BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. RANCANGAN STANDAR PINTU UTAMA DAN DARURAT KAPAL PENUMPANG DAN RO-RO Rancangan standardisasi ini merupakan hasil kajian dari berbagai pedoman spesifikasi teknik pekerjaan yang ada.pembahasan studi dilakukan dan/atau didasarkan pada berbagai sumber yang terkait dengan pembahasan A. Standar Pintu Utama dan Darurat Kapal Penumpang dan Ro-Ro. Dengan terselesaikannya Rancangan Standardisasi Standar Pintu Utama dan Darurat Kapal Penumpang dan Ro-Ro, selanjutnya akan dibahas dengan Kelompok Umum dari Gugus Kerja Kementerian Perhubungan pada Sub-Panitia Teknis Badan Litbang Perhubungan yang berada dibawah naungan Panitia Teknis Standardisasi Di Bidang Transportasi Laut Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Proses pembahasan yang dimulai dari Rapat Kelompok Bidang Keahlian, Rapat Gugus Kerja, Rapat Teknis dan Konsensus pada tingkat Sub-Panitia Teknis Badan Litbang Perhubungan yang kemudian Rapat Penetapan pada Panitia Teknis sesuai dengan mekanisme proses pembuatan standardisasi di Kementerian Perhubungan. Pelaksanaan pembahasan untuk masing-masing tingkatan harus dihadiri oleh anggota panitia, nara sumber, konseptor dan tim editor dari perumusan standardisasi ini. Komposisi anggota panitia dan nara sumber harus memperhatikan keterwakilan para pemangku kepentingan yaitu antara lain : pemerintah, pakar, konsumen dan produsen dengan komposisi yang seimbang satu sama lain. Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran bahwa pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana bantu pelayaran harus berdasarkan norma, standar, pedoman dan manual (NSPM). Rancangan standardisasi ini disusun sesuai dengan masing-masing tahapan kegiatan yang terdiri dari survey, investigasi V - 1

2 dan desain, di mana dalam pelaksanaannya mengacu dan berpedoman pada norma, standar, pedoman dan manual (NSPM). Rancangan Standardisasi ini mencakup persyaratan dan standar teknis yang harus dipenuhi, penentuan lokasi, dan sarana prasarana yang mendukung. Rancangan Standardisasi ini mencakup Standar Pintu Utama dan Darurat Kapal Penumpang dan Ro-Ro. 1 Ruang lingkup Standarisasi ini menetapkan ketentuan dan persyaratan, klasifikasi dan aplikasi pintu utama dan darurat, persyaratan bahan dan mutu, konstruksi, bentuk, dan ukuran. Rancangan Standarisasi ini mencakup persyaratan dan standar teknis yang harus dipenuhi,dalam penerapan PintuUtama dan Darurat Kapal Penumpang dan Ro-Ro Rancangan Standarisasi ini mencakup kegiatan pelaksanaan seluruh bangunan kapal khususnya pada bagian Pintu Utama dan Darurat Kapal Penumpang dan Ro-Ro 2 Acuan normatif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran. Biro Hukum dan KSLN Kementerian Perhubungan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran. International Convention for Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974, Consolidated Edition 2004 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002, Tentang Perkapalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 65 Tahun 2009, Tentang Standar Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: Um.008/20/9/Djpl 2012 Tentang Pemberlakuan Standar Dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: SK 73/AP005/DRJD/2003 Tentang Persyaratan Pelayanan Minimal Angkutan Penyebrangan V - 2

3 3 Istilah dan definisi a. Keselamatan kapal Keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. b. Kapal kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energy lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. c. Kapal Ro-Ro kapal yang bisa memuat kendaraan yang berjalan masuk ke dalam kapal dengan penggeraknya sendiri dan bisa keluar dengan sendiri juga sehingga disebut sebagai kapal roll on - roll off disingkat Ro-Ro, untuk itu kapal dilengkapi dengan pintu rampa yang dihubungkan dengan moveble bridge atau dermaga apung ke dermaga. 4 Ketentuan dan persyaratan Ketentuan dan persyaratan umum yang perlu diperhatikan dalam standar dan spesifikasi Standar Pintu Utama dan Darurat Kapal Penumpangdan Ro-Ro, memuat : 1) Persyaratan umum a) Standarisasi pintu utama dan pintu darurat merupakan pintu kedap class A (sesuai persyaratan SOLAS Chapter II-1) juga mempertimbangkan standar pintu yang sudah ada seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), Japan Industrial Standar (JIS), American Society for Testing and Materials (ASTM), atau National Fire Protection Association (NFPA). Adapun contoh produk standarnya seperti : (1) SNI No tentang pintu baja kedap cuaca (2) SNI No tentang pintu berongga di kabin kapal (3) SNI No tentang pintu berongga di geladak cuaca kapal. V - 3

4 (4) SNI No tentang pintu berongga di geladak cuaca kapal (5) SNI No pintu kedap air (6) SNI ISO 6042:2007 pintu kedap cuaca satu daun (7) ASTM F Standard Specification for Doors, Furniture, Marine b) Standar Pintu juga tidak boleh bertentangan dengan KM 65 tahun 2009 tentang Standar Non Convention Vessel Standard terutama Chapter II Konstruksi point 2.28 dan sampai dengan c) Dalam evakuasi kapal yang menjadi ukuran keberhasilan adalah : (1) Kesiapan alat keselamatan (2) Kecepatan penumpang dan ABK keluar dari kapal. (3) Kecepatan Badan SAR menyelamatkan korban yang selamat d) Banyaknya penelitian tentang keselamatan kapal penumpang menunjukan / menghubungkan bahwa kecepatan evakuasi saat keadaan darurat di kapal sangat erat kaitannya dengan : (1) penumpang. Untuk mengarahkan penumpang dibutuhkan beberapa hal antara lain penempatan signet signet yang jelas. Untuk mengantisipasi perilaku penumpang dapat dilakukan pemberian keterangan yang jelas kepada penumpang saat kejadian. Serta di Serta di beberapa artikel sangat menyarankan untuk melakukan simulasi evaluasi ketika masih dalam tahap perancangan/desain kapal dengan melihat berbagai resiko kondisi kapal maupun perilaku/behavior penumpang.konsistensi pelaksanaan drill/latihan darurat di kapal (2) Edukasi kepada penumpang tentang keselamatan serta pengenalan tata cara saat evakuasi V - 4

5 (3) Bagaimana mengarahkan penumpang saat proses evakuasi saat evakuasi sehingga tidak terjadi kerumunan dan kepanikan e) Saat terjadi kejadian bahaya untuk ukuran pintu tidak terlalu mempengaruhi dalam kecepatan evakuasi,serta jumlah pintu yang harus terpasang tidak dapat di standarisasi jumlahnya sebab sangat bergantung dengan desain kapal yang bersangkutan. f) Untuk kecepatan menutup pintu dapat menggunakan SOLAS Chapter II-2 A Regulasi 9 point g) Pengoperasian pintu utama dan pintu darurat dapat secara : (1) Mekanik menggunakan tuas (2) Hydraulic (3) Pneumatik (4) Elektrik h) Petunjuk cara dan tatacara evakuasi penggunaan pintu darurat bila terjadi bahaya Untuk pintu darurat otomatis dapat digerakan dari anjungan dan disetiap pintu dilengkapi dengan alarm audio dan visual. Sesuai SOLAS Chapter II-1 i) Pelatihan dan pengecekan pintu kedap seharusnya dilaksanakan seminggu sekali sesuai dengan SOLAS Chapter II-1 Regulasi 21 untuk ABK dan penumpang.untuk penumpang dapat juga diberikan sosialisasi melalui penayangan video keselamatan 2) Persyaratan khusus a) Peraturan 13 (Solas) (1) Tidak diizinkan ada pintu-pintu, lubang-lubang lalu orang atau lubang masuk : disekat tubrukan di bawah garis batas benaman, dan disekat melintang kedapair yang memisahkan sebuah ruang muatan dengan sebuah ruang muatan yang berdampingan atau dengan tempat penyimpanan bahan bakar tetap atau cadangan; (2) Pintu-pintu kedapair yang dipasang disekatsekat antara tempat penyimpanan bahan bakar V - 5

6 tetap dan cadangan harus selalu dapat dimasuki; (3) Di dalam ruangan-ruangan yang berisikan mesin-mesin penggerak utama dan bantu termasuk ketel-ketel yang melayani keperluankeperluan pergerakan dan semua tempat penyimpanan bahan bakar, tidak lebih dari satu pintu yang terpisah dari pintu-pintu ke tempattempat penyimpanan bahan bakar dan terowongan-terowongan poros dapat dipasang dimasing-masing sekat melintang utama. Dimana dipasang dua poros atau lebih, maka terowongan-terowongan harus dihubungkan oleh sebuah jalan penghubung antara. Hanya harus ada satu pintu antara ruang mesin dan ruang ruang terowongan, dimana dipasang dua poros dan hanya dua pintu bila lebih dari dua poros. Semua pintu ini harus dari jenis geser dan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga ambangnya setinggi praktis dapat dilaksanakan. Perangkat tangan untuk menggerakkan pintu-pintu ini dari atas geladak sekat harus ditempatkan diluar ruanganruangan yang berisikan mesin-mesin jika yang demikian itu sesuai dengan tata susunan yang memenuhi syarat dari perangkat yang diperlukan. (4) Pintu-pintu kedapair harus pintu-pintu geser atau pintu-pintu engsel atau pintu-pintu yang jenisnya sepadan dengannya. Pintu-pintu pelat yang dikencangkan hanya dengan baut-baut dan pintu-pintu yang disyaratkan untuk ditutup dengan menjatuhkan atau dengan tindakan menjatuhkan bobot tidak diizinkan; (5) Pintu-pintu geser boleh salah satu : hanya dijalankan dengan tangan, atau dijalankan dengan tenaga maupun dengan tangan; (6) Pintu-pintu kedapair yang diizinkan dapat dibagi dalam 3 kelas: kelas 1 pintu-pintu berengsel; kelas 2 pintu-pintu geser yang dijalankan dengan tangan; kelas 3 pintu-pintu geser yang dijalankan dengan tenaga maupun tangan; V - 6

7 (7) Sarana untuk menjalankan pintu kedapair yang manapun, baik yang dijalankan dengan tenaga atau bukan, harus dapat menutup pintu selagi kapal dalam keadaan miring 150 ke sisi sembarang; (8) Di semua kelas pintu kedapair harus dipasangi indikator-indikator yang memperlihatkan di semua stasiun pelayanan dari mana pintu-pintu itu tidak terlihat, apakah pintu-pintu itu terbuka atau tertutup. Jika sembarang pintu dari antara pintu-pintu kedapair itu, dari kelas apapun tidak dipasang sedemikian rupa sehingga memungkinkan pintu itu ditutup dari stasiun pengawasan pusat, harus dilengkapi sarana penghubung mekanis, listrik, teleponis, atau sarana penghubung lain apapun yang layak, yang memungkinkan perwira jaga dengan segera menghubungi orang yang bertanggung jawab untuk penutupan pintu-pintu yang bersangkutan, berdasarkan perintah-perintah sebelumnya; (9) Pintu-pintu engsel (Kelas 1) harus dipasangi alat-alat penutup gerak cepat, seperti kait-kait, dapat dilayani dari masing-masing sisi sekat; (10) Pintu-pintu geser yang dilayani dengan tangan (Kelas 2) boleh memiliki gerakan mendatar atau tegaklurus. Harus memungkinkan untuk menjalankan mekanisme di pintu itu sendiri dari ke dua sisi, dan sebagai tambahan, dari suatu tempat yang dapat dijangkau dari atas geladak sekat, dengan gerakan engkol penuh atau suatu gerakan lain yang menghasilkan jaminan keselamatan yang sama dan dari jenis yang disetujui. Penyimpangan-penyimpangan dari syarat pelayanan di kedua sisi dapat diizinkan, jika syarat ini tidak mungkin diterapkan karena reka bentuk ruanganruangan yang tidak memungkinkannya. Bila dijalankan dengan perangkat tangan, waktu yang diperlukan untuk melakukan penutupan pintu secara penuh dalam keadaan kapal tegak, harus tidak lebih dari 90 detik. V - 7

8 (11) Pintu-pintu geser yang dijalankan dengan tenaga (Kelas 3) boleh memiliki gerakan tegak lurus atau mendatar. Jika sebuah pintu dikehendaki untuk dijalankan dengan tenaga dari pengawasan pusat, perangkat harus ditata sedemikian rupa sehingga pintu itu dapat juga dilayani dengan tenaga di pintu itu sendiri dari kedua sisi. Tata susunan itu harus sedemikian rupa sehingga pintu itu akan menutup secara otomatis jika dibuka oleh pengawas setempat setalah ditutup dari pengawas pusat, dan harus juga sedemikian rupa sembarang pintu dapat tetap ditutup oleh sistim sistim setempat yang akan mencegah pintu dibuka dari pengawas atas. Tangkai-tangkai pengatur setempat yang bersambung dengan perangkat tenaga harus dipasang di tiap sisi dari sekat dan harus ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan orang-orang melewati lubang pintu untuk memegang kedua tangkai itu dalam kedudukan terbuka tanpa dapat menjalankan mekanisme secara tidak sengaja pintu-pintu geser yang dijalankan dengan tenaga harus dipasangi perangkat tangan yang dapat dilayani di pintu itu sendiri di kedua sisi dan dari suatu tempat yang dapat dijangkau di atas galadak sekat, dengan gerakan engkol putar penuh atau suatu gerakan lain yang menghasilkan jaminan keselamatan yang sama dan dengan jenis yang disetujui. Ketentuan harus dibuat untuk memberi peringatan-peringatan dengan isyarat bunyi bahwa pintu telah mulai menutup dan akan bergerak terus sampai benar-benar menutup. Pintu-pintu harus memerlukan waktu yang cukup untuk menutup demi menjamin keselamatan; (12) Sekurang-kurangnya harus ada dua sumber tenaga yang berdiri sendiri yang dapat membuka dan menutup semua pintu yang diawasi, yang tiap-tiap sumber itu dapat menjalankan semua pintu secara serentak. Kedua sumber tenaga itu harus diawasi dari stasiun pusat di anjungan yang dilengkapi V - 8

9 dengan semua indikator yang diperlukan untuk mengkaji bahwa setiap sumber tenaga dari dua sumber tenaga itu dapat member pelayanan yang diperlukan secara memuaskan; (13) Dalam hal kerja secara hidrolis, setiap sumber tenaga harus terdiri dari sebuah pompa yang dapat menutup semua pintu dalam waktu yang tidak lebih dari 60 detik. Sebagai tambahan, untuk keseluruhan instalasi harus ada akumulator hidrolis yang kapasitasnya cukup untuk menggerakkan semua pintu sedikit-dikitnya 3 kali, yakni buka tutup buka. Cairan yang digunakan haruslah cairan yang tidak membeku pada sembarang suhu yang dapat dialami kapal selama dalam pelayanannya; (14) Pintu-pintu engsel kedapair berengsel (kelas 1) di dalam ruang-ruang penumpang, awak kapal dan ruang kerja hanya dibolehkan di atas sebuah geladak yang sisi bawahnya, di titik terendahnya di lambung sekurangkurangnya 2,13 meter (7 kaki) di atas garis muat subdivisi yang terdalam; (15) Pintu-pintu kedapair yang ambangnya di atas garis muat yang terdalam dan di bawah, garis yang diperincikan di dalam subparagraph yang terdahulu harus pintu-pintu geser dan boleh dijalankan dengan tangan (kelas 2), kecuali di kapal-kapal yang digunakan untuk pelayaran-pelayaran internasional jarak dekat dan disyaratkan mempunyai factor subdivisi 0,50 atau kurang yang di kapal-kapal itu semua pintu demikian harus dijalankan dengan tenaga. Bilamana tabung-tabung saluran yang berhubungan dengan muatan beku dan peranginan atau saluran-saluran tarikan buatan yang dipasang menembus lebih dari satu sekat kedapair subdivisi utama, pintu dilubang demikian harus dijalankan dengan tenaga; (16) Pintu-pintu kedapair yang kadang-kadang boleh dibuka di laut, dan yang ambangambangnya ada di bawah garis muat V - 9

10 subdivisi terdalam, harus pintu-pintu geser. Aturan-aturan berikut harus diterapkan: (a) Bilamana jumlah pintu demikian (tidak termasuk pintu-pintu di jalan masuk ke terowongan-terowongan poros) lebih dari 5 (lima), semua pintu ini dan pintu-pintu di jalan masuk ke terowonganterowongan poros atau ventilasi atau saluran tarikan paksa, harus dijalankan dengan tenaga (kelas 3) dan harus dapat ditutup secara serentak dari stasiun pusat yang ada di anjungan; (b) Bilamana jumlah pintu demikian (tidak termasuk pintu-pintu di jalan masuk ke terowongan-terowongan poros) lebih dari 1 (satu), tetapi tidak lebih dari 5 (lima). (aa) Dimana kapal tidak mempunyai ruang-ruang penumpang di bawah geladak sekat, semua pintu tersebut boleh digerakkan dengan tangan (Kelas 2); (bb) Dimana kapal mempunyai ruangruang penumpang di bawah geladak sekat, semua pintu tersebut di atas, harus digerakkan dengan tenaga (Kelas 3), dan harus dapat ditutup secara serentak dari suatu stasiun pusat yang ada di anjungan. (c) Di kapal yang manapun jika hanya ada dua pintu kedapair yang demikian, dan pintu-pintu itu untuk memasuki atau di dalam ruangan yang berisikan permesinan, badan pemerintah dapat mengizinkan kedua pintu itu dijalankan hanya dengan tangan (kelas 2). (17) Jika pintu-pintu kedapair geser yang kadangkadang harus dibuka di laut dengan maksud meratakan batubara dipasang diantara tempat-tempat penyimpanan bahan bakar di geladak-geladak antara di bawah geladak sekat, pintu-pintu itu harus digerakkan dengan tenaga. Pembukaan dan penutupan pintu-pintu ini harus dicatat di dalam buku V - 10

11 harian sebagaimana yang ditetapkan oleh badan pemerintah; (18) Jika badan pemerintah telah diyakinkan bahwa pintu-pintu demikian benar-benar diperlukan, pintu-pintu kedapair dengan konstruksi yang memenuhi syarat dapat dipasang di sekat-sekat kedapair yang membagi ruang-ruang muat geladak antara. Pintu-pintu tersebut boleh berengsel, gulung atau geser, tetapi tidak boleh dikendalikan dari jauh. Pintu-pintu itu harus dipasang sampai ketinggian yang paling tinggi dan sejauh mungkin dari kulit yang dapat dilaksanakan, tetapi bagaimanapun juga tepitepi tegak luar harus diletakkan harus diletakkan di suatu tempat yang jaraknya dari kulit tidak kurang dari seperlima lebar kapal, sebagaiamana yang ditentukan dalam Peraturan 2 Bab ini, jarak tersebut diukur tegaklurus sumbu simetri kapal setinggi garis muat subdivisi yang terdalam; (19) Pintu-pintu demikian harus ditutup sebelum pelayaran dimulai dan harus tetap dalam keadaan tertutup selama dalam pelayaran, dan saat pintu-pintu itu dibuka di pelabuhan dan pintu-pintu itu ditutup sebelum kapal meninggalkan pelabuhan harus dicatat di dalam buku harian. Apabila pintu yang manapun dari pintu-pintu itu harus dapat dijangkau selama dalam pelayaran, pintupintu itu harus dipasangi perangkat yang dapat mencegah pintu-pintu terbuka tanpa dikehendaki. Bilamana diusulkan memasang pintu-pintu demikian, jumlah dan tata susunannya harus sesuai dengan pertimbangan khusus dari badan pmerintah; (20) Semua pintu kedapair harus tetap dalam keadaan tertutup selama dalam pelayaran kecuali bilamana perlu dibuka untuk kepentingan pekerjaan di kapal, dan harus selalu dalam keadaan siap ditutup dengan segera. V - 11

12 b) Peraturan 14 (Solas) (1) Pintu-pintu dari lorong muatan dan batubara yang dipasang di bawah garis batas benaman harus mempunyai kekuatan yang cukup. Pintu-pintu itu harus ditutup secara berdayaguna dan dikencangkan kedapair sebelum kapal meninggalkan pelabuhan, dan harus tetap tertutup Selama kapal berlayar; (2) Pintu-pintu tersebut dalam keadaan bagaimanapun juga tidak boleh dipasang sedemikian rupa sehingga titik terendahnya berada di bawah garis muat subdivisi yang terdalam. c) Peraturan 15 (Solas) (1) Kerangka-kerangka dari pintu-pintu kedapair tegaklurus harus tanpa sponing di bagian bawah yang didalamnya kotoran dapat mengganjal dan menghalangi pintu dapat menutup dengan sempurna; (2) Tiap-tiap pintu kedapair harus diuji dengan tekanan air hingga tinggi tekannya mencapai geladak sekat. Pengujian itu harus dilaksanakan sebelum kapal dilayarkan, apakah sebelum pintu itu dipasang atau sesudahnya. d) Peraturan 21 (Solas) (1) Latihan-latihan menggerakkan pintu-pintu kedapair harus dilakukan 1 kali setiap minggu. Di kapal-kapal yang waktu pelayarannyalebih dari 1 minggu, suatu latihan lengkap harus diselenggarakan sebelum kapal meninggalkan pelabuhan, dan latihan-latihan lain setelah itu sekurangkurangnya 1 kali setiap minggu selama pelayaran. Di semua kapal, semua pintu bertenaga dan berengsel yang kedapair di sekat-sekat melintang utama yang digunakan di laut, harus digerakkan setiap hari; (2) Pintu-pintu kedapair dan semua mekanisme serta indikator yang dihubungkan padanya, semua katup yang penutupannya diperlukan untuk membuat kompartemen kedapair, dan V - 12

13 semua katup yang kerjanya diperlukan, untuk pengawasan kerusakan sambungansambungan silang harus diperiksa secara berkala di laut sekurang-kurangnya 1 kali setiap minggu; (3) Katup-katup, pintu-pintu dan mekanisme demikian harus ditandai dengan sepatutnya untuk memperoleh kepastian bahwa kesemuanya itu dapat digunakan dengan layak untuk memperoleh keselamatan yang setinggi-tingginya; e) Peraturan 22 (Solas) (1) Pintu-pintu berengsel, pintu-pintu muatan, pintu-pintu batubara dan lubang-lubang lain yang oleh peraturan ini disyaratkan untuk tetap dalam keadaan tertutup selama dalam pelayaran, harus ditutup sebelum kapal meninggalkan pelabuhan. Saat penutupan dan saat pembukaannya harus dicatat dalam buku harian. (2) Catatan tentang semua latihan dan pemeriksaan yang disyaratkan harus dibukukan di dalam buku harian dengan catatan terpisah tentang adanya kekurangankekurangan yang mungkin dijumpai. 5 Klasifikasi dan aplikasi pintu utama dan darurat Pintu baja kedap cuaca untuk kapal kecilpintu luar pada bangunan atas dan rumah geladak yang direncanakan untuk mencegah masuknya pengaruh cuaca dari luar.berdasarkan aplikasinya, pintu dikelompokkan dalam 4 (empat) klasifikasi : V - 13

14 Tabel 5.1 Klasifikasi dan Aplikasi KLASI FIKASI A B C D APLIKASI Pintu sekat depan bangunan atas dan rumah geladak pada tingkat pertama di atas geladak lambung timbul. Pintu sekat depan bangunan atas dan rumah geladak pada tingkat kedua diatas geladak lambung timbul. Pintu dinding samping dan dinding belakang bangunan atas dan rumah geladak pada tingkat pertama di atas geladak lambung timbul, dan pintu sekat depan rumah geladak pada tingkat ketiga atau lebih di atas geladak lambung timbul. Pintu dinding samping dan dinding belakang bangunan atas dan rumah geladak pada tingkat kedua diatas geladak lambung timbul. Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor SNI 7362: Persyaratan bahan dan mutu Keterangan bahan pintu baja kedap cuaca Tabel 5.2 Keterangan Bahan Pintu Baja Kedap Cuaca NO BAGIAN BAHAN 1 Pelat pintu JIS G 3101-SS41* 2 Penahan gasket Pelat baja 3 Gasket Karet sintetis tahan lama 4 Penegar JIS G 3101-SS41* 5 Ambang JIS G 3101-SS41* Keterangan * SS41 dikenali menjadi SS400 sejak Januari Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor SNI 7362:2007 V - 14

15 7 Konstruksi, bentuk, dan ukuran a. Konstruksi 1) Bukaan ke kanan (R) harus diartikan pintu dibuka ke arah kanan dan bukaan ke kiri (L) pintu dibuka ke arah kiri. 2) Ukuran dari lubang pintu dan pintu, ketebalan dari pelat pintu dan ukuran penegar sesuai Tabel 3. 3) Perlengkapan pada pintu sesuai JIS F ) Gambar 1 sampai Gambar 8 menunjukkan bukaan ke kanan (R), dan sebaliknya bukaan ke kiri (L). 5) Pintu harus dilengkapi dengan gagang pengunci, penahan penjepit dan kait sesuai keperluan. b. Syarat penandaan Pintu harus diberi tanda pada bagian yang mudah dilihat dengan mencantumkan : Nama/Logo perusahaan, tipe, nomor nominal dan arah bukaan. c. Cara Penunjukan Pintu ditunjuk dengan mencantumkan nama, kelas, nomor nominal, tebal pelat pintu, ukuran penegar, arah bukaan atau nomor SNI. CONTOH Pintu baja kedap cuaca untuk kapal kecil A x 6 R atau SNI 7362 A x 6 R. d. Ukuran Agar memenuhi kelayakan dan keselamatan pelayaran, maka kapal yang akandirancang hendaknya benar-benar memperhatikan dimensi material yang digunakanbeserta rencana konstruksinya. Untuk membuat rencana konstruksi diperlukanreferensi berupa aturan-aturan yang telah teruji. V - 15

16 Tabel 5.3. Ukuran Pintu Satuan dalam Milimeter Klasifikasi A Klasifikasi B Klasifikasi C Klasifikasi D penegar Tebal pelat pintu penegar Tebal pelat pintu L<90m L 50m penegar L<90m L 50m Tebal pelat pintu L<90m L 90m penegar L<90m L 50m Tebal pelat pintu L<90m L 90m Ukuran pintu Ukuran lubang pintu No Nominal x x540 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x540 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x590 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x640 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x540 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x590 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x640 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x540 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x590 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x640 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x590 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4, x x640 5,5 6 65x4,5 75x6 4,5 5 50x4,5 65x4,5 4,5 5 50x4,5 4,5 50x4,5 Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) V - 16

17 Tabel 5.4. Ukuran Berat No Nomin al Berat Terhitung (Kg) Klasifikasi A Klasifikasi B Klasifikasi C Klasifika si D L 50 m L<90 m L 50 m L<90 m L 50 m L<90 m ,6 29,1 21,8 24,2 21,5 23,9 21, ,2 31,8 23,9 26,5 23,5 26,1 23, ,7 34,6 26,0 28,9 25,6 28,4 25, ,3 37,4 28,1 31,2 27,7 30,8 27, ,7 34,6 25,9 28,8 25,6 28,4 25, ,5 37,6 28,2 31,3 27,8 30,9 27, ,3 40,6 30,5 33,9 30,1 33,4 30, ,2 37,4 28,0 31,1 27,6 30,7 27, ,2 40,6 30,5 33,8 30,1 33,4 30, ,2 43,9 32,9 36,5 32,5 36,1 32, ,0 43,6 32,7 36,4 32,3 35,9 32, ,2 47,1 35,3 39,3 34,9 38,8 34,9 Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) V - 17

18 Keterangan: 1. L panjang kapal sesuai dengan peraturan untuk Konstruksi Kapal Baja 2. Pintu yang berpenegar satu masuk klasifikasi D, yang berpenegar dua masuk klasifikasilainnya. 3. Berat terhitung hanya menunjukkan berat pelat pintu. 4. Tebal pelat pintu menunjukkan nilai minimumnya. 5. Tebal pelat pintu untuk kapal pelayaran pedalaman dapat dikurangi 0,5 mm dari nilai yang tertera di atas. Tebal minimum adalah 4,5 mm. B. RANCANGAN STANDAR SISTEM PERANGINAN DALAM KAMAR MESIN KAPAL PENUMPANG DAN RO-RO Rancangan standardisasi ini merupakan hasil kajian dari berbagai pedoman spesifikasi teknik pekerjaan yang ada. Pembahasan studi dilakukan dan/atau didasarkan pada berbagai sumber yang terkait dengan pembahasan B. Standar Sistem Peranginan Dalam Kamar Mesin Kapal Penumpang dan Ro-Ro. Dengan terselesaikannya Rancangan Standar Sistem Peranginan Dalam Kamar Mesin Kapal Penumpang dan Ro-Ro, selanjutnya akan dibahas dengan Kelompok Umum dari Gugus Kerja Kementerian Perhubungan pada Sub-Panitia Teknis Badan Litbang Perhubungan yang berada dibawah naungan Panitia Teknis Standardisasi Di Bidang Transportasi Laut Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Proses pembahasan yang dimulai dari Rapat Kelompok Bidang Keahlian, Rapat Gugus Kerja, Rapat Teknis dan Konsensus pada tingkat Sub-Panitia Teknis Badan Litbang Perhubungan yang kemudian Rapat Penetapan pada Panitia Teknis sesuai dengan mekanisme proses pembuatan standardisasi di Kementerian Perhubungan. Pelaksanaan pembahasan untuk masing-masing tingkatan harus dihadiri oleh anggota panitia, nara sumber, konseptor dan tim editor dari perumusan standardisasi ini. Komposisi anggota panitia dan nara sumber harus memperhatikan keterwakilan para pemangku kepentingan yaitu antara lain : pemerintah, pakar, konsumen dan produsen dengan komposisi yang seimbang satu sama lain. Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran bahwa pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana bantu pelayaran harus berdasarkan norma, standar, pedoman dan manual (NSPM). Rancangan Standardisasi ini mencakup persyaratan V - 18

19 dan standar teknis yang harus dipenuhi, penentuan lokasi danpenempatan. 1. Ruang lingkup Standarisasi ini menetapkan ketentuan dan persyaratan, klasifikasi dan aplikasi system Peranginan dalam kamar mesin, persyaratan bahan dan mutu, konstruksi, bentuk, dan ukuran. Rancangan Standarisasi ini mencakup persyaratan dan standar teknis yang harus dipenuhi,dalam penerapan system peranginan dalam kamar mesin kapal penumpang dan Ro-Ro. Rancangan Standarisasi ini mencakup kegiatan pelaksanaan seluruh bangunan kapal khususnya pada bagian system peranginan dalam kamar mesin kapal penumpang dan Ro-Ro. 2. Acuan normatif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran. Biro Hukum dan KSLN Kementerian Perhubungan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran. International Convention for Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974, Consolidated Edition 2004 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002, Tentang Perkapalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 65 Tahun 2009, Tentang Standar Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: Um.008/20/9/Djpl 2012 Tentang Pemberlakuan Standar Dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: SK 73/AP005/DRJD/2003 Tentang Persyaratan Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan 3. Istilah dan definisi a. Keselamatan kapal Keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. V - 19

20 b. Kapal kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energy lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. c. Kapal Ro-Ro kapal yang bisa memuat kendaraan yang berjalan masuk kedalam kapal dengan penggeraknya sendiri dan bisa keluar dengan sendiri juga sehingga disebut sebagai kapal roll on - roll off disingkat Ro-Ro, untuk itu kapal dilengkapi dengan pintu rampa yang dihubungkan dengan moveble bridgeatau dermaga apung kedermaga. d. Ketentuan dan persyaratan Ketentuan dan persyaratan umum yang perlu diperhatikan dalam standar system peranginan dalam kamar mesin kapal penumpang dan Ro-Ro, memuat : 1) Persyaratan umum a) Ventilasi dalam kapal adalah proses penggantian udara kotor dengan udara segar dari luar ke berbagai ruangan kapal, pada ventilasi alamiah pembaharuan udara didalam ruangan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari perbedaan tekanan udara luar dengan tekanan udara di dalam ruangan kapal. Sedangkan pada sistem ventilasi mekanis dibedakan menjadi supply ventilation, exhaust ventilation dan gabungan antara supply dan exhaust ventilation system. Dalam ketiga sistem ventilasi mekanis yang telah diuraikan diatas, banyaknya udara yang dapat dimasukkan ke dalam ruangan kapal setiap jam tergantung dari kapasitas kipas yang dipergunakan. Data masing-masing tipe kipas umumnya disediakan oleh pabrik pembuatnya, yang penting ialah bahwa kapasitas kipas yang dipergunakan untuk tujuan ventilasi harus cukup kuat untuk mempertahankan atau mengatur komposisi kimia kelembaban udara dan temperatur udara di dalam masing-masing ruangan kapal sesuai dengan yang diperlukan. b) Pada supply ventilation system, udara segar dimasukkan kedalam ruangan kapal dengan V - 20

21 menggunakan kipas. Oleh karenanya tekanan udara di dalam kompartemen bertambah besar sehingga udara dalam ruangan yang panas dan kotor terdesak keluar melalui lubang angin yang tersedia. Kecepatan dan banyaknya udara dari luar yang masuk serta udara dalam yang keluar tergantung dari kapasitas kipas. Penyimpangan bila dibandingkan dengan kenyataan di dalam praktek. Penyebab penyimpangan tersebut diakibatkan antara lain : (1) Perubahan arah aliran udara luar (2) Perubahan arah pelayaran kapal (3) percikan-percikan gelombang laut kecepatan aliran udara /angin yang tinggi atau sama sekali tidak ada aliran udara /udara tenang. Namun bila ditinjau dari segi kecepatan aliran udara yang berkisar antara 2 sampai 4 m per detik, hasil yang diperoleh dengan memakai rumus di atas akan mendekati kenyataan di dalam praktek (kecepatan aliran udara berada dalam lingkungan flauwekoelte dan lichte koelte menurut Beaufort scale) c) Gambaran terhadap bahan dan konstruksi yang digunakan pada sistim peranginan dalam kamar mesin kapal penumpang dan kapal Ro-Ro adalah Sesuai dengan ISSA Ship StoreCode 59. persyaratan dan spesifikasi teknis sistim peranginan dalam kamar mesin kapal penumpang dan kapal Ro-Ro harus dapat mencegah berkumpulnya uap dari bahan bakar sesuai SOLAS Chapter II-1 Regulation 4 Point ) Persyaratan khusus a) Peraturan 25 (Solas) (1) Pada umumnya, kipas-kipas ventilasi harus dipasang sedemikian rupa sehingga saluransaluran yang menjangkau berbagai ruangan, tetap ada di dalam zona vertical utama; (2) Jika sistim ventilasi menembus geladakgeladak, harus dilakukan tindakan pengamanan, di samping tindakan-tindakan yang berkaitan dengan keutuhan kebakaran V - 21

22 geladak yang disyaratkan oleh Peraturan 23 BAb ini, untuk mengurangi kemungkinan asap dan gas-gas panas menerobos dari satu ruang geladak antara ke ruang geladak antara yang lain melalui sistim itu. Di samping syaratsyarat isolasi yang ditetapkan di dalam peraturan ini, saluran-saluran vertical, jika dianggap perlu harus diisolasi sebagaimana yang ditetapkan dalam table-tabel bersangkutan di dalam peraturan 20 Bab ini; (3) Lubang-lubang masuk dan lubang-lubang keluar utama dari semua sistim ventilasi harus dapat ditutup dari luar ruangan yang mendapat ventilasi; (4) Kecuali di dalam ruang-ruang muat, saluransaluran ventilasi harusdibangun dari bahanbahan berikut: (a) Saluran-saluran dengan penampang melintang tidak kurang dari m2 (116 inci persegi) dan semua saluran vertical yang melayani lebih dari suatu ruangan geladak antara tunggal, harus dikonstruksi dari baja atau bahan lain yang sepadan; (b) Saluran-saluran dengan penampang melintang kurang dari m2 (116 inci persegi) harus dikontruksi dari bahanbahan yang tidak dpat terbakar. Jika saluran-saluran demikian menembus divisidivisi klas A atau B harus diperhatikan benar-benar untuk menjamin integritas kebakaran divisi. (c) Saluran-saluran pendek dengan penampang melintang pada umumnya tidak lebih dari 0.02 m2 (31 inci persegi) atau yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter (79 inci), tidak perlu dari bahan yang tidak dapat terbakar, dengan ketentuan bahwa semua syarat-syarat berikut ini dipenuhi: (aa) Saluran dikonstruksi dari bahan dengan resiko kebakaran terbatas yang disetujui Badan Pemerintah; V - 22

23 (bb) Saluran hanya digunakan di ujung akhir dari sistim ventilasi; dan (cc) Saluran tidak ditempatkan dengan jarak yang kurang dari 0.6 meter (24 inci), diukur sepanjang saluran itu sampai ke penembusan divisi klas A atau B, termasuk langit-langit klas B menerus. (5) Jika ruang tertutup tangga tapak diberi ventilasi, saluran atau saluran-saluran (jika ada) harus diambil dari kamar kipas terpisah dari saluran-saluran lain di dalam sistim ventilasi dan tidak boleh melayani ruangan lain yang manapun; (6) Semua ventilasi dengan tenaga, kecuali ventilasi ruang mesin dan ruang-ruang muat dan sistim pengganti apapun yang mungkin dipersyaratkan oleh paragraph h peraturan ini, harus dipasang alat-alat pengawas yang dikelompokkan sedemikian sehingga semua kipas dapat dihentikan dari manapun dari dua kedudukan terpisah yang harus ditempatkan sejauh yang dapat dilaksanakan. Alat-alat pengawas untuk ventilasi dengan tenaga yang melayani ruang-ruang mesin harus juga dikelompok-kelompokkan sedemikian rupa sehingga dapat dilayani dari dua kedudukan, satu diantaranya harus ada di luar ruanganruangan demikian. Kipas-kipas yang melayani sistim-sistim ventilasi dengan tenaga di ruang muat harus dapat diberhentikan dari temapt yang aman di luar ruangan-ruangan demikian. (7) Sistim ventilasi yang melewati ruang-ruang akomodasi atau ruangan-ruangan berisikan bahan-bahan yang dapat terbakar, saluransaluran buang dari dapur masak harus dengan konstruksi divisi-divisi kelas A. Masingmasing saluran buang harus dipasangi: (a) penahan gemuk yang mud dilepas untuk dibersihkan; (b) katup peredam kebakaran yang ditempatkan di ujung bawah saluran; V - 23

24 (c) penataan-penataan yang dapat dilayani dari dalam ruang masak, untuk penutupan kipas buang; dan (d) sarana-sarana yang dipasang tetap untuk memadamkan api di dalam saluran. (8) Pengaturan-pengaturan demikian jika dapat dilaksanakan harus diambil berkenaan dengan stasiun-stasiun pengawasan di luar ruang-ruang mesin untuk menjamin bahwa ventilasi, penglihatan dan keadaan bebas asap dipertahankan, sehingga bila terjadi kebakaran, permesinan dan perlengkapan yang ada di dalamnya dapat diawai dan terus berfungsi secara efektif. Sarana-sarana pengganti dan terpisah dari prnyaluran udara harus diperlengkapkan, pemasukan-pemasukan udra dari dua sumber penyaluran harus dipasang sedemikian rupa sehingga resiko kedua pemasukan untuk menarik asap secara bersamaan hingga serendah-rendahnya. Atas keputusan Badan Pemerintah, syarat-syarat demikian tidak perlu diterapkan bagi stasiunstasiun pengawasan yang terletak di, dan lubang-lubang di geladak terbuka, atau dimana penataan-penataan penutupan setempat harus mempunyai dayaguna yang sama; (9) Saluran-saluran yang diadakan untuk ventilasi ruang-ruang mesin katagori A pada umumnya tidak boleh melalui ruang akomodasi, ruang pelayanan atau stasiun-stasiun pengawasan, kecuali jika Badan pemerintah memberi keringanan terhadap syarat-syarat ini, dengan ketentuan bahwa: (a) Saluran-saluran dikonstruksi dari baja, dan diisolasi sesuai dengan standar A-60, atau (b) Saluran-saluran dikonstruksi dari baja dan dipasangi katup peredam kebakaran otomatis di dekat batas yang ditembus dan diisolasi sesuai dengan standar A-60 dari ruang mesin sampai ke suatu titik yang sekurang-kurangnya 5 meter (16 kaki) setelah katup peredam kebakaran. V - 24

25 (10) Saluran-saluran untuk ventilasi ruang-ruang akomodasi, ruang-ruang pelayanan, atau stasiun-stasiun pengawasan pada umumnya tidak boleh melewati ruang-ruang mesin kategori A, kecuali jika badan pemerintah memberi keringanan terhadap syarat ini, dengan ketentuan bahwa saluran-saluran itu harus dibuat dari baja atau dipasangi katup peredam kebakaran otomatis di dekat batasbatas yang ditembus. b) Peraturan 30 (Solas) (1) Untuk ruangan-ruangan kategori khusus harus ada sistim ventilasi dengan tenaga efektif yang cukup memberi sekurang-kurangnya 10 kali pertukaran udara setiap jam. Sistim ventilasi untuk ruangan-ruangan demikian harus benarbenar terpisah dari sistim ventilasi lain dan harus dalam keadaan jalan pada setiap saat bilamana di dalam ruangan demikian ada kendaraan. Badan pemerintah dapat mensyaratkan untuk menambah jumlah pertukaran udara bilamana kendaraankendaraan sedang dinaikkan atau sedang diturunkan. (2) Ventilasi harus sedemikian rupa sehingga dapat mencegah terjadinya lapisan udara dan terbentuknya kantong-kantong udara. (3) Di anjungan harus dilengkapi dengan saranasarana untuk menunjukkan hilang atau berkurangnya kapasitas ventilasi yang disyaratkan. (4) Ketentuan-ketentuan tambahan yang hanya berlaku bagi ruangan-ruangan katagori khusus yang ada di atas geladak sekat. c) Peraturan 31 (Solas) (1) Di dalam setiap ruang muat demikian harus dilengkapi dengan sistim ventilasi dengan tenaga yang efektif yang cukup memberikan sekurang-kurangnya 10 kali pertukaran udara dalam setiap jam. Sistim untuk ruang-ruang muat demikian harus sama sekali terpisah dari sistim-sistim ventilasi lain dan harus bekerja V - 25

26 pada setiap saat bilamana di dalam ruang-ruang demikian ada kendaraan-kendaraan. (2) Ventilasi itu harus demikian rupa untuk dapat mencegah terbentuknya lapisan udara dan terbentuknya kantong-kantong udara. (3) Di anjungan navigasi harus dilengkapi dengan sarana-sarana untuk menunjukan setiap adanya kehilangan atau berkurangnya kapasitas ventilasi yang dipersyaratkan. d) Peraturan 45 (Solas) (1) Ventilasi dengan tenaga di ruang-ruang mesin harus dapat dihentikan dari suatu posisi di luar ruang-ruang mesin yang dapat dijangkau dengan mudah. (2) Tata susunan dan penempatan bukaan-bukaan di geladak tangki muat darimana dapat terjadi keluar gas harus sedemikian rupa sehingga dapat menurunkan hingga serendah-rendahnya kemungkinan masuknya gas ke dalam ruanganruangan tertutup yang mengandung dumber penyalaan, atau mengumpul di sekitar permesinan dan perlengkapan geladak yang dapat mengakibatkan terjadinya bahaya penyalaan kebakaran. Bagaimanapun juga ketinggian lubang buang di atas geladak dan kecepatan keluarnya gas itu harus ditentukan berdasarkan jarak setiap lubang buang dari bukaan lubang rumah geladak atau sumber penyalaan manapun. (3) Tata susunan lubang-lubang masuk dan lubang-lubang buang dari ventilasi dan bukaanbukaan lubang rumah geladak dan bukaan bukaan batas bangunan atas dan bukaanbukaan lainnya harus sedemikian sehingga melengkapi ketentuan-ketentuan paragraph (a) peraturan ini. Ventilasi demikian. Khususnya untuk ruang-ruang permesinan harus ditempatkan sejauh praktis dapat dilaksanakan. Dalam hal ini pertimbangan harus diberikan bilamana kapal diperlengkapi untuk memuat atau membongkar di buritan. Sumber-sumber V - 26

27 penyalaan seperti perlengkapan listrik harus ditata sedemikian untuk menghindari bahaya ledakan. (4) Kamar-kamar pompa muat harus dengan ventilasi mekanik dan buangan-buangan dari kipas - kipas buang harus disalurkan ke suatu tempat yang aman di geladak terbuka. Ventilasi ruangan-ruangan ini harus memiliki kapasitas yang cukup untuk mengurangi hingga serendah-rendahnya kemungkinan terkumpulnya uap-uap yang dapat menyala. Jumlah pergantian udara harus sekurangkurangnya 20 kali setiap jam, dengan dasar isi kotor ruangan. Saluran-saluran udara harus ditata sedemikian sehingga semua ruangan memperolh ventilasi secara efektif. Ventilasi harus dari tipe isap. e) Peraturan 76 (Solas) (1) Semua ventilasi dengan tenaga, kecuali ventilasi ruang muat dan ruang permesinan, harus dilengkapi dengan pengawasanpengawasan induk yang ditempatkan sedemikian di luar ruangan permesinan di posisi-posisi yang dapat dijangkau dengan mudah dan cepat, sehingga tidak perlu mendatangi lebih daripada 3 stasiun untuk menghentikan semua kipas ventilasi ke ruangan-ruangan yang selain ruang-ruang permesinan dan ruang-ruang muat. Ventilasi ruang permesinan harus dilengkapi dengan pengawasan induk yang dapat dilayani dari suatu posisi di luar ruang permesinan. (2) Isolasi yang efisien harus dikenakan pada saluran-saluran buang dari dapur masak, di mana saluran-saluran buang itu menerobos ruang-ruang akomodasi. V - 27

28 f) Persyaratan dan spesifikasi teknis sistim peranginan dalam kamar mesin kapal penumpang dan kapal Ro-Ro Tabel 5.5. Persyaratan dan Spesifikasi Teknis Sistim Peranginan dalam Kamar Mesin Kapal Penumpang dan Kapal Ro-Ro Tipe Ruangan Masuk Mekanis Keluar Masuk Natural Keluar Kenaikan temperature ( 0 C) Ganti udara dalam menit Ruang Bagasi ya 8 15 Ruang Batteray ya ya 2 Ruang gudang ya Ruang bosun ya ya 20 Ruang Daging ya 6 4 Kamar Layar Ya ya 6 Ruang CO 2 ya ya 8 6 R. Muatan Kering ya ya 30 Tangki dalam ya ya 20 Bengkel Listrik ya 6 6 R. Mesin Elevator ya ya 8 6 Gudang alat mesin ya R. genrt. Darurat ya ya 8 10 Dapur dan Pantri ya ya 6 1 Ruang Sampah ya 6 Ruang gyro ya 6 4 V - 28

29 Gudang tali ya ya 20 Ruang Cuci ya 6 4 Bengkel Mesin ya 6 6 R. Mesin Utama ya ya Gudang Cat ya ya 6 6 Muatan Dingin ya ya 60 Jalan Poros ya Ya 10 R. Mesin Kemudi ya ya 8 6 Gd. Makanan kering ya 4 4 R. Tangki kotoran ya ya 8 6 KM. Mandi &WC ya 6 4 Rumah kemudi 10 Sumber : Data diolah C. RANCANGAN STANDAR RUANG KABIN PENUMPANG KAPAL RO-RO YANG BERLAYAR DI LAUT LEBIH DARI 8 JAM Rancangan standardisasi ini merupakan hasil kajian dari berbagai pedoman spesifikasi teknik pekerjaan yang ada. Pembahasan studi dilakukan dan/atau didasarkan pada berbagai sumber yang terkait dengan pembahasan Standar Ruang Kabin Penumpang Kapal Ro-Ro yang berlayar di Laut Lebih dari 8 jam Dengan terselesaikannya Rancangan Standar Ruang Kabin Penumpang Penumpang Kapal Ro-Ro yang berlayar di Laut Lebih dari 8 jam, selanjutnya akan dibahas dengan Kelompok Umum dari Gugus Kerja Kementerian Perhubungan pada Sub-Panitia Teknis Badan Litbang Perhubungan yang berada dibawah naungan Panitia Teknis Standardisasi Di Bidang Transportasi Laut Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Proses pembahasan yang dimulai dari Rapat Kelompok Bidang Keahlian, Rapat Gugus Kerja, Rapat Teknis dan Konsensus pada V - 29

30 tingkat Sub-Panitia Teknis Badan Litbang Perhubungan yang kemudian Rapat Penetapan pada Panitia Teknis sesuai dengan mekanisme proses pembuatan standardisasi di Kementerian Perhubungan. Pelaksanaan pembahasan untuk masing-masing tingkatan harus dihadiri oleh anggota panitia, nara sumber, konseptor dan tim editor dari perumusan standardisasi ini. Komposisi anggota panitia dan nara sumber harus memperhatikan keterwakilan para pemangku kepentingan yaitu antara lain :pemerintah, pakar, konsumen dan produsen dengan komposisi yang seimbang satu sama lain. Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran bahwa pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana bantu pelayaran harus berdasarkan norma, standar, pedoman dan manual (NSPM). Rancangan standardisasi ini disusun sesuai dengan masing-masing tahapan kegiatan yang terdiri dari survey, investigasi dan desain, di mana dalam pelaksanaannya mengacu dan berpedoman pada norma, standar, pedoman dan manual (NSPM). Rancangan Standardisasi ini mencakup persyaratan dan standar teknis yang harus dipenuhi, penentuan lokasi, penempatan yang mendukung. 1. Ruang lingkup Standarisasi ini menetapkan ketentuan dan persyaratan, klasifikasi dan aplikasi Ruang Kabin Penumpang Kapal Ro-Ro yang berlayar di Laut Lebih dari 8 Jam. Rancangan Standarisasi ini mencakup persyaratan dan standar teknis yang harus dipenuhi,dalam ruang kabin kapal penumpang dan Ro-Ro yang berlayar di laut lebih dari 8 jam.. Rancangan Standarisasi ini mencakup kegiatan pelaksanaan seluruh bangunan kapal khususnya ruang kabin kapal penumpang dan Ro-Ro yang berlayar di laut lebih dari 8 jam. 2. Acuan normatif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran. International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 (Konvensi Internasional Keselamatan Jiwa di Laut, 1974) Biro Hukum dan KSLN Kementerian Perhubungan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002, Tentang Perkapalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan. V - 30

31 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 65 Tahun 2009, Tentang Standar Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: Um.008/20/9/Djpl 2012 Tentang Pemberlakuan Standar Dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: SK 73/AP005/DRJD/2003 Tentang Persyaratan Pelayanan Minimal Angkutan Penyebrangan 3. Istilah dan definisi a. Keselamatan kapal Keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. b. Kapal kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energy lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. c. Kapal Ro-Ro kapal yang bisa memuat kendaraan yang berjalan masuk kedalam kapal dengan penggeraknya sendiri dan bisa keluar dengan sendiri juga sehingga disebutse bagai kapal roll on - roll off disingkat Ro-Ro, untuk itu kapal dilengkapi dengan pintu rampa yang dihubungkan dengan moveble bridgeatau dermaga apung ke dermaga. d. Pelayanan Suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan e. Ruangpenumpang ruang-ruang yang diperuntukkan bagi akomodasi dan digunakan oleh para penumpang, tidak termasuk ruanganruangan untuk bagasi, perbekalan, makanan dan pos. V - 31

32 Ruangan-ruangan yang terletak di bawah garis batas benaman yang digunakan untuk akomodasi dan digunakan oleh para awak kapal akan dianggap sebagai ruangan penumpang 4. Ketentuan dan persyaratan Ketentuan dan persyaratan umum yang perlu diperhatikan dalam standar dan spesifikasi Standar Ruang Kabin Penumpang Kapal Ro- Ro yang Berlayar di Laut Lebih dari 8 Jam, memuat : a. Persyaratan umum 1) Standar Ruang Kabin Penumpang Kapal Ro-Ro yang Berlayar di Laut Lebih dari 8 Jam adalah persyaratan pelayanan minimal kapal penyeberangan secara teknis dan aspek kenyamanan pelanggan penumpang diatur di dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No. AP.005/3/13/DPRD/94 tentang Petunjuk Teknis Persyaratan Pelayanan Minimal Kapal Sungai, Danau dan Penyeberangan serta Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No.SK.73/AP005/DRJD/2003 tentang Persyaratan Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan. 2) Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK 73/AP005/DRJD/2003 tentang Persyaratan Minimal Angkutan Penyeberangan Perusahaan angkutan penyeberangan yang melakukan usaha angkutan penyeberangan harus memenuhi persyaratan pelayanan untuk penumpang, pemuatan kendaraan dikapal penyeberangan, kecepatan kapal dan pemenuhan jadwal operasi kapal. 3) Persyaratan Untuk ukuran ruang kabin penumpang disesuaikan dengan design kapal yang telah disetujui oleh regulator. 4) Untuk ukuran tempat duduk dan tempar tidur per penumpang dapat menggunakan standar dari surat keputusam Dirjen Perhubungan Darat No.SK 73/AP005/DRJD/2003 tentang standar pelayanan minimal angkutan penyebrangan. 5) Untuk persyaratan lebar minimal gangway dapat menggunakan standar dari SOLAS Chapter II-2. 6) Persyaratan dan spesifikasi teknis fasilitas Ruang Kabin. Persyaratan Dapat menggunakan standar dari Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Dara No. SK V - 32

ASPEK LEGALITAS TERKAIT SARANA PELAYARAN

ASPEK LEGALITAS TERKAIT SARANA PELAYARAN TINJAUAN PUSTAKA A. ASPEK LEGALITAS TERKAIT SARANA PELAYARAN Dalam konsep standar di bidang sarana pelayaran, acuan legalitas baik internasional maupun nasional, beberapa diantaranya mengacu pada International

Lebih terperinci

2016, No Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention For The Safety of Life at Sea, 1974; 6. Peratur

2016, No Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention For The Safety of Life at Sea, 1974; 6. Peratur BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1428, 2016 KEMENHUB. Kendaraan diatas Kapal. Pengangkutan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 115 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGANGKUTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4227) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a perlu diatur lebih lanjut mengenai perkapalan dengan Peraturan Pemerintah;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a perlu diatur lebih lanjut mengenai perkapalan dengan Peraturan Pemerintah; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG P E R K A P A L A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran terdapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG PERKAPALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG PERKAPALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG PERKAPALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran terdapat beberapa

Lebih terperinci

BAB 4 MENERAPKAN PROSEDUR PENYELAMATAN DIRI DARURAT DAN SAR

BAB 4 MENERAPKAN PROSEDUR PENYELAMATAN DIRI DARURAT DAN SAR BAB 4 MENERAPKAN PROSEDUR PENYELAMATAN DIRI DARURAT DAN SAR Kapal laut yang berlayar melintasi samudera di berbagai daerah pelayaran dalam kurun waktu yang cukup, bergerak dengan adanya daya dorong pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau dan memiliki wilayah laut yang sangat luas maka salah satu moda transportasi yang sangat diperlukan adalah angkutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG P E R K A P A L A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG P E R K A P A L A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG P E R K A P A L A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran

Lebih terperinci

SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I

SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I Pertemuan ke-12 Materi Perkuliahan : Sistem penanggulangan bahaya kebakaran 1 (Sistem deteksi kebakaran, fire alarm, fire escape) SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I Kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN

BAB III TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN BAB III TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN A. Pengertian Pelayaran Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran menyatakan bahwa pelayaran adalah segala sesuatu

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.283, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pengukuran Kapal. Tata cara. Metode. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGUKURAN KAPAL

Lebih terperinci

kondisi jalur di pusat perbelanjaan di jantung kota Yogyakarta ini kurang BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

kondisi jalur di pusat perbelanjaan di jantung kota Yogyakarta ini kurang BAB V KESIMPULAN DAN SARAN kondisi jalur di pusat perbelanjaan di jantung kota Yogyakarta ini kurang memadai. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini telah melakukan evaluasi terhadap kondisi jalur evakuasi darurat

Lebih terperinci

STATUS REKOMENDASI KESELAMATAN SUB KOMITE INVESTIGASI KECELAKAAN PELAYARAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI. Penerima Receiver.

STATUS REKOMENDASI KESELAMATAN SUB KOMITE INVESTIGASI KECELAKAAN PELAYARAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI. Penerima Receiver. STATUS REKOMENDASI KESELAMATAN SUB KOMITE INVESTIGASI KECELAKAAN PELAYARAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI Investigasi Investigation Tanggal Kejadian Date of Occurrence Sumber Source Tanggal Dikeluarkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN Universitas Kristen Maranatha

LAMPIRAN LAMPIRAN Universitas Kristen Maranatha LAMPIRAN LAMPIRAN 1 84 Universitas Kristen Maranatha 85 Universitas Kristen Maranatha 86 Universitas Kristen Maranatha 87 Universitas Kristen Maranatha LAMPIRAN 2 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

SEKAT KEDAP AIR HALUAN MIRING KAPAL PENUMPANG : 5 % L M KAPAL BARANG : b = Jarak terkecil dari. ketentuan. b = 5 % L atau.

SEKAT KEDAP AIR HALUAN MIRING KAPAL PENUMPANG : 5 % L M KAPAL BARANG : b = Jarak terkecil dari. ketentuan. b = 5 % L atau. BAB III SEKAT KEDAP AIR HALUAN MIRING KAPAL PENUMPANG : 5 % L + 3.05 M KAPAL BARANG : b = Jarak terkecil dari ketentuan b = 5 % L atau b = 10 meter b = 8 % L ( Seijin Pemerintah ) SEKAT KEDAP AIR BULLBOUS

Lebih terperinci

Ketentuan gudang komoditi pertanian

Ketentuan gudang komoditi pertanian Standar Nasional Indonesia Ketentuan gudang komoditi pertanian ICS 03.080.99 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar Isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Istilah dan definisi...1 3 Persyaratan

Lebih terperinci

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL DAFTAR (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL No. Judul Standar Nomor Standar Ruang Lingkup D Pemukiman (Cipta Karya) 2. Keselamatan & Kenyamanan Metoda Uji 1. Metode Pengujian Jalar

Lebih terperinci

BAB II JENIS-JENIS KEADAAN DARURAT

BAB II JENIS-JENIS KEADAAN DARURAT BAB II JENIS-JENIS KEADAAN DARURAT Kapal laut sebagai bangunan terapung yang bergerak dengan daya dorong pada kecepatan yang bervariasi melintasi berbagai daerah pelayaran dalam kurun waktu tertentu, akan

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA PEMERIKSA DAN PENGUJI KESELAMATAN DAN KEAMANAN KAPAL

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA PEMERIKSA DAN PENGUJI KESELAMATAN DAN KEAMANAN KAPAL PENETAPAN KRITERIA PEMERIKSA DAN PENGUJI KESELAMATAN DAN KEAMANAN KAPAL LAMPIRAN 8 i DAFTAR ISI 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Istilah dan Definisi 4. Persyaratan 4.1. Persyaratan Utama 4.2. Kompetensi Marine

Lebih terperinci

SISTEM VENTILASI DALAM KAPAL

SISTEM VENTILASI DALAM KAPAL SISTEM VENTILASI DALAM KAPAL Budi Utomo *) Abstract Ventilation in ships is a process substitute dirty air in a hold of ship with fresh air from outside. If means for keep air in compartment always clean

Lebih terperinci

BAB III KESELAMATAN PELAYARAN

BAB III KESELAMATAN PELAYARAN BAB III KESELAMATAN PELAYARAN Untuk meningkatkan keselamatan pelayaran di indonesia mengikuti keselamatan pelayaran di dunia internasional. Meskipun didalam kenyataanya, pemerintah memberlakukan Peraturan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Perikanan 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Perikanan Terdapat beberapa definisi mengenai kapal perikanan, menurut Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.633, 2015 KEMENHUB. Angkutan Penyeberangan. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 80 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA Menimbang : DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA 1. Bahwa penanggulangan kebakaran

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010 MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR SPESIFIKASI TEKNIS GERBONG a. bahwa dalam Pasal 197 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009

Lebih terperinci

Cara uji bakar bahan bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung

Cara uji bakar bahan bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung Standar Nasional Indonesia Cara uji bakar bahan bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung ICS 13.220.50; 91.100.01 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PEMELIHARAAN TABUNG LPG

PEDOMAN TEKNIS PEMELIHARAAN TABUNG LPG PEDOMAN TEKNIS PEMELIHARAAN TABUNG LPG Bagian 4 dari 5 Pedoman PEDOMAN TEKNIS INSTALASI PENGISIAN, PENANGANAN DAN PENGGUNAAN SERTA PEMERIKSAAN BERKALA LIQUEFIED PETROLEUM GAS (LPG) KEMENTERIAN ENERGI DAN

Lebih terperinci

PENGUKURAN KAPAL (Tonnage Measurement)

PENGUKURAN KAPAL (Tonnage Measurement) PENGUKURAN KAPAL (Tonnage Measurement) OLEH : LUKMAN HIDAYAT NRP. 49121110172 PROGRAM DIPLOMA IV JURUSAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran. LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN Pencegahan Kebakaran

Lebih terperinci

PENGUKURAN KECEPATAN UDARA DI DALAM TEROWONGAN

PENGUKURAN KECEPATAN UDARA DI DALAM TEROWONGAN PENGUKURAN KECEPATAN UDARA DI DALAM TEROWONGAN Tujuan : Memeriksa apakah pada setiap lokasi pada tambang bawah tanah telah mendapatkan ventilasi udara yang cukup sehingga dapat diketahui kesalahan ventilasi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. industri penyedia jasa angkutan laut seperti pelayaran kapal laut. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. industri penyedia jasa angkutan laut seperti pelayaran kapal laut. (1) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah perairan dan lautan. Banyak aktifitas yang dilakukan dengan mengandalkan perhubungan melalui

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Penangkap Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Penangkap Ikan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Penangkap Ikan Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) kapal perikanan sebagai kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang meliputi aktivitas penangkapan atau pengumpulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Radiator Radiator memegang peranan penting dalam mesin otomotif (misal mobil). Radiator berfungsi untuk mendinginkan mesin. Pembakaran bahan bakar dalam silinder mesin menyalurkan

Lebih terperinci

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun.

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. SELAMAT ATAS PILIHAN ANDA MENGGUNAKAN PEMANAS AIR (WATER HEATER) DOMO Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. Bacalah buku petunjuk pengoperasian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENYIMPANAN TABUNG LPG DI PENYALUR DAN PENGGUNAAN LPG UNTUK PENGGUNA

PEDOMAN TEKNIS PENYIMPANAN TABUNG LPG DI PENYALUR DAN PENGGUNAAN LPG UNTUK PENGGUNA PEDOMAN TEKNIS PENYIMPANAN TABUNG LPG DI PENYALUR DAN PENGGUNAAN LPG UNTUK PENGGUNA PEDOMAN TEKNIS PENYIMPANAN TABUNG LPG DI PENYALUR DAN PENGGUNAAN LPG UNTUK PENGGUNA Bagian 5 dari 5 Pedoman PEDOMAN

Lebih terperinci

Cara uji berat isi, volume produksi campuran dan kadar udara beton

Cara uji berat isi, volume produksi campuran dan kadar udara beton Standar Nasional Indonesia Cara uji berat isi, volume produksi campuran dan kadar udara beton ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii Pendahuluan... iii 1 Ruang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA BAB I TENTANG ISTILAH-ISTILAH. Pasal 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA BAB I TENTANG ISTILAH-ISTILAH. Pasal 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA BAB I TENTANG ISTILAH-ISTILAH Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. "tempat kerja" ialah tiap ruangan atau

Lebih terperinci

INSTALASI PERMESINAN

INSTALASI PERMESINAN INSTALASI PERMESINAN DIKLAT MARINE INSPECTOR TYPE-A TAHUN 2010 OLEH MUHAMAD SYAIFUL DITKAPEL DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT KEMENTRIAN PERHUBUNGAN KAMAR MESIN MACHINERY SPACE / ENGINE ROOM RUANG

Lebih terperinci

PERSYARATAN UMUM DAN PERSYARATAN TEKNIS GUDANG TERTUTUP DALAM SISTEM RESI GUDANG

PERSYARATAN UMUM DAN PERSYARATAN TEKNIS GUDANG TERTUTUP DALAM SISTEM RESI GUDANG LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR : 03/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 TANGGAL : 9 JULI 2007 PERSYARATAN UMUM DAN PERSYARATAN TEKNIS GUDANG TERTUTUP 1. Ruang lingkup

Lebih terperinci

LAPORAN PEMERIKSAAN TONGKANG

LAPORAN PEMERIKSAAN TONGKANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN MINISTRY OF TRANSPORTATION DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT DIRECTORATE GENERAL OF SEA TRANSPORTATION LAPORAN PEMERIKSAAN TONGKANG NAMA KAPAL : PEMILIK / OPERATOR : AGENT :

Lebih terperinci

DAFTAR PERTANYAAN AUDIT KESELAMATAN KEBAKARAN GEDUNG PT. X JAKARTA

DAFTAR PERTANYAAN AUDIT KESELAMATAN KEBAKARAN GEDUNG PT. X JAKARTA Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Audit Keselamatan Kebakaran Gedung PT. X Jakarta Tahun 2009 DAFTAR PERTANYAAN AUDIT KESELAMATAN KEBAKARAN GEDUNG PT. X JAKARTA Data Umum Gedung a. Nama bangunan : b. Alamat

Lebih terperinci

Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball)

Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball) Standar Nasional Indonesia Cara uji titik lembek aspal dengan alat cincin dan bola (ring and ball) ICS 93.080.20; 75.140 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin

Lebih terperinci

Kawat baja tanpa lapisan untuk konstruksi beton pratekan (PC wire / KBjP )

Kawat baja tanpa lapisan untuk konstruksi beton pratekan (PC wire / KBjP ) Standar Nasional Indonesia Kawat baja tanpa lapisan untuk konstruksi beton pratekan (PC wire / KBjP ) ICS 77.140.65 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau

Lebih terperinci

Sanitasi Penyedia Makanan

Sanitasi Penyedia Makanan Bab 6 Sanitasi Penyediaan Makanan Sanitasi Penyedia Makanan Sanitasi Jasa Boga Sanitasi Rumah Makan & Restoran Sanitasi Hotel Sanitasi Rumah Sakit Sanitasi Transportasi Penggolongan Jasa Boga Jasa boga

Lebih terperinci

Pemberian tanda dan pemasangan lampu halangan (obstacle lights) di sekitar bandar udara

Pemberian tanda dan pemasangan lampu halangan (obstacle lights) di sekitar bandar udara Standar Nasional Indonesia Pemberian tanda dan pemasangan halangan (obstacle lights) di sekitar bandar udara ICS 93.120 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup

Lebih terperinci

MAKALAH PERLENGKAPAN KAPAL

MAKALAH PERLENGKAPAN KAPAL MAKALAH PERLENGKAPAN KAPAL PERLENGKAPAN KESELAMATAN DIKAPAL DISUSUN OLEH : 1. AZIS ANJAS NUGROHO ( 21090111120001 ) 2. CARMINTO ( 21090111120002 ) 3. M.RESI TRIMULYA ( 21090111120003 ) 4. M. BUDI HERMAWAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO

TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO 6506 040 032 Latar Belakang PT. Philips Indonesia merupakan pabrik lampu yang dalam proses

Lebih terperinci

Undang-undang Nomor I Tahun 1970

Undang-undang Nomor I Tahun 1970 KESELAMATAN KERJA Undang-undang Nomor I Tahun 1970 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB II TINJAUAN OBJEK 18 BAB II TINJAUAN OBJEK 2.1. Tinjauan Umum Stasiun Kereta Api Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 dan 43 Tahun 2011, perkeretaapian terdiri dari sarana dan prasarana, sumber daya manusia, norma,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.865, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Sanitasi Kapal. Sertifikat. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG SERTIFIKAT SANITASI KAPAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA KAPAL PENUMPANG MELALUI UPAYA PERANCANGAN DETEKTOR

MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA KAPAL PENUMPANG MELALUI UPAYA PERANCANGAN DETEKTOR MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA KAPAL PENUMPANG MELALUI UPAYA PERANCANGAN DETEKTOR Mohamad Hakam Prodi : Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Lebih terperinci

PENJELASAN. Jakarta, 3 Mei DEPARTEMEN TENAGA KERJA. DIREKTORAT PEMBINAAN NORMA-NORMA KESELAMATAN KERJA, HYGIENE PERUSAHAN dan KESEHATAN KERJA.

PENJELASAN. Jakarta, 3 Mei DEPARTEMEN TENAGA KERJA. DIREKTORAT PEMBINAAN NORMA-NORMA KESELAMATAN KERJA, HYGIENE PERUSAHAN dan KESEHATAN KERJA. TERBITAN UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1970 tentang KESELAMATAN KERJA serta TERJEMAHAN dalam BAHASA INGGRIS, DISYAHKAN untuk DIEDARKAN dan DIPAKAI. Jakarta, 3 Mei 1972. DEPARTEMEN TENAGA KERJA. DIREKTORAT

Lebih terperinci

Bab XII. Spesifikasi Teknis dan Gambar

Bab XII. Spesifikasi Teknis dan Gambar Bab XII. Spesifikasi Teknis dan Gambar Pekerjaan : Pengadaan Kapal Pengawas (Long Boat) 1. KONDISI UMUM Spesifikasi teknis ini bersama dengan gambar-gambar yang diampirkan dimaksudkan untuk menerangkan

Lebih terperinci

DAFTAR BARANG DAN BAHAN GUNA PERBAIKAN DAN/ATAU PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG YANG MENDAPAT BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH UNTUK TAHUN ANGGARAN 2012

DAFTAR BARANG DAN BAHAN GUNA PERBAIKAN DAN/ATAU PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG YANG MENDAPAT BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH UNTUK TAHUN ANGGARAN 2012 2012, No.612 8 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100/PMK.011/2012 TENTANG BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN GUNA PERBAIKAN DAN/ATAU PEMELIHARAAN PESAWAT

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENYIMPANAN TABUNG LPG DI PENYALUR DAN PENGGUNAAN LPG UNTUK PENGGUNA

PEDOMAN TEKNIS PENYIMPANAN TABUNG LPG DI PENYALUR DAN PENGGUNAAN LPG UNTUK PENGGUNA PEDOMAN TEKNIS PENYIMPANAN TABUNG LPG DI PENYALUR DAN PENGGUNAAN LPG UNTUK PENGGUNA Bagian 5 dari 5 Pedoman PEDOMAN TEKNIS INSTALASI PENGISIAN, PENANGANAN DAN PENGGUNAAN SERTA PEMERIKSAAN BERKALA LIQUEFIED

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Industri farmasi diwajibkan menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. No.43/MENKES/SK/II/1988 tentang CPOB dan Keputusan

Lebih terperinci

DAFTAR BARANG DAN BAHAN GUNA PERBAIKAN DAN/ATAU PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG YANG MENDAPAT BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH UNTUK TAHUN ANGGARAN 2011

DAFTAR BARANG DAN BAHAN GUNA PERBAIKAN DAN/ATAU PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG YANG MENDAPAT BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH UNTUK TAHUN ANGGARAN 2011 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 117/PMK.011/2011 TENTANG BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN GUNA PERBAIKAN DAN/ATAU PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG UNTUK TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,

Lebih terperinci

Pengertian Kebisingan. Alat Ukur Kebisingan. Sumber Kebisingan

Pengertian Kebisingan. Alat Ukur Kebisingan. Sumber Kebisingan Pengertian Kebisingan Kebisingan merupakan suara yang tidak dikehendaki, kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

Bab II-2 Konstruksi-Perlindungan Kebakaran, Deteksi Kebakaran dan Pemadam Kebakaran

Bab II-2 Konstruksi-Perlindungan Kebakaran, Deteksi Kebakaran dan Pemadam Kebakaran Bab II-2 Konstruksi-Perlindungan Kebakaran, Deteksi Kebakaran dan Pemadam Kebakaran Bagian A - Umum Halaman 1 Penerapan...... 2 Prinsip-prinsip dasar... 3 Definisi-definisi... 4 Pompa kebakaran, saluran

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.282, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Kapal Berbendera Indonesia. Kewajiban Klasifikasi. Badan Klasifikasi.

BERITA NEGARA. No.282, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Kapal Berbendera Indonesia. Kewajiban Klasifikasi. Badan Klasifikasi. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Kapal Berbendera Indonesia. Kewajiban Klasifikasi. Badan Klasifikasi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 7

Lebih terperinci

Awak tidak memperhatikan bangunan dan stabilitas kapal. Kecelakaan kapal di laut atau dermaga. bahaya dalam pelayaran

Awak tidak memperhatikan bangunan dan stabilitas kapal. Kecelakaan kapal di laut atau dermaga. bahaya dalam pelayaran Bagian-bagian Kapal Awak tidak memperhatikan bangunan dan stabilitas kapal Kecelakaan kapal di laut atau dermaga bahaya dalam pelayaran merugikan harta benda, kapal, nyawa manusia bahkan dirinya sendiri.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Aspek Penilaian GMP dalam Restoran

Lampiran 1. Aspek Penilaian GMP dalam Restoran LAMPIRAN Lampiran 1. Aspek Penilaian GMP dalam Restoran No Parameter Bobot Nilai A Kondisi umum sekitar restoran 1 Lokasi 1 0 Jarak jasaboga minimal 500 m dari sumber pencemaran seperti tempat sampah umum,

Lebih terperinci

SNI 7827:2012. Standar Nasional Indonesia. Papan nama sungai. Badan Standardisasi Nasional

SNI 7827:2012. Standar Nasional Indonesia. Papan nama sungai. Badan Standardisasi Nasional Standar Nasional Indonesia Papan nama sungai ICS 93.140 Badan Standardisasi Nasional BSN 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 74/M-DAG/PER/ 12/2012 TENTANG ALAT-ALAT

Lebih terperinci

INSTALASI PERMESINAN

INSTALASI PERMESINAN INSTALASI PERMESINAN DIKLAT MARINE INSPECTOR TYPE-A TAHUN 2010 OLEH MUHAMAD SYAIFUL DITKAPEL DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT KEMENTRIAN PERHUBUNGAN INSTALASI LISTRIK PELAYANAN LISTRIK HARUS MAMPU

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. bahan bakar berasal dari gas berupa: LPG. generator, boiler dan peralatan masak di dapur.

BAB VIII PENUTUP. bahan bakar berasal dari gas berupa: LPG. generator, boiler dan peralatan masak di dapur. BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian terhadap evaluasi sistem penanggulangan kebakaran di kapal penumpang KM Lambelu, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PEMBUATAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan proses pembuatan rangka pada incinerator terlebih

BAB IV HASIL PEMBUATAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan proses pembuatan rangka pada incinerator terlebih BAB IV HASIL PEMBUATAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Visualisasi Proses Pembuatan Sebelum melakukan proses pembuatan rangka pada incinerator terlebih dahulu harus mengetahui masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Lebih terperinci

Lampiran IV MARPOL 73/78 PERATURAN UNTUK PENCEGAHAN PENCEMARAN OLEH KOTORAN DARI KAPAL. Peraturan 1. Definisi

Lampiran IV MARPOL 73/78 PERATURAN UNTUK PENCEGAHAN PENCEMARAN OLEH KOTORAN DARI KAPAL. Peraturan 1. Definisi Lampiran IV MARPOL 73/78 PERATURAN UNTUK PENCEGAHAN PENCEMARAN OLEH KOTORAN DARI KAPAL Bab 1 Umum Peraturan 1 Definisi Untuk maksud Lampiran ini: 1 Kapal baru adalah kapai:.1 yang kontrak pembangunan dibuat,

Lebih terperinci

No Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang- Undang Nomor 22

No Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang- Undang Nomor 22 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5448 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 156) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

128 Universitas Indonesia

128 Universitas Indonesia BAB 8 PENUTUP 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap audit keselamatan kebakaran di gedung PT. X Jakarta, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bangunan gedung

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.879, 2012 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Manajemen Keselamatan kapal. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 45 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN KESELAMATAN

Lebih terperinci

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

Lebih terperinci

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN III.1.

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-17-2004-B Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi Daftar tabel. Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii

Lebih terperinci

LEMBAR OBSERVASI HYGIENE SANITASI KAPAL

LEMBAR OBSERVASI HYGIENE SANITASI KAPAL 105 LEMBAR OBSERVASI HYGIENE SANITASI KAPAL (Berdasarkan International Health Regulation (2005) : Handbook for Inspection of Ships and Issuance of Ship Sanitation Certificates) 1. Nama Kapal : 2. Jenis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG K E P E L A U T A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG K E P E L A U T A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG K E P E L A U T A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran diatur

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGELOLAAN AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN HULU MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Umum Angkutan pada dasarnya adalah sarana untuk memindahkan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Tujuannya membantu orang atau kelompok orang menjangkau

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa ancaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN

BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN Setiap melakukan penelitian dan pengujian harus melalui beberapa tahapan-tahapan yang ditujukan agar hasil penelitian dan pengujian tersebut sesuai dengan standar yang ada. Caranya

Lebih terperinci

Secara harfiah berarti keteraturan, kebersihan, keselamatan dan ketertiban

Secara harfiah berarti keteraturan, kebersihan, keselamatan dan ketertiban HOUSEKEEPING Secara harfiah berarti keteraturan, kebersihan, keselamatan dan ketertiban Penerapan housekeeping yang baik dapat mendukung terciptanya lingkungan kerja yang aman, sehat dan nyaman. Housekeeping

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERSYARATAN BANGUNAN UNTUK PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PERSYARATAN BANGUNAN UNTUK PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN Materi 7 PERSYARATAN BANGUNAN UNTUK PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN Oleh : Agus Triyono, M.Kes PENGANTAR Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan bangunan untuk penanggulangan bahaya kebakaran

Lebih terperinci

Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 07/SE/M/2009. tentang

Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 07/SE/M/2009. tentang Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 07/SE/M/2009 tentang Pemberlakukan Pedoman Pemeriksaan Peralatan Penghampar Campuran Beraspal (Asphalt Finisher) DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM 0 Jakarta, 10 Nopember

Lebih terperinci

Perancangan Fire Control and Safety Plan pada Kapal Konversi LCT menjadi Kapal Small Tanker

Perancangan Fire Control and Safety Plan pada Kapal Konversi LCT menjadi Kapal Small Tanker Perancangan Fire Control and Safety Plan pada Kapal Konversi LCT menjadi Kapal Small Tanker Tri Octa Kharisma Firdausi 1*, Arief Subekti 2, dan Rona Riantini 3 1 Program Studi Teknik Keselamatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

2. DETONATOR 1. DEFINISI BAHAN PELEDAK

2. DETONATOR 1. DEFINISI BAHAN PELEDAK UNDANGUNDANG No. 1 Tahun 1970, Tentang Keselamatan Kerja UNDANGUNDANG No. 4 Tahun 2009, Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara PP No. 19 Tahun 1973, Tentang Pengaturan dan Pengawasan K3 Pertambangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA DAERAH PELAYARAN KAPAL PELAYARAN RAKYAT

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA DAERAH PELAYARAN KAPAL PELAYARAN RAKYAT PENETAPAN KRITERIA DAERAH PELAYARAN KAPAL PELAYARAN RAKYAT LAMPIRAN 9 i 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Istilah dan Definisi 4. Persyaratan 4.1. Persyaratan Utama 4.2. Kriteria Pelayaran Rakyat 4.3. Daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Kebutuhan Data Sekunder Inventarisasi data sekunder, meliputi aspek-aspek transportasi laut dalam bentuk peraturan-peraturan seperti Undang-undang,Peraturan

Lebih terperinci

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida Rumah Sehat edited by Ratna Farida Rumah Adalah tempat untuk tinggal yang dibutuhkan oleh setiap manusia dimanapun dia berada. * Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya

Lebih terperinci

SPESIFIKASI TEKNIK KOMPOR GAS BAHAN BAKAR LPG SATU TUNGKU DENGAN SISTEM PEMANTIK MEKANIK KHUSUS UNTUK USAHA MIKRO

SPESIFIKASI TEKNIK KOMPOR GAS BAHAN BAKAR LPG SATU TUNGKU DENGAN SISTEM PEMANTIK MEKANIK KHUSUS UNTUK USAHA MIKRO LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI NOMOR : 56/M-IND/PER/5/2009 TANGGAL : 28 Mei 2009 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

Cara uji daktilitas aspal

Cara uji daktilitas aspal Standar Nasional Indonesia Cara uji daktilitas aspal ICS 93.080.20; 75.140 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh isi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI,

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI, [Home] KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI, MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI Menimbang: a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2006 TENTANG MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2006 TENTANG KEWAJIBAN BAGI KAPAL BERBENDERA INDONESIA UNTUK MASUK KLAS PADA BIRO KLASIFIKASI INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci