MANTUNU TEDONG. (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MANTUNU TEDONG. (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale)"

Transkripsi

1 MANTUNU TEDONG (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale) Oleh, JERIANTO SALUBONGGA NIM: TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 i

2 ii

3 iii

4 iv

5 v

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis kepada Bapa di sorga dalam nama Tuhan Yesus Kristus atas penyertaannya, perlindungan dan berkat yang tiada terkira hingga pada saat ini, sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah beserta Tugas Akhir denga judul : Mantunu Tedong (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale) dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi. Begitu juga dengan mama terkasih, terima kasih atas cinta dan kasih sayang mama selama ini. Doa dan dukungan yang tidak pernah putus-putusnya, yang tidak pernah lelah menjadi ayah dan ibu dalam setiap langkah kehidupan penulis. Kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati dan menyertai mama dalam masa tua, sehingga memperoleh kesehatan, umur yang panjang, supaya kelak penulis bisa membalas semua kasih sayang dan kebaikan mama. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga kepada almarhum papa tercinta yang telah berjuang keras untuk penulis selama hidupnya. Selalu teriring doa dan syukur untuk papa tercinta yang telah bersama dengan Tuhan Yesus. Cinta dan kasih sayang papa tidak akan pernah penulis lupakan, begitupula dengan nasehat-nasehat dan ajaran yang selalu papa berikan. Sangat bangga, bersyukur, dan berterima kasih kepada Tuhan pernah memiliki papa. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga bagi kakak-kakak dan adik penulis yang telah banyak membantu penulis selama ini. Yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam berbagai hal. Bukan hanya doa akan tetapi lewat pengorbanan materi juga yang selalu mereka berikan kepada penulis. Terima kasih kepada kak Ema, kak Julia, dan adik Tonglo, sangat bersyukur Tuhan Yesus telah memberikan saudara seperti kalian. Begitu juga dengan Kenzo yang selalu menjadi penyemangat dalam kehidupan penulis. Kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati dan melindungi. Selain itu penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini diantaranya: 1. Pdt.Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D dan Pdt. Izak Lattu, Ph. D sebagai dosen pengajar dan dosen pembibing penulis, terima kasih banyak atas waktu, ide-ide beserta masukan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir penulis dengan baik. 2. Dekan, Kaprogdi dan dosen-dosen serta staff tata usaha Fakultas Teologi UKSW yang banyak membantu dalam menyelesaikan studi penulis. 3. Sahabat, saudara, dan juga sebagai kakak, Rano dan Felix yang telah banyak membantu penulis, selalu mengajar dan memberikan nasehat-nasehat kepada penulis di tanah vi

7 rantau dalam berbagai suka dan duka bersama selama ini. Begitu juga dengan Christian yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir. Semua kebaikan, canda dan tawa kalian tidak akan pernah penulis lupakan. Teima kasih bayak telah hadir menjadi saudara, kakak dalam kehidupan penulis di Salatiga. 4. Teman-teman PKMST Salatiga dan PPGT Semarang tanpa terkecuali yang penulis tidak sempat menyebutkan nama kalian satu persatu, terima kasih telah menjadi keluarga besar penulis selama ini. Bersama kalian penulis bisa merasakan dan memiliki kekeluargaan dalam persekutuan Toraja dan gereja Toraja. 5. Untuk majelis gereja Toraja Surabaya cabang kebaktian Semarang dan bapak Pdt. Mianto sekeluarga, terima kasih atas pelayanan, nasehat-nasehat yang selalu diberikan kepada penulis dalam kehidupan pelayanan penulis. 6. Teman-teman angkatan penulis, yang telah menemani penulis dalam suka maupun duka diantaranya Frendly, Ariel, Lily, Mora, Timo, Ivon, Tasya, Tia dan teman-teman lainnya. 7. Begitu juga dengan mami Sastro dan Tony yang telah banyak membantu penulis selama studi di Salatiga. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis selama ini yang tidak sempat penulis sampaikan karena keterbatasan penulis sebagai manusia. Dalam kehidupan dan masa studi, penulis menyadari bahwa sebagai manusia penulis banyak memiliki kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan tersebut. Akhir kata, kiranya kasih dan damai sejahtera Allah dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kita sekalian. Salatiga, Oktober 2015 Jerianto Salubongga vii

8 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... HALAMAN PENGESAHAN.... LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN..... LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES... LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... ABSTRAK..... i ii iii iv v vii ix xi LATAR BELAKANG MASALAH Pendahuluan... 1 LANDASAN TEORI Upacara Kematian Secara Umum... 6 Ritual Pengorbanan... 7 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Tempat Penelitian... 9 Pandangan Para Tokoh Adat/ Budayawan Tentang Mantunu Tedong Pandangan Warga Masyarakat Lembang Seriale ANALISA Penutup Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA viii

9 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna Mantunu Tedong dalam masyarakat Lembang Seriale. Mantunu Tedong merupakan warisan budaya yang terus bertahan hingga saat ini. Keberadaan warisan budaya mempunyai tujuan untuk mempererat relasi di dalam keluarga besar maupun masyarakat secara luas. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna dari pemotongan kerbau dalam upacara kematian di Lembang Seriale merupakan ungkapan kasih sayang, penghormatan, ungkapan terimakasih kepada orang yang telah meninggal. Namun, tradisi Mantunu Tedong ini juga dalam perkembangannya secara negatif cenderung memperlihatkan prestise atau gengsi dalam masyarakat Lembang Seriale karena terkait dengan kepentingan agar dipandang mampu melalui menyembelih hewan kerbau dalam jumlah yang banyak tanpa mempertimbangkan akibatnya di masa mendatang bagi generasigenerasi berikutnya. Kata Kunci: Mantunu Tedong, Seriale, Rambu Solo. ix

10 Mantunu Tedong (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale) 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mantunu Tedong adalah suatu tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat adat Toraja pada umumnya, hingga saat ini. Istilah Mantunu Tedong. berasal dari dua suku kata dalam tata bahasa daerah Toraja yakni Mantunu berarti memotong, atau mengorbankan. Dalam hal ini memotong (menyembelih) atau mengorbankan kerbau. Dan kata Tedong berarti kerbau. Maka secara harafiah Mantunu Tedong berarti memotong (menyembelih) kerbau. Mantunu Tedong sendiri adalah merupakan bagian dari rangkaian upacara adat kematian dan pemakaman masyarakat Toraja yang biasa dikenal dengan istilah Aluk Rambu Solo. Secara harafiah, upacara adat kematian dan pemakaman di Tana Toraja oleh masyarakat Toraja disebut dengan aluk rambu Solo, terdiri atas tiga kata, yakni Aluk berarti keyakinan atau aturan, rambu berarti asap atau sinar dan Solo ( = k, kata aksen dalam bahasa Toraja) berarti turun. Berdasarkan makna itu, maka pengertian Aluk Rambu Solo adalah upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai terbenam atau turun. 1 Secara leksikal, Aluk Rambu Solo atau Aluk Rampe Matampu, adalah upacara pemujaan dengan kurban persembahan berupa hewan yang dilakukan pada bagian barat dari rumah atau Tongkonan yang pelaksanaannya waktu matahari mulai terbenam. Istilah itu juga oleh Tangdilintin, dimaknai sebagai upacara kematian atau pemakaman manusia 2. Korban persembahan berupa hewan yang dimaksud adalah pemotongan kerbau, dan yang dikenal dengan istilah Mantunu Tedong. Dahulu pelaksanaan Mantunu Tedong dalam ritual Rambu Solo dilakukan oleh orang-orang Toraja berdasarkan strata sosialnya pembagian kasta. Pertama bangsawan tinggi Tana Bulaan mempunya kewajiban memotong paling sedikit 24 ekor kerbau. Kedua kasta bangsawan menengah atau Tana Bassi minimal 6 ekor. Ketiga kasta orang 1 Mohamad Nasir Sitonda, Toraja, Warisan Dunia, (Makasar: Pustaka Refleksi, 2005), Sitonda, Toraja, Warisan Dunia 52. 1

11 merdeka atau Tana Karurang paling sedikit 2 ekor. Keempat kasta hamba sahaya atau Tana Kua-kua cukup memotong seekor babi betina saja atau dako, sehingga tradisi ini strata sosialnya dibedakan menurut jumlah. 3 Alasan mendasar mengapa orang Toraja harus melakukan Mantunu Tedong (pemotongan kerbau) dalam upacara Rambu Solo, karena orang Toraja begitu menghargai arwah para leluhur atau mereka yang telah lebih dahulu meninggal 4. Pada poin inilah orang Toraja memiliki semacam keharusan untuk melakukan Mantunu Tedong (pemotongan kerbau) sebagai bentuk pemujaan tetapi juga sebagai bentuk penghargaan. Selain itu, kerbau menurut falsafah orang Toraja adalah hewan yang memiliki peranan penting. Kerbau adalah patokan penilaian harga suatu jasa atau barang tertentu. Bagi orang Toraja, kerbau adalah mata uang yang tidak pernah mengalami penurunan nilai. Kerbau menjadi sangat penting dalam upacara kematian karena adanya mitos bahwa kerbau adalah jembatan arwah yang meninggal menuju alam baka atau Puya. Jalan penghubung antara alam fana dan alam baka hanya bisa ditempuh dengan menunggang kerbau. Kemegahan upacara kematian seseorang dinilai dari jumlah kerbau yang disembelih selama upacara pemakaman berlangsung 5. Pada masa kini tradisi upacara ini dilakukan dengan tidak lagi mengikuti aturanaturan yang berlaku pada masa lalu. Karena semakin tinggi strata sosial seseorang tidak dilihat dari pembagian yang dilakukan di masa lalu, tetapi strata sosial diukur dari semakin banyak kerbau yang disembelih (Mantunu Tedong). Perkembangan zaman saat ini kemudian menitik beratkan arti strata sosial terutama pada kondisi ekonomi keluarga, sehingga strata sosial sudah tidak bersifat tetap dalam melakukan tradisi ini. Karena siapapun dapat berusaha dan mampu memperbaiki kondisi ekonomi keluarga maka secara otomatis dapat menyumbangkan kerbau yang banyak dalam pelaksanan Mantunu Tedong (penyembelihan). Kerbau inilah yang menjadi masalah saat ini sebab terbukti bahkan untuk berusaha melakukan tradisi ini mereka harus berhutang (pinjam), karena keadaan sudah mendesak. Mereka biasanya akan meminjam dari kerabat dekat atau teman-teman dekat, dengan 3 T. Saroengallo, Ayah Anak Berda Warna (Yogyakarta: Tembi Rumah Budaya, 2010), Bandingkan Sitonda, Toraja, Warisan Dunia Sitonda berpendapat mengapa orang Toraja melakukan upacara Rambu Solo karena ada konsep dasar terhadap upacara tersebut, yakni:ajaran azas percaya dan memuja kepada tiga dewa. Ajaran azas pemujaan leluhur. 5 Saroengallo, Ayah Anak Beda Warna

12 persetujuan-persetujuan tertentu. 6 Padahal orang Toraja pada umumnya juga memelihara kerbau dan babi guna menyanggupi kewajiban adat-istidat setempat. Akibat dari gengsi telah mewajibkan mereka untuk wajib melakukan tradisi ini dengan konsekuensi berhutang jangka panjang karena hutang ini dapat dibebankan kepada keturunan berikutnya dari hutang yang berasal dari prosesi Mantunu Tedong yang telah dilakukan di masa lalu. Prosesi ini kemudian cenderung memperlihatkan motif lain selain menjalankan tradisi adat. Motif yang dimaksudkan adalah ingin menunjukkan kemampuan ekonomi keluarga besar sebagai gengsi antara satu sama lain dalam menjalankan tradisi tersebut saat ini. Konsekuensi dari tradisi ini yang di dasarkan atas gengsi tersebut memunculkan pertanyaan penting terhadap persoalan makna (prosesi mantunu tedong) terutama bagi keluarga-keluarga yang berkewajiban melakukan prosesi tersebut saat ini. Alasannya karena Orang Toraja zaman dahulu, ketika melakukan Rambu Solo dan khususnya prosesi Mantunu Tedong selalu didasarkan pada ketulusan dan pencapaian tuntutan religi yaitu penghormatan kepada para dewa dan arwah para leluhur (orang yang terlebih dahulu meninggal). Namun akhir-akhir ini tradisi Mantunu Tedong sudah mengalami kemerosotan yang lebih kepada pemborosan karena gengsi. Mungkin ini adalah dampak dari kenyataan bahwa upacara sudah tidak dilakukan lagi oleh penganut Aluk Todolo (penganut agama suku) tetapi penganut agama Kristen yang karena tidak menjiwai keseluruhan upacara tersebut akhirnya hanya mengambil kulit kemegahannya sehingga yang terlihat pada upacara-upacara pemakaman bukanlah dukacita melainkan suasana pesta pora. 7 Penyebutan sebagai adat adalah melulu bentuk pembenaran. Budaya Toraja sedang mengalami kemerosotan perilaku terutama di desa Seriale di mana nilai-nilai luhur dari budaya itu tidak lagi menjiwai pelaksanaan-pelaksanaan Mantunu Tedong melainkan gengsi dan popularitaslah yang ditonjolkan. Apalagi saat ini harga hewan kerbau sangatlah mahal di tanah Toraja dan bisa sampai kisaran 1 Milyar Rupiah, dan harga rata-rata kebau yang dianggap layak untuk dipotong pada upacara pemakaman minimal diatas 7 jutaan. Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini memfokuskan pada makna pelaksanaan Mantunu Tedong. 6 Terkadang, kerbau yang dipinjam akan menjadi semacam barang warisan. Jadi pihak peminjam akan mengembalikan jika pihak yang meminjamkan akan melakukan mantunu tedong pada upacara rambu solo nanti, dan jenis kerbaunya disesuaikan dengan kerbau pinjaman yang lalu. Atau keluaraga peminjam akan memberikan uang ganti terhadap kerbau pinjaman. Kedua kasus pengwembalian ini (kerbau ganti kerbau/kerbau ganti uang), disesuaikan dengan kesepakatan kedua belah pihak yakni peminjam dan yang meminjamkan. 7 Saroengallo, Ayah Anak Beda Warna

13 1.2 Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yakni: Apa makna Mantunu Tedong bagi masyarakat Lembang Seriale? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Mendeskripsikan makna upacara Mantunu Tedong dalam masyarakat Lembang Seriale. 1.4 Manfaat Secara teoritis Sebagai salah sumbangan pemikiran dalam mengkaji penelitian budaya lokal khususnya pada konteks masyarakat Toraja tentang upacara kematian, terutama prosesi pemotongan hewan. Guna melengkapi literature-literatur yang telah membahas tentang masyarakat Toraja. Secara praktis Agar dapat memahami makna, serta alasan utama masih dilakukannya tradisi ini dalam kehidupan masyarakat di Toraja. 1.5 Metode Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. 8 Metode penelitian deskriptif menurut Muhamad Nasir adalah untuk mengambarkan atau melukiskan secara sistematis, fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode ini, meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang 9 sehingga penulis akan mencoba mendiskripsikan permasalahan yang dibahas pada kehidupan sosial di Seriale secara terbuka dan umum Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktika (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 9 Muhamad Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),

14 Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini berusaha memahami makna 10 dari tradisi Mantunu Tedong dalam masyarakat Lembang Seriale. Cara penulis mengumpulkan data adalah melalui dokumentasi, observasi, partisipasi dan wawancara mendalam dengan informan kunci 11 (terutama tokoh adat dan warga Lembang Seriale). Pendekatan kualitatif lebih lanjut juga, sangat tepat digunakan karena mempunyai kekuatan pada mampu memiliki beragam sumber data mengingat para peneliti kualitatif biasanya memilih mengumpulkan data dari beragam sumber seperti wawancara dengan warga Lembang Seriale, melakukan pengamatan upacara Mantunu Tedong, dan dokumentasi berupa gambar, literature, dan video sebagai data sekunder, 12 yang dapat menunjang dalam penelitian ini terutama Mantunu Tedong dan Lembang Seriale. 1.6 Garis Besar Penulisan Penulisan ini mengikuti artikel jurnal ilmiah. Pendahuluan meliputi penjelasan latar belakang masalah secara umum, metode penelitian tujuan penulisan, dan tesis utama atau thesis statement. Isi artikel terdiri dari: Bagian pertama berisi latar belakang masalah Mantunu Tedong, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bagian kedua berisi tentang teori yang berkaitan dengan upacara kematian. Pada bagian ketiga berisi tentang penyajian data lapangan berdasarkan hasil penelitian. Selanjutnya bagian keempat berisi Analisa terhadap data lapangan sesuai dengan teori yang digunakan. Pada bagian terakhir dari tulisan ini merupakan kesimpulan secara keseluruhan dari penelitian ini. 2. Landasan Teori Pada bagian ini terdiri dari upacara kematian secara umum, upacara kematian dalam masyarakat Toraja atau disebut Rambu Solo, yang di dalamnya membahas tentang hewan kurban kerbau sebagai hewan yang digunakan untuk melakukan prosesi Mantunu Tedong, 10 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Ibid., Ibid.,

15 beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya, yang dapat menjadi dasar memaknai prosesi Mantunu Tedong dalam upacara kematian. 2.2 Upacara Kematian Secara Umum Seperti dikutip oleh Koentjaraningrat, Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain, ialah kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia mahluk halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain dari pada upacara inisiasi. Dengan konsep ini Hertz menunjukkan bagaimana dalam rangka upacara kematian dari banyak suku-bangsa di dunia ini ada lima anggapan yang juga ada di belakang upacara inisasi pada umumnya. Kelima anggapan itu adalah: 13 Pertama, anggapan bahwa peralihan dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat. Kedua anggapan bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu, dianggap mempunyai sifat keramat (sacred). Ketiga anggapan bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke suatu kedudukan sosial yang lain itu tak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian masa antara yang sama; Keempat, anggapan bahwa upacara inisiasi harus mempunyai tiga tahapan, yaitu tahap yang melepaskan si obyek dari hubungannya dengan masyarakatnya yang lama, tingkat yang mempersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru. Kelima, anggapan bahwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si obyek merupakan seorang mahluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib. 1982), Seperti dikutip Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 6

16 2.2 Ritual pengorbanan Kata pengorbanan berasal dari bahasa latin sacrificium yang terambil dari sacer, yakni kudus dan facere yakni untuk membuat kata ini menjadi dasar secara etimologis dalam bahasa Inggris sacrifice yakni artinya pengorbanan. 14 Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pengorbanan berasal dari kata dasar korban yang berarti: (1) sebuah pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan; (2) orang, binatang, dsb yang menjadi menderita akibat suatu kejadian atau peristiwa; (3) binatang yang disembelih untuk dipersembahkan sebagai wujud mendekatkan diri pada Tuhan. 15 Lebih lanjut Jeffrey Carter dalam bukunya Understanding Religious Sacrifice, menjelaskan bahwa pengorbanan merupakan elemen terpenting dari sebuah kepercayaan. Jadi, pengorbanan merupakan sebuah proses, cara, atau tindakan memberikan korban. 16 Secara sosiologis ritual pengorbanan merupakan sebuah tindakan dalam masyarakat yang dipenuhi dengan simbol-simbol. Terkait dengan itu ritual pengorbanan dipahami secara simbolis untuk tujuan tertentu sehingga Victor Turner mengartikan simbol sebagai sesuatu yang memiliki banyak makna, baik itu makna sosial (ideologi, moral, normatif) maupun individual (emosi, panca indra, keinginan). 17 Secara antropologis, ritual pegorbanan merupakan simbol kebersamaan dalam sebuah masyarakat. Bagi individu yang memakan korban dalam ritual pengorbanan tersebut, dinyatakan sebagai bagian dari masyarakat tersebut. 18 Pengorbanan yang dilakukan di Afrika merupakan sebuah korban bagi raja dan dewa-dewa. Korban yang di berikan selalu berupa hewan, hal penting dari pengorbanan tersebut adalah sebagai jalan untuk manusia dan dewadewa bertemu serta komunikasi satu dengan lain. 19 Jan Van Baal menjelaskan pengertian pengorbanan melalui tiga kata yang berbeda namun memiliki arti yang hampir sama yakni: Offering artinya sesaji/persembahan, Sacrifice artinya pengorbanan, dan Gift yang artinya hadiah/pemberian. Pemberian merupakan kata kunci dari kegiatan yang lainnya baik itu 14 Jeffrey Carter, Understanding Religious Sacrifice Kamus besar Bahasa Indonesia, Carter, Understanding Religious Sacrifice Victor Turner, Sacrifice as Quintessential Process: Prophylaxis or Abandonment?, dalam Jeffrey Carter Understanding..., Nancy Jay, Throuhout Your Generations Forever: Sacrifice, Religion, and Paternity, dalam Jeffrey Carter Understanding..., , Luc De Heucsch, Sacrifice in Africa: A Structualist Approach, dalam Jeffrey Carter Understanding 7

17 persembahan maupun pengorbanan. Kegiatan persembahan dan pengorbanan tidak dapat dilakukan tanpa adanya pemberian. 20 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritual pengorbanan juga merupakan bentuk pemberian hadiah untuk menghormati para leluhur atau Tuhan yang disembah. Secara teologis ritual pengorbanan merupakan hal yang penting bagi sebuah agama. Dalam setiap ritual pengorbanan, dilakukan proses pembunuhan terhadap hewan yang akan di korbankan, hewan yang terbaik dari alam itulah yang dipilih. 21 Daly mengemukakan pengertian pengorbanan di kalangan orang kuno Yahudi Kristen, yakni terdapat perbedaan makna dari setiap pengorbanan yang diberikan. Menurut Daly, ritual pengorbanan yang dilakukan adalah sebuah bentuk penyerahan diri dan tanda ketaatan cinta. Pada dasarnya sebuah ritual pengorbanan selalu merupakan pemberian persembahan kepada TUHAN yang memiliki status yang lebih tinggi dari manusia. 22 Terdapat lima teori untuk memahami ibadah korban dalam agama Israel. Kelima teori itu antara lain: teori pemberian (gift theory), teori persekutuan-sakramen (sacramentalcommunion theory), teori penghormatan (homage theory), teori simbol (symbol-theory) dan teori penebusan (the piacular theory). Berikut ini isi ringkas dari tiap teori itu sebagaimana dijelaskan Luis Berkhof The gift theory melihat korban sebagai hadiah-hadiah atau pemberian kepada dewa untuk memelihara hubungan yang baik dan mendapat perlindungan. 2. The sacramental-communion theory. Latar belakang teori ini adalah pemujaan terhadap totem. Warga komunitas ibadah bertemu pada waktu untuk menyembelih binatang totem untuk dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka dengan ilahi sekaligus menerima khasiat ilahi dari totem itu. 3. The homage-theory. Korban sejatinya adalah ungkapan penghormatan dan ketergantungan. Manusia mendekatkan diri kepada TUHAN bukan karena perasaan bersalah melainkan karena merasa bergantung pada dan menunjukkan 20 Jan Van Baal, Offering Sacrifice and Gift, dalam Jeffrey Carter Understanding..., Jonathan Z Smith, The Domestocation of Sacrifice, dalam Jeffrey Carter Understanding..., Robert J. Daly, The Power of Sacrifice in Ancient Judaism and Christianity, dalam Jeffrey Carter Understanding..., Luis Berkhof, Systematic Theology (London: The Banner Of Truth Trust, 1941),

18 hormat kepada TUHAN. 4. The symbol-theory. Di sini korban dipahami sebagai simbol pemulihan relasi dengan TUHAN yang terganggu. Kehadiran darah binatang korban yang merupakan simbol kehidupan adalah untuk memulihkan kembali relasi itu. 5. The piacular theory. Ritus korban dipahami sebagai sebuah akta penebusan. Binatang kurban yang disembelih berperan sebagai penebusan yang menggantikan atau menutupi dosa dari pemberi korban. Pemaknaan ini mengakomodir semua praktek korban baik yang ditemukan dalam ibadah Israel maupun ibadah di berbagai agama manusia. 3. HASIL PENELITIAN Pada bagian ini akan dijelaskan tentang gambaran umum tempat penelitian, pandangan para tokoh adat atau budayawan tentang prosesi Mantunu Tedong, dan pandangan warga masyarakat khususnya di Lembang Seriale. 3.1 Gambaran umum tempat penelitian Lembang seriale merupakan gabungan dari beberapa desa yang terletak di kecamatan Tikala kabupaten Toraja Utara. Toraja Utara merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibukotanya adalah Rantepao. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja. 24 Kabupaten Toraja Utara merupakan salah satu Kabupaten dari 24 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang dibentuk sesuai dengan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang letaknya berada di sebelah utara Kabupaten dan terletak antara 2o35 LS 3o15 LS dan 119o 120 Bujur Timur dengan Luas wilayah 1.151,47 km2 terdiri dari Hutan Lindung Ha, Hutan Rakyat Ha, ,93 Ha, Kebun 14,620 Ha. Permukiman Ha dan berada pada ketinggian Meter diatas permukaan air laut. Jumlah jiwa yang tinggal di kecamatan Tikala berjumlah 10, jiwa diakses 17 september diakses 17 september

19 3.2 Pandangan Para Tokoh Adat/ Budayawan Tentang Mantunu Tedong Pandangan pertama; Tradisi Mantunu Tedong merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi ini dapat dilakukan oleh orang Toraja yang telah dewasa dan mampu memiliki penghasilan sendiri. Pengaturannya disesuaikan dengan adat istiadat yang telah ditetapkan. Selain itu, kemampuan dalam memenuhi hewan kerbau sangat disesuaikan dengan cara pembagian kerbau (dalam bentuk daging) berdasarkan kemampuan pelaksana prosesi tersebut. Alasannya, karena hal ini merujuk pada cara mempertahankan status sosialnya dalam pemahaman orang Toraja secara langsung. 26 Mantunu Tedong telah lazim dilakukan pada prosesi kematian orang Toraja pada umumnya apabila ada kerabat yang meninggal dunia (acara tersebut biasanya disebut dengan upacara Rambu Solo ). Sejak masih remaja saya menyaksikan upacara tersebut tetapi belum pernah menjadi pelaku langsung (mantunu tedong) 27 tujuan upacara ini adalah bentuk penghormatan kepada kerabat yang meninggal dan sekaligus merupakan wujud kasih sayang. Secara spesifik secara positif tradisi ini kemudian berguna mempererat hubungan kekeluargaan sehingga dalam pelaksanaanya tradisi ini mengharuskan peran dari seluruh anak cucu dan kerabat dari orang yang meninggal. Sedang sisi negatifnya adalah menjadi beban keluarga (hutang). Oleh karena itu, prosesi Mantunu Tedong sebaiknya dilakukan sebijaksana mungkin tanpa membebani keluarga. Jika dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya prosesi Mantunu Tedong masih dilakukan dengan cukup bijaksana (tidak berlebihan), namun sekarang semata-mata mengejar gengsi (prestise). Apalagi, bagi kebanyakan orang beranggapan Mantunu Tedong merupakan suatu keharusan dalam tradisi masyarakat Toraja. Saya kurang memahami apa arti sebenarnya hewan kerbau bagi masyarakat toraja 28 tetapi secara umum terdapat dua pemahaman inti yakni yang pertama sebagai tolok ukur status sosial seseorang. Kedua upacara ini merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang dan telah dilakukan bahkan diikuti dari orang tua dahulu tanpa dengan paksaan dalam melakukan tradisi ini. Mantunu Tedong itu dilakukan pada saat upacara Rambu Solo, 26 Budayawan Toraja (T1) setempat. Agustus, Budayawan Toraja (T1) setempat. Agustus, Budayawan Toraja (T1) setempat. Agustus,

20 (upacara kematian) yang mana hewan kerbau dipotong dan disembelih berdasarkan upacara adat kematian tersebut dan prosesi Mantunu Tedong harus mengikuti aluk 29 Tujuannya sebagai ungkapan terima kasih kepada orang tua atau keluarga, dalam membesarkan, merawat kita dari kecil hingga dewasa. Berdasarkan arti dan tujuan tersebut maka dibutuhkan peran dari semua keluarga, keluarga dekat, kerabat dan masyarakat dalam lingkungan itu beserta pemerintah setempat berperan penting dalam tradisi ini. Saya mengikuti upacara ini sejak memiliki pendapatan atau penghasilan sendiri 30 Adapun Sisi Positif, dari dilakukannya tradisi ini adalah supaya di dalam lingkungan tidak diabaikan, dikucilkan tapi bisa berperan dalam masyarakat sesuai dengan fungsinya dan sesuai dengan posisi keluarga dalam masyarakat adat Toraja. Sedangkan sisi negatifnya adalah ketika keluarga tersebut memaksakan diri padahal kemampuan ekonomi tidak memadai. Alasannya karena dalam hal ini setiap pemotongan kerbau tidak ada paksaan, harusnya dengan sukarela, dan dengan senang hati. Oleh karena itu, Mantunu Tedong sebaiknya dilakukan seperti yang dilakukan nenek moyang orang Toraja dahulu. Namun karena perkembangan zaman, mulai meningkat, (dirapa i) sapu randanan 24 kerbau (sapu randanan) karena sekarang ekonomi masyrakat Toraja semakin meningkat, maju (mapan) pemotongan kerbau sudah bisa melebihi dari 24 kerbau. Selain itu pokok penting yang perlu diingat bahwa tradisi ini sebenarnya dilakukan tanpa paksaan. 31 Perbedaan antara dahulu dan sekarang dalam melakukan prosesi Mantunu Tedong adalah kalau dahulu sapu randanan hanya sebatas 24 kerbau, sekarang sudah melebihi dari 24 kerbau, 50 sampai ratusan kerbau. Akan tetapi masih Dilakukan sesuai dengan adat nenek moyang orang Toraja. Namun perbedaan dan perkembangannya di zaman sekarang misalnya perubahan dalam hal sapu randanan (jumlah kerbau yang disembelih) pada zaman dahulu hanya 24. Berbeda dengan saat ini yang mana telah meningkat sampai dapat mencapai 50 kerbau bahkan ratusan kerbau. 32 Arti dari hewan kerbau mengarah pada beberapa tingkatan atau posisi orang yang meninggal di dalam masyarakat Toraja setempat. Misalnya dalam suatu prosesi Rambu Solo ketika hanya memotong satu kerbau seperti yang terjadi pada konteks pedesaan maka berarti memiliki strata yang lebih rendah. Sedangkan jika prosesi yang dilakukan di kota, dan tidak 29 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus,

21 menentukan berapa kerbau yang harus di sembelih hal ini cenderung ingin memperlihatkan strata sosial yang tinggi dalam masyarakat. Jadi kerbau dapat menentukan posisi almarhum dalam masyarakat. Dengan melihat berapa banyak jumlah kerbau yang telah disembelih. 33 Selain itu secara khusus harta orang Toraja selalu dinilai dengan kerbau. Karena menurut orang Toraja pada zaman dahulu, kerbau menjadi ukuran terutama nilai satuan dalam menilai harta kekayaan seseorang beserta keluarganya di Toraja. Atau hal ini sering disebut sebagai rapasan sundun, sapu randanan (hewan berkaki 4 harus ada, rusa, kuda, kerbau, babi 24 kerbau) jika 24 harus ada bonga (jenis kerbau). Sebagai cara menilai kekayaan seseorang di tanah Toraja dilihat dari adat istiadatnya. Lebih lanjut, Prosesi Mantunu Tedong dilakukang sejak nenek moyang orang Toraja, turun temurun sampai pada generasi sekarang ini. Pada perkembangannya saat ini yang paling berperan penting dalam pelaksanaan atau terwujudnya prosesi Mantunu Tedong adalah kontribusi dari para perantau yang telah sukses sehingga prosesi ini terus dilakukan tanpa kehilangan maknanya dan menyesuaikan dengan perkembangannya. 34 Makna utama dari tradisi ini dilihat dari pemahamannya adalah sebagai bentuk penghormatan, terimah kasih, kepada orang tua. Selain itu arti tradisi ini khususnya untuk kepercayaan suku orang Toraja, Aluk Todolo adalah sebagai jembatan untuk biasa ke puya (surga bagi kepercayaan Aluk Todolo). 35 Oleh karena itu, tradisi ini perlu dilestarikan oleh seluruh warga masyarakat khususnya di Toraja utara. Sebab merupakan warisan leluhur sehingga memenuhi kepuasan batin bagi yang melaksanakan dan yang mengikuti. Akan tetapi dalam pelaksanaannya oleh pihak keluarga yang berduka perlu memperhatikan kondisi ekonomi mereka, dan perlu dilakukan dengan iklas senang hati dan tanpa paksaan dari pihak siapapun. Karena hal ini yang paling utama dalam memahami makna ungkapan syukur dan terima kasih yang mana tujuannya agar dapat mempererat hubungan kekerabatan dan penerimaan dari masyarakat. 36 Peran saya dalam tradisi ini adalah Sebagai orang yang memberikan perijinan, dalam setiap acara yang dilakukan karena hal ini menjadi tugas dan peran sebagai seorang kepala lembang yang berada di bawah pimpinan kecamatan Tikala 37 kesulitan utama dalam 33 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T1) setempat. Agustus,

22 melakukan Mantunu Tedong ketika dalam suatu upacara Rambu Solo telah di tentukan rapasan (telah menentukan berapa kerbau yang harus di potong) namun setelah acara Rambu Solo akan dimulai jumlah kerbau yang telah ditentukan belum mencukupi. Misalnya juga dalam hal sapu randanan (memotong kerbau di atas 24 ekor) bukan hanya jumlah kerbau yang harus diatas 24 ekor namun semua jenis kerbau yang ada dalam aturan ini harus ada, walaupun jumlah kerbau 100 ekor namun tidak memenuhi syarat jenis kerbau yang diperlukan tetap tidak dianggap sebagai sapu randanan. 38 Pada saat mengikuti prosesi saya bertugas untuk membagikan kerbau yang telah disembelih 39, jadi keluarga yang berduka menyerahkan sepenuhnya seluruh kerbau yang telah disembelih kepada tokoh adat untuk mengatur kepada siapa saja daging kerbau yang telah disembelih dibagikan. Manfaat dari prosesi ini adalah untuk mempererat kekerabatan diantara keluarga besar. Sedangkan untuk orang banyak adalah mendapat bagian daging kerbau yang disembelih untuk dimakan. Daging ini juga dibagi secara khusus karena ada terdapat pendelegasian tugas. Artinya bahwa jika keluarga yang meninggal memiliki kerabat di desa yang berbeda maka hak untuk membagikan hewan sembelihan tersebut di berikan tugas kepada tokoh adat desa tersebut untuk dibagikan kepada orang-orang yang menurutnya tepat sesuai dengan kewenangannya Pandangan Warga Masyarakat Lembang Seriale Tradisi ini berasal dari nenek moyang orang Toraja. Pada awalnya tidak semua orang dapat memotong kerbau sekalipun orang tua karena masalah strata sosial dan terbatasnya biaya yang ada, namun karena perkembangan zaman sekarang ini orang Toraja seperti orang-orang pada umumnya bisa bekerja dan menghasilkan uang, selain itu juga sudah banyak yang keluar untuk mencari pekerjaan (merantau) dan dapat menghasilkan pendapatan. Mantunu Tedong ialah tradisi yang lazim dilakukan pada prosesi kematian orang Toraja pada umumnya apabila ada kerabat yang meninggal dunia (acara tersebut lasim disebut Rambu Solo ) Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, Wawancara dengan Warga masyarakat (W. M 1) Agustus,

23 Kesan dari dilakukannya tradisi ini terbagi dalam dua bagian yakni pertama secara positif sebagai sarana mempererat hubungan kekerabatan dalam keluarga besar oleh karena itu jika prosesi ini dilakukan hal ini berfungsi untuk mendapatkan kepuasan batin sehingga setiap orang dapat merasa senangan, bahagia ketika prosesi acara telah selesai dengan baik, prosesi ini juga menjadi tempat dimana keluarga besar bisa bertemu satu sama lain. 42 Kedua secara negatif meninggalkan beban hutang dan cenderung bersifat memaksakan keluarga dalam melakukan tradisi ini karena gengsi masalah status sosial dimasyarakat. Oleh karena itu, prosesi Mantunu Tedong sebaiknya dilakukan sebijaksana mungkin tanpa membebani keluarga. Karena pada waktu-waktu sebelumnya prosesi Mantunu Tedong masih dilakukan dengan cukup bijaksana (tidak berlebihan), namun sekarang sematamata mengejar gengsi (prestise). Apalgi kebanyakan orang beranggapan Mantunu Tedong merupakan suatu keharusan dalam tradisi masyarakat Toraja untuk memperkuat gengsi tersebut. 43 Kerbau kurang dipahami artinya dilihat dari adat istiadatnya namun berdasarkan gaya hidup saat ini maka hewan kerbau sudah menjadi tolok ukur yang menggambarkan status sosial seseorang dan keluarga besarnya dimasyarakat Toraja. Secara langsung tradisi ini kemudian memiliki makna yang baik bagi hubungan kekerabatan dan menjadi jati diri warga masyarakat di Toraja. Namun jika dilaksanakan dengan paksaan dan gengsi akan cenderung meninggalkan hutang, dan dapat berakibat buruk bagi keluarga yang melaksanakan prosesi ini tanpa melihat seberapa besar penghasilannya guna menyanggupi prosesi adat ini. 44 Lebih lanjut nilai makna dari Tedong menurut falsafah kehidupan masyarakat Toraja, adalah kerbau (Tedong) ternak yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat mengingat fungsi dan perannya. Masyarakat Toraja menyebutnya pokok harta benda (garonto eanan). Hal ini sangat nyata ketika berdiri di depan rumah adat (tongkonan), maka gambar kepala kerbau (kabongo ) dan tanduk-tanduk kerbau langsung menantang. Kepala kerbau ini menjadi lambang kehidupan kerja (kuat untuk membajak sawah dan berantam) dan kemakmuran orang Toraja (punya banyak kerbau berarti kaya), di samping sebagai kurban utama baik pada upacara ritual Rambu Tuka maupun pada upacara ritual 42 Wawancara dengan Warga masyarakat (W. M 2) Agustus, Wawancara dengan Warga masyarakat (W. M 2) Agustus, Wawancara dengan Warga masyarakat (W. M 1) Agustus,

24 Toraja 45 Nilai atau makna Tedong secara umum dalam masyarakat Toraja, mempunyai tiga Rambu solo. Kedua jenis upacara ini sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan orang nilai makna utama, yakni: Nilai filosofi Kerbau sebagai kurban persembahan pada Upacara Rambu Tuka dan sebagai lambang kehidupan kerja masyarakat di seantero Tana Toraja. 2. Nilai material Kerbau sebagai kurban persembahan pada Upacara Rambu Solo, termasuk alat satuan perhitungan nilai Tana dan pembayaran Kapa Rampasan Kapa. 3. Nilai mana Kerbau merupakan satuan penentuan nilai dalam pembagian warisan (mana ) dan selalu dihubungkan dengan jumlah dan nilai kerbau yang dikurbankan seseorang dalam upacara pemakaman (pangangkaran = pa rinding) seseorang yang sanggup memotong tedong balean atau tedong bonga saleko (pangangkaran = pangrinding) yang bernilai tinggi, dia akan mendapatkan warisan yang banyak. Indikator upacara besar, khususnya untuk menghadapi upacara Rambu Solo pada upacara pemakaman tertentu, jumlah kerbau yang dipotong turut menentukan kualitas dan besarnya upacara, selain tingkat upacara dan ukuran prestise seseorang dalam masyarakat. Jadi kerbau pada upacara pemakaman berfungsi sebagai: 1) Penentu tingkat upacara. 2) Penilaian status sosial sang mendiang dan turunannya. 3). Dasar perhitungan dan penilaian pembagian warisan sang mendiang diantara pewaris-pewarisnya ANALISA Tradisi Mantunu Tedong merupakan warisan budaya yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Toraja. Mantunu Tedong merupakan tradisi memotong kerbau dalam upacara kematian. Orang Toraja juga biasa menyebutnya dengan Rambu Solo. Hal ini telah berlangsung sejak lama dan sudah dikenal dari nenek moyang orang Toraja Bararuallo, Kebudayaan Toraja, 113. Bararuallo, Kebudayaan Toraja, Bararuallo, Kebudayaan Toraja

25 Menurut Jeffrey Carter banyak hal mengenai pengorbanan yang dilakukan sebagai elemen terpenting dari sebuah kepercayaan. Sebuah pemberian dimaksudkan untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan. Karena orang, binatang, dan sebagainya dapat menderita akibat suatu kejadian atau peristiwa sehingga binatang yang disembelih untuk dipersembahkan dianggap sebagai wujud mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan demikian pengorbanan merupakan sebuah proses, cara, atau tindakan memberikan korban untuk menghindari bahaya dan mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama. Seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat Toraja dalam upacara Rambu Solo terdapat tradisi Mantunu Tedong, yang mana terdapat tindakan memberikan korban atau Tedong (kerbau), dari keluarga untuk orang yang telah meninggal. Sebagai wujud kasih sayang, ungkapan terima kasih, serta penghormatan kepada orang yang telah meninggal dan sekaligus bentuk mendekatkan diri antara satu sama lain di dalam keluarga besar atau disingkat bentuk keakraban. Alasan mendasar mengapa orang Toraja harus melakukan Mantunu Tedong (pemotongan kerbau) dalam upacara Rambu Solo, karena orang Toraja begitu menghargai arwah para leluhur atau mereka yang telah lebih dahulu meninggal. Rambu Solo juga secara khusus oleh Tangdilintin, dimaknai sebagai upacara kematian atau pemakaman manusia. Korban persembahan berupa hewan yang dimaksud adalah pemotongan kerbau, dan yang dikenal dengan istilah Mantunu Tedong. kerbau merupakan simbol budaya yang menunjukkan identitas masyarakat Toraja termasuk Lembang Seriale karena orang-orang Toraja memahami bahwa kekayaan diukur dari seberapa banyak kerbau yang disembelih dalam upacara kematian. Karena sebenarnya kerbau adalah patokan penilaian harga sesuatu jasa atau barang tertentu yang tidak hanya dikonsumsi. Oleh karena itu, secara sosiologis hal ini dapat dipandang sebagai ritual pengorbanan yang menunjukkan tindakan dalam masyarakat yang dipenuhi dengan simbolsimbol. Lebih lanjut Victor Turner mengartikan simbol sebagai sesuatu yang memiliki banyak makna, baik itu makna sosial (ideologi, moral, normatif) maupun individual (emosi, panca indra, keinginan) sehingga kerbau memiliki peran penting dalam memberikan makna simbolis sebagai tanda relasi yang terjalin dengan baik antara yang meninggal dengan orangorang yang masih hidup. Terdapat sisi positif dan negatif dilakukannya tradisi Mantunu Tedong. Secara positif tradisi ini sebagai sarana mempererat hubungan kekeluargaan baik dalam keluarga yang melakukan Mantunu Tedong maupun masyarakat sekitar yang turut hadir sebagai solidaritas sosial terhadap orang yang meninggal. Sedangkan secara negatif tradisi yang dilakukan 16

26 seperti yang ditemukan cenderung memperlihatkan prestise (gengsi) 48 antara keluarga yang satu dengan yang lainnya ketika melakukan tradisi ini. Karena hal ini terkait langsung dengan status sosial keluarga dimata masyarakat Toraja. Dilihat dari dua hal ini maka secara langsung dapat dipahami bahwa Mantunu Tedong berguna dalam relasi sosial diantara keluarga besar dan di lingkungan masyarakat secara luas. Namun juga merugikan jika cenderung dilakukan dengan mementingkan kedudukan dalam masyarakat 49 atau prestise (gengsi) sebab yang terjadi setelah dilakukannya upacara ini terdapat beban hutang yang harus dibayar oleh pihak keluarga, yang diturunkan juga secara turun temurun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya ritual pengorbanan Mantunu Tedong merupakan bentuk ekspresi penghargaan dan kasih sayang terhadap leluhur atau orang tua yang telah meninggal karena terdapat nilai, dan makna. Karena menurut Herzt nilai dan makna berfungsi dalam mempererat suatu hubungan atau relasi dalam masyarakat. 50 Selain itu ritual pengorbanan semacam ini jika dilakukan dengan hanya mementingkan prestise (gengsi) maka tujuan dilakukannya prosesi Mantunu Tedong tidak sampai pada nilai-nilai yang menunjukkan kearifan. Karena yang terjadi adalah persaingan yang berakibat pada kerugian bagi mereka yang hanya mementingkan jumlah kerbau yang disembelih tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga. Secara teologis dapat dipahami bahwa hewan kerbau dapat dipandang sebagai korban syukur kepada Tuhan, karena dalam prosesnya sebelum memasuki prosesi Mantunu Tedong terlebih dahulu dilakukan peribadahan. Hal ini dapat dipandang sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Bandingkan dalam gambaran cerita-cerita alkitab yang terdapat dalam perjanjian lama peribadahan dan korban persembahan Imamat 1-7 sedangkan di perjanjian baru dapat dilihat dalam Ibrani 11: 4. Karena kerbau yang digunakan sebagai hewan korban dipahami sebagai sebuah akta penebusan. 51 Selain itu, tradisi Mantunu Tedong secara langsung berfungsi sebagai sarana untuk 48 Wawancara dengan budayawan dan masyarakat Lembang Seriale. Agustus Bararuallo, Kebudayaan Toraja ), Herzt dalam Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, Bandingkan Luis Berkhof, Systematic Theology, (London: The Banner Of Truth Trust, 1941)

27 mempersatukan kembali keluarga yang terpisah bahkan warga masyarakat melalui penyembelihan kerbau yang dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka dengan orang yang meninggal. 52 Berdasarkan hal tersebut hal ini secara langsung memberikan pengajaran tentang berdamai dengan sesama dalam lingkup keluarga maupun masyarakat dalam relasi yang lebih luas. Selain itu berdasarkan teori-teori tentang pengorbanan baik Carter, Viktor Turner, Daly dan sebagainya cenderung memahami bahwa ritual pengorbanan yang dilakukan hanya lebih kepada bentuk penghormatan terhadap para dewa-dewa, Tuhan, para Leluhur ataupun dianggap sebagai pemberian hadiah, dan para ahli ini tidak melihat pada dampak dari dilakukannya upacara ini dan juga mempertimbangkan motifnya dari para pelaksana tradisi atau ritual yang dilakukan. Padahal prosesi mantunu tedong ini telah memberikan pemahaman yang menarik bahwa selain upacara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang telah meninggal, seperti yang diungkapkan juga oleh para ahli-ahli tersebut, namun disisi yang lain prosesi adat ini juga memberikan gambaran tentang adanya persaingan atau prestise sebagai motifnya sehingga menjadi dasar yang kuat selain bentuk-bentuk penghormatan yang dilakukan guna menunjang tetap dilakukannya tradisi ini. Khususnya dalam masyarakat Toraja dengan ritual mantunu tedong. Oleh karena itu ritual-ritual dalam konteks kebudayaan tertentu dengan mempertimbangkan motifnya maka dapat dikatakan bahwa seharusnya dapat dilihat dari dua sisi ini sehingga dapat memahami suatu ritual yang masih dilestarikan pada suatu masyarakat secara utuh dengan mengikuti perkembangannya hingga saat ini. 5. PENUTUP Pada bagian ini berisi tentang kesimpulan dan Saran. 5.1 Kesimpulan Kebudayaan yang terus dilestarikan menjadi kekayaan dan ciri khas dari setiap daerah termasuk di Toraja. Mantunu tedong merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan dari para leluhur dan dilanjutkan oleh warga masyarakat Lembang Seriale. Makna dari prosesi tradisi Mantunu Tedong adalah sebagai ungkapan kasih sayang, penghormatan, ungkapan terima kasih kepada orang yang telah meninggal. Dalam pelaksanaannya berdasarkan 52 Berkhof, Systematic Theology, (London: The Banner Of Truth Trust, 1941)

28 perkembangan saat ini ternyata terdapat prestise karena menyangkut status sosial yang ingin ditonjolkan sehingga dapat berakibat buruk bagi keluarga yang memaksakan kehendak untuk mengusahakan kerbau diluar kemampuan ekonomi keluarga besar. Karena dapat menghasilkan hutang yang terwariskan turun-temurun. 5.2 Saran 1. Bagi para Tokoh adat / Budayawan Setempat Agar dapat selalu mengingatkan, mengajarrkan dan menjaga melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam tradisi Mantunu Tedong. 2. Bagi warga masyarakat Lembang Seriale Agar tetap melestarikan budaya peninggalan leluhur berdasarkan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya. Agar dalam melaksanakan tradisi Mantunu Tedong perlu mempertimbangkan secara baik kemampuan ekonomi keluarga agar tidak berakibat pada hutang yang terbawa hingga dapat turun-temurun. 3. Bagi gereja Agar dapat belajar dan menggali lebih dalam makna teologis yang terkandung di dalam tradisi ini guna membangun suatu makna teologis yang relevan bagi warga gereja yang ada di Toraja khususnya Lembang Seriale. 19

29 DAFTAR PUSTAKA BUKU Adams, J. D. Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat Di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Bararuallo, F. Kebudayaan Toraja. Yogyakarta: Percetakan Pohon Cahaya, Bell, C. Ritual Theory, Ritual Practice, New York: Oxford University Press, Berkhof, L. Systematic Theology, London: The Banner Of Truth Trust, Creswell, W. J. Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Carter, J. Understanding Religious Sacrifice, London: Continuum, Dhavamony, M. Fenomenologi Agama.Yogyakarta: Kanisius, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Upacara tradisional (upacara kematian) Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta, Geertz, C. Kebudayaan Dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, Ghazali, M. A. Antropologi Agama Upaya Memahami Keberagaman Kepercayaan, Keyakinan, Dan Agama. Bandung: Alfabeta, (2011). Hadiwijono, H. Religi Suku Murba di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Hendropuspito, D. Sosiologi Sistematika, Yogyakarta: Kanisius, Kobong, T. Injil dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia Press, PEMDA Toraja. Toraya Ma kombongan, Yogyakarta: Penerbit Sopai, Sarira, J. A. Aluk Rambu solo dan Persepsi orang Kristen terhadap Rambu solo. Toraja: PUSBANG Gereja Toraja, Saroengallo, T. Ayah anak beda warna!. Yogyakarta: Tembi Rumah Budaya, Suharsimi, A. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktika Jakarta: Bina Aksara, Nasir, M. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, Van Baal, J. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jakarta: Gramedia, WEBSITE diakses 17 september

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja Upacara pemakaman yang dilangsungkan saat matahari tergelincir ke barat. Jenazah dimakamkan di gua atau rongga di puncak tebing batu. Sebagai tanda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Budaya merupakan identitas dari komunitas suatu daerah yang dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan dan kematian merupakan dua hal yang harus dihadapi oleh setiap manusia termasuk orang Toraja, karena ini merupakan hukum kehidupan menurut adat Toraja. Sebagai

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano Menurut Hertz, kematian selalu dipandang sebagai suatu proses peralihan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK KAUNAN YANG DIANGKAT OLEH TOPARENGNGE (KAUM BANGSAWAN) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT TONDON DI KABUPATEN TORAJA UTARA

KEDUDUKAN ANAK KAUNAN YANG DIANGKAT OLEH TOPARENGNGE (KAUM BANGSAWAN) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT TONDON DI KABUPATEN TORAJA UTARA KEDUDUKAN ANAK KAUNAN YANG DIANGKAT OLEH TOPARENGNGE (KAUM BANGSAWAN) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT TONDON DI KABUPATEN TORAJA UTARA Oktavianus Patiung Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi lokasi penelitian ini adalah Tana Toraja. Daerah ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi lokasi penelitian ini adalah Tana Toraja. Daerah ini adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki potensi budaya yang beraneka ragam, dan dimiliki oleh masing-masing daerah di dalamnya. Salah satu daerah yang

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang BAB IV TINJAUAN KRITIS Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya kita dapat melihat bahwa manusia selalu menyatu dengan kebudayaannya dan budaya itu pun menyatu dalam diri manusia. Karena itu budaya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki aneka ragam budaya. Budaya pada dasarnya tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan individu yang ada dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

Pdt. Dr. Retnowati, M. Si Pdt. Totok S. Wiryasaputra, Th.M

Pdt. Dr. Retnowati, M. Si Pdt. Totok S. Wiryasaputra, Th.M RAMBU SOLO SEBAGAI TINDAKAN PASTORAL TESIS Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains (M.Si) OLEH: Yekhonya F.T. Timbang 75 2011 033 Pembimbing:

Lebih terperinci

Alat Musik Dalam Adat dan Gereja. (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S

Alat Musik Dalam Adat dan Gereja. (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S Diajukan Kepada Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi: Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sebagian masyarakat memandang bahwa perjudian sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di

Lebih terperinci

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS Kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Siapa saja bisa mengalami hal itu, baik tua atau pun muda, miskin atau pun kaya, baik perempuan atau

Lebih terperinci

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, masyarakat adalah pencipta sekaligus pendukung kebudayaan. Dengan demikian tidak

Lebih terperinci

Renungan Harian Kampus

Renungan Harian Kampus Renungan Harian Kampus (Pandangan Mahasiswa Fakultas Teologi UKSW tentang Renungan Harian Kampus Tahun 2012 sebagai Sarana Pengembangan Spiritualitas) Oleh, IZAAC ALFONS 712009024 TUGAS AKHIR Dilanjutkan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TORAJA RANTAU ATAS UPACARA RAMBU SOLO

PERSEPSI MASYARAKAT TORAJA RANTAU ATAS UPACARA RAMBU SOLO PERSEPSI MASYARAKAT TORAJA RANTAU ATAS UPACARA RAMBU SOLO Dina Toding, Indah Rizki, Mic Finanto Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan dari gagasan simbol-simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan dari gagasan simbol-simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberagaman suku dan budaya yang ada di Indonesia menjadi salah satu ciri khas masyarakat Indonesia. Masing-masing etnis yang ada di Indonesia tentu memiliki keunikan

Lebih terperinci

STUDI TERHADAP PEMAHAMAN JEMAAT SOYA TENTANG SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS SKRIPSI. Diajukan Kepada Fakultas Teologi. Untuk Memenuhi Persyaratan

STUDI TERHADAP PEMAHAMAN JEMAAT SOYA TENTANG SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS SKRIPSI. Diajukan Kepada Fakultas Teologi. Untuk Memenuhi Persyaratan STUDI TERHADAP PEMAHAMAN JEMAAT SOYA TENTANG SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Teologi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar SARJANA SAINS TEOLOGI (S. Si. Teol) Oleh: Telma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari yang terendah: Mate di Bortian (meninggal dalam kandungan), Mate Posoposo

BAB I PENDAHULUAN. Dari yang terendah: Mate di Bortian (meninggal dalam kandungan), Mate Posoposo BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Nama Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus BAB V KESIMPULAN 5.1. Refleksi Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus hadir dalam tiga kesempatan yang berbeda: (1) Yesus membangkitkan anak Yairus (Matius 9:18-26, Markus

Lebih terperinci

Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T E S I S

Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T E S I S Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T E S I S Diajukan Kepada Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Papua terkenal dengan pulau yang memiliki banyak suku, baik suku asli Papua maupun suku-suku yang datang dan hidup di Papua. Beberapa suku-suku asli Papua

Lebih terperinci

Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga

Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga Pemahaman Bandar dan Pengedar Narkoba Tentang Persembahan (Studi Kasus di Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat Jemaat Silo Cengkareng) Oleh, Inri Metrik Oematan 712008028 SKRIPSI Diajukan kepada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

Sesajen Dalam Kejawen (Suatu Kajian Antropologis-Teologis tentang Makna Sesaji Sedekah Bumi bagi jemaat GKJ Ngampin - Ambarawa) Oleh,

Sesajen Dalam Kejawen (Suatu Kajian Antropologis-Teologis tentang Makna Sesaji Sedekah Bumi bagi jemaat GKJ Ngampin - Ambarawa) Oleh, Sesajen Dalam Kejawen (Suatu Kajian Antropologis-Teologis tentang Makna Sesaji Sedekah Bumi bagi jemaat GKJ Ngampin - Ambarawa) Oleh, Melkisedek Rahaningmas 712008054 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Nabeel Jabbour menepis pemahaman tentang gereja hanya sebatas bangunan, gedung dan persekutuan yang institusional. Berangkat dari pengalaman hidup Nabeel Jabbour selama

Lebih terperinci

MEMAHAMI WARIWAA SEBAGAI SEBUAH PRANATA ADAT. matarumah di Negeri Kamarian, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian.

MEMAHAMI WARIWAA SEBAGAI SEBUAH PRANATA ADAT. matarumah di Negeri Kamarian, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian. MEMAHAMI WARIWAA SEBAGAI SEBUAH PRANATA ADAT (Kajian Sosio-Budaya terhadap hubungan persaudaraan kosmologis antar matarumah di Negeri Kamarian, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat) TESIS Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk cara bertindak, berbicara, berfikir, dan hidup. Daerah kebudayaan Kalimantan

Lebih terperinci

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan BAB IV Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang kebudayaan slametan mau tidak mau gereja

Lebih terperinci

Faktor Sosial dan Budaya Kaitannya Ikhwanussafa Sadidan

Faktor Sosial dan Budaya Kaitannya Ikhwanussafa Sadidan FAKTOR SOSIAL DAN BUDAYA KAITANNYA DENGAN NILAI JUAL KERBAU (KASUS DI PASAR BOLU, KABUPATEN TORAJA UTARA, PROVINSI SULAWESI SELATAN) Ikhwanussafa Sadidan*, Munandar Sulaeman, Siti Homzah Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya yang menghubungkan dan mengikat anggota masyarakat satu dengan yang lain. Tradisitradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah kebutuhan untuk makan. Dalam upayanya untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan makan. Makanan adalah sesuatu

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

PENGORBANAN ANAK DALAM II RAJA-RAJA 21:6 MENURUT PERSPEKTIF TEORI PENGORBANAN

PENGORBANAN ANAK DALAM II RAJA-RAJA 21:6 MENURUT PERSPEKTIF TEORI PENGORBANAN PENGORBANAN ANAK DALAM II RAJA-RAJA 21:6 MENURUT PERSPEKTIF TEORI PENGORBANAN TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Teologi Untuk Memenuhi Sebagian Prasyarat Memperoleh Gelar SARJANA SAINS TEOLOGI Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma kebiasaan, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua. BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Kematian bagi masyarakat Tionghoa (yang tetap berpegang pada tradisi) masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

Lebih terperinci

MAKNA MEJA GANDONG. ( Suatu Studi Antropologi-Budaya terhadap Adat Perkawinan. di Paperu Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku ) TESIS

MAKNA MEJA GANDONG. ( Suatu Studi Antropologi-Budaya terhadap Adat Perkawinan. di Paperu Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku ) TESIS MAKNA MEJA GANDONG ( Suatu Studi Antropologi-Budaya terhadap Adat Perkawinan di Paperu Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku ) TESIS Diajukan kepada: Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang 1 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Bagi orang Asia, adat merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan melekatnya identitas sebagai masyarakat suku. Hampir setiap suku mengenal adat sebagai bagian integral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan - kemampuan serta

BAB I PENDAHULUAN. kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan - kemampuan serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan - kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH KEARIFAN LOKAL TERHADAP SIKAP ETNIS NIAS DALAM MENGHADAPI PARA PENDATANG DI KOTA GUNUNGSITOLI

PENGARUH KEARIFAN LOKAL TERHADAP SIKAP ETNIS NIAS DALAM MENGHADAPI PARA PENDATANG DI KOTA GUNUNGSITOLI PENGARUH KEARIFAN LOKAL TERHADAP SIKAP ETNIS NIAS DALAM MENGHADAPI PARA PENDATANG DI KOTA GUNUNGSITOLI TESIS Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Oleh:

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA: Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ

LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA: Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA: Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ TESIS Diajukan kepada Program Pasca Sarjana Magister Sosiologi Agama untuk memperoleh gelar Magister

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peninggalan nenek moyang yang sangat berbeda latar belakangnya. Keragaman

BAB I PENDAHULUAN. peninggalan nenek moyang yang sangat berbeda latar belakangnya. Keragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gorontalo merupakan salah satu di antara ratusan suku bangsa yang ada di Nusantara, sama halnya dengan suku lainnya yang memiliki kebudayaan sebagai peninggalan nenek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keberadaannya. Dari ajaran resmi yang dituangkan di dalam Pokok-

BAB I PENDAHULUAN. dengan keberadaannya. Dari ajaran resmi yang dituangkan di dalam Pokok- BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Identifikasi Permasalahan Sebagai salah satu penerus tradisi Gereja Reformasi, Gereja Kristen Jawa (GKJ) memiliki ajaran iman yang sangat mendasar sehubungan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK KERBAU BELANG YANG MENENTUKAN HARGA JUAL TERTINGGI DI PASAR HEWAN BOLU KABUPATEN TORAJA UTARA

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK KERBAU BELANG YANG MENENTUKAN HARGA JUAL TERTINGGI DI PASAR HEWAN BOLU KABUPATEN TORAJA UTARA IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK KERBAU BELANG YANG MENENTUKAN HARGA JUAL TERTINGGI DI PASAR HEWAN BOLU KABUPATEN TORAJA UTARA Ikrar Mohammad Saleh, Aslina Asnawi Staf Pengajar Bagian Sosial Ekonomi Peternakan

Lebih terperinci

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB)

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB) PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB) Diajukan Kepada Fakultas Teologi Sebagai Salah Satu Persyaratan Uji Kelayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Adanya kebudayaan pada kehidupan manusia ibarat darah yang mengalir di dalam tubuh manusia.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan

Lebih terperinci

LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA

LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Teologi untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol) Oleh David Sarman H Pardede Nim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. [Type text] BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Kemajemukan dari Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa dan agama.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK 1.1.1 Tinjauan Umum Gereja Dengan adanya perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, mengakibatkan manusia berlomba-lomba dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan bagian yang melingkupi kehidupan manusia. Kebudayaan yang diiringi dengan kemampuan berpikir secara metaforik atau perubahan berpikir dengan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Jauh sebelum kekristenan hadir dan berkembang di Indonesia, masyarakat tradisional telah memiliki sistem kepercayaan yang sering disebut dengan agama suku. Kepercayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan. proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan. proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Berelson dan Gary A. Steiner (1964) dalam Wiryanto (2004:7) Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam pengajaran gereja sakramen disebut sebagai salah satu alat pemelihara keselamatan bagi umat Kristiani. Menurut gereja-gereja reformasi hanya ada dua sakramen,

Lebih terperinci

MEMANFAATKAN UNSUR-UNSUR DALAM UPACARA RAMBU SOLO 1 SEBAGAI SATU WUJUD BUDAYA UNTUK DIJADIKAN TITIK TEMU BAGI REEVANGELISASI SUKU TORAJA

MEMANFAATKAN UNSUR-UNSUR DALAM UPACARA RAMBU SOLO 1 SEBAGAI SATU WUJUD BUDAYA UNTUK DIJADIKAN TITIK TEMU BAGI REEVANGELISASI SUKU TORAJA MEMANFAATKAN UNSUR-UNSUR DALAM UPACARA RAMBU SOLO 1 SEBAGAI SATU WUJUD BUDAYA UNTUK DIJADIKAN TITIK TEMU BAGI REEVANGELISASI SUKU TORAJA Andrianus Pasa Abstrak Tulisan ini merupakan suatu analisis terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Konsep Pelaksanaan Adat Perkawinan Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki dan senantiasa menggunakan adat-istiadat

Lebih terperinci

OUW NEGERI SEMPE. Pemaknaan Simbol Sempe Sebagai Identitas Sosial di Negeri Ouw - Maluku. Oleh. Frendly Seilatu NIM: TESIS

OUW NEGERI SEMPE. Pemaknaan Simbol Sempe Sebagai Identitas Sosial di Negeri Ouw - Maluku. Oleh. Frendly Seilatu NIM: TESIS OUW NEGERI SEMPE Pemaknaan Simbol Sempe Sebagai Identitas Sosial di Negeri Ouw - Maluku Oleh Frendly Seilatu NIM: 752014028 TESIS Diajukan kepada Fakultas Teologi Program Studi Magister Sosiologi Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil cipta, karya, rasa manusia untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

Gereja dan Toleransi Beragama (Usaha GBKP Semarang dalam mewujudkan Toleransi antar umat beragama) FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Gereja dan Toleransi Beragama (Usaha GBKP Semarang dalam mewujudkan Toleransi antar umat beragama) FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA _ Gereja dan Toleransi Beragama (Usaha GBKP Semarang dalam mewujudkan Toleransi antar umat beragama) Oleh : Ruth Dwi Rimina br Ginting 712007058

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sebelum agama-agama besar (dunia), seperti Agama Islam, katolik, Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, ternyata di Indonesia telah terdapat agama suku atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara sederhana perkawinan adalah suatu hubungan secara lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. 1 Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, beribu-ribu suku bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Studi Hubungan Pemikiran Teologis Paulus dan Markus tentang Penebusan Dosa TESIS

Studi Hubungan Pemikiran Teologis Paulus dan Markus tentang Penebusan Dosa TESIS Studi Hubungan Pemikiran Teologis Paulus dan Markus tentang Penebusan Dosa TESIS Diajukan kepada Program Studi Magister Sosiologi Agama untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Oleh: Glenmideys Huwae NIM:

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara akan persoalan Perjamuan Kudus maka ada banyak sekali pemahaman antar jemaat, bahkan antar pendeta pun kadang memiliki dasar pemahaman berbeda walau serupa.

Lebih terperinci

46 47 48 49 50 Daftar Pertanyaan Wawancara dengan Bapak Albert Taguh (Domang Kabupaten Lamandau) 1. Apakah yang dimaksud dengan upacara Tewah? 2. Apa tujuan utama upacara Tewah dilaksanakan? 3. Siapa yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH 4.1.Ritual Masyarakat Trunyan Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jubelando O Tambunan, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jubelando O Tambunan, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai ciri keanekaragaman budaya yang berbeda tetapi tetap satu. Indonesia juga memiliki keanekaragaman agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. media bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari kejayaan masa lalu. Hal ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. media bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari kejayaan masa lalu. Hal ini menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sangat kaya dengan limpahan budaya yang bernilai tinggi, beraneka ragam dan unik. Budaya yang menyatu membentuk suatu kearifan manusia dalam mengolah

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut. BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT Bab ini merupakan pembahasan atas kerangka teoritis yang dapat menjadi referensi berpikir dalam melihat masalah penelitian yang dilakukan sekaligus menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia, setiap pasangan tentu ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Lebih terperinci

UKDW. Bab I PENDAHULUAN

UKDW. Bab I PENDAHULUAN Bab I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 1.1 Krisis Dalam Pelayanan Jemaat Dalam kehidupan dan pelayanan jemaat tak pernah luput dari krisis pelayanan. Krisis dapat berupa perasaan jenuh dan bosan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Sulawesi Utara adalah salah satu provinsi yang dikenal dengan banyaknya tradisi, ritual dan adat istiadat, yang membentuk identitas dari Minahasa. Salah

Lebih terperinci