PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh"

Transkripsi

1 PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca!!! Wassalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA

2 STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU X BANDUNG SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Disusun Oleh: Yus Rizki UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS PSIKOLOGI 2008

3 LEMBAR PENGESAHAN STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU X BANDUNG NAMA MAHASISWA : YUS RIZKI NPM : Bandung, Juni 2008 UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS PSIKOLOGI Menyetujui, Hedi Wahyudi, Drs., M.Psi. Pembimbing I Suci Nugraha, Dra., M. Psi. Pembimbing II Mengetahui, Dr. H. Umar Yusuf, M.Si. Psi Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung

4 Motto : Sebab sungguh, bersama kesukaran ada keringanan. Sungguh, bersama kesukaran ada keringanan. Karena itu, selesai (tugasmu), teruslah rajin bekerja. Kepada Tuhanmu tunjukkan permohonan. Q. S. Alam Nasyrah, 94 : 5-8

5 Persembahan : Skripsi ini ku persembahkan untuk Ayah (alm) dan Mama, serta ketiga kakakku yang tak pernah lelah berusaha mendidik, menjaga, dan mendoakanku agar menjadi anak yang solehah dan berilmu demi masa depanku.

6 i KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohim Assalaamu alaikum Wr. Wb. Syukur alhamdulillah, segala puji dan syukur Kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan-nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU X BANDUNG. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Setiap manusia akan dihadapkan pada ujian dan kesusahan dalam kehidupannya. Begitu juga dengan penulis yang dihadapkan dengan berbagai kesusahan dan ujian. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud apabila tidak ada bantuan dan dorongan dari berbagai pihak selama proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu: 1. Kepada Ayahku Ghazali Yus (alm), semoga Ayah berbahagia atas keberhasilan anakmu ini. Begitu pula dengan Ibundaku Chadidjah, yang tidak pernah lelah berdoa demi kesuksesan dan keberhasilan penulis. 2. Kepada kakak-kakakku tersayang: Yusrizal, Yusmaida, dan Yus Amri. serta kakak-kakak iparku: Saptari Mulyaningsih, Joko Prabowo, dan Santi

7 ii Susanto. Terima kasih yang tak terhingga atas segala kasih sayang, do a, pengorbanan, dan dukungan yang tiada henti diberikan dalam membesarkan dan mendidik penulis selama ini. 3. Kepada Bapak Drs. Umar Yusuf, M. Si., selaku dekan Fakultas Psikologi UNISBA. 4. Kepada Bapak Hedi Wahyudi., Drs., M. Psi., selaku dosen pembimbing pertama. Terimakasih atas waktu, tenaga, serta bantuannya dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Suci Nugraha, M. Psi., selaku dosen pembimbing kedua. Terimakasih atas masukan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skirpsi. 6. Ibu Sukarti H. Manan., selaku dosen wali yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. 7. Kepada segenap pimpinan, guru-guru, dan siswa SMU X yang telah membantu penulis dalam penelitian ini. 8. Tetehku Rizki Rudiani, S. Psi., terima kasih atas semua perhatian, kasih sayang, dan bantuannya kepada peneliti. Semoga Allah memberikan segala hal yang terbaik di setiap segi kehidupanmu. Amin. 9. Teman-teman MoonLayers yang sudah mendahului berkhianat meninggalkan kosan: Kak Nina, Mba Putri, dan Kak Fitri. Juga buat adikadik yang masih menikmati kenyamanan kosan: Geby, Saka, Icha, Anne, Citra, dan yang lainnya.

8 iii 10. Teman-teman mantan pengurus BEMF Psikologi : Mbah dinda Uyut, Teh Tantri, Teh Day, Yana, Yani Olive, Mak Vidot, Mbe, Teh Icha, Alpha, Adi, Wendy, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 11. Teman-teman seperjuangan: Septi, Nindi, dan Ririe, terus semangat karena perjuangan kita belum berakhir. Untuk Kiki Desiariani, Luthfi, Ully dan Kak Ria, terus berusaha dan jangan mudah menyerah. 12. Teman-teman Psikologi angkatan 2003 yang tidak dapat disebutkan satupersatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran dari berbagai pihak, karena hal tersebut merupakan alat motivasi penulis untuk berkarya lebih baik lagi di masa yang akan datang. Mudah-mudahan sedikit karya tangan penulis ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Wassalamu alaikum Wr. Wb. Bandung, Juni 2008 Penulis, Yus Rizki

9 iv ABSTRAK YUS RIZKI. STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU X BANDUNG. Jumlah remaja yang telah melakukan hubungan seksual pranikah semakin meningkat setiap tahunnya. Berbagai pihak baik orangtua, guru, dan juga masyarakat telah berupaya meredusir pertumbuhan angka ini. Adapun usaha yang dilakukan orangtua dan guru yaitu memberikan pengetahuan agama, informasi mengenai dampak buruk dari perilaku tersebut, dan melakukan pengawasan terhadap remaja. Remaja pada penelitian ini adalah siswa SMU X, dimana SMU ini merupakan sekolah yang bernuansa islami yang lebih menekankan pendidkan agama dibandingkan dengan sekolah biasa. Akan tetapi, pada SMU ini didapat sebanyak 42% dari 50 siswa mengaku telah melakukan hubungan seksual pranikah. Berbagai faktor dari dalam diri dan juga lingkungan dihayati secara berbeda pada tiap siswa, sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda pula. Setiap siswa mempunyai sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku yang berbeda, dimana determinan ini menentukan seberapa kuat intensi (niat) seseorang untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU X dilihat dari sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan seksual pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah. Alat ukur ini berbentuk kuesioner dengan skala Osgood. Alat ukur intensi untuk berhubungan seksual pranikah disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988) yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian ini. Selain mengukur intensi, peneliti juga melakukan pengukuran terhadap determinan pembentuk intensi yaitu: sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah. Dalam pengukuran determinan pembentuk intensi, alat ukur yang digunakan juga disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988). Data yang dihasilkan oleh keempat alat ukur ini merupakan data yang berskala ordinal, sedangkan diperlukan data yang berskala interval untuk dilakukannya pengujian statistik analisis regresi. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam alat ukur ini perlu dinaikkan tingkatannya menjadi berskala interval dengan menggunakan metode succesive interval. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa 43% responden memiliki intensi berhubungan seksual pranikah yang kuat atau hampir sebagian siswa memiliki keinginan atau kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, sehingga memungkinkan untuk melakukan perbuatan tersebut. Selain itu determinan yang paling berkontribusi terhadap kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah adalah norma subyektif dengan koefisien regresi terbesar (0,479). Hal ini berarti orang-orang yang penting bagi siswa, yang paling menentukan kuat atau lemahnya intensi berhubungan seksual pranikah dari siswa.

10 v DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL...viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Identifikasi Masalah Maksud dan Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Pengertian dan Batasan Usia Remaja Perkembangan Seksual Remaja Theory of Planned Behavior Faktor-faktor Penentu Intensi Sikap Terhadap Tingkah Laku Pengertian Sikap Obyek Sikap (Attitudinal Objects) Determinants of Attitude Toward Behavior Norma Subyektif Pengertian Norma Subyektif... 20

11 vi Determinants of Subjective Norm Perceived Behavior Control (PBC) Pengertian PBC Determinants of Perceived Behavior Control Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation) Intensi Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi Perilaku Seksual Pengertian Perilaku Seksual Pola perilaku seksual yang dianggap sesuai oleh masyarakat Cara-cara untuk mengekspresikan cinta untuk orang lain Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Kerangka Pemikiran BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Variabel Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Penelitian Sampel Penelitian Alat Ukur Kisi-kisi Alat Ukur Sistem Penilaian Alat Ukur Norma Alat Ukur... 58

12 vii Pengolahan Data Pengukuran Reliabilitas Alat Ukur Validitas Alat Ukur dan Analisis Item Prosedur Pelaksanaan Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Kategori Intensi Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi Hasil Perhitungan Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi dengan Analisis Statistik Multiple Regression Gambaran Intensi Dikaitkan dengan Pengalaman Seksual dan Jenis Kelamin Responden Data Penunjang Pembahasan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13 viii DATA TABEL DAN GRAFIK Tabel 3.4.1a 3.4.1d : Kisi-kisi alat ukur Tabel 3.4.3a 3.4.3d : Norma Alat Ukur Tabel Tabel Tabel : Hasil uji reliabilitas alat ukur : Kriteria korelasi Guilford : Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Kategori Intensi Grafik 4.1 Tabel : Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi : Hasil perhitungan kontribusi determinan pembentuk intensi Grafik 4.2 Grafik 4.3 : Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi : Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Pengalaman Seksual Grafik 4.4 : Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel : Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Tabel a Tabel b Tabel c : Respon Responden Mengenai Behavioral Belief : Respon Responden Mengenai Normative belief : Respon Responden Mengenai Control belief

14 ix DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Lampiran B Lampiran C Lampiran D Lampiran E Lampiran F : Skor Interval Untuk Setiap Item : Data Mentah : Rekapitulasi Data Mentah : Alat Ukur : Hasil Analisis Validitas, Reliabilitas dan Analisis Item : Hasil Perhitungan Analisis Statistik Multiple Regression

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana setiap tahun jumlah remaja semakin meningkat. Saat ini penduduk berusia 15 sampai 24 tahun dan belum menikah besarnya sudah 40% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Mereka adalah remaja sekolah, yaitu SMP, SMU, dan Universitas. Remaja tidak sekolah, yaitu remaja pekerja, dan remaja jalanan. Termasuk juga remaja dengan perilaku seks beresiko seperti sexually active, seperti pekerja seks remaja, gay, dan waria. (PKBI online, 2006). Periode remaja diwarnai dengan berbagai perubahan baik biofisik maupun psikologis. Secara biofisik, masa remaja diawali dengan perubahan fungsi fisiologis yaitu meliputi kematangan organ-organ seks dan perubahan penampilan bentuk tubuh. Dari sisi psikologis, masa remaja merupakan masa transisi dalam aspek perkembangan antara lain aspek mental, emosi, sosial, kehidupan seksual dan sebagainya. Situasi transisi dalam hal fisik dan psikis ini sering timbul adanya kebutuhan-kebutuhan dalam diri remaja yang terkadang tidak ditemuinya pada masa anak-anak. Adanya kebutuhan atau dorongan ini sering menyebabkan remaja menampilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang mencerminkan kegairahan hidup. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Hal

16 Bab I - Pendahuluan 2 ini didukung oleh rasa keingintahuan yang tidak pernah terpuaskan mengenai misteri seksualitas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent Psychology, 1980). Informasi yang diterima dari teman sebaya maupun dari aksesbilitas yang sangat mudah terhadap media pornografi seperti situs porno di internet, tabloid dan film porno, serta komik hentai (komik porno Jepang) yang bertebaran di sekeliling remaja, sering kali tidak tepat. Hal ini pula yang menjadi salah satu stimulan pergeseran perilaku seksual para remaja saat ini, dimana rasa keingintahuan tidak terpuaskan maka tidak jarang mereka mengadakan eksperimen dalam kehidupan sekualnya seperti berciuman, bercumbu, dan bahkan bersenggama. Menurut Sudarmadi (Deputi Bidang keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKBN), jumlah remaja Indonesia yang telah melakukan hubungan seksual pranikah telah berada pada lampu kuning, karena angkanya berkisar 40%-45% ( 14 Mei 2007). Keadaan seperti ini sangat mengkhawatirkan berbagai pihak, terutama orangtua dan pihak sekolah sebagai orang-orang terdekat dalam kehidupan remaja. Sehingga berbagai upaya dilakukan agar anak remaja yang mereka miliki tidak terjebak pada hal-hal yang membawa dampak buruk. Adapun upaya yang umum dilakukan oleh orangtua adalah melarang anaknya untuk melakukan perilaku seksual pranikah, baik dengan landasan agama ataupun dengan

17 Bab I - Pendahuluan 3 penjelasan dampak buruk dari perbuatan tersebut. Selain itu, upaya lainnya ialah menyekolahkan anaknya di sekolah yang memberikan pendidikan agama yang lebih dari sekolah biasa. SMU X Bandung adalah salah satu SMU yang bernuansa islami. Salah seorang pimpinan SMU X, mengatakan bahwa sekolah ini memiliki visi bagi terwujudnya siswa yang berprestasi, inovatif, dan kreatif yang berlandaskan pada ahlaqul karimah. Untuk mewujudkannya, sekolah melaksanakan beberapa program mulai dari penambahan jam mata pelajaran pendidikan agama menjadi 6 jam (anjuran pemerintah selama 2 jam), dan sering mengadakan peringatan hari besar seperti Maulid Nabi, Nuzul Qur an, dan Isra Mi raj. Kegiatan keagamaan ini dilakukan selain untuk mewujudkan visi, diharapkan pula sebagai antisipatif terhadap munculnya perilaku yang tidak sepantasnya, namun usaha-usaha yang dilakukan pihak sekolah belum sepenuhnya mencapai visi tersebut, ujar salah seorang guru. Peneliti juga melakukan wawancara kepada beberapa siswa mengenai kegiatan yang sering diadakan oleh sekolah. Mereka mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak menarik dan cenderung membosankan baik dari segi materi yang disampaikan, serta kondisi tempat atau aula yang digunakan tidak nyaman karena panas. Fakta lain yang didapat melalui angket pra-survei mengenai perilaku seksual yang dibagikan kepada 50 orang siswa SMU X, menunjukkan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 42% diantaranya mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Selain itu, berdasarkan wawancara sebagian besar diantara siswa mengatakan bahwa perilaku berpegangan tangan,

18 Bab I - Pendahuluan 4 berciuman, dan berpelukan merupakan hal yang wajar atau biasa dilakukan ketika berpacaran untuk menunjukkan rasa sayang terhadap pasangannya. Para siswa yang telah melakukan intercourse menyatakan bahwa mereka cenderung tertarik untuk melakukan hal tersebut, dan tak jarang pula mereka mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Disamping itu, mereka mengungkapkan bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang menimbulkan rasa puas, menyenangkan, dan menambah kedekatan dengan pasangannya. Selain itu, para siswa baik yang telah melakukan maupun yang belum melakukan hubungan seks pranikah mengaku bahwa orangtua dan juga guru selalu mengingatkan mereka agar tidak terjebak dalam perilaku tersebut, dan dan bahkan melarang perbuatan tersebut. Mereka yang melakukan hubungan seks pranikah mengatakan bahwa, ada orang-orang terdekat lainnya yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini, bagi siswa putri lebih banyak terpengaruh oleh pasangannya yang meminta, merayu, dan bahkan memaksa mereka untuk melakukan hubungan seksual atas nama cinta. Dipihak lain, beberapa siswa putra mengaku tidak dapat menolak ajakan temannya untuk menonton film porno dan mengikuti pesta seks atau mereka sebut dengan pesta bujang. Sebagian besar siswa mengaku bahwa mereka memiliki hasrat seksual yang terkadang sulit untuk dibendung, terutama ketika sedang berduaan dengan kekasihnya, terlebih lagi ketika terdapat kesempatan untuk melakukan kegiatan yang menjurus kepada intercourse, seperti berciuman hingga petting. Beberapa

19 Bab I - Pendahuluan 5 diantara mereka memilih untuk menggunakan kesempatan yang ada untuk menyalurkan hasratnya, terutama disaat rumah sedang kosong. Disisi lain, terdapat juga siswa yang belum melakukan hubungan seksual pranikah. Mereka beranggapan bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan efek negatif, seperti dapat menyebabkan kehamilan, menghancurkan masa depan, dan perasaan berdosa. Disamping itu, bila dihadapkan pada kesempatan untuk melakukan hubungan seksual, maka mereka lebih memilih untuk menghindari kesempatan tersebut dengan cara mengunjungi tempat yang lebih ramai seperti mall atau tempat umum lainnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada umumnya para siswa telah mendapatkan informasi yang sama di sekolah maupun di rumah. Hal ini terkait dengan lingkungan mereka terutama sekolah yang menanamkan nilai religius sehingga mereka sering mendapatkan larangan-larangan dan penjelasan larangan itu sendiri dari guru-guru dan juga orangtua di rumah. Selain itu, hampir seluruh responden mengetahui dampakdampak negatif (sebagian besar dampak secara fisik) dari perbuatan seks pranikah. Dampak-dampak ini tampaknya tidak menghalangi beberapa siswa untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Dipihak lain, terdapat siswa yang sampai saat ini belum pernah melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu patut dipertanyakan apa yang mendasari remaja untuk melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual pranikah. Masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja merupakan permasalahan yang cukup serius dan harus segera ditanggulangi, oleh karena itu masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja perlu untuk dikaji lebih

20 Bab I - Pendahuluan 6 dalam sehingga dapat menambah informasi dalam usaha penanggulangan masalah ini. Menurut Icek Ajzen (2005), kemunculan suatu tingkah laku ditandai dengan adanya niat (intensi) individu untuk bertingkah laku. Dimana intensi ini merupakan kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi ini terbentuk dari beberapa determinan, yaitu bagaimana seseorang menyikapi suatu perilaku, bagaimana significant person mempengaruhi, mengharapkan, ataupun menyetujui suatu perilaku yang muncul, dan juga bagaimana seseorang mengontrol perilakunya. Dengan pertimbangan ini peneliti mengangkatnya dalam judul: Studi Deskriptif Mengenai Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Pada Siswa SMU X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Menurut Ajzen (2005), perilaku dalam hal ini perilaku hubungan seksual pranikah dapat diprediksikan dengan mengukur intensi individu untuk berhubungan seksual. Dimana Ajzen mengemukakan bahwa intensi terbentuk dari tiga determinan yaitu: sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi terhadap kontrol perilaku. Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu objek yang dinyatakan secara konsisten dengan perasaan menyukai atau tidak menyukai. Sedangkan sikap terhadap tingkah laku berarti evaluasi positif atau negatif terhadap hasil dari ditampilkannya tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005). Sehingga jika seorang remaja melakukan perilaku seksual pranikah dan

21 Bab I - Pendahuluan 7 menganggap bahwa perilaku itu menyenangkan atau menyukai perilaku tersebut, maka remaja tersebut memiliki sikap yang positif terhadap perilaku seksual pranikah. Determinan kedua yaitu norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari orang-orang penting baginya (significant person) yang mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku (fishbein&ajzen, 1975:302). Bila significant person seorang remaja adalah teman-temannya yang pernah melakukan hubungan seksual, dan mendukung atau memperbolehkan remaja tersebut ia untuk melakukan hubungan seksual pranikah, maka remaja tersebut memiliki kecenderungan untuk berperilaku hubungan seksual pranikah. Determinan ketiga yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku. Ajzen (1988) mendefinisikannya sebagai persepsi individu terhadap kemudahan atau kesulitan dalam menampilkan tingkah laku serta diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman masa lalu dan antisipasi dari hambatan yang mungkin muncul. Selanjutnya semakin positif sikap dan subjective norms tentang tingkah laku tersebut serta semakin besar kontrol tingkah laku yang dipersepsikan, semakin kuat pula intensi individu untuk menampilkan tingkah laku tertentu. Akhirnya, dengan actual behavioral control yang cukup, seorang individu diharapkan untuk merealisasikan intensinya menjadi tingkah laku jika terdapat kesempatan. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan data dan mengkaji tentang Intensi remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah

22 Bab I - Pendahuluan 8 serta faktor-faktor pembentuk intensi yaitu sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif tentang hubungan seksual pranikah dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah. Berdasarkan uraian masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah intensi remaja untuk melakukan hubungan seksual dilihat dari sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol tingkah laku terhadap perilaku hubungan seksual pada pada siswa SMU X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh data empiris mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU X Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada SMU X dilihat dari sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan seksual pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. Kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan berupa informasi mengenai gambaran intensi berhubungan seksual pranikah pada mahasiswa. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai data awal untuk

23 Bab I - Pendahuluan 9 penelitian-penelitian lain yang terkait dengan intensi berhubungan seksual pranikah. Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai informasi untuk orang tua, sekolah, para praktisi dibidang sosial, masyarakat umum, dan para remaja itu sendiri mengenai intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Dengan mengetahui gambaran intensi berhubungan seksual pranikah serta kontribusi dari sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif dan persepsi tentang kontrol tingkah laku terhadap pembentukan intensi, pihak-pihak yang terkait dapat membuat program intervensi yang tepat untuk memberikan upaya preventif yang tepat dalam masalah yang berkaitan dengan perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja.

24 BAB II TINJAUAN TEORITIS Pada bab ini akan akan diuraikan beberapa landasan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu konsep mengenai remaja, theory of planned behavior dan perilaku seksual. 2.1 Remaja Pengertian dan Batasan Usia Kata adolescence (remaja) berasal dari bahasa latin yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Remaja, diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Para peneliti membedakan usia kronologis remaja menjadi tiga bagian yaitu masa remaja awal yang berlangsung dari tahun, masa remaja tengah dari tahun, dan masa remaja akhir sejak usia tahun (Arnett, 2000; Kagan dan Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977 dalam Steinberg, 2002:4). Sedangkan menurut Sarlito Wirawan, batasan usia untuk remaja Indonesia berkisar 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah Perkembangan Seksual Remaja Masa remaja adalah peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, bukan hanya secara psikologis, tetapi juga secara fisik. Perubahan-perubahan fisik yang

25 Bab II Tinjauan Teoritis 11 terjadi merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis mencul antara lain sebagai akibat fisik. Perubahan secara fisiologik ini erat kaitannya dengan perkembangan fungsi produksi, yang pada remaja putri ditandai dengan menstruasi pertama, sedangkan pada pria mengalami wet dream. Perubahan fungsi fisiologik ini menimbulkan perubahan terhadap seksual remaja, dimana remaja merasakan dorongan-dorongan atau hasrat terhadap seksual yang tidak ditemui pada masa anak-anak. Seiring dengan perubahan ini, menurut Elizabeth Hurlock, remaja memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Remaja mulai memiliki minat terhadap kehidupan sosial Pada saat remaja mulai mencari informasi tentang seksual, tapi kebanyakan remaja merasa malu dan bertanya kepada orangtua atau guru. Sebaliknya orangtua dan guru masih sering merasa canggung dan kesulitan memberikan pengarahan tentang masalah seksual. Sehingga remaja mencari informasi dari sumber-sumber yang terkadang kurang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Remaja mulai tertarik dengan lawan jenis Dalam hal ini remaja selalu berusaha agar dapat menarik perhatian teman lawan jenisnya. Ini berarti penampilan merupakan hal yang utama bagi mereka. 3. Remaja mulai mengenal arti cinta dan mencoba mengekspresikan perasaan dan cintanya Dalam mengekspresikan perasaan cintanya dapat berupa non fisik, seperti menjalin hubungan bersifat konstan dan memberi kepercayaan. Perasaan cinta

26 Bab II Tinjauan Teoritis 12 dapat diekspresikan pula secara fisik, seperti kissing, petting, atau sexual intercourse pranikah. Sehubungan dengan terjadinya perubahan kehidupan seksual dan minat remaja untuk mengekspresikan dorongan seksual, remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai kehidupan seksual dewasa. Di bawah ini terdapat beberapa tugas perkembangan remaja dalam kehidupan seksual yang dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock: 1. Remaja harus mendapatkan pengetahuan tentang seksual dan bagaimana cara berperan berdasarkan jenis kelamin secara baik, jelas, dan benar. Dimilikinya pengetahuan ini akan mendorong remaja bertingkah laku seksual dengan norma-norma susila. 2. Remaja harus memiliki nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat, untuk membimbing dalam menentukan teman hidup atau membina keluarga kelak. 3. Remaja harus belajar mengekspresikan cinta sesuai dengan norma-norma lingkungan dimana remaja tinggal. Dengan tercapainya tugas-tugas perkembangan diharapkan dapat menjalani masa transisi dalam kehidupan seksual yang baik. Remaja juga diharapkan dapat mencapai kehidupan seksual secara dewasa, yaitu memiliki kemampuan mengendalikan dorongan-dorongan seksual serta dapat mengekspresikan melalui cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat.

27 Bab II Tinjauan Teoritis Theory of Planned Behavior Theory of Planned Behavior berpijak pada asumsi bahwa individu pada umumnya bertingkah laku secara rasional, yakni selalu mempertimbangkan informasi-informasi dan implikasi dari tindakannya baik secara implisit maupun eksplisit. Teori ini mempostulatkan niat (intensi) seseorang untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku merupakan determinan yang paling dekat dengan tingkah laku yang ditampilkan. Fishbein dan Ajzen pada tahun 1975 (dalam Ajzen, 1988) mendefinisikan intensi sebagai berikut,...as a person s location on subjective probability dimension on revolving a relation between himself and some action. A behavioral intention, therefore, refers to person s subjective probability that he will perform some behavior. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Dari pernyataan di atas, intensi didefinisikan sebagai lokasi dalam suatu dimensi kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975:288). Intensi merupakan indikasi seberapa besar seseorang individu akan berusaha untuk memunculkan tingkah laku tertentu (Ajzen, 1988:113). Intensi akan tetap menjadi kecenderungan untuk bertingkah laku sampai sebuah usaha yang dilakukan oleh individu untuk merealisasi intensi menjadi tingkah laku. Intensi merupakan kecenderungan bertingkah laku yang paling dekat dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu, ekspresi intensi dari seorang individu dapat memberikan prediksi yang akurat akan tingkah laku yang muncul.

28 Bab II Tinjauan Teoritis 14 Menurut theory of planned behavior, intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar. Determinan pertama adalah faktor personal secara alami, yaitu sikap terhadap tingkah laku (Attitude Toward Behavior). Determinan kedua adalah faktor merefleksikan pengaruh sosial, yaitu norma subyektif (Subjective Norms). Determinan terakhir adalah berhubungan dengan kontrol, yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Skema dari Theory of Planned Behavior disajikan pada bagan berikut ini. Behavioral Beliefs Outcome Evaluation Attitude Toward the Behavior Nomative Beliefs Subjective Norm Intention Behavior Motivation to Comply Control Beliefs Perceived Power Perceived Behavioral Control Bagan 2.1 Seperti ditunjukkan pada bagan, kekuatan intensi ditentukan oleh tiga macam faktor. Faktor-faktor ini adalah sikap terhadap tingkah laku tertentu (Attitude Toward the Behavior), norma subyektif (Subjektif Norms) dan persepsi mengenai kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Ketiga faktor ini

29 Bab II Tinjauan Teoritis 15 dipengaruhi oleh belief. Belief adalah informasi yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri dan dunianya (Ajzen, 1988:122). Ketiga belief ini antara lain belief tentang konsekuensi dari tingkah laku yang mungkin terjadi (behavioral belief), belief harapan tentang orang lain terhadap dirinya yang berkaitan dengan nilainilai (normative belief) dan belief tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat memfasilitasi maupun menghalangi munculnya tingkah laku tersebut (control belief). Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, persepsi terhadap kontrol tingkah laku dan intensi dapat digambarkan dengan persamaan bagan 2.1. Pada persamaan ini ATB adalah sikap terhadap tingkah laku, SN adalah norma subjektif, PBC adalah persepsi kontrol tingkah laku. Sedangkan w 1, w 2, dan w 3 adalah koefisien regresi yang terstandarisasi yang menandakan kekuatan kontribusi dari setiap determinan pembentuk intensi. I =ATB.w 1 +SN.w 2 +PBC.w 3 Pada uraian di bawah ini, kita akan membahas ketiga faktor pembentukan intensi secara satu persatu secara mendetil.

30 Bab II Tinjauan Teoritis Faktor-faktor Penentu Intensi Sikap Terhadap Tingkah Laku (Attitudes Toward Behavior) Pengertian Sikap Attitude is a psychological tendency that expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or disafavor. (The Psychological of Attitude, 1993). Berdasarkan definisi di atas terdapat dua pengertian mendasar: a. Sikap sebagai suatu kecenderungan psikologis (psychological tendency) yang merujuk pada suatu keadaan internal dari seorang individu. b. Sikap sebagai suatu evaluasi (evaluating) yang merujuk pada semua jenis respon evaluatif baik overt atau covert, kognitif, afektif, dan behavioral (konatif). Sikap sebagai suatu kecenderungan berarti merujuk kepada sikap sebagai suatu keadaan internal yang berlaku untuk jangka waktu pendek. Adapun sikap sebagai suatu disposisi (atau predisposisi) berarti merujuk pada periode yang relatif panjang (Ajzen, 1834; Chein, 1948; D. Davis&Ostrom, 1984). Sebuah sikap berkembang sebagai dasar dari respon evaluatif. Hal ini berarti seorang individu yang mempunyai sikap pada suatu bentuk tertentu, maka ia akan merespon secara evaluatif bentuk tertentu tersebut dengan dasar afektif, kognitif, atau konatif.

31 Bab II Tinjauan Teoritis 17 Respon evaluatif baik itu overt maupun covert dapat menghasilkan kecenderungan psikologis untuk berespon terhadap derajat tertentu terhadap suatu obyek. Jika kecenderungan untuk berespon meningkat, maka individu telah membentuk suatu sikap terhadap obyek tersebut. Representasi mental dari sikap disimpan dalam memori dan dapat diaktifkan melalui kehadiran obyek sikap atau tanda yang berkaitan dengan obyek tersebut. Ajzen dan Fisbein (1975) mendefinisikan sikap sebagai,...learned predisposition to respond in a consistently favorable or unfavorableway with respect to a given object. (Attitudes, personality, and behavior, Icek Ajzen, 1988) Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu obyek yang dinyatakan secara konsisten dalam perasaan menyukai atau tidak menyukai suatu obyek tersebut. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Dari definisi yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein tersebut, terdapat tiga aspek dasar dari sikap: 1. Sikap merupakan hal yang dipelajari 2. Sikap merupakan predisposisi dari tindakan 3. Tindakan tersebut secara konsisten menunjukan perasaan suka atau tidak suka terhadap suatu obyek. Sikap terhadap tingkah laku (Attitudes Toward Behaviors) di definisikan sebagai,

32 Bab II Tinjauan Teoritis 18...the individual s positif or negative evaluation of performing the particular of interest. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Sikap terhadap tingkah laku adalah evaluasi positif atau negatif terhadap konsekuensi dari tingkah laku yang akan dimunculkan. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988) Obyek sikap (Attitudinal Objects) Suatu evaluasi selalu dibuat berdasarkan jumlah bentuk (entity) atau sesuatu yang menjadi obyek dari evaluasi (attitudinal objects). Segala sesuatu yang nyata dapat dibedakan, maka dapat dievaluasi dan berfungsi sebagai obyek sikap. Beberapa obyek sikap adalah abstrak dan beberapa lainnya adalah kongkrit. Bentuk tertentu dapat berfungsi sebagai obyek sikap seperti juga bentuk lainnya, tingkah laku dan jenis-jenis tingkah laku dapat berfungsi sebagai obyek sikap Determinants of Attitude Toward Behavior sebagai, Fishbein (1993:168) menyebutkan attitudes toward behaviors...a function of behavioral beliefs, which represents the perceived consequences of the act. Dalam model ini, sikap ditentukan oleh dua hal, yaitu keyakinan (beliefs) dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil (outcomes). Beliefs mempresentasikan konsekuensi yang didapat dari suatu tindakan (behavioral

33 Bab II Tinjauan Teoritis 19 beliefs), dan beliefs ini berinteraksi dengan evaluasi terhadap konsekuensi dalam memunculkan suatu sikap. Beliefs yang berhubungan dengan sikap terhadap tingkah laku tertentu disebut behavioral beliefs. Individu yang yakin bahwa jika ia melakukan tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada hasil yang positif, ia akan menganggapnya sebagai suatu tingkah laku yang disukai (favorable attitude). Individu yang yakin bahwa melakukan tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada hasil yang negatif, ia akan menganggapnya sebagai tingkah laku yang tidak disukai (unfavorable attitude). Lebih jauh Ajzen dan Fishbein (1975) menyatakan bahwa karakteristik utama yang membedakan sikap dengan konsep lainnya adalah dimensi evaluatif, atau lebih spesifik lagi yaitu mengenai aspek afek. Didapat suatu kesepakatan bahwa afek merupakan bagian paling esensial dari konsep mengenai sikap. Oleh karena itu, Ajzen dan Fishbein menyarankan bahwa pengukuran sikap harus dilakukan dengan cara memposisikan subyek pada dimensi afektif atau evaluatif secara bipolar mengenai suatu obyek (Ajzen dan Fishbein, 1975). Sikap mempresentasikan perasaan seseorang secara umum, mengenai ketertarikan atau ketidaktertarikan terhadap suatu obyek yang menjadi stimulus. Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku dengan behavioral beliefs dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil, dapat diformulasikan sebagai berikut:

34 Bab II Tinjauan Teoritis 20 Keterangan: A B b i e i A B b i : Sikap terhadap tingkah laku (Attitudinal toward behavior) : Behavioral beliefs yang menunjukkan suatu tingkah laku yang mengarahkan pada suatu konsekuensi i. e i : Evaluasi terhadap konsekuensi i Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa sikap individu terhadap tingkah laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa melakukan tingkah laku tersebut akan mengarahkan individu pada hasil tertentu dan juga ditentukan oleh evaluasi terhadap hasil tersebut Norma Subyektif Pengertian Norma Subyektif Norma subyektif berkaitan dengan pengaruh lingkungan sosial. Ajzen dan Fishbein (1975) mendefinisikan norma subyektif sebagai berikut:...is the person s perception that most people who important to him think he should or not perform the behavior in question. Norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari significant person yang mengharapkan individu menampilkan atau tidak menampilkan suatu tingkah laku.

35 Bab II Tinjauan Teoritis 21 Tekanan sosial ini dapat berasal dari orang-orang yang dianggap penting bagi individu (significant person) dan menjadi acuan (referent) yang memunculkan motivasi individu untuk memenuhi harapan orang-orang tersebut, misalnya orangtua, teman dalam kelompok, pasangan, dan sebagainya. Individu akan memiliki intensi untuk menampilkan suatu tingkah laku ketika ia mengevaluasi bahwa melakukan tingkah laku tersebut merupakan suatu hal yang positif dan ketika ia yakin bahwa orang-orang yang penting baginya (secara perorangan maupun kelompok) mengharapkan ia menampilkan tingkah laku tersebut. Menurut Ajzen dan Fishbein, norma subyektif berkaitan dengan keyakinan individu akan norma yang berlaku (normative belief). Lebih lanjut, Fishbein (Eagle, 1993:171) menyatakan bahwa norma subyektif adalah: A function of normative beliefs, which represent perceptions of significant others preferences about whether one should engage in a behavior. Berdasarkan definisi di atas terdapat pengertian mendasar mengenai adanya orang yang menjadi panutan (significant person) bagi seorang individu dalam membentuk normative beliefs tertentu untuk bertingkah laku. Significant person yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di sekitar individu yang setiap perkataanya dapat memberikan tekanan sosial bagi individu tersebut. Penghayatan individu akan harapan-harapan ini

36 Bab II Tinjauan Teoritis 22 menimbulkan tekanan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku tertentu. Normative beliefs sendiri merupakan keyakinan individu bahwa orangorang tertentu dalam hidupnya berpikir bahwa individu tersebut harus melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu. Individu yang berpikir bahwa kebanyakan orang-orang yang menjadi rujukannya beranggapan ia seharusnya tidak melakukan tingkah laku tertentu, akan memiliki norma subyektif yang menekan individu untuk menghindari tingkah laku tersebut, demikian juga sebaliknya. Norma subyektif dapat langsung diketahui dengan cara menanyakan kepada subyek, sejauh mana orang yang dianggap berarti baginya akan setuju atau mengharapkan ditampilkannya suatu tingkah laku Determinan of Subjective Norm Dalam model ini, norma subyektif adalah fungsi dari normative beliefs dan motivasi. Normative beliefs mempresentasikan persepsi terhadap persetujuan orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya ditampilkan dalam suatu tingkah laku. Anggota keluarga (orangtua), teman dekat, pasangan, dan guru bisa menjadi rujukan seorang individu (remaja) dalam bertingkah laku. Seorang individu akan mempersepsikan harapan atau keyakinan dari orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan. Individu akan mencoba mempersepsikan apakah dirinya telah sesuai dengan harapan dari orang-orang yang signifikan bagi

37 Bab II Tinjauan Teoritis 23 dirinya atau dipersepsikan memberi kesetujuan untuk bertingkah laku tertentu, maka hak tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief bagi individu tersebut dalam melakukan tingkah laku tertentu. Begitu pula sebaliknya, jika kebanyakkan orang yang signifikan dipersepsi seorang individu memberikan ketidaksetujuannya untuk bertingkah laku tertentu, maka hal tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief bagi individu untuk tidak melakukan tingkah laku tersebut. Norma subyektif juga ditentukan oleh motivasi seorang individu untuk melakukan sesuatu mengikuti harapan atau persetujuan dari orang yang menjadi rujukannya tersebut. Normative beliefs yang dimiliki seorang individu akan berinteraksi dengan motivasinya untuk membentuk norma subyektif. Jika disimbolkan ke dalam formula menjadi: SN n i m i Keterangan : SN ni mi : Norma subyektif (Subjective Norms) : Normative beliefs : Motivasi untuk patuh pada referent/significant person Dari formulasi ini dapat dilihat bahwa norma subyektif yang dimiliki individu ditentukan oleh keyakinannya pada apa yang significant person pikirkan, tentang apakah ia harus melakukan tingkah laku tersebut atau tidak, juga ditentukan oleh motivasinya, apakah ia mau mematuhi orang tersebut atau tidak.

38 Bab II Tinjauan Teoritis Perceived Behavior Control (PBC) Pengertian PBC Ajzen (1988) mendefinisikan PBC sebagai berikut,...this factor refers to the perceived ease or difficulty of performing the behavior and it assumed to reflect past experience as well as anticipated impediment and abstracles. Faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi. PBC ditentukan oleh sejumlah control belief tertentu yang memberikan sarana bagi terbentuknya perilaku. Misalnya keyakinan mengenai adanya faktor-faktor yang dapat memfasilitasi atau menghalangi munculnya suatu tingkah laku tertentu. Lebih fokus lagi kekuatan dari masing-masing control belief dipengaruhi oleh kekuatan dari adanya kesadaran akan faktor-faktor yang mampu dikontrol dan hasil-hasil yang mampu diperoleh (perceived power). PBC merupakan refleksi yang akurat dari actual behavior control. Actual behavior cantrol sendiri adalah tingkatan keterampilan, sumber daya, dah hal-hal lain yang dibutuhkan untuk terbentuknya suatu perilaku. Untuk menyatakan bahwa PBC merupakan refleksi akurat dari actual behavioral control, adalah PBC dapat bersama-sama dengan intensi digunakan untuk memprediksi munculnya suatu perilaku.

39 Bab II Tinjauan Teoritis Determinan of Perceived Behavioral Control (PBC) Pada dasarnya perceived behavioral control ditentukan oleh dua faktor yaitu control belief dan perceived power. PBC mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana tingkat kesulitan dari suatu perilaku yang disadari menjadi nyata, sebagaimana persepsi mengenai bagaimana seorang individu yang sukses mampu menampilkan suatu perilaku. Jika seseorang memiliki control belief mengenai keberadaan faktor-faktor yang dapat memfasilitasinya untuk menampilkan suatu perilaku, maka individu tersebut akan memiliki perceived control yang tinggi terhadap perilaku tersebut. Hubungan antara perceived behavioral control dengan control beliefs dan perceived power dapat diformulasikan sebagai berikut: Keterangan: PBC c i p i PBC c i : Perceived Behavioral Control : control belief yang menunjukkan suatu tingkah laku yang mengarah pada suatu konsekuensi i p i : Perceived power terhadap konsekuensi i Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa PBC individu terhadap tingkah laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa ia dapat melakukan tingkah laku tersebut berdasarkan keahlian (skill) dan sumber daya

40 Bab II Tinjauan Teoritis 26 yang ia miliki. Hal ini juga ditentukan oleh adanya kekuatan yang disadari (perceived power) dalam menampilkan perilaku tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PBC terbentuk dari keyakinan-keyakinan (belief) yang disebut control belief dan persepsi individu terhadap hambatan realistis yang ada ketika menampilkan tingkah laku tertentu. Semakin banyak kondisi yang memfasilitasi (kemampuan dan kesempatan) dan semakin banyak hambatan atau rintangan yang diantisipasi, maka persepsi mengenai kontrol terhadap tingkah laku semakin positif. PBC diasumsikan mempunyai implikasi motivasional terhadap intensi. Individu yang meyakini dirinya tidak memiliki kemampuan maupun kesempatan-kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tertentu cenderung memiliki intensi yang rendah meskipun mereka memiliki sikap positif terhadap tingkah laku dan meyakini bahwa orang-orang yang penting bagi dirinya menyetujui ditampilkannya tingkah laku tersebut. Penjelasan selanjutnya mengenai PBC adalah kemungkinan adanya hubungan langsung antara PBC dan tingkah laku. Menurut Ajzen (1988), PBC dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui intensi dan dapat juga digunakan untuk memprediksi tingkah laku secara langsung. Hal ini dikarenakan PBC dapat dianggap sebagai pengganti dari pengukuran kontrol yang sesungguhnya. Garis panah yang putus-putus pada bagan 2.1 mengindikasikan adanya hubungan antara PBC dan tingkah laku ketika ada kesamaan atau kesesuaian antara persepsi terhadap kontrol individu terhadap tingkah laku sebenarnya.

41 Bab II Tinjauan Teoritis Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation) Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) keyakinan atau belief mengenai suatu objek merupakan dasar dari pembentukan sikap terhadap obyek yang pada akhirnya akan menentukan intensi perilakunya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keyakinan merupakan peluang penilaian individu terhadap aspek-aspek khusus dalam dunia yang dihayatinya. Secara khusus disebutkan bahwa keyakinan merupakan hubungan probabilitas subyektif antara individu dengan suatu obyek keyakinan seperti nilai-nilai, konsep-konsep, atau atribut-atribut tertentu. Dari definisi tersebut dapat dinilai bahwa pembentukan keyakinan melibatkan kaitan antara dua aspek dari dunia individu. Pembentukan keyakinan tergantung pada informasi yang diperoleh dan pengolahan informasi tersebut oleh individu. Keyakinan-keyakinan yang terbentuk berbeda, sesuai dengan informasi yang diperoleh. Proses pembentukkan beliefs atau keyakinan ini dapat dibedakan menjadi tiga proses (Ajzen dan Fishbein, 1975). 1. Melalui pengalaman langsung dengan obyek yang berhubungan yang akan membentuk descriptive beliefs. Descriptive beliefs diperoleh melalui observasi langsung bahwa suatu obyek memiliki atribut tertentu mengenai indera-indera yang dimiliki, misalnya seorang dapat merasakan atau melihat bahwa cincin itu bulat, atau dapat mencium sate kambing yang sedang dibakar, atau melihat wanita cantik. 2. Melalui suatu proses penyimpulan dari data atau fenomenik yang ada (logika berpikir individu) yang akan membentuk inferential beliefs. Beliefs

42 Bab II Tinjauan Teoritis 28 yang dibentuk melalui proses ini biasanya berupa beliefs mengenai karakteristik yang tidak diobservasi langsung, misal jujur, ramah, tertutup, sopan, atau pintar. Kesimpulan yang diambil mengenai beliefs tersebut didasarkan pada descriptive beliefs yang sudah ada, atau didasarkan pada inferential beliefs yang sudah ada. 3. Melalui penerimaan informasi yang tersedia di luar dirinya yang akan membentuk informational beliefs. Informasi yang diterima bisa berasal dari koran, buku, majalah, televisi, radio, pengajar, teman, saudara, rekan kerja. Informasi yang tersedia juga menghasilkan descriptive beliefs artinya bahwa individu akan meyakini bahwa sumber tersebut akan menyediakan informasi mengenai hubungan suatu obyek dengan beberapa atribut tertentu. Dapat disimpulkan bahwa beliefs dapat dibentuk melalui setidaknya dua cara yaitu melalui pengalaman langsung dalam suatu situasi sehingga individu menyadari atau mengetahui adanya hubungan antara obyek dengan suatu atribut, dan atau individu dapat diberi tahu melalui sumber yang ada di luar dirinya bahwa suatu obyek memiliki hubungan dengan atribut tertentu Intensi Ajzen dan Fisbein mendefinisikan intensi atau niat sebagai beliefs seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku, atau harapan seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku

43 Bab II Tinjauan Teoritis 29 atau harapan seseorang mengenai tingkah laku mereka sendiri dalam setting yang ada (Eagly, 1993: 184). Berangkat dari theory of planned behavior yang menyatakan bahwa intensi merupakan determinan langsung dari tingkah laku maka dapat disebutkan bahwa tingkah laku individu tertentu akan konsisten dengan intensinya terhadap tingkah laku tersebut. Jika ada intensi untuk bertingkah laku tertentu, maka ia akan melakukan tingkah laku tersebut. Dalam mekanismenya, sikap dan norma subyektif yang dimiliki individu menumbuhkan intensi terhadap tingkah laku. Hubungan intensi dengan kedua komponen dasar menentukan ini dapat diformulasikan sebagai berikut: Keterangan: B ~ I = (A B )w B 1 + (SN)w 2 B I A B SN w 1 w 2 : Tingkah laku (behavior) : Intensi untuk melakukan tingkah laku B : Sikap terhadap tingkah laku B : Norma subyektif : Bobot penentu secara empiris dari variabel sikap : Bobot penentu secara empiris dari variabel norma subyektif Variabel atau komponen sikap dan norma subyektif terhadap tingkah laku tertentu mempunyai bobot tersendiri. Bobot ini sendiri merupakan kepentingan yang relatif (relative important) yang akan dapat menentukan variabel sikap atau variabel norma subyektifkah yang lebih besar pengaruhnya dalam membentuk suatu intensi untuk bertingkah laku tertentu. Variabel sikap yang dilambangkan

44 Bab II Tinjauan Teoritis 30 dengan w 1 mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel sikap terhadap terbentuknya niat (intention) untuk melakukan tingkah laku tertentu. Begitu pula halnya dengan variabel norma subyektif, variabel ini dilambangkan dengan w 2 yang mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel norma subyektif terhadap terbentuknya intensi untuk melakukan tingkah laku tertentu, dan intensi ini yang kemudian menentukan tingkah laku tersebut muncul. Walaupun demikian terdapat variabel eksternal (external variables). Variabel eksternal ini dapat berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosioekonomi, pendidikan, kepribadian, dan sikap terhadap target tertentu. Variabel ini dapat mempengaruhi beliefs seseorang terhadap pertimbangan relatif individu pada sikap dan pertimbangan normatif yang dipegang. Konsekuensinya memang variabel ini dapat mempengaruhi tingkah laku. Akan tetapi tidak ada hubungan yang penting atau kuat antara variabel eksternal ini dengan tingkah laku. Dengan kata lain, variabel ekternal akan memiliki efek terhadap tingkah laku sebagai perluasan variabel tersebut mempengaruhi determinan dari tingkah laku (Ajzen dan Fishbein, 1975) Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi Banyak bukti yang menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti sikap terhadap target, sifat-sifat kepribadian, dan karakteristik-karakteristik demographic sering kali berhubungan dengan tingkah laku. Walaupun mengakui arti penting faktor-faktor tersebut. Ajzen dan Fishbein tidak memasukkan faktorfaktor tersebut sebagai bagian yang menyatu dalam teorinya, tetapi menempatkannya sebagai variabel eksternal.

45 Bab II Tinjauan Teoritis 31 Menurut Ajzen dan Fishbein, secara tidak langsung variabel eksternal dapat mempengaruhi belief yang dipegang oleh individu atau relativitas derajat kepentingan belief yang berhubungan dengan sikap dan pertimbangan normatif. Variabel eksternal dan mempengaruhi pembentukan belief dengan beberapa cara: 1. Mempengaruhi individu untuk memiliki belief tertentu, 2. Mempengaruhi kekuatan satu atau beberapa belief yang dipegang oleh individu, 3. Mempengaruhi penilaian atau evaluasi individu terhadap hasil tingkah laku. Selain bagan 2.1 di atas, Ajzen dan Fishbein (1980) menggambarkan hubungan tidak langsung antara berbagai variabel eksternal dengan sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, intensi, dan tingkah laku melalui bagan berikut:

46 Bab II Tinjauan Teoritis 32 Bagan di atas mengilustrasikan bagaimana berbagai tipe variabel eksternal dapat mempengaruhi intensi dan tingkah laku secara tidak langsung melalui efeknya terhadap behavioral beliefs, outcome evaluations, normative beliefs, motivation to comply atau pada relative weight of the attitudinal and normative component. 2.4 Perilaku Seksual Pengertian Perilaku Seksual Menurut Sarlito Wirawan (2004:140), yang dimaksud perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan

BAB II LANDASAN TEORI. penelitian ini. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Intensi yang

BAB II LANDASAN TEORI. penelitian ini. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Intensi yang BAB II LANDASAN TEORI Pada bab II akan dibahas mengenai teori yang berkaitan dengan variabel penelitian ini. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Intensi yang mengacu pada teori dari Icek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunitas Berkaitan dengan kehidupan sosial, ada banyak definisi yang menjelaskan tentang arti komunitas. Tetapi setidaknya definisi komunitas dapat didekati melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang A. Teori Planned Behavior BAB II TINJAUAN PUSTAKA Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang dikemukakan oleh Fishbein

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Theory of Planned Behavior Fishbein dan Ajzen Theory of planned behaviour merupakan pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned Action (Fishbein dan Ajzen, 1980; Fishbein

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1. Teori Perilaku Rencanaan (Theory Of Planned Behavior) Melanjutkan sekolah dan menyelesaikan pendidikan merupakan sebuah tujuan yang semestinya dicapai oleh setiap siswa. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intensi Merokok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intensi Merokok 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Merokok 1. Intensi Merokok Intensi diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku didasari oleh sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Theory of Planned Behavior Theory Reasoned Action (TRA) pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980 (Jogiyanto, 2007). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa

Lebih terperinci

Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014

Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014 Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014 oleh : Yoga Adi Prabowo (190110080095) Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran ABSTRAK Golput atau golongan putih merupakan suatu

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Icek Ajzen dan Martin Fishbein bergabung untuk mengeksplorasi cara untuk memprediksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. INTENSI Intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975), merupakan komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi didefinisikan

Lebih terperinci

Studi Mengenai Intensi Perilaku Merokok Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di RS X Bandung

Studi Mengenai Intensi Perilaku Merokok Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di RS X Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Mengenai Intensi Perilaku Merokok Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di RS X Bandung 1) Febby Zoya Larisa, 2) Suhana 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. rumah tangga seringkali dihadapkan pada kejenuhan. Bayangkan, dalam waktu 24

BAB I. Pendahuluan. rumah tangga seringkali dihadapkan pada kejenuhan. Bayangkan, dalam waktu 24 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah anugrah yang mulia namun ibu rumah tangga seringkali dihadapkan pada kejenuhan. Bayangkan, dalam waktu 24 jam, selama

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. yang bisa dikatan kecil. Fenomena ini bermula dari trend berpacaran yang telah

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. yang bisa dikatan kecil. Fenomena ini bermula dari trend berpacaran yang telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Periode sekolah dimulai saat anak berusia kurang lebih 6 tahun. Periode tersebut meliputi periode pra-remaja atau pra-pubertas. Periode ini berakhir saat anak berusia

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran intention dan determinandeterminannya dalam melakukan usaha untuk dapat naik kelas pada siswa kelas XI di SMAN X Bandung ditinjau dari teori planned

Lebih terperinci

THEORY OF REASONED ACTION

THEORY OF REASONED ACTION THEORY OF REASONED ACTION THEORY OF REASONED ACTION INTRODUCTION Akar teori : Psikologi Sosial Menjelaskan bagaimana dan mengapa sikap mempengaruhi perilaku 1872, Charles Darwin studi tentang sikap terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Theory of Planned. dikemukakan oleh Bandura (2000) tentang seberapa baik dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Theory of Planned. dikemukakan oleh Bandura (2000) tentang seberapa baik dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alasan Pemilihan Teori Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Theory of Planned Behavior (TPB) sebagai landasan berpikir. Peneliti memilih teori tersebut dikarenakan beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa tahap perkembangan. Keseluruhan tahap perkembangan itu merupakan proses yang berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan untuk selalu berkembang dengan pendidikan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan untuk selalu berkembang dengan pendidikan. Pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan. Hal ini berarti bahwa setiap manusia Indonesia berhak mendapatkannya dan diharapkan untuk selalu berkembang

Lebih terperinci

KUESIONER PLANNED BEHAVIOR

KUESIONER PLANNED BEHAVIOR Lampiran 1 RAHASIA KUESIONER PLANNED BEHAVIOR IDENTITAS Nama (inisial) : Usia : Jenis kelamin : L / P (lingkari salah satu) Pendidikan : Lamanya menjalani hemodialisis : PETUNJUK PENGISIAN Berikut ini

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Kontribusi determinan-determinan dari planned behavior terhadap intention dalam melakukan pengiriman barang tepat waktu pada salesman PT X Jakarta. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kontribusi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami berbagai perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan,

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami berbagai perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millenium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami berbagai perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. repository.unisba.ac.id

DAFTAR ISI. repository.unisba.ac.id DAFTAR ISI ABSTRAK... vii KATA PENGANTAR... iii UCAPAN TERIMA KASIH... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...

Lebih terperinci

Studi Mengenai Intensi Membuang Sampah di Sungai Cikapundung pada Ibu-Ibu RW 15 Kelurahan Tamansari Bandung. ¹Raisha Ghassani, ²Umar Yusuf

Studi Mengenai Intensi Membuang Sampah di Sungai Cikapundung pada Ibu-Ibu RW 15 Kelurahan Tamansari Bandung. ¹Raisha Ghassani, ²Umar Yusuf Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Mengenai Intensi Membuang Sampah di Sungai Cikapundung pada Ibu-Ibu RW 15 Kelurahan Tamansari Bandung ¹Raisha Ghassani, ²Umar Yusuf 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha. tindakan dan merupakan unsur yang penting dalam sejumlah tindakan, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha. tindakan dan merupakan unsur yang penting dalam sejumlah tindakan, yang 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Berwirausaha 1. Definisi Intensi Menurut Ancok (1992 ), intensi merupakan niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi merupakan sebuah istilah yang terkait

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan objek atau subjek pada suatu wilayah yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan ruang lingkup masalah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Theory of Planned Behavior (TPB) tampaknya sangat cocok untuk menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Theory of Planned Behavior (TPB) tampaknya sangat cocok untuk menjelaskan 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Theory of Planned Behaviour Theory of Planned Behavior (TPB) tampaknya sangat cocok untuk menjelaskan niat, dalam hal ini adalah tindakan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Theory of Reasoned Action (Teori Tindakan Beralasan). Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan oleh Martin Fishbein dan Ajzen dalam Jogiyanto (2007). Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan adalah masa yang unik dalam hidup seorang wanita, yaitu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan adalah masa yang unik dalam hidup seorang wanita, yaitu keadaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kehamilan adalah masa yang unik dalam hidup seorang wanita, yaitu keadaan mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh setelah penyentuhan sel telur dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang merupakan salah satu faktor yang memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya,

BAB I PENDAHULUAN. konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi dari ilmu pengetahuan yaitu keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis, atau keseluruhan pemikiran, gagasan, ide,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. & Perry, 2005). Menurut Havighurst (dalam Monks, Konoers & Haditono,

BAB I PENDAHULUAN. & Perry, 2005). Menurut Havighurst (dalam Monks, Konoers & Haditono, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tugas perkembangan dewasa awal (Potter & Perry, 2005). Menurut Havighurst (dalam Monks, Konoers & Haditono, 2001), tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Variabel Penelitian dan Hipotesis 3.1.1 Variabel dan Definisi Operasional Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstruk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spesialis, dan doktor. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,

BAB I PENDAHULUAN. spesialis, dan doktor. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor.

Lebih terperinci

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila

Lebih terperinci

Studi Mengenai Kontribusi Determinan Intensi Terhadap Intensi Datang Latihan Pada Anggota Perkusi Komunitas United State Of Bandung Percussion

Studi Mengenai Kontribusi Determinan Intensi Terhadap Intensi Datang Latihan Pada Anggota Perkusi Komunitas United State Of Bandung Percussion Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Mengenai Kontribusi Determinan Intensi Terhadap Intensi Datang Latihan Pada Anggota Perkusi Komunitas United State Of Bandung Percussion 1 Tivanny Salliha P 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

ABSTRAK. iii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. iii Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh determinan-determinan intention terhadap intention untuk minum obat secara teratur pada penderita TBC di Balai Besar Kesehatan X Bandung. Pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Spesialis. Berdasarkan website resmi Universitas X

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Spesialis. Berdasarkan website resmi Universitas X BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan formal yang mencangkup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Spesialis. Berdasarkan website resmi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. yaitu: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibukota negara Indonesia. Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kota administrasi, yaitu: Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dinilai sebagai salah satu usaha serius yang dilakukan pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. ini dinilai sebagai salah satu usaha serius yang dilakukan pemerintah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor bagi kemajuan negara, beberapa waktu yang lalu pemerintah indonesia menaikkan anggaran pendidikan, hal ini dinilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini, akan dibahas mengenai variabel penelitian, responden penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis data. 3.1. Variabel Penelitian Varibel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah

Lebih terperinci

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan intention dalam melakukan diet pada penderita hiperkolesterolemia di Laboratorium Klinik X Bandung dan juga kontribusi dari determinan-determinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial budaya, yang berjalan antara umur 12

Lebih terperinci

PREDIKTOR-PREDIKTOR INTENSI PENGGUNAAN INTERNET DALAM MELAKUKAN PEMBELIAN ONLINE. (Studi Pada Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta) TESIS

PREDIKTOR-PREDIKTOR INTENSI PENGGUNAAN INTERNET DALAM MELAKUKAN PEMBELIAN ONLINE. (Studi Pada Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta) TESIS PREDIKTOR-PREDIKTOR INTENSI PENGGUNAAN INTERNET DALAM MELAKUKAN PEMBELIAN ONLINE (Studi Pada Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan sebagai dampak dari gaya hidup yang semakin maju. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan sebagai dampak dari gaya hidup yang semakin maju. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dekade belakangan ini gaya hidup manusia berkembang pesat. Muncul berbagai perubahan sebagai dampak dari gaya hidup yang semakin maju. Perubahan tersebut

Lebih terperinci

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang melibatkan berbagai perubahan, baik dalam hal fisik, kognitif, psikologis, spiritual,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Intensi 2.1.1 Definisi Intensi Intensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjek individu dalam kaitan antara diri dan perilaku. Intensi merupakan perkiraan seseorang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) Teori Perilaku Terencana atau Theory of Planned Behavior (selanjutnya disingkat TPB, dikemukakan olehajzen (1991). Teori

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya kontribusi ketiga determinan Intention dan besarnya kontribusi setiap determinan Intention untuk melakukan pelanggaran peraturan lalu lintas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mengkomsumsi rokok. Banyak di lapangan kita temui orang-orang merokok

BAB I PENDAHULUAN. yang mengkomsumsi rokok. Banyak di lapangan kita temui orang-orang merokok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok adalah perilaku membakar dedaunan (tembakau) yang dilinting atau diletakkan pada pipa kecil lalu menghisapnya melalui mulut dan dilakukan secara berulang-ulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia yang berkualitas memiliki faktor penting dalam era global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang berlimpah.

Lebih terperinci

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat intention dalam pengelolaan diet pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Ginjal X Medan dan juga kontribusi dari determinan-determinan

Lebih terperinci

II KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

II KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS II KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS Kepatuhan Pajak Menurut Norman. D.Nowak dalam Zain (2004) kepatuhan Wajib Pajak diartikan sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan,

Lebih terperinci

KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS Theory of Planned Behavior/TPB digunakan sebagai model dan kerangka teori karena sudah banyak diterapkan dan teruji dalam menangkap hubungan antara variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Masalah kependudukan ini masih

BAB I PENDAHULUAN. dunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Masalah kependudukan ini masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara ke-4 dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Masalah kependudukan ini masih menjadi tantangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Model Theory of Reason Action (TRA) (Sumber : Fishbein dan Ajzen 1975)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Model Theory of Reason Action (TRA) (Sumber : Fishbein dan Ajzen 1975) 9 TINJAUAN PUSTAKA Teori Perilaku yang telah Direncanakan (Theory of Planned Behavior) Para teoritikus sikap memiliki pandangan bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek sudah dapat dijadikan prediktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang sangat penting dan krisis sehingga memerlukan dukungan serta pengarahan yang positif dari keluarganya yang tampak pada pola asuh yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memecahkan permasalahan dalam penelitian Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behaviour)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memecahkan permasalahan dalam penelitian Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behaviour) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Teori adalah seperangkat konsep, definisi, dan proporsi yang terkait secara sistematis untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena (fakta) (Cooper dan Schindler,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan yang terjadi pada remaja melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana remaja menjadi labil

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Putri Nurul Falah F 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini, anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dekade belakangan ini gaya hidup manusia semakin berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Pada dekade belakangan ini gaya hidup manusia semakin berkembang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dekade belakangan ini gaya hidup manusia semakin berkembang. Muncul berbagai perubahan sebagai dampak dari perkembangan gaya hidup. Perubahan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan. Transisi ke masa

BAB I PENDAHULUAN. masa dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan. Transisi ke masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun, yakni masa dari awal pubertas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Llabel adalah bagian dari sebuah barang yang berupa keterangan (kata-kata) tentang

BAB II LANDASAN TEORI. Llabel adalah bagian dari sebuah barang yang berupa keterangan (kata-kata) tentang BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Label Halal Label adalah sejumlah keterangan pada kemasan produk. Secara umum, label minimal harus berisi nama atau merek produk, bahan baku,

Lebih terperinci

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi determinandeterminan terhadap intention ibu untuk melakukan terapi di rumah. Pemilihan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lulus sebagai Sarjana Strata 1 (S1) salah satu syarat yang harus dipenuhi

BAB I PENDAHULUAN. lulus sebagai Sarjana Strata 1 (S1) salah satu syarat yang harus dipenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di Fakultas Psikologi Universitas X Bandung untuk dapat dinyatakan lulus sebagai Sarjana Strata 1 (S1) salah satu syarat yang harus dipenuhi mahasiswa adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun, adalah suatu periode masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan budaya. Perubahan-perubahan ini turut mempengaruhi proses

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan budaya. Perubahan-perubahan ini turut mempengaruhi proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, Indonesia mengalami berbagai macam perubahan yang terjadi di setiap aspek kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan jaman sekarang ini, terdapat perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan jaman sekarang ini, terdapat perkembangan di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan jaman sekarang ini, terdapat perkembangan di beberapa bidang, beberapa diantaranya yaitu bidang teknologi dan transportasi. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia memiliki kebebasan dalam memeluk agama. Agama berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Dalam Encyclopedia of Philosophy,

Lebih terperinci

KONTRIBUSI KONTROL DIRI TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU

KONTRIBUSI KONTROL DIRI TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU KONTRIBUSI KONTROL DIRI TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU Disusun Oleh: Nama : Suci Melati Puspitasari NPM : 16510707 Pembimbing : Henny Regina Salve M.Psi, Psi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis global dan dibukanya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)

BAB I PENDAHULUAN. Krisis global dan dibukanya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Krisis global dan dibukanya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) berdampak negatif terhadap produk-produk dalam negeri. Produk-produk dalam negeri akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja ini disebut sebagai masa penghubung atau masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja ini disebut sebagai masa penghubung atau masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja ini disebut sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar

Lebih terperinci

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya perilaku seksual pranikah di kalangan generasi muda mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku merokok merupakan salah satu penyebab yang menimbulkan munculnya berbagai penyakit dan besarnya angka kematian. Hal ini wajar, mengingat setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini merupakan tahap yang kritis, karena merupakan tahap transisi dari masa kanakkanak ke masa

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian bertujuan mengetahui kontribusi determinan-determinan terhadap intention untuk menggunakan TransJakarta ke tempat kerja. Partisipan penelitian ini sebanyak 103 pekerja di DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila

Lebih terperinci

NURUL ILMI FAJRIN_ Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

NURUL ILMI FAJRIN_ Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang HUBUNGAN ANTARA KEMANDIRIAN DENGAN INTENSI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG NURUL ILMI FAJRIN_11410126 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Berdasarkan sensus penduduk terbaru yang dilaksanakan pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lampiran 1. Alat Ukur Planned Behavior

KATA PENGANTAR. Lampiran 1. Alat Ukur Planned Behavior Lampiran. Alat Ukur Planned Behavior KATA PENGANTAR Sebagai mahasiswa tingkat akhir, salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat lulus sebagai Sarjana Psikologi adalah dengan menyusun skripsi. Adapun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai tertarik dengan masalah-masalah seksualitas. Pada awalnya, ketertarikan remaja terhadap seksualitas bersifat self-centered,

Lebih terperinci

ABSTRAK. viii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. viii Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Tujuan penelitian, mengetahui kontribusi ketiga determinan intention serta determinan yang memberikan kontribusi paling besar terhadap intention untuk membaca textbook pada mahasiswa angkatan 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja ialah suatu waktu kritis seseorang dihadapkan pada berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Remaja adalah suatu masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, dan agama, kognitif dan sosial

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS Ketidakjujuran Akademik (Academic Dishonesty)

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS Ketidakjujuran Akademik (Academic Dishonesty) 8 BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Ketidakjujuran Akademik (Academic Dishonesty) Salah satu bentuk kecurangan yang terjadi dibidang pendidikan dinamakan

Lebih terperinci

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN v vii ix 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup Penelitian 7 2 TINJAUAN PUSTAKA

Lebih terperinci

ANALISIS PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP DIFERENSIASI PRODUK EXTRA JOSS ACTIVE RASA KRIM SODA (Survey Konsumen di Kabupaten Klaten)

ANALISIS PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP DIFERENSIASI PRODUK EXTRA JOSS ACTIVE RASA KRIM SODA (Survey Konsumen di Kabupaten Klaten) ANALISIS PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP DIFERENSIASI PRODUK EXTRA JOSS ACTIVE RASA KRIM SODA (Survey Konsumen di Kabupaten Klaten) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari segi biologi, psikologi, sosial dan ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang terdiri dari satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas (X) kontrol diri dan variabel

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP NIAT UNTUK MELAKUKAN PENGUNGKAPAN KECURANGAN (WHISTLEBLOWING)

PERSEPSI MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP NIAT UNTUK MELAKUKAN PENGUNGKAPAN KECURANGAN (WHISTLEBLOWING) PERSEPSI MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP NIAT UNTUK MELAKUKAN PENGUNGKAPAN KECURANGAN (WHISTLEBLOWING) (Studi Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya) Diajukan Untuk Memenuhi Salah

Lebih terperinci

PENINGKATANN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE MAKE

PENINGKATANN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE MAKE PENINGKATANN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE MAKE A MATCH (PTK Pada Siswa Kelas XI C Semester Genap SMK Wijaya Kusuma, Surakarta Tahun 2014/2015) SKRIPSI Untuk memenuhi

Lebih terperinci