BAB II PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI SENAPELAN. A. Gambaran Umum Masyarakat Adat Tionghoa di Kecamatan Senapelan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI SENAPELAN. A. Gambaran Umum Masyarakat Adat Tionghoa di Kecamatan Senapelan"

Transkripsi

1 29 BAB II PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI SENAPELAN A. Gambaran Umum Masyarakat Adat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kecamatan Senapelan terletak di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Kecamatan Senapelan merupakan salah satu lingkungan tempat tinggal masyarakat Tionghoa yang sudah ada sejak lama dan sudah turun temurun sifatnya, banyak barang peninggalan berupa bangunan. Kecamatan Senapelan tersebut selalu mengikuti atau mengadakan acara-acara tradisional budaya Tionghoa seperti acara Imlek, Cap Go Meh, maupun acara-acara kesenian dan sebagainya yang selalu dimeriahi dan diterangi dengan lampu-lampu lampion. Kecamatan Senapelan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau, tanggal 20 September 1996 Nomor KPTS: 151/IX/1996 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Oktober Kecamatan Senapelan memiliki jumlah penduduk, sekitar jiwa yang tersebar di 6 (enam) kelurahan yaitu Kelurahan Sago, Kelurahan Kampung Dalam, Kelurahan Padang Trubuk, Kelurahan Padang Bulan, Kelurahan Kampung Bandar dan Kelurahan Kampung Baru. Gambaran prakiraan jumlah penduduk Kecamatan Senapelan yang tersebar di 6 (enam) kelurahan tersebut sampai bulan Desember tahun 2013 disajikan di dalam Tabel 2.1 seperti tergambar di bawah ini: 42 Sumber Data: Geografi dan Demografi Kelurahan Simpang Baru Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru Tahun

2 30 Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Senapelan No Kelurahan Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Sago Kampung Dalam Padang Terubuk Padang Bulan Kampung Bandar Kampung Baru Jumlah Sumber: Data Kantor Kecamatan Senapelan, Tahun 2013 Dari tabel di atas diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan Senapelan tahun 2012, penduduk berjenis kelamin laki-laki, berjumlah jiwa dan perempuan jiwa. Dari tabel di atas juga terlihat bahwa dari masingmasing kelurahan mayoritas penduduk berjenis kelamin laki-laki. 43 Agama merupakan fitrah bagi setiap manusia. Karena setiap manusia memiliki naluri mentaqdiskan (gharizatu al-tadayyun) terhadap sesuatu. Berdasarkan data monografi Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru tidak ditemukan adanya penduduk yang tidak memiliki agama (keyakinan) atau ateis; dimana di daerah ini terdapat 6 agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Kongfuchu yang diyakini penduduk. Untuk lebih jelas dapat diperhatikan pada tabel di bawah ini: 43 Ibid.

3 31 Tabel 2.2 Penduduk Menurut Pemeluk Agama No Pemeluk Agama Jumlah Persentse 1 Islam Khatolik Protestan Hindu Kongfuchu Budha Total Sumber: Data Kantor Kecamatan Senapelan, Tahun 2013 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan Tampan beragama Islam, jiwa, Khatolik jiwa, Protestan jiwa Hindu 82 jiwa, Kongfuchu 121 jiwa, dan Budha Hal ini juga dipengaruhi oleh mayoritas penduduk menurut suku bangsa, yakni Melayu. 1. Pengertian Hukum Adat Istilah hukum adat adalah terjemahan dalam Bahasa Belanda adatrecht Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah adatrecht kemudian di kutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis. 44 C.Van Vollenhoven memberi pengertian: hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia 44 Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1

4 32 Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu. 45 Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 46 Dilihat dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh para sarjana tersebut diatas, maka kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang (sifat dinamis) serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Menurut R. Soepomo, sistem hukum adat yang berlaku di Indonesia, dalam hal adopsi atau pengangkatan anak mempunyai corak sebagai berikut : a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasanya kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat; b. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia; c. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit; 45 C.Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E, J Brill, , hal.7 46 Soerjono Soekanto dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta. 1982, hal.106

5 33 d. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang kelihatan) Masyarakat Adat Tionghoa Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 48 Masyarakat hukum adat merupakan komunitas yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari para penguasa adat. Pada dasarnya masyarakat adat terbagi menjadi empat; Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan atau patrilinial adalah kekerabatan yang mengutamakan keturunan menurut garis keturunan laki-laki. 2. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan atau matrilinial adalah kekerabatan yang lebih mengutamakan keturunan menurut garis perempuan. 3. Masyarakat adat yang bersendi pada kebapakan dan keibuan atau parental/bilateral adalah kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak dan ibu. 4. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih atau alteneren adalah kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena adanya pengaruh dari faktor lingkungan, waktu dan tempat Muderis Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, hal Supomo, Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1997, hal Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 2001, hal. 23

6 34 Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia para ahli waris atau waris tidak terlepas dari susunan kekerabatan atau sistem kemasyarakatan/keturunan. Sistem kemasyarakatan ini sudah berlaku sejak sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Kristen, dan Islam. Hampir di kota-kota besar di dunia, ada perkampungan Tionghoa atau yang sering disebut China Town. Di Pekanbaru, pencanangan untuk membangun China Town belum terealisasi. China Town di Kecamatan Senapelan, Pekanbaru merupakan kawasan ruko tua yang berjejer sepanjang sekitar 100 meter. Lokasi jalan ini sangat dekat dengan Pasar Bawah atau Pasar Wisata sebagai salah satu kebanggaan pusat perbelanjaan barang-barang luar negeri. Kawasan ini yang banyak dihuni masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa lebih senang jika kawasan itu disebut sebagai Kampung Melayu Tionghoa. 51 Pemko Pekanbaru sendiri menyetujui kawasan tersebut dijadikan kawasan masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa Pekanbaru, setapak-demi setapak terus berbenah untuk menjadikan kawasan tradisional masyarakat Tionghoa. 3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa a. Syarat Pernikahan Adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada mengatur secara tertulis mengenai syarat-syarat perkawinan, melainkan syarat-syarat perkawinan tersebut hanya dilaksanakan secara terus menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi. Peran orang tua sangat besar dalam pelaksanaan maupun pelestarian adat istiadat dalam 51 Rusli Pandika, Tata Cara Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Adat Tionghoa, Media Aksara, Jakarta, 2009, hal. 22

7 35 perkawinan, terutama mengenai syarat-syarat perkawinan, antara lain dengan memberitahukan kepada anak dan keturunannya serta menerapkannya dalam perkawinan anak-anaknya. Syarat perkawinan yang paling utama dilaksanakan dan dianut sampai sekarang adalah calon mempelai yang satu marga dilarang untuk menikah. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan darah satu dengan lainnya dan adanya anggapan bahwa perkawinan antara marga yang sama dapat memberikan keturunan yang kurang baik. Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari masyarakat dan kedua calon mempelai. Secara garis besar, syaratsyarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan serta adat istiadat dari suku dan/atau masyarakat. Tidak ada akibat dan sanksi hukum yang timbul apabila syarat-syarat perkawinan tersebut tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan, akan tetapi hanya berupa sanksi sosial, seperti cemoohan dari pihak masyarakat maupun masyarakat Wawancara dengan Ham Fu Hung Pemuka Adat Masyarakat Tionghoa Kecamatan Senapelan pada tanggal 11 Juli 2014 pukul WIB dirumah kediamannya.

8 36 Masyarakat keturunan Tionghoa dalam suatu perkawinan yang akan dilaksanakan harus melalui tiga tahap upacara, yaitu: a. Upacara adat Tionghoa b. Upacara tata cara agama yang diyakini c. Upacara pesta perkawinan (Resepsi Pernikahan). 53 Ketiga upacara itu tidak diharuskan dilaksanakan seluruhnya, karena di dalam melakukan tiap-tiap upacara tersebut diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, kecuali memang tingkat ekonominya mendukung. Sekalipun hanya melakukan upacara perkawinan secara adat saja maupun tata cara agama, tanpa melaksanakan upacara pesta perkawinan, perkawinan tersebut telah dianggap sah dalam masyarakat adat Tionghoa. Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi masyarakat. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi yang disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau. Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Perkawinan penting untuk mengekalkan institusi masyarakat. Melalui perkawinan, keturunan nenek moyang dapat diteruskan daripada satu generasi kepada generasi yang lain. Walaupun perkawinan pada masa kini perlu didaftarkan, tetapi upacara dan kenduri perkawinan penting dalam mengumumkan 53 Vasanti Puspa, Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 43

9 37 pada pihak ketiga tentang telah dilangsungkannya perkawinan tersebut. 54 Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara. b. Prosedur Pelaksanaannya Prosedur pelaksanaan perkawinan ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu: Melamar Untuk menghindari kesia-siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan setelah pihak masyarakat pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima. Ketika proses lamaran berlangsung pun, pihak pelamar belum akan menyentuh makanan dan minuman yang disajikan sebelum masyarakat calon mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat akan pulang, ayah atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang di bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih kepada calon menantu. Sebagai balasan, jika lamaran diterima, masyarakat pengantin wanita akan memberi perhiasan sebagai tanda ikatan. 2. Penentuan Hari Baik, Bulan Baik Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan 54 Ibid, hal Aan Wan Seng, Kebudayaan dan Adat Masyarakat Tionghoa Dalam Upacara Pernikahan, Pustaka Sarana, Pekanbaru, 2009, hal. 31.

10 38 pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu jam sebelum matahari tegak lurus, hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama. 3. Prosesi Seserahan Adat Tionghoa atau Sangjit Sangjit merupakan tradisi hantaran rantang bambu yang disusun bulat atau persegi empat, berisi aneka buah dan kue yang jumlahnya harus genap. Namun, semua tergantung kemampuan calon mempelai pria. Hantaran ini akan dibawa oleh para pria lajang. Tradisi ini diyakini akan membuat para pembawa hantaran ini menjadi enteng jodoh. Diantara sekian banyak barang hantaran terdapat beberapa barang bermakna simbolis. Pada budaya Tionghoa suku tertentu, hantaran yang diterima tidak diambil seluruhnya, melainkan hanya separuh. Bahkan, uang susu sebagai ungkapan terima kasih kepada ibu pengantin wanita yang telah membesarkan anak gadisnya sama sekali tidak diambil. Ini sebagai isyarat si ibu tidak mempunyai pamrih atas jasa itu. Hantaran yang telah diterima akan dibalas dengan hantaran pula. Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam prakteknya, Sangjit sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Namun sayang rasanya meniadakan prosesi

11 39 yang satu ini, karena makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya sangat indah. 4. Menata Kamar Pengantin Seusai melaksanakan prosesi sangjit, masyarakat calon pengantin pria akan mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Ada tradisi unik, anak-anak akan diminta meloncat-loncat di atas ranjang pengantin sebelum ranjang ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini bisa membuat pengantin cepat mendapat momongan. 5. Menyalakan Lilin Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin perkawinan beberapa hari menjelang pernikahan digelar. Nyala lili perkawinan dipercaya bisa mengusir pengaruh buruk yang dapat mengacaukan jalannya prosesi pernikahan. Biasanya lilin dinyalakan mulai pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga hari setelah pernikahan. 6. Siraman Siraman dalam tradisi masyarakat Tionghoa diawali dengan sembahyang dan penghormatan kepada leluhur. Setelah itu, barulah mempelai wanita dimandikan dengan air yang telah dibubuhi wewangian alami. Selain untuk membersihkan mempelai dan membuatnya wangi, ritual ini juga bermaksud mengusir pengaruh jahat yang bisa mengganggu mempelai.

12 40 7. Menyisir rambut atau chio thao Chio thao biasanya dilakukan oleh orang yang telah menikah dan memiliki keturunan. Mempelai akan disisir sebanyak tiga kali. Mempelai yang akan menjalani prosesi ini didudukkan di atas kursi yang telah dialasi tampah besar bergambar yin-yang. Dihadapan mereka terdapat meja kecil yang diatasnya telah diletakkan penakar beras yang terisi penuh oleh beras dan sembilan benda simbolis, yaitu timbangan obat khas China, alat pengukur panjang, cermin, sisir, gunting, pedang, pelita. Selain itu, terdapat juga benang sutra yang terdiri dari lima warna. Semua benda-benda ini mengandung makna ajaran moral bagi calon pengantin untuk membereskan segala keruwetan rumah tangga yang akan dihadapi serta mampu menimbang baik-buruknya suatu tindakan. 8. Makan 12 Sayur Memasuki detik-detik penyambutan pengantin pria, mempelai wanita yang telah dipakaikan busana pengantin oleh orang tuanya, dibimbing menuju meja makan. Diatas meja telah tersaji 12 mangkuk yang masing-masing berisi satu jenis masakan yang memiliki rasa yang berbeda-beda. Manis, asin, asem, pedas, pahit, gurih, dan sebagainya. Semua rasa ini menjadi pelambang suka-duka hidup berumah tangga yang harus dijalani dan dinikmati. Pengantin pria juga menjalani prosesi yang sama di rumahnya, sebelum berangkat menuju rumah pengantin wanita.

13 41 9. Penjemputan Mempelai Wanita Mempelai pria yang datang untuk menjemput mempelai wanita akan disambut dengan taburan beras kuning, biji buncis merah dan hijau, uang logam, serta bunga. Aneka taburan ini bermakna kesejahteraan yang melimpah bagi mempelai. Masih dalam keadaan wajah ditutupi kerudung, mempelai wanita dipertemukan dengan pengantin pria yang telah datang menjemput. Dalam prosesi ini, kerudung pelambang kesucian belum boleh dibuka. 10. Penyambutan Pengantin Wanita Di rumah segala keperluan untuk menyambut kedatangan pengantin telah dipersiapkan. Begitu rombongan pengantin datang, di muka pintu, ibu dan nenek pengantin pria yang telah menunggu akan menyambut dengan taburan beras kuning, biji kacang buncis hijau dan merah sebagai simbol kesuburan, serta uang logam sebagai lambang rezeki dan kemakmuran. Setelah pasangan pengantin masuk rumah, keduanya akan dibimbing menuju kamar, barulah kerudung pengantin wanita boleh dibuka. c. Upacara Agama 1. Upacara Sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa dan/atau Leluhur. Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Selain menyembahyangi Tuhan Yang Maha Esa, calon pengantin pria dan wanita juga memberi hormat kepada para leluhur

14 42 dari calon pengantin pria dan juga para leluhur dari calon mempelai wanita dengan disaksikan orangtua dan sanak masyarakat sebagai persyaratan sahnya perkawinan mereka secara adat dan kepercayaan. Meja sembahyang yang digunakan berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit. Yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia. 56 Kemudian selain melakukan acara sembahyang di rumah masing-masing, acara tata cara agama juga dapat dan hendaknya dilaksanakan di lembaga keagamaan, seperti Vihara misalnya, karena dari Vihara tersebut akan dikeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang akan diperlukan untuk melakukan pencatatan perkawinan. Persyaratan administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan pernikahan secara agama Budha, yakni dengan melampirkan dokumen-dokumen berikut: 57 a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk masing-masing calon mempelai pria dan wanita yang masih berlaku sebanyak 2 lembar ; 56 Wawancara dengan Youngki Darna Putra Tokoh Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, tanggal 15 Januari 2014, pukul WIB dikediamannya. 57 Aan Wan Seng, Op. Cit, hal. 42

15 43 b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk orang tua dan/atau wali dari calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; c. Fotokopi Akta Kelahiran masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; d. Fotokopi Kartu Masyarakat masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; e. Fotokopi Kartu Tisarana masing-masing calon mempelai pria dan wanita (bila belum ada dapat mengambil Tisarana sebelum upacara tata cara agama dilakukan) ; f. Pas Foto warna berukuran 2 x 3 masing-masing 3 lembar ; g. Fotokopi Undangan Pernikahan sebanyak 2 lembar ; h. Fotokopi Surat Ganti Nama sebanyak 2 lembar (jika ada). Selain itu, guna melakukan pencatatan sipil diperluka dokumen-dokumen tambahan, yakni: a. Fotokopi Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan Indonesia dari kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar; b. Fotokopi Akta Kelahiran kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; c. Pas Foto warna berukuran 6 x 4 kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 3 lembar ; d. Fotokopi Surat Ganti Nama kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar (jika ada) ;

16 44 e. Fotokopi paspor (jika merupakan Warga Negara Asing) ; f. Surat asli dan fotokopi Surat Keterangan Lurah sebanyak 2 lembar, yang antara lain menerangkan bahwa status calon mempelai belum pernah menikah (hanya berlaku 3 bulan). 2. Penghormatan kepada Orang tua dan Masyarakat Setelah selesai ritual sembahyang, dilanjutkan dengan penghormatan kepada kedua orang tua, masyarakat dan kerabat dekat yang lebih tua dari kedua calon mempelai. Penghormatan dilakukan dengan menuangkan secangkir teh hangat (Phang Teh) untuk diminum oleh kedua orang tua, masyarakat dan kerabat dekat yang lebih tua sebagai wujud restu atas pernikahan yang mereka lakukan sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan merupakan salah satu acara yang paling penting dalam perkawinan adat Tionghoa. Setiap penghormatan akan dibalas dengan ang pauw, baik berupa uang maupun emas. d. Resepsi Pernikahan Selesai upacara penghormatan, pada malam hari dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang biasanya diselenggarakan di restoran maupun di rumah dengan mengundang sanak masyarakat dan teman-teman dari calon pengantin maupun kedua orang tuanya. Dalam acara resepsi pernikahan ini dilakukan pemotongan kue pernikahan (Wedding Cake), acara makan dan hiburan, serta kedua mempelai wanita dan pria beserta kedua orang tua dan masyarakat dekat duduk bersama dalam satu

17 45 meja yang diberikan kain merah sebagai taplak meja sebagai lambang kebersamaan dalam kebahagian. 58 e. Membawa Pulang Calon Mempelai Wanita (Tul Sam Ciao) Setelah segala upacara-upacara tersebut diatas selesai dilakukan, maka tiba saat perpisahan calon mempelai wanita kepada kedua orang tuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri serta menantu masyarakat mempelai pria. Mulai saat itulah, mempelai wanita tinggal bersama dan serumah dengan masyarakat mempelai laki-laki. f. Akibat Hukum Pernikahan Akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa berbeda dengan akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perbedaan paling mendasar terletak pada kepastian hukumnya. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan jelas mengatur mengenai akibat-akibat hukum suatu perkawinan, mulai dari hak dan kewajiban suami isteri dan anak serta mengenai harta benda perkawinan sedangkan akibat hukum perkawinan menurut hukum adat Tionghoa lebih cenderung kepada pertanggungjawaban moral karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur masalah ini secara tegas. Jadi mengenai hak dan kewajiban suami, isteri dan anak-anak serta harta benda 58 Wawancara dengan Youngki Darna Putra Tokoh Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, tanggal 15 Januari 2014, pukul WIB dikediamannya.

18 46 perkawinan dilaksanakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam adat-istiadat Tionghoa. 59 Perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat Tionghoa menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut: 1. Terhadap suami dan isteri 2. Terhadap anak 3. Terhadap harta benda perkawinan. B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri ada kecintaan/kesayangan. Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu: 1. Pertama, pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap masyarakat, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya. 2. Kedua, pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang masyarakat seluruhnya atau hanya dihadiri oleh masyarakat tertentu dan 59 Sri Rizky Widyanti, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Sebagai Unifikasi Hukum Perkawinan Nasional di Indonesia, Mitra Ilmu Surabaya, 2008, hal, 50

19 47 tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat. 60 Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat. Palaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi masyarakat orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkat nya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya. Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129) khususnya Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengikuti hukum adat mengenai tata cara pengangkatan anak (adopsi). Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah masyarakat sedarah dari generasi yang tepat dibawah 60 Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Puionir Jaya, Bandung, 1972, hal. 52

20 48 generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kemasyarakatan. Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari masyarakat lain, yang tampak dari dipakainya nama masyarakat yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama masyarakat lain. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah adopsiatau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUHPerdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. 61 Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum masyarakat sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum masyarakat 61 R.Soeroso, Op, Cit, hal. 178

21 49 Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marag masyarakat dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7 Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 15. Pasal 4 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan, orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya. Pasal 5 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan surat wasiat berhak melakukan pengangkatan anak. Pasal 6 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Yang boleh diangkat sebagai anak angkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain. Pasal 7 ayat (1) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Mengatur batas usia anak dan orang tua yang boleh diangkat sebagai anak angkat yaitu usia anak yang diangkat harus 18 (delapan belas) tahun lebih muda dari suami (bapak angkat) dan 15 (limabelas) tahun lebih muda dari istri (ibu angkat).

22 50 Pasal 10 ayat (1) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Pengangkatan anak harus dilakukan atas dasar kata sepakat antara orang tua kandung dan orang tua yang akan mengangkat anak angkat tersebut. Pasal 10 ayat (2) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris. Pasal 12 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Akibat hukum pengangkatan anak menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orangtua yang mengangkatnya. Termasuk jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suami. Pasal 13 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Pengangkatan anak menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal (a) penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam perkawinan, (b) ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan, (c) mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan, (d) mengenai pembuktian dengan saksi, (e) mengenai saksi dalam pembuatan akta autentik. Oleh karena hukum akibat adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris yaitu anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkat dirinya. Pasal 15 ayat (1) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Suatu pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak. Pasal 15 ayat (1) Staatblaad 1917 No. 129 tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan

23 51 Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Pasal 15 ayat (2) Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, Pengangkatan terhadap anak perempuan dan terhadap anak laki-laki tanpa membuat akta autentik adalah batal demi hukum dan juga pengangkatan anak atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal demi hukum. Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak permpuan. Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/ Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17 Oktober bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bawha Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad Tahun 1917 No.129 yang hanya memperbolehkan

24 52 pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan deangan Undang-Undang Dasar Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.6 Tahun 1983, tidak melarang pengangkatan anak perempuan, karena pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa. Hal tersebut tercermin dalam SEMA No. 2 Tahun 1979, tentang Pengangkatan Anak pada angka 1 butir ke 3. SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak, Angka II butir 3 yang berbunyi Semula digolongkan penduduk Tionghoa (Staatblad 1971 No.129) hanya dikenal adopsi terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap menyatakan sah pula pengangkatan anak perempuan. Di Indonesia Pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anakanak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memnerikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak. 62 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.202

25 53 Pengertian pengangkatan anak menurut PP Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertangguang jawab atas perawatan, pendidikan, dan membersarkan anak tersebut, kedalam lingkungan masyarakat orang tua angkat. Di Indonesia pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak. Kemudian dapat dilihat pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan masyarakat orangtua angkat. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 jo. Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga

26 54 bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUH Perdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. 63 Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. Diberlakukannya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum masyarakat sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Yang berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum masyarakat Tionghoa sebelum berlakunya KUH Perdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai anak atau keturunan lakilaki demi meneruskan eksistensi marga masyarakat dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad Nomor 129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia. 63 Soeroso, Op.Cit, hal. 178

27 55 Berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 Nomor 129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan. Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17 Oktober Bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bahwa Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 Nomor 129 yang hanya memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar C. Pengertian Pengangkatan Anak Arif Gosita mendefinisikan pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, hal.44

28 56 Secara etimologi yaitu asal usul kata adopsi berasal dari bahasa Belanda Adoptie atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak. Soerjono Soekanto adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. 66 Sementara ING Sugangga menjelaskan bahwa anak angkat adalah orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri ada kecintaan/kesayangan. 67 Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangganya. 68 Surojo Wignjodipuro juga menjelaskan bahwa anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakatnya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri. 69 Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam masyarakatnnya. Ia diperlakukan 66 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga,Alumni, Bandung, 1980, hal ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Semarang: Universitas Diponegoro, 1995, hal Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat,Alumni, Bandung, 1991, hal Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Kinta, Jakarta, 1972, hal. 14

29 57 sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri. 70 Sementara M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro menjelaskan bahwa anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri. 71 Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu masyarakat, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Dari segi etimologi yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda Adoptie atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak. Dalam bahasa arab disebut Tabanni yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan mengambil anak angkat, sedang menurut kamus Munjid diartikan menjadikannya sebagai anak. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, Jakarta, 1985, hal M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal Mundaris Zain, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum),Sinar Grafika, Jakarta, 1985, hal. 4

30 58 Ensiklopedia umum disebutkan pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orangtua yang tidak beranak/tidak mempunyai anak. Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangatan anak calon orangtua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak. Mengenai definisi pengangkatan anak, terdapat beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut beliau pegangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakat sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut/diangkat itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama seperti yang ada antara orangtua dan anak kandungnya sendiri. 73 Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1973, hal Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980, hal. 52

31 59 Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak: Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan masyarakat, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggunng jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan masyarakat orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri ada kecintaan/kesayangan. Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu: 1. Pertama, pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap masyarakat, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya. 2. Kedua, pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang masyarakat seluruhnya atau hanya dihadiri oleh masyarakat tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat. 75 Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat. Palaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi masyarakat orang tua angkatnya 75 Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Pionir Jaya, Bandung, 1972, hal. 52

32 60 serta mewaris dari orang tua angkat nya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya. D. Alasan Pengangkatan Anak Surojo Wignjodipuro juga menjelaskan bahwa anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakatnya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang tua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. 76 Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam masyarakatnnya. Ia diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri. 77 Sementara M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro menjelaskan bahwa anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi 1985, hal Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Kinta, Jakarta, 1972, hal Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, Jakarta,

33 61 ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri. 78 Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu masyarakat, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Dari segi etimologi yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda Adoptie atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak. Dalam bahasa arab disebut Tabanni yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan mengambil anak angkat, sedang menurut kamus Munjid diartikan menjadikannya sebagai anak. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. 79 Ensiklopedia umum disebutkan pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak/tidak mempunyai anak. Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan 78 M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal Mundaris Zain, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), Sinar Grafika, Jakarta. 1985, hal. 4

34 62 segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangatan anak calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak. Mengenai definisi pengangkatan anak, terdapat beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut beliau pegangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakat sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut/diangkat itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya sendiri. 80 Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. 81 Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak: Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan masyarakat, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan masyarakat orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, 80 Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1973, hal Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980, hal. 52

35 63 yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi masyarakat orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkat nya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya. Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129) khususnya Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak (adopsi). Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah masyarakat sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kemasyarakatan Bastian B. Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya Dikemudian Hari, Raja Wali Press, Jakarta, 2006, hal. 41

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara)

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya, Bandung, 1994

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya, Bandung, 1994 129 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya, Bandung, 1994 Afandi Ali, Hukum Waris, Hukum Masyarakat dan Hukum Pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1986 Ashofa

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DI KOTA JAMBI RINGKASAN TESIS

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DI KOTA JAMBI RINGKASAN TESIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DI KOTA JAMBI RINGKASAN TESIS Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S-2 Program Studi

Lebih terperinci

KHUSDJONO ABSTRACT. Keywords: Adopting a Child, Chinese Ethnic Group, Adoptive Parents Property

KHUSDJONO ABSTRACT. Keywords: Adopting a Child, Chinese Ethnic Group, Adoptive Parents Property KHUSDJONO 1 PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN ORANGTUA ANGKAT (STUDI PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KECAMATAN SENAPELAN KOTA PEKANBARU) KHUSDJONO ABSTRACT Adopting a child

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 2.1 Pengertian Pengangkatan anak Dalam proses pengangkatan anak maka

Lebih terperinci

SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI

SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK Oleh : Suwardjo Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI Hukum perdata di Indonesia baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial, yang mana tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Konsep Pelaksanaan Adat Perkawinan Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki dan senantiasa menggunakan adat-istiadat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Dengan demikian setiap orang tidak mungkin hidup sendiri tanpa

BAB I PENDAHULUAN. lain. Dengan demikian setiap orang tidak mungkin hidup sendiri tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu berhubungan dengan manusia yang lain. Dengan demikian setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebab perkawinan itu tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015. HAK ANAK ANGKAT ATAS WARISAN MENURUT HUKUM PERDATA 1 Oleh: Legi Riska Ivon 2

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015. HAK ANAK ANGKAT ATAS WARISAN MENURUT HUKUM PERDATA 1 Oleh: Legi Riska Ivon 2 HAK ANAK ANGKAT ATAS WARISAN MENURUT HUKUM PERDATA 1 Oleh: Legi Riska Ivon 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana anak angkat menurut Peraturan Perundang-undangan dan bagaimana

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan anak. Pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi, kata adopsi berasal dari bahasa latin adoptio yang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberi makna kepada orang lain sesuai dengan konteks yang terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. memberi makna kepada orang lain sesuai dengan konteks yang terjadi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalu penggunaan simbol (Samovar, 2014,

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didukung oleh keanekaragaman perilaku budaya yang berbeda pula.

BAB I PENDAHULUAN. didukung oleh keanekaragaman perilaku budaya yang berbeda pula. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beberapa Provinsi dan berbagai macam suku yang bermukim dari Nangroe Aceh Darusalam (Sabang) sampai Papua (Merauke), suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau yang tentunya pulau-pulau tersebut memiliki penduduk asli daerah yang mempunyai tata cara dan aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai

BAB I PENDAHULUAN. ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya. Dengan penduduk lebih dari 210 (dua ratus

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Contoh dari keanekaragaman tersebut adalah keanekaragaman adat istiadat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis pekerjaan, pendidikan maupun tingkat ekonominya. Adapun budaya yang di. memenuhi tuntutan kebutuhan yang makin mendesak.

BAB I PENDAHULUAN. jenis pekerjaan, pendidikan maupun tingkat ekonominya. Adapun budaya yang di. memenuhi tuntutan kebutuhan yang makin mendesak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak suku, bangsa, adat istiadat, agama, bahasa, budaya, dan golongan atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN Oleh: Sarwenda Kaunang 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN Oleh: Sarwenda Kaunang 2 KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 1 Oleh: Sarwenda Kaunang 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari interaksi dengan sesama. Bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk. kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1)

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk. kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1) Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta-otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2014 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TESISI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derjat S-2 Program Studi Magister Kenotariatan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia mempunyai nilai yang tinggi karena merupakan suatu system yang dikembangkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad lamanya, di dalam kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasional dan matematis baik kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. rasional dan matematis baik kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hikmah perkawinan untuk melahirkan dan menciptakan kesinambungan keturunan. Secara naluriah pasangan suami istri umumnya sangat mendambakan kehadiran anak.

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA. A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA. A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata 19 BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata Sejak diundangkannya Staatblad. 1917 Nomor 129 tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan institusi atau lembaga yang sangat penting dalam, masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Oleh: MONA

Lebih terperinci

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH Hukum Keluarga dan Waris HUKUM WARIS ISTILAH Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie[1]. Yang dimaksud Pewaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk selanjutnya disebut UUP memberikan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan. Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris di antaranya, waris menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki

Lebih terperinci

dalam pembagian harta warisan apabila ada anak kandung menurut hukum waris adat

dalam pembagian harta warisan apabila ada anak kandung menurut hukum waris adat KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT DI DESA NGRINGO KECAMATAN JATEN KABUPATEN KARANGANYAR Oleh: ACHMAD SUPARDI Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse),

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse), 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang anak adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok.

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang penduduknya memiliki aneka ragam adat kebudayaan. Mayoritas masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di pedesaan masih berpegang teguh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT 1. Menurut pendapat anda, apa yang dimaksud dengan : a. Adat : aturan, norma dan hukum, kebiasaan yang lazim dalam kehidupan suatu masyarakat. Adat ini dijadikan acuan

Lebih terperinci

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda BAB I A. Latar Belakang Masalah Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda yaitu laki-laki dan perempuan yang telah menjadi kodrat bahwa antara dua jenis itu saling berpasangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness

Lebih terperinci

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Begawai Pernikahan adalah suatu momen yang sakral, dimana penyatuan dua insan ini juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga Masyarakat di Indonesia telah menganut tiga hukum mengenai hibah, yaitu Hukum Adat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang sangat dianjurkan untuk melakukannya. 1 Sebab pernikahan merupakan suatu prosesi yang dapat menghalalkan hubungan biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan keberadaan anak sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan keberadaan anak sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membangun rumah tangga adalah hakikat suci yang ingin dicapai oleh setiap pasangan. Kebahagiaan dalam rumah tangga merupakan impian yang selalu berusaha diwujudkan.

Lebih terperinci