BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. fundamentalisme secara etimologi berasal dari kata fundamen, yang berarti dasar.

Transkripsi

1 BAB I PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Fundamentalisme selalu menjadi perbincangan hangat, baik di dunia Timur (Islam) maupun Barat. Alim (Ratnasari, 2010) menyatakan bahwa fundamentalisme secara etimologi berasal dari kata fundamen, yang berarti dasar. Secara terminologi, berarti aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara kaku dan tekstual. Alim (Ratnasari, 2010) menyebutkan bahwa karakter fundamentalisme telah kehilangan relevansinya karena zaman selalu berubah dan problematika semakin kompleks. Pada masyarakat Indonesia yang beranekaragam dari sisi agama, suku maupun budaya individu atau organisasi yang memiliki sikap kuat fundamentalisme terhadap agama tertentu akan lebih mudah untuk disalahkan apabila terjadi suatu konflik agama. Berdasarkan data dari United States International Affairs (Kusumowardhani dkk, 2013), konflik yang berawal dari prasangka agama dan mengatasnamakan agama sering terjadi di Indonesia seperti kasus kerusuhan di Flores pada tahun 1995, konflik di Ketapang tahun 1999, dan berbagai daerah lainnya. Secara sepintas, keyakinan-keyakinan tersebut tidak serta merta melahirkan sikap yang tanpa kompromi sebagaimana yang kebanyakan pada kelompok-kelompok tertentu atau organisasi. Karakter fundamentalisme dipandang negatif ketika dibenturkan dengan tata nilai modern karena berimplikasi pada berbagai hal, seperti prasangka dan 1

2 2 kebencian terhadap kelompok lain (Altemeyer & Hunsberger, 1992). Selain itu, dalam skala yang luas, karakter fundamentalisme agama juga dipandang mampu mengacam keutuhan sebuah Negara (Schaafsma & Williams, 2012). Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa sikap fundamentalisme agama ini berkembang di kalangan mahasiswa. Hal ini sangat wajar mengingat secara kognitif, usia mahasiswa adalah waktu dimana individu mulai membangun nalar yang abstrak, termasuk di dalamnya soal agama. Pasca reformasi 1998, keran kebebasan berorganisasi terbuka dengan sangat lebar. Hal ini memicu berkembangnya berbagai macam organisasi dengan idiologinya masing-masing, apalagi ketika asas tunggal sudah tidak diberlakukan lagi. Pada level kemahasiswaan, saat ini banyak ditemui berbagai macam organisasi yang menggunakan agama sebagai landasan idiologinya. Sebagai contoh, beberapa organisasi yang menggunakan Islam sebagai idiologi antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Berbagai organisasi kemahasiswaan yang menjadikan Islam sebagai idiologi gerakannya seringkali dipandang sebagai sarana bagi berkembangnya faham sekaligus karakter fundamentalisme dalam diri mahasiswa. Fundamentalisme dalam pengertian payung psikologi merupakan sikap terhadap keyakinan agama yang dianutnya. Dalam berbagai studi, fundamentalisme agama dipandang prediktif terhadap dogmatisme, persepsi terhadap pengaruh agama, keyakinan tentang bahaya nya dunia, perasaan paling benar, kebencian terhadap homoseks, diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok lain, dukungan

3 3 terhadap kelompok militan, dukungan terhadap sensor atas publikasi yang dipersepsi mengancam moralitas, perasaan bahwa agama membawa kedamaian, dan etnosentrisme religius (Altemeyer & Hunsberger, 2004). Mengacu pada konteks kehidupan di Indonesia yang sangat plural, karakter fundamentalisme agama dipandang tidak kompatibel secara sosial. Oleh karenanya, kajian terhadap hal ini pada wilayah organisasi kemahasiswaan dipandang relevan. Abdalati (Dover dkk, 2007) menyatakan bahwa muslim seharusnya percaya bahwa iman tidak lengkap bila diikuti secara membabi buta atau diterima tanpa bertanya. Muslim diwajibkan untuk membangun iman mereka pada keyakinan cukup beralasan yang diadakan diluar keraguan yang masuk nalar dan di atas ketidakpastian. Jika umat Islam tetap tidak menentu, mereka diundang untuk mencari jawaban dengan menggunakan penalaran. Badi & Tajdin (Dover dkk, 2007) mengatakan dalam Al-Qur an itu sendiri ada 15 gaya yang berbeda dari pemikiran dan refleksi yang telah diidentifikasi. Gaya yang menunjukkan keterbukaan berpikir dan refleksi adalah ingin tahu, objektif, rasional, reflektif/kontemplatif, dan gaya berpikir ilmiah. Adapun kasus-kasus yang terjadi dari sikap fundamentalisme dalam organisasi mahasiswa Islam cenderung bersifat untuk kepentingan diri sendiri saja yang menurut nalar mereka itu adalah hal yang sudah benar. Contoh kasus yang disebabkan kematangan beragama rendah pada organisasi kemahasiswaan beridiologi agama adalah organisasi A melakukan demo di Kendari namun dalam demo tersebut mereka melakukan hal-hal yang merugikan pengguna jalan dengan cara membakar ban (Oktaviani, 2015). Oleh karena itu

4 4 kematangan beragama pun sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia maupun suatu organisasi Islam. Definisi kematangan beragama adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap individu yang dimana harus pengunakan proses iman dan nalar (Dover dkk, 2007). Apabila kematangan beragama yang baik ada dalam setiap diri manusia tentu akan mampu mengaplikasikan ajaran agama yang mereka yakini dalam bersikap dan tidak hanya menjadi pemahaman saja. Kematangan beragama penting dimiliki setiap diri manusia dalam kehidupan sehari-hari karena dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap dirinya benar. Fungsi dari kematangan beragama tiap individu adalah berusaha menciptakan rasa aman bagi lingkungan sekitarnya sehingga tidak menimbulkan kerugian buat orang lain dan terhindar dari hal-hal yang negatif. Kematangan beragama yang baik juga dapat membuat individu berpikir secara jernih tanpa memandang satu atau dua sudut pandang saja tapi terbuka pandangannya yang dari orang lain. Kematangan beragama pun sangat diperlukan untuk organisasi mahasiswa yang memiliki sifat fundamentalisme yang kuat apalagi organisasi yang beridiologi agama. Apabila organisasi mahasiswa beridiologi agama tidak memiliki kematangan beragama yang baik maka dapat menimbulkan pertanyaan banyak orang. Suatu organisasi yang beridiologi agama tetapi tidak menerapkan secara benar kepada setiap orang yang terlibat di organisasi tersebut. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Kematangan Beragama dan Sikap

5 5 Fundamentalisme Agama pada Anggota Organisasi Kemahasiswaan Beridiologi Agama sebagai obyek penulisan skripsi. Menurut penulis judul yang hendak dilakukan penelitian menjadi persoalan yang sangat menarik untuk dieksplorasi, walaupun permasalahan fundamentalisme Islam bukan merupakan permasalahan yang baru. B. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis hubungan antara kematangan beragama dan sikap fundamentalisme pada anggota organisasi kemahasiswaan yang beridiologi agama. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Secara Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menambahkan khasanah keilmuan khususnya dalam kajian psikologi sosial dan psikologi agama. 2. Manfaat Secara Praktis Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan pada masyarakat umumnya agar mereka lebih mengetahui kematangan beragama dan sikap fundamentalisme agama pada anggota organisasi kemahasiswaan beridiologi agama yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

6 6 D. Keaslian Penelitian Peneliti mengamati bahwa penelitian mengenai fundamentalisme telah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Kusumowardhani, dkk (2013) dengan judul Identitas Sosial, Fundamentalisme, dan Prasangka terhadap Pemeluk Agama yang Berbeda: Perspektif Psikologis. Subjek yang digunakan dalam penelitian tersebut ialah mahasiswa yang berstatus aktif. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bagaimana hubungan antara fundamentalisme agama dan identitas sosial dengan prasangka terhadap agama yang berbeda pada mahasiswa tidak dapat dibuktikan dalam penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Putra & Wongkaren (2010) dengan judul Konstruksi Skala Fundamentalisme Islam di Indonesia. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini ialah orang yang beragama Islam dengan rentang usia 14 sampai dengan 32 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengukuran fundamentalisme agama yang dibuat oleh Altemeyer belum cukup kuat mengukur gejala fundamentalisme yang ada di Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Wijdan (2005) dengan judul Peta Keberagaman Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan mahasiswa yang aktif berorganisasi lebih cenderung untuk humanis dibandingkan mahasiswa yang tidak aktif organisasi, sebaliknya mahasiswa yang tidak aktif lebih cenderung fundamentalis. Selain itu, mahasiswa yang tidak aktif lebih cenderung liberal dan belum beridentitas dibandingkan dengan mahasiswa yang aktif berorganisasi.

7 7 Penelitian yang dilakukan oleh Mora & Dermut (2011) dengan judul Fundamentalisme Agama dan Cara Berkaitan dengan Kepribadian, Berpikir irasional, dan Pertahanan Mekanisme. Hasil penelitian tersebut menjelaskan hubungan antara fundamentalisme agama dan pemikiran irasional tidak kuat. Penelitian yang dilakukan oleh Indiwirati (2006) dengan judul Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi Coping. Subjek yang digunakan dalam penelitian tersebut mahasiswa tingkat akhir. Hasil penelitian tersebut menjelaskan korelasi atau hubungan positif antara kematangan beragama dengan kecenderungan strategi coping. Penelitian yang dilakukan oleh Faiz (2014) dengan judul Front Pembela Islam: Antara Kekerasan dan Kematangan Beragama. Hasil penelitian tersebut menjelaskan adanya korelasi antara kekerasan dan kematangan beragama. Penelitian yang dilakukan oleh Santoso, dkk (2008) dengan judul Kematangan Beragama dan Cinderella Complex pada Mahasiswi Fakultas Psikologi UNISSULA. Hasil penelitian tersebut menjelaskan keberagaman seseorang bisa dijadikan predikator kemandirian pada seseorang. Keaslian penelitian yang ditawarkan secara rinci adalah sebagai berikut: 1. Topik Pada penelitian ini menggunakan topik yang berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kusumowardhani, dkk (2013) meneliti Identitas Sosial, Fundamentalisme, dan Prasangka terhadap Pemeluk Agama yang Berbeda: Perspektif Psikologis. Penelitian yang dilakukan oleh Putra & Wongkaren (2010) meneliti Konstruksi

8 8 Skala Fundamentalisme Islam di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Wijdan (2005) meneliti Peta Keberagaman Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Mora & Dermut (2011) meneliti Fundamentalisme Agama dan Cara Berkaitan dengan Kepribadian, Berpikir irasional, dan Pertahanan Mekanisme. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Indiwirati (2006) meneliti Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi Coping. Penelitian yang dilakukan oleh Faiz (2014) meneliti Front Pembela Islam: Antara Kekerasan dan Kematangan Beragama. Penelitian yang dilakukan oleh Santoso, dkk (2008) meneliti Kematangan Beragama dan Cinderella Complex pada Mahasiswi Fakultas Psikologi UNISSULA. Sedangkan penelitian ini mengangkat topik Kematangan Beragama dan Sikap Fundamentalisme Agama pada Anggota Organisasi Kemahasiswaan Beridiologi Agama. 2. Teori Penelitian ini menggunakan teori fundamentalisme milik Altemeyer & Hunsberger (1992) hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra & Wongkaren (2010), Mora & Dermut (2011). Berbeda dengan penelitian Kusumowardhani, dkk (2013) teori dari Tajfel dan Wijdan (2005) menggunakan teori milik O Dean. Sedangkan untuk variabel kematangan beragama peneliti menggunakan teori milik Dover, dkk (2007) hal ini berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Indirawati (2006) yang menggunakan teori dari Allport, Faiz (2014) menggunakan teori dari Freud dan Santoso, Rustam dan Setiowati (2008) menggunakan teori dari Allport.

9 9 3. Alat Ukur Alat ukur yang digunakan untuk fundamentalisme disusun oleh Liht, dkk dan diadaptasi oleh Wibisono. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kusumowardhani, dkk (2013) menggunakan skala yang dibuat Putra. Penelitian lainnya Putra & Wongkaren (2010) dan Mora & Dermut menggunakan skala dari Altemeyer. Wijdan (2005) menggunakan skala dari Yusdani, sedangkan untuk variabel kematangan beragama menggunakan alat ukur yang dibuat oleh Dover dkk dan dimodifikasi oleh peneliti. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Indirawati (2006) menggunakan skala dari Allport. Peneliti lainnya Santoso, dkk (2008) menggunakan skala yang dibuat sendiri. 4. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini ialah anggota organisasi kemahasiswaan yang beridiologi agama. Hal ini berbeda dari 7 penelitian yang dilakukan oleh Kusumowardhani, dkk (2013), Putra & Wongkaren (2010), Mora & Dermut (2011), Wijdan (2005), Indirawati (2006), Faiz (2014), dan Santoso, dkk (2008) yang memilih subjek mahasiswa atau mahasiswa biasa tanpa organisasi dan non mahasiswa atau mahasiswi. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, penulis kemudian berkesimpulan bahwa skripsi yang berjudul Kematangan Beragama dan Sikap Fundamentalisme Agama pada Anggota Organisasi Kemahasiswaan Beridiologi Agama ini penulis belum menemukan kajian yang sama persis dengan penelitian yang hendak dikaji. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini.