Nurhasanah P

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Nurhasanah P"

Transkripsi

1 Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor) Nurhasanah P SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 11 Januari 2012 Nurhasanah NRP. P ii

4 ABSTRACT NURHASANAH. Processing and Utilization Leachate as Liquid Fertilizer to Support the Development of Sustainable Waste Disposal Site. (Case study at Waste Landfill in Bogor District). Under supervision of LATIFAH K, DARUSMAN, SURJONO HADI SUTJAHJO and BIBIANA WIDIYATI LAY. Until recently, leachate has been an unsolvable problem in most cities in Indonesia. Most of them has not been processed properly. It causes pollution in water bodies around the final waste disposal. Moreover, the process of leachate into usefull materials as liquid fertilizer and apllying it at planting, have not been done. The objectives of this research were to obtain environmentally safe effluent and liquid fertilizer from leachate from a Final Waste Disposal Site in Galuga owned by Regional Government of Bogor City. This research was conducted from July 2006 through to April The experiment was started by aerating the leachate at 4 difference aeration rates (0, 10, 30 and 70 liters/minute) followed by passing through the effluent from the upper side of column of zeolite that has three difference particle sizes (5-10, and mesh). The experiment of production liquid fertilizer was carried out by adding lime or KMnO 4 with different dosage into sediment generated from processing by aerating at 70 liters/minute followed by centrifugation process or shaker. Further, the liquid fertilizer generated from such experiment were applied to chili s plant (Capsicum annum). The research results shows that the 2 phases processing conducted by aerating at the rate 70 liters/minute and passed to mesh zeolite particles was the most effective in reducing pollutants from leachate. The addition of 1000 ppm CaO or Ca(OH) 2 limes in sediment from aeration is the most effective in depositing the dissolved material and the addition of 0.01% KMnO 4 combined with the addition of 1000 ppm CaO was the most effective in depositing the dissolved material compared to the addition of KMnO 4 in other dosage. Liquid fertilizer generated through the addition of 1000 ppm CaO followed by centrifugation have the content of (ppm) N = 375,83, P = 121,44, K = 948,11, Ca = 8300,00, Mg = 959,50, S = 48,53, Cu = 9,83, Zn = 35,68, Mn = 264,81, Fe = 348,24, Pb = 13,53, Cd = 7,86 and Cr = 2,27; and liquid fertilizer generated through the addition of 0.01% KMnO 4 and 1000 ppm CaO has the content of (ppm) N = 306,40, P = 93,90, K = 1023,08, Ca = 8146,10, Mg = 897,50, S = 39,23, Cu = 16,72, Zn = 39,42, Mn = 429,25, Fe = 362,82, Pb = 16,25, Cd = 9,62 and Cr = 2,43. The use of liquid fertilizer generated by adding 1000 ppm CaO followed by centrifugation were the most effective in enhancing vegetation growth and production of chili s fruits. The non essential element (Pb, Cd and Cr) in fruits from vegetation given liquid fertilizer produced from such treatment did not exceed tolerable threshold. Keywords: effluent, leachate, liquid fertilizer iii

5 RINGKASAN NURHASANAH. Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung TPA Sampah Lestari (Studi Kasus pada TPA sampah Galuga di Kabupaten Bogor), di bawah bimbingan LATIFAH K. DARUSMAN, SURJONO HADI SUTJAHJO dan BIBIANA WIDIYATI LAY. Hingga saat ini, lindi dari tempat pembuangan akhir sampah masih selalu menjadi sumber masalah di kota-kota di Indonesia. Hal itu terjadi karena umumnya lindi belum dikelola dengan baik. Lindi belum diolah secara maksimal menjadi efluen yang aman dialirkan ke lingkungan hingga lindi selalu mencemari badan-badan air di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Apabila hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan menimbulkan penolakan masyarakat terhadap keberadaan TPA sampah di wilayahnya. Pada dasarnya, TPA sampah tidak akan dipermasalahkan oleh masyarakat di sekitar TPA sampah apabila keberadaan TPA sampah tidak menyebabkan pencemaran baik pencemaran yang disebabkan oleh sampah padat atau lindinya. Apabila keberadaan TPA sampah dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat baik keuntungan yang diperoleh dari sampah padat maupun dari lindinya diharapkan akan menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap TPA sampah dan bahkan diharapkan masyarakat sekitar TPA sampah justru yang menginginkan agar TPA sampah tetap berada di wilayahnya. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan efluen yang aman bagi lingkungan dan bahan pupuk cair dari lindi yang berasal dari tempat pembuangan akhir sampah Galuga yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Juli 2006 hingga bulan April Penelitian ini merupakan penelitian berskala laboratorim menggunakan drum plastik yang diberi dua kran di bagian bawahnya. Kran pertama berada sekitar 25 cm dari dasar drum untuk mengeluarkan efluen yang aman dialirkan ke lingkungan dan kran kedua berada pada dasar drum untuk mengeluarkan efluen yang akan diolah menjadi bahan pupuk cair. Penelitian diawali dengan percobaan pemberikan udara selama 6 jam pada lindi pada empat laju aerasi yang berbeda (0, 10, 30 dan 70 liter/menit) untuk menghasilkan efluen yang aman dibuang ke lingkungan yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen yang dikeluarkan dari kran atas melalui zeolit yang memiliki tiga ukuran partikel yang iv

6 berbeda (5 10 mesh, mesh dan mesh) untuk mengurangi polutan yang masih tersisa. Percobaan pembuatan bahan pupuk cair diawali dengan menambahkan kapur (CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 atau dolomit) pada 11 dosis yang berbeda (500, 750, 1000, 1250, 1500, 1750, 2000, 3000, 4000, 5000, 6000 ppm) pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Kemudian kedua bahan ini diaduk agar tercampur merata. Upaya untuk mendapatkan kadar logam mikro yang lebih maksimal, maka pada campuran tersebut diproses lebih lanjut melalui sentrifugasi atau pengocokan. Oleh karena perlakuan pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menyebabkan nilai Total Dissolve Solid (TDS) pada sentratnya paling rendah, maka perlakuan ini dicobakan kembali dengan cara yang sama dan mengkombinasikannya dengan pemberian KMnO 4 pada empat dosis yang berbeda (0, 0,01, 0,02 dan 0,03%). Bahan pupuk cair yang dihasilkan dari percobaan tersebut diaplikasikan sebagai pupuk daun (dosis 4ml/liter) pada pertanaman cabai (Capsicum annum). Sebagai pembanding, pada percobaan ini juga digunakan pupuk cair komersial (Alami, Lauxin, Kontanik dan Petrovita ). Hasil percobaan pengolahan lindi menjadi air yang aman bagi lingkungan melalui cara aerasi dan penggunaan zeolit menunjukkan bahwa pengolahan dua tahap yang dilakukan dengan pemberian udara pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluennya pada zeolit yang berukuran partikel mesh memiliki efektivitas menurunkan polutan tertinggi dan efluennya memiliki kadar polutan terendah. Polutan yang dapat diturunkan hingga di bawah baku mutu melalui perlakuan ini adalah COD, TDS, TSS, E. coli, Cu dan Pb. Hasil percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan dari kran bawah menunjukkan bahwa penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menyebabkan nilai TDS pada sentrat terendah yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan, jumlah padatan terlarut yang dapat diendapkan mencapai jumlah maksimal. Pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 lebih efektif dalam mengendapkan Mn dan Fe dibanding pemberian CaCO 3 maupun dolomit pada 11 dosis yang dicobakan. Pemberian CaO atau Ca(OH) 2 pada dosis 1000 ppm juga lebih efektif dalam mengendapkan Cu dan Zn dibanding pada dosis yang lebih tinggi. Penambahan 0,01% KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau v

7 Ca(OH) 2 pada endapan hasil aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan dari kran bawah menunjukkan nilai TDS pada sentrat terendah dan perlakuan ini paling efektif dalam mengendapkan Cu, Zn dan Fe. Bahan pupuk cair yang dihasilkan melalui penambahan 1000 ppm CaO diikuti oleh proses sentrifugasi memiliki kadar (ppm) N = 375,83, P = 121,44, K = 948,11, Ca = 8300,00, Mg = 959,50, S = 48,53, Cu = 9,83, Zn = 35,68, Mn = 264,81, Fe = 348,24, Pb = 13,53, Cd = 7,86 dan Cr = 2,27; sedangkan bahan pupuk cair yang dihasilkan melalui penambahan 0,01% KMnO 4 dan 1000 ppm CaO yang diikuti oleh proses sentrifugasi memiliki kadar (ppm) N = 306,40, P = 93,90, K = 1023,08, Ca = 8146,10, Mg = 897,50, S = 39,23, Cu = 16,72, Zn = 39,42, Mn = 429,25, Fe = 362,82, Pb = 16,25, Cd = 9,62 dan Cr = 2,43. Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan pupuk cair yang dihasilkan melalui penambahan 1000 ppm CaO atau 0,01% KMnO 4 dengan 1000 ppm CaO paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari perlakuan ini lebih tinggi dibanding tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diberi perlakuan lainnya. Tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diberi perlakuan ini tidak nyata berbeda dibanding tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial. Kadar logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dalam buah dari tanaman yang diberi pupuk cair yang dihasilkan dari perlakuan tersebut tidak melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan. Kata Kunci : efluen, lindi, pupuk cair. vi

8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB. vii

9 Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor) Nurhasanah P Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 viii

10 Penguji luar komisi pada ujian tertutup : 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS Penguji luar komisi pada ujian terbuka : 1. Dr. Nonon Saribanon, MSi 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc ix

11 HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi : Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatan sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA sampah Lestari (Studi Kasus di TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor) Nama : Nurhasanah NRP Program Studi : P : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Latifah K. Darusman, MS Ketua Prof. Dr. Bibiana Widiyati Lay, MSc Anggota Prof. Dr. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr NIP NIP x

12 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor) yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2006 hingga April Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan baik moril maupun materil serta bimbingan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. Latifah K. Darusman, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS maupun Prof. Dr. Bibiana Widiati Lay, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan serta memberi saran demi kemajuan penulisan dan menyempurnakan tulisan ini. 2. Prof. Dr. Surjono Hadi Sutjahjo, MS yang pada saat beliau masih menjabat Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor selalu memacu, memotivasi dan memberikan solusi atas setiap permasalahan yang penulis hadapi serta meluangkan waktu setiap saat diperlukan dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan studi. 3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas perkenan beliau yang mengijinkan penulis meneruskan pendidikan di program studi ini. 4. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf akademik/administrasi yang telah berkenan menerima dan mengasuh serta selalu mendukung penulis untuk kelancaran dan kesuksesan studi ini. xi

13 5. Penguji Luar Komisi pada saat Ujian Tertutup (Dr. Ir. Widiatmaka, DAA dan Dr. Ir Etty Riany, MS) dan Penguji Luar Komisi pada saat Ujian Terbuka (Dr. Nonon Saribanon, MSi dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc) yang telah memberikan banyak masukan yang berarti bagi perbaikan Disertasi ini. 6. Rektor, Pembantu Rektor I, Dekan FMIPA, Pembantu Dekan I FMIPA, Pembantu Dekan II FMIPA, Ketua Program Studi Agribisnis FMIPA, Direktur, Asisten Direktur I dan Asisten Direktur II Program Pascasarjana Universitas Terbuka yang telah memotivasi penulis dan memberikan solusi agar penulis dapat menyelesaikan studi. 7. Prof. Dr. Atwi Suparman, MSc, mantan Rektor UT yang pada saat menjabat sebagai Rektor UT telah memberikan perpanjangan tugas belajar selama 1 tahun sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian. 8. Pimpinan Dikti dan Penanggung Jawab Program Beasiswa BPPS yang telah membiayai pelaksanaan tugas belajar ini. 9. Prof. Dr. H. Surjono Hadi Sutjahjo, Prof. Dr. Bibiana Widiati Lay, MSc, Dr. Catur Herison, MSc dan Dr. Rustikawati, MSi selaku Penanggung Jawab dan Pengelola Dana Hibah Pascasarjana dari Direktur P2M DIKTI yang telah membantu sebagian dana penelitian. 10. Dr. Hilman, Penanggung Jawab Laboratorium Konservasi Seameo Biotrop Bogor atas bantuan mengijinkan penulis menggunakan laboratorium dan rumah kaca. 11. Staf Laboratorium Servis Seameo Biotrop Bogor yang telah membantu analisis. 12. Staf Laboratorium Kimia Fisik, Jurusan Ilmu Kimia, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu analisis. 13. Staf Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu analisis. 14. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu baik moril maupun materil kepada penulis. xii

14 Akhir kata, semoga kepada semua pihak yang telah membantu mendapat ganjaran kebaikan dari Allah S.W.T. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan dengan segala kerendahan hati, penulis menerima segala masukan, kritikan dan saran agar tulisan ini dapat disempurnakan sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah terutama yang diberi kewenangan dalam menangani Tempat Pembuangan Akhir Sampah maupun pihak lain yang membutuhkannya. Bogor, 11 Januari 2012 Nurhasanah xiii

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Nopember 1963 di Jakarta Pusat, merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara dari ayah M. Romdid dan ibu Marwiyah. Penulis menamatkan Pendidikan Dasar tahun 1975 di SDN Tanah Tinggi II Jakarta Pusat; Pendidikan Menengah Tingkat Pertama tahun 1979 di SMPN LXXVIII Jakarta Pusat; Pendidikan Menengah Atas tahun 1982 di SMPPN I Jakarta Pusat. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Perintis II (PP II) dan lulus sebagai Sarjana Ilmu Tanah pada tahun Pada tahun 1996, penulis mendapat kepercayaan mengikuti Pendidikan Pascasarjana strata dua (S2) pada Jurusan Ilmu Tanah di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelas Magister Sains (MSi) pada tahun Selanjutnya, pada tahun 2002 hingga sekarang, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana strata tiga (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1988 penulis diangkat menjadi pegawai negeri sebagai dosen di Universitas Terbuka dpk. Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka (UPBJJ- UT) Palembang hingga tahun Awal tahun 1991, penulis pindah ke UPBJJ-UT Bogor dengan status yang sama. Pada bulan Nopember tahun 2004, penulis ditugaskan di Unit Pascasarjana Universitas Terbuka Pusat, di Pondok Cabe Ciputat Tangerang. Penulis menikah dengan Rachimuddin pada tahun 1991 dan hingga saat ini telah dikaruniai dua orang putra, yaitu Abdul Aziz (lahir pada tahun 1993 di Bogor) dan Lukman Hakim (lahir pada tahun 1994 di Bogor). xiv

16 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xx DAFTAR GAMBAR. xxiv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Novelty... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA TPA Sampah dan Pembentukan Lindi Karakteristik Lindi BOD dan COD Bahan Anorganik Bakteri Patogen Total Dissolve Solid, Total Suspended Solid dan Padatan Mengendap Pengaruh Lindi terhadap Lingkungan Gangguan terhadap Kesehatan Gangguan terhadap Kehidupan Biotik Gangguan terhadap Keindahan dan Kenyamanan Gangguan terhadap Benda.. 15 xv

17 2.4 Pengolahan Air Limbah Pengolahan Aerasi Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan dari Limbah Cair Potensi Lindi menjadi Pupuk Cair Upaya Mengendapkan Logam Mikro melalui Penambahan Kapur atau KMnO 4 maupun Proses Fisik Beberapa Logam Mikro yang terdapat pada Lindi dan Manfaatnya bagi Tanaman Pupuk dan Pemupukan Jenis Unsur Hara yang Dibutuhkan Tanaman Jenis-Jenis Pupuk Cair Dasar dalam Melakukan Pemupukan Analisis Status Hara III. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tahapan Penelitian Pengolahan Tahap I (Pengolahan Aerasi melalui Pemberian Udara pada Laju yang Tinggi) Tujuan Bahan dan Alat Rancangan Percobaan Pelaksanaan Analisis Data Metode Analisis Pengolahan Lanjutan terhadap Efluen Hasil Aerasi Menggunakan Zeolit sebagai Penjerap Polutan Tujuan Bahan dan Alat Rancangan Percobaan xvi

18 3.4.4 Pelaksanaan Analisis Data Metode Analisis Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan Kapur dan Proses Fisik Tujuan Bahan dan Alat Rancangan Percobaan Pelaksanaan Analisis Data Metode Analisis Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan KMnO 4 dan Proses Fisik Tujuan Bahan dan Alat Rancangan Percobaan Pelaksanaan Analisis Data Metode Analisis Percobaan Rumah Kaca Tujuan Bahan dan Alat Rancangan Percobaan Pelaksanaan Analisis Data Metode Analisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD 5, COD, E. coli, NH 3 dan Sulfida xvii

19 4.1.2 Pengaruh Laju Aerasi terhadap Total Disolve Solute (TDS), ph dan Logam Terlarut Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Kadar NH 3, Sulfida, BOD 5 dan COD Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Penurunan Logam Terlarut dan ph Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Total Suspended Solid (TSS) dan Jumlah Padatan Mengendap Ukuran Partikel Zeolit yang Layak Digunakan dalam Pengolahan Tahap II Pengaruh Jumlah Tahapan Pengolahan terhadap Kualitas Efluen yang Dihasilkan Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Nilai TDS, ph dan Kadar Ca 2+ pada Sentrat Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan Kapur) Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan Kapur) Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Nilai TDS, ph, Kadar Mn dan Ca pada Sentrat Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan xviii

20 4.4.3 Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan KMnO 4 ) Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan KMn0 4 ) Kadar Hara, E. coli dan Bahan Organik pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi Hasil Percobaan Rumah Kaca Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dihasilkan melalui Proses Fisik yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pengaruh Penambahan NPK pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Kadar Pb, Cd dan Cr pada Buah Cabai Desain IPAL TPA Sampah untuk Menghasilkan Efluen Layak Buang dan Bahan Pupuk Cair. 150 V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran VI. DAFTAR PUSTAKA VII. LAMPIRAN. 163 xix

21 DAFTAR TABEL Teks Halaman 1. Komposisi lindi buangan domestik Kualitas lindi TPA sampah Bantar Gebang Hasil pengukuran kualitas lindi TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor 8 4. Klasifikasi tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air Unsur hara yang berasal dari tanaman dan sumbernya Kandungan logam berat dalam lumpur TPA Sampah Bantar Gebang Organisme patogen yang sering ditemukan di sampah Kategori bau pada sampah Hubungan antara lama aerasi dan konsentrasi oksigen terlarut Bakteri dan fungsinya Rata-rata konsentrasi influen dan efluen dari proses penyisihan biologi Persentase logam berat tertukar dari zeolit tanpa aktivasi dan zeolit diaktivasi melalui pemanasan Urutan selektivitas kation berdasarkan perbedaan aktivasi Kualitas keluaran pengolahan air buangan dengan menggunakan zeolit Bayah pada laju alir 22 liter per menit Unsur hara yang dibutuhkan tanaman Kisaran zat hara yang terdapat pada lindi Nama beberapa pupuk cair, sumber, komposisi dan cara pemberiannya Konsentrasi umum larutan hara mikro untuk penyemprotan daun Persyaratan teknis minimal pupuk cair Beberapa contoh pupuk daun cair yang beredar di pasaran, komposisi, aplikasi dan manfaatnya Metode analisis yang digunakan pada percobaan pengolahan aerasi Metode analisis yang digunakan pada percobaan penggunaan zeolit sebagai penjerap polutan xx

22 23. Metode analisis yang digunakan pada percobaan pembuatan pupuk cair dari lindi Perlakuan percobaan rumah kaca Metoda analisis yang digunakan pada percobaan rumah kaca Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan bawah pada jam ke KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian Kadar beberapa logam terlarut pada efluen hasil olahan aerasi setelah efluen dilewatkan melalui zeolit Efektivitas penurunan polutan lindi dari pengolahan tahap I dan tahap II Nilai beberapa parameter pencemar pada efluen hasil olahan tahap I dan tahap II serta baku mutu pada masing-masing golongan peruntukan Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan kapur ph pada sentrat dari perlakuan kapur Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan pemberian 1000 ppm kapur Nilai TDS, ph dan Ca pada sentrat dari perlakuan fisik yang berbeda Nilai beberapa parameter kimia pada sentrat berdasarkan perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) Kadar hara makro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Kadar logam mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Kadar E. coli dan bahan organik yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang digunakan dalam penelitian Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar logam Pb, Cd dan Cr yang dapat ditoleransikan xxi

23 Lampiran 1. Hasil analisis pendahuluan Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi selama 6 jam terhadap kadar polutan pada efluennya Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi selama 6 jam terhadap efektivitas penurunan beberapa polutan dan peningkatan ph dan DO Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi terhadap perubahan nilai BOD 5, DO, nilai TDS, ph, nilai MLVSS dan laju penguraian BOD Hasil uji F pengaruh pengolahan 1 tahap (aerasi 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (penggunaan zeolit pada 3 ukuran partikel yang berbeda) terhadap kadar polutan pada efluen Hasil uji F pengaruh ukuran partikel zeolit terhadap efektivitas penurunan polutan Hasil uji F pengaruh pemberian kapur terhadap nilai TDS, ph dan kadar Ca pada sentrat Hasil uji F pengaruh pemberian kapur terhadap kadar logam mikro pada endapan Hasil uji F pengaruh pemberian kapur dan KMnO 4 terhadap nilai TDS, ph, kadar Mn dan Ca pada sentrat Hasil uji F pengaruh pemberian kapur dan KMnO 4 terhadap kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan Hasil uji F pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman serta kadar Pb, Cd dan Cr dalam buah Nilai beberapa parameter kimia pada efluen setelah diaerasi selama 6 jam Data efektivitas (%) dari pengolahan aerasi selama 6 jam Data hasil percobaan aerasi dari jam ke 1 hingga jam ke Nilai beberapa parameter kimia pada efluen hasil percobaan pengolahan menggunakan zeolit Efektivitas (%) penurunan polutan dari pengolahan lindi dengan menggunakan zeolit ph pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur Nilai TDS pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur xxii

24 19. Kadar Ca pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur Kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur Nilai TDS, ph, kadar Mn dan Ca pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur dan KMnO Kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur dan KMnO Kadar hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S), E. coli dan bahan organik pada pupuk cair berbahan dasar lindi Tinggi tanaman, bobot brangkasan tanaman, jumlah buah, bobot buah dan kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah hasil percobaan rumah kaca 193 xxiii

25 DAFTAR GAMBAR Teks Halaman 1. Kerangka pemikiran Reaktor sistem batch (Wisjnuprapto, 1995) Pola pertumbuhan bakteri (Wisjnuprapto, 1995) Aerasi dengan memasukkan udara ke dalam air limbah (Sugiharto, 1987) Struktur rangka zeolit (Sutarti dan Rahmawati, 1994) Aliran melalui media berbutir (Fair et al., 1963) Kantong plastik berisi lindi yang akan diteliti Tahapan penelitian Kondisi lindi sebelum dilakukan pengambilan sampel Alat yang digunakan dalam penelitian Kolom yang berisi zeolit yang digunakan dalam penelitian Bibit cabai sesaat sebelum dipindahkan ke polibag Fluktuasi nilai BOD 5 pada empat taraf laju aerasi Efektivitas penurunan BOD 5 (%) dari masing-masing laju aerasi Laju penguraian BOD 5 (k) tiap jam pada empat tingkat laju aerasi Fluktuasi nilai MLVSS pada empat taraf laju aerasi Fluktuasi nilai DO pada empat taraf laju aerasi Nilai COD pada jam ke Efektivitas penurunan COD pada jam ke Nilai E. coli pada jam ke Efektivitas penurunan E. coli pada jam ke Kadar amoniak (NH 3 ) pada jam ke Kadar sulfida pada jam ke Efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida pada jam ke Kadar nitrat (NO - 3 ) pada jam ke xxiv

26 26. Kadar sulfat (SO 4 2- ) pada jam ke Kadar fosfat pada jam ke Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi Efektivitas penurunan nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke Kadar Mn dan Fe pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi pada jam ke Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat laju aerasi pada jam ke ph tiap jam dari keempat laju aerasi Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui empat tingkat laju aerasi Nilai TDS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit (volume bahan yang dialirkan 150 ml) Kadar NH 3 dan sulfida pada efluen setelah melewati zeolit Efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida pada masing-masing ukuran partikel zeolit Kadar BOD 5 dan COD pada efluen setelah melewati zeolit Efektivitas penurunan BOD 5 dan COD pada masing-masing ukuran partikel zeolit Nilai E. coli pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit Efektivitas penurunan nilai E. coli dari ketiga ukuran partikel zeolit Efektivitas penurunan logam terlarut yang masih tersisa dari ketiga ukuran partikel zeolit ph dari efluen setelah efluen hasil olahan aerasi dilewatkan melalui zeolit TSS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit Efektivitas penurunan TSS dari ketiga ukuran partikel zeolit Jumlah padatan mengendap (ml/150 ml) pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit Efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit xxv

27 51. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) Pola perubahan kadar Ca 2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) Pola perubahan kadar Ca 2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) Pola perubahan ph pada perlakuan pemberian kapur yang disentrifugasi Pola perubahan ph pada perlakuan pemberian kapur yang dikocok Kadar Cu dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar Zn dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar Mn dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar Fe dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar Pb dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar Cd dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar Cr dalam endapan pada tiga dosis kapur Kelarutan Cu, Zn, Pb dan Cd pada berbagai ph (Davis dan Masten, 2004) Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian kapur pada tiga dosis yang berbeda Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan kapur Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) Sentrat setelah proses sentrifugasi Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan KMnO Kadar Mn pada sentrat dari perlakuan KMnO ph pada sentrat dari perlakuan KMnO Kadar Cu pada endapan dari perlakuan KMnO Kadar Zn pada endapan dari perlakuan KMnO Kadar Mn pada endapan dari perlakuan KMnO xxvi

28 76. Kadar Fe pada endapan dari perlakuan KMnO Kadar Pb pada endapan dari perlakuan KMnO Kadar Cd pada endapan dari perlakuan KMnO Kadar Cr pada endapan dari perlakuan KMnO Kadar Ca pada sentrat dari perlakuan KMnO Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO 4 pada dosis yang berbeda Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO Kadar logam mikro dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) Bobot brangkasan dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Jumlah buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Bobot buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Tinggi tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Bobot brangkasan tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK Bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK Bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan CaO xxvii

29 98. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan atau tanpa CaO yang diperkaya dengan NPK Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO 4 dan CaO yang diperkaya dengan NPK Desain IPAL TPA Sampah yang Disarankan Lampiran 1. Gambaran visual dari pupuk cair berbahan dasar lindi. 163 xxviii

30 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga berada di wilayah dengan curah hujan yang cukup tinggi, yakni sebesar 287,5 mm/bulan menyebabkan TPA sampah ini mampu menghasilkan lindi dalam jumlah yang cukup besar. Permasalahan utama yang terjadi di tempat ini adalah pencemaran yang diakibatkan oleh lindi akibat pengelolaan yang kurang memadai sehingga lindi yang masuk ke badan-badan air dan persawahan di sekitarnya masih mengandung polutan (Priambodho, 2005). Hasil pengukuran DKP Kota Bogor (2003) menunjukkan bahwa persawahan di sekitar TPA sampah ini mengandung BOD 5 (255 ppm), COD (607,72 ppm), Cd (0,05 ppm), Pb (0,011 ppm) dan Cu (0,091 ppm). Menurut PP No.82 tahun 2001, kadar polutan tersebut berada di atas baku mutu. Hasil penelitian Priambodho (2005) menunjukkan bahwa sumur gali penduduk yang ada di sekitar TPA sampah Galuga mengandung BOD 5 34,72 ppm, COD 1557,87 ppm dan E coli diatas 1, MPN/100 ml membuat air sumur penduduk tidak layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Syahrulyati (2007) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa pada cekungan air bawah permukaan Galuga yang menjadi pusat terkumpulnya air bawah permukaan dari segala arah, secara permanen telah tercemar oleh lindi. Apabila hal ini terus dibiarkan dapat menyebabkan persawahan yang ada di sekitar TPA sampah Galuga menjadi tidak produktif dan jumlah air bersih menjadi berkurang yang berujung pada penolakan masyarakat atas keberadaan TPA sampah di wilayahnya. Menurut Kurniawan (2009), hal ini sebenarnya pernah terjadi di tempat ini. Upaya untuk menjaga agar TPA sampah Galuga tetap lestari dapat dilakukan dengan memperbaiki sistim pengelolaan lindi melalui pengolahan yang dapat menghasilkan efluen sesuai baku mutu dalam waktu yang relatif singkat dan memanfaatkan sisa hasil olahannya menjadi bahan pupuk cair. Menurut Lingga dan Marsono (2005), beberapa pupuk organik cair yang beredar di pasaran diolah melalui proses fermentasi bahan organik. Pupuk ini mengandung hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe. Lindi dari TPA sampah Galuga juga dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik yang ada di TPA sampah tersebut dan berdasarkan hasil penelitian DKP Kota Bogor (2003), lindi TPA sampah Galuga mengandung hara mikro Cu (0,097 ppm) dan Mn (0,016 ppm) serta hara makro dalam bentuk NO - 3 (0,068 ppm) dan 1

31 SO 2-4 (13,60 ppm). Oleh karena itu, lindi TPA sampah Galuga dapat dijadikan sebagai pupuk cair. Namun demikian, Arya dan Gilar (2008) mengemukakan bahwa kandungan senyawa yang dibutuhkan tanaman yang terdapat pada lindi dari TPA sampah umumnya belum memenuhi standar seperti yang ditentukan oleh Departemen Pertanian RI sehingga pupuk organik cair dari lindi TPA sampah belum dapat langsung dipasarkan. Oleh karena itu, perlu upaya yang dapat mengendapkan hara dalam lindi TPA sampah agar hara yang ada menjadi lebih pekat dan lebih berdaya guna dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. 1.2 Kerangka Pemikiran Hingga saat ini pengelolaan TPA sampah Galuga baru dilakukan dalam bentuk upaya pemanfaatan bahan sampah padat baik dalam bentuk reuse maupun recycle. Menurut Muthmainnah (2008), sampah padat yang bersifat anorganik yang ada di TPA sampah Galuga yang layak dimanfaatkan kembali oleh pemulung sebesar 28 ton/hari. Apabila bahan ini dimanfaatkan semua, maka upaya ini mampu memberikan keuntungan sebesar Rp ,-/hari. Hasil penelitiannya juga mendapatkan bahwa upaya mengomposkan sampah padat yang bersifat organik dapat memberikan keuntungan sebesar Rp ,50/orang/bulan. Keuntungan yang diperoleh masyarakat dari sampah padat tentu dapat menumbuhkan ketergantungan masyarakat terhadap TPA sampah yang berdampak pada kelangsungan pengoperasian TPA sampah itu sendiri. Di lain pihak, dalam mengelola lindi TPA sampah Galuga, sampai saat ini pengelolaanya belum maksimal menyebabkan lindi selalu menjadi sumber masalah dan belum ada upaya memanfaatkan lindinya menjadi bahan yang berguna. Padahal rasa memiliki masyarakat sekitar terhadap TPA sampah akan timbul dengan sendirinya apabila paradigma lama lindi hanya menjadi sumber masalah diubah dengan mengolah lindi menjadi efluen sesuai baku mutu dan memanfaatkan kembali sisa hasil olahannya menjadi pupuk cair. Salah satu upaya untuk menghindari badan-badan air dari pencemaran oleh lindi TPA sampah Galuga adalah mengolah lindi menjadi efluen sesuai baku mutu lingkungan dalam waktu relatif cepat. Hal ini dapat dilakukan melalui pengolahan aerasi dengan memberikan udara pada kecepatan tinggi. Cara ini efektif dalam menurunkan kadar gas-gas yang bersifat toksik, bahan organik maupun logam terlarut pada limbah cair yang diproses (Siregar, 2005; Borglin, Hazen dan Oldenburg, 2004). 2

32 Beberapa kelebihan lain dari pengolahan ini, diantaranya: 1) dapat menghilangkan polutan dengan kecepatan lima kali lebih besar dibanding pada kondisi anaerobik (Leikam, Heyer dan Stegmann, 1999), 2) dapat mengubah bahan toksik menjadi bahan yang relatif lebih aman bagi lingkungan (Metcalf dan Eddy, 2003), 3) dapat mengendapkan logam-logam terlarut yang merupakan hara bagi tanaman (Moore, 1991), 4) dapat menurunkan jumlah bakteri patogen akibat terbentuk H 2 O 2 yang merupakan racun bagi bakteri tersebut (Park et al., 1994), dan 5) dapat menghasilkan hara makro berupa NO - 3, SO 2-4 dan PO 3-4 (Achmad, 2004). Secara bagan, kerangka pemikiran dari permasalahan tersebut sebagai berikut. Hujan TPA SAMPAH GALUGA Lindi Ya Pengolahan Aerasi Penggunaan Zeolit sebagai penjerap Diolah? Tidak EndapanmengandungCu, Zn, Mn & Fe Bau, kotor dan ketidaknyaman Dampak Negatip (Sosial, ekonomi) Penolakan Masyarakat Thd TPA SAMPAH Tidak Sesuai bakumutu? Ya Upaya Pemekatan Pupuk Cair Produktivitas Tanaman Meningkat TPA SAMPAH DITUTUP (Sawah, Badan-badanair) KebutuhanAir Terpenuhi Rasa Memiliki Masyarakat Terhadap TPASampah TPA SAMPAH LESTARI Gambar 1. Kerangka Pemikiran Upaya untuk memaksimalkan penghilangan polutan dari efluen yang akan dialirkan ke lingkungan dapat dilakukan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi melalui zeolit karena menurut hasil penelitian Husaini (1992) zeolit mampu menjerap logam berat, bahan organik dan mikroorganisme dari air limbah. Hasil penelitian Tang et al. (2010) menunjukkan bahwa 15 liter air limbah yang mengandung 20 ppm NH 3 dapat diturunkan kadarnya menjadi kurang dari 5 ppm 3

33 dengan menggunakan 105 gram zeolit. Kurniawan et al., (2006) mengemukakan bahwa NH 3 merupakan bahan yang sangat toksik bagi kehidupan akuatik yang selalu ada pada lindi TPA sampah. Di lain pihak, produk samping hasil olahan aerasi berupa endapan yang mengandung logam mikro dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Endapan ini mengandung Cu dan Fe yang merupakan hara mikro bagi tanaman (Diana, 1997; DKP Kota Bogor, 2003). Hasil penelitian Dimitrion et al. (2006) menunjukkan bahwa pengaplikasian lindi TPA sampah sebagai pupuk cair yang diberikan bersamaan dengan air irigasi menyebabkan tanaman dapat tumbuh lebih baik. Hamludin (2010) mengemukakan bahwa pengaplikasian pupuk organik cair dari lindi TPA sampah di Wonorejo pada tanaman pangan dan holtikultura juga menunjukkan hasil yang positif. Pupuk cair ini dihasilkan dengan cara memfermentasikan kembali lindi dari TPA sampah tersebut menggunakan bioaktivator. Hal ini mengindikasikan bahwa lindi memiliki peluang yang baik untuk dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Upaya meningkatkan kadar hara tanaman yang terdapat pada lindi dapat dilakukan dengan cara pemekatan melalui penambahan kapur atau KMnO 4 dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) agar hara tanaman yang masih dalam keadaan terlarut menjadi mengendap. Menurut Asrie (2009), kapur digunakan secara luas untuk mempresipitasikan logam mikro. Singh dan Rawat (2006) mengemukakan bahwa Kapur (Ca(OH) 2 ) efektif dalam mengendapkan Fe (III) dan Cu (II). Kedua logam ini dapat dimanfaatkan sebagai hara mikro essensial bagi tanaman. Selanjutnya Waluyo (2005) mengemukakan bahwa kapur dan KMnO 4 biasa digunakan dalam pengolahan air limbah, khususnya untuk mengendapkan logam terlarut dan membunuh bakteri patogen. Melalui penambahan kapur atau KMnO 4 diharapkan bahan pupuk cair yang dihasilkan dari lindi mengandung hara yang lebih pekat dengan jumlah bakteri patogen di bawah baku mutu. Layak atau tidak, pupuk cair dari lindi yang berasal dari TPA sampah ditentukan oleh kadar hara makro atau logam mikro essensial/non essensial maupun mikrooganisme patogen. Sebagai pupuk cair, lindi yang sudah diolah harus memenuhi Standar Minimal Pupuk yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. 4

34 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji efektivitas pengolahan aerasi maupun aerasi yang dilanjutkan dengan menggunakan zeolit dalam menurunkan polutan lindi. 2. Mengkaji pengaruh pemberian kapur atau KMnO 4 terhadap kadar hara mikro pada lindi. 3. Mengkaji pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. 1.4 Hipotesis 1. Pengolahan aerasi yang dilanjutkan dengan pengolahan menggunakan zeolit, efektif dalam menurunkan polutan lindi. 2. Kapur atau KMnO 4 dapat mengendapkan hara mikro yang terdapat pada lindi. 3. Pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, 1.5 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Masyarakat bahwa ada sumber pupuk cair baru yang berasal dari lindi TPA sampah. 2. Pemerintah/pengelola TPA sampah bahwa ada teknologi yang dapat diterapkan di IPAL TPA sampah yang dapat menghindari pencemaran air. 3. Ilmu pengetahuan bahwa ada teknologi baru yang dapat mengolah lindi menjadi pupuk cair. 1.6 Novelty Novelty yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Penggunaan teknologi aerasi dan zeolit mampu menjadikan lindi yang berbahaya menjadi efluen yang layak buang. 2. Penambahan kapur/kmno 4 dapat mengubah lindi menjadi pupuk cair yang berguna bagi tanaman. 5

35 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 TPA Sampah dan Pembentukan Lindi Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah merupakan suatu tempat pembuangan sampah bagi penduduk kota. Setiap hari berbagai jenis sampah penduduk diangkut dari bak-bak sampah yang terdapat di kota, kemudian ditumpuk di TPA. Beberapa bahan organik yang ada di TPA sampah yang bersifat mudah urai (biodegradable) umumnya tidak stabil dan cepat menjadi busuk karena mengalami proses degradasi menghasilkan zat-zat hara, zat-zat kimia toksik dan bahan-bahan organik sederhana, selanjutnya akan menimbulkan bau yang menyengat dan mengganggu (Samorn et al., 2002). Lindi terbentuk di setiap lokasi pembuangan sampah (Biehler dan Hagele, 1995). Pembentukan lindi merupakan hasil dari infiltrasi dan perkolasi (perembesan air dalam tanah) dari air hujan, air tanah, air limpasan atau air banjir yang menuju dan melalui lokasi pembuangan sampah (Nemerow dan Dasgupta, 1991). Lindi memiliki karakteristik tertentu, hal ini disebabkan limbah yang dibuang pada lokasi pembuangan sampah berasal dari berbagai sumber yang berbeda dengan tipe limbah yang berbeda pula. Menurut Fadel et al. (1997), komposisi lindi tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik sampah (organik, anorganik), tetapi juga mudahtidaknya penguraian (larut/tidak larut), kondisi tumpukan sampah (suhu, ph, kelembaban, umur), karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas air yang dipengaruhi iklim dan hidrogeologi), komposisi tanah penutup, ketersediaan nutrien dan mikroba, serta kehadiran inhibitor. Iklim merupakan faktor penting yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas lindi. Hujan menjadi fase transport untuk pencucian dan migrasi kontaminan dari tumpukan sampah dan memberikan kelembaban yang dibutuhkan untuk aktivitas biologis. Demikian halnya dengan umur tumpukan sampah, juga mempengaruhi kualitas lindi dan gas yang terbentuk. Perubahan kualitas lindi dan gas menjadi parameter utama untuk mengetahui tingkat stabilisasi tumpukan sampah (Pohland dan Harper, 1985). 6

36 2.2 Karakteristik Lindi Lindi mengandung bahan organik, bahan anorganik dan bakteri patogen (Garnasih, 2009). Bahan organik yang terdapat pada lindi diindikasikan dengan nilai BOD dan COD (Qasim, 1994). Beberapa hara tanaman, baik berupa hara makro seperti: nitrat (NO - 3 ), amonium (diindikasikasikan oleh NH 3 ), phosfat (PO 3-4 ), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan Sulfat (SO 2-4 ); hara mikro seperti : besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu) dan seng (Zn) ditemukan di dalam lindi. Sedangkan bakteri patogen yang umumnya diindikasikan oleh nilai E. coli juga terdapat pada lindi. Nilai dari parameter pencemar tersebut disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1. Komposisi lindi buangan domestik Parameter Satuan Kisaran Konsentrasi PH - 6,2 7,4 COD (Chemical Oxygen Demand) mg/l BOD (Biological Oxygen Demand) mg/l < TOC (Total Organic Carbon) mg/l Amoniak mg/l 5 30 Nitrat mg/l < 0,2 4,9 Nitrogen organik mg/l ND 155 H 2 PO 4 - mg/l < 0,02 3,4 Cl - mg/l SO 4 2- mg/l Na mg/l Mg mg/l K mg/l Ca mg/l Cr mg/l < 0,05 0,14 Mn mg/l 0,32 26,5 Fe mg/l 0, Ni mg/l < 0,05 0,16 Cu mg/l < 0,01 0,15 Zn mg/l < 0,05 0,95 Cd mg/l < 0,005 0,01 Pd mg/l < 0,05 0,22 Sumber : Lisk dalam Young et al., 1995 ND = not detectable 7

37 Tabel 2. Kualitas lindi TPA sampah Bantar Gebang Parameter Konsentrasi (mg/l) Biochemical Oxygen Demand (BOD) Chemical Oxygen Demand (COD) Padatan Tersuspensi Padatan Terlarut PH 6,5-7,6 Kesadahan (CaCO 3 ) Kalsium Magnesium Phosphor 2,6-3,0 NH 3 -N Kjehldal-N(NO - 3 N) Sulfat Clorida Natrium Kalium Kadmium 0,045-0,009 Crom 0,23-0,4 Sumber : Widyatmoko dan Sintorini, 2002 Tabel 3. Hasil pengukuran kualitas lindi TPA sampah Galuga di Bogor Stasiun Pengamatan Parameter Satuan Kolam Kolam Sawah Lindi 1 Lindi 2 Baku Mutu*) Fisika 1. Kekeruhan NTU 0,05 0,95 0,62 (-) 2. Warna Pt.Co (-) 3. Padatan Tersuspensi mg/l Odour/bau Visual bau tb tb (-) Kimia 1. ph - 7,67 6,50 8, COD mg/l 880,23 628,80 670, BOD 5 mg/l Nitrit (NO - 2 N) mg/l 0,004 0,004 0,004 (-) 5. Nitrat (NO 3 -N) mg/l 0,068 0,033 0, Mangan (Mn) mg/l 0,016 0,008 0,015 (-) 7. Tembaga (Cu) mg/l 0,053 0,097 0,091 0,2 8. Kadmium (Cd) mg/l 0,032 0,057 0,050 0,01 9. Timah Hitam (Pb) mg/l 0,015 0,009 0, Sulfat (SO 4 ) mg/l 13,597 12,217 9,344 (-) Mikrobiologi 1. E. coli MPN/100 ml Sumber : DKP Kota Bogor (2003) *) Baku mutu air kelas IV berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun

38 Hubungan antara komposisi beberapa bahan pencemar dalam air limbah domestik dengan tingkat pencemaran disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan klasifikasi tingkat pencemaran seperti yang terdapat pada tabel tersebut dan apabila BOD dan COD yang dijadikan acuannya, maka TPA sampah Galuga di Bogor termasuk TPA sampah dengan tingkat pencemaran berat. Tabel 4. Klasifikasi tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air Parameter Tingkat Pencemaran Berat Sedang Ringan 1. Padatan total (mg/liter) Bahan padatan terendapkan (ml/liter) BOD (mg/liter) COD (mg/liter) Nitrogen total (mg/liter) Amonia nitrogen (mg/liter) Sumber : Rump dan Krist (1992 dalam Effendi, 2003) Beberapa bahan pencemar yang terdapat dalam lindi seperti BOD, COD, bahan anorganik dan bakteri patogen BOD dan COD BOD dan COD merupakan indikator keberadaan bahan organik dalam lindi dan kedua parameter ini merupakan komponen terbesar dalam lindi (Qasim, 1994). Menurut Manik (2007), BOD merupakan banyaknya oksigen yang diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan atau mengoksidasikan bahan organik dalam 1 liter air limbah selama pemeraman (5 x 24 jam pada suhu 20 o C). COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oksidator untuk mengoksidasi bahan/zat organik dalam 1 liter air limbah. Nilai COD biasanya lebih tinggi dari nilai BOD karena bahan yang stabil (tidak terurai) dalam uji BOD dapat dioksidasi dalam uji COD. Keberadaan bahan organik yang tinggi dalam lingkungan perairan dapat menimbulkan masalah berupa bau, warna dan rasa. Dalam suasana anaerobik (kekurangan oksigen), degradasi bahan organik dapat menghasilkan gas-gas (NH 3, H 2 S dan CH 4 ) yang menyebabkan bau (Samorn et al., 2002). 9

39 2.2.2 Bahan Anorganik Bahan anorganik yang terdapat dalam lindi dapat berupa kation dan anion. Kation atau anion tersebut dapat berguna/tidak berguna sebagai hara tanaman. Zat hara yang terdapat dalam lindi, selain berasal dari hasil pembilasan bahan sampah yang berasal dari industri, juga dapat berasal dari proses pelapukan bahan sampah yang mudah urai (jaringan tanaman maupun hewan) karena di dalam jaringan tanaman dan hewan juga terdapat unsur yang diambil dari tanah dan akan kembali ke lingkungan melalui proses perombakan jaringan tanaman atau hewan tersebut. Menurut Hakim et al. (1986), sekitar 0,5 atau hingga 6% jaringan tanaman berupa unsur yang diambil dari tanah. Tabel 5. Unsur hara yang berasal dari tanaman dan sumbernya Unsur Makro Unsur Mikro Dari udara dan air Dari Tanah Dari tanah C N Mn H P Cu O K Zn - Ca Mo - Mg B - S Cl - - Fe Sumber : Hakim et al. (1986) Logam berat dapat berada di TPA sampah karena bahan tersebut diperlukan untuk mendukung aktivitas kehidupan manusia seperti untuk membuat peralatan. Keberadaannya di lingkungan harus dihindari karena apabila logam berat masuk ke dalam rantai makanan dalam kadar tertentu dapat mengganggu kesehatan. Diana (1992) mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa pada lumpur air sampah yang terdapat di TPA sampah Bantar Gebang didapati kandungan logam berat, seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan logam berat dalam lumpur TPA sampah Bantar Gebang No. Parameter Statiun Pengamatan Fe (mg/l) 10, ,72 20,26 2. Pb (mg/l) ttd 17,087 0, Cr (mg/l) 0,009 4,976 0, Cu (mg/l) 0, ,072 0, Cd (mg/l) 0,0034 0,301 0,003 Sumber : Diana (1992) 10

40 Beberapa logam yang sering dijumpai dalam lindi adalah Cu, Zn, Mn, Fe yang merupakan hara mikro essensial dan Pb, Cd, Cr yang merupakan hara mikro non essensial bagi tanaman. Logam-logam tersebut dapat mengendap pada ph tertentu atau setelah mengalami oksidasi. Logam-logam tersebut juga dapat membentuk zat yang mudah mengendap bila berikatan dengan bahan lain. Beberapa kegunaan dan akibat yang ditimbulkan oleh logam tersebut pada lingkungan dan manusia sebagai berikut : 1. Tembaga (Cu) Tembaga banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain sebagai alloy. Selain itu, tembaga juga banyak digunakan untuk bidang pertanian yakni sebagai campuran untuk fungisida dan moluskisida. Logam ini dapat menyebabkan gastro enteritis, shock dan kematian (Darmono, 2001). 2. Seng (Zn) Seng banyak digunakan dalam produksi logam campuran, misalnya : perunggu, loyang dan kuningan. Logam ini dapat menyebabkan pembentukan tulang yang abnormal (Darmono, 1995). 3. Mangan (Mn) Mangan biasa digunakan dalam industri baterai. Akibat yang ditimbulkannnya dapat mempengaruhi metabolisme pembentukan Hb (Darmono,1995). 4. Besi (Fe) Besi banyak digunakan dalam industri bahan celupan dan tekstil (Eckenfelder, 1989). Logam ini dapat menyebabkan gangguan mental (Darmono, 2001). 5. Timbal (Pb) Timbal banyak digunakan untuk aki, baterai, produksi logam, kimia, listrik, pigmen dan cat, sedangkan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dapat menghambat sistem pembentukan Hb (Darmono, 2001). 6. Kadmium (Cd) Kadmium banyak digunakan untuk pelapis logam, cat/pigmen, pembuatan PVC atau plastik, juga untuk pembuatan baterai/aki; sedangkan akibat yang dapat ditimbulkannya yaitu menyebabkan keracunan pada manusia dan kerapuhan tulang (Darmono, 2001). 11

41 7. Crom (Cr) Crom banyak digunakan sebagai bahan pelapis pada bermacam-macam peralatan. logam ini dapat menyebabkan kanker paru-paru (Palar, 2004) Bakteri Patogen Bakteri patogen yang biasanya disebarkan melalui air limbah adalah bakteri yang menyebabkan penyakit diare, disentri, kolera, atau tifus (Perpamsi-ITB, 1989). Bakteri-bakteri tersebut tumbuh dalam suasana yang cocok bagi dirinya yaitu usus manusia dan hewan berdarah panas. Oleh karena jumlah penderita dan pengidap dibandingkan keseluruhan populasi yang ada sangat kecil, maka secara teknis penelusuran bakteri patogen secara langsung sangat sulit dilakukan karena konsentrasinya yang rendah (Santika, 1984). Oleh karena itu, untuk menduga keberadaan bakteri patogen dalam lindi diperlukan bakteri indikator untuk menduga terdapatnya bakteri patogen ataupun tidak. Sebagai indikatornya digunakan bakteri E. coli. Pemilihan bakteri E. coli sebagai bakteri indikator didasarkan pada beberapa hal, yaitu bakteri E. coli terdapat pada tinja dalam jumlah yang besar; E. coli hidup secara komensalisme dengan bakteri patogen; bakteri tersebut dapat dihitung dengan mudah dan hasilnya dapat dipercaya; dan tidak dapat tumbuh di luar tubuh, kecuali di dalam media biakan bakteri. Tabel 7. Organisme patogen yang sering ditemukan di sampah Organisme Penyakit Sumber Bacillus anthracis Antrax Sampah. Spora sulit ditangani. Ascaris spp Cacing Nematoda Air buangan dan lumpur yang digunakan untuk pupuk. Berbahaya bagi manusia. Mycobacterium tuberculosis Tuberculosis Air buangan dan limbah yang berasal dari Sanatorium. Samonella paratyphi Demam Typhoid Air buangan. Kadang-kadang bersifat endemik. Shigella spp Bacillary dysentery Air tercemar. Leptospira icterohaemorhagiae Leptospirosis Selokan Taenia spp Cacing pita Air buangan. Vibrio cholerae Kolera Air buangan dan air yang tercemar. Entamoeba hystolytica Disentri Air yang tercemar dan air yang digunakan untuk pupuk. Sumber : Hawkes, 1971 dalam Tso et al.,

42 2.2.4 Total Dissolve Solid, Total Suspended Solid dan Padatan Mengendap Air buangan seringkali mengandung padatan terlarut yang tidak dapat diidentifikasi secara visual dengan indera biasa. Selain itu, pada air buangan juga mengandung bahan tersuspensi yang tetap melayang dalam air dan bahan yang mudah mengendap yang langsung dapat diidentifikasi secara visual dengan indera biasa. Jumlah padatan terlarut dapat diindikasikan oleh nilai total Dissolve Solid (TDS) dan jumlah padatan tersuspensi dapat diindikasikan oleh nilai total padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) (TSS). Keduanya dapat diukur dengan cara gravimetrik. Jumlah padatan mengendap dapat diukur dalam satuan ml/volume dengan menggunakan tabung imhoff (Santika, 1984). Bahan padatan terlarut dapat berupa bahan organik atau anorganik baik berupa kation atau anion terlarut yang tidak tersaring dengan kertas saring milipore berukuran pori 0,45 µm (Oram, 2010). Beberapa bahan anorganik yang merupakan padatan terlarut yang mempengaruhi nilai TDS, seperti: Timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), garam Magnesium maupun Kalsium (Effendi, 2003). Tampilan air yang memiliki TDS tinggi seringkali tidak merubah warna air. Air tetap kelihatan jernih, namun rasa menjadi berbeda. Nilai TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan, karena keberadaan bahan padatan terlarut dalam jumlah yang tinggi dapat menjadi racun bagi ikan. Oleh karenanya, analisis total padatan terlarut sering digunakan sebagai uji indikator untuk menentukan kualitas umum dari air. Nilai total padatan terlarut mewakili jumlah ion yang terdapat dalam air (Fardiaz, 1992). Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 µm. Bahan-bahan tersebut terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad renik. Keberadaan bahan-bahan ini menyebabkan kekeruhan hingga dapat menghambat laju fotosintesis fitoplankton yang merupakan produktivitas primer perairan yang selanjutnya dapat mengganggu keseluruhan rantai makanan (Nasution, 2008). Padatan tersuspensi dapat mempengaruhi biota perairan melalui 2 cara. Pertama, padatan tersuspensi dapat menghalangi penetrasi cahaya ke dalam badan air. Hal ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, padatan telarut yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena bahan ini tersaring oleh insang (Fardiaz, 1992). 13

43 Padatan mengendap merupakan bahan padatan yang dapat langsung mengendap jika air tidak terganggu untuk beberapa saat. Bahan yang mudah mengendap ini terdiri dari partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya karena gravitasi. Padatan mengendap dapat menimbulkan pendangkalan pada badan-badan air yang selanjutnya dapat berpengaruh pada berkurangnya fungsi badan air (Nasution, 2008). 2.3 Pengaruh Lindi terhadap Lingkungan Apabila lindi yang berasal dari TPA sampah masuk ke badan-badan air akan mengakibatkan pencemaran pada badan-badan air tersebut yang ditandai dengan perubahan kualitas air sungai dan selanjutnya dapat mempengaruhi terhadap kehidupan masyarakat di sekitar TPA sampah yang memanfaatkan air yang sudah tercemar untuk kehidupan sehari-harinya (Garnasih, 2009). Beberapa gangguan akibat pencemaran yang disebabkan air limbah diuraikan di bawah ini Gangguan terhadap Kesehatan Lindi dapat berfungsi sebagai pembawa penyakit karena di dalamnya sering didapatkan bakteri patogen yang berasal dari sampah (Mulia, 2005). Menurut Dinas Kesehatan Kota Bekasi (2000 dalam Suganda, 2003), jenis penyakit dengan frekuensi lebih tinggi yang ditemukan pada masyarakat di sekitar TPA sampah Bantar Gebang adalah ISPA, kulit dan gastritis. Penyakit-penyakit tersebut dapat disebarluaskan melalui lindi yang telah terkontaminasi oleh bakteri patogen sebagai akibat lindi yang masuk ke badan-badan air di sekitar TPA sampah belum/kurang mendapatkan perlakuan yang memadai. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sumur milik penduduk yang berada di sekitar TPA Sampah Putri Cempo Surakarta mengandung jumlah E. coli di atas baku mutu (Wahjuni, 1996). Demikian halnya dengan sampel air yang diambil dari areal persawahan di sekitar TPA sampah milik Pemda Kota Bogor, juga mengandung E. coli di atas baku mutu (DKP Kota Bogor, 2003). Kenyataan ini menunjukkan bahwa lindi yang dialirkan ke lingkungan telah menjadi sumber penyebar penyakit yang berasal dari sampah Gangguan terhadap Kehidupan Biotik Zat pencemar yang ada di dalam lindi dapat menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut mengakibatkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen akan terganggu, selanjutnya dapat mengurangi perkembangannya bahkan 14

44 dapat menyebabkan kematian. Kematian juga dapat disebabkan oleh adanya zat beracun yang terdapat dalam lindi. Selain menyebabkan kematian ikan-ikan dan bakteri-bakteri, polutan yang terdapat dalam lindi juga dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air. Kematian bakteri dapat menyebabkan proses penjernihan sendiri (self purification) menjadi terhambat. Akibat selanjutnya adalah air limbah akan sulit untuk diuraikan (Sugiharto, 1987) Gangguan terhadap Keindahan dan Kenyamanan Bau dapat disebabkan oleh hidrogen sulfida yang dihasilkan dari proses pembusukan bahan organik secara anaerobik, sedangkan gangguan warna dan rasa dapat disebabkan oleh senyawa organik (Effendi, 2003). Beberapa bau lainnya yang berasal dari sampah adalah sebagai berikut. Tabel 8. Katagori bau pada sampah Senyawa Formula Kualitas Bau Amin CH 3 NH 2 (CH 3 ) 3 N amis Amoniak NH 3 amoniak Diamin NH 2 (CH 2 ) 5 NH 2 daging busuk Hydrogen Sulfida H 2 S telur busuk Organik Sulfida (CH 3 ) 2 S.CH 3 SCH 3 kubis busuk Mercaptan CH 3 SH.CH 3 (CH 2 ) 3 SH bau seperti musang Skatole C 8 H 5 NHCH 3 tinja (Moncieff, 1987 dalam Tso et al., 1990) Gangguan terhadap Benda Kerusakan pada benda dapat disebabkan oleh keberadaan gas karbondioksida dalam air limbah karena gas ini bersifat korosif, dapat mempercepat proses terjadinya karat pada benda yang terbuat dari besi yang akhirnya dapat menimbulkan kebocoran. Selain itu, keberadaan lemak pada air limbah juga dapat menimbulkan masalah karena pada suhu tinggi berbentuk cair, namun dalam suhu normal akan menggumpal pada saluran pipa-pipa (Sugiharto, 1987). 2.4 Pengolahan Air Limbah Pengolahan air limbah bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersuspensi terapung, menurunkan bahan organik biodegradable serta mengurangi organisme patogen. Pengolahan dapat dilakukan secara alamiah maupun dengan bantuan peralatan (Manik, 2005). Setiap metode pengolahan limbah menghasilkan efluen dengan kualitas tertentu. Untuk menentukan efektivitas dari suatu metode pengolahan limbah cair didasarkan pada kualitas efluen yang diinginkan. 15

45 Mara dan Cairncross (1994) mengemukakan bahwa sistem pengolahan air limbah yang ideal harus memenuhi kriteria-kriteria berikut ini : 1. Kesehatan. Sistem harus mempunyai kemampuan bakterisida yang tinggi terhadap mikroorganisme patogen. 2. Guna ulang. Sistem harus menghasilkan produk yang aman untuk digunakan kembali, terutama dalam akuakultur dan agrikultur. 3. Ekologis. Apabila tidak digunakan lagi, maka limbah cair yang dibuang ke lingkungan agar dijaga tidak melebihi kemampuan alam untuk pemurnian diri sendiri. 4. Kenyamanan. Bau yang ditimbulkan harus di bawah batas ambang yang diperkenankan. 5. Kultural. 6. Metode yang dipilih dalam pengumpulan, pengolahan dan penggunaan kembali harus dapat diterima oleh budaya masyarakat setempat. 7. Operasional. Ketrampilan yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem pengolahan harus dapat disediakan secara lokal dengan hanya sedikit tambahan latihan. 8. Biaya. Menurut Subiyanto (2000), dalam pengelolaan air limbah, tidak ada aturan yang pasti mengenai jenis pengolahan yang harus mendahului dibanding jenis pengolahan lainnya. Semuanya tergantung pada keadaan khusus dalam setiap kasus dan tujuan pengolahan. Informasi yang dibutuhkan sebelum memilih instalasi pengolahan limbah adalah : (1) informasi tentang kualitas dan kuantitas limbah, dan (2) informasi tentang baku mutu. Penghilangan polutan dari air limbah dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya melalui pemberian udara (aerasi) ke dalam air limbah maupun melalui proses penyaringan menggunakan zeolit. Siregar (2005) mengemukakan bahwa pengolahan aerasi bertujuan untuk membersihkan zat-zat organik/mentransformasi zat-zat organik menjadi bentuk yang kurang berbahaya. Perubahan zat-zat organik yang terlarut menjadi zat-zat partikulta (koloni bakteri) dapat dihilangkan dengan tahapan proses selanjutnya, biasanya melalui sedimentasi atau filtrasi. Oleh karena 16

46 itu, proses aerasi hanya merupakan tahapan tersendiri di dalam rantai proses pengolahan yang modern. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) biasanya memiliki lebih dari satu proses pengolahan. Filtrasi (penyaringan) guna menurunkan polutan dari air limbah dapat dilakukan menggunakan zeolit. Menurut Sutarti dan Rahmawati (1994), zeolit mampu menghilangkan kekeruhan, menurunkan kandungan bahan kimia dan menurunkan jumlah bakteri patogen. Ketiga hal tersebut dapat terjadi karena selama proses, di dalam media filter terjadi peristiwa-peristiwa: mekanis, penjerapan, metabolisme secara biologis dan pertukaran ion. Proses penghilangan polutan melalui sistim aerasi umumnya menghasilkan partikulat dan bahan organik koloid berupa gumpalan lumpur. Untuk mengendapkannya memerlukan waktu menit (Jenie dan Rahayu, 1990). Menurut Sugiharto (1987), kebutuhan udara dalam proses aerasi adalah sebesar 123 m 3 tiap kg BOD Pengolahan Aerasi Proses aerasi merupakan proses penambahan gas oksigen yang berasal dari udara ke dalam air limbah dengan tujuan untuk menghilangkan bahan organik maupun bau yang disebabkan oleh senyawa hasil penguraian zat organik yang terjadi secara anaerobik, misalnya NH 3, H 2 S dan CH 4. Dasar perencanaannya bersumber dari pengertian aktivitas metabolisme (biokimia) mikroorganisme. Pengertian proses biokimia itu sendiri adalah penggunaan enzim mikroorganisme untuk mengubah bahan makanan/substrat (biodegradable carbon), demi berlangsungnya sintesis sel dan pertumbuhan mikroorganisme tersebut (Metcalf dan Eddy, 2003). Lebih jauh lagi dikemukakan bahwa prinsip aplikasi dari proses pengolahan dengan cara ini adalah : (1) pengurangan bahan organik berkarbon (carboneous organic matter) dalam air limbah, yang biasanya diukur dengan parameter BOD (biological organic demand), TOC (total organic chemical) atau COD (chemical organic demand); (2) Nitrifikasi; dan (3) Stabilisasi limbah. 17

47 Qasim (1994) mengemukakan bahwa hal yang diperlukan secara mendasar dari proses aerasi adalah : 1. Keberadaan mikroorganisme; 2. Kontak (hubungan) yang baik antara mikroorganisme dengan limbah cair; 3. Ketersediaan oksigen; 4. Ketersediaan nutrien; dan 5. Pemeliharaan kondisi lingkungan lainnya seperti : suhu, ph dan lainnya. Tempat berlangsungnya proses biokimia (bioproses) sering diistilahkan dengan reaktor. Ada dua macam reaktor, yakni reaktor alami dan buatan. Reaktor alami yang terjadi dalam periode waktu lama seperti sungai atau danau, dan reaktor alami yang terjadi secara spontan sesudah turun hujan seperti genangan atau kolam. Sedangkan tempat berlangsungnya proses biokimia buatan manusia dapat didesain untuk proses fermentasi maupun aktivated sludge (Wisjnuprapto, 1995). Berdasarkan sistim pengolahannya, reaktor terbagi menjadi dua, reaktor sistim batch (RB) yang bersifat tertutup dan reaktor sistim kontinyu yang bersifat terbuka yang memungkinkan limbah cair yang akan diproses dapat masuk ke dalam tangki dan efluen yang dihasilkan dapat dikeluarkan selama proses pengolahan berlangsung. Pada reaktor sistim batch, bahan yang diproses dapat tercampur sempurna. RB mengandung nutrien dalam suspensi tertentu. Tidak ada material yang ditambahkan ke dalam atau dihilangkan dari reaktor. Pada sistem ini, nutrien akan menjadi habis dan pertumbuhan menjadi terbatas. Lingkungan RB dapat dikarakterisasikan sebagai lingkungan yang berubah secara kontinyu. Di lingkungan RB, konsentrasi nutrien, dan massa sel berbeda dari satu saat ke saat lainnya (Wisjnuprapto, 1995). Reaktor jenis ini menjadi sangat sesuai apabila produk dari bioproses akan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Secara visual, reaktor sistim batch disajikan pada Gambar 2 dan pola pertumbuhan bakteri disajikan pada Gambar 3. 18

48 Gambar 2. Reaktor sistem batch (Wisnujprapto, 1995) Gambar 3. Kurva pertumbuhan bakteri (Metcalf & Eddy, 2003) Salah satu upaya untuk menambahkan oksigen ke dalam air limbah dapat dilakukan dengan memasukkan udara ke dalam air limbah. Proses memasukkan udara atau oksigen murni ke dalam air limbah dapat dilakukan dengan menggunakan benda porous atau nozzle. Apabila nozzle diletakkan di tengah-tengah, maka akan meningkatkan kecepatan gelembung udara tersebut berkontak dengan air limbah sehingga proses pemberian oksigen akan berjalan lebih cepat. Oleh karena itu, biasanya nozzle diletakkan pada dasar bak aerasi. Udara yang dimasukkan berasal dari udara luar yang dipompakan ke dalam air limbah oleh pompa tekan. Di dalam bak aerasi, bakteri aerob akan memakan bahan organik dengan bantuan O 2. Upaya penyediaan oksigen ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan lingkungan sehingga bakteri pemakan bahan organik dapat tumbuh dan berbiak dengan baik dan terjamin kelangsungan hidupnya. Pengalaman menunjukkan bahwa m 3 udara diperlukan untuk menguraikan 1 kg BOD atau bila menggunakan aerator mekanik 19

49 diperlukan 0,7 0,9 kg oksigen/jam untuk dimasukkan ke dalam lumpur aktif. Hasil yang baik dari hasil pengolahan aerasi ini dapat diperoleh dengan memperhatikan beberapa hal, diantaranya : a) banyaknya udara yang diberikan setiap m3 air limbah adalah sebanyak 8 10 m 3 atau sekitar liter/menit yang diberikan selama 6 jam, b) sebaiknya air limbah berada pada tangki aerasi adalah selama 6 8 jam, dan c) banyaknya udara yang harus dibandingkan dengan derajat pengotoran air limbah yang ada adalah sebesar m3 udara untuk setiap kg BOD, dengan rumus perhitungan sebagai berikut (Sugiharto, 1987): Banyaknya udara dalam m 3 /hari BODdari air limbah x volume limbah/hari (m 3 ) Secara visual, sistim aerasi dengan cara memasukkan udara ke dalam air limbah disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Aerasi dengan memasukkan udara ke dalam air limbah (Sugiharto, 1987) Dalam pengolahan biologis secara aerobik, lama aerasi (operation time) sangat mempengaruhi jumlah pasokan oksigen. Sebelum mencapai tingkat jenuh, semakin lama aerasi, maka semakin meningkat pula kandungan oksigen terlarutnya. Hubungan antara lama aerasi dengan konsentrasi oksigen terlarut didapatkan Sorab (1973 dalam Metcalf dan Eddy, 2003) dari hasil penelitiannya sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hubungan antara lama aerasi dan konsentrasi oksigen terlarut. Lama Aerasi (menit) Konsentrasi Oksigen Terlarut (mg/l) 5 0,5 10 1,5 15 3,0 20 4,0 25 5,1 30 6,0 Sumber : Sorab (1973 dalam Metcalf dan Eddy, 2003) 20

50 Pada pengolahan secara aerobik, oksigen digunakan oleh bakteri aerob untuk mengoksidasi limbah dalam rangka memperoleh energi yang cukup demi kelangsungan hidupnya. Energi yang diperoleh dari proses tersebut memungkinkan bakteri untuk mensintesis molekul kompleks yang terdiri dari protein dan polisakarida untuk kemudian membentuk sel baru. Metabolisme bakteri terjadi dalam dua tahapan, yaitu katabolisme (perombakan) untuk mendapatkan energi dan anabolisme (pembentukan) untuk sintesis (Sempurna, 2010). Satu pertiga dari BOD digunakan untuk reaksi katabolisme, sedangkan dua pertiganya digunakan untuk reaksi anabolisme. Secara umum reaksi yang terjadi antara air limbah dan oksigen dengan bantuan bakteri adalah sebagai berikut (Mara, 1976) : Katabolisme : C x H y O z N + O 2 CO 2 + H 2 O + NH 3 + energi Anabolisme : C x H y O z N + energi > C 5 H 7 NO 2 (sel baru) Termasuk bagian yang penting dari reaksi katabolisme adalah reaksi autolisis : C 5 H 7 NO 2 + O > 5 CO 2 + NH H 2 O + energi (sel baru) Eckenfelder (1989) menggambarkan proses dekomposisi bahan organik secara aerob seperti pada persamaan reaksi berikut: Bahan organik + O 2 + N + P > sel baru + CO 2 + H 2 O + residu bahan non biodegradable terlarut Sel + O > CO 2 + H 2 O + N + P + residu bahan nonbiodegradable celluler Dari reaksi tersebut terlihat bahwa besar sekali peranan oksigen untuk berlangsungnya proses biodegradasi. Dalam hal ini oksigen bertindak sebagai akseptor hidrogen dan dari reaksi oksigen dengan hidrogen akan membentuk air. Dengan perkataan lain respirasi aerob adalah reaksi oksidasi substrat menjadi CO 2, H 2 O dan energi. 21

51 Proses perubahan bentuk unsur organik menjadi anorganik melalui oksidasi biologi sebagai berikut (Metcalf dan Eddy, 2003) : 1. Karbohidrat, fenol dan sebagainya diubah menjadi karbondioksida dan air; 2. Senyawa organik nitrogen diubah menjadi karbondioksida, air, amina, amonia dan nitrat; 3. Senyawa organik sulfur diubah menjadi sulfat; 4. Senyawa organik fosfor diubah menjadi fosfat. Selain bakteri yang memiliki peran dalam pengolahan nutrien organik dalam air limbah, ada juga bakteri yang berperan dalam pengolahan nutrien anorganik. Bakteri ini merupakan bakteri kemoautotrof, terutama bakteri yang dapat merombak nitrit menjadi nitrat dan merombak senyawa polifosfat menjadi bentuk yang lebih sederhana (ortofosfat), sehingga dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme fotosintetik. Dari berbagai jenis bakteri yang termasuk kemoautotrof, yang paling penting dalam hubungannya dengan pengolahan air limbah secara biologis adalah Nitrosomas dan Nitrobacter. Kedua jenis bakteri inilah yang melaksanakan oksidasi nitrogen amonia dan nitrit menjadi nitrat yang prosesnya disebut dengan nitrifikasi (Suriawiria, 1993). Mikroorganisme yang terlibat dalam pengolahan limbah cair secara biologis, adalah (Metcalf dan Eddy, 2003): 1. Bakteri Jenis bakteri yang dapat digunakan bersifat prokaryotic. Bakteri ini hanya dapat hidup pada ph dan suhu yang cocok dengan rentang ph 4 9,5 dengan kondisi ph optimum 6,5 7,5. Dilihat dari kerja optimum bakteri yang berkaitan dengan temperatur lingkungan, maka bakteri dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni : a) Psychrophilic, suhu optimum o C; b) Mesophilic, suhu optimum o C c) Thermophilic, suhu optimum o C Berkaitan dengan lingkungan hidupnya, bakteri dapat dibedakan atas : a) Bakteri aerob, bakteri yang memerlukan oksigen untuk hidupnya; b) Bakteri anaerob, bakteri yang tidak memerlukan oksigen bebas untuk hidupnya; dan c) Bakteri fakultatif, yakni bakteri yang dapat hidup dengan atau tanpa oksigen bebas di sekitarnya. 22

52 2. Fungi Jenis fungi yang terlibat dalam pengolahan biologis adalah jenis aerobik dan bersel tunggal. Fungi dapat tumbuh pada lingkungan dengan ph dan kadar nutrien yang rendah. Rentang ph antara 2 9 dengan ph optimal Protozoa Umumnya protozoa bersifat aerobik, heterotrof dan tidak dapat berfotosintesis; sebagian kecil lainnya bersifat anaerobik. Dalam limbah cair, protozoa berfungsi sebagai pembersih efluen pada pengolahan limbah cair biologis, dengan memakan bakteri dan partikel-partikel bahan organik lainnya. 4. Rotifera Rotifera bersifat aerobik, heterotrof dan bersel banyak. Rotifera sangat efektif dalam mengkonsumsi bakteri dan partikel kecil bahan organik. Keberadaan rotifera di dalam efluen mengindikasikan proses purifikasi aerobik biologis berjalan sangat efektif. 5. Algae Algae merupakan organisme yang dapat berfotosintesis, bersifat autotrof dan dapat bersel banyak atau bersel tunggal. mendapatkan perhatian dalam pengolahan limbah cair adalah : a) Algae mampu menghasilkan oksigen; Dua sifat algae yang penting b) Algae dapat mengurangi kadar nutrien (nitrogen dan phospor) dalam limbah cair sehingga keberadaannya dapat mengurangi kadar hara. Jenis bakteri yang berperan penting dalam proses pengolahan air limbah secara biologis seperti yang terdapat dalam tabel berikut. Tabel 10. Bakteri dan fungsinya Jenis bakteri Fungsi Pseudomonas Pengurangan karbohidrat dan denitrifikasi Zoogloea Produksi Lumpur dan pembentukan flok Bacillus Degradasi protein Athrobacter Degradasi karbohidrat Microthix Degradasi lumut, pembentukan filamen Acinobacter Pengurangan phosfor Nitrosomonas Nitrifikasi Nitrobacter Nitrifikasi Sumber : Horan (1993) 23

53 Bakteri patogen yang banyak terdapat dalam usus manusia kurang banyak berperan dalam proses dekomposisi bahan organik yang terdapat di air limbah (Mara, 1976). Keberadaan oksigen pada konsentrasi di atas normal akan berpengaruh terhadap bakteri patogen ini, terutama yang bersifat anaerobik (Park et al., 1994). Hasil penelitian Halliwell dan Gutteridge (1984) menunjukkan bahwa pertumbuhan E. coli ternyata dapat dihambat dengan adanya paparan oksigen. Smith dan Wildener (1986 dalam Qasim, 1994) mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa efisiensi dalam menurunkan kadar bahan organik dan NH 4 + serta meningkatkan kadar hara nitrat (NO 3 - ) dari proses pengolahan biologi sebagai berikut. Tabel 11. Rata-rata konsentrasi influen dan efluen dari proses penyisihan biologi Parameter Influen Efluen COD (mg/l) TOC (mg/l) ,3 NH + 4 (mg/l) 300 < 1 NO - 3 (mg/l) 0 175,3 Sumber : Smith dan Wildener (1986 dalam Qasim 1994) Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan dari Limbah Cair Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai penyaring polutan dalam pengolahan limbah cair adalah zeolit. Sastiono (2004) mengemukakan bahwa zeolit merupakan kelompok senyawa berbagai jenis mineral alumino silikat hidrat dengan logam alkali yang terbentuk dari hasil sedimentasi abu vulkanik yang teralterasi. Zeolit memiliki sifat-sifat kimia dan fisik yang unik, seperti kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi (100 sampai 180 me/100 g) dan bersifat porous. Kerangka dasar struktur zeolit terdiri dari unit-unit tetrahedral AlO 4 dan SiO 4 yang saling berhubungan melalui atom O dan di dalam struktur tersebut Si 4+ dapat diganti dengan Al 3+. Ikatan ion Al-Si-O membentuk struktur kristal, sedangkan logam alkali merupakan sumber kation yang mudah dipertukarkan (Sutarti dan Rachmawati, 1994). O O O O Na + Si Si Al Si Si O O O O Gambar 5. Struktur rangka zeolit (Sutarti dan Rachmawati, 1994) 24

54 Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), keterbukaan struktur zeolit menyebabkan terbentuknya saluran dan rongga dengan ukuran garis tengah yang berbeda-beda antara 2-11 A o. Molekul dengan ukuran yang tepat dapat terperangkap dalam lubang. Sifat itulah yang memungkinkan zeolit digunakan sebagai adsorben yang selektif. Dalam keadaan hidrat, semua rongga mengandung molekul air, tetapi dalam keadaan anhidrat yang diperoleh dengan pemanasan dalam vakum, maka rongga yang sama dapat terisi oleh molekul lain. Molekul-molekul dalam rongga cenderung untuk tertahan dengan gaya elektrostatik van der waals. Gaya tersebut menyebabkan zeolit dapat mengadsorpsi (menjerap) dan menahan secara kuat molekul-molekul yang tepat dan cukup kecil untuk masuk ke dalam rongga. Droste (1997) mendefinisikan adsorpsi sebagai kemampuan menahan molekul-molekul (gasgas, ion, logam, molekul organik dan sebagainya) pada bagian permukaan suatu padatan sehingga terjadi perpindahan massa dari fase cairan atau gas kepada permukaan padatan. Kemampuan zeolit dalam mengadsorpsi sejumlah ion dan molekul yang terdapat dalam larutan maupun gas dimungkinkan oleh struktur mineral zeolit yang porous. Volume rongganya meliputi 20 50% dari luas permukaan bagian dalam, seluas ratusan ribu m 2 kg -1. Rongga yang besar dan saluran dalam kristal zeolit diisi oleh air yang mengelilingi kation-kation dapat dipertukarkan. Molekul-molekul air tersebut dapat dikeluarkan dari saluran melalui pemanasan dengan temperatur sebesar 350 o C. Molekul-molekul yang memiliki diameter lebih kecil dari diameter saluran masuk akan diadsorpsi ke bagian dalam rongga kristal, sementara molekul yang memiliki diameter lebih besar dari diameter saluran masuk tidak mampu dijerap oleh zeolit. Kondisi ini memberikan sifat selektifitas molekul yang merupakan karakteristik mineral zeolit (Ming dan Mumpton, 1989). Sifat zeolit yang penting lainnya adalah kemampuannya di dalam menukarkan kation. Kation-kation yang dapat dipertukarkan dari zeolit tidak terikat secara kuat di dalam kerangka tetrahedral zeolit sehingga dengan mudah akan dilepaskan ataupun dipertukarkan melalui pencucian dengan larutan kation-kation lain (Barrer dan Klinowski, 1972 dalam Sastiono, 1993). 25

55 Beberapa faktor yang berpengaruh pada proses pertukaran ion, diantaranya (Montgomery, 1985) : 1. Ukuran partikel Laju proses difusi bertambah besar dengan berkurangnya ukuran partikel; tetapi berkurangnya ukuran partikel akan menambah head loss dalam kolom. Hasil penelitian Purwadio dan Masduqi (2004) menunjukkan bahwa zeolit berukuran partikel 40 mesh paling efektif dalam menurunkan Fe dalam air limbah, sedangkan Utami (2007) mendapatkan bahwa zeolit berukuran mesh paling efektif dalam menurunkan kadar logam berat dalam air limbah. 2. Besar aliran (debit) Besar debit dalam kolom mempengaruhi kesetimbangan reaksi pertukaran ion yang terjadi. Untuk debit rendah, berarti waktu kontak menjadi lama sehingga keseimbangan reaksi pertukaran menjadi sempurna. Akibatnya semakin banyak ion-ion yang tertahan dalam media pertukaran dan memperbesar kapasitas operasi. 3. Konsentrasi larutan Kecepatan difusi akan bertambah jika konsentrasi ion dalam larutan meningkat. Bertambahnya konsentrasi larutan harus diimbangi dengan debit yang rendah untuk mendapatkan kapasitas operasi yang sama. 4. Tingkat regenerasi Tingkat regenerasi adalah banyaknya regenerant yang dipakai per volume media penukar. Semakin tinggi tingkat regenerasi akan semakin banyak ion penukar dalam media penukar yang dapat diregenerasi sehingga kapasitas penukaran akan meningkat. 5. Kedalaman kolom bed Pengaruh kedalaman bed kolom terkait dengan besarnya pemakaian media penukar ion dalam proses pertukaran ion. 6. Suhu Kecepatan reaksi pertukaran ion akan bertambah dengan bertambahnya suhu. Pada suhu yang lebih tinggi, difusi akan meningkat dan keaktifan ion-ion dalam larutan akan bertambah. 7. Ukuran pori-pori intra partikel Derajat ikatan silang mempengaruhi ukuran pori-pori intra partikel dalam media penukar ion. Hal ini akan mempengaruhi proses difusi partikel karena untuk derajat ikatan silang yang besar, ukuran pori-pori intra partikel akan lebih rapat. 26

56 Proses pertukaran ion dapat dilakukan dengan sistem fixed bed. Gambaran dari sistem tersebut sebagai berikut (Benefield et al 1982). Gambar 6. Aliran melalui media berbutir (Fair et al., 1963) Pada sistim yang dikembangkan oleh Fair et al. (1963) seperti pada gambar di atas, air yang akan diolah dialirkan melalui kolom yang berisi media penukar ion. Proses pertukaran ion terjadi selama air kontak dengan media penukar yang aktif. Media penukar ion pada daerah di tempat air masuk akan lebih dahulu menjadi daerah tak aktif. Daerah aktif dalam kolom bergeser ke bawah selama reaksi berlangsung. Zeolit alam umumnya masih memiliki kemampuan yang rendah baik sebagai penjerap, penyaring molekul maupun sebagai penukar ion sehingga diperlukan proses aktivasi untuk meningkatkan mutu zeolit. Proses aktivasi yang paling sederhana dapat dilakukan melalui proses pemanasan. Aktivasi fisik melalui pemanasan bertujuan untuk meningkatkan keaktifan zeolit yang disebabkan oleh terbukanya pori-pori atau saluran pada kristal. Kondisi ini mengakibatkan interaksi spesies yang dijerap semakin besar. Jumlah air yang dapat dikeluarkan tergantung dari tingkat suhu maupun lamanya waktu pemanasan (Barrer, 1982). Husaini (1992) mengemukakan bahwa makin tinggi suhu pemanasan, maka luas permukaan spesifik zeolit makin tinggi dan jumlah air yang menguap makin banyak sehingga pori-pori zeolit yang bebas dari molekul air makin banyak pula. Menurut Anwar dan Darmawan (1985), adsorpsi maksimum terjadi pada pemanasan antara 110 o C sampai 300 o C. Hasil penelitian Husaini (1992) yang berkaitan dengan persentase ion tertukar antara zeolit tanpa aktivasi dengan zeolit yang diaktivasi dengan cara pemanasan seperti yang terdapat pada tabel berikut. 27

57 Tabel 12. Persentase logam berat tertukar dari zeolit tanpa aktivasi dan zeolit diaktivasi melalui pemanasan Kation % Ion Tertukar Logam Berat Tanpa Aktivasi Pemanasan Cu 2+ 98,8 99,2 Co 2+ 48,8 44,2 Zn 2+ 46,6 70,9 Cr 3+ 41,2 44,6 Mn 2+ 34,2 35,6 Fe Pb Sumber : Husaini (1992) Husaini (1992) mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa aktivasi menyebabkan perbedaan selektivitas dalam pertukaran ion oleh zeolit. Urutan dari selektivitas tersebut sebagai berikut. Tabel 13. Urutan selektivitas kation berdasarkan perbedaan aktivasi Jenis Aktivasi Urutan Selektivitas Tanpa aktivasi Pb/Fe > Cu > Co > Zn > Cr > Mn Aktivasi Pemanasan Pb/Fe > Cu > Zn > Co/Cr > Mn Sumber : Husaini (1992) Afinitas setiap jenis kation dalam proses perrtukaran ion adalah berbeda. Ion dengan valensi (muatan) lebih besar akan lebih mudah untuk dipertukarkan. Urutan kekuatan adsorpsi pada media penukar ion sebagai berikut (Komar, 1985): Fe 3+ > Al 3+ > Pb 2+ > Cd 2+ > Zn 2+ > Cu 2+ > Fe 2+ > Mn 2+ > Ca 2+ > Mg 2+ > K + > NH4 + > H + Zeolit dapat digunakan dalam pengolahan limbah cair. Bahkan zeolit lebih mampu menyaring kotoran yang terdapat pada limbah cair dibanding pasir kuarsa disebabkan zeolit mempunyai pori-pori yang besar dan bentuknya tidak teratur sehingga dapat menangkap lumpur yang lebih banyak. Menurut Sutarti dan Rachmawati (1994), peranan zeolit pada air buangan kota dan air buangan industri untuk menjerap logam berat sehingga terjadi penurunan konsentrasi logam tersebut pada efluen sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Selain itu, kemampuan zeolit dalam memisahkan fitoplankton dan bakteri lebih baik dibanding penyaring kuarsa dan penggunaannya dapat lebih tahan lama. Berdasarkan hasil penelitian Husaini (1993), jumlah E. coli dapat diturunkan melalui proses penyaringan dengan menggunakan zeolit. Kemampuan zeolit dalam menurunkan beberapa parameter pencemar yang diperoleh dari hasil penelitian Suganal et al., (1990) sebagai berikut. 28

58 Tabel 14. Kualitas keluaran pengolahan air buangan dengan menggunakan zeolit Bayah pada laju alir 22 liter per menit Konsentrasi Polutan Efluen No. Parameter Satuan Influen Kolom I Kolom II Setelah Regenerasi 1. ph - 8,2 7,9 7,8 8, NH 4 ppm 33,12 3,0 2,6 11, NO 2 ppm 0,17 0,115 0,11 0, NO 3 ppm 1,1 0,65 0,25 0,4 5. Ca 2+ ppm 38,48 42,0 48, Na + ppm 88,0 180,0 140, Mg 2+ ppm 9,71 18,0 19, COD ppm 96,0 75,0 36,0 88,0 Sumber : Suganal et al. (1990) Dari hasil penelitian Sastiono (1993), kemudahan permukaan zeolit dalam menukar ion tergantung dari : 1. Tenaga ikat ion terhadap kristal; 2. Konsentrasi ion yang ditukar dan besarnya kelarutan ; 3. Muatan ion yang ditukar; dan 4. Ukuran ion-ion. 2.5 Potensi Lindi menjadi Pupuk Cair Umumnya, pupuk organik cair yang beredar di pasaran merupakan hasil fermentasi dari bahan organik. Jika ditinjau dari proses pembentukannya, lindi dihasilkan dari proses pembilasan bahan yang melekat pada sampah. Sebagian besar dari bahan yang melekat pada sampah merupakan hasil dari fermentasi (perombakan) bahan sampah baik yang berupa jaringan tanaman maupun hewan yang ada di TPA. Kedua proses tersebut menghasilkan zat hara yang dibutuhkan tanaman. Beberapa hara dan bentuk yang dapat diambil tanaman dari tanah disajikan pada Tabel 15, sedangkan kisaran zat hara dalam lindi yang diperoleh dari beberapa hasil penelitian disajikan pada Tabel 16. Sebagai pembanding, kadar hara dari beberapa pupuk cair yang sudah beredar di pasaran yang juga dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik disajikan pada Tabel

59 Tabel 15. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman Jenis Unsur Bentuk yang Diserap oleh Tanaman Simbol Hara Kation (+) Anion (-) Nitrogen N + NH 4 NO3 - Fosfor P - H 2 PO - 2-4, HPO 4 Kalium K K + - Kalsium Ca Ca 2+ - Magnesium Mg Mg 2+ - Sulfur S - 2- SO 4 Mangan Mn Mn 2+ - Boron B - 2- BO 3 Molibdenum Mo - 2- MoO 4 Tembaga Cu Cu 2+ atau Cu 3+ - Seng Zn Zn 2+ - Besi Fe Fe 2+ atau Fe 3+ - Sumber : Novizan (2005) Tabel 16. Kisaran zat hara yang terdapat pada lindi Pohland dan Lisk dalam Young Komponen Hara Harper et al., (1995) (1985) Widyatmoko dan Sintorini (2002) Nitrat (mg/l) 0-9,8 < 0,20-4, Fosfor (mg/l) < 0,02-3,4 2,6-3,0 Kalium (mg/l) 0, Kalsium (mg/l) Magnesium (mg/l) Sulfur (mg/l) Mangan (mg/l) 0, ,32-26,5 tidak diteliti Boron (mg/l) 0-0,413 tidak diteliti tidak diteliti Tembaga (mg/l) 0-9,9 < 0,01-0,15 tidak diteliti Seng (mg/l) < 0,05-0,95 tidak diteliti Besi (mg/l) , tidak diteliti 30

60 Tabel 17. Nama beberapa pupuk cair, sumber, komposisi dan cara pemberiannya Nama Dagang Sumber Komposisi Cara Pemberian N 5% PO Hasil fermentasi ppm K 250 ppm - Disiramkan ke media limbah alam, Mukti Sari Asri Ca ppm tanam. limbah ternak (MSA) Mg 10 ppm - Dosis ml/m 2 serta limbah Sedikit unsure Na, Fe, setiap 15 hari. tanaman. Cu, Mn,. Cl, B, Zn, Al dan S Super Natural Nutrition (SNN) Bayfolan Orgasol Hasil fermentasi limbah hewan, tanaman dan alam. Larutan unsur hara. (pupuk anorganik) Fermentasi dari bahan organik. Sumber : Lingga dan Marsono (2005) Ntotal 20% Ptotal 15% Ktotal 20% Organik padat 25% Organik cair 6% Air 12% N 11% P 8% K 6% Fe, Mg, B, Cu, Zn, Co, Mo N 8% P 2% K 5,8% Zat organik 31% Air 45% - Disiramkan ke media tanam. - Dosis 2 sdt/liter setiap 2,5-3 bulan sekali. - Disemprotkan ke daun. - Dosis 2 ml/l air (2 4 liter pupuk/ha) - Disemprotkan ke daun. - Dosis 4 ml/liter air. - Digunakan untuk anggrek Jika ditinjau dari kuantitasnya, ada hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit seperti halnya logam mikro, tetapi ada juga hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang lebih banyak seperti halnya hara N, P dan K. Oleh karenanya, untuk menjadikan lindi menjadi pupuk cair perlu memperhatikan hal-hal tersebut. Menurut Hakim (1986), jumlah unsur hara mikro yang umum diberikan dalam bentuk pupuk daun seperti pada tabel berikut. Tabel 18. Konsentrasi umum larutan hara mikro untuk penyemprotan daun Senyawa Hara Tanaman Konsentrasi (%) Seng sulfat 0,2 Tembaga sulfat 0,2 Mangan sulfat 0,2 Besi sulfat 0,2 Borax 0,1 Asam molybdate 0,05 Sumber : Hakim (1986) 31

61 Unsur hara mikro (Cu, Mn, Zn dan Fe) umumnya sering berada dalam kekurangan sebagai akibat pertanaman yang intensif yang hanya dipupuk berat dengan hara makro (Lingga dan Marsono, 2005). Hardjowigeno (2010) mengemukakan bahwa unsur tersebut dapat berubah kelarutannya sebagai akibat berubahnya ph, sifat oksidasi atau reduksi. Apabila lindi akan dijadikan pupuk cair, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yakni: (1) jumlah unsur yang dibutuhkan tanaman yang harus ada dalam pupuk, dan (2) jumlah unsur ikutan yang tidak diinginkan yang ada dalam pupuk cair yang dihasilkan. Persyaratan teknis minimal yang harus dipenuhi apabila lindi akan dijadikan pupuk cair sebagai berikut. Tabel 19. Persyaratan teknis minimal pupuk cair Pupuk Organik Cair Pupuk Anorganik Cair Pupuk Parameter Persyaratan Parameter Pupuk Majemuk Tunggal C-organik 6% Ntotal 20% Total N, P2O5 dan C/N ratio - P 2 O 5 < 8% K2O 10% Bahan Ikutan - K 2 O < 15% Kadar Air - Zn - < 0,25% Logam Berat As Hg Pb Cd < 10 ppm < 1 ppm < 50 ppm < 10 ppm B - 0,125% ph 4-8 Cu < 1% 0,25% - - Mn - 0,25% - - Mo - 0,001% - - Co - 0,0005% - - Biuret - < 1% Sumber: Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/ Upaya Mengendapkan Logam Mikro melalui Penambahan Kapur atau KMnO 4 maupun Proses Fisik Keberadaan logam mikro essensial di dalam lindi menunjukkan bahwa lindi mempunyai potensi untuk dijadikan bahan pupuk cair. Namun untuk mendapatkan jumlah logam yang lebih maksimal agar pupuk cair yang dihasilkan dapat lebih berdaya guna, perlu upaya melalui penambahan bahan yang mampu mengendapkan logam mikro agar logam mikro essensial yang masih terlarut dapat mengendap hingga akhirnya konsentrasinya menjadi lebih besar. 32

62 Menurut Waluyo (2005), logam terlarut dapat mengendap melalui peningkatan ph maupun proses oksidasi. Salah satu bahan yang dapat meningkatkan ph adalah kapur dan bahan yang dapat mengoksidasikan logam mikro adalam KMnO 4. Asri (2009) mengemukakan bahwa tiap-tiap logam memiliki karakteristik ph optimum presipitasi (pengendapan) tersendiri, yaitu ph pada saat logam tersebut memiliki kelarutan minimum. Oleh karena itu, pada limbah yang mengandung beragam logam, presipitasi dapat dilakukan dengan perubahan ph sehingga pada ph tertentu logam yang diinginkan dapat mengendap. Logam dalam keadaan terlarut umumnya dapat dipresipitasikan dalam bentuk hidroksidanya. Menurut Asrie (2009), logam besi membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksidanya. Upaya untuk mempresipitasikan logam besi dapat dilakukan dengan menambahkan Ca(OH) 2 agar besi dapat mengendap. Reaksi pengendapan besi sulfat digambarkan Asrie (2009) sebagai berikut: 2FeSO 4.7H 2 O + 2Ca(OH) 2 + ½O Fe(OH) 3 + 2CaSO H 2 O Hasil penelitian Asrie (2009) didapatkan bahwa dalam upaya mengendapkan logam mikro, penggunan Ca(OH) 2 lebih cepat dibanding NaOH. Di samping itu biaya operasional dari penggunaan Ca(OH) 2 juga relatif lebih murah dibanding NaOH. Praswati et al. (2001) dalam Asrie (2009) mengemukakan bahwa variabel ph 4,6 hingga ph 8 tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap pengendapan logam Cu dan Fe. Hasil penelitiannya juga didapatkan bahwa penambahan Ca(OH) 2 dengan waktu flokulasi 30 menit menyebabkan kelarutan crom (Cr) dan seng (Zn) secara teoritis minimum, masing-masing pada ph 7,5 dan 10,2 dan menunjukkan kenaikan yang signifikan dalam konsentrasi di atas atau di bawah ph tersebut. Besarnya % removal Fe pada ph 8, 9, 10, 11 dan 12 berturut-turut sebesar 99,82%, 99,91%, 99,924% dan 99,927%. Besarnya % removal masing-masing logam berbeda-beda. Hal ini terjadi karena kelarutan masing-masing logam berbeda-beda. Oleh karena itu, perlakuan ph untuk masing-masing logam tidak sama. Reaksi antara Ca(OH) 2 dengan beberapa logam seperti yang digambarkan Asrie (2009) sebagai berikut. Cu 2+ Cu(OH) 2 Ni 2+ + Ca(OH) > Ni(OH) 2 + Ca 2+ Zn 2+ Zn(OH) 2 Fe 2+ Fe(OH) 2 33

63 Keefektifan dari suatu bahan pengendap baik kapur maupun bahan lainnya seperti FeCl 3 dalam menurunkan bahan-bahan terlarut dapat ditunjukkan oleh nilai TDS yang terdapat air yang diolah. Nilai TDS semakin rendah berarti bahan pengendap tersebut semakin efektif dalam menurunkan bahan terlarut (Effendi, 2003). Pemberian FeCl 3 sebesar 1000 ppm mampu menyebabkan nilai TDS terendah (Amuda, 2005). Oleh karenanya, pemberian bahan pengendap berupa kapur pada dosis tersebut juga diharapkan dapat memaksimalkan pengendapan padatan terlarut dalam air limbah. Selain melalui perubahan ph akibat penambahan kapur, pengendapan logam dalam air limbah juga dapat terjadi melalui proses oksidasi. Salah satu bahan oksidator yang digunakan untuk mengendapkan logam mikro adalah KMnO 4. Harjadi (1993) mengemukakan bahwa kalium permanganat (KMnO 4 ) dapat bereaksi dengan cara yang berbeda-beda tergantung dari ph larutannya. Kekuatannya sebagai oksidator juga berbeda-beda sesuai dengan reaksi yang terjadi pada ph yang berbeda. Reaksi yang bermacam-macam ini disebabkan oleh keragaman valensi mangan dari 1 sampai dengan 7. Menurut Waluyo (2005), pada proses pengolahan air bersih, KMnO 4 selain dapat digunakan untuk mengendapkan logam terlarut, juga dapat digunakan untuk menghilangkan bau/rasa dan membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan. Menurut Rismana (2002), penggunaan 0,02% KMnO 4 dapat membunuh mikroorganisme yang terdapat dalam air dengan daya aksi dalam hitungan detik hingga menit. Upaya pengendapan logam mikro terlarut yang dilakukan dengan penambahan bahan dapat dimaksimalkan dengan proses fisik menggunakan alat diantaranya alat kocok (shaker) dan sentrifuge agar bahan yang ditambahkan ke larutan dapat bereaksi hingga logam mikro yang masih terlarut dapat membentuk endapan. Menurut Lahay (2004), alat kocok (shaker) digunakan untuk menghomogenkan 2 bahan yang dicampurkan agar membentuk endapan; sedangkan sentrifuge, menurut Anonim (2009) digunakan untuk memisahkan zat dari cairannya dengan cara pemutaran menggunakan kekuatan rotasi. Pemutaran dengan kecepatan tertentu dapat menyebabkan zat-zat yang terlarut mengendap. Kecepatan putar rpm selama 1 3 menit mampu mengoptimalkan pengendapan logam terlarut. 34

64 2.7 Beberapa Logam Mikro yang terdapat pada Lindi dan Manfaatnya bagi Tanaman Beberapa logam terlarut yang terdapat dalam lindi yang juga terdapat dalam pupuk cair komersial adalah Cu, Zn, Mn dan Fe. Karsono et al. (2004) mengemukakan manfaat dan pengaruh dari unsur-unsur tersebut pada pertumbuhan tanaman sebagai berikut. 1. Besi (Fe) Besi diperlukan untuk sintesis klorofil. Sebagai enzim, Fe akan mengaktivasi proses biokimia, misalnya respirasi, fotosintesis dan fiksasi nitrogen. Mobilitas Fe rendah, sehingga bila sudah berada di dalam suatu jaringan tanaman tidak dapat dibongkar untuk dipindahkan ke bagian lain. Oleh karenanya, gejala defisiensi seperti tulang daun tetap hijau, tetapi warna hijau di antara tulang daun memudar atau berwarna kekuningan akan mudah terlihat di pucuk daun; sedangkan gejala kelebihan Fe jarang terlihat. 2. Mangan (Mn) Unsur mangan merupakan aktivator untuk berbagai enzim lainnya. Mangan juga membantu Fe dalam pembentukan klorofil dan membantu produksi oksigen dari air ketika proses fotosintesis berlangsung. Defisiensi Mn menunjukkan gejala helaian daun menguning diantara tulang daun pucuk. Daun tua berubah warna menjadi coklat, kemudian terjadi nekrotik (bercak hitam karena kematian sel dan jaringannya) dan akhirnya rontok. Kelebihan Mn menunjukkan gejala klorosis, yakni warna daun berubah menjadi kuning, pembentukan klorofil tidak merata dan pertumbuhan terhambat. 3. Cuprum (Cu) Unsur Cu berperan sebagai aktivator enzim-enzim tertentu dan ikut dalam kegiatan fotosintesis. Jika kekurangan Cu, produksi protein juga akan terhambat. Gejala kekurangan Cu adalah pertumbuhan terhambat, tanaman kerdil, daun muda berwarna hijau gelap, terpelintir, berubah bentuk, muncul bintik-bintik nekrotik, mudah layu dan akhirnya pucuk daun kering dan mati. Kelebihan Cu menunjukkan gejala pertumbuhan tanaman terhambat yang diikuti dengan klorosis karena terdesaknya Fe oleh Cu yang berlebih. Gejala lainnya adalah tanaman kerdil, percabangan berkurang, akar menggelembung dan berwarna gelap. 35

65 4. Seng (Zn) Seng diperlukan untuk pembentukan hormon IAA dan mengaktivasi enzim-enzim tertentu. Defisiensi seng ditunjukkan oleh gejala memendeknya jarak antar ruas batang, ukuran daun mengecil, tepi daun sering bergelombang dan kadang-kadang terjadi klorosis di antara tulang daun. Kelebihan Zn ditandai oleh gejala klorosis karena terdesaknya Fe oleh Zn. 2.8 Pupuk dan Pemupukan Dalam pengertian sehari-hari, pupuk diartikan sebagai bahan yang digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah, sedangkan pemupukan adalah penambahan bahan pupuk (zat hara) ke tanah agar tanah menjadi lebih subur (Hardjowigeno, 2010). Pemupukan akan menjadi efektif apabila persyaratan kualitatif dan kuantitatif telah terpenuhi. Persyaratan kuantitatifnya adalah dosis pupuk, sedangkan persyaratan kualitatif meliputi empat hal, yakni : (1) unsur hara yang diberikan dalam pemupukan harus relevan dengan masalah nutrisi yang ada, (2) waktu pemupukan dan penempatan pupuk yang tepat, dan (3) unsur hara yang berada pada waktu dan tempat yang tepat dapat diserap oleh tanaman (Indranada, 1994) Jenis Unsur Hara yang Dibutuhkan Tanaman Keharusan untuk memupuk disebabkan tanaman memerlukan sejumlah unsur hara dalam takaran cukup, seimbang dan kontinyu untuk terus tumbuh, berkembang dan menyelesaikan daur hidupnya. Takaran dan jenis unsur hara yang dibutuhkan setiap jenis tanaman berbeda. Unsur hara yang dibutuhkan dalam takaran banyak disebut unsur hara makro, sedangkan unsur hara yang diperlukan dalam takaran sedikit disebut unsur hara mikro. Unsur hara makro terdiri dari : N, P, K, Ca, Mg, S. Unsur hara mikro, diantaranya: Cu, Zn, Mn, Fe (Poerwowidodo, 1992) Jenis-Jenis Pupuk Cair Berdasarkan bahan bakunya, pupuk dibedakan menjadi pupuk buatan dan pupuk alam. Pupuk buatan adalah pupuk yang dibuat oleh industri atau pabrik, yang kadar haranya sengaja dibuat dalam jumlah tertentu, contohnya : urea, TSP, KCl dan sebagainya. Pupuk alam adalah pupuk yang bahan bakunya berasal dari alam, contohnya pupuk kandang, kompos dan sebagainya. Kadar hara dari pupuk alam terdapat secara alami, sedangkan pupuk buatan dibedakan menjadi pupuk tunggal dan pupuk majemuk (Hardjowigeno, 2010). 36

66 Berdasarkan cara aplikasinya, pupuk dibedakan menjadi pupuk akar dan pupuk daun. Pupuk akar adalah semua jenis pupuk yang diberikan lewat akar dengan maksud memperbaiki keadaan fisik, kimia dan biologi tanah supaya tumbuhan yang ditanam di atasnya tumbuh subur dan memberi hasil maksimal; sedangkan pupuk daun adalah pupuk yang diberikan ke tanaman dengan cara disemprotkan ke daun dan umumnya mengandung unsur hara mikro. Pemberian pupuk daun diharapkan dapat mengatasi kekurangan hara tersebut yang sering dialami pada tanaman dan menghindari tanah dari kerusakan. Kelebihan dari pemakaian pupuk daun adalah penyerapan haranya berjalan lebih cepat dibanding dengan pemberian yang dilakukan lewat akar. Dengan pemberian pupuk lewat daun diharapkan tanaman akan lebih cepat menumbuhkan tunas dan tidak merusak tanah. Oleh karenanya, pemupukan lewat daun dipandang lebih berhasil guna dibanding pemupukan lewat akar (Lingga dan Marsono, 2005). Berdasarkan bentuknya, pupuk ada yang berwujud cair dan padat. Bentuk padat dapat berupa kristal halus sampai berupa tepung, sedangkan pupuk yang berbentuk cair pemakaiannya cukup diencerkan saja hingga konsentrasi yang dianjurkan. Berdasarkan bahan bakunya, pupuk dapat dibedakan menjadi pupuk yang diramu dari zat kimia (bahan anorganik) dan ada pula yang bahannya diambil dari bahan organik. Pupuk berbahan organik merupakan hasil pelapukan tumbuhan atau hewan. Berdasarkan kadar haranya, pupuk dapat dibedakan menjadi pupuk yang berkadar hara makro atau mikro (Lingga dan Masono, 2005). Beberapa contoh dari pupuk daun cair yang beredar di pasaran, komposisi, aplikasi dan manfaatnya seperti yang terdapat pada Tabel

67 Tabel 20. Beberapa contoh pupuk daun cair yang beredar di pasaran, komposisi, aplikasi dan manfaatnya Kandungan Kepekatan Nama Dagang Keterangan Unsur Larutan Asri BASF Foliar B Biolan N, P, K, Mg, S, Fe, Zn, Cu, Mn, B, Mo, Co, Cl, Ca, Vitamin N 11% P 8% K 6% Fe, Mg, B, Cu, Zn, Co, Mo N 9 17,2% P 2 O 5 9,5 18,2% K 2 O 9,7 11,5% S 1,9 2,2% Ca 0,7 0,8% Cu ppm Zn ppm Fe ppm B ppm Mn ppm Mo 5 37 ppm Sumber : Lingga dan Marsono (2005) 2 ml/l air 2 ml/l air (2 4 liter pupuk/ha) 3 ml/l air Dasar dalam Melakukan Pemupukan - Pupuk anorganik makro dan mikro - Bentuk cair - Memperbesar buah - Memperbesar kerontokan - Diaplikasikan 7 10 hari sekali setelah muncul bunga - Pupuk anorganik makro dan mikro - Bentuk cair - Untuk pertumbuhan vegetatif - Pupuk anorganik makro dan mikro - Berbentuk cair - Mudah larut dalam air dan mudah diserap akar - Meningkatkan hasil serta mutu panen - Mempercepat Pertumbuhan tunas daun dan bunga - Meningkatkan daya tahan serangan hama - Memperkokoh batang - Dapat dicampur dengan pestisida Dalam melakukan pemupukan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni (Hardjowigeno, 2010), yaitu: 1. Tanaman yang akan dipupuk. Sifat-sifat tanaman yang perlu diperhatikan dalam pemupukan meliputi : (a) penggunaan unsur hara oleh tanaman, dan (b) sifat-sifat akar. 2. Jenis tanah yang akan dipupuk. Kandungan unsur hara, kemasaman dan kemampuan dalam memfiksasi unsur hara yang diberikan pada masing-masing jenis tanah berbeda-beda sehingga kebutuhan pupuk untuk setiap jenis tanah juga berbeda. 38

68 3. Jenis pupuk yang digunakan. Tiap-tiap jenis pupuk mempunyai kandungan unsur hara, reaksi fisiologis, kelarutan, kecepatan bekerja yang berbeda-beda sehingga jumlah dan jenis pupuk yang diberikan serta cara dan waktu pemberiannya berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman atau jenis tanah. 4. Jumlah pupuk yang diberikan. Jumlah pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada dalam tanah, serta kadar unsur hara yang terdapat dalam pupuk. 5. Waktu pemupukan Pupuk yang bekerjanya cepat diberikan setelah tanam dan diberikan sedikit demi sedikit dalam 2 atau 3 kali pemupukan karena pupuk ini mudah tercuci, sedangkan pupuk yang bekerjanya lambat diberikan sebelum tanam dan sekaligus. Untuk tanaman yang telah lama tumbuh diberikan setiap akan mulai kegiatan maksimum pertumbuhan. 6. Cara penempatan pupuk Pentingnya cara penempatan pupuk adalah agar dapat diambil tanaman lebih efisien, tidak merusak biji yang ditanam atau akar tanaman dan dalam penyediaan tenaga kerja menjadi lebih ekonomis Analisis Status Hara Upaya untuk menilai efektivitas dari pupuk yang diberikan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dapat dilakukan dengan mengevaluasi hasil percobaan di rumah kaca. Percobaan menggunakan tanaman tertentu sebagai indikator. Pada percobaan rumah kaca, bahan pupuk ditambahkan menurut jenis dan jumlah seperti yang direncanakan. Pertumbuhan atau produksi tanaman yang ada dapat diketahui kekurangan dan kebutuhan akan unsur hara dari tanah dan tanaman tersebut (Hardjowigeno, 2010). Menurut Nyakpa et al. (1985), salah satu keuntungan dari percobaan rumah kaca adalah mudah dalam melakukan pengulangan dan relatif murah. Kelemahannya terletak pada kondisi percobaan yang keadaan lingkungannya terkendalikan sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman indikator lebih baik. 39

69 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan rumah kaca SEAMEO Biotrop, serta Laboratorium Kimia Fisik Institut Pertanian Bogor (IPB), dari bulan Juli 2006 sampai April Lindi yang diteliti diambil pada saat musim kemarau dari bak pengumpul di instalasi pengolah limbah (IPAL) yang ada di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Gunung Galuga milik Pemda Kota Bogor dengan menggunakan kantong plastik berukuran 60 x 90 cm (Gambar 7), untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dimasukkan pada drum-drum plastik untuk dilakukan beberapa percobaan. Gambar 7. Kantong plastik berisi lindi yang akan diteliti 3.2 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan analisis pendahuluan pada lindi yang akan diolah, kemudian baru dilakukan beberapa percobaan. Ada tiga tahapan percobaan yang dilakukan, yakni: (1) pengolahan lindi melalui pemberian udara pada beberapa laju aerasi, dilanjutkan dengan melewatkan efluen yang memiliki kadar polutan terendah melalui zeolit pada 3 ukuran partikel yang berbeda, (2) pengolahan endapan hasil olahan aerasi yang mengandung hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) paling tinggi untuk 40

70 dijadikan pupuk cair, dan (3) mengaplikasikan pupuk cair terpilih sebagai pupuk daun pada pertanaman cabai (Capsicum annum). Skenario penelitian ini disajikan pada Gambar 8. Lindi yang menjadi penyebab bau busuk (berasal dari NH 3, H 2 S dan bahan organik terlarut): gangguan kesehatan akibat logam-logam terlarut, pencemaran badan-badan air dan tanaman yang ada di sekitar TPA sampah. Pengolahan aerasi untuk menurunkan polutan penyebab bau dan logam terlarut (penerapan 4 laju aerasi: 0, 10, 30 dan 70 liter/menit). Analisis kadar beberapa polutan yang masih tersisa pada efluen bagian atas Penyaringan dan penjerapan polutan yang masih tersisa menggunakan zeolit (ukuran partikel: 5 10, dan mesh) Analisis kadar polutan yang masih tersisa pada efluen Analisis kadar logam mikro pada efluen bagian bawah (endapan) Pemekatan logam mikro melalui Penambahan kapur - 4 jenis kapur - 11 dosis - Proses fisik Analisis - Nilai TDS, Ca dan Mn pada sentrat. - Kadar logam mikro essensial dan non essensial Bahan pupuk cair terpilih Penambahan KMnO 4-4 dosis KMnO 4 - Penambahan kapur - Proses fisik Analisis kadar polutan yang masih tersisa dengan baku mutu Pengkayaan (penambahan N, P, K 10%) Pengaplikasian pupuk cair dari lindi pada tanaman (percobaan rumah kaca) Analisis pertumbuhan/produksi tanaman dan analisis kadar logam berat pada buah Rekomendasi Pengolahan yang menghasilkan efluen rendah polutan Pengolahan yang menghasilkan pupuk cair yang memberikan pertumbuhan dan produksi tanaman tertinggi dan aman bagi kesehatan manusia Gambar 8. Tahapan penelitian 41

71 Penelitian didahului dengan melakukan analisis pendahuluan pada lindi yakni analisis terhadap beberapa parameter yang terkait dengan penelitian sebelum lindi diberi perlakuan. Lindi yang diteliti diambil dari kolam penampungan terakhir sebelum lindi keluar menuju lingkungan. Secara visual, kondisi dari lindi di tempat asalnya sebelum dilakukan pengambilan sampel ditampilkan pada Gambar 9. Beberapa parameter yang diamati dalam analisis pendahuluan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Gambar 9. Kondisi lindi sebelum dilakukan pengambilan sampel Upaya menjadikan lindi menjadi efluen yang aman dialirkan ke lingkungan dilakukan melalui pengolahan tahap I dengan cara aerasi melalui pemberian udara pada laju yang tinggi dilanjutkan dengan pengolahan tahap II dengan melewatkan efluen hasil aerasi yang mengandung polutan terendah melaui zeolit agar polutan yang masih tersisa menjadi berkurang. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari masing-masing pengolahan tersebut diuraikan di bawah ini. 42

72 3.3 Pengolahan Tahap I (Pengolahan Aerasi melalui Pemberian Udara pada Laju yang Tinggi) Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah untuk: 1) mengkaji efektivitas berbagai laju aerasi dalam menurunkan polutan lindi (NH 3, sulfida, Biologycal Oxygen Demand (BOD 5 ), Chemical Oxygen Demand (COD), E. coli, Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr), 2) mengkaji kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr serta bahan organik dalam endapannya, dan 3) mengkaji kesesuaian kadar polutan tersebut pada efluen berdasarkan baku mutu Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah lindi dari TPA sampah Galuga milik Pemda Kota Bogor, sedangkan alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah drum plastik yang telah diberi 2 buah kran (kran atas 25 cm dari dasar drum dan kran bawah pada dasar drum), kompressor, nozzle, rotameter, total dissolve solute (TDS) meter dan ph meter. Gambar10. Alat yang digunakan dalam penelitian 43

73 3.3.3 Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor. Faktor 1 (laju aerasi) terdiri dari : tanpa aerasi, Aerasi 10 liter/menit, Aerasi 30 liter/menit dan Aerasi 70 liter/menit dan faktor 2 (lama aerasi) terdiri dari 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 jam. Masing-masing dengan 2 ulangan. Parameter yang diukur pada jam ke 1 sampai jam ke 6 adalah dissolve oxygen (DO), nilai total dissolve solid (TDS), ph, BOD 5 dan nilai mix liquid volatil Suspended solid (MLVSS). Selain itu juga dilakukan pengukuran terhadap COD, NH 3, sulfida, NO - 3, SO 2-4, PO 3-4, E. coli dan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr) di akhir jam ke Pelaksanaan Pada drum plastik seperti ditampilkan pada Gambar 10, dimasukkan lindi sebanyak 160 liter. Kemudian selama 6 jam, udara yang berasal dari kompressor dialirkan ke dalam drum melalui selang yang ujungnya diberi 3 buah nozzle (air stone) dengan tingkat laju aerasi sesuai perlakuan. Besarnya laju aerasi yang keluar dari kompressor diukur dengan menggunakan rotameter Analisis Data Parameter yang diukur pada efluen yang diambil dari kran atas, terdiri dari: nilai TDS, ph, BOD 5, nilai MLVSS, COD, NH 3, sulfida, NO - 3, SO4 2-, PO4 3-, E. coli dan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr). Selain itu, beberapa logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dan logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) juga diukur pada efluen yang diambil dari kran bawah. Pengambilan sampel dari kran bawah dilakukan setelah efluen dari kran atas dikeluarkan semua. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini disajikan pada Tabel

74 Tabel 21. Metode analisis yang digunakan pada percobaan pengolahan aerasi No. Parameter yang Waktu Metode Analisis diukur Pengamatan 1. Nilai TDS (ppm) SNI Jam ke 1 s/d 6 2. ph SNI Jam ke 1 s/d 6 3. BOD 5 (ppm) SNI Jam ke 1 s/d 6 4. DO (ppm) DO meter Jam ke 1 s/d 6 5. Nilai MLVSS Gravimetrik Jam ke 1 s/d 6 6. COD (ppm) SNI Jam ke 6 7. NH 3 (ppm) Spektrofotometrik (Nessler) Jam ke 6 8. Sulfida (ppm) Spektrofotometrik Jam ke 6 9. NO3 - (ppm) SNI Jam ke PO 3-4 (ppm) Stanus Klorida Jam ke SO 2-4 (ppm) Turbidimetri Jam ke TSS Gravimetrik Jam ke Cu (ppm) SNI Jam ke Zn (ppm) SNI Jam ke Mn (ppm) SNI Jam ke Fe (ppm) SNI Jam ke Pb (ppm) SNI Jam ke Cd (ppm) SNI Jam ke Cr (ppm) SNI Jam ke E. coli (MPN/100 ml) MPN Jam ke Pengolahan Lanjutan terhadap Efluen Hasil Aerasi Menggunakan Zeolit sebagai Penjerap Polutan Tujuan Percobaan ini ditujukan untuk mengkaji efektivitas masing-masing ukuran partikel zeolit dalam menurunkan polutan yang masih tersisa pada efluen hasil olahan aerasi Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah efluen hasil olahan aerasi pada laju aerasi 70 liter/menit yang diambil dari kran atas dan zeolit berukuran partikel 5-10 mesh, mesh atau mesh; sedangkan alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah kolom yang terbuat dari botol plastik ukuran 1/2 liter (Gambar 11), buret untuk mengalirkan hasil olahan aerasi dengan kecepatan tetap, gelas piala untuk menampung efluen yang telah melewati zeolit dan tabung Imhoff padatan mengendap. untuk mengukur 45

75 Gambar 11. Kolom yang berisi zeolit yang digunakan dalam penelitian Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor dengan 2 ulangan. Faktor 1 (ukuran partikel zeolit) terdiri dari: 5 10 mesh, mesh, mesh, dan faktor 2 (jumlah efluen yang dilewatkan) terdiri dari: penuangan 1 sampai ke 40 untuk pengamatan nilai TDS, penuangan 1 sampai ke 10 untuk pengamatan Total Suspended Solid (TSS) dan jumlah padatan mengendap. Penuangan dilakukan melalui buret dengan volume 150 ml/penuangan. Pengukuran terhadap nilai BOD 5, COD, NH 3, sulfida, E. coli, Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr dilakukan pada efluen yang berasal dari penuangan ke Pelaksanaan Pertama, zeolit dari masing-masing ukuran partikel diaktivasi melalui cara pemanasan pada suhu 200 o C selama 2 jam. Setelah itu, 400 gram zeolit yang telah diaktivasi dimasukkan ke dalam kolom plastik. Kemudian dialirkan 150 ml efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui buret dengan kecepatan 300 ml/menit ke bagian atas zeolit tersebut. Efluen yang keluar dari zeolit ditampung pada gelas piala untuk dilakukan analisis terhadap beberapa parameter pencemar. Proses penuangan (pengaliran) tersebut dilanjutkan hingga volume yang dilewatkan melalui zeolit mencapai 6 liter dan pada efluen hasil penuangan ke 20 (saat nilai TDS terendah) dilakukan analisis terhadap beberapa parameter pencemar. 46

76 3.4.5 Analisis Data Analisis data dilakukan pada efluen terhadap nilai TDS hingga penuangan ke 40; analisis terhadap TSS dan padatan mengendap dilakukan pada efluen hingga penuangan ke 10; analisis terhadap nilai BOD 5, COD, NH 3, sulfida, E. coli dan beberapa logam terlarut (Cu, Fe, Mn, Zn, Pb, Cd, Cr) dilakukan pada efluen hasil penuangan ke 20 (saat nilai TDS mencapai nilai terendah). Selain itu juga dilakukan analisis terhadap KTK zeolit. digunakan. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova sesuai rancangan percobaan yang Metode Analisis Metode yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Metode analisis yang digunakan pada percobaan penggunaan zeolit sebagai sebagai penjerap polutan No. Parameter Parameter Metode Analisis No. yang diukur yang diukur Metode Analisis 1. Nilai TDS (ppm) SNI Mn (ppm) SNI ph SNI Fe (ppm) SNI BOD 5 (ppm) SNI Pb (ppm) SNI COD (ppm) SNI Cd (ppm) SNI NH 3 (ppm) Spektrofotometrik (Nessler) 13. Cr (ppm) SNI E. coli MPN 6. Sulfida (ppm) Spektrofotometrik 15. TSS (ppm) SNI Cu (ppm) SNI Padatan 16. Mengendap Volumetrik 8. Zn (ppm) SNI (ml/vol) 17. KTK SNI Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan Kapur dan Proses Fisik Bahan dasar yang dijadikan pupuk cair adalah endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan melalui kran bawah. Endapan ini mengandung kadar logam mikro essensial Cu, Zn, Mn dan Fe paling maksimal. Pada endapan tersebut kemudian ditambahkan kapur yang dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) guna lebih memaksimalkan proses pengendapan logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) hingga menjadikan bahan ini lebih berpotensi sebagai sumber hara mikro bagi tanaman. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari percobaan ini diuraikan di bawah ini. 47

77 3.5.1 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah: 1) Mengkaji pengaruh pemberian kapur dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap nilai TDS, ph dan kadar Ca pada sentrat, 2) Mengkaji pengaruh pemberian kapur dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), kadar logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik pada endapan, 3) Mengkaji kesesuaian kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dan non essensial (Pb, Cd dan Cr) dengan standar minimal pupuk yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian Tahun 2003, dan 4) Mengkaji pengaruh proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap kadar hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe), kadar logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dan kadar bahan organik pada endapan Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah endapan hasil pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit dan 4 jenis kapur (CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3, dolomit); sedangkan alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah gelas piala, alat pengaduk, sentrifuge, botol sentrifuge, botol berpenutup ukuran 1,5 liter, alat kocok dan pipet Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah RAL 3 faktor. Faktor 1 (jenis kapur), terdiri dari: CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 dan Dolomit. Faktor 2 (dosis kapur (w/v)) terdiri dari: 500 ppm, 750 ppm, 1000 ppm, 1250 ppm, 1500 ppm, 1750 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, 5000 ppm dan 6000 ppm. Faktor 3 (proses fisik dalam memaksimalkan proses pengendapan logam terlarut), terdiri dari: sentrifugasi dan pengocokan. Masing-masing perlakuan diulang 2 kali Pelaksanaan Pada 2 (liter) efluen hasil pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan dari kran bawah diberikan kapur dengan dosis sesuai perlakuan dan diaduk selama ± 1 menit. Kemudian bahan tersebut dibagi menjadi 2 bagian untuk diberikan perlakuan yang berbeda. Sebagian diberi perlakuan sentrifugasi dan sebagian lagi diberi perlakuan pengocokan. Proses sentrifugasi dilakukan dengan cara memasukkan 50 ml lindi dalam botol sentrifuge, setelah itu baru dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit. Sebelum memulai proses sentrifugasi pada tahap berikutnya, maka cairan bening yang berada di atas endapan (sentrat) yang terdapat dalam botol sentrifuge yang 48

78 merupakan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dikeluarkan terlebih dahulu, baru kemudian pada botol sentrifuge yang berisi endapan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dimasukkan kembali lindi untuk disentrifugasi pada tahap kedua. Demikian seterusnya hingga jumlah lindi yang disentrifugasi mencapai 1 liter dan jumlah endapan yang terkumpul merupakan akumulasi dari proses sentrifugasi dari 1 liter lindi. Proses pengocokan dilakukan dengan cara memasukkan 1 liter lindi ke dalam botol tertutup, kemudian baru dilakukan pengocokan dengan kecepatan 200 rpm selama ± 1 jam. Setelah pengocokan selesai, maka botol tertutup didiamkan selama 1/2 jam, baru kemudian cairan di bagian atas endapan (sentrat) dipisahkan dengan cara mengeluarkannya melalui pipet hingga volume endapan yang tersisa kurang lebih sama dengan volume endapan yang dihasilkan dari proses sentrifugasi yakni 150 ml untuk setiap liter lindi yang diproses Analisis Data Parameter yang diukur pada sentrat (cairan bening yang berada di bagian atas endapan), terdiri dari: nilai TDS, ph dan Ca; parameter yang diukur pada endapan yang berasal dari perlakuan pemberian kapur pada dosis terendah (500 ppm), dosis yang menyebabkan nilai TDS terendah dan dosis tertinggi (6000 ppm), terdiri dari: logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik; dan pada endapan yang berasal dari perlakuan pemberian kapur pada dosis yang menyebabkan nilai TDS terendah dilakukan pengukuran kadar hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S). Data dianalisis dengan anova sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Nilai TDS merefleksikan besarnya kadar ion anorganik terlarut (Khoury et al., 2000). Nilai TDS juga dapat menjadi petunjuk keberadaan bahan organik yang terlarut di dalam lindi. Nilai TDS yang rendah menunjukkan kadar bahan tersebut rendah (Umar, Aziz dan Yusoff, 2010). Atas dasar ini maka nilai TDS terendah pada sentrat dijadikan dasar dalam menentukan pupuk cair terpilih dari perlakuan yang dicobakan. Diduga pada sentrat dengan nilai TDS terendah mengandung hara tanaman baik hara makro maupun hara mikro terendah hingga pada sentrat dari perlakuan ini menjadi bahan buangan yang aman apabila dibuang ke lingkungan sebagai produk sisa dari pengolahan lindi menjadi pupuk cair. Sebaliknya pada endapan dari perlakuan ini diharapkan mengandung hara tanaman dalam kondisi maksimal. 49

79 3.5.6 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini sebagai berikut. Tabel 23. Metode analisis yang digunakan pada percobaan pembuatan pupuk cair dari lindi Parameter Parameter No. yang Metode Analisis No. Metode Analisis yang diukur diukur 1. Nilai TDS (ppm) SNI Cr (ppm) SNI ph SNI Bahan Organik (ppm) Walkey & Black 3. Cu (ppm) SNI N (ppm) Kjeldahl 4. Zn (ppm) SNI P (ppm) Spektrofotometrik 5. Mn (ppm) SNI K (ppm) Platefotometrik 6. Fe (ppm) SNI Ca (ppm) AAS 7. Pb (ppm) SNI Mg (ppm) AAS 8. Cd (ppm) SNI S (ppm) Spektrofotometrik 3.6 Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan KMnO 4 dan Proses Fisik Bahan dasar yang dijadikan pupuk cair adalah endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan melalui kran bawah. Endapan ini mengandung kadar logam mikro essensial Cu, Zn, Mn dan Fe paling maksimal. Pada endapan tersebut kemudian ditambahkan KMnO 4 dengan atau tanpa kapur terpilih (CaO atau Ca(OH) 2 ) yang dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) guna lebih memaksimalkan proses pengendapan logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) hingga menjadikan bahan ini lebih berpotensi sebagai sumber hara mikro bagi tanaman. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari percobaan ini diuraikan di bawah ini. 50

80 3.6.1 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah: 1) Mengkaji pengaruh pemberian KMnO 4 dengan atau tanpa kapur dan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap nilai TDS, ph, Mn dan Ca pada sentrat, 2) Mengkaji pengaruh pemberian KMnO 4 dengan atau tanpa kapur dan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), kadar logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik pada endapan, 3) Mengkaji kesesuaian kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe) dan logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) pada endapan dengan standar minimal pupuk yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian Tahun 2003, dan 4) Mengkaji kadar hara makro N, P, K, Ca, Mg, S, E. coli dan bahan organik pada endapan dari perlakuan terpilih yang diujicobakan pada percobaan rumah kaca Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah endapan hasil pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit, oksidator KMnO 4 dan kapur (CaO atau Ca(OH) 2 ) ; sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari gelas piala, alat pengaduk, sentrifuge, botol sentrifuge, botol ukuran 1,5 liter berpenutup, alat kocok dan pipet Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah RAL 3 faktor. Faktor 1 (dosis KMnO 4 ), terdiri dari: tanpa KMnO 4, KMnO 4 0,01%, KMnO 4 0,02%, KMnO 4 0,03%. Faktor 2 (penambahan kapur), terdiri dari: tanpa kapur, penambahan 1000 ppm CaO dan penambahan 1000 ppm Ca(OH) 2. Faktor 3 (proses fisik untuk memaksimalkan proses pengendapan logam terlarut), terdiri dari: sentrifugasi dan pengocokan. Masing-masing perlakuan diulang 2 kali Pelaksanaan Pada 2 liter endapan hasil olahan aerasi pada laju aerasi 70 liter/menit diberikan bahan oksidator KMnO 4 sesuai perlakuan (0, 0,01%, 0,02% dan 0,03%) dengan atau tanpa penambahan kapur (1000 ppm CaO atau 1000 ppmca(oh) 2 ), kemudian diaduk ± 1 menit. Setelah itu, pada bahan tersebut sebagian diberi perlakuan sentrifugasi dan sebagian lagi diberi perlakuan pengocokan. 51

81 Proses sentrifugasi dilakukan dengan cara memasukkan 50 ml lindi dalam botol sentrifuge, kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 5 menit. Sebelum memulai proses sentrifugasi pada tahap berikutnya, pada cairan bening yang berada di atas endapan (sentrat) yang terdapat dalam botol sentrifuge yang merupakan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian pada botol sentrifuge yang berisi endapan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dimasukkan kembali lindi untuk disentrifugasi pada tahap kedua. Demikian seterusnya hingga jumlah lindi yang disentrifugasi mencapai 1 liter dan jumlah endapan yang terdapat pada botol sentrifuge merupakan akumulasi dari hasil proses sentrifugasi 1 liter lindi. Proses pengocokan dilakukan dengan cara memasukkan 1 liter lindi ke dalam botol tertutup, kemudian dilakukan pengocokan dengan kecepatan 200 rpm selama ± 1 jam. Setelah pengocokan selesai, maka botol tertutup didiamkan selama 1/2 jam, baru kemudian cairan di bagian atas (sentrat) dipisahkan dengan mengeluarkannya melalui pipet hingga volume endapan sama dengan volume endapan yang dihasilkan dari proses sentrifugasi, yakni 150 ml setiap 1 liter lindi yang diproses Analisis Data Pada sentrat, parameter yang diukur terdiri dari: nilai TDS, ph, Ca dan Mn; pada endapan dilakukan pengukuran terhadap kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik. Pada endapan dari perlakuan pemberian KMnO 4 pada dosis yang menyebabkan nilai TDS terendah juga dilakukan pengukuran kadar hara makro N, P, K, Ca, Mg, S, E. coli dan bahan organik Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti yang dilakukan pada percobaan ini sama seperti yang disajikan pada Tabel 23. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. 3.7 Percobaan Rumah Kaca Percobaan rumah kaca dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari percobaan ini diuraikan di bawah ini. 52

82 3.7.1 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah: 1) Mengkaji pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman; 2) Mengkaji kadar logam berat Pb, Cd dan Cr yang terdapat dalam buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari endapan lindi hasil proses aerasi pada laju aerasi 70 liter/menit dengan atau tanpa penambahan 1000 ppm CaO atau 0,01% KMnO 4, 4 macam pupuk cair komersial sebagai pembanding (Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita ), pupuk makro (urea, TSP dan KCl) untuk memperkaya pupuk cair berbahan dasar lindi, bibit cabai merah, tanah ultisol dan Dithane M45. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari polibag, media pertanaman, alat semprot, penggaris dan alat untuk penyiraman Rancangan Percobaan Upaya untuk membandingkan pengaruh antar pupuk cair yang digunakan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, maka rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah RAL 1 faktor dengan 2 ulangan. Secara rinci, perlakuan yang diujicobakan dalam percobaan rumah kaca disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Perlakuan percobaan rumah kaca No. Perlakuan No. 1. Kontrol 12. Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok 2. + NPK 13. Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi + NPK 3. Lindi disentrifugasi 14. Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok + NPK 4. Lindi dikocok 15. Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 5. Lindi disentrifugasi + NPK 16. Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok 6. Lindi dikocok + NPK 17. Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi + NPK 7. Lindi ppm CaO disentrifugasi 18. Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok + NPK 8. Lindi ppm CaO dikocok 19. Alami 9. Lindi ppm CaO disentrifugasi + NPK 20. Lauxin 10. Lindi ppm CaO dikocok + NPK 21. Kontanik 11. Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 22. Petrovita Catatan : + NPK artinya pada pupuk cair berbahan dasar lindi diperkaya dengan 10% N, 10% P dan 10% K yang berasal dari urea, TSP dan KCl. 53

83 3.7.4 Pelaksanaan Bibit cabai merah disemaikan pada media persemaian. Setelah bibit tersebut berumur 1 bulan, bibit dipindahkan ke dalam polibag yang berisi 5 kg tanah. Pemberian pupuk daun diberikan seminggu setelah bibit dipindahkan ke polibag. Dosis pupuk cair yang diberikan adalah 4 ml endapan lindi atau 4 ml dari pupuk cair komersial dijadikan 1 liter. Selanjutnya pupuk diberikan dengan cara disemprotkan ke daun (20 semprot/tanaman). Pemupukan dilakukan setiap minggu. Pemeliharaan tanaman dilakukan apabila diperlukan dengan menggunakan obat pembasmi hama dan penyakit (Dithane M45). Pada saat tanaman berumur 18 minggu setelah tanam dilakukan pengamatan terhadap tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah dan bobot buah serta kadar logam berat pada buah. Gambar 12. Bibit cabai sesaat sebelum dipindahkan ke polibag Analisis Data Beberapa parameter yang diamati pada tanaman terdiri dari : pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan bobot biomassa di atas tanah) dan produksi (jumlah buah dan bobot buah). Setelah selesai pertanaman diukur kadar Pb, Cd dan Cr pada buah. Data yang diperoleh dari percobaan ini dianalisis dengan anova sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. 54

84 3.7.6 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Metode analisis yang digunakan pada percobaan rumah kaca No. Parameter yang diukur Metode Analisis 1. Tinggi Tanaman (cm) - 2. Bobot Brangkasan (gr) - 3. Jumlah buah - 4. Bobot buah (gr) - 5. Pb (ppm) Pengabuan kering/sni Cd (ppm) Pengabuan kering/sni Cr (ppm) Pengabuan kering/sni

85 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi Pengolahan lindi menjadi efluen yang aman untuk dibuang ke lingkungan dilakukan melalui proses aerasi dengan memberikan empat laju alir udara yang berbeda (0 liter/menit, 10 liter/menit, 30 liter/menit dan 70 liter/menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi yang berasal dari kran atas menunjukkan kualitas lebih baik dibanding sebelumnya. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan polutan dari lindi terjadi pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi 70 liter/menit. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 2 - Tabel Lampiran Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD 5, COD, E. coli, NH 3 dan Sulfida Pengolahan aerasi merupakan cara tradisional dalam pengolahan lindi. Cara ini efektif dalam menghilangkan pencemar organik terlarut yang terdapat dalam lindi (Abbas et al., 2009). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD 5 yang ada dalam lindi mengalami penurunan. Besar penurunan tiap jam dari masing-masing laju aerasi sebagaimana disajikan pada Gambar 13 dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD 5 keempat laju aerasi disajikan pada Gambar 14. dari Gambar 13. Fluktuasi nilai BOD 5 pada 4 taraf laju aerasi 56

86 Gambar 13 memperlihatkan bahwa perlakuan dengan laju aerasi tertinggi (70 liter/menit) menyebabkan BOD 5 mengalami penurunan yang drastis dan mencapai nilai terendah (73,12 ppm) dalam waktu yang paling singkat yakni pada jam ke 2. Pada laju aerasi 30 liter/menit, BOD 5 minimum (81,36 ppm) dicapai pada jam ke 5, sedangkan pada perlakuan dengan laju aerasi 10 liter/menit dan 0 liter/menit, nilainilai BOD 5 pada jam ke 2 dan jam ke 5 masih jauh lebih tinggi dibanding nilai BOD 5 pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai BOD 5 terdapat pada perlakuan pemberian udara dengan laju aerasi 70 liter/menit (Gambar 14). Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa laju aerasi berpengaruh terhadap laju penurunan nilai BOD 5. Metcalf dan Eddy (2003) mengemukakan bahwa penghilangan BOD5 terjadi sebagai akibat degradasi bahan organik oleh mikroorganisme menjadi zatzat lain yang lebih sederhana. Disamping itu, menurut Park et al. (2004), penurunan BOD 5 juga dapat disebabkan bahan organik terlarut dapat teroksidasi langsung akibat keberadaan oksigen. Gambar 14. Efektivitas penurunan BOD 5 (%) dari masing-masing laju aerasi 57

87 Perhitungan terhadap laju penguraian BOD 5 pada empat taraf laju aerasi dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983)) dengan hasil disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Laju penguraian BOD 5 (k) tiap jam pada 4 tingkat laju aerasi Gambar 15 memperlihatkan bahwa perlakuan pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit selalu mempunyai laju penguraian BOD 5 tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan pemberian udara dengan laju 30 liter/menit dan 10 liter/menit. Laju penguraian BOD 5 pada perlakuan tanpa aerasi memiliki nilai terendah. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Shofuan (1996) yang melakukan penelitian dengan mengolah limbah cair dari rumah sakit di Jakarta dengan menerapkan beberapa tekanan aerasi yang berbeda mendapatkan bahwa tekanan aerasi berpengaruh terhadap penurunan nilai BOD 5. Berdasarkan hasil penelitiannya, laju penurunan BOD 5 (k) tertinggi terjadi pada tekanan aerasi 2 atm yang dilakukan selama 5 jam, yakni sebesar 0,4465. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), nilai k dalam kondisi normal berkisar antara 0,05 0,3 per hari. 58

88 Laju penguraian BOD 5 dari pengolahan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit selama 4 jam ternyata hampir mendekati nilai laju penguraian BOD 5 dengan menggunakan aerasi bertekanan 2 atm yang dilakukan Shofuan (1996) yakni 0,4587 (Gambar 15). Bila mengacu pada pendapat Peterson dan Cummin dalam Goldman dan Horne (1983) seperti pada Tabel 26, maka perlakuan dengan laju aerasi 70 liter/menit, 30 liter/menit dan 10 liter/menit tergolong cepat mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6. Tabel 26. Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD 5 Nilai k Kriteria > 0,01 Cepat 0,005-0,01 Moderat < 0,005 Lambat Sumber : Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983) Di dalam limbah cair yang diproses melalui cara aerasi, mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak karena di dalam bahan yang diproses ada makanan bagi mikroorganisme pengurai yang bersifat aerobik ataupun fakultatif berupa bahan organik yang biodegradable (BOD 5 ). Proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme membutuhkan oksigen yang cukup (Sugiharto, 1987). Oleh karenanya, selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD 5 menjadi berfluktuasi setiap saat sebagai akibat bahan tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Bahan organik (BOD 5 ) dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi sel-sel tubuh maupun senyawa lain yang relatif tidak berbahaya dan sebagian lagi menjadi bahan yang mudah menguap, diantaranya CO 2. Pemanfaatan bahan organik dalam limbah cair yang diproses menjadi sel-sel tubuh mikroorganisme mengakibatkan jumlah mikroorganisme dalam limbah cair tersebut juga mengalami fluktuasi. Nilai MLVSS sering dijadikan sebagai petunjuk tidak langsung jumlah mikroorganisme yang berada dalam bahan yang diproses. Nilai ini penting diketahui untuk mendapatkan saat mikroorganisme berada dalam jumlah maksimal, terutama untuk dijadikan sebagai sumber lumpur aktif yang akan dimasukkan ke dalam tangki pemrosesan yang akan digunakan dalam proses pengolahan berikutnya dengan tujuan agar pengolahan berikutnya menjadi lebih cepat dalam volume tertentu. Fluktuasi nilai MLVSS selama 6 jam proses aerasi yang diperoleh dari hasil percobaan disajikan pada Gambar

89 Gambar 16. Fluktuasi nilai MLVSS pada 4 taraf laju aerasi Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai MLVSS dari perlakuan pemberian udara dengan laju 70 liter/menit mencapai maksimal (2166 mg/l) terjadi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding perlakuan lain yakni pada jam ke 2, sedangkan pada laju aerasi 30 liter/menit dicapai pada jam ke 5 (2029 mg/l). Pada laju aerasi 10 liter/menit nilai MLVSS masih di bawah nilai MLVSS dari perlakuan 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit, nilai MLVSS maksimum dan nilai BOD 5 minimum tercapai pada waktu yang sama (Gambar 13 dan Gambar 16). Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara nilai MLVSS (jumlah mikroorganisme) dengan jumlah makanan yang tersisa (BOD 5 ). Informasi ini penting artinya dalam menentukan waktu saat proses aerasi sebaiknya dihentikan apabila hanya BOD 5 saja yang menjadi target untuk dihilangkan dalam proses pengolahan lindi dan akan memanfaatkan lindi yang diproses pada saat tersebut sebagai bahan lumpur aktif. Pada dasarnya, proses pengolahan limbah cair dengan cara memberikan udara pada laju yang tinggi ke dalam air limbah ditujukan untuk meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam bahan yang diproses. Oksigen penting artinya karena oksigen diperlukan dalam jumlah cukup agar mikroorganisme aerobik maupun fakultatif aktif dalam mendegradasi bahan pencemar yang biodegradable. Semakin tinggi laju aerasi membuat oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi polutan yang biodegdradable menjadi semakin terpenuhi dan tidak menjadi faktor pembatas bagi 60

90 mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak dibanding pada proses pengolahan yang dilakukan dengan memberikan udara pada laju yang lebih rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian udara menyebabkan oksigen terlarut (dissolve oxygen (DO)) pada lindi menjadi meningkat (Gambar 17). Gambar 17. Fluktuasi nilai DO pada 4 taraf laju aerasi Gambar 17 memperlihatkan bahwa laju aerasi 70 liter/menit memberikan sumbangan terhadap peningkatan DO yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding laju aerasi 30 liter/menit,10 liter/menit dan tanpa aerasi (0 liter/menit). Hal ini pula yang menyebabkan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan bahan organik yang non biodegradable (COD) dengan tingkat efektifitas tertinggi (74,53%) dibanding perlakuan dengan laju aerasi yang lebih rendah (30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit) (Gambar 18 dan Gambar 19). Menurut Park et al. (1994), suplai udara yang tinggi dapat berperan dalam oksidasi secara langsung bahan-bahan organik yang non biodegradable sehingga dapat menurunkan kandungan COD dalam air limbah. 61

91 Gambar 18. Nilai COD pada jam ke 6 Gambar 19. Efektivitas penurunan COD pada jam ke 6 Kenaikan konsentrasi oksigen sebagai akibat pemberian udara dengan laju yang tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang toksik terhadap proses enzimatik metabolisme bakteri anaerob sehingga mengakibatkan pertumbuhan bakteri anaerob yang umumnya merupakan bakteri patogen menjadi terhambat (Park et al., 1994). Hal ini ditunjukkan oleh jumlah E. coli (bakteri yang umum digunakan 62

92 sebagai petunjuk keberadaan bakteri patogen) yang semakin rendah dengan meningkatnya laju aerasi. Pada proses pengolahan dengan laju aerasi 70 liter/menit selama 6 jam ternyata mampu menyebabkan nilai E. coli terendah (450 MPN/100 ml) (Gambar 20) dengan efektifitas penghilangan E. coli tertinggi (66,49%) dan berbeda nyata dibanding perlakuan dengan laju aerasi 30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit (Gambar 21). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Seaman et al. (2009) yang mendapatkan bahwa E. coli dan Salmonella spp berkurang akibat proses aerasi. Park et al. (1994) mengemukakan bahwa pemberian udara pada laju yang tinggi menyebabkan pembentukan radikal bebas berupa anion superoksida (O - 2 ) yang dalam air akan bereaksi membentuk hidrogen peroksida (H 2 O 2 ). H 2 O 2 disamping sebagai oksidator kuat, juga mempunyai sifat desinfektan. Gambar 20. Nilai E. coli pada jam ke 6 63

93 Gambar 21. Efektivitas penurunan E. coli pada jam ke 6 Selain BOD 5, COD dan E. coli sebagai sumber masalah dan sering terdapat dalam lindi, maka NH 3 juga merupakan sumber masalah. Oleh karenanya, NH 3 harus ditekan jumlahnya. NH 3 dalam lindi dapat berasal dari degradasi biologi asam amino maupun nitrogen organik. Secara individu atau berikatan dengan senyawa lain, NH 3 dapat berpengaruh terhadap toksisitas lindi (Clement et al., 1993). NH 3 merupakan racun utama bagi kehidupan akuatik (Kurniawan et al., 2006). Pada konsentrasi 0,43 ppm hingga 2,1 ppm, NH 3 sudah dapat mematikan Ciprinus carpio (Hasan dan Machintosh, 1986). Bahan lain yang juga dapat menjadi masalah bagi lingkungan adalah sulfida. Bahan ini juga menjadi penyebab bau busuk yang menyengat sama seperti halnya dengan NH 3. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah NH 3 dan sulfida sebagai akibat proses aerasi selama 6 jam mengalami penurunan (Gambar 22 dan Gambar 23) dengan efektifitas penurunan NH 3 dan sulfida dari masing-masing laju aerasi seperti yang disajikan pada Gambar 24. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), penurunan kedua bahan polutan ini disebabkan suplai oksigen ke dalam air limbah mampu mengaktifkan bakteri yang memanfaatkan NH 3 dan sulfida menjadi bahan lain yang kurang berbahaya sehingga menyebabkan kedua bahan tersebut menjadi berkurang. Selain itu, menurut Achmad (2004), proses aerasi juga dapat menyebabkan terjadi oksidasi langsung terhadap NH 3 dan sulfida menjadi nitrat dan sulfat. 64

94 Hasil penelitian ini mendapatkan konsentrasi NH 3 pada efluen yang dihasilkan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit sebesar 2,33 ppm. Konsentrasi tersebut masih bersifat toksik bagi kehidupan akuatik. Oleh karena itu, pada efluen ini perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan jumlah NH 3 yang masih ada. Salah satu caranya dengan menggunakan zeolit agar NH 3 dapat dijerap karena menurut Sutarti dan Rachmawati (1994) zeolit memiliki afinitas yang tinggi terhadap NH 3. Gambar 22. Kadar amoniak (NH 3 ) pada jam ke 6 Gambar 23. Kadar sulfida pada jam ke 6 65

95 Gambar 24. Efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida pada jam ke 6 Gambar 22 dan Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada lama aerasi yang sama (pada jam ke 6), semakin tinggi laju aerasi akan menyebabkan jumlah NH 3 dan sulfida pada efluen semakin rendah. Perbedaan kemampuan dalam menurunkan jumlah NH 3 dan sulfida tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam mensuplai oksigen ke dalam limbah cair yang diproses. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, suplai oksigen lebih besar dibanding pada laju aerasi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan pemanfataan NH 3 dan sulfida oleh bakteri menjadi lebih besar pula. Selain itu, pada laju aerasi yang tinggi, proses oksidasi secara langsung baik pada NH 3 maupun sulfida menjadi nitrat dan sulfat juga berjalan lebih cepat dibanding pada laju aerasi yang rendah. Proses aerasi menyebabkan amoniak (NH 3 ) menjadi nitrat, sulfida menjadi sulfat (SO 2-4 ) dan bahan organik yang mengandung phosphor akan diubah menjadi phosphat. Sebagai produk yang dihasilkan dari proses aerasi, nitrat, sulfat maupun phosphat relatif tidak berbahaya bagi kehidupan aquatik. Secara rinci, gambaran reaksi perubahan NH 3 dan sulfida dikemukakan Achmad (2004) sebagai berikut: NH 4 + NH NH 4 + 2O H NO 3 + H 2 O 2-4FeS + 9O H 2 O Fe(OH) 3 + SO 4 + 8H + 66

96 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lindi yang diberi perlakuan pemberian udara cenderung memiliki kandungan nitrat, sulfat dan phosphat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan yang tidak diberi udara (Gambar 25, 26 dan 27). Gambar 25. Kadar nitrat (NO 3 - ) pada jam ke 6 Gambar 26. Kadar sulfat (SO 4 2- ) pada jam ke 6 67

97 Gambar 27. Kadar fosfat pada jam ke 6 Uraian di atas menunjukkan bahwa pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju yang tinggi memberikan suatu keuntungan dengan semakin berkurang bahanbahan yang bersifat toksik pada efluennya, diantaranya: BOD 5, COD, NH 3 dan sulfida dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding apabila pengolahan dilakukan dengan pemberian udara pada laju yang lebih rendah Pengaruh Laju Aerasi terhadap Total Disolve Solid (TDS), ph dan Logam Terlarut Efektivitas penghilangan polutan lindi merupakan fungsi dari besarnya laju aerasi dan lama aerasi. Fenomena ini terkait dengan perubahan populasi bakteri yang mendegradasi polutan yang ada pada lindi. Semakin meningkat laju aerasi dan semakin lama aerasi akan menyebabkan semakin banyak populasi bakteri pendegradasi hingga akhirnya semakin banyak pula jumlah polutan yang dapat diubah ke dalam bentuk yang tidak toksik (Attar, Bina dan Moeinian, 2005). Besarnya perubahan kadar polutan pada lindi dapat dideteksi oleh nilai TDS. Nilai TDS biasa dijadikan sebagai indikator kadar polutan baik organik maupun anorganik yang masih ada dalam lindi yang diproses (Khoury et al., 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai TDS terus mengalami penurunan dan penurunan nilai TDS tiap jam makin besar pada laju aerasi yang makin besar. Hal ini mengindikasikan selama aerasi berlangsung, polutan organik maupun anorganik terus berkurang. Nilai TDS tiap jam dari masing-masing laju aerasi disajikan pada Gambar

98 Gambar 28. Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi Pada jam ke 6, nilai TDS terendah didapatkan pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi 70 liter/menit yakni sebesar 2850 ppm dengan efektivitas penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut terbesar dan nyata berbeda dari perlakuan lainnya yakni sebesar 12,83% (Gambar 28 dan Gambar 29). Gambar 29. Efektivitas penurunan nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi 69

99 Perbedaan nilai TDS sebagai akibat pemberian udara pada laju yang berbeda berkaitan dengan perbedaan jumlah bahan padatan terlarut yang dapat diendapkan. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah kandungan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada efluen yang diambil dari kran atas dan kran bawah setelah lindi diaerasi selama 6 jam (Gambar 30 - Gambar 33). Gambar 30. Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 Gambar 31. Kadar Mn dan Fe pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 70

100 Gambar 32. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 Gambar 33. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 71

101 Tabel 27. Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan kran bawah pada jam ke 6 Jenis Selisih Kadar Logam Mikro antara Kran Atas dan Kran Bawah (ppm) Logam 0 liter/menit 10 liter/menit 30 liter/menit 70 liter/menit Cu 0,005a 0,018ab 0,039b 0,104c Zn 0,005a 0,016a 0,042a 0,380b Mn 0,073a 0,962ab 2,22b 4,670c Fe 1,215a 3,230a 6,135b 8,615b Pb 0,002a 0,003a 0,005a 0,009a Cd 0,006a 0,022ab 0,048b 0,080c Cr 0,016a 0,063ab 0,120b 0,234c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Logam menjadi berkurang pada efluen yang berasal dari kran atas dan makin meningkat jumlahnya di bagian bawah. Hal ini menunjukkan terjadi pengendapan logam terlarut akibat proses aerasi. Pada perlakuan dengan laju aerasi yang lebih besar, selisih jumlah logam terlarut antara efluen yang dikeluarkan dari kran atas dan bawah menjadi semakin besar (Tabel 27). suasana menjadi lebih oksidatif. Menurut Park et al., (1994), proses aerasi dapat menyebabkan Selanjutnya Suriawiria (1993) mengemukakan bahwa suasana yang lebih oksidatif dapat menyebabkan logam terlarut menjadi mengendap. Manahan (2005) menggambarkan reaksi dari proses pengendapan besi dalam pengolahan air limbah melalui cara aerasi sebagai berikut. 4Fe 2+ + O H 2 O Fe(OH) 3 (s) + 8H + Menurut Achmad (2004), reaksi tersebut dikatalisis oleh bakteri besi thiobacillus ferroxidans. Selama proses aerasi berlangsung, ph juga terus mengalami peningkatan. Dari proses aerasi yang dilakukan selama 6 jam, ph tertinggi (9,05) terdapat pada perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit (Gambar 34). 72

102 Gambar 34. ph tiap jam pada empat laju aerasi Peningkatan ph yang semakin tinggi sebagai akibat pemberian udara pada laju yang semakin besar berkaitan dengan perubahan senyawa yang bersifat asam yang ada dalam limbah cair yang diproses menjadi senyawa yang lebih basa seperti yang digambarkan oleh Achmad (2004) sebagai berikut. O 2 + H 2 O OH - CO 2 + OH HCO 3 - HCO 3 + OH CO 3 H 2 S + OH HS - + H 2 O Jumlah logam terlarut yang lebih rendah pada efluen yang dikeluarkan dari kran atas dibanding jumlah logam terlarut pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah akibat aerasi, juga berkaitan dengan terjadinya peningkatan ph pada lindi yang diproses. Menurut Hardjowigeno (2010), dalam kondisi ph yang lebih rendah, logam berada dalam kondisi terlarut; sedangkan apabila ph mengalami kenaikan, maka logam terlarut akan bereaksi dengan OH - membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan senyawa besi dan mangan hidroksida yang mudah mengendap akibat proses aerasi seperti yang digambarkan Ahmad (2004) sebagai berikut. 4Fe(HCO 3 ) 2 + O 2 + H 2 O Fe(OH) 3(s) + 8CO 2 2Mn(HCO 3 ) 2 + O MnO 2(s) + 4CO 2 + 2H 2 O 73

103 Logam terlarut terutama yang dalam keadaan bebas dapat bersifat toksik (Vigneault dan Campbell, 2005). Hal ini berarti peningkatan ph akibat aerasi dapat memberikan dampak positif karena logam terlarut yang lebih bersifat toksik akan berkurang akibat pengendapan sehingga efluen yang dihasilkan menjadi lebih aman dialirkan ke lingkungan. Sebaliknya, pada endapan karena mengandung kadar logam yang lebih tinggi, maka endapan ini menjadi lebih berpotensi untuk dijadikan pupuk cair. Secara visual perbedaan efluen yang berasal dari kran atas dari ke 4 laju aerasi disajikan pada Gambar l/mnt 30 l/mnt 10 l/mnt 0 l/mnt Anaerobik Gambar 35. Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui empat tingkat laju aerasi 4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa Pengolahan lanjutan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda (5-10 mesh, mesh, mesh) memberikan efektivitas yang berbeda dalam menurunkan polutan lindi. Secara umum, efluen yang telah melewati zeolit menunjukkan kualitas yang lebih baik dibanding bila pengolahan hanya dilakukan dengan cara aerasi saja. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 6. 74

104 Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi 70 liter/menit yang dilewatkan melalui zeolit memperlihatkan kualitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini terlihat dari nilai TDS, NH 3, sulfida dan kadar logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) serta bahan organik (BOD dan COD) pada efluen yang telah melewati zeolit mengalami penurunan. Secara rinci, hasil percobaan ini akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS Nilai TDS pada efluen yang dilewatkan melalui zeolit lebih rendah dibanding nilai TDS pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Hal ini ditunjukan oleh penurunan nilai TDS setelah efluen hasil aerasi 70 liter/menit dilewatkan melalui zeolit (Gambar 36). Penurunan nilai TDS ini terjadi karena sejumlah bahan terlarut mampu ditahan oleh zeolit. Penurunan nilai TDS pada ketiga efluen menunjukkan bahwa pada awal penuangan nilai TDS akan mengalami penurunan hingga pada volume tertentu untuk kemudian nilai TDS akan meningkat kembali sebagai akibat kompleks jerapan maupun ruang pori zeolit mulai dijenuhi oleh polutan. Nilai TDS dari penuangan ke 1 hingga ke 40 pada efluen dari zeolit berukuran mesh menunjukkan nilai terendah. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit ukuran mesh paling efektif dalam menurunkan polutan lindi. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai TDS dari zeolit berukuran mesh terdapat pada penuangan ke 20, yakni sebesar 30,70% (Gambar 37). Gambar 36. Nilai TDS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 75

105 Gambar 37. Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit Zeolit ukuran kasar (5 10 mesh atau mesh) secara fisik kurang efektif dalam penyaringan karena ada bahan yang tidak mengalami penyaringan dibandingkan zeolit yang lebih halus (20 30 mesh) sehingga menyebabkan kemampuan menurunkan polutan dari zeolit berukuran lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) menjadi lebih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang lebih kasar lebih tinggi dibanding nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran lebih halus. Kemampuan yang lebih tinggi dari zeolit berukuran partikel mesh dalam menurunkan nilai TDS dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh juga berkaitan dengan kapasitas tukar kation (KTK) dari zeolit berukuran mesh yang lebih tinggi dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh (Tabel 28). Menurut Tan (1993), KTK berkaitan dengan kemampuan dalam menukar ion. Tabel 28. KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian Ukuran Partikel Zeolit KTK (me/100 g) 5 10 mesh 66,65a mesh 100,15a mesh 157,92b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. 76

106 Selain berkaitan dengan kemampuan zeolit dalam menjerap polutan terlarut, KTK juga berkaitan dengan kemampuan dalam menjerap air. Semakin tinggi KTK, semakin tinggi pula kemampuan zeolit dalam menjerap molekul air. Hal ini pula yang menyebabkan jumlah efluen yang mampu melewati zeolit berukuran partikel lebih halus (20 30 mesh) pada saat-saat awal penuangan lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) (Gambar 38). Gambar 38. Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit (volume bahan yang dialirkan 150 ml) Gambar 38 memperlihatkan bahwa setiap kali penuangan (penuangan pertama hingga penuangan keenam), jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran mesh lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh. Pada zeolit berukuran partikel 5 10 mesh, jumlah lindi yang dituangkan ke zeolit (150 ml) baru akan sama dengan jumlah efluen yang keluar melalui zeolit tersebut pada penuangan keempat. Pada zeolit berukuran partikel mesh, jumlah efluen baru akan sama dengan jumlah lindi yang masuk ke media filter tersebut pada penuangan keenam, sedangkan pada zeolit berukuran partikel mesh, jumlah lindi yang masuk ke zeolit dan keluar sebagai efluen baru akan sama pada penuangan ketujuh. 77

107 Fenomena tersebut menunjukkan bahwa zeolit berukuran partikel lebih halus (20 30 mesh) nyata memiliki kemampuan menjerap air lebih tinggi dibanding zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 10 mesh atau mesh). Air dapat dijerap oleh zeolit dikarenakan zeolit memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Kadar NH 3, Sulfida, BOD 5 dan COD Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit ternyata masih menyisakan NH 3 sebesar 2,33 ppm dan sulfida 1,17 ppm pada efluennya. Namun setelah efluen tersebut dilewatkan melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda, ketiga efluennya menunjukkan kadar NH 3 dan sulfida lebih rendah dibanding sebelum dilewatkan melalui zeolit (tanpa zeolit) (Gambar 39). Hal ini menunjukkan bahwa zeolit mampu menurunkan NH 3 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Adapun efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida dari masing-masing ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 40. Gambar 39. Kadar NH 3 dan sulfida pada efluen setelah melewati zeolit Gambar 39 memperlihatkan bahwa kadar NH 3 dan sulfida terendah terdapat pada efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel mesh, yakni 1,07 ppm dan 0,82 ppm; sedangkan Gambar 40 menunjukkan bahwa efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH 3 dan sulfida yang tersisa, juga terdapat pada zeolit berukuran partikel mesh, yakni sebesar 53,73% dan 30,02%. 78

108 Gambar 40. Efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida pada masing-masing ukuran partikel zeolit Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 mesh 30 mesh) lebih mampu dan memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH 3. Kemampuan ini juga berkaitan erat dengan kapasitas tukar kation (KTK) zeolit pada ukuran mesh lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar (10 20 mesh atau 5 10 mesh). Penjerapan NH 3 oleh zeolit terjadi melalui proses pertukaran dengan ion yang dijerap sebelumnya. Di lain pihak, pada zeolit berukuran mesh, karena ukuran partikel pada zeolit tersebut lebih kecil dibanding zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh menyebabkan jumlah senyawa sulfida yang terperangkap dalam poripori zeolit tersebut menjadi lebih banyak. Hal ini ditunjukkan oleh kadar sulfida dalam efluen setelah melewati zeolit berukuran mesh lebih rendah dibanding kadar sulfida yang terdapat pada efluen yang melewati zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh. Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan NH 3, Suyartono dan Husaini (1991) mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung NH 3 sebesar 0,3 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, kadar NH 3 berkurang menjadi 0,02 ppm. Disamping mempunyai kemampuan menurunkan NH 3 79 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit, zeolit ternyata juga mampu menurunkan BOD 5 dan COD yang masih tersisa. Hal ini ditunjukan oleh nilai BOD 5 dan COD pada efluen setelah dilewatkan pada zeolit dari ketiga ukuran

109 partikel lebih rendah dibanding sebelumnya (tanpa zeolit) (Gambar 41). Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 30 mesh) lebih mampu menurunkan nilai BOD 5 dan COD yang masih tersisa dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar ( 5 10 mesh atau mesh). Demikian halnya dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD 5 dan COD yang masih tersisa, efektivitas tertinggi dalam menurunkan kedua bahan ini juga terjadi pada zeolit berukuran mesh yakni 47,96% dan 50,15% (Gambar 42). Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan COD, Suyartono dan Husaini (1991) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung COD sebesar 20,82 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, 10 hari dan 30 hari, kadar COD berkurang berturut-turut menjadi 10,62 ppm, 6,72 ppm dan 4,79 ppm. Gambar 41. Kadar BOD 5 dan COD pada efluen setelah melewati zeolit 80

110 Gambar 42. Efektivitas penurunan BOD 5 dan COD pada masing-masing ukuran partikel zeolit Kemampuan yang tinggi dari zeolit berukuran lebih halus dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar dalam menurunkan nilai BOD 5 dan COD dari limbah cair berkaitan erat dengan ukuran partikel yang lebih halus yang menyebabkan ukuran rongga menjadi lebih kecil dibanding partikel yang berukuran lebih kasar. Semakin kecil ukuran rongga, maka zeolit akan semakin mampu menyaring polutan yang lewat. Selain lebih mampu menurunkan NH 3, sulfida, BOD 5 dan COD; ternyata zeolit berukuran partikel mesh juga lebih mampu menurunkan E. coli dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh seperti yang ditunjukan oleh data yang dihasilkan pada penelitian ini sebagai berikut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Husaini (1993) yang juga mendapatkan bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan E. coli dari limbah cair yang diproses Nilai E. coli (MPN/10 ml Tanpa zeolit mesh mesh mesh Efektivitas Penurunan E. coli ( ,5 22, m esh m esh m esh Penggunaan Zeolit Penggunaan Zeolit Gambar 43. Nilai E. coli pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit Gambar 44. Efektivitas penurunan nilai E. coli dari ketiga ukuran partikel zeolit 81

111 4.2.3 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Penurunan Logam Terlarut dan ph Kemampuan zeolit dalam menukar ion menyebabkan zeolit sering dimanfaatkan dalam menurunkan bau yang disebabkan oleh amoniak (NH 3 ) dan sulfida yang terdapat dalam limbah cair. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Zorpas et al. (2000), zeolit juga dapat menurunkan kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dalam air limbah. Sebagian dari logam-logam tersebut seperti Cu, Zn, Mn dan Fe merupakan hara mikro bagi tanaman. Zeolit yang digunakan dalam penelitian ini dimanfaatkan untuk menjerap logam-logam tersebut yang masih ada pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit agar dihasilkan efluen yang lebih aman dialirkan ke lingkungan dengan jumlah logam terlarut yang lebih rendah. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa logam terlarut yang masih tersisa di dalam efluen hasil olahan aerasi dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam ternyata masih mampu diturunkan lagi dengan cara melewatkannya melalui zeolit. Kadar beberapa logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada masing-masing efluen setelah efluen tersebut melewati zeolit yang berbeda ukuran partikelnya disajikan pada Tabel 29, sedangkan efektivitas dari penurunan logam terlarut dari ketiga ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 45. Tabel 29. Kadar beberapa logam terlarut pada efluen hasil olahan aerasi setelah efluen dilewatkan melalui zeolit Kadar logam terlarut pada efluen (ppm) Media Filter Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Tanpa zeolit 0,021a 0.070a 0,235a 2,380a 0,022a 0,030a 0,0410a Zeolit 5 10 mesh 0,016a 0,057ab 0,177b 1,790ab 0,014ab 0,020b 0,0290b Zeolit mesh 0,014ab 0,048bc 0,156b 1,490bc 0,010b 0,014bc 0,0250bc Zeolit mesh 0,008b 0,034c 0,139b 0,850c 0,006b 0,010c 0,022c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Penggunaan zeolit sebagai penjerap logam menyebabkan kompleks jerapan dijenuhi oleh logam tersebut. Zeolit yang telah jenuh karena mengandung hara mikro dapat dijadikan bahan pembenah tanah. Hasil penelitian Suherman et al. (2005) menunjukkan bahwa penggunaan zeolit mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Khusus untuk zeolit yang telah digunakan pada proses penyaringan polutan lindi, karena mengandung logam berat lainnya, maka tidak disarankan untuk digunakan pada tanaman pangan. Zeolit ini dapat dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan untuk meningkatkan kesuburan tanaman-tanaman hias yang ada di sepanjang jalan-jalan kota. 82

112 Efektivitas Penurunan Logam Mikro ,19 64,47 56,67 51,55 40,96 37,32 36,25 33,18 31,46 33,74 23,57 24,51 24,76 72,92 66,52 52,91 46,24 38,88 34,82 29,07 19,24 Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Logam Mikro 5-10 m esh m esh m esh Gambar 45. Efektivitas penurunan logam terlarut yang masih tersisa dari ke 3 ukuran partikel zeolit Zeolit berukuran partikel mesh memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan logam terlarut. Hal ini berkaitan dengan KTK dari zeolit berukuran mesh yang lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) (Tabel 28). Semakin tinggi nilai KTK, semakin besar pula kemampuan zeolit dalam menjerap dan menukar ion. Ukuran partikel zeolit yang berbeda ternyata menyebabkan perbedaan ph pada efluennya. ph dari efluen yang telah melewati zeolit lebih rendah dibanding ph sebelumnya (Gambar 46). Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat terjadi pertukaran antara ion H + yang ada pada zeolit dengan ion logam yang terdapat dalam lindi. ph dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel mesh lebih rendah dibanding ph dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh juga akibat KTK pada zeolit yang berukuran mesh lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh. Zeolit dengan KTK yang tinggi memiliki potensi yang lebih besar untuk menghasilkan H + melalui proses pertukaran ion dibanding zeolit dengan KTK rendah. Semakin banyak H + yang ditukar dengan logam-logam terlarut menyebabkan H + semakin banyak pada efluen sehingga ph efluen semakin rendah. 83

113 Gambar 46. ph dari efluen setelah efluen hasil olahan aerasi dilewatkan melalui zeolit Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Total Suspended Solid (TSS) dan Jumlah Padatan Mengendap Selain kemampuan dalam menurunkan logam terlarut dan bahan organik dari lindi yang diolah, hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam menentukan ukuran partikel zeolit yang layak digunakan untuk menurunkan polutan yang masih tersisa dari lindi terolah adalah total suspended solid (TSS) dan jumlah padatan mengendap. Hasil penelitian ini mendapatkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap yang terdapat pada efluen dari tiga ukuran partikel zeolit seperti yang terdapat pada Gambar 47 dan Gambar 49. Zeolit yang telah jenuh oleh polutan memiliki efektivitas yang rendah. Apabila zeolit ini akan digunakan kembali sebagai penjerap polutan, maka upaya untuk meningkatkan kapasitas penjerapan zeolit tersebut dapat dilakukan melalui proses regenerasi. Regenerasi secara fisik dapat dilakukan melalui pemanasan, namun hal ini hanya untuk menghilang air yang terjerap di dalam zeolit. Zeolit yang jenuh dengan polutan berupa logam yang terjerap dapat diregenerasi (dihilangkan polutannya) melalui cara kimia melalui penggunaan garam (NaCl), asam (H 2 SO 4 ) atau basa (NaOH) untuk mengeluarkan polutan-polutan yang terjerap. Hasil penelitian Widianti (2007) didapatkan bahwa penggunaan 0,5 N NaCl; 0,2 N H 2 SO 4 atau 0,2 N NaOH menunjukkan nilai KTK tertinggi. 84

114 Gambar 47. TSS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit E f e k tiv ita s P e n u r u n a n T , , , m e sh m e sh m e sh P e n g g u n a a n Z e o lit Gambar 48. Efektivitas penurunan TSS dari ketiga ukuran partikel zeolit 85

115 Gambar 49. Jumlah padatan mengendap (ml/150 ml) pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit TSS berkaitan dengan kekeruhan dan kekeruhan berkaitan dengan pencemaran pada badan-badan air penerima terutama berkaitan dengan kemampuan sinar matahari menembus ke bagian yang lebih bawah dari badan air. Semakin tinggi TSS, badan air akan semakin keruh dan hal ini dapat menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton. Apabila fotosintesis berkurang akan berakibat pada penurunan jumlah oksigen terlarut. Hal ini akan berakibat buruk bagi kehidupan biotik dalam badan air penerima. Jumlah padatan mengendap berkaitan dengan jumlah bahan-bahan yang mengendap yang terkandung dalam efluen yang dihasilkan. Jumlah padatan mengendap dapat berpengaruh buruk bagi badan air penerima karena berkaitan langsung dengan proses pendangkalan pada badan air penerima. Apabila terjadi pendangkalan pada badan air penerima berarti akan menambah biaya dalam pengelolaan badan air. Oleh karena itu, dalam pemilihan ukuran partikel zeolit yang akan digunakan dalam proses pengolahan lindi untuk menurunkan polutan yang masih tersisa, kedua hal ini juga perlu mendapatkan perhatian. 86

116 Hasil penelitian ini, seperti yang disajikan pada Gambar 47 dan Gambar 49 menunjukkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan melalui zeolit berukuran 5 10 mesh dan mesh lebih tinggi dibanding nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan pada zeolit yang berukuran mesh. TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang telah melewati zeolit berkaitan dengan ukuran partikel zeolit karena ukuran partikel zeolit berpengaruh terhadap ukuran rongga, selanjutnya ukuran rongga berkaitan langsung dengan kemampuan zeolit dalam melewatkan bahan padatan yang berukuran sangat halus yang menempel pada partikel zeolit sebagai akibat proses penggerusan saat pembuatan partikel pada ukuran yang diinginkan. Zeolit yang berukuran lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) memiliki rongga yang lebih besar dibanding zeolit berukuran mesh. Oleh karenanya, kemampuan melewatkan bahan padatan dari zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh lebih besar dibanding zeolit berukuran mesh Ukuran Partikel Zeolit yang Layak Digunakan dalam Pengolahan Tahap II Sebagai akibat perbedaan kemampuan dalam menurunkan polutan dari ketiga ukuran partikel zeolit menyebabkan perbedaan visual dari efluennya. Secara visual, efluen yang dilewatkan pada masing-masing ukuran partikel zeolit ditampilkan pada Gambar 50. Efluen dari zeolit 5 10 mesh Efluen dari zeolit mesh Efluen dari zeolit mesh Gambar 50. Efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 87

117 Gambar 50 menunjukkan bahwa efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel mesh lebih cerah dibanding efluen dari zeolit berukuran partikel lebih kasar. Perbedaan warna dari ketiga efluen tersebut berkaitan dengan kandungan polutan yang masih tersisa. Oleh karena zeolit dengan ukuran partikel mesh lebih mampu menurunkan beberapa parameter pencemar seperti NH 3, sulfida, BOD 5, COD, logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr), TSS dan padatan mengendap maka zeolit dengan ukuran partikel mesh lebih layak digunakan dalam pengolahan lanjutan dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh Pengaruh Jumlah Tahapan Pengolahan terhadap Kualitas Efluen yang Dihasilkan Efektivitas penurunan polutan dari pengolahan 1 tahap (pengolahan aerasi pada laju 0, 10, 30 atau 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan pengolahan menggunakan zeolit berukuran 5 10 mesh, mesh atau mesh) serta kadar beberapa parameter pencemar yang terdapat pada efluen dari masing-masing pengolahan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Efektivitas penurunan polutan lindi dari pengolahan tahap I dan tahap II Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Pengolahan Tahap I (%) * Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Polutan Pengolahan Tahap II (%) ** 0 l/mnt 10 l/mnt 30 l/mnt 70 l/mnt 5-10 mesh mesh mesh BOD 5 3,87a 29,98b 70,32c 74,63c 8,15a 17,92a 47,96b COD 2,11a 14,63a 50,71b 74,53c 15,27a 30,09ab 50,15b NH 3-1,67a 24,38b 60,93c 66,60c 14,22a 40,95b 53,73b Sulfida -2,20a 23,24b 55,51c 74,67c 8,85a 13,31a 30,02b TDS -0,31a 3,82b 6,25b 12,83c 14,04a 17,89a 30,70b Cu 2,38a 9,76b 29,27c 48,78d 23,81a 33,33a 61,90b Zn 1,12a 10,23b 17,05c 20,45c 19,24a 31,46ab 51,55b Mn 0,13a 14,07b 28,39c 70,22d 24,51a 33,74ab 40,96b Fe 0,03a 11,07b 26,00c 38,74d 24,76a 37,32b 64,47c Pb 1,87a 3,62b 3,85b 15,38c 36,25a 56,67b 72,92c Cd 0,76a 20,00b 40,00c 53,85c 34,82a 52,91ab 66,52b Cr 0,56a 19,10b 38,20c 53,93d 29,07a 38,88ab 46,24b E. coli -7,29a 14,59b 42,02c 66,49d 22,50a 32,50ab 55,00b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris berdasarkan pengolahan tahap 1 atau pengolahan tahap 2 tidak berbeda nyata pada taraf 1%. * Efektivitas pengolahan tahap I (pemberian udara (aerasi) pada laju 0, 10, 30 dan 70 liter/menit). ** Efektivitas pengolahan tahap II (pengolahan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada ukuran partikel 5 10 mesh, mesh atau mesh)). 88

118 Tabel 31. Nilai beberapa parameter pencemar pada efluen hasil olahan tahap I dan tahap II serta baku mutu pada masing-masing golongan peruntukan Pada Efluen Hasil Olahan Pada Efluen Hasil Olahan Baku Mutu*** Parameter Pencemar 1 Tahap * 2 Tahap ** Nilai Nilai Gol. A Gol. B Gol. C Gol. D ph 9,05a 8,25a DO (ppm) 10,2a 9,2a BOD 5 (ppm) 80,76a 41,74b COD (ppm) 166,15a 82,56b E. coli (MPN/100 ml) 450a 200b NH 3 (ppm) 2,33a 1,07b 0, Sulfida (ppm) 1,17a 0,82b 0,002 0,002 0,002 - TDS (ppm) 2850a 1975b TSS (ppm) 128,8a 37,90b Padatan Mengendap (ml/150ml) 2,45a 0,2b Cu (ppm) 0,021a 0,008b 0,02 0,02 0,02 0,2 Zn (ppm) 0,070a 0,034b 0,05 0,05 0,05 2 Mn (ppm) 0,235a 0,139b Fe (ppm) 2,380a 0,850b 0, Pb (ppm) 0,022a 0,006b 0,03 0,03 0,03 1 Cd (ppm) 0,030a 0,010b 0,01 0,01 0,01 0,01 Cr (ppm) 0,041a 0,022b 0,05 0,05 0,05 0,01 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris tidak berbeda nyata pada taraf 1%.. * Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit. ** Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang berukuran partikel mesh. *** Baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 tahun Tabel 31 menunjukkan bahwa kadar polutan pada efluen hasil pengolahan 2 tahap dengan memberikan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang memiliki ukuran partikel mesh nyata lebih rendah dibanding kadar polutan pada efluen hasil pengolahan hanya dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan lanjutan dengan menggunakan zeolit efektif dalam menurunkan polutan yang masih tersisa. 89

119 Beberapa parameter pencemar yang masih di atas baku mutu untuk golongan D (pertanian), meskipun efluen tersebut telah diolah dengan cara aerasi pada laju 70 liter/menit adalah BOD, COD, nilai TDS, TSS, Cu, Cd dan Cr. Parameter yang dapat diturunkan lagi hingga di bawah baku mutu melalui pengolahan tahap II dengan cara melewatkan efluen tersebut melalu zeolit yang berukuran mesh adalah COD, nilai TDS, Cu dan Cd. Pengolahan yang disarankan untuk mendapatkan efluen yang aman dialirkan ke lingkungan adalah melalui pengolahan dua tahap, yakni pada tahap pertama pengolahan dilakukan melalui pemberian udara dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam yang dilanjutkan dengan pengolahan tahap kedua dengan cara melewatkannya melalui zeolit berukuran mesh. Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan menurunkan sejumlah polutan dari pengolahan dua tahap lebih tinggi dibanding pengolahan satu tahap yang ditunjukkan oleh nilai-nilai parameter pencemar yang lebih rendah dibanding pengolahan satu tahap. 90

120 4.3 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian empat jenis kapur (CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 dan dolomit) pada 11 dosis yang berbeda (500, 750, 1000, 1250, 1500, 1750, 2000, 3000, 4000, 5000 dan 6000 ppm) untuk menjadikan endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit sebagai bahan pupuk cair memberikan hasil yang berbeda. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan ini disajikan pada Tabel Lampiran 7 dan 8. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada 11 dosis yang berbeda dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) ternyata menyebabkan perbedaan pada beberapa parameter kimia (nilai TDS, ph dan Ca 2+ ) pada sentrat dan kadar beberapa logam mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) maupun bahan organik pada endapan. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian kapur jenis CaO dan Ca(OH) 2 menyebabkan perubahan terhadap nilai TDS, ph dan Ca 2+ dengan pola perubahan yang serupa. Pola perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan yang disebabkan oleh pemberian kapur jenis CaCO 3 dan dolomit. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda ternyata juga berpengaruh terhadap jumlah logam mikro dan bahan organik yang dapat diendapkan. Beberapa logam mikro dalam endapan mengalami penurunan dan beberapa logam mikro lainnya justru mengalami peningkatan bila dosis kapur yang diberikan makin ditingkatkan; sedangkan jumlah bahan organik yang dapat diendapkan ternyata makin meningkat bila dosis kapur (CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 dan dolomit) yang diberikan makin tinggi. Secara rinci, nilai dari masing-masing parameter tersebut akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Nilai TDS, ph, dan Kadar Ca 2+ pada Sentrat Hasil percobaan mendapatkan bahwa pemberian kapur yang berbeda pada lindi yang akan dijadikan bahan pupuk cair ternyata menyebabkan perbedaan nilai TDS pada sentrat. pada Tabel 32. Secara rinci, nilai TDS pada sentrat dari masing-masing dosis kapur disajikan 91

121 Tabel 32. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) CaO Ca(OH) 2 CaCO 3 Dolomit bc 2785 b 2912,5 a 2895 a abc 2700 b 2860 a 2932,5 ab ,5 a 2442,5 a 2797,5 a 2942,5 ab ,5 ab 2617,5 ab 2785 a 2957,5 ab c 2755 b 2752,5 a 2962,5 ab ,5 d 3082,5 c 2725 a 2967,5 ab ,5 e 3662,5 d 2685 a 2980 ab ,5 f 4785 e 2680 a 3072,5 abc g 5977,5 f 2670 a 3205 bc h 7095 g 2670 a 3325 cd ,5 i 7352,5 h 2690 a 3497,5 d Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Tabel 32 maupun Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa nilai TDS pada sentrat akibat pemberian CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis rendah (500 ppm hingga dosis kurang dari 1000 ppm) mengalami penurunan dan mencapai minimum pada dosis 1000 ppm; sedangkan pada dosis lebih dari 1000 ppm, nilai TDS mengalami peningkatan yang tajam sejalan dengan dosis CaO atau Ca(OH) 2 yang makin meningkat. Sejalan dengan penelitian ini, Amuda (2005) yang menggunakan bahan kimia FeCl 3 sebagai bahan untuk mengendapkan bahan terlarut dari lindi TPA sampah mendapatkan bahwa penggunaan FeCl 3 pada dosis 1000 ppm juga menyebabkan penurunan polutan yang maksimal yang ditunjukkan oleh nilai TDS pada lindi yang diproses menunjukkan nilai terendah. Hasil penelitiannya menunjukkan pada pemberian FeCl 3 di atas 1500 ppm mulai terjadi peningkatan garam besi dalam larutan yang ditunjukan oleh peningkatan nilai TDS pada lindi yang diproses. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan pemberian CaO dan Ca(OH) 2 terdapat kemiripan pola dalam perubahan nilai TDS pada sentrat. Pola perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan dari perlakuan kapur jenis CaCO 3 maupun dolomit. Gambar 51 hingga Gambar 56 menunjukkan bahwa perubahan nilai TDS, Ca 2+ bahkan ph dari perlakuan CaCO 3 maupun dolomit tidak sebesar perubahan pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Perbedaan perilaku ini berkaitan dengan sifat kapur tersebut. 92

122 Tabel 32, Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa penggunaan kapur jenis CaCO 3 atau dolomit pada dosis 500 ppm hingga 6000 ppm tidak mengakibatkan penurunan yang berarti terhadap nilai TDS pada sentrat. Nilai TDS dari perlakuan CaCO 3 berangsur-angsur menurun dan mencapai minimum (2670 ppm) pada dosis 4000 ppm hingga 5000 ppm. Nilai TDS minimum dari perlakuan pemberian CaCO 3 tersebut masih berada di atas nilai TDS minimum (2467,5 ppm dan 2442,5 ppm) dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan Ca(OH) 2. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan pemberian CaCO 3 pada dosis di atas 5000 ppm baru menunjukkan peningkatan. Sebaliknya, pada pemberian dolomit, nilai TDS pada sentrat justru terus mengalami peningkatan secara berangsur mulai dari dosis 500 ppm hingga 6000 ppm. Gambar 51. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) 93

123 Gambar 52. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) Nilai ph dari perlakuan pemberian CaCO 3 ternyata juga mengalami peningkatan secara berangsur dengan peningkatan ph yang jauh lebih rendah dari peningkatan ph dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 (Gambar 55 dan Gambar 56). Demikian juga halnya dengan ph dari perlakuan pemberian dolomit yang juga mengalami peningkatan secara berangsur apabila dosis pemberiannya makin ditingkatkan. Perbedaan pola perubahan nilai TDS dan ph berkaitan dengan reaksi yang terjadi dalam lindi akibat pemberian jenis dan dosis kapur yang berbeda. Pada perlakuan CaO, setelah bahan tersebut dicampur dengan lindi maka CaO akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam lindi, kemudian terurai membentuk ion-ion. Menurut Manahan (2005), reaksi CaO dalam air sebagai berikut. CaO + H 2 O > Ca(OH) 2 Kemudian Ca(OH) 2 dalam air akan berubah menjadi ion Ca 2+ dan OH - sebagai berikut. Ca(OH) > Ca OH - 94

124 Demikian juga pada perlakuan pemberian kapur jenis Ca(OH) 2 dalam air, Ca(OH) 2 akan langsung bereaksi sebagai berikut (Manahan, 2005). Ca(OH) > Ca OH - Berdasarkan reaksi seperti yang digambarkan di atas, pemberian CaO atau Ca(OH) 2 ke dalam lindi akan menghasilkan bahan yang sama berupa Ca 2+ dan OH -. Kedua bahan tersebut (Ca 2+ dan OH - ) selanjutnya juga dapat mempengaruhi bahan lain yang terlarut yang terdapat dalam lindi berupa logam-logam terlarut maupun koloid. Muatan negatif pada koloid baik koloid organik maupun koloid anorganik yang terdapat dalam lindi makin meningkat bila konsentrasi OH - makin meningkat. Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2010), muatan negatif dari koloid dapat meningkat sebagai akibat terjadi disosiasi H + dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal seperti gambar berikut. OH + OH > O - + H 2 O Pada ph rendah (masam), H + terikat erat. Namun bila ph naik, maka H + menjadi mudah lepas mengakibatkan muatan negatif dari koloid menjadi meningkat. Muatan ini disebut muatan tergantung ph. Pada koloid organik, sumber muatan negatif terutama berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan gugus phenol (-OH). Muatan tersebut adalah muatan tergantung ph, artinya dalam keadaan masam, H + dipegang kuat oleh gugus karboksil atau phenol. Menurut Hardjowigeno (2010), ikatan H + pada gugus karboksil atau phenol menjadi berkurang bila ph menjadi lebih tinggi. Ikatan yang lemah tersebut memudahkan terjadi disosiasi H + yang menyebabkan H + terlepas hingga pada gugus tersebut menjadi bermuatan negatif. Makin tinggi ph, makin tinggi pula disosiasi H + menyebabkan muatan negatif pada koloid menjadi makin tinggi. Muatan negatif yang terbentuk dapat menyebabkan terjadi interaksi antara koloid dengan logam yang terlarut termasuk dengan Ca 2+, baik Ca 2+ yang berasal dari lindi maupun Ca 2+ yang berasal dari penambahan kapur. Hasil interaksi antara muatan positif dari logam terlarut dengan muatan negatif dari koloid membentuk senyawa kompleks berbentuk flok yang mudah untuk diendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Hasil penelitian Harmsen (1983) menunjukkan bahwa pada ph tinggi, logam terlarut menjadi berkurang 95

125 karena membentuk komplek dengan asam humik. Berdasarkan hasil penelitian Umar, Aziz dan Yusoff (2010), pada ph sedikit di atas netral, % Cu dan 0 95% Zn umumnya berada dalam kondisi berikatan dengan koloid. Menurut Vigneault dan Campbell (2005), hal ini dapat menurunkan toksisitas lindi yang diproses akibat logam terlarut berkurang. Pembentukan flok yang mudah mengendap antara Ca atau logam terlarut dengan koloid menyebabkan kadar Ca 2+ maupun logam-logam terlarut lainnya menjadi makin menurun dalam sentrat. Ca 2+ maupun logam terlarut lainnya merupakan bahan padatan terlarut yang mempengaruhi nilai TDS. Apabila bahan-bahan tersebut berkurang mengakibatkan nilai TDS menurun hingga sentrat lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Gambaran dari reaksi pengikatan antara koloid organik dengan koloid anorganik yang dijembatani oleh Ca 2+ seperti yang dikemukakan oleh Peterson (1947) dalam Supardi (1988) sebagai berikut liat Ca OOC R COO Ca liat Gambaran ikatan kompleks antara liat dan liat dengan Ca sebagai penghubung seperti yang dikemukakan oleh Foth (1978) sebagai berikut. Permukaan Liat Permukaan Ca - + Ca + - Liat Permukaan Liat Penurunan nilai TDS pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 tidak hanya disebabkan oleh penurunan jumlah Ca 2+ dan logam-logam terlarut lainnya sebagai akibat terjadi pengikatan logam tersebut oleh koloid yang membentuk endapan. Penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut juga dapat disebabkan oleh penurunan jumlah logam terlarut akibat terjadi reaksi antara logam terlarut dengan OH - membentuk senyawa hidroksida yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah. Sebagai contoh, gambaran dari reaksi pembentukan senyawa hidroksida logam seperti yang dikemukakan oleh Mohajit (2001) sebagai berikut. Fe OH > Fe(OH) 3 (s) Cr OH > Cr(OH) 3 (s) 96

126 Pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2, bila dosis pemberian kapur tersebut terus ditingkatkan ternyata menyebabkan ph juga mengalami peningkatan, melebihi peningkatan ph dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit (Gambar 55 dan Gambar 56). ph yang makin meningkat menggambarkan konsentrasi OH - juga makin meningkat. Namun pada konsentrasi OH - yang makin tinggi, menurut Davis dan Masten (2004) justru dapat menyebabkan pembentukan senyawa baru antara logam terlarut dan OH - berlebih yang ada dalam larutan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) lebih tinggi dibanding sebelumnya. Proses ini menyebabkan jumlah padatan terlarut pada sentrat akan mengalami peningkatan kembali. Davis dan Masten (2004) mengemukakan bahwa pada ph di atas netral hingga ± ph 9, logam-logam terlarut seperti Cu, Zn dan Pb memiliki solubilitas yang minimum dan akan membentuk endapan dalam bentuk senyawa hidroksida. Namun pada ph > 9, ketiga logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang mudah larut (Gambar 64). Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 dengan dosis 1000 ppm, ph mencapai 10,35 hingga 10,55 (Tabel 33) dan pada ph tersebut nilai TDS pada sentrat mencapai minimum. Pada kondisi ini, meskipun ada beberapa logam mikro terlarut yang mengalami pelarutan kembali seperti Cu, Zn, Pb dan Cd, namun ada pula logam mikro lainnya yang masih mengalami pengendapan seperti Mn, Fe dan Cr. Pada ph tersebut jumlah padatan terlarut pada sentrat mencapai minimum sebagai akibat logam-logam terlarut yang berinteraksi dengan OH - atau berinteraksi dengan koloid membentuk senyawa yang mudah mengendap berada dalam jumlah yang lebih banyak dibanding logam-logam terlarut lainnya yang melarut kembali karena membentuk senyawa komplek dengan OH - yang berlebih. Kadar Ca 2+ pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 dengan dosis 1500 ppm menunjukkan nilai yang paling minimum (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 1000 ppm menyebabkan muatan bergantung ph yang terbentuk akibat penambahan kapur maksimal dalam mengikat Ca 2+ baik yang berasal dari lindi maupun kapur. Apabila dosis pemberian dari kedua jenis kapur tersebut terus ditingkatkan (di atas 1500 ppm) sementara volume lindi tetap, Ca 2+ pada sentrat mulai mengalami peningkatan. Diduga pada dosis > 1500 ppm, jumlah muatan bergantung ph yang terbentuk akibat penambahan kapur kurang dari jumlah Ca 2+ yang ada pada larutan menyebabkan ada Ca 2+ yang tidak diikat dan tetap berada dalam bentuk terlarut. 97

127 Kelebihan Ca 2+ tersebut menjadi salah satu bahan padatan terlarut yang sulit terendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Kelebihan Ca 2+ tersebut dapat mempengaruhi nilai TDS pada sentrat. Gambar 53. Pola perubahan kadar Ca 2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) Gambar 54. Pola perubahan kadar Ca 2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) 98

128 Kemiripan pola perubahan nilai TDS, kadar Ca 2+ dan ph pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 (Gambar 51 - Gambar 56) berkaitan pada tiga hal, yakni: 1) Kedua jenis kapur tersebut memiliki perbedaan bobot molekul (BM) yang relatif sempit (BM CaO = 56 dan BM Ca(OH) 2 = 74), 2) pada larutan, kedua jenis kapur tersebut akan bereaksi membentuk bahan yang sama yakni Ca 2+ dan OH - sehingga pada konsentrasi yang sama hampir menyumbangkan Ca 2+ dan OH - ke dalam larutan dalam jumlah yang hampir sama, dan 3) reaksi CaO atau Ca(OH) 2 dalam air membentuk ion Ca 2+ dan OH - tidak mencapai kejenuhan hingga pada dosis 6000 ppm. Gambar 55. Pola perubahan ph pada perlakuan pemberian kapur yang disentrifugasi Gambar 56. Pola perubahan ph pada perlakuan pemberian kapur yang dikocok 99

129 Pada dosis 500 ppm hingga 4000 ppm, konsentrasi Ca 2+ yang terlarut yang terdapat pada sentrat dari perlakuan CaCO 3 masih mengalami penurunan secara berangsur dan penurunan mencapai maksimum pada dosis pemberian yang relatif tinggi (4000 hingga 5000 ppm) (Gambar 53 dan Gambar 54). Fenomena tersebut terjadi disebabkan penambahan CaCO 3 pada lindi menyebabkan terbentuk ion Ca 2+, OH - - dan HCO 3 menyebabkan pada dosis yang makin meningkat terjadi sedikit peningkatan ph. Reaksi peruraian CaCO 3 dalam air menjadi ion-ion seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CaCO > Ca 2+ + CO 3 2- CO H 2 O > HCO OH - Jumlah OH - yang dihasilkan akibat pemberian CaCO 3 lebih rendah dibanding jumlah OH - yang dihasilkan akibat pemberian CaO atau Ca(OH) 2. Disamping itu, CaCO 3 bersifat garam. Diduga pemberian bahan ini ke dalam lindi pada dosis yang lebih tinggi akan tercapai kejenuhan hingga CaCO 3 yang diberikan akan langsung mengendap. Pola perubahan nilai TDS, ph maupun kadar Ca 2+ pada sentrat dari perlakuan pemberian dolomit menunjukkan pola yang berbeda dibanding perlakuan CaO maupun Ca(OH) 2 dan sedikit menyerupai pola perubahan nilai TDS, ph dan kadar Ca 2+ akibat pemberian CaCO 3 (Gambar 51 hingga Gambar 56). Hal ini disebabkan pemberian dolomit ke dalam lindi akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian CaO maupun Ca(OH) 2 karena dari hasil reaksi dolomit dengan air yang terdapat dalam lindi, selain akan menghasilkan CaCO 3 juga menghasilkan MgCO 3 seperti yang digambarkan oleh Hardjowigeno (2010) sebagai berikut. CaMg(CO 3 ) > Ca 2+ + Mg CO 3 2- CO 3 2- yang dihasilkan dari reaksi tersebut akan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksil (OH - ) seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CO H 2 O > HCO OH - Pada suhu kamar (20 o C), CaCO 3 memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah (0, ), sedangkan MgCO 3 memiliki solubilitas yang lebih tinggi (0,039) dibanding CaCO 3 (Wikipedia, 2007). Oleh karena itu, MgCO 3 lebih sulit untuk diendapkan dibanding CaCO 3. Apabila dosis dolomit ditingkatkan, maka kadar MgCO 3 yang masuk 100

130 dalam larutan mengalami peningkatan. pada sentrat karena MgCO 3 Hal ini akan menambah bahan padatan terlarut yang dihasilkan dari perlakuan dolomit akan membentuk ion-ion Mg 2+ dan CO 3 2- yang secara otomatis berpengaruh terhadap besaran nilai TDS dan ph karena Mg 2+ termasuk bahan padatan terlarut, sedangkan CO 3 2- akan bereaksi dengan air membentuk HCO 3 - dan OH - yang menyebabkan larutan sedikit mengalami peningkatan ph. Keberadaan Mg 2+ dalam larutan tersebut dapat menyebabkan pada dosis yang sama, perlakuan dolomit memiliki nilai TDS dan ph sedikit lebih tinggi dibanding CaCO 3. Pada dosis kurang dari 2000 ppm, kadar Ca 2+ yang terdapat pada sentrat sebagai akibat penambahan CaCO 3 maupun dolomit ke dalam lindi relatif lebih tinggi dibanding kadar Ca 2+ yang berasal dari perlakuan CaO maupun Ca(OH) 2 (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini, akibat jumlah OH - yang dihasilkan dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit lebih rendah dibanding jumlah OH - yang dihasilkan dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Dampak selanjutnya, kemampuan mendisosiasi H + pada koloid menjadi rendah mengakibatkan jumlah muatan negatif yang terbentuk pada koloid yang dihasilkan dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit juga menjadi lebih rendah dibanding perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Padahal, muatan negatif yang terbentuk mampu mengikat Ca 2+ berasal dari lindi maupun yang berasal dari pemberian kapur. baik yang Secara rinci, ph dari keempat jenis kapur pada 11 dosis yang berbeda yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. ph pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) CaO Ca(OH) 2 CaCO 3 Dolomit 500 9,33 a 9,18 a 8,3 a 8,7 a 750 9,70 ab 9,55 ab 8,43 a 8,73 a ,50 abc 10,38 abc 8,5 a 8,73 a ,88 abc 10,7 abc 8,7 a 8,73 a ,50 bc 11,35 bc 8,73 a 8,78 a ,68 c 11,65 c 8,78 a 8,78 a ,83 c 11,80 c 8,8 a 8,78 a ,05 c 12 c 8,85 a 8,8 a ,15 c 12,1 c 8,85 a 8,83 a ,23 c 12,18 c 8,85 a 8,85 a ,25 c 12,18 c 8,85 a 8,85 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. 101

131 4.3.2 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan. Demikian halnya dengan jumlah logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dalam endapan, juga berbeda (Gambar 57 - Gambar 63). Secara rinci, gambaran kandungan logam-logam tersebut dalam endapan dari masing-masing jenis kapur dapat dilihat pada Gambar 57 Gambar 63. Gambar 57. Kadar Cu dalam endapan pada tiga dosis kapur Gambar 58. Kadar Zn dalam endapan pada tiga dosis kapur 102

132 Gambar 59. Kadar Mn dalam endapan pada tiga dosis kapur Gambar 60. Kadar Fe dalam endapan pada tiga dosis kapur 103

133 Gambar 61. Kadar Pb dalam endapan pada tiga dosis kapur Gambar 62. Kadar Cd dalam endapan pada tiga dosis kapur 104

134 Gambar 63. Kadar Cr dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar logam mikro essensial Cu dan Zn dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO maupun Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 57 dan Gambar 58). Demikian halnya kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm, juga lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 61 dan Gambar 62). Perilaku ini seperti yang dikemukakan oleh Davis dan Masten (2004) terjadi sebagai akibat pada ph yang semakin tinggi (di atas 9), logam-logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang lebih tinggi sehingga pada ph > 9 logam tersebut cenderung berada dalam kondisi terlarut dan tetap berada dalam sentrat. Amer (1998) mengemukakan bahwa umumnya, tetapi tidak semua, presipitasi (pengendapan) logam hidroksida terjadi pada ph 8,5 sampai 9,5. Perubahan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd pada ph tinggi sebagai berikut (Davis dan Masten, 2004): Pada ph > 9, Cu akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cu OH Cu(OH) 2 (s) Cu(OH) 2 (s) + 2(OH) Cu(OH) 4 105

135 Pada ph > 9, Zn akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Zn OH Zn(OH) 2 (s) Zn(OH) 2 (s) + 2(OH) Zn(OH) 4 Pada ph > 9, Pb akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Pb OH Pb(OH) 2 (s) Pb(OH) 2 (s) + 2(OH) Pb(OH) 4 Pada ph > 9, Cd akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cd OH Cd(OH) 2 (s) Cd(OH) 2 (s) + 2(OH) Cd(OH) 4 Perilaku kelarutan dari ke empat logam mikro (Cu, Zn, Pb dan Cd) pada berbagai ph digambarkan oleh Davis dan Masten (2004) sebagai berikut. Gambar 64. Kelarutan Cu, Zn, Pb dan Cd pada berbagai ph (Davis dan Masten, 2004) 106

136 Gambaran di atas menunjukkan bahwa solubilitas (kelarutan) akan menurun dan mencapai minimum pada ph antara ± 9 (pada Cu, Zn dan Pb) hingga ph ± 11 (pada Cd), tergantung jenis logamnya. Apabila ph ditingkatkan lagi dari ph pada titik minimum maka pada logam tersebut akan terbentuk senyawa kompleks dengan kelarutan yang semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pemberian CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm, kadar Cu, Zn, Pb dan Cd dalam endapan lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm. Pada dosis 500 ppm, 1000 ppm dan 6000 ppm dari perlakuan CaO maupun Ca(OH) 2, ph berkisar antara 9,3 hingga 12,15. Oleh karenanya, apabila ph ditingkatkan lagi lebih dari 6000 ppm akan mengakibatkan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd akan semakin banyak berada dalam kondisi terlarut. Pada perlakuan pemberian kapur jenis CaCO 3 maupun dolomit; kadar logam Cu, Zn, Pb dan Cd yang terdapat dalam endapan pada dosis yang makin tinggi dari 500 ppm hingga 6000 ppm justru masih menunjukkan peningkatan. Hal ini berbeda dengan perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Pada dosis yang sama, ph sebagai akibat penambahan CaCO 3 maupun dolomit lebih rendah dibanding ph akibat penambahan CaO maupun Ca(OH) 2. Hal ini menunjukkan jumlah OH - akibat pemberian CaCO 3 maupun dolomit lebih rendah dibanding peningkatan ph akibat pemberian CaO maupun Ca(OH) 2 (Tabel 33). Nilai ph sebagai akibat pemberian CaCO 3 dan dolomit hingga dosis 6000 ppm ternyata masih berada pada kisaran ph < 9. Peningkatan konsentrasi OH - yang menyebabkan ph masih berada dibawah ph 9 sebagai akibat penambahan CaCO 3 maupun dolomit menyebabkan logam Cu, Zn, Pb dan Cd masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan. Pada ph < 9, keempat logam tersebut (Cu, Zn, Pb dan Cd) belum membentuk senyawa komplek dengan solubilitas yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Pemberian CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 maupun dolomit) ternyata menyebabkan peningkatan jumlah logam Mn dan Fe pada endapan sejalan dengan pemberian kapur tersebut pada dosis yang semakin meningkat (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan solubilitas (kelarutan) dari logam besi (Fe) maupun Mangan (Mn) akan semakin rendah pada ph yang semakin tinggi sehingga mudah untuk diendapkan. Semakin tinggi dosis kapur yang diberikan mengakibatkan semakin tinggi ph. Semakin tinggi ph berarti semakin tinggi pula konsentrasi OH - dalam larutan dan hal ini akan menyebabkan semakin besar pula peluang untuk terjadi interaksi antara Mn atau Fe terlarut dengan OH - yang ada dalam larutan membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap mengakibatkan kedua logam tersebut menjadi lebih terakumulasi dalam 107

137 endapan. Menurut Vogel (1979), pembentukan senyawa hidroksida yang mudah mengendap dari Mn dan Fe dapat terjadi hingga ph 14. Perilaku yang sama dengan logam Mn dan Fe juga diperlihatkan oleh logam Cr. Kadar logam Cr dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO atau Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian kedua jenis kapur tersebut pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 63). Menurut Vogel (1979), pada ph > 9 hingga ph 12, Cr masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan logam Cr menjadi senyawa hidroksida yang mudah mengendap ditunjukan oleh Vogel (1979) sebagai berikut: Cr OH Cr(OH) 3 (s) Pada dosis 6000 ppm, kadar logam Mn dan Fe dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan pada dosis tersebut, ph dari perlakuan pemberian CaCO 3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan pemberian CaO dan Ca(OH) 2. Otomatis, konsentrasi OH - dalam larutan yang diberi perlakuan CaCO 3 dan dolomit juga lebih rendah yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pembentukan jumlah senyawa hidroksida maupun senyawa kompleks yang mudah mengendap yang terbentuk dari koloid dengan kedua logam tersebut lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Logam Cu, Zn, Mn dan Fe yang terdapat dalam endapan hasil pengolahan lindi dapat digunakan sebagai sumber hara mikro essensial; sedangkan logam-logam Pb, Cd dan Cr merupakan logam berat yang termasuk logam mikro non essensial yang belum diketahui manfaatnya bagi tanaman, bahkan logam tersebut apabila masuk ke dalam sistem metabolisme dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, ketiga logam tersebut (Pb, Cd dan Cr) perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jika bahan pupuk cair hasil olahan lindi mengandung ketiga logam tersebut, maka kadar dari logam-logam tersebut yang berada dalam bahan pupuk cair harus berada di bawah baku mutu. Berdasarkan aturan yang ditetapkan Menteri Pertanian tahun 2003, batas maksimal Pb dan Cd yang diperbolehkan dalam pupuk cair organik adalah : Pb kurang dari 50 ppm dan Cd kurang dari 10 ppm. Batas maksimal logam Cu, Mn, Pb dan Cd dalam pupuk cair anorganik adalah Cu 0,25% (2500 ppm), Mn 0,25% (2500 ppm), Pb 0,125% (1250 ppm) dan Cd 0,125% (1250 ppm). Jika dilihat dari jumlah logam tersebut dalam endapan lindi hasil penambahan 1000 ppm CaO dan Ca(OH) 2 yang dijadikan sebagai perlakuan terpilih dari tahap percobaan ini dan kadar logam-logam tersebut yang ada pada endapan 108

138 lindi hasil penambahan CaCO 3 dan dolomit juga pada dosis 1000 ppm seperti yang disajikan pada Tabel 34, kadar keempat logam tersebut (Cu, Mn, Pb dan Cd) dari perlakuan pemberian keempat jenis kapur pada dosis 1000 ppm masih berada di bawah baku mutu. Kisaran kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dari perlakuan pemberian masing-masing jenis kapur pada dosis 1000 ppm sebagai berikut. Tabel 34. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan pemberian 1000 ppm kapur Logam Mikro Kadar Maksimal Jenis Kapur Non Dalam Pupuk Cair* Essensial CaO Ca(OH) 2 CaCO 3 Dolomit Organik Anorganik Cu (ppm) 8,23b 8,59b 5,2ª 12,24c Zn (ppm) 30,02a 31,56a 17,99b 19,28b Mn (ppm) 230,57c 196,48b 155,04a 184,94b Fe (ppm) 320,95b 302,36ab 287,77a 320,72b Pb (ppm) 10,34b 11,40b 4,29 a 10,52b Cd (ppm) 6,93 a 8,27 a 8,81 a 8,46 a Cr (ppm) 2,05ab 2ab 2,49b 1,31 a Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan 0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan 0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan < 50 ppm 0,125% (1250 ppm) < 10 ppm 0,125% (1250 ppm) Tidak disebutkan Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Angka di atas merupakan rata-rata dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan. * Standar minimal pupuk cair berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 09/Kpts/TP.260/I/2003 Tidak disebutkan Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 65, ternyata pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik pada endapan. Gambaran jumlah bahan organik pada endapan dari masing-masing jenis kapur sebagai berikut. 109

139 Gambar 65. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian kapur pada tiga dosis yang berbeda Gambar 65 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan menyebabkan jumlah bahan organik dalam endapan makin tinggi. Pada dosis 6000 ppm dari keempat jenis kapur menunjukkan jumlah bahan organik yang lebih tinggi dibanding pada dosis 500 ppm ataupun 1000 ppm. Fenomena ini dapat disebabkan pada ph yang tinggi sebagai akibat pemberian kapur pada dosis 6000 ppm, logam dan koloid organik dapat lebih berinteraksi membentuk flok yang mudah untuk diendapkan sehingga keduanya menjadi lebih terakumulasi dalam endapan. Gambar 66 menunjukkan bahwa jumlah bahan organik pada endapan dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 lebih tinggi dibanding pada perlakuan CaCO 3 dan dolomit. Kondisi ini terkait dengan kemampuan CaO dan Ca(OH) 2 dalam menyumbangkan lebih banyak OH - sehingga kedua jenis kapur tersebut lebih mampu dalam memicu terjadinya disosiasi H + pada koloid organik dibanding CaCO 3 dan dolomit. Hal ini menyebabkan CaO dan Ca(OH) 2 lebih mampu dalam menyebabkan pembentukan flok yang mudah mengendap antara koloid organik dengan logam terlarut dibanding CaCO 3 maupun dolomit. 110

140 Gambar 66. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan kapur Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan Kapur) Dari hasil penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 35 didapatkan bahwa nilai dari beberapa parameter kimia pada sentrat dari kedua perlakuan fisik yang berbeda (sentrifugasi atau pengocokan) menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai TDS yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dan nyata berbeda dibanding nilai TDS pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan, sedangkan ph pada perlakuan sentrifugasi meskipun lebih tinggi, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan pengocokan. Di lain pihak, rata-rata Ca dalam sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi justru lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pengocokan. Diduga gaya sentrifugal dapat lebih membantu memperlancar terjadi reaksi antara air yang ada dalam lindi dengan kapur sehingga proses peruraian kapur menjadi Ca 2+ dan OH - lebih intensif dibanding pada proses pengocokan. Hal ini selanjutnya mengakibatkan pada perlakuan sentrifugasi jumlah Ca 2+ dan OH - (Tabel 35). menjadi lebih banyak dalam larutan dibanding proses pengocokan 111

141 Tabel 35. Nilai TDS, ph dan Ca pada sentrat dari perlakuan fisik yang berbeda Sifat Kimia Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 3523a 3672b ph 10,00a 9,96a Ca (ppm) 12,45a 10,66b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Keberadaan OH - yang lebih banyak dalam larutan pada perlakuan sentrifugasi menyebabkan peluang terbentuknya senyawa kompleks yang mudah mengendap dari logam terlarut dengan koloid menjadi lebih banyak dan keberadaaan OH - yang tinggi juga dapat menyebabkan peluang terbentuk senyawa hidroksida dari logam Mn dan Fe akan semakin besar menyebabkan kedua logam tersebut akan makin banyak pada endapan. Kedua hal ini akan menyebabkan nilai TDS pada sentrat menjadi lebih rendah. Gambar 67. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) 112

142 Kadar Bahan Organik (ppm) Sentrifugasi 1180 Pengocokan Prose Fisik Gambar 68. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan Kapur) Hal yang juga harus diperhatikan dalam penentuan jenis dan dosis kapur yang dipilih untuk diterapkan dalam pengolahan lindi menjadi bahan pupuk cair adalah nilai TDS dan kadar Ca 2+ pada sentrat. Nilai dari kedua parameter tersebut harus minimal karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Ca yang masih tersisa yang terdapat pada sentrat karena sentrat nantinya akan dibuang ke lingkungan setelah endapan lindi hasil pengolahan aerasi selesai diproses menjadi bahan pupuk cair melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Apabila nilai TDS pada sentrat memiliki nilai terendah maka diharapkan di dalam sentrat mengandung polutan dengan kadar yang paling rendah, baik yang berupa Ca 2+ yang berasal dari pemberian kapur, logam-logam terlarut lainnya maupun bahan organik yang memang sudah ada sebelumnya dalam lindi. Semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, semakin rendah pula bahan-bahan yang tidak diinginkan yang terkandung di dalamnya sehingga menyebabkan sentrat menjadi semakin aman untuk dibuang ke lingkungan. Di lain pihak, semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, berarti semakin tinggi kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan hingga endapan ini memiliki peluang yang lebih baik untuk difungsikan sebagai sumber hara bagi tanaman. 113

143 Selain nilai TDS pada sentrat, kadar Ca 2+ pada sentrat selayaknya juga menjadi dasar dalam penentuan dosis terpilih karena apabila kadar Ca 2+ pada sentrat yang berasal dari lindi maupun Ca 2+ yang berasal dari kapur yang ditambahkan pada saat pembuatan pupuk cair masih tinggi dan sentrat tersebut dibuang ke lingkungan, dikhawatirkan Ca 2+ dapat menjadi sumber pencemaran, mengingat Ca 2+ merupakan salah satu bahan yang dapat menyebabkan kesadahan. Menurut Effendi (2003), kesadahan dapat menyebabkan sabun tidak berbusa. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan pemborosan dalam penggunaan sabun. Selain itu, kesadahan juga dapat menyebabkan terjadi kerak pada ketel uap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 1000 ppm memiliki nilai TDS yang paling rendah dan kadar Ca 2+ dalam sentrat juga relatif rendah dibanding pada dosis lainnya maupun dibanding perlakuan CaCO 3 maupun dolomit (Gambar 51 - Gambar 54). Nilai TDS pada sentrat mencapai minimum pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menggambarkan kadar padatan terlarut pada sentrat berada pada kondisi paling minim sekaligus mencerminkan secara keseluruhan jumlah logam terlarut atau bahan organik yang dapat diendapkan mencapai maksimum dengan kadar logam mikro, khususnya Cu, Mn, Pb dan Cd masih berada di bawah baku mutu untuk digunakan sebagai pupuk cair berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan Menteri Pertanian tahun 2003 (Tabel 34). Dengan alasan tersebut di atas, maka perlakuan yang mewakili perlakuan kapur dan dianggap layak digunakan dalam proses pembuatan pupuk cair baik melalui proses lanjutan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan adalah pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2. Namun demikian, bila dilihat dari data pada Tabel 34, pada perlakuan pemberian 1000 ppm Ca(OH) 2, kadar logam berat Pb dan Cd pada endapan yang akan dijadikan pupuk cair lebih tinggi dibanding kadar logam tersebut pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Oleh karenanya endapan lindi yang layak dijadikan pupuk cair berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Gambaran visual dari sentrat dari perlakuan kapur disajikan pada Gambar

144 Gambar 69. Sentrat setelah proses sentrifugasi Gambar 69 menunjukkan pada 2 botol yang paling kanan yang berisi sentrat dari perlakuan pemberian 6000 ppm kapur (CaO dan Ca(OH) 2 ) yang disentrifugasi berwarna bening dan tembus pandang. Namun bukan berarti di dalam cairan tersebut mengandung kadar bahan terlarut yang minimal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, nilai TDS dan kadar Ca pada sentrat dari perlakuan tersebut paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. 4.4 Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian bahan oksidator KMnO 4 pada empat dosis yang berbeda (0, 0,01%, 0,02% dan 0,03%) dengan atau tanpa pemberian 1000 ppm kapur (CaO atau Ca(OH) 2 ) pada endapan hasil aerasi pada laju 70 liter/menit ternyata memberikan hasil yang berbeda terhadap beberapa parameter kimia pada sentrat maupun pada endapan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan pembuatan pupuk cair dari bahan tersebut disajikan pada Tabel Lampiran 9 dan 10. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan KMnO 4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO 4 yang diberikan semakin tinggi menyebabkan peningkatan nilai TDS dan kadar Mn pada 115

145 sentrat. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 yang semakin tinggi, ph hanya sedikit mengalami perubahan hingga tidak berbeda nyata dibanding tanpa penambahan KMnO 4. Namun demikian, ada kecenderungan, ph makin menurun dengan semakin tinggi dosis KMnO 4 yang diberikan. Di lain pihak, pada perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menyebabkan ph yang nyata lebih tinggi dibanding tanpa penambahan KMnO 4. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO 4 ditingkatkan menyebabkan kadar beberapa logam mikro pada endapan cenderung mengalami peningkatan. Meskipun demikian, ada juga logam mikro lainnya yang mengalami penurunan sejalan dengan dosis KMnO 4 yang makin meningkat. Kondisi tersebut juga terjadi pada perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2, kadar beberapa logam mikro pada endapan ada yang mengalami peningkatan dan ada pula yang mengalami penurunan. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian KMnO 4 cenderung mengalami penurunan bila dosis KMnO 4 makin ditingkatkan. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH) 2 lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa kapur. Secara rinci, nilai-nilai dari parameter kimia yang diukur saat percobaan ini akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Nilai TDS, ph, Kadar Mn dan Ca, pada Sentrat Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian KMnO 4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan terhadap beberapa parameter kimia (nilai TDS, kadar Mn dan ph) pada sentrat. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Gambar 70, 71 dan

146 Gambar 70. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan KMnO 4 Nilai TDS mengalami peningkatan sejalan dengan makin meningkatnya dosis KMnO 4 (Gambar 70). Peningkatan nilai TDS ini ternyata berkaitan dengan peningkatan kadar Mn pada sentrat. Kadar Mn pada sentrat akibat pemberian KMnO 4 pada dosis 0,03% lebih tinggi dibanding kadar Mn akibat pemberian KMnO 4 pada dosis 0,02%, 0,01% dan 0% (Gambar 71). Gambar 71. Kadar Mn pada sentrat dari perlakuan KMnO 4 117

147 Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), apabila KMnO 4 ditambahkan ke dalam larutan yang bersifat basa, KMnO 4 tersebut akan bereaksi dengan air menghasilkan endapan MnO 2. Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO H 2 O > MnO 2 (s) + OH - Lindi yang digunakan dalam percobaan ini bersifat basa karena memiliki ph 8 hingga ph 9. Merujuk pada reaksi di atas, apabila pada lindi tersebut diberikan KMnO 4 pada dosis yang makin meningkat tanpa penambahan kapur dapat menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menghasilkan endapan MnO 2 dan OH -. Namun demikian, dengan semakin tinggi konsentrasi KMnO 4 yang diberikan, sedangkan - volume lindi sama, tetap akan menyebabkan lebih banyak MnO 4 tersisa yang tetap berada dalam larutan mengakibatkan MnO - 4 pada sentrat menjadi lebih banyak dibanding jumlah MnO - 4 pada sentrat yang berasal dari perlakuan pemberian KMnO 4 pada dosis yang lebih rendah. Oleh karena MnO - 4 merupakan salah satu bahan padatan terlarut yang dapat mempengaruhi nilai TDS, maka bila bahan tersebut pada sentrat makin meningkat sebagai akibat pemberian KMnO 4 pada dosis yang makin meningkat menyebabkan nilai TDS juga makin meningkat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan ph akibat pemberian KMnO 4 pada dosis yang makin tinggi. Namun hal ini tidak menyebabkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan tanpa kapur dan tanpa KMnO 4 (Gambar 72). Penurunan ph dapat diakibatkan oleh H + yang dihasilkan dari reaksi pembentukan logam hidroksida. H + merupakan penyebab kemasaman. Reaksi pembentukan H + digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO Fe H 2 O -----> MnO 2 (s) + 3Fe(OH) 3 (s) + 5H + Reaksi di atas menunjukkan bahwa OH - - yang dihasilkan dari MnO 4 dan H 2 O akan digunakan oleh logam terlarut Fe 2+ membentuk logam hidroksida (Fe(OH) 3 ) yang mudah mengendap dengan menghasilkan H +. Di lain pihak, pada dosis KMnO 4 yang sama terdapat perbedaan nilai TDS maupun kadar Mn pada sentrat antara perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan kapur (CaO atau Ca(OH) 2 ) dengan perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 (Gambar 70 dan 71). Pada dosis KMnO 4 yang sama, nilai TDS dari perlakukan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan 118

148 penambahan CaO ataupun Ca(OH) 2 lebih rendah dibanding nilai TDS pada perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH) 2. Hal ini dapat disebabkan pada perlakuan yang ditambahkan CaO atau Ca(OH) 2 terjadi peningkatan konsentrasi OH - yang ditunjukkan oleh nilai ph yang lebih tinggi dibanding tanpa penambahan bahan tersebut (Gambar 72). Peningkatan konsentrasi OH - menyebabkan koloid terdisosiasi sehingga muatan negatif dari koloid juga meningkat yang mengakibatkan jumlah logamlogam terlarut termasuk Mn yang berasal dari penambahan KMnO 4 maupun Ca yang berasal dari penambahan kapur akan berikatan dengan koloid tersebut membentuk flok yang mudah mengendap. Selanjutnya dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan), flok tersebut akan membentuk endapan. Disamping itu, jumlah senyawa hidroksida yang mudah mengendap yang terbentuk dari logam Mn atau logam terlarut lainnya dengan OH - juga makin tinggi. Kedua hal tersebut menyebabkan jumlah Mn maupun logam-logam terlarut lainnya dalam sentrat makin berkurang. Pada akhirnya hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan nilai TDS pada sentrat. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2, apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan, juga menyebabkan ph menjadi menurun (Gambar 72). Penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menyebabkan suasana menjadi lebih basa dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan kapur tersebut. Pada kondisi suasana lebih basa akan lebih banyak OH - dalam larutan. Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), OH - berlebih yang ada dalam larutan akan digunakan oleh ion permanganat (MnO - 4 ) membentuk ion manganat (MnO 2-4 ). Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO OH > MnO 4 2- Penggunaan OH - dalam pembentukan ion manganat (MnO 2-4 ) oleh ion permanganat (MnO - 4 ) mengakibatkan ph pada perlakuan pemberian KMnO 4 pada dosis yang makin meningkat yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 akan - mengalami penurunan. Apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan, MnO 4 yang akan menggunakan OH - dalam larutan akan makin banyak hingga ph akan menurun. 119

149 Gambar 72. ph pada sentrat dari perlakuan KMnO Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Gambar 73 sampai dengan Gambar 79 menunjukkan bahwa pemberian bahan oksidator KMnO 4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar logam mikro dalam endapan. Pada perlakuan tanpa kapur, semakin meningkat KMnO 4 yang diberikan menyebabkan logam Cu, Zn, Mn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan makin meningkat. Hal ini dapat disebabkan pemberian KMnO 4 pada lindi yang bersifat basa menyebabkan pembentukan endapan mangan dioksida (MnO 2 ) dan juga dihasilkan ion hidroksil (OH - ). Reaksi tersebut seperti yang digambarkan oleh Cotton dan Wilkinson (1989) sebagai berikut: MnO H 2 O > MnO 2 (s) + OH - OH - yang dihasilkan dari reaksi tersebut tidak menyebabkan ph > 9 (Gambar 72), sehingga OH - yang dihasilkan akan digunakan untuk berikatan dengan logam terlarut yang ada dalam lindi membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan. Secara lengkap, contoh reaksi pengendapan logam besi sebagai akibat pemberian KMnO 4 digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: 120

150 MnO Fe H 2 O -----> MnO 2 (s) + 3Fe(OH) 3 (s) + 5H + Reaksi di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis KMnO 4 yang diberikan akan menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menjadikan semakin banyak MnO 2 pada endapan, endapan logam hidroksida dan H +. Kondisi sebaliknya terjadi pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH) 2. Apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan justru menyebabkan kadar logam Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan menjadi makin rendah sebagai akibat terjadi reaksi yang justru memanfaatkan OH - - oleh MnO 4 membentuk senyawa lain. Cotton dan Wilkinson (1989) menggambarkan reaksi permanganat pada suasana sangat basa dengan kadar KMnO 4 yang makin meningkat sebagai berikut: MnO OH > MnO H 2 O Reaksi tersebut menggambarkan bahwa perlakuan pemberian KMnO 4 pada ph tinggi sebagai akibat penambahan kapur tidak menghasilkan OH -, tetapi justru memanfaatkan OH - yang ada dalam larutan dengan menghasilkan ion manganat (MnO 2-4 ). Semakin tinggi KMnO 4 berarti kadar MnO - 4 dalam larutan semakin tinggi karena menurut Cotton dan Wilkinson (1989), KMnO 4 dalam larutan akan berubah menjadi ion K + dan MnO Apabila jumlah MnO 4 semakin banyak maka jumlah OH - yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan MnO - 4 membentuk MnO 2-4 juga semakin banyak hingga menyebabkan jumlah OH - dalam larutan yang seharusnya bereaksi dengan logam terlarut membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan menjadi semakin sedikit. Hal inilah yang menyebabkan pada dosis KMnO 4 yang semakin tinggi, bila ditambahkan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2, ph semakin menurun dan kadar logam (Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd) dalam endapan juga semakin menurun. 121

151 Gambar 73. Kadar Cu pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 74. Kadar Zn pada endapan dari perlakuan KMnO 4 122

152 Gambar 75. Kadar Mn pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 76. Kadar Fe pada endapan dari perlakuan KMnO 4 123

153 Gambar 77. Kadar Pb pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 78. Kadar Cd pada endapan dari perlakuan KMnO 4 124

154 Gambar 79. Kadar Cr pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 80 memperlihatkan bahwa pada dosis KMnO 4 yang semakin meningkat, baik tanpa maupun dengan penambahan kapur menyebabkan kadar Ca dalam sentrat semakin menurun. Hal ini diduga merupakan akibat terbentuk senyawa yang mudah mengendap dari Ca. Di lain pihak, pada perlakuan tanpa kapur, bila dosis KMnO 4 ditingkatkan menyebabkan penurunan kadar Cr dalam endapan, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan kapur justru berlaku sebaliknya, Cr dalam endapan makin bertambah bila dosis KMnO 4 makin tinggi. Hal ini diduga pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm kapur akan menyebabkan logam Cr mengalami pengendapan (Gambar 79). 125

155 Gambar 80. Kadar Ca (ppm) pada sentrat dari perlakuan KMnO Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 81 dan Gambar 82 menunjukkan bahwa pemberian bahan oksidator KMnO 4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik dalam endapan. Tabel tersebut terlihat bahwa baik pada perlakuan tanpa maupun dengan penambahan CaO atau Ca(OH) 2, semakin tinggi konsentrasi KMnO 4 yang diberikan menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan semakin menurun. Hal ini dapat terjadi pada perlakuan tanpa kapur akibat proses oksidasi bahan organik oleh KMnO 4 dengan bantuan H + yang dihasilkan dari reaksi antara MnO 4 -, logam terlarut dan air membentuk logam hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi tersebut digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO Fe H 2 O > MnO 2 + 3Fe(OH) 3 (s) + 5H + H + yang dihasilkan dari reaksi di atas akan digunakan untuk mengoksidasi bahan organik. Sebagai contoh reaksi toluena dengan KMnO 4 adalah sebagai berikut (Takeuchi, 2008). 5C 6 H 5 CH 3 + 6MnO H + > 5C 6 H 5 COOH + 6Mn

156 - Berdasarkan reaksi di atas, apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan, maka MnO 4 yang dihasilkan akan semakin banyak. Demikian halnya dengan H + yang dihasilkan juga semakin banyak dan H + tersebut akan digunakan untuk proses oksidasi bahan organik. Apabila proses oksidasi semakin intensif, maka bahan organik akan menjadi berkurang. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO maupun Ca(OH) 2, bahan organik dalam endapan juga semakin menurun bila dosis KMnO 4 yang diberikan semakin meningkat. Pada kasus ini, penurunan bahan organik dapat disebabkan pada dosis KMnO 4 yang semakin meningkat akan terjadi penggunaan OH - - oleh MnO 4 berlebih membentuk MnO 2-4. Penggunaan OH - akan menyebabkan terjadi penurunan jumlah OH - dalam larutan hingga berdampak pada penurunan pembentukan jumlah muatan negatif pada koloid organik. Penurunan pembentukan muatan negatif pada koloid organik selanjutnya mengakibatkan proses pengikatan logam terlarut oleh koloid organik membentuk flok yang mudah diendapkan juga makin berkurang. Gambaran rata-rata kadar bahan organik dari perlakuan pemberian KMnO 4 pada empat dosis yang berbeda disajikan pada Gambar 81 dan kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa maupun dengan penambahan kapur (CaO atau Ca(OH) 2 ) disajikan pada Gambar 82. Gambar 81. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO 4 pada empat dosis yang berbeda 127

157 Gambar 82. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 82 menunjukkan bahwa pada dosis KMnO 4 yang sama, perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH) 2 menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH) Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan KMnO 4 ) Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan nilai dari beberapa parameter kimia pada sentrat maupun endapan sebagai akibat proses fisik yang berbeda. Nilai TDS, kadar Ca dan Mn yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dibanding nilai dari ketiga parameter tersebut yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan. beberapa parameter kimia yang terdapat pada endapan. Hal sebaliknya terjadi pada nilai dari Kadar logam mikro maupun bahan organik yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih tinggi dibanding nilai dari parameter tersebut yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan pengocokan. Hal ini menunjukkan bahwa proses sentrifugasi pada lindi yang diberi perlakuan penambahan KMnO 4 lebih mampu mengendapkan logam-logam terlarut dan bahan organik dibanding proses pengocokan. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 36, Gambar 83 dan Gambar

158 Tabel 36. Nilai beberapa parameter kimia pada sentrat berdasarkan perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) Parameter Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 2692a 2722a ph 9,62a 9,54a Ca (ppm) 1,35a 1,59a Mn (ppm) 0,31a 0,53b Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Gambar 83. Kadar logam mikro dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) Gambar 84. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) 129

159 4.4.5 Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan KMnO 4 ) Hal terpenting dalam penentuan dosis KMnO 4 yang akan diterapkan dalam pembuatan pupuk cair dari lindi adalah nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Mn dan Ca yang ada pada sentrat setelah KMnO 4 atau kapur ditambahkan pada saat proses pengolahan. Nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat yang diinginkan adalah yang paling minimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan KMnO 4 pada dosis 0,01% baik tanpa maupun dengan penambahan kapur memberikan nilai TDS dan kadar Mn pada sentrat lebih rendah dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 pada dosis 0,02% maupun 0,03% (Gambar 70 dan Gambar 71). Pada perlakuan pemberian 0,01% KMnO 4 yang ditambahkan kapur (1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 ) menunjukkan kadar logam mikro essensial Cu, Zn dan Fe pada endapan lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian KMnO 4 0,02% atau 0,03%. Atas dasar hal tersebut, pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan dari perlakuan penambahan KMnO 4 yang dipilih untuk diaplikasikan pada percobaan rumah kaca adalah endapan yang dihasilkan dari perlakuan penambahan 0,01% KMnO 4 baik dengan atau tanpa penambahan 1000 ppm CaO Kadar Hara, E. coli dan Bahan Organik pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi Kelayakan pupuk cair yang dihasilkan dari lindi TPA sampah ditentukan oleh kadar hara makro dan hara mikro serta jumlah bakteri patogen yang terdapat di dalamnya. Jumlah bakteri patogen diindikasikan oleh jumlah E. coli. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan kadar hara makro, hara mikro dan jumlah E. coli yang terdapat pada endapan lindi dengan atau tanpa penambahan kapur maupun KMnO 4 yang diujicobakan pada percobaan rumah kaca serta kesesuaiannya dengan Standar Minimal Pupuk Cair yang telah ditetapkan Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 2003 seperti yang disajikan pada Tabel 37, 38 dan 39. Kadar hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) maupun kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) dalam edapan lindi yang dijadikan bahan pupuk cair masih berada di bawah Standar Minimal Pupuk Cair Organik yang ditetapkan Menteri Pertanian RI tahun 2003, sedangkan kadar E. coli tidak disebutkan dalam standar tersebut, namun kadar E. coli yang terdapat dalam bahan pupuk cair dari lindi masih berada di bawah standar mutu air baku untuk minum. 130

160 Tabel 37. Kadar hara makro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian Kadar Hara Makro dalam Endapan (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Organik Cair * N P K Ca Mg S Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk Lindi 6,23 12,32 87,33 97,46 91,06 8,42 Lindi disentrifugasi 121,42 31,43 845,68 393,60 264,50 16,80 Lindi dikocok 98,26 26,75 731,65 326,41 234,43 12,39 Lindi ppm CaO disentrifugasi 375,83 121,44 948, ,50 48,53 Lindi ppm CaO dikocok 324,54 97,76 827, ,98 37,52 Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 144,55 62, ,58 523,05 324,77 28,26 Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok 137,21 54, ,63 496,29 296,38 24,92 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 306,40 93, , ,10 897,50 39,23 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok 287,42 86,77 986, ,36 864,93 32,84 Lauxin Alami Kontanik Petrovita , Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003 N tidak disebutkan P 2 O 5 tidak disebutkan K 2 O tidak disebutkan Ntotal 20% P 2 O 5 < 8% K 2 O < 15% Total N, P 2 O 5 dan K 2 O 10% 131

161 Tabel 38. Kadar logam mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Kadar Logam Mikro (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Digunakan dalam Organik Cair * Penelitian Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk Lindi 0,13 0,45 4,91 11,00 0,03 0,11 0,28 Lindi disentrifugasi 9,66 12,52 165,58 261,65 12,88 7,02 2,17 Lindi dikocok 5,98 8,19 126,51 240,94 7,05 6,23 1,71 Lindi ppm CaO disentrifugasi Lindi ppm CaO dikocok 9,83 35,68 264,81 348,24 13,53 7,86 2,27 6,63 24,36 196,33 293,65 7,15 7,06 1,83 Zn < 2500 ppm Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok 13,75 19,28 435,27 316,76 13,96 9,09 1,98 7,79 12,96 418,21 258,87 9,93 8,23 2,17 Pb < 50 ppm Cd < 10 ppm Cu < ppm Cu < 2500 ppm Mn < 2500 ppm Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 16,72 39,42 429,25 362,82 16,25 9,62 2,43 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok 12,77 30,55 410,87 305,88 14,32 8,84 1,87 Lauxin 20,00 8,00 24, Fe < 400 pm Alami 85 30,00 85, Kontanik < 0, Petrovita ,22 57, Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/

162 Tabel 39. Kadar E. coli dan bahan organik yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan Kadar Logam Mikro dalam Endapan (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * dalam Penelitian Organik Cair * E. coli (MPN/100 ml) Bahan Organik (ppm) Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk Lindi Lindi disentrifugasi Lindi dikocok Lindi ppm CaO disentrifugasi Lindi ppm CaO dikocok Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003 C-organik 6% E. coli tidak disebutkan C-organik tidakdisebutkan E. coli tidak disebutkan C-organik tidak disebutkan E. coli tidak disebutkan 133

163 4.5 Hasil Percobaan Rumah Kaca Pemberian pupuk cair ditujukan untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang lebih baik dibanding tanpa pemberian bahan tersebut. Namun di lain pihak, pemberian pupuk cair sebagai pupuk daun yang mengandung logam mikro seperti halnya Pb, Cd dan Cr dapat menimbulkan kekhawatiran akan berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Hal ini dapat terjadi apabila pemberian bahan tersebut menyebabkan kadar logam mikro Pb, Cd dan Cr dalam bagian tanaman yang dikonsumsi manusia berada di atas ambang batas yang dapat ditoleransikan. Oleh karena itu, pemantauan terhadap kadar logam tersebut dalam bagian tanaman yang akan dikonsumsi manusia harus sangat diperhatikan. Hasil percobaan rumah kaca dengan mengaplikasikan pupuk cair berbahan dasar lindi maupun pupuk cair komersial sebagai pupuk daun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini diperlihatkan oleh tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah yang bervariasi dan berbeda nyata dibanding kontrol. Dari hasil percobaan ini juga didapatkan bahwa pengaplikasian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun ternyata tidak menyebabkan kadar beberapa logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan rumah kaca disajikan pada Tabel Lampiran 11, sedangkan nilai dari masing-masing parameter yang diperoleh dari percobaan rumah kaca akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang tidak diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 85 - Gambar 87, sedangkan hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95. Di antara pupuk cair yang tidak diperkaya dengan hara NPK menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan penambahan 1000 ppm CaO menunjukkan bobot brangkasan, bobot buah dan jumlah buah tertinggi. 134

164 Gambar 85. Bobot brangkasan dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Gambar 86. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) 135

165 Gambar 87. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Gambar 92 - Gambar 95 menunjukkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Data pada Tabel 40 menunjukkan bahwa pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot barngkasan, jumlah buah dan bobot buah) dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding kontrol. Tabel 40 juga memperlihatkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial juga nyata lebih tinggi dibanding kontrol dan tidak berbeda nyata dibanding tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pemberian 1000 CaO yang diperkaya dengan hara NPK maupun perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO 4 yang diperkaya dengan hara makro NPK. Jumlah parameter yang nyata berbeda maupun tidak berbeda nyata dibanding kontrol dari perlakuan-perlakuan yang dicobakan disajikan pada Tabel

166 Tabel 40. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial Perlakuan Tinggi Tanaman Bobot Brangkasan Jumlah Buah Bobot Buah Σ parameter yang Nyata Berbeda Dibanding Kontrol + NPK Kontrol 26,50 a 8,34 a 0,5 a 1,49 a NPK 27,75 ab 9,01 a 1,0 ab 3,32 ab - - Lindi S 28,50 abc 9,13 a 1,5 abc 4,67 ab - - Lindi P 28,00 ab 9,13 a 1,0 ab 3,36 ab - - Lindi S + NPK 31,50 bcde 12,82 abcd 2,5 abc 9,24 abcd 1 - Lindi P + NPK 31,00 bcde 12,42 abcd 2,5 abc 7,65 abc 1 - Lindi + CaO 1000 ppm S 29,00 abcd 12,29 abcd 2,5 abc 8,42 abcd - - Lindi + CaO 1000 ppm P 28,50 abc 10,92 abc 2,0 abc 6,21 ab - - Lindi + CaO 1000 ppm S + NPK 32,50 de 17,24 cd 7,0 e 24,23 g 4 4 Lindi + CaO 1000 ppm P + NPK 32,00 cde 16,37 bcd 5,0 de 17,71 defg 4 4 Lindi + KMnO 4 0,01% S 28,50 abc 10,75 abc 2,0 abc 6,32 ab - - Lindi + KMnO 4 0,01% P 28,50 abc 10,47 ab 1,5 abc 5,07 ab - - Lindi + KMnO 4 0,01% S + NPK 32,00 cde 15,79 bcd 3,5 cd 12,53 bcdef 4 3 Lindi + KMnO 4 0,01% P + NPK 31,50 bcde 14,26 abcd 3,0 bcd 9,83 abcde 2 - Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% S Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% P Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% S + NPK Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% P + NPK 29,00 abcd 11,58 abcd 2,5 abc 8,28 abcd ,50 abc 10,64 ab 1,5 abc 5,55 ab ,00 cde 16,77 bcd 6,5 e 22,39 fg ,00 cde 16,08 bcd 5,0 de 17,64 cdefg 4 4 Alami 32,50 de 16,59 bcd 6,0 e 19,68 efg 4 4 Lauxin 32,00 cde 16,93 bcd 3,0 cd 11,24 abcde 3 3 Petrovita 32,50 de 16,52 bcd 6,5 e 23,23 g 4 4 Kontanik 34,00 e 17,90 d 7,0 e 25,54 g 4 4 Ket : Angka yang diikuti oleh hiruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata dibanding kontrol pada taraf 1% S = Sentrifugasi P = Pengocokan Tabel 40 memperlihatkan bahwa diantara perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi, pertumbuhan (tinggi dan bobot brangkasan) dan produksi tanaman (jumlah buah dan bobot buah) tertinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol pada keempat parameter tersebut terdapat pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang disentrifugasi atau dikocok dan 137

167 diperkaya dengan hara NPK maupun pada perlakuan penambahan 1000 ppm CaO dan KMnO 4 0,01% yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK. Pada perlakuan penambahan KMnO 4 0,01% yang disentrifugasi dan diperkaya dengan hara NPK, parameter yang nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian NPK hanya untuk tiga parameter saja, yakni tinggi, bobot brangkasan dan jumlah buah. Pada perlakuan pemberian pupuk cair dari lindi (tanpa penambahan kapur atau KMnO 4 ) yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK, meskipun pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah) memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol, namun tiga dari keempat parameter tersebut yakni bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah belum menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding kontrol. Pada perlakuan tersebut hanya tinggi tanaman saja yang berbeda nyata dibanding kontrol. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO maupun pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO 4 menyamai pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial. Pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO maupun penambahan 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO 4 yang diberi perlakuan fisik sentrifugasi atau pengocokan mengandung hara makro N, P, Ca dan S tertinggi serta hara mikro seperti Cu, Zn, Mn dan Fe yang juga cukup tinggi (Tabel 37 dan Tabel 38). Apabila jumlah hara tersebut tercukupi, maka pertumbuhan dan produksi tanaman akan menjadi lebih baik. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol, juga lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding pertumbuhan dan produksi dari tanaman yang hanya diberi NPK (Tabel 40). Hal ini disebabkan pada pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ini, juga terdapat unsur hara makro NPK dan unsur hara mikro essensial yang lebih tinggi dibanding kedua perlakuan tersebut. Kadar hara makro NPK dan hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe pada pupuk cair komersial disajikan pada Tabel 41. Pada masing-masing pupuk cair komersial, jumlah unsur tersebut bervariasi. Akibat keberadaan hara NPK pada pupuk cair komersial lebih tinggi dilengkapi dengan hara mikro essensial pada pupuk cair komersial, maka kebutuhan tanaman akan unsur-unsur tersebut menjadi lebih terpenuhi dibanding kontrol. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), unsur N dibutuhkan tanaman dalam penyusunan 138

168 protein dan meningkatkan kadar selulosa, unsur P dibutuhkan tanaman untuk menyusun jaringan tanaman, pembentukan bunga dan organ untuk reproduksi, sedangkan unsur K dibutuhkan tanaman untuk pengembangan sel dan mengatur tekanan osmosis. Jenis dan jumlah unsur hara makro dan hara mikro yang terkandung pada masing-masing pupuk cair komersial yang digunakan pada penelitian ini bervariasi. Secara rinci, kadar unsur hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar hara makro maupun hara mikro yang terkandung dalam pupuk cair komersial disajikan pada Tabel

169 Tabel 41. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian Kadar Logam Mikro (ppm) N P K Ca Mg S Cu Zn Mn Fe Lindi 6,23 12,32 87,33 97,46 91,06 8,42 0,13 0,45 4,91 11,00 Lindi disentrifugasi 121,42 31,43 845,68 393,60 264,50 16,80 9,66 12,52 165,58 261,65 Lindi dikocok 98,26 26,75 731,65 326,41 234,43 12,39 5,98 8,19 126,51 240,94 Lindi ppm CaO disentrifugasi 375,83 121,44 948, ,50 48,53 9,83 35,68 264,81 348,24 Lindi ppm CaO dikocok 324,54 97,76 827, ,98 37,52 6,63 24,36 196,33 293,65 Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 144,55 62, ,58 523,05 324,77 28,26 13,75 19,28 435,27 316,76 Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok 137,21 54, ,63 496,29 296,38 24,92 7,79 12,96 418,21 258,87 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 306,40 93, , ,10 897,50 39,23 16,72 39,42 429,25 362,82 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok 287,42 86,77 986, ,36 864,93 32,84 12,77 30,55 410,87 305,88 Lauxin ,00 8,00 24,70 - Alami ,00 85,00 16 Kontanik < 0, Petrovita , ,22 57,

170 4.5.2 Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dihasilkan melalui Proses Fisik yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair yang diproses melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Gambar 88 - Gambar 91. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui proses fisik yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan yang ditunjukkan oleh jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses sentrifugasi lebih tinggi dibanding jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses pengocokan. Hal ini disebabkan pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui sentrifugasi mengandung hara makro dan hara mikro lebih tinggi dibanding kadar hara tersebut yang ada dalam bahan pupuk cair yang diolah melalui proses pengocokan mengakibatkan kebutuhan akan unsur-unsur tersebut pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses sentrifugasi lebih terpenuhi dibanding pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pengocokan. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Tabel

171 Gambar 88. Jumlah buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Gambar 89. Bobot buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan 142

172 Gambar 90. Tinggi tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Gambar 91. Bobot brangkasan tanaman dari perlakuan sentrifugasi atau pengocokan 143

173 Hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe, meskipun dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit, namun memiliki fungsi yang sangat vital. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), Cu berfungsi dalam metabolisme protein dan karbohidrat, Zn berfungsi untuk asimilasi CO 2 dan metabolisme N, Mn berfungsi untuk sintesis protein dan karbohidrat, sedangkan Fe berfungsi sebagai penyusun klorofil, protein maupun enzim dan berperanan dalam perkembangan kloroplas. Di lain pihak, unsur N, P, K, Ca, Mg dan S merupakan unsur hara makro essensial, unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak. Umumnya unsurunsur tersebut dibutuhkan tanaman untuk proses metabolisme. Menurut Novizan (2005), sebagai unsur hara essensial, Ca diperlukan tanaman untuk digunakan dalam proses metabolismenya dan fungsi Ca tidak dapat digantikan oleh unsur hara lainnya. Kekurangan unsur ini akan menyebabkan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang tidak semestinya Pengaruh Penambahan NPK pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Upaya memperkaya pupuk cair berbahan dasar lindi melalui penambahan hara makro NPK masing-masing sebesar 10% ternyata berpengaruh terhadap keempat parameter yang diukur (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah maupun bobot buah) yang ditunjukkan oleh nilai dari keempat parameter tersebut dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi dibanding tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa penambahan NPK. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan unsur hara makro NPK pada bahan pupuk cair yang berasal dari lindi memang sangat perlu karena NPK merupakan unsur hara makro essensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Fenomena tersebut juga mengindikasikan unsur NPK dalam bahan pupuk cair dari hasil olahan lindi kurang memadai untuk mencapai pertumbuhan tanaman yang lebih baik apabila dosis pemberian disamakan dengan pupuk cair komersial. Perbedaan pertumbuhan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan unsur hara NPK dengan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa NPK disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95, sedangkan gambaran visualnya disajikan pada Gambar 96 - Gambar

174 Gambar 92. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK Gambar 93. Bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK 145

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga berada di wilayah dengan curah hujan yang cukup tinggi, yakni sebesar 287,5 mm/bulan menyebabkan TPA sampah ini mampu menghasilkan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LINDI SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TPA SAMPAH LESTARI

PENGOLAHAN LINDI SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TPA SAMPAH LESTARI PENGOLAHAN LINDI SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TPA SAMPAH LESTARI Nurhasanah (nenganah@mail.ut.ac.id) Universitas Terbuka Latifah K. Darusman Surjono Hadi Sutjahjo Institut Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi Pengolahan lindi menjadi efluen yang aman untuk dibuang ke lingkungan dilakukan melalui proses aerasi dengan memberikan empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan dan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mil laut dengan negara tetangga Singapura. Posisi yang strategis ini menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. mil laut dengan negara tetangga Singapura. Posisi yang strategis ini menempatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Batam merupakan salah satu kota di Propinsi Kepulauan Riau yang perkembangannya cukup pesat yang secara geografis memiliki letak yang sangat strategis karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit Pencemaran air limbah sebagai salah satu dampak pembangunan di berbagai bidang disamping memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu peningkatan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DOMESTIK SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) KELURAHAN SEBENGKOK KOTA TARAKAN

EFEKTIVITAS INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DOMESTIK SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) KELURAHAN SEBENGKOK KOTA TARAKAN EFEKTIVITAS INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DOMESTIK SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) KELURAHAN SEBENGKOK KOTA TARAKAN Rizal 1), Encik Weliyadi 2) 1) Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Air limbah dari proses pengolahan kelapa sawit dapat mencemari perairan karena kandungan zat organiknya tinggi, tingkat keasaman yang rendah, dan mengandung unsur hara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik sludge 4.1.1. Sludge TPA Bantar Gebang Sludge TPA Bantar Gebang memiliki kadar C yang cukup tinggi yaitu sebesar 10.92% dengan kadar abu sebesar 61.5%.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Maret 2011 sampai dengan April 2011 di Laboratorium Pengelolaan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing :

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing : SKRIPSI Pengaruh Mikroorganisme Azotobacter chrococcum dan Bacillus megaterium Terhadap Pembuatan Kompos Limbah Padat Digester Biogas dari Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) Disusun Oleh: Angga Wisnu

Lebih terperinci

BAB V ANALISA AIR LIMBAH

BAB V ANALISA AIR LIMBAH BAB V ANALISA AIR LIMBAH Analisa air limbah merupakan cara untuk mengetahui karakteristik dari air limbah yang dihasilkan serta mengetahui cara pengujian dari air limbah yang akan diuji sebagai karakteristik

Lebih terperinci

PENGARUH UKURAN PARTIKEL BATU APUNG TERHADAP KEMAMPUAN SERAPAN CAIRAN LIMBAH LOGAM BERAT

PENGARUH UKURAN PARTIKEL BATU APUNG TERHADAP KEMAMPUAN SERAPAN CAIRAN LIMBAH LOGAM BERAT PENGARUH UKURAN PARTIKEL BATU APUNG TERHADAP KEMAMPUAN SERAPAN CAIRAN LIMBAH LOGAM BERAT Aditiya Yolanda Wibowo, Ardian Putra Laboratorium Fisika Bumi, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah memicu berbagai pertumbuhan di berbagai sektor seperti bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum sehingga merupakan modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian organik merupakan suatu kegiatan budidaya pertanian yang menggunakan bahan-bahan alami serta meminimalisir penggunaan bahan kimia sintetis yang dapat merusak

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM Mhd F Cholis Kurniawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN TESIS DAN MENGENAI SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT )

PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT ) PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT ) Pendahuluan Pupuk Organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di tengah era globalisasi ini industri pangan mulai berkembang dengan pesat. Perkembangan industri pangan tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH UDANG DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH UDANG DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH UDANG DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI Nurhasanah 1, Hedi Heryadi 2 Universitas Terbuka nenganah@ut.ac.id Abstrak Penelitian pembuatan pupuk cair dari limbah udang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Unsur Hara Lambang Bentuk tersedia Diperoleh dari udara dan air Hidrogen H H 2 O 5 Karbon C CO 2 45 Oksigen O O 2

Lebih terperinci

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas bahan uji dan bahan kimia. Bahan uji yang digunakan adalah air limbah industri tepung agar-agar. Bahan kimia yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui

Lebih terperinci

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. BAB I PENDAHULUAN I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. Sumber pencemaran lingkungan diantaranya

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK SKRIPSI DIPA ALAM VEGANTARA

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK SKRIPSI DIPA ALAM VEGANTARA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK SKRIPSI DIPA ALAM VEGANTARA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Pengaruh Sistem Open Dumping terhadap Karakteristik Lindi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Air Dingin Padang

Pengaruh Sistem Open Dumping terhadap Karakteristik Lindi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Air Dingin Padang Pengaruh Sistem Open Dumping terhadap Karakteristik Lindi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Air Dingin Padang Puti Sri Komala, Novia Loeis Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Andalas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkungan hidup, sampah merupakan masalah penting yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkungan hidup, sampah merupakan masalah penting yang harus BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam lingkungan hidup, sampah merupakan masalah penting yang harus mendapat penanganan dan pengolahan sehingga tidak menimbulkan dampak yang membahayakan. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan di bidang industri dan teknologi membawa kesejahteraan khususnya di sektor ekonomi. Namun demikian, ternyata juga menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan,

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat I NYOMAN SUKARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan sisa-sisa aktivitas manusia dan lingkungan yang sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Sampah sudah semestinya dikumpulkan dalam suatu tempat

Lebih terperinci

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O PERAN MIKROORGANISME AZOTOBACTER CHROOCOCCUM, PSEUDOMONAS FLUORESCENS, DAN ASPERGILLUS NIGER PADA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU Hita Hamastuti 2308 100 023 Elysa Dwi Oktaviana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia terhadap lingkungan adalah adanya sampah. yang dianggap sudah tidak berguna sehingga diperlakukan sebagai barang

BAB I PENDAHULUAN. manusia terhadap lingkungan adalah adanya sampah. yang dianggap sudah tidak berguna sehingga diperlakukan sebagai barang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan pembangunan semakin meningkat akibat semakin meningkatnya kebutuhan manusia. Hal ini menyebabkan aktivitas manusia dari waktu ke waktu terus bertambah dan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAKTERI Bacillus sp. dan Chromobacterium sp. UNTUK MENURUNKAN KADAR MINYAK NABATI DALAM AIR YEYEN EFRILIA

PENGGUNAAN BAKTERI Bacillus sp. dan Chromobacterium sp. UNTUK MENURUNKAN KADAR MINYAK NABATI DALAM AIR YEYEN EFRILIA PENGGUNAAN BAKTERI Bacillus sp. dan Chromobacterium sp. UNTUK MENURUNKAN KADAR MINYAK NABATI DALAM AIR YEYEN EFRILIA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

kimia lain serta mikroorganisme patogen yang dapat

kimia lain serta mikroorganisme patogen yang dapat 1 2 Dengan semakin meningkatnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan maka mengakibatkan semakin meningkatnya potensi pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan karena air limbah rumah sakit mengandung senyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat. dimana saja karena bersih, praktis, dan aman.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat. dimana saja karena bersih, praktis, dan aman. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan suatu unsur penting dalam kehidupan manusia untuk berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat konsumsi air minum dalam kemasan semakin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 TPA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 TPA II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 TPA Sampah dan Pembentukan Lindi Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah merupakan suatu tempat pembuangan sampah bagi penduduk kota. Setiap hari berbagai jenis sampah penduduk diangkut

Lebih terperinci

BAB 3 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK

BAB 3 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK BAB 3 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK 52 3.1 Karakteristik Air Limbah Domestik Air limbah perkotaan adalah seluruh buangan cair yang berasal dari hasil proses seluruh kegiatan yang meliputi limbah

Lebih terperinci

TARIF LINGKUP AKREDITASI

TARIF LINGKUP AKREDITASI TARIF LINGKUP AKREDITASI LABORATORIUM BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG BIDANG PENGUJIAN KIMIA/FISIKA TERAKREDITASI TANGGAL 26 MEI 2011 MASA BERLAKU 22 AGUSTUS 2013 S/D 25 MEI 2015 Bahan Atau Produk Pangan

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012). 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Air adalah salah satu kekayaan alam yang ada di bumi. Air merupakan salah satu material pembentuk kehidupan di bumi. Tidak ada satu pun planet di jagad raya ini yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia Sehat 2010 yang telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia yang penduduknya

Lebih terperinci

Teknik Lingkungan KULIAH 9. Sumber-sumber Air Limbah

Teknik Lingkungan KULIAH 9. Sumber-sumber Air Limbah Teknik Lingkungan KULIAH 9 Sumber-sumber Air Limbah 1 Pengertian Limbah dan Pencemaran Polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan menguntungkan untuk diusahakan karena

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

Hasil uji laboratorium: Pencemaran Limbah di Karangjompo, Tirto, Kabupaten Pekalongan Oleh: Amat Zuhri

Hasil uji laboratorium: Pencemaran Limbah di Karangjompo, Tirto, Kabupaten Pekalongan Oleh: Amat Zuhri Hasil uji laboratorium: Pencemaran Limbah di Karangjompo, Tirto, Kabupaten Pekalongan Oleh: Amat Zuhri Semua limbah yang dihasilkan home industry dibuang langsung ke sungai, selokan atau, bahkan, ke pekarangan

Lebih terperinci

GUNAKAN KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE SUMBER AIR

GUNAKAN KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE SUMBER AIR GUNAKAN KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE SUMBER AIR I. DATA PEMOHON Data Pemohon Baru Perpanjangan Pembaharuan/ Perubahan Nama Perusahaan Jenis Usaha / Kegiatan Alamat........

Lebih terperinci

PENGARUH SINAR ULTRA VIOLET (UV) UNTUK MENURUNKAN KADAR COD,TSS DAN TDS DARI AIR LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT T E S I S

PENGARUH SINAR ULTRA VIOLET (UV) UNTUK MENURUNKAN KADAR COD,TSS DAN TDS DARI AIR LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT T E S I S PENGARUH SINAR ULTRA VIOLET (UV) UNTUK MENURUNKAN KADAR COD,TSS DAN TDS DARI AIR LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT T E S I S Oleh: HERMANSYAH PSL/097004015 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Instansi yang paling banyak menghasilkan limbah salah satunya adalah rumah sakit. Limbah yang dihasilkan rumah sakit berupa limbah padat maupun limbah cair, mulai dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah cair Menurut PP No 82 tahun 2001 limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Limbah cair berasal dari dua jenis sumber yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan

Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan TEMU ILMIAH IPLBI 26 Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan Evelin Novitasari (), Edelbertha Dalores Da Cunha (2), Candra Dwiratna Wulandari (3) () Program Kreativitas Mahasiswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing,

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri rumah tangga yang sering dipermasalahkan karena limbahnya yang berpotensi mencemari lingkungan yang ada di sekitarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata pencaharian warga berada di bidang pertanian. Melihat kenyataan tersebut, kebutuhan akan pupuk untuk meningkatkan

Lebih terperinci

TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA

TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA Jl. M.T. Haryono / Banggeris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin besarnya laju perkembangan penduduk dan industrialisasi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Padatnya pemukiman dan kondisi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri pembuatan tahu dalam setiap tahapan prosesnya menggunakan air dengan jumlah yang relatif banyak. Artinya proses akhir dari pembuatan tahu selain memproduksi

Lebih terperinci

Jenis pengujian atau sifat-sifat yang diukur

Jenis pengujian atau sifat-sifat yang diukur LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM NO. LP-028-IDN Alamat Bidang Pengujian : Jl. Jend. Ahmad Yani No. 315, Surabaya 60234 Bahan atau produk Gaplek SNI 01-2905-1992 butir 7.1 Pati Serat Pasir/Silika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi. Air digunakan hampir di setiap aktivitas makhluk hidup. Bagi manusia, air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya perkembangan industri, semakin menimbulkan masalah. Karena limbah yang dihasilkan di sekitar lingkungan hidup menyebabkan timbulnya pencemaran udara, air

Lebih terperinci

Pengaruh Zeolit terhadap Logam Berat dan Bahan Kimia Terlarut pada Air Tanah: Studi Kasus Areal Permukiman Darmaga Bogor Jawa Barat

Pengaruh Zeolit terhadap Logam Berat dan Bahan Kimia Terlarut pada Air Tanah: Studi Kasus Areal Permukiman Darmaga Bogor Jawa Barat Pengaruh Zeolit Terhadap Logam Berat (Dwita Siallagan dan Suwardi) Pengaruh Zeolit terhadap Logam Berat dan Bahan Kimia Terlarut pada Air Tanah: Studi Kasus Areal Permukiman Darmaga Bogor Jawa Barat Dwita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan kandungan bahan-bahan berbahaya yang cukup tinggi, sehingga diperlukan suatu pengolahan sebelum dibuang

Lebih terperinci

Karakteristik Air Limbah

Karakteristik Air Limbah Karakteristik Air Limbah Prof. Tjandra Setiadi, Ph.D. Program Studi Teknik Kimia FTI Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Institut Teknologi Bandung Email: tjandra@che.itb.ac.id Fisik Karakteristik Air

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya alam merupakan bagian penting bagi kehidupan dan. keberlanjutan manusia serta makhluk hidup lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya alam merupakan bagian penting bagi kehidupan dan. keberlanjutan manusia serta makhluk hidup lainnya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya alam merupakan bagian penting bagi kehidupan dan keberlanjutan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun dalam pemanfaatannya, manusia cenderung melakukan

Lebih terperinci

Oleh: Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, M. T.

Oleh: Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, M. T. SIDANG SKRIPSI Peran Mikroorganisme Azotobacter chroococcum, Pseudomonas putida, dan Aspergillus niger pada Pembuatan Pupuk Cair dari Limbah Cair Industri Pengolahan Susu Oleh: Fitrilia Hajar Pambudi Khalimatus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sisa proses yang tidak dapat digunakan kembali. Sisa proses ini kemudian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. sisa proses yang tidak dapat digunakan kembali. Sisa proses ini kemudian menjadi BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Limbah merupakan buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga atau yang lebih dikenal sabagai sampah), yang kehadirannya

Lebih terperinci

SNI butir A Air Minum Dalam Kemasan Bau, rasa SNI butir dari 12

SNI butir A Air Minum Dalam Kemasan Bau, rasa SNI butir dari 12 LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM NO. LP-080-IDN Bahan atau produk yang Jenis Pengujian atau sifat-sifat yang Spesifikasi, metode pengujian, teknik yang Kimia/Fisika Pangan Olahan dan Pakan Kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG

PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG KURNIAWAN RIAU PRATOMO A14053169 MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang BAB II TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Air 2.1.1 Air Bersih Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang dinamakan siklus hidrologi. Air yang berada di permukaan menguap ke langit, kemudian

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tambah kecuali sekedar mempermudah sistem pembuangan. adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (ouput).

BAB I PENDAHULUAN. tambah kecuali sekedar mempermudah sistem pembuangan. adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (ouput). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah tersebut dapat

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRASI CaCo3 DAN KARBON AKTIF TERHADAP KUALITAS AIR DI DESA NELAYAN I KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRASI CaCo3 DAN KARBON AKTIF TERHADAP KUALITAS AIR DI DESA NELAYAN I KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA Vol 3 Nomor 1 Januari-Juni 2015 Jurnal Fropil PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRASI CaCo3 DAN KARBON AKTIF TERHADAP KUALITAS AIR DI DESA NELAYAN I KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA Endang Setyawati Hisyam

Lebih terperinci

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang OP-18 REKAYASA BAK INTERCEPTOR DENGAN SISTEM TOP AND BOTTOM UNTUK PEMISAHAN MINYAK/LEMAK DALAM AIR LIMBAH KEGIATAN KATERING Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. berturut turut disajikan pada Tabel 5.1.

BAB V HASIL PENELITIAN. berturut turut disajikan pada Tabel 5.1. 40 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian Aspek Teknis 5.1.1 Data Jumlah Penduduk Data jumlah penduduk Kabupaten Jembrana selama 10 tahun terakir berturut turut disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai usaha telah dilaksanakan oleh pemerintah pada akhir-akhir ini untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat

Lebih terperinci

PERBEDAAN KUALITAS AIR LINDI SEBELUM DAN SESUDAH PENGOLAHAN DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (Studi Kasus TPA Sampah Botubilotahu Kec. Marisa Kab.

PERBEDAAN KUALITAS AIR LINDI SEBELUM DAN SESUDAH PENGOLAHAN DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (Studi Kasus TPA Sampah Botubilotahu Kec. Marisa Kab. PERBEDAAN KUALITAS AIR LINDI SEBELUM DAN SESUDAH PENGOLAHAN DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (Studi Kasus TPA Sampah Botubilotahu Kec. Marisa Kab. Pohuwato) SUMARRY Ningsih Lasalutu Nim : 811409098 Jurusan Kesehatan

Lebih terperinci

Tingkat Toksisitas dari Limbah Lindi TPA Piyungan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus.

Tingkat Toksisitas dari Limbah Lindi TPA Piyungan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus. Tingkat Toksisitas dari Limbah Lindi TPA Piyungan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus., L) Oleh: Annisa Rakhmawati, Agung Budiantoro Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota besar, semakin banyak didirikan Rumah Sakit (RS). 1 Rumah Sakit sebagai sarana upaya perbaikan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN LUMPUR IPAL PT. KELOLA MINA LAUT UNTUK PUPUK TANAMAN

STUDI PEMANFAATAN LUMPUR IPAL PT. KELOLA MINA LAUT UNTUK PUPUK TANAMAN STUDI PEMANFAATAN LUMPUR IPAL PT. KELOLA MINA LAUT UNTUK PUPUK TANAMAN Oleh : Galuh Paramita Astuty 3307.100.008 Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Nieke Karnaningroem, M.Sc Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Surabaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP Lutfi Noorghany Permadi luthfinoorghany@gmail.com M. Widyastuti m.widyastuti@geo.ugm.ac.id Abstract The

Lebih terperinci