BAB I. A. Latar Belakang Masalah. belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat, hal ini

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. A. Latar Belakang Masalah. belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat, hal ini"

Transkripsi

1 1 BAB I A. Latar Belakang Masalah Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat, hal ini ditandai dengan munculnya fenomena penyelenggaraan program percepatan belajar (kelas akselerasi) di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Program akselerasi mulai dikembangkan pada tahun 1998/1999 dengan tujuan memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat (Hawadi, 2004). Program layanan khusus ini menjawab amanat UU no 20 tahun 2003, Pasal 4 dan 5 yaitu: Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus. Amanat dari UU tersebut mengandung maksud memberikan kesempatan bagi sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan khusus bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Kepmendikbud Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa: Pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat melalui jalur pendidikan sekolah dengan menyelenggarakan program percepatan, dengan ketentuan telah mengikuti pendidikan SD sekurang-kurangnya lima tahun, SMP sekurangkurangnya 2 tahun dan SMA sekurang-kurangnya 2 tahun. Penyelenggaraan pendidikan khusus atau program percepatan (Kelas Akselerasi) mulai banyak dikembangkan di sekolah-sekolah di Indonesia. 1

2 2 Menurut Ahmadi (2011) terdapat lebih dari 300 sekolah di Indonesia yang melaksanakan program akselerasi, mulai dari tingkat TK hingga SMA, dengan jumlah siswa lebih dari orang. Hambatan yang dialami kedua sekolah tersebut dalam penyelenggaraan kelas akselerasi, yang paling mendasar adalah dalam hal perekrutan siswa. Perekrutan siswa dalam kelas akselerasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, karena berkaitan dengan kelanjutan studi siswa itu ke depan. Depdiknas (2007) menyatakan bahwa perekrutan siswa dalam kelas akselerasi dilakukan dengan seleksi. Penyeleksian diawali dengan seleksi siswa yang lulus dari Sekolah Dasar (SD). Seleksi tersebut meliputi tes IQ dan tes Psikologi. Selanjutnya dikatakan bahwa proses mengidentifikasi siswa cerdas istimewa dilakukan dengan menggunakan pendekatan multidimensional. Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelegensi). Batasan yang digunakan adalah siswa yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 130 ke atas, dimensi kreatifitas, dimensi komitmen dan dimensi kepribadian. Jika mengambil contoh SMA 3 Semarang, program akselerasi yang diberlakukan sejak 2004 masih ada kekurangan terutama berkaitan dengan masalah sosial siswa. Memang secara kognitif para siswa kelas akselerasi bagus, tetapi karena kesibukan yang luar biasa akhirnya porsi kehidupan sosial menjadi berkurang. Berbagai pengalaman sosial sebaya tidak dialami oleh siswa kelas akselerasi, mengingat porsi pembelajaran siswa akselerasi lebih banyak dibandingkan dengan siswa reguler.

3 3 Ahmadi (2011) menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan keputusan masuk akselerasi dapat ditinjau dari keyakinan diri sendiri dan lingkungan. Dalam hal ini dapat dikategorikan faktor intern dapat berasal dari efikasi diri siswa dan faktor eksternnya dapat ditinjau dari peran konselor sekolah dan dukungan sosial. Faktor-faktor tersebut berperan penting dalam pengambilan keputusan masuk kelas akselerasi, karena selain kayakinan diri juga dipengaruhi oleh orang lain yang berhubungan dengan kelangsungan akademik. Selain itu, dari sisi internal kelas akselerasi lebih terlihat eksklusif dan membuat siswanya merasa lebih dibandingkan dengan siswa reguler sehingga membuat kelompok-kelompok dalam sekolah. Hal tersebut dapat diketahui dari observasi dan survei pra penelitian dimana kelas akselerasi mempunyai kelas khusus, antara lain ruang kelas terdapat pendingin udara, LCD, tempat duduk satu siswa satu tempat duduk, persyaratan masuk harus mempunyai laptop serta biaya sekolah yang besarnya tiga kali lipat dari kelas reguler. Selain perihal tersebut dari hasil wawancara dengan sejumlah siswa juga diketahui bahwa siswa masuk kelas akselerasi karena ambisi orang tua bukan karena keinginan anak sehingga proses belajar tidak bisa maksimal dan tentu juga berdampak terhadap hasilnya. Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut (Ahmadi & Setyono, 2011) menambahkan untuk penyelesaiannya yaitu sekolah akselerasi membuat berbagai program seperti ekstrakurikuler yaitu live in, kemah sosial, karya wisata, dan lomba antar kelas. Program tersebut diharapkan membuat siswa akselerasi lebih mengenal dan membaur dengan siswa reguler, bahkan dapat mengembangkan solidaritas sehingga tidak timbul kelompok-kelompok di dalam sekolah. Program

4 4 kelas akselerasi memang masih sedikit peminatnya, mungkin karena memang minat siswa yang kurang atau karena persyaratan yang cukup sulit. Pada sekolah akselerasi, siswa yang ingin memasuki kelas akselerasi harus lulus tes akademis dan psikologi, nilai rapor kelas VII hingga kelas IX rata-rata harus 8. Hal tersebut terbukti, dari jumlah 435 siswa yang diterima di SMAN 3 Semarang, untuk kuota kelas kelas akselerasi 20 tempat duduk, hanya sekitar 13% siswa yang layak mengikuti tes psikologi untuk memasuki kelas akselerasi. Menurut Southern&Jones (Colangelo, 2010) dijelaskan bahwa siswa akselerasi memiliki strategi pembelajaran yang canggih, terampil, dan paham sebelum usianya. Ia ditempatkan dikelas yang lebih tinggi dibanding teman-teman sebayanya, maka ia pun memiliki tugas yang lebih banyak dan berfikir lebih tinggi pula dibanding strategi pembelajaran pada kelas reguler. Sepanjang kehidupan, manusia dihadapkan dengan keputusan-keputusan. Pemilihan sekolah akselerasi merupakan suatu keputusan penting yang dibuat oleh remaja. Remaja mulai mengarahkan diri kepada suatu tahapan baru dalam kehidupan, dengan memandang suatu posisi pekerjaan sebagai karir. Matlin (Santrock, 2009) mengemukakan, pembuatan keputusan berarti memilih suatu diantara sekian banyak alternatif yang dianggap (minimal 2 alternatif) berdasarkan pertimbangan atau kriteria tertentu yang dianggap paling menguntungkan bagi pengambil keputusan. Pembuatan keputusan harus mengintegrasikan informasi yang luas dari sumber-sumber yang berlainan dan dibuat selama aktivitas berlangsung terus dalam waktu tertentu. Proses pembuatan keputusan membutuhkan dasar pengetahuan yang diandalkan dan penggunaannya

5 5 yang tepat dari kemampuan berpikir untuk menemukan informasi yang relevan, membuat pilihan-pilihan, menguji dan merevisi pengetahuan tentang hasil tindakan. Selanjutnya Haselmann&Tenner (Germeijs, 2007) mendefinisiskan pengambilan keputusan yaitu bertindak untuk menghasilkan konsekuensi yang terbaik, baik untuk individu atau masyarakat. Analisis dari hasil diperoleh menentukan siapa yang akan diuntungkan dan yang dirugikan. Keputusan siswa untuk masuk akselerasi merupakan keputusan yang patut dihargai dan didukung dengan maksimal. Hal tersebut selain bermula dari citra positif yang ingin dibangun, tanpa menghabiskan waktu untuk belajar dapat melanjutkan kuliah atau pekerjaan yang berkualitas. Berkaitan dengan ulasan tersebut Dias Tuti (2006) mengemukakan dunia dewasa ini, memasuki apa yang disebut sebagai dunia konsumsi dengan budaya konsumer, yang bahkan dunia pendidikan sekalipun tak bisa lepas darinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan siswa akselerasi yang menyatakan bahwa saya memang ingin masuk sekolah akselerasi, dan itu sudah cita-cita saya sejak SMP, dan orang tua saya mendukung, jadi waktu mau tes masuk saya dileskan privat oleh mama saya. Lebih jauh lagi, perkembangan aspek-aspek sosial dan kebudayaan dalam berbagai bidang dewasa ini, yang berjalin dengan kultur kapitalisme, konsumerisme, komunikasi, informasi, pasar, komoditas, masyarakat konsumer, kebudayaan pop, dunia fantasi, memunculkan apa yang disebut fenomena melampaui realitas (hyperrealitas).

6 6 Keputusan untuk memilih program akselerasi tentu untuk mewujudkan suatu hal yang penting dan positif bagi masa depan pelajar, namun demikian siswa membutuhkan lebih banyak kesempatan untuk melatih dan membahas pengambilan keputusan yang realistis. Keputusan bagi masa depan akan terwujud apabila mereka mampu menyesuaikan diri dengan potensi yang dimiliki dengan kesempatan yang tersedia. Kenyataannya ada sebagian siswa yang tidak mampu membuat keputusan dengan tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan, sehingga siswa dalam perkembangan usianya tidak dapat sejalan dengan psilogis usianya dan dalam kademik pun merasa terbebani dengan pelajaran yang terlalu banyak. Sebuah pengambilan keputusan bukan hal yang mudah, pengambilan keputusan banyak diwarnai oleh persepsi sosial dimana ada norma-norma sosial yang berdampak pada hasil keputusan yang diambil. Pengambilan keputusan yang berdasar pada hasil pemikiran dan pertimbangan dari diri sendiri maka keputusan itu cenderung mengarah pada keputusan yang logis dan tepat sesuai dengan keyakinan dan harapan yang diinginkan oleh seseorang. Sebaliknya apabila keputusan-keputusan yang diambil tidak berdasar pada pemikiran sendiri dan keyakinan diri, maka hasil keputusan dan tugas yang dikerjakan tidak memberikan hasil yang terbaik (Garret, 2010). Pemilihan sekolah akselerasi tidak seutuhnya merupakan keputusan yang benar-benar tepat. Southern dan Jones (Hawadi, 2006) menyatakan bahwa program akselerasi mempunyai dampak negatif bagi siswa, di antaranya adalah siswa akselerasi kemungkinan diatur secara sosial, fisik, dan emosional; siswa

7 7 didorong untuk berprestasi dalam bidang akademik sehingga siswa kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya; siswa kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya, hal ini dapat menyebabkan siswa mengalami hambatan dalam bergaul dengan teman sebaya; siswa mudah frustrasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi, serta siswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi. Mendukung uraian di atas Widyasari (2008) mengungkapkan problem ketidakterkaitan (mismatch) antara SMA akselerasi dan dunia pendidikan, disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak semua SMA akselerasi mencetak lulusan yang adaptif dengan kecerdasan dan keterampilan yang optimal. Kedua, dari aspek tenaga pengajar, banyak guru akselerasi yang hanya megejar kemampuan akademik dan intelegensi dan kurang memperhatikan aspek sosial anak. Akibatnya, banyak pendidikan di akselerasi yang dijalankan secara pabrik yang hanya menghasilkan lulusan dengan akademik bagus tanpa kompetensi memadai. Ketiga, program-program yang ditawarkan program akselerasi saat ini belum efektif dan efisien. Ini dapat dilihat dari kualitas lulusan yang belum mampu mendapatkan posisi yang bagus untuk masuk universitas negeri. Dengan kata lain, belum ada kesesuaian antara program akselarasi dan dunia pendidkan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahan yang berkaitan dengan keputusan masuk akselerasi dapat ditinjau dari faktor lain, diantara yaitu peran konselor sekolah, dukungan sosial, dan efikasi diri. Kelangsungan proses pembelajaran di sekolah diperkuat oleh tiga komponen guru yang memiliki fungsi berbeda, yakni guru mata pelajaran, guru

8 8 praktek dan konselor sekolah (Laeis, 2009). Untuk mencapai kesuksesan sistem pendidikan di sekolah maka perlu dibutuhkan tiga bidang pemimpin di sekolah. Ketiga pemimpin tersebut adalah pimpinan sekolah, pendidik, dan bimbingan dan konseling. Dari pendapat kedua tokoh diatas terlihat bahwa keberadaan bidang bimbingan dan konseling disekolah mendapatkan peranan yang sangat penting guna mencapai kesuksesan pendidikan (Prayitno, 2001) Melihat peran guru BK yang sangat penting maka sudah seharusnya unit Bimbingan dan konseling (BK) ada di setiap lembaga pendidikan. Istilah konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan konselor adalah pendidik (Himpunan UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional) dimana dijelaskan bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi terletak sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan dengan sengaja dan terencana melibatkan berbagai profesi pendidik (Winkel & Hastuti, 2006). Konselor sekolah memiliki tugas untuk melakukan pemantauan dan pembimbingan terhadap siswa berkaitan dengan perkembangan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya. Menurut Laeis (2009) peran guru Bimbingan Konseling (BK) saat ini belum optimal. Hal tersebut disinyalir akibat masih ada pihak yang belum memahami arti penting konselor sekolah dalam proses pembelajaran dan masih ada kepala sekolah yang menganggap peran konselor sekolah itu tidak penting. Menurut Sukadji (2000) masih banyak guru yang sebenarnya kurang memahami asas-asas BK. Latar belakang pendidikan yang tidak sesuai mengakibatkan banyak peran konselor sekolah yang disalahfungsikan

9 9 untuk menghukum anak semata. Menurut Wibowo (Laeis, 2009) pelaksanaan fungsi yang kurang tepat akan mempengaruhi jalannya proses pendidikan, sebab tugas dan fungsi tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dan wewenang terhadap bidang tersebut. Kenyataan yang ada di lapangan khususnya pada guru Bimbingan Konseling penerapan atau aplikasi profesionalisme khusus guru BK belum optimal dimanfaatkan. Hal tersebut terbukti dengan masih adanya penfasiran terhadap guru BK yang dipandang sebelah mata sebagai guru buangan, guru yang suka mencari-cari permasalahan dan tidak punya pekerjaan atau jam mengajar seperti halnya guru-guru lainnya. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa masalah penugasan guru pembimbing sesuai dengan bidang garapan menjadi fokus perhatian, baik bagi guru bidang studi non bimbingan dan konseling maupun koordinator bimbingan dan konseling yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dalam hubungannya dengan pelaksanaan program kerja. Sementara masalah penugasan guru pembimbing yang tidak sesuai dengan tempatnya (bidang garap) akan menimbulkan kesimpangsiuran dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Banyak guru pembimbing yang bukan dari lulusan yang tepat (nonprofesional), ditugasi oleh kepala sekolah menjadi guru pembimbing di sekolah yang bersangkutan. Tugas lain yang diberikan oleh kepala sekolah dengan dukungan SK, dan pada umumnya guru yang diberi tugas tersebut karena guru tersebut kekurangan jam mengajar, sementara itu mereka di sekolah negeri dituntut melaksanakan tugas mengajar minimal 18 jam. Guru yang hanya

10 10 memperoleh pendidikan bimbingan dan konseling dari hasil pelatihan saja, ataupun penataran kilat, kini juga masih banyak ditugasi sebagai guru pembimbing. Hal ini semua juga masih merupakan kendala yang sampai saat ini belum menjadi kenyataan terhadap terealisasikannya kinerja yang dilakukan oleh guru pembimbing untuk menangani rasio 150 siswa/18 jam (Depdikbud, 1994). Berkaitan dengan permasalahan di atas, selain siswa mendapat bimbingan karir dari guru BK, siswa sendiri juga mempunyai keyakinan atau efikasi diri atas kemampuan dan talent yang dimiliki. Efikasi diri mempengaruhi motivasi akademik, belajar, dan prestasi. Efikasi diri didasarkan pada kerangka teoritis yang lebih besar dikenal sebagai sosial kognitif teori, yang mendalilkan bahwa pencapaian manusia bergantung pada interaksi antara perilaku seseorang, faktor pribadi (misalnya pikiran, keyakinan), dan kondisi lingkungan Bandura (Michaelides, 2008). Belajar memperoleh informasi untuk menilai diri mereka yang sebenarnya hasil dari belajar mereka menggantikan pengalaman, persuasi yang mereka terima dari orang lain, dan reaksi fisiologis mereka. Keyakinan diri mempengaruhi dalam pemilihan tugas, usaha, ketekunan, ketahanan, dan prestasi Bandura (Schunk, 2008). Dibandingkan dengan siswa yang meragukan dengan kemampuan belajar mereka yang merasa berhasil melakukan tugas serta lebih mudah bersosialisasi, bekerja lebih keras, bertahan lebih lama ketika mereka menghadapi kesulitan, dan mencapai pada tingkat yang lebih tinggi. Kenyataan seperti tersebut diatas maka siswa seharusnya memiliki efikasi diri yang tinggi, siswa akselerasi harus memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan dan keterampilan untuk menghadapi segala situasi yang ada terutama

11 11 ketika berhadapan proses belajar yang padat dan sosial yang kurang. Keyakinan seperti inilah yang sering disebut efikasi diri. Ketika siswa memiliki efikasi diri maka diharapkan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai siswa dengan baik Bandura (Santrock, 2009). Efikasi diri merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh siswa terhadap kapasitasnya untuk mempengaruhi performa siswa. Larson dan Daniel (dalam Maldonado, 2008) menyatakan bahwa efikasi diri dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan, keyakinan, kemampuan dan keterampilan siswa untuk menghadapi tugas-tugas yang menjadi tanggung sebagai siswa. Bandura (1997) juga menyatakan bahwa Efikasi diri dapat menjembatani antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku-perilaku tertentu. Retnowati (Widanarti dan Indati, 2002) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini konflik yang dihadapi oleh remaja disebabkan karena adanya tuntutan-tuntutan dari dalam dirinya maupun luar dirinya. Tuntutan terbesar yang biasanya dihadapi oleh remaja adalah tuntutan dari masalah akademiknya Ada motivasi dan harapan yang tampak dengan keyakinan yang dimiliki individu, namun juga ada konsekuensi dari tindakan yang dilakukan berkaitan dengan keyakinan diri (Schunk, 2008). Konsep keyakinan diri, kolektif diri seseorang, persepsi yang terbentuk melalui pengalaman, interpretasi dari lingkungan, dan pengaruh bantuan dan evaluasi dari orang lain (Shavelson, 2008).

12 12 Untuk menjadi siswa yang sukses tidak hanya dibidang akademik tetapi juga dibidang yang lain seperti kehidupan disekolah dan masyarakat diperlukan keyakinan diri yang tinggi. Siswa harus merasa yakin dengan apa yang akan dilakukan agar semua yang dikerjakan menjadi berhasil (Wicaksono, 2008). Remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih aktif, berani, serta giat dalam berusaha dan menetapkan tujuan yang ingin mereka capai. Remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih memiliki keberanian dalam menetapkan tujuan yang ingin dicapai sehingga mempunyai prestasi akademik yang tinggi (Michaelides, 2008). Setiap kehidupan manusia dihadapkan pada pembuatan keputusankeputusan termasuk keputusan untuk memilih pendidikan. Keputusan siswa masuk program akselerasi selain dipengaruhi oleh konselor sekolah, efikasi diri, juga dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial. Individu membutuhkan dukungan sosial untuk berbagai persoalan yang dihadapinya. Dukungan sosial tersebut dapat berupa semangat, kepercayaan, keyakinan, kesempatan untuk bercerita, meminta pertimbangan, bantuan maupun nasehat guna mengatasi permasalahan yang dihadapi. Menurut Fusiler (Hartanti, 2002) dukungan sosial dapat menimbulkan penyesuaian yang baik dalam perkembangan kepribadian individu. Dukungan sosial sebagai informasi atau saran, bantuan nyata atau tindakan yang memiliki efek emosional yang berguna bagi penerimanya. Dukungan yang diterima akan memiliki arti bila dukungan itu bermanfaat dan sesuai dengan situasi yang ada (Armstrong, 2005). Dukungan yang diberikan oleh keluarga, teman dan sahabat

13 13 serta lingkungan sekitar diharapkan akan meningkatkan keyakinan belajar siswa terhadap jurusan yang telah diambil. Dukungan sosial bisa didapatkan dari berbagai sumber. Menurut Koentjoro (2003) dukungan sosial bersumber antara lain: orangtua, saudara kandung, anak-anak, kerabat, pasangan hidup, sahabat, rekan kerja, atau juga dari tetangga. Dukungan tersebut biasanya diinginkan dari orang-orang yang signifikan seperti keluarga, saudara, guru, dan teman, dimana memiliki derajat keterlibatan yang erat. Sarason (Hartanti, 2002) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu, yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, dari interaksi ini individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintai dirinya. Dukungan sosial diharapkan mampu menunjang seseorang melalui tindakan yang bersifat membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian positif pada individu atas usaha yang telah dilakukannya. Dukungan sosial inilah nanti yang diharapkan membantu individu memiliki motivasi yang tinggi bagi siswa lebih yakin dengan keputusan masuk sekolah akselerasi yang telah diambil.. Namun demikian, pengembangan percepatan belajar, baik melalui program pemerintah atau perbaikan sistem belajar tidak akan berhasil dengan optimal. Seyogyanya pada jenjang SMP diperlukan program bimbingan karir, agar siswa SMP dan para orang tua memahami tersedianya sekolah pilihan pada jenjang

14 14 SMA yang tidak kalah pentingnya dalam menjalani kehidupan bagi anak yang underchiver. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena melihat pada kondisi atau kenyataan pada masa sekarang banyak kesenjangan yang terjadi di sekolah SMA akselerasi, dimana siswa akselarasi dinilai sebagai anak elitis, sombong, angkuh, yang mana hal itu muncul karena kurangnya waktu bagi mereka untuk bersosialisasi. Selain itu pada kelas akselerasi tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran sesuai dengan kurikulum, banyak dari mereka yang merasa sangat terbebani dan akhirnya nilai mereka dibawah anak-anak kelas reguler. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu menelaah secara empiris bagaimana keterkaitan variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan masuk sekolah akselerasi. Penelitian ini menggunakan variabel peran konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial sebagai prediktor untuk memprediksikan keputusan masuk sekolah akselerasi agar dapat dipandang dari sudut atau aspek yang berimbang yaitu aspek internal (efikasi diri) dan eksternal (peran konselor sekolah,dan dukungan sosial). Berdasarkan rumusan masalah tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Keputusan siswa masuk kelas akselerasi ditinjau dari peran konselor sekolah, efikasi diri, dan dukungan sosial.

15 15 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara peran konselor sekolah efikasi diri (self efficacy) dan dukungan sosial terhadap keputusan siswa masuk kelas akslerasi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1. Untuk mengetahui hubungan antara peran konselor sekolah dengan keputusan siswa masuk kelas akselerasi. 2. Untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan keputusan siswa masuk kelas akselerasi. 3. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan keputusan siswa masuk kelas akselerasi. 4. Untuk mengetahui sumbangan atau peranan konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial terhadap keputusan siswa masuk kelas akslerasi. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat memberikan manfaat yang dapat dilihat dari dua segi yaitu: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu psikologi, terutama psikologi pendidikan mengenai keterkaitan antara peran

16 16 konselor sekolah efikasi diri dan dukungan sosial dengan keputusan masuk sekolah akselerasi serta dapat menjadi bahan perbandingan bagi peneliti yang meneliti tentang peran konselor sekolah, efikasi diri, dukungan sosial maupun keputusan masuk kelas akselerasi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: a. Kepala sekolah Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi menggenai peran konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial dengan keputusan masuk akselerasi sehingga pimpinan dapat mengambil kebijakan-kebijakan akademis yang tepat sebagai upaya mengembangkan secara optimal potensi anak. b. Bagi Siswa Penelitian ini memberikan informasi tentang peran konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial dengan keputusan masuk kelas akselerasi, sehingga siswa akan lebih mantap dan yakin dengan pilihan yang diambil dan dapat mengoptimalkan semua kemampuan yang dimiliki dan memanfaatkan fasilitas dan sarana yang disediakan oleh pihak sekolah, sehingga siswa dapat menjalankan kewajibannya dengan keyakinan akan kemampuan dirinya. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian berkaitan dengan konselor sekolah, efikasi diri, dukungan sosial dan keputusan masuk akselerasi, antara lain pernah dilakukan oleh. Barliana (2009) tentang perencanaan passion pada siswa, dinyatakan bahwa

17 17 tidak semua lembaga pendidikan memberikan dan menyiapkan layanan bimbingan dan konseling pada masa pra sekolah (TK) dan sekolah dasar (SD). Padahal, passion siswa sudah dapat dipupuk sejak usia dini, sejak siswa mengenal berbagai aktivitas nyata. Mempertimbangkan mungkin ditemukan beberapa hambatan dalam koordinasi secara periodik tampaknya model sistem yang diajukan akan lebih sesuai bagi lembaga pendidikan yang berkesinambungan dalam satu payung atau yayasan, yaitu lembaga pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan mulai usia pra sekolah sampai tingkat sekolah menengah atas. Selanjutnya penelitian tentang efikasi diri yang dilakukan oleh Zukaidah dkk (2007) menyatakan bahwa pengaruh yang signifikan dari Efikasi Diri Pemilihan Karir dan Locus of Control terhadap Kematangan Karir siswa SMA. Secara sendiri sendiri Efikasi Diri Pemilihan Karir tidak memiliki pengaruh yang signifikan, sedangkan Locus of Control memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kematangan Karir. Hal ini dapat dijelaskan, untuk mencapai kematangan karir, keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu memilih karir saja tidak cukup. Karena untuk mencapai kematangan karir, yang meliputi pengetahuan diri, pengetahuan tentang pekerjaan dan kemampuan merencanakan langkah-langkah karir, diperlukan usaha individu mengambil tindakan-tindakan yang tepat, tidak hanya bersifat kognitif, dalam bentuk keyakinan diri. Didukung oleh penelitian Suprawati (2006) yang memaparkan tidak adanya perbedaan prestasi matematika antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memang mengarah pada kesimpulan bahwa pelatihan efikasi diri tidak berpengaruh dalam meningkatkan prestasi matematika. Masih berkaitan dengan efikasi diri Slanger dan Rudestam

18 18 (1997) pada penelitian tentang mencari sensasi dan efikasi diri menyatakan bahwa kecenderungan mencari sensasi dan efikasi diri dapat berpengaruh terhadap pengambilan risiko. Hal ini dapat dipahami bahwa orang yang memiliki efikasi diri tinggi sudah memahami segala risiko yang diambil.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengemukakan bahwa: Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karier adalah bagian hidup yang berpengaruh pada kebahagiaan hidup manusia secara keseluruhan. Oleh karenanya ketepatan memilih serta menentukan keputusan karier

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan yang penting. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa di mana individu banyak mengambil

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa di mana individu banyak mengambil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa di mana individu banyak mengambil keputusan dalam berbagai hal (Santrock, 2002). Menurut Papalia dan Olds (2009:8), masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa Remaja terkadang mereka masih belum memikirkan tentang masa depan mereka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan (Kartono, 2007). Pendidikan di Indonesia diatur dengan jelas pada pasal

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN KEYAKINAN DIRI (SELF-EFFICACY) DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA AKSELERASI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN KEYAKINAN DIRI (SELF-EFFICACY) DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA AKSELERASI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN KEYAKINAN DIRI (SELF-EFFICACY) DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA AKSELERASI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana Psikologi S-1 Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberadaan anak gifted menjadi sangat bernilai. Potensinya yang unggul dalam intelektualitas, kreativitas, dan motivasi menjadikan anak berbakat sebagai kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syifa Zulfa Hanani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang  Syifa Zulfa Hanani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan yang berbeda. Masingmasing memiliki kelebihan dan kekurangan, begitupun dengan kecerdasan setiap individu. Ada yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannnya.

Lebih terperinci

BIMBINGAN DAN KONSELING DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMP AKSELERASI. Skripsi

BIMBINGAN DAN KONSELING DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMP AKSELERASI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA SIKAP SISWA TERHADAP LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMP AKSELERASI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rini Restu Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rini Restu Handayani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia, melalui pendidikan individu berharap untuk selalu berkembang dan mewujudkan diri. Ini artinya setiap

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab V ini dipaparkan hal-hal yang berkenaan dengan simpulan dan rekomendasi penelitian. Simpulan penelitian dikemukakan secara sistematis sesuai dengan pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan proses yang esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita individu. Pendidikan secara filosofis merupakan proses yang melibatkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke masa lebih banyak bersifat klasikal-massal, yaitu berorientasi kepada kuantitas untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan terencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang sedang mengalami proses transisi dari masa kanak-kanak menuju kepada masa dewasa. Dalam masa transisi tersebut muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. Pendidikan mempunyai peranan yang amat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja memiliki tugas untuk melaksanakan pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas dari suatu bangsa. Kualitas bangsa dapat diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam proses belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENGANTAR Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada di atas rata-rata anak seusianya. Hal ini membuat anak berbakat membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. ada di atas rata-rata anak seusianya. Hal ini membuat anak berbakat membutuhkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia dirumuskan sebagai satu hak yang diperuntukkan bagi semua warga negara, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Anak berbakat termasuk golongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih dalam naungan serta pengawasan pemerintah. Tujuan dan fungsi lembaga pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Elsa Sylvia Rosa, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Elsa Sylvia Rosa, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Remaja, dalam hal ini pelajar dipandang sebagai generasi muda yang memegang peranan penting sebagai generasi penerus dalam pembangunan masyarakat, bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah suatu masa bagi individu untuk mempersiapkan diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah suatu masa bagi individu untuk mempersiapkan diri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu masa bagi individu untuk mempersiapkan diri guna memasuki masa dewasa. Remaja memiliki tugas-tugas perkembangan, salah satu tugas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi yang semakin berkembang, perlu dipersiapkan sumber daya manusia yang semakin kompeten dan berkualitas yang mampu menghadapi tantangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah memiliki tanggung jawab yang besar membantu siswa agar

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah memiliki tanggung jawab yang besar membantu siswa agar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah memiliki tanggung jawab yang besar membantu siswa agar berhasil dalam belajar.untuk itu sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada siswa untuk mengatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I ini menguraikan inti dari penelitian yang mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi. 1.1 Latar

Lebih terperinci

ARIS RAHMAD F

ARIS RAHMAD F HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DANKEMATANGAN SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : ARIS RAHMAD F. 100 050 320

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Universitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang perekonomian, perindustrian, dan pendidikan. yang diambil seseorang sangat erat kaitannya dengan pekerjaan nantinya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang perekonomian, perindustrian, dan pendidikan. yang diambil seseorang sangat erat kaitannya dengan pekerjaan nantinya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin bertambah, teknologi semakin canggih, serta ilmu pengetahuan semakin berkembang. Seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka keberadaan

I. PENDAHULUAN. manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka keberadaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka keberadaan

Lebih terperinci

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Profesi Psikologi Kekhususan Psikologi Pendidikan Diajukan Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prestasi menjadi suatu hal yang sangat didambakan oleh banyak orang di era globalisasi saat ini. Ketika seseorang mampu mencapai prestasi yang baik maka akan memunculkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat memasuki dunia kerja, demikian halnya dengan pendidikan di SMA. Kurikulum SMA dirancang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang unggul baik dalam bidang ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang unggul baik dalam bidang ilmu pengetahuan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kualitas sumber daya manusia merupakan sektor penting dalam menunjang tercapainya tujuan pembangunan nasional. Pembangunan nasional membutuhkan kualitas sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat persaingan yang semakin ketat dalam bidang jasa, terutama jasa psikologi. Masyarakat psikologi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi. manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi. manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang begitu pesat. baik dari segi kurikulum maupun program penunjang yang dirasa mampu untuk mendukung peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai gencar mengembangkan pengadaan Kelas Khusus Olahraga (KKO) atau disebut pula dengan sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai meninggalkan ketergantungannya pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Pendidikan adalah suatu proses sadar tujuan, artinya bahwa kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Alvie Syarifah, Hubungan antara Dukungan Sosial Orang Tua dengan Komitmen

BAB I PENDAHULUAN. 1 Alvie Syarifah, Hubungan antara Dukungan Sosial Orang Tua dengan Komitmen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan dari bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 45 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya manusia yang bermutu tinggi karena maju mundurnya sebuah negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya manusia yang bermutu tinggi karena maju mundurnya sebuah negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi yang semakin kompetitif seperti saat ini diperlukan sumber daya manusia yang bermutu tinggi karena maju mundurnya sebuah negara sangat bergantung

Lebih terperinci

2016 PROGRAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI SISWA BERBAKAT DI KELAS AKSELERASI SMA X MEDAN

2016 PROGRAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI SISWA BERBAKAT DI KELAS AKSELERASI SMA X MEDAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peserta didik berbakat yang berada pada usia remaja memiliki kemampuan yang lebih tinggi diberbagai bidang dibandingkan dengan anak pada umumnya, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan potensi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan potensi diri yang tidak terbatas waktu dan tempat dengan memperhatikan adanya nilai-nilai budaya dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Akselerasi (Studi kasus di SMP Islam Pekalongan), maka dapat. 1. Desain pembelajaran PAI dalam program akselerasi.

BAB V PENUTUP. Akselerasi (Studi kasus di SMP Islam Pekalongan), maka dapat. 1. Desain pembelajaran PAI dalam program akselerasi. BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Hasil penelitian dan analisis yang penulis lakukan terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan judul Implementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial, para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang pada umumnya tahap perkembangannya berada dalam kategori remaja pertengahan 15-18 tahun (Monks,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelajaran matematika merupakan pengetahuan dasar, dan kompetensi penunjang bagi pelajaran lainnya yang penting untuk dikuasai oleh siswa. Undang undang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar usia 18-22 tahun. Menurut Hall (dalam Sarlito, 2001) rentang usia tersebut merupakan fase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai bidang. Salah satu bidang yang ikut mengalami perubahan adalah pendidikan. Dewasa ini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Saat ini pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asep Saputra, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Asep Saputra, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya Manusia dalam melaksanakan fungsi-fungsi kehidupan tidak lepas dan tidak akan lepas dari pendidikan, karena pendidikan berfungsi untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai pemikir, perencana, penggerak, dan pendukung pembangunan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai pemikir, perencana, penggerak, dan pendukung pembangunan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki keterampilan unggul, sebagai pemikir, perencana, penggerak, dan pendukung pembangunan pada masa ini sangatl dibutuhkan.

Lebih terperinci

93 Suci Nurul Fitriani, 2016 HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN SELF-EFFICACY Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

93 Suci Nurul Fitriani, 2016 HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN SELF-EFFICACY Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab V ini mendeskripsikan keseluruhan bab dari hasil penelitian yang telah didapatkan, dalam bentuk simpulan serta rekomendasi bagi berbagai pihak serta keterbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa di Indonesia semakin meningkat. Menurut Amril Muhammad, Sekretaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Perhatian terhadap anak berbakat khususnya di Indonesia sekarang ini sudah memperlihatkan perkembangan yang cukup baik. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan pada. kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas, melebihi potensi

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan pada. kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas, melebihi potensi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena pertumbuhan kehidupan masyarakat maju, semakin lama semakin menunjukkan bahwa kunci perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan kiranya perlu diperhatikan masalah pencapaian prestasi siswa, karena dalam lembaga pendidikan prestasi belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan selalu berkaitan dengan pendidik dan peserta didik. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan selalu berkaitan dengan pendidik dan peserta didik. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan selalu berkaitan dengan pendidik dan peserta didik. Dalam pendidikan mempunyai tujuan membantu peserta didik agar nantinya mampu meningkatkan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. karena pendidikan akan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. karena pendidikan akan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi diberbagai lini kehidupan menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, hal tersebut juga berdampak pada kemajuan sistem pendidikan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan formal, warga negara juga diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar. Hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karir merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Bahkan karir bagi

BAB I PENDAHULUAN. Karir merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Bahkan karir bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karir merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Bahkan karir bagi sebagian orang dianggap sebagai status yang dapat menghidupkan atau mematikan seseorang. Karir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat, hal ini ditandai dengan munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guru dihadapkan pada karakterisktik siswa yang beraneka ragam dalam kegiatan pembelajaran. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajar secara lancar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Audit atas laporan keuangan sangat diperlukan, terutama bagi perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Audit atas laporan keuangan sangat diperlukan, terutama bagi perusahaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Audit atas laporan keuangan sangat diperlukan, terutama bagi perusahaan berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas yang bersifat terbuka (PT terbuka). Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup yang unik, tidak ada seorang individu yang sama persis dengan individu yang lain. Salah satunya adalah dalam hal kecepatan dan kemampuan

Lebih terperinci

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap manusia adalah unik, dan peserta didik yang memasuki masa remaja harus dapat menyadari hal tersebut. Melalui layanan bimbingan konseling disekolah

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI PADA SISWA KELAS XI SMK

PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI PADA SISWA KELAS XI SMK PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI PADA SISWA KELAS XI SMK Emilia Roza (Eroza82@yahoo.com) 1 Muswardi Rosra 2 Ranni Rahmayanthi Z 3 ABSTRACT The objective of this research was

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Kesiapan Kerja 2.1.1 Pengertian kesiapan kerja Menurut Anoraga (2009) kerja merupakan bagian yang paling mendasar atau esensial dari kehidupan manusia. Sebagai bagian yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Layanan Konseling Individual Bagi Siswa Kelas Akselerasi. a. Guru bimbingan dan konseling dalam layanan konseling individual

BAB V PENUTUP. 1. Layanan Konseling Individual Bagi Siswa Kelas Akselerasi. a. Guru bimbingan dan konseling dalam layanan konseling individual BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari uraian sebelumnya adalah sebagai berikut: 1. Layanan Konseling Individual Bagi Siswa Kelas Akselerasi a. Guru bimbingan dan konseling dalam layanan konseling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Meskipun manusia itu adalah makhluk yang paling sempurna baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hlm Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,

BAB I PENDAHULUAN. hlm Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi manajemen yang sangat penting untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Penguasaan teori pengetahuan tentang kepemimpinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas perkembangannya di periode tersebut maka ia akan bahagia, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas perkembangannya di periode tersebut maka ia akan bahagia, namun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Ada beberapa tugas perkembangan yang harus dilakukan seorang remaja. Menurut Havighurst (dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO), jumlah remaja di dunia cukup tinggi. Pada tahun 2012 sekitar 1,6 miliar orang di dunia berusia 12-24 tahun (WHO, 2012). Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu bidang yang penting dan perlu mendapatkan perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan formal yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dan mempunyai tujuan untuk menyiapkan peserta didik

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA AKSELERASI. Widanti Mahendrani 1) 2)

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA AKSELERASI. Widanti Mahendrani 1) 2) HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA AKSELERASI Widanti Mahendrani 1) 2) dan Esthi Rahayu Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang ABSTRAKSI Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan merupakan sebuah sistem, sehingga tidak bisa berdiri sendiri. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang didapat dari lembaga formal maupun non formal (Kasan, 2005). Melalui pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai melalui jenjang pendidikan dasar (SMA, MTs, dan sederajatnya). Hal ini dicantumkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pembangunan manusia merupakan kekuatan yang akan berperan sebagai kunci pembuka sebagai terwujudnya masa depan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerukan kepada seluruh bangsa di dunia bahwa jika ingin membangun dan

BAB I PENDAHULUAN. menyerukan kepada seluruh bangsa di dunia bahwa jika ingin membangun dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman yang semakin maju dan berkembang, pendidikan menjadi salah satu faktor kesuksesan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, melalui pendidikan manusia dapat belajar demi kelangsungan hidupnya. Bagoe (2014, h.1) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disetujui bagi berbagai usia di sepanjang rentang kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. yang disetujui bagi berbagai usia di sepanjang rentang kehidupan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap individu memiliki tugas perkembangan yang sudah terbagi menjadi beberapa fase dalam rentang kehidupan individu. Menurut Hurlock (1999) tugas perkembangan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan mutu pendidikan formal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju serta terbukanya pasar global akan menstimulus kita untuk selalu meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci