HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Responden Deskripsi Karakteristik Responden

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Responden Deskripsi Karakteristik Responden"

Transkripsi

1 50 HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Responden Kegiatan pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan selama 45 hari dan diperoleh hasil ada 49 UPTKP yang berpartisipasi dalam penelitian ini dari 50 UPTKP yang direncanakan. UPTKP yang berpartisipasi terdiri dari tiga kelompok yaitu UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR impor-antar area sebanyak 10, UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR antar area sebanyak 21 dan 18 UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR. Dari UPTKP tersebut berhasil terkumpul sampel sebesar 101 yang terdiri dari 75 pejabat fungsional medik veteriner dan 26 pejabat struktural. Realisasi tingkat partisipasi responden selengkapnya pada Lampiran 6. Deskripsi Karakteristik Responden Karakteristik reponden yang diperhatikan dalam penelitian ini meliputi 1) UPT, 2) pendidikan, 3) masa kerja, 4) jabatan dan 5) pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden.pengamatan kelima aspek ini selain untuk mengetahui kondisi faktual karakteristik responden, sekaligus menggambarkan kesiapan Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP) untuk menciptakan prakondisi dan implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD /L/12/06. Hasil survei terhadap 101 responden dari 49 UPTKP diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir adalah dokter hewan (86.1%). Responden dengan pendidikan terakhir pascasarjana (12.9%) sebelumnya juga memiliki pendidikan dokter hewan, dengan demikian bahwa 99% responden memiliki pendidikan dokter hewan sehingga layak untuk memberikan penilaian tentang prakondisi dan tingkat implementasi SK No.344.b/Kpts/PD /L/12/06 di UPTKP, secara rinci terdapat pada Tabel 9.

2 51 Tabel 9 Pendidikan terakhir responden No Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase (%) 1 Sarjana muda Dokter hewan Pascasarjana Total responden Karakteristik terkait masa kerja bahwa 39.6% responden memiliki masa kerja antara 2-5 tahun dengan jabatan sebagian besar calon medik veteriner (34.7%), pejabat struktural 25.7% dan medik veteriner pertama 21.8%, secara rinci pada Tabel 10. Secara keseluruhan bahwa 74% responden adalah pejabat fungsional medik veteriner dan 26% pejabat struktural. Bila dikaitkan dengan ukuran sampel bahwa realisasi sampel untuk pejabat fungsional adalah 96% (75/78) dan pejabat struktural 52% (26/50) serta realisasi UPTKP 98% (49/50) secara rinci pada Tabel 11. Tabel 10 Masa kerja responden No Masa Kerja Jumlah Persentase (%) 1 < 2 tahun tahun tahun tahun >15 tahun Total responden Tabel 11 Jabatan responden No Jabatan Jumlah Persentase (%) 1 Paramedik veteriner Calon medik veteriner Medik veteriner pertama Medik veteriner muda Medik veteriner madya Pejabat structural Total responden Tabel 12 Pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden No Keberadaan Pelatihan Jumlah Persentase (%) 1 Tidak Ada Total responden

3 52 Responden sebanyak 77.2% pernah mengikuti pelatihan terkait rabies baik pelatihan laboratorium tentang pemeriksaan titer antibodi rabies, epidemiologi/ pemantauan/surveilans rabies maupun penyakit hewan, selengkapnya pada Tabel 12. Dari karakteristik responden baik pendidikan, masa kerja dan jabatan serta pelatihan terkait rabies bahwa responden layak untuk memberikan penilaian tentang prakondisi implementasi dan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD /L/12/06 di UPTKP. Prakondisi Implementasi Kebijakan di UPTKP Prakondisi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD /L/12/06 yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi/sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Dari hasil penelitian, kualitas prakondisi di UPTKP sebagian besar berkategori sedang yaitu 81.6% UPTKP, sebesar 6.1% berkategori baik dan 12.2% berkategori kurang, secara rinci pada Tabel 13. Tabel 13 Kualitas prakondisi implementasi di UPTKP No Aspek Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Komunikasi Baik 18 (18/49) 36.7 Sedang 19 (19/49) 38.8 Kurang baik 12 (12/49) Sumber daya Baik 6 (6/49) 12.2 Sedang 37 (37/49) 75.5 Kurang baik 6 (6/49) Disposisi Baik 13 (13/49) 26.5 Sedang 24 (24/49) 49 Kurang baik 12 (12/49) Struktur birokrasi Baik 8 (8/49) 16.3 Sedang 32 (32/49) 65.3 Kurang baik 9 (9/49) 18.4 Total Prakondisi Baik 3 (3/49) 6.1 Implementasi Sedang 40 (40/49) 81.6 Kurang baik 6 (6/49) 12.2 Aspek Komunikasi Hasil penelitian bahwa komunikasi untuk mentransformasikan pedoman pencegahan penyebaran rabies kualitasnya sedang (38.8%) sampai baik (36.7%)

4 53 dan 24.5% UPTKP yang berkualitas kurang (lihat Tabel 13). Indikator untuk mengukur dukungan komunikasi dalam implementasi kebijakan adalah transmisi, kejelasan dan konsistensi. Indikator-indikator ini kualitasnya sedang sampai baik (lihat Tabel 14). Dalam indikator tersebut, pernyataan dengan kategori baik yaitu 95.9% UPTKP mengetahui tentang pedoman, 73.5% UPTKP melakukan apresiasi pedoman kepada medik dan paramedik veteriner namun UPTKP yang rutin melakukan apresiasi pedoman hanya 14.3%. Responden 87.8% mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman serta 93.9% responden mengetahui apa yang harus dilakukan (lihat Tabel 15). Prakondisi dengan modal pengetahuan tentang pedoman yang baik, informasi yang jelas tentang pedoman serta responden mengetahui apa yang harus dilakukan, kemungkinan interpretasi yang salah bahkan bertentangan dengan pedoman peluangnya akan kecil sehingga diharapkan implementasi sesuai dengan pedoman. Dalam beberapa kasus informasi yang diterima implementor sering kali kabur. Prakondisi ini sering dieksploitasi oleh implementor untuk menjalankan kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu kekaburan informasi akan memberikan suatu lingkungan yang menyebabkan para implementor dapat dengan mudah salah menafsirkan maksud-maksud yang sebenarnya. Tabel 14 Kualitas indikator kumunikasi dalam pencegahan penyebaran rabies No Indikator Persentase Kategori UPTKP Komunikasi (%) 1 Transmisi Baik Sedang Kurang baik Kejelasan Baik Sedang Konsistensi Baik Sedang

5 54 Tabel 15 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori baik No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Pengetahuan tentang Mengetahui pedoman Kurang mengetahui Apresiasi pedoman Dilakukan Kadang-kadang Tidak Kejelasan informasi Jelas tentang pedoman Kurang jelas Tahu apa yang harus Faham dilakukan Kurang faham Metoda transmisi yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 30.8% responden mendapatkan informasi tentang pedoman dengan membaca pedoman yang ada di UPTKP, 23.6% dari publikasi elektronik/internet dan 17.8% dari teman sejawat, selengkapnya pada Tabel 16. Bila disimpulkan bahwa 72.2% responden mendapat informasi tentang pedoman secara mandiri baik melalui internet, teman sejawat dan membaca pedoman yang ada di UPTKP sedangkan 22.8% responden mendapatkan informasi tentang pedoman secara kedinasan/formal yaitu melalui forum fungsional, atasan langsung, apresiasi dari pusat karantina hewan dan apresiasi dari UPTKP. Metoda transmisi seperti ini harus mulai diperbaiki dengan mengupayakan trasmisi secara formal karena transmisi secara formal akan mengeliminir persepsi yang salah tentang pedoman. Transmisi yang ditemukan ini bisa saja menjadi penyebab rendahnya tingkat implementasi. Mengutip pendapat Edwards III (dalam Winarno 2002) bahwa penyimpangan-penyimpangan transmisi dapat menjadi penyebab utama kegagalan implementasi. Tabel 16 Cara/media komunikasi untuk mensosialisasikan pedoman (transmisi) No. Transmisi Jawaban UPTKP (%) 1 Publikasi elektronik / Internet Membaca sendiri dari peraturan di UPT Teman sejawat/kolega Apresiasi dari Pusat KH Apresiasi dari UPT Forum fungsional Atasan lansung 8.4 Total 100

6 55 Ada beberapa hambatan yang mungkin timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi antara lain 1) pertentangan pendapat antara implementor dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan pendapat ini akan menimbulkan hambatan komunikasi. 2) Informasi melewati hierarkhi birokrasi dan kondisi ini akan mempengaruhi tingkat efektifitas komunikasi yang dijalankan. 3) Persepsi implementor dan ketidakmauan implementor untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Kadangkadang implementor mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencoba mendugaduga makna yang lain (Sumiteri 2008). Tabel 17 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori sedang No. Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Frekuensi apresiasi Rutin Kadang-kadang Tidak pernah Apa yang dilakukan sudah Tepat sesuai pedoman Kadang tidak tepat Tidak tepat Tidak tahu Konsistensi pedoman Sama Kurang sama Tidak sama Komunikasi merupakan tolok ukur seberapa jauh kebijakan dalam bentuk peraturan telah disampaikan secara jelas dengan interpretasi yang sama dan dapat dilakukan secara konsisten oleh implementor. Pada penelitian responden telah mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman (87.8%) dan responden mengetahui apa yang harus dilakukan (93.9%) namun apa yang dilakukan sesuai pedoman baru mencapai 63.3% (lihat Tabel 17) artinya ada sekitar 36.7% implementasi yang dilakukan kadang-kadang tidak tepat sampai dengan tidak tepat. Pernyataan ini agak kontradiksi karena jika implementor mengatakan sudah mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman dan tahu apa yang harus dilakukan maka implementasipun seharusnya sudah sesuai pedoman. Namun hal ini bisa dimengerti karena pengetahuan/sikap tidak selalu muncul dalam tindakan/implementasi, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain yaitu adanya kesempatan dan juga adanya sarana dan prasarana (Panjaitan 2012).

7 56 Konsistensi kebijakan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran oleh implementor. Konsistensi yang sama terhadap pedoman dijawab oleh 59.2% UPTKP dan 36.7% penafsiran terhadap pedoman kurang sama (lihat Tabel 17). Kualitas konsistensi seperti ini perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran karena kebijakan dengan konsistensi yang kurang baik akan menyebabkan ketidakefektifan implementor dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Konsistensi tidak saja pada tatanan implementor tetapi juga pada pejabat di tingkat atas. Jika pejabat tidak konsisten maka implementor akan mengalami kebingungan, sehingga implementasi kebijakan tidak akan efektif karena tujuan dan sasaran yang ingin dicapai tidak terwujud. Aspek Sumber Daya Secara keseluruhan aspek sumber daya dalam pencegahan penyebaran rabies kualitasnya termasuk kategori sedang yaitu 75.5% dan 12.2% yang kualitasnya berkategori baik. Indikator untuk mengukur dukungan sumber daya adalah staf, informasi, wewenang, fasilitas dan sumber dana. Indikator-indikator sumber daya secara umum adalah berkategori sedang kecuali indikator wewenang kualitasnya baik dan indikator dana kualitasnya kurang, lihat Tabel 18. Dari indikator-indikator tersebut pernyataan yang kategorinya baik adalah ketersediaan dokumentasi pedoman di UPTKP, kepatuhan implementor dan intervensi dari atasan yang menyebabkan implementasi menyimpang (pada Tabel 19). Petugas yang patuh dan jarangnya intervensi yang menyimpang merupakan modal yang akan membuat suatu kebijakan berjalan dengan baik, karena dengan prakondisi ini akan lebih mudah memberikan arahan sebagaimana yang diputuskan dalam pedoman.

8 57 Tabel 18 Kualitas indikator sumber daya dalam pencegahan penyebaran rabies No Indikator Persentase Kategori UPTKP Sumber Daya (%) 1 Staf Baik Sedang Kurang baik Informasi Baik Sedang Kurang baik Wewenang Baik Sedang Fasilitas Baik Sedang Kurang Dana Baik Sedang Kurang Tabel 19 Pernyataan dalam aspek sumber daya dengan kategori baik No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Dokumentasi Ada pedoman di UPT Tidak ada Tidak tahu Kepatuhan petugas Patuh Intervensi yang menyimpang Kurang patuh Tidak ada Kadang-kadang Terkait wewenang, pada PP 82/2000 tentang karantina hewan, petugas karantina telah diberi kewenangan penuh untuk melaksanakan tindakan karantina termasuk pencegahan penyebaran rabies. Wewenang yang mungkin langka atau tidak diatur adalah mengatur implementor-implementor lain agar tidak mengimplementasikan kebijakan yang menyimpang. Kewenangan seperti ini sebenarnya sangat diperlukan namun kebanyakan implementor lebih mengambil sikap tutup mata dari pada mengatur implementor lain yang melaksanakan kebijakan yang menyimpang. Selain itu kewewenangan petugas karantina ada batasnya yaitu pada pengawasan lalulintas HPR di entry dan exit point sedangkan di daerah sebar menjadi wewenang Dinas terkait. Oleh karena itu perlu kerjasama dengan pelaksana lain agar memperoleh program dengan hasil yang baik. Pernyataan-pernyataan pada indikator staf, fasilitas dan dana kualitasnya cenderung sedang sampai kurang, dapat dilihat pada Tabel 20. Jumlah, kompetensi dan tingkat kemampuan implementor terkategori kurang sesuai

9 58 dan kurang memadai, padahal sumber daya inti setiap organisasi adalah sumber daya manusia yang akan mempengaruhi efektivitas implementasi. Ibaratnya, pedoman sudah ditransmisikan dengan metode yang tepat, jelas dan konsisten namun kekurangan implementor akan mengakibatkan implementasi cenderung tidak efektif. Maka dari itu indikator staf harus ditingkatkan bukan saja kuantitas tapi juga kualitasnya karena kuantitas staf tidak selalu memberikan efek positif dalam implementasi kebijakan, namun kekurangan staf yang terlatih akan menghambat implementasi kebijakan tersebut (Edwards III 1980). indikator staf yang kurang memadai juga mengakibatkan implementasi pedoman menjadi kurang tepat, seperti pemeriksaan titer antibodi rabies seharusnya menjadi dasar pembebasan HPR tetapi akhirnya menjadi monitoring saja dengan alasan kekurangan pegawai di laboratorium. Indikator staf (sumber daya manusia) ini dapat menjadi contoh kasus yang menjelaskan rendahnya kualitas pelayanan birokrasi di Indonesia. Pelayanan publik di Indonesia sering dikatakan lamban dan cenderung tidak efisien. Penyebabnya bukan terletak pada kurangnya jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut tetapi lebih pada kurangnya kemampuan sumber daya manusia dan rendahnya motivasi pegawai. Mengatasi hal tersebut tidaklah cukup dengan jumlah implementor yang memadai untuk melaksanakan suatu kebijakan namun implementor harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menjangkau banyak pembaharuan. Hal lain yang mungkin juga berkontribusi terhadap kualitas indikator staf adalah seringnya petugas yang berlatar belakang profesional di UPTKP dinaikkan pangkatnya menjadi administrator (terutama tata usaha) karena kurangnya pejabat yang memiliki keterampilan pengelolaan, sehingga tidak lagi menggunakan keterampilan profesional dalam bekerja. Selain itu pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada implementor cukup minim, sehingga kemampuan profesional mengalami kenaikan yang cukup lambat. Pejabat ditingkat atas yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat. Pejabat ini sering kali kurang menanamkan

10 59 pengembangan keterampilan jangka panjang juga tidak menekankan latihan pengelolaan. Tabel 20 Pernyataan pada aspek sumber daya dengan kualitas sedang-kurang No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Jumlah petugas Memadai Kurang memadai Tidak memadai Kompetensi petugas Sesuai Kurang sesuai Pengetahuan dan kemampuan petugas 4 Ketersedian pedoman di wilayah kerja 5 Laboratorium yang mampu memeriksa titer antibodi rabies Tidak sesuai Memadai Kurang memadai Tidak memadai Memadai Kurang memadai Tidak memadai Tidak tahu Tersedia Tersedia, tdk difungsikan Tidak tersedia Ketersediaan IKH Tersedia Tersedia, tdk difungsikan Tidak tersedia Ketersediaan sarana Tersedia (kendaraan) Tidak Anggaran untuk Ada mengapresiasikan Tidak ada pedoman Tidak tahu Ketersediaan anggaran Memadai Ketepatan penggunaan anggaran Kurang memadai Tepat sasaran Kurang tepat sasaran 8 44 Bangunan IKH dan fasilitasnya hanya tersedia di 14 UPTKP (28.6%) dan ada tujuh UPTKP yang tersedia IKH tetapi tidak difungsikan. Hal ini akan menyebabkan observasi HPR lebih banyak dilakukan diluar IKH. Selain itu hanya sebagian kecil saja UPTKP (12.2%) yang mampu melaksanakan pemeriksaan titer antibodi rabies (lihat Tabel 20). Kedua komponen ini menurut peneliti merupakan fasilitas mendasar yang harus dimiliki UPTKP. Laboratorium tidak harus dengan fasilitas yang modern tetapi lebih kepada pemanfaatan teknologi terapan yang cepat seperti rapid test, qualitative test dan sebagainya. Disinilah letak pentingnya fasilitas dalam implementasi kebijakan. Ibaratnya, UPTKP memiliki staf yang memadai, memahami apa yang harus dilakukan, patuh, mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya tetapi tanpa fasilitas yang menunjang untuk mengimplementasikan kebijakan, besar kemungkinan

11 60 implementasi yang dirancang akan terhambat. Sesuai dengan apa yang dikatakan Grindle (1980) bahwa implementasi kebijakan akan mudah dilaksanakan jika didukung oleh ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan, sebaliknya jika tidak tersedia maka implementasi akan terganggu. Akibat dari kekurangan fasilitas ini mungkin menjadi salah satu penyebab masih tingginya kasus rabies di beberapa tempat. Misalkan saja ketika pemasukan HPR dari daerah bebas rabies ke daerah endemis, tidak diketahui (tidak diperiksa) titer antibodinya dan ternyata titernya tidak protektif, maka di daerah tujuan yang endemis rabies akan memperbesar peluangnya untuk tertular rabies dan akan meningkatkan prevalensi rabies di daerah tersebut. Begitu juga sebaliknya ketika ada pemasukan HPR dari daerah endemis ke daerah bebas rabies (menurut pedoman tidak diperbolehkan), sehingga memperluas daerah sebar rabies. Dalam hal anggaran, hanya 36.7% UPTKP yang menyatakan ketersediaan anggaran untuk mengapresiasikan pedoman kepada implementor, dan anggaran tersebut dianggap memadai dan tepat sasaran dalam penggunaannya masing-masing dinyatakan oleh 38.9% dan 56% UPTKP (lihat Tabel 20). Oleh karena itu perlu memasukan anggaran untuk mengapresiasikan pedoman atau petunjuk teknis kepada implementor, tidak hanya pedoman No.344.b/Kpts/PD /L/12/06 tetapi juga petunjuk teknis yang lain. Aspek Disposisi/Sikap Implementor Secara keseluruhan kecenderungan sikap implementor dalam melaksanakan pedoman kualitasnya sedang (49%) sampai baik (26.5%) dan 24.5% UPTKP kualitasnya kurang. Indikator untuk mengukur dukungan disposisi adalah komitmen dan insentif. Sebesar 83.7% UPTKP mempunyai komitmen dan 73.5% mempunyai motivasi dalam melaksanakan pedoman, dapat dilihat pada Tabel 21. Indikator komitmen berkategori baik, namun di sebagian besar UPTKP (67.3%) tidak ada insentif untuk petugas jika berhasil mencapai tujuan pedoman, menyebabkan aspek disposisi secara keseluruhan menjadi berkategori sedang. Disposisi atau sikap yang positif merupakan modal yang sangat berharga untuk mendukung keberhasilan implementasi pedoman pencegahan penyebaran

12 61 rabies. Edwards III menjelaskan bahwa sikap positif menunjukkan adanya dukungan dari implementor untuk melaksanakan pedoman sehingga akan lebih mudah untuk memberikan arahan dan pemahaman sebagaimana yang telah diputuskan dalam kebijakan. Demikian pula sebaliknya bila sikap implementor berbeda dengan pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Tabel 21 Pernyataan dalam aspek disposisi dan kualitasnya No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Komitmen Ada komitmen Kurang komitmen Tidak ada komitmen Motivasi Ada motivasi Kurang motivasi Tidak ada motivasi Insentif Ada insentif Kadang ada insentif Tidak ada insentif Sikap implementor juga dapat ditunjukkan melalui keberanian implementor mengambil inisiatif dalam melaksanakan pedoman. Tentunya inisiatif tersebut dilandasi argumentasi ilmiah. Namun dalam penelitian ini pertanyaan mengenai inisiatif/improvisasi yang mungkin dapat dilakukan oleh implementor dalam pencegahan penyebaran rabies tidak dimunculkan. Improvisasi yang mungkin seperti dalam kondisi yang sangat mendesak, HPR memungkinkan diberangkatkan 15 hari post vaksinasi tidak harus menunggu 30 hari. Tentunya setelah HPR di periksa titer antibodi rabiesnya dan menunjukan hasil yang protektif. Hal ini seperti yang dikatakan Riasari (2009) bahwa 83.3% titer sudah protektif ketika pengambilan sampel serum dilakukan antara 8-15 hari post vaksinasi. Aspek Struktur Birokrasi Struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies sebagian besar kualitasnya berkategori sedang, yakni 65.3% UPTKP, 16.3% berkategori baik, dan 18.4% berkategori kurang, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13. Indikator untuk mengukur dukungan struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan adalah SOP dan struktur birokrasi pelaksana. Hasil penelitian menunjukan

13 62 ketersediaan SOP di UPTKP termasuk kategori kurang yaitu dinyatakan oleh 69.4%, sedangkan struktur birokrasi pelaksana sebagian besar berkategori sedang yaitu 55.1%, secara rinci terdapat pada Tabel 22. Tabel 22 Indikator struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies No Indikator Struktur Birokrasi Kategori UPTKP Persentase (%) 1 SOP Baik Sedang Kurang Struktur birokrasi Baik Sedang Kurang Pernyataan-pernyataan dalam aspek struktur birokrasi pelaksana kecenderungannya pada kategori sedang sampai kurang (lihat Tabel 23). Sejumlah 59.2% UPTKP menilai bahwa struktur organisasi UPTKP yang ada saat ini masih kurang sesuai bila dikaitkan dengan cakupan wilayah kerja dan beban kerja yang ada. Namun demikian komposisi petugas dinilai sudah terpadu, hal ini dinyatakan oleh 61.2% UPTKP. Kondisi ini memungkinkan koordinasi dengan instansi terkait yang dilakukan oleh UPTKP sebesar 63.3%. UPTKP yang terkategori sering dalam melakukan koordinasi baru mencapai 51%. Struktur birokrasi pada dasarnya adalah mekanisme kerja yang memungkinkan terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan. Bentuk koordinasi yang dilakukan dalam rangka pencegahan penyebaran rabies 43% adalah melakukan pertemuan secara berkala, 28.6% terlibat dalam rakor rabies provinsi dan 28.4% terlibat dalam rakor rabies kepulauan. Sementara tindak lanjut dari kooordinasi yang menonjol adalah pertukaran data/informasi tentang rabies 43.8%, pengawasan bersama 18.9% dan surveilans bersama 14.3% seperti tergambar pada Tabel 24. Namun koordinasi yang dilakukan hasilnya masih kurang memuaskan, yakni 57.1% UPTKP.

14 63 Tabel 23 Pernyataan aspek struktur birokrasi dengan kualitas sedang-kurang No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Kesesuaian struktur Sesuai organisasi pelaksana Kurang sesuai Tidak sesuai Keterpaduan petugas Ya Tidak Koordinasi dengan instansi terkait Ada Kadang-kadang Intensitas koordinasi Sering Jarang Hasil koordinasi Memuaskan Kurang memuaskan Tidak memuaskan Evaluasi hasil koordinasi terhadap jumlah kasus Dilakukan Kadang-kadang Tidak 7 Laporan ke Barantan Ya Kadang-kadang Tidak tahu 8 Ketersediaan SOP Tersedia Tidak Tidak tahu 9 SOP dapat menjadi acuan Ya Tidak 10 Ketersediaan SOP di Ya counter pelayanan Tidak 11 Manfaat SOP Bermanfaat Kurang bermanfaat Tabel 24 Tindak lanjut dari koordinasi yang dilakukan dengan instansi terkait No Tindak Lanjut UPTKP (%) 1 Pertukaran data/informasi tentang rabies Pengawasan bersama Surveilans bersama Sosialisasi terintegrasi 12 5 Eliminasi dan vaksinasi bersama 11 SOP dibuat dengan tujuan untuk mengatasi keterbatasan sumber daya dan waktu serta menciptakan keseragaman perilaku bagi implementor. SOP atau mekanisme implementasi layaknya tertulis secara formal dalam kerangka kerja yang jelas dan sistematis. Hasil penelitian menunjukan bahwa 34.7% UPTKP sudah memiliki SOP dan SOP tersebut sebagian besar digunakan sebagai acuan oleh UPTKP (94.1%) dalam lalulintas pemasukan HPR. Dari prakondisi ini, ketersediaan SOP di UPTKP menjadi hal yang penting dan harus disegerakan sehingga diharapkan implementasi pedoman menjadi seragam.

15 64 Dari uraian ke empat aspek yang mempengaruhi implementasi pedoman, dapat disimpulkan bahwa aspek yang paling kritis dan harus segera ditingkatkan kualitasnya adalah aspek komunikasi dari indikator metoda transmisi dan konsistensi. Kedua indikator ini proporsinya paling besar membuat aspek komunikasi menjadi aspek yang kritis. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa metoda transmisi yang kurang tepat dapat menjadi penyebab utama kegagalan implementasi dan konsistensi yang kualitasnya rendah akan mendorong implementor melaksanakan pedoman dengan sangat longgar sehingga akhirnya menyebabkan implementasi tidak optimal. Prakondisi Implementasi di UPTKP yang Tidak Ada Lalulintas HPR Ada sejumlah 18 UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR baik impor maupun antar area masuk. Tidak ada lalulintas pemasukan HPR bisa karena memang tidak ada kegiatan tersebut atau karena adanya peraturan daerah yang melarang pemasukan HPR dari luar provinsi seperti pelarangan pemasukan HPR ke Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, NTB, Papua, dan Bali. Pelarangan pemasukan HPR dimungkinkan karena sedang terjadi wabah seperti Bali atau dalam rangka melindungi daerah tersebut dari terjangkitnya penyakit rabies seperti Kepulauan Riau, NTB, Papua dan sebagainya. Karantina Pertanian dalam rangka mencegah masuk, tersebar dan keluarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK) dalam hal ini penyakit rabies, meskipun tidak ada lalulintas pemasukan HPR ke UPTKP tersebut tetapi dalam rangka pengawasan untuk mencapai tujuan karantina maka petugas karantina harus mengetahui peraturan perundangan terkait lalulintas HPR, pengetahuan teknis laboratorium pemeriksaan rabies dan sebagainya. Pada penelitian ini juga dilakukan wawancara menggunakan kuesioner kepada petugas karantina di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR. Hasil penelitian pada Tabel 25 menunjukkan bahwa kualitas prakondisi implementasi di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR adalah berkategori sedang.

16 65 Tabel 25 Prakondisi implementasi di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR No Variabel Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Komunikasi Baik Sedang Kurang baik Sumber daya Baik Sedang Kurang baik Disposisi Baik Sedang Kurang baik Struktur birokrasi Baik Sedang Kurang baik Total Prakondisi Baik Implementasi Sedang Kurang baik Tingkat Implementasi SK No.344.b/Kpts/PD /L/12/06 di UPTKP Jumlah pertanyaan menyangkut implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD /L/12/06 sebanyak 38 yang terbagi ke dalam kegiatan pemasukan HPR impor-antar area dan pemasukan antar area. Menilai implementasi pedoman ini di UPTKP dilakukan dengan mengelompokan UPTKP yang ada kegiatan pemasukan HPR impor-antar area dan UPTKP yang hanya ada kegiatan pemasukan HPR antar area. Tingkat Implementasi Pedoman pada Kegiatan Pemasukan HPR Impor- Antar Area Ada sejumlah 10 UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR impor-antar area (IAA). Secara umum tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies di UPTKP tersebut termasuk dalam kategori sedang yakni sebesar 90% seperti tergambar pada Tabel 26. Tabel 26 Tingkat implementasi pedoman pada kegiatan pemasukan HPR IAA No Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Baik Sedang 9 90 Rata-rata Sedang Berdasarkan jawaban responden, masih ditemukan implementasi yang tidak sesuai pedoman (implementation gap), namun implementasi yang sesuai

17 66 pedoman persentasenya masih lebih tinggi. Implementasi yang persentase kesesuaiannya dengan pedoman lebih tinggi yaitu 1) tidak ada impor HPR dalam keadaan bunting/menyusui dinyatakan oleh 90% UPTKP, 2) umur HPR impor minimal enam bulan dinyatakan 90% UPTKP dan 3) jarak post vaksin dengan HPR dilalulintaskan minimal 30 hari dan maksimal satu tahun 100% sesuai pedoman, 4) semua UPTKP (100%) melakukan tindakan penahanan jika persyaratan karantina tidak lengkap, 5) surat persetujuan pemasukan (SPP) selalu dipenuhi (100%), 6) sebesar 80% UPTKP melakukan observasi pada masa karantina selama 14 hari, 7) semua HPR yang masuk selalu dilakukan pemeriksaan fisik (100%) dan 8) 86% HPR yang dibebaskan adalah HPR dengan titer antibodi protektif, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Implementasi yang sesuai pedoman pada pemasukan HPR IAA No Implementasi Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Impor HPR sedang bunting/ Ada 1 10 menyusui Tidak ada Umur HPR dilalulintaskan Sesuai 9 90 Kadang tidak sesuai Jarak post vaksin dengan HPR dilalulintaskan Sesuai Tindakan karantina Penahanan SPP dari Ditjenak Keswan Dipenuhi Pengamatan dalam masa 14 hari 8 80 karantina Kurang 14 hari Pemeriksaan fisik HPR Selalu dilakukan Pembebasan jika titer protektif Selalu dilakukan Kadang-kadang Implementation gap yang ditemukan pada pemasukan HPR impor-antar area antara lain 1) masih ada pemasukan HPR dari negara endemis rabies, 2) persyaratan karantina yang tidak lengkap, 3) pemeriksaan titer antibodi rabies dan protektifitasnya serta 4) revaksinasi jika titer tidak protektif, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 28. Data yang tercantum pada Tabel 27, kecuali butir terkait protektifitas antibodi (yaitu no 2,3 dan 8), bila diamati satu per satu bahwa butir-butir tersebut bukanlah merupakan faktor utama dalam pencegahan penyebaran rabies. Dengan kata lain bilapun butir-butir pada Tabel 27 menjadi

18 67 implementations gap tidak besar kontribusinya dalam membawa rabies bila dibandingkan dengan implementations gap yang ditemukan pada penelitian ini, seperti pada Tabel 28. Tabel 28 Implementations gap dalam pemasukan HPR impor-antar area (IAA) No Implementasi Kategori UPTKP Persentase (%) 1 HPR dari negara tidak bebas Ada 5 50 rabies Tidak ada persyaratan karantina Selalu lengkap 5 50 Kadang tidak lengkap Persyaratan yang tidak Paspor/microchip lengkap Hasil lab titer Ab Lokasi masa karantina Di rumah pemilik 6 60 Di IKH Pemeriksaan titer Antibodi Selalu dilakukan 5 50 rabies Kadang-kadang 2 20 Tidak dilakukan Hasil pemeriksaan titer Semua protektif 3 43 antibodi rabies 7 Jika titer tidak protektif dilakukan? Lebih banyak protektif 4 57 Divaksin di IKH 4 57 Divaksin diluar IKH 3 43 Pemasukan HPR dari negara yang tidak bebas rabies, status HPR yang tidak jelas karena persyaratan karantina yang tidak lengkap ditambah dengan tidak dilakukan pemeriksaan titer antibodi di entry point dan ternyata titer antibodi tidak semuanya protektif maka peluang implementations gap sebagai pembawa rabies besar sekali. Pelepasan HPR dengan antibodi yang tidak protektif dan hanya mengeluarkan rekomendasi untuk di vaksin rabies, menurut penulis resikonya cukup besar karena bila HPR telah dibebaskan dari karantina tidak ada yang dapat menjamin bahwa HPR akan divaksin. Selain itu HPR yang telah berada di daerah sebar bukan lagi kewenangan karantina tetapi menjadi kewenangan Dinas terkait. Pada kelompok pemasukan HPR impor-antar area, implementasi pedoman pada kegiatan pemasukan HPR antar area ternyata banyak yang tidak sesuai pedoman. Artinya pada UPTKP yang sama dimana implementations gap pada pemasukan HPR impor tidak menonjol ternyata pada kegiatan pemasukan HPR antar area yang terjadi malah sebaliknya, seperti terlihat pada Tabel 29. UPTKP berperilaku lebih longgar ketika ada pemasukan HPR antar area. Dalam implementasi kebijakan, perilaku ambigu ini seharusnya tidak

19 68 terjadi karena dengan perilaku ini terkesan bahwa implementor tidak mempunyai komitmen dalam mengimplementasikan pedoman. Tabel 29 Implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies di UPTKP pada pemasukan HPR antar area dalam kelompok impor-antar area No Indikator Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Persyaratan karantina Kadang tidak lengkap Persyaratan yang tidak HC 3.86 lengkap SKKH 5.61 Buku vaksin Hasil laboratorium Dikoordinasi dengan UPT Selalu dikoordinasikan 5 50 asal Kadang-kadang saja 4 40 Tidak dikoordinasikan Tindakan karantina Penahanan 8 80 Pembebasan 2 20 Jarang 7 70 Sering Pemasukan HPR dengan persyaratan tidak lengkap 6 Rekomendasi pemasukan Selalu disertai 4 40 Kadang-kadang tidak 5 50 Tidak disertai 1 10 Selalu dikoordinasikan 3 50 Kadang-kadang 2 33 Tidak pernah Pemeriksaan fisik HPR Selalu dilakukan Koordinasi dengan Dinas terkait Kadang-kadang tidak Umur HPR saat Sesuai pedoman 4 40 dilalulintaskan Kadang-kadang tidak Jarak post vaksin dengan Sesuai pedoman 4 40 waktu HPR dilalulintaskan Kadang-kadang tidak Masa karantina 14 hari 4 40 Kurang 14 hari 3 30 Tidak dilakukan Lokasi masa karantina Di rumah pemilik Hasil pemeriksaan titer Ab Dipenuhi 1 10 Kadang-kadang 5 50 Tidak dipenuhi Tindakan karantina jika tidak dilengkapi hasil lab. Dibebaskan 8 80 Pemeriksaan titer Ab 2 20 Tingkat Implementasi Pedoman Pada Kegiatan Pemasukan HPR Antar Area Ada sejumlah 21 UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR antar area. Sebagian besar tingkat implementasi berkategori sedang yaitu 90.5% dan 4.8% berkategori baik dan kurang, seperti tertera pada Tabel 30. Dilihat dari kategorinya, kualitas implementasi pada dua kelompok pemasukan HPR tidak jauh berbeda namun bila dirinci setiap butir kegiatan maka implementation gap lebih banyak ditemukan pada kelompok pemasukan HPR antar area seperti

20 69 terdapat pada Tabel 31. Hanya pemeriksaan fisik HPR yang tingkat kesesuaiannya dengan pedoman lebih baik yaitu mencapai 81%. Tabel 30 Tingkat implementasi pedoman pada pemasukan HPR antar area. No Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Baik Sedang Kurang Rata-rata Sedang Implementations gap pada kelompok pemasukan HPR antar area sangat mendominasi mulai dari aspek administrasi sampai pada aspek teknis. Bila dilihat lebih rinci, UPTKP pada kelompok ini memiliki status rabies endemis dan bebas historis namun implementations gap cenderung lebih sedikit pada UPTKP dengan status rabies bebas historis. Artinya UPTKP dengan status tersebut kualitas implementasinya lebih baik dengan segala keterbatasan fasilitas yang dimiliki. Disini secara tidak langsung terlihat bahwa aspek disposisi atau komitmen implementor sangat mempengaruhi kualitas implementasi pedoman. Selain itu, dari data yang ada bahwa UPTKP pada kelompok impor-antar area dengan prakondisi yang berkategori baik tidak menunjukan kualitas implementasi pedoman yang baik pula. Secara keseluruhan kualitas implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies baik pada kelompok impor antar-area maupun kelompok antar area adalah sedang meskipun ada masing-masing satu UPTKP kualitas implementasinya baik. Inilah yang dikemukan Jones (1991) bahwa implementasi dengan mudah dapat dipahami, akan tetapi dalam pelaksanaannya bukanlah sesuatu yang mudah. Kualitas implementasi berkategori sedang terjawab dari hasil penelitian bahwa terdapat banyak implementations gap. Implementations gap yang ada dapat dikelompokan kepada aspek teknis seperti tindakan karantina (observasi, pemeriksaan fisik HPR, penahanan, pemeriksaan titer antibodi rabies, dan vaksinasi), aspek administrasi seperti persyaratan karantina, rekomendasi, persyaratan negara asal, umur HPR, jarak post vaksin serta aspek sumber daya fisik yaitu IKH dan laboratorium.

21 70 Ketersediaan IKH untuk observasi HPR hanya di 14 UPTKP (28.6%) dan konsekuensinya lokasi untuk observasi HPR dilakukan di rumah pemilik. Hal ini bisa dilakukan tetapi terlebih dahulu lokasi tersebut harus ditetapkan sebagai instalasi karantina hewan sementara dengan ketetapan Kepala Badan Karantina Pertanian. Namun kembali lagi apakah tujuan observasi untuk mengamati kemungkinan gejala klinis yang timbul dapat dilaksanakan secara optimal ketika HPR yang mau diamati berada di rumah pemilik?. Laboratorium yang mampu melaksanakan pemeriksaan titer antibodi rabies hannya 12.2% (6 UPTKP). Dari hasil ini terlihat bahwa sumber daya belum mendukung untuk mewujudkan implementasi yang diharapkan pembuat kebijakan. Tabel 31 Implementation gap pada lalulintas pemasukan HPR antar area No Indikator Kategori UPTKP Persentase (%) 1 Persyaratan karantina Selalu dilengkapi Persyaratan yang tidak lengkap 3 Dikoordinasi dengan UPT asal 4 Tindakan karantina yang dilakukan Kadang tidak lengkap HC 63.1 SKKH 13.8 Buku vaksin 5.9 Hasil laboratorium 2.8 Selalu dikoordinasikan 8 47 Kadang-kadang saja 9 53 Penahanan Penolakan 2 11 Pemusnahan 1 6 Pembebasan Rekomendasi pemasukan Selalu disertai Kadang-kadang tidak Tidak disertai Koordinasi dengan Dinas terkait 7 Umur HPR saat dilalulintaskan 8 Jarak post vaksin dengan waktu HPR dilalulintaskan Selalu dikoordinasikan 3 30 Kadang-kadang 6 50 Tidak pernah 1 10 Sesuai pedoman Kadang-kadang tidak 6 30 Tidak sesuai 3 15 Sesuai 7 35 Kadang-kadang tidak 9 45 Tidak sesuai Masa karantina 14 hari Kurang 14 hari Tidak dilakukan Lokasi masa karantina Di rumah pemilik Pengasingan 6 bulan di rumah pemilik, lalulintas endemis ke endemis rabies Tidak dilakukan Hasil pemeriksaan titer Ab Kadang dipenuhi Tidak dipenuhi Tindakan karantina jika tidak Penolakan dilengkapi hasil pemeriksaan Pemeriksaan titer Ab laboratorium Dibebaskan 17 81

22 71 Implementation gap dari aspek teknis pada pemasukan HPR impor terlihat dari UPTKP yang melakukan pemeriksaan titer antibodi rabies hanya 50% dan ketika titer tidak protektif tidak semua UPTKP melakukan revaksinasi di IKH. Iimplementation gap dari aspek administrasi adalah masih adanya pemasukan HPR dari negara yang tidak bebas rabies 50% (5/10), masih tingginya persentase pemasukan HPR dengan persyaratan karantina yang tidak lengkap yaitu 50% walaupun 70.83% yang tidak lengkap adalah microchip/paspor hewan dan 29.17% tidak ada surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi rabies. Pada kelompok pemasukan HPR antar area, semua pernyataa/item kecenderungannya selalu ada implementation gap kecuali pada pemeriksaan fisik HPR. Implementation gap yang diuraikan diatas kecuali IKH sebenarnya dapat dikurangi. Pemeriksaan titer antibodi rabies bisa dilakukan di laboratorium pemerintah yang lain, sedangkan negara asal yang endemis dan persyaratan karantina dapat ditertibkan dengan melaksanakan tindakan karantina. Kedepan yang penting adalah konsistensi/penafsiran yang sama terhadap butir-butir kegiatan yang terdapat dalam pedoman, komitmen dan keberanian implementor untuk menerapkan pencegahan penyebaran rabies sesuai dengan pedomannya sehingga implementation gap dalam lalulintas pemasukan HPR dapat menjadi berkurang bahkan tidak ada. Banyaknya implementations gap yang ditemukan dalam penelitian ini disebabkan oleh lemahnya proses implementasi. Proses implementasi yang lemah terbukti dari kualitas prakondisi yang belum sepenuhnya mendukung untuk mengimplementasikan kebijakan sebagaimana diharapkan oleh pembuat kebijakan. Oleh karena itu implementasi kebijakan yang efektif harus ditunjang oleh prakondisi yang mendukung untuk pelaksanaan kebijakan. Korelasi Prakondisi dengan Tingkat Implementasi Pedoman Analisa korelasi dilakukan untuk mencari bukti terdapat tidaknya hubungan antara variabel prakondisi (X) dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies (Y) baik peraspek maupun secara bersama-sama serta melihat tingkat keeratan hubungan apakah signifikan atau tidak. Variabel yang dikorelasikan adalah skala pengukuran numerik, sehingga

23 72 analisa yang digunakan untuk menggambarkan hubungan tersebut adalah uji Pearson. Analisa dilakukan pada dua kelompok, yaitu: 1. Korelasi prakondisi dengan tingkat implementasi pada kelompok imporantar area. Hasil uji Pearson tidak ditemukan adanya korelasi baik peraspek maupun keempat aspek tersebut dianalisa secara bersama-sama. Hasil uji Pearson terdapat pada Lampiran Korelasi prakondisi dengan tingkat implementasi pada kelompok antar area. Hasil uji Pearson ditemukan adanya korelasi, seperti tercantum pada Lampiran 8. Tabel 32 Hasil analisa uji Pearson antara prakondisi dengan tingkat implementasi pada pemasukan HPR antar area. No Prakondisi Implementasi Sig. Korelasi (Independen) (Dependen) (2. tailed) Pearson Ket. 1 Komunikasi Implementasi 0.002* Ada kebijakan korelasi 2 Sumber daya Implementasi Tidak ada kebijakan 3 Disposisi Implementasi Tidak ada kebijakan 4 Struktur Implementasi Tidak ada birokrasi kebijakan Total Prakondisi Implementasi 0.037* Ada kebijakan korelasi Keterangan: *menunjukan hubungan yang nyata pada nilai p<0.05 Kekuatan Korelasi Kuat Sedang Dari analisa uji Pearson, hanya aspek komunikasi ditemukan memiliki korelasi dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies dengan kekuatan korelasi yang kuat sedangkan tiga aspek yang lain yaitu sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi tidak ada korelasi. Namun jika di analisa secara bersama keempat aspek tersebut ditemukan korelasi dengan kekuatan korelasi sedang. Hasil analisa ini menunjukan hubungan yang positif yaitu semakin tepat metoda komunikasi yang dilakukan maka kualitas implementasi semakin baik. Edwards III (dalam Winarno 2002) menyatakan dengan menganalisa hubungan komunikasi dengan implementasi maka dapat diambil generalisasi yakni semakin cepat pedoman disosialisasikan maka semakin tinggi probabilitas pedoman tersebut diimplementasikan.

24 73 Menurut Edwards III (1980), aspek komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi secara lansung dan tidak lansung serta simultan mempengaruhi implementasi. Tabel 32 di atas sesuai dengan yang dikemukan Edwards III bahwa komunikasi mempengaruhi implementasi secara lansung namun tiga aspek yang lain mempengaruhi implementasi secara tidak lansung. Pendapat Winarno (2002) bahwa komunikasi mempengaruhi sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang pada gilirannya mempengaruhi implementasi. Pada penelitian ini tidak semua aspek berkorelasi apalagi pada kelompok impor-antar area. Memang itulah kondisinya saat ini dan dapat berubah bila dilakukan penelitian pada saat yang akan datang. Tidak adanya korelasi antara prakondisi (X) dengan implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies (Y) pada kegiatan pemasukan HPR impor-antar area yang terungkap pada penelitian ini agak berbeda dengan teori yang dikemukan Edwards III. Salah satu penyebab adalah karena nilai prakondisi dan nilai implementasi kecenderungannya tidak mengelompok pada satu satuan nilai. Rendahnya kekuatan korelasi yang terungkap dari penelitian ini, bisa juga mengindikasikan bahwa masih ada faktor lain yang mempengaruhi implementasi selain empat aspek yang diuraikan di atas tetapi faktor-faktor tersebut tidak dianalisa dalam penelitian ini. Seperti yang dikemukan Makinde (2005) bahwa implementasi dapat menjadi lebih baik dengan melibatkan masyarakat penerima manfaat dari tahap formulasi kebijakan agar masyarakat dapat memberi masukan. Hal ini akan membuat masyarakat mempunyai rasa memiliki dan mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan kebijakan. Hal lain yang tak kalah pentingnya menurut Makinde adalah kebijakan harus dipantau dengan cara yang tepat sehingga diketahui apakah kebijakan telah dilaksanakan dengan efektif atau kebijakan tersebut ternyata sudah tidak bermanfaat untuk masyarakat. Van Meter dan Van Horn (1975) juga mengemukan bahwa selain empat aspek prakondisi yang diuraikan diatas, kondisi sosial, ekonomi dan politik juga mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Aspek ini menekankan pada kondisi sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok yang berkepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik

25 74 partisipan yang mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan tersebut. Oleh karena itu untuk penelitian yang akan datang, mengkombinasikan model implementasi untuk mengukur tingkat implementasi suatu kebijakan mungkin akan memberikan gambaran yang senyatanya mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut.

METODE PENELITIAN PRAKONDISI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN. Sumber Daya 1. Staf 2. Informasi 3. Wewenang 4. Fasilitas 5. Dana

METODE PENELITIAN PRAKONDISI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN. Sumber Daya 1. Staf 2. Informasi 3. Wewenang 4. Fasilitas 5. Dana 42 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep Penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa peubah yang diamati yaitu karakteristik responden meliputi pendidikan, masa kerja, jabatan, dan pelatihan terkait rabies

Lebih terperinci

Demikian, terimakasih atas bantuan Bapak/Ibu.

Demikian, terimakasih atas bantuan Bapak/Ibu. LAMPIRAN 8 8 Kuesioner prakondisi dan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies (pre test) KUESIONER KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI UPT KARANTINA PERTANIAN DALAM PENCEGAHAN PENYEBARAN

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Implementasi Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Sleman dan faktorfaktor

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Implementasi Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Sleman dan faktorfaktor BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa Implementasi Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Sleman dan faktorfaktor yang mempengaruhinya adalah

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT )

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT ) 1 STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT ) KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN KARANTINA PERTANIAN BALAI KARANTINA PERTANIAN KELAS I BANJARMASIN 2015 2 STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di seluruh Kalimantan. Instansi-instansi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 82/2000, KARANTINA HEWAN *37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Rabies di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Rabies di Indonesia 24 TINJAUAN PUSTAKA Rabies di Indonesia Rabies di Indonesia di duga telah lama ada karena dalam bahasa sansekerta lama sudah ada istilah rabas yaitu rabies, namun secara resmi pertama kali dilaporkan oleh

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan,

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan, NAMA NIM : RISKI PUTRI AMALIA : D2A604045 JURUSAN : ADMINISTRASI PUBLIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat Miskin) DI KECAMATAN KOTA KABUPATEN KUDUS. Kemiskinan dapat menjadi masalah

Lebih terperinci

MEKANISME ALUR LAYANAN KARANTINA

MEKANISME ALUR LAYANAN KARANTINA MEKANISME ALUR LAYANAN KARANTINA PERSYARATAN DAN PROSEDUR ANTAR AREA KELUAR MP HPHK KATEGORI RESIKO TINGGI PERSYARATAN DAN PROSEDUR KELUAR Media Pembawa : DOC (ayam bibit) Negara / Daerah Tujuan : Sulawesi

Lebih terperinci

BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN SOEKARNO HATTA

BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN SOEKARNO HATTA Halaman ke : 1 dari 6 IMPOR ANJING DAN KUCING (RISIKO TINGGI) Media Pembawa : Anjing dan Kucing HS Code : 0106.19.00 Dasar Pelaksanaan : UU 16 tahun 1992 PP 82 tahun 2000 PP 35 tahun 2016 Kepmentan 3238

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU Menimbang : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Proses komunikasi kebijakan Proses komunikasi dan sosialiasi kebijakan telah mengantar Dinas Pendidikan Provinsi dapat mengimplementasikan kebijakan tentang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama tahun 2008-2013 yang telah diuraikan sebelumnya bisa disimpulkan bahwa pelaksanaan UU KIP pada badan publik

Lebih terperinci

LAMPIRAN RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN KARANTINA PERTANIAN 2017

LAMPIRAN RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN KARANTINA PERTANIAN 2017 LAMPIRAN RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN KARANTINA PERTANIAN Lampiran Matrik Kinerja TA. (Kegiatan dan Target) PROGRAM/KEGIATAN SASARAN INDIKATOR KINERJA LOKASI 2 4 5 6 PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS PERKARANTINAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Pintu yang diselenggarakan oleh BPMPTSP Kabupaten Purwakarta belum

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Pintu yang diselenggarakan oleh BPMPTSP Kabupaten Purwakarta belum BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penyajian data dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Proses atau tahapan Implementasi Penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA KECAMATAN GEDEBAGE TAHUN EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPD TAHUN 2012

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA KECAMATAN GEDEBAGE TAHUN EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPD TAHUN 2012 BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA KECAMATAN GEDEBAGE TAHUN 2012 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPD TAHUN 2012 DAN CAPAIAN RENSTRA SKPD Untuk melaksanakan kebijakan yang merupakan perwujudan dari Visi

Lebih terperinci

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Menimbang PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai strategi komunikasi bencana yang dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan pengelolaan komunikasi bencana

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. SIMPULAN Implementasi kebijakan beban kerja pengawas SMA di Kabupaten Padang Lawas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : (1) Komunikasi, (2) Sumber Daya, (3) Disposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadaan saat ini masih ditangani secara ad-hoc oleh panitia yang dibentuk dan

BAB I PENDAHULUAN. pengadaan saat ini masih ditangani secara ad-hoc oleh panitia yang dibentuk dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan merupakan salah satu fungsi penting pada organisasi pemerintah, namun hingga saat ini kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Fungsi pengadaan saat

Lebih terperinci

Matriks Pengembangan Instrumen

Matriks Pengembangan Instrumen Lampiran Matriks Pengembangan Instrumen No. Variabel Indikator Sumber Data Metode Instrumen 1. Komunikasi a. Aspek transmisi dalam komunikasi b. Aspek kejelasan dalam komunikasi c. Aspek konsistensi dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER BAB I PENDAHULUAN 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. keistimewaan bidang kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka dapat. yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan DIY.

BAB V PENUTUP. keistimewaan bidang kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka dapat. yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan DIY. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti, melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi mengenai pengelolaan dana keistimewaan bidang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan pembahasan uraian dan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, ada empat faktor yang mempengaruhi Implementasi Standar Pengawas

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG UNIT PELAKSANA TEKNIS BALAI LATIHAN KERJA PADA DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN ALOR DENGAN

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

MEMUTUSKAN: KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 4. Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Medan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya,

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Medan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. SIMPULAN Implementasi kebijakan standar kompetensi guru SMA Negeri di kota Medan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Negeri di Kabupaten Aceh Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1)

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Negeri di Kabupaten Aceh Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Implementasi kebijakan standar kualifikasi dan kompetensi kepala SMK Negeri di Kabupaten Aceh Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan penelitian pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang pada dasarnya merupakan jawaban

Lebih terperinci

BAB V. SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN IMPLIKASI. diasumsikan sebagai faktor kritis dalam proses implementasi teknologi

BAB V. SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN IMPLIKASI. diasumsikan sebagai faktor kritis dalam proses implementasi teknologi BAB V. SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN IMPLIKASI 5.1. Simpulan Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa faktor-faktor yang diasumsikan sebagai faktor kritis dalam proses implementasi teknologi

Lebih terperinci

Hasil Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Hasil Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Hasil Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Implementasi Inpres No. 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Dalam rangka implementasi

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN KARANTINA HEWAN BALAI KARANTINA PERTANIAN KELAS II TARAKAN

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN KARANTINA HEWAN BALAI KARANTINA PERTANIAN KELAS II TARAKAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN KARANTINA HEWAN BALAI KARANTINA PERTANIAN KELAS II TARAKAN Lampiran 1. ALUR MEKANISME IMPOR/PEMASUKAN DOMESTIK KETERANGAN 1.1.Pengguna jasa/pemilik melaporkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Kondisi Saat Ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Kondisi Saat Ini BAB I PENDAHULUAN A. Kondisi Saat Ini telah melaksanakan program reformasi birokrasi pada periode 2005-2009. Sampai saat ini program reformasi birokrasi masih terus berlanjut, dan telah memberikan manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para karyawan, namun pencapaian tujuan belum tentu benar-benar efektif. Jadi pada

BAB I PENDAHULUAN. para karyawan, namun pencapaian tujuan belum tentu benar-benar efektif. Jadi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Proses manajemen menghendaki adanya keteraturan dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Tanpa adanya keteraturan pencapaian tujuan dapat saja diselesaikan oleh

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGHENTIAN SUPLEMENTASI KAPSUL IODIUM DI KABUPATEN MAGELANG. Styawan Heriyanto

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGHENTIAN SUPLEMENTASI KAPSUL IODIUM DI KABUPATEN MAGELANG. Styawan Heriyanto ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGHENTIAN SUPLEMENTASI KAPSUL IODIUM DI KABUPATEN MAGELANG Styawan Heriyanto ABSTRAK Gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN 37 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran umum Laboratorium Klinik di Cilegon Pelayanan laboratorium klinik merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk menunjang upaya peningkatan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS KEPUTUSAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI BANYUMAS KEPUTUSAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI BANYUMAS KEPUTUSAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS POKOK, URAIAN TUGAS JABATAN DAN TATA KERJA LABORATORIUM KESEHATAN HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implementasi kebijakan e-government tentang penggunaan sistem informasi Musrenbang di Bappeda Kota Bandung merupakan suatu penerapan teknologi informasi yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun simpulan dan rekomendasi berikut ini: 7.1. Simpulan Kebijakan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 62 TAHUN 2017 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

- 1 - PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 62 TAHUN 2017 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT - 1 - GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 62 TAHUN 2017 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2016, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara R

2016, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara R No.546, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAGRI. Litbang. Pedoman. Peencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

SALINAN. Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);

SALINAN. Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887); SALINAN BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian melalui empat tahapan, yaitu studi pendahuluan, menyusun draf model bimbingan akademik, memvalidasi model bimbingan akademik,

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANYUMAS

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANYUMAS BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI TANAH LAUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 51 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH LAUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 51 TAHUN 2015 TENTANG 1 S A L I N A N BUPATI TANAH LAUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 51 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PUSAT KESEHATAN HEWAN PADA DINAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

Rencana Kerja Tahunan TA KATA PENGANTAR

Rencana Kerja Tahunan TA KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin menyusun Rencana Kerja Tahunan untuk Tahun Anggaran 2018. Rencana Kerja Tahunan Balai Karantina

Lebih terperinci

2017, No Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200

2017, No Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200 No.1119, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Jasa Tindakan Karantina Hewan dan Tumbuhan. PNBP. Tarif. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PERMENTAN/KU.030/8/2017 TENTANG TARIF

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. karena penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena implementasi

BAB III METODE PENELITIAN. karena penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena implementasi BAB III METODE PENELITIAN Dalam Penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena implementasi Kebijakan PATEN di Kecamatan

Lebih terperinci

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Disampaikan dalam Rapat Kerja/Sosialisasi Reformasi Birokrasi kepada Pemerintah Daerah Regional I (Provinsi/Kabupaten/Kota se-sumatera, DKI

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 41 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANAMAN MODAL DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Kecamatan Klojen Jl. Surabaya No. 3 Malang

Kecamatan Klojen Jl. Surabaya No. 3 Malang PENERAPAN SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) PADA KECAMATAN KLOJEN KOTA MALANG KOMPONEN SAKIP 1. Perencanaan Kinerja 2. Pengukuran Kinerja 3. Pelaporan Kinerja 1. RENSTRA 2013-2018

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Workshop Pengendalian dan Penanggulangan Bahaya Penyakit Rabies Banda Aceh,

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Le

2018, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Le No.507, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPAN-RB. Jabatan Fungsional Paramedik Karantina Hewan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA www.unduhsaja.com SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DI KEMENTERIAN DALAM

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN ALOR

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN ALOR BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN

V. SIMPULAN DAN SARAN V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan data dan analisa yang dilakukan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Efektivitas organisasi Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Lebih terperinci

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI SUMBAWA BARAT NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi

I. PENDAHULUAN. pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma kepegawaian di Departemen Keuangan dimulai pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi Biro Kepegawaian sebagai unit yang

Lebih terperinci

Checklist Pengujian Pengendalian Intern. Apakah pejabat Negara membuat pakta integritas untuk melaksanakan PNBP dengan bersih, adil, dan transparan?

Checklist Pengujian Pengendalian Intern. Apakah pejabat Negara membuat pakta integritas untuk melaksanakan PNBP dengan bersih, adil, dan transparan? Lampiran 1 Checklist Pengujian Pengendalian Intern Kriteria Indikator Ya Tidak 1. Lingkungan Pengendalian Integritas Konflik Kepentingan 1 2 3 4 Apakah pejabat Negara membuat pakta integritas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 125 BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.3 Implementasi Program Kesehatan Ibu dan Anak Bidang Pelayanan Antenatal Care dan Nifas di Puskesmas Bandarharjo Kota Semarang Setiap kebijakan yang dibuat pasti

Lebih terperinci

NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN

NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci

PP 51/1999, PENYELENGGARAAN STATISTIK. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PP 51/1999, PENYELENGGARAAN STATISTIK. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PP 51/1999, PENYELENGGARAAN STATISTIK Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 51 TAHUN 1999 (51/1999) Tanggal: 28 MEI 1999 (JAKARTA) Tentang: PENYELENGGARAAN STATISTIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI LEBAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PIAGAM PENGAWASAN INTERNAL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LEBAK

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI LEBAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PIAGAM PENGAWASAN INTERNAL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LEBAK salinan BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI LEBAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PIAGAM PENGAWASAN INTERNAL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LEBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK,

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 56 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 56 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 56 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA KANTOR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akses pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang menghubungkan antara ketersediaan pangan dengan konsumsi/pemanfaatan pangan. Akses pangan baik apabila

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan membahas mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jenis penelitian, populasi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP Kesimpulan 1. Implementasi Kebijakan Penjaminan Mutu Pada Perguruan Tinggi

BAB VI PENUTUP Kesimpulan 1. Implementasi Kebijakan Penjaminan Mutu Pada Perguruan Tinggi BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan 1. Implementasi Kebijakan Penjaminan Mutu Pada Perguruan Tinggi Swasta Di Kota Semarang. Implementasi kebijakan penjaminan mutu pada perguruan tinggi swasta di Kota Semarang

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

Riska Nurnafajrin 1 ; Ikeu Kania 2. Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Universitas Garut

Riska Nurnafajrin 1 ; Ikeu Kania 2. Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Universitas Garut PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2009 TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN GARUT Riska Nurnafajrin 1 ; Ikeu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. resiko dan faktor efek (Notoatmodjo, 2010).

BAB III METODE PENELITIAN. resiko dan faktor efek (Notoatmodjo, 2010). 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Racangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei analitik. Survei Analitik adalah survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metodologi artinya pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan

BAB III METODE PENELITIAN. Metodologi artinya pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan BAB III METODE PENELITIAN Metodologi artinya pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan dengan objek studi ilmu yang bersangkutan. Dengan kata lain metodologi itu menjelaskan tata cara dan

Lebih terperinci

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG Rifka S. Akibu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PIO DI UNIT PIO RS. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR SULAWESI SELATAN. RAHMAH MUSTARIN S.

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PIO DI UNIT PIO RS. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR SULAWESI SELATAN. RAHMAH MUSTARIN S. FORUM NASIONAL II : JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PIO DI UNIT PIO RS. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR SULAWESI SELATAN RAHMAH MUSTARIN S.Farm, Apt, MPH Pusat Studi

Lebih terperinci

Model Mazmanian dan Sabatier

Model Mazmanian dan Sabatier Kuliah 11 Model Mazmanian dan Sabatier 1 Model Mazmanian dan Sabatier Tiga variabel yg mempengaruhi implementasi kebijakan : 1.Karakteristik masalah; 2.Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi Kasus di SMA Negeri 4 Kota Magelang) ABSTRAK

IMPLEMENTASI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi Kasus di SMA Negeri 4 Kota Magelang) ABSTRAK 1 IMPLEMENTASI UU NOMOR TAHUN 009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi Kasus di SMA Negeri 4 Kota Magelang) Iwan Kurniawan*, Hartuti Purnaweni**, Rihandoyo*** * wanwan9585@yahoo.com; ** hartutipurnaweni@gmail.com;

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 97 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU

Lebih terperinci

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, SALINAN GAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Penyakit

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur : BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. CAPAIAN KINERJA ORGANISASI 3.1.1. Capaian Kinerja Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur : Tujuan 1 Sasaran : Meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 21 TAHUN 2O16 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PATI

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 21 TAHUN 2O16 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PATI SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 21 TAHUN 2O16 TENTANG PIAGAM AUDIT INTERN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI SEKRETARIAT DAERAH DAN SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KARIMUN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG TlNDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN UNGGAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 265/MENKES/SK/III/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 265/MENKES/SK/III/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN 1 KEPUTUSAN NOMOR : 265/MENKES/SK/III/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN Menimbang : a. bahwa peningkatan dan perkembangan peran pelabuhan laut, bandar udara dan pos lintas

Lebih terperinci

P a g e 12 PERENCANAAN KINERJA. Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lingga BAB. II

P a g e 12 PERENCANAAN KINERJA. Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lingga BAB. II BAB. II PERENCANAAN KINERJA Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam system akuntabilitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA 1 1 PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN KABUPATEN LINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 57 PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 57 PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG - 1009 - BERITA DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 57 PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PENANAMAN MODAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 menetapkan

Bab I Pendahuluan. Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 menetapkan Bab I Pendahuluan A. LATAR BELAKANG Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 menetapkan bahwa setiap lembaga pemerintah

Lebih terperinci