HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi Pengolahan lindi menjadi efluen yang aman untuk dibuang ke lingkungan dilakukan melalui proses aerasi dengan memberikan empat laju alir udara yang berbeda (0 liter/menit, 10 liter/menit, 30 liter/menit dan 70 liter/menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi yang berasal dari kran atas menunjukkan kualitas lebih baik dibanding sebelumnya. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan polutan dari lindi terjadi pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi 70 liter/menit. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 2 - Tabel Lampiran Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD 5, COD, E. coli, NH 3 dan Sulfida Pengolahan aerasi merupakan cara tradisional dalam pengolahan lindi. Cara ini efektif dalam menghilangkan pencemar organik terlarut yang terdapat dalam lindi (Abbas et al., 2009). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD 5 yang ada dalam lindi mengalami penurunan. Besar penurunan tiap jam dari masing-masing laju aerasi sebagaimana disajikan pada Gambar 13 dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD 5 keempat laju aerasi disajikan pada Gambar 14. dari Gambar 13. Fluktuasi nilai BOD 5 pada 4 taraf laju aerasi 56

2 Gambar 13 memperlihatkan bahwa perlakuan dengan laju aerasi tertinggi (70 liter/menit) menyebabkan BOD 5 mengalami penurunan yang drastis dan mencapai nilai terendah (73,12 ppm) dalam waktu yang paling singkat yakni pada jam ke 2. Pada laju aerasi 30 liter/menit, BOD 5 minimum (81,36 ppm) dicapai pada jam ke 5, sedangkan pada perlakuan dengan laju aerasi 10 liter/menit dan 0 liter/menit, nilainilai BOD 5 pada jam ke 2 dan jam ke 5 masih jauh lebih tinggi dibanding nilai BOD 5 pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai BOD 5 terdapat pada perlakuan pemberian udara dengan laju aerasi 70 liter/menit (Gambar 14). Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa laju aerasi berpengaruh terhadap laju penurunan nilai BOD 5. Metcalf dan Eddy (2003) mengemukakan bahwa penghilangan BOD5 terjadi sebagai akibat degradasi bahan organik oleh mikroorganisme menjadi zatzat lain yang lebih sederhana. Disamping itu, menurut Park et al. (2004), penurunan BOD 5 juga dapat disebabkan bahan organik terlarut dapat teroksidasi langsung akibat keberadaan oksigen. Gambar 14. Efektivitas penurunan BOD 5 (%) dari masing-masing laju aerasi 57

3 Perhitungan terhadap laju penguraian BOD 5 pada empat taraf laju aerasi dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983)) dengan hasil disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Laju penguraian BOD 5 (k) tiap jam pada 4 tingkat laju aerasi Gambar 15 memperlihatkan bahwa perlakuan pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit selalu mempunyai laju penguraian BOD 5 tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan pemberian udara dengan laju 30 liter/menit dan 10 liter/menit. Laju penguraian BOD 5 pada perlakuan tanpa aerasi memiliki nilai terendah. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Shofuan (1996) yang melakukan penelitian dengan mengolah limbah cair dari rumah sakit di Jakarta dengan menerapkan beberapa tekanan aerasi yang berbeda mendapatkan bahwa tekanan aerasi berpengaruh terhadap penurunan nilai BOD 5. Berdasarkan hasil penelitiannya, laju penurunan BOD 5 (k) tertinggi terjadi pada tekanan aerasi 2 atm yang dilakukan selama 5 jam, yakni sebesar 0,4465. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), nilai k dalam kondisi normal berkisar antara 0,05 0,3 per hari. 58

4 Laju penguraian BOD 5 dari pengolahan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit selama 4 jam ternyata hampir mendekati nilai laju penguraian BOD 5 dengan menggunakan aerasi bertekanan 2 atm yang dilakukan Shofuan (1996) yakni 0,4587 (Gambar 15). Bila mengacu pada pendapat Peterson dan Cummin dalam Goldman dan Horne (1983) seperti pada Tabel 26, maka perlakuan dengan laju aerasi 70 liter/menit, 30 liter/menit dan 10 liter/menit tergolong cepat mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6. Tabel 26. Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD 5 Nilai k Kriteria > 0,01 Cepat 0,005-0,01 Moderat < 0,005 Lambat Sumber : Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983) Di dalam limbah cair yang diproses melalui cara aerasi, mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak karena di dalam bahan yang diproses ada makanan bagi mikroorganisme pengurai yang bersifat aerobik ataupun fakultatif berupa bahan organik yang biodegradable (BOD 5 ). Proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme membutuhkan oksigen yang cukup (Sugiharto, 1987). Oleh karenanya, selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD 5 menjadi berfluktuasi setiap saat sebagai akibat bahan tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Bahan organik (BOD 5 ) dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi sel-sel tubuh maupun senyawa lain yang relatif tidak berbahaya dan sebagian lagi menjadi bahan yang mudah menguap, diantaranya CO 2. Pemanfaatan bahan organik dalam limbah cair yang diproses menjadi sel-sel tubuh mikroorganisme mengakibatkan jumlah mikroorganisme dalam limbah cair tersebut juga mengalami fluktuasi. Nilai MLVSS sering dijadikan sebagai petunjuk tidak langsung jumlah mikroorganisme yang berada dalam bahan yang diproses. Nilai ini penting diketahui untuk mendapatkan saat mikroorganisme berada dalam jumlah maksimal, terutama untuk dijadikan sebagai sumber lumpur aktif yang akan dimasukkan ke dalam tangki pemrosesan yang akan digunakan dalam proses pengolahan berikutnya dengan tujuan agar pengolahan berikutnya menjadi lebih cepat dalam volume tertentu. Fluktuasi nilai MLVSS selama 6 jam proses aerasi yang diperoleh dari hasil percobaan disajikan pada Gambar

5 Gambar 16. Fluktuasi nilai MLVSS pada 4 taraf laju aerasi Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai MLVSS dari perlakuan pemberian udara dengan laju 70 liter/menit mencapai maksimal (2166 mg/l) terjadi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding perlakuan lain yakni pada jam ke 2, sedangkan pada laju aerasi 30 liter/menit dicapai pada jam ke 5 (2029 mg/l). Pada laju aerasi 10 liter/menit nilai MLVSS masih di bawah nilai MLVSS dari perlakuan 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit, nilai MLVSS maksimum dan nilai BOD 5 minimum tercapai pada waktu yang sama (Gambar 13 dan Gambar 16). Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara nilai MLVSS (jumlah mikroorganisme) dengan jumlah makanan yang tersisa (BOD 5 ). Informasi ini penting artinya dalam menentukan waktu saat proses aerasi sebaiknya dihentikan apabila hanya BOD 5 saja yang menjadi target untuk dihilangkan dalam proses pengolahan lindi dan akan memanfaatkan lindi yang diproses pada saat tersebut sebagai bahan lumpur aktif. Pada dasarnya, proses pengolahan limbah cair dengan cara memberikan udara pada laju yang tinggi ke dalam air limbah ditujukan untuk meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam bahan yang diproses. Oksigen penting artinya karena oksigen diperlukan dalam jumlah cukup agar mikroorganisme aerobik maupun fakultatif aktif dalam mendegradasi bahan pencemar yang biodegradable. Semakin tinggi laju aerasi membuat oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi polutan yang biodegdradable menjadi semakin terpenuhi dan tidak menjadi faktor pembatas bagi 60

6 mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak dibanding pada proses pengolahan yang dilakukan dengan memberikan udara pada laju yang lebih rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian udara menyebabkan oksigen terlarut (dissolve oxygen (DO)) pada lindi menjadi meningkat (Gambar 17). Gambar 17. Fluktuasi nilai DO pada 4 taraf laju aerasi Gambar 17 memperlihatkan bahwa laju aerasi 70 liter/menit memberikan sumbangan terhadap peningkatan DO yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding laju aerasi 30 liter/menit,10 liter/menit dan tanpa aerasi (0 liter/menit). Hal ini pula yang menyebabkan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan bahan organik yang non biodegradable (COD) dengan tingkat efektifitas tertinggi (74,53%) dibanding perlakuan dengan laju aerasi yang lebih rendah (30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit) (Gambar 18 dan Gambar 19). Menurut Park et al. (1994), suplai udara yang tinggi dapat berperan dalam oksidasi secara langsung bahan-bahan organik yang non biodegradable sehingga dapat menurunkan kandungan COD dalam air limbah. 61

7 Gambar 18. Nilai COD pada jam ke 6 Gambar 19. Efektivitas penurunan COD pada jam ke 6 Kenaikan konsentrasi oksigen sebagai akibat pemberian udara dengan laju yang tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang toksik terhadap proses enzimatik metabolisme bakteri anaerob sehingga mengakibatkan pertumbuhan bakteri anaerob yang umumnya merupakan bakteri patogen menjadi terhambat (Park et al., 1994). Hal ini ditunjukkan oleh jumlah E. coli (bakteri yang umum digunakan 62

8 sebagai petunjuk keberadaan bakteri patogen) yang semakin rendah dengan meningkatnya laju aerasi. Pada proses pengolahan dengan laju aerasi 70 liter/menit selama 6 jam ternyata mampu menyebabkan nilai E. coli terendah (450 MPN/100 ml) (Gambar 20) dengan efektifitas penghilangan E. coli tertinggi (66,49%) dan berbeda nyata dibanding perlakuan dengan laju aerasi 30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit (Gambar 21). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Seaman et al. (2009) yang mendapatkan bahwa E. coli dan Salmonella spp berkurang akibat proses aerasi. Park et al. (1994) mengemukakan bahwa pemberian udara pada laju yang tinggi menyebabkan pembentukan radikal bebas berupa anion superoksida (O - 2 ) yang dalam air akan bereaksi membentuk hidrogen peroksida (H 2 O 2 ). H 2 O 2 disamping sebagai oksidator kuat, juga mempunyai sifat desinfektan. Gambar 20. Nilai E. coli pada jam ke 6 63

9 Gambar 21. Efektivitas penurunan E. coli pada jam ke 6 Selain BOD 5, COD dan E. coli sebagai sumber masalah dan sering terdapat dalam lindi, maka NH 3 juga merupakan sumber masalah. Oleh karenanya, NH 3 harus ditekan jumlahnya. NH 3 dalam lindi dapat berasal dari degradasi biologi asam amino maupun nitrogen organik. Secara individu atau berikatan dengan senyawa lain, NH 3 dapat berpengaruh terhadap toksisitas lindi (Clement et al., 1993). NH 3 merupakan racun utama bagi kehidupan akuatik (Kurniawan et al., 2006). Pada konsentrasi 0,43 ppm hingga 2,1 ppm, NH 3 sudah dapat mematikan Ciprinus carpio (Hasan dan Machintosh, 1986). Bahan lain yang juga dapat menjadi masalah bagi lingkungan adalah sulfida. Bahan ini juga menjadi penyebab bau busuk yang menyengat sama seperti halnya dengan NH 3. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah NH 3 dan sulfida sebagai akibat proses aerasi selama 6 jam mengalami penurunan (Gambar 22 dan Gambar 23) dengan efektifitas penurunan NH 3 dan sulfida dari masing-masing laju aerasi seperti yang disajikan pada Gambar 24. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), penurunan kedua bahan polutan ini disebabkan suplai oksigen ke dalam air limbah mampu mengaktifkan bakteri yang memanfaatkan NH 3 dan sulfida menjadi bahan lain yang kurang berbahaya sehingga menyebabkan kedua bahan tersebut menjadi berkurang. Selain itu, menurut Achmad (2004), proses aerasi juga dapat menyebabkan terjadi oksidasi langsung terhadap NH 3 dan sulfida menjadi nitrat dan sulfat. 64

10 Hasil penelitian ini mendapatkan konsentrasi NH 3 pada efluen yang dihasilkan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit sebesar 2,33 ppm. Konsentrasi tersebut masih bersifat toksik bagi kehidupan akuatik. Oleh karena itu, pada efluen ini perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan jumlah NH 3 yang masih ada. Salah satu caranya dengan menggunakan zeolit agar NH 3 dapat dijerap karena menurut Sutarti dan Rachmawati (1994) zeolit memiliki afinitas yang tinggi terhadap NH 3. Gambar 22. Kadar amoniak (NH 3 ) pada jam ke 6 Gambar 23. Kadar sulfida pada jam ke 6 65

11 Gambar 24. Efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida pada jam ke 6 Gambar 22 dan Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada lama aerasi yang sama (pada jam ke 6), semakin tinggi laju aerasi akan menyebabkan jumlah NH 3 dan sulfida pada efluen semakin rendah. Perbedaan kemampuan dalam menurunkan jumlah NH 3 dan sulfida tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam mensuplai oksigen ke dalam limbah cair yang diproses. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, suplai oksigen lebih besar dibanding pada laju aerasi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan pemanfataan NH 3 dan sulfida oleh bakteri menjadi lebih besar pula. Selain itu, pada laju aerasi yang tinggi, proses oksidasi secara langsung baik pada NH 3 maupun sulfida menjadi nitrat dan sulfat juga berjalan lebih cepat dibanding pada laju aerasi yang rendah. Proses aerasi menyebabkan amoniak (NH 3 ) menjadi nitrat, sulfida menjadi sulfat (SO 2-4 ) dan bahan organik yang mengandung phosphor akan diubah menjadi phosphat. Sebagai produk yang dihasilkan dari proses aerasi, nitrat, sulfat maupun phosphat relatif tidak berbahaya bagi kehidupan aquatik. Secara rinci, gambaran reaksi perubahan NH 3 dan sulfida dikemukakan Achmad (2004) sebagai berikut: NH 4 + NH NH 4 + 2O H NO 3 + H 2 O 2-4FeS + 9O H 2 O Fe(OH) 3 + SO 4 + 8H + 66

12 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lindi yang diberi perlakuan pemberian udara cenderung memiliki kandungan nitrat, sulfat dan phosphat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan yang tidak diberi udara (Gambar 25, 26 dan 27). Gambar 25. Kadar nitrat (NO 3 - ) pada jam ke 6 Gambar 26. Kadar sulfat (SO 4 2- ) pada jam ke 6 67

13 Gambar 27. Kadar fosfat pada jam ke 6 Uraian di atas menunjukkan bahwa pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju yang tinggi memberikan suatu keuntungan dengan semakin berkurang bahanbahan yang bersifat toksik pada efluennya, diantaranya: BOD 5, COD, NH 3 dan sulfida dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding apabila pengolahan dilakukan dengan pemberian udara pada laju yang lebih rendah Pengaruh Laju Aerasi terhadap Total Disolve Solid (TDS), ph dan Logam Terlarut Efektivitas penghilangan polutan lindi merupakan fungsi dari besarnya laju aerasi dan lama aerasi. Fenomena ini terkait dengan perubahan populasi bakteri yang mendegradasi polutan yang ada pada lindi. Semakin meningkat laju aerasi dan semakin lama aerasi akan menyebabkan semakin banyak populasi bakteri pendegradasi hingga akhirnya semakin banyak pula jumlah polutan yang dapat diubah ke dalam bentuk yang tidak toksik (Attar, Bina dan Moeinian, 2005). Besarnya perubahan kadar polutan pada lindi dapat dideteksi oleh nilai TDS. Nilai TDS biasa dijadikan sebagai indikator kadar polutan baik organik maupun anorganik yang masih ada dalam lindi yang diproses (Khoury et al., 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai TDS terus mengalami penurunan dan penurunan nilai TDS tiap jam makin besar pada laju aerasi yang makin besar. Hal ini mengindikasikan selama aerasi berlangsung, polutan organik maupun anorganik terus berkurang. Nilai TDS tiap jam dari masing-masing laju aerasi disajikan pada Gambar

14 Gambar 28. Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi Pada jam ke 6, nilai TDS terendah didapatkan pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi 70 liter/menit yakni sebesar 2850 ppm dengan efektivitas penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut terbesar dan nyata berbeda dari perlakuan lainnya yakni sebesar 12,83% (Gambar 28 dan Gambar 29). Gambar 29. Efektivitas penurunan nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi 69

15 Perbedaan nilai TDS sebagai akibat pemberian udara pada laju yang berbeda berkaitan dengan perbedaan jumlah bahan padatan terlarut yang dapat diendapkan. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah kandungan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada efluen yang diambil dari kran atas dan kran bawah setelah lindi diaerasi selama 6 jam (Gambar 30 - Gambar 33). Gambar 30. Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 Gambar 31. Kadar Mn dan Fe pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 70

16 Gambar 32. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 Gambar 33. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 71

17 Tabel 27. Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan kran bawah pada jam ke 6 Jenis Selisih Kadar Logam Mikro antara Kran Atas dan Kran Bawah (ppm) Logam 0 liter/menit 10 liter/menit 30 liter/menit 70 liter/menit Cu 0,005a 0,018ab 0,039b 0,104c Zn 0,005a 0,016a 0,042a 0,380b Mn 0,073a 0,962ab 2,22b 4,670c Fe 1,215a 3,230a 6,135b 8,615b Pb 0,002a 0,003a 0,005a 0,009a Cd 0,006a 0,022ab 0,048b 0,080c Cr 0,016a 0,063ab 0,120b 0,234c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Logam menjadi berkurang pada efluen yang berasal dari kran atas dan makin meningkat jumlahnya di bagian bawah. Hal ini menunjukkan terjadi pengendapan logam terlarut akibat proses aerasi. Pada perlakuan dengan laju aerasi yang lebih besar, selisih jumlah logam terlarut antara efluen yang dikeluarkan dari kran atas dan bawah menjadi semakin besar (Tabel 27). suasana menjadi lebih oksidatif. Menurut Park et al., (1994), proses aerasi dapat menyebabkan Selanjutnya Suriawiria (1993) mengemukakan bahwa suasana yang lebih oksidatif dapat menyebabkan logam terlarut menjadi mengendap. Manahan (2005) menggambarkan reaksi dari proses pengendapan besi dalam pengolahan air limbah melalui cara aerasi sebagai berikut. 4Fe 2+ + O H 2 O Fe(OH) 3 (s) + 8H + Menurut Achmad (2004), reaksi tersebut dikatalisis oleh bakteri besi thiobacillus ferroxidans. Selama proses aerasi berlangsung, ph juga terus mengalami peningkatan. Dari proses aerasi yang dilakukan selama 6 jam, ph tertinggi (9,05) terdapat pada perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit (Gambar 34). 72

18 Gambar 34. ph tiap jam pada empat laju aerasi Peningkatan ph yang semakin tinggi sebagai akibat pemberian udara pada laju yang semakin besar berkaitan dengan perubahan senyawa yang bersifat asam yang ada dalam limbah cair yang diproses menjadi senyawa yang lebih basa seperti yang digambarkan oleh Achmad (2004) sebagai berikut. O 2 + H 2 O OH - CO 2 + OH HCO 3 - HCO 3 + OH CO 3 H 2 S + OH HS - + H 2 O Jumlah logam terlarut yang lebih rendah pada efluen yang dikeluarkan dari kran atas dibanding jumlah logam terlarut pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah akibat aerasi, juga berkaitan dengan terjadinya peningkatan ph pada lindi yang diproses. Menurut Hardjowigeno (2010), dalam kondisi ph yang lebih rendah, logam berada dalam kondisi terlarut; sedangkan apabila ph mengalami kenaikan, maka logam terlarut akan bereaksi dengan OH - membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan senyawa besi dan mangan hidroksida yang mudah mengendap akibat proses aerasi seperti yang digambarkan Ahmad (2004) sebagai berikut. 4Fe(HCO 3 ) 2 + O 2 + H 2 O Fe(OH) 3(s) + 8CO 2 2Mn(HCO 3 ) 2 + O MnO 2(s) + 4CO 2 + 2H 2 O 73

19 Logam terlarut terutama yang dalam keadaan bebas dapat bersifat toksik (Vigneault dan Campbell, 2005). Hal ini berarti peningkatan ph akibat aerasi dapat memberikan dampak positif karena logam terlarut yang lebih bersifat toksik akan berkurang akibat pengendapan sehingga efluen yang dihasilkan menjadi lebih aman dialirkan ke lingkungan. Sebaliknya, pada endapan karena mengandung kadar logam yang lebih tinggi, maka endapan ini menjadi lebih berpotensi untuk dijadikan pupuk cair. Secara visual perbedaan efluen yang berasal dari kran atas dari ke 4 laju aerasi disajikan pada Gambar l/mnt 30 l/mnt 10 l/mnt 0 l/mnt Anaerobik Gambar 35. Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui empat tingkat laju aerasi 4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa Pengolahan lanjutan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda (5-10 mesh, mesh, mesh) memberikan efektivitas yang berbeda dalam menurunkan polutan lindi. Secara umum, efluen yang telah melewati zeolit menunjukkan kualitas yang lebih baik dibanding bila pengolahan hanya dilakukan dengan cara aerasi saja. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 6. 74

20 Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi 70 liter/menit yang dilewatkan melalui zeolit memperlihatkan kualitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini terlihat dari nilai TDS, NH 3, sulfida dan kadar logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) serta bahan organik (BOD dan COD) pada efluen yang telah melewati zeolit mengalami penurunan. Secara rinci, hasil percobaan ini akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS Nilai TDS pada efluen yang dilewatkan melalui zeolit lebih rendah dibanding nilai TDS pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Hal ini ditunjukan oleh penurunan nilai TDS setelah efluen hasil aerasi 70 liter/menit dilewatkan melalui zeolit (Gambar 36). Penurunan nilai TDS ini terjadi karena sejumlah bahan terlarut mampu ditahan oleh zeolit. Penurunan nilai TDS pada ketiga efluen menunjukkan bahwa pada awal penuangan nilai TDS akan mengalami penurunan hingga pada volume tertentu untuk kemudian nilai TDS akan meningkat kembali sebagai akibat kompleks jerapan maupun ruang pori zeolit mulai dijenuhi oleh polutan. Nilai TDS dari penuangan ke 1 hingga ke 40 pada efluen dari zeolit berukuran mesh menunjukkan nilai terendah. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit ukuran mesh paling efektif dalam menurunkan polutan lindi. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai TDS dari zeolit berukuran mesh terdapat pada penuangan ke 20, yakni sebesar 30,70% (Gambar 37). Gambar 36. Nilai TDS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 75

21 Gambar 37. Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit Zeolit ukuran kasar (5 10 mesh atau mesh) secara fisik kurang efektif dalam penyaringan karena ada bahan yang tidak mengalami penyaringan dibandingkan zeolit yang lebih halus (20 30 mesh) sehingga menyebabkan kemampuan menurunkan polutan dari zeolit berukuran lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) menjadi lebih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang lebih kasar lebih tinggi dibanding nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran lebih halus. Kemampuan yang lebih tinggi dari zeolit berukuran partikel mesh dalam menurunkan nilai TDS dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh juga berkaitan dengan kapasitas tukar kation (KTK) dari zeolit berukuran mesh yang lebih tinggi dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh (Tabel 28). Menurut Tan (1993), KTK berkaitan dengan kemampuan dalam menukar ion. Tabel 28. KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian Ukuran Partikel Zeolit KTK (me/100 g) 5 10 mesh 66,65a mesh 100,15a mesh 157,92b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. 76

22 Selain berkaitan dengan kemampuan zeolit dalam menjerap polutan terlarut, KTK juga berkaitan dengan kemampuan dalam menjerap air. Semakin tinggi KTK, semakin tinggi pula kemampuan zeolit dalam menjerap molekul air. Hal ini pula yang menyebabkan jumlah efluen yang mampu melewati zeolit berukuran partikel lebih halus (20 30 mesh) pada saat-saat awal penuangan lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) (Gambar 38). Gambar 38. Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit (volume bahan yang dialirkan 150 ml) Gambar 38 memperlihatkan bahwa setiap kali penuangan (penuangan pertama hingga penuangan keenam), jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran mesh lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh. Pada zeolit berukuran partikel 5 10 mesh, jumlah lindi yang dituangkan ke zeolit (150 ml) baru akan sama dengan jumlah efluen yang keluar melalui zeolit tersebut pada penuangan keempat. Pada zeolit berukuran partikel mesh, jumlah efluen baru akan sama dengan jumlah lindi yang masuk ke media filter tersebut pada penuangan keenam, sedangkan pada zeolit berukuran partikel mesh, jumlah lindi yang masuk ke zeolit dan keluar sebagai efluen baru akan sama pada penuangan ketujuh. 77

23 Fenomena tersebut menunjukkan bahwa zeolit berukuran partikel lebih halus (20 30 mesh) nyata memiliki kemampuan menjerap air lebih tinggi dibanding zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 10 mesh atau mesh). Air dapat dijerap oleh zeolit dikarenakan zeolit memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Kadar NH 3, Sulfida, BOD 5 dan COD Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit ternyata masih menyisakan NH 3 sebesar 2,33 ppm dan sulfida 1,17 ppm pada efluennya. Namun setelah efluen tersebut dilewatkan melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda, ketiga efluennya menunjukkan kadar NH 3 dan sulfida lebih rendah dibanding sebelum dilewatkan melalui zeolit (tanpa zeolit) (Gambar 39). Hal ini menunjukkan bahwa zeolit mampu menurunkan NH 3 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Adapun efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida dari masing-masing ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 40. Gambar 39. Kadar NH 3 dan sulfida pada efluen setelah melewati zeolit Gambar 39 memperlihatkan bahwa kadar NH 3 dan sulfida terendah terdapat pada efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel mesh, yakni 1,07 ppm dan 0,82 ppm; sedangkan Gambar 40 menunjukkan bahwa efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH 3 dan sulfida yang tersisa, juga terdapat pada zeolit berukuran partikel mesh, yakni sebesar 53,73% dan 30,02%. 78

24 Gambar 40. Efektivitas penurunan NH 3 dan sulfida pada masing-masing ukuran partikel zeolit Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 mesh 30 mesh) lebih mampu dan memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH 3. Kemampuan ini juga berkaitan erat dengan kapasitas tukar kation (KTK) zeolit pada ukuran mesh lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar (10 20 mesh atau 5 10 mesh). Penjerapan NH 3 oleh zeolit terjadi melalui proses pertukaran dengan ion yang dijerap sebelumnya. Di lain pihak, pada zeolit berukuran mesh, karena ukuran partikel pada zeolit tersebut lebih kecil dibanding zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh menyebabkan jumlah senyawa sulfida yang terperangkap dalam poripori zeolit tersebut menjadi lebih banyak. Hal ini ditunjukkan oleh kadar sulfida dalam efluen setelah melewati zeolit berukuran mesh lebih rendah dibanding kadar sulfida yang terdapat pada efluen yang melewati zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh. Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan NH 3, Suyartono dan Husaini (1991) mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung NH 3 sebesar 0,3 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, kadar NH 3 berkurang menjadi 0,02 ppm. Disamping mempunyai kemampuan menurunkan NH 3 79 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit, zeolit ternyata juga mampu menurunkan BOD 5 dan COD yang masih tersisa. Hal ini ditunjukan oleh nilai BOD 5 dan COD pada efluen setelah dilewatkan pada zeolit dari ketiga ukuran

25 partikel lebih rendah dibanding sebelumnya (tanpa zeolit) (Gambar 41). Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 30 mesh) lebih mampu menurunkan nilai BOD 5 dan COD yang masih tersisa dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar ( 5 10 mesh atau mesh). Demikian halnya dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD 5 dan COD yang masih tersisa, efektivitas tertinggi dalam menurunkan kedua bahan ini juga terjadi pada zeolit berukuran mesh yakni 47,96% dan 50,15% (Gambar 42). Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan COD, Suyartono dan Husaini (1991) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung COD sebesar 20,82 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, 10 hari dan 30 hari, kadar COD berkurang berturut-turut menjadi 10,62 ppm, 6,72 ppm dan 4,79 ppm. Gambar 41. Kadar BOD 5 dan COD pada efluen setelah melewati zeolit 80

26 Gambar 42. Efektivitas penurunan BOD 5 dan COD pada masing-masing ukuran partikel zeolit Kemampuan yang tinggi dari zeolit berukuran lebih halus dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar dalam menurunkan nilai BOD 5 dan COD dari limbah cair berkaitan erat dengan ukuran partikel yang lebih halus yang menyebabkan ukuran rongga menjadi lebih kecil dibanding partikel yang berukuran lebih kasar. Semakin kecil ukuran rongga, maka zeolit akan semakin mampu menyaring polutan yang lewat. Selain lebih mampu menurunkan NH 3, sulfida, BOD 5 dan COD; ternyata zeolit berukuran partikel mesh juga lebih mampu menurunkan E. coli dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh seperti yang ditunjukan oleh data yang dihasilkan pada penelitian ini sebagai berikut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Husaini (1993) yang juga mendapatkan bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan E. coli dari limbah cair yang diproses Nilai E. coli (MPN/10 ml Tanpa zeolit mesh mesh mesh Efektivitas Penurunan E. coli ( ,5 22, m esh m esh m esh Penggunaan Zeolit Penggunaan Zeolit Gambar 43. Nilai E. coli pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit Gambar 44. Efektivitas penurunan nilai E. coli dari ketiga ukuran partikel zeolit 81

27 4.2.3 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Penurunan Logam Terlarut dan ph Kemampuan zeolit dalam menukar ion menyebabkan zeolit sering dimanfaatkan dalam menurunkan bau yang disebabkan oleh amoniak (NH 3 ) dan sulfida yang terdapat dalam limbah cair. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Zorpas et al. (2000), zeolit juga dapat menurunkan kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dalam air limbah. Sebagian dari logam-logam tersebut seperti Cu, Zn, Mn dan Fe merupakan hara mikro bagi tanaman. Zeolit yang digunakan dalam penelitian ini dimanfaatkan untuk menjerap logam-logam tersebut yang masih ada pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit agar dihasilkan efluen yang lebih aman dialirkan ke lingkungan dengan jumlah logam terlarut yang lebih rendah. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa logam terlarut yang masih tersisa di dalam efluen hasil olahan aerasi dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam ternyata masih mampu diturunkan lagi dengan cara melewatkannya melalui zeolit. Kadar beberapa logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada masing-masing efluen setelah efluen tersebut melewati zeolit yang berbeda ukuran partikelnya disajikan pada Tabel 29, sedangkan efektivitas dari penurunan logam terlarut dari ketiga ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 45. Tabel 29. Kadar beberapa logam terlarut pada efluen hasil olahan aerasi setelah efluen dilewatkan melalui zeolit Kadar logam terlarut pada efluen (ppm) Media Filter Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Tanpa zeolit 0,021a 0.070a 0,235a 2,380a 0,022a 0,030a 0,0410a Zeolit 5 10 mesh 0,016a 0,057ab 0,177b 1,790ab 0,014ab 0,020b 0,0290b Zeolit mesh 0,014ab 0,048bc 0,156b 1,490bc 0,010b 0,014bc 0,0250bc Zeolit mesh 0,008b 0,034c 0,139b 0,850c 0,006b 0,010c 0,022c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Penggunaan zeolit sebagai penjerap logam menyebabkan kompleks jerapan dijenuhi oleh logam tersebut. Zeolit yang telah jenuh karena mengandung hara mikro dapat dijadikan bahan pembenah tanah. Hasil penelitian Suherman et al. (2005) menunjukkan bahwa penggunaan zeolit mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Khusus untuk zeolit yang telah digunakan pada proses penyaringan polutan lindi, karena mengandung logam berat lainnya, maka tidak disarankan untuk digunakan pada tanaman pangan. Zeolit ini dapat dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan untuk meningkatkan kesuburan tanaman-tanaman hias yang ada di sepanjang jalan-jalan kota. 82

28 Efektivitas Penurunan Logam Mikro ,19 64,47 56,67 51,55 40,96 37,32 36,25 33,18 31,46 33,74 23,57 24,51 24,76 72,92 66,52 52,91 46,24 38,88 34,82 29,07 19,24 Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Logam Mikro 5-10 m esh m esh m esh Gambar 45. Efektivitas penurunan logam terlarut yang masih tersisa dari ke 3 ukuran partikel zeolit Zeolit berukuran partikel mesh memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan logam terlarut. Hal ini berkaitan dengan KTK dari zeolit berukuran mesh yang lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) (Tabel 28). Semakin tinggi nilai KTK, semakin besar pula kemampuan zeolit dalam menjerap dan menukar ion. Ukuran partikel zeolit yang berbeda ternyata menyebabkan perbedaan ph pada efluennya. ph dari efluen yang telah melewati zeolit lebih rendah dibanding ph sebelumnya (Gambar 46). Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat terjadi pertukaran antara ion H + yang ada pada zeolit dengan ion logam yang terdapat dalam lindi. ph dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel mesh lebih rendah dibanding ph dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh juga akibat KTK pada zeolit yang berukuran mesh lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel 5 10 mesh atau mesh. Zeolit dengan KTK yang tinggi memiliki potensi yang lebih besar untuk menghasilkan H + melalui proses pertukaran ion dibanding zeolit dengan KTK rendah. Semakin banyak H + yang ditukar dengan logam-logam terlarut menyebabkan H + semakin banyak pada efluen sehingga ph efluen semakin rendah. 83

29 Gambar 46. ph dari efluen setelah efluen hasil olahan aerasi dilewatkan melalui zeolit Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Total Suspended Solid (TSS) dan Jumlah Padatan Mengendap Selain kemampuan dalam menurunkan logam terlarut dan bahan organik dari lindi yang diolah, hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam menentukan ukuran partikel zeolit yang layak digunakan untuk menurunkan polutan yang masih tersisa dari lindi terolah adalah total suspended solid (TSS) dan jumlah padatan mengendap. Hasil penelitian ini mendapatkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap yang terdapat pada efluen dari tiga ukuran partikel zeolit seperti yang terdapat pada Gambar 47 dan Gambar 49. Zeolit yang telah jenuh oleh polutan memiliki efektivitas yang rendah. Apabila zeolit ini akan digunakan kembali sebagai penjerap polutan, maka upaya untuk meningkatkan kapasitas penjerapan zeolit tersebut dapat dilakukan melalui proses regenerasi. Regenerasi secara fisik dapat dilakukan melalui pemanasan, namun hal ini hanya untuk menghilang air yang terjerap di dalam zeolit. Zeolit yang jenuh dengan polutan berupa logam yang terjerap dapat diregenerasi (dihilangkan polutannya) melalui cara kimia melalui penggunaan garam (NaCl), asam (H 2 SO 4 ) atau basa (NaOH) untuk mengeluarkan polutan-polutan yang terjerap. Hasil penelitian Widianti (2007) didapatkan bahwa penggunaan 0,5 N NaCl; 0,2 N H 2 SO 4 atau 0,2 N NaOH menunjukkan nilai KTK tertinggi. 84

30 Gambar 47. TSS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit E f e k tiv ita s P e n u r u n a n T , , , m e sh m e sh m e sh P e n g g u n a a n Z e o lit Gambar 48. Efektivitas penurunan TSS dari ketiga ukuran partikel zeolit 85

31 Gambar 49. Jumlah padatan mengendap (ml/150 ml) pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit TSS berkaitan dengan kekeruhan dan kekeruhan berkaitan dengan pencemaran pada badan-badan air penerima terutama berkaitan dengan kemampuan sinar matahari menembus ke bagian yang lebih bawah dari badan air. Semakin tinggi TSS, badan air akan semakin keruh dan hal ini dapat menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton. Apabila fotosintesis berkurang akan berakibat pada penurunan jumlah oksigen terlarut. Hal ini akan berakibat buruk bagi kehidupan biotik dalam badan air penerima. Jumlah padatan mengendap berkaitan dengan jumlah bahan-bahan yang mengendap yang terkandung dalam efluen yang dihasilkan. Jumlah padatan mengendap dapat berpengaruh buruk bagi badan air penerima karena berkaitan langsung dengan proses pendangkalan pada badan air penerima. Apabila terjadi pendangkalan pada badan air penerima berarti akan menambah biaya dalam pengelolaan badan air. Oleh karena itu, dalam pemilihan ukuran partikel zeolit yang akan digunakan dalam proses pengolahan lindi untuk menurunkan polutan yang masih tersisa, kedua hal ini juga perlu mendapatkan perhatian. 86

32 Hasil penelitian ini, seperti yang disajikan pada Gambar 47 dan Gambar 49 menunjukkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan melalui zeolit berukuran 5 10 mesh dan mesh lebih tinggi dibanding nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan pada zeolit yang berukuran mesh. TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang telah melewati zeolit berkaitan dengan ukuran partikel zeolit karena ukuran partikel zeolit berpengaruh terhadap ukuran rongga, selanjutnya ukuran rongga berkaitan langsung dengan kemampuan zeolit dalam melewatkan bahan padatan yang berukuran sangat halus yang menempel pada partikel zeolit sebagai akibat proses penggerusan saat pembuatan partikel pada ukuran yang diinginkan. Zeolit yang berukuran lebih kasar (5 10 mesh atau mesh) memiliki rongga yang lebih besar dibanding zeolit berukuran mesh. Oleh karenanya, kemampuan melewatkan bahan padatan dari zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh lebih besar dibanding zeolit berukuran mesh Ukuran Partikel Zeolit yang Layak Digunakan dalam Pengolahan Tahap II Sebagai akibat perbedaan kemampuan dalam menurunkan polutan dari ketiga ukuran partikel zeolit menyebabkan perbedaan visual dari efluennya. Secara visual, efluen yang dilewatkan pada masing-masing ukuran partikel zeolit ditampilkan pada Gambar 50. Efluen dari zeolit 5 10 mesh Efluen dari zeolit mesh Efluen dari zeolit mesh Gambar 50. Efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 87

33 Gambar 50 menunjukkan bahwa efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel mesh lebih cerah dibanding efluen dari zeolit berukuran partikel lebih kasar. Perbedaan warna dari ketiga efluen tersebut berkaitan dengan kandungan polutan yang masih tersisa. Oleh karena zeolit dengan ukuran partikel mesh lebih mampu menurunkan beberapa parameter pencemar seperti NH 3, sulfida, BOD 5, COD, logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr), TSS dan padatan mengendap maka zeolit dengan ukuran partikel mesh lebih layak digunakan dalam pengolahan lanjutan dibanding zeolit berukuran 5 10 mesh atau mesh Pengaruh Jumlah Tahapan Pengolahan terhadap Kualitas Efluen yang Dihasilkan Efektivitas penurunan polutan dari pengolahan 1 tahap (pengolahan aerasi pada laju 0, 10, 30 atau 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan pengolahan menggunakan zeolit berukuran 5 10 mesh, mesh atau mesh) serta kadar beberapa parameter pencemar yang terdapat pada efluen dari masing-masing pengolahan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Efektivitas penurunan polutan lindi dari pengolahan tahap I dan tahap II Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Pengolahan Tahap I (%) * Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Polutan Pengolahan Tahap II (%) ** 0 l/mnt 10 l/mnt 30 l/mnt 70 l/mnt 5-10 mesh mesh mesh BOD 5 3,87a 29,98b 70,32c 74,63c 8,15a 17,92a 47,96b COD 2,11a 14,63a 50,71b 74,53c 15,27a 30,09ab 50,15b NH 3-1,67a 24,38b 60,93c 66,60c 14,22a 40,95b 53,73b Sulfida -2,20a 23,24b 55,51c 74,67c 8,85a 13,31a 30,02b TDS -0,31a 3,82b 6,25b 12,83c 14,04a 17,89a 30,70b Cu 2,38a 9,76b 29,27c 48,78d 23,81a 33,33a 61,90b Zn 1,12a 10,23b 17,05c 20,45c 19,24a 31,46ab 51,55b Mn 0,13a 14,07b 28,39c 70,22d 24,51a 33,74ab 40,96b Fe 0,03a 11,07b 26,00c 38,74d 24,76a 37,32b 64,47c Pb 1,87a 3,62b 3,85b 15,38c 36,25a 56,67b 72,92c Cd 0,76a 20,00b 40,00c 53,85c 34,82a 52,91ab 66,52b Cr 0,56a 19,10b 38,20c 53,93d 29,07a 38,88ab 46,24b E. coli -7,29a 14,59b 42,02c 66,49d 22,50a 32,50ab 55,00b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris berdasarkan pengolahan tahap 1 atau pengolahan tahap 2 tidak berbeda nyata pada taraf 1%. * Efektivitas pengolahan tahap I (pemberian udara (aerasi) pada laju 0, 10, 30 dan 70 liter/menit). ** Efektivitas pengolahan tahap II (pengolahan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada ukuran partikel 5 10 mesh, mesh atau mesh)). 88

34 Tabel 31. Nilai beberapa parameter pencemar pada efluen hasil olahan tahap I dan tahap II serta baku mutu pada masing-masing golongan peruntukan Pada Efluen Hasil Olahan Pada Efluen Hasil Olahan Baku Mutu*** Parameter Pencemar 1 Tahap * 2 Tahap ** Nilai Nilai Gol. A Gol. B Gol. C Gol. D ph 9,05a 8,25a DO (ppm) 10,2a 9,2a BOD 5 (ppm) 80,76a 41,74b COD (ppm) 166,15a 82,56b E. coli (MPN/100 ml) 450a 200b NH 3 (ppm) 2,33a 1,07b 0, Sulfida (ppm) 1,17a 0,82b 0,002 0,002 0,002 - TDS (ppm) 2850a 1975b TSS (ppm) 128,8a 37,90b Padatan Mengendap (ml/150ml) 2,45a 0,2b Cu (ppm) 0,021a 0,008b 0,02 0,02 0,02 0,2 Zn (ppm) 0,070a 0,034b 0,05 0,05 0,05 2 Mn (ppm) 0,235a 0,139b Fe (ppm) 2,380a 0,850b 0, Pb (ppm) 0,022a 0,006b 0,03 0,03 0,03 1 Cd (ppm) 0,030a 0,010b 0,01 0,01 0,01 0,01 Cr (ppm) 0,041a 0,022b 0,05 0,05 0,05 0,01 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris tidak berbeda nyata pada taraf 1%.. * Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit. ** Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang berukuran partikel mesh. *** Baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 tahun Tabel 31 menunjukkan bahwa kadar polutan pada efluen hasil pengolahan 2 tahap dengan memberikan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang memiliki ukuran partikel mesh nyata lebih rendah dibanding kadar polutan pada efluen hasil pengolahan hanya dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan lanjutan dengan menggunakan zeolit efektif dalam menurunkan polutan yang masih tersisa. 89

35 Beberapa parameter pencemar yang masih di atas baku mutu untuk golongan D (pertanian), meskipun efluen tersebut telah diolah dengan cara aerasi pada laju 70 liter/menit adalah BOD, COD, nilai TDS, TSS, Cu, Cd dan Cr. Parameter yang dapat diturunkan lagi hingga di bawah baku mutu melalui pengolahan tahap II dengan cara melewatkan efluen tersebut melalu zeolit yang berukuran mesh adalah COD, nilai TDS, Cu dan Cd. Pengolahan yang disarankan untuk mendapatkan efluen yang aman dialirkan ke lingkungan adalah melalui pengolahan dua tahap, yakni pada tahap pertama pengolahan dilakukan melalui pemberian udara dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam yang dilanjutkan dengan pengolahan tahap kedua dengan cara melewatkannya melalui zeolit berukuran mesh. Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan menurunkan sejumlah polutan dari pengolahan dua tahap lebih tinggi dibanding pengolahan satu tahap yang ditunjukkan oleh nilai-nilai parameter pencemar yang lebih rendah dibanding pengolahan satu tahap. 90

36 4.3 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian empat jenis kapur (CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 dan dolomit) pada 11 dosis yang berbeda (500, 750, 1000, 1250, 1500, 1750, 2000, 3000, 4000, 5000 dan 6000 ppm) untuk menjadikan endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit sebagai bahan pupuk cair memberikan hasil yang berbeda. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan ini disajikan pada Tabel Lampiran 7 dan 8. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada 11 dosis yang berbeda dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) ternyata menyebabkan perbedaan pada beberapa parameter kimia (nilai TDS, ph dan Ca 2+ ) pada sentrat dan kadar beberapa logam mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) maupun bahan organik pada endapan. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian kapur jenis CaO dan Ca(OH) 2 menyebabkan perubahan terhadap nilai TDS, ph dan Ca 2+ dengan pola perubahan yang serupa. Pola perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan yang disebabkan oleh pemberian kapur jenis CaCO 3 dan dolomit. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda ternyata juga berpengaruh terhadap jumlah logam mikro dan bahan organik yang dapat diendapkan. Beberapa logam mikro dalam endapan mengalami penurunan dan beberapa logam mikro lainnya justru mengalami peningkatan bila dosis kapur yang diberikan makin ditingkatkan; sedangkan jumlah bahan organik yang dapat diendapkan ternyata makin meningkat bila dosis kapur (CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 dan dolomit) yang diberikan makin tinggi. Secara rinci, nilai dari masing-masing parameter tersebut akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Nilai TDS, ph, dan Kadar Ca 2+ pada Sentrat Hasil percobaan mendapatkan bahwa pemberian kapur yang berbeda pada lindi yang akan dijadikan bahan pupuk cair ternyata menyebabkan perbedaan nilai TDS pada sentrat. pada Tabel 32. Secara rinci, nilai TDS pada sentrat dari masing-masing dosis kapur disajikan 91

37 Tabel 32. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) CaO Ca(OH) 2 CaCO 3 Dolomit bc 2785 b 2912,5 a 2895 a abc 2700 b 2860 a 2932,5 ab ,5 a 2442,5 a 2797,5 a 2942,5 ab ,5 ab 2617,5 ab 2785 a 2957,5 ab c 2755 b 2752,5 a 2962,5 ab ,5 d 3082,5 c 2725 a 2967,5 ab ,5 e 3662,5 d 2685 a 2980 ab ,5 f 4785 e 2680 a 3072,5 abc g 5977,5 f 2670 a 3205 bc h 7095 g 2670 a 3325 cd ,5 i 7352,5 h 2690 a 3497,5 d Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Tabel 32 maupun Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa nilai TDS pada sentrat akibat pemberian CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis rendah (500 ppm hingga dosis kurang dari 1000 ppm) mengalami penurunan dan mencapai minimum pada dosis 1000 ppm; sedangkan pada dosis lebih dari 1000 ppm, nilai TDS mengalami peningkatan yang tajam sejalan dengan dosis CaO atau Ca(OH) 2 yang makin meningkat. Sejalan dengan penelitian ini, Amuda (2005) yang menggunakan bahan kimia FeCl 3 sebagai bahan untuk mengendapkan bahan terlarut dari lindi TPA sampah mendapatkan bahwa penggunaan FeCl 3 pada dosis 1000 ppm juga menyebabkan penurunan polutan yang maksimal yang ditunjukkan oleh nilai TDS pada lindi yang diproses menunjukkan nilai terendah. Hasil penelitiannya menunjukkan pada pemberian FeCl 3 di atas 1500 ppm mulai terjadi peningkatan garam besi dalam larutan yang ditunjukan oleh peningkatan nilai TDS pada lindi yang diproses. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan pemberian CaO dan Ca(OH) 2 terdapat kemiripan pola dalam perubahan nilai TDS pada sentrat. Pola perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan dari perlakuan kapur jenis CaCO 3 maupun dolomit. Gambar 51 hingga Gambar 56 menunjukkan bahwa perubahan nilai TDS, Ca 2+ bahkan ph dari perlakuan CaCO 3 maupun dolomit tidak sebesar perubahan pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Perbedaan perilaku ini berkaitan dengan sifat kapur tersebut. 92

38 Tabel 32, Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa penggunaan kapur jenis CaCO 3 atau dolomit pada dosis 500 ppm hingga 6000 ppm tidak mengakibatkan penurunan yang berarti terhadap nilai TDS pada sentrat. Nilai TDS dari perlakuan CaCO 3 berangsur-angsur menurun dan mencapai minimum (2670 ppm) pada dosis 4000 ppm hingga 5000 ppm. Nilai TDS minimum dari perlakuan pemberian CaCO 3 tersebut masih berada di atas nilai TDS minimum (2467,5 ppm dan 2442,5 ppm) dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan Ca(OH) 2. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan pemberian CaCO 3 pada dosis di atas 5000 ppm baru menunjukkan peningkatan. Sebaliknya, pada pemberian dolomit, nilai TDS pada sentrat justru terus mengalami peningkatan secara berangsur mulai dari dosis 500 ppm hingga 6000 ppm. Gambar 51. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) 93

39 Gambar 52. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) Nilai ph dari perlakuan pemberian CaCO 3 ternyata juga mengalami peningkatan secara berangsur dengan peningkatan ph yang jauh lebih rendah dari peningkatan ph dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 (Gambar 55 dan Gambar 56). Demikian juga halnya dengan ph dari perlakuan pemberian dolomit yang juga mengalami peningkatan secara berangsur apabila dosis pemberiannya makin ditingkatkan. Perbedaan pola perubahan nilai TDS dan ph berkaitan dengan reaksi yang terjadi dalam lindi akibat pemberian jenis dan dosis kapur yang berbeda. Pada perlakuan CaO, setelah bahan tersebut dicampur dengan lindi maka CaO akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam lindi, kemudian terurai membentuk ion-ion. Menurut Manahan (2005), reaksi CaO dalam air sebagai berikut. CaO + H 2 O > Ca(OH) 2 Kemudian Ca(OH) 2 dalam air akan berubah menjadi ion Ca 2+ dan OH - sebagai berikut. Ca(OH) > Ca OH - 94

40 Demikian juga pada perlakuan pemberian kapur jenis Ca(OH) 2 dalam air, Ca(OH) 2 akan langsung bereaksi sebagai berikut (Manahan, 2005). Ca(OH) > Ca OH - Berdasarkan reaksi seperti yang digambarkan di atas, pemberian CaO atau Ca(OH) 2 ke dalam lindi akan menghasilkan bahan yang sama berupa Ca 2+ dan OH -. Kedua bahan tersebut (Ca 2+ dan OH - ) selanjutnya juga dapat mempengaruhi bahan lain yang terlarut yang terdapat dalam lindi berupa logam-logam terlarut maupun koloid. Muatan negatif pada koloid baik koloid organik maupun koloid anorganik yang terdapat dalam lindi makin meningkat bila konsentrasi OH - makin meningkat. Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2010), muatan negatif dari koloid dapat meningkat sebagai akibat terjadi disosiasi H + dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal seperti gambar berikut. OH + OH > O - + H 2 O Pada ph rendah (masam), H + terikat erat. Namun bila ph naik, maka H + menjadi mudah lepas mengakibatkan muatan negatif dari koloid menjadi meningkat. Muatan ini disebut muatan tergantung ph. Pada koloid organik, sumber muatan negatif terutama berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan gugus phenol (-OH). Muatan tersebut adalah muatan tergantung ph, artinya dalam keadaan masam, H + dipegang kuat oleh gugus karboksil atau phenol. Menurut Hardjowigeno (2010), ikatan H + pada gugus karboksil atau phenol menjadi berkurang bila ph menjadi lebih tinggi. Ikatan yang lemah tersebut memudahkan terjadi disosiasi H + yang menyebabkan H + terlepas hingga pada gugus tersebut menjadi bermuatan negatif. Makin tinggi ph, makin tinggi pula disosiasi H + menyebabkan muatan negatif pada koloid menjadi makin tinggi. Muatan negatif yang terbentuk dapat menyebabkan terjadi interaksi antara koloid dengan logam yang terlarut termasuk dengan Ca 2+, baik Ca 2+ yang berasal dari lindi maupun Ca 2+ yang berasal dari penambahan kapur. Hasil interaksi antara muatan positif dari logam terlarut dengan muatan negatif dari koloid membentuk senyawa kompleks berbentuk flok yang mudah untuk diendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Hasil penelitian Harmsen (1983) menunjukkan bahwa pada ph tinggi, logam terlarut menjadi berkurang 95

41 karena membentuk komplek dengan asam humik. Berdasarkan hasil penelitian Umar, Aziz dan Yusoff (2010), pada ph sedikit di atas netral, % Cu dan 0 95% Zn umumnya berada dalam kondisi berikatan dengan koloid. Menurut Vigneault dan Campbell (2005), hal ini dapat menurunkan toksisitas lindi yang diproses akibat logam terlarut berkurang. Pembentukan flok yang mudah mengendap antara Ca atau logam terlarut dengan koloid menyebabkan kadar Ca 2+ maupun logam-logam terlarut lainnya menjadi makin menurun dalam sentrat. Ca 2+ maupun logam terlarut lainnya merupakan bahan padatan terlarut yang mempengaruhi nilai TDS. Apabila bahan-bahan tersebut berkurang mengakibatkan nilai TDS menurun hingga sentrat lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Gambaran dari reaksi pengikatan antara koloid organik dengan koloid anorganik yang dijembatani oleh Ca 2+ seperti yang dikemukakan oleh Peterson (1947) dalam Supardi (1988) sebagai berikut liat Ca OOC R COO Ca liat Gambaran ikatan kompleks antara liat dan liat dengan Ca sebagai penghubung seperti yang dikemukakan oleh Foth (1978) sebagai berikut. Permukaan Liat Permukaan Ca - + Ca + - Liat Permukaan Liat Penurunan nilai TDS pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 tidak hanya disebabkan oleh penurunan jumlah Ca 2+ dan logam-logam terlarut lainnya sebagai akibat terjadi pengikatan logam tersebut oleh koloid yang membentuk endapan. Penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut juga dapat disebabkan oleh penurunan jumlah logam terlarut akibat terjadi reaksi antara logam terlarut dengan OH - membentuk senyawa hidroksida yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah. Sebagai contoh, gambaran dari reaksi pembentukan senyawa hidroksida logam seperti yang dikemukakan oleh Mohajit (2001) sebagai berikut. Fe OH > Fe(OH) 3 (s) Cr OH > Cr(OH) 3 (s) 96

42 Pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2, bila dosis pemberian kapur tersebut terus ditingkatkan ternyata menyebabkan ph juga mengalami peningkatan, melebihi peningkatan ph dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit (Gambar 55 dan Gambar 56). ph yang makin meningkat menggambarkan konsentrasi OH - juga makin meningkat. Namun pada konsentrasi OH - yang makin tinggi, menurut Davis dan Masten (2004) justru dapat menyebabkan pembentukan senyawa baru antara logam terlarut dan OH - berlebih yang ada dalam larutan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) lebih tinggi dibanding sebelumnya. Proses ini menyebabkan jumlah padatan terlarut pada sentrat akan mengalami peningkatan kembali. Davis dan Masten (2004) mengemukakan bahwa pada ph di atas netral hingga ± ph 9, logam-logam terlarut seperti Cu, Zn dan Pb memiliki solubilitas yang minimum dan akan membentuk endapan dalam bentuk senyawa hidroksida. Namun pada ph > 9, ketiga logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang mudah larut (Gambar 64). Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 dengan dosis 1000 ppm, ph mencapai 10,35 hingga 10,55 (Tabel 33) dan pada ph tersebut nilai TDS pada sentrat mencapai minimum. Pada kondisi ini, meskipun ada beberapa logam mikro terlarut yang mengalami pelarutan kembali seperti Cu, Zn, Pb dan Cd, namun ada pula logam mikro lainnya yang masih mengalami pengendapan seperti Mn, Fe dan Cr. Pada ph tersebut jumlah padatan terlarut pada sentrat mencapai minimum sebagai akibat logam-logam terlarut yang berinteraksi dengan OH - atau berinteraksi dengan koloid membentuk senyawa yang mudah mengendap berada dalam jumlah yang lebih banyak dibanding logam-logam terlarut lainnya yang melarut kembali karena membentuk senyawa komplek dengan OH - yang berlebih. Kadar Ca 2+ pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 dengan dosis 1500 ppm menunjukkan nilai yang paling minimum (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 1000 ppm menyebabkan muatan bergantung ph yang terbentuk akibat penambahan kapur maksimal dalam mengikat Ca 2+ baik yang berasal dari lindi maupun kapur. Apabila dosis pemberian dari kedua jenis kapur tersebut terus ditingkatkan (di atas 1500 ppm) sementara volume lindi tetap, Ca 2+ pada sentrat mulai mengalami peningkatan. Diduga pada dosis > 1500 ppm, jumlah muatan bergantung ph yang terbentuk akibat penambahan kapur kurang dari jumlah Ca 2+ yang ada pada larutan menyebabkan ada Ca 2+ yang tidak diikat dan tetap berada dalam bentuk terlarut. 97

43 Kelebihan Ca 2+ tersebut menjadi salah satu bahan padatan terlarut yang sulit terendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Kelebihan Ca 2+ tersebut dapat mempengaruhi nilai TDS pada sentrat. Gambar 53. Pola perubahan kadar Ca 2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) Gambar 54. Pola perubahan kadar Ca 2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) 98

44 Kemiripan pola perubahan nilai TDS, kadar Ca 2+ dan ph pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 (Gambar 51 - Gambar 56) berkaitan pada tiga hal, yakni: 1) Kedua jenis kapur tersebut memiliki perbedaan bobot molekul (BM) yang relatif sempit (BM CaO = 56 dan BM Ca(OH) 2 = 74), 2) pada larutan, kedua jenis kapur tersebut akan bereaksi membentuk bahan yang sama yakni Ca 2+ dan OH - sehingga pada konsentrasi yang sama hampir menyumbangkan Ca 2+ dan OH - ke dalam larutan dalam jumlah yang hampir sama, dan 3) reaksi CaO atau Ca(OH) 2 dalam air membentuk ion Ca 2+ dan OH - tidak mencapai kejenuhan hingga pada dosis 6000 ppm. Gambar 55. Pola perubahan ph pada perlakuan pemberian kapur yang disentrifugasi Gambar 56. Pola perubahan ph pada perlakuan pemberian kapur yang dikocok 99

45 Pada dosis 500 ppm hingga 4000 ppm, konsentrasi Ca 2+ yang terlarut yang terdapat pada sentrat dari perlakuan CaCO 3 masih mengalami penurunan secara berangsur dan penurunan mencapai maksimum pada dosis pemberian yang relatif tinggi (4000 hingga 5000 ppm) (Gambar 53 dan Gambar 54). Fenomena tersebut terjadi disebabkan penambahan CaCO 3 pada lindi menyebabkan terbentuk ion Ca 2+, OH - - dan HCO 3 menyebabkan pada dosis yang makin meningkat terjadi sedikit peningkatan ph. Reaksi peruraian CaCO 3 dalam air menjadi ion-ion seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CaCO > Ca 2+ + CO 3 2- CO H 2 O > HCO OH - Jumlah OH - yang dihasilkan akibat pemberian CaCO 3 lebih rendah dibanding jumlah OH - yang dihasilkan akibat pemberian CaO atau Ca(OH) 2. Disamping itu, CaCO 3 bersifat garam. Diduga pemberian bahan ini ke dalam lindi pada dosis yang lebih tinggi akan tercapai kejenuhan hingga CaCO 3 yang diberikan akan langsung mengendap. Pola perubahan nilai TDS, ph maupun kadar Ca 2+ pada sentrat dari perlakuan pemberian dolomit menunjukkan pola yang berbeda dibanding perlakuan CaO maupun Ca(OH) 2 dan sedikit menyerupai pola perubahan nilai TDS, ph dan kadar Ca 2+ akibat pemberian CaCO 3 (Gambar 51 hingga Gambar 56). Hal ini disebabkan pemberian dolomit ke dalam lindi akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian CaO maupun Ca(OH) 2 karena dari hasil reaksi dolomit dengan air yang terdapat dalam lindi, selain akan menghasilkan CaCO 3 juga menghasilkan MgCO 3 seperti yang digambarkan oleh Hardjowigeno (2010) sebagai berikut. CaMg(CO 3 ) > Ca 2+ + Mg CO 3 2- CO 3 2- yang dihasilkan dari reaksi tersebut akan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksil (OH - ) seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CO H 2 O > HCO OH - Pada suhu kamar (20 o C), CaCO 3 memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah (0, ), sedangkan MgCO 3 memiliki solubilitas yang lebih tinggi (0,039) dibanding CaCO 3 (Wikipedia, 2007). Oleh karena itu, MgCO 3 lebih sulit untuk diendapkan dibanding CaCO 3. Apabila dosis dolomit ditingkatkan, maka kadar MgCO 3 yang masuk 100

46 dalam larutan mengalami peningkatan. pada sentrat karena MgCO 3 Hal ini akan menambah bahan padatan terlarut yang dihasilkan dari perlakuan dolomit akan membentuk ion-ion Mg 2+ dan CO 3 2- yang secara otomatis berpengaruh terhadap besaran nilai TDS dan ph karena Mg 2+ termasuk bahan padatan terlarut, sedangkan CO 3 2- akan bereaksi dengan air membentuk HCO 3 - dan OH - yang menyebabkan larutan sedikit mengalami peningkatan ph. Keberadaan Mg 2+ dalam larutan tersebut dapat menyebabkan pada dosis yang sama, perlakuan dolomit memiliki nilai TDS dan ph sedikit lebih tinggi dibanding CaCO 3. Pada dosis kurang dari 2000 ppm, kadar Ca 2+ yang terdapat pada sentrat sebagai akibat penambahan CaCO 3 maupun dolomit ke dalam lindi relatif lebih tinggi dibanding kadar Ca 2+ yang berasal dari perlakuan CaO maupun Ca(OH) 2 (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini, akibat jumlah OH - yang dihasilkan dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit lebih rendah dibanding jumlah OH - yang dihasilkan dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Dampak selanjutnya, kemampuan mendisosiasi H + pada koloid menjadi rendah mengakibatkan jumlah muatan negatif yang terbentuk pada koloid yang dihasilkan dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit juga menjadi lebih rendah dibanding perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Padahal, muatan negatif yang terbentuk mampu mengikat Ca 2+ berasal dari lindi maupun yang berasal dari pemberian kapur. baik yang Secara rinci, ph dari keempat jenis kapur pada 11 dosis yang berbeda yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. ph pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) CaO Ca(OH) 2 CaCO 3 Dolomit 500 9,33 a 9,18 a 8,3 a 8,7 a 750 9,70 ab 9,55 ab 8,43 a 8,73 a ,50 abc 10,38 abc 8,5 a 8,73 a ,88 abc 10,7 abc 8,7 a 8,73 a ,50 bc 11,35 bc 8,73 a 8,78 a ,68 c 11,65 c 8,78 a 8,78 a ,83 c 11,80 c 8,8 a 8,78 a ,05 c 12 c 8,85 a 8,8 a ,15 c 12,1 c 8,85 a 8,83 a ,23 c 12,18 c 8,85 a 8,85 a ,25 c 12,18 c 8,85 a 8,85 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. 101

47 4.3.2 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan. Demikian halnya dengan jumlah logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dalam endapan, juga berbeda (Gambar 57 - Gambar 63). Secara rinci, gambaran kandungan logam-logam tersebut dalam endapan dari masing-masing jenis kapur dapat dilihat pada Gambar 57 Gambar 63. Gambar 57. Kadar Cu dalam endapan pada tiga dosis kapur Gambar 58. Kadar Zn dalam endapan pada tiga dosis kapur 102

48 Gambar 59. Kadar Mn dalam endapan pada tiga dosis kapur Gambar 60. Kadar Fe dalam endapan pada tiga dosis kapur 103

49 Gambar 61. Kadar Pb dalam endapan pada tiga dosis kapur Gambar 62. Kadar Cd dalam endapan pada tiga dosis kapur 104

50 Gambar 63. Kadar Cr dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar logam mikro essensial Cu dan Zn dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO maupun Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 57 dan Gambar 58). Demikian halnya kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm, juga lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 61 dan Gambar 62). Perilaku ini seperti yang dikemukakan oleh Davis dan Masten (2004) terjadi sebagai akibat pada ph yang semakin tinggi (di atas 9), logam-logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang lebih tinggi sehingga pada ph > 9 logam tersebut cenderung berada dalam kondisi terlarut dan tetap berada dalam sentrat. Amer (1998) mengemukakan bahwa umumnya, tetapi tidak semua, presipitasi (pengendapan) logam hidroksida terjadi pada ph 8,5 sampai 9,5. Perubahan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd pada ph tinggi sebagai berikut (Davis dan Masten, 2004): Pada ph > 9, Cu akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cu OH Cu(OH) 2 (s) Cu(OH) 2 (s) + 2(OH) Cu(OH) 4 105

51 Pada ph > 9, Zn akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Zn OH Zn(OH) 2 (s) Zn(OH) 2 (s) + 2(OH) Zn(OH) 4 Pada ph > 9, Pb akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Pb OH Pb(OH) 2 (s) Pb(OH) 2 (s) + 2(OH) Pb(OH) 4 Pada ph > 9, Cd akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cd OH Cd(OH) 2 (s) Cd(OH) 2 (s) + 2(OH) Cd(OH) 4 Perilaku kelarutan dari ke empat logam mikro (Cu, Zn, Pb dan Cd) pada berbagai ph digambarkan oleh Davis dan Masten (2004) sebagai berikut. Gambar 64. Kelarutan Cu, Zn, Pb dan Cd pada berbagai ph (Davis dan Masten, 2004) 106

52 Gambaran di atas menunjukkan bahwa solubilitas (kelarutan) akan menurun dan mencapai minimum pada ph antara ± 9 (pada Cu, Zn dan Pb) hingga ph ± 11 (pada Cd), tergantung jenis logamnya. Apabila ph ditingkatkan lagi dari ph pada titik minimum maka pada logam tersebut akan terbentuk senyawa kompleks dengan kelarutan yang semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pemberian CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm, kadar Cu, Zn, Pb dan Cd dalam endapan lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm. Pada dosis 500 ppm, 1000 ppm dan 6000 ppm dari perlakuan CaO maupun Ca(OH) 2, ph berkisar antara 9,3 hingga 12,15. Oleh karenanya, apabila ph ditingkatkan lagi lebih dari 6000 ppm akan mengakibatkan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd akan semakin banyak berada dalam kondisi terlarut. Pada perlakuan pemberian kapur jenis CaCO 3 maupun dolomit; kadar logam Cu, Zn, Pb dan Cd yang terdapat dalam endapan pada dosis yang makin tinggi dari 500 ppm hingga 6000 ppm justru masih menunjukkan peningkatan. Hal ini berbeda dengan perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Pada dosis yang sama, ph sebagai akibat penambahan CaCO 3 maupun dolomit lebih rendah dibanding ph akibat penambahan CaO maupun Ca(OH) 2. Hal ini menunjukkan jumlah OH - akibat pemberian CaCO 3 maupun dolomit lebih rendah dibanding peningkatan ph akibat pemberian CaO maupun Ca(OH) 2 (Tabel 33). Nilai ph sebagai akibat pemberian CaCO 3 dan dolomit hingga dosis 6000 ppm ternyata masih berada pada kisaran ph < 9. Peningkatan konsentrasi OH - yang menyebabkan ph masih berada dibawah ph 9 sebagai akibat penambahan CaCO 3 maupun dolomit menyebabkan logam Cu, Zn, Pb dan Cd masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan. Pada ph < 9, keempat logam tersebut (Cu, Zn, Pb dan Cd) belum membentuk senyawa komplek dengan solubilitas yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Pemberian CaO, Ca(OH) 2, CaCO 3 maupun dolomit) ternyata menyebabkan peningkatan jumlah logam Mn dan Fe pada endapan sejalan dengan pemberian kapur tersebut pada dosis yang semakin meningkat (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan solubilitas (kelarutan) dari logam besi (Fe) maupun Mangan (Mn) akan semakin rendah pada ph yang semakin tinggi sehingga mudah untuk diendapkan. Semakin tinggi dosis kapur yang diberikan mengakibatkan semakin tinggi ph. Semakin tinggi ph berarti semakin tinggi pula konsentrasi OH - dalam larutan dan hal ini akan menyebabkan semakin besar pula peluang untuk terjadi interaksi antara Mn atau Fe terlarut dengan OH - yang ada dalam larutan membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap mengakibatkan kedua logam tersebut menjadi lebih terakumulasi dalam 107

53 endapan. Menurut Vogel (1979), pembentukan senyawa hidroksida yang mudah mengendap dari Mn dan Fe dapat terjadi hingga ph 14. Perilaku yang sama dengan logam Mn dan Fe juga diperlihatkan oleh logam Cr. Kadar logam Cr dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO atau Ca(OH) 2 pada dosis 6000 ppm lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian kedua jenis kapur tersebut pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 63). Menurut Vogel (1979), pada ph > 9 hingga ph 12, Cr masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan logam Cr menjadi senyawa hidroksida yang mudah mengendap ditunjukan oleh Vogel (1979) sebagai berikut: Cr OH Cr(OH) 3 (s) Pada dosis 6000 ppm, kadar logam Mn dan Fe dari perlakuan CaCO 3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan pada dosis tersebut, ph dari perlakuan pemberian CaCO 3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan pemberian CaO dan Ca(OH) 2. Otomatis, konsentrasi OH - dalam larutan yang diberi perlakuan CaCO 3 dan dolomit juga lebih rendah yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pembentukan jumlah senyawa hidroksida maupun senyawa kompleks yang mudah mengendap yang terbentuk dari koloid dengan kedua logam tersebut lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH) 2. Logam Cu, Zn, Mn dan Fe yang terdapat dalam endapan hasil pengolahan lindi dapat digunakan sebagai sumber hara mikro essensial; sedangkan logam-logam Pb, Cd dan Cr merupakan logam berat yang termasuk logam mikro non essensial yang belum diketahui manfaatnya bagi tanaman, bahkan logam tersebut apabila masuk ke dalam sistem metabolisme dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, ketiga logam tersebut (Pb, Cd dan Cr) perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jika bahan pupuk cair hasil olahan lindi mengandung ketiga logam tersebut, maka kadar dari logam-logam tersebut yang berada dalam bahan pupuk cair harus berada di bawah baku mutu. Berdasarkan aturan yang ditetapkan Menteri Pertanian tahun 2003, batas maksimal Pb dan Cd yang diperbolehkan dalam pupuk cair organik adalah : Pb kurang dari 50 ppm dan Cd kurang dari 10 ppm. Batas maksimal logam Cu, Mn, Pb dan Cd dalam pupuk cair anorganik adalah Cu 0,25% (2500 ppm), Mn 0,25% (2500 ppm), Pb 0,125% (1250 ppm) dan Cd 0,125% (1250 ppm). Jika dilihat dari jumlah logam tersebut dalam endapan lindi hasil penambahan 1000 ppm CaO dan Ca(OH) 2 yang dijadikan sebagai perlakuan terpilih dari tahap percobaan ini dan kadar logam-logam tersebut yang ada pada endapan 108

54 lindi hasil penambahan CaCO 3 dan dolomit juga pada dosis 1000 ppm seperti yang disajikan pada Tabel 34, kadar keempat logam tersebut (Cu, Mn, Pb dan Cd) dari perlakuan pemberian keempat jenis kapur pada dosis 1000 ppm masih berada di bawah baku mutu. Kisaran kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dari perlakuan pemberian masing-masing jenis kapur pada dosis 1000 ppm sebagai berikut. Tabel 34. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan pemberian 1000 ppm kapur Logam Mikro Kadar Maksimal Jenis Kapur Non Dalam Pupuk Cair* Essensial CaO Ca(OH) 2 CaCO 3 Dolomit Organik Anorganik Cu (ppm) 8,23b 8,59b 5,2ª 12,24c Zn (ppm) 30,02a 31,56a 17,99b 19,28b Mn (ppm) 230,57c 196,48b 155,04a 184,94b Fe (ppm) 320,95b 302,36ab 287,77a 320,72b Pb (ppm) 10,34b 11,40b 4,29 a 10,52b Cd (ppm) 6,93 a 8,27 a 8,81 a 8,46 a Cr (ppm) 2,05ab 2ab 2,49b 1,31 a Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan 0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan 0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan < 50 ppm 0,125% (1250 ppm) < 10 ppm 0,125% (1250 ppm) Tidak disebutkan Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Angka di atas merupakan rata-rata dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan. * Standar minimal pupuk cair berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 09/Kpts/TP.260/I/2003 Tidak disebutkan Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 65, ternyata pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik pada endapan. Gambaran jumlah bahan organik pada endapan dari masing-masing jenis kapur sebagai berikut. 109

55 Gambar 65. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian kapur pada tiga dosis yang berbeda Gambar 65 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan menyebabkan jumlah bahan organik dalam endapan makin tinggi. Pada dosis 6000 ppm dari keempat jenis kapur menunjukkan jumlah bahan organik yang lebih tinggi dibanding pada dosis 500 ppm ataupun 1000 ppm. Fenomena ini dapat disebabkan pada ph yang tinggi sebagai akibat pemberian kapur pada dosis 6000 ppm, logam dan koloid organik dapat lebih berinteraksi membentuk flok yang mudah untuk diendapkan sehingga keduanya menjadi lebih terakumulasi dalam endapan. Gambar 66 menunjukkan bahwa jumlah bahan organik pada endapan dari perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 lebih tinggi dibanding pada perlakuan CaCO 3 dan dolomit. Kondisi ini terkait dengan kemampuan CaO dan Ca(OH) 2 dalam menyumbangkan lebih banyak OH - sehingga kedua jenis kapur tersebut lebih mampu dalam memicu terjadinya disosiasi H + pada koloid organik dibanding CaCO 3 dan dolomit. Hal ini menyebabkan CaO dan Ca(OH) 2 lebih mampu dalam menyebabkan pembentukan flok yang mudah mengendap antara koloid organik dengan logam terlarut dibanding CaCO 3 maupun dolomit. 110

56 Gambar 66. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan kapur Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan Kapur) Dari hasil penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 35 didapatkan bahwa nilai dari beberapa parameter kimia pada sentrat dari kedua perlakuan fisik yang berbeda (sentrifugasi atau pengocokan) menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai TDS yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dan nyata berbeda dibanding nilai TDS pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan, sedangkan ph pada perlakuan sentrifugasi meskipun lebih tinggi, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan pengocokan. Di lain pihak, rata-rata Ca dalam sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi justru lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pengocokan. Diduga gaya sentrifugal dapat lebih membantu memperlancar terjadi reaksi antara air yang ada dalam lindi dengan kapur sehingga proses peruraian kapur menjadi Ca 2+ dan OH - lebih intensif dibanding pada proses pengocokan. Hal ini selanjutnya mengakibatkan pada perlakuan sentrifugasi jumlah Ca 2+ dan OH - (Tabel 35). menjadi lebih banyak dalam larutan dibanding proses pengocokan 111

57 Tabel 35. Nilai TDS, ph dan Ca pada sentrat dari perlakuan fisik yang berbeda Sifat Kimia Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 3523a 3672b ph 10,00a 9,96a Ca (ppm) 12,45a 10,66b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Keberadaan OH - yang lebih banyak dalam larutan pada perlakuan sentrifugasi menyebabkan peluang terbentuknya senyawa kompleks yang mudah mengendap dari logam terlarut dengan koloid menjadi lebih banyak dan keberadaaan OH - yang tinggi juga dapat menyebabkan peluang terbentuk senyawa hidroksida dari logam Mn dan Fe akan semakin besar menyebabkan kedua logam tersebut akan makin banyak pada endapan. Kedua hal ini akan menyebabkan nilai TDS pada sentrat menjadi lebih rendah. Gambar 67. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) 112

58 Kadar Bahan Organik (ppm) Sentrifugasi 1180 Pengocokan Prose Fisik Gambar 68. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan Kapur) Hal yang juga harus diperhatikan dalam penentuan jenis dan dosis kapur yang dipilih untuk diterapkan dalam pengolahan lindi menjadi bahan pupuk cair adalah nilai TDS dan kadar Ca 2+ pada sentrat. Nilai dari kedua parameter tersebut harus minimal karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Ca yang masih tersisa yang terdapat pada sentrat karena sentrat nantinya akan dibuang ke lingkungan setelah endapan lindi hasil pengolahan aerasi selesai diproses menjadi bahan pupuk cair melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Apabila nilai TDS pada sentrat memiliki nilai terendah maka diharapkan di dalam sentrat mengandung polutan dengan kadar yang paling rendah, baik yang berupa Ca 2+ yang berasal dari pemberian kapur, logam-logam terlarut lainnya maupun bahan organik yang memang sudah ada sebelumnya dalam lindi. Semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, semakin rendah pula bahan-bahan yang tidak diinginkan yang terkandung di dalamnya sehingga menyebabkan sentrat menjadi semakin aman untuk dibuang ke lingkungan. Di lain pihak, semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, berarti semakin tinggi kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan hingga endapan ini memiliki peluang yang lebih baik untuk difungsikan sebagai sumber hara bagi tanaman. 113

59 Selain nilai TDS pada sentrat, kadar Ca 2+ pada sentrat selayaknya juga menjadi dasar dalam penentuan dosis terpilih karena apabila kadar Ca 2+ pada sentrat yang berasal dari lindi maupun Ca 2+ yang berasal dari kapur yang ditambahkan pada saat pembuatan pupuk cair masih tinggi dan sentrat tersebut dibuang ke lingkungan, dikhawatirkan Ca 2+ dapat menjadi sumber pencemaran, mengingat Ca 2+ merupakan salah satu bahan yang dapat menyebabkan kesadahan. Menurut Effendi (2003), kesadahan dapat menyebabkan sabun tidak berbusa. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan pemborosan dalam penggunaan sabun. Selain itu, kesadahan juga dapat menyebabkan terjadi kerak pada ketel uap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CaO dan Ca(OH) 2 pada dosis 1000 ppm memiliki nilai TDS yang paling rendah dan kadar Ca 2+ dalam sentrat juga relatif rendah dibanding pada dosis lainnya maupun dibanding perlakuan CaCO 3 maupun dolomit (Gambar 51 - Gambar 54). Nilai TDS pada sentrat mencapai minimum pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menggambarkan kadar padatan terlarut pada sentrat berada pada kondisi paling minim sekaligus mencerminkan secara keseluruhan jumlah logam terlarut atau bahan organik yang dapat diendapkan mencapai maksimum dengan kadar logam mikro, khususnya Cu, Mn, Pb dan Cd masih berada di bawah baku mutu untuk digunakan sebagai pupuk cair berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan Menteri Pertanian tahun 2003 (Tabel 34). Dengan alasan tersebut di atas, maka perlakuan yang mewakili perlakuan kapur dan dianggap layak digunakan dalam proses pembuatan pupuk cair baik melalui proses lanjutan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan adalah pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2. Namun demikian, bila dilihat dari data pada Tabel 34, pada perlakuan pemberian 1000 ppm Ca(OH) 2, kadar logam berat Pb dan Cd pada endapan yang akan dijadikan pupuk cair lebih tinggi dibanding kadar logam tersebut pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Oleh karenanya endapan lindi yang layak dijadikan pupuk cair berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Gambaran visual dari sentrat dari perlakuan kapur disajikan pada Gambar

60 Gambar 69. Sentrat setelah proses sentrifugasi Gambar 69 menunjukkan pada 2 botol yang paling kanan yang berisi sentrat dari perlakuan pemberian 6000 ppm kapur (CaO dan Ca(OH) 2 ) yang disentrifugasi berwarna bening dan tembus pandang. Namun bukan berarti di dalam cairan tersebut mengandung kadar bahan terlarut yang minimal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, nilai TDS dan kadar Ca pada sentrat dari perlakuan tersebut paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. 4.4 Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian bahan oksidator KMnO 4 pada empat dosis yang berbeda (0, 0,01%, 0,02% dan 0,03%) dengan atau tanpa pemberian 1000 ppm kapur (CaO atau Ca(OH) 2 ) pada endapan hasil aerasi pada laju 70 liter/menit ternyata memberikan hasil yang berbeda terhadap beberapa parameter kimia pada sentrat maupun pada endapan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan pembuatan pupuk cair dari bahan tersebut disajikan pada Tabel Lampiran 9 dan 10. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan KMnO 4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO 4 yang diberikan semakin tinggi menyebabkan peningkatan nilai TDS dan kadar Mn pada 115

61 sentrat. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 yang semakin tinggi, ph hanya sedikit mengalami perubahan hingga tidak berbeda nyata dibanding tanpa penambahan KMnO 4. Namun demikian, ada kecenderungan, ph makin menurun dengan semakin tinggi dosis KMnO 4 yang diberikan. Di lain pihak, pada perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menyebabkan ph yang nyata lebih tinggi dibanding tanpa penambahan KMnO 4. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO 4 ditingkatkan menyebabkan kadar beberapa logam mikro pada endapan cenderung mengalami peningkatan. Meskipun demikian, ada juga logam mikro lainnya yang mengalami penurunan sejalan dengan dosis KMnO 4 yang makin meningkat. Kondisi tersebut juga terjadi pada perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2, kadar beberapa logam mikro pada endapan ada yang mengalami peningkatan dan ada pula yang mengalami penurunan. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian KMnO 4 cenderung mengalami penurunan bila dosis KMnO 4 makin ditingkatkan. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH) 2 lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa kapur. Secara rinci, nilai-nilai dari parameter kimia yang diukur saat percobaan ini akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Nilai TDS, ph, Kadar Mn dan Ca, pada Sentrat Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian KMnO 4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan terhadap beberapa parameter kimia (nilai TDS, kadar Mn dan ph) pada sentrat. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Gambar 70, 71 dan

62 Gambar 70. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan KMnO 4 Nilai TDS mengalami peningkatan sejalan dengan makin meningkatnya dosis KMnO 4 (Gambar 70). Peningkatan nilai TDS ini ternyata berkaitan dengan peningkatan kadar Mn pada sentrat. Kadar Mn pada sentrat akibat pemberian KMnO 4 pada dosis 0,03% lebih tinggi dibanding kadar Mn akibat pemberian KMnO 4 pada dosis 0,02%, 0,01% dan 0% (Gambar 71). Gambar 71. Kadar Mn pada sentrat dari perlakuan KMnO 4 117

63 Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), apabila KMnO 4 ditambahkan ke dalam larutan yang bersifat basa, KMnO 4 tersebut akan bereaksi dengan air menghasilkan endapan MnO 2. Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO H 2 O > MnO 2 (s) + OH - Lindi yang digunakan dalam percobaan ini bersifat basa karena memiliki ph 8 hingga ph 9. Merujuk pada reaksi di atas, apabila pada lindi tersebut diberikan KMnO 4 pada dosis yang makin meningkat tanpa penambahan kapur dapat menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menghasilkan endapan MnO 2 dan OH -. Namun demikian, dengan semakin tinggi konsentrasi KMnO 4 yang diberikan, sedangkan - volume lindi sama, tetap akan menyebabkan lebih banyak MnO 4 tersisa yang tetap berada dalam larutan mengakibatkan MnO - 4 pada sentrat menjadi lebih banyak dibanding jumlah MnO - 4 pada sentrat yang berasal dari perlakuan pemberian KMnO 4 pada dosis yang lebih rendah. Oleh karena MnO - 4 merupakan salah satu bahan padatan terlarut yang dapat mempengaruhi nilai TDS, maka bila bahan tersebut pada sentrat makin meningkat sebagai akibat pemberian KMnO 4 pada dosis yang makin meningkat menyebabkan nilai TDS juga makin meningkat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan ph akibat pemberian KMnO 4 pada dosis yang makin tinggi. Namun hal ini tidak menyebabkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan tanpa kapur dan tanpa KMnO 4 (Gambar 72). Penurunan ph dapat diakibatkan oleh H + yang dihasilkan dari reaksi pembentukan logam hidroksida. H + merupakan penyebab kemasaman. Reaksi pembentukan H + digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO Fe H 2 O -----> MnO 2 (s) + 3Fe(OH) 3 (s) + 5H + Reaksi di atas menunjukkan bahwa OH - - yang dihasilkan dari MnO 4 dan H 2 O akan digunakan oleh logam terlarut Fe 2+ membentuk logam hidroksida (Fe(OH) 3 ) yang mudah mengendap dengan menghasilkan H +. Di lain pihak, pada dosis KMnO 4 yang sama terdapat perbedaan nilai TDS maupun kadar Mn pada sentrat antara perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan kapur (CaO atau Ca(OH) 2 ) dengan perlakuan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 (Gambar 70 dan 71). Pada dosis KMnO 4 yang sama, nilai TDS dari perlakukan pemberian KMnO 4 yang dikombinasikan dengan 118

64 penambahan CaO ataupun Ca(OH) 2 lebih rendah dibanding nilai TDS pada perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH) 2. Hal ini dapat disebabkan pada perlakuan yang ditambahkan CaO atau Ca(OH) 2 terjadi peningkatan konsentrasi OH - yang ditunjukkan oleh nilai ph yang lebih tinggi dibanding tanpa penambahan bahan tersebut (Gambar 72). Peningkatan konsentrasi OH - menyebabkan koloid terdisosiasi sehingga muatan negatif dari koloid juga meningkat yang mengakibatkan jumlah logamlogam terlarut termasuk Mn yang berasal dari penambahan KMnO 4 maupun Ca yang berasal dari penambahan kapur akan berikatan dengan koloid tersebut membentuk flok yang mudah mengendap. Selanjutnya dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan), flok tersebut akan membentuk endapan. Disamping itu, jumlah senyawa hidroksida yang mudah mengendap yang terbentuk dari logam Mn atau logam terlarut lainnya dengan OH - juga makin tinggi. Kedua hal tersebut menyebabkan jumlah Mn maupun logam-logam terlarut lainnya dalam sentrat makin berkurang. Pada akhirnya hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan nilai TDS pada sentrat. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2, apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan, juga menyebabkan ph menjadi menurun (Gambar 72). Penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 menyebabkan suasana menjadi lebih basa dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan kapur tersebut. Pada kondisi suasana lebih basa akan lebih banyak OH - dalam larutan. Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), OH - berlebih yang ada dalam larutan akan digunakan oleh ion permanganat (MnO - 4 ) membentuk ion manganat (MnO 2-4 ). Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO OH > MnO 4 2- Penggunaan OH - dalam pembentukan ion manganat (MnO 2-4 ) oleh ion permanganat (MnO - 4 ) mengakibatkan ph pada perlakuan pemberian KMnO 4 pada dosis yang makin meningkat yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 akan - mengalami penurunan. Apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan, MnO 4 yang akan menggunakan OH - dalam larutan akan makin banyak hingga ph akan menurun. 119

65 Gambar 72. ph pada sentrat dari perlakuan KMnO Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Gambar 73 sampai dengan Gambar 79 menunjukkan bahwa pemberian bahan oksidator KMnO 4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar logam mikro dalam endapan. Pada perlakuan tanpa kapur, semakin meningkat KMnO 4 yang diberikan menyebabkan logam Cu, Zn, Mn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan makin meningkat. Hal ini dapat disebabkan pemberian KMnO 4 pada lindi yang bersifat basa menyebabkan pembentukan endapan mangan dioksida (MnO 2 ) dan juga dihasilkan ion hidroksil (OH - ). Reaksi tersebut seperti yang digambarkan oleh Cotton dan Wilkinson (1989) sebagai berikut: MnO H 2 O > MnO 2 (s) + OH - OH - yang dihasilkan dari reaksi tersebut tidak menyebabkan ph > 9 (Gambar 72), sehingga OH - yang dihasilkan akan digunakan untuk berikatan dengan logam terlarut yang ada dalam lindi membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan. Secara lengkap, contoh reaksi pengendapan logam besi sebagai akibat pemberian KMnO 4 digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: 120

66 MnO Fe H 2 O -----> MnO 2 (s) + 3Fe(OH) 3 (s) + 5H + Reaksi di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis KMnO 4 yang diberikan akan menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menjadikan semakin banyak MnO 2 pada endapan, endapan logam hidroksida dan H +. Kondisi sebaliknya terjadi pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH) 2. Apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan justru menyebabkan kadar logam Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan menjadi makin rendah sebagai akibat terjadi reaksi yang justru memanfaatkan OH - - oleh MnO 4 membentuk senyawa lain. Cotton dan Wilkinson (1989) menggambarkan reaksi permanganat pada suasana sangat basa dengan kadar KMnO 4 yang makin meningkat sebagai berikut: MnO OH > MnO H 2 O Reaksi tersebut menggambarkan bahwa perlakuan pemberian KMnO 4 pada ph tinggi sebagai akibat penambahan kapur tidak menghasilkan OH -, tetapi justru memanfaatkan OH - yang ada dalam larutan dengan menghasilkan ion manganat (MnO 2-4 ). Semakin tinggi KMnO 4 berarti kadar MnO - 4 dalam larutan semakin tinggi karena menurut Cotton dan Wilkinson (1989), KMnO 4 dalam larutan akan berubah menjadi ion K + dan MnO Apabila jumlah MnO 4 semakin banyak maka jumlah OH - yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan MnO - 4 membentuk MnO 2-4 juga semakin banyak hingga menyebabkan jumlah OH - dalam larutan yang seharusnya bereaksi dengan logam terlarut membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan menjadi semakin sedikit. Hal inilah yang menyebabkan pada dosis KMnO 4 yang semakin tinggi, bila ditambahkan 1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2, ph semakin menurun dan kadar logam (Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd) dalam endapan juga semakin menurun. 121

67 Gambar 73. Kadar Cu pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 74. Kadar Zn pada endapan dari perlakuan KMnO 4 122

68 Gambar 75. Kadar Mn pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 76. Kadar Fe pada endapan dari perlakuan KMnO 4 123

69 Gambar 77. Kadar Pb pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 78. Kadar Cd pada endapan dari perlakuan KMnO 4 124

70 Gambar 79. Kadar Cr pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 80 memperlihatkan bahwa pada dosis KMnO 4 yang semakin meningkat, baik tanpa maupun dengan penambahan kapur menyebabkan kadar Ca dalam sentrat semakin menurun. Hal ini diduga merupakan akibat terbentuk senyawa yang mudah mengendap dari Ca. Di lain pihak, pada perlakuan tanpa kapur, bila dosis KMnO 4 ditingkatkan menyebabkan penurunan kadar Cr dalam endapan, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan kapur justru berlaku sebaliknya, Cr dalam endapan makin bertambah bila dosis KMnO 4 makin tinggi. Hal ini diduga pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm kapur akan menyebabkan logam Cr mengalami pengendapan (Gambar 79). 125

71 Gambar 80. Kadar Ca (ppm) pada sentrat dari perlakuan KMnO Pengaruh Pemberian KMnO 4 terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 81 dan Gambar 82 menunjukkan bahwa pemberian bahan oksidator KMnO 4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik dalam endapan. Tabel tersebut terlihat bahwa baik pada perlakuan tanpa maupun dengan penambahan CaO atau Ca(OH) 2, semakin tinggi konsentrasi KMnO 4 yang diberikan menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan semakin menurun. Hal ini dapat terjadi pada perlakuan tanpa kapur akibat proses oksidasi bahan organik oleh KMnO 4 dengan bantuan H + yang dihasilkan dari reaksi antara MnO 4 -, logam terlarut dan air membentuk logam hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi tersebut digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO Fe H 2 O > MnO 2 + 3Fe(OH) 3 (s) + 5H + H + yang dihasilkan dari reaksi di atas akan digunakan untuk mengoksidasi bahan organik. Sebagai contoh reaksi toluena dengan KMnO 4 adalah sebagai berikut (Takeuchi, 2008). 5C 6 H 5 CH 3 + 6MnO H + > 5C 6 H 5 COOH + 6Mn

72 - Berdasarkan reaksi di atas, apabila dosis KMnO 4 ditingkatkan, maka MnO 4 yang dihasilkan akan semakin banyak. Demikian halnya dengan H + yang dihasilkan juga semakin banyak dan H + tersebut akan digunakan untuk proses oksidasi bahan organik. Apabila proses oksidasi semakin intensif, maka bahan organik akan menjadi berkurang. Pada perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO maupun Ca(OH) 2, bahan organik dalam endapan juga semakin menurun bila dosis KMnO 4 yang diberikan semakin meningkat. Pada kasus ini, penurunan bahan organik dapat disebabkan pada dosis KMnO 4 yang semakin meningkat akan terjadi penggunaan OH - - oleh MnO 4 berlebih membentuk MnO 2-4. Penggunaan OH - akan menyebabkan terjadi penurunan jumlah OH - dalam larutan hingga berdampak pada penurunan pembentukan jumlah muatan negatif pada koloid organik. Penurunan pembentukan muatan negatif pada koloid organik selanjutnya mengakibatkan proses pengikatan logam terlarut oleh koloid organik membentuk flok yang mudah diendapkan juga makin berkurang. Gambaran rata-rata kadar bahan organik dari perlakuan pemberian KMnO 4 pada empat dosis yang berbeda disajikan pada Gambar 81 dan kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa maupun dengan penambahan kapur (CaO atau Ca(OH) 2 ) disajikan pada Gambar 82. Gambar 81. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO 4 pada empat dosis yang berbeda 127

73 Gambar 82. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO 4 Gambar 82 menunjukkan bahwa pada dosis KMnO 4 yang sama, perlakuan pemberian KMnO 4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH) 2 menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH) Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan KMnO 4 ) Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan nilai dari beberapa parameter kimia pada sentrat maupun endapan sebagai akibat proses fisik yang berbeda. Nilai TDS, kadar Ca dan Mn yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dibanding nilai dari ketiga parameter tersebut yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan. beberapa parameter kimia yang terdapat pada endapan. Hal sebaliknya terjadi pada nilai dari Kadar logam mikro maupun bahan organik yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih tinggi dibanding nilai dari parameter tersebut yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan pengocokan. Hal ini menunjukkan bahwa proses sentrifugasi pada lindi yang diberi perlakuan penambahan KMnO 4 lebih mampu mengendapkan logam-logam terlarut dan bahan organik dibanding proses pengocokan. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 36, Gambar 83 dan Gambar

74 Tabel 36. Nilai beberapa parameter kimia pada sentrat berdasarkan perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) Parameter Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 2692a 2722a ph 9,62a 9,54a Ca (ppm) 1,35a 1,59a Mn (ppm) 0,31a 0,53b Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Gambar 83. Kadar logam mikro dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) Gambar 84. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO 4 ) 129

75 4.4.5 Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan KMnO 4 ) Hal terpenting dalam penentuan dosis KMnO 4 yang akan diterapkan dalam pembuatan pupuk cair dari lindi adalah nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Mn dan Ca yang ada pada sentrat setelah KMnO 4 atau kapur ditambahkan pada saat proses pengolahan. Nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat yang diinginkan adalah yang paling minimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan KMnO 4 pada dosis 0,01% baik tanpa maupun dengan penambahan kapur memberikan nilai TDS dan kadar Mn pada sentrat lebih rendah dibanding perlakuan pemberian KMnO 4 pada dosis 0,02% maupun 0,03% (Gambar 70 dan Gambar 71). Pada perlakuan pemberian 0,01% KMnO 4 yang ditambahkan kapur (1000 ppm CaO atau Ca(OH) 2 ) menunjukkan kadar logam mikro essensial Cu, Zn dan Fe pada endapan lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian KMnO 4 0,02% atau 0,03%. Atas dasar hal tersebut, pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan dari perlakuan penambahan KMnO 4 yang dipilih untuk diaplikasikan pada percobaan rumah kaca adalah endapan yang dihasilkan dari perlakuan penambahan 0,01% KMnO 4 baik dengan atau tanpa penambahan 1000 ppm CaO Kadar Hara, E. coli dan Bahan Organik pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi Kelayakan pupuk cair yang dihasilkan dari lindi TPA sampah ditentukan oleh kadar hara makro dan hara mikro serta jumlah bakteri patogen yang terdapat di dalamnya. Jumlah bakteri patogen diindikasikan oleh jumlah E. coli. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan kadar hara makro, hara mikro dan jumlah E. coli yang terdapat pada endapan lindi dengan atau tanpa penambahan kapur maupun KMnO 4 yang diujicobakan pada percobaan rumah kaca serta kesesuaiannya dengan Standar Minimal Pupuk Cair yang telah ditetapkan Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 2003 seperti yang disajikan pada Tabel 37, 38 dan 39. Kadar hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) maupun kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) dalam edapan lindi yang dijadikan bahan pupuk cair masih berada di bawah Standar Minimal Pupuk Cair Organik yang ditetapkan Menteri Pertanian RI tahun 2003, sedangkan kadar E. coli tidak disebutkan dalam standar tersebut, namun kadar E. coli yang terdapat dalam bahan pupuk cair dari lindi masih berada di bawah standar mutu air baku untuk minum. 130

76 Tabel 37. Kadar hara makro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian Kadar Hara Makro dalam Endapan (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Organik Cair * N P K Ca Mg S Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk Lindi 6,23 12,32 87,33 97,46 91,06 8,42 Lindi disentrifugasi 121,42 31,43 845,68 393,60 264,50 16,80 Lindi dikocok 98,26 26,75 731,65 326,41 234,43 12,39 Lindi ppm CaO disentrifugasi 375,83 121,44 948, ,50 48,53 Lindi ppm CaO dikocok 324,54 97,76 827, ,98 37,52 Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 144,55 62, ,58 523,05 324,77 28,26 Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok 137,21 54, ,63 496,29 296,38 24,92 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 306,40 93, , ,10 897,50 39,23 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok 287,42 86,77 986, ,36 864,93 32,84 Lauxin Alami Kontanik Petrovita , Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003 N tidak disebutkan P 2 O 5 tidak disebutkan K 2 O tidak disebutkan Ntotal 20% P 2 O 5 < 8% K 2 O < 15% Total N, P 2 O 5 dan K 2 O 10% 131

77 Tabel 38. Kadar logam mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Kadar Logam Mikro (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Digunakan dalam Organik Cair * Penelitian Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk Lindi 0,13 0,45 4,91 11,00 0,03 0,11 0,28 Lindi disentrifugasi 9,66 12,52 165,58 261,65 12,88 7,02 2,17 Lindi dikocok 5,98 8,19 126,51 240,94 7,05 6,23 1,71 Lindi ppm CaO disentrifugasi Lindi ppm CaO dikocok 9,83 35,68 264,81 348,24 13,53 7,86 2,27 6,63 24,36 196,33 293,65 7,15 7,06 1,83 Zn < 2500 ppm Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok 13,75 19,28 435,27 316,76 13,96 9,09 1,98 7,79 12,96 418,21 258,87 9,93 8,23 2,17 Pb < 50 ppm Cd < 10 ppm Cu < ppm Cu < 2500 ppm Mn < 2500 ppm Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 16,72 39,42 429,25 362,82 16,25 9,62 2,43 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok 12,77 30,55 410,87 305,88 14,32 8,84 1,87 Lauxin 20,00 8,00 24, Fe < 400 pm Alami 85 30,00 85, Kontanik < 0, Petrovita ,22 57, Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/

78 Tabel 39. Kadar E. coli dan bahan organik yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan Kadar Logam Mikro dalam Endapan (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * dalam Penelitian Organik Cair * E. coli (MPN/100 ml) Bahan Organik (ppm) Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk Lindi Lindi disentrifugasi Lindi dikocok Lindi ppm CaO disentrifugasi Lindi ppm CaO dikocok Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003 C-organik 6% E. coli tidak disebutkan C-organik tidakdisebutkan E. coli tidak disebutkan C-organik tidak disebutkan E. coli tidak disebutkan 133

79 4.5 Hasil Percobaan Rumah Kaca Pemberian pupuk cair ditujukan untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang lebih baik dibanding tanpa pemberian bahan tersebut. Namun di lain pihak, pemberian pupuk cair sebagai pupuk daun yang mengandung logam mikro seperti halnya Pb, Cd dan Cr dapat menimbulkan kekhawatiran akan berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Hal ini dapat terjadi apabila pemberian bahan tersebut menyebabkan kadar logam mikro Pb, Cd dan Cr dalam bagian tanaman yang dikonsumsi manusia berada di atas ambang batas yang dapat ditoleransikan. Oleh karena itu, pemantauan terhadap kadar logam tersebut dalam bagian tanaman yang akan dikonsumsi manusia harus sangat diperhatikan. Hasil percobaan rumah kaca dengan mengaplikasikan pupuk cair berbahan dasar lindi maupun pupuk cair komersial sebagai pupuk daun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini diperlihatkan oleh tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah yang bervariasi dan berbeda nyata dibanding kontrol. Dari hasil percobaan ini juga didapatkan bahwa pengaplikasian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun ternyata tidak menyebabkan kadar beberapa logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan rumah kaca disajikan pada Tabel Lampiran 11, sedangkan nilai dari masing-masing parameter yang diperoleh dari percobaan rumah kaca akan diuraikan di bawah ini Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang tidak diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 85 - Gambar 87, sedangkan hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95. Di antara pupuk cair yang tidak diperkaya dengan hara NPK menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan penambahan 1000 ppm CaO menunjukkan bobot brangkasan, bobot buah dan jumlah buah tertinggi. 134

80 Gambar 85. Bobot brangkasan dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Gambar 86. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) 135

81 Gambar 87. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Gambar 92 - Gambar 95 menunjukkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Data pada Tabel 40 menunjukkan bahwa pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot barngkasan, jumlah buah dan bobot buah) dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding kontrol. Tabel 40 juga memperlihatkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial juga nyata lebih tinggi dibanding kontrol dan tidak berbeda nyata dibanding tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pemberian 1000 CaO yang diperkaya dengan hara NPK maupun perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO 4 yang diperkaya dengan hara makro NPK. Jumlah parameter yang nyata berbeda maupun tidak berbeda nyata dibanding kontrol dari perlakuan-perlakuan yang dicobakan disajikan pada Tabel

82 Tabel 40. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial Perlakuan Tinggi Tanaman Bobot Brangkasan Jumlah Buah Bobot Buah Σ parameter yang Nyata Berbeda Dibanding Kontrol + NPK Kontrol 26,50 a 8,34 a 0,5 a 1,49 a NPK 27,75 ab 9,01 a 1,0 ab 3,32 ab - - Lindi S 28,50 abc 9,13 a 1,5 abc 4,67 ab - - Lindi P 28,00 ab 9,13 a 1,0 ab 3,36 ab - - Lindi S + NPK 31,50 bcde 12,82 abcd 2,5 abc 9,24 abcd 1 - Lindi P + NPK 31,00 bcde 12,42 abcd 2,5 abc 7,65 abc 1 - Lindi + CaO 1000 ppm S 29,00 abcd 12,29 abcd 2,5 abc 8,42 abcd - - Lindi + CaO 1000 ppm P 28,50 abc 10,92 abc 2,0 abc 6,21 ab - - Lindi + CaO 1000 ppm S + NPK 32,50 de 17,24 cd 7,0 e 24,23 g 4 4 Lindi + CaO 1000 ppm P + NPK 32,00 cde 16,37 bcd 5,0 de 17,71 defg 4 4 Lindi + KMnO 4 0,01% S 28,50 abc 10,75 abc 2,0 abc 6,32 ab - - Lindi + KMnO 4 0,01% P 28,50 abc 10,47 ab 1,5 abc 5,07 ab - - Lindi + KMnO 4 0,01% S + NPK 32,00 cde 15,79 bcd 3,5 cd 12,53 bcdef 4 3 Lindi + KMnO 4 0,01% P + NPK 31,50 bcde 14,26 abcd 3,0 bcd 9,83 abcde 2 - Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% S Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% P Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% S + NPK Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO 4 0,01% P + NPK 29,00 abcd 11,58 abcd 2,5 abc 8,28 abcd ,50 abc 10,64 ab 1,5 abc 5,55 ab ,00 cde 16,77 bcd 6,5 e 22,39 fg ,00 cde 16,08 bcd 5,0 de 17,64 cdefg 4 4 Alami 32,50 de 16,59 bcd 6,0 e 19,68 efg 4 4 Lauxin 32,00 cde 16,93 bcd 3,0 cd 11,24 abcde 3 3 Petrovita 32,50 de 16,52 bcd 6,5 e 23,23 g 4 4 Kontanik 34,00 e 17,90 d 7,0 e 25,54 g 4 4 Ket : Angka yang diikuti oleh hiruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata dibanding kontrol pada taraf 1% S = Sentrifugasi P = Pengocokan Tabel 40 memperlihatkan bahwa diantara perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi, pertumbuhan (tinggi dan bobot brangkasan) dan produksi tanaman (jumlah buah dan bobot buah) tertinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol pada keempat parameter tersebut terdapat pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang disentrifugasi atau dikocok dan 137

83 diperkaya dengan hara NPK maupun pada perlakuan penambahan 1000 ppm CaO dan KMnO 4 0,01% yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK. Pada perlakuan penambahan KMnO 4 0,01% yang disentrifugasi dan diperkaya dengan hara NPK, parameter yang nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian NPK hanya untuk tiga parameter saja, yakni tinggi, bobot brangkasan dan jumlah buah. Pada perlakuan pemberian pupuk cair dari lindi (tanpa penambahan kapur atau KMnO 4 ) yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK, meskipun pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah) memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol, namun tiga dari keempat parameter tersebut yakni bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah belum menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding kontrol. Pada perlakuan tersebut hanya tinggi tanaman saja yang berbeda nyata dibanding kontrol. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO maupun pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO 4 menyamai pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial. Pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO maupun penambahan 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO 4 yang diberi perlakuan fisik sentrifugasi atau pengocokan mengandung hara makro N, P, Ca dan S tertinggi serta hara mikro seperti Cu, Zn, Mn dan Fe yang juga cukup tinggi (Tabel 37 dan Tabel 38). Apabila jumlah hara tersebut tercukupi, maka pertumbuhan dan produksi tanaman akan menjadi lebih baik. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol, juga lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding pertumbuhan dan produksi dari tanaman yang hanya diberi NPK (Tabel 40). Hal ini disebabkan pada pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ini, juga terdapat unsur hara makro NPK dan unsur hara mikro essensial yang lebih tinggi dibanding kedua perlakuan tersebut. Kadar hara makro NPK dan hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe pada pupuk cair komersial disajikan pada Tabel 41. Pada masing-masing pupuk cair komersial, jumlah unsur tersebut bervariasi. Akibat keberadaan hara NPK pada pupuk cair komersial lebih tinggi dilengkapi dengan hara mikro essensial pada pupuk cair komersial, maka kebutuhan tanaman akan unsur-unsur tersebut menjadi lebih terpenuhi dibanding kontrol. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), unsur N dibutuhkan tanaman dalam penyusunan 138

84 protein dan meningkatkan kadar selulosa, unsur P dibutuhkan tanaman untuk menyusun jaringan tanaman, pembentukan bunga dan organ untuk reproduksi, sedangkan unsur K dibutuhkan tanaman untuk pengembangan sel dan mengatur tekanan osmosis. Jenis dan jumlah unsur hara makro dan hara mikro yang terkandung pada masing-masing pupuk cair komersial yang digunakan pada penelitian ini bervariasi. Secara rinci, kadar unsur hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar hara makro maupun hara mikro yang terkandung dalam pupuk cair komersial disajikan pada Tabel

85 Tabel 41. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian Kadar Logam Mikro (ppm) N P K Ca Mg S Cu Zn Mn Fe Lindi 6,23 12,32 87,33 97,46 91,06 8,42 0,13 0,45 4,91 11,00 Lindi disentrifugasi 121,42 31,43 845,68 393,60 264,50 16,80 9,66 12,52 165,58 261,65 Lindi dikocok 98,26 26,75 731,65 326,41 234,43 12,39 5,98 8,19 126,51 240,94 Lindi ppm CaO disentrifugasi 375,83 121,44 948, ,50 48,53 9,83 35,68 264,81 348,24 Lindi ppm CaO dikocok 324,54 97,76 827, ,98 37,52 6,63 24,36 196,33 293,65 Lindi + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 144,55 62, ,58 523,05 324,77 28,26 13,75 19,28 435,27 316,76 Lindi + 0,01% KMnO 4 dikocok 137,21 54, ,63 496,29 296,38 24,92 7,79 12,96 418,21 258,87 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 disentrifugasi 306,40 93, , ,10 897,50 39,23 16,72 39,42 429,25 362,82 Lindi ppm CaO + 0,01% KMnO 4 dikocok 287,42 86,77 986, ,36 864,93 32,84 12,77 30,55 410,87 305,88 Lauxin ,00 8,00 24,70 - Alami ,00 85,00 16 Kontanik < 0, Petrovita , ,22 57,

86 4.5.2 Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dihasilkan melalui Proses Fisik yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair yang diproses melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Gambar 88 - Gambar 91. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui proses fisik yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan yang ditunjukkan oleh jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses sentrifugasi lebih tinggi dibanding jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses pengocokan. Hal ini disebabkan pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui sentrifugasi mengandung hara makro dan hara mikro lebih tinggi dibanding kadar hara tersebut yang ada dalam bahan pupuk cair yang diolah melalui proses pengocokan mengakibatkan kebutuhan akan unsur-unsur tersebut pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses sentrifugasi lebih terpenuhi dibanding pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pengocokan. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Tabel

87 Gambar 88. Jumlah buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Gambar 89. Bobot buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan 142

88 Gambar 90. Tinggi tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan Gambar 91. Bobot brangkasan tanaman dari perlakuan sentrifugasi atau pengocokan 143

89 Hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe, meskipun dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit, namun memiliki fungsi yang sangat vital. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), Cu berfungsi dalam metabolisme protein dan karbohidrat, Zn berfungsi untuk asimilasi CO 2 dan metabolisme N, Mn berfungsi untuk sintesis protein dan karbohidrat, sedangkan Fe berfungsi sebagai penyusun klorofil, protein maupun enzim dan berperanan dalam perkembangan kloroplas. Di lain pihak, unsur N, P, K, Ca, Mg dan S merupakan unsur hara makro essensial, unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak. Umumnya unsurunsur tersebut dibutuhkan tanaman untuk proses metabolisme. Menurut Novizan (2005), sebagai unsur hara essensial, Ca diperlukan tanaman untuk digunakan dalam proses metabolismenya dan fungsi Ca tidak dapat digantikan oleh unsur hara lainnya. Kekurangan unsur ini akan menyebabkan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang tidak semestinya Pengaruh Penambahan NPK pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Upaya memperkaya pupuk cair berbahan dasar lindi melalui penambahan hara makro NPK masing-masing sebesar 10% ternyata berpengaruh terhadap keempat parameter yang diukur (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah maupun bobot buah) yang ditunjukkan oleh nilai dari keempat parameter tersebut dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi dibanding tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa penambahan NPK. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan unsur hara makro NPK pada bahan pupuk cair yang berasal dari lindi memang sangat perlu karena NPK merupakan unsur hara makro essensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Fenomena tersebut juga mengindikasikan unsur NPK dalam bahan pupuk cair dari hasil olahan lindi kurang memadai untuk mencapai pertumbuhan tanaman yang lebih baik apabila dosis pemberian disamakan dengan pupuk cair komersial. Perbedaan pertumbuhan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan unsur hara NPK dengan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa NPK disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95, sedangkan gambaran visualnya disajikan pada Gambar 96 - Gambar

90 Gambar 92. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK Gambar 93. Bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK 145

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga berada di wilayah dengan curah hujan yang cukup tinggi, yakni sebesar 287,5 mm/bulan menyebabkan TPA sampah ini mampu menghasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut Pengolahan Aerasi Aerasi adalah salah satu pengolahan air dengan cara penambahan oksigen kedalam air. Penambahan oksigen dilakukan sebagai salah satu usaha pengambilan zat pencemar yang tergantung di dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan dan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LINDI SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TPA SAMPAH LESTARI

PENGOLAHAN LINDI SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TPA SAMPAH LESTARI PENGOLAHAN LINDI SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TPA SAMPAH LESTARI Nurhasanah (nenganah@mail.ut.ac.id) Universitas Terbuka Latifah K. Darusman Surjono Hadi Sutjahjo Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di tengah era globalisasi ini industri pangan mulai berkembang dengan pesat. Perkembangan industri pangan tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960 RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR Oleh DEDY BAHAR 5960 PEMERINTAH KABUPATEN TEMANGGUNG DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI 1 (STM PEMBANGUNAN) TEMANGGUNG PROGRAM STUDY KEAHLIAN TEKNIK KIMIA KOPETENSI KEAHLIAN KIMIA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang BAB II TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Air 2.1.1 Air Bersih Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang dinamakan siklus hidrologi. Air yang berada di permukaan menguap ke langit, kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum sehingga merupakan modal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kelarutan P dari Fosfat Alam Rataan hasil pengukuran kadar P dari perlakuan FA dan pupuk N pada beberapa waktu inkubasi disajikan pada Tabel 1. Analisis ragamnya disajikan pada Lampiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri pembuatan tahu dalam setiap tahapan prosesnya menggunakan air dengan jumlah yang relatif banyak. Artinya proses akhir dari pembuatan tahu selain memproduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan AIR Sumber Air 1. Air laut 2. Air tawar a. Air hujan b. Air permukaan Impurities (Pengotor) air permukaan akan sangat tergantung kepada lingkungannya, seperti - Peptisida - Herbisida - Limbah industry

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia Abu Terbang PLTU Suralaya Abu terbang segar yang baru diambil dari ESP (Electrostatic Precipitator) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

TARIF LINGKUP AKREDITASI

TARIF LINGKUP AKREDITASI TARIF LINGKUP AKREDITASI LABORATORIUM BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG BIDANG PENGUJIAN KIMIA/FISIKA TERAKREDITASI TANGGAL 26 MEI 2011 MASA BERLAKU 22 AGUSTUS 2013 S/D 25 MEI 2015 Bahan Atau Produk Pangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian terak baja berpengaruh nyata terhadap peningkatan ph tanah (Tabel Lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu Berdasarkan analisis ANAVA (α=0.05) terhadap Hubungan antara kualitas fisik dan kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik sludge 4.1.1. Sludge TPA Bantar Gebang Sludge TPA Bantar Gebang memiliki kadar C yang cukup tinggi yaitu sebesar 10.92% dengan kadar abu sebesar 61.5%.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing,

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri rumah tangga yang sering dipermasalahkan karena limbahnya yang berpotensi mencemari lingkungan yang ada di sekitarnya

Lebih terperinci

TES PRESTASI BELAJAR. Hari/tanggal : Senin/7 Mei 2012 Mata Pelajaran: Kimia Waktu : 90 menit

TES PRESTASI BELAJAR. Hari/tanggal : Senin/7 Mei 2012 Mata Pelajaran: Kimia Waktu : 90 menit TES PRESTASI BELAJAR Hari/tanggal : Senin/7 Mei 2012 Mata Pelajaran: Kimia Waktu : 90 menit Petunjuk : 1. Berdoalah sebelum mengerjakan soal 2. Bacalah petunjuk soal terlebih dahulu 3. Pilih salah satu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 P-larut Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 9 (Lampiran), dan berdasarkan hasil analisis ragam pada

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai usaha telah dilaksanakan oleh pemerintah pada akhir-akhir ini untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRASI CaCo3 DAN KARBON AKTIF TERHADAP KUALITAS AIR DI DESA NELAYAN I KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRASI CaCo3 DAN KARBON AKTIF TERHADAP KUALITAS AIR DI DESA NELAYAN I KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA Vol 3 Nomor 1 Januari-Juni 2015 Jurnal Fropil PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRASI CaCo3 DAN KARBON AKTIF TERHADAP KUALITAS AIR DI DESA NELAYAN I KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA Endang Setyawati Hisyam

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Karakteristik Tanah Awal Podsolik Jasinga Hasil analisis kimia dan fisik Podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan kriteria PPT (1983), Podsolik Jasinga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber-Sumber Air Sumber-sumber air bisa dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu: 1. Air atmosfer Air atmesfer adalah air hujan. Dalam keadaan murni, sangat bersih namun keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Tanah Awal Data hasil analisis tanah awal disajikan pada Tabel Lampiran 2. Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia dan Fisika Tanah PPT (1983) yang disajikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fosfor yang ada di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk

TINJAUAN PUSTAKA. Fosfor yang ada di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketersediaan P dalam Tanah Fosfor yang ada di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk organik P ditemukan dalam bahan organik dan humus. Fosfor dalam bahan organik

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH KARAKTERISTIK LIMBAH Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban dan konsistensinya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur terhadap Sifat Kimia Tanah Pengaplikasian Electric furnace slag (EF) slag pada tanah gambut yang berasal dari Jambi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kimia: Meliputi Kimia Organik, Seperti : Minyak, lemak, protein. Besaran yang biasa di

BAB I PENDAHULUAN. Kimia: Meliputi Kimia Organik, Seperti : Minyak, lemak, protein. Besaran yang biasa di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Air adalah semua air yang terdapat di alam atau berasal dari sumber air, dan terdapat di atas permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat

Lebih terperinci

Gambar 3. Penampakan Limbah Sisa Analis is COD

Gambar 3. Penampakan Limbah Sisa Analis is COD IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Limbah Laboratorium Limbah laboratorium yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah sisa analisis COD ( Chemical Oxygen Demand). Limbah sisa analisis COD

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

SNI butir A Air Minum Dalam Kemasan Bau, rasa SNI butir dari 12

SNI butir A Air Minum Dalam Kemasan Bau, rasa SNI butir dari 12 LAMPIRAN SERTIFIKAT AKREDITASI LABORATORIUM NO. LP-080-IDN Bahan atau produk yang Jenis Pengujian atau sifat-sifat yang Spesifikasi, metode pengujian, teknik yang Kimia/Fisika Pangan Olahan dan Pakan Kadar

Lebih terperinci

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand) Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Latosol (Oxic Distrudept) Darmaga Berdasarkan kriteria sifat kimia tanah menurut PPT (1983) (Lampiran 2), karakteristik Latosol (Oxic Distrudept) Darmaga (Tabel 2) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin besarnya laju perkembangan penduduk dan industrialisasi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Padatnya pemukiman dan kondisi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA Tambak udang vannamei masyarakat Desa Poncosari, Srandakan, Bantul merupakan tambak udang milik masyarakat yang berasaskan koperasi dari kelompok tambak yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi. Air digunakan hampir di setiap aktivitas makhluk hidup. Bagi manusia, air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV. 1 Struktur Hidrolika Sungai Perhitungan struktur hidrolika sungai pada segmen yang ditinjau serta wilayah hulu dan hilir segmen diselesaikan dengan menerapkan persamaanpersamaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Inceptisol Indramayu Inceptisol Indramayu memiliki tekstur lempung liat berdebu dengan persentase pasir, debu, liat masing-masing 38%,

Lebih terperinci

PERSYARATAN PENGAMBILAN. Kuliah Teknologi Pengelolaan Limbah Suhartini Jurdik Biologi FMIPA UNY

PERSYARATAN PENGAMBILAN. Kuliah Teknologi Pengelolaan Limbah Suhartini Jurdik Biologi FMIPA UNY PERSYARATAN PENGAMBILAN SAMPEL Kuliah Teknologi Pengelolaan Limbah Suhartini Jurdik Biologi FMIPA UNY Pengambilan sampel lingkungan harus menghasilkan data yang bersifat : 1. Obyektif : data yg dihasilkan

Lebih terperinci

AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT BAB VI AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT 6.1. Karakteristik Umum Suatu industri penyamakan kulit umumnya menghasilkan limbah cair yang memiliki 9 (sembilan) kelompok pencemar yaitu : 1) Patogen, 2)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Pengenalan Air Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun

Lebih terperinci

TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA

TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA Jl. M.T. Haryono / Banggeris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya perkembangan industri, semakin menimbulkan masalah. Karena limbah yang dihasilkan di sekitar lingkungan hidup menyebabkan timbulnya pencemaran udara, air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

Karakteristik Air Limbah

Karakteristik Air Limbah Karakteristik Air Limbah Prof. Tjandra Setiadi, Ph.D. Program Studi Teknik Kimia FTI Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Institut Teknologi Bandung Email: tjandra@che.itb.ac.id Fisik Karakteristik Air

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Abu Terbang dan Bahan Humat pada Pertumbuhan Tanaman Sengon Hasil analisis ragam menunjukkan adanya interaksi pengaruh antara abu terbang dan bahan humat pada peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit Pencemaran air limbah sebagai salah satu dampak pembangunan di berbagai bidang disamping memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu peningkatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebagai bahan baku air minum, keperluan perikanan, industri, dan lain-lain)

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebagai bahan baku air minum, keperluan perikanan, industri, dan lain-lain) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air Pencemaran air terjadi bila beberapa bahan atau kondisi yang dapat menyebabkan penurunan kualitas badan air sehingga tidak memenuhi baku mutu atau tidak dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Status Mutu Air Sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Pupuk didefinisikan sebagai material yang ditambahkan ke tanah dengan tujuan untuk melengkapi ketersediaan unsur hara. Bahan pupuk yang paling awal digunakan adalah kotoran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia, termasuk di Yogyakarta, selain membawa dampak positif juga menimbulkan dampak negatif, seperti terjadinya peningkatan jumlah limbah

Lebih terperinci

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. BAB I PENDAHULUAN I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. Sumber pencemaran lingkungan diantaranya

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. rata-rata nilai BOD dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1. Nilai BOD dari tahun 2007 sampai 2014.

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. rata-rata nilai BOD dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1. Nilai BOD dari tahun 2007 sampai 2014. BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisa Parameter Kualitas Air Limbah BOD 5.1.1. Parameter BOD Analisa terhadap nilai BOD pada instalasi pengolahan air limbah pada tahun 2007-2014 dilakukan dengan menganalisa

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN SUMBER AIR BAKU AIR MINUM

BAB IV TINJAUAN SUMBER AIR BAKU AIR MINUM BAB IV TINJAUAN SUMBER AIR BAKU AIR MINUM IV.1. Umum Air baku adalah air yang memenuhi baku mutu air baku untuk dapat diolah menjadi air minum. Air baku yang diolah menjadi air minum dapat berasal dari

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan di bidang industri dan teknologi membawa kesejahteraan khususnya di sektor ekonomi. Namun demikian, ternyata juga menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan,

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tambah kecuali sekedar mempermudah sistem pembuangan. adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (ouput).

BAB I PENDAHULUAN. tambah kecuali sekedar mempermudah sistem pembuangan. adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (ouput). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah tersebut dapat

Lebih terperinci