KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF"

Transkripsi

1 KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2009 Mochammad Said Soltief NIM D

3 ABSTRACT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF. Study of Region Development of Beef Cattle at Kabupaten Raja Ampat in West Papua Province. Supervised by ASNATH M. FUAH and RUDY PRIYANTO. The objectives of this study were to design resources based of beef cattle regional model in District of Raja Ampat, West Papua Province. The study was conducted in Sakabu, Kalobo and Waijan villages, Sub district of Salawati Utara, from August 2008-May Primary data used on this study were local beef cattle production, management and farmer characteristic. As many 218 farmers and 314 beef cattle surveied on this study. Also, secondary data were used on this study that were regional characteristic, land using system, local institution and government policy on beef cattle development. Farmers and beef cattle management descriptively analyzed. Statistic Mann-Withney test were used to compare farmers characteristic between the three villages. Beef cattle productivity was evaluated based on body weight estimation. Cluster analysis was used to classify and analyzed the three villages. The determination of regional model using some indicators which were land, carrying capacity, beef cattle, rearing practice, farmer, extension agent, facility and institution. Strength Weakness Opportunity Threats (SWOT) analysis was used to analyzed and design a strategy of regional development. The results showed that sub district Salawati Utara is classified as a new region for beef cattle development and consist of two cluster i.e Kalobo Waijan and Sakabu. Regional development strategy consist of some key factors that are; design of beef cattle regional development, development of human resources, technology of rearing and breeding, breeding and housing facility, veterinary service and its facilities, networking, beef cattle regional development should be made on two patterns, that are beef cattle rolling and breeding center. Both of them should be managed based on integration of local resources and community management. Keywords: beef cattle, regional development, management, resources, Raja Ampat

4 RINGKASAN MOCHAMMAD SAID SOLTIEF. Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Dibimbing oleh ASNATH M FUAH dan RUDY PRIYANTO. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan merumuskan model kawasan sapi potong berbasis sumberdaya ternak di Kabupaten Raja Ampat. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan Distrik Salawati Utara, selama Agustus 2008 Mei Pengumpulan data menggunakan metode survei terhadap 218 orang peternak responden dan 314 ekor sampel ternak. Data yang diperoleh terdiri atas : (1) data primer, yaitu data hasil pengamatan dan wawancara dengan responden, meliputi ; karakteristik produksi ternak sapi potong, karakteristik peternak, dan pola manajemen produksi sapi potong yang ada; (2) data sekunder, meliputi; karakteristik wilayah yang terdiri dari iklim dan topografi, sistem penggunaan lahan, karakteristik kelembagaan yang ada dan kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan peternakan. Data karakteristik peternak dan pola managemen dianalisis secara deskriptif, produktivitas sapi potong dievaluasi dan diukur berdasarkan estimasi bobot badan. Perbandingan skor nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong menggunakan metode uji Mann-Whitney. Pengelompokan kesamaan potensi wilayah untuk kawasan sapi potong menggunakan analisis gerombol (Cluster Analisis). Penentuan model kawasan sapi potong menggunakan kriteria dan indikator komponen kawasan meliputi; (1) lahan; (2) kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) efektif dalam satuan ternak (ST); (3) ternak; (4) teknis budidaya ; (5) peternak; (6) tenaga pendamping; (7) fasilitas dan (8) kelembagaan. Keseluruhan hasil analisis digunakan untuk menyusun strategi pengembangan kawasan, menggunakan analisis SWOT dengan metode tabel IFAS dan EFAS. Hasil survei dan analisis menunjukkan bahwa kondisi lokasi penelitian cocok bagi pengembangan sapi potong. Lahan di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan masing-masing seluasr 2887, 5579 dan 4283 ha dengan tingkat kepadatan 10 jiwa/km 2 mempunyai kapasitas tampung masing-masing sebesar , ST, dan ST (Satuan Ternak) Data karakteristik produksi ternak sapi potong di lokasi penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan populasi dari tahun rata-rata sebesar 53.64% per tahun. Populasi pada saat akhir penelitian mencapai 1733 ekor. Persentase kelahiran berkisar 15.9% %. Persentase kematian ternak adalah % per tahun. Produksi daging diperkirakan sebesar ton dengan persentase peningkatan rata-rata mencapai 35% per tahun. Penampilan produktivitas berdasarkan bobot badan secara keseluruhan masih termasuk rendah dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Data karakteristik peternak sapi potong pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (>75% responden) berumur tahun, tingkat pendidikan didominasi oleh tingkat SD (57-76%), Perguruan Tinggi (1-2%). Pekerjaan pokok peternak adalah sebagai petani atau nelayan dengan pengalaman beternak rata-rata kurang dari lima tahun. Komposisi dan pemilikan ternak sapi

5 v potong menunjukkan bahwa jumlah pedet, dan jantan serta betina muda masingmasing 7-10% dan 28-36%, jantan dan betina dewasa masing-masing 7-11% dan 46-55% dengan rasio jantan dan betina Nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak tentang budi daya sapi potong di Kabupaten Raja Ampat relatif rendah dengan skor < Persepsi dan aspirasi responden dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat menunjukkan hasil yang baik walaupun dengan sistem budidaya yang bersifat semi tradisional dengan campur tangan manusia yang terbatas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fasilitas layanan peternakan sapi potong relatif cukup memadai dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Skala kepemilikan ternak yang layak adalahh 3.25 satuan ternak (ST) atau setara dengan RP ,- untuk satu periode pemeliharaan (12 bulan). Hasil analisis kawasan menunjukkan bahwa ketiga lokasi penelitian diklasifikasikan sebagai Kawasan Baru, dan terbagi menjadi dua kluster yaitu kluster Kalobo Waijan dan kluster Sakabu. Kluster Sakabu lebih didominasi oleh penduduk asli yang baru mengenal budidaya ternak sapi potong, sedangkan kluster Kalobo Waijan umumnya merupakan transmigran asal Jawa yang sudah lama mengenal budidaya sapi potong dengan sistem pemeliharaan yang ekstensif. Strategi pengembangan kawasan menghasilkan beberapa sub elemen kunci meliputi; Penyusunan Model Pengembangan Kawasan Sapi Potong ; Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, Teknologi Budidaya Sapi Potong, Fasilitas Pembibitan Ternak dan Pengembangan Sistem Pemuliabiakan Sapi Potong, Fasilitas Kandang Karantina Ternak/Hewan, Fasilitas Layanan Kesehatan Berupa Poskeswan dan Paramedis/Dokter Hewan, Pasar dan Pemasaran, Kemitraan Usaha, Lembaga Keuangan dan Modal, Kualitas Bibit Sapi Potong yang Rendah, dan Layanan Peternakan. Pengembangan kawasan disusun dalam tiga tahap pengembangan kawasan berdasarkan komponen penyusunnya, dan diformulasikan menjadi satu model pengembangan kawasan sapi potong dengan sistem Inti- Plasma berbasis sumber daya lokal dan terintegrasi dengan subsistem pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Kata kunci: Sapi potong, pengembangan kawasan, Kabupaten Raja Ampat.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Judul Penelitian Nama NIM : Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat : Mochammad Said Soltief : D Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S Ketua Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunianya sehingga penelitian mengenai Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat dapat diselesaikan sebaik mungkin. Permasalahan ini didasarkan keinginan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat untuk mengembangkan subsektor peternakan khususnya sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah tersebut. Berkenaan dengan itu maka Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat mulai membangun sarana dan prasarana untuk pengembangan sapi potong, agar lebih terarah dan terencana maka sangat dibutuhkan adanya suatu daerah kawasan sapi potong sebagai basis pengembangannya. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai kawasan sapi potong yang berbasis sumber daya lokal. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Marcus Wanma,M.Si. selaku Bupati Raja Ampat yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. Ibu Dr. Ir. Asnath Maria Fuah dan Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto sebagai komisi pembimbing atas kesediaannya memberikan informasi, bimbingan dan saran. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Istri tercinta Yuli Abdul Muis, Anak-anakku tersayang Ali Yusuf Ramdhani dan Syarifah Putri Aulia, Ayahanda Hi.M.L.Soltief dan Ibunda Sitti N. Salassa, Kak Nona dan Bang Robert, Fatrah dan Ali Usman serta semua pihak yang telah membantu baik fisik maupun moril. Tak lupa kepada Bapak Ir. A. Rahman Wairoy atas dukungannya selama ini. Penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik dari berbagai pihak guna penyempurnaan penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2009 Mochammad Said Soltief

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Fafanlap, Raja Ampat pada tanggal 15 Juni 1974 dari ayah Mochammad Luthan Soltief dan ibu Siti Norma Salasa. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Tahun 1992 Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jayapura dan pada tahun yang sama lulus masuk Universitas Cendrawasih Jayapura pada Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan lulus tahun Pada tahun 2001 Penulis diterima sebagai staf pegawai di Dinas Peternakan Kabupaten Sorong, kemudian pada tahun 2003 dipindahkan ke Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Raja Ampat. Selama mengabdi penulis pernah diangkat sebagai Kepala Seksi Usaha Ternak dan Produksi Hasil Peternakan Bidang Peternakan Distannakbun Kabupaten Raja Ampat pada periode 2003 sampai sekarang. Selanjutnya tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Sponsor biaya pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Raja Ampat.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 KERANGKA PEMIKIRAN... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 7 Perkembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia... 7 Karakteristik Produksi dan Reproduksi Sapi Potong... 9 Budidaya Sapi Potong Kawasan Agribisnis Sapi Potong Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Metode Pengumpulan Data dan Responden Peubah yang Diamati Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Penelitian Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi Potensi Wilayah dan Daya Dukung Lahan Karakteristik Produksi Ternak Sapi Potong Populasi Sapi Potong Produktivitas Sapi Potong Karakteristik Peternak Identitas Peternak Pengetahuan, Motivasi dan Partisipasi Peternak dalam Kegiatan Pengembangan Peternakan Sapi Potong Persepsi dan Aspirasi Masyarakat tentang Peternakan Sapi Potong Manajemen Produksi Sapi Potong Penerapan Teknologi Budidaya Sapi Potong Infrastruktur (Sarana dan Prasarana) Pendukung Kelayakan Usaha Sapi Potong Kawasan Sapi Potong Rakyat Komponen Kawasan Agribisnis Sapi Potong Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong Analisis Faktor Internal-Eksternal (Analisis SWOT) Perencanaan Strategis... 58

12 xii Faktor Penentu Pengembangan Kawasan Sapi Potong Pengembangan Kawasan Sapi Potong Model Pengembangan Inti -Plasma KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 79

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Populasi ternak sapi, kerbau dan keluarga peternak di Indonesia tahun Luas lahan dan penggunaannya di Indonesia Rumus pendugaan bobot badan sapi berdasarkan ukuran tubuh Kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian Daya dukung lahan dan potensi kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan 30 6 Populasi sapi potong (ekor) di Kabupaten Raja Ampat tahun Performans reproduksi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun Jumlah pemasukan, pengeluaran dan pemotongan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun Rataan bobot badan sapi Bali berdasarkan jenis kelamin dan umur di kampung Sakabu,Kalobo dan Waijan Kabupaten Raja Ampat Karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat Hasil uji Mann-Whitney tentang pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat Potensi peternakan sapi potong menurut persepsi dan aspirasi masyarakat di Kabupaten Raja Ampat Teknis pemeliharaan sapi potong di lokasi penelitian Fasilitas sarana dan prasarana (infrastruktur) layanan peternakan Skoring penilaian kawasan penggemukan dan pembibitan sapi potong 42

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumber daya lokal di Kabupaten Raja Ampat. 6 2 Warna tubuh yang normal pada sapi Bali betina(1), Bali jantan(2), PO(3) dan Madura (4) Keserasian bentuk tubuh sapi Bali (1), PO (2)dan Madura (3) Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Kondisi topografi kampung Sakabu Kondisi topografi kampung Kalobo Kondisi topografi kampung Waijan Kondisi lahan sagu dan sawah di lokasi penelitian Perbandingan bobot badan sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat dengan sapi Bali di beberapa wilayah di Pulau Bali Dendogram hasil analisis klaster lokasi penelitian UPTD Peternakan Sapi Potong di kampung Kalobo Model pengembangan inti-plasma sapi potong yang terintegrasi Dengan pertanian dan perkebunan Pola pengembangan usaha sapi potong rakyat dengan sistem perguliran ternak 68

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta lokasi penelitian Aspek agroklimat wilayah penelitian 80 3 Kondisi topografi, tanah dan hidrologi wilayah penelitian 80 4 Hasil analisis cluster kawasan sapi potong Hasil penilaian kawasan sapi potong di lokasi penelitian Analisis kelayakan usaha sapi potong rakyat Matriks tahapan pengembangan kawasan sapi potong di lokasi penelitian

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah memberikan kewenangan bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan perencanaan pembangunannya secara mandiri agar mampu memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara optimal demi kesejahteraan masyarakatnya. Khusus untuk Provinsi Papua selain aturan diatas, terdapat juga kebijakan khusus yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sehingga memiliki kewenangan yang khusus dalam pengelolaan pembangunan dan keuangan daerah. Kabupaten Raja Ampat adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong pada tanggal 9 Mei 2003, merupakan daerah kepulauan yang terdiri atas 640 pulau besar dan kecil, dengan jumlah penduduk kurang lebih jiwa (Dispendcapil Raja Ampat 2009). Upaya membangun dan mengembangkan kabupaten yang memiliki potensi sumber daya alam yang belum termanfaatkan secara optimal memerlukan suatu perencanaan pengelolaan yang tepat dan bijak demi kemakmuran masyarakat umumnya dan khususnya di Raja Ampat. Salah satu sektor yang berpotensi dan sangat sesuai untuk dikembangkan di Kabupaten Raja Ampat adalah pertanian termasuk subsektor peternakan. Komoditas peternakan yang dapat dikembangkan di daerah ini adalah sapi potong. Kondisi wilayah yang luas memungkinkan pembentukan/pengembangan suatu kawasan budidaya sapi potong guna peningkatan ketahanan pangan untuk mewakili kebutuhan masyarakat akan protein hewani, peningkatan pendapatan petani peternak dan pendapatan asli daerah (PAD). Faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan pembentukan suatu kawasan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat antara lain; (1) ketersedian lahan yang cukup luas termasuk sumber daya tenaga kerja yang sudah menekuni peternakan sebagai bagian dari kegiatan usaha tani, (2) kegiatan budidaya sapi potong memiliki prospek bisnis tinggi, (3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas permintaan relatif tinggi terhadap perubahan pendapatan masyarakat dan (4) usaha berternak sapi mampu menciptakan

17 2 kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan, mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, dan kegiatan jasa terkait seperti transportasi, perbankan, agrotourism dan kegiatan jasa lainnya. Sapi Bali umumnya dipelihara secara ekstensif oleh penduduk transmigran yang berasal dari Jawa dan bersifat sampingan dari kegiatan usaha tani sawah sebagai usaha utama. Kondisi ini didukung oleh wilayah daratan yang masih luas jika dilihat berdasarkan tingkat kepadatan penduduk di kabupaten Raja Ampat yaitu 7 jiwa/km 2 (Dispendcapil Raja Ampat, 2009) dan sumber hijauan makanan ternak serta konsentrat yang belum termanfaatkan. Sistem budidaya sapi potong pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala antara lain; (a) kesulitan untuk memperoleh bibit, (b) masih tingginya angka pemotongan ternak betina produktif, (c) rendahnya angka kelahiran dan tingginya angka kematian ternak, (d) rendahnya tingkat keberhasilan teknologi Inseminasi Buatan (IB), (e) belum diterapkan teknologi pakan aplikatif, (f) tingginya harga obat hewan, (g) kesulitan untuk akses ke sumber modal, (h) rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak dan (i) masih kurangnya upaya pemanfaatan limbah pertanian dan ternak sebagai sumber pakan, sumber energi dan pupuk organik (Santosa 2001). Kebutuhan asal ternak berupa daging, susu dan telur saat ini untuk penduduk Kabupaten Raja Ampat masih disuplai dari Kabupaten Sorong, karena terbatasnya ketersediaan dari dalam. Populasi sapi potong (umumnya sapi Bali) di Kabupaten Raja Ampat sampai tahun 2007 berjumlah 1021 ekor dengan jumlah terbanyak (948 ekor) berada di Distrik Salawati Utara. Disparitas antara suplai dan permintaan/kebutuhan menunjukkan bahwa upaya pengembangan sapi potong perlu dilakukan. Hal ini didukung oleh adanya peluang pemasaran daging sapi yang relatif besar untuk perusahaan-perusahaan pertambangan disekitar wilayah Kabupaten Raja Ampat yang siap menerima pasokan daging sapi (Distannakbun Raja Ampat 2008). Kebutuhan daging sapi untuk PT Freeport Indonesia sebesar 216 ton per bulan, sebagian besar (70%) berasal dari Australia (Freepot Indonesia 2008), untuk Petrocina Oil sebesar 86 ton per bulan yang semuanya dipasok dari luar Provinsi Papua (Disnak Sorong 2007).

18 3 Potensi wilayah yang mendukung dan ketersediaan bahan baku pakan serta sumber daya manusia memungkinkan pengembangan sapi potong berbasis sumber daya lokal di wilayah tersebut. Untuk mengetahui kapasitas wilayah diperlukan adanya kajian mengenai kawasan sapi potong berbasis kerakyatan yang tepat di Kabupaten Raja Ampat sehingga dapat menjadi acuan dalam arah pengembangan sapi potong selanjutnya guna peningkatan kesejahteraan masyarakat Raja Ampat dan pendapatan asli daerah. Tujuan Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi dan menganalisa potensi usaha sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. 2. Mengkaji pola manajemen dan karakteristik produksi peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. 3. Merumuskan model kawasan sapi potong berbasis sumber daya ternak di Kabupaten Raja Ampat Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi ilmiah bagi institusi terkait dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.

19 KERANGKA PEMIKIRAN Kabupaten Raja Ampat adalah daerah pemekaran baru, berada di bagian paling barat pulau Papua (Irian Jaya) memiliki luas kurang lebih 4,6 juta hektar, merupakan jantung segitiga karang dunia (Coral Triangle) dan pusat keanekaragaman hayati laut tropis dunia. Sebagai daerah baru, pemerintah berusaha untuk membangun berbagai sektor dengan memanfaatkan potensi alam yang ada seoptimal mungkin. Salah satunya adalah sub sektor peternakan dengan komoditas sapi potong, yang merupakan salah satu komoditi unggulan untuk dikembangkan di Kabupaten Raja Ampat. Selain sebagai penghasil daging, sapi juga berfungsi menciptakan lapangan kerja, sumber tenaga kerja, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), kotoran sebagai pupuk dan gas, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian fungsi lingkungan (Deptan 2002a). Selama kurun waktu empat tahun ( ) populasi sapi potong Indonesia mengalami peningkatan yang tidak berarti dari ekor pada tahun 2004 menjadi ekor pada tahun Hal serupa terjadi di Provinsi Papua Barat, populasi sapi potong mengalami peningkatan dari ekor pada tahun 2005 menjadi ekor pada tahun 2008 (BPS 2008). Populasi sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat berjumlah 923 ekor (Distannakbun Raja Ampat 2008). Kondisi wilayah dengan km², terdiri dari 640 pulau (Bappeda Raja Ampat 2007), memungkinkan untuk menampung jumlah sapi potong yang lebih banyak. Rendahnya jumlah sapi potong di daerah ini karena tidak adanya pembinaan dan program pengembangan sebelum menjadi kabupaten baru. Keadaan ini didukung oleh tidak berjalannya program redistribusi ternak pemerintah, disamping penduduknya yang mayoritas bekerja sebagai nelayan dan sebagian besar belum mengenal cara beternak sapi. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat untuk menjadikan sapi potong sebagai salah satu komoditas unggulan daerah dilakukan melalui program peningkatan populasi ternak sapi potong, pengadaan ternak, peningkatan sarana dan prasarana peternakan, pembangunan kebun hijauan makanan ternak, dan peningkatan kapasitas dan keterampilan petani peternak maupun tenaga teknis peternakan. Peluang pengembangan komoditas sapi potong ini secara tidak

20 5 langsung didukung oleh perkembangan pariwisata daerah, pembukaan perusahaan pertambangan nikel dan perusahan budidaya mutiara akan meningkatkan permintaan pasar lokal akan daging sapi. Selain itu, yang juga menjadi potensi pemasaran daging sapi adalah perusahaan pertambangan besar seperti Freeport di Timika, Petrocina Oil di Sorong dan Britis Petroleum di Bintuni, yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Raja Ampat. Melihat potensi yang sangat besar untuk pengembangan sapi potong, maka diperlukan pengadaan satu kawasan pengembangan sapi potong. Pemeliharaan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat saat ini masih didominasi oleh peternak kecil sehingga berbagai kendala sering dihadapi oleh petani meliputi kesulitan memperoleh bibit yang baik, manajemen pemeliharaan yang kurang memadai, tingginya angka kematian ternak, rendahnya kepercayaan dari pihak pemberi modal, dan kurangnya pemahaman tentang masalah lingkungan. Sementara beberapa hal yang menunjang untuk diterapkannya konsep pembangunan yang berkelanjutan dalam pengembangan kawasan peternakan sapi potong ini antara lain tingginya potensi sumber daya alam, motivasi masyarakat, pasar dan dukungan pemerintah. Pengembangan kawasan sapi potong untuk pendayagunaan pembangunan sentra peternakan mengandung lima dimensi utama, yaitu wilayah, ternak sapi potong, petani peternak, teknis peternakan dan faktor eksternal (kebijakan pemerintah, sarana prasarana penunjang, permodalan dan pemasaran). Masingmasing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria tersendiri yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Hal ini merupakan komponen-komponen yang akan digunakan untuk menyusun strategi penyelesaian masalah dalam pengembangan kawasan sapi potong, untuk itu diperlukan adanya suatu kajian kawasan sebagai dasar penyusunan strategi pengembangan peternakan sapi potong berbasis sumber daya lokal yang secara teknis disusun dalam bentuk pola kawasan. Secara skematis kerangka pemikiran pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumber daya lokal disajikan pada Gambar 1.

21 6 Sapi Potong Komoditas Unggulan di Kabupaten Raja Ampat Peluang : - Dukungan kebijakan Pemda - Luas wilayah & ketersediaan pakan - Minat masyarakat untuk beternak - Pasar tersedia Kendala : - Ketersediaan bibit - Sistem pemeliharaan ekstensif - Keterampilan peternak rendah Perlu Kajian tentang : - Karakteristik wilayah - Karakteristik sapi potong - Karakteristik petani/peternak - Teknis peternakan - Faktor yang berpengaruh ANALISIS Perumusan Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong Pengembangan Model Kawasan Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Lokal Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumber daya lokal di Kabupaten Raja Ampat.

22 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia Peternakan sapi potong di Indonesia mulai mengalami perkembangan yang negatif pada saat krisis moneter, usaha sapi potong bayak yang gulung tikar termasuk peternakan rakyat. Kondisi ini disebabkan ketergantungan yang besar terhadap sapi bakalan dari luar dan ketidak tersediaan bibit unggul. Kegiatan usaha yang mampu bertahan selama krisis adalah peternakan sapi potong rakyat yang dipelihara secara subsistem. Ditinjau dari populasi sapi potong di Indonesia, jumlah populasi terbanyak adalah pada tahun 1997 sebesar ekor yang kemudian terus mengalami penurunan hingga tahun 2004 menjadi ekor. Sejak tahun 2005 peningkatan terus terjadi hingga dengan tahun 2008 populasi sapi potong sudah mencapai ekor (BPS 2008), kondisi ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun tidak terjadi perkembangan populasi yang berarti. Menurut BPS (2008), jumlah penduduk Indonesia tahun 2007 mencapai 223 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan populasi 1.01% per tahun dengan tingkat konsumsi daging sapi 0.52 kg/kapita/tahun, hal ini berarti bahwa penduduk Indonesia tiap tahun membutuhkan daging sapi lebih kurang ton yang setara dengan ekor sapi, dari jumlah kebutuhan daging ini lebih kurang ribu ekor diimpor dari Australia dan beberapa negara lain. Berdasarkan potensi yang ada, Indonesia selayaknya harus mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak dan bahkan dapat menjadi negara pengekspor ternak, hal ini sangat mungkin untuk dicapai karena ketersediaan sumber daya ternak dan peternak (Tabel 1), lahan dengan berbagai jenis tanaman dan produk industri pertanian (Tabel 2), biofuel, pangan dan keberadaan sumber daya manusia serta ketersediaan inovasi teknologi yang memadai. Apabila potensi penggunaan lahan dapat dimanfaatkan sebesar 50 % maka secara potensial dapat menampung 29 juta satuan ternak (Bamualim et al. 2008).

23 8 Tabel 1. Populasi ternak sapi, kerbau dan jumlah keluarga peternak di Indonesia tahun 2007 Jenis Ternak Sapi potong Sapi perah Kerbau Jumlah ternak (ekor) Jumlah Keluarga Peternak (KP) Rasio Ternak:KP (ekor/kp) Total Sumber: Ditjennak (2008) Tabel 2. Luas lahan dan penggunaannya di Indonesia Nomor Penggunaan Luas Lahan Potensi** ) ST/ha* ) Jumlah ST ditampung Persawahan Perumahan Pekarangan Shifting cultivation Padang ilalang Rawa Danau, sungai dll. Lahan kosong Hutan Perkebunan Total Sumber: BPS (2008); ** ) Puslitbangnak (2006). Keterangan:* ) ST (Satuan ternak). Populasi ternak sapi potong di Papua Barat dalam kurun waktu empat tahun dari tahun 2004 ( ekor) sampai dengan 2008 ( ekor), menunjukkan terjadi peningkatan sebesar 3.4% per tahun (BPS 2008). Kabupaten Raja Ampat hanya menyumbang 2.3% atau 923 ekor dari total populasi sapi potong di Provinsi Papua Barat (Distannakbun Raja Ampat 2007). Luas wilayah Kabupaten Raja Ampat ± km 2 dengan luas daratan ± km 2 dan 60% merupakan pulau-pulau kecil dan dataran rendah (Bappeda Raja Ampat 2007). Dataran rendah dan pulau-pulau kecil luasnya km 2 merupakan potensi bagi pengembangan sapi potong. Populasi ternak keseluruhan dipelihara secara ekstensif, jumlah kepemilikan berkisar 2-4 ekor per keluarga peternak dengan tenaga kerja berasal dari dalam keluarga dan bersifat usaha sampingan

24 9 dari usaha utama sebagai petani atau nelayan (Distannakbun Raja Ampat 2007). Konsekuensi dari sistem ini mengakibatkan rendahnya produktivitas ternak dan perkembangan peternakan sapi potong menjadi terhambat, oleh karena itu di perlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan sumber daya ternak, peternak, lahan dan produksi pakan (Wirdahayati dan Bamualim 2007). Konsumsi produk hasil ternak berupa daging, telur dan susu untuk Kabupaten Raja Ampat tahun 2006 sebesar 4.3 kg/kapita/tahun, sementara target produksi daging nasional yang mengacu pada kesepakatan Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2005 per orang adalah 10 kg/kapita/pertahun. Hal ini menunjukkan kebutuhan gizi asal hewani masyarakat Kabupaten Raja Ampat belum terpenuhi, sehingga perlu upaya untuk mencukupinya melalui ketersediaan protein yang berasal dari ternak sapi potong (Bappeda Raja Ampat 2007). Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat (peternak skala kecil) dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main, memfasilitasi dan mengawasi aliran dan ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, agar terpenuhi halal, aman, bergizi dan sehat. Swasta dan petani peternak berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008). Karakteristik Produksi dan Reproduksi Sapi Potong Sapi potong di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa spesies berdasarkan habitat wilayahnya antara lain adalah sapi Bali, Peranakan Ongol (PO), Sumba Ongol, Madura, Aceh dan Brahman (Deptan 2006). Jenis sapi yang dipelihara di kabupaten Raja Ampat adalah sapi Bali yang di introduksi pertama kali pada tahun 1978 oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya (Papua) sebanyak 70 ekor (Distannakbun Raja Ampat 2007). Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong adalah dengan menggunakan bibit sapi potong yang berkualitas, karena hal ini merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006). Bibit sapi potong yang bagus

25 10 menurut Wiyono dan Aryogi (2007) harus memiliki beberapa kriteria umum sebagai berikut : a. Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya, sapi PO berwarna putih, sapi Madura berwarna coklat, dan sapi Bali betina berwarna merah bata serta jantan dewasa berwarna hitam (Gambar 2). Gambar 2. Warna tubuh yang normal pada sapi Bali betina (1), Bali jantan (2), PO (3) dan Madura (4). b. Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak, dengan tingkat pertambahan dan pencapaian berat badan ternak yang tinggi pada umur tertentu tinggi (Gambar 3). c. Ukuran tinggi punuk/gumba minimal pada calon bibit sapi potong (indukan dan pejantan), mengacu pada standar bibit populasi setempat, regional atau nasional. d. Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat diwariskan, baik yang dominan (terjadi pada sapi yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi pada sapi yang bersangkutan, tetapi terjadi pada sapi tetua dan atau di sapi keturunannya). e. Untuk pejantan, testis sapi umur diatas 18 bulan harus simetris (bentuk dan ukuran yang sama antara skrotum kanan dan kiri), menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran terpanjangnya melebihi 32 cm (32 37 cm).

26 11 f. Kondisi sapi sehat yang diperlihatkan dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat disebarkan melalui aktivitas reproduksi. Gambar 3. Keserasian bentuk tubuh sapi Bali (1), PO (2) dan Madura (3). Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60% (Maryono dan Romjali 2007). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai (Andini et al. 2007). Disamping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan ini dapat mencapai 60-80% dari keseluruhan biaya produksi (Umiyasih et al. 2007). Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70%, dan pakan yang baik adalah murah, mudah didapat, tidak beracun, disukai ternak, mudah diberikan dan tidak berdampak negatif terhadap produksi dan kesehatan ternak serta lingkungan (Maryono dan Romjali 2007).

27 12 Perkandangan merupakan salah satu faktor produksi yang belum mendapat perhatian dalam usaha peternakan sapi potong khususnya peternakan rakyat. Konstruksi kandang yang belum sesuai dengan persyaratan teknis akan mengganggu produktivitas ternak, kurang efisien dalam penggunaan tenaga kerja dan berdampak terhadap lingkungan sekitarnya (Alim et al. 2004). Beberapa persyaratan yang diperlukan dalam mendirikan kandang antara lain (1) memenuhi persyaratan kesehatan ternaknya, (2) mempunyai ventilasi yang baik, (3) efisien dalam pengelolaan (4) melindungi ternak dari pengaruh iklim dan keamanan dan, (5) tidak berdampak terhadap lingkungan sekitarnya. Konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama, penataan dan perlengkapan kandang hendaknya dapat memberikan kenyamanan kerja bagi petugas dalam proses produksi seperti memberi pakan, pembersihan, pemeriksaan birahi dan penanganan kesehatan. Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroekosistemnya, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak (Rasyid dan Hartati 2007). Produktivitas ternak sapi dapat dinilai melalui dua indikator, pertama adalah performans produksi diantaranya penampilan bobot hidup dan pertambahan bobot badan; kedua adalah performan reproduksi diantaranya produksi anak (calf crop) dalam satu tahun. Calf crop adalah angka yang menggambarkan jumlah anak lepas sapih yang diproduksi dalam satu tahun terhadap jumlah induk dalam persen. Calf crop dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran, persentase induk yang melahirkan dalam total populasi induk, persentase kematian (mortalitas) pada saat anak belum disapih, dan jarak beranak (Arrington dan Kelley 1976). Jarak kelahiran dipengaruhi oleh lama kebuntingan dan jarak antara melahirkan dan pengawinan berikutnya (service period) yang dipengaruhi oleh keterampilan peternak dalam mengawinkan ternak yang ditunjukkan oleh besarnya angka service per conception dan waktu menyusui (Fraser 1979). Kemampuan reproduksi seekor ternak akan berpengaruh terhadap penampilan produksi dari ternak tersebut, terutama pada jumlah anak yang dilahirkan. Terdapat empat hal yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi potong, yaitu : 1) lama bunting yang panjang, 2) panjangnya interval

28 13 dari melahirkan sampai estrus pertama, 3) tingkat konsepsi yang rendah dan 4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak sebagian besar (95%) dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Adanya perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak di suatu wilayah dipengaruhi oleh keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi (Toelihere 1983). Kendala dan peluang pemeliharaan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian sistem produksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi teknis ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak menimbulkan konflik sosial. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri. Disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal di antaranya adalah infrastruktur, keterpaduan dan terkoordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan perkembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah (Santosa 2001). Hambatan-hambatan dalam usaha meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang kompleks dan bersifat biologis, ekologis serta sosioekonomis. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama usaha peternakan yang bersifat tradisional. Pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana dan produk berkualitas rendah (Riady 2004). Budidaya Sapi Potong Budidaya sapi potong merupakan suatu kegiatan pemeliharaan sapi potong secara terkontrol untuk tujuan produksi. Berdasarkan tujuan produksi, usaha budidaya sapi potong terutama terdiri dari usaha pembibitan dan usaha

29 14 penggemukan sapi. Pada suatu kawasan agribisnis sapi potong terdapat juga kombinasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi. Pembibitan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi bibit baik secara intensif melalui manajemen yang terkontrol maupun ekstensif dilepas di padang penggembalaan dengan tujuan untuk menghasilkan sapi bibit pengganti (replacement stock) dan sapi bakalan. Induk sapi dan anak dalam sistem ini dipelihara bersama hingga mencapai masa penyapihan. Output yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah anak sapi sapihan jantan dan betina. Berbeda dengan penggemukan sapi, tujuan pemeliharanya untuk menghasilkan sapi potongan yang sesuai dengan spesifikasi pasar. Oleh karena itu, output yang dihasilkan adalah sapi finish (Priyanto 2002). Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong rakyat (Yusdja et al. 2004). Pola Pertama, pengembangan sapi potong yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan usaha pertanian terutama sawah dan ladang, artinya di setiap wilayah persawahan atau perladangan yang luas maka disana ditemukan banyak ternak sapi. Pola ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Peternak memelihara sapi dengan tujuan sebagai sumber tenaga kerja terutama untuk mengolah tanah dan penarik barang. Oleh karena itu, pertumbuhan sektor pertanian akan meningkatkan jumlah populasi sapi, selain itu usaha pertanian berhubungan erat dengan perkembangan penduduk. Penduduk akan semakin padat diwilayah tanah pertanian yang subur. Keadaan ini menciptakan struktur usaha peternakan berskala kecil. Pola Kedua, adalah pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ini terjadi di wilavah tidak subur, sulit air, temperatur tinggi, dan sangat jarang penduduk seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian Sulawesi. Pada umumnya, pada wilayah semacam ini, terdapat padang-padang yang luas yang tidak dapat diandalkan sebagai lahan pertanian. Tujuan pemeliharaan sapi potong di wilayah ini, yang semula dimaksudkan sebagai sumber daging, ternyata juga berkembang sebagai status sosial. Usaha sapi tetap bertahan sebagai usaha rakyat, namun pemerintah mengubah pandangan tersebut bahwa usaha ternak sapi merupakan lapangan kerja dan sumber pendapatan.

30 15 Ciri-ciri peternakan rakyat yakni skala usaha relatif kecil, merupakan usaha rumah tangga, merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana dan bersifat padat karya serta berbasis organisasi kekeluargaan (Yusdja et al. 2004). Usaha peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka terhadap perubahan. Alternatif pengembangannya adalah dengan melakukan reformasi modal, penciptaan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi. Pola Ketiga, Pengembangan usaha penggemukan sapi potong yang benarbenar padat modal, dalam usaha skala besar hanya terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi potong. Perusahaan penggemukan ini dikenal dengan istilah feedlotters menggunakan sapi bakalan impor untuk usaha penggemukan. Kawasan Agribisnis Sapi Potong Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun secara bersama membentuk suatu klaster yang dapat berupa klaster pertanian dan klaster industri, tergantung dari kegiatan ekonomi yang dominan dalam kawasan itu (Bappenas 2004). Kawasan peternakan merupakan suatu kawasan yang secara khusus diperuntukan untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung, suaka alam), sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah kawasan peternakan yang berorientasi ekonomi dan memiliki sistem agribisnis berkelanjutan yang berakses ke industri hulu maupun hilir (Deptan 2002b). Paradigma pembangunan peternakan yang mampu memberikan peningkatan pendapatan peternak sapi potong rakyat yang relatif tinggi dan menciptakan daya saing global produk peternakan adalah paradigma pembangunan agribisnis berbasis peternakan, subsistem agribisnis peternakan mencakup empat subsistem, yaitu: (1) subsistem agribisnis hulu peternakan, kegiatan ekonomi yang menghasilkan sapronak, (2) subsistem agribisnis budidaya peternakan, kegiatan yang menggunakan sapronak untuk menghasilkan komoditi peternakan primer,

31 16 (3) subsistem agribisnis hilir peternakan, kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas peternakan primer menjadi produk olahan, dan (4) subsistem agribisnis jasa penunjang, kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa yang dibutuhkan ketiga sistem yang lain seperti transportasi, penyuluhan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan pemerintah (Saragih 2000), Menurut Bappenas (2004) Dipandang dari segi potensi agrosistem dan tingkat kemandirian kelompok, kawasan peternakan bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiga macam kawasan itu adalah merupakan tahapan pengusahaan pengembangan kawasan peternakan rakyat. Tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kawasan Peternakan Baru. Kawasan ini dikembangkan dari daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak, tapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Petani telah memiliki usaha tani lain terlebih dahulu, atau belum memiliki usaha apapun di sektor agribisnis. Demikian pula kelompok petaninya juga belum terbentuk, kalaupun sudah ada tapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Lahan cukup luas dan bahan pakan cukup potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber makanan ternak. Peran pemerintah diperlukan dalam bentuk pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Peternakan Binaan. Kawasan ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari Kawasan baru, setelah memenuhi berbegai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Daerah atau wilayah telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok tani dari kelompok pemula menjadi kelompok madya, dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama antar kelompok tani sudah mulai dirintis, dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Demikian pula unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit-unit pemasaran, sudah mulai dibangun. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan sudah mulai berkurang.

32 17 3. Kawasan Peternakan Mandiri. Kawasan ini merupakan pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan, yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang lebih luas. Kelompok tani telah meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut, dan telah bekerjasama dengan beberapa kelompok lain dalam wadah KUBA. Bahkan telah dikembangkan beberapa KUBA yang satu sama lainnya saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap Kelompok, setiap KUBA, dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi, dan unit-unit pemasaran telah berkembang sangat efisien, sedemikian hingga ada kemandirian para petani ternak, kelompok petani, KUBA, dan kawasan. Pada tahap ini, peran pemerintah tinggal hanya pengaturan dan pengawasan. Komponen-komponen pembentuk kawasan peternakan sapi potong yang menjadi indikator penentuan suatu bentuk kawasan meliputi lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan petugas pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Priyanto 2002). Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck and Jauch 1994). Esensi strategi merupakan keterpaduan dinamis faktor eksternal dan faktor internal yang berisikan strategi itu sendiri. Strategi merupakan respon yang secara terus-menerus atau adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal (Rangkuti 2006). Manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan sehingga mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi. Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal serta memilih strategi

33 18 tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi dengan mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan mengambil tindakan korektif (David 2001). Menurut Wahyudi (1996) tahap perumusan atau pembuatan strategi merupakan tahap yang paling menantang dan menarik dalam proses manajemen strategi. Inti pokok dari tahapan ini adalah menghubungkan suatu organisasi dengan lingkungannya dan menciptakan strategi-strategi yang cocok untuk dilaksanakan. Proses pembuatan strategi terdiri atas empat elemen sebagai berikut ; (1) identifikasi masalah-masalah strategik yang dihadapi meliputi lingkungan eksternal dan internal; (2) pengembangan alternatif-alternatif strategi yang ada dengan mempertimbangkan strategi yang lain; (3) evaluasi tiap alternatif strategi; dan (4) penentuan atau pemilihan strategi terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia. Sejak dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 1992 tentang tata ruang, semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus disesuaikan dengan rencana penataan ruang sebagai suatu strategi nasional dalam memanfaatkan, menggunakan kekayaan sumberdaya alam, mendorong pembangunan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nasional dan berkelanjutan (Ditjennak 2005). Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan penggunaan sumberdaya tersedia, dan dapat meningkatkan nilai tambah bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut. Bamualim (2007) menganjurkan agar dalam pengembangan ternak di suatu daerah, perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia yang mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Potensi lahan ditentukan oleh tersedianya tanah pertanian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian yang ada.

34 19 Gunardi (1998) menyatakan bahwa usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang mencakup dalam "Sapta Usaha Peternakan", serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi-instansi terkait, dan (3) pendekatan agribisnis dengan tujuan : mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran. Menurut Preston dan Leng (1987), tujuan dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem usaha tani lain adalah (1) mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan dengan menggunakan input yang tersedia, dan (2) memadukan antara beberapa jenis tanaman, ternak, limbah peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan. Kabupaten Raja Ampat melalui Dinas Pertanian dan Peternakan sebagai instansi teknis telah melakukan beberapa terobosan yang merupakan strategi untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong khususnya sapi Bali. Terobosan tersebut berupa pelaksanaan program perbibitan dengan penyebaran ternak sapi Bali kepada petani di beberapa Distrik dan pembangunan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Peternakan Sapi Bali di kampung Kalobo distrik salawati Utara dengan menggunakan pola Village Breeding Center (VBC) dan kemitraan dengan para petani peternak.

35 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari Agustus Mei 2009 dengan rincian jadwal sebagai berikut; (1) persiapan (Agustus- September 2008), (2) pengumpulan data (Oktober - Desember 2008), dan (3) analisis data dan penulisan (Januari - Mei 2009). Lokasi penelitian adalah Kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan di Distrik Salawati Utara Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Beberapa pertimbangan pemilihan lokasi ini adalah (1) 95% lebih populasi sapi potong (sapi Bali) berada di lokasi ini, dan (2) berdasarkan RTRW Kabupaten Raja Ampat, lokasi ini diproyeksikan sebagai kawasan agropolitan dengan sentra pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat (Bappeda Raja Ampat 2007). Metode Pengumpulan Data dan Responden Penelitian ini menggunakan metode survei dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan melakukan wawancara dengan 218 orang responden atau yang memiliki sapi potong di lokasi penelitan (Distannakbun 2008). Kegiatan wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan (questioneraire) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Pengamatan langsung dilakukan dengan cara pengukuran sampel sapi dan melihat secara visual untuk menentukan kondisi dan pola pemeliharaan di lokasi penelitian dan padang penggembalaan. Data yang dikumpulkan mencakup data sekunder dan primer. Data sekunder selama lima tahun terakhir diperoleh dari Bappeda Kabupaten Raja Ampat, Dinas Pertaniaan Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Raja Ampat, BMG Kabupaten Sorong, dan BPS Kabupaten Sorong. Data sekunder tersebut meliputi (1) karakteristik wilayah yang terdiri dari iklim dan topografi, (2) sistem penggunaan lahan, (3) karakteristik kelembagaan yang ada dan (4) kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan peternakan. Data primer adalah hasil pengamatan dan pengukuran serta wawancara dengan responden, yakni (1) karakteristik produksi ternak sapi potong, (2) karakteristik peternak, dan (3) pola manajemen produksi sapi potong.

36 21 Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi: 1. Karakteristik wilayah; meliputi luas lahan, sistem penggunaan lahan, iklim, jenis tanah dan topografi, dan daya dukung lahan (kapasitas tampung). 2. Karakteristik produksi ternak; meliputi populasi, tingkat kelahiran, tingkat kematian, jumlah pengeluaran dan pemasukan ternak, jumlah pemotongan, dan estimasi bobot badan melalui pengukuran beberapa ukuran tubuh. 3. Karakteristik peternak meliputi umur, tingkat pendidikan, tujuan beternak, lama beternak dan jumlah kepemilikan ternak serta pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam kegiatan pengembangan sapi potong dengan menggunakan sistem skoring (kategori nilai skor ; rendah < 25, cukup 26-33, tinggi 34 41, dan sangat tinggi 42-50). 4. Pola manajemen produksi sapi potong; meliputi reproduksi, pemeliharaan dan perkandangan, pakan, penyakit dan kesehatan ternak, pendampingan, sarana dan prasarana, pasca panen dan pemasaran hasil. 5. Karakteristik kelembagaan dan kebijakan pemerintah; meliputi kelembagaan peternak dan permodalan, program-program pemerintah daerah yang menunjang pegembangan peternakan sapi potong. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, dan disajikan dalam bentuk Tabel, Gambar dan Grafik. Kapasitas tampung ternak ruminansia dalam suatu wilayah menunjukkan populasi maksimum ternak sapi potong yang dapat ada di wilayah tersebut berdasarkan ketersediaan pakan hijauan. Untuk mengetahui kapasitas pengembangan ternak sapi potong, data yang diperoleh dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan penghitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) mengacu pada Direktorat Jenderal Peternakan (1994), sebagai berikut:

37 22 1) PMSL = a LG + b PR + c LH Keterangan : PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumber daya lahan (ST). a = Daya tampung ternak ruminansia di lahan garapan (ST), a = 0,077 ST/ha lahan pekarangan ; a = 0,082 ST/ ha lahan perkebunan ; a = 1,52 ST / ha lahan sawah. LG = Luas lahan garapan (ha) b = Daya tampung ternak ruminansia di lahan padang rumput (ST). b = 0,5 ST/ha rumput alam ; b = 1 ST/ha alang-alang PR = Luas padang rumput/tegalan (ha) c = Daya tampung ternak ruminansia di lahan hutan dan rawa (ST), c = 2,86 ST/ ha lahan. LH = Luas lahan hutan dan rawa (ha) 2) KPPTR (SL) = PMSL POPRIL Keterangan : KPPTR = Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan sumber daya lahan (ST) POPRIL = Populasi riil ternak ruminansia 3) PMKK = a x KK Keterangan ; PMKK = Potensi maksimum usaha ternak (ST) berdasarkan kepala keluarga KK = Kepala Keluarga a = Kemampuan rumah tangga untuk usaha ternak rumnansia tanpa tenaga kerja dari luar rumah tangga a = 3 ST/KK. Produktivitas sapi potong dievaluasi dan diukur berdasarkan estimasi bobot badan sapi Bali yang diamati untuk menggambarkan kondisi produktivitas ternak yang dipelihara. Data bobot badan diperoleh melalui pendugaan menggunakan karakter lingkar dada yang didapat dengan cara pengukuran. Pendugaan bobot badan dengan rumus yang diperoleh dari hasil penelitian Rajab (2009) diperlihatkan pada Tabel 3.

38 23 Tabel 3. Rumus pendugaan bobot badan sapi berdasarkan ukuran tubuh Jenis Kelamin Gigi Persamaan Regresi Jantan I ,86LD + 0,14PB + 3,7LCan + 0,69LbPG I1 527,5 + 2,5PB + 0,87LD + 2,57TP + 3,9LCan I2 511,3 + 2,76LD + 2,48LbPG + 1,48PB + 4,2LCan Betina I ,17LD + 0,47PB + 0,73TPG + 0,85LbD I1 332,2 + 2,23LD + 1,53PB + 3,1LCan I2 385,4 + 2,51LD + 1,16TPG + 0,90PB Ket : LD = Lingkar dada TP = Tinggi pundak LbPG = Lebar pinggul TPG = Tinggi pinggul PB = Panjang badan LbD = Lebar dada Lcan = Lingkar pergelangan kaki (canon) Secara umum metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali dapat dijelaskan pada Gambar 4 (Otsuka et al. 1981). 6 5 Keterangan : 1. Lingkar dada (cm) 2. Tinggi pundak (cm) 3. Tinggi pinggul (cm) 4. Panjang badan (cm) Gambar 4. Metode pengukuran bagian tubuh sapi 5. Lebar pinggul (cm) 6. Lebar dada (cm) 7. Lingkar pergelangan kaki (cm) 1) Lingkar dada diukur pada bidang yang terbentuk mulai dari pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang belikat dengan menggunakan pita ukur (cm). 2) Tinggi pundak diukur dari titik tertinggi pundak tegak lurus sampai tanah dengan menggunakan tongkat ukur (cm). 3) Tinggi pinggul diukur dari bagian tertinggi pinggul tegak lurus sampai ke tanah, menggunakan tongkat ukur (cm).

39 24 4) Panjang badan diukur dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) sampai penonjolan tulang duduk (tuber ischii) dengan menggunakan tongkat ukur (cm). 5) Lebar pinggul diukur jarak dari tuber coxae (penonjolan pinggul) yang kiri dengan tuber coxae yang kanan, menggunakan alat kaliper dalam (cm). 6) Lebar dada diukur jarak dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) yang kiri dengan penonjolan bahu yang kanan, menggunakan kaliper (cm). 7) Lingkar pergelangan kaki (canon): diukur pada bagian yang ramping dari tulang metacarpus atau metatarsus, menggunakan pita ukur (cm). Analisis motivasi dilakukan untuk membandingkan tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong (bibit, pakan dan penanganan ternak) di lokasi penelitian. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan peternak tentang pengembangan. Motivasi adalah keinginan dan kemauan peternak melakukan kegiatan pengembangan. Partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan pengembangan sapi potong baik yang dilakukan secara individu maupun dalam bentuk kelompok. Nilai pengetahuan, motivasi, dan partisipasi peternak ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Jawaban diberi nilai 1 sampai 5, sehingga total skor berkisar dari 10 sampai 50. Kategorinya dibagi atas (1) cukup ; untuk responden yang memiliki nilai skor 26-33, (2) tinggi ; nilai skor dan (3) sangat tinggi ; nilai skor Untuk membandingkan skor nilai partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dilakukan analisis statistik non parametrik dengan menggunakan metode uji Mann-Whitney (Musa dan Nasoetion 2007). Penentuan model kawasan sapi potong dengan menggunakan kriteria dan indikator komponen kawasan meliputi; (1) lahan; (2) kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) efektif dalam satuan ternak (ST); (3) ternak; (4) teknis budidaya ; (5) peternak; (6) tenaga pendamping; (7) fasilitas dan (8) kelembagaan. Masing masing indikator komponen dikuantifikasikan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil kali antara faktor pembobot dengan nilai yang diberikan pada indikator komponen. Total skor dari semua indikator setelah

40 25 dibandingkan dengan dengan skor standar kawasan akan digunakan untuk menentukan model kawasan sapi potong. Standar penilaian dilakukan dengan menggunakan pedoman penilaian untuk kawasan pembibitan dan kawasan penggemukan (Priyanto 2002). Faktor pembobot mempunyai nilai 100 poin yang dialokasikan pada komponen kawasan dan selanjutnya didistribusikan pada setiap indikator komponen. Nilai yang diberikan pada indikator komponen kawasan berkisar antara 0 10 poin sehingga skor tertinggi kawasan sebesar 1000 poin. Berdasarkan tingkat pengembangan kawasan sapi potong ditetapkan skor standar untuk kawasan baru < 500, kawasan binaan dan kawasan pengembangan > 700 poin. Selain itu nilai skoring tersebut dianalisis menggunakan Analisis Gerombol (Cluster Analisis) untuk memperoleh informasi tentang pengelompokan potensi wilayah sebagai basis sapi potong. Strategi pengembangan kawasan sapi potong diperoleh dari hasil olahan data baik kuantitatif maupun kualitatif kemudian dianalisis SWOT dengan menggunakan metode table IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary) untuk menentukan strategi (Rangkuti 2006). Analisis usaha dihitung berdasarkan faktor-faktor produksi untuk melihat skala usaha yang menguntungkan dalam pemeliharan sapi potong melalui analisis titik impas (Break Event Poin) dengan rumus mengacu pada Deanta (2006) sebagai berikut : BEP (unit) = Biaya tetap Harga jual/unit Biaya variabel/unit

41 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Penelitian Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Raja Ampat, Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan agropolitan yaitu sebagai wilayah pengembangan peternakan seperti sapi potong dan kawasan pengembangan pertanian tanaman pangan khususnya padi dan perkebunan. Wilayah Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan pengembangan peternakan khususnya sapi potong mencakup tiga kampung yaitu kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan (Bappeda Raja Ampat 2006) yang menjadi lokasi target penelitian ini. Ketiga kampung ini terletak di sebelah selatan Pulau Salawati dan saling berbatasan satu dengan lainnya, dimana kampung Kalobo dan Waijan berada pada daerah lembah dataran rendah dengan ketinggian tempat kurang dari 100 m diatas permukaan laut (dpl) dan sebagian besar dihuni oleh penduduk transmigran asal Jawa, sedangkan kampung Sakabu berada di pesisir pantai dan umumnya dihuni oleh masyarakat pribumi (asli Papua). Jarak antara kampung Sakabu dengan Kalobo sebesar ±5 km, antara kampung Kalobo dan Waijan berjarak ±12 km. Secara umum, kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Secara geografis lokasi penelitian memiliki iklim tropis yang lembab dan panas, curah hujan relatif tinggi (± mm/bulan) dan merata sepanjang tahun. Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan hijauan dan leguminosa sehingga dapat menjamin ketersediaan dan kontinuitasnya sebagai sumber pakan ternak sapi potong sepanjang tahun. Rata-rata temperatur udara 27.4 o C dengan kisaran temperatur terendah sebesar 23.9 o C, tertinggi 33.1 o C. Kelembaban berkisar antara 79% 87% dengan rata-rata radiasi penyinaran matahari sebesar 60% tiap tahun. Menurut Hidayati et al. (2001) saat terbaik bagi pertumbuhan dan produksi padang rumput dan leguminosa berada pada kondisi iklim dengan temperatur 27 o C, kelembaban antara % dan radiasi matahari 60 80%. Keadaan ini sesuai dengan kondisi optimal untuk sapi potong daerah tropis guna mendukung aktifitas reproduksinya (Talib et al. 1999). Disamping itu, kondisi iklim ini sangat memungkinkan bagi pengembangan sapi lokal Indonesia (sapi Bali) karena sapi

42 27 lokal pada umumnya mempunyai kemampuan beradaptasi baik pada lingkungan iklim tropis dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Tabel 4. Kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian No. Uraian (Peubah Diamati) 1 Iklim a. Curah hujan (mm/thn) b. Temperatur rata-rata ( o C) c. Kelembaban (%) d. Tekanan udara (mbs) e. Penyinaran matahari (%) 2 Jenis tanah dan topografi a. Ketinggian tempat (dpl) b. Kemiringan lahan (%) c. Jenis tanah d. Tekstur tanah e. Tingkat kesuburan f. Kedalaman efektif (cm) g. Kondisi air tanah Lokasi Penelitian Sakabu Kalobo Waijan Podsolik+Aluvial Sedang Subur, sedang Agak rendah Sumber: Bappeda Kabupaten Raja Ampat (2006) <8 Podsolik Sedang Sedang Agak rendah, sedang Podsolik Sedang Sedang Agak rendah, sedang Topografi kampung Sakabu adalah dataran disertai areal perbukitan, dengan ketinggian antara 0 sampai 25 m dpl serta kemiringan lahan antara 0-40% (Gambar 5). Diperkirakan kondisi lahan yang datar sebesar 45% sedangkan sisanya (65%) merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian tidak lebih dari 25 m dpl. Jenis tanah adalah podsolik berwarna merah kuning dan aluvial coklat dengan tekstur tanah sedang, menunjukkan tingkat kesuburannya yang sedang sampai subur. Air tersedia secara cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air minum ternak, memandikan/membersihkan ternak, pertumbuhan hijauan pakan ternak, dan kebutuhan lainnya. Kurang lebih 90% dari lahan di kampung Kalobo memiliki topografi yang datar dan sisanya (10%) merupakan daerah sedikit berbukit dengan ketinggian mencapai 25 m dpl (Gambar 6). Jenis tanah podsolik berwarna merah kuning dengan tekstur tanah sedang, sehingga tingkat kesuburan tanah sedang. Kondisi air tanah rendah hingga sedang menunjukkan tidak semua lokasi di Kampung

43 28 Kalobo mudah memperoleh sumber air tanah, beberapa lokasi kondisi airnya diduga agak kurang baik begitu pula dengan kampung Waijan. Gambar 5. Kondisi topografi kampung Sakabu Gambar 6. Kondisi topografi kampung Kalobo Kampung Waijan memiliki topografi yang datar dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 25 sampai 50 m dpl serta kemiringan lahan antara 0-40%

44 29 (Gambar 7). Jenis tanah podsolik berwarna merah kuning dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Menurut Harjowigeno dan Widiatmaka (2006), kondisi media perakaran yang sesuai untuk padang penggembalaan yaitu tekstur tanah sedang (lempung liat berpasir), kedalaman efektif >30 cm, dan drainase tanah agak terhambat sampai sedang. Secara umum kondisi lokasi penelitian yang didominasi oleh wilayah yang datar akan sangat cocok bagi pengembangan sapi potong, apalagi dengan didukung oleh ± 50 60% daerah dataran yang berupa padang rumput sebagai sumber pakan sapi potong. Gambar 7. Kondisi topografi kampung Waijan Potensi Wilayah dan Daya Dukung Lahan Hasil survei menunjukkan bahwa luas lahan kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan masing-masing sebesar 2.887, 5.579, dan ha (Tabel 5). Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk ternak ruminansia antara lain: lahan sawah, padang pengembalaan/padang rumput, lahan perkebunan, hutan dan lahan pekarangan. Luas lahan tersebut dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif masih rendah ( 10 jiwa/km 2 ) memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak dengan tanaman perkebunan dan perikanan di kampung Sakabu, atau pola integrasi ternak dengan tanaman pertanian atau tanaman padi di kampung Kalobo dan Waijan, yang mana pola integrasi ini merupakan suatu proses saling menunjang dan

45 30 saling menguntungkan. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak (Riady 2004). Tabel 5. Daya dukung lahan dan potensi kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan No Uraian (Peubah Diamati) Lokasi Penelitian Sakabu Kalobo Waijan 1 Luas Lahan (Ha) Jumlah Penduduk (KK) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Luas Lahan Pangan (Ha) Nisbah Lahan Pangan Terhadap Penduduk (jiwa/ha) Tata Guna Lahan : a. Luas hutan (ha) b. Luas padang rumput (ha) c. Luas sawah (ha) d. Luas perkebunan (ha) e. Luas pekarangan (ha) PMSL (ST) a Populasi saat ini (ST) KPPTR (ST) b PMKK (ST) c Pola dasar Pembangunan Lahan Pertanian. pemukiman Lahan Pertanian. pemukiman Lahan Pertanian. pemukiman 13 Pola Pertanian Perikanan tradisional persawahan. palawija persawahan. palawija 14 Sarana Irigasi Non-irigasi Irigasi teknis Irigasi teknis Sumber : Bappeda Raja Ampat (2007) Keterangan : a. PMSL = Potensi Maksimum berdasarkan Sumber Daya Lahan b. KPPTR = Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia c. PMKK = Potensi Maksimum Usaha Ternak berdasarkan Kepala Keluarga Sudah saatnya peruntukan pemanfaatan lahan harus dilakukan dengan menerapkan tingkat kesesuain lahan melalui pengkajian yang mendalam dan tidak terpola pada kepentingan sesaat. Optimalisasi pemanfaatan lahan tidak lagi secara monokultur tetapi dilakukan dengan sistem yang terintegrasi dengan komoditas lain, seperti perkebunan atau tanaman padi sebagai sumber pakan bagi ternak ruminansia. Menurut Rayes (2007), lahan merupakan lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi yang mempengaruhi potensi penggunaannya, termasuk didalamnya adalah akibatakibat kegiatan manusia.

46 31 Pada usaha sapi potong, lahan merupakan basis untuk usaha tersebut atau merupakan faktor produksi sebagai sumber pakan pokok. Lahan dapat berfungsi sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi. Kebutuhan lahan bagi pengembangan ternak ruminansia seperti sapi potong adalah penting terutama sebagai sumber pakan seperti rumput (graminae), leguminosa dan hijauan dari tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain sebagainya (Soekartawi et al. 1986). Berdasarkan luas lahan sawah di kampung Kalobo dan Waijan dengan rata rata produksi gabah kering giling 2.5 ton/ha/panen (Distannak Raja Ampat 2009) dapat menghasilkan limbah berupa dedak padi sebanyak 472 ton. jumlah ini dapat digunakan sebagai pakan konsentrat untuk ST. Disamping itu produksi jerami padi dapat mencapai ton/panen. yang menurut Sumanto et al. (2005) setiap hektar sawah mampu menghasilkan jerami padi 5-8 ton/ha/panen. Jerami padi ini dapat digunakan sebagai pakan alternative untuk ± ST sepanjang tahun. Lahan perkebunan terbagi atas kebun tanaman durian dan sagu, namun lebih di dominasi oleh tanaman sagu ± 1017 ha (70%), dari luasan ini. Produksi ampas sagu dengan kadar air 40% dapat mencapai ton. Rata-rata tanaman sagu di panen 73 batang/ha/tahun (Bintoro 2008). Menurut Saitoh et al. (2004) perbandingan pati dan ampas dari tanaman sagu adalah 1 : 5 dengan rata-rata produksi pati untuk tanaman sagu di wilayah Papua 600 kg/batang. Berdasarkan jumlah produksi ampas sagu tersebut, dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi untuk ST sepanjang tahun. Kondisi lahan sawah dan sagu dapat dilihat pada Gambar 8. Sistem penggunaan lahan di lokasi penelitian terbagi atas lahan usaha dan lahan pekarangan dengan status kepemilikan lahan berupa hak milik bagi masyarakat transmigran (kampung Kalobo dan Waijan) dan hak ulayat bagi penduduk asli (kampung Sakabu). Umumnya lahan usaha hanya sebagian dipergunakan untuk tanaman padi sawah dan selebihnya tidak digarap. Kondisi ini umumnya dimanfaatkan sebagai areal penggembalaan ternak karena HMT sebagai sumber pakan sapi potong selalu tersedia. Kebutuhan lahan untuk usaha ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi dua: 1) usaha peternakan yang berbasis lahan pertanian (land base agriculture); dan 2) usaha peternakan yang tidak berbasis lahan pertanian (non land base agriculture). Menurut Suratman et al. (1998), khusus untuk peternakan berbasis lahan pertanian dengan komponen pakannya sebagian

47 32 besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor lingkungan hidup dan pendukung pakan. Agar ternak dapat berproduksi dengan baik, perlu diperhatikan persyaratan penggunaan dari sifat-sifat pembatas lahan yang meliputi kelompok kualitas lahan yang diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak adalah: 1) tersedianya semua unsur yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman; 2) kesesuaian iklim yang mempengaruhi ternak; 3) ketersediaan air minum ternak; 4) nilai nutrisi rumput; 5) sifat racun dari rumput; 6) penyakit-penyakit hewan; 7) ketahanan terhadap kerusakan rumput; dan 8) ketahanan erosi akibat penggembalaan. Gambar 8. Kondisi Lahan sagu dan sawah di lokasi penelitian

48 33 Hasil analisis daya dukung lahan/wilayah berdasarkan atas potensi maksimum sumber daya lahan dan kemampuan menghasilkan hijauan pakan ternak secara alami. menunjukkan bahwa populasi sapi potong tahun 2008 dan daya tampung wilayah untuk ternak sapi potong masih cukup memadai sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis, jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan di kampung Sakabu. Kalobo dan Waijan memenuhi daya tampung masing-masing sebesar dan ST. Apabila pembangunan peternakan diarahkan pada pengembangan sapi potong dengan pola integrasi atau secara intensifikasi, daya tampung tersebut masih dapat ditingkatkan. Prioritas lokasi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat yang perlu dioptimalkan pengelolaannya adalah (1) lokasi perkebunan tanaman buah-buahan (durian) di kampung Sakabu. (2) lokasi pertanian tanaman padi yang tersebar di Kampung Kalobo dan Waijan, dan (3) perkampungan ternak sapi di ketiga kampung dengan lahan total mencapai ha dengan kemampuan peningkatan populasi sapi potong sebesar ST, sehingga dari jumlah tersebut terlihat bahwa lokasi penelitian cukup potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pengembangan sapi potong. Karakteristik Produksi Ternak Sapi Potong Populasi Sapi Potong Populasi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7. Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan 2008 telah terjadi peningkatan populasi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat rata-rata sebesar 53.64% per tahun. Peningkatan tersebut terjadi sebagian besar akibat adanya pemasukan bibit/bakalan sapi potong antara tahun sebagai bukti dari upaya pemerintah untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong di daerah ini, atau merupakan hasil dari upaya pemerintah daerah mendatangkan bibit sapi potong secara kontinu. Namun demikian pertumbuhan ternak sapi potong masih relatif lambat dan cenderung tidak mampu mengimbangi permintaan disebabkan intensitas pemeliharaan yang rendah, teknologi dan sistem usaha yang dilakukan

49 34 tidak terfokus pada pertumbuhan produksi secara cepat. Usaha penggemukan sapi yang dalam waktu singkat dapat menghasilkan daging secara kontinu belum dilakukan. Penjualan sapi umumnya dilakukan karena peternak membutuhkan uang cepat sehingga pemeliharaan sapi hanya sebagai tabungan, ini berakibat produksi setiap tahunnya cenderung konstan atau mengalami peningkatan yang tidak berarti. Belum berkembangnya usaha penggemukan sapi juga disebabkan karena belum berkembangnya sistem pembibitan sapi potong yang baik yang dapat menjamin ketersediaan sapi bakalan secara berkesinambungan. Tabel 6. Populasi sapi potong (ekor) di Kabupaten Raja Ampat tahun Rata-rata Tahun No Wilayah Kenaikan/tahun (%) Distrik Salawati Utara Distrik Lainnya Kabupaten Raja Ampat Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2 : Hasil survei penelitian (2008) Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase kelahiran sapi potong yang dipelihara oleh peternak berkisar antara 15.9 sampai 28.0% dari total populasi sehingga peternak dapat menggantikan ternak yang sudah tidak produktif lagi dengan ternak baru. Angka kelahiran ini termasuk rendah karena kurangnya penanganan peternak dalam program perkawinan dan rendahnya pengetahuan peternak tentang aspek reproduksi ternak. Persentase kematian ternak masih cukup tinggi yaitu berkisar 2.14 sampai 7.22% per tahun. Kematian tertinggi terjadi pada tahun 2008 khususnya di kampung Sakabu yang mencapai 54 ekor dari populasi 92 ekor sebagai akibat dari wabah penyakit menular (Distannak 2009). Penyakit ini kemungkinan terbawa oleh ternak yang baru dimasukkan pemerintah dari kabupaten lain tanpa terlebih dahulu ternak tersebut dikarantina. Berdasarkan hasil ini, untuk mengurangi jumlah kematian dapat dilakukan dengan cara mengarantina ternak gaduhan pemerintah terlebih dahulu sebelum dimasukkan atau dilepas ke masyarakat peternak.

50 35 Tabel 7. Performans reproduksi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun No Kriteria (Peubah yang Diamati) Tahun Populasi (ekor) Jantan Betina Persentase peningkatan populasi (%/thn) Kelahiran (ekor) Persentase kelahiran dari populasi (%) Persentase kelahiran dari jumlah betina (%) Kematian (ekor) Persentase kematian (%) Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2 : Hasil survei penelitian (2008) Perubahan populasi ternak sapi dalam kurun waktu dapat dilihat pada Tabel 8. Data ini menunjukkan peningkatan yang tidak berarti dengan intensitas yang rendah. Pada tahun 2008 jumlah ternak sapi yang keluar dari Raja Ampat mencapai 360 ekor dengan total produksi daging diperkirakan sebesar ton dengan rata-rata pengeluaran mencapai 35% per tahun. Angka ini melampaui pertambahan populasi setiap tahunnya walaupun dari Tabel 8. Jumlah pemasukan. pengeluaran dan pemotongan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun No Kriteria (Peubah yang Diamati) Tahun Pemasukan (ekor) Jumlah pengeluaran/pemotongan (ekor) Persentase pengeluaran/pemotongan (%) Produksi Daging (Kg) Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2 : Hasil survei penelitian ini (2008) hasil survei menunjukkan persentase kelahiran untuk tahun 2008 mencapai 53%. Kondisi ini jika tidak ditanggulangi maka akan terjadi pengurasan populasi yang signifikan. Pengeluaran sapi pada umumnya dijual sebagai sapi potong dan bukan sebagai sapi bakalan, hal ini berarti sebagian besar penghasilan masyarakat adalah dari hasil penjualan sapi potong. Pada penelitian ini tidak teridentifikasi jumlah sapi jantan atau betina (produktif atau tidak produktif) yang dijual oleh peternak.

51 36 Tingginya pengeluaran dan pemotongan ternak menunjukkan besarnya tingkat permintaan daging masyarakat Kabupaten Raja Ampat dan daerah sekitarnya di Papua Barat dan Papua terutama Kabupaten Sorong. Secara regional keragaan usaha ternak sapi potong ditandai dengan masih besarnya ketergantungan akan bibit sapi potong, ternak siap potong, dan produksi hasil ternak dari daerah lain. Kegiatan budidaya saat ini tampaknya masih lemah dan harus terus diupayakan perkembangannya sedangkan kegiatan pasca produksi cenderung meningkat. Peningkatan permintaan hasil ternak sapi potong yang intensif belum diimbangi dengan kesiapan sistem budidaya sapi potong. Akibatnya kesenjangan supplydemand harus diatasi dengan pemasukan sapi bakalan dan daging sapi dari daerah lain. Neraca perdagangan sapi potong dalam bentuk hidup di Kabupaten Raja Ampat ditandai dengan volume impor yang hampir sebanding dengan ekspor. Impor dari daerah lain baik berupa sapi bibit, bakalan maupun sapi siap potong masih tinggi sementara ekspor masih terbatas. Hal ini mencerminkan tingginya konsumsi daging regional kabupaten yang belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam daerah sendiri. Produktivitas Sapi Potong Data produktivitas sapi potong meliputi bobot badan dapat dilihat pada Tabel 9. Bobot badan sapi Bali jantan dan betina berumur < 1 tahun hampir sama pada ketiga lokasi penelitian. Menurut Pratiwi et al. (2008), bahwa pertumbuhan anak sapi pada masa prasapih umumnya dipengaruhi oleh kemampuan pedet memperoleh nutrisi yang berasal dari air susu induknya. Penampilan produksi berupa bobot badan sapi Bali betina umur > 1 sampai 2 tahun tidak menunjukkan perberbedaan nyata, ini berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang relatif sama di ketiga lokasi, sementara ternak sapi jantan di Kampung Kalobo memiliki ukuran tubuh yang nyata (P<0.05) lebih besar daripada yang ada di kampung Sakabu. Hal ini disebabkan kriteria ternak sapi jantan dipilih oleh peternak untuk digunakan mengawini sapi betina memiliki tubuh yang besar. Menurut Pamungkas (2007), bahwa terjadi perbedaan variasi bobot badan sapi di beberapa lokasi pemeliharan adalah sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terutama nutrisi dan sistem pemeliharaan.

52 37 Tabel 9. Rataan bobot badan sapi Bali berdasarkan jenis kelamin dan umur di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan Kabupaten Raja Ampat lokasi Penelitian No Umur (Tahun) Jumlah sampel (ekor) Sakabu Kalobo Waijan Jumlah Jumlah Bobot badan Bobot badan Bobot badan sampel sampel (kg) (kg) (kg) (ekor) (ekor) 1 Jantan : < a ± a ±53.30 >1 s/d a ± b ± ab ±53.30 > a ± a ± a ± Betina : < a ± a ± a ±37.60 >1 s/d a ± a ± a ±34.76 > a ± b ± a ±41.08 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05). Bobot badan sapi Bali jantan umur > 2 tahun yang ada di tiga kampung penelitian tidak berbeda nyata karena pada umur ini ternak jantan akan dijual oleh peternak, sedangkan untuk sapi betina terdapat perbedaan dimana sapi betina di kampung Kalobo memiliki ukuran tubuh yang nyata (P<0.05) lebih besar. Hal ini disebabkan ternak betina akan digunakan sebagai calon induk yang diharapkan dapat memperoleh keturunan yang besar. Bobot badan dan ukuran tubuh sapi Bali jantan maupun betina umur < 1 tahun dan >1 tahun sampai dengan 2 tahun di Kabupaten Raja Ampat masih termasuk rendah dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan 2006). Menurut Rajab (2009), bahwa sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat memiliki ukuran tubuh dan bobot badan yang rendah dibandingkan sapi Bali yang terdapat dibeberapa wilayah di pulau Bali (Gambar 9). Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan performans dan mutu genetik sapi Bali Kabupaten Raja Ampat, sebagai akibat penjualan ternak unggul yang tidak terkontrol dari populasi dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional dengan tingkat penerapan teknologi peternakan yang masih rendah oleh peternak.

53 38 Sumber : 1. Rajab (2009) 2. Data hasil penelitian Gambar 9. Perbandingan bobot badan sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat dengan sapi Bali di beberapa wilayah di Pulau Bali Karakteristik Peternak Identitas Peternak Secara umum karakteristik peternak sapi potong di lokasi penelitian Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Tabel 10. Karakteristik peternak ditentukan oleh beberapa faktor utama yaitu, umur peternak, tingkat pendidikan, mata pencaharian utama, pengalaman beternak, dan kepemilikan ternak.

54 39 a. Umur Peternak Hasil survei memperlihatkan bahwa sebagian besar ( 75%) peternak berumur antara tahun. sedangkan berumur dibawah 15 tahun atau diatas 55 tahun adalah kurang dari 25% peternak, ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak termasuk dalam usia produktif. Jumlah peternak dengan usia produktif yang tinggi, hal ini akan berpengaruh positif dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan program pengembangan kawasan sentra sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. b. Tingkat Pendidikan Kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu informasi sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan, dimana dengan mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi maka seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi dan wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian (Rakhmat 2000). Tingkat pendidikan peternak relatif beragam. didominasi oleh lulusan SD (57-76%), SLTP (7-15%) dan SLTA (8-36%), sedangkan lulusan Perguruan Tinggi (PT) terendah (1-2.5%). Tingginya jumlah peternak yang tingkat pendidikannya rendah karena rata-rata angkatan kerja produktif yang berpendidikan setingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) dan Perguruan Tinggi umumnya lebih memilih berkerja di perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Hal ini didukung oleh banyaknya perusahaan dan pemekaran beberapa wilayah di Provinsi Papua Barat sehingga sangat membutuhkan tenaga kerja dengan spesifikasi pendidikan minimal setingkat SMA. Salah satu faktor penyebab lambatnya pengembangan peternakan adalah kurang kemampuan atau rendahnya mengadopsi teknologi dari peternak. Menurut Abdullah (2008), salah satu aspek penyebab sulitnya adopsi teknologi oleh petani adalah kurangnya sistem diseminasi teknologi pertanian dan rendahnya tingkat pendidikan petani. Menurut Rahmat (2006), bahwa rendahnya tingkat pendidikan turut mempengaruhi motivasi dan partisipasi peternak dalam pelaksanaan program pengembangan peternakan.

55 40 Tabel 10. Karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat No Uraian (Peubah Diamati) Lokasi Penelitian Rata- Jumlah Sakabu Kalobo Waijan Rata 1 Jumlah Peternak (orang) Umur Peternak (%) a. Produktif (15-55 tahun) b. Belum/Tidak Produktif (<15 tahun / > 55 tahun) Tingkat Pendidikan (%) a. SD b. SLTP c. SLTA d. PT Pekerjaan Pokok (%) a. Petani/Nelayan b. Pedagang/Wiraswasta c. PNS d. Lainnya Usaha Pemeliharaan Ternak (%) a. Pokok b. Sambilan Tujuan Pemeliharaan Ternak (%) a. Tabungan/Tambahan Penghasilan b. Hobbi c. Lainnya Pengalaman Beternak (%) a. 0-5 tahun b tahun c. > 10 tahun Jumlah. Komposisi Umur dan Kepemilikan Ternak a. Total Ternak (Ekor) Jantan Betina Rasio Jantan Betina b. Komposisi umur ternak - Anak & Muda (umur<2 tahun) Jantan Betina Dewasa (Umur 2 tahun) Jantan Betina c. Kepemilikan (ekor) - Sendiri Gaduhan/Bantuan Pemerintah c. Mata Pencaharia Utama Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ( %) pekerjaan pokok masyarakat adalah sebagai petani atau nelayan, khususnya penduduk di kampung Sakabu adalah semuanya (78.57%) nelayan, sedangkan penduduk di kampung Kalobo dan Waijan masing-masing dan 94.19%

56 41 adalah petani sawah, hal ini disebabkan 90% penduduk di kedua kampung ini adalah transmigran asal Jawa. Pedagang atau wiraswasta lebih banyak (7.14%) di kampung Sakabu diikuti dengan kampung Kalobo (4.23%) dan Waijan (2.23%). Demikian juga PNS dengan pola yang sama masing-masing 14.29; 7.63 dan 2.33% untuk kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan. Penduduk di tiga kampung peternaknya memelihara sapi Bali adalah sebagai usaha sambilan dan hanya 4.24% peternak di kampung Kalobo yang menjadikannya sebagai usaha pokok. Sapi potong dipelihara sebagai tabungan atau tambahan penghasilan. dan peternak menjualnya saat membutuhkan uang. d. Pengalaman Beternak Sebagian besar peternak rata-rata (65.6%) pengalaman beternaknya masih kurang dari lima tahun, karena penduduk asli dan keluarga baru ada yang baru mencoba untuk beternak sapi potong. Di kampung Sakabu semuanya (100%) adalah peternak pemula, sementara di kampung Kalobo dan Waijan rata-rata peternak sudah memelihara sapi 5-10 tahun bahkan banyak juga yang diatas 10 tahun, mereka umumnya adalah transmigran asal Jawa yang sudah memulai memelihara sapi sejak tahun 1983 dengan adanya bantuan Presiden sebanyak 160 ekor untuk dua lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Kalobo dan Waijan (Disnak Kab.Sorong 2007). e. Kepemilikan Ternak Jumlah ternak sapi potong yang dipelihara oleh tiap peternak berkisar antara 3-8 ekor dengan komposisi pedet, jantan dan betina muda masing-masing berkisar antara 4 65 ekor dan ekor, jantan dan betina dewasa masingmasing berkisar 3 92 ekor dan ekor, rasio jantan dan betina sebesar 1 : 5. Jumlah sapi potong jantan dan betina dewasa cukup tinggi masing-masing 161 dan 753 ekor, karena pejantan digunakan untuk perkawinan secara alami di padang pengembalaan. Jumlah sapi betina yang tinggi dalam populasi diharapkan dapat menghasilkan anak untuk menggantikan induk yang tua dan dijual. Persentase sapi pedet dan sapi muda relatif seimbang serta sapi betina relatif lebih banyak dan ini merupakan komposisi yang baik sebagai ternak pengganti (replacement stock) pejantan dan induk. Komposisi tersebut merupakan rasio yang cukup ideal untuk proses pengembangan. Guna memperoleh kualitas bibit

57 42 sapi yang baik dengan sistem perkawinan secara alami, rasio jantan dengan betina maksimum diusahakan adalah 1 : 10, untuk pengadaan ternak pengganti (replacement stock), calon bibit jantan dan betina diambil dari umur sapih yakni 6 7 bulan sebanyak 10 dan 25% yang diseleksi berdasarkan performan masingmasing (Deptan 2006). Pengetahuan, Motivasi dan Partisipasi Peternak dalam Kegiatan Pengembangan Peternakan Sapi Potong. Hasil analisis mengenai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Tabel 11. Petani peternak di Kabupaten Raja Ampat memiliki pengetahuan relatif rendah dengan skor < 25.0 terutama tentang manajemen sapi potong. Nilai skor paling rendah (14.71) adalah peternak di kampung Sakabu dan tertinggi (20.49) adalah peternak di Waijan. Pengetahuan yang rendah tentang budidaya sapi potong erat kaitannya dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat ekstensif. Hampir seluruh kehidupan ternak tergantung dari alam, dan peternak hanya mengawasi tanpa campur tangan yang serius. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa pengetahuan peternak tentang kegiatan pengembangan peternakan di kampung Sakabu berbeda dengan kampung Kalobo dan Waijan, hal ini disebabkan peternak di kampung Kalobo dan Waijan adalah peternak lama yang sudah sering menerima penyuluhan dan 90% peternak (terbanyak) berada di kedua kampung tersebut. Tabel 11. Hasil uji Mann-Whitney tentang pengetahuan. motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat No Uraian (Peubah Diamati) Lokasi Penelitian (kampung) Sakabu Kalobo Waijan 1 Peternak (orang) Pengetahuan (skor) 14.71±2.67 a 18.20±5.31 b 20.49±6.39 c 3 Motivasi (skor) 16.43±4.31 a 21.66±6.16 b 23.12±6.28 b 4 Partisipasi (skor) 11.14±2.03 a 14.71±3.95 b 15.33±4.09 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05). Motivasi peternak dalam program pengembangan dan penerapan teknologi budidaya sapi potong (sapi Bali) termasuk rendah (skor < 25.0). Hasil uji Mann- Whitney menunjukkan bahwa peternak di kampung Sakabu memiliki motivasi yang paling rendah (16.43) dibanding peternak di dua kampung lainnya, karena mereka masih merupakan peternak baru dan belum berhasil dalam kegiatan

58 43 beternak sapi potong bila dibandingkan dengan peternak di Kalobo (21.66) dan Waijan (23.12) yang memiliki motivasi cukup baik. Partisipasi peternak dalam budidaya sapi potong juga termasuk rendah (skor < 25.0) dan tidak terdapat perbedaan antara kampung Kalobo (14.71) dan Waijan (15.33) namun keduanya berbeda dengan Sakabu (11.14). Sejalan dengan tingkat motivasi, peternak di kampung Sakabu memiliki tingkat partisipasi yang juga rendah, karena sebagai peternak baru masih banyak membutuhkan dukungan dari pemerintah terutama pembinaan dalam cara beternak. Persepsi dan Aspirasi Masyarakat tentang Peternakan Sapi Potong Persepsi dan aspirasi peternak mempengaruhi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 12. Usaha pertanian sawah dan perkebunan yang kurang memberikan hasil, mengakibatkan rendahnya pendapatan dari sawah dan perkebunan (sagu dan durian) dan hanya mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu harapan beternak sapi potong (sapi Bali) merupakan komoditas alternatif guna menunjang peningkatan pendapatan petani. Tabel 12. Potensi peternakan sapi potong menurut persepsi dan aspirasi masyarakat di Kabupaten Raja Ampat Kampung Peternak Status Perkembangan Usaha (%) (orang) Baik Cukup Baik Kurang Baik Kalobo Sakabu Waijan Manajemen Produksi Sapi Potong Penerapan Teknologi Budidaya Sapi Potong Teknis pemeliharaan sapi Bali di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan dapat dilihat pada Tabel 13, yang menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan masih bersifat ekstensif dengan cara digembalakan pada areal padang pengembalaan, hutan, persawahan atau perkebunan. Peternak sapi potong di Sakabu, Kalobo dan Waijan belum melaksanakan seleksi ternak secara terarah, bahkan cenderung

59 44 menjual ternak dengan ukuran tubuh dan bobot badan yang besar untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Sistem perkawianan umumnya masih secara alami, ada beberapa peternak yang sudah mengawinkan sapi dengan pejantan yang dianggap unggul namun itupun masih secara alami. Tabel 13. Teknis pemeliharaan sapi potong di lokasi penelitian No Peubah yang diamati Kampung Sakabu Kalobo Waijan 1 Jumlah Peternak %... 2 Bibit a. Seleksi Seleksi alam Seleksi buatan (Tradisional) Seleksi buatan (modern) b. Sistem perkawinan Kawin alam ( tdk diatur) Kawin alam (pejantan unggul) Kawin suntik Sistem Pemeliharaan (Perkandangan) a. Digembalakan sepanjang hari (Ekstensif) b. Digembalakan siang hari dan dikandangkan malam hari (Semi-Intensif) c. Dikandangkan (Intensif) Pakan a. Hijauan Diberikan Tidak b. Konsentrat Diberikan Tidak c. Vitamin. Mineral. Antibiotik Kesehatan dan Penyakit a. Ternak dimandikan b. Upaya pencegahan penyakit c. Pemberian obat Kebutuhan pakan seluruhnya tergantung pada hijauan yang tersedia dan dikonsumsi ternak selama merumput. Beberapa peternak memberikan pakan tambahan atau konsentrat berupa dedak, bungkil kelapa, limbah perikanan atau limbah rumah tangga yaitu masing-masing 14.29, 4.24 dan 3.49% masing-masing di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan. Penanganan kesehatan dan penyakit pada ternak dilakukan dengan cara membersihkan ternak atau mengobati sapi yang sakit dengan memberikan obat yang sering digunakan manusia seperti obat cacing combatrin untuk sapi yang cacingan atau antibiotik tetraciclin untuk mengobati diare dengan dosis yang dimodifikasi. Secara umum, sebagian besar

60 45 (>85%) peternak di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan menerapkan tatalaksana pemeliharaan ternak sapi secara semi tradisional dengan campur tangan manusia yang terbatas. Menurut Riady (2004), keterbatasan peternak dalam ilmu pengetahuan dan masalah modal merupakan permasalahan dalam pengembangan sapi potong di Indonesia. Infrastruktur (Sarana dan Prasarana) Pendukung Perintisan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dimulai pada tahun 2006 melalui pembangunan UPTD-Peternakan. Informasi mengenai identitas dan karakteristik peternak, kontrol kesehatan, upaya penurunan angka kematian, dan pencegahan penyakit ternak sapi potong (sapi Bali) diperoleh melalui pemanfaatan fasilitas kegiatan rutin layanan kesehatan hewan dan pemberian obat-obatan pada hewan/ternak secara berkala menggunakan fasilitas layanan yang tersedia (Tabel 14). Tabel 14. Fasilitas sarana dan prasarana (infrastruktur) layanan peternakan Fasilitas Jumlah Poskeswan 1 TPH/RPH* 0 Gedung Obat-Obatan 1 Dokter Hewan (orang) 1 Petugas Peternakan (orang) 3 Kebun HMT (ha) 20 Pabrik Penggilingan Padi (unit) 6 Jalan Tersedia (aspal) Pelabuhan Tersedia (3 buah) Keterangan : *Tempat Pemotongan Hewan/Rumah Potong Hewan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fasilitas layanan peternakan sapi potong relatif cukup memadai dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Fasilitas lain seperti cattle yard, holding ground, dan kandang permanen sedang dalam proses pembangunan. Kondisi ini sangat mendukung upaya pengembangan dan pembibitan peternakan sapi potong sebagai suatu kebijakan dan peran aktif pemerintah dalam hal ketersediaan, movilitas, dan jangkauan pelayanan. Menurut Samariyanto (2004), ketersediaan fasilitas mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan dan pembibitan sapi Bali disuatu wilayah pemeliharaan.

61 46 Kelayakan Usaha Sapi Potong Analisis kelayakan usaha sapi potong secara sederhana dilakukan pada skala usaha kecil untuk menggambarkan prospek perkembangan khususnya di tingkat masyarakat peternak (Lampiran 6a dan 6b). Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha sapi potong pada tingkat peternak rakyat dengan pola ekstensif adalah pada skala kepemilikan 3.25 satuan ternak (ST) atau setara dengan RP untuk satu periode pemeliharaan. Hal ini berarti jika pola pemeliharaan ditingkatkan dari pola ekstensif menjadi semi intensif atau intensif akan lebih meningkatkan pendapatan peternak, disamping itu dapat menjadi salah satu acuan dalam penentuan skala usaha minimal bagi peternak. Kawasan Sapi Potong Rakyat Berdasarkan hasil analisis kawasan sapi potong dengan menggunakan metode skoring memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 14. Dari nilai total skor yang diperoleh, pada kawasan pembibitan dan penggemukan sapi potong di tiga kampung penelitian adalah dibawah 500, yang berarti bahwa ketiga lokasi penelitian diklasifikasikan sebagai Kawasan Baru yang terbagi dalam dua klaster yaitu kelompok Sakabu dan kelompok Kalobo Waijan. Berdasarkan hasil analisis klaster (Gambar 10), menunjukkan bahwa kampung Sakabu mempunyai karakteristik yang berbeda di banding Kalobo dan Waijan. Hal ini disebabkan beberapa komponen kawasan yang meliputi ternak, teknologi budidaya, dan peternak mempunyai nilai skoring terrendah dibanding kampung Kalobo dan Waijan. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh pengalamam beternak, karena peternak di kampung Sakabu umumnya adalah peternak yang baru mulai mencoba memelihara ternak sapi potong. Kondisi lahan dan topografi serta komponen penyusun kawasan lainya relatif sama, kecuali sarana dan prasarana penunjang peternakan hanya tersedia di kampung Kalobo, namun hal ini tidak terlalu bermasalah karena aksesibilitas dari Sakabu dan Waijan ke kampung Kalobo relatif mudah.

62 47 Tabel 15. Skoring penilaian kawasan penggemukan dan pembibitan sapi potong No Kriteria Skor Penggemukan Skor Pembibitan Sakabu Kalobo Waijan Sakabu Kalobo Waijan 1 Lahan Ketersediaan HMT Ternak Teknologi budidaya Peternak Tenaga pendamping Fasilitas Kelembagaan Total skor Menurut Ditjennak (2002), Priyanto (2002), dan Bappenas (2004), kawasan peternakan sapi potong secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan usaha sapi potong, terintegrasi dengan komponen usaha tani atau ekosistem tertentu,. dan dalam pengembangannya banyak melibatkan partisipasi rakyat dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang ada. Data pada Tabel 15 menunjukkan, bahwa sebagai kawasan baru, optimalisasi pemanfaatan semua sumber daya yang tersedia dan didukung penerapan teknologi aplikatif akan mampu meningkatkan peran ternak sebagai usaha alternatif bagi masyarakat. Gambar 10. Dendogram hasil analisis klaster lokasi penelitian

63 48 Komponen Kawasan Agribisnis Sapi Potong Berdasarkan hasil analisis kawasan yang menunjukkan sebagai kawasan baru, kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan mempunyai karakteristik komponen kawasan baru yang meliputi lahan dan pakan, peternak, ternak, teknologi serta sarana dan prasarana. a. Lahan dan Pakan Status kondisi lahan dan pakan (Tabel 15) pada tahapan tradisional di kampung Kalobo, Sakabu dan Waijan terbagi menjadi dua sistem usaha peternakan sapi potong sebagai berikut : 1) Pembibitan Berdasarkan hasil skor kawasan pembibitan untuk lahan menunjukkan nilai tertinggi ( ), artinya bahwa lahan usaha sepenuhnya di kuasai oleh peternak. Secara keselurahan pada ketiga lokasi belum ada peruntukan lahan secara khusus untuk usaha pembibitan semuanya masih bertumpu pada lahan usaha tani lainnya dan lahan-lahan yang berada di bawah otoritas sektor atau subsector non peternakan. Umumnya ternak sapi dibiarkan lepas merumput pada lahan bekas sawah dan padang rumput. Pakan utama adalah rumput alami dan sisa hasil pertanian dengan sistem pemeliharan yang bersifat ekstensif. Belum ada usaha kearah budidaya hijauan, begitu pula dengan penyuluhan dan pembinaan yang terprogram oleh instansi terkait kearah intergasi usaha peternakan dengan sektor pertanian, perkebunan maupun kehutanan yang secara formil memegang otoritas terhadap lahan-lahan tersebut. 2) Penggemukan Seperti halnya kawasan pembibitan, skor untuk kawasan penggemukan mempunyai nilai yang tinggi ( ). Ditinjau dari segi manajemen pemeliharaan, usaha penggemukan sapi potong relatif lebih bersifat intensif di bandingkan breeding. Pada ketiga lokasi penelitian, manajemen pemeliharaan oleh peternak belum mengarah kepada sistem penggemukan walaupun hubungan antara status dan kondisi lahan dengan klasifikasi kawasan penggemukan pada hakekatnya tidak berbeda dengan kawasan breeding. Pemanfaatan lahan untuk budidaya hijauan masih belum dijumpai dalam jumlah yang cukup berarti pada ketiga lokasi. Menurut Priyanto (2002), lahan pada kawasan baru umumnya

64 49 merupakan bagian dari kawasan pertanian tanaman pangan dan holtikutura yang masih jarang ternak ruminansia, namun petani setempat sudah terbiasa menggunakan limbah peternakan seperti pupuk kandang. b. Ternak dan Teknologi 1) Ternak Sapi Ternak sapi yang dipelihara adalah jenis sapi Bali yang di introduksi pertama kali pada tahun Dari rata-rata skor nilai ternak untuk kawasan pembibitan dan penggemukan (< 50%) berada di bawah nilai skor 75. Hal ini di dukung dengan hasil pendugaan bobot badan menunjukkan bahwa sapi Bali di ketiga lokasi penelitian manunjukan produktivitas yang rendah. Persentase kelahiran (22.32%) dari populasi dengan tingkat kematian (4.1%), nilai menunjukkan bahwa tingkat kematian ternak masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kelahiran (<5%). Salah satu ciri dari kawasan baru adalah ternak sapi yang dipelihara memiliki tingkat reproduksi yang rendah yang dicirikan dengan tingkat kelahiran dibawah 50 % dan kematian anak sapi 15 %, dan ternak sapi yang dipelihara memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah dengan rataan pertambahan bobot badan dibawah 0.5 kg/ekor/hari (Priyanto 2002). 2) Teknologi Budidaya Teknologi budidaya yang dipakai merupakan teknologi pada level produksi subsistem yaitu teknologi input rendah dimana input dan biaya produksi ditekan serendah mungkin. Beberapa hal yang menunjukkan ketiga lokasi ini sebagai kawasan baru dilihat dari aspek teknologi budidaya antara lain ; (1) sapi yang dipelihara adalah jenis sapi lokal (sapi Bali) yang sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, (2) sistem perkawinan masih kawin alam dan belum ada seleksi ternak yang terarah, (3) pakan yang diberikan terutama hijauan dengan mengandalkan rumput alam yang tidak dibudidayakan atau limbah pertanian, (4) pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif dengan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan (5) penangan kesehatan dan gangguan reproduksi praktis tidak dilakukan dan jika ada bersifat pengobatan.

65 50 c. Peternak dan Petugas Pendamping Tingkat pengetahuan peternak diketiga lokasi penelitian terkait dengan penguasaan teknologi beternak dan keterampilan dalam pengelolaan usaha umumnya masih rendah begitupula dengan motivasi dan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan sapi potong. Umumnya mereka adalah peternak baru, sehingga masih perlu bimbingan dari instansi pemerintah melalui penyuluhan di kelompok peternak. Upaya peningkatan pengetahuan yang bermanfaat bagi peternak adalah pendidikan nonformal berupa kursus dan pelatihan. Kebutuhan tenaga pendamping baik keberadaan atau aksesibilitasnya masih kekurangan. Tingkat aksesibilitas dari kawasan untuk mendapatkan pelayanan dari petugas pendamping yang berada di sekitar lokasi cukup mudah namun keberadaan dari petugas pendamping yang masih sangat kekurangan dan tidak berada setiap saat. d. Aspek Kelembagaan Peternak dan Kelembagaan Keuangan Kelembagaan peternak umumnya masih berupa kelompok pemula yang di bentuk Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Raja Ampat sebagai pelaksana teknis. Peternak dalam kelompok ini baru mengenal kehidupan organisasi/kelompok dan umumnya mereka menjadi anggota bukan atas kemauan atau kesadaran sendiri tetapi lebih disebabkan oleh keinginan untuk menerima bantuan bibit ternak sapi potong dari pemerintah. Tingkat partisipasi anggota kelompok masih rendah karena nilai motivasi dan tingkat pengetahuan dalam peternakan sapi potong yang relatif rendah. Koordinasi pembinaan kelompok masih sepenuhnya masih diatur oleh tenaga pendamping dari pemerintah. Keberadaan kelembagaan keuangan perbankan maupun non bank sangat penting karena merupakan alternatif pembiayaan usaha. Pada ketiga kampung, Sakabu, Kalobo, dan Waijan sepenuhnya belum ada akses permodalan melalui perbankan. Seluruh bantuan kegiatan usaha peternakan sapi potong masih berasal dari program-program pengembangan sapi potong oleh Pemda Kabupaten Raja Ampat. Menurut Saragih (2000) dan Priyanto (2002), upaya mewujudkan kawasan agribisnis peternakan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi

66 51 membutuhkan dukungan ketersediaan sumber-sumber permodalan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing usaha. Sesuai dengan tingkat pengembangannya pada kawasan baru umunya peternak belum banyak mengenal atau berhubungan dengan lembaga keuangan terutama yang formal. Langkah pertama yang harus di lakukan adalah memperkenalkan bank kepada peternak melalui bantuan permodalan dalam bentuk dana bergulir dengan sistem penyaluran langsung bank ke kelompok peternak. Bantuan permodalan tidak hanya mengandalkan Pemerintah tetapi juga dari pihak swasta dan masyarakat. Bentuk kerjasama permodalan yang sesuai bagi kelompok peternak pemula di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan adalah sistem bagi hasil dalam bentuk perguliran ternak. e. Manajemen Sistem pegelolaan peternakan sapi potong oleh peternak di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan masih bersifat ekstensif, tidak ada recording ternak dan pembukuan usaha, hal ini karena tingkat pendidikan peternak yang relatif rendah. Dalam hal perencanaan, peternak belum dapat menyusun rencana usaha jangka pendek maupun jangka panjang, tidak bisa meramalkan tingkat produksi maupun biaya produksi yang harus disediakan untuk tahun-tahun yang akan datang. Kondisi ini disebabkan tujuan beternak sapi potong oleh peternak hanya sebatas sebagai tabungan atau cadangan penghasilan yang akan digunakan sewaktu-waktu. f. Fasilitas Fasilitas penunjang dasar seperti holding ground, pos keswan, laboratorium diagnostik dan kandang karanrtina ternak telah di bangun di Unit Pelaksnana Teknis Daerah (UPTD) Sapi Potong di Kampung Kalobo, namun fasilitas ini belum dapat dipergunakan sebagaimana mestinya karena keterbatasan sumber daya manusia yang mengelolanya. Aksesibilitas ke fasilitas penunjang ini di dukung dengan jalan yang cukup memadai terutama dari kampung Sakabu dan Waijan. Penyaluran sarana produksi peternakan terutama vaksin dan obat-obatan sepenuhnya masih di tangani pemerintah dalam bentuk bantuan layanan kesehatan hewan.

67 52 Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong Dalam rangka menyusun suatu strategi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, proses perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan secara efektif dan efisien pada level strategis dan taktis. Penelaahan pada level strategis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis SWOT. Hasil kajian pada level strategis ini akan menghasilkan suatu arahan sebagai masukan untuk penelaahan pada level taktis. Penelaahan pada level taktis dilakukan dengan menggunakan metode IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary). Analisis Faktor Internal-Eksternal (Analisis SWOT) 1. Kekuatan Analisis kekuatan dalam pengembangan kawasan ternak sapi potong pada wilayah penelitian (kampung Kalobo, Sakabu, dan Waijan) melibatkan beberapa aspek penting yaitu : (a) kapasitas tampung ternak, (b) kesesuaian agroklimat, (c) ketersediaan sumber daya manusia, (d) persepsi atau kebiasaan masyarakat/peternak membudidayakan sapi potong, (e) organisasi peternak, (f) kondisi geografis, (g) ketersediaan sarana penyedia input produksi, dan (h) ketersediaan pasar dan pemasaran. Kombinasi antara kondisi lahan dan agroklimat merupakan unsur kekuatan yang dapat mendukung pengembangan ternak sapi potong di daerah tersebut. Kombinasi tersebut memungkinkan sebagian besar sapi potong di wilayah tropis seperti halnya sapi Bali dapat berkembang dengan baik, yang didukung oleh posisi geografis yang strategis. Lokasi kawasan yang dekat dengan kota Sorong sebagai pasar bagi produk sapi potong, merupakan akses yang mudah dengan menggunakan sarana transportasi laut yang cukup lancar. Demikian halnya dengan kemudahan penyediaan sarana input peternakan sapi potong, kepulauan Raja Ampat yang terkenal indah memungkinkan pengembangan wilayah tersebut menuju kawasan AgroEcoTourism yang terintegrasi berbasis sumberdaya lokal. Lahan yang tersedia sebesar ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya ternak sapi potong dengan daya tampung kurang lebih satuan ternak. Disamping itu,. lahan sawah di daerah sekitarnya yang relatif masih luas dapat

68 53 dioptimalkan pemanfaatannya sebagai areal pengembalaan sapi potong. Limbah pertanian dari sawah, lahan pekarangan dan perkebunan sagu merupakan sumber pakan potensial untuk ternak sapi potong. Struktur penduduk di wilayah kawasan pengembangan sebagian besar (>75%) adalah petani atau nelayan merupakan modal tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sapi potong di daerah tersebut. Keragaan penduduk seperti ini mengindikasikan potensi yang relatif besar bagi upaya pengembangan sapi potong karena dari kelompok inilah sebagian besar menjadi ujung tombak aktivitas peternakan di tingkat dasar. Minat dan persepsi masyarakat untuk mengembangkan sapi potong cukup besar, karena kontribusi dari padi sawah kurang mendukung peningkatan pendapatan petani ternak. Disamping itu kebiasaan petani yang selalu memelihara ternak sapi sebagai bagian dari usaha taninya. Kondisi ini tentunya merupakan dukungan bagi pengembangan sapi potong yang tidak dapat berjalan sendiri, tetapi memerlukan masyarakat petani di daerah sekitarnya. Kerjasama pemerintah (UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat) sebagai inti dan peternak di kawasan peternakan sapi potong sebagai plasma merupakan kekuatan bagi upaya pengembangan sapi potong. Petani peternak dapat dihimpun dalam wadah kelompok tani/ternak dan dioptimalkan peran aktif para anggota peternaknya. Meski sebagian besar peternak berkualifikasi pemula, setidaknya proses kerjasama ini akan mengefektifkan proses percepatan pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, dan meningkatkan posisi bersaing peternak di wilayah tersebut dengan berbagai sub sistem yang lain. Beberapa lembaga penyedia input produksi peternakan telah tersedia pada wilayah sekitar lokasi penelitian meskipun belum memadai. Keberadaan UPTD- Peternakan Kabupaten Raja Ampat (Gambar 10), yang terletak di kampung Kalobo telah dibangun gedung poskeswan yang menyediakan obat-obatan ternak dan gudang untuk menampung sarana peternakan. Disamping itu industri penggilingan padi dan usaha perikanan secara tidak langsung berperan sebagai lembaga penyedia pakan ternak tambahan (konsentrat) yang relatif murah. Ketersediaan pasar dan pemasaran bagi hasil ternak sapi potong berupa daging berlangsung relatif baik, hal ini disebabkan konsumsi daging masyarakat

69 54 Kabupaten Raja Ampat masih sangat tergantung dari daerah lain. Disamping itu kebutuhan akan daging berkualitas oleh perusahan-perusahan penambangan besar disekitar wilayah tersebut sangat menjamin bagi pengembangan usaha ternak sapi potong. Saat ini di lokasi penelitian belum terdapat TPH/RPH, dan pemasaran hasil ternak banyak dilakukan oleh pedagang secara tradisional. Gambar 11. UPTD- Peternakan Sapi Potong di kampung Kalobo 2. Kelemahan Kajian mengenai unsur kelemahan dalam pengembangan kawasan ternak sapi potong pada lokasi penelitian meliputi aspek ; (a) fasilitas pembibitan ternak belum memadai, (b) belum tersedianya hijauan makanan ternak berkualitas, (c) fasilitas layanan kesehatan ternak belum memadai, (d) tingkat penguasaan teknologi peternakan masih relatif rendah, (e) tingkat penguasaan penanganan limbah masih relatif rendah, (f) kualitas sumber daya manusia peternakan masih relatif lemah, (g) peran institusi penyuluhan dan alih teknologi masih relatif rendah, (h) belum ada tata ruang ruang wilayah khusus peternakan, dan (i) tingkat pendapatan dan permodalan petani/ternak masih rendah. Tersedianya bibit ternak sapi yang unggul merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan usaha sapi potong di suatu wilayah. Sapi Bali dengan tingkat produktivitas yang relatif lebih rendah di lokasi penelitian bila

70 55 dibandingkan daerah lainnya merupakan kelemahan, disamping fasilitas pembibitan ternak belum memadai. Pembangunan fasilitas pembibitan sapi potong yang dirintis oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Raja Ampat berupa pembangunan UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat masih dalam tahap pembangunan sarana fisik awal. Selain itu, sumber pakan hijauan makanan ternak dan pemanfaatan limbah pertanian yang berkualitas serta ketersediannya secara kontinu belum dikelola secara baik. Sapi Bali yang ada hanya memanfaatkan hijauan alam yang tersedia dan belum ada hasil penelitian tentang kualitas hijauan tersebut, sementara itu kebun hijauan makanan ternak yang ada belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Begitu pula dengan ketersediaan fasilitas layanan kesehatan ternak yang masih sangat minim. Meskipun obat-obatan hewan telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum optimal karena tidak adanya tenaga ahli seperti dokter hewan dan paramedisnya yang khusus secara langsung menangani ternak sapi. Sementara itu Poskeswan dan rumah dokter hewan saat ini baru dalam tahap pembangunan. Keterbatasan penyediaan sarana dan mobilitas petugas peternakan serta jangkauan layanan pada akhirnya bermuara pada minimnya layanan kesehatan ternak sapi potong berakibat pada lambatnya proses pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Peternak sebagai pelaku usaha, merupakan unsur penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong. Pada konteks yang lebih modern, peternak dituntut berperan efektif sebagai pelaku sekaligus manajer bagi usaha ternak sapi potongnya. Relatif masih lemahnya kualitas SDM peternak terlihat dari masih kurang efektifnya teknis produksi peternakan. Sebagai ilustrasi adalah belum optimalnya penggunaan hijauan berkualitas di kebun HMT milik UPTD- Peternakan sebagai pakan ternak, disamping layanan kesehatan ternak dari petugas peternakan yang belum optimal dan efektif dalam memanfaatkan peralatan dan obat-obatan ternak. Penguasaan teknologi peternakan masih relatif rendah oleh kalangan peternak di kawasan pengembangan juga menjadi hambatan. Hasil pengkajian di lapangan, para peternak menegaskan pentingnya peningkatan kualitas SDM peternak melalui penyuluhan dan pelatihan baik yang menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan manajemen pembibitan,

71 56 pemeliharaan, produksi, pakan maupun kesehatan ternak sapi potong. Disamping itu, penguasaan teknologi penanganan limbah peternakan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong, teknologi ini diperlukan mengingat bahwa pengembangan peternakan di suatu kawasan sering menimbulkan masalah estetika atau pencemaran lingkungan. Peningkatan kuantitas dan kualitas petugas peternakan serta sarana dan prasarana penunjangnya merupakan salah satu hal yang tampaknya perlu segera dilakukan dalam upaya pengembangan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Hal ini menjadi sangat penting karena sebagian besar peternak menyatakan mereka kurang memperoleh pembinaan tentang berbagai aspek teknis pengembangan peternakan. Disamping itu, kurangnya modal menjadi kendala dalam usaha peternakan sapi potong di lokasi penelitian. Hasil survei dalam kajian ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak yang merupakan peternak binaan dari UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat memiliki keterbatasan dalam hal modal untuk mengembangkan ternak sapi potongnya. 3. Peluang Kajian mengenai unsur peluang dalam upaya pengembangan kawasan ternak sapi potong meliputi aspek ; (a) dukungan pemerintah daerah, (b) permintaan produk sapi potong secara internal, (c) keterbukaan pasar produk sapi potong, dan (d) teknologi peternakan yang semakin berkembang. Dukungan pemerintah daerah merupakan unsur penting dalam upaya pengembangan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Dukungan ini terlihat dari Rencana Strategis dan Program Kerja Bidang Peternakan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Raja Ampat tahun Prioritas program kerjanya meliputi ; (a) peningkatan ketahanan pangan, (b) pengembangan agribisnis peternakan, (c) peningkatan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, (d) peningkatan populasi dan produksi peternakan, (e) peningkatan SDM peternak dan petugas peternakan, dan (f) peningkatan PAD dari bidang peternakan. Semakin berkembangnya teknologi baru bidang peternakan sapi potong membuka banyak peluang bagi upaya pengembangan usaha sapi potong di

72 57 Kabupaten Raja Ampat. Peluang bagi upaya pengembangan tersebut antara lain melalui perbaikan teknik, manajemen dan efisiensi produksi peternakan sapi potong. Permintaan akan produk daging sapi potong oleh masyarakat dalam lingkup kabupaten Raja Ampat cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, peningkatan taraf hidup masyarakat dan dijadikannya kabupaten Raja Ampat sebagai pusat terumbu karang dunia dan wisata bahari. Produk daging sapi potong dalam lingkup Kabupaten Raja Ampat yang terserap dalam pasar regional maupun nasional mencapai angka 100%. Pangsa pasar ini akan semakin meningkat dengan munculnya perusahan-perusahan pertambangan baru yang menyerap banyak tenaga kerja dan membaiknya perekonomian masyarakat. 4. Ancaman Kajian secara mendalam mengenai unsur-unsur ancaman meliputi aspek : (a) penurunan mutu genetik ternak, (b) ancaman wabah penyakit, (c) persaingan pasar produk peternakan, dan (d) kebijakan daerah lain sejalan dengan otonomi daerah. Penurunan mutu genetik ternak sebagai akibat belum berfungsinya lembaga pembibitan secara optimal, kurangnya anggaran untuk penyediaan bibit sapi potong yang unggul dan pola pemeliharaan ekstensif oleh peternak akan memaksa peternak binaan untuk mengandalkan pola pembibitan rakyat yang mengarah pada makin menurunnya mutu genetik ternak sebagai akibat dari terjadinya silang dalam. Kondisi ini semakin diperburuk dengan ketergantungan masyarakat akan daging sapi impor baik dari luar daerah maupun luar negeri yang berakibat makin ketatnya persaingan pasar produk daging ternak. Ancaman ini tentunya perlu diantisipasi dengan optimalisasi keunggulan komparatif dan kompetitif produk sapi potong yang dimiliki, efisiensi proses produksi dan kegiatan promosi. Belum tersedianya kandang karantina ternak dan belum optimalnya layanan kesehatan ternak memungkinkan terjadinya penyebaran suatu wabah penyakit menular tertentu dengan sangat cepat. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi dapat mengarah pada makin menurunnya populasi sapi potong sehingga akan menghambat upaya pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.

73 58 Pelaksanaan otonomi daerah mengharuskan setiap daerah merevisi dan memprioritaskan arah pembangunannya untuk menggali seluruh sumber-sumber pendapatan daerah yang potensial. Daerah-daerah dengan orientasi SDA yang mendukung subsektor peternakan sebagai basis andalan daerah tentunya sedikit banyak akan menjadi ancaman bagi upaya pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, terlebih lagi jika daerah-daerah tersebut adalah kabupaten lain yang berada di Provinsi Papua Barat. Perencanaan Strategis Guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia bagi pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, dilakukan perencanaan strategis secara terintegrasi dan aktif melibatkan peran serta masyarakat. Dalam kaitannya dengan penyusunan suatu sistem atau strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, maka proses perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan pada level strategis, taktis, dan operasional. Perencanaan pada level strategis dirumuskan berdasarkan hasil analisis SWOT. Selanjutnya hasil analisis SWOT memberikan arahan bagi perencanaan pada level taktis yang dapat dirumuskan melalui metode IFAS dan EFAS. Berdasarkan elemen-elemen penentu berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah diuraikan sebelumnya, dirumuskan beberapa strategi dasar bagi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. 1. Strategi SO (Strengths-Opportunities) Berdasarkan kekuatan dan peluang yang dimiliki, beberapa strategi yang disarankan berupa : a. Peningkatan skala usaha sapi potong hingga mencapai skala usaha yang lebih ekonomis dan dapat dilakukan melalui ; (a) penggunaan bibit ternak sapi potong unggul atau bibit ternak yang produktivitasnya tinggi, (b) pendayagunaan HMT berkualitas tinggi, (c) mempersingkat waktu pemeliharaan (d) percepatan pergantian ternak, (e) penggunaan beberapa bangsa sapi potong unggul, dan (f) pembentukan usaha bersama (korporasi) yang tepat. Untuk penentuan skala usaha sapi potong yang ekonomis dilakukan dengan menghitung proyeksi usaha tersebut sebagai usaha pokok. Variabel

74 59 yang mempengaruhi skala usaha ternak sapi potong yang ekonomis meliputi nilai BC-Ratio, harga produk sapi potong berupa daging dan hasil ikutannya di daerah, dan produktivitas sapi potong itu sendiri. b. Percepatan pencapaian kapasitas tampung maksimum ternak sapi potong dapat diupayakan melalui ; (a) peningkatan jumlah populasi, dan (b) peningkatan produktivitas populasi sapi potong. Peningkatan laju pertumbuhan atau produktivitas sapi potong dapat dilakukan melalui cara (1) perbaikan kualitas bibit, (2) optimalisasi pemanfaatan HMT berkualitas dan limbah pertanian/perkebunan, (3) perbaikan teknologi beternak sapi potong melalui sistem penggemukan yang lebih cepat, dan (d) perbaikan manajemen. Hal ini tentunya perlu mensyaratkan pentingnya penyediaan bibit sapi potong unggul, dan juga tersedianya tenaga SDM yang berkualitas untuk berfungsinya alih teknologi peternakan yang efektif. Sementara itu, peningkatan populasi saat ini dapat dilakukan melalui program penggaduhan ternak antara UPTD- Peternakan Kabupaten Raja Ampat sebagai inti dan peternak rakyat dengan kelompok tani/ternaknya sebagai plasma secara efektif dan efisien, serta peningkatan kualitas layanan kesehatan dan pemuliabiakan ternak sapi potong. c. Peningkatan/percepatan alih teknologi peternakan kepada petugas dan atau peternak rakyat di Kabupaten Raja Ampat adalah dengan intensifikasi sistem beternak sapi potong, promosi yang intensif, dan pengembangan sistem penanganan dan pengolahan produk sapi potong dan hasil ikutannya. Intensifikasi dapat dilakukan melalui penerapan dan peningkatan pola pengembalaan bergilir, untuk mengoptimalkan pemanfaatan padang pengembalaan dan hijauan makanan ternak. Berkaitan dengan kerangka otonomi daerah, UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dapat diarahkan pengembangannya menjadi suatu badan/lembaga pemerintah yang berorientasi profit/keuntungan dan pendidikan peternakan sapi potong bagi masyarakat melalui pengemabangan pusat pelatihan yang efektif dibawah koordinasi instansi terkait. Pembentukan unit usaha yang demikian ini akan mendorong pengembangan peternakan sapi potong disatu sisi dan peningkatan pendapatan daerah pada sisi lainnya. Pembentukan jaringan kerja ini diharapkan dapat

75 60 menjembatani semua sub sistem yang terlibat dalam program pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. 2. Strategi WO (Weakness-Opportunities) Strategi yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan yang ada antara lain ; (a) optimalisasi fasilitas yang telah ada, (b) perbaikan budidaya melalui sistem layanan kesehatan dan pemberian pakan yang efisien untuk mengimbangi kondisi rendahnya tingkat produktivitas bibit sapi potong, (c) penerapan teknologi tepat guna untuk mempercepat pengembangan sapi potong seperti pelaksanaan sistem pengembalaan bergulir, (d) integrasi usaha sapi potong dengan usaha pertanian padi sawah dan perkebunan sagu, (e) peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas/peternak melalui magang atau pelatihan pada daerah yang pengembang sapi potongnya telah berhasil seperti di Ciawi atau Ciamis, Jawa Barat. Peningkatan nilai tambah dilakukan melalui pengolahan limbah penggilingan padi, pengolahan sagu dan hasil perikanan masyarakat untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan tambahan bagi ternak sapi potong. Pengadaan bibit sapi potong yang berasal dari balai pembibitan ternak sapi potong diperlukan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang telah ada. 3. Strategi ST (Strengths-Threats) Strategi untuk mengatasi ancaman penurunan mutu genetik ternak sapi potong yang terjadi karena proses silang dalam yang berlangsung lama, dapat dilakukan melalui pembuatan catatan (recording) ternak secara teratur guna terus memantau perkembangan sapi potong dan pelaksanaan sistem perkawinan silang antar ternak dengan pemilikan berbeda. atau antara kelompok ternak. Sistem perkawinan dengan pemanfaatan teknologi kawin suntik (IB) dapat juga dilakukan dimasa mendatang guna meningkatkan kualitas bibit sapi potong. Untuk mengatasi ancaman wabah penyakit dapat dilakukan dengan segera membangun kandang karantina hewan dan optimalisasi layanan kesehatan ternak. Strategi lain yang perlu disiapkan adalah peningkatan efisiensi produksi. perbaikan teknologi peternakan sapi potong. dan pengembangan sarana dan sistem transportasi. Disamping itu perlu pula dilakukan pemanfaatan limbah ternak sapi potong secara optimal melalui pengembangan sistem instalasi biogas dan

76 61 pembuatan pupuk organik. Terobosan untuk pasar produk daging sapi potong melalui pelayanan konsumen yang lebih baik dapat dilakukan, setelah sebelumnya dilaksakan pengembangan fasilitas TPH/RPH sesuai standar internasional. 4. Strategi WT (Weakness - Threats) Strategi untuk mengatasi kelemahan dan ancaman dalam upaya pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat menyangkut ; (a) rendahnya kualitas bibit sapi potong, (b) terbatasnya fasilitas peternakan yang mendukung, (c) belum optimalnya pemanfaatan HMT berkualitas dan layanan kesehatan ternak, (d) rendahnya kualitas SDM peternak, dan (e) adanya ketidakpastian atau keterbatasan modal. Menghadapi persaingan yang semakin ketat, upaya bertahan yang dapat dilakukan adalah mengembangkan model budidaya yang tepat guna dan fleksibel seperti mengembangkan model pengembalaan bergilir, penggunaan teknologi lokal sederhana jika ada, perlindungan plasma nutfah ternak asli Indonesia, dan mobilisasi sumber dana untuk menunjang permodalan. Usaha untuk mengatasi keterbatasan fasilitas, harus dilakukan dengan sistem pelayanan fasilitas yang menganut sistem skala prioritas. Pelayanan kesehatan untuk sistem pencegahan penyakit dapat menjadi prioritas utama karena penyakit masih merupakan masalah penting dalam usaha ternak sapi potong. Sehingga pembangunan poskeswan dan kandang karantina ternak yang dirintis saat ini harus diperlancar pelaksanaannya, begitupula dengan penambahan tenaga dokter hewan dan paramedis kesehatan hewan untuk pelaksanaan layanan kesehatan tersebut. Faktor Penentu Pengembangan Kawasan Sapi Potong Melalui metode IFAS dan EFAS dihasilkan beberapa sub elemen kunci yang merupakan faktor penggerak keberhasilan program pengembangan kawasan ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Sub-sub elemen tersebut adalah menyusun model pengembangan kawasan sapi potong terkait dengan; Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, Teknologi Budidaya Sapi Potong, Fasilitas Pembibitan Ternak dan Pengembangan Sistem Pemuliabiakan Sapi Potong, Fasilitas Kandang Karantina Ternak/Hewan, Fasilitas Layanan Kesehatan Berupa Poskeswan dan Dokter Hewan, Pasar dan Pemasaran, Kemitraan Usaha, Lembaga

77 62 Keuangan dan Modal, Kualitas Bibit Sapi Potong yang Rendah, dan Layanan Peternakan. Pembinaan Sumber Daya Manusia Peternakan. Ketersediaan sumber daya manusia peternakan pada kawasan peternakan baik kuantitas dan kualitas merupakan salah satu kebutuhan dan sub elemen kunci yang memiliki daya gerak besar bagi suksesnya program pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat. Menurut Priyanto (2002), peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan peternakan. Hal ini disebabkan karena dalam pengembangan kawasan peternakan, SDM tidak hanya sekedar faktor produksi melainkan yang lebih penting lagi adalah pelaku langsung kawasan peternakan. Sasaran penting pengembangan SDM peternakan di Kabupaten Raja Ampat mencakup tiga hal pokok yaitu ; (1) mengembangkan kemampuan penguasaan teknologi dan pengetahuan sehingga searah dengan pengembangan teknologi peternakan pada sistem dan usaha agribisnis, (2) mengembangkan kewirausahaan bagi peternak sehingga dapat menjadi pelaku-pelaku ekonomi bidang peternakan sapi potong yang handal/tangguh, (3) Mengembangkan kemampuan kerja tim sebagi pelaku langsung pengembangan kawasan peternakan sehingga mempunyai akses di kelembagaan yang ada pada sub-sistem agribisnis hulu, sub-sistem usaha tani (on - farm), sub-sistem agribisnis hilir dan agribisnis pendukung. Penerimaan tenaga yang bertugas pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dengan demikian masih diperlukan, dan diusahakan tenaga tersebut tidak sebagai tenaga kontrak atau honorer tetapi sebagai pegawai negeri dalam UPTD-Peternakan. Pembinaan terhadap sumber daya manusia yang ada pun harus dilakukan secara kontinu melalui pelatihan dan magang. Pembinaan terhadap peternak dan atau petugas peternakan diarahkan pada upaya terjadinya transfer teknologi dalam budidaya sapi potong, teknologi penanganan limbah sumber biogas dan pupuk organik. Bila dilakukan pengelolaan yang baik, biogas dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi penerangan pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dan wilayah sekitarnya, dan pupuk organik dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah masyarakat petani sawah/kebun. Disamping itu, pembuatan instalasi biogas dapat menjadi motivator

78 63 bagi peternak pemula dan penduduk sekitarnya untuk beternak sapi potong, hal ini sangat dimungkinkan karena dengan beternak sapi potong, ketergantungan akan bahan bakar minyak sebagai sumber energy listrik dan aktifitas memasak dapat diganti dengan energi yang berasal dari KTS (kotoran ternak segar) sapi potong yang diternakkan. Pembinaan terhadap kelompok ternak sebagai peternak binaan dan partner dari UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat perlu diintensifkan karena fungsi kelompok ternak akan mendukung kegiatan UPTD-Peternakan. Kelompok peternak memerlukan pembinaan intensif karena 90% responden menyatakan kurang memperoleh pembinaan dari petugas peternakan. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan diharapkan berperan sebagai ujung tombak dalam pembinaan sumber daya manusia peternak ini. Penyediaan Bibit Sapi Potong. Kualitas bibit sapi potong yang rendah di Kabupaten Raja Ampat dipengaruhi oleh kurang tersedianya dana yang digunakan untuk membeli bibit berkualitas, disamping mutu genetik bibit yang rendah karena pengaruh inbreeding sapi lokal. Oleh karena itu perlu diterapkan sistem perkawinan silang melalui proses seleksi bibit yang sesuai bagi kelompok ternak. Untuk pengembangan, diperlukan bibit sapi potong dengan kualitas yang lebih baik dalam rangka peningkatan produktivitas. Pencatatan ternak atau recording ternak secara teratur merupakan bagian yang penting untuk dilakukan. Pengembangan Fasilitas Peternakan. Fasilitas layanan peternakan yang belum memadai perlu ditingkatkan terutama untuk layanan kesehatan ternak. Pembangunan poskeswan dan penambahan tenaga dokter hewan serta paramedis kesehatan hewan seperti yang telah dirintis saat ini perlu segera direalisaikan, guna menunjang perbaikan kesehatan dan penanganan penyakit yang menyerang ternak sapi antara lain SE (Septicema epizootica), Jembrana, dan diare. Selain itu dilakukan peningkatan kualitas padang penggembalaan rakyat dengan sistem penggembalaan rotasi dan pembuakaan areal baru untuk penanaman hijauan makanan ternak seperti Rumput Gajah Thailand, Rumput Raja, Setaria dan beberapa jenis rumput lainnya yang berkualitas. Penyediaan instalasi tepat guna untuk pengolahan limbah pertanian seperti jerami dan ampas sagu untuk dijadikan

79 64 konsentrat, serta instalasi pembuatan biogas dan kompos untuk memanfaatkan limbah dari penggemukan sapi potong. Sistem pemasaran ternak yang ada dilokasi penelitian merupakan sistem pemasaran tradisional. Pemerintah dalam hal ini UPTD-Peternakan Sapi Potong di Kalobo difungiskan sebagai penyedia fasilitas dan pelaksana pasar sekaligus pengontrol pasar, seluruh hasil panen berupa ternak sapi hidup dijual oleh peternak dengan standar harga pasar tertinggi kepada UPTD. Hal ini dimaksudkan agar peternak terhindar dari persaingan pasar yang cenderung merugikan, disamping itu akan memotivasi peternak maupun kelompok peternak untuk semakin mengembangkan usaha ternaknya. Pengembangan Kawasan Sapi Potong Pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dimulai dengan perencanaan yang matang dalam kawasan sapi potong. Sementara itu dalam kerangka pembangunan UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat sebagai inti dalam pengembangan kawasan sapi potong yang berskala usaha ekonomis, maka upaya pengembangan usaha sapi potong hendaknya berbasis pendekatan agribisnis dengan pemanfaatan sumber daya lokal. Integrasi hulu-hilir dan horisontal-vertikal perlu mendapatkan tekanan perhatian agar upaya pengembangan sapi potong berjalan efisien dan bermanfaat bagi semua pihak. Integrasi yang dimaksud meliputi : (a) usaha pembibitan, (b) pengembangan sistem dan skala usaha, (c) penyediaan dan pengembangan modal, (d) adopsi teknologi tepat guna khususnya dalam hal pakan, pengendalian penyakit, dan pengembangan model pertanian LEISA, (e) pemberdayaan masyarakat, (f) seleksi target dan pengembangan yang tepat, (g) peningkatan dan distribusi fasilitas pelayanan peternakan, dan (h) pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang efektif dan berkelanjutan. Strategi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di lokasi penelitian dari kawasan baru menjadi kawasan peternakan yang lebih maju, dilakukan dalam tiga tahap yang dimulai dari tahap exisiting (kawasan baru) kemudian tahapan kawasan pengembangan dan berikutnya tahapan kawasan maju (Lampiran 8). Berdasarkan rincian tahapan pengembangan kawasan ini diperlukan suatu model

80 65 perencanaan yang teritegrasi dengan pertanian tanaman pangan (sawah) dan perkebunan (sagu) di lokasi penelitian (kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan). Model Pengembangan Inti -Plasma Pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat sebagai suatu sistem berbasis agribisnis yang berskala ekonomis dapat dilakukan dengan model inti plasma. Pengembangan ternak sapi potong diarahkan sebagai usaha pokok yang berskala ekonomis dapat dikembangkan sebagai komponen penunjang model pertanian LEISA (Low Eksternal Input and Sustainable Agricultural). UPTD-Peternakan sebagai inti dan kelompok peternak penerima program perguliran ternak sapi potong sebagai plasma. Model ini dilaksanakan secara terintegrasi antara UPTD-Peternakan, peternak, dan petani tanaman pangan (Gambar 12). Sistem kerja ini dibagi dalam tiga komponen utama antara lain : 1. UPTD-Peternakan UPTD-Peternakan berfungsi sebagai inti yang menyediakan bibit ternak. bahan kandang dan bibit HMT serta pembinaan yang berkesinambungan kepada kelompok peternak melalui program perguliran. Disamping itu UPTD menerima setiap penjualan hasil ternak dari plasma maupun non plasma sesuai dengan harga standart tertinggi, hal ini berfungsi untuk mengontrol harga pasar sehingga peternak tidak dirugikan. Setiap ternak yang di peroleh dari kelompok peternak kemudian di seleksi. Hasil seleksi dibagi dalam dua kriteria yaitu sebagai ternak bibit atau sebagai bakalan untuk digemukkan, 50% bibit akan diredistribusi kembali ke anggota kelompok peternak baik sebagai perguliran ternak atau penjualan bibit baru, sedangkan sebagiannya lagi akan di masukkan ke unit pembibitan dalam UPTD-Peternakan. Ternak yang kurang baik sebagai bibit dimasukkan ke unit penggemukan untuk digemukkan kemudian dipotong dan dikemas dalam bentuk daging segar sesuai standar pengolahan di unit pasca panen sehingga daging tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi. Pada UPTD-Peternakan disediakan beberapa kandang pemeliharaan dan penggemukan yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin ternak. Kandang kawin dibuat untuk mencegah atau mengurangi proses terjadinya silang dalam yang dapat berakibat pada menurunya mutu genetik sapi potong, sehingga dengan

81 66 kandang kawin dapat memperlancar proses silang luar ternak sapi meski dimasa mendatang UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat dapat mengupayakan penerapan teknologi IB. Kandang melahirkan dibuat untuk menjamin dan menjaga proses kelahiran ternak sapi potong. PETERNAK Pupuk Jerami, dedak, ampas sagu PETANI Pembinaan Sapi Pupuk UPTD Peternakan Biogas Jerami, dedak, ampas sagu PEMBIBITAN PENGGEMUKAN RPH KTS Konsentrat Konsumen Pengolahan Limbah Gambar 12. Model pengembangan inti-plasma sapi potong yang terintegrasi dengan pertanian dan perkebunan Padang pengembalaan digunakan untuk memperlancar upaya pengembangan sapi potong. Tiap areal padang pengembalaan dapat ditanami tiga jenis HMT dengan pola penanaman yang intensif (penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, irigasi, dan teknik defoliasi yang benar).

82 67 Pembangunan RPH dapat menjadi rencana jangka menengah untuk menghasilkan produk daging berkualitas, tetapi pembuatan instalasi biogas sebaiknya menjadi rencana jangka pendek untuk mengatasi kesulitas listrik dan penerangan saat ini. Sementara itu pembangunan sarana dan prasarana air bersih serta jalan harus menjadi rencana jangka pendek yang pembangunannya dapat dilakukan sebelum atau bersamaan dengan pembangunan fasilitas lain. Hal penting lainnya adalah ketersediaan dan kecukupan petugas peternakan pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat. Lemahnya sistem layanan karena belum ada dukungan memadai petugas. Penerimaan petugas baru serta mengikutsertakan petugas-petugas ini dalam kegiatan pelatihan, penyuluhan dan alih teknologi peternakan sapi potong harus dilakukan secara intensif. 2. Peternak Sebagai plasma, peternak yang tergabung dalam kelompok peternak diberikan bantuan ternak dan sarana produksi dari pemerintah melalui UPTD- Peternakan. Bantuan ini diatur sesuai ketentuan dalam pola perguliran ternak (Gambar 13) sampai peternak tersebut dapat mandiri. Program perguliran bibit sapi potong dalam bentuk paket peternak dapat dijadikan sebagai salah satu model yang dapat diterapkan sebagai pilot project. Jumlah paket program agribisnis usaha sapi potong (sapi Bali) yang digulirkan sebanyak 125 paket. Peternak dalam setiap paket program mendapat masingmasing sebanyak 4 ekor bibit sapi (3 ekor betina siap kawin dan 1 ekor pejantan), biaya pembuatan kandang penaganan dan kandang sederhana, serta program layanan kesehatan ternak (obat-obatan. vitamin dan vaksinasi) selama 12 bulan sejak paket diterima oleh sasaran. Rentan waktu untuk program layanan kesehatan tertanggung selama 12 bulan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa setelah masa 12 bulan ternak sapi sudah dapat berproduksi secara optimal sehingga setiap penerima paket program dapat membiayai sendiri kebutuhan program pemeliharaan dan kesehatan usaha ternaknya.

83 68 Persiapan Penyebaran Paket : 1. Sosialisasi program 2. Seleksi ternak 3. Seleksi peternak 4. Karantina ternak 5. Pelatihan Petugas Peternakan 6. Pelatihan peternak 7. Penyiapan lahan dan kandang 8. Monitoring dan evaluasi Program Pengembalian Paket Bibit (30-35%) 1. Redistribusi 2. Dikelola oleh UPTD Paket Awal Program Kelompok Sasaran Peternak Sasaran Produksi UPTD- Peternakan Kabupaten Raja Kelompok Sasaran Baru Peternak Sasaran Baru Milik Peternak (65-70%) 1. Pengembangan Usaha 2. Peningkatan Kesejateraan Keterangan : : Alur pengembalian : Perguliran pertama : Perguliran berikutnya/redistribusi Gambar 13. Pola pengembangan usaha sapi potong rakyat dengan sistem perguliran ternak. Jumlah sasaran penerima paket program agribisnis sapi potong direncanakan sebanyak 125 kepala keluarga (masing-masing satu paket /KK) untuk tiap kampung. Semua (125 KK) sasaran ini akan dibagi dalam lima kelompok (25 anggota KK / kelompok) yang didasarkan pada hamparan lokasi usaha. Pengelompokan sasaran ini selain akan memudahkan dalam proses pengelolaan dan pembinaan program, juga dapat mengefektifkan perencanaan pengembangan

84 69 kegiatan usaha selanjutnya. Lokasi yang dipilih untuk untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan agribisnis usaha sapi potong pada UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat didasarkan pada pertimbangan kondisi sosial ekonomi, aksesbilitas, dan sumberdaya pendukung daerah setempat (kampung Kalobo, Sakabu dan Waijan). Mekanisme perguliran. Paket awal kegiatan program aksi. ternak yang digulirkan sebanyak 375 paket untuk 375 KK sasaran (satu paket /KK) pada tiga desa, masing-masing desa memperoleh 125 paket, dan akan dinaungi oleh lima kelompok kegiatan usaha (25 KK/kelompok/Desa). Nilai nominal kredit program yang diperhitungkan dan harus dikembalikan oleh setiap penerima paket program terdiri dari biaya pembelian empat ekor ternak sapi tertanggung selama 12 bulan. Sedangkan biaya pelatihan, layanan kesehatan, dan pengadaan fasilitas/peralatan pendukung lain yang terkait dengan pengembangan usaha kelompok akan dimasukkan dalam kategori biaya bantuan atau hibah yang berasal dari dana APBD Kabupaten Raja Ampat atau Dana Alokasi Khusus Departemen Pertanian RI. Hasil pengembalian dari paket awal kegiatan program aksi ini akan digulirkan kembali (redistribusi) kepada sasaran penerima berikutnya, jumlah penerima menjadi salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan kegiatan, sekaligus menentukan kapasitas ekonomi keluarga petani yang terlibat dalam program. Sistem pengembalian dari paket program aksi ini pada prinsipnya dapat dirumuskan dan disepakati oleh kelompok, yang pada intinya harus mencerminkan distribusi hasil usaha secara proporsional untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan sasaran dan kegiatan perguliran selanjutnya (redistribusi program). Sebagai pegangan, sistem pengembangan untuk mendukung kegiatan redistribusi program dapat dilakukan sebagai berikut : Setiap sasaran penerima paket program wajib mengembalikan kredit program yang diterimanya dalam bentuk 30-35% produksi ternaknya berupa bibit sapi setiap tahunnya sampai masa pelunasan kredit selesai. Sedangkan 65-70% hasil produksi ternak tersebut dapat dimanfaatkan oleh sasaran untuk membiayai dan mengembangkan kegiatan usahanya, serta meningkatkan kesejahteraannya.

85 70 Dana pengembalian paket program tersebut selanjutnya dapat menjadi modal baru yang akan digulirkan kembali (redisribusi) kepada sasaran penerima program berikutnya atau menjadi modal untuk dikembangkan di lokasi UPTD- Peternakan Kabupaten Raja Ampat. Selain itu, sebagian kecil dari dana pengembalian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai dana usaha penyangga kelompok (maksimum 20%) dan dana operasional kelompok ( maksimum 10 %), sehingga dana pengembalian yang dialokasikan untuk kepentingan kegiatan redistribusi program minimum 70%. Seluruh hasil produksi dari peternakan berupa sapi bakalan ditampung oleh UPTD-Peternakan untuk kemudian dipasarkan dalam bentuk daging segar maupun bibit sapi unggul. Pembinaan secara berkelanjutan kepada peternak menjadi tanggung jawab sepenuhnya pihak UPTD sampai dengan peternak maupun kelompok peternak dapat mandiri. 3. Petani Tanaman Pangan Pihak petani tanaman pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem integrasi. Hasil limbah pertanian berupa jerami padi. dedak dan ampas sagu dari petani diolah pada unit pengelolahan limbah di UPTD- Peternakan menjadikannya sebagai bahan pakan konsentrat bagi sapi yang digemukkan, begitu pula pada kelompok peternak. Hasil limbah peternakan berupa kotoran ternak segar (KTS) diolah menjadi sumber biogas dan pupuk organik yang kemudian akan dimanfaatkan kembali oleh Pihak UPTD, peternak dan petani. Pola ini merupakan komponen dalam model LEISA, pemeliharaan sapi potong yang dilakukan oleh peternak plasma/binaan UPTD-Peternakan dan unit penggemukannya sebagai komponen penunjang aktivitas usaha petani tanaman pangan. Dalam hal ini, kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk menunjang peningkatan produktivitas pertanian. Kegiatan pendampingan program agribisnis usaha sapi potong dilaksanakan oleh UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat secara intensif. Aktivitas yang dilakukan meliputi kesehatan ternak, produksi, manajemen, sumberdaya manusia, pemasaran, dan aspek teknis lain yang terkait dengan usaha pengembangan sapi potong dan kesejahteraan peternak. Pembinaan secara berkelanjutan dilakukan oleh UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat agar peternak dapat mandiri.

86 71 Melalui pembinaan yang intensif dalam jangka panjang dapat terbentuk kawasan peternakan sapi potong yang maju, dan hal ini tentunya menjadi salah satu wujud keberhasilan keberadaan UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat. Keberhasilan penerapan Model ini perlu didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi secara rutin dan cermat. Hal ini karena pola ini memerlukan perencanaan dan manajemen investasi yang akurat. Disamping aspek pembibitan dan budidaya, pola konsumsi lokal juga merupakan aspek penting yang memerlukan monitoring secara terus menerus. Pelaksanaan monitoring harus ditunjang dengan penempatan tenaga lapangan khusus dibawah koordinasi UPTD- Peternakan Kabupaten Raja Ampat yang dapat bekerja dengan efektif. Evaluasi sangat di perlukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi usaha pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.

87 72

88 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara umum kondisi lokasi penelitian merupakan kawasan baru yang didominasi oleh wilayah yang datar dan sesuai bagi pengembangan sapi potong, didukung oleh ± % daerah dataran yang berupa padang rumput penghasil pakan sapi potong. 2. Jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan untuk memenuhi daya tampung yaitu sebesar , , dan ST masing-masing untuk kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan. 3. Produktivitas sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat masih termasuk rendah dengan dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan 2006). 4. Secara ekonomis, tingkat kepemilikan ternak 3.25 satuan ternak dapat menghasilkan keuntungan. 5. Pengembangan kawasan dirancang dengan model inti plasma dan pola perguliran ternak secara terintegrasi dan berbasis sumberdaya lokal. Saran 1. Guna menunjang keberhasilan program pengembangan kawasan ternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, beberapa hal penting perlu segera diupayakan yaitu; menyusun model pengembangan kawasan sapi potong ; sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi budidaya sapi potong, fasilitas pembibitan ternak dan pengembangan sistem pemuliabiakan, fasilitas kandang karantina ternak/hewan, fasilitas layanan kesehatan berupa poskeswan dan dokter hewan, pasar dan pemasaran, kemitraan usaha, lembaga keuangan dan permodalan. 2. Berdasarkan kerangka pengembangan kawasan sapi potong maka dapat dilakukan dengan pola dua strata dimana UPTD-Peternakan Kabupaten Raja Ampat sebagai inti dan peternak rakyat sebagai plasma dengan pengembangan kawasan sapi potong yang berskala usaha ekonomis (minimal 4 ekor), dan hendaknya berbasis pendekatan agribisnis.

89 DAFTAR PUSTAKA Abdullah A. 2008, Peranan penyuluhan dan kelompok tani ternak untuk meningkatka adopsi teknologi dalam peternakan sapi potong. Di dalam: Amar AL et al., editor. Pengembangan Sapi Potong untuk Mendukung Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi Prosiding Seminar Nasional; Palu 24 Nov 2008, hlm Alim FAR, Suherman, Suyud Manajemen Pembesaran dan Penggemukan Sapi Bakalan. Bandung: Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Potong, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. Andini L, Sasongko WT, Kurniawati A, Suharyono Pengaruh jerami jagung dan SPM terhadap produksi gas secara In Vitro. Di dalam: Darmono et al., penyunting. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, Agu hlm Arington LR, Kelley Domestic Rabbit Biology and Production. Gainnesville: the University Press of Florida. Bintoro H.M.H, Bercocok Tanam Sagu. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tokyo. Bogor : IPB Press. Bamualim, AM Produksi peternakan di Indonesia: potensi dan kendala. Di dalam: Darmono et al., penyunting. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, Agu 2007, hlm Bamualim A.M, Bess T, Chalid Talib, 2008, Arah penelitian untuk pengembangan sapi potong di Indonesia. Di dalam: Amar AL et al., editor. Pengembangan Sapi Potong untuk Mendukung Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi Prosiding Seminar Nasional; Palu 24 Nov 2008, hlm [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Raja Ampat Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Raja Ampat. Waisai: Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat dalam Angka Waisai: Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan. Jakarta: Bappenas. [BPS] Biro Pusat Statistik Republik Indonesia Statistik Indonesia Tahun Jakarta: BPS.

90 75 David FR Strategic Management: Concepts and Cases. 8 th ed. New Jersey; prentice-hall. Inc. Deanta A Perencanaan Investasi dan Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: Andi Publisher. [Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia Direktorat Bina usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan 2002a. Usaha Peternakan; Perencanaan Usaha, Analisa, dan Pengelolaan.Jakarta: Deptan. [Deptan] Deparetemen Pertanian Republik Indonesia Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002b. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan.Jakarta: Deptan. [Deptan] Departemen Pertanian Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). Jakarta: Departemen Pertanian. [Dispendcapil] Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Laporan Triwulan I (Januari-April 2009). Waisai:Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. [Distannakbun] Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Raja Ampat Laporan Tahunan Kegiatan Peternakan Waisai: Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. [Distannak] Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Raja Ampat Laporan Tahunan Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan Waisai: Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. [Disnak] Dinas Peternakan Kabupaten Sorong Laporan Tahunan Sorong: Pemerintah Kabupaten Sorong. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan Penyusunan Tata Ruang Peternakan (Laporan Penelitian). Bogor: Fakultas Peternakan IPB. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Buku Panduan Seminar Swasembada Daging Tahun Jakarta: Kerjasama HKTI Direktorat Jenderal Produksi Peternakan-INI ANSREDEF. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Statistik Peternakan Jakarta : Deptan. Fraser AF Farm Animal Behavior. The english language book society and Bailliere Tindall. Freeport Indonesia Community Development. Jakarta ( Glueck WF, Jauch LR Manajemen Strategi dan Kebijakan Perusahaan. Jakarta: Erlangga.

91 76 Gunardi E Livestock development in Indonesia. Makalah Seminar Pengembangan Peternakan Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hidayati Nuril, C.Talib, A.Pohan Produktivitas Padang Penggembalaan Rumput Alam untuk Menghasilkan Sapi Bibit di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Di dalam: Haryanto et al., penyunting. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, Sept. 2007, hlm Handiwirawan E., Subandriyo Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Bali. Di dalam: Setiadi et al, penyunting. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Oktb 2004, hlm Hanafi H., Soeharsono, Supriadi Sikap petani terhadap inovasi crop livestock system di lahan kering Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam: Haryanto et al, penyunting. Sistem Integrasi Tanaman Ternak, Prosiding Seminar Nasional. Denpasar, Juli 2004, hlm Hardjowigeno S., Widiatmaka, Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Bogor: IPB Press. Hardjowigeno S., Widiatmaka, Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Bogor: IPB Press. Maryono, Romjali E. 2007, Petunjuk Teknis Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor Musa S, dan AH Nasution Landasan Statistika Kontemporer. Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Otsuka J, Kondo K, Simamora S, Mansjoer SS, Martojo H Body Measurementsof the native Cattle. The Research Group of Overseas Scientifis Survey. [Puslitbangnak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian Pusat Kumpulan Teknologi Unggulan Lingkup Puslitbang Peternakan, Bogor. Pamungkas D, Y.N.Anggraeny, A. Priyanti, N.H. Krishna Pola Pertumbuhan pedet sapi Bali lepas sapih yang diberi hijauan pakan berbeda. Di dalam: Darmono et al., penyunting. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, Agu 2007, hlm Pratiwi W. C, Affandi L, D. Ratnawati Pengaruh umur penyapihan terhadap performans induk dan pertumbuhan pedet sapi potong di kandang kelompok. Di dalam: Amar A.L et al., editor. Pengembangan

92 77 Sapi Potong untuk Mendukung Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi Prosiding Seminar Nasional; Palu 24 Nov 2008, hlm Preston TR, Leng RA Matching Ruminant Production System With Avaliable Resources in The Tropics and Sun Tropics. New South Wales, Australia. Priyanto R Penyusunan Standart Kawasan Agribisnis Peternakan dalam Rangka Pengembangan Sistem Informasi. Fakultas Peternakan IPB dan Ditjend Bina Produksi Peternakan Deptan RI : Jakarta Rangkuti F, Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rajab, Kajian pengembangan pembibitan sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahmat D Analisis dan pengembangan pola pemuliaan (breeding scheme) domba Priangan yang berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rakhmat J Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rasyid A, Hartati Petunjuk Teknis Perkandangan Sapi Potong. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Rayes M.L, Metode Inventarisasi Sumber Daya lahan. Yogyakarta: Andi Publisher. Riady M Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong menuju Di dalam: Setiadi et al, penyunting. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Oktb 2004, hlm 3-6. Saitoh K., M.H. Bintoro, F.S. Jong, Hazairin, J. Louw dan N. Sugiyama Studies on the Starch productivity of Sago Palm in Riau, West Kalimantan and Irian Jaya. Jap. J. Trop. Agric. 48(2):1-2. Samariyanto Alternatif kebijakan pembibitan sapi potong dalam era otonomi daerah. Di dalam: Strategi pengembangan sapi potong dengan pendekatan agribisnis dan berkelanjutan. Prosiding seminar nasional sapi potong; Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004, hlm Saragih B Agribisnis Berbasis Peternakan (Kumpulan Pemikiran). Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation. Bogor. Santosa U Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet Jakarta: Penebar Swadaya Soekartawi, A. Soeharjo, J. L. Dillon, J. B. Hardaker Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: UI-Press.

93 78 Suratman, S., Ritung, Jaenudin Potensi lahan untuk pengembangan ternak ruminansia besar di beberapa provinsi di Indonesia. Di dalam: Karma AS., editor. Prosiding Peternakan Pembangunan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Pedologi. Cisarua, 4-6 Maret 1997, hlm Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Sumanto, Rosita Galib, Arif Darmawan Pengkajian Integrasi Padi-Sapi di Lahan Sawah Tadah Hujan Kalimantan Selatan. Di dalam: I Wayan Mathius et al., penyunting. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, September. 2005, hlm Talib C., A. Bamualim dan A. Pohan Problematika pengembangan sapi Bali dalam pemeliharaan di padang penggembalaan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, hal 28. Bogor: Puslitbangnak. Toelihere MR Tinjauan tentang penyakit reproduksi pada ternak ruminansia besar. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Bogor: Puslitbangnak. Umiyasih U, Anggreiny YN, N.H.Krishna Strategi pakan murah untuk pembesaran sapi PO. Didalam: Darmono et al., penyunting. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, Agustus 2007, hlm Wahyudi AS Manajemen Strategi : Pengantar Proses Berpikir Strategik. Jakarta: Binarupa Aksara. Wiyono DB, Aryogi Petunjuk Teknis Sistem Perbibitan Sapi Potong. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Wirdahayati R.B, dan A. Bamualim Produktivitas Ternak Sapi Lokal Pesisir dan Daya Dukung Lahan Penggembalaan di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Di Dalam: Darmono et al. penyunting. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, Agu 2007, hlm Yusdja Y, Ilham N Tinjauan kebijakan pengembangan agribisnis sapi potong. AKP Nomor 2 Volume 2: hal

94 LAMPIRAN

95 80 Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Lokasi Penelitian

KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF

KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF

KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF KAJIAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT MOCHAMMAD SAID SOLTIEF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia Peternakan sapi potong di Indonesia mulai mengalami perkembangan yang negatif pada saat krisis moneter, usaha sapi potong bayak yang gulung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 (SUATU SUMBANG SARAN PEMIKIRAN) Oleh: Suharyanto PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh beberapa sektor usaha, dimana masing-masing sektor memberikan kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Penelitian Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Penelitian Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Penelitian Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Raja Ampat, Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi I. PENDAHULUAN.. Latar Belakang Dalam era otonomi seperti saat ini, dengan diberlakukannya Undang- Undang No tahun tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi sesuai dengan keadaan dan keunggulan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal merupakan bagian yang sangat penting untuk membangun, mempertahankan, dan mengembangkan sebuah bisnis. Lingkungan eksternal juga dapat didefinisikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk baik pada tingkat nasional maupun wilayah provinsi. Untuk

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING (Prospect of Beef Cattle Development to Support Competitiveness Agrivusiness in Bengkulu) GUNAWAN 1 dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan peternakan saat ini, menunjukan prospek yang sangat cerah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian Indonesia. Usaha peternakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan peternak, sehingga bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketetapan MPR Nomor: XV/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya manusia dan alam yang sangat potensial dalam menunjang pembangunan ekonomi serta mempunyai faktor daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian yang memiliki peranan penting dalam kegiatan ekonomi Indonesia. Salah satu tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS OLEH : SURYANI 107040002 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

Lebih terperinci

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK PENDEKATAN ANALISIS SWOT DALAM MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI BALI PROGRAM BANTUAN SAPI BIBIT PADA TOPOGRAFI YANG BERBEDA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NTT Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik adalah Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani dan berbagai keperluan industri. Protein

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk PENGANTAR Latar Belakang Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga yang berbasis pada keragaman bahan pangan asal ternak dan potensi sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam

TINJAUAN PUSTAKA Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam TINJAUAN PUSTAKA Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, peternak rakyat dan swasta. Pemerintah menetapkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya TINJAUAN PUSTAKA Gaduhan Sapi Potong Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya dilakukan pada peternakan rakyat. Hal ini terjadi berkaitan dengan keinginan rakyat untuk memelihara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tantangan utama pembangunan peternakan sapi potong dewasa ini adalah permintaan kebutuhan daging terus meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontribusi sektor peternakan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional antara tahun 2004-2008 rata-rata mencapai 2 persen. Data tersebut menunjukkan peternakan memiliki

Lebih terperinci

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila No.6, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5391) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR SERTA SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Mengacu dari Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan untuk kurun waktu 2007 2009 dengan dasar INPRES No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu kegiatan pembangunan yang menjadi skala prioritas karena dapat memenuhi kebutuhan protein hewani yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1.1 Kelembagaan Agro Ekonomi Kelembagaan agro ekonomi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penunjang berlangsungnya kegiatan

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC) BAB VI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC) Agung Hendriadi, Prabowo A, Nuraini, April H W, Wisri P dan Prima Luna ABSTRAK Ketersediaan daging

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No. Parameter Nilai Interpretasi 1. Kekuatan Korelasi (r) 2. Nilai p 3. Arah korelasi

Lebih terperinci

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) antara lain dalam memperjuangkan terbitnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU Ternak mempunyai arti yang cukup penting dalam aspek pangan dan ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam aspek pangan, daging sapi dan kerbau ditujukan terutama untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang

Lebih terperinci

7.2. PENDEKATAN MASALAH

7.2. PENDEKATAN MASALAH kebijakan untuk mendukung ketersediaan susu tersebut. Diharapkan hasil kajian ini dapat membantu para pengambil kebijakan dalam menentukan arah perencanaan dan pelaksanaan penyediaan susu serta mampu mengidentifikasi

Lebih terperinci

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN Sistem Produksi Pertanian/ Peternakan Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Pembangunan peternakan rakyat (small farmers) di negara yang sedang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a.

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Penetapan visi sebagai bagian dari perencanaan strategi, merupakan satu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi karena

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan mengakibatkan kebutuhan permintaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi

Lebih terperinci

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK ANALISIS USAHA PENGGEMUKAN SAPI BETINA PERANAKAN ONGOLE (PO) AFKIR (STUDI KASUS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUKAMAJU II DESA PURWODADI KECAMATAN TANJUNG SARI, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN) Reny Debora Tambunan,

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Potensi Pengembangan Sapi Potong Peningkatan ekonomi masyarakat dan pertambahan penduduk disertai dengan peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai gizi, menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu : PROJECT DIGEST NAMA CLUSTER : Ternak Sapi JUDUL KEGIATAN : DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI pembibitan menghasilkan sapi bakalan super (bobot lahir > 12 kg DI LOKASI PRIMA TANI KABUPATEN TTU PENANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal.  [20 Pebruari 2009] I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

BAB I. PENDAHULUAN.  [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian di Indonesia. Subsektor peternakan sebagai bagian dari pertanian dalam arti luas merupakan

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGELUARAN BIBIT SAPI BALI SENTRA TERNAK SOBANGAN

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGELUARAN BIBIT SAPI BALI SENTRA TERNAK SOBANGAN BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGELUARAN BIBIT SAPI BALI SENTRA TERNAK SOBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa sapi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah di Indonesia, 90% merupakan peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan kecil dan pengelolaan usaha yang masih tradisional. Pemeliharaan yang

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005 OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005 Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan PENDAHULUAN Produksi daging sapi dan kerbau tahun 2001 berjumlah 382,3 ribu ton atau porsinya

Lebih terperinci