BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gumuk pasir pada umumnya dijumpai di wilayah beriklim gurun (Pye and Tsoar, 2009). Tenaga utama pembentuk gumuk pasir adalah angin. Gumuk pasir di wilayah pesisir Parangtritis terletak di wilayah beriklim tropis basah merupakan fenomena fisik lingkungan yang langka dengan tipe barkhan atau bulan sabit (Verstappen, 2013 : Sunarto, 2014). Secara klimatologis, iklim tropis basah di wilayah khatulistiwa dilewati beberapa jenis angin, seperti angin pasat dan angin monsun (Bayong, 2004). Angin ini berperan sebagai tenaga pengangkut material pasir dalam pembentukan gumuk pasir. Hal menarik adalah bahwa keberadaan gumuk pasir barkhan Parangtritis merupakan satu-satunya bentukan gumuk pasir di Asia Tenggara (Simoen, 1996). Iklim tropis basah di Pulau Jawa menyebabkan curah hujan dan temperatur yang tinggi (Bayong, 2004). Curah hujan tinggi mempercepat proses fluvial (sungai) dalam membawa material pasir yang bersumber dari Gunungapi Merapi menuju muara sungai di laut. Wilayah dengan temperatur tinggi merupakan wilayah tujuan angin, karena angin bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi dengan temperatur rendah menuju wilayah bertekanan rendah yang memiliki temperatur tinggi (Pye and Tsoar, 2009). Angin tersebut menyebabkan terjadinya proses aeolian dan membentuk gumuk pasir, seperti pada gumuk pasir Parangtritis. Faktor morfologi pesisir yang landai, sinar Matahari intensif, adanya akumulasi material pasir dari sungai yang bermuara di sekitar kawasan gumuk pasir, dan terdapat bukit penghalang mendukung terbentuknya gumuk pasir (Widodo, 2003). Faktor pendukung ini terdapat di wilayah pesisir Parangtritis. Wilayah pesisir dengan gumuk pasirnya bermanfaat dalam mengurangi risiko bencana kepesisiran (Sunarto, 2008). Gumuk pasir berfungsi sebagai peredam getaran gempa tektonik, tsunami, dan intrusi air laut (Widodo, 2003 : Sunarto, 2008). Tekstur pasir pada gumuk pasir mampu meredam getaran gempa tektonik. Morfometri gumuk pasir yang membentang sekitar 2 kilometer dengan 1

2 ketinggian maksimal 15 meter (Verstappen, 2013), berfungsi meredam hantaman gelombang tsunami. secara hidrologis, berfungsi sebagai wilayah imbuhan airtanah atau recharge area (Sujatmiko, 2009). Melalui proses infiltrasi dan perkolasi, air hujan yang tertangkap di gumuk pasir akan menjadi airtanah bersifat tawar. Ketersediaan airtanah tawar di wilayah pesisir dapat mencegah terjadinya intrusi air laut. Gumuk pasir dan kawasan pesisir Parangtritis menjadi daya tarik wisatawan karena keindahan dan kemudahan aksesibilitas (Torrido, 2012). Wisata pantai dan seluncur pasir (sand boarding) menjadi daya tarik utama yang sesuai dengan kondisi fisik pesisir dan gumuk pasir Parangtritis (Pemkab Bantul, 2015). Kondisi ini berpengaruh terhadap kegiatan pariwisata di kawasan gumuk pasir Parangtritis. Berkembangnya pariwisata di kawasan pesisir Parangtritis berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat dan investor yang menanamkan modal (Triyono, 2009). Pariwisata yang berkembang pesat dengan diikuti pembangunan bangunan di kawasan gumuk pasir Parangtritis menyebabkan hilangnya tipe gumuk pasir barkhan Parangtritis yang pernah ada. Bangunan, pertanian lahan pasir, dan hutan belukar yang berkembang di kawasan gumuk pasir Parangtritis terus mengalami peningkatan. Hasil penelitian Fakhruddin, dkk (2010) menunjukkan bahwa dari tahun 1972 hingga 2010 luas gumuk pasir Parangtritis-Parangkusumo mengalami penurunan dari 393,755 ha menjadi 173,508 ha. Sujatmiko (2009) menunjukkan peningkatan bangunan losmen dan hotel yang semula 156 unit pada tahun 2000 menjadi 182 unit pada tahun 2006 atau meningkat 16,67 %. Peningkatan jumlah bangunan didukung oleh aksesibilitas berupa pembangunan jalan Parangtritis - Depok. Keberadaan jalan pendukung ini menjadi penyebab berkembangnya bangunan di kawasan gumuk pasir Parangtritis. Bangunan tumbuh berkembang akibat alih fungsi lahan, yakni dari lahan konservasi menjadi lahan terbangun dan budidaya. Pemahaman antroposentris serta orientasi ekonomi memicu ancaman urbanogenik dan agrogenik yang menyebabkan pemanfaatan lahan terbangun dan budidaya berkembang pesat (Sunarto, 2014). Perubahan seperti ini dapat mengancam kelestarian gumuk pasir dengan menghambat proses alami perkembangan gumuk pasir dan merusak tipe 2

3 gumuk pasir barkhan yang langka. Bangunan berpengaruh terhadap arah dan kecepatan angin (Gao et.al., 2012 ; Razak et.al., 2013). Adanya bangunan di kawasan gumuk pasir dapat berpengaruh terhadap angin dalam membawa material pasir yang akan diendapkan pada gumuk pasir. Gerakan material pasir menjadi terganggu oleh bangunan dan menyebabkan berkurangnya imbuhan pasir yang menuju ke gumuk pasir. Pertumbuhan bangunan yang ada di kawasan gumuk pasir Parangtritis seakan-akan tidak menjadi masalah serius. Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun , mengamanatkan bahwa kawasan gumuk pasir dapat menjadi kawasan cagar alam atau kawasan konservasi yang harus dilindungi. Mengingat bahwa gumuk pasir dengan tipe barkhan di pesisir Parangtritis merupakan fenomena fisik lingkungan yang langka dan perlu dilestarikan. Undang-undang ini merupakan kepedulian negara dalam melestarikan gumuk pasir. Pemerintah, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan akademisi bekerjasama dalam upaya penyelamatan gumuk pasir barkhan Parangtritis dengan melibatkan masyarakat setempat. Upaya penyelamatan gumuk pasir barkhan Parangtritis dilakukan dengan rencana restorasi kawasan gumuk pasir Parangtritis. Restorasi gumuk pasir Parangtritis ditandai dengan penentuan zonasi kawasan gumuk pasir Parangtritis. Zonasi kawasan gumuk pasir Parangtritis terdiri atas zona inti, zona terbatas, dan zona penunjang / pendukung. Zona inti diperuntukan sebagai wilayah khusus konservasi gumuk pasir barkhan dengan bebas dari segala jenis hasil aktivitas manusia, seperti bangunan dan vegetasi. Zona terbatas diperuntukan sebagai bagian dari kawasan gumuk pasir dengan penggunaan lahan yang dibatasi. Zona penunjang / pendukung diperuntukan sebagai penunjang atau pendukung proses pembentukan gumuk pasir Parangtritis. Zonasi ini telah diresmikan pada 11 September 2015 disertai peresmian Parangtritis Geomaritime Science Park oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir (Tempo, 2015). 3

4 Gumuk pasir Parangtritis bersifat dinamis. Berbagai ancaman akibat aktivitas manusia dapat menyebabkan gumuk pasir mengalami degradasi (Widodo, 2003 ; Sunarto, 2014). Perlu diketahui bahwa gumuk pasir memiliki manfaat yang tidak ternilai bagi kehidupan masyarakat, baik manfaat pendidikan, penelitian, pariwisata dan pengurangan risiko bencana. Manfaat dari gumuk pasir perlu dijaga dan dilestarikan demi keberlanjutan Perumusan Masalah Berdasarkan ulasan latar belakang, dapat dirumuskan dalam pertanyaan permasalahan sebagai berikut : 1. Berapa besar pengaruh bangunan terhadap arah angin dan kecepatan angin di zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis? 2. Bagaimana karakteristik granulometri material pasir yang tertahan oleh bangunan di zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis? 3. Bagaimana distribusi endapan pasir yang tertahan oleh bangunan di zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan, tujuan dari penelitian adalah : 1. Mengidentifikasi pengaruh bangunan di zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis terhadap arah angin dan kecepatan angin. 2. Memperbandingkan berat pasir dan karakteristik granulometri pasir di lokasi tenggar (bebas hambatan) dengan di lokasi terpengaruh bangunan di zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis. 3. Memperbandingkan distribusi keruangan pasir yang tertahan oleh bangunan di zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis. 4

5 1.4. Sasaran Penelitian 1. Tersedianya data hasil penelitian pengaruh bangunan terhadap transportasi material pasir oleh angin di kawasan gumuk pasir Parangtritis. 2. Terwujudnya bukti akademis seberapa besar pengaruh bangunan terhadap perkembangan gumuk pasir Parangtritis Kegunaan Penelitian 1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam bidang ilmu geomorfologi dan lingkungan, khususnya dalam upaya konservasi gumuk pasir Parangtritis dengan bentuk barkhan/ bulan sabit yang langka di wilayah tropis basah. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kawasan pesisir Parangtritis untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kelestarian gumuk pasir barkhan. 3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan tambahan akan pentingnya pemilihan lokasi dalam hal pembangunan infrastruktur, agar tidak mengganggu kelestarian gumuk pasir Parangtritis Tinjauan Pustaka Bangunan Pengertian Bangunan Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1985 pasal 1 ayat 2 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Ching (2008) menambahkan bahwa bangunan terdiri setidaknya atas komponen lantai, dinding dan atap. Dalam UU Nomor 12 Tahun 1985 dalam ketentuan penjelas, yang dimaksud bangunan mencakup rumah tempat tinggal, jalan lingkunan dalam suatu kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, 5

6 galangan kapal, dermaga, tempat penampungan (kilang minyak, pipa), dan fasilitas lain yang bermanfaat. Pengertian ini menunjukkan bahwa bangunan bukan bentukan alami, melainkan buatan manusia melalui upaya konstruksi teknik pada tanah, perairan, dan gabungan atau campuran pada tanah dan perairan secara tetap Bentuk Bangunan dan Sifat Bangunan Menurut Jenis Konstruksi Bentuk bangunan dapat diartikan sebagai penampilan luar yang dapat dilihat gambar struktur formal, tata susun, komposisi yang menghasilkan wujud nyata, bentuk tiga dimensi, penampilan, dan konfigurasi (Riany dkk, 2013). Tambahan pula, bahwa unsur utama timbulnya suatu bentuk adalah titik, garis, bidang, dan ruang. Ching (2008) menyatakan bahwa wujud dasar dari bentuk terdiri atas tiga macam, yakni bentuk lingkaran, bentuk segitiga, dan bentuk bujur sangkar. Semua bentuk dasar dapat dilakukan perubahan melalui variasi bentuk dasar. Perubahan bentuk dasar dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni perubahan dimensi, perubahan dengan pengurangan, dan perubahan dengan penambahan (Riany dkk, 2013). Pembentuk bangunan terdiri atas empat elemen, yakni elemen : horizontal bawah, horizontal atas, vertikal, dan pelengkap (Ching, 2008). Elemen horizontal bawah merupakan bidang alas atau lantai, sedangkan elemen horizontal atas merupakan atap dan bidang langit-langit. Elemen vertikal merupakan bidang dinding luar dan dinding dalam atau pembatas. Elemen pelengkap merupakan elemen tambahan suatu bangunan, seperti pintu, jendela, dan furnitur. Elemen ini sebagai wujud dari konstruksi. Mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum (PU) No 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, tipe bangunan wilayah kajian didasarkan atas tingkat permanensi. Tingkat permanensi didasarkan atas jenis konstruksinya, meliputi bangunan permanen, bangunan semi-permanen, dan non-permanen. Bangunan permanen dicirikan dengan konstruksi bersifat tetap dan pada umumnya terbuat dari beton. Bangunan semi-permanen dicirikan dengan konstruksi bersifat tetap, namun konstruksinya tidak utuh terbuat dari beton. Konstruksi bangunan semi- 6

7 permanen dapat berupa kombinasi beton dengan kayu dan atau bahan lain yang bukan beton. Bangunan non-permanen memiliki sifat konstruksi tidak tetap, seperti terbuat dari kayu dan atau bambu Angin Terbentuknya Angin Angin terjadi sebagai akibat udara yang bergerak (Nielsen and Willets, 1991 : Pye and Tsoar, 2009). Terbentuknya angin akibat perbedaan tekanan di permukaan Bumi. Angin bergerak dari wilayah yang memiliki tekanan tinggi menuju wilayah bertekanan rendah. Tekanan tinggi diakibatkan oleh suhu suatu wilayah yang dingin, sedangkan tekanan rendah diakibatkan oleh suhu suatu wilayah yang panas (Pye and Tsoar, 2009). Suhu wilayah dapat berbeda akibat radiasi Matahari yang diterima setiap wilayah berbeda pula. Radiasi Matahari yang diterima di setiap wilayah dipengaruhi oleh letak astronomis, yakni berdasarkan garis lintang dan garis bujur (Nielsen and Willets, 1991) Arah Angin dan Kecepatan Angin Arah angin dipengaruhi oleh gradien tekanan permukaan Bumi, gaya Coriolis, sel Hadley, dan gesekan permukaan Bumi (frictional roughness) (Nielsen and Willets, 1991 : Pye and Tsoar, 2009). Gradien tekanan permukaan Bumi menghasilkan perbedaaan suhu di suatu wilayah di permukaan Bumi. Angin akan bergerak dari wilayah bersuhu dingin menuju wilayah bersuhu panas. Pengaruh gradien tekanan permukaan Bumi ini menyebabkan angin bergerak berdasarkan perbedaan suhu suatu wilayah. Gaya Coriolis disebabkan oleh rotasi Bumi (Pye and Tsoar, 2009). Rotasi Bumi mengakibatkan perbedaan tekanan di belahan Bumi utara dan selatan. Pengaruh gaya Coriolis adalah arah angin akan membelok ke kanan di belahan Bumi utara dan membelok ke kiri di belahan Bumi selatan. Sel Hadley disebabkan oleh suhu panas di wilayah intertropical convergence zone (ITCZ) atau wilayah ekuator yang memiliki iklim tropis (Pye and Tsoar, 2009). Dampak dari sel Hadley adalah wilayah tropis sebagai tujuan arah angin dari wilayah kutub dan lintang tengah. Gesekan permukaan Bumi berpengaruh terhadap gerakan angin. Angin yang terhambat atau terhalang akan 7

8 membelok dari arah semula. Gesekan permukaan berpengaruh pula terhadap kecepatan angin, yakni semakin besar gesekan, maka semakin mengurangi kecepatan angin (Pye and Tsoar, 2009). Kecepatan angin berbanding lurus dengan ketinggian (Bayong, 2004 : Pye and Tsoar, 2009). Ketinggian angin semakin tinggi memiliki kecepatan angin semakin kencang, sedangkan ketinggian angin semakin rendah memiliki kecepatan angin semakin rendah. Keadaan ini dipengaruhi oleh gesekan permukaan Bumi (Pye and Tsoar, 2009). Pada ketinggian rendah gesekan permukaan Bumi besar, sehingga kecepatan angin terhambat. Ketinggian angin yang tinggi memiliki gesekan permukaan Bumi sangat rendah, sehingga kecepatan angin tidak terhambat Regim Angin Kepesisiran (Coastal Wind Regimes) Energi angin di pesisir relatif lebih tinggi dibandingkan dengan energi angin di daratan (Pye and Tsoar, 2009). Kondisi ini disebabkan oleh gesekan permukaan di pesisir relatif lebih rendah dibandingkan daratan. Pye and Tsoar (2009) menambahkan pula bahwa di wilayah kepesisiran (coastal area) terdapat perbedaan suhu secara tegas. Perbedaan suhu ini disebabkan oleh wilayah kepesisiran berbatasan langsung dengan laut. Laut dan pesisir memiliki perbedaan dalam menerima radiasi Matahari. Dampak dari perbedaan radiasi Matahari adalah terjadinya angin akibat suhu antara laut dan pesisir yang berbeda. Jarak pesisir dengan laut yang langsung berdekatan mengakibatkan kecepatan angin yang kencang (Pye and Tsoar, 2009) Gumuk Pasir Pengertian Gumuk Pasir Gumuk pasir secara sederhana diartikan sebagai bukit (hill) atau igir (ridge) akibat gundukan pasir oleh proses angin (Pye and Tsoar, 2009). Gumuk pasir merupakan bentuklahan asal proses angin (aeolian). Gumuk pasir terbentuk akibat proses deflasi. Deflasi secara umum diartikan sebagai perpindahan material pasir atau debu akibat energi angin (Sunarto dkk, 2014). 8

9 Tipe Gerakan Pasir oleh Angin dalam Pembentukan Gumuk Pasir Terdapat tiga tipe gerakan pasir oleh angin dalam pembentukan gumuk pasir. Tiga tipe gerakan yaitu : merayap (creep), meloncat (saltation), dan melayang (suspension) (Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Penjelasan setiap tipe gerakan sebagai berikut. Merayap Merayap berupa gerakan pengangkutan material yang pada umumnya berupa pasir kasar (ukuran butir 0,1 mm 0,5 mm) dengan ketinggian maksimum 1 cm di atas permukaan gumuk pasir (Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Gerakan merayap akan berlangsung sempurna jika tidak terdapat penghalang. Jika pasir yang merayap membentur penghalang, seperti vegetasi, batu, bangunan, atau benda lain, maka pasir akan mengendap. Endapan ini semakin lama akan semakin membesar hingga membentuk bukit kecil (Sunarto dkk, 2014). Meloncat Meloncat berupa gerakan pengangkutan material pasir dengan ketinggian 1 cm hingga 1 m dengan material pasir mempunyai diameter yang lebih ringan dari pada material pasir yang merayap (Sunarto dkk, 2014). Dalam proses pergerakan secara meloncat, terdapat tambahan tenaga pengangkutan (additional lift) yang disebut efek Magnus (Magnus effect) (Pye and Tsoar, 2009). Adanya efek Magnus mengakibatkan tekanan berbeda pada bentuk butir pasir, sehingga menjadi tidak simetris. Proses meloncat menyebabkan gelembur pasir (sand ripples) yang memiliki ketinggian 1 cm hingga 5 cm dengan panjang 5 cm hingga 15 cm (Sunarto dkk, 2014) Melayang Melayang berupa gerakan pengangkutan material yang umumnya berupa debu dengan besar butir 0,001 mm 0,05 mm dengan ketinggian lebih dari 1 m diatas permukaan gumuk pasir (Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Gerakan melayang memiliki rasio besar antara ketika butir pasir naik dan butir pasir turun ketika terbawa angin hingga energi angin lemah. Akibat perbedaan rasio ketinggian mengakibatkan pemadatan butir pasir akibat perbedaan tekanan (Pye and Tsoar, 2009). 9

10 Klasifikasi dan Tipe Gumuk Pasir Summerfield (1991) dan Hugget (2007) mengklasifikasikan gumuk pasir menjadi dua macam, yaitu gumuk pasir bebas (free dunes) dan gumuk pasir terhalang (impeded dunes/anchored dunes). Gumuk pasir bebas terbentuk akibat laju angin yang membawa sedimen transpot tidak terhalang oleh vegetasi dan topografi, sehingga tidak ada gangguan dalam proses pembentukan, perpindahan, dan morfologinya. Gumuk pasir terhalang terbentuk akibat laju angin yang membawa sedimen transport terhalang oleh vegetasi dan topografi sehingga berpengaruh terhadap pembentukan, perpindahan, dan morfologinya. Klasifikasi dan tipe gumuk pasir ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Klasifikasi dan Tipe Gumuk Pasir Bentukan Primer Kriteria Subdivisi Bentukan Sekunder Deskripsi Morfologi / Orientasi Transversal igir asimetris Barkhan bentuk bulan sabit Transversal Kubah gundukan berbentuk lingkaran atau eips igir asimetris dengan Terbalik (Reversing) goresan di kedua sisi bagian atas gundukan Linier Longitudinal (Seif) igir dengan gombak tajam Igir pasir (Sand ridge) bulat, simetris, lurus atau berliku-liku puncak di tengah Bintang dengan jumlah lengan lebih dari tiga Gumuk Pasir Bebas (Free dunes) Bintang Lembaran (Sheets) Jaringan (Network) Zibar (rolling transverse ridge) Coretan (Streaks) atau Balok (Stringers) atau Lembaran Pasir (Sand sheets) kumpulan dari bebrapa gundukan pasir dengan orientasi yang tidak diutamakan bentuk dasar tidak halus dari relief rendah dan tidak terbentuk akibat muka yang tergelincir bentuk hamparan pasir yang luas tanpa bentuk gundukan yang dapat dilihat secara jelas 10

11 Tabel 1.1. Klasifikasi dan Tipe Gumuk Pasir (lanjutan) Bentukan Primer Kriteria Subdivisi Bentukan Sekunder Deskripsi Vegetasi dan Topografi berbentuk bulan sabit Lunette berlawanan dengan arah angin elips tidak teratur, Gundukan pasir efisien melawan arah bervegetasi angin berbentuk "U" atau "V" Vegetasi dengan lengan Parabolik membuka melawan angin gumuk pasir yang Coastal terbentuk di belakang pantai Kisut (Blowout) lereng melingkar di Gumuk Pasir Terhalang (Impeded dunes / Anchored dunes) Topografi Echo Gumuk merangkak (Climbing dune/ Sand ramp) Cliff-top Jatuhan (Falling) Teduh (Lee) Depan (Fore) (Sumber : Hugget, 2007) wilayah depresi igir yang terbaring memanjang secara sejajar dengan, dan terpisah dari, sisi angin yang terhalang topografi akumulasi tidak teratur akibat angin yang terhalang topografi gumuk pasir yang terbentuk di atas lereng curam akumulasi tidak teratur terbentuk di bawah topografi yang besar memanjang, melawan arah angin akibat terhalang topografi berbentuk busur kasar dengan lengan di kedua sisi melawan arah angin Sunarto dkk (2014) menambahkan, khusus di kawasan gumuk pasir Parangtritis terdapat beberapa tipe gumuk pasir. Tipe gumuk pasir yang ada di Parangtritis ada yang termasuk kelas gumuk pasir bebas dan kelas gumuk pasir terhalang. Tipe gumuk pasir yang terdapat di kawasan gumuk Parangtritis sebagai berikut. 11

12 Gumuk Pasir Tipe Barkhan Morfologi dari gumuk pasir barkhan dicirikan oleh adanya dua tanduk gumuk pasir yang mengarah ke belakang menyerupai bulan sabit. Penampang gumuk pasir tidak simetris pada puncaknya dan berangsur-angsur menjadi hampir simetris pada tanduknya. Ketinggian gumuk pasir barkhan dapat mencapai ± 10 meter dengan besar sudut belakang lebih besar dari 25. Gumuk pasir barkhan terletak pada wilayah yang relatif datar dan terbuka dengan kecepatan angin relatif kuat dan stabil. Tipe gumuk pasir ini mudah berpindah. Berdasarkan ukurannya, gumuk pasir yang kecil lebih cepat berpindah daripada yang besar. Gumuk Pasir Tipe Barkhanoid Morfologi dari gumuk pasir barkhanoid mirip dengan gumuk pasir barkhan. Gumuk pasir ini merupakan bentukan beberapa gumuk pasir barkhan yang bergabung membentuk jalur memanjang dan tidak simetris. Ujung tanduk gumuk pasir barkhan saling bersinggungan dengan ujung tanduk gumuk pasir barkhan yang lain. Lebar gumuk pasir barkhanoid dapat mencapai lebih dari 100 meter. Gumuk pasir barkhanoid terbentuk pada wilayah dengan suplai pasir yang melimpah dengan kecepatan angin yang tinggi. Gumuk Pasir Tipe Transversal Morfologi gumuk pasir transversal merupakan bentukan gumuk pasir yang memanjang dan tidak simetris. Bentuk gumuk pasir ini sejajar dengan garis pantai dan tegak lurus dengan arah angin. Gumuk pasir ini mempunyai muka gelincir yang panjang. Gumuk Pasir Tipe Nebkha Gumuk pasir nebkha termasuk dalam gumuk pasir terhalang (impeded dunes), sedangkan gumuk pasir tipe : barkhan, barkhanoid, dan transversal termasuk dalam gumuk pasir bebas (free dunes). Penghalang pada tipe gumuk pasir nebkha adalah vegetasi. Gerak angin yang terhalang oleh vegetasi menimbulkan bentukan cekungan dibelakangnya. Angin yang bertiup cukup kuat, menyebabkan semakin besarnya gundukan yang disebabkan karena adanya pengendapan di muka gumuk pasir ini. 12

13 Faktor Pembentuk Gumuk Pasir Gumuk pasir terbentuk oleh berbagai faktor pada lingkungan tertentu. Sunarto (2014), menyimpulkan bahwa terdapat 9 (sembilan) faktor pembentuk gumuk pasir di lingkungan kepesisiran. Sembilan faktor pembentuk gumuk pasir di lingkungan kepesisiran meliputi : (1) adanya tiupan angin dari laut menuju ke pantai; (2) adanya koridor angin atau lorong angin alami (wind tunnel); (3) adanya pasokan material pasir; (4) material berbentuk lepas-lepas; (5) morfologi gisik; (6) kelerengan gisik; (7) lebar gisik; (8) julat pasut; dan (9) penghalang angin Penelitian Sebelumnya Verstappen (Sujarwo, 1984), pada tahun 1957 melakukan penelitian di kawasan gumuk pasir Parangtritis dengan judul Short Note on The Dunes Near Parangtritis (Java). Dalam penelitian ini, digunakan peta topografi dan foto udara sebagai sumber data dan alat analisis. Hasil penelitian menunjukkan lebar dan tinggi gumuk pasir. Perkembangan gumuk pasir dipengaruhi oleh material pasir, iklim, angin, dan penghalang (tumbuhan). Material pasir pembentuk Gumuk Pasir Parangtritis diperkirakan bersumber dari Gunungapi Merapi yang terangkut oleh aliran Sungai Opak dan Sungai Progo. Komposisi mineral dari pasir terdiri atas : plagioklas, augite, hypersthene, fragmen batuan andesit, magnetis, hornblende, dan glas vulkanik. Material pasir yang telah sampai di laut, terbawa oleh gelombang air laut menuju tepi pantai dan membentuk gisik. Selama musim kemarau dengan radiasi Matahari intensif menyebabkan material pasir bersifat kering dan ringan. Angin membawa material pasir tersebut ke arah darat dan terbentuklah gumuk pasir. Pembentukan gumuk pasir dipengaruhi oleh penghalang berupa vegetasi. Vegetasi berfungsi sebagai pelindung pasir dari tenaga angkut angin. Sutikno, Joyosuharto, dan Sunarto (1983), melakukan penelitian mengenai perkembangan Gumuk Pasir Parangtritis yang berdampak pada perubahan tata guna lahan. Perubahan tata guna lahan yang dimaksud adalah tertimbunnya permukiman, persawahan, saluran irigasi, dan kuburan. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode interpretasi foto udara, pengamatan dan pengukuran di 13

14 lapangan, serta memperbandingkan peta/foto udara terdahulu dengan kondisi sekarang. Hasil dari penelitian ini adalah : 1. ukuran butir pembentuk gumuk pasir semakin ke arah timur dan ke arah daratan semakin halus. 2. perkembangan gumuk pasir ke arah daratan dibedakan menjadi dua, yaitu yang diakibatkan oleh angin dengan arah umum barat laut dan yang diakibatkan oleh guguran pasir pada lereng belakang yang berlawanan arah angin. 3. material pasir yang terangkut ke arah daratan berdasarkan pengukuran dengan sand trap sebesar ,6 m 3 /th. 4. kecepatan perkembangan gumuk pasir 2,09 m/th ke arah vertikal dan 5,25 m/th ke arah horizontal. 5. penimbunan pasir terhadap lahan budidaya manusia semenjak 40 tahun terakhir tercatat ha dan saluran irigasi sepanjang m. Sujarwo (1984), melakukan penelitian mengenai morfometri tipe bukit pasir (gumuk pasir) di Parangtritis. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pembentukan gumuk pasir di Parangtritis, mempelajari morfometri dan faktor-faktor pembentuk gumuk pasir serta hubungan antara keduanya. Metode yang digunakan adalah dengan interpretasi foto udara, peta topografi, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Hasil penelitian yang dilakukan adalah : 1. Proses pembentukan gumuk pasir ditentukan oleh material pasir dan tenaga angin. Material pasir penyusun gumuk pasir yang berada di puncaknya mempunyai nilai M ϕ lebih besar dari nilai Md ϕ dan mempunyai nilai kemencengan positif. Hal ini menunjukkan bahwa gumuk pasir terjadi akibat dari pengaruh tenaga angin. 2. Diameter pasir pada puncak gumuk pasir makin dekat dengan pantai makin besar, 0,49 mm dekat pantai dan 0,31 mm jauh dari pantai. 3. Diameter pasir pada puncak bukit pasir makin dekat dengan muara Sungai Opak makin kasar, 0,49 mm dan 0,29 mm jauh dari muara Sungai Opak. 4. Jumlah pasir yang terangkut oleh angin pada gumuk pasir barkhan lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pasir yang terangkut oleh angin 14

15 pada gumuk pasir garis. Sebab, pada bukit pasir garis angin terhalang oleh vegetasi. Prabintoro (1999), dalam penelitiannya mengenai karakteristik gumuk pasir ditinjau dari faktor-faktor pembentuknya di Parangtritis. Dijelaskan mengenai karakteristik material, morfometri, angin, dan vegetasi. Tipe gumuk pasir yang dominan adalah tipe bulan sabit dan tipe garis dengan perbandingan luasan mendekati 70% : 30%. Pengambilan sampel lebih banyak dilakukan pada gumuk pasir tipe bulan sabit dengan pertimbangan luasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin jauh dari pantai, ukuran butir pasir semakin kecil. Pasir dengan ukuran butir yang besar akan terendapkan terlebih dahulu dan yang kecil akan terus terbawa oleh angin dan diendapkan menjauhi pantai. Mardiatno (2000), melakukan penelitian untuk mengetahui besarnya deflasi pasir dan mengetahui pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar Parangtritis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dan analisis laboratorium. Hasil penelitian yang diperoleh adalah data tingkat deflasi pasir. Berdasarkan perhitungan deflasi dengan persamaan Bagnold (1941) diperoleh bahwa besar deflasi pasir adalah 0,15 gr/dtk pada beting gisik (beach ridge), 0,17 gr/dtk pada gumuk pasir tipe memanjang, 0,21 gr/dtk pada gumuk pasir tipe barkhan, dan 0,25 gr/dtk pada gumuk pasir yang tidak aktif (non active). Besarnya deflasi hasil perhitungan dengan persamaan Bagnold (1941) selalu lebih besar dari hasil pengukuran di lapangan. Hal ini diakibatkan oleh variabel-variabel yang digunakan dalam persamaan Bagnold (1941), yakni kepadatan udara, percepatan gravitasi, koefisien variasi menurut ukuran butir, diameter pasir hasil pengukuran, dan kecepatan angin pada ketinggian tertentu. Rudjito (2001), melakukan penelitian studi gumuk pasir di pesisir Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perkembangan gumuk pasir di pesisir Kabupaten Bantul dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan agihan dan tipe gumuk pasir di sebelah timur dan barat Sungai Opak. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif komparatif dengan pengamatan dan survei lapangan. Hasil penelitian berupa peta geomorfologi daerah penelitian, windrose dari setiap sampel perwakilan, peta kerapatan vegetasi, dan profil topografi. Faktor yang 15

16 berpengaruh dalam perkembangan gumuk pasir adalah arah angin, kecepatan angin, ukuran butir material pasir, dan kerapatan vegetasi. Aprilia (2004), melakukan penelitian mengenai deflasi pasir pada berbagai tipe gumuk pasir di Parangtritis. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik material yang berupa ukuran butir, kebundaran, dan kebulatan pada tipe-tipe gumuk pasir, mengetahui distribusi vertikal pasir yang bergerak dengan merayap, meloncat, dan melayang pada tipe-tipe gumuk pasir, dan mengetahui besarnya deflasi pada tiap tipe gumuk pasir dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan metode survei lapangan. hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik fisik material yang meliputi ukuran butir pasir, kebundaran, dan kebulatan pada tiap tipe gumuk pasir berbeda karena adanya lingkungan pengendapan dan jarak dari pantai. Besarnya deflasi sebagai berikut : 1. Distribusi vertikal butir pasir lebih banyak dipengaruhi oleh pasir yang bergerak secara merayap (84,81%), dari pada pasir yang bergerak secara meloncat (15,17%) maupun melayang (0,02%). 2. Deflasi pasir pada gumuk pasir tipe barkhan sebesar 233,5 gr/jam, pada tipe barchanoid sebesar 440,97 gr/jam, pada tipe transversal aktif sebesar 115,07 gr/jam, pada tipe transversal inaktif sebesar 41,36 gr/jam, dan pada tipe nebkha sebesar 170,06 gr/jam. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap deflasi adalah kecepatan angin, morfometri gumuk pasir, karakteristik fisik material gumuk pasir, kerapatan vegetasi, dan jarak dari pantai. Susmayadi dkk (Sunarto dkk, 2014), melakukan penelitian mengenai proses fisik dan dinamika kawasan pesisir, rip current, deflasi, dan abrasi di kawasan Parangtritis. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi risiko rip current, deflasi, dan abrasi. Salah satu hasil penelitian berupa tabel potensi risiko deflasi serta peta bahaya, rawan, dan risiko deflasi. Berdasarkan hasil tersebut, wilayah antropogenik di kawasan Parangtritis memiliki tingkat risiko deflasi yang tinggi. Malawani (2014), melakukan penelitian mengenai karakteristik deflasi dan dampaknya terhadap pariwisata di kawasan Parangtritis. Tujuan dari penelitian ini 16

17 adalah mengetahui besar deflasi pasir di kawasan Parangtritis, mengetahui karakteristik deflasi pada kawasan Parangtritis, dan menemukenali dampak deflasi terhadap aktivitas pariwisata di kawasan Parangtritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besar deflasi siang hari lebih besar daripada malam hari, yaitu sebesar 87,08 gr/cm-jam pada siang hari dan 3,39 gr/cm-jam pada malam hari. Ukuran diameter pasir berkisar antara 0,318 mm sampai 0,395 mm dengan dominasi tekstur pasir sedang. Kebulatan dan kebundaran material sedimen terdapat pada skala 0,5 dan 0,7. Perbedaan mendasar penelitian sebelumnya dengan peneliti adalah fokus kajian pada faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan gumuk pasir. Peneliti terfokus pada bangunan yang dapat berpengaruh terhadap transportasi material pasir. Penelitian sebelumnya dijadikan pertimbangan oleh peneliti, mengingat transportasi material berkaitan dengan proses deflasi. Perbandingan peneliti dengan beberapa peneliti sebelumnya ditunjukkan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Perbandingan Peneliti dengan Beberapa Peneliti Sebelumnya Peneliti Judul Tujuan Hasil (1) mengetahui perkembangan gumuk pasir di pesisir Kabupaten Bantul Rujito (2001) Aprilia (2004) Studi gumuk pasir di pesisir Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Deflasi pasir pada berbagai tipe gumuk pasir di Parangtritis (2) mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan agihan dan tipe gumuk pasir di sebelah timur dan barat Sungai Opak (1) mengetahui karakteristik material yang berupa ukuran butir, kebundaran, dan kebulatan pada tipe-tipe gumuk pasir (2) mengetahui distribusi vertikal pasir yang bergerak dengan merayap, meloncat, dan melayang pada tipe-tipe gumuk pasir Faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan gumuk pasir yakni arah angin, kecepatan angin, ukuran butir material pasir, dan kerapatan vegetasi (1) karakteristik material, vegetasi, dan angin (2) perbandingan distribusi vertikal tiap tipe gumuk pasir 17

18 Tabel 1.2. Perbandingan Peneliti dengan Beberapa Peneliti Sebelumnya (lanjutan) Peneliti Judul Tujuan Hasil Aprilia (2004) Malawani (2014) Sugiarto (2016) Deflasi pasir pada berbagai tipe gumuk pasir di Parangtritis Karakteristik deflasi dan dampaknya terhadap pariwisata di kawasan Parangtritis Kajian Pengaruh Bangunan Terhadap Perkembangan Gumuk Pasir Parangtritis (3) mengetahui besarnya deflasi pada tiap tipe gumuk pasir dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (1) mengetahui besar deflasi pasir di kawasan Parangtritis (2) mengetahui karakteristik deflasi pada kawasan Parangtritis (3) menemukenali dampak deflasi terhadap aktivitas pariwisata di kawasan Parangtritis (1) mengidentifikasi pengaruh bangunan di kawasan gumuk pasir Parangtritis terhadap arah angin dan kecepatan angin (2) memperbandingkan berat atau volume pasir dan granulometri pasir di wilayah tenggar dan di belakang bangunan di kawasan gumuk pasir Parangtritis (3) mencari hubungan distribusi keruangan pasir yang tertahan oleh bangunan di kawasan gumuk pasir Parangtritis (3) besar deflasi pada tiap tipe gumuk pasir (4) persamaan regressi untuk mengetahui besar deflasi (5) peta geomorfologi (1) besar deflasi di kawasan Parangtritis (2) karakteristik fisik material terdeflasi di kawasan Parangtritis (3) dampak deflasi pada kegiatan pariwisata (1) besar berat/volume pasir, granulometri pasir, arah angin, dan kecepatan angin (2) perbandingan karakteristik pasir di wilayah tenggar dan di kawasan bangunan (3) peta distribusi keruangan pasir yang tertahan bangunan di kawasan gumuk pasir Parangtritis 1.7. Kerangka Pemikiran Teoretik Proses aeolian merupakan salah satu proses geomorfologi yang disebabkan oleh tenaga angin. Proses aeolian berpengaruh terhadap pembentukan gumuk pasir. Terbentuknya gumuk pasir disebabkan oleh faktor pembentuk gumuk pasir. 18

19 Faktor pembentuk gumuk pasir meliputi adanya material pasir, tidak adanya penghalang angin, periode kering yang tegas, dan adanya tenaga angin yang berperan dalam proses transportasi. Material pasir yang terpapar radiasi Matahari sepanjang tahun akan bersifat kering. Pasir kering memiliki berat lebih ringan dibandingkan pasir basah karena kandungan air sudah tidak ada, kondisi demikian mempermudah angin dalam membawa pasir sebagai material penyusun gumuk pasir. Gumuk pasir terbentuk oleh akumulasi material pasir yang terendapkan akibat tenaga angin sudah tidak mampu dalam membawa pasir. Faktor pengontrol berperan penting terhadap perkembangan gumuk pasir. Arah angin, kecepatan angin, dan periode kering yang tegas merupakan faktor alami yang relatif bersifat tetap. Material pasir dan ada tidaknya penghalang merupakan faktor yang mudah terpengaruh oleh aktivitas manusia. Jumlah material pasir sebagai sumber utama gumuk pasir dapat berkurang apabila dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluannya. Akibat yang ditimbulkan adalah terhambatnya perkembangan tipe gumuk pasir barkhan akibat suplai material pasir berkurang. Penghalang dapat bersifat alami atau buatan, penghalang alami dapat berupa konfigurasi relief permukaan Bumi, sedangkan penghalang buatan adalah hasil budidaya manusia. Penghalang angin hasil budidaya manusia dapat diartikan sebagai hasil aktivitas manusia yang bersifat nyata (physically) dan berpengaruh terhadap arah dan kecepatan angin. Penghalang angin ini dapat berupa vegetasi budidaya dan bangunan. Dalam konteks penelitian yang diangkat, penghalang angin yang akan diteliti adalah bangunan. Adanya penghalang angin berpengaruh terhadap arah angin dan kecepatan angin. Arah angin akan berubah jika terjadi benturan dengan penghalang angin. Disisi lain, benturan angin dengan penghalang angin akan menyebabkan kecepatan angin berkurang, kondisi ini dikarenakan adanya gaya gesek yang menyebabkan kecepatan angin menurun. Dampak dari arah angin dan kecepatan angin yang terpengaruh penghalang angin adalah terhambatnya proses transportasi material pasir dan terjadi perubahan lokasi endapan pasir. Kondisi demikian tentunya akan berpengaruh terhadap keberlangsungan dan perkembangan dari tipe gumuk pasir barkhan. Dengan demikian dapat dinyatakan 19

20 bahwa bangunan berpengaruh terhadap proses transportasi material pasir menuju gumuk pasir. Secara sistematis ditunjukkan dalam diagram alir pada Gambar 1.1. Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Teoretik : Pengaruh Bangunan terhadap Perkembangan Gumuk Pasir Batasan Istilah Angin merupakan udara yang bergerak sejajar dengan permukaan Bumi akibat perbedaan tekanan (Nielsen and Willets, 1991 : Bayong, 2004 : Pye and Tsoar, 2009). Arah Angin merupakan arah pergerakan angin yang dinyatakan dalam skala derajat (Bayong, 2004) Bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan (UU No 12 Tahun 1985). Dalam konteks ini bangunan terbatas pada tanah dan tersusun oleh lantai, dinding, dan atap. 20

21 Bentuk Bangunan merupakan wujud tiga dimensi dari bangunan secara nyata (Riany dkk, 2013). Dalam konteks penelitian ini, bentuk bangunan mencakup ukuran panjang, lebar, dan tinggi penampang depan bangunan yang menghadap arah angin. Mencakup pula bentuk dari atap bangunan seperti segitiga, bujur sangkar, limas, dan kombinasi diantaranya. Gumuk Pasir merupakan bukit (hill) atau igir (ridge) akibat gundukan pasir oleh proses angin (Pye and Tsoar, 2009). Gumuk pasir yang dimaksud dalam penelitian adalah gumuk pasir Parangtritis. Kecepatan Angin merupakan besaran yang menyatakan kecepatan angin secara horizontal dalam satuan kecepatam (m/s, knot) (Bayong, 2004) Material Pasir merupakan hasil pergerakan pasir oleh tenaga angin atau deflasi (Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Dalam konteks penelitian ini, material pasir adalah yang tertangkap sandtrap pada belakang bangunan hasil proses transportasi, baik yang merayap, meloncat, dan melayang. Sandtrap merupakan alat yang digunakan untuk menangkap / menampung material pasir yang tertransportasi oleh tenaga angin (Pye and Tsoar, Zona merupakan daerah (wilayah) dengan pembatasan khusus (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008) 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Gumuk Pasir (sand dunes) merupakan bentukan alam berupa gundukangundukan pasir menyerupai bukit akibat pergerakan angin (eolean). Istilah gumuk berasal dari bahasa

Lebih terperinci

PENGARUH BANGUNAN TERHADAP PERKEMBANGAN GUMUK PASIR PARANGTRITIS. Fajar Sugiarto Sunarto

PENGARUH BANGUNAN TERHADAP PERKEMBANGAN GUMUK PASIR PARANGTRITIS. Fajar Sugiarto Sunarto PENGARUH BANGUNAN TERHADAP PERKEMBANGAN GUMUK PASIR PARANGTRITIS Fajar Sugiarto sugiartototok838@gmail.com Sunarto sunartogeo@gmail.com Abstract This research was conducted in Parangtritis sand dunes area.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pantai Parangtritis merupakan salah satu pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta yang paling banyak menyumbangkan pendapatan daerah, khususnya bagi Kabupaten Bantul. Pantai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. HALAMAN PENGSAHAN.. HALAMAN PERNYATAAN.. INTISARI.. ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR..

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. HALAMAN PENGSAHAN.. HALAMAN PERNYATAAN.. INTISARI.. ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. HALAMAN PENGSAHAN.. HALAMAN PERNYATAAN.. INTISARI.. ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR TABEL i ii iii iv v vi viii xi xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan penting pada pemenuhan kebutuhan makhluk hidup untuk berbagai keperluan. Suplai air tersebut dapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATAPENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR PETA INTISARI ABSTRACT BAB I.

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATAPENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR PETA INTISARI ABSTRACT BAB I. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATAPENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR PETA... ix INTISARI... x ABSTRACT... xi BAB I. PENDAHULUAN 1.1.

Lebih terperinci

Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta. Herning Dyah Kusuma Wijayanti 1, Fikri Abubakar 2 Dosen,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pesisir Pantai Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Daerah daratan merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah dengan bentangan Utara ke Selatan 34,375 Km dan Timur ke Barat 43,437 Km. kabupaten Temanggung secara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.5

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.5 1. Perhatikan peristiwa alam berikut ini! SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.5 1. Pergantian musim. 2. Perubahan lama waktu siang dan malam.kutub bumi 3. Terjadinya pembelokan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Geologi lingkungan merupakan suatu interaksi antara manusia dengan alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling mempengaruhi

Lebih terperinci

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta A. Peta Dalam kehidupan sehari-hari kamu tentu membutuhkan peta, misalnya saja mencari daerah yang terkena bencana alam setelah kamu mendengar beritanya di televisi, sewaktu mudik untuk memudahkan rute

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rencana pengembangan kawasan pantai selatan Pulau Jawa yang membentang dari Jawa Timur sampai Jawa Barat, tentu akan memberi dampak perkembangan penduduk di daerah-daerah

Lebih terperinci

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses geomorfologi suatu wilayah di permukaan Bumi dipengaruhi oleh tenaga-tenaga tertentu yang dapat menghasilkan kenampakan geomorfologi yang bervariasi. Angin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

dua benua dan dua samudera. Posisi unik tersebut menjadikan Indonesia sebagai

dua benua dan dua samudera. Posisi unik tersebut menjadikan Indonesia sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang dilewati oleh garis katulistiwa di apit oleh dua benua dan dua samudera. Posisi unik tersebut menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN : ANGIN

POKOK BAHASAN : ANGIN POKOK BAHASAN : ANGIN ANGIN ANGIN Angin adalah udara yang bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui tentang angin, yaitu

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah

I. PENDAHULUAN. palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah 1 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Palinologi adalah ilmu yang mempelajari tentang polen, spora dan palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah memfosil (paleopalinology).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

PENGARUH VEGETASI TERHADAP DINAMIKA PERKEMBANGAN GUMUK PASIR DI PESISIR PARANGKUSUMO. Oleh: Fahad Nuraini 1, Sunarto 2, Langgeng Wahyu Santosa 2

PENGARUH VEGETASI TERHADAP DINAMIKA PERKEMBANGAN GUMUK PASIR DI PESISIR PARANGKUSUMO. Oleh: Fahad Nuraini 1, Sunarto 2, Langgeng Wahyu Santosa 2 PENGARUH VEGETASI TERHADAP DINAMIKA PERKEMBANGAN GUMUK PASIR DI PESISIR PARANGKUSUMO Oleh: Fahad Nuraini 1, Sunarto 2, Langgeng Wahyu Santosa 2 1 Mahasiswa S2 Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro BAB III DATA LOKASI 3.1 Data Makro 3.1.1 Data Kawasan wilayah Kabupaten Sleman yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo 09.02.4.0011 PROGRAM STUDI / JURUSAN OSEANOGRAFI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2012 0 BAB

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1 BAB I PENDAHULUAN Pantai merupakan suatu sistem yang sangat dinamis dimana morfologi pantai berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu baik secara lateral maupun vertikal yang dapat dilihat dari proses akresi

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

BENTANG ALAM EOLIAN. 1. Cekungan Deflasi di Gurun Gobi

BENTANG ALAM EOLIAN. 1. Cekungan Deflasi di Gurun Gobi BENTANG ALAM EOLIAN Bentang alam eolian merupakan bentang alam yang dibentuk karena aktivitas angin. Bentang alam ini banyak dijumpai pada daerah gurun pasir. Gurun pasir sendiri lebih diakibatkan adanya

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DI AREA GUMUKPASIR PARANGTRITIS KABUPATEN BANTUL TAHUN

ANALISIS DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DI AREA GUMUKPASIR PARANGTRITIS KABUPATEN BANTUL TAHUN ANALISIS DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DI AREA GUMUKPASIR PARANGTRITIS KABUPATEN BANTUL TAHUN 2003-2014 NASKAH PUBLIKASI ILMIAH Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bencana sedimen didefinisikan sebagai fenomena yang menyebabkan kerusakan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan, melalui suatu

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah pertemuan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy.

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy. SOAL HIDRO 1. Saluran drainase berbentuk empat persegi panjang dengan kemiringan dasar saluran 0,015, mempunyai kedalaman air 0,45 meter dan lebar dasar saluran 0,50 meter, koefisien kekasaran Manning

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I

Lebih terperinci

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Sleman 3.1.1 Kondisi Geografis Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993). batas topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

Berikut kerangka konsep kegiatan pembelajaran geografi kelas VI SD semester II pada KD mengenal cara cara menghadapi bencana alam.

Berikut kerangka konsep kegiatan pembelajaran geografi kelas VI SD semester II pada KD mengenal cara cara menghadapi bencana alam. Materi Ajar Mitigasi Bencana Tsunami Di Kawasan Pesisir Parangtritis ( K.D Mengenal Cara Cara Menghadapi Bencana Alam Kelas VI SD ) Oleh : Bhian Rangga J.R Prodi Geografi FKIP UNS Berikut kerangka konsep

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara ( km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara ( km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan garis pantai terluas di Asia Tenggara (81.000 km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai.

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

Jilid 2. Penulis : Arief Harisa Muhammad. Copyright 2013 pelatihan-osn.com. Cetakan I : Oktober Diterbitkan oleh : Pelatihan-osn.

Jilid 2. Penulis : Arief Harisa Muhammad. Copyright 2013 pelatihan-osn.com. Cetakan I : Oktober Diterbitkan oleh : Pelatihan-osn. Jilid 2 Penulis : Arief Harisa Muhammad Copyright 2013 pelatihan-osn.com Cetakan I : Oktober 2012 Diterbitkan oleh : Pelatihan-osn.com Kompleks Sawangan Permai Blok A5 No.12 A Sawangan, Depok, Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

dkk.,1997; Kay dan Alder, 2005 dalam Marfai dkk.,2011).

dkk.,1997; Kay dan Alder, 2005 dalam Marfai dkk.,2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan suatu wilayah yang mempunyai suatu ekosistem yang khas dan mempunyai sumberdaya alam yang baik. Ekosistem ini ada pada mintakat daratan maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pantai 2.1.1. Pengertian Pantai Pengertian pantai berbeda dengan pesisir. Tidak sedikit yang mengira bahwa kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama, karena banyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angin Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal maupun secara vertikal dengan kecepatan bervariasi dan berfluktuasi secara dinamis. Faktor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang Utara (LU) dan 98-100 Bujur Timur (BT), merupakan wilayah yang berbatasan di sebelah utara

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.5

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.5 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.5 1. Perombakan batuan menjadi bagian lebih kecil, tetapi tidak mengubah unsur kimia batuan tersebut dikenal dengan pelapukan....

Lebih terperinci

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH P erpustakaan Anak di Yogyakarta BAB 3 TINJAUAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu

Lebih terperinci

GUMUK PASIR PARANGTRITIS KONVERSI VERSUS KONSERVASI ( Sebuah Tinjauan Penggunaan Lahan dengan Model Dinamik)

GUMUK PASIR PARANGTRITIS KONVERSI VERSUS KONSERVASI ( Sebuah Tinjauan Penggunaan Lahan dengan Model Dinamik) GUMUK PASIR PARANGTRITIS KONVERSI VERSUS KONSERVASI ( Sebuah Tinjauan Penggunaan Lahan dengan Model Dinamik) Lestario Widodo Peneliti di Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Dinamika morfologi muara menjadi salah satu kajian yang penting. Hal ini disebabkan oleh penggunaan daerah ini sebagai tempat kegiatan manusia dan mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk mempresentasikan data kecepatan angin dalam bentuk mawar angin sebagai

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR Oleh : Sunarto Gunadi *) Abstrak Lahan pesisir sesuai dengan ciri-cirinya adalah sebagai tanah pasiran, dimana dapat dikategorikan tanah regosal seperti

Lebih terperinci

BAB 3 POTENSI DAN KONDISI LOKASI

BAB 3 POTENSI DAN KONDISI LOKASI BAB 3 POTENSI DAN KONDISI LOKASI 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Boyolali 3.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 110 22'

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang

Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang Kriteria Desain Kriteria Desain Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang Perancang diharapkan mampu menggunakan kriteria secara tepat dengan melihat kondisi sebenarnya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang, Bendung Krapyak berada di Dusun Krapyak, Desa Seloboro, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada posisi 7 36 33 Lintang Selatan

Lebih terperinci