BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja sesungguhnya menjalani periode kehidupan yang penuh dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja sesungguhnya menjalani periode kehidupan yang penuh dengan"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja sesungguhnya menjalani periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, karena pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada masa ini, empati memiliki peran yang penting dalam perkembangan remaja khususnya untuk menumbuhkan perilaku prososial dan kompetensi sosial pada remaja (Eisenberg & Morris, 2001; Miller, 2009). Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan membuat remaja dapat tumbuh menjadi pribadi yang unggul, berguna dan bermanfaat bagi sesama (Daruma, 2003). Pada masa remaja, empati terutama ditujukan terhadap orang lain yang dianggap memiliki keadaan kurang beruntung (Damon dalam Santrock, 2007). Hogan (1984) mengungkapkan bahwa remaja dengan kemampuan empati yang tinggi memiliki kemampuan berperan imajinatif, menyadari pengaruh terhadap orang lain, kemampuan mengevaluasi motif perilaku orang lain, mengetahui motif dan perilaku orang lain, dan mempunyai rasa pengertian sosial. Remaja yang memiliki empati yang tinggi memiliki rasa pengertian dan kasih sayang terhadap sesama, mampu berinisiatif membantu orang lain yang tidak mereka kenali atau berbeda dari diri mereka, selanjutnya meningkatkan motivasi untuk memberikan pertolongan (Dadds dkk, 2008). Menurut Lauster (1995) empati berfungsi untuk mempercepat hubungan dengan orang lain sehingga dapat menghindari adanya kesalahpahaman, perdebatan dan ketidaksepakatan antar individu. Dymond (1995) menambahkan

2 2 empati berfungsi pula dalam penyesuaian diri karena terdapat kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda sehingga lebih fleksibel, optimis dan memiliki kematangan emosi. Sejalan dengan pendapat Dymond, Mussen, Eisenberg, dan Nancy (1989) menambahkan empati berfungsi untuk meningkatkan pemahaman diri dengan memahami perspektif orang lain sehingga terjadi perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Empati menjadi bagian penting bagi perkembangan remaja untuk menjaga remaja terhindar dari perilaku merugikan orang lain dan menemukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Idealnya, seorang remaja memiliki empati yang cukup tinggi sehingga kemampuan sosialnya turut berkembang. Sayangnya remaja juga memiliki kerentanan untuk melakukan perilaku beresiko, misalnya merokok di tempat umum tanpa mempedulikan orang di sekitarnya yang terganggu, mengganggu teman yang sedang serius belajar dan mengambil barang milik temannya (Fitri, 2008). Remaja berperilaku demikian bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan melupakan sejenak masalah yang dialami, Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan psikis yang kurang menjadi penyebab remaja menjadi lebih egois, narsis dan penyendiri sehingga lebih suka bermain sendiri dibanding bersama temannya. Kurangnya empati pada remaja muncul menjadi sikap abai terhadap lingkungan sosial. Hasil interview dengan guru di SMP X menunjukkan beberapa permasalahan remaja yang serupa. Ditemukan beberapa masalah terkait dengan empati remaja, terutama pada siswa/i di sekolah tersebut, antara lain: siswa kurang mau membantu satu sama lain, terutama pada sesamanya yang sedang kesusahan, baik dalam pelajaran maupun dalam pergaulan. Terungkap adanya

3 3 siswa yang berusaha melepaskan diri dari hubungan pertemanan, karena dianggap hubungan tersebut tidak menguntungkan bagi cita-cita dan prestasinya. Ditemukan juga siswa yang merasa memiliki kawan akrab, namun sayangnya teman tersebut jarang mau berbagi, congkak dan merasa dirinya paling hebat. Informasi tersebut memperkuat hasil pengamatan yang peneliti temukan di lapangan yakni pada kelas IX tanggal 21 Mei sampai dengan tanggal 26 Mei Perilaku siswa yang teramati adalah merokok di lingkungan sekitar sekolah, mencorat-coret tembok sekitar sekolah dengan sebuah nama geng dan beberapa siswa yang melemparkan kata kata kasar pada temannya. Berdasarkan pengamatan tersebut peneliti kembali wawancara dengan guru bimbingan konseling di SMP X, pada tanggal 28 Mei Hasil dari wawancara tersebut diperoleh bahwa (1) di sekolah tersebut terdapat sebuah geng yang melakukan tindakan anarki antara lain terlibat tawuran antar sekolah dan antar warga, (2) di sekitar sekolah terdapat beberapa warung kecil yang sering digunakan siswa untuk berkumpul saat istirahat atau pulang sekolah, biasanya mereka merokok di dalam warung tersebut. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap guru tersebut di dukung pula oleh guru bidang studi yang mengajar di kelas, bahwa dalam satu kelas, terdapat beberapa anak yang biasanya membuat suasana kelas menjadi tidak nyaman, antara lain dengan perilaku mengabaikan guru dengan sengaja, kurang mau berbagi ilmu dengan temannya karena merasa diri paling pintar dan tidak mau tersaingi. Munculnya kecenderungan agresi tersebut merupakan tanda kurangnya empati (Bandura, Caprara, Barbaranelli, Pastorelli, & Zimbardo, 2000) karena perilaku agresif selalu berhubungan negatif dengan perilaku-perilaku prososial, termasuk empati.

4 4 Goleman (2001) menyatakan bahwa proses empati memerlukan perpaduan antara keterampilan kognitif dan afektif. Proses sensasi adalah hal awal inderawi yang mendahului terjadinya empati. Pesan yang diterima alat indera tersebut kemudian dinilai dan dimaknai. Proses pemberian nilai dan makna ini disebut sebagai persepsi (Tubbs, 2005). Belajar melalui proses sensasi dan persepsi adalah pengasahan dari potensi menjadi kemampuan yang terwujud. Kemampuan seseorang untuk menangkap pesan (sensasi) tertentu dan memaknainya (persepsi) secara tepat sesuai sudut pandang orang lain akan menggerakkan (motivasi) seseorang untuk berempati. Bandura (Hergenhahn, Olson & Mattew, 2009) mengungkapkan orang belajar dengan mengamati perilaku dari orang lain dan hasil dari perilaku tersebut. Orang dapat belajar melalui observasi meskipun hasil belajar mereka belum tentu ditampilkan dalam perilaku. Pandangan Determinisme Resiprok (Reciprocal Determinism) yang diungkapkan oleh Bandura menjabarkan bahwa seseorang berperilaku tertentu karena adanya interaksi antara orang, lingkungan, dan perilaku orang tersebut, yang kemudian menghasilkan perilaku berikutnya. Dari konsep ini, bisa dikatakan bahwa perilaku mempengaruhi lingkungan dan lingkungan mempengaruhi perilaku. Menurut Bandura empati berkembang karena interaksi dengan banyak orang yang ditemui di sekelilingnya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penjelasan tersebut maka diketahui bahwa kemampuan empati seseorang merupakan kemampuan yang dapat dikembangkan oleh setiap individu. Kemampuan empati yang berdampak pada perilaku prososial muncul karena adanya interaksi dengan orang lain.

5 5 Orang-orang atau lingkungan yang utama dalam bersosialisasi berasal dari keluarga. Interaksi yang penting dalam perkembangan empati individu adalah interaksi yang berasal dari keluarga sebagai lingkungan awal individu berinteraksi dengan orang lain. Keluarga meliputi cara orangtua dalam mengasuh dan kualitas hubungan yang terjadi antara saudara kandung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dadds, dkk (2008), permasalahan sosial muncul karena ketidakpuasan remaja terhadap kondisi orangtua. Pada saat remaja cenderung kurang mendapatkan kasih sayang, kurang mampu mengerti, dan memahami emosi orang lain maka terwujud dalam perilakunya yang cenderung tidak mudah membantu orang lain yang kesusahan. Atau dengan kata lain ketika remaja memiliki kemampuan empati yang rendah maka akan lebih banyak melakukan tindakan agresif. Keterlibatan orangtua sebagai penyebab munculnya permasalahan sosial di lingkungan remaja antara lain karena ketidakcocokan menerapkan pola asuh pada remaja tersebut. Orangtua memberi kebebasan pada remaja untuk berkreasi dan bereksploitasi tanpa stressor batasan dan pengawasan yang baik, orangtua bersikap kurang responsif terhadap kebutuhan anak, orangtua tidak mendukung remaja untuk menyatakan pendapat dan memberi penjelasan tentang ide mereka. Baumrind (1991) menegaskan bahwa penerapan pola pengasuhan yang tepat pada remaja dapat berpengaruh positif terhadap perilaku remaja. Pola asuh otoritatif cocok dan baik untuk diterapkan pada individu yang berada pada usia remaja. Baumrind (1991) memaparkan pola pengasuhan otoritatif diwujudkan dengan sikap orangtua dalam mendidik remaja dengan memberi kebebasan pada remaja untuk berkreasi dan mengeksploitasi berbagai

6 6 hal sesuai dengan kemampuan anak dengan stressor batasan dan pengawasan yang baik. Orangtua bersikap responsif terhadap kebutuhan remaja, mendorong untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk. Remaja akan menjalani hidupnya dengan penuh semangat, bahagia percaya diri, dan remaja akan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak mudah bertindak anarkis. Santrock (2007) menambahkan bahwa remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan otoritatif tumbuh menjadi remaja yang cenderung mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa dan bisa mengatasi stress dengan baik. Sejauh ini penelitian tentang hubungan antara empati remaja ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orangtua telah cukup banyak diteliti. Penelitian Carina (2008) tentang efek pola asuh orangtua dalam perkembangan perilaku hiperaktif, agresi pada remaja pria dan wanita. Penelitian Mcpherson (2004) tentang pola asuh orangtua otoritatif dapat memprediksi penggunaan alkohol pada remaja pria dan wanita. Penelitian Patterson dan Hastings (2007) mengenai kegagalan orangtua dalam mengatur, mendisiplinkan, menghargai dan memecahkan masalah bersama remaja membentuk remaja yang anti sosial. Keotoritatifan orangtua dalam mengasuh remaja memiliki peran yang penting dalam perkembangan dan empati remaja. Pola asuh otoritatif menekankan beberapa aspek, antara lain: pertama, kontrol terhadap aktivitas anak yang bersifat mengarahkan. Kedua, tuntutan kedewasaan dengan memberi kesempatan remaja menghadapi dan mengatasi permasalahan yang dimiliki diikuti oleh campur tangan orangtua untuk mengarahkan pada aspek kepribadian yang positif. Ketiga, komunikasi anak dan orangtua yang terwujud ketika

7 7 orangtua menyediakan waktu pada remaja untuk percakapan yang bersifat pribadi diluar masalah rutin. Keempat, kasih sayang yang tampak dari pujian, penghargaan, belaian dan kehangatan pada remaja. Orangtua yang mampu memenuhi aspek tersebut cenderung mampu memberikan contoh perilaku positif pada remaja dan lingkungannya, menanamkan norma-norma masyarakat sehingga dapat menambah kedekatan dengan remaja dan menciptakan hubungan yang hangat antara orangtua dan remaja. Kehangatan dan kedekatan yang tercipta merupakan salah satu faktor untuk mengembangkan empati remaja (Shaffer, Harrison, & Joplin., 2004). Oleh karena itu, keotoritatifan orangtua dalam mengasuh remaja penting untuk diteliti. Selain adanya faktor keotoritatifan pola asuh orangtua, perkembangan empati remaja dipengaruhi oleh kualitas hubungan saudara kandung. Kualitas hubungan saudara kandung memiliki pengaruh besar dalam perilaku-perilaku perkembangan sosial saudaranya, melalui kebersamaan dalam perilaku menolong, agresifitas, dan aktifitas yang dilakukan bersama-sama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Toumbourou dan Gregg (2002) bahwa dengan adanya intervensi antara orangtua dan anggota keluarga lain berguna untuk meningkatkan komunikasi dan mengurangi konflik pada perilaku sosial remaja. Bhurmester dan Furman (dalam Brody, Stoneman, & Flor, 1996) menjelaskan empat dimensi dari hubungan saudara kandung yaitu kehangatan (Warmth), status atau kekuatan (relative power / status), konflik (conflict), dan juga persaingan (rivalvy) antara sesama saudara kandung. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara hubungan saudara kandung dengan kehangatan dan afeksi, serta berkorelasi negatif antara saudara kandung dengan konflik dan persaingan.

8 8 Cicirelli (1995) mengungkapkan bahwa pengaruh saudara kandung dalam proses sosialisasi dapat lebih kuat dibandingkan orangtua. Kehadiran saudara kandung dapat bertindak sebagai pendukung secara emosional, kawan berkomunikasi, bahkan sebagai saingan. penelitian Crinc dan Leconte (1994) menguraikan bahwa hubungan antara saudara kandung adalah hubungan yang unik, penting dan spesial dimana satu sama lain saling mempengaruhi kehidupan saudaranya. Jika salah satu saudaranya mengalami tunaganda maka hubungan jangka panjang yang terjadi dapat mempengaruhi perkembangan satu sama lain. Mempertegas pendapat tersebut Vadasy, Fewell, Meger dan Schell (1984) menjelaskan bahwa remaja yang memiliki saudara tunaganda memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan menunjukkan perasaan dan sikap positif dalam berinteraksi dengan lingkungan dibanding dengan remaja yang tidak memiliki saudara tunaganda atau berkebutuhan khusus. Perasaan dan sikap positif tersebut meliputi tingkat kedewasaan, tanggung jawab, dan cenderung lebih empati dan tolleran terhadap perbedaan. Beberapa hasil penelitian sebelumnya semakin mempertegas pendapat Eisenberg dan Morris (2001) bahwa semakin sering seseorang bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain maka kepekaan dan empatinya akan semakin terasah. Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi, menyesuaikan diri, dan toleransi terhadap orang lain mempermudah remaja untuk semakin banyak berinteraksi dengan orang lain sehingga empati remaja akan semakin bertambah baik. Penelitian yang dilakukan oleh Garcia dan Enrique (2009), menemukan bahwa hubungan antar saudara kandung dapat menjadi dasar untuk mengukur perkembangan kemampuan sosial seseorang. Penelitian Yeh dan Lempers

9 9 (2004) menambahkan bahwa kelekatan antar saudara kandung dan hubungan dengan saudara kandung yang kuat dapat memberikan sumbangan dalam kesuksesan perkembangan sosial dan penyesuaian diri yang sehat. Menurut pendapat Furman dan Lanthier (1996) kehadiran saudara kandung merupakan bagian pokok dari kehidupan sosial individu. Memiliki saudara kandung dapat merupakan suatu kebahagiaan, dapat juga menjadi ancaman, atau bahkan keduanya. Hubungan antar saudara kandung dapat berubah-ubah, perasaan yang muncul dapat sangat positif, dapat juga sangat negatif. Observasi yang dilakukan oleh Basket dan Johnson (dalam Santrock, 2007), menunjukkan bahwa anak-anak berinteraksi lebih positif dan lebih bervariasi dengan orangtuanya daripada dengan saudara kandungnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, kualitas hubungan saudara kandung berperan penting dalam menciptakan kehangatan dan afeksi yang tinggi. Remaja mampu bersosialisasi dengan lingkungan apabila memiliki kehangatan dan afeksi yang tinggi. Dipertegas dengan adanya pendapat Mathew (Hoffman, 2000) semakin banyak dan semakin sering seseorang bersosialisasi akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain. Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang akan memberikan contoh kebiasaan prososial. Berdasarkan uraian permasalahan serta pemaparan penelitian yang pernah dilakukan terdahulu maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam usaha mencari penjelasan tentang hubungan empati, keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung. Sehingga permasalahan penelitiannya adalah apakah keotoritatifan pola asuh dan kualitas hubungan saudara kandung dapat digunakan sebagai prediktor empati pada remaja.

10 10 B. Perumusan Masalah Sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah di atas, maka perumusah masalah penelitian ini yaitu: Apakah empati remaja dapat diprediksi dengan keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan penelitian Berdasarkan dari latar belakang penelitian, tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti yaitu untuk memprediksi empati remaja ditinjau dari keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung. 2. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran dan penjelasan yang disertai bukti empiris berdasarkan hasil penelitian mengenai besarnya pengaruh keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung terhadap empati pada remaja. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk penelitian-penelitian selanjutnya dalam bidang ilmu psikologi. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian mengenai empati dan persepsi pola asuh otoritatif dan persepsi hubungan saudara kandung sudah pernah dilakukan. Akan tetapi masing-masing peneliti mengkaji dari berbagai dimensi yang berbeda sehingga

11 11 sangat bermanfaat sebagai bahan pembanding untuk menentukan keaslian penelitian ini. Beberapa penelitian tersebut akan disebutkan di bawah ini. Meliyana (2009) melakukan penelitian tentang peran empati terhadap ketrampilan sosial dan agresifitas pada anak sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa empati berperan dalam agresifitas dan kemampuan sosial anak. Semakin tinggi empati anak maka ketrampilan sosialnya semakin tinggi pula, akan tetapi agresifitasnya semakin rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Amin (2010) dengan metode pemberian skala pada 93 siswa SMP menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif dan pemahaman cerita islami memiliki hubungan yang positif terhadap penalaran moral remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2010) dengan metode pemberian skala pada 132 orang menunjukkan bahwa persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan berempati memiliki hubungan dengan kecenderungan berperilaku bullying pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Wardhati (2004) tentang pemaafan ditinjau dari empati dan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan dalam hubungan interpersonal yang erat. Penelitian dikenakan pada 190 mahasiswa s1 psikologi universitas gajah mada, berusia 19 sampai 22 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa empati dan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan secara bersama-sama berperan positif terhadap pemaafan dalam hubungan interpersonal yang erat. Penelitian yang dilakukan oleh Murniatiek (2004) tentang hubungan antara penilaian anak terhadap cerita fim anak di televisi dengan kemampuan empati dan perilaku prososial pada anak usia sekolah dasar. Subjek penelitian ini adalah 116 anak kelas IV, V, dan VI sekolah dasar di SDN Samirono Yogyakarta,

12 12 berusia 9-12 tahun serta memiliki pesawat telepon di rumahnya. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan positif antara penilaian anak terhadap cerita film anak di televisi dengan kemampuan empati dan perilaku prososial. Penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2008) tentang kemampuan empati anak sekolah dasar pada sekolah alam dan sekolah regular. Subjek penelitian ini adalah 552 siswa sekolah alam dan sekolah dasar regular kelas IV- VI sekolah dasar, yang berusia 9-12 tahun dari SD negeri I Ngresep Semarang dan SD Islam Terpadu Hidayatullah Semarang. Subjek dari sekolah alam berasal dari sekolah dasar Ar Ridho Semarang dan Sekolah Dasar Kanisius Mangunan Yogyakarta. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan empati pada anak sekolah dasar di sekolah regular dan di sekolah alam. Berdasarkan paparan berbagai hasil penelitian di atas, dan sejauh pengetahuan penulis, belum ditemukan penelitian lain yang memasangkan antara variabel empati, keotoritatifaan pola asuh orangtua, dan kualitas hubungan saudara kandung pada remaja. Oleh karena itu penelitian ini masih perlu dilakukan karena berdasarkan penelitian sebelumnya hanya meneliti kemampuan empati terhadap keterampilan sosial, hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan berempati terhadap perilaku bullying pada remaja. Selain itu, terdapat perbedaan subjek dan lokasi penelitian dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Untuk itu penulis berpendapat bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya sekaligus dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Remaja pada dasarnya dalam proses perkembangannya membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Remaja juga mulai belajar serta mengenal pola-pola sosial salah satunya adalah perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan seorang manusia berjalan secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Idealnya, di dalam sebuah keluarga yang lengkap haruslah ada ayah, ibu dan juga anak. Namun, pada kenyataannya, saat ini banyak sekali orang tua yang menjadi orangtua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang BAB I PENDAHULUAN l.l Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Merekalah yang akan menerima kepemimpinan dikemudian hari serta menjadi penerus perjuangan bangsa. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Masalah Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat dalam kehidupannya. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan yang begitu pesat dan perkembangan mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa ditandai dengan adanya masa transisi yang dikenal dengan masa remaja. Remaja berasal dari kata latin adolensence,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain tentunya sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang dihadapi siswa dalam memasuki lingkungan sekolah yang baru adalah penyesuaian diri, walaupun penyesuaian diri tidak terbatas pada siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam buku psikologi untuk keluarga, Gunarsa (2003) menyatakan bahwa dasar kepribadian seseorang dibentuk mulai masa kanak-kanak. Proses perkembangan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial seseorang, perkembangan anak akan tergantung pada keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. sosial seseorang, perkembangan anak akan tergantung pada keberfungsian BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan fondasi primer bagi perkembangan kemampuan sosial seseorang, perkembangan anak akan tergantung pada keberfungsian keluarganya. Keluarga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terbiasa dengan perilaku yang bersifat individual atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terbiasa dengan perilaku yang bersifat individual atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini perilaku prososial mulai jarang ditemui. Seiring dengan semakin majunya teknologi dan meningkatnya mobilitas, masyarakat terbiasa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat mengembangkan potensi-potensinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang dikenal dengan keramahtamahannya serta budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang sangat penting di dalam perkembangan seorang manusia. Remaja, sebagai anak yang mulai tumbuh untuk menjadi dewasa, merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik, pengembangan kepribadian, pencapaian kedewasaan, kemandirian, dan adaptasi peran dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks dimana individu baik laki-laki maupun perempuan mengalami berbagai masalah seperti perubahan fisik, perubahan emosi,

Lebih terperinci

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang ada disekitarnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan IPTEK yang semakin pesat saat ini mempengaruhi perilaku individu termasuk siswa. Perilaku yang sering muncul pada siswa di sekolah paling banyak pada hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : YUNITA AYU ARDHANI F 100 060

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah anak yang berusia nol tahun atau sejak lahir hingga berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan akademik (kognitif) saja namun juga harus diseimbangkan dengan kecerdasan emosional, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masa remaja terbagi menjadi tiga bagian yaitu, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masa remaja terbagi menjadi tiga bagian yaitu, salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Secara umum masa remaja terbagi menjadi tiga bagian yaitu, salah satunya adalah masa remaja akhir (19-22 tahun) pada masa ini remaja ditandai dengan persiapan akhir

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I ini menguraikan inti dari penelitian yang mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi. 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam proses belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan bersosialisasi dengan lingkungannya, keluarga, sekolah, tempat les, komunitas, dan lainlain. Manusia pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wellbeing merupakan kondisi saat individu bisa mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosional orang lain, perasaan yang sama dengan apa yang dirasakan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosional orang lain, perasaan yang sama dengan apa yang dirasakan orang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Empati merupakan respon afektif yang berasal dari pemahaman kondisi emosional orang lain, perasaan yang sama dengan apa yang dirasakan orang lain. Empati adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang harus ditempuh oleh setiap warga negara. Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan bahwa setiap warga negara Indonesia

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkah laku menolong sering muncul dalam masyarakat, dimana perilaku ini diberikan guna meringankan penderitaan orang lain, misalnya menolong orang lain yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan ataupun kasus tawuran dan keributan antara pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) yang pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Sebagai seorang manusia, kita memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Interaksi kita dengan orang lain akan memiliki dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan sosial dan kepribadian anak usia dini ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang akan selalu memerlukan bantuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang akan selalu memerlukan bantuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang akan selalu memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai makhuk sosial manusia akan selalu berhubungan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

BAB 1 PENDAHULUAN. sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan orang yang sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup. Peristiwa yang mengharukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Coopersmith (1967 ; dalam Sert, 2003; dalam Challenger, 2005; dalam Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara psikologis perubahan merupakan situasi yang paling sulit untuk diatasi oleh seseorang, dan ini merupakan ciri khas yang menandai awal masa remaja. Dalam perubahannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu proses penyatuan dua individu yang memiliki komitmen berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai tiga kemampuan yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku. Kemampuan kognitif merupakan respon perseptual atau kemampuan untuk berpikir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemandirian yang dimiliki oleh setiap manusia berawal dari masa anak anak. Proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemandirian yang dimiliki oleh setiap manusia berawal dari masa anak anak. Proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian yang dimiliki oleh setiap manusia berawal dari masa anak anak. Proses pembentukannya dimulai sejak anak berusia 2 bulan hingga masa dewasa (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang

BAB II KAJIAN TEORI. lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani phatos yang BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Empati 2.1.1 Pengertian Empati Istilah empati berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, secara harfiah berarti memasuki perasaan orang lain (feeling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi perkembangan penyesuaian diri individu. Keluarga juga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat dan diberikan sedini mungkin kepada anak-anak. Pemahaman yang tepat mengenai nilai-nilai

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu cita-cita besar dari kebijakan sistem pendidikan nasional saat ini adalah dapat terjadinya revolusi mental terhadap bangsa ini. Mengingat kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Bangsa yang unggul adalah bangsa yang dapat memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dengan baik bagi kesejahteraan rakyatnya serta memiliki sumber daya manusia (SDM)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati tercipta dengan sifat yang unik, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap individu memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang BAB I PENGANTAR Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan periode perkembangan yang sangat banyak mengalami krisis dalam perkembangannya. Masa ini sering juga disebut dengan masa transisi karena remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dukungan dan perhatian yang lebih dari orang di sekitar guna membantu remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dukungan dan perhatian yang lebih dari orang di sekitar guna membantu remaja 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana setiap individu membutuhkan dukungan dan perhatian yang lebih dari orang di sekitar guna membantu remaja menghadapi tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai orang tua harus mempersiapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Manusia sebagai makhluk individu memiliki keunikan tersendiri berbeda satu dengan yang lain, baik dari segi fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia membutuhkan manusia berkompeten untuk mengolah kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri, disiplin, jujur, berani,

Lebih terperinci