ANALISIS PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI TELUK BONE : HUBUNGAN ASPEK BIOLOGI DAN FAKTOR LINGKUNGAN MUHAMMAD JAMAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI TELUK BONE : HUBUNGAN ASPEK BIOLOGI DAN FAKTOR LINGKUNGAN MUHAMMAD JAMAL"

Transkripsi

1 ANALISIS PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI TELUK BONE : HUBUNGAN ASPEK BIOLOGI DAN FAKTOR LINGKUNGAN MUHAMMAD JAMAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone : Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal, atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2011 Muhammad Jamal NIM.C

3 ABSTRACT MUHAMMAD JAMAL. Analysis of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Fisheries in the Bone Bay: Relationships between Biological and Environmental Factors. Under supervision of M. FEDI A. SONDITA, JOHN HALUAN, and BUDY WIRYAWAN. Fishing activities targeting skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) take place in the Bone Bay. The bay is part of the Indonesia Fisheries Management Area or WPPI 713 that covers Makassar strait, Flores sea and Bali sea. This study describes some biological characteristics of the skipjack tuna in three pre-defined fishing zones, i.e. the North Zone (Districts of Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Wajo and Palopo city), the Centre Zone (District of Bone) and the South Zone (District of Sinjai). Such information is very important for developing fisheries management strategies in the bay. The objectives of the study are to analyze biological characteristics of the skipjack tuna caught in the Bay, to calculate and interpretate of CPUE of the fisheries, to analyze dynamics of fishing and fish production in relation to oceanography condition, and to determine a concept of fisheries management of the Bone Bay. Data were obtained from fishing activities conducted by local fishermen from January to December 2007, local fisheries statistics and internet-published data of sea surface temperature (SST) and chlorophyll (Chl) content. Seasonal and annual total fishing effort and fish production for a period of 11 years ( ) were analyzed. Seven statistical parameters of the factors for SST and Chl were calculated and correlated with the fisheries statistics. The b coefficients for length-weight relationship in the three zones were equal to 3. The average fork-length (FL) of the fish in each zone showed similar trends, i.e it increased from January to June, then stabilized until December. Using von Bertalanffy s growth model, the maximum FL (i.e.,76 cm) will be reached when fish at age of 84 months while the length at first maturity of the fish is 46,5 cm (FL). Overall, the average size of the skipjack tuna caught by pole and liners in January-April are small (31,5-46,3 cm, FL), from May to June the fish is larger (48,5-56,6 cm, FL), then the average size become smaller from July to December (33,7-48,2 cm, FL). From January to May, the size of the fish in the North Zone is generally smaller than in the two other zones. From May to August, the size of the fish in the South Zone is generally larger than in the two other zones. From September to December the size of the fish is generally similar among the three zones, but smaller than the size of the fish caught in the South Zone in June. Regardless of fish size composition, the MSY SS of Bay-wide shared fish stock is tons/year with Fopt is trips/year. However, considering length at first maturity of the species, the catch allocation for the North Zone should be 573 tons/year with fishing effort of 409 trips/year, catch in the Center Zone should be tons/year with fishing effort of trips/year, while in the South Zone should be tons with fishing effort of trips/year. The relationship between fish production and SST/Chl, for both seasonal and quarterly in the North, Central and South Zones were categorized as type 11, 10 and 5, respectively. Significant correlations were identified between SST/Chl and production of skipjack tuna in each zone, but the relationship between SST/Chl and fishing productivity of skipjack tuna is significant only in the Center Zone. These biological features and dynamics suggest that the North Zone should be prioritized for protecting skipjack juveniles. The fishermen in the North Zone should be given some incentives to support the conservation by alternative livelihoods and allocation of some benefits generated by the fisheries in the Central and South Zone. Keywords : skipjack tuna, fisheries management, shared fish stock, fishing zone, Bone Bay

4 RINGKASAN MUHAMMAD JAMAL. Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone : Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan. Dibimbing oleh M. FEDI A SONDITA, JOHN HALUAN, dan BUDY WIRYAWAN. Pengelolaan perikanan seyogianya mencegah terjadinya masalah penangkapan berlebih atau overfishing yang saat ini sudah terjadi di berbagai perikanan dunia, terrmasuk Indonesia. Salah satu langkah awal untuk mengelolanya adalah diketahuinya informasi yang cukup tentang karakteristik sumber daya ikan yang ditangkap dan kondisi lingkungannya dalam rangka menentukan strategi pengelolaan setepat mungkin. Perikanan Indonesia berlangsung di perairan yang luas sehingga memerlukan pendekatan tertentu agar pengelolaan perikanan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Salah satu pendekatan di antaranya adalah dengan cara membagi perairan Indonesia menjadi sejumlah kawasan pengelolaan perikanan. Saat ini di Indonesia terdapat sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), sebagai bentuk pengelolaan dengan pendekatan pengaturan spasial (zoning) yang lebih menitik-beratkan pada aspek geografi kegiatan penangkapan ikan dan aspek administrasi dari tempat-tempat pendaratan ikan. Namun pembagian wilayah tersebut tidak serta merta membuat pengelolaan mudah dilakukan (efisien) dan efektif mengingat kondisi ekologi dan karakteristik perikanan sangat beragam, meskipun pada WPPI yang sama. Oleh karena itu, pengelolaan yang berbasis kondisi lokal perlu dikembangkan dengan zoning pada wilayah geografi yang lebih sempit, misalnya pengelolaan perikanan berbasis teluk. Penelitian ini bertujuan merumuskan konsep pengelolaan untuk perikanan cakalang di teluk Bone, khususnya tentang produksi dan upaya penangkapan ikan optimum, ukuran ikan yang direkomendasikan, spesifikasi unit penangkapan ikan dan alokasi produksi dan jumlah alat tangkap yang mendukung keberlanjutan sumber daya ikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggali sejumlah informasi tentang: (1) aspek-aspek biologi cakalang pada teluk Bone Sulawesi Selatan; (2) produksi berimbang lestari (MSY) ikan cakalang dan upaya penangkapan yang optimum untuk mencapai MSY tersebut (Fopt); (3) pola hubungan faktor biofisik lingkungan dengan kelimpahan ikan cakalang. Penelitian ini menggunakan data produksi hasil tangkapan tahunan dan kuartalan di 7 (tujuh) kabupaten/kota pesisir kawasan Teluk Bone. Data tahunan dalam periode tahun dan data kuartalan dari tahun diperoleh dari data statistik DKP Propinsi Sulawesi Selatan. Dalam penelitian ini, teluk Bone dibagi menjadi 3 kawasan, yaitu zona utara, zona tengah, dan zona selatan. Sesuai dengan pembagian kawasan tersebut, statistik perikanan kemudian dikelompokan menurut posisi kedekatan dengan setiap zona, sehingga zona utara mencakup Kabupaten-Kabupaten Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur dan Wajo, zona tengah mencakup Kabupaten Bone dan zona selatan mencakup Kabupaten Sinjai. Data komposisi ukuran ikan cakalang diperoleh dari pengukuran langsung terhadap hasil tangkapan sampel kapal pole and line yang berbasis di tiga tempat yang dianggap mewakili armada perikaan yang beroperasi di zona utara (yaitu Murante,Kecamatan Suli), di zona tengah (yaitu Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang) dan zona Selatan (yaitu Lappa, Kecamatan Sinjai Utara). Data suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a diperoleh dari Ocean Color Time-Series Online Visualization hasil citra satelit MODIS, sedangkan data Potosyntetically Available Radiation (PAR) diperoleh dari citra SeaWiFS yang dikeluarkan oleh NASA. Data citra satelit yang digunakan telah dianalisis berdasarkan GIOVANNI (GES-DISC Interactive Online Visualization and Analysis Infrastructure) dalam kurun waktu 2 tahun ( ). Posisi

5 geografis pengambilan data citra adalah di Zona Utara 4 0 LS dan BT, di Zona Tengah LS dan BT dan di Zona Selatan LS dan BT. Analisis spasial dan temporal dilakukan terhadap produksi ikan dari empat jenis alat tangkap, yaitu (1) pole and line, (2) purse seine, (3) jaring insang hanyut dan (4) pancing tonda. Strandarisasi upaya penangkapan ikan diterapkan untuk menentukan total upaya penangkapan ikan di setiap zona dengan mempertimbangkan produktivitas setiap jenis unit penangkapan ikan. Penghitungan nilai-nilai MSY dan Fopt dilakukan dengan menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer. Analisis ini menghasilkan nilai CPUE di zona utara 1,090 2,295 ton/trip, di zona tengah 0,383 3,059 ton/trip, dan di zona Selatan 1,067 2,040 ton/trip. Penerapan metode ini menghasilkan nilai MSY untuk seluruh teluk Bone sebesar ton per tahun pada upaya penangkapan ikan optimum setara trip kapal pole and line per tahun. Selanjutnya, nilai MSY SS dan Fopt SS pemanfaatan bersama stok ikan cakalang (shared stok) untuk zona utara adalah ton/tahun dengan Fopt sebesar 409 trip/tahun, untuk zona tengah adalah ton/tahun dengan Fopt sebesar trip/tahun dan untuk zona selatan adalah ton/tahun dengan Fopt sebesar trip/tahun. Data biologi cakalang yang dikumpulkan adalah panjang cagak (FL) dan berat ikan dari sampel yang dipilih secara acak di tempat penampungan ikan. Dalam penelitian ini dilakukan sampel ikan ikan diperoleh dari 474 trip operasi kapal pole and line. Jumlah sampel ikan yang diambil dari trip operasi penangkapan ikan ini adalah 25 ekor sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah ekor. Panjang ikan (FL) diukur dengan menggunakan fish measuring board berskala 0,1 cm. Berat ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan pegas dengan kapasitas 21 kg berskala 0,1 kg. Data tersebut diolah dan dianalisis untuk mengetahui komposisi ukuran, hubungan panjang-berat, pertumbuhan dan length at first maturity (Lm). Pada perikanan cakalang di teluk ini ditemukan adanya perbedaan komposisi ukuran dan hubungan panjang berat cakalang di antara ketiga zona. DI zona utara, panjang cakalang berkisar mulai dari 29,2-61,0 cm (FL) dengan persamaan hubungan panjang berat W = 0,0006 L 2,5055, di zona tengah mulai dari 29,8-61,0 cm dengan persamaan hubungan panjang berat W = 0,0003 L 2,5999 sedangkan di zona selatan berkisar dari 29,08-64,0 cm dengan persamaan hubungan panjang berat W = 0,0004 L 2,7733. Hubungan panjang berat cakalang di setiap zona tersebut bersifat isometrik, namun nilai koefisien b pada cakalang semakin utara menjadi semakin kecil, memberikan kesan bahwa semakin ke utara cakalang semakin langsing, atau semakin ke selatan menjadi semakin gemuk. Pertumbuhan panjang cakalang di teluk Bone dapat digambarkan dengan persamaan Lt = 76 [1 e 0,19 (t + 0,36) ]. Panjang ikan ini diperkirakan mendekati FL maksimum ketika berumur 84 bulan. Ikan ini mencapai ukuran pertama kali dewasa (Lm) ketika panjangnya mencapai 46,5 cm (FL). Secara keseluruhan di teluk Bone, berdasarkan komposisi panjang ikan yang tertangkap oleh kapal pole and line, pada bulan Januari sampai April cakalang berukuran kecil (31,5-46,3 cm, FL), pada bulan Mei sampai Juni berukuran besar (48,5-56,6 cm, FL) dan berukuran kecil kembali dari bulan Juli sampai Desember (33,7-48,2 cm, FL). Pada bulan Januari sampai Mei, cakalang yang tertangkap di zona utara umumnya lebih kecil dibandingkan dengan cakalang yang tertangkap di zona tengah dan zona selatan. Pada bulan Mei sampai Agustus, cakalang yang tertangkap di zona selatan berukuran lebih besar dibandingkan dengan yang tertangkap di zona utara dan zona tengah. Pada bulan September hingga Desember ukuran cakalang di ketiga zona tersebut sama.

6 Data bulanan SPL dan klorofil-a diolah menjadi data kuartalan kemudian dianalisis dengan menghitung 7 macam parameter statistik, yaitu mean, median, modus, varians, standar deviasi, kisaran (range) dan koefisien keragaman. Dalam penelitian ini diterapkan dua jenis data kuartalan, yaitu kuartalan berdasarkan kalender (kuartal 1: Januari-Maret, kuartal 2: April-Juni, kuartal 3: Juli-September, kuartal 4: Oktober-Desember) dan kuartalan berdasarkan musim (kuartal 1 ketika musim angin barat: Desember-Februari, kuartal 2 ketika musim peralihan pertama: Maret-Mei, kuartal 3 ketika musim angin timur: Juni-Agustus, dan kuartal 4 ketika musim peralihan kedua: September-November). Nilai SPL dan klorofil-a di zona utara lebih tinggi dibandingkan di zona tengah dan zona selatan. Nilai rata-rata SPL dan konsentrasi klorofil-a secara berturut-turut di zona utara adalah 30,6 0 C dan 0,39 mg/m 3, zona tengah adalah 29,9 0 C dan 0,27 mg/m 3, sedangkan zona selatan adalah 29,3 0 C dan 0,23 mg/m 3. Nilai tertinggi rata-rata perubahan SPL kuartalan terjadi pada kuartal 1 dan 2 di setiap zona, baik untuk data kuartalan kalender maupun musim. Nilai tertinggi perubahan klorofil-a kuartalan terjadi pada pada kuartal 2 dan 3 di setiap zona, baik pada kategori kalender maupun musim. Fluktuasi keragaman SPL kuartalan di zona selatan lebih besar dibandingkan dengan fluktuasi di zona utara dan zona tengah, sedangkan fluktuasi keragaman klorofil-a kuartalan di zona utara lebih besar dibandingkan zona tengah dan zona selatan. Analisis ini menunjukan bahwa secara umum nilai SPL dan klorofil-a di Zona Utara lebih tinggi, namun SPL lebih stabil di Zona Utara dan Tengah sedangkan klorofil-a lebih stabil di Zona Tengah dan Selatan. Data SPL dan klorofil-a juga dipakai untuk menduga besar produktivitas primer yang dihasilkan oleh euphotic zone (Pp eu ) di setiap zona dalam teluk Bone dengan menerapkan vertically generalized production model (VGPM) yang dijelaskan oleh Behrenfeld and Falkowki (1997); model ini juga menggunakan data photosynthetically active radiation serta kedalaman euphotic zone. Analisis menghasilkan nilai Pp eu untuk zona utara sebesar 584,25 mgc/m 2 /thn, zona tengah sebesar 483,32 mgc/m 2 /tahun dan zona selatan sebesar 419,02 mgc/m 2 /tahun. Hal ini menunjukkan bahwa zona utara lebih subur dibandingkan dengan dua zona lainnya. Selanjutnya, berdasarkan nilai-nilai produktivitas primer ini dilakukan estimasi potensi sumber daya ikan di setiap zona dengan mempertimbangkan efisiensi transfer energi antar tingkatan pada rantai makanan (trophic level) seperti dijelaskan oleh Lalli and Parsons (1997) dan Pauly and Christensen (1995). Analisis lanjutan ini menghasilkan estimasi biomas cakalang tahun 2006 dan 2007 di zona utara selalu lebih tinggi dari zona tengah dan selatan. Nilai-nilai ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi aktual dari hasil tangkapan untuk semua zona. Terlepas dari keterbatasan model, produktivitas primer di zona utara yang lebih tinggi dari zona lainnya memberikan gambaran bahwa juvenil cakalang berada di habitat yang lebih subur sedangkan lebih tingginya produksi aktual dari estimasi biomas cakalang berdasarkan model menunjukan bahwa cakalang yang tertangkap di dalam teluk Bone, terutama di zona tengah dan selatan, berasal dari luar teluk. Hubungan antara parameter lingkungan (SPL dan klorofil-a) dengan parameter perikanan (yang dijelaskan dengan variabel produksi ikan dan produktivitas armada) dianalisis untuk menentukan pada kondisi lingkungan yang seperti apa ikan dapat ditemukan. Hubungan ini dianalisis dengan menerapkan sebuah tipologi yang dibuat berdasarkan pada dua tingkatan (rendah dan tinggi) pada parameter lingkungan dan kelimpahan ikan yang digambarkan dengan dua variabel perikanan tersebut. Tipologi hubungan tersebut terdiri dari 11 tipe yang digambarkan sebagai grafik biplot. Keeratan hubungan di antara dua parameter dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi parsial pada α = 0,05. Pada zona utara, tengah, dan selatan, bentuk hubungan yang dominan di antara

7 kedua parameter tersebut, baik untuk data dalam kategori kalender maupun musim, berturut-turut adalah tipe 11, 10 dan 5. Tipe 11 adalah ketika ikan berada di perairan dengan semua kondisi SPL dan klorofil-a, baik yang bernilai rendah maupun tinggi. Tipe 10 adalah ketika ikan berada di perairan dengan klorofil-a rendah, namun keberadaan ikan tersebut tidak dipengaruhi oleh nilai SPL. Tipe 5 adalah ketika ikan berada di perairan yang memiliki nilai klorofil-a dan SPL kedua-duanya tinggi. Nilai korelasi parsial yang dihasilkan dari analisis menunjukkan bahwa SPL dan klorofil-a signifikan terhadap produksi cakalang pada seluruh zona, sedangkan untuk produktivitas armada hanya signifikansi ada SPL dan klorofil-a di zona tengah. Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek biologi dan dinamika biofisik kawasan Teluk Bone di atas, pengelola perikanan disarankan agar menerapkan pengaturan ruang (zoning) dimana zona utara diprioritaskan menjadi kawasan konservasi untuk melindungi juvenil cakalang (< 46,5 cm FL) dari kegiatan penangkapan ikan sedangkan zona utara dan selatan sebagai daerah penangkapan ikan. Pada kawasan konservasi tersebut dapat diberlakukan peraturan yang bertujuan untuk meloloskan juvenil cakalang (misalnya dengan pengaturan ukuran mata jaring atau pancing), menutup kegiatan penangkapan cakalang di habitat tempat terkonsentrasinya juvenil cakalang pada bulan Januari April di zona utara dan pada bulan Januari Februari di dua zona lainnya, dan sebagainya. Selanjutnya, meskipun zona tengah dan selatan tidak disebut sebagai kawasan konservasi namun praktek penangkapan ikan yang berkelanjutan tetap harus diterapkan. Terakhir, pengaturan-pengaturan tersebut berimplikasi pada jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dari teluk Bone yang nilainya lebih kecil dari hasil perhitungan MSY dan Fopt sebelumnya. Berdasarkan proporsi cakalang juvenil dalam hasil tangkapan, maka alokasi produksi cakalang yang boleh ditangkap untuk menjaga keberlanjutan di Zona Utara sebesar 573 ton/tahun, Zona Tengah ton/tahun dan Zona Selatan ton/tahun. Secara keseluruhan, nilai JTB cakalang untuk teluk Bone diperkirakan menjadi ton/tahun dengan upaya penangkapan per tahun setara trip operasi dari kapal pole and line). Mengingat nelayan di Zona Utara akan menjadi pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut, mereka perlu diberi perhatian dan insentif agar dapat menerapkan aturan tersebut. Salah satu bentuk insentif tersebut di antaranya adalah mendapat manfaat dari kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di nelayan Zona Tengah dan Zona Selatan. Kata-kata kunci: cakalang, pengelolaan perikanan, stok ikan pemanfaatan bersama, zona penangkapan, Teluk Bone

8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah ; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 ANALISIS PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI TELUK BONE : HUBUNGAN ASPEK BIOLOGI DAN FAKTOR LINGKUNGAN MUHAMMAD JAMAL Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANAIAN BOGOR BOGOR 2011

10 Penguji luar komisi : 1. Ujian tertutup : Dr. Ir. Domu Simbolon, MS Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si 2. Ujian terbuka : Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Dr. Ir. I Nyoman Suyasa, MS

11 Judul Disertasi : Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone : Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan Nama Mahasiswa : Muhammad Jamal Nomor Pokok : C Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Anggota Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah,M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 23 Agustus 2011 Tanggal lulus :

12 PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Salawat dan salam penulis haturkan pula kepada Nabiullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat-nya yang telah mengangkat manusia ke jalan yang terang, jalan yang di Ridhoi Allah SWT. Disertasi yang berjudul Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone : Hubungan Apek Biologi dan Faktor Lingkungan dapat dirampungan sebagai salah satu syarat penyelesaian studi doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc, selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah berkenan memberikan arahan dan bimbingan mulai dari persiapan penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. 2. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan dan Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) beserta staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama studi. 3. Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi pada Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor. 4. Direktur Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan bantuan dana pendidikan melalui Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS). 5. Dr. Ir. Domu Simbolon, MS dan Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc, Dr. Ir. I Nyoman Suyasa, MS dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S, Baskoro, M.Sc sebagai penguji luar komisi pada ujian akhir studi doktor. 6. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Sidrap, Yayasan Damandiri Jakarta, Program COREMAP II WB Jakarta, PMU COREMAP II Kab. Biak Numfor, Ketua Yayasan Insan Madani Mandiri Makassar, Irma Andriyani, S.pi, M.Si, Ir. Hasrun, M.Si, Dr. Alfa Nelwan, M.Si, Dr. Mukti Zainuddin, M.Sc atas bantuan dan kerjasamanya yang diberikan, kepada pemilik kapal dan Seluruh ABK, terima kasih atas bantuan dan pelayanan yang telah diberikan selama penelitian. 7. Demikian pula kepada rekan-rekan WACANA SULSEL dan FORMULA IPB serta angkatan 2004 TKL S3 Alfa, Andi Assir, Desi, Kohar, Ibu Nining, Noni, mbak Nusa, P Sakka dan Halim atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. 8. Akhirnya ucapan dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua (alm), ibu mertua, istri, anak-anak, kakak-kakak dan adik-adik atas doa, kasih sayang dan kesabaran, sehingga memungkinkan terselesaikannya penyusunan disertasi ini. Disadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan dan kemampuan penulis, namun demikian semoga bermanfaat bagi mereka yang memerlukan. Bogor, Juli 2011 Muhammad Jamal

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan pada tanggal 6 Oktober 1965 anak dari pasangan H.Alwi (almarhum) dan Hj Norma (almarhumah). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan UNHAS, lulus pada tahun Pada tahun 1992, penulis diterima di Program Studi Imu Perairan pada Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Teknologi Kelautan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Selain itu penulis juga mendapat dana bantuan penelitian dari Yayasan Damandiri Jakarta, COREMAP II WB Jakarta, Pemda Provinsi Sulawesi Selatan, Pemda Kabupaten Sidrap dan Yayasan Insan Madani Mandiri Makassar. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia, Makassar sejak tahun 1989 hingga sekarang. Artikel berjudul Pemanfaatan Data Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Dalam Rangka Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab di Kawasan Teluk Bone sebagai bagian dari disertasi akan diterbitkan pada jurnal yang telah terakreditasi B yaitu Jurnal Natur Indonesia (JNI) Lembaga Penelitian UNRI Volume 14 Nomor 1 (Oktober 2011). Menikah dengan Ir. Epi Rospiati, M.Si dan telah dikaruniai 3 orang anak Muh. Fauzan Syahbani, Fathona Annisa dan Fathiyyah Nurul Ramadhani.

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISTILAH... Halaman xvii xxi xxvii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Perikanan Cakalang Aspek biologi Penamaan dan ciri-ciri Ukuran tubuh Pemijahan Kebiasaan makan Aspek lingkungan dan daerah penyebaran Suhu Salinitas Klorofil-a Karakteristik kawasan perairan Teluk Bone Parameter Biologi Ikan Pertumbuhan ikan Hubungan panjang berat Pengelolaan Sumberdaya Perikanan METODOLOGI UMUM Tempat dan Waktu Penelitian Tahapan Penelitian Sumber Data Analisis Data KONDISI PERIKANAN TANGKAP CAKALANG DI KAWASAN 39 TELUK BONE Pendahuluan Tujuan Spesifik Metode Deskripsi kegiatan usaha Tingkat pemanfaatan cakalang Hasil Penelitian xxxi

15 4.4.1 Alat tangkap Kapal Tenaga kerja/nelayan Operasi dan daerah penangkapan Kondisi oseanografi Perkembangan produksi Pembahasan Kesimpulan BIOLOGI PERIKANAN IKAN CAKALANG Pendahuluan Tujuan Spesifik Metode Hubungan panjang berat Komposisi ukuran Analisis parameter pertumbuhan Ukuran layak tangkap Hasil Hubungan panjang dan berat ikan Komposisi ukuran panjang ikan Parameter pertumbuhan Ukuran layak tangkap Pembahasan Kesimpulan HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-a DENGAN PRODUKSI IKAN CAKALANG DI KAWASAN TELUK BONE Pendahuluan Tujuan Spesifik Metode Sumber data produksi ikan SPL, klorofil-a dan PAR Deskripsi data Produksi ikan kuartalan SPL, klorofil-a dan PAR Analisis data Tipologi hubungan Parsial korelasi Vertically generalized production model (VGPM) Dugaan potensi perikanan Hasil Produksi dan produktivitas ikan kuartalan Kondisi oseanografi Suhu permukaan laut Konsentrasi klorofil-a Produktivitas primer bersih Tipologi hubungan Tipologi berdasarkan produksi ikan Tipologi berdasarkan produktivitas ikan xiv

16 6.4.4 Korelasi parsial antara SPL dan klorofil-a dengan produksi 129 dan produktivitas ikan Korelasi parsial antara SPL dan klorofil-a dengan produksi kan Korelasi parsial antara SPL dan klorofil-a dengan produktivitas ikan Pembahasan Kesimpulan KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE Pendahuluan Tujuan Spesifik Metode Hasil Penelitian Karakteristik perikanan cakalang di teluk Bone Biologi perikanan Hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang Konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di teluk Bone Pembahasan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv

17 xvi

18 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang cakalang dan beberapa jenis tuna Kisaran suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna menurut wilayah perairan Nilai rata-rata klorofil-a di laut Flores (Mei Juni 2005) Karakteristik Zona Utara, Tengah dan Selatan dalam kawasan Teluk Bone Produksi (ton) cakalang dari 4 jenis alat tangkap di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Produksi (ton) cakalang dari 3 jenis alat tangkap di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Produksi (ton) cakalang dari 4 jenis alat tangkap di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Upaya penangkapan ikan (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan 4 jenis alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Upaya penangkapan ikan (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan 3 jenis alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Upaya penangkapan ikan (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan 4 jenis alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Upaya penangkapan standar (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Upaya penangkapan standar (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Upaya penangkapan standar (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone... 68

19 14 Nilai CPUE (ton/trip) setiap perikanan cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Nilai CPUE (ton/trip) setiap perikanan cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Nilai CPUE (ton/trip) setiap perikanan cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Nilai CPUE (ton/trip) seluruh perikanan cakalang dalam seluruh kawasan Teluk Bone Alokasi upaya (trip) penangkapan optimum pada zona Utara, Tengah dan Selatan untuk memanfaatkan stok bersama Nilai selang kepercayaan koefisien b pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Kelompok umur cakalang (K.pelamis) di kawasan Teluk Bone Nilai dugaan parameter pertumbuhan cakalang di kawasan Teluk Bone Proporsi sampel cakalang layak tangkap di setiap zona Teluk Bone Beberapa nilai Lm cakalang pada di lokasi lain Kategori waktu yang digunakan dalam perhitungan data SPL dan klorofil-a dari bulanan menjadi kuartalan Nilai kisaran perubahan SPL ( 0 C) kuartalan pada setiap zona dalam kurun waktu 2 tahun (tahun ) Nilai kisaran perubahan klorofil-a (mg/m 3 ) kuartalan pada setiap zona dalam kurun waktu 2 tahun (tahun ) Rata-rata produktivitas primer (mgc/m 2 /hr) pada setiap zona dalam kawasan teluk Bone Estimasi biomas ikan pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Tahun Estimasi biomas ikan pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Tahun Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori kalender dengan produksi cakalang Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori musim dengan produksi cakalang xviii

20 32 Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori kalender dengan produktivitas cakalang Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori musim dengan produktivitas cakalang Korelasi parsial parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada setiap zona Korelasi parsial parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada setiap zona Estimasi produksi ikan di tiga lingkungan laut (Ryther 1969 diacu dalam Parson et al. 1984) xix

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Status perikanan dunia akibat kegiatan penangkapan ikan tahun Kerangka pemikiran penelitian Cakalang (Katsuwonus pelamis, Linnaeus 1758) Penyebaran suhu antara o C sebagai lokasi penyebaran cakalang didunia Arah arus permukaan di Indonesia : (A) bulan Februari (Musim Barat) dan (B) bulan Agustus (Musim Timur) Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan (dimodifikasi dari King 1995) Lokasi penelitian dan pembagian zona perairan Tahapan penelitian yang digunakan Pendekatan untuk memperoleh MSY per zona dan MSY shared stock Joran, tali dan mata pancing yang dipakai oleh nelayan pole and line di Kawasan Teluk Bone Contoh konstruksi kapal pole and line di Kawasan Teluk Bone Kapal pole and line di kawasan Teluk Bone Konstruksi rumpon sebagai alat untuk mengumpulkan cakalang Burung-burung yang beterbangan di atas permukaan laut Kawanan lumba-lumba yang meloncat di atas permukaan laut Skema proses penangkapan cakalang dengan pole and line di kawasan Teluk Bone Hubungan antara : SPL insitu dan SPL citra (Utara, Tengah dan Selatan) Rataan SPL ( 0 C) di Zona Utara, Tengah dan Selatan... 56

22 19 Sebaran mendatar SPL pada musim Barat di Zona Utara, Tengah dan Selatan Sebaran mendatar SPL pada musim Barat dan Timur di Zona Selatan Rataan salinitas ( o / oo ) di Zona Utara, Tengah dan Selatan Sebaran mendatar salinitas pada musim Timur dan Barat di Zona Utara Rataan klorofil-a (mg/m 3 ) di Zona Utara, Tengah dan Selatan Sebaran mendatar klorofil-a pada musim Timur di Zona Utara, Tengah dan Selatan Sebaran mendatar klorofil-a pada musim Timur dan Barat di Zona Selatan Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) dalam seluruh kawasan Teluk Bone Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE dalam seluruh kawasan Teluk Bone xxii

23 37 Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) dalam seluruh kawasan Teluk Bone Perbandingan nilai koefisien b cakalang pada Zona Utara, Tengah dan Selatan Hubungan panjang (cm) dan berat (g) cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Hubungan panjang (cm) dan berat (g) cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Hubungan panjang (cm) dan berat (g) cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap pole and line di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone selama penelitian Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap pole and line di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone selama penelitian Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap pole and line di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone selama penelitian Rataan panjang (cm) cakalang (K. pelamis) pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Range panjang (cm) cakalang (K. pelamis) pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Standar deviasi panjang cakalang (K. pelamis) pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Kurva pertumbuhan von Bertalanffy cakalang di kawasan Teluk Bone Nilai Lm (length at first maturity) cakalang pada kawasan Teluk Bone Ukuran cakalang layak tangkap di Zona Utara kawasan Teluk Bone Ukuran cakalang layak tangkap di Zona Tengah kawasan Teluk Bone Ukuran cakalang layak tangkap di Zona Selatan kawasan Teluk Bone Contoh citra satelit SPLdan klorofil-a di Zona Utara xxiii

24 54 Contoh citra satelit photosyntetic available radiation (PAR) di Zona Utara Tipologi hubungan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a terhadap produksi dan produktivitas ikan Fluktuasi produksi cakalang kuartalan pada kondisi aktual dan biomas berdaasarkan VGPM di zona Utara dalam dalam kurun waktu 2 tahun ( ) Fluktuasi produksi cakalang kuartalan pada kondisi aktual dan biomas berdasarkan VGPM di zona Tengah dalam dalam kurun waktu 2 tahun ( ) Fluktuasi produksi cakalang kuartalan pada kondisi aktual dan biomas berdasarkan VGPM di zona Selatan dalam kurun waktu 2 tahun ( ) Fluktuasi produktivitas cakalang periode kuartalan dalam kurun waktu 2 tahun ( ) pada Zona Utara Fluktuasi produktivitas cakalang periode kuartalan dalam kurun waktu 2 tahun ( ) pada Zona Tengah Fluktuasi produktivitas cakalang periode kuartalan dalam kurun waktu 2 tahun ( ) pada Zona Selatan Pola perubahan kuartalan parameter statistik suhu permukaan laut ( 0 C) pada kategori kalender pada setiap zona Pola perubahan kuartalan parameter statistik suhu permukaan laut ( 0 C) pada kategori musim pada setiap zona Pola perubahan kuartalan parameter statistik klorofil-a (mg/m 3 ) pada kategori kalender pada setiap zona Pola perubahan kuartalan parameter statistik klorofil-a (mg/m 3 ) pada kategori musim pada setiap zona Nilai rata-rata PP eu (mgc/m 2 /hr) di zona Utara, Tengah dan Selatan di kawasan Teluk Bone Tahun Nilai rata-rata PP eu (mgc/m 2 /hr) di zona Utara, Tengah dan Selatan di kawasan Teluk Bone Tahun Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori kalender di Zona Utara xxiv

25 69 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori kalender di Zona Tengah Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori kalender di Zona Selatan Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori musim di Zona Utara Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori musim di Zona Tengah Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori musim di Zona Selatan Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori kalender di Zona Utara Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori kalender di Zona Tengah Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori kalender di Zona Selatan Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori musim di Zona Utara Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori musim di Zona Tengah Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori musim di Zona Selatan Kondisi bathymetri (kedalaman) di sekitar perairan Teluk Bone Estimasi alokasi produksi (ton) cakalang pada setiap zona Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) (ton) ikan cakalang dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan upaya penangkapan optimum (trip) xxv

26 83 Konsep pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di kawasan Teluk Bone Penyebaran ikan cakalang layak tangkap berdasarkan zona dan waktu (kuartalan) di kawasan Teluk Bone Tahun xxvi

27 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) di Zona Utara Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang di Zona Utara Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) di Zona Tengah Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang di Zona Tengah Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) di Zona Selatan Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang di Zona Selatan Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) dalam seluruh kawasan Teluk Bone Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang dalam seluruh kawasan Teluk Bone Citra suhu permukaan laut ( o C) pada Zona Utara kawasan Teluk Bone Tahun Citra suhu permukaan laut ( o C) pada Zona Utara kawasan Teluk Bone Tahun Citra suhu permukaan laut ( o C) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone Tahun Citra suhu permukaan laut ( o C) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone Tahun

28 13 Citra suhu permukaan laut ( o C) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone Tahun Citra suhu permukaan laut ( o C) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone Tahun Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Utara kawasan Teluk Bone tahun Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Utara kawasan Teluk Bone tahun Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone tahun Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone tahun Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone tahun Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone tahun Contoh data SPL dalam bentuk ascii bulan Oktober 2006 di Zona Utara Contoh data klorofil-a dalam bentuk ascii bulan April 2007 di Zona Utara Contoh data PAR dalam bentuk ascii bulan April 2007 di Zona Utara Rata-rata nilai SPL ( 0 C) di kawasan Teluk Bone di setiap zona dalam kurun waktu Rata-rata nilai klorofil (mg/m 3 ) di kawasan Teluk Bone di setiap zona dalam kurun waktu Rata-rata nilai salinitas ( o / oo ) hasil pengukuran insitu di kawasan Teluk Bone pada setiap zona Nilai variabel dari persamaan vertically generalized production model (VGPM) di Zona Utara Nilai variabel dari persamaan vertically generalized production model (VGPM) di Zona Tengah Nilai variabel dari persamaan vertically generalized production model (VGPM) di Zona Selatan xxviii

29 30 Rata-rata nilai klorofil-a (mg/m 3 ), produktivitas primer (mgc/m 2 /hr) dan produktivitas primer di Zona Utara Tahun 2006 dan Rata-rata nilai klorofil-a (mg/m 3 ), produktivitas primer (mgc/m 2 /hr) dan produktivitas primer di Zona Tengah Tahun 2006 dan Rata-rata nilai klorofil-a (mg/m 3 ), produktivitas primer (mgc/m 2 /hr) dan produktivitas primer di Zona Selatan Tahun 2006 dan Nilai SPL ( 0 C) kuartalan berdasarkan parameter statistik pada kategori kalender di setiap zona Nilai SPL ( 0 C) kuartalan berdasarkan parameter statistik pada kategori musim di setiap zona Nilai klorofil-a (mg/m 3 ) kuartalan berdasarkan parameter statistik pada kategori kalender di setiap zona Nilai klorofil-a (mg/m 3 ) kuartalan berdasarkan parameter statistik pada kategori kalender di setiap zona Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori kalender di Zona Utara untuk produksi cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori kalender di Zona Utara untuk produktivitas armada penangkapan cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori kalender di Zona Tengah untuk produksi cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori kalender di Zona Tengah untuk produktivitas armada penangkapan cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori kalender di Zona Selatan untuk produksi cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori kalender di Zona Selatan untuk produktivitas armada penangkapan cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori musim di Zona Utara untuk produksi cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori musim di Zona Utara untuk produktivitas armada penangkapan cakalang xxix

30 45 Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori musim di Zona Tengah untuk produksi cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori musim di Zona Tengah untuk produktivitas armada penangkapan cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori musim di Zona Selatan untuk produksi cakalang Grafik biplot berdasarkan 7 parameter statistik pada kategori musim di Zona Selatan untuk produktivitas armada penangkapan cakalang xxx

31 DAFTAR ISTILAH ABK Allometrik Allometrik positif Allometrik negatif Biological Overfishing : Anak buah kapal : Bentuk tubuh ikan : Pertumbuhan panjang ikan lebih lambat dari ukuran berat : Pertumbuhan panjang ikan lebih cepat dari ukuran berat : Kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) Chlorophyl-a concentration : Jumlah klorofil-a per satuan luas (mg/m 3 ) Closed season Code of conduct for responsible fisheries Common property CPUE Depleted Developing Economic overfishing FAO Fishing base Fishing ground Fopt Fully Fished Isometrik : Penutupan musim penangkapan : Tata laksana untuk perikanan yang bertanggungjawab : Sumberdaya milik bersama : Catch per unit effort (hasil tangkapan per upaya) : Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis dan upaya penangkapan dianjurkan dihentikan : Stok sumberdaya ikan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal : Kondisi di mana usaha penangkapan ikan yang ada beroperasi melebihi potensi keuntungan maksimumnya : Food Agriculture organization (Badan Pangan Dunia PBB) : Pangkalan armada atau pendaratan ikan : Daerah penangkapan ikan : Upaya penangkapan optimum : Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Penambahan upaya penangkapan tidak dianjurkan walaupun hasil penangkapan masih meningkat. : Pertumbuhan panjang ikan sama dengan ukuran berat

32 Length at first maturity MODIS Moratorium Moderately exploited MSY MSY SS Musim barat Musim peralihan pertama Musim timur Musim peralihan kedua NASA Nursery ground One day fishing Over fishing PAR Pole and line Renewebe resources : Panjang saat pertama kali ikan matang gonad : Moderate resolution imaging spectroradiometer : Penghentian sementara eksploitasi sumberdaya : Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Penambahan jumlah upaya masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun. : Maximum sustainable yield (hasil tangkapan maksimum lestari) : Maximum sustainable yield shared stock (hasil tangkapan maksimum lestari pemanfaatan bersama stok) : Musim yang didominasi oleh angin dari arah barat, biasanya terjadi pada bulan Desember-Februari : Musim yang merupakan transisi dari musim barat ke musim timur, dengan arah dan kecepatan angin yang berubah-ubah, terjadi pada bulan Maret-Mei : Musim yang didominasi oleh angin dari arah timur, biasanya terjadi pada bulan Juni-Agustus : Merupakan transisi dari musim timur ke musim barat, dengan arah dan kecepatan angin yang berubah-ubah, terjadi pada bulan September-Nopember : National Aeronautics and Space Administration (Lembaga Penerbangan Ruang Angkasa Amerika) : Daerah asuhan/pembesaran ikan : Kegiatan penangkapan ikan yang lamanya satu hari atau satu malam per trip operasi penangkapan : Stok sumberdaya ikan sudah menurun karena tereksploitasi melebihi nilai MSY. Upaya penangkapan harus diturunkan. : Photosyntetic available radiation (cahaya yang tersedia untuk fotosintesis) : Alat tangkap yang terdiri dari tangkai atau joran (pole), tali pancing (line) dan mata pancing (hook) : Sumberdaya yang dapat pulih xxxii

33 SeaWiFS Shared stock Spawning ground : Sea viewing wide field-of-view sensor : Stok ikan yang dimanfaatkan bersama : Daerah pemijahan ikan SPL : Suhu permukaan laut ( 0 C) TAC UNCLOS Up welling VGPM WPPI ZEEI : Total allowable catch (jumlah tangkapan diperbolehkan) : United nations convention on the law of the sea (konvensi yang mengatur hukum laut di seluruh negara) : Peristiwa naiknya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas : Vertically generalized production model (model persamaan untuk menghitung produktivitas primer di perairan) : Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia : Zona ekonomi eksklusif Indonesia xxxiii

34 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini tentu berlaku juga untuk sumberdaya perikanan, seperti ikan, udang, lobster, teripang, dan kerang-kerangan seperti kima dan kerang mutiara. Meskipun sumberdaya tersebut secara umum disebut sumberdaya dapat pulih, namun kemampuan alam untuk memperbaharui sumberdaya alam tersebut bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, maka sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan. Penangkapan berlebih atau over fishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap dunia. Pada Tahun 2010, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 6 % dari stok perikanan laut dunia under exploited, 20 % moderately exploited, 50 % telah mengalami full fished, 15 % over fished, 6 % depleted dan hanya 2 % saja dari sumberdaya masih berada pada kondisi developing. Sekitar 73 % yang fully or over exploited membutuhkan pengelolaan dan 76 % dapat mendukung tingkat produktivitas optimal FAO (2011) (Gambar 1). Untuk dapat pulih sumberdaya membutuhkan waktu yang cukup lama walaupun telah dilakukan moratorium dan penghentian penangkapan. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki perairan yang luas yaitu sekitar 5,8 juta km 2 yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 km 2 juta serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km 2 dengan kekayaan sumberdaya ikan laut yang sangat potensial sebesar 6,4 juta ton per tahun (Nikijuluw, 2002). Didorong oleh harapan publik di mana sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia melalui peningkatan produksi hasil tangkap, maka pertanyaannya adalah sejauh manakah perairan laut Indonesia bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan mengingat

35 2 perairan laut Indonesia bagian Barat telah mengalami penangkapan berlebih, khususnya perairan pantai utara Jawa. Gambar 1 Status perikanan dunia akibat kegiatan penangkapan ikan tahun Berdasarkan pada kondisi geografi dan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya ikan di laut, perairan laut Indonesia dibagi menjadi sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI) yaitu : (1) WPPI 571 : perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; (2) WPPI 572 : perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; (3) WPPI 573 : perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat; (4) WPPI 711 : perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan; (5) WPPI 712 : perairan Laut Jawa; (6) WPPI 713 : perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; (7) WPPI 714 : perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; (8) WPPI 715 : perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; (9) WPPI 716 : perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera (10) WPPI 717 : perairan Teluk Cendrawasih dan samudera Pasifik dan (11) WPPI 718 : perairan laut Aru, laut Arafura dan laut Timor bagian timur. Namun pengelompokan tersebut lebih dititik beratkan pada geografi dan administrasi tempat pendaratan ikan, sehingga perlu kiranya dipikirkan untuk membuat pengelompokan wilayah pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan ekosistem. Salah satu isu yang muncul dan berkembang pada WPPI ini adalah terjadinya overfishing dan ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan jenis sumberdaya ikan di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan telah terjadi

36 3 pada beberapa WPPI, seperti WPPI 571 yang meliputi Selat Malaka dan WPPI 712 yang meliputi Laut Jawa. Overfishing ini berkaitan dengan intensitas dan frekuensi upaya penangkapan serta kemampuan sumberdaya ikan untuk pulih kembali. Walaupun sumbedaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) namun harus dimanfaatkan secara hati-hati. Anggapan bahwa sumberdaya ikan adalah sumberdaya milik bersama (common property) yang dapat dimanfaatkan secara bebas dan terbuka oleh semua orang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan guna menyediakan ikan untuk konsumsi dalam negeri dan bahan industri (Manggabarani, 2005). Keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan tercapai apabila sumberdaya perikanan tersebut dapat dikelola dengan baik sesuai kaidah yang telah ditetapkan. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah rasionalisasi penangkapan (effort rationalization) untuk mendorong tingkat pemanfaatan yang berlebihan di suatu wilayah menjadi berkurang atau menjadi terdistribusi secara lebih merata di sejumlah WPPI lainnya. Hal ini dapat dilihat dari ketidakseimbangan fishing effort di antara wilayah pengelolaan Perikanan Indonesia. Di dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Pemerintah RI, 2004) dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Demikian pula di dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan sebagai suatu proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegak hukum dan aturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dan sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya (FAO,1995).

37 4 Salah satu perairan yang potensi sumberdaya ikannya perlu dikelola secara optimum adalah perairan teluk. Teluk adalah suatu perairan semi tertutup/semi terbuka yang menjorok ke darat serta memiliki karakteristik lingkungan biofisik perairan yang sangat berbeda dengan perairan terbuka. McConnaughey dan Zottoli (1983) menyatakan bahwa kondisi perairan teluk berbeda dengan perairan lainnya dari segi sejarah pembentukan secara geologi, luasnya, volume airnya dan muatan sedimen yang dibawa sungai, fluktuasi musiman dan banyaknya air yang dibawa, pola pasang surut, frekuensi dan arah angin, volume air hujan di wilayahnya serta lapisan dari batu karang yang berada di garis pantai. Perairan teluk di daerah tropis relatif subur karena pada daerah pesisirnya umumnya ditemukan berbagai ekosistem seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Pada perairan teluk yang jernih terjadi proses fotosintesa oleh biota perairan tingkat tinggi dan fitoplankton dapat berlangsung dengan baik. Perairan yang subur biasanya merupakan suatu daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground) dan sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis ikan. Teluk Bone adalah perairan semi tertutup yang terletak di antara propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Perairan ini dibatasi oleh Laut Flores di bagian selatan sehingga massa air di dalam teluk Bone sangat dipengaruhi oleh massa air yang ada di luar teluk khususnya Laut Flores. Hengky (2002) dan Hadikusumah et al.(2005) menyatakan bahwa perairan laut Flores merupakan perairan yang sangat dinamis di mana kondisi arus permukaan dan karakteristik massa airnya dipengaruhi oleh angin musim. Pada saat angin musim Barat massa air yang hangat dari laut Jawa akan bergerak menuju Laut Flores dan pada saat angin musim Timur massa air yang dingin akan bergerak dari laut Banda menuju laut Flores bergabung dengan massa air dari selat Makassar menuju Laut Jawa. Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang subur. Nontji (1993) menyatakan bahwa di Teluk Bone dan Laut Flores kemungkinan terjadi pengangkatan massa air (up welling) dalam skala kecil. Pengangkatan massa air ini diduga terjadi pada bulan Maret dan mencapai permukaan pada bulan Juli dan menurun kembali pada bulan Oktober. Dari citra NOOA/AVHRR bulan Juli sampai September 1998 terlihat massa air dingin di bagian timur Laut Flores. Kondisi seperti ini diperkirakan ada hubungannya dengan massa air dingin dari

38 5 laut Banda yang pada saat yang sama terjadi penaikan massa air di laut Banda yang berpengaruh terhadap musim penangkapan cakalang di Teluk Bone (Amiruddin 1993; Hengky 2002). Kondisi lingkungan yang demikian akan berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan di dalam maupun di luar teluk terutama ikan-ikan yang bermigrasi seperti ikan-ikan pelagis besar pada umumnya. Di samping itu pula akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya ikan sehingga perlu menentukan bentuk pengelolaan yang sesuai. Dapat diduga bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan ikan di dalam dan di luar teluk, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan teluk perlu memperhatikan kondisi sumberdaya ikan dan biofisik di dalam dan di luar teluk. Perikanan tuna dan cakalang di Indonesia adalah salah satu pilar ekonomi nasional. Perikanan ini merupakan salah satu sumber devisa bagi negara dan juga menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Perikanan cakalang ini telah berkembang terutama di perairan Indonesia bagian Timur. Uktoselja et al. (1989) menyatakan bahwa potensi cakalang di selatan Sulawesi diperkirakan sebesar ton/tahun. Berdasarkan hasil kajian Widodo et al. (2003) melaporkan bahwa potensi sumberdaya ikan pelagis besar di WPPI 713 di mana wilayah pengelolaan Teluk Bone tercakup di dalamnya memiliki potensi sebesar ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 43,96 % sehingga masih memungkinkan untuk dikembangkan. Jenis ikan yang masih berprospek untuk dikembangkan di Teluk Bone adalah ikan pelagis kecil, tuna, cakalang dan tenggiri Kegiatan perikanan cakalang di Teluk Bone didominasi oleh nelayan tradisional yang menggunakan pole and line untuk kebutuhan pangan lokal. Kegiatan pemanfaatan cakalang di perairan tersebut belum dilakukan oleh pengusaha lain selain nelayan setempat. Kegiatan perikanan cakalang saat ini diharapkan tidak hanya menekankan pada hasil tangkapan yang sebanyakbanyaknya akan tetapi lebih diharapkan agar kegiatan tersebut dapat berjalan terus menerus (secara berkelanjutan) dengan suatu bentuk pengelolaan cakalang yang memperhatikan aspek biologi, teknologi dan lingkungan setempat. Perikanan cakalang sebagai suatu sistem di mana sumberdaya ikan (aspek biologi) dan unit penangkapan ikan sebagai sub sistem merupakan aspek yang penting dalam menyusun suatu konsep pengelolan perikanan tangkap cakalang, namun tidak mudah untuk dilakukan dan mendefenisikannya.

39 6 Penelitian sumberdaya perikanan di Teluk Bone telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Amiruddin (1993) meneliti hubungan penangkapan cakalang dengan kondisi oseanografi fisika ; Kadir (1994) meneliti potensi sumberdaya cakalang; Rosana (1994) meneliti pengaruh jenis umpan terhadap hasil tangkapan cakalang dan Suwardi (2005) meneliti pengembangan perikanan tangkap pelagis kecil. Namun penelitian tentang pengelolaan cakalang belum dilaksanakan. Untuk melengkapi penelitian sebelumnya telah dilaksanakan penelitian tentang Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone : Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan, sebagai salah satu informasi dasar dalam merumuskan suatu konsep pengelolaan perikanan cakalang di kawasan teluk dan sebagai acuan dalam pengaturan usaha penangkapan ikan di masa yang akan datang. 1.2 Perumusan Masalah Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan. Kondisi lingkungan ini merupakan faktor pembatas yang dapat menghambat populasi ikan dari ekosistem itu sendiri, misalnya ketersediaan makanan, predator, persaingan memperoleh makanan, laju pertumbuhan alami, persaingan ruang dan lainnya. Perairan teluk adalah salah satu wilayah ekosistem pesisir yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan masih menerima masukan air tawar dari daratan. Perairan ini memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga perlu dijaga keberlanjutannya. Namun demikian permasalahan utama yang terjadi adalah karena pemanfaatan yang berlebihan (over exploitation) terhadap sumberdaya perikanan dan degradasi biofisik lingkungan perairan akibat pencemaran, sehingga diperlukan upaya pengelolaan yang efektif dan bertanggung jawab. Kondisi lingkungan biofisik perairan yang sesuai akan berpengaruh terhadap populasi ikan yang ada. Perairan Teluk Bone adalah perairan semi terbuka/tertutup yang berhubungan langsung dengan Laut Flores memberi konsekuensi terjadinya sirkulasi massa air di antara perairan di dalam teluk dengan perairan disekitarnya sehingga berdampak terhadap sifat biofisik lingkungan, sifat ekologis, dinamika sumberdaya, serta pola distribusi dan kelimpahan ikan. Adanya perubahan musiman akan menghasilkan variasi pola arus yang mampu menimbulkan

40 7 penaikan massa air sehingga berpengaruh terhadap parameter lingkungan dan kesuburan perairan Teluk Bone. Parameter lingkungan yang diperkirakan berpengaruh terhadap penyebaran ikan pelagis adalah suhu dan kandungan klorofil-a. Suhu merupakan parameter oseanografi penting yang dibutuhkan oleh setiap organisme perairan untuk menunjang berbagai proses kehidupannya. Bagi organisme yang hidup pada lapisan permukaan perairan seperti cakalang, secara spesifik kelimpahan dan distribusinya lebih banyak dipengaruhi oleh suhu permukaaan laut. Parameter yang berkaitan dengan kesuburan perairan adalah kandungan nutrien dan plankton dengan kandungan klorofil yang dimilikinya. Perairan dengan tingkat kesuburan yang tinggi merupakan daerah berlimpahnya berbagai jenis ikan termasuk cakalang. Dengan mengetahui hubungan antara parameter lingkungan (oseanografi) dengan penyebaran serta kelimpahan ikan maka akan diperoleh informasi tentang daerah penangkapan. Andarade (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pola migrasi cakalang dengan kondisi oseanografi dan pola arus. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengetahuan tentang hubungan antara variabel lingkungan dengan sumberdaya perikanan harus dijadikan dasar untuk menentukan bentuk kebijakan pengelolaan dan meningkatkan produksi hasil tangkapan. Teluk Bone telah lama dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan. Usaha penangkapan ikan yang ada masih dalam skala kecil namun jumlahnya banyak. Salah satu sumberdaya ikan yang dieksploitasi di Teluk Bone adalah cakalang. Potensi cakalang yang ada dipengaruhi oleh pola kondisii biofisik lingkungan secara spasial dan temporal. Lingkungan biofisik yang berada dekat mulut teluk (Laut Flores) dipastikan berbeda dengan lingkungan biofisik yang jauh dari mulut teluk. Demikian pula pola musim yang bervariasi akan pula berpengaruh terhadap kondisi biofisik lingkungan. Ketersediaan makanan baik dalam jumlah dan kualitas mempengaruhi tingkat predasi dan merupakan variabel penting bagi populasi cakalang. Ketersediaan makanan berhubungan dengan rantai makanan (food chains). Plankton tumbuhan (phytoplankton) melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan organik (produsen primer), organisme yang memakan produsen primer dinamakan konsumen primer, organisme yang memakan konsumer primer dinamakan konsumer sekunder dan seterusnya. Berdasarkan komposisi makanannya cakalang merupakan salah satu contoh konsumer sekunder (Lalli and Parsons 1997).

41 8 Kegiatan penangkapan ikan di Teluk Bone saat ini berlangsung secara bebas (open access) tanpa aturan dan pengendalian yang jelas sehingga semua nelayan dan alat tangkap yang ada di daerah tersebut bebas mengakses Teluk Bone untuk melakukan kegiatan penangkapan. Sumberdaya ikan mempunyai kemampuan terbatas dalam mendukung usaha penangkapan ikan, oleh karena itu kelestarian sumberdaya ikan akan terancam bila intensitas pemanfaatannya melebihi daya dukung sumberdayanya. Demikian pula apabila pemanfaatan sumberdaya ikan secara berlebih juga akan mengakibatkan hilangnya manfaat ekonomi, yang sebenarnya dapat diperoleh bila pemanfaatan sumberdaya dilaksanakan secara benar. Masalah pengurasan (depletion) sumber daya perikanan demikian, oleh Smith (1986) diacu dalam Nikijuluw (2005), dirumuskan dalam bahasa ekonomi sebagai keadaan di mana hasil tangkapan dibandingkan dengan upaya tidak mampu menghasilkan suatu kehidupan yang layak bagi nelayan. Maka untuk menghindari kondisi demikian, perlu adanya suatu manajemen stok dan tersedianya data biologi dan ekonomi perikanan yang baik. Hingga saat ini penangkapan ikan cakalang dilakukan tanpa pengaturan yang jelas sesuai dengan kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan. Nelayan memiliki kecenderungan kapan dan dimana saja dengan bebas melakukan penangkapan termasuk ikan yang masih berukuran belum layak tangkap. Untuk keperluan pengelolaan sumberdaya ikan, maka informasi tentang ukuran ikan yang layak tangkap (legal size) akan menjadi sangat penting. Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan cakalang perlu dikendalikan dan dikelola agar kelestarian sumbedaya ikan tersebut dapat dijaga dan dipertahankan. Batasan tingkat upaya penangkapan dan alokasinya yang secara biologi tidak membahayakan sumberdaya ikan cakalang dan secara ekonomi dapat memberikan keuntungan maksimum bagi usaha perikanan merupakan kajian yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang. Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu: 1. Bagaimana kondisi biologis ikan cakalang pada kawasan perairan teluk Bone Sulawesi Selatan. 2. Bagamana kecenderungan (trend) penurunan CPUE cakalang, dan berapa produksi cakalang (MSY) dan upaya penangkapan yang optimum. 3. Bagaimana pola hubungan dan kelimpahan cakalang berdasarkan karakteristik biofisik perairan.

42 9 4. Bagaimana pengelolaan perikanan tangkap cakalang yang berkelanjutan di kawasan Teluk Bone 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan teluk yang menjelaskan tentang produksi optimum, spesifikasi unit penangkapan ikan dan alokasi produksi alat tangkap. Untuk mencapai tujuan umum maka disusun beberapa tujuan khusus penelitian yaitu : 1. Menganalisis aspek-aspek biologi cakalang pada perairan Teluk Bone Sulawesi Selatan. 2. Menentukan produksi berimbang lestari (MSY) cakalang dan upaya penangkapan cakalang yang optimum 3. Menentukan pola hubungan biofisik lingkungan dengan kelimpahan cakalang. 4. Menyusun konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di Teluk Bone Sulawesi Selatan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembangunan perikanan di Indonesia, khususnya pembangunan perikanan cakalang di kawasan Teluk Bone. Secara lebih spesifik, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Pengembangan ilmu dan teknologi Penelitian ini diharapkan memberikan informasi lain dalam pengembangan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan perikanan cakalang. Informasi lain dimaksud adalah digunakannya pendekatan shared stock dalam pengelolaan perikanan cakalang dan tipologi hubungan antara SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang. 2. Pemerintah Hasil penelitiian ini dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam merumuskan kebijakan pembangunan perikanan,

43 10 khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan perikanan cakalang di kawasan Teluk Bone. 3. Masyarakat nelayan Manfaat yang dapat disumbangkan untuk nelayan, khususnya yang melakukan penangkapan cakalang adalah berkaitan dengan besarnya upaya yang dapat dilakukan agar usaha penangkapan dapat berjalan secara optimal. 1.5 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah : 1. Hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) cakalang dan upaya penangkapan belum optimum. 2. Ikan cakalang yang tertangkap di Teluk Bone didominasi oleh ukuran belum layak tangkap. 3. Hubungan biofisik lingkungan dengan kelimpahan cakalang berbeda secara temporal. 1.6 Kerangka Pemikiran Ekosistem Teluk Bone merupakan ekosistem yang mempunyai kekhasan tersendiri karena perairannya semi tertutup sehingga massa air yang masuk berasal dari satu arah yaitu dari Laut Flores. Wilayah Teluk Bone dengan luas sekitar ,077 km 2 dengan panjang garis pantai 1.126,84 km memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar khususnya perikanan cakalang karena 59 % (13,616) ton produksi ikan cakalang Sulawesi Selatan berasal dari Kawasan Teluk Bone. Meskipun dalam satu teluk namun kondisi ekologis berbeda pada masing-masing zona (Utara, Tengah dan Selatan) (Tabel 4). Sumberdaya cakalang termasuk sumberdaya yang dapat pulih, namun intensitas penangkapan terhadap ikan tersebut cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan produksi yang makin meningkat setiap tahunnya dan sebaliknya produktivitas alat tangkapnya cenderung makin menurun. Penurunan produktivitas akan memberikan dampak terhadap rendahnya pendapatan yang diterima oleh nelayan. Agar pemanfaatan sumberdaya cakalang di Teluk Bone dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu dibuat konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang yang didasarkan pada aspek evaluasi potensi

44 11 sumberdaya ikan, biologi ikan dan aspek lingkungan. Analisis potensi lestari (MSY) digunakan untuk melihat seberapa besar sumberdaya cakalang dapat dieksploitasi setiap tahunnya. Informasi tentang biologi ikan yang berkaitan dengan beberapa parameter populasi ikan cakalang, seperti pertumbuhan yang mempengaruhi ukuran stok ikan. Ukuran ikan yang tertangkap secara langsung dapat menjelaskan kondisi stok ikan di suatu daerah penangkapan. Semakin kecil ukuran ikan yang tertangkap berarti kondisi stok ikan terancam karena ikan yang tertangkap diduga belum sempat memijah sehingga pada periode berikutnya individu baru semakin berkurang. Pendugaan ukuran saat pertama kali ikan matang gonad merupakan salah satu cara untuk menentukan ukuran ikan layak tangkap, sehingga sebagai tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif. Analisis terhadap kondisi lingkungan dilakukan pada zona yang berbeda. Hal ini penting karena perbedaan zona berpengaruh terhadap kondisi lingkungan seperti SPL, klorofil-a dan produktivitas primer yang tentunya pula akan berdampak terhadap kondisi stok sebagai fungsi ekologis cakalang. Perumusan konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di Teluk Bone dilakukan dengan pendekatan deskriptif yaitu berdasarkan karakteristik perikanan cakalang, biologi perikanan dan hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang yang dibahas pada bab lainnya. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 2.

45 12 Masalah Penelitian - Berapa MSY dan Fopt - Berapa batas ukuran ikan yang layak ditangkap - Bagaimana hub cakalang dengan kondisi perairan teluk Sumberdaya Cakalang di Teluk Bone Aktivitas Perikanan Tangkap Cakalang berdasarkan Zona Penangkapan Lingkungan Biofisik Perkembangan produksi Kondisi biologi perikanan Kondisi lingkungan biofisik Hasil tangkapan Upaya penangkapan Panjang ikan Berat ikan Suhu permukaan laut Klorofil-a Potosyntetically available radiation (PAR) INPUT Upaya standar Regresi linier ANOVA regresi Hubungan panjang berat Pertumbuhan Ikan Analisis komposisi ukuran Ukuran layak tangkap Analisis parameter statistik SPL dan klrofil-a Korelasi parsial Vertically generalized production model (VGPM) PROSES Catch per unit effort (CPUE) Maximum sustainable yield (MSY) Fopt Pola pertumbuhan Komposisi ukuran Ukuran Layak Tangkap Tipe hubungan Signifikansi SPL dan klorofil-a terhadap produksi Estimasi biomas OUTPUT Konsep pengelolaan perikanan cakalang Teluk Bone Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone.

46 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Cakalang Aspek biologi Penamaan dan ciri-ciri Cakalang masuk dalam Family : Scombridae, Order : Perciformes, Class : Actinopterygii (Froose and Pauly 2011). Sistimatika cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai berikut (Matsumoto et al. 1984) : Phylum : Vertebrata Subphylum : Craniata Superclass : Gnathosyomata Series : Pisces Class : Teleostomi Subclass : Actinopterygii Order : Perciformes Suborder : Scombroidea Family : Scombridae Subfamily : Scombrinae Tribe : Thunnini Genus : Katsuwonus Spesies : Katsuwonus pelamis Cakalang (Katsuwonus pelamis) sering disebut skipjack tuna. Nama skipjack tuna untuk masing-masing negara berbeda-beda, yaitu : stripped tuna (Australia), atun (chili), oceanic bonito (Kanada), aku (Hawai), katsuwo (Jepang), palajawan (Philipina) dan cakalang di Indonesia (Kaseger 1986). Demikian pula nama skipjack tuna untuk masing-masing daerah berbeda-beda, yaitu : cakalang, japal (Bugis, Makassar, Mandar), buju (Gorontalo), cakalang, tongkol krai (Jakarta), buanbee, clorengan (Madura), cahalang dolangan, kausa, hetung di Sangihetalaud (Burhanuddin et al. 1984). Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan bahwa hanya satu spesies cakalang yang tersebar di seluruh dunia yaitu Katsuwonus pelamis. Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo dan padat dengan penampang melintang yang membulat. Di sebelah bawah gurat sisi memiliki 4 6 garis-garis hitam tebal yang membujur seperti pita. Bagian bawah punggung dan perut berwarna keperak-perakan. Punggung berwarna biru

47 14 keungu-unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat sisi dan depan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7 9 sirip dubur tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (Burhanuddin et al. 1984). Sedangkan menurut Matsumoto et al. (1984) menyatakan bahwa cakalang memiliki tubuh yang padat (robust), memiliki penampang yang bulat dan outline yang lengkap, maxilary tidak bersentuhan dengan preorbital, memiliki 40 gigi hanya dirahangnya, gigi tidak terdapat pada tulang vomer dan palatine, corselet terbentuk dengan baik dan sisik hampir tidak ada dibagian lain permukaan tubuhnya, jarak antara sirip punggung pertama dan kedua hampir tidak pernah melebihi diameter matanya, gurat sisi (literal line) melengkung ke bawah tepat di bawah sirip punggung kedua, tepi dari sirip punggung pertama sangat cekung (concave), sirip dada pendek dan berbentuk segitiga, ujungnya umumnya dapat mencapai duri ke 9 dan 10 sirip punggung, tetapi pada spesimen ikan khusus ujung sirip dada dapat mencapai duri ke 8 dan ke 11. Selanjutnya menurut (Froose and Pauly 2011), panjang maksimum dapat mencapai 110 cm, berat maksimum 34,5 kg dan umur maksimum 12,5 tahun seperti terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Cakalang (Katsuwonus pelamis, Linnaeus 1758) Ukuran tubuh Ukuran maksimum panjang cagak kurang lebih 108 cm dengan berat 32,5-34,5 kg, sedangkan ukuran yang umum tertangkap adalah cm dengan berat 8-10 kg. Ukuran cakalang yang sudah matang gonad berkisar cm. Cakalang betina yang matang gonad memijah pertama kalinya pada ukuran 41 cm, sedangkan cakalang jantan biasanya mengalami matang gonad pada ukuran antara cm (Radju 1964 diacu dalam Bintoro 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran panjang cakalang saat pertama kali matang telur berkisar antara cm. Setelah melakukan pemijahan, sisa-sisa telur matang masih dapat ditemukan pada ikan-ikan yang yang berukuran lebih

48 15 besar dari 40 cm, akan tetapi sisa telur tersebut tidak ditemukan pada ikan-ikan yang berukuran lebih kecil dari 40 cm. Selanjutnya menurut (Froose and Pauly 2011) menyatakan bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm) berkisar antara cm. Panjang Lm 40 cm ditemukan pada negara Cuba dan Philipina sedangkan panjang Lm 45 cm ditemukan pada negara Papua New Guinea Pemijahan Cakalang bersifat heteroseksual, namun tercatat juga beberapa sifat hermaprodit (Thomas and Radju 1964 diacu dalam Matsumoto et al. 1984). Telur cakalang umumnya bersifat pelagis dan biasanya ditetaskan di daerah karang. Telur-telur ini sukar dibedakan dengan ikan pelagis lainnya, karena ukuran dan sifatnya relatif sama. Cakalang memijah sepanjang tahun diperairan ekuator sedangkan di perairan sub tropis antara musim semi sampai awal musim gugur, dengan demikian masa pemijahan akan menjadi semakin pendek dengan semakin jauh dari ekuator. Selanjutnya menurut (Froose and Pauly 2011) menyatakan bahwa waktu pemijahan ikan cakalang berlangsung sepanjang tahun di perairan equator dan Cuba dan 6 (enam) bulan yaitu bulan Januari, Pebruari, Maret, April, Nopember dan Desember di Coral Sea Australia. Cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat menghasilkan sekitar 1-2 juta butir telur. Fekunditas cakalang di teluk Bone pada bulan Maret dan Juni berkisar antara butir telur. Nilai fekunditas cakalang di Samudera Pasifik berkisar mulai dari hingga sel telur untuk ikan yang panjangnya 43,0-87,0 cm, Samudera Hindia dari hingga sel telur untuk ikan yang panjangnya 41,3-70,3 cm dan dari Samudera Atlantik hingga sel telur untuk ikan yang panjangnya 46,5-80,9 cm (Matsumoto et al. 1984). Meskipun pemijahan sangat dipengaruhi oleh adanya perairan hangat, sebagian besar larva cakalang ditemukan diperairan dengan suhu di atas 24 o C. Cakalang dengan tingkat kematangan gonad (TKG) IV banyak diperoleh pada bulan Maret dan Juni. Hal ini berarti cakalang memijah sekitar bulan April sampai Juli. Cakalang memijah lebih dari satu kali (multiple spawning) dalam satu musim pemijahan dengan memenuhi empat persyaratan, yaitu : 1) terlihatnya modus ganda dalam poligon frekuensi diameter telur; 2) adanya korelasi yang tinggi dalam pergeseran modus yang berurutan; 3) adanya sisa-sisa telur (ova remmants) dalam ovari yang sedang berkembang menjadi matang; dan 4) adanya penurunan rasio jumlah telur antara yang akan matang dan yang sudah matang.

49 Kebiasaan makan Cakalang mempunyai kebiasaan makan yang kira-kira cukup teratur atau memiliki pola. Penelitian isi lambung (stomach content) berhasil menentukan bahwa kegiatan makan ikan cakalang memuncak pada awal pagi mulai kira-kira pukul hingga 12.00, dan berkurang antara pukul dan 16.00, kemudian memuncak lagi diakhir sore mulai hingga matahari terbenan. Nakamura (1965 diacu dalam Matsumoto et al. 1984) mengkaitkan pola makan dengan ketersediaan makanannya, dengan menyatakan pemakan zooplankton bergerak ke bawah pada pagi hari, mungkin untuk mencapai tingkat penerangan yang diinginkan. Karena pemakan zooplankton ini adalah mangsa bagi binatang lain, maka binatang lain tersebut juga cenderung mencari tempat yang rendah penerangannya, sehingga ketersediaan mereka untuk cakalang yang ada dipermukaan berkurang. Tepat sekitar tengah hari, penetrasi sinar matahari ke dalam air laut mencapai maksimum, sehingga pemakan zooplankton bergerak ke posisi yang lebih dalam, dan ikan-ikan pemangsanya menjadi semakin sedikit terdapat dipermukaan sehingga makanan cakalang juga menjadi sedikiit. Pada sore hari, pemakan zooplankton dan pemangsanya mulai naik ke lapisan atas. Cakalang aktif makan pada jam-jam akhir sore hari sebelum gelap di mana makanan menjadi semakin banyak tersedia. Makanan utama cakalang yang tertangkap adalah Stolephorus sp., makanan pelengkap adalah Clupea sp., Selar sp., Decapterus sp dan udang. Hasil analisis isi perut terhadap 707 ekor cakalang yang diamati ditemukan bahwa persentase berupa ikan sebanyak 74,6 %, jenis moluska 19,9 %, jenis crustacea 3,7 % dan jenis makanan lainnya 1,8 %. Hasil tersebut merupakan indikasi bahwa cakalang lebih senang makan ikan-ikan kecil dibandingkan dengan kelompok makanan lainnya. Perbedaan makanan cakalang berhubungan erat dengan ukuran ikan itu sendiri. Pada umumnya cakalang yang berukuran lebih besar dari 50 cm memangsa lebih banyak cephalopoda dan crustacea dibandingkan cakalang yang lebih kecil dari 50 cm, walaupun ikan masih merupakan makanan utamanya. Bervariasinya berbagai jenis organisme dalam makanan cakalang serta adanya sifat kanibalisme, menunjukkan cakalang tergolong opportunistic feeder yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia dalam perairan mulai dari yang berukuran beberapa milimeter (euphausid dan amphipod) hingga yang berukuran beberapa sentimeter (udang, cumi-cumi dan ikan) (Loukos et al. 2003).

50 17 Cakalang mempunyai kebiasaan makan secara aktif pada pagi hari dan kurang aktif pada siang hari, mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak makan sama sekali pada malam hari. Pemancingan yang dilakukan pada pagi dan sore hari akan memberikan hasil yang lebih tinggi, dibandingkan bila dilakukan siang hari. Cakalang biasanya membentuk gerombolan pada saat ikan tersebut aktif mencari makan, kemudian gerombolan tersebut bergerak dengan cepat sambil melompat-lompat di permukaan Aspek lingkungan dan daerah penyebaran Tuna dan cakalang adalah salah satu ikan pelagis yang memiliki sifat bermigrasi dari wilayah yang temperate hingga ke wilayah tropis pada seluruh samudera, meskipun sebagian besar tuna dan cakalang melakukan pemijahan di daerah tropis (Loukos et al. 2003). Menurut (Froose and Pauly 2011) cakalang adalah ikan pelagis yang bersifat oseanodromous, hidup di laut dengan ke dalaman antara m dan termasuk dalam highly migratory spesies. Selanjutnya dinyatakan bahwa cakalang bersifat kosmopolitan pada perairan tropis dan warm-temperate dengan penyebaran 58 N - 47 S ; 180 W E Meskipun seluruh spesies tuna memerlukan kisaran habitat yang ekstrim dari equator hingga wilayah yang temperate, namun spesies tuna dapat diklasifikasikan berdasarkan preferensi suhu, misalnya tuna tropis (skipjack, Katsuwonus pelamis dan yellowfin, Thunnus albacares), tuna subtropis (bigeye, Thunnus obesus dan albacore, Thunnus alalunga) dan tuna temperate (nouthern dan southern bluefin, Thunnus thynnus dan T. maccoyii). Studi penandaan (tagging) menunjukkan bahwa hampir seluruh spesies tuna memiliki kemampuan bergerak > 1000 mil laut dengan pola pergerakan yang berbeda diantara spesies (Loukos et al. 2003). Spesies cakalang secara terus menerus ditemukan sepanjang tahun dari Timur ke Barat di seluruh samudera, dan mencakup wilayah antara 45 o LU hingga sebelah Selatan 45 o LS di kawasan Barat Samudera Pasifik dan antara 30 o LU hingga 30 o LS di kawasan Timur Samudera Pasifik. Di samudera Atlantik, cakalang telah tertangkap diantara 45 o LU hingga 45 o LS di kawasan baratnya dan diantara 35 o LU hingga sebelah Selatan 40 o LS di kawasan timurnya (Matsumoto et al. 1984). Selanjutnya Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa pola kehidupan ikan termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan dari pengaruh faktorfaktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus permukaan, oksigen terlarut yang

51 18 berpengaruh terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan disuatu lokasi perairan. Sesuai dengan posisi geografis Indonesia yang terletak di antara samudera pasifik dan samudera hindia, maka ikan cakalang di perairan Indonesia diduga berasal dari 2 stok yang berbeda. Ikan cakalang yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) diduga sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik, sedangkan cakalang di Kawasan Barat Indonesia (KBI) berasal dari Samudera Hindia. Populasi cakalang yang dijumpai di perairan KTI sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan tersebut mengikuti arus. Namun demikian, sebagian cakalang terutama yang terdapat di berbagai daerah kepulauan KTI kemungkinan adalah stok lokal yaitu hasil pemijahan di perairan Indonesia (Simbolon 2011) Suhu Suhu perairan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap biota perairan. Secara langsung berpengaruh terhadap derajat metabolisme dan siklus reproduksi ikan, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Perubahan suhu perairan akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, proses metabolisme dan aktivitas tubuh ikan (Laevastu and Hela 1970). Kedalaman renang dari kelompok ikan pelagis, termasuk cakalang banyak ditentukan oleh distribusi suhu perairan secara vertikal. Cakalang akan berenang menghindari suhu perairan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari biasanya dan menuju ke lapisan perairan tertentu di mana ikan tersebut lebih mudah beradaptasi. dipengaruhi oleh lapisan termoklin. Distribusi vertikal cakalang di perairan tropis sangat Adapun kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang dari cakalang dan beberapa jenis tuna disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang cakalang dan beberapa jenis tuna Jenis Ikan Cakalang Bluefin Mata besar Madidihang Albacore Kisaran Suhu ( o C) Penyebaran Penangkapan Sumber : Laevastu and Hela (1970) Lapisan Renang (m)

52 19 Blackburn (1965) menyatakan kisaran suhu penyebaran dan penangkapan cakalang umumnya bervariasi sesuai dengan wilayah perairan. Cakalang di Samudera Pasifik bagian Timur ditemukan pada kisaran SPL o C dengan suhu optimum o C. Sedangkan menurut (Froose and Pauly 2011) cakalang menyebar pada suhu antara o C. Selanjutnya penyebaran suhu antara o C pada posisi 58 N - 47 S ; 180 W E diduga sebagai penyebaran ikan cakalang di dunia sebagaimana pada Gambar 4. Gambar 4 Penyebaran suhu antara o C sebagai lokasi penyebaran cakalang di dunia. Selanjutnya Gunarso (1985) menyatakan bahwa suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah o C. Adapun kisaran suhu perairan yang optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna pada berbagai perairan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kisaran suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna menurut wilayah perairan No. Wilayah Perairan Suhu optimum ( o C) Keterangan Pasifik Timur Laut Pasifik Tenggara Pasifik Barat Laut New Zeland Papua New Guinea Indonesia a) a) a) a) a) b) Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang a) Sumber Blackburn (1965) b) Sumber Gunarso (1985)

53 Salinitas Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai (Nontji 1993). Salinitas di lapisan atas (permukaan) relatif homogen seperti halnya suhu, selanjutnya terdapat lapisan pegat di bawahnya dengan degradasi densitas yang besar yang dapat menghambat percampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan di mana unsur garam akan mengendap dan terkonsentrasi. Perairan yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan sirkulasi massa air. Perbedaan salinitas yang besar umumnya terjadi di perairan pantai, sedangkan perubahan di laut lepas pantai relatif kecil. Perbedaan variabilitas antara perairan pantai (inshore) dengan lepas pantai (offshore) terjadi karena pengaruh pasokan air tawar dari muara-muara sungai (runoff) yang cukup besar di daerah pantai, terutama pada waktu turun hujan (Simbolon 2011). Perubahan salinitas ini erat hubungannya dengan adanya penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekelilingnya. Cakalang jarang ditemukan di perairan dengan salinitas rendah. Sebagai contoh, perairan utara Jawa yang salinitasnya relatif rendah tidak cocok untuk habitat cakalang. Menurut Gunarso (1985) menyatakan bahwa cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara o / oo, dan jarang ditemukan pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah dari nilai kisaran tersebut Klorofil-a Klorofil-a lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen fotosintesis pada fitoplankton. Konsentrasi klorofil-a merupakan salah satu parameter lingkungan yang dapat digunakan untuk menjelaskan keberadaan gerombolan ikan disuatu perairan. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a menunjukkan tingkat kesuburan suatu perairan sekaligus kelimpahan dan densitas ikan di daerah tersebut, sehingga peramalan dan penentuan daerah penangkapan

54 21 ikan dapat dideteksi dengan melihat kandungan atau konsentrasi klorofil-a di suatu lingkungan perairan (Brisht 2005 diacu dalam Masrikat 2009). Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop yaitu organisme yang mampu menghasikan bahan organik (bahan berenergi tinggi) dari bahan anorganik (bahan berenergi rendah) dengan bantuan sinar matahari (Parsons et al dan Lalli and Parsons 1997). Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya matahari di kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton) (Gabric and Parslow 1989). Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air, mendapatkan informasi massa air bahwa konsentrasi klorofil-a maksimum terdapat pada kedalaman dibagian atas lapisan termoklin. Adapun pada lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Jumlah kandungan klorofil-a dinyatakan sebagai jumlah kandungan zat hijau yang terdapat di dalam perairan tersebut dan dinyatakan dalam ml/l. Semakin tinggi nilai yang didapatkan, menunjukkan semakin tinggi kandungan klorofi-a yang terkandung di dalamnya. Faktor lain yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah peristiwa upwelling karena terjadi suplay nutrien dari lapisan dasar perairan yang salah satu penyebabnya adalah sistem angin muson dan daerah asal di mana massa air diperoleh (Nontji 1993). Selanjutnya dinyatakan bahwa sebaran klorofil-a di perairan Indonesia Bagian Timur tertinggi dijumpai pada muson Tenggara, sedangkan kandungan klorofil-a terendah dijumpai pada Muson Barat Laut. Rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,16-0,19 mg/m 3 selama musim angin Barat dan 0,21 mg/m 3 selama musim angin Timur. Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan (food chain), kandungan klorofil-a ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer

55 22 yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat pertama (zooplankton) maupun oleh konsumen tingkat kedua (ikan-ikan) pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak dijumpai beberapa jenis ikan yang secara langsung memanfaatkan plankton yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis (pelagic fish species). Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomas yang kontinu dari tingkat trofik yang ada. Di laut ada lima tingkatan trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), fitoplankton (P), zooplankton I (Z 1 ), zooplankton II (Z 2 ) dan tingkatan terakhir ikan. Setiap tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi ekologi (E). ekologi ini berhubungan dengan ikan. Efisiensi Pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar antara % pada lima tingkat trofik tersebut (Parsons et al. 1984). Nilai rata-rata kandungan klorofil-a fitoplankton di Laut Flores bulan Mei-Juni 2005 dapat dilihat pada Tabel 3 (Hadikusumah et al. 2005). Dari tabel tersebut terlihat bahwa kandungan klorofil-a berhubungan dengan kedalaman perairan. Pada kedalaman 0-25 m ditemukan kandungan klorofil-a yang lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman antara m. Tabel 3 Nilai rata-rata klorofil-a di laut Flores (Mei-Juni 2005) Keterangan Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi Klorofil Fitoplankton (mg/m 3 ) Kedalaman (m) ,15 0,06 0,28 0,06 Sumber : Hadikusumah et al. (2005) 0,16 0,11 0,34 0,08 0,13 0,09 0,19 0, Karakteristik kawasan perairan Teluk Bone 0,14 0,11 0,19 0,02 0,11 0,09 0,14 0,03 Berdasarkan letaknya yang pada bagian Selatan berbatasan dengan Laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh pola arus permukaan Laut Flores. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Hidrologi dan Oseanografi Angkatan Laut (1990 diacu dalam Farhum 2006) di Laut Flores dan Teluk Bone diperoleh sirkulasi arus permukaan yang sama setiap bulan.

56 23 Pola arus permukaan di Laut Flores mengalami perubahan total 2 kali setahun sesuai dengan perkembangan musim. Pada musim Barat (Desember- Februari) arus permukaan berasal dari arah Barat (Laut Jawa) mengalir ke arah Timur (Laut Banda) melewati Laut Flores. Pada musim Timur (Juni-Agustus) arus berasal dari Laut Banda menuju ke Barat melewati Laut Flores (Gambar 5). Memasuki musim pancaroba pertama (Maret-Mei) dan pancaroba kedua (September-Nopember) arah arus permukaan disebelah Utara Laut Flores menunjukkan pola yang tidak menentu (Wyrtki 1961). A B Gambar 5 Arah arus permukaan di Indonesia : (A) bulan Februari (Musim Barat) dan (B) bulan Agustus (Musim Timur). Kisaran nilai tinggi gelombang perairan Teluk Bone adalah 0,3-1,5 m, dengan peluang kejadian 0,2-79,0 %, sedangkan panjang gelombangnya berkisar antara 21,3-60,4 m. Dari kisaran nilai tinggi gelombang tersebut, peluang terbesar (79 %) dapat terjadi pada nilai kisaran tinggi gelombang 0,5-1,0 m (Farhum 2006). Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang kondisinya lebih terbuka dari arah Tenggara, sedangkan pada arah Barat dan sebagian Timur terhalang oleh daratan pulau Sulawesi. Dengan demikian gelombang yang terbentuk

57 24 umumnya terjadi pada saat angin bertiup dari arah Tenggara (angin pasat Tenggara) dan angin Timur yang terjadi pada musim Timur dan peralihan II. Pada waktu tersebut, gelombang yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan 2 musim lainnya. Menurut Wagey et al. (2004), nilai kandungan klorofil-a di perairan Kepulauan Sembilan dan Teluk Bone adalah bervariasi. Pada lapisan permukaan nilai klorofil-a tertinggi 1,722 mg/m 3, sedangkan pada kedalaman 20 meter dijumpai nilai klorofil-a sebesar 1,426 mg/m 3. Tingginya nilai klorofil-a tersebut diduga dikarenakan adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang di butuhkan oleh fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Apabila dilihat dari unsur haranya, ditemukan bahwa sejumlah kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi. Kandungan kedua unsur hara inilah yang utama diperlukan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak. Konsentrasi nitrat dari 0,01-5 µm dan fosfor dari µm merupakan konsentrasi yang rendah, sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan fitoplankton (Karydis 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi klorofil-a sebesar 0,5 mg/m 3, P-PO 4 sebesar 0,001-0,077 µm, N-NO 3 sebesar 0,087-1,900 µm dan N-NO 2 sebesar 0,010-0,098 µm mengindikasikan suatu kondisi perairan yang oligotropik. Meningkatnya nilai kandungan nitrat dan fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan (upwelling). Nilai nitrat yang diperoleh di Teluk Bone bervariasi yaitu berkisar antara 0,120-0,796 ppm. Kandungan nitrat yang rendah karena arus dalam yang kuat pada kedalaman tersebut menyebabkan kandungan nitrat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Sedangkan nilai kandungan fosfat di teluk Bone berkisar 0,500-1,152 ppm. Rendahnya kandungan fosfat menunjukkan bahwa telah terjadi penyerapan oleh fitoplankton. Kecepatan arus antara 0,5-10,5 x 10-3 m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian selatan dari Teluk Bone. Kecepatan arus berkurang ketika menuju ke bagian tengah dari teluk, tetapi kemudian terjadi peningkatan intensitas kecepatan menjadi 8-10 x 10-3 m/ dt akibat perubahan slope batimetri di sekitar Karang Naber dan Karang Bali hingga sedikit ke arah utara di tengah teluk yang sejajar dengan Tanjung Batikala. Intensitas kecepatan kembali berkurang

58 25 menjadi 4-0,5 x 10-3 m/dt ketika mendekati pesisir utara, pesisir Karang-karangan, pesisir Palopo, pesisir Tanjung Tolala, dan Teluk Usu. Kisaran tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan kisaran kecepatan arus pada saat menjelang pasang, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kisaran arus pada saat surut. Salinitas di perairan Teluk Bone menunjukkan variasi yang cukup tinggi yaitu antara psu (practical salinity unit). Sedangkan nilai densitas air laut di perairan Teluk Bone mempunyai kisaran antara kg/m³ (Wagey et al. 2004). 2.2 Parameter Biologi Ikan Parameter biologi ikan yang umumnya diidentifikasi untuk kebutuhan pengelolaan adalah komposisi ukuran, pertumbuhan ikan, hubungan panjang berat ikan dan ukuran ikan saat pertama kali matang gonad Pertumbuhan ikan Seperti mahluk hidup lainnya ikan mengalami pertumbuhan secara terus menerus sepanjang hidupnya. Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang dipelajari dalam dunia perikanan dikarenakan pertumbuhan menjadi indikator bagi kesehatan individu dan populasi yang baik bagi ikan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode waktu tertentu (Effendie 1997). Sedangkan Sparre dan Venema (1999) menyatakan pertumbuhan pada dasarnya menyangkut penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi dari umur. Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Secara morfologis pertumbuhan digambarkan dalam perubahan bentuk (metamorfosis) dan secara energetik, pertumbuhan dapat dijelaskan dengan perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode waktu tertentu. Menurut Wahyuningrum dan Barus (2006), pengertian pertumbuhan dalam istilah sederhana yaitu sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan suatu proses biologis yang kompleks di mana banyak faktor yang mempengaruhinya. Effendie (1997) membedakan pertumbuhan menjadi pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan nisbi. 1. Pertumbuhan mutlak ialah perbedaan panjang atau berat dalam dua saat : dg = L t - L 0 atau dg = W t - W 0 2. Pertumbuhan nisbi ialah panjang atau berat yang dicapai dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan panjang atau berat awal periode:

59 26 RG = (L t - L 0 )/L 0 atau RG = (W t - W 0 )/W 0 Berbagai metode yang umum digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan ikan yaitu : (1) analisis tagging dan penangkapan ulang; (2) analisis bagian keras pada ikan (seperti otolith, vertebrae dan sebagainya) dan (3) analisis progresi cohor dari distribusi frekuensi panjang (Hallier and Gaertner 2006) Hubungan panjang berat Hubungan panjang berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan pada waktu tertentu. Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh. Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya, dan hubungan panjang berat ini mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan rumus : W = a L b Cara yang dapat digunakan untuk menghitung panjang berat ikan ialah dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap-tiap panjang dan berat ikan atau dengan mengikuti jalan pendek seperti dikemukakan oleh Carlander (1968 diacu dalam Wahyuningrum dan Barus 2006). Hal ini disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Persamaan dalam bentuk linier menjadi : Log W = log a + b log L Menurut Effendi (1997) pada ikan nilai b merupakan angka perpangkatan yang biasanya berkisar antara 1,2-5,1 dan umumnya berkisar antara 3. Nilai b yang berada diluar kisaran 2,5-3,5, ikan itu mempunyai bentuk tubuh yang di luar batas kebiasaan bentuk tubuh ikan umum. Jika ikan bentuknya tetap, pertumbuhannya dinyatakan isometrik, dengan nilai b = 3, dengan asumsi bahwa gravitasi spesifik ikan tidak berubah. Selanjutnya dinyatakan bahwa nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari 3 pertumbuhan ikan dikatakan allometrik, nilai b < 3, maka pertambahan ikan tersebut tidak seimbang dengan pertambahan beratnya. Pertambahan panjangnya lebih cepat dari pada pertambahan beratnya. Kemungkinan yang ketiga adalah jika harga b > 3 dapat ditafsirkan bahwa pertambahan berat ikan lebih cepat dari pada pertambahan panjangnya.

60 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Meskipun dapat pulih (renewable) bila dieksploitasi dan dimanfaatkan, namun sumberdaya perikanan laut Indonesia perlu dikelola dengan prinsip dan kaidah yang benar. Tanpa pengelolaan maka mungkin saja jumlah ikan yang diambil dari laut melebihi kemampuan reproduksinya sehingga sumberdaya mengalami deplesi dan pada akhirnya kepunahan. Karena itu maka esensi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah mencari keseimbangan antara eksploitasi dan kemampuan reproduksi atau daya pulih sumberdaya. Bila keseimbangan dapat dicapai maka meskipun disatu sisi sumberdaya dieksploitasi secara terus menerus, disisi lain sumberdaya tersebut masih memiliki kemampuan memperbaiki diri. Namun tidak mudah untuk mengetahui tingkat keseimbangan yang dimaksud yang pada dasarnya merupakan titik rujukan (referensi point) bagi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Pengelolaan perikanan adalah mengawasi atau menyesuaikan operasioperasi penangkapan (jumlah penangkapan, tipe alat yang dipakai, ukuran ikan yang tertangkap) untuk mengoptimasikan pemanfaatan dari suatu sumberdaya. Oleh karenanya, pengelolaan perikanan meliputi tidak saja cara-cara pengaturan yang bersifat pembatasan, tetapi rencana-rencana pengembangan yang didasarkan kepada pengetahuan mengenai sumberdaya yang tersedia (Parson 1980 diacu dalam Merta 1989). Pengelolaan sumberdaya perikanan diatur di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 dan Undang-Undang RI No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Di dalam UNCLOS 1982, pengelolaan perikanan diantaranya dinyatakan bahwa menjamin dan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga tidak terjadi penangkapan ikan secara berlebih-lebihan, menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) di ZEE, menetapkan kapasitas penangkapan ikan, memberikan kesempatan pemanfaatan kepada negara lain bila kapasitas yang dimiliki tidak mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada, mengembangkan penangkapan ikan dengan memperhatikan kelanjutan sumberdaya, melaksanakan tindakan pengelolaan perikanan dalam bentuk mengeluarkan izin penangkapan ikan, penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, mengatur musim penangkapan ikan, macam dan ukuran alat penangkapan ikan serta ukuran dan jumlah kapal ikan yang dibolehkan.

61 28 Selain UNCLOS, rujukan lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah CCRF (1995) yang telah banyak diadopsi oleh banyak negara. Pengelolaan sumberdaya perikanan didasarkan atas : 1. Sebagian sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami deplesi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan. 2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh perkembangan teknologi yang begitu cepat, terutama pemanfaatan GPS, radar, echosounders, mesin kapal yang lebih kuat dan besar, serta berkembangnya teknologi pengolahan ikan. 3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah suatu resultante dari kegagalan pemerintahan perikanan (fisheries governance) yang mencakup di dalamnya tangggung jawab masyarakat, peneliti dan ahli perikanan, serta pemerintah sebagai suatu lembaga. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan (UU No 31/2004, Pemerintah RI, 2004)), dengan tujuantujuan sebagai berikut : 1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil 2. Meningkatkan penerimaan devisa negara 3. Mendorong perluasan kesempatan kerja 4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumberdaya protein ikan 5. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan 6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing 7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri dan pengolahan ikan 8. Mencapai pemanafaatn sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, dan 9. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan tata ruang. King (1995) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk : 1. Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan.

62 29 2. Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi para pihak pengguna sumberdaya perikanan. 3. Secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama nelayan. Prinsip yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus dilaksanakan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan sistem dan kapasitas daya dukung (carring capacity) lingkungannya serta jumlah stok alami yang tersedia di perairan dengan tingkat eksploitasi agar pemanfaatannya dapat berlangsung secara terus menerus. Menurut Cohrane (2002), tujuan umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi,ekologi, ekonomi dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut yaitu : 1. Untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau di atas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi). 2. Untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta sumberdaya non target (by catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan ekologi) 3. Untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi) 4. Untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat yang terlibat (tujuan sosial) Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan, pihak pengelola harus dapat menentukan pilihan terbaik mengenai : tingkat perkembangan perikanan, tingkat pemanfaatan yang diizinkan, ukuran ikan yang boleh ditangkap, lokasi penangkapan yang dapat dimanfaatkan, dan pengaturan alokasi keuangan untuk menyusun aturan atau regulasi pengelolaan, penegakan hukum (law enforcement), pengembangan produksi dan sebagainya. Dahuri (1993) menyatakan bahwa sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih tetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan faktor pembatas non alami. Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan dari ekositem itu sendiri, seperti ketersediaan makanan, predator, persaingan memperoleh makanan, laju pertumbuhan alami, persaingan ruang dan lainnya. Sedangkan faktor pembatas non alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti eksploitasi, pengrusakan habitat dan pencemaran.

63 30 Selanjutnya bahwa keterbatasan yang disebabkan oleh faktor alami dapat dinetralisir oleh sistem alam, sehingga populasinya pun selalu dalam keadaan seimbang. Tetapi dengan adanya pengaruh intervensi manusia, maka keseimbangan alam cenderung terganggu karena laju intervensi manusia lebih besar dari laju kemampuan alam untuk memulihkan dirinya. Apabila hal ini dibiarkan tanpa kendali, maka secara biologi sumberdaya perikanan akan terkuras, secara ekonomi akan menyebabkan terjadinya inefisiensi ekonomi karena peningkatan biaya intervensi tidak diiringi oleh marginal produk yang positif sehingga pada suatu saat akan tercapai titik keseimbangan di mana total penerimaan sama dengan total biaya. Dengan kata lain keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan akan hilang. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mekanisme pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal baik dari segi biologi, maupun dari segi ekonomi. Dengan pengelolaan perikanan optimal yang disertai dengan perangkat regulasi sebagai pelaksanaannya, akan memudahkan tercapainya tujuan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. King (1995) mengemukakan suatu konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, yang merupakan keterkaitan antara pengkajian stok, tujuan, strategi dan pengaturan pengelolaan perikanan, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 6.

64 Pertumbuhan Rekruitmen STOK IKAN YANG DIEKSPLOITASI Mortalitas Alami Upaya Penangkapan Masukan Terkendali KAJIAN STOK Mortalitas Penangkapan Hasil Tangkapan Luaran Terkendali PEMANTAUAN CPUE Ukuran Individu Aspek Sosek dan Lingkungan STRATEGI PENGELOLAAN Peraturan Perikanan Gambar 6 Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan (dimodifikasi dari King 1995). 31

65 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Bone dengan mengambil lokasi pada tiga kabupaten yang dijadikan sebagai fishing base, yaitu Kabupaten Luwu di bagian Utara, Kabupaten Bone di bagian Tengah dan Kabupaten Sinjai di bagian Selatan. Tahapan penelitian diawali dari tahap persiapan, pengumpulan data lapangan, analisis data hingga penulisan disertasi. Pengambilan data di lapangan dilakukan dari bulan Januari sampai Desember Kawasan Teluk Bone di bagi menjadi 3 (tiga) zona berdasarkan kekhasan ekosistem dan kedalaman, seperti pada Tabel 4, yaitu : 1) Zona Utara adalah zona perairan di mana pengaruh laut Flores relatif kecil dengan fishing base di Desa Murante Kecamatan Suli Kabupaten Luwu; 2) Zona Tengah adalah zona perairan di mana pengaruh laut Flores relatif sedang dengan fishing base di Desa Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone; dan 3) Zona Selatan adalah zona perairan di mana pengaruh laut Flores relatif besar dengan fishing base di Kabupaten Sinjai (Gambar 7 ). Tabel 4 Karakteristik Zona Utara, Tengah dan Selatan dalam kawasan Teluk Bone No Karakteristik 1 Posisi geografis 4 0 LS dan 120,2-121,4 0 BT 2 Luas dan kedalaman 3 Kekhasan ekosistem 4 Kedekatan dengan laut terbuka 5 Kandungan Nitrat dan fosfat Zona Utara Tengah Selatan 3240 mil laut persegi, kedalaman mencapai ± 1000 m Mangrove, karang tipe fringing reef tersebar disepanjang pantai Jauh dari laut terbuka Nitrat 0,11 0,56 mg/l dan fosfat 0,01-0,013 mg/l a) LS dan BT 2124 mil laut persegi, kedalaman mencapai ± 1750 m Mangrove, karang tipe patch reef tersebar disepanjang pesisir, terdapat delta / sedimentasi yang cukup luas dari sungai Cenrana. Di tengah teluk Nitrat 0,15 mg/l dan fosfat 0,1 mg/l b) Sumber : a ) Andriani (2004) dan b ) Wagey et al (2004) LS dan BT 4104 mil laut persegi, kedalaman mencapai ± 2250 m Mangrove,lamun dan karang tipe fringing reef, terdapat gugusan pulau Sembilan. Karang dan lamun tersebar di pesisr pulau Sembilan Berhubungan langsung dengan laut terbuka Nitrat 0,38 mg/l dan fosfat 0,15 mg/l b)

66 34 Zona Selatan masih merupakan kawasan Teluk Bone dengan melihat posisi pulau Selayar yang dikelilingi oleh laut Flores di sebelah Timur dan Selatan, Selat Makassar dan laut Flores di sebelah Barat dan Teluk Bone di sebelah Utara. Gambar 7 Lokasi penelitian dan pembagian zona perairan.

67 Tahapan Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan dalam 3 kajian utama, yaitu analisis perkembangan produksi cakalang yang diuraikan dalam kondisi perikanan tangkap cakalang, analisis aspek biologi ikan cakalang dan analisis hubungan faktor oseanografi dengan produksi ikan cakalang. Hasil dari analisis menjadi acuan dalam menentukan konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di Teluk Bone. Tahapan penelitian ini terdiri atas analisis perkembangan produksi, analisis aspek biologi ikan cakalang dan analisis hubungan oseanografi dengan produksi ikan cakalang yang masing-masing diuraikan dalam bab tersendiri. Disertasi ini ditulis per Bab sehingga pengulngan tidak dapat dihindarkan. Analisis aspek biologi untuk menjawab tujuan penelitian ke 1, Analisis perkembangan produksi untuk menjawab tujuan penelitian ke 2 dan Analisis hubungan oseanografi dengan produksi cakalang untuk menjawab tujuan penelitian ke 3. Hubungan antara ketiga analisis tersebut untuk menjawab tujuan penelitian ke 4 dan diuraikan dalam bab tersendiri untuk mengetahui konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di Teluk Bone (Gambar 8). 3.3 Sumber Data Sumber data yang digunakan adalah data primer yang bersumber dari data lapangan yang diperoleh dari nelayan yang menggunakan alat tangkap pole and line di Kabupaten Luwu, Bone dan Sinjai. Sumber data yang lain adalah data sekunder berupa data produksi tahunan yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 11 tahun ( ) dan data produksi kuartalan dalam kurun waktu 2 tahun ( ). Data biofisik lingkungan yang dikumpulkan adalah data suhu permukaan laut (SPL), dan klorofil-a. Data SPL dan klorofil-a diperoleh dari Ocean Color Time-Series Online Visualization hasil citra satelit MODIS-Terra yang dikeluarkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) untuk data SPL, sedangkan untuk data klorofil-a menggunakan citra satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) hasil citra satelit Aqua. Data citra satelit yang digunakan telah dianalisis berdasarkan GES- DISC Interactive Online Visualization and Analysis Infrastructure (GIOVANNI) dalam kurun waktu 2 tahun ( ). Data di download dalam bentuk image dan ascii (text file) berdasarkan data bulanan sesuai posisi geografi masing-

68 36 masing zona. Selain itu parameter SPL dan salinitas diukur secara langsung (insitu) dengan menggunakan alat conductivity meter pada masing-masing zona. Pengukuran tersebut dilakukan pada saat kegiatan pemancingan sedang berlangsung. Pengukuran dilakukan selama kurang lebih 6 bulan (Januari-Juni 2007). Penjelasan lebih rinci tentang data dan sumbernya disajikan dalam setiap bab yang relevan. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERIKANAN TANGKAP Kondisi Perikanan Tangkap Cakalang di Kawasan Teluk Bone dan Perkembangan Produksi dengan Menggunakan Metode Schaefer (Bab 4) Aspek Biologi Ikan Cakalang dengan Menggunakan Model Analytical (Bab 5) Hubungan SPL dan Klorofil-a dengan Produksi Ikan dengan Menggunakan Inderaja dan Parsial Korelasi (Bab 6) Komposisi Ukuran Ikan Hub. Panjang Berat Ikan Pertumbuhan Ikan Lm (Length at First Maturity) CPUE (Catch Per Unit Effort) MSY (Maximum Sustainable Yield) Fopt (Upaya optimum) Pola Perubahan SPL dan Klorofil-a Pola Perubahan Produktivitas Primer Pola Hub. SPL dan Klorofil-a dengan Ikan Cakalang Pola Hub. Keberadaan Ikan Berdasarkan SPL dan Klorofil-a Hub. PP dengan Biomas Ikan Cakalang Kompilasi Bab (4), Bab (5) dan Bab (6) sebagai Dasar dalam Menyusun Konsep Pengelolaan Cakalang di Teluk Bone (Bab (7) Gambar 8 Tahapan penelitian yang digunakan.

69 Analisis Data Analisis data biologis dilakukan dalam 3 tahapan yaitu menggunakan tabel frekuensi ukuran, analisis regresi untuk hubungan panjang berat, analisis pertumbuhan menggunakan von Bertalanffy dan Lm menggunakan kurva sigmoid antara nilai tengah kelas dengan proporsi (%) ikan cakalang contoh yang mature. Untuk kajian upaya penangkapan dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu standarisasi upaya penangkapan, menghitung CPUE (catch per unit effort) dan menghitung MSY dan Fopt menggunakan model surplus produksi dari Schaefer. Kajian oseanografi dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu: 1) menghitung sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a menggunakan beberapa parameter statistik; 2) mendeskripsikan pola sebaran ikan hubungannya dengan suhu permukaan laut dan klorofil-a; dan 3) menghitung keeratan hubungan produksi ikan dengan suhu permukaan laut dan klorofil-a menggunakan parsial korelasi. Analisis data dilakukan pada masing-masing zona agar pola perubahan dapat diketahui sesuai dengan kondisi ekologi setiap zona. Analisis data yang rinci diuraikan pada setiap bab kajian.

70 4 KONDISI PERIKANAN TANGKAP CAKALANG DI KAWASAN TELUK BONE 4.1 Pendahuluan Salah satu perairan yang sumber ikannya perlu dikelola secara optimum adalah perairan teluk. Teluk adalah laut yang menjorok ke daratan. Indonesia sebagai negara yang memiliki pulau tentunya mempunyai banyak teluk dan yang baru dapat diidentifikasi 631 teluk. Salah satu teluk yang dipilih dalam penelitian ini adalah Teluk Bone. Teluk ini masuk dalam WPPI 713 yaitu wilayah pengelolaan Selat Makassar, Laut Flores dan Laut Bali. Ekosistem Teluk Bone merupakan ekosistem yang mempunyai kekhasan tersendiri. Perairannya semi tertutup dibandingkan dengan perairan Selat Makassar dan Laut Flores karena secara geografis terletak di sebelah Timur daratan Sulawesi Selatan dan di sebelah Barat daratan Sulawesi Tenggara. Wilayah Teluk Bone memiliki luas sekitar ,077 km 2 dengan panjang garis pantai 1.126,84 km memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar, khususnya perikanan cakalang karena 59 % (13,616 ton) produksi ikan cakalang Sulawesi Selatan berasal dari kawasan Teluk Bone (Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan 2006). Di sekitar wilayah tersebut terdapat 9 (sembilan) kabupaten yaitu 7 kabupaten di wilayah Sulawesi Selatan serta 2 (dua) kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara yang merupakan satu kesatuan kawasan pengelolaan perikanan Teluk Bone. Perikanan tangkap di kawasan Teluk Bone merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan memanfaatkan sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomi dengan menggunakan teknologi, baik yang sederhana maupun yang lebih modern. Oleh karena itu perikanan tangkap di kawasan Teluk Bone adalah suatu proses produksi yang memiliki nilai ekonomi yang melibatkan berbagai komponen yang saling berinteraksi, di mana komponen utama adalah manusia (nelayan), kapal, alat tangkap, dan ketersediaan ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Interaksi komponen utama dalam perikanan tangkap menyebabkan adanya perbedaan karakteristik perikanan tangkap di suatu wilayah perairan. Perikanan cakalang sangat potensil untuk dikembangkan karena selain nilainya yang cukup tinggi, juga mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Sumberdaya cakalang di Teluk Bone mempunyai kesamaan sifat dalam hal daerah penangkapan, area bermain dengan sumberdaya tuna khususnya dari jenis madidihang (yellowfin tuna). Pemanfaatan cakalang yang dilakukan

71 40 selama ini menggunakan berbagai jenis upaya penangkapan ikan dengan karakteristik dan deskripsi yang berbeda-beda. Karakteristik perikanan cakalang di Teluk Bone akan dideskripsikan melalui kegiatan usaha penangkapan dan tingkat pemanfaaatan sumberdaya perikanan cakalang. 4.2 Tujuan Spesifik 1 Mendeskripsikan kegiatan usaha penangkapan cakalang di kawan Teluk Bone yang meliputi spesifikasi alat tangkap pole and line, operasi dan daerah penangkapan serta produksi hasil tangkapan cakalang di kawasan Teluk Bone. 2 Menentukan tingkat produksi sumberdaya perikanan cakalang dan catch per unit effort (CPUE) yang dapat dimanfaatkan secara bersama (shared stok) untuk keperluan pengelolaan di kawasan Teluk Bone. 4.3 Metode Deskripsi kegiatan usaha Metode yang digunakan pada Bab 4 ini adalah gabungan antara penelitian deskriptif dan survey langsung ke lapangan. Untuk deskripsi kegiatan usaha penangkapan (alat tangkap pole and line dan metode penangkapannya) dilakukan pengumpulan data lapangan khususnya tentang deskripsi alat tangkap pole and line dan metode penangkapannya sebagai salah satu alat dominan dalam penangkapan cakalang melalui survei langsung ke fishing base nelayan. Responden dipilih berdasarkan tempat pusat kegiatan penangkapan ikan cakalang pada setiap kabupaten di kawasan Teluk Bone yaitu Kabupaten Luwu di pusatkan di TPI Murante Kecamatan Suli, Kabupaten Bone di TPI Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Timur dan Kabupaten Sinjai di TPI Lappa Kecamatan Sinjai Utara. Daerah penangkapan cakalang dan alat tangkap pole and line yang digunakan nelayan di Teluk Bone diidentifikasi berdasarkan hasil wawancara langsung dengan nelayan atau dengan keikutsertaan enumerator data secara langsung dalam aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Penentuan posisi geografi menggunakan global positioning system (GPS). Produksi hasil tangkapan cakalang diperoleh dari data hasil tangkapan nelayan per trip dalam satuan kg. Waktu yang digunakan nelayan untuk melakukan penangkapan dengan alat tangkap pole and line adalah sehari semalam (one day fishing trip).

72 41 Untuk mendeskripsikan kondisi SPL, klorofil-a dan saliniitas kawasan Teluk Bone, data hasil olahan citra SPL, klorofil-a dan salinitas hasil pengukuran in situ dianalisis dengan menggunakan sofware Surfer Versi Tingkat pemanfaatan cakalang Data tentang jumlah produksi hasil tangkapan, jumlah unit dan trip alat tangkap pole and line, purse seine, jaring insang hanyut dan pancing tonda diperoleh dari statistik perikanan propinsi Sulawesi Selatan pada 7 Kabupaten/Kota yang berada disepanjang pesisir kawasan Teluk Bone yaitu : Kabupaten Luwu, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo.dari tahun Untuk keperluan analisis selanjutnya data dari 7 kabupaten dikelompokkan menjadi 3 zona yaitu zona Utara mencakup kabupaten Luwu, Wajo, Luwu Utara, Luwu Timur dan kota Palopo ; zona Tengah yaitu kabupaten Bone dan zona Selatan yaitu kabupaten Sinjai. Selain ditentukan berdasarkan zona, tingkat pemanfaatan cakalang dihitung juga dalam satu kawasan Teluk Bone. Produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (trip) dijumlahkan dari keseluruhan zona yang ada dalam kawasan Teluk Bone. Produksi hasil tangkapan dihitung berdasarkan proporsi produksi hasil tangkapan ikan cakalang yang dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: 1. Menghitung proporsi berdasarkan produksi total masing-masing alat tangkap dalam kawasan teluk, sebagai berikut: Pk C k = 4 P 1 k di mana, C : proporsi produksi k : unit penangkapan P : produksi berdasarkan data statistik; 2. Menghitung produksi cakalang dari masing-masing unit penangkapan dalam kawasan sebagai berikut : I k Ck x IS di mana, I : produksi proporsi cakalang C : proporsi produksi

73 42 I S : produksi ikan cakalang berdasarkan data statistik. 3. Produksi tahunan (P) setiap unit penangkapan cakalang pada masingmasing zona dalam kawasan Teluk Bone dihitung dengan persamaan sebagai berikut : P k = 4 i 1 I k Jumlah alat tangkap yang dianalisis untuk zona Utara dan Selatan ada 4 jenis yaitu pole and line, purse seine, jaring insang hanyut dan pancing tonda, sedangkan untuk Zona Tengah hanya 3 jenis yaitu pole and line, jaring insang hanyut dan pancing tonda. Selanjutnya dilakukan standarisasi terhadap alat tangkap dengan tujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbeda sehingga dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar. Untuk melakukan standarisasi upaya penangkapan terlebih dahulu mengestimasi nilai Fishing Power Index (FPI). Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai FPI = 1 sedangkan jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung nilai FPI dengan membagi nilai CPUE dengan CPUE alat standar. Tahapan standarisasi adalah sebagai berikut : (1) menghitung CPUE masing-masing alat tangkap yang akan distandarisasi, CPUE i = di mana, HTi FEi HT i : Jumlah hasil tangkapan setiap jenis unit penangkapan ikan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i FE i : Jumlah upaya penangkapan ikan setiap jenis unit alat penagkapan ikan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i (2) Menentukan alat standar, kemudian menghitung FPI dengan cara sebagai berikut : FPI = CPUE CPUE i s di mana : CPUE i : Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i

74 43 CPUE s : Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan standar (3) Upaya penangkapan standar diperoleh dengan menggunakan persamaan (Gulland 1983) yaitu : SEi FPI x FEi SE i : Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i FPI : Fishing power index atau daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i FE i : Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i (4) Menghitung ulang CPUE dengan membagi jumlah hasil tangkapan dengan upaya standar CPUE i = di mana, HTi FEs HT i : Jumlah hasil tangkapan total setiap jenis unit penangkapan ikan pada tahun ke-i FE s : Jumlah upaya penangkapan ikan setiap jenis unit alat penangkapan ikan yang telah distandar (5) Untuk menghitung nilai MSY digunakan metode surplus produksi. Pada metode ini digunakan data hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan jumlah upaya sebagai masukan. Dalam metode ini, digunakan analisis regresi linier dengan 2 (dua) variabel, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel tak bebas (dependent variable). Menurut Sudjana (1998), variabel tak bebas merupakan variabel yang terjadi karena adanya variabel bebas. Variabel bebas (variabel x) yang digunakan yaitu upaya penangkapan (effort = E),sedangkan variabel tak bebasnya (variabel y) adalah hasil tangkap per unit alat tangkap (Catch Per Unit Effort = CPUE). Untuk memudahkan perhitungan digunakan software SPSS 16. Analisis dilakukan dengan menggunakan perhitungan catch per unit effort (CPUE) yaitu hasil tangkapan (catch) per upaya penangkapan (effort), untuk memperkirakan jumlah effort optimum penangkapan yang diperbolehkan sesuai dengan potensi sumberdaya cakalang yang ada di masing-masing zona dalam kawasan Teluk Bone.

75 44 Menurut Model Schaefer (Pauly 1983) persamaan yang menyatakan hubungan antara hasil tangkapan persatuan upaya (CPUE) sebagai fungsi dari upaya (f) dalam satuan trip, adalah sebagai berikut : CPUE = a + bf Hubungan antara effort (f) dengan catch (C) maka : C = af bf 2 kemudian effort optimum (fopt) dapat diperoleh dengan menyamakan turunan pertama catch terhadap effort = 0, sehingga C = af - bf 2 C = a 2 bf = 0 Fopt = - a 2b Untuk mendapatkan nilai maksimum lestari adalah sebagai berikut : MSY = a (a/2b) - b (a 2 /4b 2 ) MSY = di mana : a 2 4b b : slope (kemiringan garis regresi) a : intersep (titik perpotongan garis regresi dengan sumbu y) Dalam penggunaan metode ini, maka beberapa asumsi dasar yang harus diperhatikan : 1) Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal dan sama sekali tidak berpedoman atas struktur populasinya. 2) Stok ikan selalu dalam keadaan yang cenderung menuju situasi steady state (setelah mengalami penangkapan ikan pulih kembali) sesuai dengan model pertumbuhan biomas seperti kurva logistic. 3) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan data yang bersifat random 4) Hasil tangkapan yang di daratkan berasal dari perairan di kawasan Teluk Bone dan tidak ada hasil tangkapan yang di daratkan di luar kawasan. Pengujian terhadap koefisien regresi dan garis trend dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut : H 0 : b = 0 H 1 : b 0

76 45 Jika b = 0, variabel bebas [upaya tangkap (trip)] tidak berpengaruh terhadap variabel terikat (produksi dan CPUE). Jika b 0, variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Keputusan menerima H 0 apabila P>0,05, menolak H 0 apabila P<0,05. Analisis uji hipotesis menggunakan software SPSS ver.16. Untuk menentukan pengelolaan bersama stok cakalang (shared stock) dalam kawasan Teluk Bone (Gambar 9), maka dilakukan perhitungan dengan cara sebagai berikut : Menghitung MSY dan Fopt pada masing-masing zona (Utara, Tengah dan Selatan), dengan menggunakan upaya penangkapan yang telah distandariasi. Menghtiung proporsi masing-masing zona dengan cara sebgai berikut : P zi = MSYzi 3 MSYzi i 1 untuk Fopt adalah F zi = Foptzi 3 Foptzi i 1 di mana : P zi : proporsi MSY pada zona ke i MSY zi : nilai MSY pada zona ke i F zi : proporsi Fopt pada zona ke-i Fopt zi : nilai Fopt pada zona kei Menghitung MSY pada seluruh kawasan Teluk Bone. Menghitung MSY shared stock untuk masing-masing zona dan Fopt dengan cara sebagai berikut : MSY zi = P zi x MSY sk Fopt zi = F zi x Fopt sk di mana : MSY sk : Nilai MSY shared stock untuk seluruh kawasan Teluk Bone. Fopt sk : Fopt dalam MSY shared stock untuk seluruh kawasan Teluk Bone MSY zi : Nilai MSY shared stock untuk zona ke-i Fopt zi : Nilai Fopt dalam MSY shared stock untuk zona ke-i

77 46 PZu PZt MSYsk (shared stock) PZs Gambar 9 Pendekatan untuk memperoleh MSY per zona dan MSY shared stock. 4.4 Hasil Penelitian Alat tangkap (pole and line) Alat tangkap pole and line adalah alat tangkap yang terdiri atas tangkai atau joran (pole), tali pancing (line) dan mata pancing (hook) (Gambar 10). Tangkai pancing terbuat dari bambu yang cukup tua berukuran panjang 2 m, diameter pangkal 3 cm dan ujungnya berukuran 0,5 cm. Tali pancing terbuat dari bahan nylon monofilament berwarna putih/bening berukuran panjang 1,5-2 m berdiameter 3 mm. Ujung bagian atas dihubungkan dengan lilitan tali dan ujung bagian bawah dihubungkan dengan tali pancing yang terbuat dari bahan yang sama dengan tali pancing utama dan berukuran cm. Mata pancing yang umum digunakan bernomor 8 dan terbuat dari baja yang tidak berkait balik, pembungkus terbuat dari kulit dan diujung mata pancing dipasang bulu ayam berwarna putih atau merah sebagai umpan buatan.

78 47 Gambar 10 Joran, tali dan mata pancing yang dipakai oleh nelayan pole and line di kawasan Teluk Bone lain : Alat-alat yang digunakan dalam unit penangkapan pole and line antara 1. Ember besar Digunakan untuk menampung umpan yang diambil dari bak umpan sebelum dilemparkan ke laut. Alat ini terbuat dari plastik dan mempunyai ukuran diameter 50 hingga 60 cm. 2. Alat pembuang umpan dipakai dengan beberapa tujuan tergantung ukurannya, yang besar berdiameter 40 cm berfungsi untuk memindahkan umpan hidup dari palkah umpan ke ember, sedangkan yang berukuran kecil (diameter 25 cm) dipakai untuk proses menebar umpan ke laut Kapal Kapal dalam armada penangkapan pole and line berfungsi untuk mengangkut nelayan dan alat tangkap dari fishing base ke fishing ground serta kembali ke fishing base atau tempat pendaratan lainnya. Selain itu kapal juga berfungsi membawa hasil tangkapan, umpan hidup dan mengejar gerombolan ikan. Kapal pole and line yang digunakan terbuat dari kayu biti dan jati dan menggunakan mesin dalam (inboard engine). Motor dalam yang digunakan

79 48 mempunyai kekuatan mesin antara HP dengan bahan bakar solar. Panjang kapal berukuran antara 15-22,5 m, lebar 3,5-5,20 m dan dalam 1, cm serta bertonage GT. Kapal pole and line memiliki tempat pemancingan, palkah ikan, bak umpan hidup, pipa penyemprot, sayap dan peralatan navigasi. Konstruksi kapal pole and line disajikan pada Gambar 11 dan 12. Tempat pemancingan (flying deck) pada kapal pole and line terdapat di bagian haluan kapal. Daerah pemancingan ini berbentuk jajaran genjang dan dilengkapi tempat duduk pemancing dengan kapasitas 10 orang bagian depan, 2 orang pada sisi kanan dan sisi kiri. Palkah ikan berfungsi selain untuk menyimpan hasil tangkapan juga berfungsi membawa perbekalan es balok selama operasi penangkapan. Palkah ikan berukuran panjang 250 cm, lebar 150 cm dan tinggi 150 cm. Jumlah palkah ikan setiap kapal dua unit yang terletak di atas dek kapal bagian tengah. Bak umpan hidup sebanyak 2 unit, dengan ukuran panjang 250 cm, lebar 135 cm dan tinggi 230 cm. Pada setiap bak terdapat lubang dengan diameter 10 cm. Sistem sirkulasi dalam bak umpan diatur dengan menggunakan belahan bambu yang dimasukkan ke dalam salah satu lubang. Keterangan : A. Anjungan F. Palkah Ikan B. Kamar Mesin G. Bak Umpan Hidup C. Kamar Tidur H. Tempat Pemancingan D. WC I. Pele-pele E. Dapur J. Platform Gambar 11 Contoh konstruksi kapal pole and line di kawasan Teluk Bone.

80 49 Gambar 12 Kapal pole and line di kawasan Teluk Bone. Pipa penyemprot (water sprayer) berada di dekat tempat pemancingan. Pipa-pipa yang digunakan diameter 1,5 cm terbuat dari besi disambung dengan slang plastik. Air yang digunakan untuk menyemprot berasal dari air laut dengan menggunakan tenaga mesin. Sayap (platform) merupakan tempat yang dilebihkan disekeliling badan kapal. Daerah ini mempunyai lebar 60 cm yang berfungsi sebagai tempat boy-boy melemparkan umpan Tenaga kerja/nelayan Nelayan pada umumnya hanyalah mengandalkan kemampuan fisik saja, sedangkan tingkat pendidikan bukan merupakan keharusan bagi nelayan namun yang lebih penting adalah keterampilan dan semangat kerja. Pada dasarnya jumlah tenaga kerja/nelayan dalam pengoperasian kapal pole and line tergantung ukuran kapal dan teknologi yang digunakan. Jumlah nelayan di atas kapal berjumlah orang. Pembagian kerjanya terdiri atas satu orang kapten kapal (nahkoda) sebagai fishing master bertugas dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan penangkapan dan keselamatan anak buah kapal selama pelayaran, satu orang kepala kamar mesin bertugas menjaga kestabilan dan kelancaran kerja mesin, satu orang boy-boy (penebar umpan), satu orang palolang (yang mengambil umpan dari bak besar ke bak kecil) dan pemancing. Pemancing inti harus berpengalaman dan umumnya berada di bagian depan haluan kapal berjumlah 10 orang dengan posisi merapat dan sisanya dua orang pada bagian samping kiri dan dua orang pada bagian kanan.

81 Operasi dan daerah penangkapan Sebelum operasi penangkapan ikan persiapan yang harus dilakukan adalah persiapan sebelum kapal berangkat meliputi pengisisan bahan bakar, air tawar, es, perbekalan makanan dan surat-surat kapal. Bahan bakar yang digunakan untuk mesin kapal dan generator adalah solar. Dalam satu trip (satu hari operasi penangkapan) membutuhkan 1 drum bahan bakar atau kurang lebih 200 liter. Air tawar yang dibawa sepenuhnya digunakan untuk keperluan memasak dan minum selama kapal beroperasi. Untuk ransum atau perbekalan makanan meliputi beras, gula, kopi, teh, mie instan, lauk pauk dan lain-lain. Hasil tangkapan yang diperoleh agar tidak mudah rusak (busuk) menggunakan es balok dengan berat 10 kg/balok. Persiapan terakhir sebelum berangkat adalah surat-surat kapal seperti surai izin perikanan dan lain-lain. Sesudah persiapan dilaksanakan kapal menuju daerah pencarian umpan. Kapal meninggalkan fishing base sekitar pukul Wita. Kapal bergerak terus menerus sambil mencari umpan hidup dari nelayan bagan, komunikasi antara nelayan pole and line dan nelayan bagan dilakukan dengan menggunakan alat komunikasi HP. Setelah memperoleh informasi dari nelayan bagan, maka kapal pole and line menuju ke bagan. Ikan umpan dipindahkan dari bagan ke palkah kapal pole and line secara hati-hati agar ikan umpan tidak mengalami stres. Untuk mendapatkan umpan hidup nelayan membeli dari bagan yang dioperasikan sepanjang malam dengan menggunakan cahaya lampu. Satu trip penangkapan umpan yang digunakan berkisar ember. Tiap palkah berkapasitas sekitar 50 ember umpan (setiap ember kira-kira setara dengan 2 kg umpan). Adapun fungsi dari palkah umpan hidup ini adalah untuk menyimpan umpan hidup agar dapat bertahan hidup sampai operasi penangkapan selesai. Pada bak umpan tersebut terdapat lubang yang berfungsi sebagai tempat sirkulasi air sehingga kualitas air tetap terjamin. Kekuatan sirkulasi air perlu diatur untuk mencegah umpan terlalu cepat bergerak dan mati sebagai akibat dari sirkulasi air yang terlalu cepat. Jika umpan tidak mencukupi dari alat bagan atau alat bagan tidak beroperasi maka nelayan pole and line mengambil umpan dari nelayan payang yang dalam bahasa daerah setempat disebut papanja. Nelayan panja ini hanya ditemukan di Kabupaten Bone. Daerah penangkapan untuk umpan hidup umumnya adalah pada perairan teluk yang dangkal dan perairan yang terlindung dari gelombang dan arus kuat. Ikan yang umumnya digunakan sebagai umpan

82 51 hidup untuk pole and line adalah jenis teri dari genera Stolephorus, seperti Stolephorus indicus. Jika Stolephorus tidak tersedia maka nelayan biasa menggunakan jenis umpan yang lain seperti ikan layang (Decapterus sp) yang berukuran kecil atau dari jenis tembang (sardinella) sp. Pengambilan umpan pada nelayan bagan dilakukan dengan sistem langganan, namun ada pula yang dibeli secara langsung. Untuk keberhasilan penangkapan dengan pole and line, ketersediaan umpan hidup sangatlah penting, karena umpan hidup berfungsi sebagai atraktan untuk menarik kawanan ikan cakalang mendekat ke kapal. Penggunaan jenis umpan ini sangat tergantung dari hasil tangkapan nelayan bagan. Sesudah jumlah umpan diperkirakan mencukupi kapal pole and line menuju daerah fishing ground. Pemancingan ikan umumnya dilakukan pada pagi hingga siang hari, kadang pula dilakukan pada sore hari jika persediaan umpan hidup masih ada. Sebagian besar alat pole and line dioperasikan disekitar rumpon (Gambar 13). Gambar 13 Konstruksi rumpon sebagai alat untuk mengumpulkan cakalang. Namun ada pula yang mencari lokasi penangkapan dengan melakukan pengamatan di sekitar perairan tersebut. Pengamatan di sekitar perairan misalnya dengan melihat kawanan burung laut yang beterbangan di atas permukaan air dan kawanan ikan lumba-lumba yang meloncat di permukaan air (Gambar 14 dan 15). Keterangan : 1. Tanda Pengenal 2. Rakit Bambu 3. Pelepah kelapa 4. Batu pemberat pelepah 5. Anyaman rotan 6. Batu pemberat pada rumpon

83 52 Gambar 14 Burung-burung yang beterbangan di atas permukaan laut. Gambar 15 Kawanan lumba-lumba yang meloncat di atas permukaan laut. Proses kegiatan penangkapan cakalang di Teluk Bone dalam satu trip disajikan pada Gambar 16.

84 53 Mulai Persiapan operasi penangkapan tidak Layak ya Menuju Fishing ground bagan Pelayaran Tidak mancing Persiapan umpan tidak Kualitas, kuantitas cukup ya Pelayaran fishing ground cakalang One day fishing Kegiatan memancing Tinggalkan fishing ground Penanganan ikan Pencatatan hasil tangkapan Selesai Gambar 16 Skema proses penangkapan cakalang dengan pole and line di kawasan Teluk Bone.

85 Kondisi oseanografi Perairan laut kawasan Teluk Bone merupakan perairan yang semi tertutup dibandingkan dengan perairan Selat Makassar dan Laut Flores, karena secara geografis terletak di sebelah Timur daratan Sulawesi Selatan dan sebelah Barat daratan Sulawesi Tenggara. Berdasarkan letak geografis tersebut maka kondisi kawasan perairan Teluk Bone relatif berbeda dengan kondisi perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Kondisi oseanografi kawasan perairan Teluk Bone yang diperoleh dari Ocean Color Time-Series Online Visualization hasil citra satelit MODIS-Terra yang dikeluarkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) untuk data SPL dan data klorofil-a menggunakan citra satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) hasil citra satelit Aqua. Data citra satelit yang digunakan telah dianalisis berdasarkan GES-DISC Interactive Online Visualization and Analysis Infrastructure (GIOVANNI) dalam kurun waktu 2 tahun ( ). Data salinitas diperoleh dari hasil pengukuran langsung (in situ) selama 6 bulan dengan menggunakan alat conductivity meter. 1) Suhu permukaan laut (SPL) Untuk melihat hubungan antara SPL citra dan SPL insitu dilakukan analisis regresi. Hasil analisis hubungan SPL citra dan SPL insitu pada lokasi penelitian (Zona Utara) (Gambar 17) diperoleh model persamaan : SPL citra = 12, ,5924 SPL insitu dengan koefisien korelasinya (r) 0,63. Hasil analisis hubungan SPL citra dan SPL insitu pada lokasi penelitian (Zona Tengah) (Gambar 17) diperoleh model persamaan : SPL citra = 6, ,801 SPL insitu dengan koefisien korelasinya (r) 0,70. Hasil analisis hubungan SPL citra dan SPL insitu pada lokasi penelitian (Zona Selatan) (Gambar 17) diperoleh model persamaan : SPL citra = 2, ,9177 SPL insitu dengan koefisien korelasinya (r) 0,77. Berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) dari ketiga persamaan tersebut, terlihat ada korelasi antara data citra dan insitu, terlihat ada hubungan satu sama lain. Dengan kata lain citra MODIS yang digunakan baik untuk merepresentasikan kondisi SPL di lokasi penelitian. Kisaran rataan SPL bulanan dalam kurun waktu 2 tahun di Zona Utara adalah 28,8-31,7 0 C, Zona Tengah pada kisaran 27,9-31,5 0 C, Zona Selatan pada kisaran 27,0-31,1 0 C. Kecenderungan perubahan SPL bulanan dalam kurun

86 SPL citra SST citra SST citra 55 waktu 2 tahun di setiap zona menunjukkan SPL cenderung tinggi pada bulan Maret, April, Nopember dan Desember di Zona Utara, April dan Desember di Zona Tengah dan Zona Selatan (Gambar 18 ). 32,00 31,60 y = 0,592x + 12,87 R² = 0,401 31,20 30,80 Utara 30,40 30,00 30,40 30,80 31,20 31,60 SST Insitu 31,40 31,00 y = 0,801x + 6,107 R² = 0,484 30,60 30,20 Tengah 29,80 30,00 30,20 30,40 30,60 30,80 31,00 31,20 SST insitu 31,20 30,80 y = 0,917x + 2,057 R² = 0,589 30,40 30,00 29,60 29,20 Selatan 28,80 29,60 30,00 30,40 30,80 31,20 31,60 SST insitu Gambar 17 Hubungan antara : SPL insitu dan SPL citra (Utara, Tengah dan Selatan)

87 56 SPL pada bulan Agustus dan September cenderung rendah di Zona Utara yang juga menunjukkan perubahan yang sama di zona lain. Kisaran rataan terendah SPL di Zona Utara adalah 28,8-28,9 0 C, Zona Tengah pada kisaran 27,9-28,2 0 C, dan Zona Selatan 27-27,3 0 C. Kisaran rata-rata SPL bulanan tertinggi dalam kurun waktu 2 tahun di Zona Utara adalah 31,6-31,7 0 C, di Zona Tengah pada kisaran 31,3-31,5 0 C, dan di Zona Selatan pada kisaran 30,8-31,1 0 C. SPL pada bulan Agustus 2007 terjadi perubahan terendah dalam kurun waktu 2 tahun di semua zona, di mana Zona Utara mencapai 28,9 0 C, Zona Tengah mencapai 28,0 0 C, dan Zona Selatan mencapai 27,3 0 C. Gambar 18 Rataan SPL ( 0 C) di Zona Utara, Tengah dan Selatan Pola sebaran SPL secara mendatar pada masing-masing zona pada musim Barat (Desember 2006-Februari 2007) dapat dilihat pada Gambar 19. Dari gambar tersebut terlihat bahwa SPL di Zona Utara berkisar antara 31, C, di Zona Tengah berkisar antara 30,2-31,8 0 C dan di Zona Selatan berkisar antara 29,9-30,7 0 C. Meskipun pada musim yang sama namun di Zona Utara memiliki sebaran SPL yang besar dibandingkan pada Zona Tengah dan Zona Selatan. Pola sebaran SPL musim Barat dan Timur pada Zona Selatan dapat dilihat pada Gambar 20. Dari gambar tersebut terlihat bahwa SPL di Zona Selatan pada musim Barat berkisar antara 29,9-30,7 0 C dan pada musim Timur berkisar antara 27,8-28,6 0 C dan nilai sebaran SPL pada musim Barat pada zona yang sama (Zona Selatan) lebih tinggi dibandingkan pada musim Timur.

88 57 Utara Tengah Selatan Gambar 19 Sebaran mendatar SPL pada musim Barat di Zona Utara, Tengah dan Selatan

89 58 Musim Barat Musim Timur Gambar 20 Sebaran mendatar SPL pada musim Barat dan Timur di Zona Selatan 2) Salinitas Kisaran rataan salinitas insitu bulanan berfluktuatif pada setiap zona selama pengukuran. Pada Zona Utara kisaran salinitas adalah 32,4-33,8 o / oo, Zona Tengah kisaran salinitas adalah 32,6-33,9 o / oo, dan Zona Selatan kisaran salinitas adalah 32,5-33,8 o / oo. Kecenderungan perubahan salinitas bulanan dalam kurun waktu 6 bulan di setiap zona menunjukkan salinitas cenderung tinggi pada bulan Mei di Zona Utara, April di Zona Tengah dan bulan Maret dan Mei di Zona Selatan dan salinitas rendah pada bulan Januari di Zona Utara, Februari di Zona Tengah dan Selatan (Gambar 21 ).

90 Salinitas (0/00) 59 34,0 33,6 33,2 32,8 32,4 32,0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Bulan Utara Tengah Selatan Gambar 21 Rataan salinitas ( o / oo ) di Zona Utara, Tengah dan Selatan Pola sebaran mendatar salinitas di Zona Utara pada musim Barat dan Tiimur dapat diihat pada Gambar 22. Musim Barat Musim Timur Gambar 22 Sebaran mendatar salinitas pada musim Timur dan Barat di Zona Utara

91 60 Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa nilai salinitas pada musim Barat berkisar antara 31,7-33,1 o / oo dan pada musim Timur berkisar antara 32,4-33,3 o / oo dan selanjutnya nilai salinitas yang rendah berada disekitar dekat pantai baik pada musim Barat maupun Timur. Hal ini disebabkan karena pengaruh air sungai yang bermuara disepanjang pantai Teluk Bone. 3) Klorofil-a Kisaran rataan klorofil-a bulanan dalam kurun waktu 2 tahun di kawasan perairan Teluk Bone menunjukkan di Zona Utara pada kisaran 0,26-0,78 mg/m 3, Zona Tengah pada kisaran 0,14-0,38 mg/m 3, Zona Selatan 0,17-0,31 mg/m 3 (Gambar 23). Kecenderungan perubahan bulanan klorofil-a dalam kurun waktu 2 tahun menunjukkan di Zona Utara konsentrasi klorofil-a lebih tinggi dibandingkan zona lainnya, walaupun terdapat kecenderungan berbeda secara bulanan di setiap zona. Kecenderungan perubahan rataan bulanan dalam kurun waktu 2 tahun di Zona Utara relatif tidak berfluktuatif, kecuali pada bulan April. Kisaran rataan bulanan klorofil-a dengan konsentrasi yang rendah di Zona Utara pada kisaran 0,26-0,28 mg/m 3, Zona Tengah pada kisaran 0,14-0,18 mg/m 3, Zona Selatan pada kisaran 0,18-0,20 mg/m 3. Konsentrasi rataan klorofila tertinggi dalam kurun waktu 2 tahun di Zona Utara sebesar 0,78 mg/m 3 di bulan April Konsentrasi rataan tertinggi dalam kurun waktu 2 tahun di Zona Tengah 0,38 mg/m 3 di bulan Juli Konsentrasi rataan klorofil-a dalam kurun waktu 2 tahun di Zona.Selatan sebesar 0,31 mg/m 3 di bulan Oktober Gambar 23 Rataan klorofil-a (mg/m 3 ) di Zona Utara, Tengah dan Selatan

92 61 Pola sebaran klorofil-a secara mendatar pada masing-masing zona pada musim Timur (Juni-Agustus 2007) dapat dilihat pada Gambar 24. Dari gambar tersebut terlihat bahwa klorofil-a di Zona Utara berkisar antara 0,3-3,1 mg/m 3, di Zona Tengah berkisar antara 0,2-1,0 mg/m 3 dan di Zona Selatan berkisar antara 0,2-0,8 mg/ m 3 Utara Tengah Selatan Gambar 24 Sebaran mendatar klorofil-a pada musim Timur di Zona Utara, Tengah dan Selatan Pola sebaran klorofill-a musim Barat dan Timur pada Zona Selatan dapat dilihat pada Gambar 25. Dari gambar tersebut terlihat bahwa klorofil-a di Zona

93 62 Selatan pada musim Barat berkisar antara 0,18-0,30 mg/m 3 dan pada musim Timur berkisar antara 0,2-0,8 mg/m 3 dan nilai sebaran klorofil-a pada musim Barat pada zona yang sama (Zona Selatan) lebih tinggi dibandingkan pada musim Timur Musim Barat Musim Timur Gambar 25 Sebaran mendatar klorofil-a pada musim Timur dan Barat di Zona Selatan Perkembangan produksi Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa produksi cakalang dihitung dari proporsi produksi hasil tangkapan cakalang dari alat pole and line, purse seine, jaring insang hanyut dan pancing tonda yang dioperasikan oleh nelayan pada 7 kabupaten/kota yang berada di sepanjang pesisir kawasan Teluk Bone yaitu : Kabupaten Luwu, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Hasil perhitungan produksi (ton) cakalang dari data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan selama tahun yang telah diolah pada Zona Utara, Zona Tengah dan Zona Selatan disajikan pada Tabel 5, 6 dan 7.

94 63 Tabel 5 Produksi (ton) cakalang dari 4 jenis alat tangkap di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Jenis alat tangkap Tahun Pole and line Purse seine Jaring insang Pancing tonda hanyut ,2 106,3 324,8 35, ,5 98,2 519,4 34, ,4 98,5 505,0 10, , ,7 77, ,7 101,3 574,7 58, ,0 121,1 311,4 61, ,0 95,0 287,0 28, ,9 142,0 429,0 36, ,3 96,0 395,0 31, ,0 69,8 264,4 86, ,0 76,3 204,1 166,0 Total 8.783, , ,5 625,2 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Sul-Sel ( ) yang sudah diolah Tabel 6 Produksi (ton) cakalang dari 3 jenis alat tangkap di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Tahun Jenis alat tangkap Pole and line Jaring insang hanyut Pancing tonda , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,26 Total , , ,92 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Sul-Sel ( ) yang sudah diolah

95 64 Tabel 7 Produksi (ton) cakalang dari 4 jenis alat tangkap di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Jenis alat tangkap Tahun Pole and line Purse seine Jaring insang Pancing tonda hanyut ,3 540, ,0 158, ,1 261, ,0 323, ,4 452,0 952,4 215, ,0 762, ,0 98, ,7 395, ,0 582, ,3 126, ,5 98, ,7 255,0 950,0 395, ,9 665,0 952,0 303, ,1 972,0 702, , , ,8 880,0 929, ,3 847,9 972,0 589,0 Total , , , ,3 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Sul-Sel ( ) yang sudah diolah Berdasarkan tabel tersebut di atas pada Zona Utara produksi tertinggi pole and line dicapai pada tahun 2003 sebesar 1.050,9 ton dan terendah pada tahun 2000 sebesar 613,7 ton. Produksi tertinggi alat tangkap purse seine dicapai pada tahun 2003 sebesar 142 ton dan terendah pada tahun 2005 sebesar 69,8 ton. Produksi tertinggi jaring insang hanyut dicapai pada tahun 2000 sebesar 574,7 ton dan terendah pada tahun 2006 sebesar 204,1 ton. Selanjutnya produksi tertinggi pancing tonda dicapai pada tahun 2006 sebanyak 166 ton dan terendah dicapai pada tahun 1998 sebanyak 10,6 ton. Produksi total tertinggi dihasilkan oleh alat pole and line sebanyak 8.783,9 ton dan yang terendah dihasilkan oleh alat pancing tonda sebanyak 625,2 ton. Selanjutnya pada Zona Tengah produksi tertinggi pole and line dicapai pada tahun 1996 sebesar 4,883,10 ton dan terendah pada tahun 1998 sebesar 3.342,39 ton. Produksi tertinggi jaring insang hanyut dicapai pada tahun 1996 sebesar 3.188,96 ton dan terendah pada tahun 1997 sebesar 1.786,11 ton. Selanjutnya produksi tertinggi pancing tonda dicapai pada tahun 1996 sebanyak 1.893,45 ton dan terendah dicapai pada tahun 1997 sebanyak 1060,50 ton. Produksi total tertinggi dihasilkan oleh alat pole and line sebanyak ,8 ton dan yang terendah dihasilkan oleh alat pancing tonda sebanyak ,92 ton. Sedangkan pada Zona Selatan produksi tertinggi pole and line dicapai pada tahun 2006 sebesar 2.128,3 ton dan terendah pada tahun 1997 sebesar 914,1 ton. Produksi tertinggi alat tangkap purse seine dicapai pada tahun 2005

96 65 sebesar 1.199,8 ton dan terendah pada tahun 2001 sebesar 126,1 ton. Produksi tertinggi jaring insang hanyut dicapai pada tahun 1996 sebesar ton dan terendah pada tahun 2002 sebesar 950 ton. Selanjutnya produksi tertinggi pancing tonda dicapai pada tahun 2004 sebanyak 1.365,1 ton dan terendah dicapai pada tahun 1996 sebanyak 158 ton. Produksi total tertinggi dihasilkan oleh alat pole and line sebanyak ,5 ton dan yang terendah dihasilkan oleh alat pancing tonda sebanyak 5.056,3 ton. Besarnya upaya penangkapan untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan cakalang pada Zona Utara, Zona Tengah dan Zona Selatan disajikan pada tabel 8, 9 dan 10. Tabel 8 Upaya penangkapan ikan (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan 4 jenis alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Jenis alat tangkap Tahun Pole and line Purse seine Jaring insang Pancing tonda hanyut Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Sul-Sel ( ) yang sudah diolah

97 66 Tabel 9 Upaya penangkapan ikan (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan 3 jenis alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Jenis alat tangkap Tahun Pole and line Jaring insang Pancing tonda hanyut Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Sul-Sel ( ) yang sudah diolah Tabel 10 Upaya penangkapan ikan (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan 4 jenis alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Jenis alat tangkap Tahun Pole and line Purse seine Jaring insang Pancing tonda hanyut Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Sul-Sel ( ) yang sudah diolah Untuk menyeragamkan besarnya nilai upaya penangkapan dilakukan standarisasi upaya penangkapan yaitu dengan mengalikan nilai fishing power index (FPI) dengan upaya penangkapan (trip). Alat yang dijadikan standar adalah jaring insang hanyut karena nilai CPUE dari alat tersebut memiliki nilai yang terbesar dibanding alat tangkap lainnya, sehingga nilai FPI jaring insang

98 67 hanyut adalah 1. Hasil perhitungan nilai upaya penangkapan standar pada masing-masing zona yaitu Zona Utara, Tengah dan Selatan disajikan pada Tabel 11, 12 dan 13. Tabel 11 Upaya penangkapan standar (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone.Tahun Pole and line Jenis alat tangkap Purse Jaring seine insang hanyut Pancing tonda Jumlah upaya (standar) Tabel 12 Upaya penangkapan standar (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Tahun Pole and line Jenis alat tangkap Jaring insang hanyut Pancing tonda Jumlah upaya (standar)

99 68 Tabel 13 Upaya penangkapan standar (trip) dari armada penangkapan ikan yang mengoperasikan alat tangkap untuk menangkap cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Tahun Pole and line Jenis alat tangkap Purse Jaring seine insang hanyut Pancing tonda Jumlah upaya (standar) Hasil tangkapan per trip (CPUE) pada masing-masing zona mengalami fluktuatif. Untuk perairan pada Zona Utara CPUE terendah diperoleh pada tahun 1996 sebesar (ton/trip). Namun dalam kurun waktu nilai CPUE mengalami penurunan dari 1,474 ton/trip menjadi 1,245 ton/trip, dan tidak ada peningkatan jumlah trip. Untuk perairan pada Zona Tengah, CPUE terendah diperoleh pada tahun 1997 sebesar ton/trip. Namun dalam kurun waktu nilai CPUE mengalami penurunan dari 3,059 ton/trip menjadi 0,876 ton/trip, meskipun terjadi peningkatan jumlah trip. Sedangkan pada Zona Selatan CPUE terendah diperoleh pada tahun 2004 sebesar ton/trip. Namun dalam kurun waktu nilai CPUE mengalami penurunan dari 2,040 ton/trip menjadi 1,320 ton/trip, meskipun terjadi peningkatan jumlah trip (Tabel 14, 15 dan 16).

100 69 Tabel 14 Nilai CPUE (ton/trip) setiap perikanan cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone Tahun Total Produksi (ton) Total Upaya (trip) CPUE (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,245 Tabel 15 Nilai CPUE (ton/trip) setiap perikanan cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Tahun Total Produksi (ton) Total Upaya (trip) CPUE (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,876

101 70 Tabel 16 Nilai CPUE (ton/trip) setiap perikanan cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone Tahun Total Produksi (ton) Total Upaya (trip) CPUE (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,320 Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 1) untuk Zona Utara diperoleh nilai Fhitung = 7,44 (P<0,05), maka hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip) terhadap produksi dan keduanya mempunyai hubungan linier. Nilai koefesien regresi b = 0,405 sedangkan nilai konstanta a = 890,3, koefisien korelasi (r) = 0,67,sehingga model persamaan regresinya adalah y = 890,3 + 0,405 x (Gambar 26). Nilai r positif artinya bahwa peningkatan upaya meningkatkan pula produksi (ton), namun pertambahan produksi per unit alat semakin menurun, hal ini terlihat dari nilai hasil regresi antara CPUE dengan upaya penangkapan (trip). Gambar 26 Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone.

102 CPUE 71 Selanjutnya berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 2) untuk Zona Utara diperoleh nilai Fhitung = 18,19 (P<0,05), maka hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip) terhadap CPUE dan keduanya mempunyai hubungan linier. Nilai koefesien regresi b = 0,0011 sedangkan nilai konstanta a = 2,47, koefisien korelasi (r) = 0,82,sehingga model persamaan regresinya adalah CPUE = 2,47 0,0011 upaya (Gambar 27). Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan produktivitas alat tangkap menurun dengan penambahan upaya (trip). 2,50 2,00 98 y = 2,47-0,0011x R² = 0,67 1,50 1, ,50 0, Upaya (trip) Gambar 27 Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone. Berdasarkan Gambar 27 menunjukkan bahwa korelasi negatif antara upaya dan CPUE menunjukkan bahwa semakin tinggi upaya semakin rendah nilai CPUE. Korelasi negatif antara upaya dan CPUE mengindikasikan bahwa produktivitas alat tangkap akan menurun bila upaya ditambah. Hubungan antara upaya dan CPUE berbentuk linier (R 2 =0,67). Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 3) untuk Zona Tengah diperoleh nilai Fhitung = 0,003 (P>0,05), maka hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip) terhadap produksi. Nilai koefesien regresi b = 0,004 sedangkan nilai konstanta a = 8330,8, koefisien korelasi (r) = 0,02,sehingga model persamaan regresinya adalah y = 8330,8 + 0,004 x (Gambar 28).

103 CPUE Produksi (ton) y = 8330,8 + 0,004x R 2 = 0, Upaya (trip) Gambar 28 Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone. Selanjutnya berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 4) untuk Zona Tengah diperoleh nilai Fhitung = 19,29 (P<0,05), maka hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip) terhadap CPUE dan keduanya mempunyai hubungan linier. Nilai koefesien regresi b = 0,00014 sedangkan nilai konstanta a = 2,58, koefisien korelasi (r) = 0,83,sehingga model persamaan regresinya adalah CPUE = 2,58 0,00014 upaya (Gambar 29). Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan produktivitas alat tangkap menurun dengan penambahan upaya (trip). 3,50 3,00 2,50 2, y = 2,58-0,00014x R² = 0,68 1,50 1,00 0,50 0, Upaya (trip) Gambar 29 Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone. Berdasarkan gambar 29 menunjukkan bahwa korelasi negatif antara upaya dan CPUE menunjukkan bahwa semakin tinggi upaya semakin rendah nilai CPUE. Korelasi negatif antara upaya dan CPUE mengindikasikan bahwa

104 Produksi (ton) 73 produktivitas alat tangkap akan menurun bila upaya ditambah. Hubungan antara upaya dan CPUE berbentuk linier (R 2 =0,68). Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) untuk Zona Selatan diperoleh nilai Fhitung = 31,05 (P<0,05), maka hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip) terhadap produksi dan keduanya mempunyai hubungan linier. Nilai koefesien regresi b = 0,799 sedangkan nilai konstanta a = 1493,47, koefisien korelasi (r) = 0,88,sehingga model persamaan regresinya adalah y = 1493,47 + 0,799 x (Gambar 30). Nilai r positif artinya bahwa peningkatan upaya meningkatkan pula produksi (ton), namun pertambahan produksi per unit alat semakin menurun, hal ini terlihat dari nilai hasil regresi antara CPUE dengan upaya penangkapan (trip) y = 1493, ,799x R 2 = 0, Upaya (trip) Gambar 30 Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone. Selanjutnya berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 6) untuk Zona Selatan diperoleh nilai Fhitung = 18,19 (P<0,05), maka hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip) terhadap CPUE dan keduanya mempunyai hubungan linier. Nilai koefesien regresi b = 0,0003 sedangkan nilai konstanta a = 2,12, koefisien korelasi (r) = 0,76,sehingga model persamaan regresinya adalah CPUE = 2,12 0,0003 upaya (Gambar 31). Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan produktivitas alat tangkap menurun dengan penambahan upaya (trip)

105 Hasil tangkapan (ton) CPUE 74 2,50 2,00 1,50 1, y = x R 2 = ,50 0, Upaya (trip) Gambar 31 Garis Regresi Linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone. Hasil analisis potensi sumberdaya cakalang di Zona Utara dengan menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maksimum Sustainable Yield) perikanan cakalang penangkapan optimum sebesar trip ( Gambar 32) sebanyak ton/tahun dengan upaya MSY = ton Y = 2,47x - 0,0011x 2 Fopt = trip Upaya tangkap (trip) Gambar 32 Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone. Hasil analisis potensi sumberdaya cakalang di Zona Tengah dengan menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maksimum Sustainable

106 Hasil tangkapan (ton) 75 Yield) perikanan cakalang sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip ( Gambar 33) MSY = ton Y = 2,58x - 0,00014x 2 Fopt = trip Upaya Tangkap (trip). Gambar 33 Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Hasil analisis potensi sumberdaya cakalang di Zona Selatan dengan menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maksimum Sustainable Yield) perikanan cakalang sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip ( Gambar 34)

107 Hasil Tangkapan (ton) MSY = ton Y = 2,11x - 0,003x 2 Fopt = trip Upaya Tangkap (trip) Gambar 34 Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone. Hasil perhitungan CPUE cakalang dalam seluruh kawasan Teluk Bone disajikan Tabel 17. Tabel 17 Nilai CPUE (ton/trip) seluruh perikanan cakalang dalam seluruh kawasan Teluk Bone Tahun Total Produksi (ton) Total Upaya (trip) CPUE (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,001 Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 7) untuk seluruh kawasan Teluk Bone diperoleh nilai Fhitung = 0,06 (P>0,05), maka hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip). Nilai koefesien regresi b = 0,023 sedangkan nilai konstanta a = 12674,56, koefisien korelasi (r) = 0,08, sehingga model persamaan regresinya adalah y = 12674,56 + 0,023 x (Gambar 35).

108 CPUE Produksi (ton) , y = ,02x R 2 = 0, Upaya (trip) Gambar 35 Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap produksi (ton) dalam seluruh kawasan Teluk Bone. Selanjutnya berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 8) untuk seluruh kawasan diperoleh nilai Fhitung = 35,49 (P<0,05), maka hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara jumlah upaya (trip) terhadap CPUE dan keduanya mempunyai hubungan linier. Nilai koefesien regresi b = 0,00011 sedangkan nilai konstanta a = 2,633, koefisien korelasi (r) = 0,76, sehingga model persamaan regresinya adalah CPUE = 2,633 0,00011 upaya (Gambar 36). Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan produktivitas alat tangkap menurun dengan penambahan upaya (trip). 3,000 2,500 2, y = -0,00011x + 2,633 R 2 = 0,798 1,500 1,000 0, , Upaya (trip) Gambar 36 Garis regresi linier jumlah upaya (trip) terhadap CPUE dalam seluruh kawasan Teluk Bone.

109 Hasil Tangkpan (ton) 78 Hasil analisis potensi sumberdaya ikan cakalang dalam keseluruhan zona untuk pemanfaatan bersama (shared stock) dengan menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maxsimum Sustainable Yield, MSY) perikanan cakalang sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip (Gambar 37) MSY = ton Y = 2,5x - 0,000099x 2 Fopt = trip Upaya Tangkap (trip) Gambar 37 Nilai MSY dan Fopt untuk stok cakalang (Katsuwonus pelamis) dalam seluruh kawasan Teluk Bone. Berdasarkan hasil perhitungan pemanfaatan bersama stok sumberdaya perikanan cakalang (shared stok) dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang di teluk Bone pada masing-masing zona diperoleh bahwa untuk Zona Utara MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip, Zona Tengah MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip dan di Zona Selatan MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip. Jika dibandingkan nilai MSY dan Fopt pada masing-masing zona, yaitu Zona Utara MSY dan Fopt sebesar ton/tahun dan trip, Zona Tengah MSY dan Fopt sebesar ton/tahun dan trip dan di Zona Selatan MSYdan Fopt sebesar ton/tahun dan trip maka nilai pemanfaatan bersama ini lebih rendah.

110 79 Hasil perhitungan besarnya alokasi upaya penangkapan optimum setiap zona untuk memanfaatkan stok bersama disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Alokasi upaya (trip) penangkapan optimum pada zona Utara, Tengah dan Selatan untuk memanfaatkan stok bersama. Jenis alat Pole and line Purse seine Jaring insang hanyut Pancin g tonda Fopt SS (unit) Zona Utara Tengah Selatan Propor Aloka Propor Aloka Propor si (%) si (unit) si (%) si (unit) si (%) Fopt SS (unit) Fopt SS (unit) Aloka si (unit) Untuk tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan ikan cakalang di teluk Bone secara berkelanjutan sebaiknya menggunakan nilai MSY pemanfaatan bersama (shared stok) dengan mempertimbangkan precautionary approach (pendekatan kehati-hatian) pada perikanan tangkap. Pembahasan lebih detail dijelaskan pada Bab Pembahasan Produksi cakalang di Sulawesi Selatan sebagian besar dihasilkan dari pesisir kawasan Teluk Bone. Kontribusi kawasan Teluk Bone terhadap produksi cakalang di Sulawesi Selatan berkisar antara % dengan rata-rata 59 % per tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan 2006). Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Teluk Bone merupakan kawasan yang potensil dalam pengembangan sumberdaya ikan cakalang di Sulawesi Selatan. Namun demikian produksi ikan cakalang ini berfluktuasi dalam setahun. Jika berdasarkan kuartal, maka produksi tertinggi dicapai pada kuartal IV yakni bulan Oktober Desember, disusul kuartal III yakni bulan Juli September, selanjutnya kuartal I yakni bulan Januari Maret dan yang terendah pada kuartal II yakni dari bulan Maret Juni. Tingginya produksi pada kuartal IV (Oktober Desember) berhubungan dengan faktor angin musim yang terjadi di kawasan Teluk Bone, karena pada kuartal IV masih berlangsung angin barat. Pada angin barat tersebut arus permukaan teluk Bone relatif tenang dan mempengaruhi musim penangkapan ikan cakalang. Simbolon (2011) menyatakan bahwa angin

111 80 yang tidak kencang dan tidak terjadi ombak merupakan puncak musim penangkapan karena ikan cakalang akan cenderung berenang di permukaan dan operasi penangkapan cakalang juga cukup kondusif. Di kawasan Teluk Bone dikenal ada 4 (empat) musim penangkapan, yaitu musim Barat (Desember Pebruari), musim peralihan I (Maret Mei), musim Timur (Juni Agustus) dan musim peralihan II (September Nopember). Pada musim Barat dan musim Timur terjadi perbedaan kondisi di kawasan Teluk Bone. Pada musim Barat angin bertiup dari arah Barat, massa air di laut Flores berasal dari laut Jawa dan masuk ke kawasan Teluk Bone, pada musim ini ditandai dengan kondisi perairan yang teduh dan gelombang laut kecil. Sedangkan pada musim Timur angin bertiup dari sebelah Timur, massa air di laut Flores berasal dari laut Banda dan masuk ke kawasan Teluk Bone, pada musim ini ditandai dengan kondisi perairan yang bergelombang laut cukup besar. Pada musim Timur ini (sekitar bulan Juli) terjadi pengangkatan massa air dingin (upwelling) dibagian Timur laut Flores dan menurun kembali pada bulan Oktober (Nontji 1993), hal ini akan berpengaruh terhadap produksi hasil tangkapan cakalang di kawasan Teluk Bone. Selanjutnya Amiruddin (1993) menyatakan bahwa musim peralihan II (September Nopember) merupakan musim terbaik melakukan penangkapan di kawasan Teluk Bone khususnya di Kabupaten Luwu. Fluktuasi suhu permukaan laut bulanan dalam kurun waktu 2 tahun di sepanjang pantai kawasan Teluk Bone menunjukkan sebaran yang fluktuatif dengan pola perubahan yang cenderung sama. Hasil citra satelit (Lampiran 24) menunjukkan suhu permukaan laut relatif tinggi pada bulan Januari hingga April dan cenderung memiliki pola yang sama di sepanjang perairan kawasan Teluk Bone. Pada bulan Juni hingga Oktober suhu permukaan laut cenderung lebih rendah di banding bulan-bulan lainnya. Kecenderungan perubahan suhu permukaan laut tersebut disebabkan proses pencampuran massa air, sebagaimana terlihat dari hasil citra satelit pada bulan Mei dan Juni, massa air di Laut Flores terdapat massa air dengan suhu permukaan laut yang relatif lebih dingin. Proses percampuran massa air yang relatif dingin menyebabkan pada bulan Juni hingga Oktober suhu permukaan laut perairan kawasan Teluk Bone cenderung lebih rendah dibandingkan bulan lainnya. Kecenderungan perubahan ini di sebabkan oleh pengaruh munson di perairan Indonesia, pola kecepatan dan arah angin mempengaruhi arus permukaan laut. Bulan Maret angin barat semakin lemah dan bulan April kondisi angin tidak menentu dan kondisi ini sebagai masa peralihan ke munson Timur

112 81 (Birowo 1982). Nontji (1993) menyatakan bahwa di Teluk Bone dan Laut Flores kemungkinan terjadi pengangkatan massa air (up welling) dalam skala kecil. Pengangkatan massa air ini diduga terjadi pada bulan Maret dan mencapai permukaan pada bulan Juli dan menurun kembali pada bulan Oktober. Dari citra NOOA/AVHRR bulan Juli sampai September 1998 terlihat massa air dingin di bagian Timur Laut Flores. Kondisi seperti ini diperkirakan ada hubungannya dengan massa air dingin dari Laut Banda yang pada saat yang sama terjadi penaikan massa air di Laut Banda yang berpengaruh terhadap musim penangkapan cakalang di Teluk Bone (Amiruddin 1993 dan Hengky 2002). Suhu permukaan laut yang diperoleh dari citra dalam kurun waktu 2 tahun berkisar antara 27,0 31,7 0 C. Variasi suhu tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengaruh massa air yang masuk ke dalam kawasan teluk Bone, penaikan massa air (upwelling), pengaruh daratan dan kedalaman perairan. Suhu disekitar perairan pantai lebih tinggi dibandingkan di laut lepas, karena pada perairan pantai lebih dangkal sehingga penetrasi matahari lebih efektif menjangkau permukaan sampai ke dasar perairan. Suhu di sekitar perairan pantai kawasan teluk Bone berkisar antara C dan di laut lepas C (Nessa et al. 2002). Nilai salinitas selama penelitian menunjukkan sebaran yang fluktuatif dengan pola perubahan yang cenderung sama. Nilai salinitas yang diperoleh adalah nilai salinitas yang diukur pada saat kapal melakukan setting. Nilai salinitas ini lebih tinggi dibandingkan nilai salinitas yang dilaporkan oleh DKP (2006) yaitu o / oo. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh lokasi pengambilan sampel, pasang surut dan musim. Lokasi pengambilan sampel yang dekat muara sungai akan menurunkan nilai salinitas karena dilusi air tawar dari sungai yang memiliki salinitas rendah. Selanjutnya menurut Nessa et al. (2002) menyatakan bahwa variasi salinitas di Teluk Bone tidak hanya dipengaruhi oleh pasang surut namun juga bergantung pada musim baik pada lapisan permukaan dan lapisan bawah. Nilai salinitas pada musim Timur lebih rendah dari musim Barat. Jika dihubungkan dengan aspek bioekologi cakalang maka salinitas di Teluk Bone merupakan salinitas yang dapat ditoleransi oleh cakalang. Toepoer (1976 diacu dalam Simbolon 2011) mengemukakan bahwa salinitas yang cocok untuk cakalang berkisar antara o / oo, sedangkan Gunarso (1985) juga mengemukakan bahwa cakalang hidup pada perairan dengan salinitas o / oo. Sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan kawasan Teluk Bone dalam kurun waktu 2 tahun menunjukkan bahwa di Zona Utara lebih tinggi dibandingkan

113 82 Zona Tengah dan Selatan, sehingga dapat dikatakan bahwa pada Zona Utara ini memiliki produktivitas yang tinggi dibandingkan kedua zona lainnya, karena di Zona Utara perairannya lebih dangkal di badingkan Zona Tengah dan Selatan sehingga penetrasi sinar matahari hampir menembus kolom air menyebabkan proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Produktivitas perairan berkaitan dengan proses percampuran massa air dari lapisan bawah yang kaya nutrien ke lapisan permukaan dan di bantu cahaya akan terjadi proses fotosintesa oleh fitoplankton (Birowo 1982 ; Tubalawony et al. 2007). Dengan demikian banyaknya konsentrasi klorofil-a dapat dijadikan ukuran produktivitas suatu perairan. Untuk mengeksploitasi cakalang, maka nelayan menggunakan alat tangkap yang khusus yaitu pole and line, meskipun cakalang dapat pula tertangkap oleh alat tangkap yang lain sebagai hasil tangkapan sampingan. Produksi yang dihasilkan dari pole and line mencapai 62,12 %. Meskipun produksi yang dihasilkan cukup tinggi namun bukan berarti tidak ada permasalahan yang dihadapi. Masalah utama yang dihadapi nelayan adalah ketersediaan umpan hidup baik secara kualitas maupun kuantitas. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan sangat tergantung oleh ketersediaan umpan hidup. Jenis umpan hidup yang digunakan adalah dari jenis teri. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh nelayan Sorong yang menggunakan pula jenis teri yaitu Stolephorus zollongeri and S. celebicus (Gafa 1986 diacu dalam Rosana 1994). Umpan hidup ini memiliki karakteristik tersendiri seperti warna yang menarik, ukuran 3-6 cm, daya tahan hidupnya lama dan selalu tinggal dekat dengan kapal saat di tebar ke laut. Nilai produksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya upaya, hal ini terlihat dari Gambar 21, 23, 25 dan 30, baik pada masing-masing zona dalam teluk maupun seluruh kawasan dalam teluk. Meskipun produksi meningkat namun produktivitas setiap unit mengalami penurunan, hal ini terlihat dari nilai CPUE pada masing-masing zona yaitu Utara, Tengah dan Selatan semakin menurun dengan penambahan upaya (trip). Demikian juga dengan nilai MSY dan Upaya optimum yang sudah terlampaui, sehingga dengan demikian pertambahan upaya (trip) sudah tidak lagi berpengaruh terhadap peningkatan hasil tangkapan per unit upaya. Kemungkinan menurunnya CPUE juga karena tidak menentunya lokasi penangkapan ikan serta akibat pengaruh perubahan kondisi alam/lingkungan (cuaca, angin, salinitas, musim) terhadap populasi dan komunitas sumberdaya. Menurut Potier et al. (1988) stok ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan lingkungan terutama penyebaran salinitas secara

114 83 spasial yang dibangkitkan oleh angin munson. Selanjutnya menurut Boely et al. (1990) pengaruh kondisi lingkungan perairan memegang peranan yang signifikan dalam perubahan CPUE (catch per effort unit) sedang angin dan hujan berpengaruh langsung terhadap kegiatan penangkapan dan hasil tangkapan. Hal tersebut merupakan indikator bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang tersebut sudah tinggi. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi yang wajar dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat terbuka (open access). Dengan demikian maka harus segera diambil tindakan pengelolaan yang tepat misalnya dengan cara tidak menambah (status quo) jumlah alat tangkap agar pemanfaatan sumberdaya cakalang dapat berkelanjutan dan terjamin kelestariannya. Pemanfaatan bersama stok sumberdaya perikanan cakalang (shared stok) pada masing-masing zona dalam kawasan Teluk Bone adalah salah satu teknik pengelolaan perikanan. Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa shared stok dapat dilakukan dengan (1) melakukan pengendalian terhadap kuota hasil tangkapan per jenis atau kelompok jenis dan bila memungkinkan juga per wilayah dan (2) Pengendalian terhadap kuota upaya penangkapan Metode yang dipakai untuk menghitung nilai MSY adalah dengan mengolah data sekunder tentang produksi ikan berupa hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort), berupa jumlah unit atau trip alat tangkap yang digunakan. Untuk menentukan nilai MSY digunakan model produksi surplus menurut Shaefer. Namun kelemahan dari metode ini adalah karena lebih cocok digunakan untuk monospecies, sementara di negara beriklim tropis seperti Indonesia yang jenis ikannya multispecies maka metode ini memberikan hasil yang kurang tepat Kesimpulan (1) Alat tangkap yang khusus digunakan untuk menangkap cakalang di kawasan Teluk Bone adalah pole and line, namun dapat pula tertangkap oleh alat lain seperti purse seine, jaring nsang hanyut dan pancing tonda. (2) Lokasi penangkapan cakalang dilakukan pada daerah rumpon atau pada daerah-daerah yang dimana terdapat banyak burung-burung yang beterbangan atau kawanan ikan lumba-lumba. (3) Nilai suhu di Zona Utara adalah 28,8-31,7 0 C, Zona Tengah 27,9-31,5 0 C dan Zona Selatan 27,0-31,1 0 C; konsentrasi klorofil-a di Zona Utara

115 84 adalah 0,26-0,78 mg/m 3, Zona Tengah 0,14-0,38 mg/m 3 dan Zona Selatan 0,17-0,31 mg/m 3 ; salinitas di Zona Utara adalah 32,4-33,8 o / oo, Zona Tengah 32,6-33,9 o / oo, dan Zona Selatan adalah 32,5-33,8 o / oo. (4) Nilai CPUE yang diperoleh di Zona Utara dari tahun berkisar antara 1,018 2,295 ton/trip, di Zona Tengah berkisar antara 0,383 3,059 ton/trip dan di Zona Selatan berkisar antara 1,067 2,040 ton/trip. Nilai dugaan potensi maksimum lestari (maksimum sustainable yield) perikanan cakalang di Zona Utara sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip, di Zona Tengah sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip dan di Zona Selatan sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip (5) Nilai MSY dan Fopt dalam seluruh kawasan teluk Bone dalam rangka pemanfaatan bersama sumberdaya perikanan cakalang (shared stok) pada masing-masing zona diperoleh bahwa untuk Zona Utara MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip, Zona Tengah MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip dan di Zona Selatan MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip. (6) Alokasi upaya (trip) penangkapan optimum pada Zona Utara alat tangkap pole and line sebesar 668 unit, purse seine 65 unit, jaring insang hanyut 161 unit dan pancing tonda 116 unit ; Zona Tengah alat tangkap pole and line sebear unit, jairng insang hanyut sebesar unit dan pancing tonda unit; dan Zona Selatan alat tangkap pole and line sebesar unit, purse seine sebesar unit, jaring insang hanyut sebesar 378 unit dan pancing tonda sebesar 623 unit. (7) Penambahan upaya (trip) akan menurunkan CPUE (ton/trip) hal ini berarti penambahan trip telah menyebabkan sumberdaya ikan cakalang berkurang.

116 5 BIOLOGI PERIKANAN IKAN CAKALANG 5.1 Pendahuluan Sumberdaya cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) namun tingkat kecepatan pemulihannya dapat saja tidak seimbang dengan laju pemanfaatan. Oleh karena itu pemerintah bertanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Cakalang merupakan salah satu jenis sumberdaya ikan terpenting baik sebagai komoditi ekspor maupun sebagai bahan konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu penambahannya di dalam devisa negara cukup berarti. Di negaranegara maju seperti Jepang, Korea dan Amerika Serikat penelitian terhadap cakalang sudah dilakukan, baik menyangkut aspek biologi, distribusi dan teknik penangkapannya. Di Indonesia penelitian seperti itu belum banyak dilakukan sehingga informasi yang tersedia masih kurang sekali (Wouthuyzen et al diacu dalam Manik 2007). Hal ini disebabkan karena selama ini perhatian lebih dipusatkan pada masalah penangkapan saja. Kegiatan usaha penangkapan ikan di Teluk Bone saat ini berlangsung secara bebas (open access) tanpa aturan dan pengendalian yang jelas sehingga semua nelayan dan alat tangkap yang ada di daerah pesisir kabupaten/kota bebas mengakses untuk menangkap cakalang. Hingga saat ini penangkapan cakalang dilakukan tanpa pengaturan yang jelas sesuai dengan kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan. Nelayan memiliki kecenderungan kapan dan di mana saja dengan bebas melakukan penangkapan termasuk ikan yang masih berukuran belum layak tangkap. Untuk keperluan pengelolaan sumberdaya ikan, maka informasi tentang karakteristik biologi cakalang menjadi hal yang sangat penting. Karakteristik biologi ikan dijabarkan secara rinci untuk keperluan pengelolaan sumberdaya perikanan bertanggung jawab. Untuk itu telah dilakukan identifikasi terhadap kondisi biologi cakalang yang meliputi hubungan panjang dan berat ikan, komposisi ukuran ikan, pertumbuhan, length at first maturity (lm) panjang pertama kali ikan matang gonad, dan ukuran ikan yang layak tangkap (legal size).

117 Tujuan Spesifik Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis data biologis cakalang yaitu komposisi ukuran, panjang berat, pertumbuhan dan length at first maturity (lm) sebagai landasan untuk menyusun pengelolaan perikanan cakalang di kawasan Teluk Bone. 5.3 Metode Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari sampai Desember 2007 di Perairan Kawasan Teluk Bone. Sebagai lokasi pengambilan data maka kawasan Teluk Bone dibagi dalam tiga zona (Tabel 4 dan Gambar 6). Data biologi ikan yang dikumpulkan adalah data panjang dan berat ikan. Data ini diperoleh dari hasil tangkapan nelayan pole and line pada setiap trip penangkapan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di lokasi penelitian. Data diambil dari 2 buah kapal pada setiap lokasi pendararatan ikan. Data panjang dan berat ikan diukur dari sampel ikan yang dipilih secara acak dari tempat penampungan ikan. Potier dan Sadhotomo (1991) dan Supranto (2007) menyatakan bahwa sampel dapat digunakan untuk menjelaskan suatu populasi yang sebenarnya. Jumlah sampel ikan yang diukur panjang dan beratnya adalah sebanyak 25 ekor per trip. Untuk mengetahui apakah sampel merupakan representasi dari populasi maka dilakukan uji satu sampel untuk ratarata dengan menggunakan uji t (Santoso dan Ashari 2005; Wibisono 2005). Selain data panjang sampel dilakukan pula estimasi terhadap data panjang hasil tangkapan per trip yaitu dengan membagi antara hasil tangkapan per trip dengan 25 (jumlah sampel) dikalikan kisaran panjang yang digunakan untuk analisis parameter pertumbuhan dan struktur ukuran. Pengukuran panjang ikan dilakukan dengan menggunakan measuring board dengan ketelitian 0,1 cm. Batas pengukuran panjang dimulai dari ujung mulut sampai ujung bagian dalam ekor (fork length). Berat ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan pegas dengan kapasitas 21 kg dengan ketelitian 0,1 kg Hubungan panjang berat Hubungan panjang (L) dan berat (W) ikan dilakukan secara terpisah antara ikan contoh di Zona Utara, Zona Tengah dan Zona Selatan. Perhitungan hubungan panjang dan berat mengacu pada rumus Effendie (1997) ; Fafioye and Oluajo (2005) ; dan Kalayci et al. (2007) yaitu:

118 87 W = a L b Keterangan : W = berat tubuh (g) L = panjang cagak (cm) a dan b = konstanta Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara panjang dan berat cakalang. Besaran b pada hubungan panjang dan berat ikan merupakan indikator bentuk tubuh ikan cakalang (ramping, isometrik atau montok). Nilai b = 3 berarti pertumbuhannya isometrik yaitu pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat. Niali b > 3 atau b < 3 berarti pertumbuhannya allometrik atau pertambahan panjang lebih lambat atau lebih cepat dari pertambahan berat, jika nilai b < 3 allometrik negatif (ramping) dan b > 3 allometrik positif (montok). Untuk menguji nilai b = 3 dilakukan uji t (t-test) pada α = 5 % (Sparre dan Venema 1999) dengan rumus : t hitung = 3 s / b n di mana b adalah nilai hitung perbandingan panjang dan berat ikan, s adalah standar deviasi, n adalah jumlah sampel. Jika t hitung lebih besar dari t tabel (95 % = nyata), maka nilai b tersebut adalah tidak sama dengan 3 atau hubungan panjang dan berat ikan adalah allometrik positif ( b > 3) dan allometrik negatif (b < 3). Namun jika t hitung lebih kecil dari t tabel maka nilai tersebut adalah sama dengan 3 atau hubungan panjang dan berat ikan simetris. Untuk menguji nilai koefisien b pada masing-masing zona dilakukan dengan membandingkan nilai selang kepercayaan (b±sd) tersebut. Jika nilai selang kepercayaan (b±sd) masing-masing zona tidak saling bersinggungan maka nilai koefien b berbeda dan jika nilai selang kepercayaan (b±sd) masingmasing zona saling bersinggungan maka nilai koefien b tidak berbeda Komposisi ukuran Komposisi ukuran ikan sampel pada setiap zona di kawasan Teluk Bone terlebih dahulu dianalisis dengan uji t satu sampel untuk menguji apakah sampel adalah representasi dari populasi, kemudian dibuat kelas panjang untuk menentukan frekuensi ukuran. Selanjutnya dibuat grafik dengan menggunakan program Microsoft Exel 2007.

119 Analisis parameter pertumbuhan Untuk menduga pertumbuhan cakalang terlebih dahulu ditentukan frekuensi panjang ikan. Selanjutnya ditentukan kelompok umur ikan dengan metode Tanaka. Hasil pengelompokan cohort terhadap data frekuensi panjang diperoleh panjang rata-rata dari tiap kelompok umur. Nilai panjang rata-rata tersebut kemudian diplot terhadap umur sehingga diperoleh bentuk kurva pertumbuhannya. Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinity (L ) diperoleh berdasarkan pada metode Forl-Walford (Sparre dan Venema, 1999), yaitu dengan cara meregresikan panjang ikan pada umur t (Lt) dengan panjang ikan pada umur t+1 (Lt+1), sehingga didapat persamaan parameter pertumbuhan K = -Ln b dan L = a/(1-b), kemudian untuk menghitung nilai t 0 yang merupakan umur teoritis ikan digunakan rumus empiris Pauly (1983) yaitu : Log (-t 0 ) = log L - 1,038 Log K Setelah mengetahui nilai-nilai K, L dan t 0 dapat ditentukan model pertumbuhan serta hubungan umur dan panjang cakalang dari kawasan Teluk Bone dengan memasukkan nilai-nilai parameter pertumbuhann tersebut ke dalam model pertumbuhan von Bertalanffy sebagai berikut : Lt = L (1- e-k(t-t0) ) Keterangan : Lt : panjang umur ikan pada saat umur t L : panjang infinity K : koefisien pertumbuhan t : waktu t 0 : umur pada saat panjangnya sama dengan nol Ukuran layak tangkap Ukuran ikan layak tangkap adalah ukuran ikan yang lebih besar dari ukuran panjang ikan saat pertama kali matang gonad (length at first maturity = Lm). Untuk memperoleh nilai Lm dilakukan dengan cara membuat kurva sigmoid antara nilai tengah kelas dengan proporsi (%) ikan cakalang contoh yang mature. Perpotongan antara F 50 dengan kurva sigmoid adalah nilai Lm (Claereboudt et al. 2004).

120 Hasil Hubungan panjang dan berat ikan Hubungan panjang dan berat ikan pada Zona Utara, Tengah dan Selatan dalam kawasan Teluk Bone selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 39, 40 dan 41. Hasil analisis panjang berat terhadap ikan contoh n = 4200 ekor di Zona Utara, n = 3700 ekor di Zona Tengah dan n = 3775 ekor di Zona Selatan diperoleh koefisien a masing-masing 0,0006, 0,0003 dan 0,0004, kemudian nilai koefisien b di Zona Utara diperoleh 2,5055, di Zona Tengah 2,5999 dan di Zona Selatan 2,7733. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata ikan di Zona Selatan lebih gemuk (berat persatuan panjang) dibanding zona lainnya. Nilai koefien determinasi (R 2 ) dari hubungan panjang berat pada masing-masing zona adalah Utara 0,93, Tengah 0,85 dan Selatan 0,92. Hal ini menunjukkan bahwa % persamaan tersebut dapat menjelaskan secara tepat hasil yang diperoleh. Dengan memasukkan nilai koefisien a dan b ke dalam persamaan W = a L b, diperoleh sbb : Zona Utara : W = 0,0006 L 2,5055 Zona Tengah : W = 0,0003 L 2,5999 Zona Selatan : W = 0,0004 L 2,7733 Nilai Koefisien b menunjukkan keseimbangan pertumbuhan panjang dan berat ikan; nilai koefisien b memiliki trend meningkat mulai dari 2,5055 di Zona Utara, 2,5999 di Zona Tengah dan 2,7733 di Zona Selatan. Hasil analisis nilai b dari masing-masing zona menunjukkan bahwa nilai t hit < t tab 0,05 atau nilai b = 3. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh cakalang di kawasan Teluk Bone memiliki pola isometrik atau pertambahan panjang tubuh sama dengan pertambahan berat. Meskipun cakalang di setiap zona dalam kawasan Teluk Bone berpola isometrik, namun koefisien b pada masing-masing zona berbeda (Tabel 18 dan Gambar 38).

121 90 Tabel 19 Nilai selang kepercayaan koefisien b pada setiap zona dalam kawasanteluk Bone Nilai Zona Utara Tengah Selatan Rata-rata (b) 2,5055 2,5999 2,7723 (langsing) (sedang) (gemuk) Standar deviasi (sd) 0,0025 0,0014 0,0019 Selang kepercayaan (b±sd) 2,5030-2,5080 2,5985-2,6013 2,7714-2,7752 K o e f b U T S Zona Gambar 38 Perbandingan nilai koefisien b cakalang pada Zona Utara, Tengah dan Selatan Berdasarkan Tabel dan Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai selang kepercayaan pada masing-masing zona tidak ada yang bersinggungan sehingga nilai koefisien b berbeda pada zona Utara, Tengah dan Selatan Komposisi ukuran panjang ikan Struktur ukuran cakalang yang tertangkap dengan alat pole and line pada masing-masing zona dalam kawasan Teluk Bone dapat dilihat pada Gambar 42, 43 dan 44. Pada Gambar 42 terlihat bahwa kisaran panjang cagak (FL) cakalang yang tertangkap di Zona Utara berkisar antara 29,2-61,0 cm, panjang minimal diperoleh pada bulan Januari dan Pebruari yaitu 29,2 cm, sedangkan panjang maksimal diperoleh pada bulan Juni dan Desember yaitu 61,0 cm. Komposisi ukuran ikan cakalang yang tertangkap dengan pole and line dari bulan Januari mengalami peningkatan ukuran hingga bulan Juni, bahkan sejak bulan April sudah diperoleh ikan-ikan yang memiliki ukuran lebih besar dari Lm (46,5 cm), tapi masih didominasi oleh ukuran-ukuran yang lebih kecil dari Lm. Selanjutnya

122 91 pada bulan Mei dan Juni ukuran ikan sudah didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran besar dari Lm dan kemungkinan ikan-ikan tersebut sudah melakukan reproduksi. Pada bulan Juli sampai Desember ukuran ikan yang tertangkap memiliki pola yang sama di mana jumlah ikan kecil dan besar jumlahnya hampir sama, namun sejak bulan Oktober kisaran ukurannya sangat lebar (mencapai 38,5-61,5 cm). Kisaran panjang cagak (FL) cakalang yang tertangkap di Zona Tengah berkisar antara 29,8-61,0 cm, panjang minimal diperoleh pada bulan Januari yaitu 29,8 cm sedangkan panjang maksimal diperoleh pada bulan Juni dan Desember yaitu 61,0 cm. Panjang minimal diperoleh pada bulan Januari yaitu 29,0 cm sedangkan panjang maksimal diperoleh pada bulan Juni yaitu 61,0 cm (Gambar 43). Pada gambar tersebut terlihat bahwa komposisi ukuran cakalang yang tertangkap dengan pole and line dari bulan Januari mengalami peningkatan ukuran hingga bulan Juni, bahkan sejak bulan Pebruari sudah diperoleh dalam jumlah yang sedikit ikan-ikan yang memiliki ukuran lebih besar dari Lm (46,5 cm), namun masih didominasi oleh ukuran-ukuran yang lebih kecil dari Lm. Selanjutnya pada bulan Mei dan Juni ukuran ikan yang diperoleh masih terdapat yang berukuran lebih kecil dari Lm namun sudah didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran besar dari Lm dan kemungkinan ikan-ikan besar tersebut telah melakukan reproduksi. Pada bulan Juli sampai Desember ukuran cakalang yang tertangkap memiliki pola yang sama di mana jumlah cakalang kecil dan besar hampir sama, namun pada bulan Nopember kisaran ukurannya sangat lebar (mencapai 40,5-61,5 cm). Kisaran panjang cagak (FL) cakalang yang tertangkap di Zona Selatan berkisar antara 29,0-64,0 cm, panjang minimal diperoleh pada bulan Januari yaitu 29,0 cm sedangkan panjang maksimal diperoleh pada bulan Juni yaitu 64,0 cm (Gambar 44). Pada gambar tersebut terlihat bahwa komposisi ukuran cakalang yang tertangkap dengan pole and line dari bulan Januari mengalami peningkatan ukuran hingga bulan Juni, bahkan sejak bulan Maret sudah diperoleh dalam jumlah yang sedikit cakalang yang memiliki ukuran lebih besar dari Lm (46,5 cm), namun masih didominasi oleh ukuran-ukuran yang lebih kecil dari Lm. Selanjutnya pada bulan Mei sampai September ukuran cakalang yang diperoleh masih terdapat yang berukuran kecil dari Lm namun sudah didominasi oleh cakalang yang berukuran besar dari Lm terutama pada bulan Juli seluruh cakalang yang tertangkap lebih besar dari Lm, dan kemungkinan ikan-ikan besar tersebut telah melakukan reproduksi. Pada bulan Oktober sampai Desember ukuran ikan yang tertangkap memiliki pola yang sama di mana jumlah cakalang

123 92 kecil dan besar jumlahnya hampir sama, namun pada bulan Nopember kisaran ukurannya sangat lebar (mencapai 40,5-56,5 cm). Adapun untuk hasil analisia frekuensi panjang cakalang dengan metode Tanaka diperoleh 4 (empat) kelompok umur (Tabel 19) dengan modus ukuran atau panjang rata-rarta 38,4 cm, 45,5 cm, 49,3 cm dan 54,9 cm. Rataan, range dan standar deviasi panjang cagak (FL) cakalang pada setiap zona menunjukkan trend yang sama di mana peningkatan dimulai dari bulan Januari hingga bulan Juni dan stabil pada bulan-bulan berikutnya (Gambar 45, 46 dan 47). Dalam periode bulan Januari hingga bulan April, rataan FL cakalang di Zona Utara umumnya lebih kecil dibandingkan dengan FL di Zona Tengah dan Selatan, namun mulai bulan Mei hingga bulan Desember hampir sama rataan ukuran FL setiap bulan pada masing-masing zona adalah sebagai berikut : Zona Utara terkecil pada bulan Januari yaitu 31,5±1,66 cm dan terbesar bulan Juni yaitu 52,9±3,38 cm; Zona Tengah terkecil pada bulan Januari yaitu 38,4±3,83 cm dan terbesar pada bulan Juni yaitu 49,9±4,19 cm dan Zona Selatan terkecil pada bulan Januari yaitu 34,7±3,01 cm dan terbesar pada bulan Juni yaitu 56,6±3,16 cm. Kelompok ukuran cakalang dengan frekuensi terbesar di Zona Utara adalah kelas 45,0-45,9 cm (8,8 %), pada Zona Tengah adalah kelas 45,0-45,9 cm (11,30 %) dan pada Zona Selatan adalah kelas 50,0-50,9 cm (8,1 %). Kelas panjang yang banyak tertangkap ini umumnya sama dengan yang tertangkap di tempat lain. 5.3 Parameter pertumbuhan Hasil analisis frekuensi panjang menggunakan metode Tanaka menghasilkan 4 kelompok umur (Tabel 19), yaitu : Kelompok umur pertama lebih muda dari kelompok umur berikutnya sejalan dengan semakin bertambah panjangnya ukuran ikan. Analisis pertumbuhan berdasarkan metode Tanaka yang dilanjutkan dengan analisis metode plot Ford Walford menghasilkan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dari cakalang di perairan Teluk Bone yang disajikan pada Tabel 20.

124 93 Tabel 20 Kelompok umur cakalang (K.pelamis) di kawasan Teluk Bone Umur (t) L(t) L(t + dt) 1 38,4 45,5 2 45,5 49,3 3 49,3 54,9 4 54,9 Tabel 21 Nilai dugaan parameter pertumbuhan cakalang di kawasan Teluk Bone Parameter pertumbuhan L (cm) K (bulan) t ,19 0,36 Setelah memasukkan nilai parameter pertumbuhan ke dalam persamaan von Bertalanffy diperoleh Lt = 76{ 1 e 0,19 (t + 0,36) } dengan bentuk kurva seperti pada Gambar 48. Persamaan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa cakalang mencapai FL maksimum (L ) sebesar 76 cm pada umur 84 bulan. 5.4 Ukuran layak tangkap Keberlanjutan perikanan tangkap sebaiknya didukung oleh peraturan yang menetapkan ukuran ikan yang layak tangkap. Salah satu kriteria ikan layak ditangkap adalah memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad (length at first maturity, Lm). Berdasarkan kurva sigmoid proporsi ikan yang matang gonad diperoleh Lm cakalang di teluk Bone adalah 46,5 cm (Gambar 49). Berdasarkan nilai Lm dapat diketahui bahwa ukuran ikan layak tangkap di Zona Utara dan Tengah > 46,5-61,9 cm, sedangkan ukuran ikan layak tangkap di Zona Selatan > 46,5-64,9 cm. Kelompok cakalang yang layak tangkap di Zona Utara umumnya dijumpai pada bulan April hingga Desember, di Zona Tengah pada bulan Februari hingga Desember sedangkan di Zona Selatan pada bulan Maret hingga Desember (Gambar 50, 51 dan 52). Proporsi tertinggi ikan layak tangkap berdasarkan zona didapatkan pada Zona Tengah 56,1 %, selanjutnya Zona Selatan 56,0 % dan terendah pada Zona Utara 45,4 % (Tabel 21). Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap dengan ukuran yang tidak layak untuk dalam kawasan Teluk Bone adalah 43,9-54,6 %. Tingginya ukuran ikan yang tidak layak tangkap menggambarkan

125 Berat (g) 94 bahwa nelayan belum mengetahui bulan-bulan penangkapan yang tidak berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan usaha penangkapan mereka. Tabel 22 Proporsi sampel cakalang layak tangkap di setiap zona Teluk Bone Zona Proporsi (%) Layak tangkap Tidak layak tangkap Utara 45,4 54,6 Tengah 56,1 43,9 Selatan 56,0 44,0 Berdasarkan ukuran ikan layak tangkap tersebut, spesifikasi alat untuk menangkap cakalang dapat ditentukan untuk mendukung keberlanjutan perikanan tangkap. Misalnya, ukuran mata jaring untuk jaring insang dan pancing untuk pole and line. Pengaturan spesifikasi alat tangkap ini merupakan jenis pengendalian input perikanan (King 1995) W= 0,0006 L 2, Panjang (cm) Gambar 39 Hubungan panjang (cm) dan berat (g) cakalang di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone.

126 Berat (g) Berat (g) W = 0,0003 L 2, Panjang (cm) Gambar 40 Hubungan panjang (cm) dan berat (g) cakalang di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone W = 0,0004 L 2, Panjang (cm) Gambar 41 Hubungan panjang (cm) dan berat (g) cakalang di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone.

127 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi Januari N = Juli N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Februari N = Agustus N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Maret N = September N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) April N = Oktober N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Mei N = Nopember N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Juni N = Desember N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Gambar 42 Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap pole and line di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone selama penelitian.

128 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Nop 30,5 32,5 34,5 36,5 38,5 40,5 42,5 44,5 46,5 48,5 50,5 52,5 54,5 56,5 58,5 60,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Okt 30,5 32,5 34,5 36,5 38,5 40,5 42,5 44,5 46,5 48,5 50,5 52,5 54,5 56,5 58,5 60,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 Frekuensi Frekuensi Januari N = Juli N = Nilai Tengh kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Februari N = Agustus N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Maret N = September N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) April N = Oktober N = Nilai Tengah kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Mei N = Nopember N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Juni N = Desember N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Gambar 43 Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap pole and line di Zona Tengah dalam Kawasan Teluk Bone selama penelitian.

129 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 Frekuensi Frekuensi 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 Frekuensi Frekuensi Januari N = Juli N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Februari N = Agustus Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelaas (cm) Maret N = September N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) April N = Oktober N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Mei N = Nopember N = Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Juni N = Desember Nilai Tengah Kelas (cm) Nilai Tengah Kelas (cm) Gambar 44 Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap pole and line di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone selama penelitian.

130 Standar deviasi (cm) Range (cm) Rataan (cm) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Bulan Zona Utara Zona Tengah ZonaSelatan Gambar 45 Rataan panjang (cm) cakalang (K. pelamis) pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Bulan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Gambar 46 Range panjang (cm) cakalang (K. pelamis) pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Bulan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Gambar 47 Standar deviasi panjang cakalang (K. pelamis) pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone.

131 29,5 31,5 33,5 35,5 37,5 39,5 41,5 43,5 45,5 47,5 49,5 51,5 53,5 55,5 57,5 59,5 61,5 63,5 Proporsi (%) Panjang cagak (cm) L = 76 cm L m = 46,5 cm umur 5 bulan Umur (bulan) Gambar 48 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy cakalang di kawasan Teluk Bone Lm=46,5 cm Tengah kelas panjang (cm) Gambar 49 Nilai Lm (length at first maturity) cakalang pada kawasan Teluk Bone.

132 Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%) Zona Utara Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Bulan layak Tangkap Tidak Layak Tangkap Gambar 50 Ukuran cakalang layak tangkap di Zona Utara dalam kawasan Teluk Bone. 50 Zona Tengah Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Bulan layak tangkap Tidak Layak Tangkap Gambar 51 Ukuran cakalang layak tangkap di Zona Tengah dalam kawasan Teluk Bone Zona Selatan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Bulan layak tangkap Tidak Layak Tangkap Gambar 52 Ukuran cakalang layak tangkap di Zona Selatan dalam kawasan Teluk Bone.

133 Pembahasan Ukuran panjang ikan (FL) di analisis berdasarkan rataan, range dan standar deviasi. Rataan ikan di Zona Utara umumnya lebih kecil di bandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan hingga bulan April dan mencapai maksimum pada bulan Juni. Perubahan ukuran menjadi lebih besar selama kurang lebih 2 bulan di Zona Utara yakni dari bulan Mei-Juni. Ini memberikan inidikasi terjadinya migrasi atau perpindahan cakalang yang umumnya berukuran lebih besar ke Zona Utara yang dimulai setelah bulan April terutama yang berasal dari Zona Tengah (Gambar 39). Migrasi cakalang ini kemungkinan berhubungan dengan ketersedian makanan di Zona Utara yang lebih banyak dibanding Zona Tengah, hal ini terlihat dari konsentrasi klorofil-a di Zona Utara yang mencapai 0,3-0,7 mg/m 3 dan di Zona Tengah konsentrasi klorofil-a hanya mencapai 0,2-0,3 mg/m 3. Klorofil-a merupakan faktor yang dapat memberikan indikasi langsung keberadaan makanan ikan maupun jalur wilayah migrasi ikan tuna (Polovina et al. 2001). Kandungan klorofil-a dapat juga digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan. Daerah-daerah dengan nilai klorofil-a tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air / upwelling (Nontji 1993). Range ukuran panjang ikan (FL) di Zona Utara lebih besar dibandingkan di Zona Tengah dan Selatan. Ukuran panjang ikan yang relatif seragam diperoleh di Zona Tengah dan Selatan. Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap dengan pole and line pada masing-masing zona memiliki pola yang hampir sama yaitu bulan Januari mengalami peningkatan ukuran hingga bulan Juni, bahkan sejak bulan April sudah diperoleh cakalang yang memiliki ukuran lebih besar dari Lm (46,5 cm), tapi masih didominasi oleh ukuran-ukuran yang lebih kecil dari Lm. Selanjutnya pada bulan Mei dan Juni ukuran cakalang sudah didominasi yang berukuran besar dari Lm dan kemungkinan ikan-ikan tersebut sudah melakukan reproduksi (pemijahan). Waktu pemijahan cakalang berlangsung sepanjang tahun di perairan equator dan bulan Januari, Pebruari, Maret, April, Nopember dan Desembar di perairan Coral Sea Australia (Froose and Pauly 2011) dan bulan April sampai Juli (Matsumoto et al. 1984). Hal ini berarti komposisi ukuran cakalang hampir selalu terdiri dari ikan-ikan kecil dan besar karena pemijahan terjadi pada bulan-bulan sebelumnya. Hasil analisis frekuensi panjang cakalang dengan metoda Tanaka pada kawasan Teluk Bone terdiri dari 4 (empat) kelompok umur dengan modus ukuran

134 103 atau panjang rata-rata untuk cakalang adalah 38,4 cm, 45,5 cm, 49,3 cm dan 54,9 cm. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suhendrata et al. (1986 diacu dalam Hukom et al. 1991) memperoleh 3 kelompok umur cakalang yang tertangkap dengan alat pole and line di perairan sorong dengan menggunakan analisis modus yaitu 37 cm, 54 cm dan 64 cm, selanjutnya diperoleh 4 kelompok umur cakalang yang tertangkap di laut Banda yaitu 41 cm, 58 cm, 67 cm dan 72 cm, sedangkan kelompok umur cakalang yang tertangkap di Pelabuhan Ratu dengan metode analisis modus diperoleh 4 kelompok umur yaitu 33 cm, 50 cm, 57 cm dan 66 cm. Selanjutnya Sumadhiharga dan Hukom (1987) menyatakan bahwa sebaran frekwensi panjang cagak dari 5040 ekor cakalang yang di ukur menunjukkan panjang minimum 30,0 cm dan panjang maksimum 69,9 cm, dengan kelompok ikan yang dominan terletak pada selang kelas 45,0 55,9 cm. Cakalang mulai matang gonad pada panjang cagak 49,0 cm untuk ikan jantan dan betina 47,0 cm. Uktolseja (1987) menemukan frekuensi panjang cagak cakalang di perairan sebelah timur Sulawesi Tengah tersebar di antara 27,1-57,7 cm. Sedangkan Suwartana (1986) yang meneliti di perairan Maluku Tengah mendapatkan panjang baku berkisar antara 40,3-65,4 cm. Komposisi ukuran cakalang yang tertangkap dengan pole and line di perairan Kupang bervariasi mulai dari ukuran 29,0 cm sampai 58,9 cm. Jumlah tangkapan terbanyak adalah ukuran 47,0-49,9 cm (17,90 %) dan disusul oleh ukuran 44,0-46,9 cm (16,64 %), dan 38,0-40,9 cm (16,36%) (Syamsuddin et al. 2008). Nilai koefisien b yang diperoleh dari persamaan hubungan panjang berat di Zona Utara diperoleh 2,5055, di Zona Tengah 2,5999 dan di Zona Selatan 2,7733. bahwa Nilai koefien determinasi (R 2 ) dari hubungan panjang berat pada masing-masing zona adalah Utara 0,93, Tengah 0,85 dan Selatan 0,92. Setelah diuji dengan nilai t hit nilai-nilai koefisien b = 3. Ini berarti bahwa pola pertumbuhan cakalang di kawasan Teluk Bone berpola isometrik, pertambahan panjang tubuh sama dengan pertambahan berat. Hasil yang sama diperoleh pada cakalang yang tertangkap diselah Barat Sulawesi Tengah dengan pola pertumbuhan isometrik (Telusa 1985). Hasil berbeda diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Manik (2007) pada cakalang yang tertangkap di sekitar pulau Seram dan Nusa Laut yang memperoleh nilai b > 3 atau allometrik positif, artinya bahwa pertambahan panjang tidak secepat pertambahan berat. Berbedanya hasil analisis tersebut mungkin karena diferensiasi kisaran panjang ikan yang dianalisis cukup besar, selain karena pengaruh faktor-faktor biologis dan ekologis dari masing-masing perairan di mana ikan itu hidup. Sedangkan menurut Sumadiharga (1991)

135 104 menyatakan perbedaan nilai b dipengaruhi oleh perbedaan musim dan tingkat kematangan gonad serta aktivitas penangkapan, karena aktivitas penangkapan yang cukup tinggi pada suatu daerah cukup mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan populasi ikan. Merta (1992) diacu dalam Manik (2007), menyatakan karena kondisi lingkungan sering berubah dan atau kondisi ikannya berubah, maka hubungan panjang berat akan sedikit menyimpang dari hukum kubik (b 3). Hasil analisis diperoleh bahwa koefisien b setiap zona berbeda. Pada panjang cagak (FL) yang sama bentuk tubuh cakalang di Zona Utara langsing, di Zona Tengah sedang dan di Zona Selatan gemuk. Perbedaan pertumbuhan (nilai b) memberikan konsekuensi terhadap selektivitas alat tangkap. Mesh size alat tangkap jaring yang digunakan untuk menangkap cakalang di setiap zona harus berbeda-beda. Panjang FL maksimum (L ) cakalang yang tertangkap di kawasan Teluk Bone dapat mencapai 76 cm pada umur 84 bulan. Panjang asimtot cakalang adalah 80 cm dan 73,2 cm dari perairan Sorong dan Indonesia bagian Timur (Suhendrata et al. 1986). Jadi pendugaan panjang asimtot sebesar 76 cm dalam penelitian ini merupakan angka yang dapat diterima. Panjang maksimum cakalang di kawasan Teluk Bone berbeda dari cakalang yang ditangkap di perairan Sumatera Barat, yaitu L = 87,8 cm pada umur 120 bulan (Merta 1989). Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut (L dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda dipengaruhi oleh faktor lingkungan masingmasing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan dan kematanagan gonad (Csirke,1988 diacu dalam Merta 1989). Selanjutnya Widodo (1988) menyatakan bahwa kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan contoh yang dianalisis dari pada cara atau metode yang digunakan. Josse et al. (1979 diacu dalam Matsumoto et al. 1984) mengulas metode dan berbagai studi pertumbuhan cakalang menyimpulkan bahwa menghitung tanda pertumbuhan periodik yang terdapat pada tulang punggung, sisik dan duri dorsal merupakan metode yang memberikan hasil yang akurat, disusul metode pergeseran modus. Penghitungan lingkaran harian (daily ring incrament) pada otolith memberikan hasil yang lebih baik dari kedua cara di atas, sedangkan menghitung pertumbuhan dengan cara tagging dan penangkapan ulang merupakan yang terakurat. Dikemukakan selanjutnya, bahwa pergeseran modus peka terhadap jumlah sampel yang sedikit. Hal ini menyebabkan pendugaan

136 105 parameter perrtumbuhan akan sangat bervariasi jika data yang digunakan sedikit. Wild and Foreman (1980 diacu dalam Matsumoto et al. 1984) memperoleh laju pertumbuhan cakalang sebesar 1,15 cm per bulan, yang diperoleh dengan menduga panjang ikan pada saat tertangkap kembali dan perubahan linier perubahan otolith untuk ikan yang ditandai (tagged) dan disuntik dengan tetracyclin. Ikan layak tangkap didefenisikan sebagai ikan yang memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad (length at first maturity, Lm). Nilai Lm cakalang di Teluk Bone diperoleh sebesar 46,5 cm. Nilai Lm cakalang berbeda pada setiap tempat, namun umumnya lebih besar dari 40 cm (Tabel 22). Tabel 23 Beberapa nilai Lm cakalang pada di lokasi lain Nilai Lm (cm) FL Jenis kelamin ikan Negara Lokasi 43,5 45,4* ) - USA North Carolina 40,0 45,0* ) betina USA Hawaii 40,0* ) betina Cuba Northeast region 43,0* ) - Polinesia Marquesas and Tuamotu Islands 43,0* ) - Filipina Bohol Sea 45,0* ) - Papua New Guinea Papua New Guinea **) - Madagaskar Barat daya Madagaskar *) Collette B.B and C. E. Naeun (1983) diacu dalam (Froose and Pauly 2011) **) Stequert (1976) diacu dalam Matsumoto (1984). Proporsi tertinggi ikan layak tangkap berdasarkan zona didapatkan pada Zona Tengah 56,1 %, selanjutnya Zona Selatan 56,0 % dan terendah pada Zona Utara 45,4 % (Tabel 20), sehingga proporsi hasil tangkapan cakalang yang tidak layak dalam kawasan Teluk Bone adalah berkisar antara 43,9-54,6 %. Masih tingginya ukuran ikan yang tidak layak tangkap menggambarkan bahwa nelayan belum mengetahui bulan-bulan penangkapan yang aman dan tidak berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan usaha penangkapan mereka. Ikan yang tertangkap sebelum matang gonad, diduga ikan tersebut belum sempat memijah sehingga hal ini akan mempengaruhi rekruitmen di daerah penangkapan tersebut. Untuk mengurangi tertangkapnya ikan yang belum layak perlu dilakukan kebijakan misalnya, memperbesar ukuran mata jaring untuk

137 106 jaring insang dan pancing untuk pole and line atau dengan penetapan closed season (penutupan musim) penangkapan di Zona Utara bulan Januari April, Zona Tengah bulan Januari dan Zona Selatan bulan Januari Pebruari. 6 Kesimpulan (1) Ikan cakalang pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone tumbuh secara isometrik. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan cakalang di Zona Utara langsing, di Zona Tengah sedang dan di Zona Utara gemuk. (2) Panjang maksimum (L ) cakalang di kawasan Teluk Bone adalah 76 cm dalam waktu 84 bulan. (3) Nilai Lm (Length at first maturity) adalah 46,5 cm dicapai pada umur 6 bulan, sehingga panjang ikan yang berukuran layak tangkap lebih besar dari 46,5 cm. Ikan yang tertangkap selama penelitian di atas 50 % telah masuk ukuran layak tangkap kecuali di Zona Utara. (4) Waktu penangkapan cakalang pada ketiga zona berdasarkan ukuran layak tangkap adalah : Utara dari bulan April hingga Desember ; Tengah bulan Pebruari hingga Desember dan Selatan bulan Maret hingga Desember.

138 6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) DAN KLOROFIL-a DENGAN PRODUKSI CAKALANG DI KAWASAN TELUK BONE 6.1 Pendahuluan Sumberdaya perikanan Indonesia, khususnya yang terletak di kawasan Teluk Bone, Propinsi Sulawesi Selatan, merupakan aset strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi dengan tujuan pemakmuran masyarakat pesisir dan peningkatan perolehan pendapatan asli daerah. Potensi sumberdaya ikan khususnya cakalang di Teluk Bone cukup besar dan ikan tersebut menjadikan daerah perairan Teluk Bone merupakan wilayah lintasan migrasinya. Oleh karena itu perairan Teluk Bone termasuk salah satu dari tiga daerah penangkapan ikan terbaik di perairan Sulawesi Selatan selain Selat Makassar dan perairan pantai selatan Sulawesi (Laut Flores). Keberadaan ikan pada suatu wilayah perairan disebabkan beberapa faktor antara lain: (1) ikan memilih lingkungan hidupnya yang sesuai dengan kondisi tubuhnya; (2) ikan mencari sumber makanan; (3) ikan akan mencari tempat yang cocok untuk pemijahan dan perkembangbiakan (Nomura dan Yamazaki 1977; Laevastu dan Hayes 1981) dan variasi alami biomassa populasi ikan dewasa pelagis dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan, interaksi antar spesies dan faktor ketergantungan kepadatan (Parrish dan Mallicoate 1995). Dengan demikian perubahan ketersediaan ikan pada suatu perairan dapat dianggap sebagai respon ikan terhadap dinamika atau perubahan kondisi lingkungan. Variabel utama yang mempengaruhi keberadaan atau kepadatan ikan pada suatu kawasan laut adalah makanan, predasi, suhu, salinitas, dan konsentrasi oksigen terlarut. Variabel utama ini merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan pengaruh faktor lingkungan terhadap kegiatan perikanan (Fréon et al. 2005; Peltonen et al. 2007). Untuk itu identifikasi parameter lingkungan laut dilakukan berdasarkan parameter utama yang berpengaruh terhadap distribusi ikan. Suhu perairan merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh terhadap aktivitas ikan, karena suhu merupakan salah satu faktor penting yang mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme di laut (Nybakken 1982). Selain itu ketersediaan makanan dan tingkat kesuburan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi distribusi ikan di laut (Laevastu dan Hayes 1981). Tingkat produktivitas perairan

139 108 ditentukan oleh besarnya kandungan klorofil yang dihasilkan dari fitoplankton maupun tumbuhan laut (alga) yang melayang di dalam air dan bersifat planktonik. Seluruh klas alga laut mengandung klorofil-a dan beberapa pigment, termasuk di dalamnya klorofil b, c dan karotenoid α, β dan Ƴ. Komposisi dan distribusi vertikal fitoplankton dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang menembus kolom air (Parsons et al 1984 dan Lalli and Parsons 1997). Pengkajian pemanfaatan data satelit untuk penangkapan ikan khususnya jenis ikan pelagis sudah mulai dilakukan lebih intensif di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir. Dua data satelit yang dapat dimanfaatkan untuk pendugaan daerah potensial penangkapan ikan (fishing ground) adalah data citra suhu permukaan laut (SPL) dan data citra klorofil-a yang merupakan indikasi kelimpahan plankton sebagai sumber makanan ikan (Hendiarti et al. 1995). Teknologi satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk menemukan daerah penangkapan ikan tuna termasuk potensi ikan cakalang. Penggunaan citra suhu permukaan laut (SPL) dan citra konsetrasi klorofil-a yang telah dibuktikan mampu mendeteksi daerah penangkapan ikan tuna yang produktif (Zainuddin et al. 2004). Citra SPL dapat memberikan informasi tentang distribusi yang isotherm yang cocok bagi ikan cakalang. Di daerah Pasifik Utara bagian Barat ditemukan kesesuaian antara densitas ikan cakalang dengan SPL isotherm 29 C (Lehodey et al. 1997). Di samping itu citra SPL dapat juga digunakan untuk memonitor dinamika fenomena oseanografi seperti suhu front dan upwelling. Untuk ikan cakalang SPL berhubungan erat dengan kesesuaian kondisi fisiologi dan adaptasi morfologi ikan tuna. Di samping itu menjadi indikator tidak langsung mengenai produktifitas biologis atau keberadaan makanan ikan (Santos 2000). Sedangkan faktor klorofil-a merupakan faktor yang dapat memberikan indikasi langsung keberadaan makanan ikan maupun jalur wilayah migrasi ikan tuna (Polovina et al. 2001). Dengan mengkombinasikan dinamika SPL dan konsentrasi klorofil-a, daerah potensial tuna dapat dideteksi (Zainuddin et al. 2004). Mengacu pada studi sebelumnya diharapkan daerah potensial penangkapan ikan cakalang juga dapat diidentifikasi dan dilokalisasi. Perairan kawasan Teluk Bone dapat dibedakan menjadi 3 zona yang memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan kondisi biofisik perairan yaitu : Zona Utara yaitu zona yang memiliki pengaruh yang kecil dari laut Flores sehingga zona ini relatif homogen, Zona Tengah yaitu zona yang memiliki pengaruh yang sedang dari Laut Flores sehingga zona ini bersifat moderat, dan Zona Selatan yaitu zona yang memiliki pengaruh yang besar dari Laut Flores

140 109 sehingga zona ini sangat heterogen. Memperhatikan karakteristik umum perairan tersebut, dinamika kelimpahan ikan kemungkinan berbeda di antara ketiga kawasan perairan tersebut. Evaluasi spasial dan temporal terhadap hubungan kondisi biofisik perairan dengan sumberdaya ikan pada kawasan yang memiliki karakteristik perairan yang berbeda dapat menjadi dasar dalam menyusun konsep pengelolaan perikanan tangkap. Di sisi lain, hasil pemantauan lingkungan laut dengan satelit sudah banyak tersedia dan dapat diakses dengan mudah melalui internet. Ketersediaan data tersebut seyogianya dapat dimanfaatkan untuk penelitian yang menunjang pengelolaan perikanan. 6.2 Tujuan Spesifik Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pengaruh suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap produksi dan produktivitas ikan cakalang di kawasan teluk Bone Sulawesi Selatan dalam skala waktu kuartalan dengan mempertimbangkan kategori musim dan kategori kalender. 2. Menghitung nilai produktivitas primer berdasarkan nilai suhu permukaan laut dan klorofil-a dan menghitung produksi perikanan dan biomas ikan cakalang berdasarkan nilai produktivitas primer tersebut. 6.3 Metode Analisis hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a dilakukan terhadap produksi dan produktivitas. Produktivitas ikan adalah produksi ikan dari setiap upaya penangkapan. Upaya penangkapan yang digunakan adalah upaya penangkapan yang telah distandarisasi pada Bab 4. Data suhu permukaan laut (SPL), klorofil-a dan photosyntetic available radiation (PAR) tersedia dalam bentuk bulanan, sedangkan data produksi ikan dalam bentuk kuartalan. Untuk kebutuhan analisis hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi ikan, maka data SPL dan klorofil-a dihitung menjadi data kuartalan. Perhitungan data kuartalan SPL dan klorofil-a dilakukan dalam 2 kategori. Kategori pertama data kuartalan di peroleh dari bulanan sesuai kalender, yaitu kuartal 1 adalah bulan Januari sampai Maret. Kategori kedua data kuartalan di peroleh dari perhitungan bulanan dengan mempertimbangkan musim, yaitu kuartal 1 adalah bulan Desember sampai Februari (Tabel 23).

141 110 Data SPL dan klorofil-a didefinisikan untuk menjelaskan ciri-ciri dari data tersebut dengan menggunakan ukuran pemusatan dan penyebaran data. Ukuran pemusatan adalah nilai tunggal yang mewakili suatu kumpulan data dan menunjukkan karakteristik dari data. Ukuran penyebaran adalah suatu ukuran untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan data dari nilai rata-rata hitungnya (Suharyadi dan Purwanto 2003) Sumber data Produksi ikan Data produksi ikan kuartalan bersumber dari data statistik perikanan tangkap Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2 tahun ( ). Data yang digunakan adalah data produksi kabupaten yang dibagi menjadi 3 zona, yaitu: (1) Zona Utara, yaitu zona di mana pengaruh masa air dari laut Flores kecil sehingga zona ini relatif homogen. Zona Utara mencakup Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Kabupaten Wajo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur ; (2) Zona Tengah, yaitu zona di mana pengaruh massa air dari laut Flores sedang sehingga zona ini bersifat moderat. Zona Tengah mencakup Kabupaten Bone ; dan (3) Zona Selatan, yaitu zona di mana pengaruh massa air dari Laut Flores besar sehingga zona ini sangat heterogen. Zona Selatan mencakup Kabupaten Sinjai. Data produksi adalah data kuartalan tangkapan ikan cakalang yang merupakan hasil tangkapan dari 4 jenis alat tangkap, yaitu: 1) pole and line; 2) pukat cincing; 3) jaring insang hanyut; dan 4) pancing tonda SPL, klorofil-a dan photosyntetic available radiation (PAR) Data SPL dan klorofil-a diperoleh dari Ocean Color Time-Series Online Visualization yang dikeluarkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration). Untuk data SPL menggunakan citra satelit MODIS-Terra, untuk data klorofil-a menggunakan citra satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) hasil citra satelit Aqua, sedangkan data PAR menggunakan citra satelit SeaWiFS. Data citra satelit yang digunakan telah dianalisis berdasarkan GES-DISC Interactive Online Visualization and Analysis Infrastructure (GIOVANNI) dalam kurun waktu 2 tahun ( ). Data di download dalam bentuk image dan ascii (text file) berdasarkan data bulanan

142 111 sesuai posisi geografi masing-masing zona dari Adapun data produktivitas primer dihitung dengan menggunakan vertically generalized production model (VGPM) berdasarkan model yang dikemukakan oleh Behrenfeld and Falkowki (1997). Dalam model ini, nilai Pp eu merupakan fungsi dari klorofil-a dan suhu permukaan laut yang diperoleh dari citra Aqua MODIS level 3 dan photosynthetically active radiation (PAR) dari citra SeaWiFS level 3 serta kedalaman eufotik Deskripsi data Produksi ikan kuartalan Produksi ikan cakalang kuartalan di masing-masing zona dihitung ulang guna menyesuaikan dengan kebutuhan analisis dalam penelitian ini. Perhitungan ulang dilakukan untuk menentukan produksi dan produktivitas kuartal di masing-masing zona. Perhitungan ulang dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut : 1. menghitung total produksi setiap kuartal di masing-masing zona, sebagai berikut: dimana, K z = total produksi ikan setiap kuartal di masing-masing zona z = zona perikanan b = jumlah kabupaten di masing-masing zona K b = total produksi ikan setiap kuartal dari setiap kabupaten di masing-masing zona 2. menjumlahkan total produksi setiap kuartal di masing-masing zona, sebagai berikut: dimana, TP z = total produksi kuartal di masing-masing zona

143 112 Tahapan perhitungan produktivitas ikan kuartalan di masing-masing zona adalah sebagai berikut: 3. Data upaya penangkapan ikan yang digunakan adalah data upaya penangkapan ikan tahunan yang telah distandarisasi 4. Data upaya penangkapan ikan tahunan dihitung menjadi data kuartal dengan pendekatan proporsi sesuai pola operasi penangkapan ikan, di mana kegiatan penangkapan ikan yang tertinggi pada kuartal 4 dan terendah pada kuartal 2. Dengan demikian penentuan proporsi untuk setiap kuartal terhadap data tahunan upaya penangkapan ikan, sebagai berikut: kuartal 1: 20%; kuartal 2: 15%; kuartal 3: 30%; kuartal 4: 35%. Dengan demikian upaya penangkapan kuartal tiap zona, sebagai berikut: dimana, UP K,z SU k,d PP K = Upaya penangkapan setiap kuartal di masing-masing zona = Upaya penangkapan ikan yang telah distandarisasi = proporsi upaya penangkapan setiap kuartal 5. Produktivitas kuartal ikan cakalang sebagai berikut: SVKz = dimana, TPz UPk. z SV K,z = Produktivitas kuartal jenis ikan cakalang di masing-masing zona SPL, klorofil-a dan PAR Data bulanan SPL, konsentrasi klorofil-a dan PAR di download dalam bentuk citra (Gambar 53 dan 54) dan ascii (Lampiran 21, 22 dan 23) untuk kebutuhan analisis dikelompokkan dengan cara sebagai berikut: 1. Data citra satelit dalam bentuk ascii, baik SPL dan klorofil-a di perairan kawasan Teluk Bone sesuai dengan posisi lintang dan bujur dengan resolusi 0,1 0 sesuai dengan pilihan yang terdapat dalam situs NASA. Lokasi yang dipilih sesuai dengan pembagian zona kawasan teluk Bone, yaitu : - Zona Utara : -2,6 0 LS sampai -4,0 0 LS dan 120,2 0 BT sampai 121,4 0 BT - Zona Tengah : -4,1 0 LS sampai -5,1 0 LS dan 120,0 0 BT sampai 122,0 0 BT - Zona Selatan : -5,1 0 LS sampai -6,0 0 LS dan 120,0 0 BT sampai 122,0 0 BT

144 113 Nilai SPL dan klorofil-a bulanan dari setiap posisi lintang dan bujur merupakan data bulanan yang kemudian dihitung berdasarkan parameter statistik menjadi data kuartalan. Perhitungan data SPL dan klorofil-a bulanan menjadi kuartalan dilakukan dengan 2 kategori, yaitu kategori musim (kuartal I dimulai bulan Desember tahun sebelumnya hingga Februari) dan kategori kalender (kuartal I dimulai bulan Januari hingga Maret tahun yang sama) (Tabel 23). Dengan demikian data SPL dan klorofil-a untuk kurun waktu 2 tahun terdapat n=8. Parameter statistik yang digunakan adalah mean, median, modus, varians, standar deviasi, range, dan koefisien keragaman. Perhitungan parameter statistik untuk parameter SPL dan klorofil-a menggunakan Microsoft Excel Tabel 24 Kategori waktu yang digunakan dalam perhitungan data SPL dan klorofil-a dari bulanan menjadi kuartalan Kategori Kalender Kuartal Kategori Musim Januari Februari Maret I Desember Januari Februari April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret II III IV I Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Gambar 53 Contoh citra satelit SPL dan klorofil-a di Zona Utara.

145 114 Gambar 54 Contoh citra satelit photosyntetic available radiation (PAR) di Zona Utara Analisis data Tipologi hubungan Pola distribusi ikan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan tipologi hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi dan produktivitas ikan berdasarkan skala waktu kategori kalender dan musim. Kombinasi nilai tinggi dan rendah dari SPL dan klorofil-a, akan menghasilkan 4 kuadran sebagai dasar untuk membuat tipe-tipe distribusi ikan. Tipe distribusi ikan disajikan secara deskriptif menggunakan grafik biplot yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak S-Plus Adapun pola distribusi ikan yang dihasilkan yaitu sebanyak 11 tipe. Masing-masing tipe tersebut mengacu pada hasil penelitian Nelwan (2010) : Tipe 1: Tipe 2: Tipe 3: Tipe 4: Tipe 5: Tipe 6: Tipe 7: Ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi pada SPL rendah Ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi pada SPL tinggi Ikan ada di perairan dengan SPL tinggi pada klorofil-a rendah Ikan ada di perairan dengan SPL rendah pada klorofil-a rendah Ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi dan SPL tinggi Ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi dan SPL rendah Ikan ada di perairan dengan klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah

146 115 Tipe 8: Tipe 9: Ikan ada di perairan dengan klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL tinggi Ikan ada di perairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a tinggi Tipe 10: Ikan ada di perairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah Tipe 11: Ikan tersebar pada semua kondisi SPL dan klorofil-a K K K K S S S Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 S K K K K S S S S Tipe 5 Tipe 6 Tipe 7 Tipe 8 K K S S Tipe 9 Tipe 10

147 116 K K K K K S S S S S Tipe 11 Keterangan: S = suhu permukaan laut ( 0 C); K = klorofil-a (mg/m 3 ) Gambar 55 Tipologi hubungan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a terhadap produksi dan produktivitas ikan Korelasi parsial Guna mengetahui indikator yang terbaik sebagai prediktor, baik suhu permukaan laut maupun klorofil-a terhadap produksi ikan digunakan analisis parsial korelasi. Parsial korelasi adalah bentuk hubungan antara X 1, X 2 X p terhadap Y, di mana korelasi dijelaskan antara Y dan X 1 ketika X2 X n tetap diperhatikan tetapi dibuat tetap, dengan persamaan sebagai berikut (Walpole 1997): Analisis parsial korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara suhu permukaan laut (X 1 ) dan Klorofil-a (X 2 ) dengan produksi atau produktivitas ikan, dimana kedua faktor oseanografi tersebut mempengaruhi distribusi ikan pada suatu wilayah perairan. Dengan demikian seberapa erat hubungan kedua faktor oseanografi tersebut dengan produksi atau produktivitas ikan diketahui dengan salah satu faktor dibuat tetap. Analisis korelasi suhu perrmukaan laut dan klorofil-a terhadap produksi atau produktivitas ikan menggunakan parsial korelasi melalui regresi linear berganda menggunakan perangkat lunak SPSS ver.16.

148 Vertically generalized production model (VGPM) Secara matematis, VGPM Pp eu menurut Behrenfeld and Falkowki (1997 yang diacu dalam Cong et al 2010 ; Osawa et al 2005 ; Prasetyo dan Suwarso 2010) dinyatakan sebagai berikut : Pp eu = 0,66125 x P B opt Eo xc sat x Z eu x D IRR Eo 4,1 dimana : Pp eu P B opt = Fiksasi karbon harian yang terintegrasi dari permukaan hingga zona euphotic (Z eu ) (mg C/m 2 /thn) = Laju optimal dari fiksasi karbon harian yang terjadi di kolom perairan [mg C (mg Chl) -1 h -1 ]. P B opt dapat dimodelkan berdasarkan hubungan variasi suhu. Hubungan tersebut dideskripsikan sebagai berikut : 1,13 jika T < -1,0 P B opt = { 4,00 jika T > 28,5 P B opt Lainnya P B opt = 1, ,749 x 10-1 T + 6,17 x 10-2 T 2-2,05 x 10-2 T 3 + 2,462 x 10-3 T 4 1,348 x 10-4 T 5 + 3,4132 x 10-6 T 6 3,27 x 10-8 T 7 E o Z eu = Nilai PAR permukaan laut harian (Einstein/m 2 /hr) = Kedalaman zona euphotic yang didefenisikan sebagai kedalaman penetrasi untuk 1 % radiasi permukaan berdasarkan hukum Beer-Lambert. Z eu dihitung dari C sat menurut Morel and Berthon (1989). Z eu = { 568,2 (C tot ) -0,746 jika Z eu ,0 (C tot ) -0,293 jika Z eu >102 38,0 (C sat ) 0,425 jika C sat <1,0 C tot = { 40,2 (C sat ) 0,507 jika C sat <1,0 D IRR = Lama penyinaran harian (dalam jam desimal)

149 Dugaan potensi perikanan Untuk menduga potensi perikanan berdasarkan hubungan transfer energi antar tingkatan pada rantai makanan digunakan fish production model. Bila diasumsikan produktivitas primer bernilai 100 %, sedangkan efisiensi transfer antar tingkatan rantai makanan sebesar 15 %, maka perpindahan energi akibat proses predasi hanya tinggal 15 % pada perairan pesisir (Lalli and Parsons 1997). Persamaan fish production model adalah sebagai berikut : FP = PP X TE (TL-1) di mana : FP = fish production (mg C/m 2 ) PP = primary production (mg C/m 2 ) TE = transfer efficiency (15 %) TL = trophic level (untuk ikan cakalang TL=3) Selanjutnya dari nilai FP, dengan menggunakan faktor konversi dari berat karbon menjadi massa dengan rasio 9 : 1 (Pauly and Christensen 1995), sehingga potensi perikanan dapat diduga dengan persamaan berikut : FB = FP x 9 Di mana : FB = fish biomass (dalam ton) 6.4 Hasil Produksi dan produktivitas ikan kuartalan Produksi ikan cakalang periode kuartalan menurut kalender selama kurun waktu 2 tahun ( ) di Zona Utara menunjukkan bahwa produksi tertinggi terjadi di tahun 2006 pada kuartal IV yaitu 988,5 ton, kemudian produksi tertinggi selanjutnya terjadi juga pada kuartal IV tahun 2007 yaitu 955,7 ton. Sedangkan produksi ikan pada kuartal I, II dan III tahun 2006 dan 2007 relatif sama, namun produksi kuartalan ikan cakalang pada tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 (Gambar 56). Selanjutnya produksi ikan cakalang kuartalan menurut kalender pada Zona Tengah dalam kurun waktu 2 tahun menunjukkan produksi tertinggi pada

150 119 kuartal IV tahun 2006 yaitu 2.624,76 ton, kemudian produksi ikan pada kuartal I, II dan III pada tahun yang sama relatif sama. Secara umum dapat dinyatakan bahwa produksi kuartalan ikan cakalang kategori kalender di Zona Tengah pada tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi kuartalan ikan cakalang pada tahun 2007 (Gambar 57). Sedangkan di Zona Selatan total produksi kuartalan yang tertinggi terlihat di tahun 2007 kuartal III dan IV yaitu masingmasing 2.048,4 ton dan 2055 ton. Meskipun produksi kuartalan ikan cakalang pada kuartal I dan II pada tahun 2007 lebih rendah dibandingkan kuartal III dan IV namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi kurtalan ikan cakalang pada tahun 2006 (Gambar 58). Secara umum produksi ikan cakalang kuartalan tertinggi di Zona Tengah, Zona Selatan dan terendah di Zona Utara. Produktivitas ikan diperoleh dengan membandingkan antara produksi (ton) dengan upaya (trip) penangkapan, sehingga dapat dijadikan sebagai indikator dari kemampuan suatu alat tangkap untuk memperoleh hasil tangkapan. Selain itu juga dapat menggambarkan ketersediaan ikan dalam suatu area untuk ditangkap. Produktivitas penangkapan ikan di Zona Utara menunjukkan pola yang berfluktuatif dalam kurun waktu 2 tahun, di mana produktivitas tertinggi terjadi setiap kuartal ke II. Namun demikian produktivitas kuartal II tahun 2006 yaitu 1,56 ton/trip lebih tinggi dibanding tahun 2007 yaitu 1,32 ton/trip. Produktivitas kuartalan ikan cakalang tertendah baik pada tahun 2006 maupun tahun 2007 terjadi pada kuartal ke IV (Gambar 59). Produktivitas kuartalan ikan cakalang di Zona Tengah menunjukkan bahwa tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan tahun Produktivitas tertinggi pada tahun 2007 diperoleh pada kuartal ke II yaitu 3,59 ton/trip dan yang terendah pada kuartal IV yaitu 1,59 ton, namun masih lebih tinggi dibandingkan produksi kuartalan ikan cakalang tahun 2006 (Gambar 60). Produktivitas kuartalan ikan cakalang di Zona Selatan menunjukkan pola yang hampir sama dengan di Zona Tengah di mana produktivitas tahun 2007 lebih tinggi dibanding tahun Produktivitas tertinggi pada tahun 2007 diperoleh pada kuartal ke II yaitu 2,54 ton/trip dan yang terendah pada kuartal IV yaitu 1,35 ton/trip, namun masih lebih tinggi dibandingkan produksi kuartalan ikan cakalang tahun 2006 (Gambar 61). Secara umum produktivitas ikan cakalang kuartalan tertinggi di Zona Tengah, Zona Selatan dan terendah di Zona Utara.

151 Kondisi oseanografi Suhu permukaan laut Perubahan SPL kuartalan yang dihitung berdasarkan beberapa parameter statistik menunjukkan pola fluktuasi perubahan kuartalan yang cenderung sama dalam kurun waktu 2 tahun, baik pada kategori kalender (Gambar 62), maupun pada kategori musim (Gambar 63). Perubahan SPL pada setiap parameter statistik pada seluruh zona yaitu Utara, Tengah dan Selatan tidak memperlihatkan fluktuasi SPL yang mencolok. Fluktuasi perubahan kuartalan SPL dalam kurun waktu 2 tahun baik kategori kalender maupun kategori musim (Tabel 24) menunjukkan adanya perbedaan antara kategori kalender dan kategori musim pada masing-masing zona. Pada Zona Utara tidak terdapat perubahan yang mencolok baik pada kategori kalender maupun kategori musim, kecuali pada parameter statistik range diperoleh nilai kisaran yang lebar pada kategori musim. Pada Zona Tengah dan Zona Selatan terjadi hal yang sama dengan Zona Utara, yaitu perubahan yang mencolok hanya pada paramater statistik range. Berdasarkan parameter statistk range terhadap perubahan kuartalan SPL pada kategori musim menunjukkan perubahan di Zona Tengah lebih besar dibandingkan di Zona Utara dan Selatan, dimana pada kategori musim dalam kurun waktu 2 tahun pada Zona Tengah diperoleh nilai 9,9 0 C, Zona Selatan 8,5 0 C dan Zona Utara sebesar 3,7 0 C, sedangkan perubahan berdasarkan kategori kalender menunjukkan perubahan di Zona Selatan lebih besar dibandingkan Zona Utara dan Tengah. Besaran kiasaran di Zona Selatan diperoleh sebesar 3,4 0 C, Zona Tengah C, dan Zona Utara sebesar C. Besaran perubahan tersebut menunjukkan adanya perbedaan SPL antara kategori musim dan kategori kalender. Selanjutnya berdasarkan parameter statistk mean, median dan modus terhadap perubahan kuartalan SPL diperoleh bahwa perubahan kategori kalender lebih besar dibandingkan kategori musim pada seluruh zona. Berdasarkan kategori kalender menunjukkan perubahan di Zona Selatan lebih besar dibandingkan di Zona Utara dan Tengah, dimana pada Zona Selatan untuk parameter statistik mean diperoleh nilai 2,7 0 C, Zona Utara sebesar 2,2 0 C dan Zona Tengah 2,5 0 C. Parameter statistik median di Zona Selatan diperoleh nilai 2,9 0 C, Zona Utara sebesar 2,2 0 C dan Zona Tengah 2,6 0 C serta modus di Zona Selatan diperoleh nilai 3,8 0 C, Zona Utara 3,1 0 C dan Zona Tengah 3,2 0 C. Selanjutnya perubahan berdasarkan kategori musim juga menunjukkan

152 121 perubahan di Zona Selatan lebih besar dibandingkan Zona Utara dan Zona Tengah. Besaran nilai perubahan SPL untuk parameter statistik mean di Zona Selatan diperoleh sebesar 2,6 0 C, Zona Utara 2,2 0 C dan Zona Tengah 2,2 0 C, median di Zona Selatan diperoleh sebesar 2,7 0 C, Zona Utara sebesar 2,1 0 C dan Zona Tengah 2,4 0 C serta untuk parameter statistk modus pada Zona Selatan diperoleh nilai 3,4 0 C, Zona Utara sebesar 1,6 0 C dan Zona Tengah 1,8 0 C. Besaran perubahan tersebut menunjukkan adanya perbedaan SPL antara kategori musim dan kategori kalender. Berdasarkan parameter statistik mean, median dan modus terhadap SPL kuartalan dalam kurun waktu 2 tahun berdasarkan kategori kalender dan kategori musim diperoleh bahwa perairan di Zona Utara lebih hangat, disusul Zona Tengah dan terakhir di Zona Selatan. Kisaran nilai SPL kuartalan berdasarkan kategori kalender dengan parameter statistik mean pada Zona Utara diperoleh 29,2-31,4 0 C, Zona Tengah 28,2-30,7 0 C dan Zona Selatan 27,4-30,1 0 C sedangkan kisaran nilai SPL kuartalan berdasarkan kategori musim pada Zona Utara diperoleh 29,3-31,5 0 C, Zona Tengah 28,7-30,9 0 C dan Zona Selatan 27,7-30,3 0 C. Kisaran nilai SPL kuartalan berdasarkan kategori kalender dengan parameter statistik median pada Zona Utara diperoleh 29,2-31,4 0 C, Zona Tengah 28,2-30,8 0 C dan Zona Selatan 27,3-30,2 0 C sedangkan kisaran nilai SPL kuartalan berdasarkan kategori musim pada Zona Utara diperoleh 29,3-31,4 0 C, Zona Ttengah 28,5-30,9 0 C dan Zona Selatan 27,7-30,4 0 C. Selanjutnya kisaran nilai SPL kuartalan berdasarkan kategori kalender dengan parameter statistik modus pada Zona Utara diperoleh 28,4-31,5 0 C, Zona Tengah 28,6-31,8 0 C dan Zona Selatan 27,0-30,8 0 C sedangkan kisaran nilai SPL kuartalan berdasarkan kategori musim pada Zona Utara diperoleh 29,6-31,5 0 C, Zona Tengah 28,6-30,4 0 C dan Zona Selatan 27,4-30,8 0 C Konsentrasi klorofil-a Fluktuasi perubahan klorofil-a kuartalan kategori kalender (Gambar 64) dalam kurun waktu 2 tahun menunjukkan kecenderungan pola perubahan yang sama di setiap zona. Berdasarkan parameter statistik mean, median, modus, varians dan standar deviasi menunjukkan besaran konsentrasi klorofil-a di Zona Utara lebih tinggi dibandingkan Zona Tengah dan Selatan. Perubahan konsentrasi klorofil-a tertinggi dalam kurun waktu 2 tahun terjadi pada kuartal II dan III tahun Pola fluktuasi perubahan konsentrasi klorofil-a juga menunjukkan pola yang sama berdasarkan kategori musim (Gambar 65). Pola

153 122 fluktuasi klorofil-a kuartalan tersebut menunjukkan konsentrasi klorofil-a cenderung lebih tinggi di`zona Utara dibandingkan Zona Tengah dan Selatan. Besaran perubahan kuartalan klorofil-a pada kategori kalender dari parameter statistik range dalam kurun waktu 2 tahun di Zona Utara pada kisaran 1,5-6,1 mg/m 3, Zona Tengah pada kisaran 0.9-9,8 mg/m 3, dan Zona Selatan pada kisaran 0,6-4,3 mg/m 3, sedangkan berdasarkan kategori musim pada Zona Utara pada kisaran 1,9-6,1 mg/m 3, Zona Tengah pada kisaran 1,2-9,8 mg/m 3, dan Zona Selatan pada kisaran 0,5-4,3 mg/m 3. Besaran perubahan konsentrasi klorofil-a dalam kurun waktu 2 tahun di setiap zona berdasarkan luas kisaran parameter statistik range, baik kategori kalender maupun kategori musim menunjukkan kecenderungan yang relatif sama. Namun demikian lebar kisaran yang semakin kecil menunjukkan perubahan konsentrasi klorofil-a yang relatif stabil sebagaimana terlihat di Zona Selatan, sedangkan Zona Tengah lebih berfluktuatif (Tabel 25). Selanjutnya berdasarkan parameter statistk mean dan median terhadap perubahan kuartalan klorofil-a diperoleh bahwa perubahan kategori kalender lebih besar dibandingkan kategori musim pada seluruh zona. Berdasarkan kategori kalender menunjukkan perubahan di Zona Utara lebih besar dibandingkan di Zona Tengah dan Selatan, di mana pada Zona Utara untuk parameter statistik mean diperoleh nilai 0,4 mg/m 3, Zona Tengah 0,1 mg/m 3 dan Zona Selatan sebesar 0,1 mg/m 3, median di Zona Utara diperoleh nilai 0,2 mg/m 3 Zona Tengah 0,1 mg/m 3 dan Zona Selatan sebesar 0,1 mg/m 3. Selanjutnya perubahan berdasarkan kategori musim hanya parameter mean yang juga menunjukkan perubahan di Zona Utara lebih besar dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan. Besaran nilai perubahan Klorofil-a untuk parameter statistik mean di Zona Utara diperoleh sebesar 0,3 mg/m 3, Zona Tengah 0,2 mg/m 3 dan Zona Selatan tidak ada perubahan. Besaran perubahan tersebut menunjukkan adanya perbedaan klorofil-a antara kategori kalender dan kategori musim. Berdasarkan parameter statistik mean, median dan modus terhadap klorofil-a kuartalan dalam kurun waktu 2 tahun berdasarkan kategori kalender dan kategoti musim diperoleh bahwa perairan di Zona Utara lebih subur, dibanding Zona Tengah dan terakhir di Zona Selatan. Kisaran nilai klorofil-a kuartalan berdasarkan kategori kalender dengan parameter statistik mean pada Zona Utara diperoleh 0,3-0,7 mg/m 3, Zona Tengah 0,2-0,3 mg/m 3 dan Zona Selatan 0,2-0,3 mg/m 3 sedangkan kisaran nilai klorofil-a kuartalan berdasarkan

154 123 kategori musim pada Zona Utara diperoleh 0,3-0,6 mg/m 3, Zona Tengah 0,2-0,4 mg/m 3 dan Zona Selatan 0,2-0,2 mg/m 3. Kisaran nilai klorofil-a kuartalan berdasarkan kategori kalender dengan parameter statistik median pada Zona Utara diperoleh 0,2-0,4 mg/m 3, Zona Tengah 0,1-0,2 mg/m 3 dan Zona Selatan 0,1-0,2 mg/m 3 sedangkan kisaran nilai klorofil-a kuartalan berdasarkan kategori musim pada Zona Utara diperoleh 0,2-0,3 mg/m 3, Zona Tengah 0,1-0,2 mg/m 3 dan Zona Selatan 0,1-0,2 mg/m 3. Kisaran klorofil-a kuartalan berdasarkan kategori kalender dan kategori musim yang fluktuatif (nilai range) besar diperoleh pada Zona Tengah,Zona Utara dan Zona Selatan Produktivitas primer Hasil analisis produktivitas primer (Pp) bersih yang dihitung dengan menggunakan VGPM diperoleh bahwa rata-rata bulanan untuk Zona Utara dalam tahun 2006 diperoleh Pp bulanan minimum sebesar 462,81 mgc/m 2 /hr pada bulan Oktober dan maksimum sebesar 739,80 mgc/m 2 /hr pada bulan Mei. Untuk Zona Tengah di tahun 2006, diperoleh Pp minimum sebesar 296,39 mgc/m 2 /hr pada bulan Januari dan maksimum sebesar 530,85 mgc/m 2 /hr pada bulan Juni. Sedangkan di Zona Selatan di Tahun 2006, diperoleh Pp minimum sebesar 338,11 mgc/m 2 /hr pada bulan April dan maksimum sebesar 588,87 mgc/m 2 /hr pada bulan Agustus. Untuk Zona Utara di tahun 2007 diperoleh nilai Pp minimum sebesar 449,33 mgc/m 2 /hr pada bulan Maret dan maksimum sebesar 960,29 mgc/m 2 /hr pada bulan April. Untuk Zona Tengah di tahun 2007, diperoleh Pp minimum sebesar 357,01 mgc/m 2 /hr pada bulan Februari dan maksimum sebesar 570,21 mgc/m 2 /hr pada bulan Agustus. Sedangkan di Zona Selatan di tahun 2007, diperoleh Pp minimum sebesar 350,38 mgc/m 2 /hr pada bulan Maret dan maksimum sebesar 504,22 mgc/m 2 /hr pada bulan Agustus (Tabel 26). Secara keseluruhan dari Tabel 26, terlihat bahwa Pp di Zona Utara tahun 2006 lebih tinggi dari Zona Tengah dan Zona Selatan kecuali bulan Agustus, September dan Oktober. Sedangkan Pp di Zona Selatan lebih tinggi dibandingkan dengan Zona Tengah, kecuali bulan April, Mei, Juni, Juli, Nopember dan Desember. Nilai rata-rata Pp tertinggi secara berturut-turut per tahun adalah sebesar 547,41 mgc/m 2 /hr di Zona Utara, 449,38 mgc/m 2 /hr di Zona Selatan dan 445,97 mgc/m 2 /hr di Zona Tengah (Gambar 66). Pp bersih di Zona Utara tahun 2007 lebih tinggi dari Zona Tengah dan Zona Selatan. Sedangkan Pp bersih di Zona Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan Zona

155 124 Selatan. Nilai rata-rata Pp tertinggi secara berturut-turut per tahun adalah sebesar 585,34 mgc/m 2 /hr di Zona Utara 433,53 mgc/m 2 /hr di Zona Selatan dan 365,68 mgc/m 2 /hr di Zona Tengah (Gambar 67). Kandungan rata-rata Pp yang diperoleh di Zona Utara dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 547,41 mgc/m 2 /thn dan 643,99 mgc/m 2 /thn, di Zona Tengah dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 445,97 mgc/m 2 /thn dan 482,62 mgc/m 2 /thn sedangkan di Zona Selatan dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 449,38 mgc/m 2 /thn dan 408,40 mgc/m 2 /thn. Berdasarkan kandungan Pp diperoleh nilai rata-rata biomas ikan yaitu di Zona Utrara tahun 2006 dan 2007 adalah 110,85 ton dan 130,31 ton, di Zona Tengah tahun 2006 dan 2007 adalah 90,31 ton dan 97,73 ton dan di Zona Selatan tahun 2006 dan 2007 adalah 91,00 ton dan 82,70 ton. Biomas tertinggi tahun 2006 dan 2007 di Zona Utara diperoleh pada bulan Mei sebanyak 149,81 ton dan bulan April sebanyak 194,96 ton, sedangkan Biomas terendah tahun 2006 dan 2007 diperoleh pada bulan oktober sebanyak 93,72 ton dan bulan Maret sebanyak 90,99 ton. Biomas tertinggi tahun 2006 dan 2007 di Zona Tengah diperoleh pada bulan Juni sebanyak 107,50 ton dan bulan Agustus sebanyak 115,47 ton, sedangkan Biomas terendah tahun 2006 dan 2007 diperoleh pada bulan januari sebanyak 60,02 ton dan bulan Februari sebanyak 72,29 ton. Biomas tertinggi tahun 2006 dan 2007 di Zona Selatan diperoleh pada bulan Agustus sebanyak 119,25 ton dan bulan Agustus sebanyak 102,11 ton, sedangkan Biomas terendah tahun 2006 dan 2007 diperoleh pada bulan April sebanyak 68,47 ton dan bulan Maret sebanyak 70,95 ton (Tabel 27 dan 28). Estimasi biomas cakalang kuartalan yang dihitung berdasarkan VGPM menunjukkan bahwa pada keseluruhan zona (Utara, Tengah dan Selatan) lebih rendah dibandingkan produksi aktual (hasil tangkapan) (Gambar 50, 51 dan 52). Hal ini berarti bahwa ikan cakalang di teluk Bone diduga sebagian ada yang berasal dari luar teluk khususnya yang berasal dari laut Flores. Ikan cakalang pada dasarnya tertangkap sepanjang tahun, fluktuasinya terjadi secara bulanan/musiman maupun kuartalan. Puncak kelimpahan ikan cakalang terjadi pada kuartal IV, namun kelimpahan ikan cakalang berdasarkan perhitungan VGPM puncaknya terjadi pada kuartal II Tipologi hubungan Tipologi hubungan merupakan pemetaan menggunakan grafik untuk menentukan secara deskriptif keberadaan ikan berdasarkan produksi dan

156 125 produktivitas ikan cakalang dalam hubungannya dengan suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a. Tipologi umum ditentukan karena dari hasil pemetaan dengan grafik menunjukkan adanya kecenderungan tipologi yang sama masing-masing parameter statistik SPL dan klorofil-a pada setiap zona. Dengan demikian tipologi umum adalah menggambarkan keberadaan ikan pada masing-masing parameter statistik berdasarkan produksi dan produktivitas pada setiap zona Tipologi berdasarkan produksi ikan Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori kalender di masing-masing zona dapat dilihat pada Tabel 29. Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a di Zona Utara pada kategori kalender dapat dilihat pada Gambar 68. Berdasarkan parameter statistik mean adalah tipe 10, yaitu ikan ada di perairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah. Tipe 10 ini juga terlihat pada parameter statistik varians dan standar deviasi. Tipologi ini mengindikasikan bahwa ikan ada di perairan lebih ditentukan oleh perubahan kondisi klorofil-a yang rendah, meskipun pada nilai SPL rendah sampai tinggi. Namun berdasarkan parameter statistik median dan modus hubungan tipe 3 di mana ikan ada di perairan dengan SPL tinggi pada klorofil-a rendah. Sedangkan berdasarkan range dan koefisien keragaman diperoleh tipe 11 bahwa ikan tersebar diperairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Penyebaran ikan di Zona Utara didominasi tipe 10, sehingga tipe di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan tersebar di perairan pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah. Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi ikan di Zona Tengah pada kategori kalender dapat dilihat pada Gambar 69. Berdasarkan parameter statistik mean menunjukkan tipe 11, yang mengindikasikan ikan tersebar diperairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Hal yang sama juga diperoleh pada parameter statistik median dan modus. Namun berdasarkan parameter varians, standar deviasi dan range diperoleh hubungan dengan tipe 10, yaitu ikan ada di perairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah. Sedangkan berdasarkan parameter statistik koefisien keragaman diperoleh hubungan dengan tipe 11, yaitu ikan tersebar di perairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Penyebaran ikan di Zona Tengah di dominasi tipe 11, sehingga tipe di Zona Tengah berdasarkan kategori

157 126 kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang di Zona Selatan pada kategori kalender dapat dilihat pada Gambar 70. Berdasarkan parameter statistik mean menunjukkan tipe 5, yang mengindikasikan bahwa ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi dan SPL tinggi, parameter statistik median tipe 9 dan parameter modus tipe 11. yang mengindikasikan ikan tersebar diperairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Namun berdasarkan parameter varians, standar deviasi dan range dan koefisien keragaman diperoleh hubungan dengan tipe 10, yaitu ikan ada di perairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil rendah. Penyebaran ikan di Zona Selatan didominasi tipe 10, sehingga tipe di Zona Selatan berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah. Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang di Zona Utara pada kategori musim di masing-masing zona dapat dilihat pada Tabel 30. Pada kategori musim berdasarkan parameter statistik mean, median dan varians keberadaan ikan adalah tipe 10, yaitu ikan ada diperairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah. Namun pada parameter statistik range menunjukkan tipe 7 yaitu ikan ada di perairan dengan klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah sedangkan parametetr statistik standar deviasi dan koefisien keragaman menunjukkan tipe 6, di mana ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi dan SPL rendah (Gambar 71). Namun dari seluruh tipologi terlihat bahwa keberadaan ikan didominasi tipe 10, sehingga tipe di zona utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produksi adalah ikan berada diperiran pada SPL yang rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah. Tipologi hubungan pada kategori musim di Zona Tengah dari parameter statistik mean, median dan modus adalah tipe 5, yaitu ikan ada di perairan pada klorofil-a tinggi dan SPL tinggi. namun pada parameter statistik standar deviasi menunjukkan keberadaan ikan adalah tipe 11, yaitu ikan tersebar di perairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a (Gambar 72). Sedangkan pada parameter statistik koefisien keragaman adalah tipe 10, yaitu ikan ada di perairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Kecenderungan parameter statistik lainnya menunjukkan tipologi keberadaan ikan pada kategori musim di Zona Tengah berada pada SPL tinggi dan klorofil-a

158 127 tinggi. Tipologi pada kategori musim di Zona Tengah didominasi oleh tipe 5, sehingga tipe di zona tengah berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produksi menunjukkan keberadaan ikan cenderung berada pada klorofil-a dan SPL yang tinggi. Tipologi umum pada kategori musim di Zona Selatan dari parameter statistik mean yang menunjukkan tipe 5, yaitu ikan ada di perairan pada klorofil-a tinggi dan SPL tinggi. Parameter statistik median dan modus menunjukkan tipe 11, ikan tersebar di perairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a, adapun parameter varians dan standar deviasi menunjukkan tipe 10. Pada parameter statistik range menunjukkan tipe 7 yaitu ikan ada di perairan dengan klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah (Gambar 73). Sedangkan parameter statistik koefisien keragaman menunjukkan tipe 11 sama dengan parameter median dan modus. Tipologi pada kategori musim di Zona Selatan didominasi oleh tipe 11, sehingga tipe di Zona Selatan berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produksi menunjukkan keberadaan ikan cenderung berada pada SPL rendah sampai tinggi dengan konsentrasi klorofil-a rendah maupun tinggi Tipologi berdasarkan produktivitas ikan Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori kalender di masing-masing zona dapat dilihat pada Tabel 31. Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a di Zona Utara pada kategori kalender dapat dilihat pada Gambar 74. Berdasarkan parameter statistik mean, median dan modus menunjukkan tipe 8, yaitu ikan ada di perairan dengan klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL tinggi. Parameter statistik varians dan standar deviasi menunjukkan tipe 11, hal ini sama dengan parameter statistik koefisien keragaman. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh parameter statistik range dengan tipe 5 yaitu ikan ada di perairan pada klorofil-a tinggi dan SPL tinggi. Dengan demikian tipologi hubungan pada kategori kalender di Zona Uara didominasi tipe 8 dan 11, sehingga tipe di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produktivitas menunjukkan keberadaan ikan cenderung berada pada klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL yang rendah sampai tinggi. Tipologi umum hubungan SPL dan klorofil-a dengan produktivitas ikan pada kategori kalender di Zona Tengah (Gambar 75). Berdasarkan parameter statistik mean dan modus menunjukkan tipe 11, yaitu ikan tersebar di perairan

159 128 pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Adapun parameter statistk median tipe 9 yaitu ikan ada di perairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a tinggi. Sedangkan parameter statistik varians, standar deviasi, range dan koefisien keragaman menunjukkan tipe yang sama yaitu tipe 11. Tipologi hubungan di Zona Tengah pada kategori kalender didominasi tipe 11, sehingga tipe di Zona Tengah berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi pula. Tipologi umum hubungan SPL dan klorofil-a dengan produktivitas ikan pada kategori kalender di Zona Selatan (Gambar 76). Berdasarkan parameter statistik mean menunjukkan tipe 5, yaitu ikan ada di perairan pada klorofil-a tinggi dan SPL tinggi. Adapun parameter statistik median, modus dan standar deviasi menunjukkan tipe 11, yaitu ikan tersebar di perairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Sedangkan berdasarkan parameter statistik varians, range dan koefisien keragaman menunjukkan tipe yang sama yaitu tipe 10, yaitu ikan ada diperairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil rendah, Tipologi hubungan di Zona Selatan pada kategori kalender didominasi tipe 10 dan 11, sehingga tipe di Zona Selatan berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah sampai tinggi. Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori musim di masing-masing zona dapat dilihat pada Tabel 32. Tipologi umum hubungan SPL dan klorofil-a dengan produktivitas ikan pada kategori musim di Zona Utara (Gambar 77). Berdasarkan parameter statistik mean dan modus menunjukkan tipe 8, ikan ada di perairan dengan klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL tinggi. Parameter statistk median, varians, standar deviasi dan koefisien keragaman menunjukkan tipe 11, sedangkan parameter statistik range menunjukkan tipe 5. Pada tipe 5 adalah ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi dan SPL tinggi dan tipe 11 adalah ikan tersebar di perairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Tipologi hubungan di Zona Utara pada kategori musim didominasi tipe 11, sehingga tipe di Zona Utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL tinggi. Tipologi umum hubungan SPL dan klorofil-a dengan produktivitas ikan pada kategori musim di Zona Tengah (Gambar 78). Berdasarkan parameter

160 129 statistik mean menunjukkan tipe 11, yaitu ikan tersebar di perairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Adapun median dan modus menunjukkan tipe 10 yaitu ikan ada diperairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah, sedangkan parameter statistik varians, standar deviasi, range dan koefisien keragaman menunjukkan tipe yang sama yaitu tipe 7 yaitu ikan ada di perairan dengan klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah. Tipologi hubungan di Zona Tengah pada kategori musim didominasi tipe 7, sehingga tipe di Zona Tengah berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada SPL rendah sampai tinggi dan klorofil-a rendah. Tipologi umum hubungan SPL dan klorofil-a dengan produktivitas ikan pada kategori musim di Zona Selatan (Gambar 79). Berdasarkan parameter statistik mean, median dan modus menunjukkan tipe 11, yaitu ikan tersebar di perairan pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Adapun parameter varians dan standar deviasi menunjukkan tipe yang sama yaitu tipe 6 di mana ikan ada di perairan dengan klorofil-a tinggi dan SPL rendah, sedangkan untuk range dan koefisien keragaman menunjukkan tipe 10 yaitu ikan ada diperairan dengan SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah. Tipologi hubungan di Zona Selatan pada kategori musim didominasi tipe 11, sehingga tipe di Zona Selatan berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah sampai tinggi Korelasi parsial antara SPL dan klorofil-a dengan produksi dan produktivitas ikan Korelasi parsial antara SPL dan klorofil-a dengan produksi ikan Analisis korelasi parsial melalui regresi berganda antara 7 parameter statistik SPL dan klorofil-a yaitu mean, median, modus, varians, standar deviasi, range dan koefisien keragaman dengan produksi ikan cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori kalender menunjukkan hanya parameter statistik varians SPL yang korelasi signifikan (P<0,05) terhadap produksi (Tabel 33), sedangkan parameter statistik lainnya menunjukkan korelasi yang tidak signifikan. Pada kategori musim analisis korelasi parsial di Zona Utara menunjukkan hubungan yang signifikan (P<0,05) berdasarkan parameter statistik modus SPL. Korelasi hubungan signifikan (P<0,05), juga terjadi pada parameter statistik

161 130 standar deviasi artinya bahwa produksi ikan cakalang berkorelasi dengan perubahan SPL. Sedangkan untuk parameter statistik yang lain korelasi parsial tidak signifikan. Korelasi hubungan yang signifikan (P<0,05) juga terjadi pada parameter statistik varians klorofil-a, artinya bahwa produksi ikan cakalang berkorelasi dengan perubahan klorofil-a. Koefisen parsial korelasi di Zona Tengah pada kategori kalender (Tabel 33) menunjukkan untuk SPL dan klorofil-a tidak terdapat korelasi yang signifikan pada semua parameter statistik. Sedangkan di Zona Tengah pada kategori musim menunjukkan untuk SPL korelasi signifikan (P<0,05) hanya terdapat pada parameter statistik median. Koefisien parsial korelasi juga signifikan (P<0,05) pada parameter statistik median untuk klorofil-a. Dengan pada kategori musim produksi ikan cakalang berkorelasi dengan perubaan kuartalan SPL dan klorofil-a. Koefisien parsial korelasi pada kategori musim di Zona Selatan (Tabel 33) menunjukkan untuk SPL terdapat korelasi yang signifikan (P<0,05) pada parameter statistik varians, standar deviasi dan koefisien keragaman, demikian juga untuk klorofil-a terdapat korelasi yang signifikan (P<0,05) pada parameter statistik standar deviasi dan koefisien keragaman, sedangkan parameter statistik yang lain tidak berkorelasi. Dengan demikian pada kategori musim di Zona Selatan produksi ikan cakalang berkorelasi dengan perubaan kuartalan SPL dan klorofil-a Korelasi parsial antara SPL dan klorofil-a dengan produktivitas ikan Parsial korelasi pada kategori kalender di Zona Utara (Tabel 34) untuk keseluruhan parameter statistik signifikan terhadap produktivitas ikan cakalang. untuk SPL dan klorofil-a tidak ada yang Pada kategori musim di Zona Utara (Tabel 34) untuk keseluruhan parameter statistik untuk SPL dan klorofil-a tidak ada yang signifikan terhadap produktivitas ikan cakalang. Sehingga dapat dikatakan bahwa korelasi SPL dan klorofil terhadap produktivitas ikan cakalang sangat lemah. Hasil analisis korelasi parsial untuk SPL kategori kalender di Zona Tengah (Tabel 34), untuk keseluruhan parameter statistik signifikan terhadap produktivitas ikan cakalang. untuk SPL dan klorofil-a tidak ada yang Pada kategori musim di Zona Tengah (Tabel 34) menunjukkan untuk SPL dan klorofil-a terdapat korelasi yang signifikan (P<0,05) pada parameter statistik

162 Produksi (ton) 131 modus dan median. Dengan demikian pada kategori musim di Zona Tengah produksi ikan cakalang berkorelasi dengan perubaan kuartalan SPL dan klorofil-a. Koefisien korelasi parsial kategori kalender di Zona Selatan (Tabel 34) untuk keseluruhan parameter statistik untuk SPL dan klorofil-a tidak ada yang signifikan terhadap produktivitas ikan cakalang. Koefisien korelasi parsial pada kategori musim di Zona Selatan (Tabel 34) untuk keseluruhan parameter statistik untuk SPL dan klorofil-a tidak ada yang signifikan terhadap produktivitas cakalang Aktual Estimasi Biomas I II III IV I II III IV Tahun dan Kuartal Gambar 56 Fluktuasi produksi cakalang kuartalan pada kondisi aktual dan biomas berdasarkan VGPM di Zona Utara dalam kurun waktu 2 tahun ( ).

163 Produksi (ton) Produksi (ton) Aktual Estimasi Biomas I II III!V I II III IV Tahun dan Kuartal Gambar 57 Fluktuasi produksi cakalang kuartalan pada kondisi aktual dan biomas berdasarkan VGPM di Zona Tengah dalam kurun waktu 2 tahun ( ) Aktual Estimasi Biomas I II III!V I II III IV Tahun dan Kuartal Gambar 58 Fluktuasi produksi cakalang kuartalan pada kondisi aktual dan biomas berdasarkan VGPM di Zona Selatan dalam kurun waktu 2 tahun ( ).

164 Produktivitas (ton/trip) Produktivitas (ton/trip) 133 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 I II III!V I II III IV Tahun dan Kuartal Gambar 59 Fluktuasi produktivitas cakalang periode kuartalan di Zona Utara dalam kurun waktu 2 tahun ( ). 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 I II III!V I II III IV Tahun dan Kuartalan Gambar 60 Fluktuasi produktivitas cakalang periode kuartalan di Zona Tengah dalam kurun waktu 2 tahun ( ).

165 Produktivitas (ton/trip) 134 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 I II III!V I II III IV Tahun dan Kuartal Gambar 61 Fluktuasi produktivitas cakalang periode kuartalan di Zona Selatan dalam kurun waktu 2 tahun ( ).

166 SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) 135 Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Mean 1,5 1 0,5 0 Standar devuiasi I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 32 Median Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Range I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Modus I II III IV I II III IV Koefisien keragaman I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 2 Varians 1,5 1 0,5 0 I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Gambar 62 Pola perubahan kuartalan parameter statistik suhu permukaan laut ( 0 C) pada kategori kalender pada setiap zona.

167 SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) SPL (oc) 136 Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Mean I II III IV I II III IV 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Standar deviasi I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Median Range I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Modus Koefisien Keragaman I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 1,5 1 0,5 0 Varians I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Gambar 63 Pola perubahan kuartalan parameter statistik suhu permukaan laut ( 0 C) pada kategori musim pada setiap zona.

168 Klorofil-a(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofil(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofil-a(mb/m3) 137 Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Mean I II III IV I II III IV 1 0,5 0 Standar deviasi I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Median I II III IV I II III IV Range I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Modus I II III IV I II III IV Koefisien keragaman I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Varians I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Gambar 64 Pola perubahan kuartalan parameter statistik klorofil-a (mg/m 3 ) pada kategori kalender pada setiap zona.

169 Klorofil-a(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofil=a(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofil-a(mg/m3) Klorofilo-a(mg/m3) 138 Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,6 0,4 0,2 Mean 0,8 0,6 0,4 0,2 Standar deviasi 0 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Median Range I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Modus Koefisien Keragaman I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Kuartal (Tahun ) Kuartal (Tahun ) Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan 0,6 Varians 0,4 0,2 0 I II III IV I II III IV Kuartal (Tahhun ) Gambar 65 Pola perubahan kuartalan parameter statistik klorofil-a (mg/m 3 ) pada kategori musim pada setiap zona.

170 Rata-rata PPeu (mgc/m 2 /bln) Rata-rata PPeu (mgc/m 2 /bln) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des Tahun 2006 Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Gambar 66 Nilai rata-rata Pp eu (mgc/m 2 /hr) di zona Utara, Tengah dan Selatan di kawasan Teluk Bone Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des Tahun 2007 Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Gambar 67 Nilai rata-rata Pp eu (mgc/m 2 /hr) di zona Utara, Tengah dan Selatan di kawasan Teluk Bone Tahun 2007.

171 140 Tabel 25 Nilai kisaran perubahan SPL ( 0 C) kuartalan pada setiap zona dalam kurun waktu 2 tahun (tahun ) Parameter statistik zona Utara zona Tengah zona Selatan Kalender Musim Kalender Musim Kalender Musim Mean 29,2-31,4 29,3-31,5 28,2-30,7 28,7-30, ,1 27,7-30,3 Median 29,2-31,4 29,3-31,4 28,2-30,8 28,5-30,9 27,3-30,2 27,7-30,4 Modus 28,4-31,5 29,6-31,5 28,6-31,8 28,6-30,4 27,0-30,8 27,4-30,8 Varians 0.3-1, , ,3 0,2-1, ,4-1,0 Standar deviasi 0,5-1,0 0,5-1,1 0,4-1,1 0,4-1, ,3 0,6-1,0 Range 2,7-4,6 3,1-6,8 3,0-5,5 2,4-12,3 2,1-5,5 3,3-11,8 Koefisien Keragaman 1,7-3,2 1,8-3,7 1,5-3,8 1,4-3,5 1,8-4,3 2,0-3,6 Tabel 26 Nilai kisaran perubahan klorofil (mg/m 3 ) kuartalan pada setiap zona dalam kurun waktu 2 tahun (tahun ) Parameter statistik zona Utara zona Tengah zona Selatan Kalender Musim Kalender Musim Kalender Musim mean 0,3-0,7 0,3-0,6 0,2-0,3 0,2-0,4 0,2-0,3 0,2-0,2 median 0,2-0,4 0,2-0,3 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,2 modus 0,2-0,3 0,2-0,3 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,6 0,1-0,3 Varians 0,1-0,7 0,1-0,5 0,1-0,3 0,1-0,3 0,1-0,1 0,1-0,1 Standar deviasi 0,2-0,8 0,3-0,7 0,1-0,6 0,1-0,5 0,1-0,3 0,1-0,3 Range 1,5-6,1 1,9-6,1 0,9-9,8 1,2-9,8 0,6-4,3 0,5-4,3 Koefisien Keragaman 74,3-144,9 85,3-138,3 62,7-171,7 63,0-187,4 39,5-113,4 31,6-113,9

172 141 Tabel 27 Rata-rata produktivitas primer (mgc/m 2 /hr) pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Tahun 2006 Tahun 2007 Bulan Zona Zona Utara Tengah Selatan Utara Tengah Selatan Januari 482,63 296,39 406,29 490,35 428,24 401,57 Februari 476,91 362,67 377,46 523,10 357,01 358,55 Maret 503,42 407,51 478,77 449,33 384,18 350,38 April 547,54 380,63 338,11 960,29 535,32 372,61 Mei 739,80 441,24 377,71 829,61 526,55 417,48 Juni 721,06 530,85 462,90 850,19 554,48 392,52 Juli 589,01 524,98 514,29 703,81 589,12 512,57 Agustus 471,04 525,23 588,87 618,16 570,21 504,22 September 498,46 491,80 508,82 537,15 476,95 461,56 Oktober 462,81 491,97 554,64 543,93 448,86 399,48 Nopember 529,66 456,44 409,08 671,20 447,88 351,99 Desember 546,62 441,95 375,66 550,81 472,69 377,83 Tabel 28 Estimasi biomas cakalang pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Tahun 2006 Biomas ikan Tahun 2006 Bulan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan mgc/m 2 Ton mgc/m 2 Ton mgc/m 2 Ton Januari 482,63 97,73 296,39 60,02 406,29 82,27 Februari 476,91 96,57 362,67 73,44 377,46 76,43 Maret 503,42 101,94 407,51 82,52 478,77 96,95 April 547,54 110,88 380,63 77,08 338,11 68,47 Mei 739,80 149,81 441,24 89,35 377,71 76,49 Juni 721,06 146,01 530,85 107,50 462,90 93,74 Juli 589,01 119,27 524,98 106,31 514,29 104,14 Agustus 471,04 95,39 525,23 106,36 588,87 119,25 September 498,46 100,94 491,80 99,59 508,82 103,04 Oktober 462,81 93,72 491,97 99,62 554,64 112,31 Nopember 529,66 107,26 456,44 92,43 409,08 82,84 Desember 546,62 110,69 441,95 89,50 375,66 76,07 Rata-rata 547,41 110,85 445,97 90,31 449,38 91,00 S.deviasi 89,30 18,89 70,21 14,85 80,30 16,26

173 142 Tabel 29 Estimasi biomas cakalang pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone Tahun 2007 Biomas ikan Tahun 2007 Bulan Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan mgc/m 2 Ton mgc/m 2 Ton mgc/m 2 Ton Januari 490,35 99,30 428,24 86,72 401,57 81,32 Februari 523,10 105,93 357,01 72,29 358,55 72,61 Maret 449,33 90,99 384,18 77,80 350,38 70,95 April 960,29 194,46 535,32 108,40 372,61 75,45 Mei 829,61 168,00 526,55 106,63 417,48 84,54 Juni 850,19 172,16 554,48 112,28 392,52 79,48 Juli 703,81 142,52 589,12 119,30 512,57 103,80 Agustus 618,16 125,18 570,21 115,47 504,22 102,11 September 537,15 108,77 476,95 96,58 461,56 93,47 Oktober 543,93 110,15 448,86 90,89 399,48 80,90 Nopember 671,20 135,92 447,88 90,69 351,99 71,28 Desember 550,81 111,54 472,69 95,72 377,83 76,51 Rata-rata 649,99 130,31 482,62 97,73 408,40 82,70 S.deviasi 161,87 32,78 73,72 14,81 56,06 11,35 K Mean K Median K Modus K Varians S S S S Tipe 10 Tipe 3 Tipe 3 Tipe 10 K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 10 Tipe 11 Tipe 11 Gambar 68 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori kalender di Zona Utara.

174 143 K Mean K Median K Modus K Varians S S S S Tipe 11 Tipe 11 Tipe 11 Tipe 10 K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 10 Tipe 10 Tipe 11 Gambar 69 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori kalender di Zona Tengah. K Mean K Median K Modus K Varians S S S S Tipe 5 Tipe 9 Tipe 11 Tipe 10 K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 10 Tipe 10 Tipe 10 Gambar 70 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori kalender di Zona Selatan.

175 144 Tabel 30 Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori kalender dengan produksi cakalang. Parameter statistik Mean Median Modus Varians Standar deviasi Tipe hubungan SPL dan klorofi-a dengan produksi ikan U T S U T S U T S U T S U T S Range U T S K. keragaman U T S Keterangan : huruf U, T, dan S adalah zona Utara, Tengah dan Selatan K Mean K Median K Modus K Varians S S S S Tipe 10 Tipe 10 Tipe 11 Tipe 10 K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 6 Tipe 7 Tipe 6 Gambar 71 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori musim di Zona Utara.

176 145 K Mean K Median K Modus K Varians S S S S Tipe 5 Tipe 5 Tipe 5 Tipe 10 K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 11 Tipe 4 Tipe 10 Gambar 72 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil -a dengan produksi cakalang pada kategori musim di Zona Tengah. K Mean K Median K Modus K Varians S S S S Tipe 5 Tipe 11 Tipe 11 Tipe 10 K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 10 Tipe 7 Tipe 11 Gambar 73 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada kategori musim di Zona Selatan.

177 146 Tabel 31 Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori musim dengan produksi cakalang Parameter Tipe hubungan SPL dan klorofi-a dengan produksi ikan statistik U Mean T S U Median T S U Modus T S Varians U T S U Standar deviasi T S U Range T S U K. keragaman T S Keterangan : huruf U, T, dan S adalah zona Utara, Tengah dan Selatan K Mean K Median K Modus K Varians Tipe 8 S Tipe 8 K S Tipe 8 S Tipe 11 S K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 11 Tipe 8 Tipe 11 Gambar 74 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori kalender di Zona Utara.

178 147 K Mean K Median K Modus K Varians Tipe 11 S Tipe 9 K S Tipe 11 S Tipe 11 S K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 11 Tipe 11 Tipe 11 Gambar 75 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori kalender di Zona Tengah. K Mean K Median K Modus K Varians Tipe 5 S Tipe 11 K S Tipe 11 S Tipe 10 K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 11 Tipe 10 Tipe 10 Gambar 76 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil -a dengan produktivitas cakalang pada kategori kalender di Zona Selatan.

179 148 Tabel 32 Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori kalender dengan produktivitas cakalang Mean Parameter statistik Median Modus Varians Tipe hubungan SPL dan klorofi-a dengan produktivitas ikan U T S U T S U T S U T S Standar deviasi U T S Range U T S K. keragaman U T S Keterangan : huruf U, T, dan S adalah zona Utara, Tengah dan Selatan K Mean K Median K Modus K Varians Tipe 8 S Tipe 11 K S Tipe 8 S Tipe 11 S K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 11 Tipe 5 Tipe 5 Gambar 77 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori musim di Zona Utara.

180 149 K Mean K Median K Modus K Varians Tipe 11 S Tipe 10 K S Tipe 10 S Tipe 7 S K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 7 Tipe 7 Tipe 7 Gambar 78 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori musim di Zona Tengah. K Mean K Median K Modus K Varians Tipe 11 S Tipe 11 K S Tipe 11 S Tipe 6 S K Standar deviasi K Range K K.keragaman S S S Tipe 6 Tipe 10 Tipe 10 Gambar 79 Tipologi umum hubungan parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada kategori musim di Zona Selatan.

181 150 Tabel 33 Tipologi Umum SPL dan klorofil-a kategori musim dengan produktivitas cakalang Parameter Tipe hubungan SPL dan klorofi-a dengan produksi ikan statistik Mean U T S Median U T S Modus U T S Varians U T S Standar deviasi U T S Range U T S K. keragaman U T S Keterangan : huruf U, T, dan S adalah zona Utara, Tengah dan Selatan Tabel 34 Korelasi parsial parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang pada setiap zona Utara Tengah Selatan Deskripsi statistik KL MS KL MS KL MS SPL 0,023-0,428-0,351-0,720-0,607-0,594 Mean klorofil-a -0,479-0,637-0,345-0,687-0,623-0,577 SPL -0,043-0,487-0,121-0,829* -0,190 0,143 Median klorofil-a -0,619-0, ,765* 0,414 0,408 SPL 0,145-0,871* 0,070-0,409-0,027 0,116 Modus klorofil-a -0,571 0,270-0,220-0,016 0,502 0,724 SPL 0,708* 0,426 0,399-0,039-0,076 0,792* Varians klorofil-a -0,446-0,771* -0,422-0,495-0,465 0,715 Standar SPL 0, ,333-0,003-0,144 0,829* deviasi klorofil-a -0,184-0,844* -0,376-0,456-0,588-0,770* SPL 0,390 0,273-0,125 0,093-0,290-0,412 Range klorofil-a 0,313-0,653-0,326-0,277-0,549-0,352 Koefisien SPL 0,543 0,391 0,359-0,053 0,081 0,865* keragaman klorofil-a 0,450-0,631-0,334-0,448-0,655-0,853* Keterangan: KL= kalender; MS= musim; cetak tebal dan tanda* = signifikan pada p<0,05

182 151 Tabel 35 Parsial korelasi parameter statistik SPL dan klorofil-a dengan produktivitas cakalang pada setiap zona Utara Tengah Selatan Deskripsi statistik KL MS KL MS KL MS SPL 0,452 0,724 0,704 0,897* -0,373-0,039 Mean klorofil-a 0,508 0,161 0,686 0,835* -0,501-0,200 SPL 0,500 0,563 0,440 0,926* 0,339 0,633 Median klorofil-a 0,522-0, ,869* 0,325 0,526 SPL 0,656 0,578 0,086 0,381 0,419 0,419 Modus klorofil-a 0,435 0,475 0,169-0,175 0,465 0,410 SPL 0,040-0,220-0,138-0,464-0,183 0,147 Varians klorofil-a 0,363 0,292 0,671 0,644-0,669-0,624 Standar SPL 0, ,079-0,471-0,254 0,222 deviasi klorofil-a 0,326 0,304 0,584 0,586-0,713-0,655 SPL 0,359 0,218 0,474-0,132-0,254-0,473 Range klorofil-a -0,143 0,068 0,733 0,540-0,682-0,638 Koefisien SPL 0,302-0,266-0,114-0,411-0,030 0,198 keragaman klorofil-a -0,272 0,202 0,563 0,610-0,699-0,711 Keterangan: KL= kalender; MS= musim; cetak tebal dan tanda* = signifikan pada p<0, Pembahasan Kondisi lingkungan laut merupakan hal yang perlu diketahui sehubungan dengan fluktuasi stok ikan, karena keadaan populasi ikan dipengaruhi, baik oleh kondisi lingkungannya maupun oleh kegiatan penangkapan ikan. Variasi dan dinamika lingkungan laut akan menyebabkan terjadi pergeseran kelimpahan ikan dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah perairan yang berdampak terhadap keadaan suatu perikanan (Almuas dan Jaya 2006). Banyak faktor yang mempengaruhi ruaya dan keberadaan ikan cakalang dalam suatu perairan, diantaranya adalah suhu permukaan laut dan kesuburan perairan. Distribusi ikan pelagis seperti cakalang dapat diprediksi melalui analisis suhu optimum yang diketahui dan perubahan-perubahan suhu permukaan laut secara bulanan (Laevastu dan Hela 1970). Perubahan keberadaan ikan juga dapat dipahami sebagai bentuk respon ikan terhadap perubahan lingkungannya. Namun perlu dipahami bahwa perubahan lingkungan perairan pantai berbeda-beda pada setiap kondisi perairan. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh letak posisi geografi, geomorfologi pantai, serta dampak dari aktivitas di daratan. Fluktuasi bulanan SPL dan klorofil-a di setiap zona dalam kawasan Teluk Bone berbeda. Mean SPL di Zona Utara lebih tinggi dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan, dan mean SPL di Zona Tengah lebih tinggi dibandingkan

183 152 Zona Selatan (Lampiran 24). Fluktuasi SPL di Zona Utara lebih kecil dibandingkan di Zona Tengah dan Zona Selatan, dan fuktuasi SPL di Zona Tengah lebih kecil dibandingkan Zona Selatan. Perbedaan fluktuasi tersebut menunjukkan bahwa di Zona Utara lebih stabil dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan. Kestabilan SPL di Zona Utara berkaitan dengan posisi geografi, di mana pada Zona Utara massa air dingin yang masuk dari laut Flores (mulut teluk) relatif kecil, selain itu pula di Zona Utara perairannya lebih dangkal dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan. Sebagaimana diketahui bahwa massa air di Zona Selatan lebih dingin hal ini karena pengaruh angin munson. Secara bergantian antara musim Timur dan Barat menyebabkan arah aliran massa air berbeda yang berdampak terhadap perubahan SPL. Nilai SPL di seluruh zona dalam kawasan Teluk Bone mengalami titik terendah pada musim Timur (Juni-Agustus), Hal ini berkaitan dengan suhu dingin yang berasal dari Laut Banda, dimana pada musim Timur tersebut suhu permukaan air laut Banda mencapai titik terendah yaitu 26,5 0 C dan massa air yang dingin ini bergerak dari arah Timur (Laut Banda) mengalir ke arah Barat (Laut Jawa) melalui laut Flores sebelah Utara (Teluk Bone). Selain itu pada musim Timur juga terjadi proses up welling di laut Banda (Susanto et al diacu dalam Tubalawony et al. 2007). Penaikan massa air menyebabkan massa air yang dingin pada lapisan bawah akan terangkat naik, menyebabkan SPL pada bagian permukaan lebih dingin atau lebih rendah dibandingkan pada musim-musim lain. Massa air yang dingin tersebut melewati laut Flores dan masuk ke kawasan Teluk Bone sehingga SPL di seluruh zona rendah terutama di Zona Selatan. Pada musim Timur pusat tekanan udara rendah yang terjadi diatas Benua Asia dan pusat tekanan udara tinggi diatas Benua Australia menyebabkan angin behembus dari Tenggara menuju Barat laut. Di Pulau Jawa bertiup Angin Muson Tenggara. Selama musim Timur, Pulau Jawa biasanya mengalami kekeringan. Angin muson timur berhembus setiap bulan April - Oktober, ketika matahari mulai bergeser ke belahan bumi utara. Di belahan bumi utara khususnya benua Asia temperaturnya tinggi dan tekanan udara rendah (minimum). Sebaliknya di benua Australia yang telah ditinggalkan matahari, temperaturnya rendah dan tekanan udara tinggi (maksimum). Terjadilah pergerakan angin dari benua Australia ke benua Asia melalui Indonesia sebagai angin muson timur. Angin ini tidak banyak menurunkan hujan, karena hanya melewati laut kecil dan jalur sempit seperti laut Timor, laut Arafuru, dan bagian selatan Irian Jaya, serta Kepulauan Nusa

184 153 Tenggara. Oleh sebab itu, di Indonesia sering menyebutnya sebagai musim kemarau. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tingginya suhu dapat menaikkan laju maksimum, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah fotosintesa (Pmax) struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al. 1997). Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu. Klorofil-a di Zona Utara lebih tinggi dibandingkan dengan zona Tengah dan Zona Selatan (Lampiran 25). Fluktuasi klorofil-a di Zona Utara juga lebih besar dibandingkan dengan Zona Tengah dan Zona Selatan. Perbedaan fluktuasi bulanan klorofil-a dipengaruhi oleh munson sebagai pengaruh utama. Selain itu pada perairan pantai juga dipengaruhi oleh garis pantai dan topografi (Birowo 1982 diacu dalam Nelwan 2010). Kandungan klorofil-a dipengaruhi oleh musim (Timur dan Barat), di mana kandungan klorofil-a berbeda antara musim Barat dan Timur di mana pada musim Timur sebaran kandungan klorofil-a lebih tinggi dibandingkan pada musim Barat pada zona yang sama (Zona Selatan) (Gambar 25). Nilai kandungan nitrat berkisar antara 0,120-0,796 ppm dan fosfat 1,152-0,500 ppm di Zona Selatan cukup tinggi sebagai akibat peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan (upwelling), namun nutrien tersebut terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah Zona Utara sehingga zat hara yang berada pada Zona Selatan tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah (Wagey et al. 2004). Selanjutnya dinyatakan bahwa faktor lain yang menyebabkan tingginya klorofil-a di Zona Utara karena adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang dibutuhkan fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Kesuburan suatu perairan merupakan gambaran dan kandungan fitoplankton di perairan tersebut. Kandungan klorofil-a di Zona Utara cukup besar yaitu 0,40 mg/m 3 dalam kurun waktu 2006 dan 2007, sehingga akan

185 154 menyuburkan perairan seperti yang dikemukakan oleh Borstad and Gower (1984 diacu dalam Masrikat 2009), bahwa konsentrasi klorofil-a di atas 0,2 mg/m 3, menunjukkan kehadiran dan kehidupan plankton yang memadai untuk menopang atau mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan komersil. Plankton (fitoplankton) yang merupakan produsen utama dari jaringan makanan di laut, mengandung klorofil-a yang mampu mengkonversi energi cahaya matahari, bahan anorganik seperti nitrogen, dan karbon dioksida (CO 2 ) yang dilarutkan dalam karbohidrat terutama di perairan terbuka. Total biomassa fitoplankton lebih besar dari semua binatang laut (zooplankton, ikan dan lainnya). Kehadiran fitoplankton di air menyebabkan cahaya diserap dan disebarkan, dan menjadikan lapisan permukaan laut akan hangat. Selain itu, hal mendasar dari fitoplankton ini adalah dalam pertumbuhannya, mereka menggunakan CO 2 dari atmosfir yang diserap ke dalam laut. Ketika mati, beberapa bagian plankton dari permukaan laut jatuh ke dasar dan menjadi sedimen dasar laut, sehingga akan terjadi perpindaan karbon dalam sistem yang ada (Komick 2005 diacu dalam Masrikat 2009). Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989) menyatakan nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya ke dalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara m. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan. Berdasarkan penelitian Nontji (1993) nilai rata-rata kandungan klorofil-a di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg/m 3, nilai rata-rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg/m 3 ) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada musim barat (0,16 mg/m 3 ). Hasil penelitian nilai rataan klorofil-a pada musim Timur (Juni-Agustus) di kawasan teluk Bone (Zona Utara, Zona Tengah dan Zona Selatan) dalam kurun waktu 2 tahun yaitu tahun 2006 dan 2007 diperoleh nilai lebih tinggi dibandingkan pada musim Barat (Desember- Februari). Nilai rataan klorofil-a pada musim Timur adalah 0,37 mg/m 3 dan pada musim Barat adalah 0,23 mg/m 3. Secara spasial pola sebaran klorofil-a di teluk Bone dalam kurun waktu 2 tahun (2006 dan 2007) terbagi dalam tiga bagian, yaitu di Zona Utara

186 155 konsentrasi klorofil-a tertinggi yaitu 0,40 mg/m 3, disusul Zona Tengah sebesar 0,27 mg/m 3 dan Zona Selatan terendah yaitu 0,23 mg/m 3. Kecenderungan perbedaan konsentrasi klorofil-a merupakan klasifikasi adanya perbedaan kondisi ekosistem diantara zona dalam kawasan teluk Bone. Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi di zona Utara karena tipe perairan pantai yang dangkal, sehingga proses pengadukan akan mencapai dasar perairan di mana terdapat zat hara hasil perombakan yang akan mudah terangkat ke lapisan permukaan. Tingginya produktivitas primer di Zona Utara dibandingkan di Zona Tengah dan Zona Selatan karena perairannya relatif lebih dangkal. Pada perairan dangkal interaksi ombak, arus pasang surut dan upwelling menimbulkan turbulensi. Turbulensi ini menyebabkan perairan pantai tidak terstratifikasi secara termal kecuali waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Produktivitas perairan pantai lebih tinggi tinggi ( gc/m 2 /hr) sebagai penyangga populasi zooplankton dan organisme bentos dibandingkan dengan perairan lepas pantai yang serupa karena melimpahnya nutrien baik yang berasal dari runoff maupun pendaurulangan (Nybakken 1982). Klorofil-a berkaitan dengan produktivitas primer, di mana produktivitas primer didefinisikan sebagai laju produksi senyawa organik dari senyawa anorganik lewat proses fotosintesis. Proses fotosintesis di alam hanya dapat berlangsung pada tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil (Nybakken, 1982). Tumbuh-tumbuhan dalam hal ini fitoplankton membutuhkan zat hara untuk proses produksi dan melakukan fotosintesis. Konsentrasi zat hara di perairan dangkal dan laut dalam berbeda. Pada laut dangkal, di mana konsentrasi zat hara tinggi pada kolom air akan mudah terangkat ke lapisan permukaan sebagai akibat dari proses percampuran secara vertikal. Pada perairan laut dalam atau laut terbuka akan terbentuk termokline, di mana kerapatan massa air berbeda antara lapisan permukaan dengan lapisan dalam. Dengan demikian perbedaan konsentrasi klorofil-a di Zona Utara lebih tinggi dibandingkan di zona Selatan karena perbedaan struktur kedalaman perairan, hal ini terlihat dari citra bathymetri Teluk Bone yang memperlihatkan bahwa di zona Utara lebih dangkal dibandingka zona Tengah dan Zona Selatan (Gambar 80).

187 156 Sumber : diolah dari etopo 2 global relief model, NGDC, NESDIS NOAA. Gambar 80 Kondisi bathymetri (kedalaman) di sekitar perairan Teluk Bone Konsentrasi klorofil-a sangat menentukan laju produktivitas primer suatu perairan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan VGPM diperoleh bahwa PP eu pada zona Utara tahun 2006 dan 2007 lebih tinggi dibandingkan zona lainnya, hal ini disebabkan karena faktor tofografi masing-masing zona dimana pada zona Utara tofografi lebih dangkal dibandingkan zona lainnya, sehingga penetrasi cahaya dikolom air lebih efektif. Gabric and Parslow (1989) menyatakan bahwa laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel fitoplankton. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksium adalah pada bagian atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Nybakken (1982) mempertegas bahwa zat hara dibutuhkan oleh plankton untuk bertumbuh khususnya fitoplankton sebagai produsen dalam fotosintesa. Ketersediaan zat hara yang tinggi di Indonesia dipengaruhi, 1) penambahan zat hara dari daratan yang terbawa aliran sungai; 2) adanya pengadukan (turbulensi); dan 3) penaikan massa air (upwelling). Daerah-daerah di mana

188 157 terjadi penaikan massa air/ upwelling berhubungan erat dengan tingginya nilai klorofil-a. Pada perhitungan SPL dan klorofil-a dari bulanan menjadi kuartalan menggunakan parameter statistik dengan perbedaan kategori skala waktu yaitu kategori kalender dan musim. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh dari selang waktu (time lag) sekitar 1 bulan. Fluktuasi mean SPL menunjukkan adanya perbedaan yang sangat kecil antara kategori kalender dan musim. Fluktuasi mean SPL, baik kategori kalender maupun musim menunjukkan Zona Utara cenderung lebih hangat dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan. Pada kuartal III kategori kalender Zona Selatan lebih dingin dibandingkan kuartal lll kategori musim di setiap zona. Fluktuasi modus SPL pada kuartal l kategori kalender lebih hangat dibandingkan kuartal yang sama pada kategori musim disetiap zona. Selanjutnya fluktuasi modus SPL pada kuartal lll kategori kalender lebih dingin dibandingkan kuartal yang sama pada kategori musim. Berdasarkan parameter statistik ukuran pemusatan data, fluktuasi mean klorofil-a, baik kategori kalender maupun musim menunjukkan Zona Utara (0,40 mg/m 3 ) lebih tinggi dibandingkan Zona Tengah (0,27 mg/m 3 ) dan Zona Selatan (0,23 mg/m 3 ). Fluktuasi mean klorofil-a di zona Utara lebih tinggi dibandingkan zona Tengah dan Zona Selatan pada setiap kuartal baik pada kategori kalender maupun musim. Pada fluktuasi modus, klorofil-a juga menunjukkan Zona Utara lebih tinggi dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan kecuali pada kuartal l dan 4 kategori musim pada Zona Selatan dan kuartal lll kategori kalender pada Zona Tengah dan Selatan. Hasil rataan konsentrasi klorofil-a tersebut menunjukkan bahwa di Zona Utara cenderung lebih subur dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan karena klorofil-a merupakan indikator yang menunjukkan tingkat kesuburan perairan. Hal ini disebabkan karena klorofil-a merupakan pigmen yang terdapat dalam sel fitopankton utamanya diatom. Salah satu dugaan penyebab sebaran klorofil-a di perairan adalah intensitas cahaya dan nutrien dalam air yang mempengaruhi laju fotositesis dan pertumbuhan fitoplankton (Mann dan Lazier diacu dalam Hatta, 2010). Tipologi hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi dan produktivitas dengan perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a berdasarkan parameter statistik ukuran pemusatan dan penyebaran data, baik pada kategori kalender maupun kategori musim dalam kurun waktu 2 tahun menjelaskan tentang kecenderungan keberadaan ikan akibat perubahan SPL dan klorofil-a. Tipologi keberadaan ikan pada kategori kalender maupun musim hubungannya dengan produksi di Zona

189 158 Utara cenderung ikan tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi dan ikan berada pada kondisi SPL rendah dan klorofil-a tinggi, hal ini sesuai dengan hasil analisis korelasi parsial yaitu SPL dan klorofil-a signifikan dengan produksi ikan pada kategori kalender dan musim. Pada Zona Tengah tipologi keberadaan ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi; kondisi SPL dan klorofil-a rendah maupun tinggi, sedangkan pada Zona Selatan tipologi yang terbentuk adalah ikan cenderung tersebar pada SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi; dan ikan tersebar pada SPL rendah sampai tinggi pada klorofil rendah sampai tinggi. Fluktuasi kuartalan SPL dan klorofil-a berdasarkan parmeter statistik mean dan modus, baik kategori kalender dan musim menunjukkan variasi fluktuasi tahunan di teluk Bone tahun yang berbeda setiap kuartal, baik kategori kalender maupun kategori musim. Fluktuasi SPL sebagaimana uraian sebelumnya cenderung Zona Utara lebih hangat dibanding Zona Tengah dan Zona Selatan. Fluktuasi kuartalan klorofil-a berdasarkan parameter statistik menunjukkan Zona Utara cenderung lebih tinggi dari Zona Tengah dan Zona Selatan. Fluktuasi SPL dan klorofil-a merupakan faktor oseanografi utama yang sering digunakan untuk mengetahui keberadaan dan kelimpahan ikan cakalang. Perubahan pada kondisi lingkungan laut akan menyebabkan terjadi pergeseran kelimpahan ikan dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah perairan dan akan berdampak terhadap ketersediaan ikan untuk kegiatan perikanan (Bakun et al 1982 diacu dalam Nelwan 2010). Fluktuasi kuartalan kelimpahan ikan disetiap zona mengindikasikan adanya respon ikan terhadap fluktuasi perubahan kondisi lingkungan laut. Selain faktor oseanografi, posisi geografi masing-masing zona juga menunjukkan perbedaan kondisi ekosistem dan terdapat fluktuasi kuartalan produksi dan produktivitas. Pada fluktuasi produksi di Zona Tengah menunjukkan produksi tertinggi, disusul Zona Selatan dan yang terendah adalah di Zona Utara. Fluktuasi kuartalan produksi tdak berbeda pada masing-masing zona. Pada Zona Utara produksi kuartalan tertinggi pada kuartal IV, Zona Tengah kuartal IV dan pada Zona Selatan juga pada kuartal ke IV. Sedangkan untuk fluktuasi kuartalan produktivitas pada Zona Utara produksi kuartalan tertinggi pada kuartal II, Zona Tengah kuartal II dan pada Zona Selatan juga pada kuartal ke II. Keberadaan ikan pada suatu perairan menjelaskan prilaku ekologis terhadap fluktuasi kondisi lingkungan. Prilaku ekologis adalah respon ikan untuk

190 159 mendapatkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan aktivitas, misalnya mencari makan, rekruitmen, pertumbuhan dan berbagai aktivitas lainnya yang berkaitan dengan fungsi ekologi dan biologi, sehingga prilaku ekologis ini akan menyebabkan ikan terkonsentrasi pada lokasi tertentu dalam suatu perairan. Terkonsentrasinya ikan dalam suatu perairan dapat digambarkan melalui grafik biplot berdasarkan fluktuasi SPL dan klorofil-a untuk menentukan tipologi hubungan pada kategori kalender maupun musim. Analisis dengan grafik biplot untuk menentukan keberadaan ikan berdasarkan fluktuasi SPL dan klorofil-a menunjukkan kecenderungan tipologi yang berbeda pada kategori kalender dan musim di Zona Utara, Tengah dan Zona Selatan. Analisis biplot berdasarkan produksi menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan adalah tipe 4 pada Zona Utara dan tipe 11 pada Zona Tengah dan Zona Selatan. Tipe 4 adalah ikan ada diperairan dengan SPL rendah pada klorofil-a tinggi. Tipe 11 adalah ikan tersebar pada semua kondisi SPL dan klorofil-a. Tipologi tersebut mengindikasikan bahwa pada Zona Utara respon ikan cenderung dipengaruhi oleh fluktusi SPL atau dengan kata lain bahwa faktor pembatas pola distribusi adalah SPL bukan klorofil-a. Kandungan klorofil-a yang tinggi di Zona Utara cenderung stabil karena selain kondisi geografi perairan yang dangkal, juga terbawa arus dari selatan menuju utara yang banyak mengandung nutrien khususnya nitrat dn fosfat, akibatnya ikan cakalang lebih merespon perubahan SPL, hal ini sejalan dengan pendapat Nybakken (1982) menyatakan bahwa apabila unsur kebutuhan berada di bawah toleransi minimum maka suatu spesies ikan akan menghindar. Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Dalam rantai makanan terdapat berbagai tingkatan tropik di mana fitoplankton adalah produser pimer, tingkatan berikutnya adalah zooplankton, ikan pemakan plankton dan ikan omivora. Analisis biplot berdasarkan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan adalah tipe 11 pada semua zona. Tipe 11 adalah ikan tersebar pada semua kondisi SPL dan klorofil-a, sehingga pada tipe ini keberadaan ikan tidak dapat menunjukkan secara spesifik terhadap fluktuasi SPL dan klorofil-a. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa untuk menentukan

191 160 keberadaan ikan berdasarkan produktivitas, tidak dapat mengklarifikasi secara spesifik akibat fluktuasi SPL dan klorofil-a disetiap zona. Koefisien korelasi menyatakan seberapa erat hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan produksi ikan. Keeratan hubungan dalam parsial korelasi adalah bentuk hubungan dimana salah satu variabel dibuat tetap, sehingga SPL dan klorofil-a akan menjelaskan salah satu dari kedua variabel tersebut berpengaruh terhadap konsentrasi ikan di setiap zona. Parameter statistik yang digunakan untuk mensimulasikan perubahan suhu permukaan laut dan klorofil-a dalam kurun waktu 2 tahun di ketiga zona dalam kawasan Teluk Bone bertujuan untuk menggambarkan variasi SPL dan klorofil-a hubungannya dengan produksi ikan. Simulasi dengan pendekatan parameter statistik menunjukkan bahwa keunikan perubahan kondisi lingkungan laut di masing-masing zona memberikan respon yang berbeda sebagaimana terlihat dari parsial korelasi. Penilaian berdasarkan parsial korelasi juga dilakukan dengan mempertimbangkan faktor delay dalam perhitungan data bulanan SPL dan klorofil-a menjadi kuartalan, pendekatan faktor delay dengan asumsi pengaruh faktor lingkungan akan berdampak kemudian. Respon ikan terhadap perubahan suhu permukaan laut dan klorofil-a merupakan proses ekologi, biologi dan fisiologi, namun komplesitas respon ikan terhadap perubahan lingkungan secara efisien dapat diklarifikasi dengan menggunakan data runtun waktu sehingga pola perubahan produksi ikan dapat digambarkan dengan pola perubahan lingkungan laut. Korelasi parsial SPL dan klorofil-a dengan produksi ikan di Zona Utara menunjukkan signifikan berdasarkan parameter statistik varians SPL pada kategori kalender selanjutnya parameter statistik modus, varians dan standar deviasi signifikan pada kategori musim. Koefisien korelasi tersebut menunjukkan positif yang mengindikasikan respon ikan positif sehingga SPL merupakan variabel yang mempengaruhi kelimpahan ikan pada kategori musim di Zona Utara. Sedangkan pada Zona Tengah korelasi signifikan pada parameter statistik median SPL dan klorofil-a. Pada Zona Selatan korelasi signifikan pada parameter statistik varian, standar deviasi dan koefisien keragaman untuk SPL dan parameter standar deviasi dan koefisien keragaman untuk klorofil-a dengan produksi ikan pada kategori kalender. Kondisi tersebut menunjukkan SPL merupakan variabel yang menentukan di Zona Utara, sedangkan di Zona Tengah dan Zona Selatan variabel klorofil-a, di mana jenis ikan cakalang memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a.

192 161 Korelasi parsial dengan pendekatan produktivitas penangkapan di Zona Utara tidak menunjukkan korelasi signifikan dengan SPL dan klorofil-a. Pada Zona Tengah dengan pendekatan produktivitas, perubahan kuartalan menunjukkan korelasi yang signifikan pada parameter statistik mean dan median SPL dan klorofil-a pada kategori musim. Kondisi tersebut menunjukkan pada saat SPL mengalami perubahan pada kategori musim maka ikan akan terkonsentrasi di Zona Tengah, selain itu juga dapat dikatakan bahwa jenis ikan cakalang cenderung berada pada SPL tinggi. Perubahan kuartalan klorofil-a dengan produktivitas ikan menunjukkan korelasi positif pada kategori musim, di mana perubahan kuartalan SPL menunjukkan korelasi signifikan yang positif di Zona Tengah. Fenomena di Zona Tengah berbeda dari Zona Utara, di mana perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a menunjukkan korelasi signifikan yang positif sebagaimana terlihat pada parameter statistik mean dan median. Fenomena di Zona Tengah dapat dijelaskan sebagai proses ekologi, di mana organisme-organisme dapat memiliki kisaran toleransi yang lebar pada satu faktor dan kisaran yang sempit pada faktor lain. Konsentrasi klorofil-a di Zona Utara relatif tinggi dibandingkan kedua zona lainnya. Dengan demikian klorofil-a menjadi parameter yang berpengaruh terhadap distribusi ikan, ketika ketersediaan calon makanan susah untuk didapatkan, selain itu ikan cenderung memilih lingkungan yang sesuai kebutuhannya dalam hal ini suhu perairan, jika kondisi ini telah terpenuhi selanjutnya ikan akan melakukan aktivitas lainnya (Nybakken 1992). 6.6 Kesimpulan (1) Fluktuasi keragaman SPL kuartalan menunjukkan di Zona Selatan lebih besar dibandingkan Zona Utara dan Tengah sedangkan fluktuasi keragaman klorofil-a kuartalan menunjukkan di Zona Utara lebih besar dibandingkan Zona Tengah dan Selatan. (2) Kelimpahan ikan di Zona Utara berkaitan erat dengan perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a, baik kategori kalender maupun kategori musim yang ditunjukkan pada parameter varians pada kategori kalender dan parameter modus, varians dan standar deviasi pada kategori musim. (3) Kelimpahan ikan di Zona Tengah berkaitan erat dengan perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a hanya pada kategori musim yang ditunjukkan pada parmeter varians, standar deviasi dan koefisien keragaman.

193 162 (4) Kelimpahan ikan di Zona Selatan berkaitan erat dengan perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a hanya pada kategori musim yang ditunjukkan pada parmeter mean dan median. (5) Rata-rata produktivitas primer bersih tahun 2006 di Zona Utara (547,41 mgc/m 2 /hr) lebih tinggi dibandingkan di Zona Tengah (445,97 mgc/m 2 /hr), dan di Zona Selatan (449,38 mgc/m 2 /hr) sedangkan tahun 2007 di Zona Utara (643,99 mgc/m 2 /hr) lebih tinggi dibandingkan di Zona Tengah (482,62 mgc/m 2 /hr) dan di zona Selatan (408,40 mgc/m 2 /hr). (6) Rata-rata estimasi biomas cakalang tahun 2006 di Zona Utara (110,85 ton) lebih tinggi dibandingkan Zona Tengah( 90,31 ton) dan di Zona Selatan (91,0 ton), sedangkan tahun 2007 di Zona Utara (130,31 ton), Zona Tengah (97,73 ton) dan di Zona Selatan (82,70 ton), namun lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi aktual dari hasil tangkapan untuk semua zona.

194 7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE 7.1 Pendahuluan Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang perikanan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk menjamin kelestarian sumber daya ikan sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlanjut dalam jangka panjang. Sumberdaya perikanan dapat habis jika dieksploitasi terus menerus tak terkendali sehingga pengelolaan perikanan harus dilakukan teratur berkelanjutan dan bertanggung jawab sehingga peluang untuk mendapatkan keuntungan tidak hilang begitu saja (Cohrane, 2002). Selanjutnya ditambahkan bahwa faktorfaktor yang dapat menghambat kegiatan produksi perikanan adalah biologi, ekologi, lingkungan, teknologi, sosial dan ekonomi. Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan tidak melarang aktifvitas penangkapan yang bersifat ekonomi/komersil tetapi menganjurkan dengan persyaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan perairan atau kemampuan pulih sumberdaya ikan (MSY), sehingga generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya ikan yang sama atau lebih banyak dari generasi saat ini. Bengen (2002) menyatakan bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa, kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keaneka ragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Sedang keberlanjutan secara ekonomi berarti bahwa kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan harus dapat membuahkan

195 164 pertumbuhan ekonomi, pemeliharan kapital dan penggunaan sumberdaya ikan serta investasi secara efisien. Pengelolaan perikanan pada tahap awal ketika stok masih melimpah bertujuan pada pengembangan kegiatan eksploitasi sumberdaya untuk memaksimumkan produksi dan produktivitas. Pada tahap selanjutnya ketika pemanfaatan sumberdaya ikan mulai mengamcam kelestarian stok ikan tersebut karena semakin banyaknya pihak-pihak yang terlibat, pengelolaan perikanan biasanya mulai memperhatikan unsur sosial (keadilan) dan lingkungan agar pemanfaatan sumber daya tersebut dapat berkelanjutan, strategi yang diterapkan pada tahap ini umumnya bertujuan untuk konservasi (Garcia et al diacu dalam Bintoro, 2005). Mengingat bahwa banyak sumberdaya akuatik sudah lebih tangkap dan bahwa kapasitas penangkapan yang ada dewasa ini membahayakan konservasi dan pemanfaatan yang rasional sumberdaya, maka pengubahan teknologi yang bertujuan semata-mata pada peningkatan lebih lanjut kapasitas penangkapan, umumnya dipandang tidak diinginkan. Sebagai gantinya suatu pendekatan bersifat kehati-hatian (precautionary approach) pada pengubahan teknologi yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan konservasi dan kelestarian jangka panjang sumberdaya akuatik hayati; (2) mencegah kerusakan yang tak terbalikkan atau yang tidak bisa diterima terhadap lingkungan; (3) meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh dari penangkapan dan (4) meningkatkan keselamatan dan kondisi kerja para karyawan perikanan (FAO, 1995). Hasil kajian yang telah dilakukan pada tiga topik sebelumnya, yaitu (1) kondisi perikanan tangkap cakalang; (2) biologi perikanan cakalang; dan (3) hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menyusun konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan teluk. 7.2 Tujuan Spesifik Tujuan yang ingin dicapai adalah mengembangkan konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan Teluk Bone. 7.3 Metode Penyusunan konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan teluk disusun berdasarkan penelitian sebelumnya, yaitu pada Bab 4 tentang kondisi perikanan tangkap cakalang di kawasan Teluk Bone; Bab 5

196 165 Biologi perikanan cakalang; dan Bab 6 Hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang. Metodologi yang lebih rinci untuk setiap topik tersebut telah dideskripsikan pada bab-bab sebelumnya yang relevan. Konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan Teluk Bone memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) Sumberdaya perikanan cakalang termasuk dalam sumberdaya alam yang dapat diperbaharui namun jumlahnya terbatas. (2) Wilayah pengelolaannya di kawasan Teluk Bone (3) Tujuan pengelolaan agar kegiatan perikanan tangkap dapat berkelanjutan (4) Cakupan pengelolaannya juga menyangkut upaya penangkapan untuk ikan pelagis lain. (5) Pendekatan pengelolaan yang diterapkan adalah strategi manajemen terhadap faktor input dan output. Faktor input yaitu jumlah upaya penangkapan, bulan penangkapan dan faktor output adalah jumlah hasil tangkapan. 7.4 Hasil Penelitian Karakteristik perikanan cakalang di Teluk Bone Produksi tertinggi dicapai pada kwartal IV yakni bulan Oktober- Desember, disusul kwartal III yakni bulan Juli-September, selanjutnya kuartal I yakni bulan Januari-Maret dan yang terendah pada kuartal II yakni dari bulan Maret-Juni. Tingginya produksi pada kwartal IV (Oktober-Desember) berhubungan dengan faktor angin musim yang terjadi di kawasan Teluk Bone, karena pada kuartal IV masih berlangsung angin Barat. Pada angin barat tersebut arus permukaan teluk Bone relatif tenang dan mempengaruhi musim penangkapan ikan cakalang. Simbolon (2011) menyatakan bahwa angin yang tidak kencang dan tidak terjadi ombak merupakan puncak musim penangkapan karena ikan cakalang akan cenderung berenang di permukaan dan operasi penangkapan cakalang juga cukup kondusif. Di kawasan Teluk Bone dikenal ada 4 (empat) musim penangkapan, yaitu musim Barat (Desember Pebruari), musim Peralihan I (Maret Mei), musim Timur (Juni Agustus) dan musim Peralihan II (September Nopember). Pada musim Barat dan musim Timur terjadi perbedaan kondisi di kawasan Teluk Bone. Pada musim Barat angin bertiup dari arah Barat, massa air di laut Flores berasal dari laut Jawa dan masuk ke kawasan Teluk Bone, pada musim ini ditandai dengan kondisi perairan yang teduh dan gelombang laut kecil. Sedangkan

197 166 pada musim Timur angin bertiup dari sebelah Timur, massa air dilaut Flores berasal dari laut Banda dan masuk ke kawasan Teluk Bone, pada musim ini ditandai dengan kondisi perairan yang bergelombang laut cukup besar. Pada musim Timur ini (sekitar bulan Juli) terjadi pengangkatan massa air dingin (upwelling) di bagian Timur laut Flores dan menurun kembali pada bulan Oktober (Nontji, 1993), hal ini akan berpengaruh terhadap produksi hasil tangkapan cakalang di kawasan Teluk Bone. Selanjutnya Amiruddin(1993) menyatakan bahwa musim Peralihan II (September Nopember) merupakan musim terbaik melakukan penangkapan di kawasan Teluk Bone khususnya di Kabupaten Luwu. Teknologi penangkapan ikan yang khusus dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan cakalang adalah dengan menggunakan alat tangkap pole and line, disamping alat tangkap lain seperti purse seine, jaring insang hanyut dan pancing tonda, namun ketiga alat tersebut tidak menangkap secara khusus ikan cakalang. Untuk mengetahui jenis alat tangkap yang tergolong ramah lingkungan Syamsuddin (2008) melakukan penilaian. Dari hasil penilaian tersebut diperoleh bahwa urutan prioritas alat ramah lingkungan adalah ; pole and line; pancing ulur, rawai dasar dan mini purse seine. Hal ini didasarkan pada penilaian bobot skor yang diberikan dengan mengacu pada ketentuan Pelaksanaan Perikanan BertanggungJawab (Code of Conduct For Responsible Fisheries) yang direkomendasikan oleh badan dunia (FAO) tahun Nilai CPUE pada masing-masing zona yaitu Utara, Tengah dan Selatan semakin menurun dengan penambahan upaya (trip). Demikian juga dengan nilai MSY dan upaya optimum yang sudah terlampaui, sehingga dengan demikian pertambahan upaya (trip) tidak meningkatkan hasil tangkapan. Dengan demikian status sumberdaya cakalang sudah diduga mengalami over exploited. Perlakuan yang dilakukan terhadap sumberdaya yang sudah over exploited adalah dengan menurunkan tingkat eksploitasi yang sudah melebihi MSY dengan cara menurunkan tingkat upaya penangkapan dengan mempertimbangkan faktor kehati-hatian. Pembagian proporsi MSY SS masing-masing zona mengacu pada nilai proporsi MSY yang dihitung dari masing-masing zona (Bab 4). Dari perhitungan nilai proporsi diperoleh bahwa untuk Zona Utara memperoleh 8 %, Zona Tengah 67 % dan Zona Selatan 25 %. Untuk kawasan di Zona Utara nilai MSY SS cakalang sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip (pole and line sebesar 668 unit, purse seine 65 unit, jaring insang hanyut 161 unit dan pancing tonda 116 unit), kawasan perairan di Zona Tengah nilai MSY SS sebanyak

198 Produksi (ton) 167 ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip (pole and line sebear unit, jairng insang hanyut sebesar unit dan pancing tonda unit) dan untuk perairan kawasan di Zona Selatan nilai MSY SS sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip (pole and line sebesar unit, purse seine sebesar unit, jaring insang hanyut sebesar 378 unit dan pancing tonda sebesar 623 unit). Sesuai ketentuan dalam Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) jumlah tangkapan total yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) adalah 80% dari besarnya nilai MSY (Nikijuluw, 2002), sehingga untuk di Zona Utara nilai MSY SS sebesar ton/tahun dengan upaya penangkapan 808 trip (pole and line sebesar 533 unit, purse seine 48 unit, jaring insang hanyut 128 unit dan pancing tonda 97 unit), di zona Tengah sebesar ton/tahun dengan upaya penangkapan trip (pole and line sebear unit, jaring insang hanyut sebesar 814 unit dan pancing tonda unit) dan di Zona Selatan sebesar ton/tahun dengan upaya penangkapan trip (pole and line sebesar unit, purse seine sebesar 818 unit, jaring insang hanyut sebesar 303 unit dan pancing tonda sebesar 485 unit). Pengelolaan perikanan di Teluk Bone perlu dirancang dengan mempertimbangkan ukuran cakalang pertama kali matang gonad dan alokasi produksi setiap zona penangkapan. Berdasarkan proporsi ukuran ikan layak tangkap pada masing-masing zona, maka alokasi produksi cakalang dewasa di Zona Utara sebesar 573 ton/tahun, Zona Tengah sebesar ton/tahun dan Zona Selatan sebesar ton (Gambar 81). Nilai-nilai ini secara keseluruhan menghasilkan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan Lm untuk teluk Bone sebesar ton per tahun. Alokasi berdasarkan Lm Alokasi JTB Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Gambar 81 Estimasi alokasi produksi (ton) cakalang pada setiap zona.

199 168 Gambar 82. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) (ton) ikan cakalang dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan upaya penangkapan optimum (trip) Biologi perikanan Struktur ukuran cakalang yang tertangkap dengan alat pole and line pada masing-masing zona dalam kawasan teluk terlihat bahwa kisaran panjang cagak (FL) ikan yang tertangkap di Zona Utara berkisar antara 29,2-61,0 cm, panjang minimal diperoleh pada bulan Januari dan Pebruari yaitu 29,2 cm, sedangkan panjang maksimal diperoleh pada bulan Juni dan Desember yaitu 61,0 cm, di Zona Tengah berkisar antara 29,8-61,0 cm, panjang minimal diperoleh pada bulan Januari yaitu 29,8 cm sedangkan panjang maksimal diperoleh pada bulan Juni dan Desember yaitu 61,0 cm. Selanjutnya di Zona Selatan berkisar antara 29,0-64,0 cm, panjang minimal diperoleh pada bulan Januari yaitu 29,0 cm sedangkan panjang maksimal diperoleh pada bulan Juni yaitu 64,0 cm. Rataan, range dan standar deviasi panjang cagak (FL) cakalang pada setiap zona menunjukkan trend yang sama dimana peningkatan dimulai dari bulan Januari hingga bulan Juni dan stabil pada bulan-bulan berikutnya. Dalam periode bulan Januari hingga bulan April, rataan FL cakalang di Zona Utara umumnya lebih kecil dibandingkan dengan FL di Zona Tengah dan Selatan, namun mulai bulan Mei hingga bulan Desember rataan ukuran FL hampir sama. Nilai Koefisien b menunjukkan keseimbangan pertumbuhan panjang dan berat ikan. Nilai koefisien b memiliki trend meningkat mulai dari 2,5055 di Zona Utara, 2,5999 di Zona Tengah dan 2,7733 di Zona Selatan. Hasil analisis nilai b dari masing-masing zona menunjukkan bahwa nilai t hit < t tab 0,05 atau nilai b = 3. Hal

200 169 ini menunjukkan bahwa tubuh cakalang di kawasan teluk Bone memiliki pola isometrik atau pertambahan panjang tubuh sama dengan pertambahan berat. Analisis pertumbuhan berdasarkan metode Tanaka yang dilanjutkan dengan analisis metode plot Ford Walford menghasilkan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy sebagai berikut: Lt = 76 { 1 e 0,19 (t + 0,36) }. Persamaan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa cakalang yang terdapat di kawasan teluk Bone mencapai FL maksimum (L ) sebesar 76 cm pada umur 84 bulan. Keberlanjutan perikanan tangkap sebaiknya didukung oleh peraturan yang menetapkan ukuran ikan yang layak tangkap. Salah satu kriteria ikan layak ditangkap adalah jika memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad (length at first maturity, Lm). Nilai Lm cakalang di Teluk Bone adalah 46,5 cm. Bulan penangkapan cakalang yang layak tangkap di Zona Utara umumnya dijumpai pada bulan April hingga Desember, di Zona Tengah pada bulan Februari hingga Desember sedangkan di Zona Selatan pada bulan Maret hingga Desember, dengan jumlah yang bisa ditangkap berbeda pada setiap bulan yang dianjurkan Hubungan SPL dan klorofil-a dengan produksi cakalang Produksi cakalang periode kuartalan selama kurun waktu 2 tahun ( ) di Zona Utara menunjukkan bahwa produksi tertinggi terjadi di tahun 2006 pada kuartal IV yaitu 988,5 ton. Kemudian produksi tertinggi selanjutnya terjadi juga pada kuartal IV tahun 2007 yaitu 955,7 ton. Sedangkan produksi ikan pada kuartal I, II dan III tahun 2006 dan 2007 relatif sama, namun produksi kuartalan cakalang pada tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 (Gambar 56). Nilai SPL pada kuartal IV Tahun 2006 di mana produksi tertinggi mengalami trend peningkatan yaitu pada bulan Oktober 29,3 0 C, Nopember 30,5 0 C dan Desember 31,4 0 C. Adapun kandungan klorofil-a pada kuartal ke IV tahun 2006 juga mengalami trend peningkatan yaitu pada bulan Oktober 0,26 mg/m 3, Nopember 0,32 mg/m 3 dan pada bulan Desember 0,34 mg/m 3. Produksi cakalang padai Zona Tengah dalam kurun waktu 2 tahun menunjukkan produksi tertinggi pada kuartal IV tahun 2006 yaitu 2624,76 ton, kemudian produksi ikan pada kuartal I, II dan III pada tahun yang sama relatif sama. Secara umum dapat dinyatakan bahwa produksi kuartalan cakalang di Zona Tengah pada tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi kuartalan cakalang pada tahun 2007 (Gambar 57). Nilai SPL pada kuartal IV

201 170 Tahun 2006 dimana produksi tertinggi mengalami trend peningkatan yaitu pada bulan Oktober 28,3 0 C, Nopember 29,8 0 C dan Desember 31,0 0 C. Adapun kandungan klorofil-a pada kuartal ke IV tahun 2006 mengalami trend penurunan meskipun dalam kisaran yang kecil yaitu pada bulan Oktober 0,28 mg/m 3, Nopember 0,26 mg/m 3 dan pada bulan Desember 0,25 mg/m 3. Pada Zona Selatan total produksi kuartalan yang tertinggi terlihat di tahun 2007 kuartal IV yaitu 2055 ton. Meskipun produksi kuartalan cakalang pada kuartal I, II dan III pada tahun 2007 lebih rendah dibandingkan kuartal IV namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi kurtalan cakalang pada tahun 2006 (Gambar 58). Nilai SPL pada kuartal IV Tahun 2007 di mana produksi tertinggi mengalami trend peningkatan yaitu pada bulan Oktober 28,9 0 C, Nopember 30,2 0 C dan Desember 31,1 0 C. Adapun kandungan klorofil-a pada kuartal ke IV tahun 2007 mengalami fluktuasi dalam kisaran yang kecil yaitu pada bulan Oktober 0,21 mg/m 3, Nopember 0,18 mg/m 3 dan pada bulan Desember 0,20 mg/m 3. Kisaran nilai SPL berdasarkan kategori kalender pada Zona Utara diperoleh 29,2-31,4 0 C, Zona Tengah 28,2-30,7 0 C dan Zona Selatan 27,4-30,1 0 C sedangkan kisaran nilai SPL kuartalan berdasarkan kategori musim pada Zona Utara diperoleh 29,3-31,5 0 C, Zona Tengah 28,7-30,9 0 C dan Zona Selatan 27,7-30,3 0 C. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pada Zona Utara suhu lebih hangat dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan. Kisaran nilai klorofil-a kuartalan berdasarkan kategori kalender dengan parameter statistik mean pada Zona Utara diperoleh 0,3-0,7 mg/m 3, Zona Tengah 0,2-0,3 mg/m 3 dan Zona Selatan 0,2-0,3 mg/m 3 sedangkan kisaran nilai klorofil-a kuartalan berdasarkan kategori musim pada Zona Utara diperoleh 0,3-0,6 mg/m 3, Zona Tengah 0,2-0,4 mg/m 3 dan Zona Selatan 0,2-0,2 mg/m 3, sehingga dapat dinyatakan bahwa pada Zona Utara kondisi lebih subur dibandingkan Zona Tengah dan Zona Selatan Konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di Teluk Bone Sebuah konsep untuk menggambarkan pengelolaan perikanan tangkap cakalang digambarkan dalam bentuk atau pola pemanfaatan terhadap sumberdaya cakalang di Teluk Bone, bukan merupakan pemodelan atau model matematika. Secara umum pengelolaan perikanan tangkap adalah pengendalian jumlah tangkapan dan ukuran ikan sebagai respon terhadap kondisi peikanan yang tingkat eksploitasinya relatif sudah berlebih. Pengendalian tersebut dilakukan dalam empat cara, yaitu (1) pembatasan jumlah hasil tangkapan (2)

202 171 pengaturan jumlah upaya penangkapan, (3) menentukan bulan penangkapan berdasarkan ukuran ikan layak tangkap dan (4) menentukan bulan penangkapan berdasarkan kelimpahan hubungannya dengan SPL dan klorofil-a. Butir (1) mengacu pada hasil penelitian Bab 4, yaitu dibatasinya hasil tangkapan sebesar 80 % MSY SS, yaitu di Zona Utara MSY SS sebanyak ton/tahun, di Zona Tengah sebanyak ton/tahun dan di Zona Selatan sebanyak ton/tahun. Namun jumlah hasil tangkapan yang dapat ditangkap berdasarkan ikan yang layak tangkap dengan tujuan mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan cakalang adalah Zona Utara sebesar 573 ton, Zona Tengah ton dan Zona Selatan ton. Butir (2) di Zona Utara upaya penangkapan optimum untuk mencapai MSY SS adalah 808 trip (pole and line sebesar 533 unit, purse seine 48 unit, jaring insang hanyut 128 unit dan pancing tonda 97 unit), di Zona Tengah upaya penangkapan optimum untuk mencapai MSY SS sebanyak trip (pole and line sebear unit, jaring insang hanyut sebesar 814 unit dan pancing tonda unit) dan di Zona Selatan upaya penangkapan optimum untuk mencapai MSY SS sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan trip (pole and line sebesar unit, purse seine sebesar 818 unit, jaring insang hanyut sebesar 303 unit dan pancing tonda sebesar 485 unit). Namun upaya penangkapan yang dapat digunakan untuk mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan cakalang adalah Zona Utara adalah 409 trip (pole and line sebesar 271 unit, purse seine 26 unit, jaring insang hanyut 65 unit dan pancing tonda 47 unit), Zona Tengah sebanyak trip (pole and line sebesar unit, jairng insang hanyut sebesar 439 unit dan pancing tonda 622 unit) dan Zona Selatan sebanyak trip (pole and line sebesar 788 unit, purse seine sebesar 454 unit, jaring insang hanyut sebesar 168 unit dan pancing tonda sebesar 278 unit). Butir (3) salah satu kriteria ikan layak ditangkap adalah memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad (length at first maturity, Lm). Berdasarkan kurva sigmoid proporsi ikan yang matang gonad diperoleh Lm cakalang di Teluk Bone adalah 46,5 cm. Berdasarkan nilai Lm dapat diketahui bahwa ukuran ikan layak tangkap di Zona Utara dan tengah > 46,5 61,9 cm, sedangkan ukuran ikan layak tangkap di Zona Selatan > 46,5 64,9 cm. Kelompok cakalang yang layak tangkap di Zona Utara umumnya dijumpai pada bulan April hingga Desember, di Zona Tengah pada bulan Februari hingga Desember sedangkan di Zona Selatan pada bulan Maret hingga Desember. Proporsi tertinggi ikan layak tangkap berdasarkan zona didapatkan

203 172 pada Zona Tengah 56,11 %, selanjutnya Zona Selatan 55,98 % dan terendah pada Zona Utara 45,42 %. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap dengan ukuran yang tidak layak untuk dalam kawasan teluk Bone adalah 43,89-54,58 %. Keberlanjutan perikanan tangkap sebaiknya didukung oleh peraturan yang menetapkan ukuran ikan yang layak tangkap. Butir (4) bulan penangkapan yang terbaik berdasarkan kelimpahan ikan dan kondisi SPL dan klorofil-a pada Zona Utara, Tengah dan Selatan diperoleh pada kuartal IV yaitu bulan antara Oktober-Desember. Kondisi SPL pada saat itu berada pada kondisi yang optimum di mana suhu berkisar antara 28,3-31,1 0 C, adapun klorofil-a berada pada kisaran antara 0,18-0,34 mg/m 3. Pada Zona Utara suhu perairan lebih hangat dan lebih subur dibandingkan zona Tengah dan Zona Selatan. Konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan Teluk Bone dapat dirangkum seperti pada Gambar 83.

204 173 Teknologi penangkapan yang tersedia : pole and line, jaring insang hanyut, purse seine dan pancing tonda MSY dan Fopt : Zona Utara : ton/ tahun dan 808 trip; Zona Tengah : ton/tahun dan trip; Zona Selatan ton/tahun dan trip Lokasi kawasan Teluk Bone dibagi menjadi 3 zona : Zona Utara ratarata SPL 30,61 0 C, klorofil-a 0,40 mg/m 3 ; Zona Tengah rata-rata SPL 29,94 0 C, klorofil a 0,27 mg/m 3 ; Zona Selatan rata-rata SPL 29,33 0 C, klorofil-a 0,28 mg/m 3. Perairan di Zona Utara lebih hangat dan Subur. Ada 4 musim tangkap : Ms. Barat (Des- Feb), Ms.Alih I (Maret- Mei), Ms.Timur (Juni- Agustus), Ms.Alih II (September- Nopember) Hasil analisis biologis ikan cakalang diperoleh sebagai berikut: Kisaran panjang cagak (FL) ikan yang tertangkap di Zona Utara berkisar antara 29, 2 61,0 cm, Zona Tengah antara 29,8 61,0 cm, Zona Selatan 29, 0 64,0 cm. Lt =76{1 e 0,19(t+0,36) }. FL maksimum (L ) sebesar 76 cm pada umur 84 bulan. Nilai Lm (ukuran layak tangkap) adalah 46,5 cm. Waktu tangkap berdasarkan produksi : Kuartal IV (Oktober- Desember) ; berdasarkan ukuran ikan layak tangkap Zona Utara April-Desember, Zona Tengah Februari- Desember dan Zona Selatan Maret - Desember Pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan Konsep Pengelolaan Perikanan Cakalang di Teluk Bone : 1. Teknologi penangkapan cakalang yang dilakukan oleh armada pole and line, purse seine, jaring insang hanyut dan pancing tonda harus meloloskan juvenil ikan. 2. Hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) ikan cakalang tidak melebihi produksi optimum berdasarkan alokasi pemanfaatan bersama stok (shared stok), serta mempertimbangkan aspek kebelanjutan sumberdaya ikan cakalang sehingga untuk Zona Utara 573 ton/tahun, Zona Tengah ton/tahun dan Zona Selatan ton/tahun. 3. Upaya penangkapan optimum untuk mencapai MSY SS dengan mempertimbangkan keberlanjutan, di Zona Utara 409 trip (pole and line sebesar 271 unit, purse seine 26 unit, jaring insang hanyut 65 unit dan pancing tonda 47 unit), di Zona Tengah upaya penangkapan optimum sebanyak trip (pole and line sebear unit, jairng insang hanyut sebesar 439 unit dan pancing tonda 622 unit) dan di Zona Selatan upaya penangkapan optimum sebanyak trip (pole and line sebesa 788 unit, purse seine sebesar 454 unit, aring insang hanyut sebesar 168 unit dan pancing tonda sebesar 278 unit). 4. Operasi penangkapan ditutup secara serentak pada waktu (bulan) musim puncak pemijahan atau saat ukuran ikan belum layak tangkap (Januari sampai April), khususnya di Zona Utara. 5. Pelarangan terhadap pendaratan dan jual beli ikan yang masih berukuran kecil dan belum layak tangkap (ukuran yang 46,5 cm, FL). 6. Unit penangkapan dibatasi melalui pembatasan pemberian izin penangkapan 7 Membentuk kawasan konservasi perairan di Zona Utara untuk dijadikan sebagai nursery ground yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dengan pemerintah (Colaborative based management). Gambar 83 Konsep pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di kawasan Teluk Bone

205 174 Berdasarkan keragaan nilai optimal dari komponen perikanan tangkap cakalang yang dikaji serta keterkaitan antara berbagai komponen tersebut, maka dihasilkan konsep pengelolaan yang nantinya sangat berguna dan diharapkan akan menjadi acuan dalam pengembangan sumberdaya perikanan cakalang berkelanjutan di kawasan Teluk Bone. Beberapa konsep pengelolaan perikanan tangkap yang dihasilkan dari pola pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan Teluk Bone adalah sebagai berikut : 1) Teknologi penangkapan cakalang yang dilakukan oleh armada pole and line, pure seine, jaring insang hanyut dan pancing tonda harus meloloskan juvenil ikan. 2) Hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) ikan cakalang tidak melebihi produksi optimum berdasarkan alokasi pemanfaatan bersama stok (shared stok), dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan cakalang sehingga untuk Zona Utara 573 ton/tahun, Zona Tengah ton/tahun dan Zona Selatan ton/tahun, atau JTB untuk seluruh teluk Bone adalah ton per tahun. 3) Upaya penangkapan optimum untuk mencapai MSY SS dengan mempertimbangkan keberlanjutan, di Zona Utara adalah sebesar 409 trip (pole and line sebesar 271 unit, purse seine 26 unit, jaring insang hanyut 65 unit dan pancing tonda 47 unit), di Zona Tengah sebesar trip (pole and line sebear unit, jairng insang hanyut sebesar 439 unit dan pancing tonda 622 unit) dan di Zona Selatan sebesar trip (pole and line sebesar 788 unit, purse seine sebesar 454 unit, jaring insang hanyut sebesar 168 unit dan pancing tonda sebesar 278 unit). Secara keseluruhan, total maksimum upaya penangkapan cakalang di teluk Bone adalah setara trip operasi pole and line. 4) Operasi penangkapan ditutup secara serentak pada waktu (bulan) musim puncak pemijahan atau saat ukuran ikan belum layak tangkap (Januari sampai April), khususnya di Zona Utara. 5) Pelarangan terhadap pendaratan dan jual beli ikan yang masih berukuran kecil dan belum layak tangkap (ukuran yang 46,5 cm, FL). 6) Unit penangkapan dibatasi melalui pembatasan pemberian izin penangkapan. 7) Membentuk kawasan konservasi perairan di Zona Utara untuk dijadikan sebagai daerah nursery ground yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah (colaborative based management).

206 Pembahasan Jenis teknologi penangkapan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan cakalang adalah alat tangkap yang sudah tersedia dan dimanfaatkan oleh nelayan setempat. Alat tangkap yang khusus digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan cakalang adalah pole and line. Hasil penelitian Syamsudin (2008) yang mengkaji tentang alat tangkap cakalang yang ramah lingkungan di perairan kabupaten/kota Kupang menemukan bahwa alat pole and line adalah alat yang paling ramah lingkungan dari alat tangkap lainnya seperti pancing ulur, rawai dasar dan mini purse seine. Baskoro (1987) diacu dalam Syamsuddin (2008) bahwa unit penangkapan pancing memiliki nilai aspek biologi yang tinggi, hal ini dikarenakan unit penangkapan pancing memiliki selektivitas yang tinggi dan pengaruh eksploitasinya terhadap kelestarian sumberdaya tidak membahayakan. Pengembangan alat tangkap lain dapat dilakukan dengan mendesain ulang alat tangkap tersebut untuk menangkap cakalang seperti alat tangkap purse seine dengan pertimbangan bahwa alat tangkap tersebut memiliki keunggulan dalam produktivitas, hasil tangkapan berkualitas dan tingginya tingkat keuntungan (Irham 2009). Hanya saja bahwa alat tersebut tidak selektif, sehingga perlu upaya untuk memperbesar ukuran mata jaring baik pada bagian kantong maupun sayap dengan mempertimbangkan ukuran panjang ikan saat pertama kali matang gonad (Lm). Alokasi hasil tangkapan yang layak untuk pengelolaan cakalang di kawasan Teluk Bone berdasarkan prinsip keberlanjutan dan kehati-hatian adalah 80 % dari MSY SS pemanfaatan bersama stok (shared stok) yang telah layak tangkap, sehingga nilai alokasi untuk cakalang pada masing-masing zona adalah di Zona Utara 573 ton/tahun, Zona Tengah ton/tahun dan Zona Selatan ton dan jika dibandingkan dengan data produksi tahun 2006 maka tingkat pemanfaatan sudah melewati MSY, sehingga perlu mengurangi tingkat upaya untuk mencegah terjadinya biological dan ecocomical overfishing. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan kontinuitas sumberdaya cakalang pada waktu yang akan datang tetap terjaga. Pengurangan upaya penangkapan untuk tujuan pengelolaan dapat dilakukan pemerintah dengan strategi subsidi di bidang perikanan yang harus dilakukan secara cermat dengan mengacu pada karakteristik sumber daya perikanan. Oleh karena itu agar supaya subsidi perikanan efektif maka harus benar-benar dikendalikan oleh sistem pengelolaan sumber daya yang baik. Pada

207 176 pengelolaan di mana output benar-benar dikendalikan, maka subsidi akan mengarah kepada peningkatan rent (profit), bukan kepada output yang justeru akan menambah degradasi sumber daya (Fauzi 2005). Pengelolaan dengan pembatasan hasil tangkapan dan pembagian alokasi untuk pegelolaan sumberdaya cakalang di kawasan Teluk Bone telah pernah dilakukan di dunia internasional untuk mengatur pemanfaatan stok ikan yang dapat diakses beberapa negara termasuk di dalam negeri kita sendiri. Untuk tujuan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal tanpa merusak lingkungan dan kelestariannya pengelolaan dengan pembatasan hasil tangkapan dan pembagian quota diupayakan diterapkan di Teluk Tomini (Kusnadi, 2002 diacu dalam Bintoro, 2005). Dibeberapa negara model tersebut juga telah dilakukan seperti yang dinyatakan oeh Bergin dan Haward (1994) diacu dalam Bintoro (2005), sejak tahun 1985 Australia, Jepang dan Selandia Baru sebagai pemilik hak quota telah menentukan quota tahunan untuk memanfaatkan stok tahunan tuna Sirip Biru. Meskipun kebijakan sistem quota telah diterapkan, kolapsnya sumberdaya ikan tersebut tidak dapat dicegah oleh karena adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap konsumsi ikan tersebut. Hasil tangkapan ikan tersebut terus mengalami penurunan drastis. Salah satu penyebabnya adalah terlalu tingginya penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC). Selain pembatasan alokasi hasil tangkapan yang perlu dilakukan adalah mengurangi tingkat upaya penangkapan di daerah penangkapan, melakukan penutupan area (closed area) ditempat yang diduga sebagai tempat bertelur. Keberhasilan nelayan dalam menangkap ikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan stok ikan di perairan. Nelayan biasanya tidak akan pergi melaut untuk beberapa waktu bila hasil tangkapan yang diperoleh sebelumnya sedikit dan akan melaut kembali atau meningkatkan trip penangkapan ketika tiba musim ikan. Pola musim penangkapan cakalang dilakukan sepanjang tahun namun puncaknya pada bulan Oktober sampai Desember. Pada bulan tersebut kondisi kawasan perairan Teluk Bone relatif tenang dan nilai SPL dan kandungan klorofil-a mengalami trend peningkatan. Nilai suhu pada bulan Oktober 29,3 0 C, Nopember 30,5 0 C dan Desember 31,4 0 C. Adapun kandungan klorofil-a juga mengalami trend peningkatan yaitu pada bulan Oktober 0,26 mg/m 3, Nopember 0,32 mg/m 3 dan pada bulan Desember 0,34 mg/m 3. Sehingga diduga bahwa pada bulan tersebut kawasan Teluk Bone lebih subur dan kaya akan unsur hara

208 177 dan sangat mendukung bagi keberadaan cakalang untuk mendapatkan makanan. Berdasarkan hasil penelitian tentang komposisi ukuran ikan kecil yang tertangkap oleh alat pole and line diketahui bahwa ukuran ikan berukuran kecil dan belum layak tangkap banyak dijumpai pada bulan Januari sampai Maret untuk Zona Utara, bulan Januari di Zona Tengah dan bulan Januari sampai Februari di Zona Selatan. Hal ini diduga karena cakalang melakukan pemijahan sekitar bulan Oktober. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Manik (2007) tentang pemijahan cakalang di sekitar pulau Seram Selatan dan pulau Nusa Laut diperoleh bahwa cakalang yang tertangkap pada bulan september terdirii dari 40 % TKG II, 54 % TKG III dan 6 % TKG V; pada bulan Oktober terdiri dari 8 % TKG I, 28 % TKG II, 60 % TKG III dan 4 % TKG V; sedangkan pada bulan Desember terdiri dar 39 % TKG II, 50 % TKG III dan 11 % TKG V hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan-bulan tersebut aktivitas pemijahan sedang berlangsung atau mungkin sudah berakhir. Tidak tertangkapnya cakalang TKG IV selama penelitian karena cakalang akan bermigrasi jauh ke laut dalam apabila melakukan pemijahan sehingga kemungkinan tertangkap kecil sekali (Wilson 1982 diacu dalam Manik 2007). Oleh karena itu perlu dilakukan pembatasan waktu operasi penangkapan pada saat musim puncak pemijahan. Dengan kata lain perlu diterapkan kebijakan penutupan musim penangkapan bagi para nelayan, karena kondisi seperti ini bila terjadi secara terus menerus maka akan memberikan dampak yang buruk terhadap ketersediaan sumberdaya cakalang di lingkungannya. Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan, yang umumnya dilakukan di negara di mana sistem penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multispesies. Beddington (1984) diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (1) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak; (2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami deplesi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Selain penutupan musim penangkapan, pendekatan pengelolaan yang lain adalah penutupan area penangkapan ikan secara sementara terutama pada daerah spawning ground dan nursery ground ikan. Berdasarkan hasil penelitian

209 178 diperoleh tentang panjang ikan yang tertangkap dengan ukuran terkecil adalah 29,0 cm dimana pada ukuran tersebut masih dikategorikan sebagai juvenil dari cakalang. Sebagaimana pendapat Mori (1971) diacu dalam Matsumoto et al. (1984) bahwa ukuran juvenil cakalang berkisar antara 1,4 30 cm dan pada daerah di mana juvenil cakalang diperoleh akan ditemukan pula larvanya. Hanya saja penyebaran juvenil jauh lebih luas dari penyebaran larvanya. Hal ini dapat disebabkan karena juvenil cakalang meninggalkan spawning area seiring dengan peningkatan pertumbuhan dan mobilitas. Meskipun juvenil cakalang jarang terlihat di laut dan sangat sulit untuk ditangkap namun juvenil ini dapat tertangkap oleh alat tangkap yang menggunakan cahaya, seperti bagan. Dalam upaya pengelolaan maka perlu dilakukan pembatasan upaya penangkapan bagan terutama pada saat setelah pemijahan berlangsung (bulan Oktober) dan penutupan sementara wilayah spawning area dan nursery ground dalam bentuk regulasi sehingga tidak berdampak terhadap sumberdaya tersebut misalnya dengan membentuk kawasan konservasi perairan (KKP). Pembentukan KKP ini dikelola oleh kelembagaan masyarakat bersama pemerintah dalam bentuk colaborative based management. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa pengembangan alat tangkap untuk pengelolaan perikanan tangkap cakalang dalam kawasan Teluk Bone dapat dilakukan pada keempat jenis alat tangkap dengan harus memperhitungkan tingkat selektivitas alat tangkap yang digunakan. Batas minimum mesh size jaring atau ukuran ikan yang tertangkap dalam pemanfaatan sumberdaya cakalang adalah memberi kesempatan ikan muda dan atau yang berukuran kecil untuk meloloskan diri sebelum proses penangkapan berakhir. Penerapan kebijakan ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan cakalang di kawasan perairan Teluk Bone, agar tidak terjadi kelebihan tangkap dalam masa pertumbuhan (growth overfishing). Bedding dan Retting (1984) diacu dalam Bintoro (2005) mengemukakan alasan pembatasan minimum mesh size adalah ikan muda yang umumnya berukuran kecil akan mampu meloloskan diri dari penangkapan yang menggunakan alat tangkap jaring yang mempunyai mesh size besar sehingga dapat meningkatkan kemungkinan ikan muda untuk tumbuh dan menambah kepadatan stok ikan tersebut pada musim berikutnya. Untuk pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang di kawasan teluk Bone, minimum mesh size alat tangkap perlu ditentukan agar ikan muda mempunyai kesempatan untuk berkembang dan menambah stok ikan pada musim berikutnya.

210 179 Usaha pemanfaatan sumberdaya cakalang di kawasan perairan Teluk Bone umumnya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok ikan tersebut. Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan oleh kapal dengan kapasitas < 30 GT dan daerah penangkapannya hanya berjarak 2 4 mil dari fishing base, akan berdampak terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan yang ada disekitar wilayah pesisir. Kebijakan berupa alokasi upaya penangkapan dan penutupan area yang diterapkan pada sumberdaya cakalang tersebut tentunya perlu dilihat dari perspektiif jenis ikan pelagis lain terutama ikan-ikan pelagis kecil. Pengaruh implementasi kebijakan tersebut terhadap sektor ekonomi usaha penangkapan ikan di kawasan Teluk Bone perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini disebabkan oleh tidak berbedanya area-area bagi ikan-ikan pelagis tersebut dan aktivitas penangkapan kita yang bersifat multispesies. Pengelolaan pada sumberdaya multispesies tidak semudah pada perikanan monospesies. Hal ini karena eksploitasi pada stok multi spesies sangat dipengaruhi oleh aspek biologi dan teknologi. Adanya interaksi antar spesies yang komposisinya di alam dipengaruhi oleh persaingan terhadap makanan, adanya predator dan ikan yang menjadi makanannya yang apabila komposisinya berubah akan mempengaruhi dan mengubah pula komposisi yang ada. Secara teknologi mengubah ukuran mata jaring akan mempengaruhi ukuran ikan dari semua spesies ikan yang tertangkap jaring tersebut yang tentunya perubahan jumlah komposisi ikan tangkapannya tidaklah selalu proporsional dengan komposisi stok ikan di habitatnya. Bisa terjadi suatu keadaan di mana salah satu jenis mengalami overexploited sementara jenis lainnya underexploited (Murdiyanto, 2004). 7.6 Kesimpulan (1) Alokasi hasil tangkapan yang layak tangkap untuk pengelolaan cakalang di kawasan Teluk Bone berdasarkan prinsip keberlanjutan dan kehati-hatian pada masing-masing zona adalah di Zona Utara 573 ton/tahun, Zona Tengah ton/tahun dan Zona Selatan ton/tahun. Secara keseluruhan, jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) untuk seluruh teluk Bone adalah ton per tahun. (2) Alokasi upaya (trip) penangkapan optimum pada Zona Utara alat tangkap pole and line sebesar 668 unit, purse seine 65 unit, jaring insang hanyut 161 unit dan pancing tonda 115 unit ; Zona Tengah alat tangkap pole and line sebear unit, jairng insang hanyut sebesar unit dan pancing tonda unit; dan Zona Selatan alat tangkap pole and line sebesar 1.768

211 180 unit, purse seine sebesar unit, jaring insang hanyut sebesar 377 unit dan pancing tonda sebesar 623 unit. Secara keseluruhan, total maksimum upaya penangkapan cakalang di teluk Bone adalah setara trip operasi pole and line. (3) Pola musim penangkapan cakalang dilakukan sepanjang tahun namun musim penangkapan untuk cakalang layak tangkap di Zona Utara dari bulan April hingga Desember; di Zona Selatan dari bulan Februari hingga Desember dan di Zona Selatan dari bulan Maret sampai Desember. Puncak penangkapan cakalang di Teluk Bone berlangsung dari bulan Oktober sampai Desember setelah diduga ikan melakukan reproduksi. (4) Berdasarkan hasil penelitian tentang struktur ukuran ikan kecil yang tertangkap oleh alat pole and line diketahui bahwa ukuran ikan berukuran kecil dan belum layak tangkap banyak dijumpai pada bulan Januari sampai Maret untuk Zona Utara, bulan Januari di Zona Tengah dan bulan Januari sampai Februari di Zona Selatan. (5) Pemijahan ikan cakalang berlangsung sekitar bulan Oktober sehingga perlu penutupan area penangkapan ikan secara sementara terutama pada daerah spawning ground dan nursery ground ikan.

212 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh pola arus permukaan laut Flores. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Hidrologi dan Oceanografi Angkatan laut (1990) diacu dalam Farhum (2006) di laut Flores dan Tteluk Bone diperoleh sirkulasi arus permukaan yang sama setiap bulan. Pola arus permukaan di laut Flores mengalami perubahan total 2 kali setahun sesuai dengan perkembangan musim. Pada musim Barat (Desember Pebruari) arus permukaan berasal dari arah Barat (Laut Jawa) mengalir ke arah Timur ( Laut Banda) melewati Laut Flores. Memasuki musim peralihan pertama (Maret - Mei), arah arus tidak menentu. Pada bulan Maret arus permukaan pada bagia Selatan Laut Flores masih mengalir dari laut jawa menuju laut Banda, sedangkan pada bulan April - Mei arah arus sudah tidak menentu (Wyrtki 1961). Pada musim Timur (Juni - Agustus), arus permukaan di laut Flores dan Teluk Bone kembali memperlihatkan pola yang tetap. Pada bulan Mei arus permukaan berasal dari arah timur (Laut Banda) mengalir ke arah Barat (Laut Jawa) melalui laut Flores sebelah Utara (Teluk Bone). Pada awal musim peralihan kedua, arah arus permukaan pada sebelah utara laut Flores masih seperti pada musim Timur, namun pada bulan Oktober - Nopember arah arus permukaan disebelah utara laut Flores menunjukkan pola yang tidak menentu. Kisaran nilai tinggi gelombang perairan Teluk Bone adalah 0,3-1,5 m, dengan peluang kejadian 0,2-79 %, sedangkan panjang gelombangnya berkisar antara 21,3-60,4 m. Dari kisaran nilai tinggi gelombang tersebut, peluang terbesar (79 %) dapat terjadi pada nilai kisaran tinggi gelombang 0,5-1,0 m (Farhum 2006) Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang kondisinya lebih terbuka dari arah Tenggara, sedangkan pada arah Barat dan sebagian Timur terhalang oleh daratan P. Sulawesi. Dengan demikian gelombang yang terbentuk umumnya terjadi pada saat angin bertiup dari arah Tenggara (angin pasat Tenggara) dan angin Timur yang terjadi pada musim timur dan peralihan II. Pada waktu tersebut, gelombang yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan 2 musim lainnya. Berdasarkan kondisi teluk tersebut, maka dalam rangka pengelolaan kawasan perairan Teluk Bone selayaknya dibagi dalam 3 zona, yaitu Utara, Tengah dan Selatan. Zona Utara perairannya lebih hangat dibandingkan Zona

213 182 Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang pengaruh massa air laut Flores moderat memiliki rata-rata SPL 29,94 0 C dan Zona Selatan yang pengaruh massa air laut Flores besar hanya memiiki SPL rata-rata 29,33 0 C. Hal ini terlihat bahwa peran massa air laut Flores yang suhunya lebih dingin terhadap sebaran suhu di Teluk Bone cukup besar. Suhu air yang tinggi di Zona Utara juga dapat disebabkan oleh pemanasan sinar matahari yang mencapai kondisi maksimal sebagai akibat dari dangkalnya perairan di Zona Utara, Pada Zona Utara massa air dingin yang masuk dari laut Flores (mulut teluk) relatif kecil. Sebagaimana diketahui bahwa massa air di Zona Selatan lebih dingin hal ini dipengaruhi oleh angin munson. Secara bergatian antara angin musim Timur dan angin Barat menyebabkan arah aliran massa air berbeda yang berdampak terhadap perubahan SPL. Nilai SPL di seluruh zona dalam kawasan Teluk Bone mengalami titik terendah pada musim Timur (Juni-Agustus), Hal ini berkaitan dengan suhu dingin yang berasal dari Laut Banda, di mana pada musim Timur tersebut suhu permukaan air laut Banda mencapai titik terendah yaitu 26,5 0 C dan massa air yang dingin ini bergerak dari arah Timur (Laut Banda) mengalir ke arah Barat (Laut Jawa) melalui laut Flores sebelah Utara (Teluk Bone). Selain itu pada musim Timur juga terjadi proses up welling di laut Banda (Susanto et al diacu dalam Tubalawony et al. 2008). Penaikan massa air menyebabkan massa air yang dingin pada lapisan bawah akan terangkat naik, menyebabkan SPL pada bagian permukaan lebih dingin atau lebih rendah dibandingkan pada musim-musim lain. Massa air yang dingin tersebut melewati laut Flores dan masuk ke kawasan Teluk Bone sehingga SPL di seluruh zona rendah terutama di Zona Selatan. Suhu perairan akan mempengaruhi konsentrasi klorofil-a di setiap zona. Rata-rata konsentrasi klorofil-a selama penelitian di Zona Utara dalam kurun waktu 2 tahun (2006 dan 2007) diperoleh 0,37 mg/m 3, Zona Tengah memiliki rata-rata klorofil-a 0,27 mg/m 3 dan Zona Selatan memiiki SPL rata-rata 0,23 mg/m 3. Hal ini menunjukkan bahwa di Zona Utara lebih subur dibandingkan dengan Zona Tengah dan Zona Selatan. Rendahnya kandungan klorofil-a di Zona Tengah dan Selatan berhubungan dengan kandungan nitrat dan fosfat di masing-masing zona. Nitrat dan fosfat di Zona Selatan dipengaruhi oleh arus dalam yang kuat menyebabkan nitrat dan fosfat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian Selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah Utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami

214 183 pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Nilai nitrat yang diperoleh di Teluk Bone bervariasi yaitu berkisar antara 0,12 ppm - 0,796 ppm, sedangkan nilai kandungan fosfat berkisar antara 1,152-0,5 ppm (Wagey et al. 2004). Kedua nutrien tersebut merupakan unsur yang sangat dibutuhkan oleh klorofil-a dalam proses fotosintesis. Laju penyerapan fitoplankton terhadap nitrogen (NO3 - dan urea) tergantung pada pencahayaan. Perbedaan penyerapan nutrien di daerah front dengan perairan terstratifikasi disebabkan karena perbedaan cahaya (Cohlan et al. 1991). Hasil citra tentang bathymetri Teluk Bone menunjukkan bahwa di Zona Utara perairannya lebih dangkal di bandingkan Zona Tengah dan Selatan sehingga menyebabkan suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a lebih tinggi akibat penetrasi sinar matahari hampir menembus kolom air sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Menurut Syafruddin dan Zainuddin (2008) menyatakan bahwa kondisi bathymetri memberikan informasi mengenai tingkat kedalaman suatu perairan dan topografi lautnya. Kondisi ini mempunyai hubungan dengan keadaan sirkulasi air misalnya peristiwa pusaran arus eddy, daerah front (pertemuan dua massa air laut yang berbeda tipe) dan area upwelling (naiknya massa laut ke permukaan yang diikuti oleh naiknya zat makanan yang penting untuk ikan) yang sangat penting untuk menemukan daerah yang potensial untuk menangkap ikan. Kandungan klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan (food chain), kandungan klorofil-a ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat pertama (zooplankton) maupun oleh konsumen tingkat kedua (ikan-ikan) pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak dijumpai beberapa jenis ikan yang secara

215 184 langsung memanfaatkan plankton yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis (pelagic fish species). Konsentrasi klorofil-a sangat menentukan laju produktivitas primer suatu perairan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan VGPM diperoleh bahwa kandungan rata-rata produktivitas primer yang diperoleh di Zona Utara dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 547,31 mgc/m 2 /thn dan 585,34 mgc/m 2 /thn, di Zona Tengah dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 445,97 mgc/m 2 /thn dan 433,53 mgc/m 2 /thn sedangkan di Zona Selatan dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 449,38 mgc/m 2 /thn dan 365,68 mgc/m 2 /thn. Hal ini berarti bahwa kandungan produktivitas di Zona Utara lebih tinggi di bandingkan Zona Tengah dan Selatan. Hasil penelitian yang diperoleh hampir sama dengan yang didapatkan oleh Masrikat (2009) sebesar 341,55 702,61 mgc/m 2 /thn yang melakukan penelitian di LCS Indonesia, sedangkan hasil penelitian Kasma et al. (2008) sedikit lebih rendah dengan kisaran 73,22 658,57 mgc/m 2 /day yang melakukan penelitian di Samudera Hindia. Produktivittas primer > 400 mgc m -2 thn -1 dikategorikan tinggi (Platt et al 1995 diacu dalam Masrikat 2009). Dengan demikian bahwa produktivitas primer yang diperoleh selama penelitian termasuk dalam kategori yang tinggi kecuali di Zona Selatan tahun Penelitian ini menunjukkan nilai produktitivitas primer tertinggi antara bulan Juni Setember (munson Tenggara) pada keseluruhan zona. Pada Zona Utara, Tengah dan Selatan tahun 2006 dan 2007 diperoleh nilai produktivitas primer berkisar antara 471,04-721,06 mgc/m 2 /thn, 491,80-530,85 mgc/m 2 /thn, 462,90-588,87 mgc/m 2 /thn dan 537,15-850,19 mgc/m 2 /thn, 476,95-570,21 mgc/m 2 /thn, 392,52-504,22 mgc/m 2 /thn. Hal yang sama diperoleh pula oleh Kasma et a.l (2008), dari hasil penelitiannya menemukan bahwa nilai produktivitas primer lebih tinggi pada munson Tenggara dibandingkan munson Barat Laut. Hal ini disebabkan karena pada munson Tenggara suhu udara lebih dingin dibandingkan munson Barat Laut. Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju pengendapan selsel fitoplankton itu sendiri (Gabric and Parslow 1989). Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman di mana konsentrrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan

216 185 tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Sejalan dengan hal itu, Matsumura et al. (1997) berdasarkan hasil penelitiannya di bagian Timur Lautan Hindia menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit, dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada lagi klorofil-a di bawah lapisan termoklin. Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin munson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal di mana massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh konsentrasi klorofil-a tertinggi pada Munson Tenggara, di mana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Munson Barat Laut. Pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua munson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti, diantaranya Monk et al (1997 diacu dalam Masrikat 2009) menyatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg m -3, sedangkan selama musim Barat sebesar 0,16 mg m -3 dan selama musim timur 0,21 mg m -3. Tingginya kandungan klorofil-a dan produktiviitas primer meningkatkan pula biomas cakalang pada seluruh lokasi penelitian (lampiran 27, 28 dan 29). Hal ini disebabkan karena ketersediaan makanan yang cukup untuk memproduksi ikan pada level yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Nybakken (1982) bahwa persediaan makanan yang melimpah berpengaruh nyata terhadap produksi yang dikenal dengan efisiensi ekologi. Pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar dari % pada lima tingkatan tropik (Schaefer 1965 diacu dalam Parson et al. 1984). Diantara setiap tingkatan tropik ada mata rantai yang digolongkan sebagai mata rantai pemindahan atau mata rantai modulasi perpindahan. Nutrien ditransfer untuk produksi dan laju reproduksi alga diatur oleh konsentrasi nutrien pada tingkatan yang rendah. Perairan teluk digolongkan kedalam perairan coastal, sehingga nilai efisiensi ekologinya 15 % dan tingkatan tropik level maksimum 3 (Tabel 35). Cakalang yang hidup di dalam kawasan Teluk Bone tingkatan tropik levelnya adalah 3, sedangkan pada perairan oceanic bisa lebih besar dari 3. Menurut Kitchell et al (1999 diacu dalam NRC 2006) menyatakan bahwa cakalang yang

217 186 hidup di Samudera Pacifik Bagian Tengah dalam sistem jaring makanan (food web) berada pada tingkatan tropik level 4 di bawah ikan dari jenis Blueshark, Swordfish dan Bluemarlin. Tabel 36 Estimasi produksi ikan di tiga lingkungan laut (Ryther 1969 diacu dalam Lalli dan Parson et al. 1997) Lingkungan Laut Rata-rata produktivitas primer (gc/m 2 /thn) Tingkatan tropik Efisiensi ekologi Produksi ikan (mgc/m 2 /thn) Lautan ,5 Coastal Upwelling 300 1, Tingginya nilai produktivitas primer tidak berhubungan dengan produksi hasil tangkapan cakalang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi cakalang di Zona Utara tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 3.744,8 ton dan 3.585,3 ton, di Zona Tengah tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar ,9 ton dan ton serta di Zona Selatan pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 4.537,2 ton dan ton. Hal yang sama diperoleh Kasma et al. (2008) yang menyatakan bahwa jumlah ikan hasil tangkapan tidak dipengaruhi oleh nilai produktivitas primer perairan, dengan koefisien korelasi antara produktivitas primer dan ikan hasil tangkapan di daerah penelitian sangat kecil (r = 0.008). Demikian juga yang diperoleh Silvia (2009), yang melakukan penelitian di perairan Mentawai menyatakan bahwa peningkatan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap produksi ikan cakalang dari hasil tangkapan. Hal ini didukung oleh uji statistik yang tidak signifikan. Jika dibandingkan produksi hasil tangkapan dengan biomas berdasarkan perhitungan dengan VGPM, maka nilai biomas bedasarkan VGPM jauh lebih kecil, hal ini menunjukkan bahwa cakalang dikawasan Teluk Bone banyak menerima pasokan dari Laut Flores terutama pada Zona Tengah dan Selatan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Prasetyo dan Suwarso (2010) yang memperoleh produksi ikan Layang di Selat Makassar yang dihitung berdasarkan VGPM jauh lebih tinggi dibandingkan kelimpahan hasil tangkapan (kelimpahan aktual). Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada umumnya, selama ini sebagian

218 187 nelayan masih menggunakan pengalamannya dan pengamatan terhadap tandatanda alam secara konvensional dengan mengandalkan kemampuan panca inderanya. Ketidaksediaan informasi stok sumberdaya ikan laut mengakibatkan upaya (effort) yang besar dan minimnya pemahaman terhadap pola migrasi ikan juga mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan yang berlebih (over fishing) di suatu daerah. Apabila hal ini dibiarkan dalam jangka panjang, maka kelestarian sumberdaya ikan akan terganggu, sehingga diperlukan teknologi yang memadai sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat efisien dan efektif. Metode dalam mengestimasi potensi dengan menggunakan data citra satelit mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Metode penginderaan jauh dengan pendugaan berdasarkan klorofil-a dan Pp eu terbatas hingga batas kedalaman penetrasi cahaya (zona eufotik) dimana fotosintesis dapat berlangsung. Walaupun dapat menduga ikan dan kelompok ikan hingga kedalaman tertentu, namun terbatas pada jenis ikan apa yang terdeteksi. Jika dibandingkan dengan metode percobaan penangkapan (experimental fishing) dengan penyapuan area menggunakan trawl, dapat secara langsung mengetahui sumberdaya ikan di perairan tersebut, namun terbatas pada ikan demersal dan pada area yang sempit. Sehingga keterpaduan dalam menduga potensi ikan sangatah akurat jika menggabungkan beberapa metode sekaligus dalam suatu penelitian. Pada struktur ukuran cakalang yang tertangkap dengan alat tangkap pole and line menunjukkan di Zona Utara ukuran kecil (belum layak tangkap) berlangsung dari bulan Januari hingga bulan Maret, di zona Tengah hanya bulan Januari dan di Zona Selatan bulan Januari hingga Februari. Perubahan ukuran menjadi lebih besar selama kurang lebih 2 bulan di zona Utara memberikan inidikasi terjadinya migrasi atau perpindahan cakalang yang umumnya berukuran lebih besar ke Zona Utara yang dimulai setelah bulan April terutama yang berasal dari zona Tengah (Gambar 39). Migrasi cakalang ini kemungkinan berhubungan dengan adanya peningkatan klorofil-a yang dimulai dari bulan April sebesar 0,34 mg/m 3 manjadi 0,36 mg/m 3 pada bulan Juni dan 0,38 mg/m 3 pada bulan Juli sehingga ketersedian makanan di Zona Utara yang lebih banyak dibanding Zona Tengah, hal ini terlihat dari konsentrasi rata-rata klorofil-a di Zona Utara yang mencapai 0,3-0,7 mg/m 3 dan di Zona Tengah hanya mencapai 0,2-0,3 mg/m 3. Klorofil-a merupakan faktor yang dapat memberikan indikasi langsung keberadaan makanan ikan maupun jalur wilayah migrasi ikan tuna (Polovina et al. 2001).

219 188 Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofi-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Selatan berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produksi namun dari seluruh tipologi terlihat bahwa keberadaan ikan berada pada SPL yang rendah pada klorofil-a tinggi. Tipologi pada kategori musim di Zona Tengah menunjukkan keberadaan ikan cenderung berada pada klorofil-a dan SPL yang rendah maupun tinggi. Kecenderungan keberadaan cakalang dari parameter statistik pada kategori musim menunjukkan SPL rendah sampai tinggi dengan konsentrasi klorofil-a rendah maupun tinggi. Hasil yang diperoleh bahwa tidak ada perbedaan pola penyebaran ikan pada katergori musim dan kalender hubungannya dengan produksi ikan. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan keberadaan ikan dalam kurun waktu 2 tahun cenderung ditentukan oleh klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL yang tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah pada kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi pula. Penyebaran ikan di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan keberadaan ikan pada kategori kalender di Zona Selatan cenderung pada klorofil-a rendah pada SPL rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produtivitas cenderung ikan berada pada klorofil-a tinggi dan SPL tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada SPL rendah sampai tinggi dan klorofil-a rendah sampai tinggi dan penyebaran ikan di Zona Selatan berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas adalah pada klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah Penyebaran cakalang di Teluk Bone merupakan pengaruh dari beberapa faktor fisik biologi lingkungan seperti yang telah dijelaskan. Faktor lingkungan

220 189 lain yang mempengaruhi pola sebaran cakalang adalah salinitas. Nilai salinitas hampir sama pada masing-masing zona (Utara, Tengah dan Selatan). Namun berbeda antara musim Timur dan Barat. (Gambar 22). Perbedaan variabilitas salinitas antara perairan pantai (inshore) dengan lepas pantai (offshore) terjadi karena pengaruh pasokan air tawar dari muara-muara sungai (runoff) yang cukup besar di daerah pantai, terutama pada waktu turun hujan (Simbolon 2011). Penyebaran ikan cakalang berdasarkan ukuran ikan layak tangkap menunjukkan bahwa pada kuartal ke IV rata-rata ikan telah layak tangkap pada seluruh zona (Utara, Tengah dan Selatan) dan melimpah. Ikan layak tangkap lainnya berada pada kuartal ke II dan ke III hanya saja saja kelimpahannya sedang kecuali di Zona Selatan, ikannya melimpah. Ikan tidak layak tangkap umumnya berada pada kuartal I pada seluruh zona meskipun keberadaannya tidak melimpah dan tidak kurang. Penyebaran ikan cakalang layak tangkap berdasarkan zona dan waktu (kuartalan) dapat dilihat pada Gambar 84. Zona Utara Tengah Selatan I II III IV Kuartal Keterangan : : Ikan layak tangkap dan melimpah : Ikan layak tangkap tidak melimpah dan tidak kurang : Ikan layak tangkap dan tidak melimpah : Ikan tidak layak tangkap tidak melimpah dan tidak kurang Gambar 84 Penyebaran ikan cakalang layak tangkap berdasarkan zona dan waktu (kuartalan) di kawasan Teluk Bone Tahun 2007 Fluktuasi kelimpahan ikan di laut adalah suatu gejala umum, karena ikan cenderung berada atau terkonsentrasi pada kondisi lingkungan sesuai aktivitas, di mana faktor lingkungan ikan berkaitan dengan faktor biologi dan fisik (Laevastu dan Hayes 1981; Nybakken 1982). Namun dalam teori penangkapan menunjukkan bahwa populasi ikan akan berubah dengan meningkatnya upaya

221 190 penangkapan. Sehingga fluktuasi populasi ikan merupakan fungsi dan besaran populasi dan kapasitas lingkungan. Kapasitas lingkungan berkaitan dengan rekruitmen dan mortalitas alami, di mana keseimbangan populasi akan berubah dengan meningkatnya intensitas penangkapan (Rounsefell 1975 diacu dalam Nelwan 2010). Metode dalam penelitian ini dapat menjadi acuan untuk menjelaskan pengelolaan perikanan tangkap cakalang dalam kawasan teluk pada zona penangkapan yang memiliki karakteristik berbeda yang berkaitan dengan perubahan kondisi oseanografis. Penelitian ini juga penting dalam menjelaskan fenomena perubahan kondisi oceanografi menggunakan parameter statistk dengan pendekatan skala waktu yang berbeda. Ketersediaan data produksi hasil tangkapan dalam periode bulanan akan lebih baik untuk menjelaskan hubungan kondisi occenografi dengan produksi, sehingga perubahan keberadaan dan distribusi cakalang dapat terpantau dengan baik. Dalam rangka pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan Teluk Bone, Zona Utara diduga merupakan daerah nursery area. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa panjang ikan yang tertangkap dengan ukuran terkecil adalah 29,0 cm dimana pada ukuran tersebut masih dikategorikan sebagai juvenil dari cakalang. Sebagaimana pendapat Mori (1971 diacu dalam Matsumoto et al. 1984) bahwa ukuran juvenil cakalang berkisar antara 1,4-30 cm dan pada daerah di mana juvenil cakalang diperoleh akan ditemukan pula larvanya. Hanya saja penyebaran juvenil jauh lebih luas dari penyebaran larvanya. Hal ini dapat disebabkan karena juvenil cakalang meninggalkan spawning area seiring dengan peningkatan pertumbuhan dan mobilitas. Dalam upaya pengelolaan maka perlu dilakukan pembatasan upaya penangkapan terutama pada saat setelah pemijahan berlangsung dan penutupan sementara wilayah nursery ground yang berada di Zona Utara dalam bentuk kebijakan sehingga tidak berdampak negatif terhadap sumberdaya tersebut. Saat ini pemerintah Indonesia sedang meningkatkan peranan sumberdaya pesisir dan lautan sebagai sumber pertumbuhan devisa negara, sehingga eksploitasi sumberdaya pesisir dan kelautan ini, diusahakan agar dapat meningkatkan perekonomian seluruh rakyat, terutama nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir. Upaya ini dapat dilakukan dengan melibatkan semua komponen yang memiliki peran dalam ruang lingkup kebijakan pembangunan secara umum, khususnya disektor perikanan dan kelautan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang dilakukan melalui kegiattan perikanan tangkap

222 191 oleh masyarakat perikanan, dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik disemua lapisan. Mengingat wilayah perairan laut yang sangat luas dengan potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Tentunya akan sangat bermanfaat jika dikelola dengan baik. Salah satu bentuk pengelolaan yang kini diterapkan oleh pemerintah melalui pembagian wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Teluk Bone, Selat Makassar dan Laut Flores merupakan salah satu wilayah pengelolaan tersebut. Dengan data dan informasi mengenai kondisi wilayah laut dan status potensi sumberdaya ikan di wilayah ini, diharapkan dapat membantu nelayan, pelaku industri perikanan dan kelautan dalam merencanakan usaha perikanan. Khususnya kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan, diharapkan dapat menetapkan aturan dan kebijakan sehingga potensi sumberdaya ikan yang ada dapat terjaga dan lestari. Di samping itu pula kebijakan mengenai penangkapan sumberdaya ikan pelagis perlu mendapat perhatian, mengingat sumberdaya ini sekarang berada pada status kelebihan tangkap.

223 9 KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Berdasarkan atas tujuan dan hasil penelitian yang telah dicapai dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Aspek biologi ikan cakalang : 1 Ikan cakalang pada setiap zona dalam kawasan Teluk Bone tumbuh secara isometrik. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan cakalang di Zona Utara langsing, di Zona Tengah sedang dan di Zona Utara gemuk. 2 Panjang maksimum (L ) cakalang di kawasan Teluk Bone adalah 76 cm dalam waktu 84 bulan. 3 Nilai Lm (Length at first maturity) adalah 46,5 cm dicapai pada umur 6 bulan, sehingga panjang ikan yang berukuran layak tangkap lebih besar dari 46,5 cm. Ikan yang tertangkap selama penelitian di atas 50 % telah masuk ukuran layak tangkap kecuali di Zona Utara. 4 Waktu penangkapan cakalang pada ketiga zona berdasarkan ukuran layak tangkap adalah : Utara dari bulan April hingga Desember ; Tengah bulan Pebruari hingga Desember dan Selatan bulan Maret hingga Desember. (2) Perkembangan produksi cakalang di kawasan Teluk Bone 1 Nilai CPUE yang diperoleh di zona Utara dari tahun berkisar antara 1,018 2,295 ton/trip, di zona Tengah berkisar antara 0,383 3,059 ton/trip dan di zona Selatan berkisar antara 1,067 2,040 ton/trip. Nilai dugaan potensi maksimum lestari (maksimum sustainable yield) perikanan cakalang di Zona Utara sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip, di Zona Tengah sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip dan di Zona Selatan sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar trip 2 Nilai MSY dan Fopt dalam seluruh kawasan teluk Bone dalam rangka pemanfaatan bersama sumberdaya perikanan cakalang (shared stok) pada masing-masing zona diperoleh bahwa untuk Zona Utara MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip, Zona Tengah MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip dan di Zona Selatan MSY SS dan Fopt SS sebesar ton/tahun dan trip.

224 194 3 Penambahan upaya (trip) akan menurunkan CPUE (ton/trip) hal ini berarti penambahan trip telah menyebabkan sumberdaya ikan cakalang berkurang. (3) Hubungan kelimpahan cakalang dengan karakteristik biofisik perairan 1 Fluktuasi keragaman SPL kuartalan menunjukkan di Zona Selatan lebih besar dibandingkan Zona Utara dan Tengah sedangkan fluktuasi keragaman klorofil-a kuartalan menunjukkan di zona Utara lebih besar dibandingkan zona Tengah dan Selatan. 2 Kelimpahan ikan di Zona Utara berkaitan erat dengan perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a, baik kategori kalender maupun kategori musim yang ditunjukkan pada parameter varians pada kategori kalender dan parameter modus, varians dan standar deviasi pada kategori musim. 3 Kelimpahan ikan di Zona Tengah berkaitan erat dengan perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a hanya pada kategori musim yang ditunjukkan pada parmeter varians, standar deviasi dan koefisien keragaman. 4 Kelimpahan ikan di Zona Selatan berkaitan erat dengan perubahan kuartalan SPL dan klorofil-a hanya pada kategori musim yang ditunjukkan pada parmeter mean dan median. 5 Rata-rata produktivitas primer bersih tahun 2006 di Zona Utara (547,41 mgc/m 2 /hr) lebih tinggi dibandingkan di Zona Tengah (445,97 mgc/m 2 /hr), dan di Zona Selatan (449,38 mgc/m 2 /hr) sedangkan tahun 2007 di Zona Utara (643,99 mgc/m 2 /hr) lebih tinggi dibandingkan di Zona Tengah (482,62 mgc/m 2 /hr) dan di zona Selatan (408,40 mgc/m 2 /hr). 6 Rata-rata estimasi biomas cakalang tahun 2006 di Zona Utara (110,85 ton) lebih tinggi dibandingkan Zona Tengah( 90,31 ton) dan di Zona Selatan (91,0 ton), sedangkan tahun 2007 di Zona Utara (118,31 ton), Zona Tengah (97,87 ton) dan di Zona Selatan (84,85 ton), namun lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi aktual dari hasil tangkapan untuk semua zona.

225 195 (4) Konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang berkelanjutan di Teluk Bone 1 Konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang berkelanjutan di Teluk Bone 1 Alokasi hasil tangkapan yang layak tangkap untuk pengelolaan cakalang di kawasan Teluk Bone berdasarkan prinsip keberlanjutan dan kehatihatian pada masing-masing zona adalah di Zona Utara 573 ton/tahun, Zona Tengah ton/tahun dan Zona Selatan ton/tahun. Jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) untuk seluruh teluk Bone adalah ton per tahun. 2 Secara keseluruhan, total maksimum upaya penangkapan cakalang di teluk Bone adalah setara trip operasi pole and line. Alokasi upaya (trip) penangkapan optimum pada Zona Utara alat tangkap pole and line sebesar 668 unit, purse seine 65 unit, jaring insang hanyut 161 unit dan pancing tonda 115 unit ; Zona Tengah alat tangkap pole and line sebesar unit, jairng insang hanyut sebesar unit dan pancing tonda unit; dan Zona Selatan alat tangkap pole and line sebesar unit, purse seine sebesar unit, jaring insang hanyut sebesar 377 unit dan pancing tonda sebesar 623 unit. 3 Pola musim penangkapan cakalang dilakukan sepanjang tahun namun musim penangkapan untuk cakalang layak tangkap di Zona Utara dari bulan April hingga Desember; di Zona Selatan dari bulan Februari hingga Desember dan di Zona Selatan dari bulan Maret sampai Desember. Puncak penangkapan cakalang di Teluk Bone berlangsung dari bulan Oktober sampai Desember setelah diduga ikan melakukan reproduksi. 4 Berdasarkan hasil penelitian tentang struktur ukuran ikan kecil yang tertangkap oleh alat pole and line diketahui bahwa ukuran ikan berukuran kecil dan belum layak tangkap banyak dijumpai pada bulan Januari sampai Maret untuk Zona Utara, bulan Januari di Zona Tengah dan bulan Januari sampai Februari di Zona Selatan. 5 Pemijahan ikan cakalang berlangsung sekitar bulan Oktober sehingga perlu penutupan area penangkapan ikan secara sementara terutama pada daerah spawning ground dan nursery ground ikan.

226 Saran (1) Mengingat penilaian pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Teluk Bone sudah memiliki gejala over exploitasi maka perlu dilakukan penataan pemanfaatan yang berbasis pada pengelolaan yang bertanggungjawab (2) Untuk lebih mempertajam konsep pengelolaan cakalang di Teluk Bone maka perlu dilakukan monitoring komposisi ukuran hasil tangkapan dari alat tangkap lain misalnya dari alat jaring insang hanyut, purse seine, pancing tonda dan bagan serta tingkat kematangan gonad ikan cakalang yang di daratkan di TPI /PPI berdasarkan tempat dan bulan penangkapan. (3) Perlu penelitian selektivitas alat tangkap berdasarkan zona - zona penangkapan cakalang di Teluk Bone. (5) Perlu penelitian terhadap kondisi stok ikan cakalang di dalam dan di luar teluk, apakah berasal dari stok yang sama. (6) Perlu penelitian tentang survey juvenil ikan cakalang di kawasan Teluk Bone.

227 DAFTAR PUSTAKA Almuas dan Jaya I Studi Penentuan Daerah Penangkapan Potensial Ikan Pelagis di Perairan Laut Cina Selatan Bagian Selatan Pada Musim Timur. Buletin PSP.X(3): Amiruddin Analisis Penangkapan Cakalang dengan Pole and Line di Perairan Teluk Bone Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi Fisik. [Skripsi], Bogor : Fakultas Perikanan, IPB. Andrade HA The Relationship Between the Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Fisheries and Seasonal Temperatur Variability in The South- Weastern Atlantic. Fisheries Oceanography, 12:1,10-18p. Andriani Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-a dengan Produktivitas Primer di Perairan Pantai Kabupaten Luwu. [Tesis], Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Bengen DG Merajut Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Timur Indonesia Bagi Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Disajikan pada Seminar Makassar Maritime Meeting, Makassar. Bintoro G Tuna Resources in Indonesia s Waters Status, Possible Management Plan, and Recomendations for The Regulation of Fishing Effort. Being a Dissertation Submitted in Partial fulfillment of the Requirements for The Degree of Master of Science in Fisheries. University of Hull, UK. Bintoro G Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Selat Madura Jawa Timur. [Disertasi], Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. Birowo S Sifat Oseanografi Permukaan Laut. Di dalam: Romimohtarto K, Thayib SS, redaksi. Kondisi Lingkungan Pesisir dan Laut di Indonesia. Proyek Penelitian Masalah Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pencemaran Laut. Jakarta. Lembaga Oseanologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LON-LIPI). hlm Blackburn M Oceanography and the Ecology of Tuna. Institut of Marine Research, Scripps Institution of Oceanografi, San Diego, California, p : Boely T, M Potier dan S Nurhakim Study on the Big Purse Seiners Fishery in The Java Sea VI : Sampling Procedure. J.Mar Res. Fish/Ins/ 56. Brown J, Colling A, Park D, Philips J, Rothery D, Wright J Ocean Chemistry and Deep Sea Sediment. Open University. Burhanuddin, Muljanto, R., Martosewojo, S. dan Jamali, A Tinjauan Mengenai Produksi Ikan Tuna, Cakalang dan Tongkol. LON-LIPI, Jakarta.

228 198 Claereboudt MRG, Al-Oufi HS, McIIwain J and Goddard JS Relationship between Fishing Gear, Size Frequency and Reproductive Pattern for the Kingfish (Scomberomorus commerson Lacepede) Fishery in The Gulf of Oman. In Payne AIL, O Brien CM and Rogers SI, editor. Management of Shared Fish Stocks. CEFAS, John Wiley and Sons p. Cong P, Qu L and Niu Z Ocean Primary Production in China Shelf Sea Estimated with SeaWIFS and MODIS. Journal of Environmental Technology and Engineering, 3(2) : Cohrane KL Fisheries Management. In Cohrane KL, editor. A Fishery Manager s Guidebook. Management Measures and Their Aplication. FAO Fiheries 424. Rome, pp 1-20 Cohlan WP, Price NM, Harrison PJ Effects of Irradiance on Nitrogen Uptake by Phytoplankton: Comparison of Frontal and Stratified Communities. Mar Ecol-Prog Ser 69 : Dahuri R.!993. Model Pembangunan Sumberdaya Perikanan secara Berkelanjutan. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I. Hal [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan. Statistik Perikanan. Tahun Laporan [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan Rencana Tataruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kawasan Teluk Bone, Kabupaten Sinjai, Bone, Wajo dan Luwu. Makassar Effendie MI Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. [FAO] Food Agriculture Organitation Code of Conduct for Responsible Fisheries. Fisheries Department. [FAO] Food Agriculture Organitation Precautionary Approach to Capture Fisheries and Species Introductions. Elaborated by the Technical Consulltation on the Precautionary Approach to Capture Fisheries (Including Species Introductions). Lysekil, Sweden. [FAO] Food Agriculture Organitation The FAO Fish and Aquaculture organisation - Fafioye OO and Oluajo OA Length-Weight Relationship of Five Fish Species in Epe Lagoon, Nigeria. African Journal of Biotechnology 4(7) : Farhum, SA Kajian Stabilitas dan Keselamatan Operasional Kapal Pole and Line Sulawesi Selatan pada Gelombang Beam Seas. [Disertasi], Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Fauzi A Turning the Tide" Kebijakan Ekonomi Perikanan. duniaesai.com/index.php/direktori/esai/42-lingkungan/220-qturning-thetideq-kebijakan-ekonomi-perikanan.html [dikunjungi 8 Maret 2011]

229 199 Fréon P, Cury P, Shannon L, Roy C Sustainable Exploitation of Small Pelagic Fish Stocks Challenged by Environmental and Ecosystem Changes: A Review. Bulletin of Marine Science, 76(2): Froose R and Pauly D. 2011, editors. Fishbase, version (06/2011) Gabric AJ and Parslow J Effect of Physical Factor on the Vertical Distribution of Phytoplankton Eutrophyc Coastal Water. Australia Jurnal Marine Fresh Res 40(5) : Gulland JA Fish Stock Assesment. A Manual of Basic Methods. John Wiley and Sons, Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapura. Gunarso W Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Hadikusumah B, Ilahude AG, Simanjuntak M, Sutomo AB, Fitria N dan Kusmanto E Penelitian Arlindo dan Efeknya pada Stratifikasi Massa Air Laut Flores dan Sekitarnya. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Hallier JP and Gaertner D Estimated growth of the Skipjack (Katsuwonus pelamis) from Tagging Surveys Conducted in the Senegalese Area ( ) within a Meta-Analysis Framework. Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 59(2): Hatta M Struktur dan Dinamika Tropik Level di Daerah Penangkapan Perikanan Bagan Rambo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. [Disertasi], Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Hendiarti N, Sachoemar SI, Alkatiri A dan Winarno B Pendugaan Lokasi Upwelling di Perairan Selatan P. Jawa Bali Berdasarkan Tinjauan Parameter Fisika Oceanografi dan Konsentrasi Klorofil-a. Prosiding Seminar Kelautan Nasional Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim, Jakarta. Hengki Studi Sebaran Suhu Permukaan Laut dari Citra Satelit NOAA/AVHRR Tahun di Laut Flores. [Skripsi], Bogor : Program Studi Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Hukom FD, Wouthuyzen S dan Manik N Studi Tentang Pertumbuhan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Tertangkap dengan Pole and Line di Laut Banda. Jurnal Fakultas Perikanan,Unsrat 1(4) ; Irham Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan Maluku Utara. [Disertasi], Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Kadir IR Suatu Studi tentang Potensi Sumberdaya Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Teluk Bone. [Skripsi], Bogor : Program Studi Ilmu Kelautan, IPB.

230 200 Kalayci F, Samsun N. Bilgin S. and Samsun O Length-Weight Relationship of 10 Caught by Bottom Trawl and Midwater Trawl From the Middle Black Sea, Turkey. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 7: Karydis M Eutrophication Assessment of Coastal Waters Based on Indicators: a Literatur Review. Global NEST Journal, Vol 11, No 4, pp Kasma E, Osawa T and Adnyana IWS Estimation of Primary Productivity for Tuna in Indian Ocean. Ecotrophic 4(2) : King M Fisheries biology, assessment and management. Fishing News Books. A Division of Blackwell Science Ltd. London. Laevastu T and Hela I Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London. Laevastu T and Hayes ML Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. London. Lalli CM and Parsons TR Biological Oceanography. An Introduction. Second Edition. Elsevier Butterworth-Heinimann Oxford. Lehodey, P., Bertignac, M. Hampton, J. Lewis, A. and Picaut, J El Niño Southern Oscillation and Tuna in The Western Pacific. Nature 389: Loukos H, Monfray P, Bopp L and Lehodey P Potensial Change in Skipjack Tuna ((Katsuwonus pelamis) Habitat from a Global Warming Scenario : Modelling Approach and Preliminary Results. Journal Fisheries Oceanography, 12:4/5, p. Manggabarani H Pembangunan Perikanan Tangkap Serta Isu Perdagangan Produk Perikanan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Ekolabel dan Standarisasi Produk dalam Meningkatkan Perdagangan Perikanan Indonesia. Simposium, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor Manik N Beberapa Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Sekitar Pulau Seram Selatan dan Pulau Nusa Laut. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 33: Masrikat JAN Kajian Standing Stock Ikan Pelagis Kecil dan Demersal, serta Hubungannya dengan Kondisi Oceanografi di Laut Cina Selatan, Perairan Indonesia. [Disertasi], Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Matsumoto WM, Skilman RA and Dizon AE Synopsis of biological data on skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis). NOAA Techical Report NMFS Circular No. 451 dan FAO Fihsries Synopsis No 136. Diterjemahkan oleh Fedi A. Sondita, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB. Bogor.

231 201 Matsumura-Tundisi T, Rocha O, Tundisi JG Carbon Uptake by Scolodiaptomus corderoi and Thermocyclops minutus feeding on Different Size Fractions of Phytoplankton from Lake Dom Helvecio. In Tundidi G and Saijo Y, editor. Limnological Studies on The Rio Doce Valley Lakes Brazil. Brazilian Academy of Sciences/University of Sao paolo, School of Engineering at Sao Crlos/Center for Water Resources and Applied Eology, Sao Sarlos. McConnaughey BH dan Zottoli R Pengantar Biologi Laut. The CV. Mosby Company. St Louis. Toronto, London. Merta IGS, Dinamika Populasi Ikan Cakalang, Katsuwonus pelamis Linnaeus 1758 (Pisces : Scombridae) dari Perairan Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 53. Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. pp Merta IGS, Beberapa Alternatif Pengelolaan Perikanan Lemuru, Sardinella longiceps Vallenciennes 1847 (Pisces : Clupeidae) di Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.52 Th 1989, hlm Murdiyanto, B Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Project, Jakarta. COFISH Nelwan, AFP Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di perairan Pantai Barat Sulawesi Selatan. [Disertasi], Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Nessa N, Monoarfa, M, Thana, D, Jompa, J, Sudirman dan Amran A Pembinaan Manajemen Ekosistem Lingkungan Teluk Bone. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Nikijuluw, VPH Jakarta. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, P3R, Nikijuluw, VPH Politik Ekonomi Perikanan. Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. PT Fery Agung Corporation. Jakarta. Nomura M, Yamazaki T Fishing Techniques (1). Tokyo. Japan International Cooperation Agency. p Nontji A Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. Nybakken JW Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo, M, Sukardjo S, Jakarta PT. Gramedia, Jakarta. [NRC] National Research Council Dynamic Changes in Marine Ecosistems. Fishing, Food Webs and Future Options. The National Academies Press, Washington DC. Osawa T, Zhao C, Nuarsa IW, Ketut SI and Sugimori Y Study of Ocean Primary Productivity Using Ocen Color Data Around Japan. Remote Sensing and Earth Science, Vol. 2 :

232 202 Parrish RH, Mallicoate DL Variation in The Condition Factors of California Pelagic Fishes and Associated Environmental Factors. Fish. Oceanogr. 2(4): Parsons TR, Takahashi M, Hargrave B Biological Oceanographyc Process. New York-Toronto, Pergamon Press, 3 rd Edition. Pauly D Some Simple Methods fot The Assesment of Tropical Fish Stocks. FAO Fisheries Technical Paper No p. Pauly D and Christensen V Primary Production Required to Sustain Global Global Fisheries. Nature (374): Peltonen H, Miska L, Pääkkönen JP, Karjalainen M, Tuomaala A, Pönni J, Viitasalo M Pelagic Fish Abundance in Relation to Regional Environmental Variation in The Gulf of Finland, Northern Baltic Sea. ICES Journal Of Marine Science 64 (3): oxfordjournals.org/cgi/content/full//64/3/487 [8 Agustus 2010]. Polovina JJ, Howel E, Kobayashi DR and Seki MP The Transition Zone Chlorophyll Front, a Dynamic Global Feature Defining Migration and Forage Habitat for Marine Resources. Progress in Oceanogr. 49: Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 tentang Perikanan. Potier M, Boely T, Nurhakim S and Atmaja SB Study on the Big Purse Seiner Fishery in the Java Sea IV The Catches, J.Mar Res Fish.Inst. 48. Potier M and Sadhatomo B Sampling Training. Java Sea Pelagic Fishery Assesment Project. Agency for Agricultural Research and Development, Research Institut for Marine Fisheries, Jakarta. Prasetyo AP dan Suwarso Produktivitas Primer dan Kelimpahan Ikan Layang (Decapterus spp) Hubungannya dengan Fenomena ENSO di Selat Makassar Bagian Selatan. Marine Fisheries, Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut. Forum Kerjasama Kemitraan Perikanan Tangkap dan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, Bogor. Vol 1 No 2, Hal Rosana, I Pengaruh Perbedaan Jenis Ikan Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Cakalang dengan Pole and Line di Bajoe, Kabupaten Bone. Sulawesi Selatan. [Skripsi], Bogor :Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya perikanan, IPB. Santos AMP Fisheries Oceanography Using Satellite and Airborne Remote Sensing Methods: a Review. Fisheries Research, 49:1-20. Santoso PB dan Ashari Analisis statistik dengan microsof excell dan SPSS. Penerbit Andi. Yogyakarta Silvia A Analisis Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Berdasarkan Suhu Permukaan Laut dan Sebaran Klorofil-a di Perairan Mentawai, Sumatera Barat. [Tesis], Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB.

233 203 Simbolon D Bioekologi dan Dinamika Daerah Penangkapan Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB, Bogor. Sparre P dan Venema SC Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Diterjemahkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Sudjana Metode Statistika. Edisi ke 6. Penerbit Tarsito. Bandung Suhendrata T, Merta IGS dan Gafa B The Estimated Growth and Movement of The Tagged Skipjack in Eastern Indonesian Waters. J.Sea Fish.Res. 37 : (in Indonesian with English Abstract) Sumadhiharga K, dan Hukom FD Hubungan Panjang Berat, Makanan dan Reproduksi Ikan Cakalang (Katsuwonuspelamis) di Laut Banda. Makalah pada Kongres Biologi Nasional VIII. Purwokerto Sumadiharga, K Struktur Populasi dan Reproduksi Ikan Momar Merah (Decapterus ruselli) di Teluk Ambon. Dalam : Perairan Muluku dan Sekitarnya. BPPSL. Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Ambon, Supranto, J Teknik Sampling Untuk Survey dan Eksperimen. Rineka Cipta. Jakarta Suwardi Pengembangan Perikanan Tangkap Pelagis Kecil untuk Pemberdayaan Nelayan di Kota Palopo Propinsi Sulawesi Selatan. [Tesis], Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. Suwartana A Struktur Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Maluku Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 34 : Syamsuddin Analisis Pengembangan Sumberdaya Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan. J. Sains & Teknologi, April 2008, Vol. 8 No. 1: Syamsuddin, Mallawa A, Najamuddin dan Sudirman Analisis Pengembangan Perikanan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linneus) Berkelanjutan Di Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Ringkasan Disertasi. UNHAS. Syafruddin dan Zainuddin, M Prediksi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Berdasarkan Kondisi Oseanografi Di Perairan Kabupaten Takalar dan Sekitarnya. Jurnal Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: Telusa PS. 1985, Komposisi,Morfometrik dan Beberapa Sifat Meristik Jenisjenis Ikan Tuna yang tertangkap di Maluku Tengah. [Tesis], Bogor : Fakultas Pascasarjana IPB. Tomascik, T, Mah AJ, Nontji A and Moosa MK The Ecology of Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII. Periplus Editions (HK) LTD.

234 204 Tubalawony S, Tuahattu JW dan Wattimena SM Karakteristik Massa Air Permukaan Teluk Ambon Dalam pada Bulan Juli. Ichthyos Vol 8 No 1. Januari 2009 : Uktolseja JCB Estimated Growth Parameters and Migration of Skipjack Tuna - Katsuwonus pelamis In The Eastern Indonesian Water Through Tagging Experiments. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal Uktoselja JCB, Gafa B, Bahar S, Mulyadi E Potensi dan Penyebaran Ikan Laut di Perairan Indonesia. Ditjen Perikanan, Jakarta. UNCLOS The Law of the Sea. New York: United Nations. Wagey T, Suparman A, Pranowo WS, Tisiana DAR, Hutahaean KA, Hendrajana B, Kusumah G, Mustikasari E, Prihatno H, Triwibowo H, Afiati, Adi RA, Novita S Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone. Laporan Akhir Kegiatan, Pusat Riset Wilayah dan Sumberdaya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jakarta, 20 Desember Wahyuningrum H dan Barus TA Buku Ajar Ikhtiologi. Hibah Kompetisi Konten Matakuliah E-Learning. USU-Inherent. Faklutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Walpole RE Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh Sumantri B. PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistics. 3 rd edition. Wibisono Y Metode Statistik. Gajah Mada University Press. Widodo J Population Dynamics and Management of Ikan Layang, Decapterus spp (Carangidae) in The Java Sea. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (47). Hal Widodo J Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut Indonesia Tahun Di dalam : Widodo J, Wiadnya NN, Nugroho D. (Eds). Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut Jakarta, Juli PUSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Widodo J dan Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press. Wyrtki K Physial Oceanography of Southeast Asian Waters, Naga report Vol 2. Univerity California. La Jolla. California. Zainuddin M, Saitoh K. and Saitoh S Detection of Potential Fishing Ground for Albacore Tuna Using Synoptic Measurements of Ocean Color and Thermal Remote Sensing in The Northwestern North Pacific. Geophys. Research Letter 31, L20311, doi: /2004gl

235 205 Lampiran 1 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) di Zona Utara Multiple R 0,672 R Square 0,452 Adjusted R Square 0,392 Standard Error 124,37 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression , ,4 7, , Residual , ,87 Total ,2 Hasil analisis diperoleh bahwa P<0,05 (signifikan)

236 206 Lampiran 2 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang di Zona Utara Multiple R 0,818 R Square 0,669 Adjusted R Square 0,632 Standard Error 0,215 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 1 0, , , , Residual 9 0, , Total 10 1, Hasil analisis diperoleh bahwa P<0,05 (signifikan)

237 207 Lampiran 3 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) di Zona Tengah Multiple R 0,019 R Square 0,0003 Adjusted R Square -0,1107 Standard Error 1309,59 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression , ,602 0, , Residual Total Hasil analisis diperoleh bahwa P>0,05 (tidak signifikan)

238 208 Lampiran 4 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang di Zona Tengah Multiple R 0,826 R Square 0,682 Adjusted R Square 0,647 Standard Error 0,538 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 1 5, , , , Residual 9 2, , Total 10 8, Hasil analisis diperoleh bahwa P<0,05 (signifikan)

239 209 Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) di Zona Selatan Multiple R 0,880 R Square 0,775 Adjusted R Square 0,750 Standard Error 414,23 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression , , Residual ,8 Total Hasil analisis diperoleh bahwa P<0,05 (signifikan)

240 210 Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang di Zona Selatan Multiple R 0,764 R Square 0,584 Adjusted R Square 0,538 Standard Error 0,205 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 1 0, , ,6306 0, Residual 9 0, , Total 10 0, Hasil analisis diperoleh bahwa P<0,05 (signifikan)

241 211 Lampiran 7 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap produksi cakalang (ton) dalam seluruh kawasan Teluk Bone Multiple R 0,0811 R Square 0,0066 Adjusted R Square -0,1038 Standard Error 1707,75 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression , ,5 0, , Residual Total Hasil analisis diperoleh bahwa P<0,05 (signifikan)

242 212 Lampiran 8 Hasil analisis sidik ragam regresi linier jumlah upaya penangkapan ikan (trip) terhadap CPUE pada perikanan cakalang dalam seluruh kawasan Teluk Bone Multiple R 0,893 R Square 0,798 Adjusted R Square 0,775 Standard Error 0,306 Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 1 3, , , , Residual 9 0, , Total 10 4, Hasil analisis diperoleh bahwa P<0,05 (signifikan)

243 Lampiran 9 Citra Suhu Permukaan Laut ( o C) pada Zona Utara kawasan Tteluk Bone Tahun

244 214 Lampiran 10 Citra Suhu Permukaan Laut ( o C) pada Zona Utara kawasan Teluk Bone Tahun 2007

245 Lampiran 11 Citra Suhu Permukaan Laut ( o C) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone tahun

246 216 Lampiran 12 Citra Suhu Permukaan Laut ( o C) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone tahun 2007.

247 Lampiran 13 Citra Suhu Permukaan Laut ( o C) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone tahun

248 218 Lampiran 14 Citra Suhu Permukaan Laut ( o C) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone tahun 2007

249 Lampiran 15 Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Utara kawasan Teluk Bone 2006) 219

250 220 Lampiran 16 Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Utara kawasan Teluk Bone Tahun 2007

251 Lampiran 17 Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone (Desember 2005 sampai Desember 2006) 221

252 222 Lampiran 18 Citra klorofill-a (mg/m 3 ) pada Zona Tengah kawasan Teluk Bone tahun 2007

253 Lampiran 19 Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone tahun

254 224 Lampiran 20 Citra klorofil-a (mg/m 3 ) pada Zona Selatan kawasan Teluk Bone (Januari 2007 sampai Desember 2007)

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE 7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE 7.1 Pendahuluan Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang perikanan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang

Lebih terperinci

KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP CAKALANG (Katsuwonus pelamis)di KAWASAN TELUK BONE DALAM PERSPEKTIF KEBERLANJUTAN

KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP CAKALANG (Katsuwonus pelamis)di KAWASAN TELUK BONE DALAM PERSPEKTIF KEBERLANJUTAN KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP CAKALANG (Katsuwonus pelamis)di KAWASAN TELUK BONE DALAM PERSPEKTIF KEBERLANJUTAN Management Concept of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Fisheries Within Bone Bay

Lebih terperinci

4 KONDISI PERIKANAN TANGKAP CAKALANG DI KAWASAN TELUK BONE

4 KONDISI PERIKANAN TANGKAP CAKALANG DI KAWASAN TELUK BONE 4 KONDISI PERIKANAN TANGKAP CAKALANG DI KAWASAN TELUK BONE 4.1 Pendahuluan Salah satu perairan yang sumber ikannya perlu dikelola secara optimum adalah perairan teluk. Teluk adalah laut yang menjorok ke

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG PADA MUSIM BARAT DI PERAIRAN TELUK BONE

KARAKTERISTIK DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG PADA MUSIM BARAT DI PERAIRAN TELUK BONE KARAKTERISTIK DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG PADA MUSIM BARAT DI PERAIRAN TELUK BONE Characterization of Skipjack Tuna Fishing Ground during the West Monsoon in Bone Bay Adi Jufri 1), M. Anshar Amran

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 1, Juni

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA PENENTUAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA DETERMINATION OF FISHING CATCHING SEASON (Decapterus Sp.) IN EAST WATERS OF SOUTHEAST SULAWESI Eddy Hamka 1),

Lebih terperinci

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor KOMPOSISI JUMLAH DAN UKURAN PANJANG IKAN CAKALANG DAN TONGKOL HASIL TANGKAPAN PAYANG DI PERAIRAN PALABUHANRATU DAN BINUANGEUN The Amount and Length Size Composition of Skipjack and Frigate Mackerel Cought

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG KJIN HUUNGN HSIL TNGKPN IKN CKLNG (Katsuwonus pelamis) DENGN KLOROFIL-a PD WPP 714, WPP 715, DN WPP 716 SEGI FISHING GROUND NELYN DI ITUNG sia*, Moh. Zaini, M. Zainul rifin Politeknik Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: ISSN

J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: ISSN J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: 158 162 ISSN 1411-4674 PREDIKSI DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN KONDISI OSEANOGRAFI DI PERAIRAN KABUPATEN TAKALAR DAN

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

PETA SEBARAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN BEBERAPA PARAMETER LINGKUNGAN DI TELUK BONE DAN LAUT FLORES

PETA SEBARAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN BEBERAPA PARAMETER LINGKUNGAN DI TELUK BONE DAN LAUT FLORES PETA SEBARAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN BEBERAPA PARAMETER LINGKUNGAN DI TELUK BONE DAN LAUT FLORES Distribution Map of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Based on Several Environmental

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI ADRIANI GUHAR L231 07 032 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis L.) di Perairan Sangihe Sulawesi Utara

Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis L.) di Perairan Sangihe Sulawesi Utara Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis L.) di Perairan Sangihe Sulawesi tara 1 Marline S. Paendong, 2 John Socrates Kekenusa, 3 Winsy Ch. D. Weku 1 Jurusan Matematika, FMIPA,

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Safruddin*, Nur Indah Rezkyanti, Angraeni, M. Abduh Ibnu Hajar, St. Aisjah Farhum, Mukti Zainuddin

Safruddin*, Nur Indah Rezkyanti, Angraeni, M. Abduh Ibnu Hajar, St. Aisjah Farhum, Mukti Zainuddin Aplikasi Generalized Additive Model untuk mengungkap keterkaitan faktor oseanografi dan distribusi ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis): studi kasus di perairan Teluk Bone, September 2013 Februari 2014 Safruddin*,

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) Irianis Lucky Latupeirissa 1) ABSTRACT Sardinella fimbriata stock assessment purposes

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN UKURAN LAYAK TANGKAP IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN TELUK BONE

STRUKTUR UKURAN DAN UKURAN LAYAK TANGKAP IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN TELUK BONE STRUKTUR UKURAN DAN UKURAN LAYAK TANGKAP IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN TELUK BONE SIZE STRUCTURE AND DECENT SIZE CAPTURE OF SKIPJACK TUNA (Katsuwonus pelamis) IN BONE BAY WATERS Ridha

Lebih terperinci

5 BIOLOGI PERIKANAN IKAN CAKALANG

5 BIOLOGI PERIKANAN IKAN CAKALANG 5 BIOLOGI PERIKANAN IKAN CAKALANG 5.1 Pendahuluan Sumberdaya cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) namun tingkat kecepatan pemulihannya dapat saja tidak

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

Daerah penangkapan ikan dari kapal huhate yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Pantai Belang

Daerah penangkapan ikan dari kapal huhate yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Pantai Belang Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(2): 57-62, Desember 2012 Daerah penangkapan ikan dari kapal huhate yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Pantai Belang Fishing ground of pole and liner

Lebih terperinci

J. Sains & Teknologi, April 2014, Vol.14 No.1 : ISSN

J. Sains & Teknologi, April 2014, Vol.14 No.1 : ISSN J. Sains & Teknologi, April 2014, Vol.14 No.1 : 95 100 ISSN 1411-4674 STRUKTUR UKURAN DAN UKURAN LAYAK TANGKAP IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN TELUK BONE Size Structure and Decent Size Capture

Lebih terperinci

ABSTRAK. JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN.

ABSTRAK. JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN. ABSTRAK JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN. Penelitian ini mengkaji optimasi upaya penangkapan udang di

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 159-168 ISSN 2087-4871 POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat Malaka yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan tingkat eksploitasi yang cukup tinggi. Salah satu komoditi

Lebih terperinci

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 6 HUUNGN SUHU PERMUKN LUT DN KLOROFIL DENGN PRODUKSI IKN PELGIS KEIL DI PERIRN PNTI RT SULWESI SELTN 6.1 Pendahuluan lasan utama sebagian spesies ikan berada di suatu perairan disebabkan 3 hal pokok, yaitu:

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar dan melakukan pengamatan-pengamatan. Matematika juga merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna 24 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna Pendataan produksi tuna di PPN Palabuhanratu pada tahun 1993-2001 mengalami perbedaan dengan data produksi tuna pada tahun 2002-2011. Perbedaan ini

Lebih terperinci

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas Vokasi Volume 9, Nomor 1, Februari 2013 ISSN 1693 9085 hal 1-10 Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas LA BAHARUDIN Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak, Jalan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali Journal of Marine and Aquatic Sciences 3(1), 30-46 (2017) Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali I

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil 7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Terdapat 3 komponen utama dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu 1) teknologi (sumberdaya manusia dan armada), 2) sumberdaya ikan, 3)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ESTIMASI POTENSI DAN PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN SELAYAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA/MODIS

ESTIMASI POTENSI DAN PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN SELAYAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA/MODIS ESTIMASI POTENSI DAN PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN SELAYAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA/MODIS Estimating Total Allowable Catch and Mapping Potential Pelagic Fishing

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

Agriekonomika, ISSN e ISSN Volume 4, Nomor 1

Agriekonomika, ISSN e ISSN Volume 4, Nomor 1 CPUE DAN TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI SEKITAR TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT Dian Budiasih dan Dian A.N. Nurmala Dewi Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN Vol. 4 No. 1 Hal. 1-54 Ambon, Mei 2015 ISSN. 2085-5109 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA The Potential

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

PERIKANAN TONGKOL DI PERAIRAN BUYAT PANTE (LITTLE TUNA FISHERIES IN THE WATERS OF BUYAT PANTE) Meta Sonja Sompie 1 ABSTRACT

PERIKANAN TONGKOL DI PERAIRAN BUYAT PANTE (LITTLE TUNA FISHERIES IN THE WATERS OF BUYAT PANTE) Meta Sonja Sompie 1 ABSTRACT PERIKANAN TONGKOL DI PERAIRAN BUYAT PANTE (LITTLE TUNA FISHERIES IN THE WATERS OF BUYAT PANTE) Meta Sonja Sompie 1 ABSTRACT Fisheries development in Indonesia, especially in North Sulawesi, is to optimize

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

APPLICATION HYPERTEXT MARKUP LANGUAGE TO DESIGN ANCHOVY (Stolephorus spp) FISHERIES SYSTEM INFORMATION IN THE GULF OF BONE

APPLICATION HYPERTEXT MARKUP LANGUAGE TO DESIGN ANCHOVY (Stolephorus spp) FISHERIES SYSTEM INFORMATION IN THE GULF OF BONE APLIKASI HYPERTEXT MARKUP LANGUAGE UNTUK MENDESAIN SISTEM INFORMASI PERIKANAN TERI (Stolephorus spp) DI TELUK BONE APPLICATION HYPERTEXT MARKUP LANGUAGE TO DESIGN ANCHOVY (Stolephorus spp) FISHERIES SYSTEM

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN DAN ESTIMASI POTENSI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI KAWASAN TELUK BONE

TINGKAT PEMANFAATAN DAN ESTIMASI POTENSI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI KAWASAN TELUK BONE TINGKAT PEMANFAATAN DAN ESTIMASI POTENSI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI KAWASAN TELUK BONE Estimation Potency and Utilization Level of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) in Bone Bay Muhammad Jamal,

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

PENGKAJIAN STOK DAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI SELAT BALI

PENGKAJIAN STOK DAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI SELAT BALI PENGKAJIAN STOK DAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI SELAT BALI Peneliti: Ir. Daduk Setyohadi, MP Ir. Tri Djoko Lelono, M.Si Ir. Martinus Ali Muntaha, A.Pi., S.ST., MT Dibiayai

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi 1, Riena Telussa 2, Dwi Ernaningsih 3

ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi 1, Riena Telussa 2, Dwi Ernaningsih 3 ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi 1, Riena Telussa 2, Dwi Ernaningsih 3 1,2,3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Abstrack Pelagic

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR DETERMINATION OF FISHING AREA OF Euthynnus affinis BASED

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA 1 VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA Nina Miranda Amelia 1), T.Ersti Yulika Sari 2) and Usman 2) Email: nmirandaamelia@gmail.com ABSTRACT Remote sensing method

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN UTARA INDRAMAYU JAWA BARAT Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci