ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga"

Transkripsi

1

2

3

4 INI SAYA PERSEMBAHKAN KEPADA KELUARGAKU DAN NEGARAKU iv

5 MOTTO TIDAK ADA KEBERHASILAN TANPA PERJUANGAN DAN TIDAK ADA PERJUANGAN TANPA PENGORBANAN v

6 KATA PENGANTAR Skripsi dengan judul PERSEKONGKOLAN TENDER PENGADAAN BARANG CETAKAN DAN ALAT PERAGA DINAS PENDIDIKAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2011 (PAKET 1 DAN PAKET 13) ini dilakukan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Terselesaikannya penulisan skripsi dan pendidikan S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini tidak lepas dari motivasi, bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M. sebagai pembimbing, yang dalam kesibukannya meluangkan waktu untuk memberi perhatian dan memberi petunjuk selama dalam proses penulisan skripsi ini hingga akhir penyusunan skripsi ini. 2. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H. Hery Pramudya W. S., S.H. dan Hj. Dwi Retno Widayanti, S.H. serta Adikku tersayang Radityo Palevi atas kasih sayang yang tulus ikhlas, doa dan motivasi yang tidak pernah putus. Serta keluarga yang mendoakan dan memberi dukungan. 3. Dekanat Fakultas Hukum Universitas Airlangga : Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., Msi. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Dr. Eman Ramelan, S.H., M.S. selaku Wakil Dekan I, Koesrianti S.H., LL.M., vi

7 4. Ph.D. selaku Wakil Dekan II, dan Nurul Barizah, S.H., LL.M., Ph.D. selaku Wakil Dekan III. 5. Ibu Zendy Wulan Ayu Widhi Prameswari, S.H., LL.M. selaku Dosen Wali yang selalu memberikan saran dan arahan dalam membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 6. Bapak Dr. Agung Sudjatmiko, S.H., M.H. selaku Ketua Departemen Hukum Bisnis yang turut membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi. 7. Tim Dosen Penguji, Ibu Sinar Ayu Wulandari, S.H., M.H., Bapak Dr. Agung Sudjatmiko, S.H., M.H., serta Ibu Dr. Zahry Vandawati C., S.H., M.H. yang telah meluangkan waktu untuk menguji skripsi penulis pada tanggal 25 Juni Seluruh civitas akademika serta Dosen Pengajar, khususnya Dosen pada Departemen Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang telah membantu penulis selama melakukan studi dan dalam melakukan penulisan skripsi ini. 9. Ritmaleli Arum, atas doa dan motivasi yang diberikan serta waktu yang direlakan demi terselesaikannya skripsi ini. 10. Saudaraku, Anggara Alfriedo Yudhamardika dan Disthira Alfrieda Rosita, atas doa dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini. 11. Teman-teman mahasiswa angkatan 2010 yang tidak dapat saya sebutkan dan tulis satu persatu, atas berbagi ilmu dan pengalaman yang berharga selama kebersamaan dari awal hingga akhir dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. vii

8 12. Dan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendoakan dalam terselesaikannya penulisan skripsi ini. Kebaikan saudara sekalian tidak akan saya lupakan dan saya hanya dapat berdoa, semoga Allah SWT membalas segala perbuatan baik saudara sekalian selama ini. Saya menyadari penulisan ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu saya dengan senang hati menerima kritik dan saran guna penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Surabaya, 15 Juli 2014 Penulis Ardiansyah Herviyan Pratama viii

9 ABSTRAK Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013 mengenai putusan atas kasus persekongkolan tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13). Para Terlapor telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dimana para terlapor telah terbukti melakukan kegiatan yang dilarang yaitu persekongkolan tender. Persekongkolan tender merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk mengatur dan atau menetukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena pelanggaran tersebut, para terlapor mendapat sanksi berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Kata Kunci : Persekongkolan Tender, Putusan, KPPU, Dinas Pendidikan ix

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv HALAMAN MOTTO... v KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... ix DAFTAR ISI... x BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan Metode Penelitian Tipe Penelitian Pendekatan Masalah Sumber Bahan Hukum x

11 1.5.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Analisa Bahan Hukum Pertanggungjawaban Sistematika BAB II PERSEKONGKOLAN TENDER PENGADAAN BARANG CETAKAN DAN ALAT PERAGA DINAS PENDIDIKAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2011 (PAKET 1 DAN PAKET 13) 2.1 Prinsip-Prinsip Utama Pengadaan Barang/Jasa Konsep Persekongkolan Tender Pengertian Persekongkolan Pengertian Tender Pengertian Persekongkolan Tender Larangan Persekongkolan Tender dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun Unsur Persekongkolan Tender Bentuk Persekongkolan Tender Indikasi Persekongkolan dalam Tender Pendekatan Yuridis dalam Persekongkolan Tender xi

12 2.5 Dampak Persekongkolan Tender BAB III PENANGANAN KPPU TERHADAP PERKARA TENDER PENGADAAN BARANG CETAKAN DAN ALAT PERAGA DINAS PENDIDIKAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2011 (PAKET 1 DAN PAKET 13) 3.1 Penanganan Perkara Oleh KPPU Berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Penanganan Perkara Oleh KPPU Berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun Upaya Hukum Saran KPPU BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Saran xii

13 DAFTAR BACAAN LAMPIRAN xiii

14

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia bisnis semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Persaingan antar pelaku usaha di dunia bisnis dan ekonomi pun terjadi dan merupakan suatu keharusan yang harus dijalani oleh pelaku usaha. Para pelaku usaha semakin giat meningkatkan usaha mereka dengan berbagai macam cara dan trik untuk dapat bersaing dalam pasar bersangkutan. Pada hakikatnya setiap orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan tersier. Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorong banyak orang menjalankan kegiatan usaha, baik kegiatan usaha yang sejenis maupun kegiatan usaha yang berbeda. Keadaan inilah yang menimbulkan persaingan di antara para pelaku usaha. Namun pada kenyataannya, banyak perilaku tidak sehat yang terjadi dalam dunia usaha, para pelaku usaha cenderung ingin mendapatkan kekuasaan pasar sehingga dapat mengendalikan harga dan faktor-faktor lain yang menentukan jalannya transaksi usaha, termasuk diantaranya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam hal ekonomi. Untuk dapat menciptakan kekuasaan pasar tersebut, para pelaku usaha melakukan berbagai macam tindakan dan usaha 1

16 2 yang merugikan pesaingnya, diantaranya membuat berbagai macam rintangan perdagangan (barrier to entry), melakukan pembatasan pasar (market restriction), membuat kesepakatan-kesepakatan kolusif (collusive agreement) untuk mengatur harga, membatasi output, dan menjalankan praktek-praktek anti persaingan lainnya. Dalam aktivitas bisnis dapat dipastikan terjadi persaingan di antara pelaku usaha. Dalam hal ini persaingan usaha merupakan sebuah proses dimana para pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan pilihan-pilihan produk dan jasa dalam harga yang rendah. Persaingan hanya ada bila ada dua pelaku usaha atau lebih yang menawarkan produk dan jasa kepada para pelanggan dalam sebuah pasar. Untuk merebut hati konsumen, para pelaku usaha berusaha menawarkan produk dan jasa yang menarik, baik dari segi harga, kualitas dan pelayanan. Kombinasi ketiga faktor tersebut untuk memenangkan persaingan merebut hati para konsumen dapat diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat, serta kemampuan manajerial untuk mengarahkan sumber daya perusahaan dalan memenangkan persaingan. Jika tidak, pelaku usaha akan tersingkir secara alami dari arena pasar. 1 Dengan latar belakang banyak sekali pelaku usaha yang melakukan persaingan tidak sehat dalam pasar yang bersangkutan maka lahirlah Hukum Persaingan Usaha. Hukum Persaingan Usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi. Motif-motif ekonomi 1 Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, Indonesia, 2009, h. 2.

17 3 tersebut adalah maksimalisasi profit atau laba, penguasaan pasar (market power), posisi dominan (dominant position), dan yang terakhir adalah efisiensi sumber daya. Oleh karena itu, untuk memahami apa dan bagaimana hukum persaingan usaha berjalan dan dapat mencapai tujuan utamanya, maka diperlukan pemahaman konsep dasar ekonomi yang dapat menjelaskan rasionalitas munculnya perilakuperilaku perusahaan di pasar. 2 Upaya pemerintah agar dapat mewujudkan suatu perekonomian negara yang efisien melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, yang menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha dibutuhkan suatu pengaturan tersendiri tentang dunia persaingan usaha. Untuk menjamin kondisi persaingan usaha yang sehat tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tujuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah : a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Perundang-undangan antimonopoli Indonesia tidak bertujuan untuk melindungi persaingan usaha demi kepentingan persaingan itu sendiri. Oleh karena 2 Ibid, h. 21.

18 4 itu ketentuan Pasal 3 tidak hanya terbatas pada tujuan utama undang-undang antimonopoli, yaitu sistem persaingan usaha yang bebas dan adil, di mana terdapat kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha, sedangkan perjanjian atau penggabungan usaha yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan kekuasaan ekonomi tidak ada (Huruf b dan c), sehingga bagi semua pelaku usaha dalam melakukan kegiatan ekonomi mendapat kesempatan berusaha yang sama. Selain itu Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan tujuan sekunder undang-undang antimonopoli, yang ingin dicapai melalui sistem persaingan usaha yang bebas dan adil: kesejahteraan rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien (Huruf a dan d bagian pembukaan UU No. 5 Tahun 1999), tujuan-tujuan yang mana sudah disebutkan dalam Huruf a dan d bagian pembukaan UU No. 5 Tahun Sehingga seharusnya sebagai konsekuensi terakhir tujuan kebijakan ekonomi, yaitu penyediaan barang dan jasa yang optimal bagi para konsumen. Menurut Teori persaingan usaha yang modern, proses persaingan usaha dapat mencapai tujuan tersebut dengan cara memaksakan alokasi faktor dengan cara ekonomis, yaitu memaksakan alokasi faktor sumber daya, faktor produksi dan faktor distribusi. Sehingga terwujudlah penggunaan paling efisien sumber daya yang terbatas, penyesuaian kapasitas produksi dengan metode produksi dan struktur permintaan serta penyesuaian penyediaan barang dan jasa dengan kepentingan konsumen (fungsi pengatur persaingan usaha), dengan menjamin pertumbuhan ekonomi yang optimal, kemajuan teknologi dan tingkat harga yang stabil (fungsi pendorong

19 5 persaingan usaha) serta dengan menyalurkan pendapatan menurut kinerja pasar berdasarkan produktivitas marginal (fungsi distribusi). 3 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terdapat substansi, sebagai berikut : I. Larangan terhadap dua atau lebih pelaku usaha untuk melakukan perjanjian yang bersubstansi : a. Praktek Oligopoli yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). b. Penetapan Harga yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan harga (Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999), diskriminasi harga (Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999), membuat harga di bawah harga pasar (Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999), atau melarang penjualan kembali dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan (Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999). c. Pembagian wilayah pemasaran yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan wilayah pemasaran atau alokasi pasar sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). 3 Ibid, h. 17.

20 6 d. Pemboikotan yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama atau menolak untuk menjual produk pelaku usaha lain (Pasal 10 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999). e. Kartel yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). f. Trust yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk membentuk gabungan perusahaan dengan tetap mempertahankan kelangsungan perusahaan masing-masing dengan tujuan mengontrol dan untuk pemasaran sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). g. Oligopsoni yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). h. Integrasi vertikal yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai rangkaian produksi yang berkelanjutan yang dapat merugikan masyarakat dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).

21 7 i. Perjanjian Tertutup yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). j. Perjanjian dengan pihak luar negeri (perjanjian dengan pelaku usaha luar negeri yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). II. Larangan terhadap suatu kegiatan atau tindakan sebagai berikut : a. Monopoli (pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan pemasaran yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat). b. Monopsoni (pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat). c. Penguasaan Pasar (pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, sendiri atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa menghalangi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan yang sama, menghalangi konsumen bertransaksi dengan pelaku usaha tertentu, membatasi peredaran dan penjualan produk). d. Persekongkolan (pelaku usaha dilarang melakukan tender olusif, bersekongkol mendapatkan perusahaan pesaing, bersekongkol untuk menghambat produksi).

22 8 III. Penyalahgunaan posisi dominan a. Dilarang menggunakan posisi dominan secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat perdagangan guna menghalangi konsumen (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). b. Dilarang merangkap jabatan direktur/komisaris di dua perusahaan atau lebih bila perusahaan lainnya berada dalam pasar bersangkutan yang sama atau memiliki keterkaitan (Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). c. Dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis apabila mengakibatkan satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). d. Merger, akuisisi dan konsolidasi (Pasal 28 dan 29 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999). Sanksi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dibagi dua, yaitu sanksi administratif (kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dan sanksi pidana (kewenangan peradilan umum). Terdapat Pengecualian dalam Pasal 50 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu : a. Perbuatan dan atau perjanjian itu untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Perjanjian yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual dan waralaba; c. Yang berkaitan dengan standar teknis; d. Perjanjian dalam kerangka keagenan;

23 9 e. Perjanjian kerjasama penelitian; f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi; g. Perjanjian dan atau perbuatan dalam rangka ekspor dengan tidak mengganggu pasokan dalam negeri; h. Pelaku usaha kecil; i. Kegiatan usaha koperasi yang melayani anggotanya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 memberikan tiga indikator untuk menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yaitu : 4 1. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur. 2. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum. 3. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku usaha. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lain, misalnya dalam persaingan tender, para pelaku usaha telah melakukan konspirasi usaha dengan panitia lelang untuk memenangkan tender, sehingga pelaku usaha lainnya tidak mendapat kesempatan untuk memenangkan tender. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum dapat dilihat dari cara pelaku usaha bersaing dengan pelaku usaha lain dengan melanggar 4 Mustafa Kamal, Hukum Persaingan Usaha, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 17.

24 10 ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau peraturan-peraturan yang telah disepakati. 5 Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku usaha melihat kondisi pasar yang tidak sehat. Dalam pasar ini mungkin tidak terdapat kerugian pada pesaing lain, dan para pelaku juga tidak mengalami kesulitan. Namun, perjanjian yang dilakukan pelaku usaha menjadikan pasar bersaing secara tidak kompetitif. 6 Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan berfungsi sebagai suatu aturan yang mampu menata dan mengatur praktek usaha yang kondusif bagi terciptanya persaingan yang sehat dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat serta memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang- Undang Dasar Untuk memaksimalkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka pemerintah membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU merupakan lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun KPPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mempunyai wewenang untuk menyusun peraturan pelaksana 5 Ibid 6 Ibid, h. 18.

25 11 dan memeriksa pihak-pihak yang diduga melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta memberi putusan yang mengikat dan menjatuhkan sanksi kepada pihak yang terbukti melanggar. Salah satu pengawasan KPPU dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tentang persekongkolan (conspiracy) yang tertuang dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Persekongkolan yang dilarang menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah mencakup persekongkolan untuk mengatur pemenang tender, Pasal 23 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan, serta Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang persekongkolan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Penulisan skripsi ini akan memfokuskan kepada ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu tentang persekongkolan tender. Kegiatan persekongkolan tender merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun Persekongkolan tender tersebut dapat terjadi melalui kesepakatankesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Persekongkolan ini mencakup jangkauan perilaku yang luas, antara lain usaha produksi dan atau distribusi,

26 12 kegiatan asosiasi perdagangan, penetapan harga, dan manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (collusive tender) yang dapat terjadi melalui kesepakatan antar pelaku usaha, antar pemilik pekerjaan maupun antar kedua pihak tersebut. Kolusi atau persekongkolan dalam tender ini bertujuan untuk membatasi pesaing lain yang memiliki potensial untuk berusaha dalam pasar bersangkutan dengan cara menentukan pemenang tender. Persekongkolan tersebut dapat terjadi disetiap tahapan proses tender, mulai dari perencanaan dan pembuatan persyaratan oleh pelaksana atau panitia tender, penyesuaian dokumen tender antara peserta tender, hingga pengumuman tender. 7 Terdapat prinsip-prinsip umum pengadaan barang dan jasa di lingkungan Instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu : efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil atau non diskriminatif, dan akuntabel. Dasar Penerapan Pasal 22 Undang-Undng Nomor 5 Tahun 1999 adalah tender atau penawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui tender terbuka, tender terbatas, pelelangan umum, dan pelelangan terbatas. 8 Seperti pada kasus persekongkolan tender Pengadaan Barang Cetakan Dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 Dan Paket 13). Persekongkolan ini dilakukan oleh panitia 7 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, 2010, h. 6. (selanjutnya disebut KPPU I) 8 Ibid, h. 8.

27 13 tender yang merupakan media bagi CV. Budi Utomo, PT. Madju Medan Cipta, serta CV. Padang Mas. Keempatnya telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun Berdasarkan hasil pemeriksaan Majelis KPPU menyimpulkan adanya kerjasama antara CV. Budi Utomo, PT. Madju Medan Cipta serta CV. Padang Mas. Dalam perkara tersebut terdapat 2 paket yang menjadi objek perkara, yaitu: 1. Paket 1 : Pengadaan Buku Pengayaan, Buku Referensi, Buku Panduan Pendidik SD Tahun 2011 senilai Rp ,- (empat milyar seratus lima puluh empat juta tujuh ratus lima puluh delapan ribu lima ratus rupiah); 2. Paket 13 : Pengadaan Buku Pengayaan, Buku Referensi, Buku Panduan Pendidik SD Tahun 2010 senilai Rp ,- (tiga milyar enam ratus sepuluh juta rupiah). Dalam Proses tender tersebut para terlapor dinyatakan secara sah terbukti melakukan pelanggaran yaitu bersama-sama melakukan kerjasama yang terlarang dalam persaingan usaha yakni bersekongkol dalam tender untuk memenangkan CV. Budi Utomo, PT. Madju Medan Cipta serta CV. Padang Mas. Perbuatan persekongkolan dalam tender untuk menentukan pemenang tender merupakan hal yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun Hal tersebut merupakan perbuatan yang curang dan tidak adil terutama bagi peserta tender yang lain. Perbuatan persekongkolan untuk mengatur atau

28 14 menentukan pemenang tender dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah : a. Apakah persekongkolan tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) merupakan persekongkolan horisontal atau persekongkolan vertikal atau gabungan dari persekongkolan horisontal dan persekongkolan vertikal? b. Bagaimanakah penanganan KPPU terhadap perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13)? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan sebagai Sarjana Hukum Universitas 9 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan Sehat), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 83.

29 15 Airlangga Surabaya. Selain itu juga tujuan pembahasan dalam skripsi ini, sebagai berikut : a. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai persekongkolan tender dan bentuk persekongkolannya sebagai kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. b. Untuk mengetahui mengenai penanganan KPPU yang di berlakukan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 1.4 Manfaat Penulisan Manfaat penulisan dalam skripsi ini antara lain, sebagai berikut : a. Diharapkan dapat memberikan pemahaman yang baik dan benar bagi penulis serta memberikan sumbangan penilaian bagi pembaca tentang pentingnya mengetahui proses tender yang baik dan benar agar tidak menimbulkan indikasi adanya persaingan usaha tidak sehat. b. Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia serta memberitahukan mengenai penanganan perkara yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha apabila terdapat persekongkolan tender dalam suatu proses tender.

30 Metode Penelitian Tipe Penelitian Tipe Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum (legal research) yaitu penelitian yang mengkaji rumusan masalah pada skripsi dengan meneliti peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan rumusan masalah dan pemecahan masalahnya Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan : a. Pendekatan undang-undang (statute approach), dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 10 Pendekatan undang-undang berasal dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. b. Pendekatan kasus (case approach), dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. 11 Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan 10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, h Ibid, h. 134.

31 17 hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. 12 Pendekatan kasus berasal dari Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013 tentang Persekongkolan Tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13). c. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan untuk mendukung penulisan skripsi ini ada 2 (dua) bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang penjabarannya sebagai berikut : 1. Sumber Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan hukum primer terdiri 12 Ibid, h Ibid, h. 135.

32 18 dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 14 primer yaitu : Pembahasan skripsi ini menggunakan bahan-bahan hukum 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 3. Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013 tentang Persekongkolan Tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13). 2. Sumber Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum yang dimaksud meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan Ibid, h Ibid

33 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum yang digunakan oleh penulis adalah dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan bahan hukum yang terkait dengan permasalahan pada skripsi ini, kemudian dengan sumber bahan hukum yang telah diperoleh dilakukan pengolahan bahan hukum yang diperlukan dengan cara diklarifikasi dan dianalisis terkait permasalahan yang dibahas, dan hasil akhirnya akan diuraikan secara deskripsi Analisa Bahan Hukum Analisa bahan hukum dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara sumber bahan hukum yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yaitu metode analisis yang menganalisis sumber bahan hukum seperti perundang-undangan dan literatur-literatur yang lain terkait permasalahan sebagai suatu hal yang umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus untuk selanjutnya dibahas, disusun, diuraikan, ditafsirkan, serta dikaji untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan dari sumber bahan hukum yang kemudian digunakan untuk upaya pemecahan masalah. 1.6 Pertanggungjawaban Sistematika Pertanggungjawaban sistematika ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengetahui secara menyeluruh uraian singkat materi skripsi. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab.

34 20 Bab I merupakan bab pendahuluan yang memberikan gambaran umum tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian yang terdiri dari tipe penelitian, pendekatan masalah, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum, serta analisa bahan hukum dan pertanggungjawaban sistematika. Bab II akan menganalisis kegiatan tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga di Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) sebagai kegiatan persekongkolan dalam tender yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan bentuk persekongkolannya. Bab ini terbagi menjadi 4 sub bab, yaitu : prinsip utama pengadaan barang dan/atau jasa, konsep persekongkolan tender, larangan persekongkolan tender dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pendekatan yuridis dalam persekongkolan tender dan dampak persekongkolan tender. Dalam sub bab 2 yaitu konsep persekongkolan tender terbagi lagi menjadi 3 sub sub bab, yaitu : pengertian persekongkolan, pengertian tender, dan pengertian persekongkolan tender. Dalam sub bab 3 yaitu larangan persekongkolan tender dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 terbagi lagi menjadi 3 sub sub bab, yaitu : unsurunsur persekongkolan tender sesuai Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bentuk-bentuk persekongkolan, dan indikasi persekongkolan tender. Bab III akan membahas tentang penanganan KPPU terhadap perkara putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013. Bab ini terbagi menjadi 4 sub bab, yaitu

35 21 : penanganan perkara oleh KPPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, penanganan perkara oleh KPPU berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010, upaya hukum, dan saran KPPU terhadap putusan perkara Nomor 01/KPPU-L/2013. Bab IV merupakan penutup yang akan berisikan tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan dapat diambil setelah mengkaji dan membahas semua permasalahan yang ada pada Bab II dan Bab III. Kesimpulan ini disusun sedemikian rupa sehingga menjadi konklusi yang utuh dengan disertai saran atau rekomendasi yang diperlukan sebagai upaya untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat serta menjamin kepastian hukum dalam melakukan usaha.

36

37 BAB II PERSEKONGKOLAN TENDER PENGADAAN BARANG CETAKAN DAN ALAT PERAGA DINAS PENDIDIKAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2011 (PAKET 1 DAN PAKET 13) 2.1 Prinsip-Prinsip Utama Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah harus sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang sekarang ini sudah tidak diberlakukan lagi dan diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Peraturan perundang-undangan tersebut memuat prinsipprinsip utama pengadaan barang/jasa yang harus diperhatikan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pengaturan prinsip-prinsip utama pengadaan barang/jasa dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tertuang dalam Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang menjelaskan sebagai berikut : 1. Efisien Prinsip efisiensi berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai 22

38 23 kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. Jadi dengan biaya yang rendah diharapkan mendapatkan hasil yang memuaskan dan tepat waktu sesuai dengan rencana awal. 2. Efektif Prinsip efektif berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Prinsip ini mengandung 2 (dua) unsur yaitu adanya manfaat yang optimal dan sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Prinsip ini menuntut pengguna barang dan/atau jasa untuk memanfaatkan persyaratan yang ditentukan untuk mendapatkan hasil optimal dalam pengadaan barang dan/atau jasa. 3. Transparan Prinsip transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. Prinsip ini mengharuskan adanya keterbukaan bagi seluruh masyarakat mengenai informasi tender. Dalam hal ini transparan memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu : 1. Ketersediaan informasi bagi penyedia barang/jasa serta masyarakat.

39 24 Ketersediaan informasi mencakup adanya informasi yang cukup dan mudah dipahami oleh pihak yang terlibat dalam tender termasuk masyarakat. 2. Kemudahan akses (terhadap informasi) bagi penyedia barang/jasa serta masyarakat. Kemudahan akses dalam perspektif pengguna barang dan/atau jasa berarti wajib memberikan tanggapan/informasi mengenai pengadaan barang dan/atau jasa yang berada di dalam batas kewenangannya kepada peserta pengadaan/masyarakat yang mengajukan pengaduan atau yang memerlukan penjelasan. 4. Terbuka Prinsip terbuka berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. Dengan kata lain pembatasan hanya dapat dilakukan apabila penyedia barang/jasa tidak memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun Bersaing Prinsip bersaing berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin penyedia

40 25 barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa. Dalam bersaing panitia pengadaan dilarang menghambat dan membatasi keikutsertaan calon peserta pengadaan barang/jasa dari luar wilayah lokasi tender, semua calon peserta boleh mengikuti asal sesuai dengan persyaratan. 6. Adil dan Tidak Diskriminatif Prinsip adil dan tidak diskriminatif berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon peserta dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. 7. Akuntabel Prinsip akuntabel berarti tender harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip ini tidak hanya dibebankan pada pengguna barang/jasa tetapi juga penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan kontrak dengan hasil yang ditetapkan oleh pengguna barang/jasa. Di dalam prinsip akuntabel, berarti bahwa pengguna atau penyedia barang/jasa dapat diminta pertanggungjawaban apabila hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan sasaran atau kriteria yang ditetapkan.

41 26 Prinsip-prinsip tersebut di atas diharapkan dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat dalam kegiatan pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah. 2.2 Konsep Persekongkolan Tender Salah satu masalah yang dibahas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tentang tender. Adanya larangan persekongkolan tender karena menciptakan persaingan usaha tidak sehat dan tidak sesuai dengan tujuan diadakannya tender, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha. Namun, sebelum membahas lebih jauh mengenai tender dan persekongkolan tender ada baiknya memahami arti kata tersebut Pengertian Persekongkolan Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam persekongkolan (conspiracy) terdapat kerjasama yang melibatkan dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum. 16 Penggunaan istilah persekongkolan, conspiracy, ataupun collusion mempunyai persamaan. Persekongkolan melibatkan dua orang atau lebih yang berkompromi secara bersama-sama untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan. 16 L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, h (selanjutnya disebut L. Budi Kagramanto I)

42 27 Pengertian persekongkolan secara yuridis sebagaimana terurai dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Persekongkolan biasanya diwujudkan melalui cara terang-terangan maupun secara diam-diam untuk menjatuhkan pesaing dengan cara melawan hukum sehingga pihak pesaing yang tidak ikut dalam persekongkolan tidak mampu mendapatkan kesempatan yang sama khususnya dalam konteks ini adalah dunia usaha. Pengertian persekongkolan tender ini selalu berbeda-beda pada setiap negara tetapi semuanya mengandung intisari yang hampir sama semua yaitu suatu perjanjian antara beberapa pihak untuk memenangkan pesaing tertentu dalam suatu tender. 17 Black s Law Dictionary mendefinisikan persekongkolan atau conspiracy adalah an agreement by two or more persons to commit an unlawful act, coupled with an intent to achieve the agreement s objective, and (in most state) action or conduct that furthers the agreement; a combination for an unlawful purpose Marsetio Perdhana Putra, Persekongkolan Tender Eksplorasi Minyak Di Blok Madura, Skripsi, Fakutas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2012, h , h Bryan A. Garner, Black s Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing Co., USA,

43 28 Menurut Black s Law Dictionary tersebut diatas, maka ditegaskan bahwa persekongkolan harus dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bertujuan untuk menyepakati tindakan melanggar hukum atau kriminal melalui upaya kerjasama Pengertian Tender Pengertian tender menurut penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Pengertian tender mencakup tawaran mengajukan harga untuk : Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan. 2. Mengadakan barang dan atau jasa. 3. Membeli suatu barang dan atau jasa. 4. Menjual suatu barang dan atau jasa. Dalam pelaksanaan penawaran tender, tujuan utama yang ingin dicapai adalah memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar, sehingga menghasilkan harga yang paling murah dengan output/keluaran yang optimal dan berhasil guna. Diakui secara umum, bahwa harga murah bukanlah semata-mata ukuran untuk menentukan kemenangan dalam pengadaan barang dan atau jasa. Melalui mekanisme penawaran tender sedapat mungkin dihindarkan kesempatan 19 KPPU I, Op. Cit., h. 5.

44 29 untuk melakukan konspirasi di antara para pesaing, atau antara penawar dengan panitia penyelenggara lelang. 20 Adapun tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau menghambat persaingan usaha adalah : Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya; 2. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama; 3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut Pengertian Persekongkolan Tender Persekongkolan tender kolusif pada hakekatnya bersifat anti persaingan, karena persekongkolan tersebut bertentangan dengan maksud tender yakni, untuk membeli barang/jasa berdasarkan harga dan persyaratan yang paling menguntungkan. Persekongkolan dapat terjadi ketika pelaku usaha melakukan kegiatan persekongkolan untuk menaikkan harga dimana pembeli mendapatkan produk tersebut dengan mengumpulkan penawaran secara kompetitif. 22 Persekongkolan tender berasal dari kolaborasi dua terminologi yaitu, persekongkolan dan tender. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil pengertian dari 20 L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), Srikandi, 2008, h. 32. (selanjutnya disebut L. Budi Kagramanto II) 21 KPPU I, Op. Cit, h L. Budi Kagramanto II, Op. Cit., h. 184.

45 30 persekongkolan tender, yaitu perbuatan lebih dari satu pelaku usaha untuk menguasai pasar dengan cara bersekongkol untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Pengaturan pemenang tender tersebut banyak ditemukan pada pelaksanaan pengadaan barang dan atau jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah (government procurement), BUMN, dan perusahaan swasta. Untuk itu Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak hanya mencakup kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh Pemerintah, tetapi juga kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan negara (BUMN/BUMD) dan perusahaan swasta Larangan Persekongkolan Tender dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun Unsur Persekongkolan Tender Larangan persekongkolan tender dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat pada Pasal 22 yang menyatakan bahwa, Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pada Pasal 22 tersebut terdapat beberapa unsur-unsur sebagai berikut : 23 KPPU I, Loc. Cit.

46 31 1. Unsur Pelaku Usaha Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha adalah : Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pelaku usaha dalam Perkara Nomor 01/KPPU-L/2013 tentang Persekongkolan Tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) adalah : 1. CV. Budi Utomo, badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia berdasarkan Akta Pendirian Nomor 47 tanggal 17 Februari 1989 yang dibuat oleh Notaris Sundari Siregar, S.H. di Medan, dengan kegiatan usaha antara lain di bidang penjualan berbagai macam buku dan alat perkantoran, sebagai Terlapor II. 2. PT. Madju Medan Cipta, badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia berdasarkan Akta Pendirian Nomor 35 tanggal 10 Juni 1997 yang dibuat oleh Notaris Djaijir, S.H. di Medan, dengan kegiatan usaha antara lain di bidang penerbitan dan perdagangan buku, sebagai Terlapor III.

47 32 3. CV. Padang Mas, badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia berdasarkan Akta Pendirian Nomor 36 tanggal 14 Mei 1980 yang dibuat oleh Notaris Ny. Chairani Bustami, S.H. di Medan, dengan Kegiatan usaha antara lain di bidang perdagangan, sebagai Terlapor IV. Pelaku usaha dalam perkara ini adalah Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV. Unsur pelaku usaha dengan demikian telah terpenuhi. 2. Unsur Bersekongkol Berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bersekongkol adalah kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu. Unsur bersekongkol berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain dapat berupa : - Kerjasama antara dua pihak atau lebih. - Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya. - Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan. - Menciptakan persaingan semu. - Menyetujui atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan. - Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tersebut. - Pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum. Dalam putusan perkara KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013 terdapat beberapa indikasi bersekongkol yaitu :

48 33 1. Kerjasama antara Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV, yang secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan kerjasama menyiapkan dokumen kualifikasi, kesamaan dokumen pada daftar kuantitas dan harga, penyesuaian dokumen penawaran, dan kesamaan pola dalam penyususnan harga penawaran dan terjadinya persaingan semu antara Terlapor II. Terlapor III, dan Terlapor IV; 2. Panitia tender atau Terlapor I berperan secara aktif dalam persekongkolan karena berupaya membatasi peserta tender melalui pemenuhan persyaratan membawa buku contoh, melakukan evaluasi teknis secara tidak sesuai aturan, melakukan evaluasi kualifikasi secara tidak sesuai aturan, dan melakukan pembiaran tanpa menggunakan kriteria yang jelas terhadap jumlah surat dukungan dari penerbit. Berdasarkan uraian diatas, maka unsur bersekongkol terpenuhi. 3. Unsur Pihak Lain Berdasarkan Pedoman Pasal 22, pihak lain adalah para pihak yang terlibat dalam perkara ini, baik secara vertikal maupun horisontal dalam proses penawaran tender yang melakukan persekongkolan tender, baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau subyek hukum lainnya yang terkait dalam tender tersebut. Dalam perkara ini yang merupakan pihak lain adalah para pihak secara horizontal yaitu CV. Budi Utomo sebagai Terlapor II, PT. Madju Medan Cipta sebagai Terlapor III, dan CV. Padang Mas sebagai Terlapor

49 34 IV yang merupakan pelaku usaha sebagai peserta tender, maupun pihak lain secara vertikal yaitu Panitia Tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) sebagai Terlapor I yang merupakan subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender. Dengan demikian unsur pihak lain terpenuhi. 4. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender Berdasarkan Pedoman Pasal 22 yang dimaksud dengan megatur dan/atau menentukan pemenang tender adalah suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender, secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai penyaingnya dan/atau untuk bertujuan memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Dalam perkara ini penentuan pemenang tender dilakukan oleh panitia tender atau Terlapor I dengan cara berupaya membatasi peserta tender melalui pemenuhan persyaratan membawa buku contoh, melakukan evaluasi teknis secara tidak sesuai aturan, melakukan evaluasi kualifikasi secara tidak sesuai aturan, dan melakukan pembiaran tanpa menggunakan kriteria yang jelas terhadap jumlah surat dukungan dari penerbit. Dengan demikian unsur mengatur dan/atau menentukan pemenang tender terpenuhi. 5. Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat Berdasarkan Pedoman Pasal 22 yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan

50 35 dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dalam perkara ini ada beberapa hal yang menandai adanya persaingan usaha yang tidak sehat, yaitu : 1. Tindakan Terlapor I yang memberikan syarat contoh buku sehingga membatasi peserta tender merupakan tindakan yang menghambat persaingan usaha; 2. Tindakan kerjasama dalam menentukan pola penyusunan harga penawaran; kesesuaian dokumen penawaran oleh Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV merupakan tindakan yang menghambat persaingan usaha; 3. Tindakan Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV yang tidak menyerahkan contoh buku sesuai dengan judul buku yang dipersyaratkan merupakan tindakan persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Dengan demikian unsur persaingan usaha tidak sehat terpenuhi Bentuk Persekongkolan Tender Dalam Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013 pihak KPPU telah menangani perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13). Awalnya perkara tersebut berasal dari laporan tentang adanya dugaan pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang diterima oleh Sekretariat Komisi. Tender tersebut diadakan oleh Panitia Tender (Terlapor I),

51 36 dan diikuti oleh peserta tender, beberapa diantaranya adalah CV. Budi Utomo (Terlapor II), PT. Madju Medan Cipta (Terlapor III) dan CV. Padang Mas (Terlapor IV). KPPU berpendapat bahwa, berdasarkan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan, tim pemeriksa menemukan adanya dugaan persekongkolan dalam proses tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) yang dilakukan oleh Panitia Tender (Terlapor I), CV. Budi Utomo (Terlapor II), PT. Madju Medan Cipta (Terlapor III) dan CV. Padang Mas (Terlapor IV). Berdasarkan penilaian dan analisis yang dilakukan oleh Majelis Komisi, dalam perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) terdapat beberapa bentuk persekongkolan yang dilakukan oleh para Terlapor. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang dilakukan oleh Majelis Komisi berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dibuat oleh KPPU, bentuk-bentuk persekongkolan yang dilakukan, yaitu : 1. Persekongkolan Horisontal Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta tender. 24 Hal tersebut dapat dijelaskan dalam bagan yang ada di bawah ini : 24 Ibid, h. 7.

52 37 Panitia Pengadaan/Panitia Tender Pelaku Pelaku Pelaku Pelaku Usaha Usaha Usaha Usaha PERSEKONGKOLAN adalah : Dalam perkara ini yang menandai adanya persekongkolan horisontal a. Antara peserta tender yaitu Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV terdapat kerjasama menyiapkan dokumen kualifikasi; b. Antara peserta tender yaitu Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV terdapat kesamaan dokumen pada daftar kuantitas dan harga; c. Antara peserta tender yaitu Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV terdapat penyesuaian dokumen penawaran, dan kesamaan pola dalam penyusunan harga penawaran. 2. Persekongkolan Vertikal Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemberi pekerjaan

53 38 bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender. 25 Hal tersebut dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini : Panitia Pengadaan/Panitia Tender Pelaku Pelaku Pelaku Pelaku Usaha Usaha Usaha Usaha PERSEKONGKOLAN adalah: Dalam perkara ini yang menandai adanya persekongkolan vertikal a. Panitia tender atau Terlapor I mewajibkan peserta tender untuk memberikan buku contoh pada saat memasukkan dokumen penawaran; b. Panitia tender melakukan evaluasi teknis dan evaluasi kualifikasi secara tidak sesuai aturan; c. Panitia tender atau Terlapor I melakukan pembiaran tanpa menggunakan kriteria yang jelas terhadap jumlah surat dukungan dari penerbit. 3. Persekongkolan Horisontal dan Vertikal Merupakan persekongkolan yang terjadi antara panitia tender atau pengguna barang dan jasa dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait 25 Ibid, h. 8.

54 39 dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan suatu proses tender secara administratif dan tertutup. 26 Hal tersebut dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini : Panitia Pengadaan/Panitia Tender Pelaku Pelaku Pelaku Pelaku Usaha Usaha Usaha Usaha PERSEKONGKOLAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persekongkolan tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) merupakan gabungan atau kombinasi dari persekongkolan horizontal dan persekongkolan vertikal Indikasi Persekongkolan Dalam Tender Proses pelaksanaan tender secara keseluruhan, dimulai dari prosedur perencanaan, pembukaan penawaran sampai dengan penetapan pemenang tender dan acara penandatanganan kontrak tender. Berdasarkan cakupan di atas, terbuka 26 Ibid

55 40 peluang adanya persekongkolan di setiap tahapan tender. 27 Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan dalam tender, maka perlu kiranya diketahui berbagai macam indikasi persekongkolan dalam tender. Ada 14 (empat belas) indikasi persekongkolan yang sering dijumpai pada pelaksanaan tender, yakni antara lain : Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan 2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan panitia 3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pralelang 4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti tender atau lelang maupun pada saat penyusunan dokumen tender atau lelang 5. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang 6. Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen tender/lelang 7. Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga dasar lelang 8. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house lelang 9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau kotak penawaran tender atau lelang 10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender atau lelang 11. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang 12. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan 13. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenang tender atau lelang dan penandatangan kontrak 14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan Dalam tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) terdapat beberapa indikasi persekongkolan dalam tender seperti yang telah disebutkan diatas, antara lain : 27 L. Budi Kagramanto II, Op. Cit., h KPPU I, Op. Cit., h

56 41 1. Persyaratan untuk mengikuti prakualifikasi membatasi dan/atau mengarah kepada pelaku usaha tertentu. Panitia tender yaitu Terlapor I menetapkan persyaratan peserta lelang harus menunjukkan satu contoh buku untuk satu judul buku pada saat pemasukan dokumen penawaran untuk membatasi peserta tender yang akan bersaing. 2. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta tender/lelang tertentu. Panitia Tender yaitu Terlapor I cenderung memberikan keistimewaan pada para terlapor terkait karena telah melakukan pembiaran tanpa menggunakan kriteria yang jelas terhadap jumlah surat dukungan dari penerbit. 3. Adanya beberapa dokumen penawaran tender/lelang yang mirip. Dalam tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) terdapat dokumen penawaran beberapa peserta yang mempunyai kesamaan, yaitu : a. Kesamaan pada dokumen penawaran Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV berupa kesamaan pada daftar kuantitas dan harga. b. Kesamaan pada dokumen Penawaran Terlapor II dan Terlapor IV berupa kesamaan format dan kesalahan pengetikan pada dokumen pakta integritas, penulisan kata propesional, penulisan kata tidalk, penulisan seni budaya dan ketramplan. c. Kesamaan pada dokumen penawaran Terlapor II dan Terlapor III berupa kesamaan uraian pada bagian metode pelaksanaan (paket 1 dan Paket 13).

57 42 d. Kesamaan pada dokumen penawaran Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV berupa kesamaan urutan buku dalam daftar kuantitas dan harga buku. e. Kesamaan pada dokumen penawaran Terlapor II dan Terlapor IV berupa kesamaan format penulisan pada surat permohonan dukungan ke Bank Aceh. Berdasarkan indikasi persekongkolan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persekongkolan dalam tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) terjadi pada saat sebelum adanya kontrak. 2.4 Pendekatan Yuridis dalam Persekongkolan Tender Pendekatan yang digunakan dalam persaingan usaha untuk mengetahui apakah terdapat indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan pelaku usaha terhadap putusan perkara Nomor 1/KPPU- L/2013 adalah pendekatan yuridis. Pada pendekatan yuridis, secara yuridis terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu : 1. Per se Illegal (per se illegal approach) Pendekatan per se illegal merupakan pendekatan yang dipakai oleh hukum persaingan usaha untuk menganalisa suatu perjanjian atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya yang

58 43 dampak negatifnya lebih besar dibandingkan efisiensi yang dapat diharapkan. 29 Suatu perbuatan dalam persaingan usaha dikatakan sebagai illegal secara per se, apabila perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan dalam undang-undang persaingan usaha tanpa adanya suatu pembuktian. Per se approach Tindakan Terbukti Ilegal 2. Rule of Reason Pembuktian adanya suatu pelanggaran dalam persaingan usaha dapat diketahui dari apakah terdapat hambatan dalam perdagangan atau tidak, dan apakah hal tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi atau bahkan mengganggu proses persaingan atau tidak. Meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut dalam kenyataannya terbukti telah dilakukan. 30 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, persekongkolan dalam tender dinyatakan sebagai perilaku yang bersifat rule of reason, yaitu bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat. Untuk itu dalam persekongkolan tender, perlu diketahui apakah proses tersebut dilakukan 29 Winda Yulia, Persekongkolan Tender Paket Pekerjaan Di Dinas Bina Marga Sumber Daya Air dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kota Singkawang Propinsi Kalimantan Barat, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2012, h Ibid

59 44 dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Rule of Reason approach Tindakan Terbukti Faktor Lain Faktor Lain Tidak Beralasan Faktor Lain Beralasan Pendekatan per se diterapkan pada tindakan-tindakan yang pasti membawa akibat negatif terhadap persaingan, sedangkan pendekatan rule of reason diterapkan pada tindakan-tindakan yang berpotensi membawa akibat negatif terhadap persaingan. 31 Dalam perkara ini, panitia tender atau Terlapor I telah melakukan persekongkolan tender dengan Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV yang mengakibatkan terciptanya persaingan semu atau persaingan usaha tidak sehat sehingga merugikan peserta atau pelaku usaha lain. 2.5 Dampak Persekongkolan Tender Tender merupakan salah satu kegiatan pemerintah untuk melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa. Tender dilakukan dengan cara memilih pemenang 31 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor, Juli, 2004, h. 66.

60 45 tender yang memang memenuhi syarat. Pada dasarnya pemenang tender merupakan peserta tender yang memberikan penawaran yang murah dan dapat menyediakan barang/jasa dengan kualitas yang bagus. Namun dengan adanya persekongkolan dalam tender yang diatur sedemikian rupa akan memberikan dampak negatif bagi pihak lain. Dampak negatif adanya persekongkolan tender harus dihilangkan, karena dapat membawa beberapa akibat yang merugikan, diantaranya adalah : Persekongkolan tender menciptakan hambatan (barrier to entry) bagi peserta tender lainnya; 2. Persekongkolan tender dapat menimbulkan inefisiensi anggaran pemerintah serta merugikan negara; 3. Persekongkolan tender dapat mengurangi kepercayaan pasar terhadap kredibilitas pemerintah/aparat pemerintah sebagai penyelenggara tender. Berdasarkan Pedoman Pasal 22 persekongkolan dalam tender dapat merugikan dalam bentuk antara lain : 1. Konsumen atau pemberi kerja membayar harga yang lebih mahal daripada yang sesungguhnya; 2. Barang atau jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, waktu, maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur; 3. Terjadi hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender; 32 L. Budi Kagramanto II, Op. Cit., h

61 46 4. Nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa) menjadi lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka persekongkolan tersebut berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

62

63 BAB III PENANGANAN KPPU TERHADAP PERKARA TENDER PENGADAAN BARANG CETAKAN DAN ALAT PERAGA DINAS PENDIDIKAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2011 (PAKET 1 DAN PAKET 13) 3.1 Penanganan Perkara Oleh KPPU Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KPPU berwenang untuk melakukan penanganan perkara persaingan usaha yang ada di Indonesia. Tata cara penanganan perkara oleh KPPU terdapat dalam ketentuan Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 berlaku sejak 5 April 2010 dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara KPPU. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur bahwa setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga terjadi pelanggaran terhadap Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas Pelapor. Apabila terdapat kerugian atas pelanggaran tersebut 47

64 48 maka laporan harus disertai dengan bukti kerugian yang ditimbulkan. Tata cara penyampaian laporan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun Atas laporan sebagaimana dimaksud di atas maka Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan tersebut, Komisi wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. Apabila diperlukan, Komisi dapat mendengarkan keterangan saksi, saksi ahli, dan/atau pihak lain guna memudahkan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang diduga melanggar Undang-Undang tanpa adanya laporan terlebih dahulu. Pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan. Adapun alat-alat bukti pemeriksaan Komisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 42 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 berupa : 33 a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat dan/atau dokumen; d. Petunjuk; e. Keterangan pelaku usaha. 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, 1999, h. 22.

65 49 Selama penanganan perkara, pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan. Komisi wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari. Komisi wajib memutus perkara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak selesainya pemeriksaan lanjutan dan Putusan Komisi tersebut harus dibacakan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. 3.2 Penanganan Perkara Oleh KPPU Berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun Pada Pasal 2 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyebutkan bahwa ruang lingkup penanganan perkara oleh KPPU terbagi menjadi 3 (tiga) macam sumber perkara yaitu laporan Pelapor, laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi, dan inisiatif Komisi. Adapun tata cara penanganan perkara berdasarkan macam-macam sumber perkara tersebut di atas adalah :

66 50 1. Laporan Pelapor Penanganan perkara berdasarkan Laporan Pelapor terdiri atas tahapan sebagai berikut : 34 a. Laporan; b. Klarifikasi; c. Penyelidikan; d. Pemberkasan; e. Sidang Majelis Komisi; dan f. Putusan Komisi. 2. Laporan Pelapor dengan Permohonan Ganti Rugi Penanganan perkara berdasarkan Laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi terdiri atas tahapan sebagai berikut : 35 a. Laporan; b. Klarifikasi; c. Sidang Majelis Komisi; d. Putusan Komisi. 34 Komisi Pegawas Persaingan Usaha, Tata Cara Penanganan Perkara, 2010, h. 4. (selanjutnya disebut KPPU II) 35 Ibid, h. 4-5.

67 51 3. Inisiatif Komisi Penanganan perkara berdasarkan inisiatif Komisi terdiri atas tahapan sebagai berikut : 36 a. Kajian; b. Penelitian; c. Pengawasan Pelaku Usaha; d. Penyelidikan; e. Pemberkasan; f. Sidang Majelis Komisi; g. Putusan Komisi. Penanganan perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) oleh KPPU dilakukan berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun Diawali dengan Komisi menerima laporan tentang dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13). Dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010, laporan terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu laporan dan laporan dengan permohonan ganti rugi. Perbedaannya terletak pada kewajiban KPPU dalam menjaga kerahasiaan dari identitas pelapor. Dalam laporan dengan permohonan ganti rugi, KPPU tidak wajib 36 Ibid, h. 5.

68 52 menjaga kerahasiaan identitas pelapor dengan alasan tidak logis untuk merahasiakan identitas pelapor karena menyangkut transparansi mengenai ganti kerugian yang diminta oleh pelapor. berikut : 37 Sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan sebagai (1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang dapat melaporkan kepada Komisi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Ketua Komisi dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Maka setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran dapat melapor kepada Komisi. Laporan tersebut dapat ditujukan kepada Ketua Komisi secara tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dan memuat hal-hal sebagaimana dinyatakan pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010, yaitu : 38 a. Menyertakan secara lengkap identitas Pelapor, Terlapor dan Saksi; b. Menerangkan secara jelas dan sedapat mungkin lengkap dan cermat mengenai telah terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang; c. Menyampaikan alat bukti dugaan pelanggaran; d. Menyampaikan salinan identitas diri Pelapor; e. Menandatangani Laporan; 37 Ibid, h Ibid

69 53 Khusus bagi Pelapor yang meminta ganti rugi, selain memenuhi ketentuan diatas Pelapor wajib menyertakan nilai dan bukti kerugian yang dideritanya. Laporan tersebut dapat disampaikan melalui Kantor Perwakilan Komisi di Daerah. Laporan yang sudah diterima oleh KPPU tidak dapat dicabut kembali oleh Pelapor. Setelah menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang dalam tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13), maka Komisi melakukan penelitian dan klarifikasi. Klarifikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani laporan untuk mendapatkan bukti awal dalam perkara laporan. 39 Unit kerja yang menangani melakukan klarifikasi terhadap : a. Kelengkapan administrasi laporan; b. Kebenaran lokasi alamat Pelapor; c. Kebenaran identitas Terlapor; d. Kebenaran alamat Saksi; e. Kesesuaian dugaan pelanggaran Undang-Undang dengan pasal yang dilanggar dengan alat bukti yang diserahkan oleh Pelapor; f. Menilai kompetensi absolute terhadap laporan. memuat : 40 Setelah melakukan klarifikasi, maka hasil klarifikasi tersebut paling sedikit a. Menyatakan laporan merupakan kompetensi absolute KPPU; b. Menyatakan laporan lengkap secara administrasi; c. Menyatakan secara jelas dugaan pelanggaran Undang-Undang dengan pasal yang dilanggar; dan 39 Ibid, h Ibid, h. 13

70 54 d. Menghentikan proses penanganan laporan atau merekomendasikan kepada atasan langsung untuk dilakukan Penyelidikan. Apabila menurut Unit Kerja yang menangani laporan tidak memenuhi ketentuan klarifikasi seperti yang disebutkan diatas maka Unit Kerja dapat menghentikan proses penanganan laporan. Hasil klarifikasi tersebut disampaikan kepada Pelapor oleh Pimpinan Sekretariat Komisi. Dalam hal laporan dengan kerugian maka hasil klarifikasi akan disampaikan oleh Unit Kerja yang menangani laporan kepada Komisi dalam Rapat Komisi untuk mendapatkan persetujuan menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran dalam Pemeriksaan Pendahuluan. Adapun jangka waktu klarifikasi antara lain : a. Dalam hal ditemukan laporan yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), unit kerja yang menangani laporan memberitahukan dan mengembalikan kepada Pelapor paling lama 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya laporan. b. Pelapor melengkapi laporan yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari sejak dikembalikannya laporan. c. Dalam hal pelapor tidak melengkapi laporan dalam waktu yang ditentukan, maka laporan dinyatakan tidak lengkap dan penanganannya dihentikan. d. Dalam hal Pelapor tidak melengkapi laporannya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari, Pelapor dapat mengajukan laporan baru apabila menemukan bukti baru yang lengkap.

71 55 Setelah Unit Kerja melakukan penelitian dan klarifikasi maka selanjutnya dapat dilakukan tahapan Penyelidikan. Penyelidikan dilakukan oleh tim Investigator dari KPPU. Tujuan Penyelidikan adalah untuk memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran dari laporan. Dalam penyelidikan, unit kerja yang membidangi investigasi menugaskan Investigator untuk melakukan penyelidikan terhadap Hasil Klarifikasi, Laporan Hasil Kajian, Laporan Hasil Penelitian, dan Laporan Hasil Pengawasan. Investigator dalam melakukan penyelidikan melakukan langkah-langkah paling sedikit sebagai berikut : 41 a. Memanggil dan meminta keterangan Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, dan Pihak Lain yang terkait; b. Memanggil dan meminta keterangan Saksi; c. Meminta pendapat Ahli; d. Mendapatkan surat dan/atau dokumen; e. Melakukan Pemeriksaan setempat, dan/atau f. Melakukan analisa terhadap keterangan-keterangan, surat, dan/atau dokumen serta hasil Pemeriksaan setempat. Setelah dilakukan Penyelidikan, Investigator wajib menyampaikan laporan hasil Penyelidikan kepada Komisi yang paling sedikit memuat tentang : 42 a. Identitas Pelaku Usaha yang diduga melakukan pelanggaran; b. Ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar; c. Telah memenuhi persyaratan minimal 2 (dua) alat bukti. 41 Ibid, h Ibid, h. 19.

72 56 Laporan hasil penyelidikan diserahkan kepada unit kerja yang menangani pemberkasan dan penanganan perkara. Apabila Laporan Hasil Penyelidikan tidak memenuhi ketentuan maka akan dicatat dalam Daftar Penghentian Penyelidikan. Investigator wajib menyampaikan perkembangan hasil Penyelidikan kepada Komisi dalam kurun waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak dimulainya Penyelidikan. Komisi dapat menghentikan penyelidikan atau memperpanjang waktu penyelidikan apabila diperlukan. Setelah Penyelidikan selesai, maka Laporan Hasil Penyelidikan akan diserahkan kepada Unit Kerja bagian Pemberkasan dan Penanganan Perkara dan akan dilanjutkan ke tahap pemberkasan. Unit kerja Pemberkasan dan Penanganan Perkara mempunyai tugas untuk menilai layak atau tidaknya Laporan Hasil Penyelidikan dilakukan Gelar Laporan. Laporan Hasil Penyelidikan yang layak untuk Gelar Laporan akan disusun dalam Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran. Namun untuk Laporan Hasil Penyelidikan yang tidak layak untuk dilakukan Gelar Laporan akan dikembalikan kepada unit kerja yang menangani investigasi agar diperbaiki beserta alasan dan saran perbaikannya. Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran disampaikan dalam Rapat Komisi untuk dilakukan Gelar Laporan. Dalam Rapat Komisi tersebut akan dilakukan penyempurnaan atau menyetujui Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran. Berdasarkan Laporan Dugaan Pelanggaran Ketua

73 57 Komisi menetapkan Pemeriksaan Pendahuluan. Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan disampaikan kepada Pelapor dan Terlapor. Dalam hal Laporan Hasil Penyelidikan dianggap belum lengkap dan jelas, maka pemberkasan dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterima oleh Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara, harus dikembalikan untuk dilakukan perbaikan. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak dikembalikan, Laporan Hasil Penyelidikan dinyatakan lengkap dan jelas. Gelar Laporan dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Penyelidikan dinyatakan lengkap dan jelas. Laporan perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) telah dilakukan Penelitian dan Klarifikasi dan dinyatakan laporan tersebut lengkap dan jelas, sehingga berdasarkan Keputusan Rapat Komisi, Ketua Komisi menerbitkan Penetapan Komisi Nomor 01/KPPU/Pen/I/2013 pada tanggal 30 Januari 2013 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 01/KPPU- L/2013. Dalam pemeriksaan pendahuluan, Ketua Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi dengan Keputusan Komisi. Majelis Komisi terdiri dari paling sedikit 3 (tiga) Anggota Komisi yang salah satunya menjadi Ketua Majelis Komisi dan untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya Majelis Komisi dibantu oleh seorang Panitera.

74 58 Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan oleh Majelis Komisi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkannya Keputusan Komisi dan wajib telah selesai dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Pemeriksaan Pendahuluan dimulai. Menindaklanjuti hasil Rapat Komisi yang menetapkan bahwa perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) dapat dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan, maka Ketua Majelis Komisi menerbitkan Surat Keputusan Majelis Komisi Nomor 01/KMK/Kep/II/2013 tentang Jangka Waktu Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 01/KPPU- L/2013, yaitu dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal 7 Februari 2013 sampai dengan tanggal 21 Maret Untuk melaksanakan Pemeriksaan Pendahuluan Komisi menerbitkan Keputusan Komisi Nomor 36/KPPU/Kep/I/2013 tentang Penugasan Anggota Komisi sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 01/KPPU-L/2013. Setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan, Tim Pemeriksa Pendahuluan menemukan adanya bukti awal yang cukup terhadap pelanggaran Pasal 22 Undang- Undang Nomor 5 Tahun Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pendahuluan tersebut, Tim Pemeriksa Pendahuluan merekomendasikan kepada Rapat Komisi agar pemeriksaan dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan. Pemeriksaan Lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau

75 59 tidaknya bukti pelanggaran. 43 KPPU melakukan Pemeriksaan Lanjutan berdasarkan Penetapan Lanjutan. Pemeriksaan Lanjutan dilakukan oleh Majelis Komisi dengan memeiriksa alat bukti yang diajukan oleh Investigator, Pelapor dan Terlapor. Dalam Pemeriksaan Lanjutan guna mendapatkan bukti yang cukup tentang adanya dugaan pelanggaran dilakukan hal-hal sebagai berikut : a. Memeriksa dan meminta keterangan Terlapor; b. Memeriksa dan meminta keterangan dari Saksi, Ahli Bahasa, Ahli dan/atau Instansi Pemerintah; c. Meminta, mendapatkan dan menilai surat, dokumen atau alat bukti lain; d. Melakukan penyelidikan terhadap kegiatan Terlapor atau pihak lain terkait dengan dugaan pelanggaran. Majelis Komisi yang melakukan pemeriksaan lanjutan mempunyai tugas menemukan bukti ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha. Hasil dari Pemeriksaan Lanjutan diserahkan ke Komisi untuk dinilai oleh Majelis KPPU. Dalam melaksanakan Pemeriksaan Lanjutan, Komisi Majelis mempunyai wewenang : a. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan; b. Memanggil, menghadirkan dan meminta keterangan Terlapor, Saksi, Ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undangundang; 43 Ibid, h. 3.

76 60 c. Meminta keterangan dari Instansi Pemerintah; d. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; e. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan Terlapor, Saksi, Ahli, dan setiap orang yamg dianggap mengetahui pelanggaran yang tidak bersedia memenuhi pemanggilan untuk memberikan keterangan dan/atau data. Pemeriksaan terhadap Pelapor, Terlapor, Saksi dan Ahli dilakukan dalam suatu ruangan pemeriksaan KPPU atau tempat lain yang ditentukan oleh KPPU yang dihadiri paling sedikit 1 (satu) orang anggota Majelis Komisi yang melakukan Pemeriksaan Lanjutan. Proses Pemeriksaan Lanjutan dicatat dalam suatu Berita Acara Pemeriksaan Lanjutan yang ditandatangani oleh pihak yang diperiksa dan Sekretaris KPPU. Berdasarkan keterangan dan/atau bukti yang didapat dari Pemeriksaan Lanjutan maka KPPU dapat melakukan penyelidikan di lokasi dimana keterangan dan/atau bukti terkait dugaan pelanggaran dapat ditemukan. Hasil dari penyelidikan tersebut akan dicatat dalam Berita Acara Penyelidikan yang ditandatangani oleh Sekretaris KPPU. Untuk mendapatkan keterangan dari Instansi Pemerintah dilakukan dalam suatu ruangan pertemuan atau di tempat lain yang ditentukan oleh KPPU. Keterangan yang didapat dari Instansi Pemerintah akan dicatat dalam suatu Risalah Keterangan Pemerintah yang ditandatangani oleh pihak Instansi Pemerintah dan Sekretaris KPPU. Segala surat dan/atau dokumen yang didapat dari Terlapor, Saksi,

77 61 Ahli, dan Instansi Pemerintah dicatat dalam Berita Acara Penerimaan Surat dan/atau Dokumen. Majelis Komisi wajib melakukan Pemeriksaan Lanjutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan Keputusan Ketua Komisi. Majelis Komisi harus membuat kesimpulan tentang ada atau tidaknya bukti telah terjadi pelanggaran yang disusun dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan yang mana harus disampaikan berikut surat, dokumen, atau alat bukti lainnya kepada KPPU. Pemeriksaan Lanjutan berakhir dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal Pemeriksaan Lanjutan dimulai dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lanjutan ditetapkan oleh Majelis Komisi yang menangani perkara tersebut. Dalam hal menimbang rekomendasi Tim Pemeriksa Pendahuluan dalam perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13), maka Komisi menerbitkan Penetapan Komisi Nomor 04/KPPU/Pen/III/2013 tanggal 20 Maret 2013 tentang Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 01/KPPU- L/2013. Untuk melaksanakan Pemeriksaan Lanjutan, Komisi menerbitkan Keputusan Komisi Nomor 97/KPPU/Kep/III/2013 tanggal 20 Maret 2013 tentang Penugasan Anggota Komisi sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 01/KPPU-L/2013.

78 62 Berdasarkan Penetapan Komisi Nomor 04/KPPU/Pen/III/2013, maka Ketua Majelis Komisi menerbitkan Surat Keputusan Majelis Komisi Nomor 04/KMK/Kep/III/2013 tentang Jangka Waktu Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 01/KPPU-L/2013, yaitu dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal 20 Maret 2013 sampai dengan tanggal 14 Juni Dalam Pemeriksaan Lanjutan, Majelis Komisi selaku Tim Pemeriksa Lanjutan telah mendengar keterangan para Terlapor, para Saksi dan Ahli yang mana identitas dan keterangan para Terlapor, para Saksi dan Ahli telah dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan yang telah diakui kebenarannya dan ditandatangani oleh para Terlapor, para Saksi dan Ahli maka Tim Pemeriksa Lanjutan menyimpulkan dalam bentuk Hasil Laporan Pemeriksaan Lanjutan. Setelah dilakukannya Pemeriksaan Lanjutan maka Komisi melakukan musyawarah Majelis Komisi untuk menilai, menganalisa, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun Hasil Musyawarah tersebut tertuang dalam bentuk Putusan Komisi. Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran, Majelis Komisi dalam Putusan Komisi menyatakan Terlapor telah melanggar ketentuan Undang-Undang dan menjatuhkan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Dalam Putusan Komisi Majelis Komisi dapat memberikan Saran dan Pertimbangan kepada Pemerintah terkait dengan perkara yang ditangani. Untuk

79 63 pelaksanaan Musyawarah Majelis Komisi, Majelis Komisi dibantu oleh Panitera. Penentuan Putusan Komisi dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Musyawarah Majelis Komisi dilakukan secara tertutup dan rahasia. Apabila Musyawarah Majelis Komisi tidak mencapai mufakat, Putusan Komisi ditentukan dengan suara terbanyak. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) maka pendapat berbeda tersebut harus dibuat tertulis disertai alasan-alasan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan kepada Anggota Majelis Komisi lainnya dalam Musyawarah Majelis Komisi sebelum pembacaan Putusan. Majelis Komisi memberitahukan kepada Pelapor dan Terlapor mengenai waktu dan tempat pembacaan Putusan Komisi. Dalam hal Putusan yang akan dibacakan tersebut, memuat adanya tuntutan ganti kerugian oleh Pelapor, maka Majelis Komisi memberitahukan kepada Pelapor mengenai waktu dan tempat pembacaan Putusan Komisi. Majelis Komisi wajib membacakan Putusan Komisi dalam sidang yang telah dinyatakan terbuka untuk umum. Berdasarkan Pasal 62 ayat (2) Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010, Putusan Komisi paling sedikit harus memuat : 44 a. Nama Terlapor; b. Tempat domisili usaha dari Terlapor; c. Nama Pelapor dalam hal Pelapor mengajukan ganti rugi; d. Alamat Pelapor dalam hal Pelapor mengajukan ganti rugi; e. Ringkasan Laporan Dugaan Pelanggaran, Hasil Pengawasan Pelaku Usaha, atau Hasil Kajian; f. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; 44 Ibid, h. 28.

80 64 g. Pasal-pasal dalam Undang-Undang yang diduga dilanggar oleh Terlapor; h. Analisa terhadap penerapan pasal-pasal yang dalam Undang-Undang yang diduga dilanggar oleh Terlapor; i. Analisa pengeculian terhadap Undang-Undang apabila dipermasalahkan; j. Saran dan pertimbangan kepada Pemerintah apabila ada; k. Amar Putusan; l. Hari dan tanggal pengambilan Putusan; m. Hari dan tanggal pengucapan Putusan; n. Nama Ketua dan Anggota Majelis Komisi yang memutus; o. Nama Panitera. Analisa pengecualian terhadap undang-undang apabila dipermasalahkan seperti yang tercantum dalam Pasal 62 ayat (2) huruf i Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 telah di jelaskan pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, antara lain : a. Perbuatan dan atau perjanjian itu untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Perjanjian yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual dan waralaba; c. Yang berkaitan dengan standar teknis; d. Perjanjian dalam kerangka keagenan; e. Perjanjian kerjasama penelitian; f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi; g. Perjanjian dan atau perbuatan dalam rangka ekspor dengan tidak mengganggu pasokan dalam negeri; h. Pelaku usaha kecil; i. Kegiatan usaha koperasi yang melayani anggotanya. Saran dan pertimbangan kepada Pemerintah seperti yang tercantum dalam Pasal 62 ayat (2) huruf j Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 yaitu memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Seperti dalam

81 65 kasus persekongkolan tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13), Majelis Komisi memberi saran kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Selatan, Gubernur Sumatera Utara, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Putusan Komisi ditandatangani oleh Majelis Komisi dan Panitera. Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan Komisi yang telah di tandatangani oleh Panitera di kirimkan kepada Terlapor. Majelis Komisi wajib melakukan Musyawarah Majelis Komisi paling lama 7 (tujuh) hari setelah Pemeriksaan Lanjutan berakhir. Musyawarah Majelis Komisi wajib menyepakati telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap Undang- Undang dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari setelah Pemeriksaan Lanjutan berakhir. Putusan Komisi dibacakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah berakhinya Pemeriksaan Lanjutan dalam suatu Sidang Majelis Komisi yang terbuka untuk umum. Putusan KPPU terhadap perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) adalah sebagai berikut : Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013, Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pada Tender Pengadaan Barang Cetakan Dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 Dan Paket 13), 2013, h. 116.

82 66 1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; 2. Melarang Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV untuk mengikuti proses pelelangan di seluruh Indonesia selama 2 (dua) tahun; 3. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp ,- (Empat Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); 4. Menghukum Terlapor III, membayar dengan sebesar Rp ,- (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); 5. Menghukum Terlapor IV, membayar denda sebesar Rp ,- (Lima Puluh Juta Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

83 67 Putusan tersebut ditetapkan melalui musyawarah dalam Sidang Majelis Komisi pada hari Senin tanggal 29 Juli 2013 dan dibacakan di muka persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 31 Juli 2013 oleh Majelis Komisi yang terdiri dari Kamser Lumbanradja, M.B.A sebagai Ketua Majelis Komisi; Dr. Sukarmi, S.H., M.H. dan Dr. Drs. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi, dengan dibantu oleh R. Ari Kusnandar, S.H. dan Jafar Aly Barsyan, S.H. masing-masing sebagai Panitera. 3.3 Upaya Hukum Segera setelah Majelis Komisi membacakan Putusan Komisi. Panitera menyampaikan Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan Komisi kepada Terlapor. Terlapor yang merasa tidak puas dengan Putusan Komisi dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan Komisi paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan Komisi. Keberatan diajukan di Pengadilan Negeri yang berwenang. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU, apabila keberatan diajukan oleh lebih dari satu pelaku usaha untuk Putusan KPPU yang sama, dan memiliki kedudukan hukum yang sama, maka perkara tersebut harus didaftarkan dengan nomor yang sama. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari satu pelaku usaha untuk Putusan KPPU yang sama namun berbeda tempat kedudukan hukumnya. KPPU dapat

84 68 mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu Pengadilan Negeri disertai usulan Pengadilan mana yang akan memeriksa keberatan tersebut. Permohonan tersebut ditembuskan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri yang menerima permohonan keberatan Pengadilan Negeri yang mendapatkan tembusan permohonan tersebut harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima permohonan tersebut harus menunjuk Pengadilan Negeri yang akan memeriksa keberatan tersebut. Dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya Putusan, Terlapor/pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, apabila Terlapor/pelaku usaha tidak mengajukan keberatan maka dianggap telah menerima Putusan KPPU, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun Apabila diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pengadilan Negeri tersebut harus memeriksa keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya pemeriksaan keberatan tersebut. Setelah memeriksa maka Pengadilan Negeri harus memberikan Putusan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan. Apabila ada pihak yang keberatan dengan Putusan Pengadilan Negeri maka dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya 14 (empat

85 69 belas) hari sejak menerima Putusan Pengadilan Negeri seperti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun Dalam hal ini Mahkamah Agung harus memberikan Putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima. Dalam perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13), dari pihak Terlapor tidak ada tindakan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri terhadap Putusan KPPU selama 14 (empat belas) hari sejak Putusan dibacakan atau diterima secara resmi oleh pihak Terlapor, sehingga dapat dikatakan bahwa pihak Terlapor menerima Putusan KPPU. 3.4 Saran KPPU Salah satu tugas KPPU yang disebutkan dalam Pasal 35 huruf e Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini merupakan kesempatan bagi KPPU untuk dapat memperbaiki kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa kurang tepat dan untuk memperbaiki keadaan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13), KPPU memberikan saran sebagai berikut :

86 70 1. Memberikan saran kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Selatan untuk melaksanakan dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat; 2. Merekomendasikan kepada Atasan Terlapor I untuk memberikan sanksi Administratif kepada Terlapor I sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; 3. Memberikan saran kepada Gubernur Sumatera Utara untuk memberikan teguran kepada Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan atas tindakan yang tidak profesional dan melanggar Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dengan mengangkat PPK, Ketua dan anggota Panitia Tender yang tidak bersertifikat dari LKPP; 4. Memberikan saran kepada Inspektur Jenderal Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan audit realisasi atas Paket 1 dan Paket 13 Perkara a quo ke seluruh sekolah dasar yang menerima buku dari anggaran DAK Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011; 5. Memberikan saran kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan evaluasi pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) sehingga pelaksanaan tender di daerah mempunyai cukup waktu; 6. Memberikan saran kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit khusus terhadap Tender Paket 1 dan Paket 13 yang berpotensi menimbulkan kerugian negara pada perkara a quo.

87 71 Dengan saran yang KPPU berikan diharapkan dapat memperbaiki keadaan persaingan dalam pelaksanaan tender di lingkungan pemerintah khususnya di lingkungan Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. Dalam amar putusan perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket1 dan Paket 13), KPPU tidak memberikan sanksi terhadap Terlapor I selaku Panitia Tender. Hal ini dikarenakan KPPU tidak memiliki kewenangan untuk menerapkan sanksi kepada Terlapor I selaku Panitia Tender yang merupakan Instansi Pemerintah. Kewenangan KPPU hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada atasan pejabat (panitia tender) yang bersangkutan untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada mereka. 46 Sehingga kesempatan untuk memberikan saran dan rekomendasi sangat dimanfaatkan oleh KPPU guna menyelaraskan pandangan terhadap persaingan usaha antara KPPU dan Pemerintah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 46 A. M. Tri Anggraini, Sanksi dalam Perkara Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU, Jakarta, 2007, h. 28.

88

89 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Kegiatan tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) merupakan persekongkolan tender yang dilarang dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena telah memenuhi unsur-unsur Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu unsur pelaku usaha, unsur bersekongkol, unsur pihak lain, unsur mengatur dan/atau menentukan pemenang tender dan unsur persaingan usaha tidak sehat. Bentuk persekongkolan yang dilakukan oleh para Terlapor adalah persekongkolan horisontal dan vertikal dengan indikasi adanya kerjasama antara peserta tender dan panitia tender yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan berdampak negatif bagi pihak lain, pemerintah dan masyarakat. 2. Penanganan perkara oleh KPPU terhadap perkara tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) telah sesuai dengan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Karena tidak ada upaya keberatan dari para Terlapor terhadap 72

90 73 Putusan KPPU ke Pengadilan Negeri maka para Terlapor dianggap telah menerima putusan KPPU. 4.2 Saran 1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu persekongkolan tender telah banyak terjadi dan memberikan dampak negatif bagi persaingan usaha maupun perekonomian negara. Penulis memberikan saran agar pemerintah lebih tegas dalam menyikapi permasalahan persekongkolan tender dengan lebih memperhatikan dan menjalankan aturan tender sesuai dengan ketentuan dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan tidak terlepas dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2. Penanganan perkara oleh KPPU diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, diharapkan KPPU lebih teliti dalam melaksanakan tahap-tahap penanganan perkara tersebut agar tercapai Putusan yang adil dan bijaksana serta dalam melaksanakan tugasnya KPPU diharapkan lebih berperan aktif dalam memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah terkait dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat agar dapat meminimalkan pelanggaranpelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun Diharapkan penerapan sanksi administratif atas perkara persekongkolan tidak hanya

91 74 berlaku bagi pelaku usaha saja, namun juga bagi pihak lain yaitu panitia tender yang merupakan unsur pemerintah.

92

93 DAFTAR BACAAN BUKU Fuady, Munir, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan Sehat), Citra Aditya Bakti, Bandung, Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana, Jakarta, Kagramanto, L. Budi, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), Srikandi, Surabaya, , Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laros, Surabaya, Lubis, Andi Fahmi, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, Indonesia, Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, Puspaningrum, Galuh, Hukum Persaingan Usaha (Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia), Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Rokan, Mustafa Kamal, Hukum Persaingan Usaha, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

94 Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, JURNAL Tri Anggraini, A. M., Sanksi dalam Perkara Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU, Jakarta, KAMUS Gamer, Bryan A., Black s Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing Co., USA, PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.

95 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender. PUTUSAN Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2013 tentang Persekongkolan Tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13). Putra, Marsetio Perdhana, Persekongkolan Tender Eksplorasi Minyak Di Blok Madura, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Yulia, Winda, Persekongkolan Tender Paket Pekerjaan Di Dinas Bina Marga Sumber Daya Air dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kota Singkawang Propinsi Kalimantan Barat, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, WEBSITE

96

97 P U T U S A N Perkara Nomor 01/KPPU-L/2013 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia selanjutnya disebut Komisi yang memeriksa Perkara Nomor 01/KPPU-L/2013 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Tender Pengadaan Barang Cetakan dan Alat Peraga Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 (Paket 1 dan Paket 13) yang dilakukan oleh : ) Terlapor I, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun Anggaran 2011 ( Panitia Tender ), berkedudukan di Jalan Sutan Soripada Mulia Nomor 17 Padang Sidepuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara; ) Terlapor II, CV. Budi Utomo, berkedudukan di Jalan Palang Merah Nomor 52/54 Medan Sumatera Utara; ) Terlapor III, PT. Madju Medan Cipta, berkedudukan di Jalan Amalium Nomor 37 Medan, Sumatera Utara; ) Terlapor IV, CV. Padang Mas, berkedudukan di Jalan Letjen Jamin Ginting Nomor 583 Medan, Sumatera Utara; telah mengambil Putusan sebagai berikut: Majelis Komisi: Setelah membaca Laporan Dugaan Pelanggaran; halaman 1 dari 118

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi Indonesia dalam hal menyelesaikan permasalahan di bidang ekonomi khususnya dalam persaingan usaha.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangan zaman pada saat ini, adanya pembangunan nasional ke depan merupakan serangkaian upaya untuk memajukan perkembangan pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang berhak untuk melakukan suatu usaha, hal ini dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka seharihari. Di dalam kondisi

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya dalam bidang perekonomian suatu negara dapat dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha dalam negeri

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat di Indonesia, maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pengantar Pasal 35 huruf (f): Menyusun pedoman dan atau publikasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, tindakan atau perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. persaingan usaha yang sehat di sektor perunggasan telah menjalankan

BAB III PENUTUP. persaingan usaha yang sehat di sektor perunggasan telah menjalankan 162 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam mendorong iklim persaingan usaha yang sehat di sektor perunggasan telah menjalankan perannya sesuai dengan tugas dan

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 http://www.harianpilar.com I. Pendahuluan Pengadaan barang atau jasa pada

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi ekonomi saat ini, dunia usaha merupakan salah satu kegiatan yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Lahirnya pengusahapengusaha baru dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang

BAB I PENDAHULUAN. Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang atau jasa agar barang atau jasa dibeli oleh pihak yang melakukan penawaran tender yang bersangkutan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong 1. PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong timbulnya berbagai kegiatan usaha dan juga pelaku usaha yang berperan untuk memajukan kegiatan ekonomi.

Lebih terperinci

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA MONOPOLI Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

PENGECUALIAN MONOPOLI DAN/ATAU PEMUSATAN KEGIATAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA

PENGECUALIAN MONOPOLI DAN/ATAU PEMUSATAN KEGIATAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA PENGECUALIAN MONOPOLI DAN/ATAU PEMUSATAN KEGIATAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Tiara Oliviarizky Toersina 1), Anik Tri Haryani 2) 1),2) Dosen Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi persaingan merupakan satu karakteristik yang melekat dengan kehidupan manusia, dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN... iv DAFTAR ISI Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar...... Daftar Isi... Intisari...... Abstract... i iv x xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Permasalahan.. 1 B. Perumusan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kepada Toray Advanced Materials Korea Inc. Dalam suatu tindakan pengambilalihan saham

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Perlindungan Usaha Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi SH HK 1201 2 V (lima) Muhammad

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan usaha 1. Dasar Hukum Persaingan Usaha Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu faktor yang mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, iklim persaingan antar pelaku usaha harusnya dijaga dan dipertahankan baik oleh sesama pelaku

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT http://ekbis.sindonews.com/ Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Bahan Konsinyering, 06-02-17 MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Undang-Undang Nomor... Tahun... tentang RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 1. KPPU dalam melakukan penanganan perkara-perkara persekongkolan tender,

BAB III PENUTUP. 1. KPPU dalam melakukan penanganan perkara-perkara persekongkolan tender, 104 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dikemukakan kesimpulan berikut: 1. KPPU dalam melakukan penanganan perkara-perkara persekongkolan tender, harus membuktikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif Pedoman Pasal 47 Tentang Tindakan Administratif KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 252 /KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 47 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU

DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU sukarmi@kppu.go.id 1 KEBERADAAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA KPPU dan Performanya dalam menjalankan UU No. 5/1999 2 - LATAR BELAKANG - 1 Masyarakat belum mampu berpartisipasi

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN 88 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kriteria tender pengadaan barang dan jasa pemerintah akan berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara Indonesia. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di luar perusahaan, antara lain melalui Penggabungan (merger), Pengambilalihan

BAB I PENDAHULUAN. di luar perusahaan, antara lain melalui Penggabungan (merger), Pengambilalihan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, persaingan usaha dalam pasar perdagangan semakin ketat. Perusahaan dituntut untuk selalu mengembangkan strategi dan menciptakan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Pada kenyataannya saat sekarang ini ekonomi pasar

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Pada kenyataannya saat sekarang ini ekonomi pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan LAPORAN AKHIR STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang KERJASAMA Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, Dan Aset (DPPKA) Kota Tarakan Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai tujuan bernegara yang dituangkan dalam alinea ke

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai tujuan bernegara yang dituangkan dalam alinea ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai tujuan bernegara yang dituangkan dalam alinea ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018 ANALISIS PERJANJIAN INTEGRASI VERTIKAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 1 Oleh : Andi Zuhry 2 KOMISI PEMBIMBING: Dr. Devy K. G. Sondakh, SH,

Lebih terperinci

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. berbasiskan internet yaitu pelaksanaan lelang melalui internet.

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. berbasiskan internet yaitu pelaksanaan lelang melalui internet. 11 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan pada berbagai sisi kehidupan. Dengan teknologi informasi yang berkembang saat ini, maka memudahkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha. Dasar hukum pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha. Dasar hukum pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha Dasar hukum pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Tinjauan yuridis..., M.Salman Al-Faris, FHUI, 2009 Universitas Indonesia

Tinjauan yuridis..., M.Salman Al-Faris, FHUI, 2009 Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Roda perekonomian bergerak diatur dan diawasi oleh perangkat hukum, baik perangkat hukum lunak maupun perangkat hukum keras. 1 Berdasarkan pemikiran tersebut, perangkat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER

JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER TAHUN 2011-2013 DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam menghadapi perkembangan era globalisasi pekerja dituntut untuk saling berlomba mempersiapkan dirinya supaya mendapat pekerjaan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Lebih terperinci

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA LAMPIRAN Lampiran TRANSKRIP HASIL WAWANCARA Prinsip Kepastian Hukum (Rule of Law) 1. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip kepastian hukum (rule of law) dalam pengadaan televisi oleh Bagian Perlengkapan Sekretariat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat pertumbuhan ekonominya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat pertumbuhan ekonominya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaru diukur berdasarkan besaran

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER oleh Putu Nindya Krishna Prasanti Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa Perdata Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Pembangunan Nasional yang dilaksanakan saat ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan

Lebih terperinci

Hukum Persaingan Usaha

Hukum Persaingan Usaha Hukum Persaingan Usaha Oleh : Prof Dr Jamal Wiwoho, S.H.,M.Hum. 1 Sejarah Letter of Intent (LoI) : Pemerintah Indonesia IMF Tap MPR RI tahun 1973 Perubahan & perkembangan Hk. Bisnis (ketidakmampuan pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan lembaga keuangan yang sering muncul sengketa yang bersentuhan dengan hukum dalam menjalankan usahanya. Sengketa Perbankan bisa saja terjadi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian negara tersebut. Apabila membahas tentang perekonomian suatu negara, maka tidak lepas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah merger dapat didefinisikan sebagai suatu fusi atau absorbsi dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pertumbuhan perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa iklim bersaing di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan, dimana Indonesia telah membangun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas bersama antara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa perilaku concerted action

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger,

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, konsolidasi dan akuisisi. Merger, konsolidasi dan akuisisi kerap berpengaruh terhadap persaingan

Lebih terperinci

TATA CARA PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

TATA CARA PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. TATA CARA PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN www.diklat.net I. PENDAHULUAN Bahwa sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa Desa

Lebih terperinci