BAB I PENDAHULUAN. manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya. 8

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya. 8"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut sifat dasarnya, manusia adalah makhluk bermoral tetapi manusia juga seorang pribadi. Karena merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, angan-angan itu manusia berbuat atau bertindak. Dalam hal ini manusia tak luput dari kesalahan, kekeliruan, baik disengaja maupun tidak. Oleh karena itu, dalam hal ini manusia harus bertanggung jawab atas dirinya pribadi. 7 Manusia sering disebut sebagai makhluk yang bebas; artinya bebas menentukan dirinya sendiri. Akal dan budi telah menempatkan manusia dalam kedudukann yang membahagiakan. Di pihak lain akal dan budi memberikan beban bagi manusia. Setiap manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya. 8 Dalam ajaran agama-agama juga diajarkan bahwa manusia harus bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini dapat kita lihat dari ajaran Agama Kristen dan ajaran Agama Islam. Dalam ajaran Agama Kristen, disebutkan dalam Alkitab pada Galatia 6:7 bahwa Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Maksudnya adalah bahwa Tuhan akan memberikan ganjaran setimpal atas setiap perbuatan manusia dan manusia wajib menerima ganjaran dari Tuhan sebagai bentuk pertanggungjawaban. 7 Drs. Djoko Widagdho dkk., Ilmu Budaya Dasar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hal Ibid, halaman 157

2 Dalam ajaran Agama Islam juga diajarkan tentang tanggung jawab. Dengan demikian sesungguhnya sejak lahir makhluk yang namanya manusia itu sudah dibebani tanggung jawab. Ia harus berbuat baik terhadap sesama makhluk maupun terhadap Tuhan Seru Sekalian Alam. Lebih-lebih terhadap Tuhan manusia harus berbakti, tunduk dan taat; dengan cara melaksanakan sebagai konsekuensi atas semua nikmat yang diterima dari-nya. Bila semua itu lalai maka kelak di kemudian hari akan mempertanggungjawabkannya di hadapan-nya. Karena itu harus kita ingat peringatan Allah : Barang siapa yang mengerjakan kebaikan, walaupun seberat atom, akan merasakan pahalanya; dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, walaupun seberat atom, akan merasakan siksanya. (QS. Az-Zalzalah : 7-8) 9 Dalam hukum ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa equality before the law. Arti dari adagium tersebut adalah semua manusia (individu) setara dihadapan hukum. Manusia sebagai suatu pribadi atau individu sama kedudukannya dihadapan hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu setiap manusia memiliki tanggung jawab individu atas perbuatan yang dilakukannya di hadapan hukum. Adanya tanggung jawab individu pada setiap manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum juga terlihat dari lambang hukum. Lambang hukum adalah Sang Dewi Keadilan atau Dewi Justitia yang diambil dari legenda Yunani yaitu Dewi Themis dan legenda Romawi yaitu Dewi Fortuna. Rupa dari Dewi Keadilan yaitu seorang Dewi yang matanya ditutup secarik kain hitam, memegang timbangan di tangan kanan, dan memegang pedang ditangan kiri. Mata yang ditutup melambangkan bahwa Dewi Keadilan tidak pandang bulu, menganggap semua manusia setara dalam kedudukannya dihadapan hukum. Timbangan menunjukan pengukuran terhadap perbuatan 9 Ibid, hal. 159

3 manusia dan pedang melambangkan bentuk pertanggungjawaban manusia terhadap perbuatan yang dilakukannya dihadapan hukum. 10 Hal-hal tersebut menunjukan bahwa seluruh manusia memiliki tanggung jawab individu atas perbuatannya dihadapan hukum. Semua manusia, baik itu Raja atau Kepala Negara, tentara, pedagang, dan lain sebagainya wajib mempertanggungjawabkan tiap perbuatannya dihadapan hukum karena semua manusia dihadapan hukum adalah setara. Tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) merupakan prinsip dalam hukum pidana internasional yang secara konsisten diikuti sejak prinsip ini ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg. Dapat dikatakan, bahwa prinsip ini memang sekadar ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, karena prinsip ini sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum masa Mahkamah Militer Internasional Nurnberg. Penelusuran historis yang dilakukan oleh Ciara Damgaard tentang prinsip tanggung jawab pidana individual dalam kejahatan internasional mengungkapkan bahwa prinsip ini bahkan sudah dikenal sejak masa Yunani Kuno pada Abad 5 sebelum Masehi. 11 Pengadilan internasional pertama untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang dilaksanakan sampai dengan tahun 1946 terjadi di Nuremberg (International Military Tribunal). Kemudian, disusul IMTFE (Timur Jauh) di Tokyo, Tribunal Pidana Internasional ad hoc (ICTY) untuk Yugoslavia (1993), dan ICTR (Rwanda) (1994). Dua yang terakhir ini hanya berurusan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida atau kejahatan perang yang terjadi di wilayah Yugoslavia dan Rwanda. Pada tahun 1998 di Roma mayoritas negara 10 Taufik Firmanto, Themis : Sang Dewi Keadilan, diakses pada tanggal 12 Februari 2017 pada pukul WIB. 11 Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta, CV Andi, Yogyakarta, 2015, hal

4 setuju dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang bersifat permanen dengan statuta yang jelas. 12 Berbeda dengan ICTY dan ICTR, ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma ( The Rome Statute of the International Criminal Court ) tahun Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda). 13 Salah satu kasus yang ditangani ICC adalah penghancuran benda budaya yang dilakukan Ahmad al-faqi al-mahdi di Mali saat terjadinya konflik bersenjata pada tahun Kasus ini menjadi kasus penghancuran benda budaya yang pertama kali disidangkan di hadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). 14 Disebutkan, Ahmad al-mahdi al-faqi yang lahir 100 km barat Timbuktu, adalah anggota gerakan radikal Ansar Dine -sebuah kelompok terkait Alqaidah yang menguasai sebagian besar wilayah utara Mali pada tahun Saat berkuasa, kaum militan merusak dan menghancurkan banyak bangunan dan makam kuno, termasuk masjid yang dianggap tak sealiran dengan kelompok militan. Selain itu, kelompok ekstremis di Mali tersebut juga membakar puluhan ribu naskah kuno. Kota Timbuktu yang masuk Warisan Budaya Dunia Unesco itu di masa lalu pada abad ke-13 sampai abad ke-17 sempat menjadi pusat pengajaran 12 Prof. Dr. Muladi,S.H., Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional Dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, PT Alumni, Bandung, 2011, hal Andrey Sujatmoko, S.H.,M.H., HUKUM HAM DAN HUKUM HUMANITER, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hal Daftar kasus yang ditangani ICC dapat dilihat pada yang mana terakhir dicek penulis pada 12 Februari 2017 pada pukul WIB belum ada kasus tentang penghancuran benda budaya yang ditangani oleh ICC, kecuali kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad al- Faqi al-mahdi.

5 Islam. Banyak makam kuno para pendiri kota Timbuktu yang dianggap suci oleh penduduk setempat, tetapi dianggap syirik oleh kaum ekstremis. 15 Pada 22 Agustus 2016, dalam persidangan yang diselenggarakan oleh ICC, Ahmad al- Faqi al-mahdi mengaku bahwa dirinya lah yang menghancurkan makam kota serta masjid selama pergerakan Islam radikal tahun 2012 silam. Ahmad mengatakan kepada pengadilan bahwa ia menyesali aksi pengerusakan yang ia lakukan. Maret lalu, Ahmad berperan dalam kejahatan perang yang secara langsung ditunjuk untuk melakukan penghancuran atas monumen bersejarah dan bangunan yang didedikasikan untuk keagamaan. Melakukan penghancuran pada benda-benda kebudayaan menjadi senjata terkini yang digunakan dalam perang, ujar jaksa ICC Fatou Bensouda. 16 Berdasarkan putusan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC), Ahmad al-faqi al-mahdi akhirnya dihukum penjara selama 9 tahun atas penghancuran benda budaya yang dilakukannya saat konflik berenjata di Mali. 17 Dalam putusannya, ICC mengatakan bahwa penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Oleh sebab itulah, penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata dapat dituntut di hadapan Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini karena berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998, kejahatan perang menjadi salah satu kejahatan internasional yang dapat diadili dihadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC), disamping tindak pidana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi. 15 Huminca Sinaga : Pertama Kali, Perusak Cagar Dunia Diseret ke Pengadilan Internasional, pada tanggal 14 Februari 2017, pukul WIB. 16 Annisa Hardjanti : Kini, Penghancuran Peninggalan Sejarah termasuk Kejahatan Perang, diakses pada pukul WIB, Pada Tanggal 14 Februari Putusan ICC Tahun 2016 : International Criminal Court, Case Information Sheet, The Prosecutor v. Ahmad Al Faqi Al Mahdi, ICC-01/12-01/15

6 Berdasarkan kasus tersebut, penulis berminat meneliti lebih dalam mengenai pertanggungjawaban individu terhadap penghancuran benda budaya yang dilakukan saat terjadinya konflik bersenjata. Oleh sebab itulah penulis memilih judul, TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP PENGHANCURAN BENDA BUDAYA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI MALI (Studi Kasus Atas Putusan ICC Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad al-faqi al-mahdi). Skripsi ini akan menguraikan tentang penghancuran benda budaya yang terjadi dalam konflik bersenjata di Mali dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Ahmad al-faqi al-mahdi atas penghancuran benda budaya yang dilakukannya sesuai dengan putusan yang telah dikeluarkan oleh ICC B. Rumusan Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang yang dipaparkan penulis adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata? 2. Bagaimana tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma 1998? 3. Bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali? C. Tujuan Penulisan Dalam penulisan skripsi pasti memiliki tujuan. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain: 1. Untuk mengetahui kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata. 2. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma Untuk mengetahui bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali.

7 D. Manfaat Penulisan Penulis berharap skripsi dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penulis berharap agar skripsi ini memberikan manfaat yaitu sebagai bentuk penambahan wawasan dan pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya hukum internasional terutama tentang tanggung jawab individu terhadap penghancuran benda budaya dalam dalam konflik bersenjata dan upaya penyelesaian yang dilakukan oleh ICC (International Court Criminal). b. Manfaat Praktis Secara praktis penulis berharap agar skripsi ini memberikan manfaat yaitu sebagai suatu pedoman atau bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum secara khusus dan pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tanggung jawab individu terhadap penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. E. Keaslian Penulisan Penulisan Skripsi ini adalah asli, karena pemikiran, ide dan gagasan dalam penelitian ini adalah murni hasil ciptaan penulis sendiri, bukan merupakan hasil ciptaan dari karya tulis orang lain atau pihak-pihak tertentu. Penulis akan bertanggung jawab penuh atas keaslian penulisan skripsi ini dan belum pernah ada judul yang sama. Berdasarkan informasi dan penulusuran kepustakaan yang telah penulis lakukan terhadap hasil penelitian yang pernah dilakukan di maupun di Universitas lain, belum ada yang pernah

8 melakukan penelitian dengan topik yang sama dan studi kasus yang sama, akan tetapi ada ditemukan penulis dari yang melakukan penelitian dengan topik yang sama namun studi kasus yang diteliti berbeda. Adapun judul penelitian yang dilakukan di dengan topik yang sama namun studi kasus yang diteliti berbeda yaitu : Nama : TENGKU DEVY MALINDA NIM : Judul : Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga) Penulis juga telah mengajukan pemeriksaan judul skripsi kepada Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hasil pemeriksaan tersebut adalah tidak ditemukannya karya ilmiah dengan judul dan studi kasus yang sama yang diperiksa oleh Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU pada tanggal 13 Maret Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian yang pertama kali dilakukan sehingga keaslian tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. F. Tinjauan Kepustakaan Skripsi ini memperoleh bahan tulisan nya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-laporan dan informasi dari internet. Untuk itu perlu diberikan penegasan dan pengertian dari judul yang diambil dari sumber-sumber yang memberikan pengertian terhadap judul ini.

9 KONFLIK BERSENJATA Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar, yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan dengan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok bersenjata bukan negara (non-state armed group). 18 Konflik bersenjata internasional pada dasarnya adalah konflik yang terjadi antar negara, misalnya dua dua negara atau lebih saling bertikai satu sama lain. Misalnya: perang antara Amerika Serikat dengan Irak, Argentina dengan Inggris, Perang Dunia I dan II. 19 Sedangkan, konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional pada dasarnya adalah konflik yang terjadi di dalam wilayah negara (internal conflict), misalnya : seperti yang terjadi di Srilanka antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Macan Tamil (LTTE), di Filipina antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Front Pembebasan Islam Moro (MILF), di Indonesia antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 20 Tanggung Jawab Individu Dampak PD II yang menimbulkan berbagai persoalan terhadap HAM pada gilirannya juga menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum internasional, khususnya di bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi individu yang melakukan kejahatan- 18 Arie Siswanto, Op. Cit. hal Andrey Sujatmoko, Op. Cit. hal Ibid, Hal. 173

10 kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori kejahatan internasional. Individu yang melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum pengadilan internasional. 21 Secara sederhana, prinsip ini menghendaki agar pelaku kejahatan internasional memikul tanggung jawab secara pribadi atas kejahatan internasional yang mereka lakukan. Ini berarti bahwa jabatan formal seorang pelaku kejahatan internasional menjadi tidak relevan ketika sampai pada penentuan tanggung jawab pidana. Oleh karena itu, ketika menyangkut sebuah kejahatan internasional, keistimewaan dan kekebalan yang dimiliki oleh seorang kepala negara atau pejabat pemerintahan yang lain tidak dapat dipergunakan sebagai dalih untuk lepas dari tanggung jawab pidana. Penegasan prinsip tangung jawab individual ini juga penting mengingat bahwa kejahatan-kejahatan internasional sering kali dilakukan secara kelompok. Melalui prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual, biarpun sebuah kejahatan internasional dilakukan secara komunal, masing-masing individu yang berperan serta dalam kejahatan kelompok itu tetap dapat dipersalahkan secara individu dan harus memikul konsekuensi pidana secara individual pula. 22 Tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) merupakan prinsip dalam hukum pidana internasional yang secara konsisten diikuti sejak prinsip ini ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg. 23 Berdasarkan hal tersebut, itu dapatlah kita ketahui bahwa tanggung jawab individu dalam hukum internasional adalah tanggung jawab yang dikenakan kepada individu yang melakukan kejahatan internasional. Kejahatan Internasional 21 Ibid, hal Ibid, hal Arie Siswanto, Op. Cit., hal

11 Menurut Cryer (et al.), kejahatan internasional (international crime) adalah offences over which international courts or tribunals have been given jurisdiction under general international law. Dari batasan tersebut dapat ditarik gagasan bahwa kejahatan internasional adalah kejahatan terhadap mana mahkamah atau pengadilan internasional oleh norma-norma hukum internasional diberi jurisdiksi untuk mengadili. Lebih lanjut, Cryer (et al.) menyatakan bahwa kejahatan internasional mencakup empat jenis kejahatan inti (core crimes), yaitu genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi/kejahatan terhadap perdamaian (crimesof aggression/crimes against peace). 24 Kejahatan Internasional dalam bahasa Inggris yaitu international crimes disebut juga sebagai tindak pidana internasional. Definisi tentang tindak pidana internasional (kejahatan internasional atau international crimes) telah dikemukakan oleh Bassiouni (1986:2-3) 25 sebagai berikut : Terjemahan bebas International Crimes is any conduct which is designated as a crime in a multilateral convention will a significant number of state parties to it, provided the instrumen contuins one of the ten penal characteristics. Tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensikonvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah tertentu negara-negara peserta, sekalipun di dalamnya terkandung salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana. Seorang pakar hukum pidana internasional Bassiouni telah menyebutkan terdapat 22 jenis kejahatan internasional yang memenuhi salah satu atau semua karakteristik pidana 26, yaitu 24 Arie Siswanto, Op. Cit., hal Prof. DR. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hal Anis Widyawati, S.H., M.H., HUKUM PIDANA INTERNASIONAL, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal 45-46

12 Kedua puluh dua tindak pidana internasional tersebut antara lain: 1) Aggression; 2) War crimes; 3) Unlawful Use of Weapons; 4) Crimes Against Humanity; 5) Genocide; 6) Racial Discrimination and Apartheid; 7) Slavery and Related Crimes S. Torture; 8) Unlawful Human Experimentation; 9) Piracy; 10) Aircraft Hijacking; 11) Threat and Use of Force Against Internationally Protected Persons; 12) Taking of Civilian Hostages; 13)Drug Offenses; 14) International Traffic in Obsence Publicaitons; 15)Destruction and/or Theft of National Treasures; 16) Environmental Protection; 17) Theft of Nuclear Materials; 18)Unlawful Use of the Mails;

13 19) Interfence of the Submarine Cables; 20) Falsification and Counterfeiting; 21) Bribery of Foreign Public Official; 22) International Traffic in obsence publicaitons; Selain itu terdapat beberapa cara untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan internasional 27, yaitu: 1. Tempat terjadinya kejahatan; 2. Kewarganegaraan dari pelaku dan atau korbannya; 3. Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau tidak bergerak milik pihak asing; 4. Kombinasi dari ketiga butir tersebut diatas; 5. Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat manusia. Dilihat dari perkembangan dan asal-usul tindak pidana internasional ini, maka eksistensi tindak pidana internasional dapat dibedakan dalam 28 : 1. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum internasional ; 2. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional; dan 3. Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional adalah tindak pidana pembajakan atau piracy, kejahatan perang atau war crimes dan tindak pidana perbudakan atau Slavery. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi 27 Ibid, hal Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 40

14 internasional ini secara historis dibedakan antara tindak pidana internasional yang ditetapkan didalam satu konvensi internasional saja (subject of a single convention) dan tindak pidana internasional yang ditetapkan oleh banyak konvensi (subject of a multiple conventions).tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia merupakan konsekuensi logis akibat Perang Dunia II yang meliputi bukan hanya korban-korban perang mereka yang termasuk combatant, melainkan juga korban penduduk sipil (non combatant) yang seharusnya dilindungi dalam suatu peperangan. Salah satu dari tindak pidana internasional ini ialah crime of genocide sesuai dengan deklarasi PBB tanggal 11 Desember 1946 yang menetapkan genocide sebagai kejahatan menurut hukum internasional. 29 Penetapan tindak pidana internasional atau international crimes tersebut diperkuat di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg atau the International Military Tribunal yang dibentuk segera setelah Perang Dunia II berakhir (1946). Mahkamah ini ditetapkan oleh negara pemenang Perang Dunia II (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, serta Rusia) dan memiliki yurisdiksi atas tiga golongan kejahatan 30 : 1. Crimes against peace atau kejahatan terhadap perdamaian, yang diartikan termasuk persiapan-persiapan atau pernyataan perang agresi; 2. War crimes atau kejahatan perang atau pelanggaran atas hukum-hukum tradisional dan kebiasaan dalam peperangan; dan 3. Crimes against humanity yakni segala bentuk kekejaman terhadap penduduk sipil (noncombatant) selama peperangan berlangsung. ICC atau International Criminal Court sebagai pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen juga memiliki pandangan tersendiri dalam menetapkan kejahatan 29 Ibid, hal Ibid, hal. 41

15 internasional. Hal ini dapat kita lihat dari Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menentukan bahwa kewenangan ICC untuk mengadili hanya pada 4 jenis kejahatan internasional yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Dari uraian-uraian tersebut dapat dikatan bahwa pada intinya kejahatan internasional mengandung : 1. Merupakan tindak pidana yang diakui sebagai kejahatan internasional oleh masyarakat internasional melalui konvensi internasional maupun hukum kebiasaan internasional. 2. Dapat dituntut pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional. 3. Menyentuh perasaan kemanusiaan sehingga menjadi keprihatinan dunia internasional. ICC PBB telah menyadari bahwa diperlukan sebuah mekanisme permanen pengadilan bagi para pelaku dan penjahat HAM sejak tahun Pemikiran ini diambil berdasarkan pengalaman pengadilan Nuremberg dan Tokyo yang mengadili kejahatan perang di masa perang dunia. Wacana tentang mekanisme permanen ini semakin membesar saat dibentuknya ICTY dan ICTR. Sebenarnya ide tentang sebuah pengadilan pidana internasional telah dimulai sejak tahun 1937 oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) kemudian menjadi PBB. 31 Pada 17 Juli 1998, di dalam sebuah Konferensi Diplomatik PBB di Roma, menjadi embrio terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional. Konferensi ini kemudian menghasilkan sebuah perjanjian multilateral yaitu Statuta Roma yang merupakan dasar berdirinya 31 Erikson Hasiholan Gultom, S.H., Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional Dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta, 2006, hal. 2

16 Mahkamah tersebut. Dari 160 negara yang ikut, hanya 55 wakil negara yang menandatangani statuta ini. Tidak mudah untuk membuat badan peradilan ini terwujud karena dibutuhkan sebanyak 60 negara yang meratifikasi statuta. Pada akhirnya, 1 Juli 2002, statuta ini telah diratifikasi oleh 60 negara dan secara otomatis statuta ini berlaku. 32 Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma ( The Rome Statute of the International Criminal Court ) tahun Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda). Tujuan didirikannya ICC dapat kita temukan dalam penggalan pembukaan Statuta Roma 1998, adalah : Bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan tersebut; Memutuskan untuk menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya keadilan internasional; Dengan tujuan tersebut diharapkan ICC dapat menghukum siapapun, bahkan seorang Kepala Negara yang seringkali memiliki kekebalan hukum (impunity). Hal ini juga agar keadilan internasional dapat terwujud dan dihormati. International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan internasional yang mengadili individu yang berumur minimal 18 yang melakukan kejahatan internasional berdasarkan Statuta Roma Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 26 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa Tidak dimasukkannya Jurisdiksi atas orangorang dibawah delapan belas tahun. 32 Ibid, Hal. 2-3

17 Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, Jurisdiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan. Mahkamah mempunyai jurisdiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatankejahatan berikut: (a) Kejahatan genosida; (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) Kejahatan perang; (d) Kejahatan agresi. Hal ini menunjukkan bahwa ICC atau Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat mengadili individu yang melakukan salah satu atau lebih kejahatan-kejahatan internasional berikut yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Selain daripada kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat dituntut dan diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional atau ICC. Mengenai yurisdiksi temporal atau waktu terhadap dapatnya ICC melaksanakan yurisdiksi atau kewenangannya dapat kita lihat pada Pasal 11 dan 12 ayat 3 Statuta Roma Pasal 11 Statuta Roma Mahkmah mempunyai jurisdiksi hanya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta ini. 2. Kalau suatu Negara menjadi pihak dari Statuta ini setelah Statuta ini mulai berlaku, Mahkmah dapat melaksanakan jurisdiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya Statuta ini untuk Negara tersebut, kecuali kalau Negara tersebut telah membuat suatu deklarasi berdasarkan pasal 12, ayat 3. Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma Kalau penerimaan suatu Negara yang bukan pihak dari Statuta ini disyaratkan berdasarkan ayat 2, Negara tersebut dapat, dengan deklarasi yang disampaikan kepada Panitera, menerima pelaksanaan jurisdiksi oleh Mahkamah berkenaan dengan kejahatan yang dipersoalkan. Negara yang menerima bekerja sama dengan Mahkamah tanpa ditunda-tunda lagi atau perkecualian sesuai dengan Bagian 9. Dari pasal 11 dan 12 ayat 3 tersebut diatas dapat kita ketahui waktu terhadap dapatnya ICC melaksanakan kewenangannya yaitu :

18 1. ICC dapat menerapkan yurisdiksi atas kejahatan internasional yang dilakukan individu setelah ditetapkannya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli Untuk negara-negara yang baru bergabung menjadi anggota ICC setelah penetapan Statuta Roma 1998 (1 Juli 2002), ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di negara tersebut hanya pada kejahatan internasional yang dilakukan individu setelah negara tersebut melakukan ratifikasi Statuta Roma Terhadap kejahatan internasional yang dilakukan individu sebelum negara tersebut melakukan ratifikasi Statuta Roma 1998, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya dengan syarat negara tersebut melakukan deklarasi kepada ICC melalui Panitera ICC yang menyatakan bahwa negara tersebut menerima pelaksanaan jurisdiksi oleh ICC berkenaan dengan kejahatan internasional yang dilakukan individu sebelum proses ratifikasi Statuta Roma 1998 terjadi tetapi juga kejahatan tersebut dilakukan harus setelah ditetapkannya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa ICC menerapkan prinsip non-retroactif dalam melaksanakan yurisdiksinya. Prinsip non-retroactif tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 24 ayat 1 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa Tidak seorang pun bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya Statuta ini. Pengecualian terhadap prinsip non-retroactif tersebut hanya berlaku pada saat suatu negara memberikan deklarasi persetujuan kepada ICC untuk tidak menerapkan prinsip nonretroactif berdasarkan Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma Mengenai siapa-siapa saja yang dapat meminta ICC untuk melaksanakan yurisdiksinya atau pemeriksaan terhadap dugaan kejahatan internasional, dapat kita lihat pada Pasal 13 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa :

19 Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya berkenaan dengan kejahatan yang dicantumkan dalam pasal 5 sesuai dengan ketentuan Statuta ini, kalau: (a) Suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan itu diteruskan kepada Penuntut Umum oleh suatu Negara Pihak sesuai dengan pasal 14; (b) Suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan tersebut diteruskan kepada Penuntut Umum oleh Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; atau (c) Penuntut Umum dapat memprakarsai suatu penyelidikan berkenaan dengan kejahatan tersebut sesuai dengan pasal 15. Dari Pasal 13 Statuta Roma 1998, kita dapat melihat bahwa ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya atas dugaan peristiwa kejahatan internasional berdasarkan salah satu atau lebih dari berikut ini yaitu : 1. Permintaan negara anggota ICC. 2. Rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB. 3. Inisiatif ICC sendiri. Selanjutnya, Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998 menentukan bahwa pelaksanaan yurisdiksi ICC atas dugaan kejahatan internasional yang dirujuk oleh suatu negara anggota kepada ICC atau yang berdasarkan inisiatifnya ICC sendiri, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya jika satu atau lebih negara-negara berikut sudah menjadi Negara Pihak atau negara anggota dari Statuta Roma 1998 atau telah menerima jurisdiksi ICC 33 : 1. Negara tempat terjadinya kejahatan internasional, atau negara tempat pendaftaran kapal atau pesawat udara kalau kejahatan dilakukan di atas kapal atau pesawat terbang. 2. Negara tempat tersangka pelaku kejahatan internasional menjadi warganya. Berdasarkan ketentuan tersebut yaitu Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998, dapat diketahui bahwa sepanjang suatu peristiwa dugaan kejahatan internasional yang diminta oleh negara pihak atau negara anggota ICC diperiksa oleh ICC atau yang diselidiki berdasarkan inisiatif ICC sendiri, ICC dapat melaksanakan kewenangannya atas siapa pun (baik warga dari negara 33 Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998

20 anggota maupun bukan), sepanjang kejahatan internasional tersebut dilakukan di wilayah negara anggota ICC dan ICC juga dapat melaksanakan kewenangannya terhadap kejahatan internasional di wilayah negara manapun (baik wilayah negara anggota maupun bukan), sepanjang pelakunya adalah warga negara dari negara anggota ICC. Namun, jika ada suatu peristiwa dugaan kejahatan internasional dimana dilakukan di wilayah negara yang bukan negara pihak atau negara anggota ICC dan pelakunya juga tidak berasal dari suatu negara anggota ICC, ICC tetap dapat menjalankan kewenangannya hanya jika ada rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB. Hal ini dapat kita lihat dari Pasal Pasal 13 ayat 2 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional memiliki hubungan dengan Perserikatan Bangsa- Bangsa, karena terbentuknya Mahkamah ini tidak bisa terlepas dari prakarsa PBB melalui Majelis Umum dengan peranan oleh Komisi Hukum Internasional. Mahkamah ini tidak berada di bawah atau sebagai bagian (bagian utama, bagian subsider ataupun bagian khusus) dari PBB, sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah berada di luar sistem PBB dengan kedudukannya sejajar atau setara dengan PBB. Hal ini berdasarkan perjanjian antara Mahkamah dan PBB yang tertuang dalam Pasal 2 Statuta Roma tahun Oleh karena itulah, hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan PBB adalah setara. PBB melalui Dewan Keamanan hanya dapat memberikan rekomendasi terkait adanya dugaan tindak pidana kejahatan internasional kepada Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah Pidana Internasional juga dalam menanggapi rekomendasi tersebut hanya sebagai saran. Mahkamah Pidana Internasional dapat menerima rujukan tersebut namun dapat juga menolak rujukan tersebut. Hal ini karena tentu saja, berdasarkan Pasal 1 Statuta Roma 1998, 34 Anis Widyawati, S.H., M.H., opcit, hal. 150

21 Mahkamah Pidana Internasional adalah lembaga pengadilan internasional yang independen dan permanen dalam menyidik dan mengadili tindak pidana kejahatan internasional. Dengan berbagai kewenangan yang dimiliki ICC, bukan berarti ICC menjadi Pengadilan Dunia" atau pengadilan yang dapat melanggar batas-batas kedaulatan suatu negara. Didirikannya ICC atau Mahkamah Pidana Internasional tidaklah bermaksud untuk menggantikan yurisdiksi nasional yang dilaksanakan oleh pengadilan nasional di setiap negara. Dalam Pasal 1 Statuta Roma 1998, disebutkan bahwa : Dengan ini Mahkamah Pidana Internasional (selanjutnya disebut Mahkamah ) dibentuk. Mahkamah ini merupakan suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan jurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana dicantumkan dalam Statuta ini, dan merupakan pelengkap terhadap jurisdiksi kejahatan nasional. Kewenangan dan fungsi Mahkamah ini diatur oleh ketentuan-ketentuan Statuta ini. Dalam Pembukaan Statuta Roma 1998, juga disebutkan bahwa : Menekankan bahwa Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di bawah Statuta ini akan merupakan pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional; Dalam Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998 dan Pembukaan Statuta Roma tahun 1998 tersebut diatas memberikan penjelasan bahwa Mahkamah Pidana Internasional menganut prinsip pelengkap atau komplementer (complementary principle). Prinsip pelengkap ini berarti Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap dari pengadilan nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional menghormati kedaulatan tiaptiap negara. Berdasarkan prinsip pelengkap tersebut, Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat aktif jika dalam suatu kasus, sistem pengadilan nasional negara yang bersangkutan tidak mampu dan atau enggan bahkan tidak mau menerapkan yurisdiksi nasionalnya.

22 Kriteria terhadap ketidakmampuan dan ketidakinginan pengadilan nasional suatu negara dalam menerapkan yurisdiksinya untuk mengadili warga negaranya yang melakukan kejahatan internasional dapat kita lihat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3 Statuta Roma 1998, yang menyatakan bahwa : 1. Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma 1998 Untuk menentukan ketidaksediaan (keengganan atau ketidakinginan) dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan, dengan mengingat prinsip-prinsip proses yang seharusnya yang diakui oleh hukum internasional, apakah satu atau lebih dari yang berikut ini ada, dan dapat diterapkan: a) Langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau keputusan nasional diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi Mahkamah sebagaimana tercantum dalam pasal 5; b) Ada suatu penangguhan yang tidak dapat dibenarkan dalam langkahlangkah hukum yang dalam keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkmah; c) Langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak, dan langkah-langkah tersebut dilakukan dengan cara di mana, dalam hal itu, tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkmah. 2. Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998 Untuk menentukan ketidakmampuan dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan apakah, disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya, Negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang perlu atau sebaliknya tidak dapat melaksanakan langkah-langkah hukumnya. Posisi individu yang strategis dalam suatu negara, seperti kepala negara atau pejabat, sangat memungkinkannya untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada pada dirinya agar pengadilan nasionalnya tidak mampu dan atau tidak ingin mengadili dirinya atas kejahatan internasional yang telah dilakukannya. Hal inilah yang membuat individu seperti seperti kepala negara atau pejabat sering menikmati kekebalan hukum yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang disebut sebagai impunity. Dalam menjawab tantangan tersebut ICC hadir untuk memutuskan rantai impunitas (impunity) agar siapapun yang melakukan kejahatan internasional dapat diadili dan juga dihukum sepanjang pengadilan nasional tersebut tidak

23 mampu dan atau tidak ingin menerapkan yurisdiksinya. ICC hadir sebagai pelengkap pengadilan nasional berkenaan dengan prinsip pelengkap atau (complementary principle) yang dianut oleh ICC sesuai dengan Pasal 1 Statuta Roma Sehingga berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Pidana Internasional atau ICC dibentuk bukan untuk menggantikan pengadilan nasional suatu negara, namun adalah sebagai pelengkap. ICC hanya dapat aktif baik itu karena permintaan negara pihak, rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB, maupun atas inisiatif ICC sendiri, jika sistem pengadilan nasional suatu negara tidak mampu dan atau enggan bahkan tidak mau menerapkan yurisdiksi nasionalnya untuk mengadili pelaku kejahatan internasional G. Metode penelitian Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah, bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada. 35 Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisasnya.kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan Suratman,S.H., M.H. dan H. Philips Dillah, S.H., M.H., METODE PENELITIAN HUKUM, CV Alfabeta, Bandung, 2013, hal Soerjono Soekanto dalam Suratman dan H. Philips Dillah, Ibid, hal. 38

24 Metode ilmiah diperlukan untuk menguji kebenaran dari suatu karya tulis. Hal ini agar karya tulis ilmiah tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, hal ini karena penelitian ini ditujukan untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku baik itu perangkat hukum maupun putusan-putusan pengadilan selain itu diteliti juga buku-buku, literatur, jurnal, bahan internet dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini. Penelitian ini bersifat Deskriptif-Analitis, yaitu penulis menjelaskan hal-hal yang dapat menjadi permasalahan dan kemudian menganalisisnya dengan berdasarkan bahan hukum agar diperoleh jawaban, keterangan dan kesimpulan yang jelas terhadap permasalahanpermasalahan tersebut. 2. Bahan Hukum Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tertier. 37 Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat menjadi landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, seperti putusan ICC, Statuta Roma 1998, Konvensi Den Haag dan peraturan hukum lainnya. 37 Ibid, hal. 51

25 b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung dan dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku dan pendapat para ahli hukum, c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti jurnal hukum, artkel, bahan internet, dan lain sebagainya. 3. Alat Pengumpul Data Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 38 Untuk mengumpulkan data dalam mendukung penulisan skripsi ini, penulis menggunakan cara kepustakaan atau Library Research, yaitu mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan melakukan penelitian dari berbagai sumber buku yang terdapat di perpustakaan, norma hukum, studi putusan, jurnal hukum, internet, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 4. Analisis Data Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi putusan, jurnal hukum dan lain sebagainya maka hasil penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif. Analisa kualitatif adalah pemaparan terhadap teori-teori yang 38 Ibid, hal. 51

26 dikemukakan sehingga teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan keterangan dan kesimpulan pada skripsi ini. H. Sistematika Penulisan Karya tulis yang baik haruslah disusun secara sistematis. Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub bab untuk mempermudah dalam memamparkan pembahasan dari skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I: PENDAHULUAN Bab I dalam penulisan skripsi ini adalah bab pengantar yang merupakan gambaran umum yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : KEDUDUKAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK BERSENJATA Bab II dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas secara umum mengenai benda budaya dalam konflik bersenjata. Di uraikan dari defenisi dan pengertian benda budaya, sejarah penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dan kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata. BAB III : TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA 1998 Bab III dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas tentang tanggung jawab individu. Diuraikan dari kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional, impunity dalam hukum internasional dan bagaimana pengaturan tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma BAB IV : PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU

27 DALAM PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK BERSENJATA DI MALI Bab IV dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas tentang putusan ICC dalam kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad al-faqi al-mahdi saat terjadinya konflik bersenjata di Mali. Diuraikan dari pengkategorian penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata sebagai kejahatan perang, latar belakang penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali, dan putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab V dalam penulisan skripsi ini adalah bab penututp yang memuat kesimpulan dari keseluruhan materi dalam skripsi ini dan juga dilengkapi dengan saran-saran yang diharapkan berguna dan bermanfaat dimasa yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH. SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah Bobot sks Tim Penyusun : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL : 2 sks : ALFONS ZAKARIA, SH. LLM. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH.

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan serius terhadap hak asasi manusia, selain kejahatan perang. Kejahatankejahatan tersebut secara

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Sakti Prasetiya Dharmapati I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang mengatur tentang konflik

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang angkasa merupakan sebuah tempat baru bagi manusia, sebelumnya ruang angkasa merupakan wilayah yang asing dan tidak tersentuh oleh peradaban manusia. Potensi ruang

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA Windusadu Anantaya I Dewa Gede Palguna I Gede Putra Ariana Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tanggung Jawab Para Algojo Terhadap Pembantaian Massal Tahun 1965 di Kota Medan Ditinjau Dari Hukum Pidana Internasional Responsibility of The Executioner in 1965 Massacre

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar

Lebih terperinci

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Ifdhal Kasim 1. Dengan tema konteks sosial, ekonomi, politik dan hukum pengajaran hak asasi manusia, yang diberikan kepada saya,

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN * Rubiyanto ABSTRACT The main matter, a case can be investigated trial by International court of justice

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Perang merupakan suatu peristiwa yang memiliki umur yang sama tua nya dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Dimana perang itu lahir dari hubungan-hubungan yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H.,

Lebih terperinci

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewan keamanan PBB bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara dan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negaranegara anggota PBB.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL 2.1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Laurent

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) TERHADAP NEGARA BUKAN PESERTA STATUTA ROMA (Danel Aditia Situngkir, BP. 1121211040, PK Hukum Internasional, Program Pascasarjana

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International 2009 Diterbitkan oleh: Koalisi Masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M. 2 Pengantar Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah-nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci