TESIS INDAH WIDYASARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TESIS INDAH WIDYASARI"

Transkripsi

1 PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI TOPIKAL MUPIROSIN 2% DENGAN ASAM FUSIDAT 2% PADA PASIEN PIODERMA SUPERFISIALIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT DR.CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA TESIS INDAH WIDYASARI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN JAKARTA MARET 2016

2 PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI TOPIKAL MUPIROSIN 2% DENGAN ASAM FUSIDAT 2% PADA PASIEN PIODERMA SUPERFISIALIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT DR.CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Kulit dan Kelamin INDAH WIDYASARI Pembimbing dr. Evita Halim Effendi, SpKK(K). dr. Triana Agustin, Sp.KK. Dr. dr. Yeva Rosana, MS, Sp.MK(K). Pembimbing statistik dr. Ahmad Fuady, MSc-HEPL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN JAKARTA MARET 2016

3 IIALAMAN PERI.IYATAAN ORISINALITAS Tesis itli adrlah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip mauputr dirujuk. telah saya nyatakan dengan benar. Nama : dr.inda.h Widyasari NPM : Tandatangan: Tanegat :24 Mare 2016 t nivebitas lndohesia

4 }IALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukar oleh Nama NPM Progmm Studi/Departemen Judul lndah Widyasari t Kedokteran, Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Perbandingan Efeklivitas Tempi Topikal Mupirosin 2% dengan Asam Fusidat 2% Pada Pasien Pioderma Superfisialis di Poliklinik Kulit dan Kelamh Rumah Sakit Dr.Cipto Mimgunkusumo Jakafia Telah berh&sil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimr sebagai bagian dari persyaratan yang diperlukan utrtuk E mperoleh gelar Spesialis pad. Program Studi Kedokteran, Ilmu Keehatar Kulit dae KelamiE, Fakutas Kedokteran Universitas lndonesla DEWAN PENGUJI Pembimbing dr.evita Halim Effendi, SpKK(K). Pembimbing dr.tria.na Agustin, SpKK. Pembimbing Perguji Dr.di.Yeva Rosana, SpMK(K). Dr.dr.Aida Soliati Dachlan, spkk(k)..^cp" Penguji dr.hanny Nila.sari, SpKK(K). Feaguji dr.rahadi Rihahnadja, SpKK. Ditetapkar di Tanggal Jakarta 24 Maret 2016 iii llnlversitas lndonesia

5 UCAPAN TERIMA KASIH Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Ar-Rahman Ar-Rahiim, atas segala limpahan rahmat dan karunianya, sehingga saya mampu menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, memberikan dukungan, asupan, nasehat, semangat, dan doa tulus ikhlasnya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dan pendidikan dokter spesialis kulit dan kelamin. Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M(K) dan Direktur Utama Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Dr. dr. Czeresna H. Soejono, Sp.PD-KGer, M.Epid, FCAP, FINASIM, atas kesempatan dan izin yang diberikan kepada saya untuk menjalani pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Terima kasih saya haturkan kepada Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjalani pendidikan spesialis semasa kepemimpinan beliau sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI-RSCM periode Saya juga menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Shannaz Nadia Yusharyahya, Sp.KK, MHA selaku Ketua Departemen IKKK FKUI-RSCM periode , atas bimbingan, dukungan, serta dorongan kepada saya selama menjalani pendidikan. Terima kasih dan rasa hormat juga saya haturkan kepada dr. Lili Legiawati, Sp.KK(K) sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI-RSCM saat ini, atas bimbingan, didikan, nasihat, dan semangat yang diberikan kepada saya. iv Universitas*Indonesia*

6 Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak terhingga saya haturkan kepada Prof. dr. Kusmarinah Bramono, Sp.KK(K), PhD selaku Ketua Program Studi (KPS) pendidikan dokter spesialis IKKK FKUI-RSCM dan anggota Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI. Beliau bukan saja sebagai guru dan teladan untuk saya, namun lebih dari itu beliau sudah seperti ibu yang selalu memberikan dukungan, nasihat, dan solusi setiap ada kesulitan untuk saya baik dalam hal akademis maupun non akademis. Saya sangat beruntung dapat bertemu sosok seperti beliau. Semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan, perlindungan, dan kesehatan kepada beliau serta para guru-guru saya. Saya haturkan terima kasih kepada Dr. dr. Sandra Widaty, SpKK(K), sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK FKUI-RSCM atas dukungan, bantuan, dan kemudahan kepada saya sejak pertama kali ide penelitian ini tercetus, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih tak terkira saya sampaikan kepada dr.githa Rahmayunita, Sp.KK, sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan semangat, dorongan, dan arahan sejak awal saya menjadi peserta PPDS. Terima kasih kepada beliau yang tidak pernah lelah dan bosan menguatkan serta mengingatkan saya untuk selalu semangat dan fokus menyelesaikan pendidikan dengan baik. Kepada dr. Erdina H. D. Pusponegoro, Sp.KK(K) sebagai anggota tim Program Pengendalian Resistensi Antibiotik (PPRA) RSCM dan kepala Divisi Dermatologi Umum IKKK FKUI-RSCM saat ide penelitian ini tercetus. Saya ucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk dapat mengerjakan penelitian ini, telah menyumbangkan ide, dan saran sejak usulan penelitian, ujian proposal, hingga terselesaikannya tesis ini. Hormat saya dan terima kasih tidak terhingga saya haturkan kepada dr.evita Halim Effendi, Sp.KK(K) selaku pembimbing atas bimbingan, petunjuk, koreksi, nasihat, dukungan, dan kepercayaan yang selalu diberikan selama proses penelitian sejak pembuatan proposal hingga terselesaikannya tesis ini. Beliau yang tidak pernah lelah dan selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada saya meski di tengah kesibukannya. Terima kasih atas kesabaran, dorongan, dan v Universitas*Indonesia*

7 semangat yang selalu diberikan. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, kesehatan, perlindungan, dan kasih sayangnya kepada beliau. Terima kasih sebesar-besarnya saya haturkan kepada dr.triana Agustin, Sp.KK selaku pembimbing dan Kepala Divisi Dermatologi Pediatrik IKKK FKUI-RSCM. Terima kasih atas bimbingan, saran, motivasi, dan kepercayaannya kepada saya sehingga saya selalu optimis dalam mengerjakan penelitian ini. Terima kasih pula kepada beliau karena saya telah diizinkan untuk melakukan proses pengambilan sampel saat saya menjadi chief resident di Divisi Dermatologi Pediatrik. Semoga Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada beliau. Terima kasih kepada Dr.dr.Yeva Rosana, Sp.MK(K) atas bimbingan, asupan, dukungan, dan bantuannya sehingga proses pembuatan tesis ini dapat berjalan lancar. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang diberikan di tengah kesibukan beliau. Semoga Allah SWT membalas segala budi baik dan melimpahkan nikmat dan rahmat-nya untuk beliau. Kepada dr.ahmad Fuady, MSc-HEPL sebagai pembimbing statistik, saya ucapkan terima kasih atas kesedian dan bimbingannya dalam memberikan asupan serta koreksi selama proses penelitian dan pembuatan tesis ini. Hormat saya dan ucapan terima kasih saya haturkan kepada Prof.Dr.dr.Retno Widowati Soebaryo, Sp.KK(K) atas perhatian, dukungan, dan semangat yang selalu diberikan. Terima kasih atas bimbingan dan koreksi yang diberikan untuk bagian dalam makalah tesis ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan, perlindungan, dan kasih sayangnya kepada beliau. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada para staf pengajar Divisi Infeksi Tropik Departemen IKKK FKUI-RSCM, Dr.dr.Sri Linuwih, Sp.KK(K), dr.erdina H.D. Pusponegoro, Sp.KK(K), Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K), Prof. dr. Kusmarinah Bramono, Sp.KK(K), PhD, Dr.dr.Sandra Widaty, Sp.KK(K), dr.eliza Miranda, Sp.KK, dr.melani Marissa, Sp,KK, dan dr.andina Bulan Sari, Sp.KK atas ilmu, asupan, dan perhatian yang berarti sehingga penelitian ini dapat berjalan. vi Universitas*Indonesia*

8 Terima kasih saya sampaikan pula kepada seluruh staf pengajar Divisi Dermatologi Pediatrik Departemen IKKK FKUI-RSCM, Prof.Dr.dr.Siti Aisah Boediardja, Sp.KK(K), dr.triana Agustin, Sp.KK, dr.githa Rahmayunita, Sp.KK, dr.rahadi Rihatmadja, Sp.KK, dan dr.rinadewi Astriningrum, Sp.KK atas bimbingan, arahan, dan bantuan yang sangat berarti sejak awal hingga penyelesaian penelitian ini. Terima kasih saya haturkan kepada Prof.dr.Sjaiful Fahmi Daili, Sp.KK(K), dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), dr.farida Zubier, Sp.KK(K), dr.rahadi Rihatmadja, Sp.KK, dan Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K) yang telah hadir dan turut menyumbangkan saran dan masukan saat ujian proposal sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh guru besar dan staf pengajar Departemen IKKK FKUI-RSCM Jakarta yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu, memberikan bimbingan, nasihat, dan teladan kepada saya. Kepada seluruh staf karyawan/karyawati, tata usaha, perpustakaan, poliklinik, dan rawat inap Departemen IKKK FKUI/RSCM, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas semua bantuan dan kebersamaannya selama saya menjalankan pendidikan dokter spesialis. Permohonan maaf saya haturkan apabila ada tindakan saya yang kurang berkenan. Ungkapan terima kasih dan rasa sayang saya sampaikan kepada seluruh temanteman peserta PPDS Departemen IKKK FKUI-RSCM atas kebersamaanya selama ini. Kepada teman-teman PPDS angkatan Juli 2012 : dr.dwi Indria Anggraini, Sp.KK., dr.pandu Pradana, dr.monica Primasari, dan (Alm) dr.dennis Satrio. Terima kasih atas kebersamaan, dukungan, dan semangat yang diberikan. Terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman chief dan seperjuangan Ujian Nasional Desember 2015 Jakarta: dr.harsha Aulia, dr.aninda Undiah Hasanah, Sp.KK, dr.hafiza Fathan, Sp.KK, dr.dwi Indria Anggraini, Sp.KK., dr.pandu Pradana, dan dr.anna Juniawati, Sp.KK. Terima kasih atas doa, kebersamaan, dukungan, kerjasama, dan canda tawa di antara kita. Telah sampainya saya pada tahap ini tidak berarti tanpa dukungan dan semangat dari kalian. Kebersamaan kita vii Universitas*Indonesia*

9 saling menguatkan serta menjadikan hari-hari pendidikan spesialis lebih mudah dan menyenangkan. Semoga kita selalu diberikan kesuksesan di masa mendatang, serta selalu memberikan manfaat dan kebaikan bagi masyarakat dan pasien-pasien kita kelak. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya haturkan penghormatan kepada kedua orang tua saya tercinta, papa dan mama Bapak Boenasor S. Soetamerta, SH,SE,MM dan Ibu Yulie Afni, serta kedua mertua saya, Bapak Ir.Bambang Tri Puspito, MM dan Ibu dr.tutik Indaryani, Sp.A. yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, pengertian, dan doa yang tidak pernah putus. Semoga kebahagiaan, kesehatan, serta rahmat dan berkah-nya selalu menyertai kehidupan kalian. Kepada suami tercinta, Ardhana Aryomukti Wibowo, ST., terima kasih dari lubuk hati terdalam atas doa, keikhlasan, pengertian, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan yang tiada henti. Terima kasih untuk selalu memberikan semangat, menjadi pendengar setia saat lelah dan sulit menerpa, meski jarak dan waktu memisahkan. Semuanya sangat berarti dan kelak akan menjadi cerita manis untuk diingat. Teruntuk para subjek penelitian yang ikut serta, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas partisipasi dan kerja samanya. Akhir kata, terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya selama ini. Mohon maaf bila tidak dapat saya sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas dan memberikan pahala yang setimpal. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jakarta, Maret 2016 Penulis, dr. Indah Widyasari viii Universitas*Indonesia*

10 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKEIR UNTIIK KEPENTINGAN AKADDNtrS Sebagai sivitas akademik bawah ini: Nama NPM Program Studi/departemen Fakultas Jenis Karya Universitas lndonesia. saya ],aog bertanda tangan di lndah Widyasari Kedokteran. IImu Keselraian Kulit dan kelamin Kedokrcran 'lesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Unive$ilas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusil (N.rn ddusiw Ro,-alt.-l lrae Righr) dtas karya ilmiah saya yang beiudul: Perbandirgan Efektivitas Tempi Topikal Mupirosin 27. dengan Asam Fusidat 27o pada Pasien Pioderma Superfisialis di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah SakitDr.Cipto Mangunkusumo Jakarta bcsefta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Udversitas lndonesia berhak menyimpan, me ngalilmedia/lbnnatkan, mengelola dalam.bentuk par1gkalan data (.latubase). merawat, dan mcmpublikasikan tugas akhir saya selama ietap nrcncantumkan nama sal,a scbagai penulis dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya lluat dengan sebcnamya- Dibuat di Jakafia Pada tanggal 24 Maret Yang menyatakan, a-''' _------E - Indah Widyasari Universitas lndonesia

11 ABSTRAK Nama : dr. Indah Widyasari Program Studi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Judul : PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI TOPIKAL MUPIROSIN 2% DENGAN ASAM FUSIDAT 2% PADA PASIEN PIODERMA SUPERFISIALIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT DR.CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA. Latar belakang dan tujuan: Pioderma superfisialis (PS) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dengan jumlah kunjungan yang masih tinggi di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PKK-RSCM). Saat ini pengobatan topikal lini pertama adalah asam fusidat 2% sedangkan penggunaan mupirosin 2% dibatasi. Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan resistensi terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas mupirosin 2% dengan asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis PS di PKK-RSCM. Metode: Uji klinis acak buta ganda dilakukan terhadap 42 pasien PS usia tahun di PKK-RSCM. Setelah pemeriksaan bakteriologis, setiap subjek mendapatkan satu jenis krim antibiotik untuk dioleskan selama tujuh hari. Evaluasi klinis didasarkan pada pengurangan luas lesi dan skala nyeri. Pemeriksaan biakan dan resistensi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Universitas Indonesia. Hasil: Efektivitas krim mupirosin (kelompok M) adalah 83,3% dan krim asam fusidat (kelompok AF) 40% (p=0,048), sedangkan persentase penurunan luas lesi kelompok M sebesar 83,5% dan kelompok AF 60,7% (p=0,041). Tidak ditemukan efek samping subjektif maupun objektif pada kedua kelompok. Pada biakan kuman, 54,8% sampel ditemukan 2 jenis kuman, jenis terbanyak adalah S.aureus dan S.pyogenes. Sebagian besar S.aureus (78,8%, 75,8%) dan S.pyogenes (50%,94,4%) memiliki kepekaan intermediet terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2%. Kesimpulan: Krim mupirosin 2% lebih efektif daripada krim asam fusidat 2% terhadap PS. Kata kunci: mupirosin 2%, asam fusidat 2%, kesembuhan klinis, luas lesi, skala nyeri x Universitas*Indonesia*

12 ABSTRACT Name : dr. Indah Widyasari Study Program: Dermatology and Venereology Title : COMPARISON BETWEEN THE EFECTIVENESS OF 2% MUPIROCIN AND 2% FUSIDIC ACID TOPICAL THERAPY IN PATIENTS WITH SUPERFICIAL PYODERMA IN DERMATOVENEREOLOGY OUTPATIENT CLINIC DR. CIPTO MANGUNKUSUMO HOSPITAL JAKARTA. Background and objectives: Superficial pyodermas (SP) are common health problem in Indonesia with high incidence in the Dermatovenereology Outpatient Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (DV-CMH). Current guidelines endorses 2% fusidic acid as the first line topical therapy, while 2% mupirocin is reserved for certain condition. Past studies demonstrated increasing resistance to 2% fusidic acid and 2% mupirocin. This study aims to compare the effectiveness of 2% mupirocin and 2% fusidic acid in SP treatment in our institution. Methods: A double-blind randomized controlled trial was conducted on 42 SP patients aged years old in DV-CMH. Following bacteriologic examination, each subject received a random antibiotic cream for seven days. Clinical evaluation was determined by reduction of lesion size and pain scale. Bacteriologic culture and susceptibility test were performed in Clinical Microbiology Laboratory University of Indonesia. Results: The effectiveness in 2% mupirocin group (M) was 83,3% and in 2% fusidic acid group (FA) 40% (p=0,048). Lesion size decrease was 83.5% in M group and 60.7% in FA group (p=0,041). No side effects were observed in both treatment groups. At the bacteria culture, 54.8 % of the samples found two types of bacteria, most types are S.aureus and S.pyogenes. Most of S.aureus (78,8%, 75,8%) and S.pyogenes (50%,94,4%) have an intermediate susceptibility to 2 % mupirocin and 2% fusidic acid. Conclusion: The 2% mupirocin cream was more effective than 2% fusidic acid cream in SP treatment. Keywords: 2% mupirocin, 2% fusidic acid, clinical cure, lesion size, pain scale xi Universitas*Indonesia*

13 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii ABSTRAK... ix ABSTRACT... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi DAFTAR SINGKATAN... xvii BAB I. PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Pertanyaan penelitian Hipotesis Tujuan penelitian Tujuan umum Tujuan khusus Manfaat penelitian Manfaat untuk bidang pendidikan Manfaat untuk bidang penelitian Manfaat untuk bidang pelayanan... 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pioderma superfisialis Etiopatogenesis Klasifikasi dan manifestasi klinis Manajemen Pemeriksaan penunjang Tatalaksana Antibiotik topikal Rekomendasi penggunaan antibiotik topikal Higiene perseorangan Masalah dalam tatalaksana pioderma superfisialis Kerangka teori Kerangka konsep BAB III. METODE PENELITIAN Desain penelitian Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian Waktu penelitian xii Universitas*Indonesia*

14 3.3. Populasi penelitian Populasi target Populasi terjangkau Sampel dan cara pemilihan sampel Kriteria pemilihan subjek penelitian Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Kriteria drop-out Perkiraan besar sampel Bahan, alat, dan cara penelitian Persiapan subjek penelitian Persiapan obat yang diujikan Alat dan bahan penelitian Formulir penyaring subjek penelitian Informasi penelitian Pengisian status penelitian Cara pemeriksaan, terapi, dan evaluasi Cara pemeriksaan Identifikasi dan pemeriksaan kuman Cara terapi Cara evaluasi Variabel penelitian Variabel bebas Variabel tergantung Batasan operasional Kriteria diagnostik Jenis kelamin Usia Tingkat pendidikan Pekerjaan Status gizi Gejala subjektif Riwayat keluarga Status higiene perorangan Skala nyeri Delta VAS Luas lesi Efek samping Kepatuhan Efektivitas Kriteria hasil uji kepekaan Etik penelitian Pengolahan dan analisis data Alur kerja operasional xiii Universitas*Indonesia*

15 BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik subjek penelitian Karakteristik sosiodemografik Karakteristik klinis Karakteristik klinis baseline Karakteristik lesi kulit baseline Karakteristik skala nyeri dan luas lesi kulit baseline Karakteristik bakteriologis Hasil pengobatan Kepatuhan terapi Perubahan VAS Perubahan luas lesi kulit Efektivitas Hasil tambahan Efek samping pengobatan Gambaran kuman penyebab dan resistensinya Kekuatan dan keterbatasan penelitian Kekuatan penelitian Keterbatasan penelitian BAB 5. IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN Ikhtisar Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xiv Universitas*Indonesia*

16 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pioderma dan organisme penyebab Tabel 3.1 Interpretasi hasil Gram Tabel 3.2 Kriteria mayor dan minor dermatitis atopik Tabel 3.3 Interpretasi IMT dewasa (usia di atas 20 tahun) Tabel 3.4 Interpretasi IMT anak dan remaja (usia 2-19 tahun) Tabel 3.5 Kriteria efektivitas Tabel 3.6 Breakpoint resistensi antibiotik topikal yang digunakan dalam penelitian Tabel 4.1 Karakteristik sosiodemografik SP (N=42) Tabel 4.2 Karakteristik klinis baseline berdasarkan anamnesis SP (N=42).. 49 Tabel 4.3 Karakteristik klinis lesi kulit baseline SP (N=42) Tabel 4.4 Karakteristik VAS dan luas lesi baseline SP (N=42) Tabel 4.5 Karakteristik bakteriologis lesi kulit baseline SP (N=42) Tabel 4.6 Kepatuhan terapi berdasarkan kelompok perlakuan Tabel 4.7 Tabel 4.8 Perubahan skor VAS setelah 7 hari pengobatan PS menurut kelompok perlakuan... Perubahan luas lesi kulit PS setelah 7 hari pengobatan PS menurut kelompok perlakuan Tabel 4.9 Efektivitas berdasarkan kelompok perlakuan (N=42) Tabel 4.10 Distribusi jenis bakteri penyebab pioderma superfisialis (N=42)... Tabel 4.11 Kepekaan S.aureus yang diisolasi dari pioderma superfisialis terhadap 10 jenis antibiotik topikal... Tabel 4.12 Kepekaan S.pyogenes yang diisolasi dari pioderma superfisialis terhadap 10 jenis antibiotik topikal xv Universitas*Indonesia*

17 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Visual analog scale untuk menilai intensitas nyeri...41 xvi Universitas*Indonesia*

18 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Penyaring subjek penelitian Lampiran 2 Informasi penelitian Lampiran 3 Formulir persetujuan mengikuti penelitian Lampiran 4 Status penelitian Lampiran 5 Cara pemakaian antibiotik Lampiran 6 Lembar catatan harian Lampiran 7 Informed consent Lampiran 8 Keterangan lolos kaji etik UI Lampiran 9 Keterangan lolos kaji etik RSCM Lampiran 10 Tabel induk xvii Universitas*Indonesia*

19 DAFTAR SINGKATAN AIDS AMP ABRI BPJS CA-MRSA CLSI DA DM EF-G FKUI FRSA FTU HIV ICU IDSA IKKK IMT kg LMK MA MAK MI MRSA MSSA MTs mm mm 2 NaCl PAM PERDOSKI :*acquired immune deficiency syndrome : antimicrobial peptides : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial : Community Acquired- Methicillin Resistant S.aureus : clinical and laboratory standard institute : dermatitis atopik : diabetes melitus : elongation factor-g : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Fusidic acid resistant Staphylococcus aureus : finger tip unit : human immunodeficiency virus : intensive care unit : Infectious Diseases Society of America : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin : indeks massa tubuh : kilogram : laboratorium mikrobiologi klinik : madrasah aliyah : madrasah aliyah kejuruan : madrasah ibtidaiyah : Methicillin resistant Staphylococcus Aureus : Methicilin-sensitive Staphylococcus Aureus : madrasah tsanawiyah : milimeter : milimeter persegi : natrium klorida : Perusahaan Air Minum : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia * xiii * * Universitas*Indonesia

20 POLRI PPM PPRA PS PVL RSCM SBHA SD SIRS SMA SMK SMP SP SPSS SSSS TSS trna VAS VISA : Kepolisian Republik Indonesia : panduan pelayanan medis : Program Pengendalian Resistensi Antibiotika : pioderma superfisialis : panton-valentine-leukocidin : Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo : Streptococcus β-haemolyticus group A : sekolah dasar : systemic inflammatory response syndrome : sekolah menengah atas : sekolah menengah kejuruan : sekolah menengah pertama : subjek penelitian : Statistical Package for the Social Science : staphylococcal scalded-skin syndrome : toxic shock syndrome : transfer ribonucleic acid : visual analog scale : Vancomycin-Intermediate Staphylococcus Aureus * xiv * Universitas*Indonesia

21 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pioderma superfisialis (PS) merupakan infeksi kulit bakteri superfisial yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan sering dijumpai pada praktik seharihari terutama di negara berkembang. PS umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus (lebih dari 70%) dan Streptococcus pyogenes (Streptococcus β- haemolyticus group A) atau keduanya. 1-4 Penyebaran penyakit ini dipengaruhi oleh status imun pejamu, kuman penyebab, penyakit kulit yang menyertai, higiene, dan berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi. 4,5 Walaupun ringan, PS dapat menyebabkan komplikasi misalnya selulitis, limfangitis, sepsis, osteomielitis, dan artritis septik. Pada anak-anak PS dapat menyebabkan glomerulonefritis akut pada 10-15% kasus di negara berkembang. 2-4,6 Bila tidak diobati dengan tepat, penyakit dapat menyebar dan menjadi sumber penularan. 6 Data jumlah kunjungan pasien PS di Poliklinik Dermatologi Umum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) pada tahun 2012 dan 2013 sebesar 50 dan 80 kasus baru. Jenis kasus terbanyak adalah folikulitis dan dermatitis impetigenisata. 7,8 Pada tahun 2014, PS termasuk tiga penyakit tersering di Poliklinik Dermatologi Pediatrik Departemen IKKK FKUI/RSCM dengan 100 kunjungan kasus baru, terbanyak di antaranya adalah impetigo. 9 Secara keseluruhan, sepanjang tahun 2014 pioderma berada pada urutan ketujuh penyakit kulit terbanyak dengan jumlah 114 kasus dari 1000 kasus baru. 10 Menurut penelitian Heragandhi tahun 2004 di RSCM, jenis PS terbanyak pada anak adalah impetigo, dermatitis impetigenisata, dan furunkulosis. 1 Pada tahun 2015 di Poliklinik Dermatologi Pediatrik terdapat 71 kasus PS baru dengan kasus terbanyak adalah dermatitis impetigenisata. 11 Pengobatan PS selama ini diberikan atas dasar data empiris yaitu hasil beberapa penelitian yang telah ada mengenai kuman penyebab tersering dan golongan 1 Universitas*Indonesia*

22 2 antibiotik yang efektif terhadap kuman tersebut berdasarkan data epidemiologi setempat. 1,2 Rekomendasi pengobatan topikal lini pertama PS berbeda-beda pada beberapa negara, selain itu dipengaruhi oleh ketersediaan obat topikal tersebut Antibiotik topikal lini pertama yang direkomendasikan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun 2014 untuk PS pada anak usia 2 tahun ke atas dan dewasa adalah mupirosin 2%. 12,13 Antibiotik topikal yang disarankan untuk impetigo beberapa negara di Eropa yaitu asam fusidat 2%. 14 Terapi topikal untuk PS yang direkomendasikan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) tahun 2014 untuk anak dan dewasa adalah salep atau krim asam fusidat 2%, mupirosin 2%, neomisin, dan basitrasin. 15 Antibiotik topikal lini pertama untuk PS yang digunakan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM dalam dekade terakhir adalah asam fusidat 2%. 16 Penggunaan mupirosin 2% dibatasi untuk kuman methicillin resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik yang dibuat oleh tim Program Pengendalian Resistensi Antibiotika (PPRA) RSCM. Data terbaru tentang MRSA sebagai penyebab PS belum tersedia di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Saputra tahun 2010 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM, tidak menemukan kolonisasi MRSA pada lesi kulit pasien bayi dan anak dengan dermatitis atopik. 17 Berdasarkan penelitian Heragandhi, pola kuman penyebab pada semua jenis PS tahun 2004 adalah S.aureus, Spyogenes, Acinetobacter, Staphylococcus epidermidis, Enterobacter aerogenes, dan Streptococcus viridans. Pemeriksaan kepekaan S.aureus terhadap antibiotik menunjukkan bahwa kuman ini masih sensitif terhadap kloksasilin, ampisilin-sulbaktam, amoksisilin-asam klavulanat, gentamisin, dan eritromisin. Kepekaan S.aureus terhadap mupirosin adalah sebesar 91,8% dan asam fusidat 83,7%. Sedangkan kepekaan S.pyogenes terhadap mupirosin adalah sebesar 83% dan asam fusidat 75%. 1 Shah di India pada tahun 2003 menyatakan 50% stafilokokus yang diisolasi dari lesi infeksi kulit resisten terhadap asam fusidat. 18 Pada tahun 2008 di Kanada, Long menyatakan 65% dari 2302 isolat stafilokokus resisten terhadap asam fusidat. 19 Penelitian kasus-kontrol yang dilakukan pada tahun 2013 menyimpulkan bahwa Universitas*Indonesia* *

23 3 tingginya angka fusidic acid resistant Staphylococcus aureus (FRSA) sebesar 35,1% di Pusat Pelayanan Kulit di Singapura berhubungan dengan pemakaian antibiotik sebelumnya. 20 Upton dkk pada tahun 2003 di New Zealand mendapatkan peningkatan sekitar 26% angka resistensi S. aureus terhadap mupirosin 2% sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun Seiring dengan peningkatan isolat MRSA, ditemukan pula peningkatan 6% kuman MRSA yang resisten terhadap mupirosin 2% dalam kurun waktu 4 tahun. 22 Baik mupirosin 2% dan asam fusidat 2% bersifat bakterisidal. 23 Penelitian efikasi yang pernah dilakukan terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2% tahun 1989 di Kanada oleh Gilbert dkk. 23 mendapatkan angka kesembuhan klinis mupirosin 2% sebesar 97% dan asam fusidat 2% sebesar 94%, sedangkan kesembuhan bakteriologis sebesar 97% pada mupirosin 2% dan 88% pada asam fusidat 2%. Efikasi klinis dideskripsikan sebagai sembuh jika gejala infeksi teratasi dan tidak ditemukan tanda infeksi, perbaikan jika terdapat penurunan derajat keparahan tanpa adanya resolusi komplit, dan gagal jika tidak ada perbaikan klinis sama sekali. 23 White dkk. 24 pada tahun yang sama di Inggris mendapatkan angka efektivitas mupirosin 2% sebesar 97% dan natrium fusidat 2% sebesar 93% dan perbedaan ini bermakna secara statistik. Bakteri tidak ditemukan setelah tujuh hari terapi pada 93% sampel kelompok mupirosin 2% dan pada 89% sampel kelompok natrium fusidat 2%. Efektivitas didefinisikan sebagai resolusi, perbaikan tanda serta gejala klinis, dan eliminasi kuman penyebab pada pemeriksaan bakteriologis. 24 Penelitian tahun 1989 oleh Morley dkk. 25 di Inggris memperoleh hasil natrium fusidat sama efektif dengan mupirosin dengan angka 86%. Berbagai penelitian serupa maupun yang membandingkan jenis antibiotik topikal berbeda terhadap kesembuhan klinis yang pernah dilakukan menggunakan derajat keparahan lesi kulit -- yang belum tervalidasi -- sebagai parameter evaluasi, yaitu eksudat/pus, krusta, eritema, edema, gatal, dan nyeri, maupun luas lesi. 26,27 Universitas*Indonesia* *

24 4 Pemilihan antibiotik ditentukan oleh aktivitas terhadap patogen penyebab, efektivitas, dan spesifisitas yang tinggi untuk kuman penyebab. 28 Resistensi kuman dapat memengaruhi efektivitas antibiotik dan menyebabkan gagal terapi yang tentu saja akan menaikkan biaya pelayanan kesehatan serta meningkatkan risiko komplikasi. 27,29 Temuan resistensi, perbedaan angka efektivitas di beberapa negara, serta perbedaan parameter evaluasi pada penelitian terdahulu membuat diperlukannya suatu uji klinis untuk menilai efektivitas asam fusidat 2% dan mupirosin 2% dengan parameter objektif dan terukur serta didukung dengan gambaran kuman dan sensitivitas terhadap keduanya. Penggunaan asam fusidat 2% pada pengobatan PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM sejak dekade terakhir dan mupirosin 2% sebagai lini kedua atau bila kuman penyebab adalah MRSA, perlu dievaluasi mengingat tidak ada data terbaru. Data terakhir tentang pola dan sensitivitas kuman pada PS yang dimiliki oleh Departemen IKKK FKUI/RSCM adalah tahun Sepengetahuan penulis belum ada penelitian yang membandingkan efektivitas asam fusidat 2% dengan mupirosin 2% pada pasien PS di Indonesia. 1.2.Perumusan masalah Pioderma superfisialis masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia serta dapat menimbulkan komorbiditas yang bermakna. Jumlah kunjungan PS masih tinggi di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Saat ini pedoman pengobatan topikal lini pertama yang digunakan adalah asam fusidat 2%. IDSA di Amerika menyarankan penggunaan mupirosin 2% sebagai pengobatan topikal lini pertama PS. Mupirosin 2% dibatasi penggunaannya di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM dalam dekade terakhir untuk infeksi MRSA sesuai dengan kebijakan PPRA RSCM. Beberapa penelitian di luar negeri telah membuktikan adanya resistensi terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Penelitian tahun 2004 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM masih menunjukkan kepekaan kuman yang tinggi. Penelitian mengenai efektivitas kedua antibiotik topikal tersebut belum banyak dilakukan; di Inggris dan Kanada mupirosin 2% ditemukan lebih efektif daripada asam fusidat Universitas*Indonesia* *

25 5 2%. Kekurangan pada penelitian yang pernah dilakukan adalah parameter pengukuran derajat keparahan yang belum tervalidasi. Perbedaan pedoman terapi, tiadanya data terbaru mengenai efektivitas antibiotik topikal pada PS saat ini, dan metode pengukuran pada penelitian sebelumnya yang belum tervalidasi mendorong dilakukannya penelitian mengenai efektivitas mupirosin 2% dan asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis menggunakan parameter terukur guna memperoleh data pendukung bagi panduan penggunan antibiotik topikal untuk PS Pertanyaan penelitian Bagaimanakah efektivitas mupirosin 2% terhadap kesembuhan klinis dibandingkan dengan asam fusidat 2% pada pasien PS? 1.4.Hipotesis Efektivitas mupirosin 2% lebih baik dibandingkan dengan asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis pasien PS. 1.5.Tujuan penelitian 1.5.1* Tujuan umum Mengetahui efektivitas mupirosin 2% dibandingkan dengan asam fusidat 2% pada pasien PS * Tujuan khusus 1. Membandingkan efektivitas mupirosin 2% dan asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis pasien PS. 2. Mendapatkan gambaran kejadian efek samping pemberian krim asam fusidat 2% dan krim mupirosin 2% pada pasien PS. 3. Mengetahui gambaran kuman penyebab PS dan kepekaannya terhadap beberapa antibiotik topikal termasuk asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. 4. Mengetahui adanya kuman MRSA sebagai penyebab PS. Universitas*Indonesia* *

26 6 1.6.Manfaat penelitian * Manfaat untuk bidang akademik 1. Memperoleh data efektivitas terapi topikal mupirosin 2% dan asam fusidat 2%. 2. Mengetahui gambaran kejadian efek samping pemberian mupirosin 2% dan asam fusidat 2% 3. Memperoleh gambaran kuman penyebab PS dan kepekaannya terhadap antibiotik topikal. 4. Mengetahui gambaran MRSA sebagai kuman penyebab PS * Manfaat untuk bidang pelayanan 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengobatan antibiotik topikal untuk PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 2. Hasil gambaran kuman pada penelitian ini dapat menjadi data kuman penyebab paling sering pada pasien PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta * Manfaat untuk pengembangan penelitian 1. Data yang diperoleh diharapkan menjadi data dasar penelitian lanjutan untuk menilai efektivitas antibiotik topikal lainnya khususnya terhadap PS. 2. Data gambaran kuman penyebab dapat menjadi dasar penelitian mengenai pola kuman penyebab PS serta resistensinya. Universitas*Indonesia* *

27 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pioderma superfisial Pioderma superfisial (PS) adalah infeksi kulit (epidermis, dermis bagian atas, folikel rambut, dan kuku) yang disebabkan terutama oleh S.aureus dan Streptococcus sp, sedangkan sebagian kecil kasus disebabkan oleh kuman Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella sp., Eschericia coli, dan bakteri anaerob Etiopatogenesis Genus Staphylococcus memiliki dua spesies utama yaitu Staphylococcus epidermidis (S.epidermidis) yang bersifat koagulase negatif dan Staphylococcus aureus (S.aureus) yang bersifat koagulase positif. S.epidermidis merupakan flora normal kulit namun dapat menyebabkan infeksi superfisial maupun invasif terutama yang berhubungan dengan implan dan kateter. 3 S.aureus merupakan patogen agresif penyebab pioderma primer maupun sekunder, berbentuk sferis dengan diameter 0,8-1,0 mikron. Pada sediaan langsung yang berasal dari nanah dapat terlihat sendiri, berpasangan, bergerombol, bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek. Kuman ini tidak bergerak, merupakan Gram positif, pertumbuhan terbaik pada suasana aerob, bersifat anaerob fakultatif, dan katalase positif. 3,30 S.aureus selain menghasilkan metabolit non toksin, juga menghasilkan eksotoksin penyebab staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS) dan staphylococcal toxic shock syndrome (TSS). 3 S.aureus menyebabkan penyakit dengan tanda-tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis, dan pembentukan abses. 30 Penularan sebagian besar melewati kontak erat langsung dengan penderita atau pembawa. 3 Kelainan yang umumnya dihubungkan dengan kolonisasi S.aureus antara lain dermatitis atopik (DA), diabetes melitus (DM), dialisis, pengguna jarum suntik intravena, gangguan fungsi hati, dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). 3 Dalam menimbulkan penyakit, Staphylococcus memiliki beberapa mekanisme Universitas*Indonesia* *

28 8 patogenik yang merupakan efek gabungan dari berbagai macam metabolit yang dihasilkan, antara lain: 3 o o o o Bersifat invasif, penyebab hemolisis, membentuk koagulase, mencairkan gelatin, membentuk pigmen kuning emas, dan meragi manitol. Adhesin yang diproduksi dapat memfasilitasi S.aureus untuk berikatan dengan permukaan sel pejamu. Beberapa strain memproduksi satu atau lebih eksoprotein yaitu enterotoksin dan eksfoliatin toxin. Toksin ini memiliki efek biologik dengan menghambat respon imun pejamu. Staphylococcus mengeluarkan protein inhibisi kemotaksis neutrofil. o Protein A, staphylokinase, fibrinogen bindin protein, clumping factor A, o dan capsular polysaccharide membuat kuman ini terhindar dari opsonisasi dan fagositosis oleh sistem imun pejamu. Staphylokinase dan aureolysin dapat mengikat dan memecah antimicrobial peptides (AMP) sehingga meningkatkan ketahanan bakteri ini secara in vitro. Pertahanan tubuh terhadap S.aureus terutama diperankan oleh imunitas bawaaan, dalam hal ini adalah AMP. S.aureus dapat masuk dan berkembang biak dalam folikel rambut dan menyebabkan nekrosis jaringan setempat, disusul dengan sebukan sel radang. Selain peradangan setempat, kuman dapat menyebar ke bagian tubuh lain dalam peredaran darah, menyebabkan bakteremia, dan infeksi di tempat lain yaitu tulang dan jantung. 3,30 Pada 20% individu terdapat kolonisasi S.aureus pada regio nares anterior. Pada 60% orang sehat ditemukan kolonisasi di tempat lain, yaitu aksila, perineum, faring, dan tangan. 1,3 Gandhi pada tahun 2012 di India melaporkan sebesar 80% S.aureus penyebab pioderma superfisial adalah methicilin-sensitive S.aureus (MSSA) dan sebesar 20% disebabkan oleh methicilin resistant S.aureus (MRSA). 31 Faktor pejamu yang berperan terhadap patogenesis infeksi stafilokokal adalah penurunan daya tahan tubuh, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, dan DA. Universitas*Indonesia* *

29 9 Adanya trauma dan inflamasi (luka pasca operasi, luka bakar, trauma, dermatitis), gigitan serangga, dan higiene yang kurang juga berperan penting terhadap terjadinya pioderma oleh karena Staphylococcus. 2,3 Genus Streptococcus juga bersifat Gram positif, anaerob fakultatif, hanya beberapa jenis yang bersifat anaerob obligat, dan katalase negatif. Sebagian streptokokus merupakan flora normal kulit dan komensal di traktus respiratorius bagian atas. Spesies utama penyebab pioderma yaitu Streptococcus pyogenes ( Streptococcus β- haemolyticus group A), menghasilkan beberapa enzim yang menyebabkan kerusakan jaringan, yaitu streptokinase, streptolisin S dan O, deoksiribonuklease, dan hialuronidase. 5 Kolonisasi S.pyogenes jarang terjadi, tetapi dapat dijumpai di daerah endemis tinggi impetigo. Infeksi oleh S.pyogenes dapat masuk ke jaringan yang lebih dalam menjadi selulitis atau erisipelas, sedangkan lesi kulit yang terbatas dapat berupa folikulitis, furunkel, atau abses. 30 Dalam menimbulkan penyakit, Streptococcus memiliki beberapa faktor virulensi, antara lain: 3 o Protein M yang menghambat proses fagositosis, membantu perlekatan sel, dan memberi kesempatan bakteri untuk berkembang dalam darah o Molekul permukaan sel, yaitu kapsul asam hialuronat, c5a peptidase, opacity factor, dan komplemen penghambat Streptococcus o Beberapa protein, antara lain streptolisin O dan S, sistein proteinase, eksotoksin pirogenik, streptokinase, hialuronidase, dan beberapa enzim Infeksi oleh S.pyogenes memberikan gambaran klinis lebih edema, penyebaran cepat, dan respons eksudasi lebih minimal. Infeksi dapat menyebar lewat pembuluh darah maupun limfatik. 3,30 Menurut asal kuman penyebabnya, pioderma terbagi menjadi dua yaitu yang berasal dari komunitas (community acquired) dengan satu jenis kuman penyebab dan yang berasal dari rumah sakit (hospital/nosocomial acquired) dengan Universitas*Indonesia* *

30 10 bermacam-macam jenis kuman penyebab. 2 Berikut ini adalah tabel kuman penyebab pioderma. Tabel 2.1 Pioderma dan organisme penyebab * Pioderma Organisme penyebab Impetigo bulosa S.aureus Impetigo non bulosa S.aureus, S.pyogenes Folikulitis S.aureus Furunkel S.aureus Karbunkel S.aureus Selulitis Erisipelas Infeksi pada luka operasi S.pyogenes, S.aureus, Streptococci sp S.pyogenes, S.aureus Polimikrobial Klasifikasi dan manifestasi klinis Terdapat beberapa klasifikasi pioderma antara lain menurut : 1. Kedalaman infeksi Pioderma superfisial, disebabkan oleh S.aureus dan atau S.pyogenes terdiri atas: 3 - Pioderma superfisial primer, dengan manifestasi klinis impetigo nonbulosa, impetigo bulosa, folikulitis, furunkel, karbunkel, ektima, paronikia - Pioderma superfisial sekunder, dengan manifestasi klinis dermatosis impetigenisata, kerusakan kulit pasca trauma fisik, trauma termal, dan trauma karena benda asing (protesa, kateter) Pioderma invasif dengan penyebab S.pyogenes terdiri atas limfangitis akut, erisipelas, selulitis, gangren, bakteremia dan septikemia. Bentuk invasif karena S.aureus terdiri atas limfangitis, limfadenitis, erisipelas, selulitis, gangren, piomiositis, dan septikemia. 2,3 *dikutip dari kepustakaan nomor 2 Universitas*Indonesia* *

31 11 2. Agen penyebab PS yang disebabkan oleh S.aureus PS yang disebabkan oleh S.pyogenes 3. Purulen dan non purulen. Klasifikasi ini memudahkan dalam tatalaksana. Furunkel dan karbunkel termasuk golongan purulen. Sedangkan erisipelas dan selulitis termasuk dalam golongan nonpurulen. 2 Pioderma akan mengalami komplikasi jika terdapat penyakit penyerta contohnya DM, kondisi imunosupresi, serta lokasi infeksi yang mengenai perineum, perianal dengan risiko infeksi oleh kuman anaerob dan Gram negatif. 2, Impetigo Impetigo merupakan bentuk PS yang sering dijumpai, terdapat dua bentuk yaitu bulosa dan non bulosa. Bentuk non bulosa lebih dari 70% mengenai anak-anak segala usia dan dewasa. Lesi kulit terutama di daerah wajah (sekitar hidung), dapat terjadi di ekstremitas setelah trauma. Keluhan subjektif adalah gatal atau nyeri. Manifestasi klinis berupa vesikel atau pustul transien, yang cepat berubah menjadi plak dengan krusta coklat seperti madu yang dapat melebar dengan diameter melebihi 2 cm. Pada lesi yang tidak diobati dan berkelanjutan, didapati pembesaran kelenjar getah bening. 3 Impetigo bulosa ditandai dengan perubahan vesikel yang cepat menjadi bula kendur. Lepuh biasanya timbul di kulit normal yang lembab. Lepuh berisi cairan kuning jernih yang cepat berubah menjadi kuning gelap. Bula superfisial, kendur, tipis yang akan pecah dalam 1-2 hari menjadi krusta coklat terang sampai kuning Ektima Ektima terjadi pada impetigo yang tidak diobati sehingga menjadi lebih dalam melewati epidermis, membentuk ulkus dangkal berkrusta. Ektima biasanya terdapat pada ekstremitas bawah. Ulkus mempunyai gambaran punch out saat krusta kotor kuning keabuan dan bahan purulen dibersihkan. Lesi menyembuh secara lambat, memerlukan pengobatan selama beberapa minggu. 3 Universitas*Indonesia* *

32 Folikulitis Folikulitis merupakan PS pada folikel rambut, terdapat dua bentuk yaitu superfisial dan dalam. Folikulitis superfisial disebut juga impetigo Bockhart, berupa pustul kecil berbentuk kubah yang mudah pecah, terdapat di infundibulumm (muara) folikel rambut. Pada anak sering di kulit kepala, sedangkan pada orang dewasa di dagu, ketiak, ekstremitas, dan bokong Furunkel dan karbunkel Furunkel adalah nodus inflamasi yang timbul di sekitar folikel rambut. Karbunkel adalah infiltrat yang lebih ekstensif dan dalam, merupakan gabungan beberapa furunkel. Furunkel terdapat di folikel rambut, terutama daerah banyak gesekan, oklusi, dan keringat. Furunkel dimulai dengan nodus eritematosa folikulosentrik yang keras dan nyeri di area berambut, membesar, dan berfluktuasi setelah beberapa hari. Karbunkel berukuran lebih besar, merupakan gabungan beberapa furunkel, inflamasi lebih berat, dan dasarnya lebih dalam, disertai nyeri hebat. Daerah yang terkena kemerahan, berindurasi, lalu tampak pustul multipel di permukaan Dermatosis dengan infeksi sekunder Pada kulit dengan gangguan integritas, misalnya dermatitis, gigitan serangga, herpes simpleks, varicella, abrasi, laserasi, dan setelah luka bakar memungkinkan terjadinya kolonisasi dan berpotensi menjadi infeksi Manajemen Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan pemeriksaan sederhana yaitu sediaan apus dengan pewarnaan Gram. 3,16 Diagnosis ditunjang dengan pemeriksaan penunjang berupa biakan dan kepekaan kuman, selain itu dilakukan pula pada kasus yang tidak responsif terhadap terapi lini pertama. Bahan pemeriksaan diambil dari apusan (swab) dasar lesi atau eksudat. 3,16 Universitas*Indonesia* *

33 Tatalaksana Tujuan terapi PS adalah eliminasi kuman penyebab, kesembuhan klinis, cegah rekurensi, dan penyebaran kepada orang lain. 3,12,13,32 PS yang tidak diobati akan meluas hingga dermis dan jaringan subkutan. 3 Sebagian besar kasus dapat disembuhkan dengan terapi antibiotik topikal, namun untuk kelainan yang letaknya lebih dalam harus diberikan pengobatan antibiotik sistemik. 16 Antibiotik topikal pilihan pertama yang sering digunakan adalah asam fusidat dan mupirosin. Terapi antibiotik topikal untuk lesi PS dengan jumlah lesi sedikit yang direkomendasikan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA) adalah mupirosin 2% dioleskan 2-3 kali perhari selama 7-10 hari, efektifitasnya setara dengan terapi antibiotik sistemik oral. 3,12,13 Antibiotik topikal dapat digunakan sebagai monoterapi dalam kondisi lesi kulit terbatas (5-10 lesi), tidak adanya keterlibatan kelenjar getah bening regional, tidak adanya gejala sistemik, dan penyakit penyerta. 26 Perawatan kulit berupa kompres basah sebelum pengolesan antibiotik akan membantu proses penyembuhan Antibiotik topikal Antibiotik topikal sering digunakan oleh dokter spesialis kulit dalam praktek seharihari untuk beberapa tujuan di antaranya mengobati infeksi kulit bakterial, dermatitis impetigenisata, staphylococcal nasal carriage, dan akne vulgaris. Selain itu sering digunakan sebagai profilaksis infeksi pada luka pasca operasi dan luka kronis misalnya ulkus kruris. 26,32 Keuntungan penggunaan antibiotik topikal, yaitu didapatkan konsentrasi obat yang tinggi di tempat pemberian, target hanya pada area yang terinfeksi, mudah dipakai, umumnya harga lebih murah, dan menurunkan risiko reaksi obat secara sistemik. 3,32 Sedangkan beberapa kerugian yaitu terjadinya dermatitis kontak, kemungkinan timbulnya organisme yang resisten lebih cepat, serta mewarnai kulit dan pakaian. 3,32 Pemilihan agen antibiotik topikal seharusnya mempertimbangkan hal-hal Universitas*Indonesia* *

34 14 berikut: 28,32 1. Aktivitas spektrum antibiotik tersebut terhadap patogen penyebab 2. Efektivitas antibiotik 3. Farmakokinetik obat 4. Faktor pejamu yaitu usia, kehamilan, fungsi ginjal, dan hepar 5. Efek samping yang mungkin timbul 6. Harga dan kemudahan dalam pemakaian 7. Tidak memicu resistensi dan tidak digunakan secara sistemik Beberapa antibiotik topikal yang beredar di pasaran untuk PS antara lain mupirosin, asam fusidat, basitrasin, polimiksin B, aminoglikosida (neomisin dan gentamisin), sulfonamid, dan nitrofurazon. 33 Selain itu saat ini telah beredar beberapa antibiotik topikal baru yaitu retapamulin dan indolmycin. 3,33, Mupirosin Sebelumnya dikenal dengan nama pseudomonic acid A merupakan antibiotik topikal turunan Pseudomonas fluorescens. Mekanisme kerja Mupirosin merupakan analog isoleusin, berikatan secara kompetitif dengan isoleusin-t-rna sintetase dan menghambat sintesis protein bakteri. Mupirosin memiliki aktivitas bakterisidal terhadap staphylococcus, streptococcus, MRSA, dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus sp, dan Enterobacter sp). 35,36 Formulasi, absorpsi, dan penetrasi Mupirosin bekerja baik pada ph asam dan suhu ruang serta kurang efektif jika terdapat serum dan eksudat karena obat 95% terikat dengan protein. 37 Mupirosin memiliki penetrasi kulit yang baik, dapat diabsorpsi melalui sirkulasi, dan dimetabolisme menjadi derivat inaktif, yaitu monic acid. Mupirosin tidak tersedia dalam sediaan sistemik, memiliki insiden yang rendah dalam menimbulkan sensititasi kulit serta reaksi silang. 37 Universitas*Indonesia* *

35 15 Efektivitas Beberapa penelitian membuktikan bahwa aplikasi topikal intranasal salep mupirosin 2% mengakibatkan dekolonisasi MRSA pada hampir 80% pasien. 26 Mupirosin merupakan antibiotik topikal yang penggunaannya direkomendasikan oleh IDSA sebagai lini pertama pengobatan pioderma pada anak usia 2 tahun ke atas dan dewasa. 12,13 Mupirosin terbukti secara signifikan efektif dalam pengobatan pioderma. Morley dan Munot melaporkan mupirosin dan asam fusidat memiliki respon klinis yang sama baiknya yaitu 86% Asam Fusidat Asam fusidat memiliki struktur seperti steroid, secara in vitro sensitif terhadap S.aureus (MSSA dan MRSA), Streptococcus sp, dan Corynebacterium minutissimum. Asam fusidat dihasilkan dari jamur Fusidum coccineum, secara in vivo asam fusidat tidak efektif terhadap kuman Gram negatif namun terbukti efektif secara in vitro terhadap Neisseria, Moraxella, Legionella, dan Bacteroides. 26,38 Asam fusidat terutama bersifat bakteriostatik, tetapi dapat menjadi bakterisidal pada konsentrasi tinggi. 38 Mekanisme kerja Asam fusidat bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri dengan mempengaruhi faktor elongasi G (EF-G) yang berfungsi untuk translokasi ribosom setelah pembentukan ikatan peptida. 38 Antibiotik ini memiliki aktivitas penetrasi perkutan lebih baik daripada pemberian melalui sistemik. 19,33 Asam fusidat secara umum bersifat bakteriostatik, namun dalam konsentrasi tinggi bersifat bakterisidal. Penetrasi kulit baik walaupun terdapat pus maupun eksudat, serta tidak menimbulkan sensititasi maupun resistensi silang dengan antibiotik topikal lainnya. 38 Formulasi, absorpsi, dan penetrasi Asam fusidat tersedia dalam formula tablet, suspensi, intravena, dan sediaan topikal (krim, salep, dan gel). Sediaan krim mengandung potassium sorbate, butylated hydroxyanisole, polysorbate 60, dan white soft paraffin. Sedangkan sediaan salep Universitas*Indonesia* *

36 16 mengandung lanolin dan white soft paraffin. Sebuah studi mendapatkan penetrasi asam fusidat sebesar 2,3% saat diaplikasikan pada kulit kadaver. Kadar diatas 1 mg/l didapatkan dalam jangka waktu 12 jam. Sebesar 91-98% asam fusidat berikatan dengan albumin. 38 Efektivitas Beberapa studi membandingkan efektivitas sediaan krim dan salep asam fusidat terhadap PS. Keduanya memberikan hasil yang baik dengan waktu penyembuhan 7,7 hari pada salep dan 7,9 hari pada sediaan krim. 14 Penelitian yang dilakukan oleh Zeldever * membuktikan bahwa asam fusidat memiliki efektivitas yang sama dengan amoksilin oral dalam terapi furunkel, karbunkel, impetigo, dan luka terinfeksi. Selain itu efektivitas bakteriologis, yaitu eradikasi bakteri patogen sebelum terapi sebesar % terutama terhadap Staphylococcus Basitrasin Basitrasin merupakan antibiotik polipeptida yang diisolasi dari galur Bacillus subtilis yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri dan defosforilasi membran. Aktivitas baik terhadap kuman Gram positif sedangkan kebanyakan kuman Gram negatif dan kandida resisten terhadap antibiotik ini. Basitrasin memiliki beberapa komponen polipeptida yaitu A, B, dan C. Umumnya yang beredar di pasaran adalah Basitrasin A dengan komponen garam seng. Basitrasin efektif terhadap PS misalnya impetigo dan furunkulosis. Pada penggunaannya sering dikombinasikan dengan polimiksin B dan neomisin yang dioleskan untuk dermatitis impetigenisata. Efek samping basitrasin yang pernah dilaporkan adalah dermatitis kontak alergik dan syok anafilaksis namun jarang ditemukan. 32, * Polimiksin B Antibiotik ini berasal dari B.polymyxa, merupakan gabungan antara polymyxin B1 dan B2. Polimiksin bekerja dengan menghambat sintesis dinding bakteri dan mengganggu integritas membran sel. dikutip dari kepustakaan nomor 14 Universitas*Indonesia* *

37 17 Polimiksin memiliki aktivitas terhadap kuman Gram negatif yaitu P.aeruginosa, Enterobacter, dan Eschericia coli. Sediaan yang beredar di pasaran dalam bentuk salep ( unit/gram) yang merupakan kombinasi dengan basitrasin atau neomisin. 34, * Aminoglikosida (neomisin dan gentamisin) Antibiotik golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik topikal maupun sistemik yang efektif terhadap basil Gram negatif dengan menghambat sintesis protein. Neomisin sulfat merupakan jenis aminoglikosida yang paling sering digunakan secara topikal, merupakan hasil fermentasi Streptomyces fradiae. Neomisin yang banyak dijual di pasaran merupakan campuran antara neomisin B dan C. Framisetin mengandung neomisin B banyak digunakan sebagai profilaksis infeksi pada luka superfisial dan luka bakar. Framisetin dijual dalam bentuk kasa steril (Sofratulle, Daryantulle ). Neomisin yang beredar di pasaran adalah bentuk salep dan sering dikombinasikan dengan basitrasin, polimiksin, atau gramisidin. Neomisin tidak direkomendasikan penggunaannya karena menimbulkan dermatitis kontak alergik pada 6-8% pasien. 2,32 Gentamisin sulfat merupakan hasil fermentasi Micromonospora purpurea, tersedia dalam bentuk krim dan salep. Antibiotik ini digunakan sebagai profilaksis operasi telinga khususnya pada pasien diabetes melitus atau keadaan imunokompromais serta dalam bentuk formulasi oftalmik untuk pascaoperasi daerah periorbital * Sulfonamid Perak sulfadiazin merupakan bahan topikal tersering yang sering digunakan, mengandung sulfonamid yang bekerja melepas zat aktif secara perlahan ke dinding dan membran sel. Perak sulfadiazin memiliki aktivitas spketrum luas yang sering digunakan dalam kasus luka bakar. 2,32 Antibiotik topikal jenis ini beredar dalam sediaan krim perak sulfadiazine 1% (Dermazin, Burnazin ). Universitas*Indonesia* *

38 * Nitrofurazon Nitrofurazon merupakan turunan nitrofuran yang digunakan dalam terapi luka bakar. Mekanisme antibakteri obat ini dengan cara menghambat aktivitas enzim dalam degradasi glukosa dan piruvat. Nitrofurazon beredar dalam bentuk krim, dressing, dan solusio. Aktivitas nitrofurazon terutama terhadap stafilokokus, streptokokus, E.coli, Clostridium perfringens, dan Proteus sp. 2, * Retapamulin Penggunaan retapamulin direkomendasikan pada pasien impetigo berusia di atas 9 bulan. Retapamulin adalah antibiotik kelas pleuromutilins yang berasal dari fermentasi Clitopilus paseckerianus dengan aktivitas terhadap stafilokokus. Aktivitas antibakteri melalui inhibisi sintesis protein, melalui ikatan dengan peptidyl transferase dan t-rna. Perbandingan pemakaian topikal antara retapamulin dengan asam fusidat pada pasien impetigo, didapatkan hasil efektivitas yang sama. 2,40 Belum ada penelitian yang membandingkan efektifitas terapi retapamulin dan mupirosin, namun tidak seperti mupirosin, retapamulin tidak diindikasikan penggunaanya untuk MRSA. Uji klinis menunjukkan efektifitas terapi pemakaian 5 hari retapamulin sama efektif dengan 10 hari pemakaian sefaleksin oral untuk tatalaksana dermatitis impetigenisata. 2,39,41 Retapamulin dapat merupakan obat alternatif untuk S.aureus yang resisten terhadap mupirosin dan asam fusidat * Indolmycin Merupakan antibiotik topikal baru yang bekerja pada enzim triptofanil-trna sintetase. Indolmycin bersifat bakteriostatik, efektif terhadap MSSA, vancomycinintermediate S aureus (VISA), serta MRSA yang resisten terhadap mupirosin dan asam fusidat. 32 Universitas*Indonesia* *

39 * Antibiotik topikal lainnya Eritromisin Eritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid dan efektif baik untuk bakteri Gram positif dan Gram negatif. Antibiotika ini dihasilkan oleh Streptomyces erythreus yang sering digunakan untuk pengobatan akne. Eritromisin berikatan dengan ribosom 50S bakteri dan menghambat sintesis protein. Eritromisin juga memiliki efek anti inflamasi yang berguna dalam pengobatan akne. 3,35 Kloramfenikol Kloramfenikol pertama kali diisolasi dari Streptococcus venezuela, tetapi saat ini disintesis karena struktur kimianya sederhana. Mekanisme kerja hampir mirip dengan eritromisin dan klindamisin, yaitu menghambat ribosom 50S. Obat ini jarang digunakan karena dapat menyebabkan anemia aplastik dan supresi sum-sum tulang yang fatal. 3,35 Tetrasiklin Tetrasiklin memiliki struktur empat cincin, berasal dari Streptomyces dan merupakan agen bakteriostatik dengan spektrum luas yang meliputi kuman Gram positif, aerob, dan anaerob, bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. 35 Saat ini tetrasiklin sudah jarang digunakan karena mengotori pakaian. 32 Klindamisin Klindamisin adalah antibiotik turunan lincomisin semisintetik. Mekanisme kerja serupa dengan eritromisin, yaitu berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat sintesis protein. Klindamisin topikal digunakan terutama untuk pengobatan akne Rekomendasi penggunaan antibiotik topikal pada pioderma superfisialis Panduan manajemen infeksi kulit dan jaringan lunak terkait penggunaan antibiotik topikal pada PS yang direkomendasikan oleh IDSA tahun 2014 : 12,13 1. Penggunaan salep mupirosin dan retapamulin yang dioleskan 2 kali per hari pada lesi selama 5 hari untuk impetigo bulosa maupun nonbulosa dengan jumlah lesi yang terbatas (5-10 lesi). Universitas*Indonesia* *

40 20 2. Untuk jumlah lesi yang banyak dan terdapat wabah yang mengenai sejumlah orang digunakan pengobatan antibiotik sistemik. 3. Pada ektima, infeksi mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada impetigo sebaiknya juga menyertakan antibiotik sistemik. 4. PS supuratif misalnya furunkel dan karbunkel disarankan untuk tindakan insisi dan drainase lesi. Pemeriksaan kultur resistensi disarankan pada pasien imunokompromais atau dengan gejala infeksi sistemik/systemic inflammatory response syndrome (SIRS) (suhu>38 C, frekuensi nadi >90x/menit, frekuensi napas >24x/menit dan hitung sel darah putih yang abnormal >12000/<400/µL). 5. Pemberian antibiotik sistemik untuk MRSA direkomendasikan untuk pasien dengan furunkel dan karbunkel dengan SIRS dan imunokompromais. Menurut Panduan Pelayanan Medis (PPM) Departemen IKKK FKUI/RSCM tahun 2012, pengobatan PS menggunakan kompres terbuka bila dijumpai banyak pus dan krusta. Bila tidak tertutup pus atau krusta, diberikan salep/krim natrium fusidat 2% atau mupirosin 2% atau neomisin atau basitrasin. 16 Vehikulum susbtansi aktif antibiotik topikal bergantung dari keadaan kelainan kulit. Jika keadaan lesi basah dan sub akut digunakan vehikulum krim. 42 Untuk meningkatkan efektifitas terapi, terdapat beberapa aturan pakai antibiotik topikal yang harus diinstruksikan pada pasien, antara lain: Cuci kulit yang terkena dengan cairan fisiologis atau air dan sabun kemudian keringkan dengan handuk. Jangan lupa untuk menghapus obat topikal atau kosmetik yang dioles sebelumnya. 2. Oleskan tipis obat topikal pada lesi kulit dengan metode finger tip unit. 3. Oleskan dan pijat lembut area yang terkena dengan obat. 4. Dosis yang dianjurkan bergantung pada jenis antibiotik topikal. Secara umum, antibiotik topikal tidak boleh digunakan lebih dari 3 kali per hari. 5. Setelah antibiotik dioleskan, tutup area yang sakit dengan kasa. 6. Cuci tangan dengan air dan sabun sebelum dan sesudah mengoleskan obat Universitas*Indonesia* *

41 21 7. Semua obat topikal dapat menyebabkan efek samping di antaranya rasa gatal, terbakar, dan kesemutan. 8. Hindari kontak erat dengan orang lain selama stadium infeksius (impetigo masih basah dan berkrusta). Hindari penggunaan handuk bersama-sama. Pakaian harus diganti setiap hari. 2.4*Higiene perseorangan Higiene dan lingkungan yang buruk memudahkan seseorang terserang penyakit infeksi kulit. Untuk melindungi dan mencegah penyakit infeksi bakterial kulit, setiap pasien penting diketahui faktor higienenya, misalnya pemeliharaan kulit dan kuku. Cara-cara untuk menjaga atau memelihara higiene antara lain: 3,43 - Mandi dengan sabun yang berguna untuk menghilangkan kotoran dan bau pada tubuh. Mandi dilakukan minimal dua kali sehari - Mencuci tangan dengan sabun dan memotong kuku - Memakai pakaian yang bersih 2.5*Masalah dalam tatalaksana PS saat ini Resistensi terhadap antibiotik topikal Resistensi terhadap antibiotik adalah kemampuan suatu mikroba untuk melawan efek dari obat, bakteri tidak dibunuh, dan pertumbuhannya tidak dihambat. 29 Secara mikrobiologi, resistensi adalah suatu keadaan jika konsentrasi hambat minimal obat lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi secara in vivo. Terdapat beberapa mekanisme suatu populasi kuman dalam menimbulkan resistensi, yaitu kuman produksi enzim yang merusak daya kerja obat, terjadinya perubahan permeabilitas kuman terhadap obat tersebut, perubahan pada tempat/lokus tertentu dalam sel sekelompok kuman yang menjadi target obat, perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat, dan perubahan enzimatik sehingga kuman meskipun masih dapat hidup dengan baik tetapi menjadi kurang sensitif terhadap antibiotik. 44 Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik dapat disebabkan non genetik dan genetik. Umumnya resistensi kuman Universitas*Indonesia* *

42 22 terjadi karena perubahan genetik, yaitu resistensi ekstrakromosomal dan resistensi kromosomal. 44 Masalah resistensi S.aureus terhadap beberapa antibiotik topikal merupakan isu yang sangat mendesak saat ini. S aureus yang mendominasi beberapa tahun terakhir adalah galur penicillin-resistant yang memproduksi β laktamase dengan hanya < 5% yang sensitif terhadap penisilin. 2,26 Stafilokokus menunjukkan resistensi terhadap hampir semua antibiotik topikal seperti mupirosin 2%, asam fusidat 2%, dan perak sulfadiazin 1%. Tingginya angka penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotik tersebut. 19 Resistensi terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2% menjadi perhatian di sejumlah negara dengan angka resistensi terhadap mupirosin sebesar 50% dan lebih pada galur community acquired MRSA (CA-MRSA). 2 Hal ini dihubungkan dengan angka penggunaan yang tinggi, monoterapi antibiotik, dan terjadinya resistensi silang terhadap asam fusidat pada galur CA-MRSA yang resisten terhadap mupirosin. 21 Mitra pada tahun 2008 melaporkan bahwa resistensi asam fusidat dihubungkan dengan telah ditemukannya isolat fusidic acid (FA)-resistant Staphylococcus aureus (FRSA) dalam komunitas. 45 Sebuah studi mendapatkan sebesar 50% galur S.aureus resisten terhadap asam fusidat pada pasien yang menggunakan Fusidin topikal 6 bulan sebelumnya. Studi di Bristol mendapatkan resistensi MSSA terhadap asam fusidat yang meningkat hingga dua kali lipat dalam 4 tahun terakhir. Hal ini diakibatkan karena penggunaan jangka panjang asam fusidat topikal pada pasien dermatitis atopik. Meningkatnya risiko infeksi MRSA pada pasien dermatitis atopik pada masa mendatang harus diperhatikan. Penggunaan jangka panjang asam fusidat harus dihindari atau tidak boleh melebihi 2 minggu. 46 Pemeriksaan resistensi secara in vitro bertujuan memprediksi respons in vivo organisme penyebab infeksi terhadap beberapa antibiotik. Metode yang sering digunakan untuk uji kepekaan adalah dengan difusi cakram. 36 Universitas*Indonesia* *

43 Virulensi organisme Beberapa clones CA-MRSA lebih virulen dan gen ini lebih mudah ditransmisikan dalam komunitas sehingga menyulitkan pengobatan. Beberapa dari galur ini memiliki genotip Panton-Valentine-Leukocidin (PVL) yang berkontribusi terjadinya infeksi kulit antara lain karbunkel, abses, dan impetigo bulosa hingga infeksi kulit progresif yang berat seperti necrotizing fasciitis. 2, Status imun pasien Keadaan imunokompromais baik primer maupun sekunder karena keganasan atau dalam terapi imunosupresif menimbulkan masalah dalam tatalaksana pioderma. Pada pasien anak dengan keganasan, kondisi neutropenia meningkatkan risiko infeksi oleh kuman Gram negatif seperti P.aeruginosa. Infeksi HIV meningkatkan risiko infeksi oleh CA-MRSA Infeksi berulang Infeksi berulang dapat terjadi walaupun dalam kondisi yang ringan dan merupakan tantangan bagi klinisi. Rekurensi sering terjadi oleh kuman MRSA, selain itu dapat disebabkan oleh : 2,47 Terapi yang tidak adekuat serta kesalahan dalam pemilihan antibiotik Adanya penyakit kulit yang mendasari dan tidak diobati selama infeksi, seperti skabies, dermatitis atopik, dermatitis kontak, dan psoriasis Kolonisasi dengan bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Keadaan imunosupresi Ketersediaan obat Adanya beberapa antibiotik topikal kelas baru yang tidak tersedia serta harga obat yang tidak terjangkau oleh pasien dengan status ekonomi yang rendah dapat menimbulkan masalah dalam tatalaksana PS. 2 Universitas*Indonesia* *

44 Kombinasi antibiotik topikal Penggunaan antibiotik topikal yang dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dapat menyembunyikan tanda-tanda infeksi atau reaksi alergi. Obat tertentu dari dua atau lebih antibiotik topikal yang dikombinasikan dapat mempersulit diagnosis apabila terkena reaksi alergi kontak/ reaksi sistemik. 2, Penggunaan antiseptik sebagai pengganti antibiotik topikal Antiseptik dapat merupakan salah satu pilihan pengobatan pioderma. Penggunaan antiseptik dapat mengurangi angka resistensi terhadap antibiotik topikal. Beberapa literatur tidak merekomendasikan penggunaan antiseptik seperti klorheksidin karena sudah mulai ditemukan resistensi sebesar 10%. Klorheksidin diindikasikan untuk mencegah infeksi nosokomial pada pasien dengan ventilator, kateter vaskular, memandikan pasien ICU, desinfeksi tangan dan kulit sebelum tindakan bedah, serta dekolonisasi MRSA. 2,48 Penggunaan antiseptik sebagai pengganti antibiotik topikal masih dalam penelitian lebih lanjut Pemilihan dan durasi pemakaian antibiotik topikal Terdapat perbedaan regimen dan lama pemakaian antibiotik topikal untuk pengobatan PS di beberapa negara. IDSA menyarankan penggunaan mupirosin atau retapamulin selama 5 hari. 12,13 Sedangkan beberapa panduan antibiotik di beberapa negara Eropa menyarankan penggunaan asam fusidat pada impetigo selama 7 hari. 14 Indonesia belum memiliki panduan penggunaan antibiotik topikal untuk infeksi kulit bakteri superfisialis. Universitas*Indonesia* *

45 *KERANGKA TEORI PIODERMA SUPERFISIALIS impetigo, folikulitis, furunkel, karbunkel, ektima, dermatosis impetigenisata FAKTOR ENDOGEN: -Penurunan daya tahan tubuh : DM, gagal ginjal -Penggunaan steroid jangka panjang -Gizi kurang -Kerusakan sawar kulit : dermatitis atopik, luka pasca operasi, luka bakar, trauma, gigitan serangga Pola kuman Pedoman terapi empiris TERAPI DEFINITIF Kultur dan resistensi Pemeriksaan penunjang Non medikamentosa: Perbaikan higiene, cegah penularan, perbaikan gizi Gram TERAPI EMPIRIK FAKTOR EKSOGEN: -Infeksi oleh Staphylococcus dan atau Streptococcus -Lingkungan -Status higiene ANTIBIOTIK: Efektivitas, aktivitas, farmakokinetik, efek samping faktor pejamu, resistensi Antibiotik sistemik 1. Mupirosin 2. Asam fusidat 3. Basitrasin 4. Neomisin 5. Eritromisin 6. Polimiksin 7. Gentamisin 8. Klindamisin 9. Tetrasiklin 10. Kloramfenikol PERTIMBANGAN Gejala infeksi sistemik,jumlah, dan luas lesi Antibiotik Topikal TIDAK SEMBUH Kepatuhan pengobatan Efektivitas antibiotik Sumber penularan Sensitivitas kuman SEMBUH Klinis SEMBUH Bakteriologis Universitas*Indonesia*

46 KERANGKA KONSEP PIODERMA SUPERFISIALIS Pemeriksaan penunjang Kultur dan resistensi Gram Terapi definitif Pola kuman dan resistensi Terapi empirik Terapi antibiotik sistemik Terapi antibiotik topikal Mupirosin 2% Asam fusidat 2% Efektivitas Efek samping SEMBUH Bakteriologis Kesembuhan klinis (subjektif dan objektif) Gatal, perih, atau tersengat Dermatitis kontak Reaksi iritan Universitas*Indonesia*

47 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain penelitian Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda paralel (double blind paralel randomized controlled trial) terhadap pasien dengan pioderma superfisialis di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian 1. Anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan kultur dan resistensi dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. 2. Pengolesan asam fusidat 2% atau mupirosin 2% dilakukan di rumah subjek penelitian. 3. Pemeriksaan kultur dan resistensi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK), Departemen Mikrobiologi FKUI Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2015 sampai Februari 2016 (penelitian dimulai setelah mendapatkan keterangan lolos kaji etik dari Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI) 3.3. Populasi penelitian Populasi target Pasien anak dan dewasa dengan pioderma superfisialis di Indonesia Populasi terjangkau Populasi penelitian adalah semua pasien anak dan dewasa usia tahun dengan pioderma superfisialis yang berkunjung ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM sejak bulan Desember 2015 sampai Januari Universitas*Indonesia*

48 Sampel dan cara pemilihan sampel Subjek penelitian (SP) adalah bagian dari populasi terjangkau, yaitu pasien anak dan dewasa usia tahun dengan pioderma superfisialis yang berkunjung ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM yang dipilih berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan serta bersedia menandatangani formulir persetujuan. Pemilihan dilakukan secara berurutan (consecutive sampling). Alokasi randomisasi permutasi empat blok dilakukan untuk menentukan jenis terapi yang diberikan Kriteria subjek penelitian Kriteria penerimaan subjek penelitian Pasien yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM : 1. Laki-laki maupun perempuan berusia tahun 2. Secara klinis terdiagnosis pioderma superfisialis 3. Memberikan persetujuan tertulis kesediaan ikut serta dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai penelitian (informed consent) Kriteria penolakan subjek penelitian 1. Mendapat pengobatan steroid atau sitostatika untuk penyakit lain 2. Mendapat antibiotik topikal atau sistemik dalam jam terakhir 3. Riwayat DA, DM, HIV/AIDS, gagal ginjal kronik, dan gizi kurang 4. Riwayat hipersensitivitas terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2% 5. Kelainan kulit dengan jumlah lesi PS lebih dari 10 buah dan luas lesi lebih dari 10% luas permukaan badan. 6. Gejala sistemik berupa demam dan pembesaran kelenjar getah bening regional 7. Lesi kulit PS yang belum mengalami supurasi Kriteria drop-out Dinyatakan drop-out bila: - SP tidak datang pada saat jadwal evaluasi melebihi 7 hari. Diberikan toleransi batas waktu jadwal evaluasi yaitu 1-2 hari. Universitas*Indonesia*

49 29 - SP memutuskan untuk tidak meneruskan keikutsertaannya dalam penelitian. - Jika terjadi efek samping serius, misalnya dermatitis kontak yang berat (bula, nekrosis, ulkus). - SP tidak patuh dalam mengikuti protokol penelitian yang dinilai berdasarkan catatan harian SP Perhitungan besar sampel Sesuai dengan rancangan penelitian, maka besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus analitik nominal tidak berpasangan sebagai berikut: n=n 1 =n 2 = Zα 2PQ + Zβ P1Q1 + P2Q2) 2 Keterangan P1-P2 n = besar sampel penelitian minimal untuk masing-masing kelompok uji. Zα = deviasi baku alfa, ditetapkan 5% (dari tabel Zα adalah 1,96) Zβ = deviasi baku beta, ditetapkan 20% (dari tabel Zβ adalah 0,842) P 1 P 2 = persentase kelompok kontrol yang diperkirakan akan memberikan hasil seperti yang akan diteliti = persentase kelompok perlakuan yang diperkirakan memberikan hasil seperti yang akan diteliti Berdasarkan pengamatan terhadap 10 pasien PS yang berobat pada periode Januari- Juli 2015 di Poli Kulit dan Kelamin RSCM, diperoleh sebanyak 6 dari 10 pasien (60%) dinyatakan sembuh secara klinis setelah 7 hari terapi asam fusidat. Oleh karena itu proporsi kesembuhan pada kelompok asam fusidat (P 1 ) adalah 60%. Untuk kelompok mupirosin 2% ditetapkan perbedaannya sebesar 30%, sehingga P 2 adalah 90%. Dengan alfa 0.05 (dua arah) dan beta power 75% maka diperoleh Z alfa = 1,96 dan Z beta = 0,842 n=n 1 =n 2 = 1,96 2.0,75.0,25 + 0,842 0,9.0,1 + 0,6.0,4) 2 (0,3) Universitas*Indonesia*

50 30 n=n 1 =n 2 = 18,92 ~ 19 orang Antisipasi putus uji sebesar 10%. Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, maka diperoleh jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 21 orang, sehingga total jumlah sampel adalah 42 orang Bahan, alat, dan cara penelitian Persiapan SP - Pasien dilakukan wawancara sesuai kuesioner penyaring SP. - Setiap SP diberikan nomor urut penelitian. Penentuan jenis krim antibiotik pada setiap SP didasarkan atas tabel random. - Setiap SP mendapatkan masing-masing paket kompres (NaCl 0,9%, kasa steril, dan transofix) dengan 1 tube obat yang berisikan krim mupirosin 2% atau krim asam fusidat 2%. - Penentuan jenis krim antibiotik pada SP tidak diketahui oleh SP dan peneliti. - Selama penelitian, SP menggunakan sabun yang disediakan oleh peneliti yaitu sabun Dove * Persiapan obat yang diujikan Asam fusidat 2% dan mupirosin 2% berada dalam zat pembawa krim sesuai prinsip dermatoterapi. 43 Krim mupirosin 2% dan asam fusidat 2% yang berada dalam tube diberi label serupa berwarna putih yang menutupi seluruh tube oleh pihak farmasi sedemikian rupa sehingga SP tidak mengetahui kandungan krim antibiotik dan setiap tube diberi kode A dan B. Petugas farmasi mencatat jenis krim antibiotik yang dilabel sesuai kode, kemudian catatan disimpan. Krim antibiotik yang digunakan adalah yang tersedia di apotik Kimia Farma RSCM dan terdaftar di formularium nasional. Krim Bactoderm 5 gram untuk mupirosin 2%, dan krim Fusycom 5 gram untuk asam fusidat 2%. Universitas*Indonesia*

51 * Alat dan bahan penelitian 1. Lembar penyaring subjek penelitian 2. Lembar informasi penelitian 3. Lembar persetujuan penelitian 4. Status penelitian 5. Catatan harian pemakaian obat 8. Amplop berisi nomor urut penelitian 9. Lembar petunjuk pemakaian obat 10.Lembar pemeriksaan LMK Departemen Mikrobiologi, FKUI 11.Kamera digital 12.Kaca pembesar 13.Kaliper 14.Sarung tangan lateks sekali pakai 15.Masker 16.Larutan NaCl 0,9% 17.Kasa steril 18.Alat suntik steril 19.Kapas lidi steril 20.Media transport Amies (Oxoid ) 21.Gelas objek 22.Pemantik api 23.Sabun batang Dove. 24.Stiker nama berukuran kecil 3.7.4* Formulir penyaring subjek penelitian Pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM dengan diagnosis PS sebelum menjadi SP akan dipilih berdasarkan kriteria penelitian dengan menggunakan formulir penyaring yang berisi kriteria penerimaan dan penolakan. Pasien sebelumnya dilakukan informed consent. Jika terdapat pasien dengan satu jawaban ya pada kriteria penolakan, maka pasien tersebut tidak dapat diikutsertakan dalam Universitas*Indonesia*

52 32 penelitian * Informasi penelitian Sebelum dilakukan pemeriksaan dan pengambilan sampel, SP yang memenuhi kriteria penelitian, diberi penjelasan mengenai tujuan, alur kegiatan, keuntungan yang didapat, dan kerugian (efek samping) yang mungkin timbul. SP yang bersedia mengikuti seluruh proses penelitian diminta menandatangani formulir persetujuan * Pengisian status penelitian Pengisian status penelitian, meliputi identitas, anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis terdiri atas riwayat penyakit, skor nyeri, dan status higiene. Pemeriksaan fisis mencakup tinggi badan, berat badan, dan pemeriksaan lesi kulit * Cara pemeriksaan, terapi, dan evaluasi *Cara pemeriksaan a. Anamnesis dan pemeriksaan fisis dilakukan oleh peneliti. b. Anamnesis SP meliputi keluhan adanya lesi kulit PS, keluhan yang dirasakan, adanya nyeri, lama penyakit, riwayat pemakaian obat sebelumnya. c. Riwayat penyakit penyerta apakah terdapat DM, DA, riwayat HIV, dan gagal ginjal kronik. d. Keluhan nyeri dinilai dengan visual analog scale (VAS) yang dibagi menjadi nyeri ringan, sedang, dan berat. e. SP dinilai status gizinya melalui pengukuran berat dan tinggi badan. f. SP dilakukan penilaian klinis meliputi jenis pioderma superfisialis, jumlah, ukuran, dan lokasi lesi kulit PS. g. Ukuran lesi dinilai menggunakan kaliper dengan mengukur panjang (mm) dan lebar (mm) lalu dikalikan menghasilkan luas (mm 2 ). Jika terdapat lebih dari satu lesi, dipilih lesi yang paling besar dan dievaluasi pada lesi yang sama. Universitas*Indonesia*

53 33 h. SP yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pengambilan bahan untuk pemeriksaan Gram, pemeriksaan kultur, dan resistensi dari lesi pioderma (vesikel/bula/dasar erosi) sebelum pengobatan. i. Dignosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan kultur j. Pengambilan bahan kultur dilakukan oleh peneliti dengan cara : Jika lesi tertutup debris atau krusta, maka debris/krusta tersebut harus dibuang dengan cara mengompres dengan larutan NaCl 0,9% selama menit Eksudat atau pus diambil menggunakan alat suntik steril dan kapas lidi steril dari dasar erosi/ekskoriasi, dan pustul. Bahan untuk pemeriksaan Gram diapus pada gelas objek lalu dilakukan fiksasi. Bahan untuk kultur resistensi diletakkan dalam media transport Amies. Tabung transport diberi label identitas dan tanggal pada setiap sampel. Bahan dikirim ke LMK Departemen Mikrobiologi, FKUI dalam waktu kurang dari 2 jam dari waktu pengambilan sampel. Dilakukan identifikasi dan pemeriksaan resistensi kuman terhadap antibiotik. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Departemen Mikrobiologi FKUI Identifikasi dan pemeriksaan kuman Alat dan bahan Bahan: 1. Zat warna Gram 2. Agar darah, McConkey, dan thioglikolat 3. Cakram antibiotik 4. Medium stock Alat: 1. Sengkelit 2. Inkubator 3. Sistem Vitek2-BioMérieux Universitas*Indonesia*

54 Pemeriksaan dan interpretasi Setelah spesimen diambil, dilakukan pewarnaan Gram. - Dibuat sediaan apus koloni pada gelas objek dan fiksasi. - Diteteskan larutan gentian violet, didiamkan selama 1 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir - Diteteskan dengan larutan lugol, didiamkan selama 1 menit, dibilas dengan air mengalir - Diberi larutan alkohol 96% selama detik sampai warna biru menghilang, lalu diberi air karbol fuksin selama detik, dan dibilas dengan air mengalir lalu dikeringkan. - Sediaan dilihat menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000 kali Bahan pemeriksaan dibiak menggunakan media agar darah, McConkey, dan tioglikolat dimasukkan ke dalam inkubator selama 24 jam. Dilihat hasil kultur dan dilakukan identifikasi. Identifikasi spesies dengan sistem Vitek2-BioMérieux. Pemeriksaan kepekaan terhadap antibiotik menggunakan uji cakram, dilakukan inkubasi 24 jam, lalu baca zona cakram dengan pedoman breakpoint dari Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) dan The European Committee on Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST). Pada beberapa sampel yang cakram antibiotik belum tersedia, sementara kuman dibiakkan dalam medium culture stock. Evaluasi kepekaan dinyatakan dengan sensitif (S), intermediet (I), dan resisten (R), berdasarkan diameter daerah hambat di sekitar cakram. Jenis antibiotik yang diperiksa kepekaannya, selain asam fusidat 2% dan mupirosin 2%, antara lain basitrasin, eritromisin, klindamisin, gentamisin, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, dan polimiksin. Interpretasi hasil pemeriksaan Gram sesuai dengan Pedoman di LMK Departemen Mikrobiologi, FKUI Universitas*Indonesia*

55 35 Tabel 3.1 Interpretasi hasil Gram * Jumlah bakteri per OIF (objektif 100x) Jumlah sel per LPF (objektif 10x) Interpretasi <1 per lapang pandang <1 per lapang pandang +1 (jarang) 1-5 per lapang pandang 1-9 per lapang pandang +2 (sedikit) 6-30 per lapang pandang per lapang pandang +3 (sedang) >30 per lapang pandang >25 per lapang pandang +4 (banyak) LPF: low power field, OIF : oil immersion field Jenis dan morfologi bakteri antara lain : Gram positif (kokus berantai, kokus berkelompok, batang besar, batang kecil, batang bercabang, batang (Coryneform)), Gram negatif (diplokokus, batang, pleomorfik), dan Gram variable (kokobasil) *Cara terapi - SP diobati dengan pemberian masing-masing 1 tube berisi krim antibiotik mupirosin 2% atau krim asam fusidat 2%, yang diberikan berdasarkan randomisasi blok. - Pengolesan krim antibiotik dilakukan 2x setiap hari dengan jari tangan yang bersih pada lesi kulit setelah mandi pagi dan sore oleh pasien di rumah masing-masing. - Sebelum pengolesan krim antibiotik, dilakukan kompres terbuka dengan NaCl 0.9%. Digunakan kain kasa steril sebanyak 3 lapis, lalu kasa dibasahi dengan cairan NaCl 0.9%, diperas, lalu dibalutkan pada lesi kulit dan didiamkan selama menit. - Oles tipis krim antibiotik sesuai dengan metode finger tip unit (FTU). - Setiap mengoleskan krim, pasien diminta untuk mencatat di lembar catatan harian. - Selama terapi, SP tidak diperkenankan mengoleskan obat lain maupun mengonsumsi obat-obatan (misalnya antihistamin, analgetik, dan antibiotik). *dikutip dari kepustakaan nomor 49 Universitas*Indonesia*

56 *Cara evaluasi - Evaluasi dilakukan pada hari ke-7 terapi. - Sebelumnya pasien diingatkan jadwal kontrol melalui pesan telepon. Jika SP tidak dapat datang di hari ke-7, masih diberikan toleransi hingga 2 hari. - Pasien diminta untuk kontrol dengan membawa tube bekas krim yang telah dipakai dan catatan harian pemakaian obat. - Pada saat kontrol pasien diminta tidak menggunakan krim antibiotiknya. - Kepatuhan SP mengikuti penelitian dinilai melalui lembar catatan harian. - SP kemudian dilakukan penilaian respons pengobatan berupa penilaian gejala subjektif dan objektif. Keluhan subjektif berupa nyeri dievaluasi dengan skor VAS. Penilaian objektif dinilai dari luas lesi (mm 2 ) dari lesi yang sama saat pengukuran awal. Kemudian dihitung selisih luas (mm 2 ) dan persentase selisih luas lesi (%). - Efek samping subjektif yang dinilai adalah keluhan rasa gatal, perih, tersengat, atau panas. - Efek samping objektif yang dinilai adalah dermatitis kontak atau reaksi iritan, berupa lesi eritema, papul, vesikel, bula, edema, ulserasi, atau jaringan nekrosis. - Dilakukan foto untuk dokumentasi. - Pada SP yang tidak sembuh, akan diberi pengobatan PS sesuai dengan pedoman pengobatan PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. 3.8* Variabel penelitian Variabel bebas - Krim antibiotik asam fusidat 2% - Krim antibiotik mupirosin 2% Variabel terikat Kesembuhan klinis berdasarkan: - Subjektif yaitu skor nyeri (VAS) - Objektif yaitu luas lesi kulit (mm 2 ) Universitas*Indonesia*

57 37 3.9* Batasan operasional Kriteria diagnosis - Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis) dan subkutan yang disebabkan oleh kuman S.aureus dan S.pyogenes atau oleh keduanya. - Pioderma superfisialis (PS) adalah infeksi yang terjadi di bawah stratum korneum sampai dermis, atau di folikel rambut, terdiri atas beberapa bentuk klinis, yaitu impetigo (vesikobulosa dan krustosa), ektima, folikulitis, furunkel, dan karbunkel, serta infeksi sekunder pada kelainan kulit yang sudah ada. - Pioderma superfisial primer antara lain impetigo, folikulitis superfisial, furunkel, karbunkel, setelah gangguan sawar kulit yaitu trauma fisik dan trauma mekanis. - Pioderma superfisial sekunder yaitu dermatosis impetigenisata. - Impetigo krustosa ditandai oleh vesikel atau pustul transien, yang cepat berubah menjadi plak dengan krusta coklat seperti madu, biasanya di wajah (khususnya sekitar muara lubang hidung) atau ekstremitas. - Impetigo bulosa ditandai dengan perubahan vesikel yang cepat menjadi bula hipopion kendur berisi cairan kuning jernih yang cepat berubah menjadi kuning gelap. Bula kempis dan pecah dengan krusta coklat terang sampai kuning emas. - Folikulitis superfisialis adalah papul atau pustul kecil berbentuk kerucut yang mudah pecah dengan rambut di tengahnya. - Furunkel adalah nodus inflamasi yang dalam di sekitar folikel rambut - Karbunkel adalah infiltrat yang lebih ekstensif dan dalam, merupakan gabungan beberapa furunkel. - Ektima adalah ulkus superfisial dengan krusta di atasnya - Tanda infeksi sekunder pada kelainan kulit yang sudah ada berupa pus, pustul, bula purulen, dan krusta kuning kehijauan. - Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM bila terdapat keluhan klasik DM, jika ada lalu dilakukan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu. Universitas*Indonesia*

58 38 Keluhan klasik DM, antara lain: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Dermatitis atopik adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif, disertai rasa gatal dan mengenai bagian tubuh tertentu. Dermatitis atopik dinilai menggunakan kriteria Hanifin dan Rajka. Kriteria diagnosis memenuhi syarat bila terpenuhi 3 dari kriteria mayor dan minor. 51 Tabel 3.2 Kriteria diagnosis dermatitis atopik * Kriteria mayor Pruritus Dermatitis di wajah dan atau ekstensor pada bayi dan anak, likenifikasi di fleksura pada dewasa Dermatitis kronis atau residif Riwayat atopi pada pasien atau keluarga: rinitis alergik, konjungtivitis alergik, asma, dermatitis atopik Kriteria minor Kekeringan kulit Lipatan infra orbital Dennie-Morgan Allergic shiner Facial pallor Pitiriasis alba Keratosis pilaris Iktiosis vulgaris Hiperlinearitas palmaris Dermatografisme putih Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Tes kulit alergi tipe cepat positif Kadar IgE di dalam serum meningkat Jenis kelamin Jenis kelamin dibagi menjadi laki-laki dan perempuan Usia Usia pada saat dilakukan pemeriksaan adalah usia saat ulang tahun terakhir dengan pembulatan ke bawah, dalam satuan tahun. *dikutip dari kepustakaan nomor 51 Universitas*Indonesia*

59 Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang SP tempuh menurut sistem pendidikan formal nasional, yaitu : 52 Tidak sekolah : belum pernah mendapat pendidikan formal Pendidikan dasar : tingkat pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah, yaitu Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah : tingkat pendidikan lanjutan pendidikan dasar, yaitu Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/SMK), atau bentuk lain yaitu Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pendidikan lain yang sederajat. Pendidikan tinggi : tingkat pendidikan yang merupakan kelanjutan pendidikan menengah seperti pendidikan diploma, sarjana, magister, dokter, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi *Pekerjaan Pekerjaan dikategorikan menjadi : Tidak atau belum bekerja Pegawai negri ABRI/POLRI Pegawai swasta Pedagang Buruh Lain-lain 3.9.6* Status gizi Status gizi dinilai dari indeks massa tubuh (IMT) yang dihitung berdasarkan tinggi dan berat badan. IMT dihitung dengan rumus : IMT = Berat badan (Kg) (Tinggi badan (meter)) 2 Universitas*Indonesia*

60 40 Status gizi kemudian dikategorikan menjadi : 53 Tabel 3.3 Interpretasi IMT dewasa (usia di atas 20 tahun) IMT Kategori <18,5 Berat badan kurang 18,5-24,9 Berat badan normal 25,0-29,9 Kelebihan berat badan (overweight) >30,0 Obesitas Tabel 3.4 Interpretasi IMT anak dan remaja (usia 2-19 tahun) Rentang persentil Kategori <persentil 5 Berat badan kurang Persentil 5 - <persentil 85 Berat badan normal Persentil 85 - <persentil 95 Kelebihan berat badan (overweight) >persentil 95 Obesitas 3.9.7* Gejala subjektif Merupakan gejala yang dialami SP mengenai kelainan kulitnya, dibagi menjadi tidak ada keluhan, gatal, nyeri, gatal dan nyeri, dan keluhan lainnya Riwayat keluarga Merupakan riwayat sakit serupa yaitu PS yang dialami oleh anggota keluarga terutama yang tinggal serumah Status higiene perorangan Status higiene perorangan dinilai melalui anamesis, yaitu frekuensi mandi, penggunaan sabun, sumber air mandi (air sungai, air sumur, air PAM), dan kebiasaan mandi ketika menderita PS. Pemeriksaan fisis melihat kebersihan kuku yang dinilai bersih atau kotor * Skala nyeri Intensitas keluhan nyeri diukur dengan skala nyeri (Visual Analog Scale ). Skala nyeri dibagi menjadi: tidak nyeri, nyeri ringan (skala 1-3), nyeri sedang (skala 4-6), dan nyeri berat (skala 7-10). Skala 2 artinya nyeri ringan dan skala 10 nyeri yang sangat hebat. Universitas*Indonesia*

61 41 Tidak nyeri Ringan Sedang Berat Gambar 1. Visual analog scale untuk menilai intensitas nyeri * Delta VAS Delta VAS menggambarkan evaluasi skala nyeri meliputi penurunan VAS dari sebelum terapi hingga hari ketujuh terapi, kemudian dikategorikan menjadi tidak ada nyeri, VAS berkurang, dan VAS tidak berkurang. Delta VAS dihitung dengan rumus: Delta VAS : VAS evaluasi (H-7) VAS baseline * Luas lesi Luas lesi kulit menggambarkan besarnya area kulit yang terkena infeksi. Luas diukur dan dievaluasi pada lesi primer menggunakan kaliper meliputi panjang dan lebar. Evaluasi luas lesi meliputi persentase penurunan luas lesi dari sebelum terapi hingga hari ketujuh terapi. Persentase penurunan luas lesi dihitung dengan rumus: % penurunan luas lesi = selisih luas lesi (sesudah dikurangi sebelum terapi) x100% luas lesi sebelum terapi * Efek samping Efek samping adalah gejala akibat yang timbul diluar tujuan utama terapi. 1. Efek samping subjektif yang dinilai adalah rasa gatal, perih, tersengat, atau panas akan dikategorikan menjadi tidak ada dan ada. 2. Efek samping objektif yang dinilai adalah dermatitis kontak atau reaksi iritan yang dikategorikan : Universitas*Indonesia*

62 42 - Tidak ada efek samping sama sekali - Ada efek samping: * Kepatuhan Ringan: eritema ringan Sedang: eritema, papul, vesikel Berat: eritema, papul, vesikel, bula, edema, ulserasi, jaringan nekrosis. Dikategorikan menjadi dua kelompok : Patuh, bila SP rutin mengoleskan krim antibiotik 2x/hari setelah mandi pagi dan sore selama 7 hari dan datang saat evaluasi. Tidak patuh, bila SP sempat tidak mengoleskan krim antibiotik sesuai instruksi yaitu 2x/hari setelah mandi pagi dan sore selama 7 hari atau tidak datang saat evaluasi * Efektivitas Efektivitas dinilai dari kesembuhan klinis. Kesembuhan klinis yaitu sembuh dan perbaikan keluhan subjektif dalam hal ini adalah skor VAS dan perbaikan objektif dinilai dari perbaikan dari ukuran lesi setelah 7 hari, yang dikelompokkan menjadi 1. Sembuh 2. Perbaikan 3. Gagal Tabel 3.5 Kriteria efektivitas Kriteria Subjektif Objektif Sembuh tidak nyeri (deltavas = 0) Ukuran lesi primer hilang 100% atau hilang total, tidak dijumpai lesi primer aktif, atau menyisakan makula, skuama, atau jaringan parut Perbaikan Delta VAS Ukuran lesi primer berkurang > 50% dari awal Gagal berkurang Delta VAS tidak berkurang Ukuran lesi primer berkurang < 50% dari awal, atau ukuran tidak berubah, atau masih dijumpai eritema, vesikel, pustul, erosi, krusta yang dibawahnya terdapat erosi, dan pus Jika terdapat perbedaan kriteria antara subjektif dan objektif, digunakan kriteria yang paling buruk. Universitas*Indonesia*

63 * Kriteria hasil uji kepekaan Penilaian zona hambatan sesuai dengan tabel standar (breakpoint) menurut CLSI dan EUCAST yang terbagi atas sensitif, intermediet, dan resisten. 55,56 Disebut sensitif jika diameter zona hambat sama atau lebih lebar dibandingkan dengan kontrol sensitif. Intermediet jika diameter zona hambat berada diantara sensitif dan resisten. Resisten jika diameter zona hambat sama ata lebih kecil daripada kontrol resisten. Tabel 3.6 Breakpoint resistensi antibiotik topikal yang digunakan dalam penelitian * Antibiotik S (mm) I (mm) R (mm) Asam fusidat 50 mcg >28 Mupirosin 200 mcg > <18 Klindamisin Eritromisin Tetrasiklin Basitrasin Gentamisin Kloramfenikol Neomisin Polimiksin * Etik penelitian Permohonan izin etik (ethical clearance) diajukan kepada Panitia Kaji Etik Penelitian FKUI dan bagian penelitian RSCM. Subjek penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian, kegiatan, kerahasiaan identitas, keuntungan yang didapat, serta kerugian yang mungkin timbul sebelum menandatangani formulir perjanjian tertulis. Semua data SP diperlakukan secara rahasia. Penelitian ini telah lulus kaji etik sesuai dengan surat yang dikeluarkan Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI nomor 1034/UN2.F1/ETIK/2015 dan telah mendapat persetujuan dari RSCM nomor LB.02.01/X.2/111/2016. *dikutip dari kepustakaan nomor 55 dan 56 Universitas*Indonesia*

64 * Pengolahan dan analisis data Data dicatat pada status penelitian. Data dari status penelitian dimasukkan ke dalam tabel induk. Setelah pencatatan hasil penelitian selesai, kode blinding dibuka untuk dianalisis secara statistik. Data yang terkumpul akan dianalisis dan dilakukan uji statistik yang sesuai oleh konsultan statistik dari Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Deskripsi variabel penelitian dilakukan dengan analisis deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Untuk menguji hipotesis primer digunakan uji hipotesis Chi-Square untuk 2 kelompok tidak berpasangan jika data memenuhi syarat uji parametrik. Analisis mengikutsertakan SP yang drop-out (metode intention to treat analysis). Analisis data hasil penelitian dilakukan menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) versi Pengambilan kesimpulan statistik menggunakan batas kemaknaan 5% dengan kriteria bermakna jika p<0,05. Universitas*Indonesia*

65 * Alur kerja operasional Pasien pioderma superfisialis di Poli Kulit dan Kelamin RSCM Memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan Tidak Setuju ikut serta dalam penelitian dan menandatangani lembar informed consent Tidak setuju ikut penelitian Randomisasi dan blinding terhadap kelompok mupirosin 2% dan asam fusidat 2% Pengobatan sesuai pedoman pelayanan klinis Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM Kelompok M Kelompok AF Data baseline klinis dan bakteriologis (pemeriksaan Gram, kultur, dan resistensi) Krim mupirosin 2% Krim asam fusidat 2% 7 hari pengolesan krim antibiotik 2x/hari Evaluasi pengobatan secara subjektif dan objektif Tidak sembuh Sembuh Pengolahan data dan pembukaan kode blinding Pelaporan Keterangan: Kelompok M: kelompok krim mupirosin 2% Kelompok AF: kelompok krim asam fusidat 2% Universitas*Indonesia*

66 46 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengambilan sampel penelitian yang bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi topikal mupirosin 2% (kelompok M) dengan asam fusidat 2% (kelompok AF) pada pasien PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta telah dilakukan sejak bulan Desember 2015 hingga Januari Setelah disesuaikan dengan kriteria penerimaan dan penolakan didapatkan secara konsekutif 42 orang pasien PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta yang menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian. Sebanyak 42 SP mendapatkan krim antibiotik sesuai randomisasi permutasi empat blok. Meskipun 3 orang SP masuk kriteria drop-out, seluruh SP diikutsertakan dalam analisis (intention to treat analysis). Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan analitik sebagai berikut. 4.1*Karakteristik SP 4.1.1* Karakteristik sosiodemografik Distribusi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan SP dapat dilihat pada Tabel 4.1. Usia SP termuda adalah 12 tahun dan tertua 59 tahun. Distribusi usia pada kedua kelompok tidak normal, karena kebanyakan SP berusia muda namun terdapat beberapa SP dengan usia ekstrem lanjut. Median usia SP adalah 14 (12-59) tahun pada kelompok M dan 22 (12-58) tahun pada kelompok AF. Berbeda dengan penelitian serupa oleh Morley,dkk. 25, melaporkan rerata usia SP yaitu 34 (1-92) tahun pada kelompok natrium fusidat 2% dan 32 (1-89) tahun pada kelompok mupirosin 2%. Subjek penelitian usia sekolah rentan terjadinya PS, diduga karena lebih sering terluka saat bermain sehingga luka rentan terhadap kontaminasi bakteri. 57 Sebanyak 76,2% SP pada kelompok M dan 52,4% pada kelompok AF berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan data kunjungan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM yang memiliki proporsi kunjungan laki-laki lebih besar. Penelitian oleh Gandhi pada tahun 2012 di India juga mendapatkan pasien pioderma paling Universitas*Indonesia*

67 47 banyak adalah laki-laki. 31 Banyaknya laki-laki sebagai pasien PS diduga karena seringnya keterlibatan mereka dalam aktivitas outdoor sehingga rentan terhadap trauma dan infeksi. 57 Sebagian besar tingkat pendidikan SP adalah pendidikan dasar sebesar 61,9% pada kedua kelompok perlakuan. Hasil ini mendukung adanya hubungan terbalik antara tingkat pendidikan dengan kejadian PS. 57 Selain itu tingkat pendidikan SP perlu diketahui untuk kepentingan edukasi penyakit dan terapi yang diberikan. Sebesar 76,2% kelompok M tidak bekerja, demikian pula sebagian besar pada kelompok AF tidak bekerja yaitu sebesar 57,1%, temuan ini sesuai karena memang sebagian besar SP masih bersekolah yaitu SD dan SMP, serta tidak mempunyai mata pencaharian. Pada uji kesetaraan karakteristik sosiodemografik SP, yaitu usia dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok penelitian. Tabel 4.1 Karakteristik sosiodemografik SP (N=42) Karakteristik sosiodemografik Kelompok M Kelompok AF p n % n % Usia, tahun, median (min-maks) 14 (12-59) 22 (12-58) 0,195* Jenis Kelamin Laki-laki 16 76, ,4 0,107** Perempuan 5 23, ,6 Pendidikan Pekerjaan Tidak sekolah 1 4,8 1 4,8 N/A Pendidikan dasar 13 61, ,9 Pendidikan menengah 5 23,8 6 28,6 Pendidikan tinggi 2 9,5 1 4,8 Tidak bekerja 16 76, ,1 N/A TNI/POLRI 0 0,0 1 4,8 Pegawai swasta 3 14,3 4 19,0 Pedagang 1 4,8 3 14,3 Buruh 1 4,8 1 4,8 Keterangan: n = jumlah SP; N = total SP, *Uji Mann Whitney, **Uji Chi Square, N/A tidak dapat dilakukan uji Chi Square * Karakteristik klinis Karakteristik klinis baseline berdasarkan anamnesis Universitas*Indonesia*

68 48 Karakteristik klinis menggambarkan data yang didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis saat kunjungan pertama (baseline). Karakteristik klinis yaitu keluhan penyerta, adanya riwayat keluarga, dan status gizi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok penelitian. Status higiene perorangan, yaitu frekuensi mandi, penggunaan sabun, sumber air mandi (air sungai, air sumur, air PAM), kebiasaan mandi ketika menderita PS, dan kebersihan kuku juga tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok penelitian. Pada penelitian ini sebagian besar SP kelompok M memiliki keluhan gatal dan nyeri, namun pada kelompok AF sebagian besar hanya mengeluh gatal (Tabel 4.2). Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa PS dapat menyebabkan keluhan gatal atau nyeri di area kulit yang terkena. 3 Ambang nyeri yang berbeda kemungkinan dapat menjadi penyebab. 54 Beberapa SP merasakan gatal di area lesi kulit sesaat sebelum timbul lesi PS dan gatal di area lesi kulit. Keluhan gatal yang mendahului PS dapat merupakan penyebab dilakukannya garukan sehingga menimbulkan mikrolesi yang merupakan tempat masuknya mikroorganisme penyebab PS. 3 Riwayat penyakit serupa pada keluarga tidak ditemukan pada sebagian besar SP. Hal ini perlu diketahui karena penyebaran langsung dengan kontak fisik dapat menjadi tempat masuknya kuman penyebab infeksi. 3 Kemungkinan sumber infeksi pada penelitian ini berasal dari luar rumah. Status higiene perorangan sebagian besar SP baik, hanya ada 2 SP pada kelompok AF yang mandi kurang dari 2x/hari. Seluruh SP mandi menggunakan sabun. Hampir sebagian besar SP yaitu 100% pada kelompok M dan 95.2% pada kelompok AF mandi selama sakit. Pada penelitian ini terbukti bahwa kebiasaan atau anggapan yang salah di masyarakat bahwa penyakit seperti ini tidak boleh dimandikan sudah tidak ada lagi. Dari anamnesis, semua pasien dan orang tua pasien sudah beranggapan bahwa penyakit seperti ini boleh dimandikan. Kebersihan kuku pada sebagian besar SP baik, yaitu 61,9% SP pada kelompok M dan 57,1% SP pada kelompok AF. Namun masih cukup banyak SP (38,1% pada kelompok M dan Universitas*Indonesia*

69 49 42,9% pada kelompok AF) yang memiliki kebersihan kuku yang buruk sehingga dapat merupakan sumber infeksi. Beberapa penelitian sebelumnya tidak mendapatkan hubungan antara status higiene dengan terjadinya pioderma. 57 Masawe, dkk. 58, dalam sebuah penelitian menyimpulkan bahwa status higiene tidak memengaruhi prevalensi pioderma. Walaupun menurut teori dan beberapa penelitian lain dilaporkan tingginya prevalensi pioderma pada pasien dengan higiene yang buruk. 3,58 Status gizi pada 16 SP (76,2%) adalah normal pada kedua kelompok. Singh, dkk 57 tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan infeksi bakteri superfisial. Tabel 4.2 Karakteristik klinis baseline berdasarkan anamnesis SP (N=42) Karakteristik klinis Kelompok M Kelompok AF p n % n % Keluhan Tidak ada keluhan 2 9,5 2 9,5 N/A Gatal 7 33,3 9 42,9 Nyeri 1 4,8 3 14,3 Gatal dan nyeri 11 52,4 7 33,3 Riwayat keluarga Ada 4 19,0 3 14, Tidak ada 17 81, ,7 Frekuensi mandi 1x sehari 0 0,0 2 9,5 0,488* 2x sehari 20 95, ,0 >2x sehari 1 4,8 2 9,5 Pakai sabun Ya , ,0 N/A Tidak 0 0,0 0 0,0 Mandi selama sakit Ya , ,2 1,000 Tidak 0 0,0 1 4,8 Sumber air mandi Air Sumur 5 23,8 7 33,3 0,495 Air PAM 16 76, ,7 Kebersihan kuku Bersih 13 61, ,1 0,753 Kotor 8 38,1 9 42,9 Status gizi Normal 16 76, ,2 1,000* Overweight 4 19,0 3 14,3 Obesitas 1 4,8 2 9,5 Keterangan: n = jumlah SP; N = total SP, Uji Chi Square, *Uji Fisher setelah penggabungan sel, N/A tidak dapat dilakukan uji Chi Square Universitas*Indonesia*

70 Karakteristik lesi kulit baseline Karakteristik klinis juga dinilai saat melakukan pemeriksaan fisis, mencakup jumlah, lokasi, dan diagnosis SP. Sebaran data untuk lama keluhan dan jumlah lesi kulit mendapatkan hasil distribusi tidak normal sehingga digunakan nilai median (min-maks) untuk penyajian data (Tabel 4.3). Lesi kulit paling sedikit berjumlah 1 dan paling banyak adalah 10 buah, dengan median 2 (1-10) buah pada kelompok M dan median 1 (1-5) buah pada kelompok AF. Temuan ini serupa dengan penelitian Oranje, dkk. 26 yang membandingkan efektivitas asam fusidat dengan retapamulin 1% dengan kriteria inklusi serupa yaitu jumlah lesi kulit tidak melebihi 10, mendapatkan sebagian besar SP memiliki hanya 1 lesi. Perbedaan diagnosis PS dapat menjadi salah satu faktor jumlah lesi yang bervariasi pada penelitian ini. Secara klinis diagnosis yang banyak didapatkan adalah ektima dan dermatitis dengan infeksi sekunder. Dalam menghitung jumlah lesi khususnya pada dermatitis, lesi dianggap satu kesatuan dengan lesi infeksi, maka hal ini kemungkinan dapat menyebabkan jumlah lesi hanya sedikit dengan median 1-2. Awitan kelainan kulit paling rendah adalah 1 hari dan paling lama adalah 30 hari, dengan median 7 (2-14) hari pada kelompok M dan median 7 (1-30) hari pada kelompok AF. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian serupa oleh Morley,dkk. 25 mendapatkan rerata durasi lesi kulit selama 7-8 hari. Uji kesetaraan statistik pada karakteristik klinis lesi kulit baseline tidak dapat dinilai, namun secara judgement klinis tidak terdapat perbedaan karakteristik lokasi dan diagnosis diantara kelompok perlakuan. Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa lokasi lesi PS pada SP lebih banyak dijumpai di regio tungkai, yaitu sebesar 76,2% pada kelompok M dan AF. Regio tungkai merupakan predileksi PS dan trauma adalah salah satu faktor predisposisi. 3 Pada sebagian besar SP, ektima merupakan manifestasi utama PS, yaitu 61,9% pada kelompok M dan 47,6% pada kelompok AF. Diagnosis terbanyak kedua adalah dermatitis impetigenisata dan infeksi pasca trauma. Temuan ini berbeda dengan Universitas*Indonesia*

71 51 diagnosis terbanyak pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM tahun adalah dermatitis impetigenisata, impetigo, dan furunkulosis. Penelitian oleh Gilbert, dkk. 23 dan White, dkk. 24 juga mendapatkan diagnosis paling banyak pada kedua kelompok yaitu impetigo, dermatitis impetigenisata, dan folikulitis. Heragandhi pada tahun 2004 di RSCM mendapatkan diagnosis terbanyak pada anak adalah impetigo. Perbedaan karakteristik diagnosis kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pola kunjungan di Poliklinik yang dapat dipengaruhi oleh kesadaran berobat yang lebih baik. Secara keseluruhan perbedaan data kunjungan kemungkinan dapat disebabkan aturan pengobatan di era BPJS saat ini yaitu pioderma tanpa komplikasi sudah teratasi di layanan kesehatan primer. Tabel 4.3 Karakteristik klinis lesi kulit baseline (N=42) Karakteristik lesi Jumlah lesi, median (min-maks) Kelompok M Kelompok AF n % n % 2 (1-10) 1 (1-5) Awitan, hari, median (min-maks) 7 (2-14) 7 (1-30) Lokasi lesi Wajah 2 9,5 2 9,5 Badan 0 0,0 2 9,5 Lengan 3 14,3 1 4,8 Tungkai 16 76, ,2 Diagnosis Folikulitis 0 0,0 1 4,8 Furunkel/Furunkulosis 1 4,8 1 4,8 Karbunkel 0 0,0 1 4,8 Ektima 13 61, ,6 Dermatitis dengan infeksi sekunder 3 14,3 6 28,6 Infeksi pasca trauma fisik/mekanik 4 19,0 2 9,5 Keterangan: n = jumlah SP; N = total SP Universitas*Indonesia*

72 Karakteristik skala nyeri dan luas lesi kulit baseline Uji normalitas data luas lesi baseline menunjukkan distribusi tidak normal sehingga penyajian data menggunakan nilai median (min-maks). Pada baseline, kedua kelompok tidak berbeda bermakna dalam hal skala nyeri dan luas lesi. Pada penelitian ini, sebagian besar SP tidak mengeluhkan nyeri dan derajat skala nyeri (VAS) yang paling tinggi adalah sedang (Tabel 4.4). Temuan ini kemungkinan karena jenis PS yang berbeda pada satu kelompok sehingga didapatkan VAS baseline yang bervariasi, selain itu di antara beberapa PS terdapat perbedaan kedalaman inflamasi, sehingga derajat nyerinya pun dapat berbeda. 59 Penelitian serupa sebelumnya menggunakan parameter gejala serta tanda lokal dan skin infection rating scale yang menilai ekasudat/pus, krusta, eritema, edema, gatal, dan nyeri yang belum tervalidasi ,33 Oranje, dkk. 26 melakukan evaluasi kesembuhan klinis dengan parameter luas lesi dan perbaikan gejala serta tanda lokal. Pengukuran luas lesi baseline dilakukan pada lesi yang paling besar. Luas lesi baseline kelompok M adalah 60 (12-961) mm 2 dan 90,25 (6-1692) mm 2 pada kelompok AF. Tabel 4.4 Karakteristik VAS dan luas lesi baseline SP (N=42) Karakteristik VAS dan luas lesi baseline VAS baseline Kelompok M Kelompok AF p n % n % Tidak nyeri 9 42, ,4 0,766* Ringan 7 33,3 5 23,8 Sedang 5 23,8 5 23,8 Luas lesi baseline, median,mm 2 (min-maks) 60 (12-961) (6-1692) 0,669 ** Keterangan: n = jumlah SP; N = total SP *Uji Chi Square, **Uji Mann Whitney Karakteristik bakteriologis Pemeriksaan bakteriologis dilakukan secara mikroskopis, dilanjutkan dengan pembiakan, identifikasi kuman, dan uji kepekaan. Berbeda dengan penelitian serupa sebelumnya yang tidak melaporkan hasil Gram, pada penelitian ini Universitas*Indonesia*

73 53 ditemukan bakteri dalam jumlah banyak pada kedua kelompok. Walaupun demikian ditemukan pula SP dengan hasil Gram dengan jumlah bakteri yang lebih sedikit dan tidak ditemukan bakteri. Temuan ini didukung bahwa pemeriksaan Gram kurang sensitif daripada kultur terutama untuk deteksi bakteri dalam jumlah kecil. 49,60 Spesimen harus mengandung minimal 10 5 organisme per mililiter supaya dapat terlihat dalam pulasan, sedangkan untuk dapat tumbuh dalam media kultur dengan jumlah bakteri organisme per mililiter sudah cukup. 60 Sampel dikatakan adekuat jika ditemukan sel epitel dalam jumlah sedikit. Pada penelitian ini, sebagian besar pemeriksaan Gram sampel tidak ditemukan epitel dan leukosit, sedangkan banyak ditemukan bakteri. Secara judgement klinis, karakteristik hasil kultur kedua kelompok setara. Setiap SP pada kedua kelompok menunjukkan minimal satu pertumbuhan pada hasil kultur. Sebagian besar kuman yang tumbuh adalah S.aureus dan S.pyogenes, sesuai dengan kepustakaan. 3 Penelitian yang dilakukan White,dkk. 23 juga melaporkan kuman terbanyak yang ditemukan adalah S.aureus, diikuti oleh S.pyogenes. Berbeda dengan Gilbert,dkk. 24 yang menemukan S.aureus dengan bakteri terbanyak kedua adalah Staphylococcus epidermidis. Morley dkk. 26 melaporkan S.aureus sebagai kuman paling banyak ditemukan baik sendiri maupun bersama S.pyogenes. Temuan S.aureus dan S.pyogenes sebagai kuman yang paling banyak ditemukan juga dilaporkan oleh Heragandhi di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. 1 Pada 3 SP kelompok M dan 4 SP kelompok AF tumbuh kuman Gram negatif. Perbedaan hasil kultur ini mendukung pola kuman di setiap rumah sakit yang berbeda. Universitas*Indonesia*

74 54 Tabel 4.5 Karakteristik bakteriologis lesi kulit baseline SP (N=42) Hasil Gram dan kultur Kelompok M Kelompok AF n % n % Gram bakteri 0 (tidak ditemukan) 5 23,8 3 14,3 1 (jarang) 0 0,0 4 19,0 2 (sedikit) 5 23,8 5 23,8 3 (sedang) 5 23,8 2 9,5 4 (banyak) Gram epitel 0 (tidak ditemukan) 1 (jarang) 2 (sedikit) 3 (sedang) 4 (banyak) Gram leukosit 0 (tidak ditemukan) 1 (jarang) 2 (sedikit) 3 (sedang) 4 (banyak) ,6 42,9 14,3 14,3 23,8 4,7 42,9 14,3 9,5 0,0 33, ,4 19,0 14,3 42,9 14,3 9,5 28,7 47,6 4,7 4,7 14,3 Kultur S.aureus 18 85, ,4 S. pyogenes 14 66,7 4 19,0 Enterobacter cloacae 1 4,8 0 0,0 Gemella morbillorum 0 0,0 1 4,8 Klebsiella pneumoniae 1 4,8 2 9,5 Kocuria rosea 0 0,0 1 4,8 Pseudomonas stutzeri 1 4,8 0 0,0 Raoultella ornitholytica 0 0,0 1 4,8 S.epidermidis 0 0,0 2 9,5 Staphylococcus haemolyticus 1 4,8 1 4,8 Streptococcus dysgalactiae 1 4,8 5 2,8 Streptococcus sanguinis 0 0,0 1 4,8 Keterangan: n = jumlah SP; N = total SP 4.2*Hasil pengobatan Krim antibiotik diberikan selama 7 hari pada lesi PS. Respons pengobatan dinilai pada kunjungan II yaitu pada hari ke- 7, atau ke-8, atau ke- 9 pasca penggunaan krim antibiotik. Parameter subjektif dievaluasi dengan skor nyeri (VAS). Parameter objektif dievaluasi dengan mengukur luas lesi kulit PS * Kepatuhan terapi Kepatuhan SP dalam menggunakan krim antibiotik dinilai dari lembar harian, bila mengoleskan krim antibiotik 2x/hari setelah mandi pagi dan sore selama 7 hari dan datang saat evaluasi. Terdapat 3 SP (kelompok krim asam fusidat 2%) yang tidak Universitas*Indonesia*

75 55 patuh dan masuk kriteria drop-out, dua di antaranya tidak datang saat evaluasi dan satu orang tidak mengoleskan krim antibiotik sesuai instruksi. Faktor yang memengaruhi kepatuhan SP pada penelitian ini, kemungkinan adalah status pendidikan yang kebanyakan SP berpendidikan dasar, walaupun sudah diberikan pengertian mengenai tujuan dan cara penelitian pada orang tua SP yang terutama berusia tahun. Tabel 4.6 Kepatuhan terapi berdasarkan kelompok perlakuan (N=42) Kepatuhan Kelompok M Kelompok AF p n % n % Patuh , ,7 Tidak patuh 0 0,0 3 14,3 Keterangan: N: total SP; n = jumlah SP 0,232* 4.2.2* Perubahan skor nyeri (VAS) Pada penelitian ini didapatkan 12 SP pada kelompok M dan 10 SP pada kelompok AF yang mengeluh nyeri. Sebanyak 83,3% SP kelompok M dan 60% SP pada kelompok AF yang nyerinya menghilang (VAS-nya menjadi 0 pasca terapi). Perubahan (delta) VAS dinilai dari selisih VAS. Untuk kepentingan analisis statistik, maka VAS berkurang dan VAS tidak berkurang digabung menjadi delta VAS_2 (VAS menjadi 0 dan tidak menjadi 0). Terlihat bahwa tidak ada perbedaan bermakna perubahan VAS antara kedua kelompok. Sebanyak 83.3% SP pada kelompok M dan 80% pada kelompok AF yang selisih VAS menjadi 0. Sisanya sebesar 16.7 % pada kelompok M dan 20% pada kelompok AF masih mengeluh nyeri walaupun berkurang. Hasil yang tidak bermakna kemungkinan karena variasi diagnosis PS pada tiap kelompok M dan AF, sehingga rasa nyeri yang ditimbulkan akan berbeda. Selain itu pemberian krim antibiotik selama 7 hari kemungkinan sudah dapat mengatasi proses inflamasi, sehingga sebagian besar SP pada kedua kelompok sudah tidak ada keluhan nyeri. Perubahan skor nyeri pasca terapi dapat dilihat pada tabel 4.7. Universitas*Indonesia*

76 56 Tabel 4.7 Perubahan VAS setelah 7 hari pengobatan PS menurut kelompok perlakuan Kelompok M Kelompok AF p Perubahan VAS n % n % VAS ke-7 n=12 n=10 Tidak nyeri 10 83,3 6 60,0 N/A Ringan 2 16,7 3 30,0 Sedang 0 0,0 1 10,0 Delta VAS VAS menjadi ,3 8 80,0 N/A VAS berkurang 2 16,7 1 10,0 VAS tidak berkurang 0 0,0 1 10,0 Delta VAS_2 VAS menjadi ,3 8 80,0 1,000** VAS tidak menjadi ,7 2 20,0 *Uji Chi Square, **Uji Fisher, N/A tidak dapat dianalisis 4.2.3* Perubahan luas lesi kulit PS Distribusi ukuran luas lesi kulit PS dan perbedaannnya pascaterapi tidak normal, sehingga digunakan nilai median dan nilai minimum maksimum. Tidak terdapat perbedaan bermakna luas lesi pada hari ketujuh, namun jika dilihat dari perbedaan rerata luas lesi kelompok M lebih kecil dibandingkan kelompok AF. Penurunan luas lesi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna, namun secara persentase penurunan pada kelompok M lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok AF. Tabel 4.8 Perubahan luas lesi kulit PS setelah 7 hari pengobatan PS menurut kelompok perlakuan Kelompok M(mm2) Kelompok AF(mm2) Luas lesi p Median (min-maks) Median (min-maks) Luas lesi hari ke-7 7,5 (0-72) 21 (0-1050) 0,085 Penurunan luas lesi 49 (0-961) 15 (0-642) 0,273 %ase penurunan luas lesi 83,5 (0-100) 60,7 (0-100) 0,041 Uji Mann Whitney Universitas*Indonesia*

77 Efektivitas Analisis menggunakan prinsip intention to treat analysis (ITT), subjek yang dropout dimasukkan ke dalam kelompok gagal terapi. Pada kelompok AF terdapat total 6 SP gagal, 3 diantaranya adalah SP yang drop-out. Efektivitas krim antibiotik terhadap kesembuhan klinis pada SP yang terdapat keluhan nyeri ditunjukkan pada tabel 4.9. Terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna secara statistik antara mupirosin 2% dan asam fusidat 2% (p=0,048, OR (IK 95%) 7,500 (1,039~54,116)). Angka kesembuhan pada kelompok M sebesar 83,3%, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok AF sebesar 40%. Hasil ini sesuai dengan penelitian serupa sebelumnya, Gilbert, dkk. 23 mendapatkan hasil bermakna dengan efektivitas mupirosin 2% sebesar 97% dan asam fusidat 2% sebesar 87%. Namun berbeda dengan penelitian oleh White, dkk. 24 yang mendapatkan efektivitas 98% pada salep mupirosin 2% dan 91% pada salep natrium fusidat 2%. Morley,dkk. 25 mendapatkan tidak ada perbedaan bermakna antara kedua krim antibiotik tersebut pada PS primer (85%) maupun sekunder (89% vs 81%). Penelitian serupa lainnya yang meneliti salep mupirosin 2% dengan krim asam fusidat 2% mendapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan efektivitas 98% dan 95,2%. 61 Jasuja pada tahun 2001 di India mendapatkan hasil salep mupirosin 2% dan natrium fusidat sama efektifnya. 62 Adanya perbedaan hasil pada beberapa penelitian serupa kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan vehikulum yang digunakan pada penelitian terdahulu, parameter evaluasi, jenis pioderma yang diteliti, usia SP, dan lamanya waktu evaluasi. Walaupun hubungan status higiene pada beberapa penelitian masih belum jelas, pada penelitian ini status higiene dan status imun sebagian besar SP baik. Kemaknaan statistik penelitian ini dilihat dari besarnya nilai p. Keluaran berupa persentase penurunan luas lesi yang bermakna antara kedua kelompok turut menunjang efektivitas mupirosin 2% lebih baik dibandingkan asam fusidat 2% Universitas*Indonesia*

78 58 terhadap kesembuhan klinis. Efektivitas tidak dihitung pada semua SP karena hanya 52,4% SP (22/42) yang terdapat keluhan nyeri. Beberapa faktor yang memengaruhi kegagalan terapi antibiotik, dari segi mikrobiologi antara lain kepekaan antibiotik in vitro, toleransi antibiotik terhadap kokus Gram positif, dan pengobatan terhadap kolonisasi. Faktor antibiotik antara lain spektrum tidak adekuat, kadar antibiotik, dan aktivitas antibiotik yang rendah pada jaringan, selain itu dapat disebabkan oleh masalah penetrasi antibiotik. 64 Untuk melihat faktor mikrobiologi, pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan resistensi untuk melihat adanya kepekaan antibiotik secara in vitro. Tabel 4.9 Efektivitas berdasarkan kelompok perlakuan (N=42) Efektivitas Kelompok M Kelompok AF p n % n % OR (IK 95%) Gagal (VAS tidak berkurang + ukuran berkurang<50%) 2 16, ,048 7,500 (1,039-54,116) Perbaikan dan Sembuh (VAS berkurang + ukuran berkurang >50%) dan (VAS =0 + ukuran berkurang 100%) 10 83, Keterangan: N: total SP;OR: odds ratio;ik: interval kepercayaan;uji Chi Square, *Uji Fisher 4.4.Hasil tambahan * Efek samping pengobatan Pada penelitian ini dilakukan penilaian efek samping pada hari ketujuh terapi. Efek samping subjektif ditanyakan melalui anamnesis dan objektif melalui pemeriksaan fisis oleh pemeriksa. Tidak ada efek samping subjektif dan objektif yang ditemukan pada kedua kelompok perlakuan. Penelitian yang dilakukan oleh Gilbert, dkk. 23 di Kanada juga melaporkan tidak ada efek samping pada terapi asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa efek samping penggunaan krim antibiotik asam fusidat 2% dan mupirosin 2% umumnya tidak ditemukan, dapat terjadi namun bersifat ringan. Hasil penelitian ini berbeda dengan Morley dkk. 25 yang melaporkan terjadi efek samping berupa rasa terbakar, gatal, reaksi iritan, dermatitis kontak, dan rasa lengket setelah penggunaan salep natrium fusidat 2% Universitas*Indonesia*

79 59 sebanyak 2 dari 191 SP (1,0%) dan salep mupirosin 2% sebanyak 12 dari 163 SP (7,4%). Efek samping ringan juga ditemukan pada penelitian White, dkk. 24 yang mendapatkan 6 SP pada kelompok salep mupirosin 2% dan 2 SP pada kelompok salep natrium fusidat 2% yang mengeluh gatal dan rasa terbakar. Perbedaan tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan vehikulum yang digunakan. Tidak adanya efek samping pada penelitian ini didukung dengan cara pengolesan krim antibiotik yang benar oleh SP dan penjelasan di lembar cara pemakaian krim antibiotik yang diberikan kepada SP * Gambaran kuman penyebab dan resistensinya terhadap antibiotik topikal Berdasarkan pemeriksaan terhadap 42 sampel biakan, pada 16 (38%) sampel ditemukan satu jenis kuman, 23 (54,8%) sampel ditemukan 2 jenis kuman, sedangkan 3 (7,2%) sampel ditemukan 3 jenis kuman. Yang terbanyak dijumpai adalah kuman S.aureus, diikuti S.pyogenes. Infeksi campuran 2 jenis kuman terbanyak adalah campuran S.aureus dan S.pyogenes sebanyak 12 sampel. Tampak bahwa S.aureus merupakan isolat yang paling banyak ditemukan baik sendiri maupun bersama kuman lain. Hal ini juga dilaporkan beberapa peneliti lain. Heragandhi tahun 2004 mendapatkan S.aureus sebagai kuman terbanyak yaitu 68,3% isolat sedangkan campuran dengan S. pyogenes 10%, dan S. pyogenes sendiri 8,3%. Penelitian ini mendapatkan penyebab PS 23,8% oleh S.aureus saja, 7,1% oleh S.pyogenes saja, dan 55% campuran S.aureus dengan S.pyogenes dan kuman lainnya. Secara keseluruhan, ditemukan bakteri Gram negatif (Enterobacter cloacae, Gemella morbillorum, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas stutzeri, dan Raoultella ornitholytica) yang semuanya tumbuh bersama Gram positif. Gambaran kuman penyebab disajikan pada tabel Universitas*Indonesia*

80 60 Tabel 4.10 Distribusi jenis bakteri penyebab pioderma superfisialis (N=42) Jenis bakteri Jumlah (N=42) % S.aureus 10 23,8 S.aureus + S.pyogenes 12 28,6 S.pyogenes 3 7,1 S.epidermidis 1 2,4 Staphylococcus lugdunensis 1 2,4 Streptococcus dysgalactiae 1 2,4 S.aureus+Streptococcus agalactiae 2 4,8 S.aureus +Gemella morbillorum 1 2,4 S.aureus +Klebsiella pneumoniae 1 2,4 S.aureus +Streptococcus porcinus 2 4,8 S.aureus +Raoultella ornitholytica 1 2,4 S.aureus +Streptococcus suis 1 2,4 S.pyogenes+Klebsiella pneumoniae 1 2,4 S.aureus+S.pyogenes+Enterobacter 1 2,4 cloacae S.aureus+S.pyogenes+Pseudomonas 1 2,4 stutzeri S.aureus+S.pyogenes+Klebsiella 1 2,4 pneumoniae Streptococcus sanguinis+staphylococcus 1 2,4 haemolyticus S.epidermidis+Kocuria rosea 1 2,4 Keterangan: N: total SP Pada hasil kultur dengan S.aureus, 2 SP (6%) didapatkan kuman MRSA yaitu pada 1 SP yang pada kelompok M dan 1 SP pada kelompok AF. Hasil pengobatan kedua SP adalah perbaikan. Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya yaitu Gilbert,dkk. 23 dan White,dkk. 24 yang tidak melaporkan adanya temuan MRSA. Penelitian Heragandhi tahun 2004 tidak menemukan kuman MRSA. Penelitian oleh Istasaputri, dkk. 62 di Indonesia tahun 2013 MRSA pada penderita DA dan sensitivitasnya terhadap mupirosin 2% dibandingkan gentamisin, juga tidak menemukan adanya MRSA pada individu dewasa sehat jika dibandingkan dengan pasien DA. 63 Berdasarkan pemeriksaan spesimen yang diambil pada 42 sampel, didapatkan 33 spesimen dengan pertumbuhan S.aureus dan 18 spesimen dengan pertumbuhan S.pyogenes. Karena jumlahnya yang cukup banyak, kedua bakteri tersebut dianggap sebagai bakteri patogen. Masing-masing data resistensi terhadap antibiotik topikal berturut-turut disajikan pada tabel 4.11 dan Universitas*Indonesia*

81 61 Resistensi S.aureus terhadap mupirosin 2% sebesar 6 % (2/33) dan asam fusidat 2% sebesar 3% (1/33). Sedangkan S.pyogenes tidak ada yang resisten terhadap mupirosin 2% dan 5,6% (1/18) resisten terhadap asam fusidat 2%. Kepekaan S.aureus terhadap mupirosin 2% sebesar 15,2 % (5/33) dan sebesar 21,2% terhadap asam fusidat 2% (7/33). Hasil ini berbeda dengan penelitian Heragandhi yang mendapatkan kepekaan S.aureus yang masih tinggi terhadap mupirosin 2% (92%) dan asam fusidat 2% (84%). Kepekaan S.pyogenes terhadap mupirosin 2% sebesar 50 % (9/18), namun tidak sensitif terhadap asam fusidat 2%. Heragandhi mendapatkan hasil kepekaan S.pyogenes 85% terhadap mupirosin 2% dan 75% terhadap asam fusidat 2%. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan perbedaan desain penelitian dan jumlah sampel yang berbeda. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa kepekaan in vitro dapat memengaruhi efektivitas antibiotik, dapat terlihat walaupun kepekaan S.aureus terhadap asam fusidat 2% lebih tinggi dibandingkan mupirosin 2%, namun tidak didapatkan S.pyogenes yang sensitif terhadap asam fusidat 2%. Sebagian besar S.aureus (78,8% (26/33), 75,8% (25/33)) dan S.pyogenes (50% (9/18), 94,4% (17/18)) memiliki kepekaan intermediet terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2%, artinya kuman tidak dapat diperkirakan apakah akan responsif terhadap dosis standar obat, namun dapat responsif jika dosis dinaikkan. Pemeriksaan uji kepekaan in vitro terkadang tidak menggambarkan respons in vivo secara tepat karena ada faktor lain yang berpengaruh,yaitu kuman pada media biakan tumbuh cepat, konsentrasi antibiotik, dan metodologi laboratorium. 4,64 Universitas*Indonesia*

82 62 Tabel 4.11 Kepekaan S.aureus yang diisolasi dari pioderma superfisialis terhadap 10 jenis antibiotik topikal (N=33) Antibiotik Sensitif Intermediet Resisten Mupirosin Asam fusidat Eritromisin Kloramfenikol Gentamisin Tetrasiklin Klindamisin Polimiksin Neomisin Basitrasin Tabel 4.12 Kepekaan S. pyogenes yang diisolasi dari pioderma superfisialis terhadap 10 jenis antibiotik topikal (N=18) Antibiotik Sensitif Intermediet Resisten Mupirosin Asam fusidat Eritromisin Kloramfenikol Gentamisin Tetrasiklin Klindamisin Polimiksin Neomisin Basitrasin Berdasarkan karakteristik bakteriologis, S.aureus secara deskriptif ditemukan pada kedua kelompok dengan jumlah yang hampir sama, hasil temuan pada uji resistensi pun menunjukan gambaran yang sama antara mupirosin 2% dan fusidat 2%. Hal serupa juga ditemukan pada uji kepekaan terhadap S.pyogenes, meskipun tidak ada yang sensitif terhadap asam fusidat 2%, hanya ada 4 subjek pada kelompok AF yang terinfeksi S.pyogenes. S.aureus memiliki kepekaan sebesar 72,7% terhadap eritomisin, 78,8% terhadap kloramfenikol, 75,8% terhadap gentamisin, 90,9% terhadap klindamisin, dan 84,8% terhadap basitrasin. S.pyogenes memiliki kepekaan sebesar 94,4% terhadap Universitas*Indonesia*

83 63 eritromisin, kloramfenikol, gentamisin, serta klindamisin dan 100 % terhadap basitrasin. 4.5.Kekuatan dan keterbatasan penelitian * Kekuatan penelitian Desain penelitian berupa uji klinis acak tersamar ganda, yaitu baik peneliti dan SP tidak mengetahui jenis obat yang diberikan. Desain uji klinis acak tersamar ganda merupakan baku emas untuk sebuah uji klinis. Parameter efektivitas terapi dinilai secara terukur yaitu subjektif (berdasarkan skor VAS) dan objektif (berdasarkan perubahan luas lesi). Pada penelitian ini terjadinya drop-out diminimalisasi dengan adanya toleransi waktu evaluasi hingga 2 hari yaitu pada hari ke-8 atau ke-9. Terdapat kesetaraan antar kelompok pengobatan asam fusidat 2% dan mupirosin 2%, maka perbedaan hasil antar kelompok adalah semata-mata karena pengaruh variabel pengobatan. Penelitian ini melaporkan gambaran pola kuman penyebab serta kepekaannya terhadap beberapa antibiotik topikal, termasuk asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Analisis dan penelitian dilakukan secara tersamar dan independent oleh konsultan statistik, sehingga tidak terjadi bias analisis data. Penelitian ini tidak memiliki conflict of interest terhadap pihak farmasi manapun * Keterbatasan penelitian Penelitian ini tidak melakukan evaluasi bakteriologis kultur setelah terapi. Sampel yang diambil tidak seluruhnya merupakan pasien yang datang sendiri ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM, sehingga memengaruhi validitas eksterna dari penelitian ini. Hasil studi ini tidak mencerminkan secara utuh gambaran pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Universitas*Indonesia*

84 64 BAB 5 IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN 5.1.Ikhtisar Pioderma superfisialis masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia serta dapat menimbulkan komorbiditas yang bermakna. Jumlah kunjungan PS masih tinggi di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Saat ini pedoman pengobatan topikal lini pertama yang digunakan adalah asam fusidat 2%. 1-6 IDSA di Amerika menyarankan penggunaan mupirosin 2% sebagai pengobatan topikal lini pertama PS. 12,13 Mupirosin 2% dibatasi penggunaannya di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM dalam dekade terakhir untuk infeksi MRSA sesuai dengan kebijakan PPRA RSCM. Beberapa penelitian di luar negeri telah membuktikan adanya resistensi terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2% Penelitian tahun 2004 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM masih menunjukkan kepekaan kuman yang tinggi. 1 Penelitian mengenai efektivitas kedua antibiotik topikal tersebut belum banyak dilakukan; di Inggris dan Kanada mupirosin 2% ditemukan lebih efektif daripada asam fusidat 2%. Kekurangan pada penelitian yang pernah dilakukan adalah parameter pengukuran derajat keparahan yang belum tervalidasi Perbedaan pedoman terapi, tiadanya data terbaru mengenai efektivitas antibiotik topikal pada PS saat ini, dan metode pengukuran pada penelitian sebelumnya yang belum tervalidasi mendorong dilakukannya penelitian mengenai efektivitas mupirosin 2% dan asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis menggunakan parameter terukur guna memperoleh data pendukung bagi panduan penggunan antibiotik topikal untuk PS. Penelitian ini merupakan uji klinis acak buta ganda terhadap pasien PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta untuk mengetahui efektivitas terapi topikal mupirosin 2% dan asam fusidat 2% selama tujuh hari terapi. Universitas*Indonesia*

85 65 Anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan kultur dan resistensi dilakukan di Poliklinik. Pengolesan obat topikal dilakukan di rumah subjek penelitian, sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan dan diinformasikan oleh peneliti. Evaluasi dilakukan pada tujuh hari terapi, menggunakan parameter pengurangan luas area lesi dan rasa nyeri. Pemeriksaan kultur dan resistensi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK), Departemen Mikrobiologi FKUI. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2015 sampai Februari Setelah disesuaikan dengan kriteria penerimaan dan penolakan didapatkan secara konsekutif 42 orang pasien PS yang menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian. Seluruh SP mendapatkan krim antibiotik sesuai randomisasi permutasi empat blok (asam fusidat 2%, AF;mupirosin 2%, M). Sejumlah 3 SP yang drop-out tetap diikutsertakan dalam analisis statistik. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data dasar a. Karakteristik sosiodemografi Median (min-maks) usia SP yang mengikuti penelitian adalah 14 (12-59) tahun pada kelompok M dan 22 (12-58) tahun pada kelompok AF. Sebanyak 76,2% SP berjenis kelamin laki-laki pada kedua kelompok perlakuan. Sebanyak 61,9% SP pada kelompok M dan AF memiliki tingkat pendidikan dasar. Pada kedua kelompok, sebagian besar SP tidak bekerja, yaitu 76,2% pada kelompok M dan 57,1% pada kelompok AF. b. Karakteristik klinis - Sebanyak 52,4% SP pada kelompok M memiliki keluhan gatal dan nyeri dan 42,9% SP pada kelompok AF hanya mengeluh gatal - Sebanyak 81,0% SP pada kelompok M dan 85,7% SP pada kelompok AF tidak memiliki riwayat penyakit serupa pada keluarga. - Status higiene perorangan pada kelompok M dan AF baik. Sebanyak 95,2% SP kelompok M dan 81% SP kelompok AF mandi 2x/hari, seluruhnya menggunakan sabun. Pada kelompok M seluruh SP mandi selama sakit tetapi pada kelompok AF jumlahnya hanya 95,2% SP. Universitas*Indonesia*

86 66 Sebagian besar SP (76,2% kelompok M, 66,7% kelompok AF) mandi air PAM dan memiliki kuku yang bersih (61,9% kelompok M, 57,1% kelompok AF). c. Karakteristik lesi kulit - Median (min-maks) jumlah lesi pada kelompok M adalah 2 (1-10) lesi dan 1 (1-5) lesi pada kelompok AF. - Median (min-maks) awitan pada kelompok M selama 7 (2-14) hari dan 7 (1-30) hari pada kelompok AF. - Pada 76,2% SP kedua kelompok, lesi berlokasi di daerah tungkai. - Jenis PS terbanyak pada kedua kelompok adalah ektima (61,9% kelompok M, 47,6% kelompok AF). d. Karakteristik klinis lesi kulit (VAS dan luas lesi) - Sebanyak 42,9% SP pada kelompok M dan 52,4% kelompok AF tidak mengeluhkan nyeri (VAS 0). - Sebanyak 33,3% SP kelompok M dan 23,8% kelompok AF memiliki skor nyeri dengan kategori ringan. - Sebanyak 23,8% SP kelompok M dan kelompok AF memiliki skor nyeri dengan kategori sedang. - Median (min-maks) luas lesi baseline pada kelompok M adalah 60 (12-961) mm 2 dan 90,25(6-1692) mm 2 pada kelompok AF. e. Karakteristik bakteriologis - Pada setiap SP minimal tumbuh satu jenis kuman. - Pada kedua kelompok kuman yang paling banyak ditemukan adalah S.aureus yaitu 85,7% pada kelompok M dan 71,4% pada kelompok AF. - Kuman terbanyak kedua adalah Streptococcus pyogenes yaitu 66,7% pada kelompok M dan 19% pada kelompok AF. - Terdapat pertumbuhan MRSA pada 2 sampel nanah. 2. Hasil pengobatan a. Perubahan skor VAS - Skor VAS pada evaluasi setelah tujuh hari terapi sebagian besar menjadi 0, yaitu pada 83,3% SP kelompok M dan 60% kelompok AF. Universitas*Indonesia*

87 67 - Selisih skor VAS dari skor VAS baseline menjadi 0 pada 83,3% kelompok M dan 80% pada kelompok AF. b. Perubahan luas lesi kulit - Median (min-maks) luas lesi pada evaluasi hari ketujuh terapi adalah 7,5 (0-72) mm 2 pada kelompok M dan 21 (0-1050) mm 2 pada kelompok AF. - Persentase penurunan luas lesi sebesar 83,5% pada kelompok M dan 60,7% pada kelompok AF. Secara persentase terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok. 3. Efektivitas - Nilai efektivitas terapi krim M sebesar 83,3% dan krim AF sebesar 40% terhadap kesembuhan klinis PS. 4. Efek samping terapi - Tidak ditemukan efek samping subjektif maupun objektif pada kedua kelompok perlakuan. 5. Gambaran kuman penyebab dan resistensinya - Kuman penyebab berbagai macam PS pada anak dan dewasa adalah 16 (38%) sampel ditemukan satu jenis bakteri, 23 (54,8%) sampel ditemukan 2 jenis bakteri, sedangkan 3 (7,2%) sampel ditemukan 3 jenis bakteri. - Distribusi kuman penyebab PS, yaitu 23,8% oleh S.aureus saja, 7,1% oleh Streptococcus pyogenes saja, dan 55% campuran S.aureus dengan Streptococcus pyogenes dan kuman lainnya. - Pada hasil kultur dengan S.aureus, terdapat 2 SP (6%) dengan kuman penyebab MRSA - Kepekaan S.aureus terhadap mupirosin 2% sebesar 15,2 % dan sebesar 21,2% terhadap asam fusidat 2%. Kepekaan S.pyogenes terhadap mupirosin 2% sebesar 50 %, namun tidak sensitif terhadap asam fusidat 2%. - Resistensi S.aureus terhadap mupirosin 2% sebesar 6 % dan asam fusidat 2% sebesar 3%. Sedangkan S.pyogenes tidak ada yang resisten terhadap mupirosin 2% dan 5,6% resisten terhadap asam fusidat 2%. Universitas*Indonesia*

88 68 - Eritromisin, kloramfenikol, gentamisin, klindamisin, dan basitrasin memiliki sensitivitas yang masih baik terhadap S.aureus dan S.pyogenes. 5.2 Kesimpulan Efektivitas terapi topikal mupirosin 2% lebih baik dibandingkan dengan asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis pasien PS (hipotesis penelitian diterima). Krim mupirosin 2% lebih baik dalam persentase penurunan luas lesi kulit PS dibandingkan krim asam fusidat 2%. Tidak ditemukan kejadian efek samping subjektif maupun objektif setelah pemberian krim mupirosin 2% dan asam fusidat 2%. Distribusi kuman penyebab, 23,8% oleh S.aureus saja, 7,1% oleh S.pyogenes saja, dan 55% campuran S.aureus dengan S.pyogenes dan kuman lainnya. S.aureus dan S.pyogenes memiliki kepekaan intermediet terhadap mupirosin 2%, asam fusidat 2%. S.aureus dan S.pyogenes memiliki kepekaan yang baik terhadap eritromisin, kloramfenikol, gentamisin, klindamisin, dan basitrasin. Terdapat 6% kuman MRSA sebagai penyebab PS 5.3 Saran Terapi topikal mupirosin 2% dapat dipertimbangkan menjadi lini pertama pengobatan PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM mengingat efektivitasnya yang lebih baik saat ini daripada asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis. Namun penggunaan harus dipertimbangkan antara lain spektrum aktivitas, harga, dan kebijakan lokal. Dilakukannya penelitian serupa dengan desain dan jumlah sampel yang sesuai terhadap antibiotik topikal lainnya yang juga menilai efektivitas bakteriologis pada jenis PS yang sama. Universitas*Indonesia*

89 69 Dilakukan surveillance mengenai pola kuman dan resistensi antibiotik topikal dengan desain penelitian yang sesuai di pusat layanan kesehatan primer. Basitrasin masih dianjurkan penggunaannya dalam tatalaksana PS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Universitas*Indonesia*

90 70 DAFTAR PUSTAKA 1. Heragandhi N. Kuman penyebab pioderma superfisialis pada anak, dan kepekaannya terhadap beberapa antibiotik. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis, FKUI, Jakarta, Palit A, Inamadar AC. Current concepts in the management of bacterial skin infections in children. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2010;76: Craft N. Superficial cutaneous infections and pyodermas. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill. 2012:h Djuanda A. Pioderma. Dalam: Menaldi SW, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2015;h Wisesa TW. Pioderma pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Kurniati DD, Elandari, penyunting. Infeksi Kulit pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2003;h Hahn RG, Knox LM,Forman TA: Evaluation of poststreptococcal illness. Am Fam Physician. 2005;71: Divisi Dermatologi Umum IKKK RSCM. Data morbiditas tahun 2012 divisi dermatologi umum poliklinik ilmu kesehatan kulit dan kelamin/ RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Divisi Dermatologi Umum IKKK RSCM. Data morbiditas tahun 2013 divisi dermatologi umum poliklinik ilmu kesehatan kulit dan kelamin/ RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Divisi Dermatologi Pediatrik IKKK RSCM. Data morbiditas tahun 2014 divisi dermatologi pediatrik poliklinik ilmu kesehatan kulit dan Kelamin/RS dr.cipto Mangunkusumo Jakarta Data Morbiditas Tahun 2014 Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin/RS dr.cipto Mangunkusumo Jakarta. 11.Divisi Dermatologi Pediatrik IKKK RSCM. Data morbiditas tahun 2015 divisi dermatologi pediatrik poliklinik ilmu kesehatan kulit dan kelamin/rs dr.cipto Mangunkusumo Jakarta Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJ, Gorbach SL, dkk. Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft-tissue infections. Clin Infect Dis. 2005; 41: Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJ, Gorbach SL, dkk.practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft-tissue infections : 2014 update by the Infectious Diseases Society of America.Clin Infect Dis. 2014; 59: Universitas*Indonesia*

91 71 14.Van Bijnen EME, Paget J, Den Heijer CDJ, dkk. Evidence-based primary care treatment guidelines for skin infections in Europe : a comparative study. Eur J Gen Pract. 2014; Panduan Pelayanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Jakarta. 16.Pedoman Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM Bagian Kulit dan Kelamin. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 17.Noviyanti D. Proporsi kepositivan kolonisasi methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) pada lesi kulit dan nares anterior pasien dermatitis atopik bayi dan anak. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis, FKUI, Jakarta, Shah M, Mohanraj M. High levels of fusidic acid-resistant Staphylococcus aureus in dermatology patients.br J Dermatol. 2003; 148: Long BH. Fusidic acid in skin and soft-tissue infections. Acta Derm Venereol. 2008;216: Heng YK, Tan KT, Sen P, Chow A, Leo YS, Lye DC, dkk. Staphylococcus aureus and topical fusidic acid use: results of a clinical audit on antimicrobial resistance.int J Dermatol. 2013;52: Upton A, Lang S, Heffernan H. Mupirosin and Staphylococcus aureus: a recent paradigm of emerging antibiotic resistance. J Antimicrob Chemother. 2003;51: Randhawa GK, Kaur M. Recent advances in antibacterial drugs. Int J Appl Basic Med Res. 2013;3: Gilbert M. Topical 2% mupirocin versus 2% fusidic acid ointment in the treatment of primary and secondary skin infections. J Am Acad Dermatol. 1989;20: White DG, Collins PO, Rowsell RB. Topical antibiotics in the treatment of superficial skin infection in general practice-a comparasion of mupirocin with sodium fusidate. J Infect. 1989;18: Morley PAR, Munot LD. A comparison of sodium fusidate ointment and mupirocin ointment in superficial skin sepsis. Curr Med Res Opin. 1988;11: Oranje AP, Chosidow O, Sacchidanand S, Todd G, Singh K, Scangarella N, dkk. Topical retapamulin ointment 1% versus sodium fusidate ointment 2% for impetigo: a randomized observer blinded noninferiority study. Dermatology. 2007;215: Bohaty BR, Choi S, Cai C, Hebert AA. Clinical and bacteriological efficacy of twice daily topical retapamulin ointment 1% in the management of Universitas*Indonesia*

92 72 impetigo and other uncomplicated superficial skin infections. Int J Women s Dermatol. 2015: Prinsip umum penggunaan antibiotik [Internet]. Jakarta: PPRA- RSCM;2011 [disitasi 12 Desember 2016]. Tersedia dari : 29.Antimicrobial resistance [Internet]. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention;2016 [disitasi 12 Desember 2016]. Tersedia dari : 30.Warsa UC.Kokus positif gram. Dalam: Staf pengajar bagian mikrobiologi FKUI. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. 2002; h Gandhi S, Ojha AK, Ranjan KP, Neelima. Clinical and bacteriological aspects of pyoderma: An overview. N Am J Med Sci. 2012;4: Koning S, Verhagen AP, van Suijlekom-Smit LW, Moris A, Butler CC, van der Wouden JC. Interventions for impetigo. Cochrane Database Syst Rev. 2012; Veien NK. The clinician s choice of antibiotics in the treatment of bacterial skin infection. Br J Dermatol. 1998;139: Craft N.Topical antibiotics. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill. 2012: Schwartz RA, Al-Mutairi N. Topical antibiotics in dermatology: An update. Gulf J Dermatol Venereol. 2010;17: Sanju AJ, Kopula SS, Palraj KK. Screening for mupirocin resistance in staphylococcus. J Clin Diagn Res. 2015;9: Singal A, Thami GP. Topical antibacterial agents in dermatology. J dermatol. 2003;30: Musmade PB, Tumkur A, Trilok M, Bairy KL. Fusidic acid-topical antimicrobial in the management of staphylococcus aureus. Int J Pharm Sci. 2013;10: Drucker CR. Update on topical antibiotics in dermatology. Dermatol Ther. 2012; 25 : Coutinho B. Retapamulin (Altabax) 1% topical ointment for the treatment of impetigo. Am Fam Physician. 2007;76: Nagabushan H. Retapamulin: A novel topical antibiotic. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2010;76: Hamzah M. Dermatoterapi. Dalam : Menaldi SW, Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2015;h Larson E. Skin hygiene and infection prevention: more of the same or different approaches. Clin Infect Dis. 1999;29: Universitas*Indonesia*

93 73 44.Sudarmono P. Genetika dan resistensi. Dalam: Staf pengajar bagian mikrobiologi FKUI. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi.jakarta: Binarupa Aksara. 2002; h Mitra A, Mohanraj M, Shah M. High levels of fusidic acid-resistant Staphylococcus aureus despite restrictions on antibiotic use. Clin Exp Dermatol. 2008;34: Motswaledi MH. Superficial skin infections and the use of topical and systemic antibiotics in general practice. S Afr Fam Pract. 2011;53: Ibler KS, Kromann CB. Recurrent furunculosis-challenges and management: a review. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2014:7: Fritz SA, Hogan PG, Camins BC, Ainsworth AJ, Patrick C, Martin MS, dkk. Mupirocin and chlorhexidine resistance in staphylococcus aureus in patients with community-onset skin and soft tissue infections. Antimicrob Agents Chemother. 2013;57: Garcia LS, Isenberg HD, penyunting. Clinical microbiology procedures handbook.edisi ke-3. Washington: ASM press. 2010;h Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia Boediardja SA. Dermatitis atopik. Dalam : Menaldi SW, Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2015;h Badan pusat statistik [Internet]. Jakarta: Badan Pusat Statistik;2016 [disitasi 12 Desember 2015]. Tersedia dari : 53.Body mass index [Internet]. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention;2016 [disitasi 12 Desember 2016]. Tersedia dari : 54.Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland LA, Romundstad L, Breivik Hals EK, dkk. Assessment of pain. Br J Anaesth. 2008;101: CLSI antimicrobial susceptibility testing standard. Clinical and laboratory standards institute Hetem DJ, Bonten MJM. Clinical relevance of mupirocin resistance in Staphylococcus aureus. J Hosp Infect. 2013;85: Singh A, Singh K, Kanodia S, Singh S, Singh J, Asif M. Bacteriological study and antibiotic sensitivity patterns in cases of pyoderma. Medpulse-Int Med J. 2014;1: Masawe A, Herbert N, Mhalu F. Bacterial skin infections in preschool and school children in coastal Tanzania. Arch Dermatol. 1975;111: Struthers JK, Westran RP, penyunting. Clinical bacteriology. Washington: ASM press. 2003: h Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA, penyunting. Universitas*Indonesia*

94 74 Jawetz, melnick & adelberg s medical microbiology. Edisi ke-26. New York: Mc Graw-Hill. 2013: h Langdon CG, Mahapatra KS. Efficacy and acceptability of fusidic acid cream and mupirocin ointment in acute skin sepsis. Curr Ther Res. 1990;48: Jasuja DK, Sunil G, Arora, Veenu G. Bacteriology of primary pyodermas and comparative efficacy of topical application of mupirocin and sodium fusidate ointments in their treatment. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2001;67: Istasaputri K, Sutedja E, Suwarsa O, Sudigdoadi S.Methicillin resistant staphylococcus aureus pada penderita dermatitis atopik dan sensitivitasnya terhadap mupirosin dibandingkan dengan gentamisin. Majalah Kedokteran Bandung. 2013;45: Cunha BA, Hage JE, Schoch PE, Cunha CB, Bottone EJ, Torres DC. Overview of antimicrobial therapy. Dalam: Cunha BA, penyunting. Antibiotic essentials. New York. 2013:h Universitas*Indonesia*

95 75 Lampiran 1. Penyaring subjek penelitian Penyaring subjek penelitian Kriteria penerimaan subjek penelitian Beri tanda [ ] Ya Tidak 1. Usia tahun [ ] [ ] 2. Secara klinis menderita pioderma superfisialis [ ] [ ] Bila ada satu jawaban tidak, maka pasien tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian Kriteria penolakan subjek penelitian Ya Tidak Beri tanda [ ] 1. Jumlah lesi PS lebih dari 10 dan luas lesi >10% [ ] [ ] 2. Lesi kulit PS yang belum mengalami supurasi [ ] [ ] 3. Terdapat gejala sistemik berupa demam, pembesaran kelenjar getah bening [ ] [ ] 4. Sedang mendapat pengobatan steroid atau sitostatika untuk penyakit lain [ ] [ ] 5. Mendapat antibiotik topikal atau sistemik dalam jam terakhir [ ] [ ] 6. Penderita dermatitis atopik, diabetes mellitus, HIV/AIDS, gagal ginjal kronik, dan gizi kurang [ ] [ ] 7. Riwayat hipersensitivitas terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2% [ ] [ ] Bila ada satu jawaban ya, maka pasien tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian Kesimpulan [ ] Pasien memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian [ ] Pasien tidak memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian Universitas*Indonesia*

96 76 Lampiran 2. Informasi penelitian LEMBAR INFORMASI UNTUK PASIEN PIODERMA SUPERFISIALIS YANG AKAN MENGUKUTI PENELITIAN DAN DIBERIKAN PENGOBATAN ANTIBIOTIK TOPIKAL Bapak/Ibu/Saudara yang terhormat, Berdasarkan hasil wawancara dan pemeriksaan fisis disimpulkan bahwa Bapak/Ibu menderita infeksi kulit oleh bakteri. Penyakit kulit ini dapat menimbulkan keluhan nyeri, dan kelainan kulit. Jika tidak diobati, bakteri akan menyebabkan infeksi ke lapisan kulit yang lebih dalam hingga dapat menyebar ke seluruh tubuh. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik Saat ini Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sedang melakukan penelitian yang membandingkan dua krim antibiotik pada pasien infeksi kulit oleh bakteri. Antibiotik tersebut lazim dipakai, tetapi perbandingan keunggulan keduanya belum pernah dilakukan. Setelah wawancara dan mengisi kuisioner, akan dilakukan pemeriksaan kulit. Keuntungan mengikuti penelitian ini adalah: Mengetahui obat yang tepat terhadap kuman penyebab Mendapatkan obat yang sesuai secara cuma-cuma Sebelum pemberian obat, akan dilakukan pemeriksaan kelainan kulit dengan menghitung jumlah dan mengukur luas. Lalu dilanjutkan dengan pengambilan sampel nanah dari dasar kelainan kulit. Bila kondisi kelainan basah dilakukan kompres dahulu sebelum pengambilan. Jika diperlukan, berdasarkan pertimbangan medis kelainan kulit yang mengandung nanah, terlebih dahulu akan dikeluarkan isinya, lalu dilakukan pengambilan nanah dengan kapas lidi steril yang dihapuskan pada dasar kelainan kulit. Kapas lidi kemudian akan diletakkan dalam tabung khusus untuk kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI. Universitas*Indonesia*

97 77 Bapak/Ibu akan mendapatkan buku harian petunjuk penelitian. Selama satu minggu, Bapak/Ibu diminta mengoleskan tipis krim antibiotik dua kali sehari setelah mandi. Bapak/Ibu tidak mengetahui isi kandungan antibiotik yang akan diberikan. Bapak/Ibu diminta untuk kontrol satu minggu setelah pengolesan antibiotik. Saat kontrol, diharapkan membawa tube antibiotik dan catatan buku harian yang telah diberikan sebelumnya dan akan kembali dilakukan pemeriksaan kulit. Bapak/Ibu tidak diperkenankan mengoleskan bahan atau obat apapun pada tempat kelainan kulit. Penggunaan antibiotik ini mungkin menimbulkan efek samping, misalnya rasa gatal atau perih. Apabila timbul bercak kemerahan yang disertai rasa gatal, perih, atau terbakar pada kulit yang dioleskan obat uji, Bapak/Ibu dapat segera menghubungi saya untuk penanganan lebih lanjut secara cuma-cuma. Selama masa pengobatan, mohon jadwal penggunaan antibiotik dan keluhan efek samping ditulis pada buku pemantauan pengobatan. Seluruh data dan hasil pemeriksaan ini merupakan data rahasia yang tidak disebarluaskan. Penelitian ini akan disetujui oleh Panitia Kaji Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat sukarela, tanpa ada paksaan. Bila tidak bersedia, Bapak/Ibu berhak menolak ikut serta dalam penelitian ini tanpa memengaruhi pelayanan kesehatan yang akan diberikan. Bila telah mengerti dan menyetujui prosedur pemeriksaan pada penelitian ini Bapak/Ibu diharap menandatangani formulir persetujuan. Bila keberatan, Bapak/Ibu dapat menarik diri setiap saat dari penelitian ini tanpa mendapat sanksi apapun, dan tetap mendapatkan pelayanan dan pengobatan sebagaimana mestinya. Segala hal yang berhubungan dengan penelitian ini dapat ditanyakan langsung kepada saya dr. Indah Widyasari di nomor telepon Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya. Peneliti, dr. Indah Widyasari Universitas*Indonesia*

98 78 Lampiran 3: Formulir persetujuan mengikuti penelitian FORMULIR PERSETUJUAN Semua penjelasan mengenai penelitian telah disampaikan kepada saya dan semua pertanyaan saya telah dijawab dengan jelas. Saya mengerti bahwa bila masih memerlukan penjelasan, saya akan mendapat jawaban dari dr. Indah Widyasari. Dengan menandatangani formulir ini, saya setuju untuk ikut dalam penelitian ini. Saya mengerti bahwa keikutsertaan ini bersifat sukarela dan setiap saat saya dapat mengundurkan diri. Penghentian partisipasi saya dari penelitian tidak akan memengaruhi perawatan yang akan saya peroleh dari dokter. Saya telah menerima satu salinan informasi penelitian dan formulir persetujuan. Yang membuat pernyataan: Tanda tangan pasien/anak/wali: Tanggal: (Nama jelas:...) Tanda tangan saksi: Tanda tangan peneliti: (Nama jelas:...) (dr. Indah Widyasari) Universitas*Indonesia*

99 79 STATUS PENELITIAN Lampiran 4: Status Penelitian Tanggal pemeriksaan : Nomor urut : Nomor catatan medis : IDENTITAS 1. Nama lengkap : 2. Umur : 3. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan 4. Nama orang tua : 5. Pendidikan : 0. Tidak sekolah 1. Pendidikan dasar (SD, SMP) 2. Pendidikan menengah (SMU/SMK) 3. Pendidikan tinggi (diploma, sarjana, doktor, spesialis) 6. Pekerjaan : 1. Pegawai negeri 4. Pedagang 2. ABRI 5. Buruh 3. Pegawai swasta 6. Lainnya: Alamat : ANAMNESIS 8. Awitan penyakit :... (hari) 9. Kelainan kulit disertai keluhan berupa : 0. Tidak ada 2. Nyeri (jawaban dapat lebih dari 1) 1. Gatal 3. Keluhan lain Derajat nyeri : Lihat skor nyeri (0-10) 11. Di keluarga penyakit seperti ini : 1. Ada 2. Tidak Bila Ya, yaitu 1. Adik 2. Kakak Universitas*Indonesia*

100 80 3. Lainlain Kebersihan pribadi - Frekuensi mandi : 1. 1x 2. 2x - Memakai sabun : 1. Ya 2. Tidak o Selama sakit : 1. Mandi 2. Tidak mandi - Sumber air mandi : 1. Sungai 2. Sumur/Air pompa 3. PAM PEMERIKSAAN FISIK 13. Berat badan (kg) :... Tinggi badan (cm) : Status gizi (IMT) : 1. Kurang 4. Risiko obesitas 2. Normal 5. Obesitas I 3. Lebih 6. Obesitas II 15. Kuku : 1. Bersih 2. Kotor Status Dermatologikus 16. Lokasi lesi : 1. Wajah 3. Lengan 2. Badan 4. Tungkai 17. Jumlah lesi : Luas/diameter lesi :...(mm 2 ) 19. Morfologi lesi : 1. Papul 2. Nodus 3. Vesikel 4. Bula 5. Pustul 6. Erosi 7. Ekskoriasi 8. Krusta 9. Koleret 10. Lain-lain Diagnosis : 1. Impetigo krustosa 2. Impetigo vesikobulosa 3. Folikulitis 4. Furunkel/furunkulosis Universitas*Indonesia*

101 81 5. Ektima\ 6. Dermatitis dengan infeksi sekunder 7. Skabies dengan infeksi sekunder 8. Infeksi pasca-trauma fisik/kimia 9. Lain-lain... LABORATORIUM 21. PEMERIKSAAN GRAM Hasil pemeriksaan Gram (bakteri) : 0. Jarang 1. Sedikit 2. Sedang 3. Banyak Hasil pemeriksaan Gram (epitel) : Hasil pemeriksaan Gram (leukosit) 0.Jarang 1. Sedikit 2. Sedang 3. Banyak : 0.Jarang 1. Sedikit 2. Sedang 3. Banyak 22. PEMERIKSAAN BIAKAN MIKROORGANISME DAN KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIK Mikroorganisme yang tumbuh :... Kepekaan terhadap antibiotik (S/I/R) : 1. Asam fusidat : S I R 2. Mupirosin : S I R 3. Kloramfenikol : S I R 4. Gentamisin : S I R 5. Eritromisin : S I R 6. Tetrasiklin : S I R 7. Neomisin : S I R Universitas*Indonesia*

102 82 8. Basitrasin : S I R 9. Klindamisin : S I R 10. Polimiksin : S I R FOTO LESI Foto Lesi KUNJUNGAN EVALUASI (7 HARI) Tanggal pemeriksaan : 23. Skor nyeri (0-10) : 0. Tidak nyeri 1. Nyeri ringan (skala VAS 1-3) 2.Nyeri sedang (skala VAS 4-6) 3.Nyeri berat (skala VAS 7-10) 24. Jumlah lesi : Luas/diameter lesi :...(mm 2 ) 26. Morfologi lesi : 1. Papul 2. Nodus 3. Vesikel 4. Bula 5. Pustul 6. Erosi 7. Ekskoriasi 8. Krusta 9. Koleret 10. Lain-lain Jenis obat yang dipakai : Krim A/B Universitas*Indonesia*

103 83 FOTO LESI Foto Lesi I. Uji coba diselesaikan seluruhnya : 1. Ya 2. Tidak Bila tidak, dihentikan karena : 1. Efek samping 2. Penderita tidak datang 3. Gagal karena lesi bertambah luas II. Apakah selanjutnya memerlukan : 1. Ya 2. Tidak pengobatan/tindakan lain Bila ya, yaitu : 1. Antibiotika topikal lain 2. Antibiotika sistemik 3. Lainnya. Universitas*Indonesia*

104 84 Lampiran 5: Cara pemakaian antibiotik Cara pemakaian antibiotik Bapak/Ibu selama mengikuti penelitian perlu memerhatikan cara pengolesan antibiotik sebagai berikut: 1. Mandi dua kali sehari (pagi dan sore) dengan air biasa dengan menggunakan sabun yang diberikan peneliti 2. Setelah mandi dilakukan pengolesan antibiotik. Jika kondisi kelainan kulit basah, dilakukan kompres dengan cairan yang diberikan oleh peneliti selama menit. 3. Krim antibiotik dikeluarkan sebanyak 1 finger tip unit (ujung jari telunjuk). Obat dioles tipis dan merata pada seluruh kelainan kulit. 4. Selalu isi catatan harian setelah pemakaian antibiotik 5. Selama penelitian, tidak boleh mengoleskan salep atau obat apapun pada kelainan kulit selain antibiotik yang diberikan 6. Selalu jaga kebersihan badan 7. Tidak konsumsi obat antibiotik, anti gatal, dan anti nyeri Universitas*Indonesia*

105 85 Lampiran 6: Lembar catatan harian CATATAN HARIAN PEMAKAIAN OBAT Nama : Tanggal kedatangan pertama : Tanggal kontrol : Tanggal Antibiotik pagi (jam) Antibiotik sore (jam) Universitas*Indonesia*

106 86 Lampiran 7: Informed consent RSCM RSUPNDr.CiptoMangunkusumo Jl.$Diponegoro$No.$71$Jakarta$10430$ $ $ $ $ Telp:$(021)$ $$$Fax:$(021)$ NRM : Nama : Jenis Kelamin : Tanggal lahir : (Mohondiisiatau tempelkan stiker jika ada) FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN (FORMULIR INFORMED CONSENT) Peneliti Utama Pemberi Informasi dr. Indah Widyasari dr. Indah Widyasari Penerima Informasi Nama Subjek Tanggal lahir / Usia Jenis kelamin Alamat No telp / HP No. Jenis Informasi Isi Informasi Tandai 1 Judul penelitian Perbandingan efektivitas terapi topikal antara asam fusidat 2% dengan mupirosin 2% pada pasien pioderma superfisialis di poliklinik kulit dan kelamin RSCM 2 Tujuan penelitian Membandingkan efektivitas terapi topikal 3 Cara penelitian antara asam fusidat 2% dengan mupirosin 2% pada pasien pioderma superfisialis di poliklinik kulit dan kelamin RSCM 1. Sebelum pemberian obat, akan dilakukan pemeriksaan kelainan kulit dengan menghitung jumlah dan mengukur luas. Lalu dilanjutkan dengan pengambilan sampel nanah dari dasar kelainan kulit. Bila kondisi kelainan basah dilakukan kompres dahulu sebelum Universitas*Indonesia*

107 87 pengambilan. Jika diperlukan, berdasarkan pertimbangan medis kelainan kulit yang mengandung nanah, terlebih dahulu akan dikeluarkan isinya, lalu dilakukan pengambilan nanah dengan kapas lidi steril yang dihapuskan pada dasar kelainan kulit. 2. Kapas lidi kemudian akan diletakkan dalam tabung khusus serta dioleskan ke atas kaca objek untuk kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) FKUI. 3. Kemudian diberikan lembar catatan harian dan petunjuk penggunaan obat. Selama satu minggu, akan diminta mengoleskan tipis krim antibiotik dua kali sehari setelah mandi serta tidak mengoleskan antibiotik atau obat apapun. 4. Kontrol satu minggu setelah pengolesan antibiotik. Saat kontrol, diharapkan membawa tube antibiotik dan lembar catatan harian yang telah diberikan sebelumnya dan akan kembali dilakukan pemeriksaan kulit. 5. Tidak diperkenankan mengoleskan bahan atau obat apapun pada tempat kelainan kulit. 6. Keikutsertaan penelitian ini dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan Universitas*Indonesia*

108 88 4 Risiko & efek samping 5 Manfaat penelitian termasuk manfaat bagi subjek penelitian Pengambilan sampel : nyeri Terapi topikal : reaksi hipersensitivitas Dapat diketahui efektivitas terapi topikal asam fusidat 2% dan mupirosin 2% pada pioderma superfisialis Mengetahui obat yang tepat terhadap kuman penyebab 6 Prosedur penelitian Setelah didiagnosis PS, lesi PS dihitung dan diukur, kemudian dilakukan pengambilan sampel nanah di poliklinik 7 Ketidaknyamanan subjek penelitian Muncul efek samping dari terapi topikal krim antibiotik (potential discomfort) 8 Alternatif penelitian Tidak ada 9 Penjagaan kerahasiaan data Seluruh data dan hasil pemeriksaan bersifat RAHASIA dan tidak untuk dipublikasikan. Publikasi berupa hasil pengolahan data secara keseluruhan 10 Kompensasi bila Pasien akan diobati sesuai prosedur terjadi efek samping 11 Nama dan alamat peneliti serta nomor telepon yang dapat dihubungi dr. Indah Widyasari Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM Jumlah subjek 42 orang 13 Bahaya potensial Tidak ada 14 Biaya yang timbul Rp ,- 15 Insentif bagi subjek Kompensasi: handuk dan sabun mandi Biaya Transportasi : Rp ,- Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh dr. Indah Widyasari dengan judul: Perbandingan efektivitas terapi topikal antara asam fusidat 2% dengan mupirosin 2% pada pasien pioderma superfisialis di poliklinik kulit dan kelamin RSCM Universitas*Indonesia*

109 89 RSCM RSUPNDr.CiptoMangunkusumo Jl.$Diponegoro$No.$71$Jakarta$10430$ $ $ $ $ Telp:$(021)$ $$$Fax:$(021)$ NRM : Nama : Jenis Kelamin : Tanggal lahir : (Mohondiisiatau tempelkan stiker jika ada) Dengan menandatangani formulir ini, saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian di atas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, Saya berhak membatalkan persetujuan ini. Tanda Tangan Subjek atau cap jempol Nama Subjek Tanggal Tanda Tangan Saksi/ Wali Nama Saksi/ Wali Tanggal Ket: Tanda tangan saksi/ wali diperlukan bila subjek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran, mengalami gangguan jiwa, dan berusia dibawah 18 tahun. Saya telah menjelaskan kepada subjek secara benar dan jujur mengenai maksud penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta resiko dan ketidaknyamanan potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang saya tandai diatas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan sebaik-baiknya. Tanda Tangan Peneliti dr. Indah Widyasari Tanggal Universitas*Indonesia*

110 90 Lampiran 8. Keterangan lolos kaji etik UI Universitas*Indonesia*

111 91 Lampiran 8. Keterangan lolos kaji etik RSCM Universitas*Indonesia*

PIODERMA. Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta

PIODERMA. Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta PIODERMA Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta DEFINISI Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI JUNI 2016

ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI JUNI 2016 ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI 2015- JUNI 2016 Pioderma merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman staphylococcus, streptococcus,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA POLA RESISTENSI BAKTERI DARI KULTUR DARAH TERHADAP GOLONGAN PENISILIN DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA (LMK-FKUI) TAHUN 2001-2006 SKRIPSI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA POLA RESISTENSI BAKTERI DALAM DARAH TERHADAP KLORAMFENIKOL, TRIMETHOPRIM/SULFAMETOKSAZOL, DAN TETRASIKLIN DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tingginya angka morbiditas pada anak-anak terutama di negara-negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tingginya angka morbiditas pada anak-anak terutama di negara-negara 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pioderma 2.1.1 Definisi Penyakit infeksi kulit masih merupakan masalah utama penyebab tingginya angka morbiditas pada anak-anak terutama di negara-negara berkembang dan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali Staphylococcus aureus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan penyakit infeksi ini dapat memberikan pengaruh terhadap penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati sebagai organisme individu, berpasangan, dan ireguler serta

Lebih terperinci

ABSTRAK PROFIL PENYAKIT PIODERMA PADA ANAK-ANAK SMP DI YAYASAN AL ISLAM HIDAYATULLAH KOTA DENPASAR, BALI

ABSTRAK PROFIL PENYAKIT PIODERMA PADA ANAK-ANAK SMP DI YAYASAN AL ISLAM HIDAYATULLAH KOTA DENPASAR, BALI ABSTRAK PROFIL PENYAKIT PIODERMA PADA ANAK-ANAK SMP DI YAYASAN AL ISLAM HIDAYATULLAH KOTA DENPASAR, BALI Infeksi kulit bakterial merupakan masalah kesehatan ketiga di Indonesia, infeksi kulit bakterial

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Fakultas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA .. UNIVERSITAS INDONESIA POLA KEPEKAAN BAKTERI GRAM NEGATIF DARI PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH TERHADAP ANTIBIOTIK GENTAMISIN DAN KOTRIMOKSAZOL DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK FKUI TAHUN 2001-2005 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, tidak bergerak ditemukan satu-satu, berpasangan, berantai pendek atau bergerombol, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan dinding

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya mikroorganisme yang normal pada konjungtiva manusia telah diketahui keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan populasi mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam

Lebih terperinci

PETA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA GANGREN DIABETIK DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI

PETA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA GANGREN DIABETIK DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI PETA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA GANGREN DIABETIK DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI Oleh: WULAN PRIATIWI K 100110108 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam PENDAHULUAN Latar Belakang Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam menghasilkan daging. Daging ayam merupakan jenis daging yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. atas. Akne biasanya timbul pada awal usia remaja.

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. atas. Akne biasanya timbul pada awal usia remaja. 1 BAB I A. Latar Belakang Penelitian Akne merupakan penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel pilosebasea yang ditandai dengan komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada wajah, leher,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi I. PENDAHULUAN Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen oportunistik penting yang menyebabkan infeksi nosokomial terutama pada pasien yang mengalami penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode cross sectional dengan cara mengambil data rekam medis di

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode cross sectional dengan cara mengambil data rekam medis di BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis Penelitian yang dilakukan adalah observasi analitik dengan menggunakan metode cross sectional dengan cara mengambil data rekam medis di rumah sakit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. Kolonisasi tidak menimbulkan gejala klinis hingga infeksi dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi

Lebih terperinci

ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA

ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA Alvita Ratnasari, 2011,Pembimbing 1 : Triswaty Winata, dr., M.Kes Pembimbing 2: Roys A. Pangayoman, dr., SpB., FInaCS. Madu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang World Health Organization (WHO) memperkirakan secara global setiap tahun terdapat 5 juta bayi meninggal pada usia empat minggu pertama kehidupannya, dengan 98% kematian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Infeksi adalah proses masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan tubuh, kemudian terjadi kolonisasi dan menimbulkan penyakit (Entjang, 2003). Infeksi Nosokomial

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 Maria F. Delong, 2013, Pembimbing I : DR. J. Teguh Widjaja, dr., SpP.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan masalah kesehatan global

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu. memproduksi endotoksin. Habitat alaminya adalah tanah, air dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu. memproduksi endotoksin. Habitat alaminya adalah tanah, air dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristika stafilokokus Bakteri ini merupakan flora normal pada kulit dan saluran pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu memproduksi endotoksin. Habitat alaminya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebagian besar virulensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik (Hvidberg et al., 2000). Infeksi saluran kemih (ISK)

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk berbagai keadaan tumbuh dan berkembangnya bakteri dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna (Lutter,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kulit Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan organ terbesar tubuh manusia. Luas kulit orang dewasa 1.5 meter persegi. Kulit merupakan organ yang vital

Lebih terperinci

lingkungan. Insidens penyakit infeksi kulit dipengaruhi oleh beberapa hal misalnya

lingkungan. Insidens penyakit infeksi kulit dipengaruhi oleh beberapa hal misalnya I. PENDAHULUAN Kulit merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai pertahanan yang terus menerus terpengaruh oleh lingkungan luar dan selalu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Insidens penyakit infeksi

Lebih terperinci

25 Universitas Indonesia

25 Universitas Indonesia 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui pola resistensi bakteri terhadap kloramfenikol, trimethoprim/ sulfametoksazol,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA KORELASI PERUBAHAN TEKANAN DARAH PRA DAN PASCADIALISIS DENGAN LAMA MENJALANI HEMODIALISIS PADA PASIEN HEMODIALISIS KRONIK DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO PADA BULAN FEBRUARI 2009

Lebih terperinci

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian (Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian 30,4% (Wilar, 2010). Pola kuman penyebab sepsis berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop atau mikroskop elektron.

BAB II TINJAUAN TEORI. kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop atau mikroskop elektron. BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Mikroorganisme Patogen Oportunis Mikroorganisme atau mikroba adalah makhluk hidup yang sangat kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop atau mikroskop elektron. Mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia adalah keberadaan bakteri pada darah yang dapat mengakibatkan sepsis (Tiflah, 2006). Sepsis merupakan infeksi yang berpotensi mengancam jiwa yang

Lebih terperinci

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIMIKROBA GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) PADA ACNE VULGARIS YANG TERINFEKSI Staphylococcus sp.

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIMIKROBA GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) PADA ACNE VULGARIS YANG TERINFEKSI Staphylococcus sp. ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) PADA ACNE VULGARIS YANG TERINFEKSI Staphylococcus sp. SECARA IN VITRO Arlene Angelina, 2010. Pembimbing I : Fanny Rahardja, dr., M.Si Pembimbing

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Subjek Penelitian Dari data pasien infeksi saluran kemih (ISK) yang diperiksa di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI pada jangka waktu Januari 2001 hingga Desember 2005

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat

I. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar dapat dialami oleh siapa saja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi

Lebih terperinci

ChyntiaBlog Annyeong haseyo terima kasih udah berkenan mengunjungi blog saya semoga bermanfaat dan menghibur :)

ChyntiaBlog Annyeong haseyo terima kasih udah berkenan mengunjungi blog saya semoga bermanfaat dan menghibur :) ChyntiaBlog Annyeong haseyo terima kasih udah berkenan mengunjungi blog saya semoga bermanfaat dan menghibur :) Minggu, 04 November 2012 Laporan Kasus IMPETIGO BULOSA BAB I PENDAHULUAN Impetigo merupakan

Lebih terperinci

POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH DI RSUD DR. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI

POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH DI RSUD DR. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH DI RSUD DR. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI Oleh: FINA TRIANA DEWI K 100110132 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat tinggi. Pneumonia merupakan penyakit radang akut paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan

Lebih terperinci

KARYA TULIS AKHIR PROFIL PENDERITA BARU PENYAKIT PIODERMA PADA UNIT RAWAT JALAN KULIT DAN KELAMIN RSUD GENTENG BANYUWANGI PERIODE JANUARI DESEMBER

KARYA TULIS AKHIR PROFIL PENDERITA BARU PENYAKIT PIODERMA PADA UNIT RAWAT JALAN KULIT DAN KELAMIN RSUD GENTENG BANYUWANGI PERIODE JANUARI DESEMBER KARYA TULIS AKHIR PROFIL PENDERITA BARU PENYAKIT PIODERMA PADA UNIT RAWAT JALAN KULIT DAN KELAMIN RSUD GENTENG BANYUWANGI PERIODE JANUARI DESEMBER 2009 Oleh: FRIESKA LAKSMITA 07020045 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tonsil merupakan organ tubuh yang berfungsi mencegah masuknya antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang masuk akan dihancurkan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah ruang lingkup disiplin ilmu kesehatan kulit. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian - Tempat penelitian : Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang. Habitat alami bakteri ini berada pada sistem usus manusia dan binatang. Enterobacteriaceae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga diseluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang ditemukan pada banyak populasi di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang ditemukan pada banyak populasi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan penyakit pada telinga yang merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang ditemukan pada banyak populasi di dunia

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERCULOSIS MULTI DRUG RESISTANCE DI KOTA SURABAYA TAHUN

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERCULOSIS MULTI DRUG RESISTANCE DI KOTA SURABAYA TAHUN KARAKTERISTIK PASIEN TUBERCULOSIS MULTI DRUG RESISTANCE DI KOTA SURABAYA TAHUN 2009-2013 SKRIPSI OLEH : Steven Hermantoputra NRP : 1523011019 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) yang disertai dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat

Lebih terperinci

SENSITIVITAS ANTIBIOTIK PADA PASIEN SEPSIS DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

SENSITIVITAS ANTIBIOTIK PADA PASIEN SEPSIS DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH SENSITIVITAS ANTIBIOTIK PADA PASIEN SEPSIS DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT DR. KARIADI SEMARANG PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2011 ANTIBIOTIC SENSITIVITY OF SEPSIS PATIENTS IN THE INTENSIVE CARE UNIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi neonatal merupakan penyebab penting morbiditas, lamanya tinggal di rumah sakit, dan kematian pada bayi. 1 Pola penyakit penyebab kematian menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lain (Jawetz dkk., 2013). Infeksi yang dapat disebabkan oleh S. aureus antara lain

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lain (Jawetz dkk., 2013). Infeksi yang dapat disebabkan oleh S. aureus antara lain BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus aureus merupakan bakteri komensal pada manusia yang ditemukan di kulit, kuku, hidung, dan membran mukosa. Bakteri ini dapat menjadi patogen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut merupakan nomeklatur Staphylococcus aureus :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut merupakan nomeklatur Staphylococcus aureus : 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Staphylococcus aureus 2.1.1 Nomenklatur Berikut merupakan nomeklatur Staphylococcus aureus : Kingdom (kerajaan) Phylum (filum) Class (kelas) Order (bangsa) Family (suku)

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Dari kurun waktu tahun 2001-2005 terdapat 2456 isolat bakteri yang dilakukan uji kepekaan terhadap amoksisilin. Bakteri-bakteri gram negatif yang menimbulkan infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah yang bersifat akut, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : infeksi jamur subkutan adalah infeksi jamur yang secara langsung masuk ke dalam dermis atau jaringan subkutan melalui suatu trauma.

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN LAMPU WOOD PADA PASIEN DERMATOSIS DI RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI

PEMERIKSAAN LAMPU WOOD PADA PASIEN DERMATOSIS DI RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI PEMERIKSAAN LAMPU WOOD PADA PASIEN DERMATOSIS DI RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI Oleh: Nama : Monica Goenawan NRP : 1523012041 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN IDENTIFIKASI DAN POLA KEPEKAAN BAKTERI YANG DIISOLASI DARI URIN PASIEN SUSPEK INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN Oleh : ESTERIDA SIMANJUNTAK 110100141 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit perawatan intensif (UPI), khususnya pada

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA POLA KEPEKAAN BAKTERI GRAM NEGATIF PADA INFEKSI SALURAN NAPAS BAWAH TERHADAP SEFTRIAKSON DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2001-2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrokistik terus meningkat,

BAB 1 PENDAHULUAN. pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrokistik terus meningkat, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mastitis merupakan infeksi pada parenkim payudara yang dapat terjadi pada masa nifas. Mastitis biasanya terjadi pada salah satu payudara dan dapat terjadi pada minggu

Lebih terperinci

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar.

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar. Kehadiran Candida sebagai anggota flora komensal mempersulit diskriminasi keadaan normal dari infeksi. Sangat penting bahwa kedua temuan klinis dan laboratorium Data (Tabel 3) yang seimbang untuk sampai

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan bakteri

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif

Lebih terperinci

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

PENGARUH INTERVENSI MUSIK KLASIK MOZART DIBANDING MUSIK INSTRUMENTAL POP TERHADAP TINGKAT KECEMASAN DENTAL PASIEN ODONTEKTOMI

PENGARUH INTERVENSI MUSIK KLASIK MOZART DIBANDING MUSIK INSTRUMENTAL POP TERHADAP TINGKAT KECEMASAN DENTAL PASIEN ODONTEKTOMI PENGARUH INTERVENSI MUSIK KLASIK MOZART DIBANDING MUSIK INSTRUMENTAL POP TERHADAP TINGKAT KECEMASAN DENTAL PASIEN ODONTEKTOMI LAPORAN AKHIR HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

SKRIPSI GAMBARAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK USIA 0-12 TAHUN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK DI RUMAH SAKITGOTONG ROYONG SURABAYA

SKRIPSI GAMBARAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK USIA 0-12 TAHUN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK DI RUMAH SAKITGOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI GAMBARAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK USIA 0-12 TAHUN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK DI RUMAH SAKITGOTONG ROYONG SURABAYA Oleh : Venerabilis Estin Namin 1523013024 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIBAKTERIAL EKSTRAK ETANOL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO TAHUN 2014

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIBAKTERIAL EKSTRAK ETANOL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO TAHUN 2014 ABSTRAK AKTIVITAS ANTIBAKTERIAL EKSTRAK ETANOL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO TAHUN 2014 Josephine Widya Wijaya, 2014. Pembimbing: Roro Wahyudianingsih, dr., SpPA.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah utama dalam bidang ilmu kedokteran saat ini terkait erat dengan kejadian-kejadian infeksi. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya data-data yang memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pneumonia merupakan suatu peradangan pada paru yang dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, maupun parasit. Sedangkan peradangan

Lebih terperinci

B A B 1 PENDAHULUAN. menginfeksi manusia. Menurut Tuula (2009), bakteri ini berada di kulit (lapisan

B A B 1 PENDAHULUAN. menginfeksi manusia. Menurut Tuula (2009), bakteri ini berada di kulit (lapisan B A B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Streptococcus β hemolyticus Grup A atau yang disebut juga dengan Streptococcus pyogenes merupakan salah satu bakteri patogen yang banyak menginfeksi manusia. Menurut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien rawat jalan yang memiliki penyakit infeksi bakteri pada

Lebih terperinci