Fibramia lateralis (TL 36 mm) Siganus guttatus (TL 48 mm) Siganus canaliculatus (TL 42 mm) Atherinomorus endrachtensis (TL 67 mm) Siganus virgatus (TL 46 mm) Moolgarda engeli (TL 67 mm) Pentapodus trivittatus (TL 71 mm) Sphaeramia orbicularis (TL 42 mm) Acreichtys tomentosus (TL 58 mm)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL JUVENIL IKAN PADA HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA

STRUKTUR KOMUNITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL JUVENIL IKAN PADA HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Hlm. 187-199, Juni 2016 STRUKTUR KOMUNITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL JUVENIL IKAN PADA HABITAT MANGROVE DAN LAMUN DI PULAU PRAMUKA COMMUNITY STRUCTURE

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. /Juni 06 (6-7) Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu Saiyaf Fakhri

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan dilakukan dengan Metode Purpossive Random Sampling pada tiga stasiun penelitian. Di masing-masing stasiun

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 pada 3 (tiga) lokasi di Kawasan Perairan Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di perairan pantai Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah dengan tiga stasiun sampling yang ditempatkan sejajar

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu: BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Mei 2013. Lokasi penelitian adalah Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA STUDI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA Oleh: BAYU ADHI PURWITO 26020115130110 DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Ada beberapa data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data angin serta

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Nopember 2010. Sampling dilakukan setiap bulan dengan ulangan dua kali setiap bulan. Lokasi sampling

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian deskriptif (Muhamad Ali, 1992). Jenis penelitian ini memberikan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian deskriptif (Muhamad Ali, 1992). Jenis penelitian ini memberikan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dasar dengan menggunakan metode penelitian deskriptif (Muhamad Ali, 1992). Jenis penelitian ini memberikan gambaran atau

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 pada 4 lokasi di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

Analisis Kelompok dan Tutupan Lamun di Wilayah TRISMADES Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Analisis Kelompok dan Tutupan Lamun di Wilayah TRISMADES Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Analisis Kelompok dan Tutupan Lamun di Wilayah TRISMADES Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Novi Andriani Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. B.

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR Lili Kasmini 11 ABSTRAK Desa Ladong memiliki keanekaragaman mangrove yang masih tinggi yang berpotensi untuk tetap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2013. Lokasi Penelitian adalah Teluk Banten, Banten.Teluk Banten terletak sekitar 175

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BAB III METODE PENELITIAN Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung mulai Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di Desa Ponelo

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 0 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN Devi Triana 1, Dr. Febrianti Lestari, S.Si 2, M.Si, Susiana, S.Pi, M.Si 3 Mahasiswa 1, Dosen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Tempat penelitian berlokasi di Sungai Way Sekampung, Metro Kibang,

Lebih terperinci

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL KWRAKTERlSTIK #OMUNITAS FAUNA BENTHOS DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL KECAMWTWN PEHJARINGAH, JAKARTA UFARA C/"&lsp/ 'Oh,! L>;2nzt KARYA ILMIAH Oleh IMSTITUT PERTANlAN BOGOR FAKULTAS PERIMAMAN 1989 YENNI,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta. Waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 11

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian 3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian Perbandingan Kelas Gastropoda Pantai Karang dan Padang Lamun yang di lakukan di Pantai Sindangkerta menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan data primer. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Perameter

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci