ANALISIS HUBUNGAN SUMBERDAYA IKAN KERAPU (SERRANIDAE) DENGAN KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG : IMPLIKASI UNTUK PENGELOLAAN LILI WIDODO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS HUBUNGAN SUMBERDAYA IKAN KERAPU (SERRANIDAE) DENGAN KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG : IMPLIKASI UNTUK PENGELOLAAN LILI WIDODO"

Transkripsi

1 ANALISIS HUBUNGAN SUMBERDAYA IKAN KERAPU (SERRANIDAE) DENGAN KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG : IMPLIKASI UNTUK PENGELOLAAN LILI WIDODO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang : Implikasi untuk Pengelolaan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Lili Widodo NRP. C

3 ABSTRACT LILI WIDODO. On the relationship between grouper (fish: Family Serranidae) and coral reef condition: Implication for management. Under direction of M. MUKHLIS KAMAL and ZAIRION Ecosystem-based resource management was required basic information such problems and the condition of coral reefs and associated fish (grouper). The aims of this research were : 1) Assess habitat characteristics and grouper at the research location. 2) Analysis the factors that influenced the abundance of grouper in the research location 3) Analysis correlation between resources grouper with coral reef ecosystems. Collection of coral cover data using LIT (Line Intercept Transect Method), grouper data include: size (small, medium and long), living habits and abundance, with reef fish visual census methods and LIT. The results showed that the number of variables analyzed, only variables grouper abundance and percentage cover of live coral that showed a significant correlation value or there is a close relationship to the value of the 95% confidence interval (α: 0.05) with R 2 = ( 63%). Grouper abundance was strongly influenced by the condition of coral cover and fish catching patterns that are not environmentally friendly (blast fishing). Anxiety grouper resources on the characteristics of habitat characterized by high hard coral. Key words : Grouper fish, coral reef, fishing method, management, sustainability

4 RINGKASAN LILI WIDODO. Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang: Implikasi untuk Pengelolaan. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan ZAIRION. Pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem memerlukan informasi dasar tentang potensi ekosistem pendukungnya seperti ekosistem terumbu karang dan jenis-jenis ikan yang berasosiasi di dalamnya. Informasi-informasi tersebut berupa permasalahan dan kondisi terumbu karang serta ikan kerapu. Keterkaitan ikan kerapu terhadap terumbu karang sangat tinggi karena fungsi ekologis terumbu karang sebagai penyedia makanan, tempat hidup dan tempat perlindungan. Banyak celah dan lubang di terumbu karang sebagai tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan yang berada di sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengkaji karakteristik habitat dan ikan kerapu di lokasi penelitian. 2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian. 3) Menganalisis hubungan antara sumberdaya ikan kerapu dengan ekosistem terumbu karang. Penelitian ini dilakukan di perairan Pesisir Selatan Teluk Kupang dan Sekitarnya, yang dilaksanakan dari bulan April-Juni Pengambilan data penutupan karang dengan transek garis menyinggung adalah dengan membentangkan roll meter sepanjang 50 m. Transek garis sepanjang 50 m diletakkan sejajar dengan garis pantai. Kondisi terumbu karang diamati dengan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect Method). Pengambilan data ikan kerapu meliputi: ukuran (kecil, sedang dan panjang), kebiasaan hidup dan kelimpahannya, metode yang digunakan adalah metode sensus visual ikan karang (coral reef fish visual census). Pemasangan garis transek ikan karang (50 m) di lokasi yang sama dengan LIT. Pengambilan data parameter lingkungan dilakukan secara insitu di lokasi penelitian meliputi: kecerahan, suhu, salinitas, kecepatan arus, kekeruhan dan ph. Secara umum, hasil penelitian untuk pengukuran parameter fisika-kimia perairan di lokasi penelitian menunjukkan variasi yang rlatif kecil antar stasiun pengamatan serta masih berada dalam kisaran yang layak bagi kehidupan biota karang dan ikan kerapu. Hasil analisis kelompok terhadap habitat terubu karang menghasilkan 3 kelompok habitat terumbu karang yaitu Kelompok 1 terdiri dari 5 stasiun (Tanjung Kelapa, Bolok, Pulau Kambing, Pasir Panjang dan Paradiso). Kelompok ini dicirikan dengan persentase tutupan karang hidup yang tinggi (rerata 47,73%), Kelompok habitat 2 : terdiri dari stasiun 2 stasiun yaitu (Hansisi dan Tanjung Uikalui). Kelompok ini dicirikan dengan persen tutupan other biota (rerata 58%). Kelompok habitat 3 : terdiri dari stasiun 2 stasiun pengamatan yaitu Uiasa dan Otan. Kelompok ini dicirikan dengan persentase tutupan karang hidup dan other biota yang tinggi (rerata 41,17% dan 33,33%). Hasil analisis menunjukan bahwa dari beberapa variabel yang dianalisis hanya variabel kelimpahan ikan kerapu dan persentase tutupan karang hidup yang menunjukan nilai hubungan yang signifikan atau terdapat hubungan yang erat pada nilai selang kepercayaan 95% (α : 0,05) dengan nilai R 2 = 0,628 (63%), sedangkan variabel lainnya (antara variabel kelimpahan ikan kerapu dengan

5 persentase tutupan karang mati, persentase tutupan other biota, persentase tutupan alga dan persentase tutupan abiotik) menunjukan nilai hubungan yang tidak signifikan atau tidak menunjukan hubungan yang erat. Kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh kondisi tutupan terumbu karang dan pola penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (dengan menggunakan bom). Dimana tutupan terumbu karang yang baik serta tidak adanya upanya penangkapan dengan menggunakan bom maka kelimpahan ikan kerapu akan tinggi, ketertarikan sumberdaya ikan kerapu terhadap karakteristik habitat dicirikan dengan keberadaan terumbu karang hidup (Hard Coral/HC) yang tinggi Kata kunci: Terumbu karang, ikan kerapu, pola penangkapan ikan, pengelolaan, kelestarian sumberdaya

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

7 ANALISIS HUBUNGAN SUMBERDAYA IKAN KERAPU (SERRANIDAE) DENGAN KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG : IMPLIKASI UNTUK PENGELOLAAN LILI WIDODO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

9 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : : : : Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang : Implikasi untuk Pengelolaan Lili Widodo C Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Ketua Ir. Zairion, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 6 September 2010 Tanggal Lulus :

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 6 Juni Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan ayah Lasim (alm) dan ibu Hj. Djuwartini. Pada tahun 1985 penulis lulus dari SD Negeri Sumberjati, tahun 1988 lulus dari SMP Negeri Ambal, dan tahun 1991 lulus dari SMA Negeri Prembun. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya lulus tahun Pada tahun 2008, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan Program Magister Sains (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana-IPB yang merupakan program pendidikan Sandwich kerjasama IPB dan Ryukyus University, Okinawa, Jepang, melalui pendanaan dari COREMAP-DKP-World Bank. Penulis bekerja sebagai staf pelaksana pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan, sejak tahun 2002 sampai sekarang.

11 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April hingga Juni 2010 ini adalah Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang : Implikasi untuk Pengelolaan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Bapak Ir. Zairion, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan ide pemikiran dan arahan dalam penyusunan tesis, Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan saran demi kesempurnaan tesis, Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf sekretariat SPL atas bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di SPL-IPB, Dr. Yusli Wardiatmo, M.Sc selaku Ketua Departemen MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich COREMAP II-DKP dan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan pendidikan dan beasiswa yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahnda, ibunda, istriku tercinta (Evy Ardiyanti), anak-anakku tersayang (Gading, Raya, Rafif) serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, rekan-rekan SPL-Sandwich COREMAP II-Worl Bank atas kebersamaannya selama mengikuti masa studi, teman-teman selama penelitian di lapangan : Group Kupang (Gunawan, Jisrael, Imel, Ivone Bunga, Bambang Anis dan Adi Broken ) atas kerjasama dan dukungan yang diberikan selama penelitian. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat. Bogor, September 2010 Lili Widodo

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. xix DAFTAR GAMBAR.. xxi DAFTAR LAMPIRAN.. xxiii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kerapu Ekosistem Terumbu Karang Kondisi Lingkungan Perairan Hubungan Ikan Kerapu dengan Terumbu Karang Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Ekosistem METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Jenis dan Data yang Dikumpulkan Data Primer Data Sekunder Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang Kondisi Ikan Kerapu Interaksi Masyarakat Sekitar Lokasi Penelitian Terhadap Sumberdaya (Ikan Kerapu dan Terumbu Karang) Parameter Lingkungan Analisis Data Kondisi Terumbu Karang Ikan Karang dan Kerapu Hubungan Ikan kerapu terhadap Habitat Terumbu Karang HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi.. 29 xvii

13 xviii 4.2 Kondisi Parameter Lingkungan Suhu Salinitas Kecepatan Arus Kecerahan Kekeruhan Derajat Keasaman (ph) Kondisi Terumbu Karang Persentase Tutupan Karang Indeks Mortalitas Karang Kondisi Ikan Karang dan Ikan Kerapu Kondisi Ikan Karang Kondisi Ikan Kerapu Hubungan Ikan Kerapu dengan Karakteristik Habitat Terumbu Karang Implikasi untuk Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran.. 56 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengaruh ph terhadap komunitas biologi perairan Alat ukur parameter fisika-kimia perairan Daftar penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas karang lifeform karang dan kodenya (English et al.1997) Metode dan peralatan untuk pengambilan data parameter perairan 27 5 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan 35 6 Kelimpahan dan keanekaragaman ikan kerapu hasil visual sensus di lokasi penelitian Kelimpahan ikan kerapu berdasarkan ukuran panjang (cm).. 52 xix

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Peta lokasi penelitian Ilustrasi teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode LIT Kategori persen tutupan karang (Dahl 1981 dalam English et al. 1997) 24 5 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan Metode Sensus Visual 26 6 Persentase penutupan substrat dasar : karang hidup (hard corals), karang mati (dead corals), alga, biota lainnya dan abiotik Persentase tutupan kelompok karang hidup Persentase tutupan kelompok abiotik Persentase tutupan karang mati beralga (DCA) dan karang mati (DC) Persentase tutupan biota lainnya Persentase tutupan alga Indeks mortalitas tutupan karang di lokasi penelitian Jumlah dan komposisi dari 5 kelompok terbesar ikan karang yang mendominasi di lokasi penelitian Dendrogram pengelompokan habitat stasiun berdasarkan habitat bentik (persentase tutupan karang) dengan menggunakan indeks Bray-Curtis Hubungan persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan kerapu dengan menggunakan Korelasi Pearson. 55 xxi

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tabel Koordinat Stasiun Penelitian Tabel Presentase Penutupan Karang Hidup dan Biota Penyusun Substrat Dasar Lainnya (%) pada Lokasi Penelitian Famili dan spesies ikan karang yang ditemukan dengan menggunakan metode underwater visual census di seluruh stasiun penelitian Kondisi tutupan terumbu karang di lokasi penelitian. 75 xxiii

17 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi dengannya. Keanekaragaman biologi yang tinggi pada ekosistem ini tercermin dari beragamnya jenis hewan karang dan ikan karang yang ada. Ikan merupakan organisme dengan jumlah yang terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok serta dapat ditemui di sebuah terumbu karang. Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1997). Keanekaragaman dan kekayaan jenis dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang, keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih merayap (Chabanet et al. 1997); Choat & Bellwood (1991), menyatakan bahwa interaksi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu : (1) interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interaksi dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga; (3) interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen. Perairan Indonesia memiliki kurang lebih 132 jenis ikan yang bernilai ekonomis, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang. Ditjen Perikanan (1998) lebih lanjut mengungkapkan bahwa perairan karang Indonesia memiliki paling sedikit 10 famili utama penyumbang produksi perikanan yaitu : Serranidae, Caesionidae, Holocentridae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priachantidae, Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae. Diantara sepuluh famili tersebut, Serranidae atau ikan kerapu merupakan kelompok ikan karang yang dapat dieksploitasi secara komersial.

18 2 Jenis ikan kerapu (Suku Serranidae) dikenal dalam perdagangan internasional dengan nama grouper, merupakan predator puncak (top predator) dalam ekosistem terumbu karang yang hidup dari memangsa ikan, krustasea dan chephalopoda sehingga memainkan peranan penting dalam pembentukan komunitas terumbu karang. Oleh karenanya, populasi kerapu yang besar menunjukkan sebuah komunitas terumbu karang yang produktif dan berkembang dengan baik meskipun mengalami eksploitas berat (Bohnsack 1994; Chiappone et al. 2000; Costa et al in Unsworth et al. 2007). Umur yang panjang, pertumbuhan yang lambat serta adanya kecenderungan melakukan pemijahan secara massal (spawning aggregation) membuat ikan kerapu rentan terhadap penangkapan berlebih (over fishing) (Sadovy & Colin 1995 in Unsworth et al. 2007). Perdagang ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat pada pertengahan tahun 1990-an, dimana jumlah ekspor sebesar 300 ton pada tahun 1989 menjadi ton pada tahun 1995 (DKP 2003). Menurut importir yang berbasis di Hongkong, Indonesia penyuplai lebih dari 50% tangkapan ikan karang hidup ke Hongkong dan Singapura (Johannes & Riepen 1995) dan tercatat sebagai negara pengekspor utama ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan giant grouper (Epinephelus lanceolatus) bersama dengan Phillipina (Lau & Parry-Jones 1999). Ikan kerapu merupakan jenis ikan karang yang hidup di terumbu karang. Pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke parairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Informasi mengenai karakteristik habitat setiap sumberdaya sangat dibutuhkan untuk menentukan arah pengelolaan bagi keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Kajian mengenai keterkaitan sumberdaya ikan kerapu dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu karang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai salah satu dasar dalam merekomendasikan alternatif pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem di Kawasan Pesisir Teluk Kupang bagian Selatan dan sekitarnya.

19 3 1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem memerlukan informasi dasar tentang potensi ekosistem pendukungnya seperti ekosistem terumbu karang dan jenis-jenis ikan yang berasosiasi di dalamnya. Informasi-informasi tersebut berupa permasalahan dan kondisi terumbu karang serta ikan kerapu. Ikan-ikan yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan ikan dari berbagai tingkat tropik dan tiap-tiap komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu sama lain (Nybakken 1997). Sedangkan salah satu ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu karang adalah jenis ikan kerapu. Keterkaitan ikan kerapu terhadap terumbu karang sangat tinggi karena fungsi ekologis terumbu karang sebagai penyedia makanan, tempat hidup dan tempat perlindungan. Banyak celah dan lubang di terumbu karang sebagai tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan yang berada di sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya kajian terhadap ikan kerapu (Serranidae) pada lokasi tertentu di wilayah terumbu karang yang berguna untuk pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem. Kajian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan ekologi dengan menjawab permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana hubungan persentase penutupan karang dengan kelimpahan ikan kerapu? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian? 3. Bagaimana respon ikan kerapu terhadap perubahan kondisi terumbu karang? 4. Belum adanya kajian mengenai katerkaitan antara sumberdaya ikan kerapu dengan karateristik ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian. 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Dasar pemikiran dalam penelitian ini adalah adanya potensi terumbu karang yang secara ekologis meupakan tempat hidupnya beraneka ragam biota laut seperti ikan karang. Menurut Supriharyono (2000), tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat

20 4 pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi banyak biota laut. Apabila terjadi tekanan terhadap terumbu karang maka akan berpengaruh langsung terhadap biota yang berasosiasi dengannya termask ikan kerapu. Sumberdaya ikan kerapu berada dalam ekosistem terumbu karang yang kompleks, yang komponen di dalamnya saling berinteraksi membentuk keseimbangan ekologi. Secara garis besar, komponen tersebut terdiri dari lingkungan biofisik perairan, terumbu karang dan komunitas ikan kerapu itu sendiri. Oleh karena itu, suatu pengelolaan perikanan kerapu yang baik harus mempertimbangkan adanya keseimbangan antara ketiga komponen tersebut. Berdasarkan peran dan manfaat terumbu karang tersebut maka kerangka penelitian untuk untuk melihat hubungan sumberdaya ikan kerapu dengan habitatnya dapat dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut : (1) Mengukur lingkungan yang terdiri dari parameter fisika dan kimia berupa kedalaman, suhu, kecepatan arus, kecerahan, kekeruhan, salinitas dan ph,. (2) Mendiskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan life form dan presentase tutupan substrat bentik. (3) Mendiskripsikan kondisi sumberdaya ikan kerapu berdasarkan jenis, ukuran (kecil, sedang dan panjang), kebiasaan hidup dan kelimpahannya. (4) Menganalisis hubungan atau keterkaitan antara sumberdaya ikan kerapu dengan karakteristik habitat (kondisi ekosistem terumbu karang). (5) Merumuskan rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan kerapu berbasis ekosistem. Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya seperti disajikan dalam bagan alir pada Gambar 1.

21 5 Ekosistem Terumbu Karang & Komunitas Ikan Kerapu Sumberdaya Ikan Kerapu Terumbu Karang Kualitas Perairan Jenis dan Kelimpahan Suberdaya Ikan Kerapu Tutupan Substrat Bentik Kondisi Parameter Fisika dan Kimia Perairan Analisis Hubungan antara Karakteristik Habitat dengan Kelimpahan Sumberdaya Ikan Kerapu Rekomendasi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kerapu Berbasis Ekosistem Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji karakteristik habitat dan ikan kerapu di lokasi penelitian. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian. 3. Menganalisis hubungan antara sumberdaya ikan kerapu dengan ekosistem terumbu karang.

22 6 Manfaat dari penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan ekologis bagi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu dan ekosistem terumbu karang berbasis ekosistem di lokasi penelitian.

23 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis, dan ada beberapa ikan kerapu hidup di terumbu karang. Kerapu muda hidup di daerah padang lamun, tetapi pada saat dewasa hidup di pantai berpasir atau di daerah pantai berlumpur. Beberapa spesies kerapu hidup pada kedalaman m (adakalanya sampai kedalaman 500 m), tetapi pada umumnya kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m (Philip & Randall 1993). Menurut Philip dan Randall (1993), habitat ikan kerapu berada pada perairan dasar, terumbu karang dan karang berbatu pada kedalaman kurang dari 60 m. Pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m, dimana perpindahan ini biasanya terjadi pada siang dan sore hari. Telur dan larva kerapu bersifat pelagis, sedangkan muda hingga dewasa bersifat demersal (Tampubolon & Mulyadi 1989). Ikan kerapu tersebar luas di Pasifik Barat, mulai Jepang bagian selatan sampai Palau, Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australia bagian selatan serta Laut India bagian timur dari Nicobar sampai Broome. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di wilayah perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Madura, Kalimantan dan Nusa Tenggara (Heemstra & Randall 1993). Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperature o C, salinitas ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan ph 7,8-8. Perairan dengan kondisi seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana 2006). Kebanyakan jenis komersial penting, termasuk jenis ikan kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal adalah kelompok species ikan yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi

24 8 agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997). Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogyni (Shapiro1987 in Levin & Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya mamiliki jenis kelamin betina dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin & Grimes 1991). Selanjutnya Levin & Grimes (1991) menjelaskan bahwa eksploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalaupun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al in Levin & Gimes 1991). 2.2 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut merupakan: a) tempat tumbuh biota laut (tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut), dan menjadi sumber protein bagi masyarakat pesisir; b) plasma nutfah; c) sumber bahan baku berbagai bangunan, perhiasan dan penghias rumah; dan d) objek wisata bahari (keindahan ekosistem ini dengan keanekaragaman jenis dan bentuk biota, keindahan warna, serta jernihnya perairan yang mampu membentuk perpaduan harmonis dan estetis, sehingga ideal untuk tempat rekreasi laut). Selain itu, ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung

25 9 terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan gelombang sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Dahuri et al. 2001) Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti : a). beraneka ragam avertebrata: terutama karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili laut; b). beraneka ragam ikan : terutama 50 70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; c). reptil seperti ular laut dan penyu laut; d). ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Bengen 2001). Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh aktifitas hewan karang (Filum Cnidaria, Klas Anthozoa, Ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Struktur bangunan batuan kapur (CaCO3) cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gelombang air laut, sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian koral adalah algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Menurut Nybakken (1997), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah : 1. Kedalaman Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0 25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulaupulau. 2. Suhu (Temperatur) Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23 o C 25 o C. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu di bawah 18 o C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36 o C 40 o C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

26 10 terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang. 3. Cahaya Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15 20% dari intensitas di permukaan. 4. Salinitas Karang tidak dapat bertahan pada salinitas di luar o / oo. Namun pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 42 o / oo. Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran diatas, terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan yang didalam tubuhnya akan keluar. 5. Pengendapan Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang adalah pengendapan dimana pengendapan yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Endapan mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. Pertumbuhan terumbu karang akan menjadi terhambat apabila daerah terumbu karang tersebut mengalami kerusakan. Faktor-faktor yang sangat dominan dalam kerusakan terumbu karang adalah faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan akibat faktor alam bagi terumbu karang terutama disebabkan oleh perusakan tektonik akibat gempa di dasar laut yang menyebabkan tsunami dan mekanik melalui badai tropis yang hebat sehingga koloni terumbu karang tersebut terangkat dari terumbu. Badai bisa memporak-porandakan karang baik di daerah

27 11 reef flat, reef edge dan reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan terutama pada terumbu karang yang letaknya di pantai pulau terpencil yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan bebas. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching. Di samping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang diketahui juga tidak kalah pentingnya andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi (Echinometra mathaei, Diadema setosum, dan Tripneustes gratilla), dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua (Scarrus sp.), Kepe-kepe (Chaetodon sp.) dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang (Supriharyono 2000). Faktor kerusakan lainnya disebabkan oleh kegiatan manusia secara langsung yang dapat menyebabkan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi berlebihan pada sumberdaya tertentu. Pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak baik kecelakaan kapal di laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Disamping itu kegiatan pertanian dan perkebunan di daerah dataran tinggi dapat menyebabkan sedimentasi di daerah pesisir (Supriharyono 2000). 2.3 Kondisi Lingkungan Perairan Kondisi suatu perairan merupakan faktor kunci yang mendukung kehidupan flora dan fauna. Kondisi perairan tersebut meliputi sifat fisika, kimia dan biologi. Sifat fisika yang penting antara lain adalah suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus dan kedalaman. Suhu suatu badan air di pengaruhi oleh musim, lintang (latiude), ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu

28 12 tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya, algae dari filum Clorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut o C dan o C. Filum Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Chlorophyta dan diatom (Haslam 1995 in Hefni Effendi 2003). Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutn gas dalam air, misalnya O 2, CO 2, N 2, CH 4 dan sebagainya (Haslam 1995 in Effendi 2003). Selain itu suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolism dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 o C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolism dan respirasi. Peningkatan suhu juga mengakibatkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Pada Perairan laut dan limbah industri, salinitas perlu diukur. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1998 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua korbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil ( o / oo ). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5 o / oo, perairan payau antara 0,5-30 o / oo, dan perairan laut o / oo. Pada Perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran o / oo. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003). Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh

29 13 keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi 2003). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di adalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis & Cornwel 1991 in Effendi 2003). Kekeruhan dinyatakan dalam satuan turbiditas, yang setara dengan 1 mg/liter SiO 2. Peralatan yang pertama kali digunakan untuk mengukur kekeruhan adalah Jackson Candler Turdimeter dengan satuan 1 JTU. Selain dengan menggunakan Jackson Candler Turdimeter, kekeruhan sering diukur dengan metode Nephelometric. Satuan kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Sawyer & McCarty 1978 in Effendi 2003). Satuan JTU dan NTU sebenarnya tidak dapat saling mengkonversi, akan tetapi, menurut Sawyer dan McCarty (1978) in Effendi (2003) mengemukakan bahwa 40 NTU setara dengan 40 JTU. Sedangkan sifat kimia yang penting adalah ph, pada dasarnya keasaman tidak sama dengan ph. Asiditas (keasaman) melibatkan dua komponen yaitu jumlah asam (baik asam kuat maupun asam lemah), dan konsentrasi ion hydrogen. Menurut APHA (1976) in Effendi (2003), pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk menetralkan basa hingga ph tertentu. Mackereth et al. (1989) in Effendi (2003) berpendapat bahwa ph juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada ph < 5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai ph, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan bersifat asam (ph rendah) bersifat korosif. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7 8,5. Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika ph rendah. Pengaruh ph terhadap komunitas biologi perairan ditunjukan dalam Tabel 1.

30 14 Tabel 1 Pengaruh ph terhadap komunitas biologi perairan Nilai ph Pengaruh Umum 6,0 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun. 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan. 5,5 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak. 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan yang berarti. 3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral. 5,0 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos. 3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat. 4,5 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos. 3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat. Sumber : Modifikasi Baker et al (1990) in Effendi (2003) Pada ph < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap ph rendah. Namun, algae Clamydomonas acidophila masih dapat bertahan hidup pada ph yang sangat rendah yaitu 1, dan algae Euglena masih dapat bertahan pada ph 1,6 (Haslam 1995 in Effendi 2003). 2.4 Hubungan Ikan Kerapu dengan Terumbu Karang Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah luar karang sebagai tempat mencari makan. Selain itu terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat memijah dan daerah pengasuhan bagi biota laut. Interaksi antara ikan dengan terumbu karang sebagai habitat telah dipelajari oleh Choat & Bellwood (1991) yang membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang dan menyimpulkan tiga bentuk umum hubungan, yaitu:

31 15 1. Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda. 2. Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga. 3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen. Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Menurut Kuiter (1992), ikan kerapu tergolong ikan karnivora, hidup soliter dan banyak terdapat di daerah terumbu karang serta muara sungai. Kerapu termasuk ke dalam predator yang dominan pada habitat karang dengan makanan utamanya adalah ikan, krustasea dan chepalopoda (Heemstra & Randall 1993). Menurut Utojo et al. (1999) ikan kerapu hidup secara soliter pada daerah terumbu karang yang berasosiasi dengan jenis Porites sp., Acropora sp., Foliosa, Sponge, Pinctada dan Tridacna. Umumnya ikan kerapu hidup di daerah terumbu karang pada kedalaman 5 20 m di semua tipe terumbu karang dengan kategori kondisi yang baik. Ikan kerapu dalam kehidupannya biasanya menetap atau tidak berpindah-pindah (sedentary), kebanyakan ikan kerapu macan memanfaatkan liang/lobang yang ada di daerah terumbu karang sebagai tempat berlindung (Yeeting et al. 2001). 2.5 Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Ekosistem Terumbu karang menyediakan sumber makanan tidak hanya kepada organisme yang berada disekitarnya, namun merupakan sumber vital bagi ketersedian makanan bagi ratusan juta manusia di dunia. Terumbu karang merupakan sumber utama bagi mata pencaharian penduduk pesisir dan pantas

32 16 menerima perhatian dari seluruh dunia. Terumbu karang menutupi hampir kurang lebih 1% dari wilayah lautan, terumbu karang juga merupakan tempat hidup bagi hampir 1/3 spesies ikan laut di dunia (Rinkevich 2008), menyediakan sekitar 10% dari total konsumsi ikan oleh manusia. Di samping itu bahwa terumbu karang menjadi fokus utama industri pariwisata (Ahmed et al. 2007). Ketika perusakan berlangsung, maka terumbu karang akan kehilangan fungsi ekologi dan biologinya. Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang akibat dari alam dan kegiatan manusia, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan oleh manusia, agar kerusakan oleh alam dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kelestarian lingkungan. Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi terumbu karang sebagai tempat ikan tersebut tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan dan manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna perairan. Menurut Bengen (2005) bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa pengelolaan dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan.

33 17 Sedang keberlanjutan ekonomi berarti bahwa kegitan pengelolaan dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Mengingat begitu besarnya peranan terumbu karang bagi manusia dan untuk mencegah kerusakannya, maka pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak lepas dari beberapa aspek sebagai berikut (Supriharyono 2000) : 1. Pertimbangan fisik, pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi area/ lokasi, kondisi geologis, tipe arus pasang surut utama di daerah tersebut dan gambaran awal lokasi 2. Pertimbangan biologis, meliputi kondisi biota dalam penyebaran, kelimpahan, komposisi; perubahan, indikator kerusakan, indikator pemanfaatan dan eksploitasi; pertimbangan khusus pada lokasi pembesaran atau pemijahan spesies langka yang endemik dan ekonomis. 3. Pertimbangan sosio-ekonomis, meliputi pemanfaatan ekosistem terumbu karang; konflik faktual dan potensial yang akan terjadi diantara pemanfaat. 4. Pertimbangan budaya, meliputi asal usul pemanfaat ekosistem terumbu karang secara tradisional; tradisi pemanfaatan; perubahan konsep pemanfaatan secara tradisional ke modern. Menurut UNESCO (1988) bahwa untuk mempertahankan fungsi dari ekosistem terumbu karang, khususnya produktifitasnya yang tinggi telah dicanangkan suatu strategi pengelolaan terumbu karang dan telah menjadi prioritas dunia yang dikenal sebagai World Consenvational Strategy. Di dalam strategi tersebut bahwa ada lima pendekatan dasar pengelolaan konservasi yaitu: 1. Zonation (zoning) Penentuan untuk semua, atau bagian spesifik dari area yang dikelola, tujuan khusus penggunaan dan izin masuk yang meliputi: - Preservation zone (zona perlindungan), tidak ada akses bagi orang untuk memasuki area tersebut selain dari pengamatan penelitian yang diperbolehkan, area diperuntukkan sebagai sumber genetik. - Scientific Research zone (zona penelitian ilmiah), dimana orang dapat diperbolehkan asuk hanya untuk tujuan penelitian yang diizinkan.

34 18 - Wilderness Zone (zona taman laut) dimana izin untuk masuk kawasan dibatasi, tetapi tidak diperbolehkan untuk berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan. - National Park zone (zona taman nasional) orang dapat diizinkan untuk masuk tetapi tidak untuk berburu, penangkapan dan pengumpulan. - Recreational Zone (zona rekreasi), orang diijzinkan masuk dalam tingkat tinggi dan kontrol tingkat pemburuan, penangkapan ikan dan pengumpulan. - General Use Zone (zona penggunaan umum), dimana kegiatan komersial, rekreasi dan mata pencaharian lainnya diperbolehkan dengan kemungkinan pengadaan aturan untuk pengendalian jangka panjang atau melindungi area yang lebih sensitif. 2. Penutupan secara periodik (Periodic Closure) Hal ini dapat seperti penutupan singkat (short-term closure) selama sebagian waktu dalam satu tahun misalnya waktu pemijahan dari berbagai spesies, atau penutupan dalam waktu beberapa tahun untuk membuat pulih habitat yang rusak oleh manusia atau fakor alam lainnya. 3. Pembatasan Hasil (Yield Constraints) Determinasi tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan untuk ikan produk lainnya, hal ini bisa seperti: - Memonitor hasil dan pelarangan penangkapan setelah beberapa tangkapan telah didapat atau, - Membatasi jumlah individu atau jumlah dan kapasitas kapal yang diperbolehkan menangkap di area yang dimaksud. 4. Pembatasan Peralatan (Equipment Constraints) - Pelarangan bahan peledak, racun dan tehnik penangkapan dan panen lainnya yang dapat merusak fisik terumbu karang - Penentuan ukuran mata jaring yang memungkinkan ikan-ikan kecil tumbuh sampai umur siap memijah, - Pelarangan penggunaan jangkar dengan desain tertentu yang sangat merusak.

35 19 5. Pengurangan dampak (Impact Limitations) - Penentuan batasan bahan pencemar yang diperbolehkan, - Penentuan jumlah penyelam, reef walkers, jumlah kapal ukuran kecil diperbolehkan.

36 P. K o mo do Lab ua n Ba jo ROV. USA TENG GAR A B ARAT KA B. M AN G A RA IB A RA T P. R in ca S l t S m a e u a b KA B. SU M BA B AR A T Wa ik ab uba k P. SU MBA Wa in ga pu KA B. SU M BA T IM UR Ru ten g KA B. M AN G A RA I L U A P. FLO RES KA B. NA G A KE O PROV. NUSA TENG GAR A TI MU R Na ga Ke o Ma um er e KA B. EN D E KA B. SI K A Mb ay En de KA B. NG A DA L A T U P. S aw u KA B. KU P AN G S W S A M U D E R A H I N D I A T P. R ai jua F L R E S O A U P. A d ona ra P. LO MBI EM Lar an tu ka Low e lab a KA B. FL OR E S TIM O R KA B. LE M BA TA P. S ol or KO TA K UP A NG P. S em au KA B. KU P AN G Ba a P. R OTI P. N d ao KA B. RO T E- ND AO S A el at l o r P. P an tar P. A LOR Ka lab ah i KA B. AL O R TIM OR LESTE Ata m bu a TIM O R LE ST E Ka fem e na nu KA B. BE LU KA B. TI MO R TE N GA H UT A RA P. TI MOR KA B. TI MO R TE N GA H SE LA T AN So e METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pesisir Selatan Teluk Kupang dan Sekitarnya, yang dilaksanakan dari bulan April-Juni Stasiun pengambilan data ditetapkan di 9 (sembilan) stasiun pengamatan berdasarkan pada kriteria tutupan karang hidup berdasarkan Gomez dan Yap (1988) yaitu : kondisi sangat baik, kondisi baik, kondisi sedang dan kondisi buruk ' 10 15' 10 10' 10 5' ' ' ' ' ' Otan # # # Tg. Karosso Tg. Karterbileh Uiasa Tg. Kopondai P. Kambing # # Tg. Kurong Tj. Uikalui Hansisi Tg. Kolowale Tj. Kelapa Bolok # # # Tg. Lisamu Paradiso # Pasir Panjang # #Y # 10 5' 10 10' 10 15' 10 20' PETA LOKASI PENELITIAN TELUK KUPANG - P.SEMAU DAN SEKITARNYA Ibu kota : x{ NEGARA #Y PROVINSI # Stasiun Penelitian Sungai Dua Garis Sungai Satu Garis Jalan 10 8 # # # # # Kabupaten Terumbu Karang Mangrove Lamun Insert Peta : # # # # # # # # # # # # # # # L A U T T I M O R 8 10 Sumber : - Peta Digital Indonesia, BAKOSURTANAL, Direktorat Pulau-Pulau Kecil Ditjen KP3K - DKP - Direktorat Pesisir & Lautan Ditjen KP3K - DKP - MCRMP Tg. Kurubaja ' ' ' ' Bujur Timur ' Tg. Leur Tg. Lie Lintang Selatan Pusat Data dan Informasi Geografis Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Tahun 2010 Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini secara umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1) Peralatan pengukuran parameter fisika-kimia perairan dan 2) peralatan untuk pengamatan komunitas ikan kerapu dan terumbu karang. Peralatan untuk mengukur parameter fisika-kimia seperti disajikan pada Tabel 2.

37 22 Tabel 2 Alat ukur parameter fisika-kimia perairan No Jenis Alat Parameter Satuan 1 Secchi disc Kecerahan % o 2 Thermometer Suhu C 3 Refraktometer Salinitas o / oo 4 Floating drough Kecepatan Arus m/dt 5 Kompas Arah arus ( 0 ) 6 ph meter ph - 7 Turbidimeter Kekeruhan NTU Sementara peralatan yang digunakan dalam pengamatan ekosistem terumbu karang dan populasi ikan kerapu terdiri dari alat selam Self Contain Underwater Breathing Aparatus (SCUBA), Global Positioning System (GPS), kapal motor, roll meter 50 m, sabak dan pensil, kamera bawah air. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku identifikasi karang (Suharsono 1996) dan buku identifikasi ikan (Kuiter 1992). 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan dapat diketegorikan menjadi dua kelompok, yaitu 1) data primer dan 2) data sekunder. Secara rinci jenis dan sumber data untuk masing-masing kategori data adalah sebagai berikut : Data Primer Jenis data primer yang dikumpulkan yaitu : persentase penutupan karang, indeks mortalitas karang, ukuran ikan kerapu, kelimpahan ikan kerapu, interaksi penduduk sekitar tempat penelitian terhadap sumberdaya (ikan kerapu dan terumbu karang) dan parameter fisika-kimia perairan Data Sekunder Data sekunder berupa data oseanografi meliputi pola arus dan musim, produksi ikan kerapu dan data lain yang relevan dengan penelitian bersumber dari hasil penelitian sebelumnya serta literatur yang bersumber dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang dan instansi terkait lainnya di lokasi penelitian.

38 Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang Untuk mendapatkan kondisi terumbu karang yang sesuai dengan kriteria Gomez & Yap (1988), maka dilakukan pemantauan awal dengan menggunakan metode Manta Tow. Setelah stasiun dipastikan, maka kondisi terumbu karang diamati dengan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect Method) mengikuti English et al. (1997). Setiap lokasi diambil titik koordinatnya menggunakan GPS. Pengambilan data penutupan karang hidup dengan transek garis menyinggung adalah dengan membentangkan roll meter sepanjang 50 m. Transek garis sepanjang 50 m diletakkan sejajar dengan garis pantai (English et al. 1997), dengan 3 kali ulangan dalam pengambilan data yaitu 0 10 m, m dan m. Kedalaman berkisar antara 3 sampai dengan 10 meter sesuai dengan kontur dasar (modifikasi). Hal ini juga dikarenakan pengambilan data lebih pada pendekatan kriteria persen tutupan karang sesuai dengan Gomez dan Yap (1988). Koloni karang yang terletak di bawah tali transek diukur mengikuti pola pertumbuhan koloni karang. Koloni karang yang telah diketahui jenisnya langsung dicatat. Kondisi dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masive dan biota lainnya dicatat. Data diambil oleh satu orang penyelam (Gambar 3). 0 m 50 m Gambar 3 Ilustrasi teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode LIT. Kategori persen penutupan karang hidup, karang mati dan substrat berdasarkan skema gambaran kategori persen penutupan karang pada Gambar 4. Penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang seperti disajikan dalam Tabel 3.

39 24 Kategori % Kategori % Kategori % Kategori % Kategori % Gambar 4 Kategori persen tutupan karang (Dahl 1981 in English et al. 1997).

40 25 Tabel 3 Daftar penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas karang lifeform karang dan kodenya (English et al. 1997). Kategori Kode Keterangan Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih kotor Dead Coral with Alga Karang ini masih berdiri, struktur skeletal DCA masih terlihat Acropora Branching Paling tidak 2 o percabangan. Memiliki axial ACB dan radial oralit. Encrusting Biasanya merupakan dasar dari bentuk ACE acropora belum dewasa Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji Digitate ACD o Bercabang tidak lebih dari 2 Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar Non-Acropora Branching Paling tidak 2 o percabangan. Memiliki radial CB oralit. Encrusting Sebagian besar terikat pada substrat CE (mengerak) Paling tidak 2 o percabangan Foliose Karang terikat pada satu atau lebih titik, CF seperti daun, atau berupa piring. Massive CM Seperti batu besar atau gundukan Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji. Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera Heliopora CHL Karang biru Millepora CML Karang api Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil Sof Coral SC Karang bertubuh lunak Sponge SP Bertubuh lunak, terlihat dalam berbagai bentuk seperti tabung, vas, pipih, membulat. Zoanthids ZO Seperti anemone tetapi lebih kecil, biasanya hidup sendiri/koloni seperti hewan kecil menempel pada substratum seperti platythoa Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain-lain Alga Alga assemblage AA Lebih kecil dari satu spesies yang agak sulit diperuntukkan Coralline alga CA Dinding tubuh mengandung kapur Halimeda HA Alga dari genus Halimeda Macroalga MA Berbagai jenis alga, alga coklat, hijau, merah Turf alga TA Alga halus berspiral lebat Abiotik Sand S Pasir Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil Silt SI Pasir berlumpur Water W Air Rock RCK Batu Kondisi Ikan Kerapu Untuk mengetahui, ukuran (kecil, sedang dan panjang), kebiasaan hidup dan kelimpahan ikan kerapu metode yang digunakan adalah metode sensus visual ikan karang (coral reef fish visual census) yang dikemukakan oleh English et al. (1997). Pemasangan garis transek ikan karang (50 m) di lokasi yang sama dengan

41 26 LIT. Tujuannya agar data ikan karang yang diperoleh dapat juga mendeskripsikan secara rinci daerah terumbu karang yang sedang diteliti. Kelimpahan ikan tiap spesies dihitung dalam batasan jarak 2,5 m ke kiri dan 2,5 meter ke kanan. Pembatasan jarak pandang berkaitan dengan kemampuan dan keterbatasan mata dalam mengidentifikasi ikan karang. Kegiatan sensus dimulai setelah periode normal (tenang) kurang lebih 15 menit setelah transek dipasang. Pengamatan dilakukan pada rentang waktu pukul 9 pagi sampai dengan pukul 4 sore pada kedalaman 3-10 meter. Semua jenis ikan kerapu yang ada dicatat pada kertas atau lembaran data yang sudah disediakan. Selain itu, penggunaan foto bawah air juga digunakan untuk mempermudah dan menkonfirmasi identifikasi spesies. 2.5 m 0 m 50 m 2.5 m Gambar 5 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan metode sensus visual Interaksi Masyarakat Sekitar Lokasi Penelitian Terhadap Sumberdaya (Ikan Kerapu dan Terumbu Karang) Pengambilan data interaksi masyarakat sekitar lokasi penelitian dengan cara wawancara langsung dengan nelayan dan para pemangku kepentingan, dan pengambilan data sekunder dengan cara studi literatur penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya ikan kerapu maupun sumberdaya terumbu karang di Pesisir Selatan Teluk Kupang dan Sekitarnya, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur Parameter Lingkungan Pengambilan data parameter lingkungan dilakukan secara insitu di lokasi penelitian. Metode/alat yang digunakan untuk mendapatkan data parameter lingkungan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

42 27 Tabel 4 Metode dan peralatan untuk pengambilan data parameter perairan Parameter Unit Alat Keterangan Kecerahan % Secchi disc in situ Suhu o C Thermometer in situ Salinitas Ppt Refraktometer in situ Kecepatan Arus m/dt Floating drough in situ Kekeruhan NTU Turbidimeter Lab ph - ph meter Lab 3.5 Analisa Data Terumbu Karang 1. Persentase Penutupan Karang Persentase penutupan karang hidup dihitung menurut persamaan yang dikemukakan dalam English et al. (1997) : P = A B x100% Keterangan : P = Persentase penutupan karang hidup (%) A = Panjang total komponen karang hidup (cm) B = Panjang total transek garis (cm) Gomes dan Yap (1988) mengkategorikan kriteria persentase tutupan karang hidup sebagai berikut : 1. Kondisi sangat baik, persentase tutupan karang hidup : % 2. Kondisi baik, persentase tutupan karang hidup : 50 74,9 % 3. Kondisi cukup, persentase tutupan karang hidup : 25 49,9 % 4. Kondisi rusak, persentase tutupan karang hidup : 0 24,9 %. 2. Indeks Mortalitas Penilaian suatu kondisi atau kesehatan dari ekosistem terumbu karang tidak hanya berpatokan pada persentase penutupan karang, karena bisa saja terjadi dua daerah memiliki persentase penutupan karang hidupnya sama namun mempunyai tingkat kerusakan yang berbeda. Tingkat kerusakan ini terkait dengan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Rasio kematian karang dapat diketahui melalui indeks kematian karang melalui perhitungan (English et al. 1997):

43 28 IM = % % Penutupan karang mati Penutupan (karang mati + karang hidup) Nilai indeks mortalitas/indeks kematian (IM) yang mendekati nol menunjukan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup. Sedangkan nilai yang mendekati satu menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati Ikan Karang dan Kerapu 1. Kelimpahan Kelimpahan ikan hasil sensus visual dihitung dengan rumus : 2. Keanekaragaman Indeks keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H ) didasarkan pada kelimpahan proporsional dari spesies dengan asumsi individu tercacah secara acak dari sebuah komunitas yang besar tak teratas (Magurran 1988). Indeks keanekaragaman Shanon digunakan untuk mengukur keanekargaman jenis ikan kerapu di masing-masing stasiun penelitian: Pi = ; i = 1,2,3.s Keterangan : H = Indeks keanekaragaman Shannon s = Jumlah spesies ikan kerapu Pi = proporsi kelimpahan individu dari satu individu ke-i ni = jumlah individu tiap jenis N = jumlah total individu untuk semua spesies

44 Hubungan Ikan Kerapu terhadap Habitat Terumbu Karang 1. Analisis kelompok (Cluster Analysis) Analisis digunakan untuk melihat kecenderungan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan variabel habitat bentik dan variabel populasi ikan kerapu, serta untuk melihat ada tidaknya keterkaitan antara kondisi habitat dan kondisi populasi ikan kerapu di lokasi penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan indeks Bray-Curtis untuk menentukan pola pengelompokan habitat. Data parameter biologi yang digunakan untuk pengelompokan habitat ini adalah persentase penutukan karang hidup yang diperoleh dari masing-masing stasiun pengamatan (Legendre & Legendre 1983). Dimana : D = Indeks Bray-Curtis Y i1 Y n i2 = nilai data parameter ke-i pada stasiun ke-1 = nilai data parameter ke-i pada stasiun ke-2 = jumlah parameter yang dibandingkan Pengolahan data untuk analisis kelompok dengan menggunakan paket program XLStat Analisis korelasi Koefisien korelasi Pearson atau koefisien korelasi contoh digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara variabel kelimpahan ikan kerapu dengan variabel habitat (persentase tutupan karang).

45 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum lokasi penelitian Teluk Kupang merupakan kawasan pesisir dan laut yang terletak di bagian barat Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan Teluk Kupang menyimpan berbagai potensi sumberdaya kelautan tropika, dan banyak memberi manfaat bagi masyarakat. Teluk Kupang keberadaannya saat ini ada dalam wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Kupang, Pemerintah Kota Kupang, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis Teluk Kupang terletak di antara 9 o o 40 LS dan 123 o o 85 BT. Berdasarkan peta tematik Landsat memberikan gambaran yang jelas sebaran terumbu karang, padang lamun serta substrat pasir di Teluk Kupang dan sekitarnya. Ekosistem terumbu karang terkonsentrasi di sekitar Pulau Semau dan Pulau Kera serta Teluk Kupang bagian barat; substrat pasir tersebar terutama di dalam perairan teluk dari Sulamu sampai Pasir Panjang, sedangkan padang lamun tersebar hampir sama dengan ekosistem terumbu karang. Menurut ketinggian atau topografi wilayah pesisir Teluk Kupang, memperlihatkan adanya pantai-pantai yang masuk kategori satuan perbukitan terjal, landai sampai berupa dataran pantai. Pulau Semau bagian barat wilayah pesisirnya termasuk dalam satuan perbukitan landai sedangkan bagian timur termasuk ke dalam kategori satuan perbukitan terjal. Di perairan Teluk Kupang ditemukan berbagai endapan serta karakteristik geologis yang berbeda antara satu dengan lainnya yang memberikan gambaran bahwa tipe pantai yang terdapat antara Kota Kupang, Pulau Semau secara keseluruhan serta wilayah pesisir sampai Tanjung Oisiina adalah tipe pantai II dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Geologi : Aluvium, batu gamping dan breksi 2. Relief : Rendah - tinggi 3. Karakteristik garis pantai : Berpasir, berbatu dan berkoral 4. Proses dominan : pencucian massa, abrasi dan pertumbuhan koral

46 32 Hasil pengamatan beberapa peneliti menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) massa air yang mempunyai karakteristik yang berbeda dan menonjol yaitu massa air dari Samudra Hindia (selatan) yang ditandai dengan tingginya suhu dan salinitas air, namun memiliki kadar oksigen terlarut yang rendah serta massa air dari Laut Banda (utara) yang memiliki karakteristik sebaliknya. Pertemuan kedua massa air ini terlihat di sekitar pantai barat Pulau Timor sedangkan pola arus sesaat ternyata lebih dipengaruhi oleh arus pasang surut, hal ini terjadi karena pola arus ini berbeda antara lokasi yang satu dan lokasi lainnya. Kesuburan perairan tinggi terdapat di beberapa lokasi yang dekat dengan daratan dan memiliki sungai yang dapat menyumbang nutrient dan zat hara ke perairan sekitarnya seperti Teluk Kupang yaitu diantara Tanjung Barat dan Nunkurus serta wilayah yang terbatas di sekitar Pulau Semau. Terkait pengelolaan kawasan Teluk Kupang, berasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 18/Kpts II/1993 tanggal 28 Januari 1993 kawasan Teluk Kupang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi sebagai Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang dengan luas kawasan Ha, yang terbentang sepanjang pantai Teluk Kupang, termasuk Pulau Burung, Pulau Kera, Pulau kambing dan Pulau Semau. Sedangkan di dalam rancangan Perda Provinsi NTT Tentang Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Kupang dan Wini di Provinsi NTT (Bappeda Kabupaten Kupang 2003) dinyatakan bahwa pengeloaaan pesisir dan laut dalam lingkungan kawasan Teluk Kupang akan diatur dalam perda yang akan ditetapkan tersebut. Pulau-pulau di wilayah Teluk Kupang termasuk dalam ruang lingkup berlakunya Perda tersebut, dimana pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya dilakukan secara menyeluruh berdasarkan satu gugusan pulau-pulau dan/atau keterkaitan pulau tersebut dengan ekosistem pulau induk di wilayah Teluk Kupang (Bappeda Kabupaten Kupang 2003) Menurut Bappeda Kabupaten Kupang (2003) tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan laut Teluk Kupang adalah : 1. Menyusun dan menetapkan kerangka kerja dan prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut Teluk Kupang;

47 33 2. Mengurangi, menghentikan, menanggulangi dan mengendalikan tindakan dari kegiatan-kegiatan merusak terhadap habitat dan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Teluk Kupang; 3. Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir dan laut dalam rangka pembangnan di wilayah pesisir dan yang memperhatikan daya dukung lingkungan; 4. Mendorong kerjasama dan meningkatkan kapasitas pengelolaaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu antara masyarakat lokal, pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan; 5. Meningkatkan kapasitas, kemampuan dan kemandirian dalam mengelola wilayah pesisir dan terpadu oleh masyarakat di tingkat pedesaan. Sedangkan prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut Teluk Kupang adalah : 1. Meningkatkan koordinasi pengambilan keputusan melalui proses antar sektor dalam membuat dan meninjau keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pengelolaaan wilayah pesisir dan laut; 2. Melindungi habitat pesisir dan laut melalui penetapan dan pelaksanaan Daerah Perlindungan Laut atau Taman Laut Provinsi dan Kabupaten/Kota; 3. Meningkatkan keadilan dan partisipasi melalui pengakuan hak masyarakat tradisional; 4. Meningkatkan kapasitas melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan peayanan kepada masyarakat; 5. Memajukan dan mempertahankan sumberdaya perikanan pesisir melalui kegiatan perikanan yang ramah lingkungan; 6. Memperbaiki perencanaan tata ruang melalui prioritas ketergantungan pemanfaatan pada wilayah pesisir dan laut. Menurut Salean (2004), saat ini Provinsi Nusa Tenggara Timur sedang dijalankan Program Gerakan Masuk Laut (GEMALA) yang direncanakan sebagai program multi years yang dimulai pada tahun 2002 sehingga pemantapannya mencapai kurun waktu 15 tahun. Ditinjau dari pelaksanaannya Program Gemala menjanjikan kegiatan yang menggunakan pendekatan wilayah, terpadu dan menyeluruh. Tujuan Gemala adalah :

48 34 1. Meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa; 2. Meningkatkan kesempatan kerja dengan memanfaatkan potensi sumberdaya laut dan pesisir di bidang produksi, jasa wisata bahari, industri pengolahan, pemasaran hasil, penerapan teknologi dan peningkatan sumberdaya manusia. 3. Meningkatkan ketahanan pangan khususnya protein hewani dari ikan Potensi Perikanan tangkap di wilayah Nusa Tenggara Timur meliputi luas perairan laut sebesar km 2 (di luar perairan ZEEI), panjang garis pantai km, jumlah yang diperbolehkan ditangkap (JBT) sebanyak ton ikan/tahun dengan nilai stock potensi lestari (MSY) sebesar ton/tahun. Serta jumlah produksi perikanan tangkap pada Tahun 2008 adalah ,08 Ton. Besarnya jumlah potensi sumberdaya ikan ini dapat dikategorikan menurut klafisikasi jenis ikan yakni : ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar dan ikan demersal serta benih ikan (nener), Namun dari semua jenis ikan tersebut yang merupakan produksi unggulan adalah jenis ikan tuna dan cakalang (Pemprov Nusa Tenggara Timur 2009). Produksi perikanan tangkap khususnya produksi ikan kerapu di Propinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2003 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan produksi yaitu dari tahun 2003 produksi sebesar 2.613,1 ton/th, 2004 produksi sebesar 2.068,6 ton/th, 2005 produksi sebesar 3.105,5 ton/ha, tahun 2006 tidak ada data, tahun 2007 produksi sebesar 6.018,1 ton/th, dan tahun 2008 produksi ikan kerapu sebesar 6.617,1 ton/ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2009). 4.2 Kondisi Habitat Perairan Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Adapun nilai parameter fisika-kimia perairan yang didapatkan dari hasil pengukuran di stasiun pengamatan selengkapnya disajikan pada Tabel 6.

49 35 Tabel 6 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan No Parameter Unit ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8 ST 9 o 1 Suhu C 27,83 26,27 27, ,17 27, Salinitas Ppt 32,80 32,30 32,20 32,70 32,50 32,50 32, Kec. Arus m/dt 0,24 0,20 0,16 0,14 0,50 0,37 0,67 0,50 0,37 4 Kecerahan % Kekeruhan NTU - 0,10 0,15-0, ph - 7,30 7,50 7,00 7,50 7,90 8,20 7,90 7,50 8, Suhu Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan penting yang mempengaruhi organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta proses-proses fisiologi organisme, karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian sebaran suhu berkisar antara 26,67-29 o C. Biota karang sebagai habitat ikan kerapu dapat mentolerir suhu tahunan maksimum sebesar o C dan suhu minimum 18 o C (Thamrin 2006). Sementara, parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan kerapu yaitu pada kisaran suhu antara o C (Lembaga Penelitian Undana 2006). Huet (1971) menyatakan fluktuasi harian suhu perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu besar dapat mematikan organisme perairan. Bihsop (1973) menyatakan suhu air dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Menurut Boyd & Kopler (1979) suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis berkisar antara o C. Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa suhu di lokasi penelitian masih berada dalam kisaran yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan biota karang dan ikan kerapu Salinitas Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua korbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003).

50 36 Hasil pengukuran salinitas di setiap stasiun pengamatan menunjukan nilai yang homogen di semua stasiun pengamatan yaitu berkisar antara o / oo (Tabel 6), dengan nilai salinitas terendah terdapat di Stasiun 9 yaitu Paradiso (31 o / oo ) dan yang tertinggi terdapat di Stasiun 8 yaitu Pasir Panjang (33 o / oo ). Dengan nilai salinitas tersebut di atas sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan kerapu, sebagaimana menurut Lembaga Penelitian Undana (2006) menyatakan bahwa parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu pada salinitas berkisar antara o / oo. Menurut Effendi (2003) bahwa nilai salinitas perairan laut berkisar antara o / oo, sedangkan salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran o / oo dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah o / oo (Nybakken 1998 & Thamrin 2006). Berdasarkan hasil pengukuran di lokasi penelitian terlihat bahwa salinitas perairan di lokasi penelitian masih dalam kisaran yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan bagi ikan kerapu dan biota karang sebagi habitat ikan kerapu Kecepatan Arus Kecepatan arus pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,14-0,67 m/dt (Tabel 6), kecepatan arus terendah terjadi di stasiun 4 yaitu Hansisi (0,14 m/dt), sedangkan kecepatan arus yang tertinggi terjadi di stasiun 7 yaitu di Otan. Sedangkan arah arus pada umumnya menuju arah barat hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara (pada bulan Mei) dan musim timur (bulan Juni) yang berlangsung pada saat pengukuran. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa makanan dan oksigen kelangsungan hidup bagi ikan dan biota karang serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi. Bagi biota karang, penyuplai nutrient terbesar berasal dari zooxanthellae, namun arus diperlukan karang dalam memperoleh makanan dalam bentuk zooplankton dan oksigen serta dalam membersihkan permukaan karang dari sedimen (Thamrin 2006). Bagi biota ikan, pergerakan air merupakan salah satu faktor fisika yang berperan dalam proses rekrutmen yakni pada tahap penyebaran larva pelagik di perairan laut (Cowen 1991).

51 Kecerahan Kecerahan berhubungan erat dengan kekeruhan karena kecerahan air sangat tergantung pada warna dan kekeruhan. Peningkatan padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan dan sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter tersebut merupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan. Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Hasil pengukuran kecerahan di lokasi penelitian berkisar antara % (Tabel 6), hal ini menunjukan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan berlangsung baik tanpa hambatan dari bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di dalam perairan. Sebagaimana dinyatakan oleh Wardoyo (1980) bahwa kemampuan daya tembus cahaya matahari ke perairan sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik dan bahan anorganik tersuspensi di dalam air, kelimpahan plankton, jasad renik dan densitas air. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi (Hubbard 1997). Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik sehingga diduga hal ini juga mempengaruhi penyebarannya (Sukarno 1977). Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai kecerahan dan kekeruhan di lokasi pengukuran berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang sesuai dengan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (Kepmen LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut) yakni masingmasing sebesar >5m dan <5 NTU, sehingga dapat disimpulkan bahwa cukup tersedia cahaya matahari untuk proses fotosintesis bagi kelangsungan hidup hewan karang Kekeruhan Hasil pengukuran kekeruhan yang diperoleh di lokasi penelitian berkisar antara 0-0,15 NTU (Tabel 6), nilai kekeruhan dari seluruh stasiun lokasi penelitian secara umum berada dalam kisaran yang normal dan sesuai dengan

52 38 baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan berdasarkan Kepmen LH RI No. 51 Tahun 2004 yaitu <5 NTU. Hal ini menunjukan bahwa partikel tersuspensi pada perairan tersebut sangat sedikit sehingga kecil kemungkinan terjadinya penutupan polip pada hewan karang serta penetrasi cahaya matahari dapat berlangsung secara maksimal. Dengan demikian dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan biota laut secara optimum ph (Derajat Keasaman) Derajat keasaman (ph) perairan hasil pengukuran di semua stasiun lokasi penelitian berkisar antara 7,00-8,2 (Tabel 6), nilai ph terendah terdapat di stasiun 3 Pulau Kambing (7,00), sedangkan tertinggi di stasiun 6 (Uiasa) yaitu sebesar 8,2. Derajat keasaman adalah salah satu faktor yang berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan biota laut. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7 8,5. Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika ph rendah (Effendi 2003). Menurut baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, kisaran ph air laut bagi biota laut adalah 7-8,5. Sementara Lembaga Penelitian Undana (2006) menyimpulkan bahwa kisaran ph yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu adalah 7,8-8, hal ini sangat sesuai dengan hasil pengukuran di lokasi penelitian. 4.3 Kondisi Terumbu Karang Persentase tutupan karang Komposisi persen tutupan substrat bentik di lokasi pengamatan cukup beragam antar stasiun pengamatan (Lampiran 2). Komposisi substrat dasar pada masing-masing stasiun penelitian terdiri atas tutupan karang hidup (hard corals/hc), karang mati (dead corals/dc), algae, biota lainnya dan abiotik (English et al. 1997). Persentase penutupan karang keras (HC) berkisar antara 10,67%-70,33% dengan rerata persentase penutupannya adalah 38,85%. Persentase penutupan karang mati (DC) berkisar antara 0,00% 33,33% dengan rerata persentase penutupannya adalah 18,96%. Persentase penutupan alga

53 39 berkisar antara 0,00% -2,33% dengan rata-rata 0,52%, sedangkan penutupan biota lainnya berkisar antar 0,00%-71,00%, dengan rata-rata persentase penutupannya sebesar 22,96%, dan penutupan abiotik berkisar antara 3,33-43,33%, dengan ratarata 19,33%. (Gambar 6). 80,00 70,00 60,00 Tutupan (%) 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 Karang Hidup Karang Mati Others Biota Alga Abiotik 0,00 ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 ST6 ST7 ST8 ST9 Stasiun Penelitian Gambar 6 Persentase penutupan substrat dasar : karang hidup (hard corals), karang mati (dead corals), alga, biota lainnya dan abiotik. Menurut Gomes & Yap (1988) berdasarkan persentase tutupan karang hidup, maka kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian terdiri dari kategori rusak adalah di Hansisi dengan persentase karang hidup sebesar 10,67% dan Tanjung Uikalui yaitu sebesar 18,00%, kategori cukup/sedang adalah di Pulau Kambing dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 30,00%, Otan sebesar 34,33%, di Bolok sebesar 38,67%, di Uiasa sebesar 48,00% dan di Tanjung Kelapa sebesar 49.67%, Sedangkan kategori baik adalah di Paradiso persentase tutupan karang hidup sebesar 50%, dan di Pasir Panjang sebesar 70,33% (Gambar 7).

54 40 80,00 70,00 60,00 Tutupan (%) 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 ST6 ST7 ST8 ST9 Stasiun Penelitian Gambar 7 Persentase tutupan kelompok karang hidup. Kelompok karang hidup merupakan komponen substrat bentik yang memiliki persentase tertinggi di daerah penelitian yaitu dengan rerata persen tutupannya sebesar 38,85%. Kategori terumbu karang dengan kondisi rusak di Hansisi dan Tanjung Uikalui, Desa Hansisi dan Tanjung Uikalui berada di Kecamatan Semau yaitu ada di Pulau Semau. Keberadaan ekosistem terumbu karang di kedua daerah tersebut rusak diduga di pengaruhi oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktifitas manusia yang bersifat destruktif terjadi secara langsung di dalam area terumbu karang dapat berakibat terjadinya kerusakan fisik, antara lain penambangan karang, pola penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan penggunaan racun sianida, lego jangkar perahu/kapal (anchoring) serta aktivitas penyelaman yang tidak profesional. Kerusakan ekosistem terumbu karang karena aktifitas manusia yang terjadi secara tidak langsung, berakibat menurunnya kualitas air. Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain adalah limbah industri, limbah rumah tangga dan pembukaan hutan. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan warga yang berprofesi sebagai nelayan menyebutkan bahwa kerusakan terumbu karang di daerah Hansisi, Tanjung Uikalui, Otan dan Uiasa (Desa di Pulau Semau) pada umumnya

55 41 disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan dengan cara pengeboman. Hal disebabkan lemahnya pengawasan serta sosialisasi tentang pentingnya sumberdaya ekosistem terumbu karang dari instansi terkait. Keberadaan sumberdaya terumbu karang yang tidak jauh dari pinggiran pantai memudahkan manusia terutama masyarakat pesisir dan nelayan untuk setiap saat dapat mengeksploitasi sumberdaya tersebut dengan berbagai bentuk kegiatan. Bentuk kegiatan yang dilakukan di terumbu karang berupa wisata bahari, penangkapan ikan, penambangan karang untuk batu kapur untuk bahan bangunan, tempat penambatan jangkar kapal dan bentuk pemanfaatan lainnya. Dalam pemanfaatan terumbu karang kadangkala masyarakat jarang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya pengetahuan masyarakat mengenai fungsi dan manfaat terumbu karang. Akibat dari pola pemanfaatannya yang kurang bijaksana akan membawa dampak negatif terhadap terumbu karang dan biota-biota penghuninya baik secara langsung maupun tidak langsung. Kategori terumbu karang dengan kondisi baik adalah berada di daerah Pasir Panjang dan Paradiso, kedua daerah ini berada di Teluk Kupang, hal ini di sebabkan terumbu karang yang terletak di sepanjang Teluk Kupang luput dari aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan bahan peledak. Karena letaknya yang berada di Teluk Kupang, maka pengawasan atau patroli oleh instansi terkait selalu dilaksanakan secara intensif sehingga para nelayan pengebom menghidar dari aktivitas tersebut dan melakukan pengeboman di daerah yang jauh dari Teluk Kupang. Aktivitas penangkapan ikan dengan dengan menggunakan bom (blast fishing) merupakan faktor utama dari kerusakan ekosistem terumbu karang di Kawasan Teluk Kupang dan Pulau Semau yang dicirikan dengan banyaknya tutupan karang mati berupa patahan karang. Aktani (2003) menyimpulkan bahwa tutupan karang mati berupa patahan karang yang mendominasi tutupan substrat bentik di zona inti dan zona pemanfaatan TNL-KS merupakan dampak dari aktivitas penangkapan dengan menggunakan bom. Kerusakan karang tersebut dapat dilihat dari persentase abiotik di daerah Hansisi sebesar 43% yang didominasi oleh patahan karang/rubble (43%), Tanjung Kelapa 31% dengan

56 42 persentase patahan karang 31%, Pulau Kambing persentase abiotik sebesar 28% terdiri dari patahan karang 13%, pasir 12% dan batu 2,33%. Bolok persentase abiotik sebesar 21,67% terdiri dari patahan karang sebesar 15,67% dan pasir 6%. Di daerah Tanjung Uikalui persen tutupan abiotik sebesar 3,33% dan didominasi oleh patahan karang sebesar 3,33%, sedangkan di daerah Otan persen tutupan abiotik sebesar 19,33% tetapi didominasi oleh pasir sebesar 19,33% dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 2. 45,00 40,00 35,00 Persen Tutupan 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Sand Rabble Silt Water Rock ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8 ST 9 Stasiun Pengamatan Gambar 8 Persentase tutupan kelompok abiotik. Persentase tutupan karang mati berkisar antara 0,00%-31,33%, persen tutupan karang mati tertinggi di Pulau Kambing sebesar 33,33%, dan terendah di Hansisi yaitu sebesar 0,00%. Ditinjau lebih jauh terhadap kelompok karang mati, terlihat bahwa komponen karang mati beralga (DCA) mendominasi disemua lokasi dengan kisaran 0,00%-33,33%. Sedangkan untuk karang mati baru (DC) berkisar antara 0,00%-2,00%, hanya terdapat di 1 (satu) stasiun pengamatan yaitu di Paradiso sebesar 2,00%, sedang 8 (delapan) stasiun pengamatan pengamatan lainnya tidak terdapat karang mati baru dalam artian persentase tutupan karang mati baru 0,00% (Gambar 9 dan Lampiran 2)..

57 43 Tutupan (%) 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 Karang Mati (DC) Karang Mati Beralga (DCA) 0,00 ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8 ST 9 Stasiun Pengamatan Gambar 9 Persentase tutupan karang mati beralga (DCA) dan karang mati (DC). Tingginya kerusakan terumbu karang di Pulau Kambing yaitu sebesar 33,33% dengan komposisi utama karang mati beralga hal ini patut diduga bahwa Pulau Kambing merupakan bekas tempat aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom yang sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat, terbukti di daerah tersebut persentase karang mati baru 0,00%, sedangkan patahan karang akibat dari ativitas pengeboman ikan sudah ditumbuhi alga. Hal ini dimungkinkan karena di sekitar Pulau Kambing pada saat ini banyak terdapat aktivitas budidaya kerang mutiara yang dikelola oleh pemodal asing, sehingga para pengebom ikan pindah ke tempat lain. Kelompok biota lainnya merupakan komponen substrat bentik yang menempati urutan tertinggi kedua setelah karang hidup yaitu biota lainnya dengan rerata persen tutupannya sebesar 22,96% di tempat penelitian. Persentase tertinggi tutupan biota lainnya di Tanjung Uikalui sebesar 71,00% dan yang terendah di Tanjung Kelapa sebesar 0,00%. Bila kita lihat lebih dalam bahwa komponen penyusun biota lainnya yang mendominasi hampir seluruh stasiun adalah soft coral (SC), kecuali di Tanjung Kelapa dan Pulau Kambing. Selengkapnya dapat kita lihat pada Gambar 10 dan Lampiran 2.

58 44 Tutupan (%) 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8 ST 9 Stasiun Penelitian Soft Coral (SC) Sponge (SP) Zoanthids (ZO) Others (OT) Gambar 10 Persentase tutupan biota lainnya. Tingginya persentase tutupan soft coral di stasiun Tanjung Uikalui (71,00%), kemudian disusul Hansisi (45,00%) dan Otan (41,00%), hal ini diduga karena daerah tersebut adalah daerah yang ada di kawasan Pulau Semau, dimana terumbu karang di kawasan tersebut hampir seluruhnya rusak akibat aktivitas penangkapan dengan menggunakan bom, dan sudah lama ditinggalkan oleh nelayan pengebom, sehingga soft coral sebagai biota pioneer akan tumbuh mendominasi daerah tersebut. Komponen penyusun substrat bentik berupa alga merupakan komponen yang paling rendah atau paling sedikit tumbuh di semua stasiun penelitian, yaitu berkisar antara 0,00%-2,33% dengan rerata persentase penutupannya sebesar 0,52%. Stasiun tertinggi persentase tutupan alganya ada di Pulau Kambing, dan terendah ada di Bolok, Tanjung Uikalui, Hansisi, Uiasa, Pasir Panjang dan Paridiso yang masing-masing sebesar 0,00% (Gambar 11 dan Lampiran 2).

59 45 2,50 2,00 Tutupan (%) 1,50 1,00 0,50 0,00 ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8 ST 9 Stasiun Penelitian Gambar 11 Persentase tutupan alga. Persetase tutupan alga di semua stasiun penelitian rendah, hal ini diduga banyaknya komunitas ikan herbivore yang memiliki peran ekologi sangat penting dalam mengontrol pertumbuhan alga. Hasil pengamatan terhadap komunitas (kelimpahan dan keanekaragaman) ikan karang, ikan kelompok herbivore hampir mendominasi di semua stasiun pengamatan Indeks mortalitas karang Indeks mortalitas (IM) menunjukkan rasio perubahan karang hidup menjadi karang mati. Nilai indeks mortalitas yang mendekati 0 (nol) menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup, sedangkan nilai yang mendekati 1 (satu) menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati. Indeks kematian karang di lokasi penilitian berkisar antara 0,00-0,53% dengan rerata nilai indeks mortalitas sebesar 0,32%, seperti ditunjukan pada Gambar 12.

60 46 0,60 Indeks mortalitas (%) 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 - ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 ST6 ST7 ST8 ST9 Stasiun penelitian Gambar 12 Indeks mortalitas tutupan karang di lokasi penelitian. Nilai indeks mortalitas tertinggi terdapat di stasiun 3 (Pulau Kambing) yaitu dengan nilai indeks mortalitas sebesar 0,53% dan terendah di stasiun 4 (Hansisi). Secara umum dengan nilai indeks mortalitas di lokasi penelitian berkisar antara 0,00-0,53% hal ini menunjukan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup, sehingga terumbu karang di lokasi penelitian masih mampu pulih kembali bila tekanan yang menyebabkan kerusakan terumbu karang dapat diperkecil. Berbagai upaya pengawasan yang intensif dan penegakan hukum yang tegas terhadap cara-cara penangkapan ikan yang bersifat destructive (pengeboman) sangat diperlukan untuk melindungi kawasan terumbu karang di Teluk Kupang serta upaya revitalisasi Kawasan Teluk Kupang sebagai kawasan Taman Wisata Laut dengan membuat batas-batas yang jelas (zonasi) pada zona konservasi/inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. 4.4 Kondisi Ikan Karang dan Kerapu Kondisi Ikan Karang Dari hasil visual sensus di lokasi penelitian dari 9 stasiun terdapat 37 famili ikan karang, 234 spesies ikan karang dan individu ikan karang, dengan tingkat keanekaragaman ikan karang menurut Indeks Shannon sebesar 4,75. Hal ini menunjukan bahwa ikan karang di lokasi penelitian termasuk kategori

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis, dan ada beberapa ikan kerapu hidup di terumbu karang. Kerapu muda hidup di daerah padang lamun, tetapi pada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN P. K o mo do Lab ua n Ba jo ROV. USA TENG GAR A B ARAT KA B. M AN G A RA IB A RA T P. R in ca S l t S m a e u a b KA B. SU M BA B AR A T Wa ik ab uba k P. SU MBA Wa in ga pu KA B. SU M BA T IM UR Ru ten

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya 5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI Ekosistem Pesisir dan Laut 1. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO 3) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR Bab mengenai kemanfaatan pemetaan entitas-entitas ekosistem dalam perspektif pembangunan wilayah pesisir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, yang berlangsung selama 9 bulan, dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km 2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki daerah pesisir yang sangat panjang. Di sepanjang daerah tersebut hidup beranekaragam biota laut (Jati dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI KETERKAITAN KEANEKARAGAMAN BENTUK PERTUMBUHAN TERUMBU KARANG DENGAN IKAN KARANG DI SEKITAR KAWASAN PERAIRAN PULAU RU DAN PULAU KERINGAN WILAYAH BARAT KEPULAUAN BELITUNG Oleh : ASEP SOFIAN COG498084

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut yang mempunyai peran penting dalam mempertahankan fungsi pesisir dan laut. Terumbu karang berperan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN OV. SA TENG GAR A B ARAT S l t S m a e u a b KA B. SU M BA B AR A T Wa ik ab uba k P.K o mo do Lab ua n Ba jo KA B. M AN G A RA IB A RA T P.R in ca P.SU MBA Wa in ga pu KA B. SU M BA T IM UR Ru ten g KA

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta Andhika Rakhmanda 1) 10/300646/PN/12074 Manajamen Sumberdaya Perikanan INTISARI Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci