POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY"

Transkripsi

1 POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Begor Oleh : Selvi Chelya Susanty E DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

3 RINGKASAN Selvi Chelya Susanty (E ). Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api. Dibimbing oleh Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. Saat ini keadaan hutan di Indonesia semakin lama semakin rusak. Dari segi kecepatan perusakan dan akibat yang ditimbulkan, kebakaran merupakan salah satu faktor perusak yang paling membahayakan. Oleh karenanya perlu dilakukan penanggulangan terhadap kebakaran hutan, antara lain dengan dikembangkannya suatu sistem yang dapat menduga tingkat bahaya kebakaran (fire danger) disuatu daerah hutan pada saat tertentu (terutama pada musim kebakaran). Untuk itu diperlukan penilaian bahaya kebakaran (fire danger rating) dari berbagai unsur yang meliputi unsur bahan bakar, cuaca dan sumber api kebakaran. Bahaya kebakaran ini digunakan sebagai dasar dalam melakukan peringatan dini, baik untuk pencegahan, persiapan pemadaman, maupun pemadamannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis curah hujan di TNGP dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ( ) kaitannya dengan tingkat kerawanan terjadinya kebakaran hutan, serta mengkaji potensi sumber api yang menjadi penyebab kebakaran hutan di TNGP. Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung Bogor, pada bulan September-November Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kebakaran hutan yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun , data sekunder mengenai TNGP dan Desa Sukaresmi, data curah hujan bulanan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ( ) dan pada tahun 1997 (saat terjadi el-nino), daftar pertanyaan untuk wawancara mendalam bagi masyarakat dalam kaitannya dengan cara pembersihan lahan, serta daftar kuisioner untuk mengumpulkan data mengenai perilaku pengunjung dalam penggunaan api di dalam kawasan TNGP. Berdasarkan nilai curah hujan selama 5 tahun ( ) dengan nilai rata-rata curah hujan tahunan mencapai 3226 mm maka kawasan TNGP termasuk ke dalam kategori tidak rawan terhadap bahaya kebakaran. Peristiwa kebakaran di TNGP disebabkan oleh 100% ulah manusia antara lain pembuatan perapian di hutan oleh masyarakat, pengunjung, dan/atau pemburu liar; pembuatan arang oleh masyarakat, dan adanya aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat; serta didukung oleh kondisi lingkungan (seperti kondisi iklim yang kering pada musim kemarau, pengaruh El-Nino, dan masih aktifnya Gunung Gede). Potensi sumber api dari masyarakat dalam kegiatan pembersihan lahan dengan menggunakan api dinilai kecil karena masyarakat sudah menggunakan teknik pembakaran terkendali dan pembersihan lahan yang lebih ramah lingkungan. Sedangkan perapian dari pendaki berpotensi menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.

4 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP : Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api : Selvi Chelya Susanty : E Menyetujui Dosen Pembimbing Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. NIP Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan IPB Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr Tanggal Lulus:

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skipsi ini. Bogor Februari 2009 Selvi Chelya Susanty NRP E

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 2 April 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Syarif Hidayat dan Emi Suhaemi. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Masuk Bersama (SPMB). Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Sosial Politik Ekonomi Forest Management Student Club (FMSC) tahun , staf Komisi Internal Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tahun , staf Departemen Sosial Kemasyarakatan DKM Al-Hurriyyah ( ), staf DKM Ibaadurrahmaan selama 2 periode ( ), dan ketua Komisi Khusus Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tahun Selama perkuliahan penulis telah melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Getas Ngawi pada tahun 2007 yang merupakan kerjasama antara Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Kemudian dilanjutkan dengan Praktek Umum Kehutanan di Baturaden-Cilacap. Selain itu penulis juga berkesempatan melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, Lampung pada tahun Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api dibawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.

7 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan izin-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi ini dengan baik. Selama melakukan penyusunan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Syarif Hidayat dan ibunda Emi Suhaemi, adikku Serli, dan saudaraku Sena atas segala do a dan kasih sayangnya. 2. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan berharga dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. 3. Ir. Sucahyao Sudyo, MS sebagai dosen penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Nandi Sumaryandi, M.Sc.F sebagai dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 4. Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atas bantuan data dalam penyusunan skripsi ini, juga volunteer Montana atas bantuannya. 5. Bapak Wardana yang telah memberikan bantuannya. 6. Temanku Gayatri yang selalu bersedia menemani selama penelitian, dan juga Tuti, Alfia, serta Macik atas bantuan secara langsung dalam penelitian ini. 7. Rekan-rekan seperjuangan di Fahutan khususnya 41 dan adaik-adikku 42, 43, 44, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak mungkin disebut satu persatu, semoga Allah SWT mencatatnya sebagai suatu kebaikan di sisi-nya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, Februari 2009 Penulis

8 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iv v vi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Manfaat... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Faktor Penyebab Kebakaran Cuaca Kebakaran Hutan Penilaian Kebakaran Huttan (Fire Danger Rating) III. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Data Prosedur Pengumpulan Data Jenis Data Metode Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Desa Sukaresmi... 19

9 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kejadian Kebakaran di TNGP Potensi Kebakaran di TNGP Curah Hujan Pembersihan Lahan Masyarakat Pembuatan Perapian oleh Pendaki VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 45

10 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kondisi Kelas Kelerengan Kawasan TNGP Sebelum Perluasan Kondisi Iklim Kawasan TNGP Kondisi Geografis Desa Sukaresmi Jumlah dan Kepadatan Penduduk Komposisi Penduduk Menurut Matapencaharian Kejadian Kebakaran Hutan di TNGP Tahun Rincian Kejadian Kebakaran Hutan pada Tahun Kondisi Curah Hujan Tahun di Lokasi Penelitian Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Curah Hujan... 26

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema Kerangka Penelitian Segitiga Api Peta Lokasi Penelitian Peta Geologi Kawasan TNGP Jumlah Bulan Kering di Lokasi Penelitian pada Tahun Curah Hujan Bulanan pada Tahun 1997 di Lokasi Penelitian Sampah Organik Sisa Tnaman Buncis Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Beberapa Tumpukan Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Satu Tumpukan Alat yang Digunakan dalam Pembersihan Lahan Sampah di Pinggir Larikan untuk Pembersihan Lahan dengan Penimbunan Bekas Pembuatan Perapian di TNGP Persentase Pengetahuan Pendaki akan Larangan Membuat Api Unggun Persentase Pendapat akan Larangan Membuat Api Unggun Persentase Alat Penerangan yang Digunakan Selama Berkemah Persentase Responden yang Pernah Membuat Perapian di TNGP Persentase Responden akan Pembuatan Api Unggun Persentase Tindakan Pencegahan yang Dilakukan Pendaki Persentase Keadaan Perapian Saat Ditinggalkan Pendaki Persentase Cara Yang Digunakan Pendaki untuk Memadamkan Perapian... 43

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor Desa Penyangga di Wilayah TNGPB Tahun Jumlah Pengunjung TNGP Tahun Ketentuan Umum Pendakian Gunung Gede Pangrango... 54

13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Hutan merupakan sumber daya alam anugrah Allah SWT yang memiliki nilai penting bagi kehidupan manusia, yang harus dilindungi serta dimanfaatkan secara bijak dan lestari bagi pembangunan yang berkelanjutan. Peranan hutan yang utama adalah sebagai pelindung ekosistem, sebagai sumber devisa negara dan mempunyai peranan langsung terhadap kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian hutan mempunyai peranan yang sangat luas baik dari aspek perlindungan ekosistem, sosial ekonomi, dan budaya (Haeruman 1988). Keadaan hutan Indonesia semakin lama semakin rusak dimana banyak faktor yang menyebabkan kerusakan hutan tersebut, dan salah satunya adalah kebakaran hutan. Dari segi kecepatan perusakan dan pengaruh yang ditimbulkannya kebakaran hutan dapat digolongkan sebagai faktor perusak hutan yang paling membahayakan. Api dari kebakaran hutan dalam waktu yang relatif singkat dapat melanda beberapa hektar, puluhan, bahkan sampai ribuan hektar kawasan hutan. Selain itu, api pun dapat menjalar ke luar kawasan hutan. Berdasarkan penyebabnya kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam berkaitan dengan iklim, kondisi lahan dan sumber bahan bakar. Sedangkan kebakaran yang disebabkan faktor manusia dapat terjadi karena disengaja (pembakaran hutan) maupun tidak disengaja (unsur kelalaian). Taman Nasional sebagai kawasan konservasi memilki fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta sebagai pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Mengingat begitu pentingnya peranan Taman Nasional maka diperlukan tindakan pencegahan terhadap berbagai gangguan yang terjadi di Taman Nasional, khususnya dari kebakaran hutan. Untuk dapat melakukan pencegahan kebakaran hutan perlu dikembangkan suatu sistem yang dapat menduga tingkat bahaya kebakaran (fire danger) disuatu daerah hutan pada saat tertentu (terutama pada musim kebakaran). Untuk itu

14 diperlukan penilaian bahaya kebakaran (fire danger rating) dari berbagai unsur yang meliputi unsur bahan bakar, cuaca dan sumber api kebakaran. Tingkat bahaya kebakaran ini digunakan sebagai dasar dalam melakukan peringatan dini, baik untuk pencegahan, persiapan pemadaman, maupun pemadamannya. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dari beberapa unsur penilaian bahaya kebakaran meliputi unsur cuaca (berupa curah hujan) dan sumber api kebakaran. Sumber api kebakaran dilakukan dengan mengkaji cara masyarakat setempat dalam melakukan pembersihan lahan dan perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan hutan kaitannya terhadap potensi terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

15 1.2. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang serta hal yang ingin dicapai, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat terlihat dalam gambar berikut: Potensi Kebakaran Hutan di TNGP Penyebab (Sumber Api) Faktor Pendukung Alam Manusia - kondisi iklim yang kering - pengaruh El-Nino - masih aktifnya Gunung Gede Sengaja Tidak Sengaja - Api dari pembuatan arang oleh masyarakat. - Pemburu liar/ masyarakat masuk kawasan tanpa ijin dan membuat perapian di hutan. - Pembuatan perapian oleh pengunjung. - Masyarakat membuat perapian dan menjalar. - Membuang puntung rokok sembarangan. Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian

16 1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis curah hujan di TNGP dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ( ) dalam kaitannya dengan tingkat kerawanan terjadinya kebakaran hutan. 2. Mengkaji potensi sumber api yang menjadi penyebab kebakaran hutan di TNGP Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berdasarkan kondisi cuaca (berupa curah hujan) dan berdasarkan sumber api kebakaran, guna mendukung upaya kegiatan pencegahan terutama deteksi kebakaran hutan serta tindakan yang perlu diambil dalam pengendalian kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan adalah peristiwa pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan. Bahan bakar yang ada di hutan itu sendiri sangat beragam dan tersebar dari lantai hutan hingga puncak pohon dan lapisan tajuk hutan, yang kesemuanya merupakan bagian dari biomassa hutan. Bahan bakar yang ada di dalam hutan dapat berupa serasah, rumput, ranting/cabang, pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan, dan pohon-pohon (Suratmo et al. 2003). Sedangkan menurut Sahardjo (2003), kebakaran hutan yaitu setiap kebakaran yang bukan dilakuakan secara sengaja pada areal-areal yang tidak direncanakan. Apabila kebakaran terjadi karena adanya unsur kesengajaan, maka tidak disebut kebakaran melainkan pembakaran. Cauntryman (1975) diacu dalam DeBano, Neary dan Ffollot (1998) menyatakan bahwa ada tiga komponen penting yang diperlukan untuk api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran, yaitu (1) tersedianya bahan bakar yang dapat terbakar; (2) panas yang cukup untuk digunakan dalam menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan; (3) diperlukan adanya suplai O 2 yang cukup dalam menjaga proses pembakaran agar tetap berlangsung dan untuk mempertahankan suplai panas yang cukup dan memungkinkan terjadinya pembakaran bahan bakar yang sulit terbakar. Ketiga komponen tersebut (bahan bakar, panas dan O 2) membentuk segitiga api atau The Fire Triangle (Brown dan Davis, 1973) yang digambarkan sebagai berikut : Oksigen (O 2 ) API Bahan bakar Sumber panas Gambar 2 Segitiga api (Brown dan Davis, 1973)

18 Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis, yang dapat dijelaskan dengan rumus kimia sebagai berikut : Proses Fotosintesis : 6CO 2 + 6H 2 O + Energi Matahari (C 6 H 12 O 6 ) n + 6O 2 Proses Pembakaran : (C 6 H 12 O 6 ) n + 6O 2 + kindling temperatur 6CO 2 + 6H 2 O + Energi Panas 2.2. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan Secara garis besar kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Adapun faktor alam dapat terjadi karena petir, batu bara, dan gesekan kayu. Sedangkan faktor manusia diantaranya sengaja membakar, puntung rokok yang disambung dengan botol yang berisi minyak tanah untuk penyulut api, konflik sosial, api unggun, operasi pembalakan (Sahardjo 2003). Sebagai faktor alam, api dari petir sangat kecil menjadi penyebab kebakaran hutan Indonesia. Sebagai negara dengan curah hujan tinggi, di Indonesia bila ada petir maka akan disertai turunnya hujan, sehingga dapat langsung memadamkan api bila sempat terjadi nyala api akibat petir. Faktor cuaca pernah melatarbelakangi terjadinya kebakaran hutan tahun dan 2002, yaitu karena adanya pengaruh kemarau panjang akibat El-Nino. Di Indonesia kejadian alam yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan jarang terjadi. Kebakaran hutan oleh faktor manusia kasusnya akan menjadi lebih kompleks. Dalam hal ini faktor sosial ekonomi dan ketidaktahuan penduduk merupakan pendorong utama atas terjadinya kebakaran hutan (Mangandar 2000). Kebakaran hutan di Indonesia menurut Asian Development Bank (ADB) tahun 1997/1998 diacu dalam Sumantri (2003) disebabkan 99% oleh perbuatan manusia dan 1% oleh faktor alam. Kasus kebakaran akibat manusia dapat terjadi karena disengaja (pembakaran hutan) maupun tidak disengaja (unsur kelalaian). Pembakaran hutan umumnya dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu, yang sering sekali sangat kompleks dan sukar untuk ditelusuri. Hal ini yang menyulitkan upaya pendekatan untuk penanggulangan masalah kebakaran hutan.

19 Siswanto (1993) mengungkapkan beberapa motivasi manusia untuk menimbulkan api di hutan bermacam-macam, misalnya: a. Perladangan berpindah, yang masih merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang hidup di dalam hutan. b. Pembakaran alang-alang dalam rangka melaksanakan reboisasi di lahan kritis, yang seringkali atau terkadang tidak dapat dikendalikan lagi sehingga berakibat pada terjadinya kebakaran yang luas. c. Pembakaran alang-alang pada padang penggembalaan dengan tujuan mendapatkan rumput-rumput baru yang segar sebagai pakan ternak. d. Perburauan binatang liar di hutan yang sering tejadi dan umumnya disertai dengan membuat sumber api, baik untuk menghangatkan diri ataupun untuk merangsang hewan buruan. e. Rekreasi dan perkemahan di hutan yang kurang hati-hati sehingga dapat mengakibatkan menjalarnya sisa sumber api yang ditinggalkan. f. Khusus untuk hutan di Pulau Jawa sering dijumpai adanya unsur kesengajaan membakar hutan sebagai akibat dari adanya rasa sakit hati kepada petugas pengelola hutan, pengalihan perhatian petugas untuk mempermudah pengambilan rencek (kayu bakar), merangsang turunnya hujan dan sebagainya Cuaca Kebakaran Hutan Sebagai salah satu unsur segitiga lingkungan api, iklim dan/atau cuaca memegang peran sangat penting dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Chandler et al. (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah. Menurut Syaufina (2008) iklim atau cuaca mempengaruhi kebakaran hutan secara berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kebakaran yang panjang, mengatur kadar air dan flamabilitas dari bahan bakar mati, mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran bahan bakar hutan.

20 Cuaca kebakaran (Fire Weather) adalah kondisi cuaca yang mempengaruhi awal munculnya api dan penjalarannya. Beberapa faktor cuaca atau iklim yang berpengaruh diantaranya : Suhu Udara Menurut Chandler et al. (1983) suhu udara merupakan salah satu indikator dari kondisi bahan bakar hutan untuk menyala dan kecepatan pembakaran. Suhu bahan bakar dipengaruhi oleh penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan sekitarnya. Daerah yang mempunyai suhu tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran terutaman jika terjadi pada musim kemarau panjang. Suhu udara selanjutnya merupakan faktor pengatur perubahan tekanan udara, kelembaban udara dan evaporasi. Peningkatan suhu udara di suatu tempat menyebabkan penurunan kerapatan udara yang akan diikuti oleh penurunan tekanan. Hal sebaliknya terjadi pada suhu udara menurun. Peningkatan suhu udara juga menyebabkan peningkatan kapasitas udara menampung uap air, sehingga walaupun jumlah molekul uap tetap kelembaban relatif akan menurun jika suhu udara meningkat. Peningkatan suhu udara juga akan meningkatkan evaporasi, karena turunnya kelembaban (RH) akan meningkatkan defisit tekanan uap yang merupakan salah satu pembangkit penguapan. Suhu akan berangsur-angsur turun dengan meningkatnya ketinggian tempat, sehingga banyaknya satuan panas berbeda-beda. Ada 3 alasan yang menyebabkan kejadian ini, yaitu : 1. sumber pemanasan utaman udara adalah bumi. 2. kerapatan uap air menurun dengan menurunnya ketinggian, jadi panas sedikit dapat disimpan di udara. 3. suhu menurun yang merupakan hasil ekspansi dari udara yang naik dari permukaan bumi. Menurut Sahardjo (2003), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20 C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada titik. Sementara siang hari dengan suhu

21 30-35 C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-rubah karena pengaruh angin Kelembaban Udara Menurut Fuller (1991), di dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini dikarenakan kelembaban (kadar air udara) dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin sedikit kadar air di udara (RH kecil) maka semakin mudah bahan bakar mengering. Kelembaban udara dari siang hari berkisar antara % akan membuat proses kebakaran berlangsung cepat karena kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%), sebaliknya pada pagi hari kelembaban relatif tinggi yaitu sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik Curah Hujan Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (millimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar juga akan tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran (Septicorini 2006). Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi dengan kejadian kebakan hutan dan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan akumulasi bahan bakar rerumputan (van Wilgen et al. 1990; Soares dan Sampaio 2000). Hamzah (1985) diacu dalam Triani (1995) menyatakan bahwa faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat lainnya. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.

22 Angin Menurut Chandler et al. (1983) angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong meningkatkan pembakaran dengan mensuplai udara secara terus-menerus dan peningkatkan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar Penilaian Bahaya Kebakaran Hutan (Fire Danger Rating) Penilaian bahaya kebakaran hutan (Fire Danger Rating) diartikan sebagai sutu sistem manajemen pemberantasan kebakaran yang disesuaikan atau diintegrasikan dengan pengaruh atau akibat dari faktor-faktor bahaya kebakaran yang dinyatakan dalam satu atau lebih nilai kualitatif atau indeks dari keperluan cara perlindungan (Suratmo 1985). Lebih lanjut Suratmo menyatakan bahwa untuk menentukan nilai bahaya kebakaran hutan, diperlukan sejumlah elemen bahaya kebakaran hutan yang terdiri atas elemen tetap (iklim, radiasi matahari, keadaan vegetasi, jumlah dan sifat bahan bakar, tanah, topografi, altitude, penyebab kebakaran kebakaran, nilai kerusakan, gejala yang tampak, serta organisasi tim pemberantas kebakaran) dan elemen tidak tetap (kadar air bahan bakar, angin, temperatur udara, tekanan udara, keadaan udara lapisan atas, hujan, air tanah, serta kelembaban). Menurut Husaeni (1988) diacu dalam Husaeni (1994), penilaian bahaya kebakaran merupakan kegiatan penting dalam pengendalian kebakaran hutan (Fire control). Apabila tingkat bahaya kebakaran di daerah hutan tertentu pada suatu waktu dapat diketahui, maka persiapan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dapat direncanakan dengan seksama dan tepat. Selanjutnya Husaeni menjelaskan bahwa bahaya kebakaran (Fire danger) adalah resultante dari faktor-faktor tetap dan faktor-faktor berubah yang menentukan terjadinya nyala api, penjalaran api, kerusakan yang mungkin terjadi, dan menentukan pula tingkat kesukaran dalam pemadamannya. Faktor-faktor berubah adalah faktor-faktor yang selalu berubah secara harian, musiman, dan

23 tahunan, seperti semua unsur cuaca, kadar air bahan bakar, dan variasi penyebab kebakaran. Bahaya kebakaran mencakup risk dan hazard. Risk adalah peluang atau kemungkinan terjadinya nyala api, yang ditentukan oleh ada tidaknya faktor penyebab kebakaran (sumber api). Hazard merupakan istilah yang digunakan pada bahan bakar yang menimbulkan ancaman, baik dalam hal kesukaran pemadaman bila terbakar maupun kemungkinan untuk terbakar karena lokasinya. Kadar air bahan bakar merupakan faktor penentu bahaya kebakaran karena merupakan indikator kemudahan bahan bakar terbakar. Kadar air dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dengan membuat korelasi dengan unsur-unsur cuaca tertentu. Arah dan kecepatan angin merupakan faktor lain yang penting karena mempengaruhi arah dan kecepatan penjalaran api. Penilaian bahaya kebakaran (Fire Danger Rating) adalah proses penilaian, dalam bentuk angka indeks, dari bahaya kebakaran berdasarkan pengukuran integral dari unsur pokok, baik alami maupun disebabkan oleh manusia. Pengintegrasian biasanya dilakukan dengan menggunakan fire danger meter. Tujuan penilaian bahaya kebakaran menurut Deeming (1995) adalah untuk menyediakan informasi mengenai nyala vegetasi pada daerah yang rawan untuk mendukung upaya kegiatan pencegahan dan deteksi kebakaran, kesiap-siagaan tenaga pemadaman kebakaran dan tindakan yang perlu segera diambil bila ada laporan kebakaran.

24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan Desa Sukaresmi kecamatan Megamendung, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3. BOGOR Ciawi Gadog Peta Petunjuk Lokasi Jawa Barat Serang JAKARTA Tangerang Bekasi Pandeglang Rangkasbitung Karawang Indramayu Bogor Purwakarta Subang Cianjur Cirebon Sumedang DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Jl. Raya Cibodas-Cipanas Cianjur KETERANGAN Cisarua TNGP Sukabumi Majalengka BANDUNG Kuningan Garut Tasikmalaya Ciamis Kuarter Vulkanik Gegerbentang Kuarter Vulkanik pangranggo Muda Tapos Cisarua Gunung Mas Puncak Kuarter Vulkanik Gede Cimande Cimacan Kuarter Vulkanik Pangranggo Tua Cicurug Bodogol TNGP G.Pangrago G. Masigit G. Gede Cibodas Gn. Putri Sarongge Cipanas Kuarter Vulkanik Larva Gede Kuarter Vulkanik Gede Muda Batas Kabupaten Jalan Raya/kabupaten/Desa Nagrak Gedeh CIANJUR Cimungkat Situgunun g Selabintana PETA GEOLOGI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Cibadak Gekbrong Warung Kondang N Karang Tengah Cisaat SUKABUMI Sukaraja Keterangan : : Desa Sukaresmi Sumber : Statistik TNGGP 2007 Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Data Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Data kebakaran hutan yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun b. Data sekunder mengenai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Desa Sukaresmi.

25 c. Data cuaca berupa curah hujan bulanan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (tahun ), dan pada tahun 1997 (saat terjadi el-nino) d. Daftar pertanyaan untuk wawancara mendalam bagi masyarakat dalam kaitannya dengan cara pembersihan lahan. e. Daftar kuisioner untuk mengumpulkan data mengenai perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan TNGP Prosedur Pengumpulan Data Jenis Data Data yang digunakan terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud yaitu data-data yang diperoleh melalui wawancara, kuisioner, dan pengamatan langsung di lapangan yang meliputi: cara pembersihan lahan oleh masyarakat, dan perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan TNGP. Sedangkan data sekunder yang digunakan antara lain: data kebakaran hutan di TNGP, data sekunder mengenai TNGP dan desa Sukaresmi, data curah hujan bulanan di TNGP pada tahun 1997 dan tahun , serta data-data pendukung lainnya Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap masyarakat desa Sukaresmi, petugas TNGP, dan Satgas Polhut; melalui kuisioner yang diberikan kepada para pendaki TNGP; serta observasi lapang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), serta Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Untuk mengetahui kaitan kebakaran hutan dengan pembersihan lahan oleh masyarakat sekitar maka dilakukan wawancara mendalam mengenai cara pembersihan lahan yang dilakukan masyarakat sekitar. Wawancara di lakukan terhadap masyarakat yang berladang yang ada di desa Sukaresmi, yaitu salah satu desa di sekitar kawasan TNGP dimana pernah terjadi kebakaran hutan pada lokasi yang berbatasan dengan desa tersebut dan kebakaran diperkirakan terjadi akibat pembersihan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Cara

26 mendapatkan responden/ informan dilakukan dengan teknik bola salju (snawball method), dimana dalam teknik ini peneliti pada awalnya mengenal beberapa informan kunci dan meminta mereka memperkenalkannya pada responden lain. Menurut Sitorus (1998), subjek penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi tentang dirinya yang mencangup pendapat, perasaan, dan tindakan yang dilakukan. Sedangkan untuk mengetahui perilaku pendaki dalam kaitannya dengan potensi kebakaran hutan di TNGP dilakukan melalui pemberian kuisioner kepada para pendaki yang berkaitan dengan perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan. Adapun banyaknya pendaki yang dijadikan responden adalah sebanyak 30 orang, dimana intensitas sampling yang digunakan adalah 37,5 %. Menurut Gay (1981) diacu dalam Ruseffendi (1994) bahwa untuk penelitian deskriptif sampel minimum adalah 10% dari populasi dan untuk populasi yang lebih kecil sebesar 20%. Jumlah populasi diperoleh dari rata-rata jumlah pendaki yang datang ke TNGP setiap harinya dari data jumlah pendaki pada tahun Data curah hujan bulanan TNGP diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika yang diambil dari pengamatan curah hujan di stasiun pengamatan terdekat yang terletak di Gunung Mas Pengolahan dan Analisis Data Penilaian potensi kebakaran di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dilakukan melaui analisis data dan mendeskripsikannya sehingga diperoleh gambaran kondisi curah hujan, kegiatan pembersihan lahan masyarakat, dan perilaku penggunaan api oleh pendaki dalam kaitannya dengan potensi kebakaran hutan di TNGP.

27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) Keadaan Umum Kawasan Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, pariwisata dan rekreasi. TNGP sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA), mempunyai tugas dan fungsi utama didalam melindungi sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan menyediakan sumber daya alam hayati untuk pemanfaatan secara berkelanjutan sesuai dengan amanat yang terkandung didalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Undang-Undang No. 41 tahun Kawasan yang dikelola secara intensif ini menjadikannya memiliki sumber daya hutan yang relatif masih terjaga dengan baik serta menjadi harapan dan benteng terakhir keberadaan hutan di Jawa Barat. TNGP memiliki luas kawasan Ha dan sesuai dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGP mengalami perluasan dari Perum Perhutani menjadi Ha (Statistik Balai TNGP, 2007). a. Letak Secara geografis TNGP terletak antara 106º º 02 BT dan 6º 41-6º 51 LS dan secara administratif pemerintahan, wilayah TNGP mencakup 3 Kabupaten, yaitu : Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Batas kawasan ini: Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Sukabumi Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Cianjur b. Topografi Topografi TNGP bervariasi mulai dari landai hingga bergunung, dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan 3000 m dpl. Jurang dengan kedalaman

28 sekitar 70 m banyak dijumpai di kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil lagi merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong. Pada bagian Selatan kawasan yaitu daerah Situgunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit (seperti bukit masigit) dengan kelerengan %. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ± meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Data kelas lereng kawasan TNGP seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Kondisi kelas kelerengan kawasan TNGP sebelum perluasan Simbol Kelas Lereng Luas Prosentase Keterangan (%) (ha) (%) A 0 3 % 227,94 1,5 Datar B 3 8 % 531,86 3,5 Landai C 8 15 % 759,80 5 Berombak D % 2.127,44 14 Bergelombang E % 4.102,92 27 Berbukit F > 40 % 7.446,04 49 Bergunung JUMLAH , Luas Total TNGP Sumber : Statistik Balai TNGP 2007 c. Geologi dan Vulkanologi Gunung Gede dan Gunung Pangrango merupakan bagian rangkaian gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, terbentuk sebagai akibat pergerakan lapisan kulit bumi secara terus menerus selama periode kuarter, sekitar 3 juta tahun lalu, dan dalam skala waktu geologi kedua gunung termasuk ke dalam golongan gunung muda. Gunung Gede dan Pangrango telah mengalami beberapa kali letusan, dan letusan terakhir terjadi pada tanggal 13 Maret 1957 pukul WIB disertai suara gemuruh dan awan dengan ketinggian 3 Km. Gunung Gede adalah salah satu dari 35 gunung api yang masih aktif pada jalur ini, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati karena tidak terdapat tanda-tanda keaktifannya

29 (Statistik Balai TNGP, 2007). Keadaan geologi kawasan TNGP telah terpetakan seperti pada Gambar 4. Peta Petunjuk Lokasi Jawa Barat BOGOR Ciawi Gadog Serang JAKARTA Tangerang Bekasi Pandeglang Rangkasbitung Karawang Indramayu Bogor Purwakarta Subang Cianjur Cirebon Sumedang DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Jl. Raya Cibodas-Cipanas Cianjur KETERANGAN Cisarua TNGP Sukabumi Majalengka BANDUNG Kuningan Garut Tasikmalaya Ciamis Kuarter Vulkanik Gegerbentang Kuarter Vulkanik pangranggo Muda Tapos Cisarua Gunung Mas Puncak Kuarter Vulkanik Gede Cimande Cimacan Kuarter Vulkanik Pangranggo Tua Cibodas Cipanas Kuarter Vulkanik Larva Gede Kuarter Vulkanik Gede Muda Gn. Putri Cicurug Bodogol G.Pangrago Sarongge Batas Kabupaten Jalan Raya/kabupaten/Desa G. Masigit G. Gede Nagrak Gedeh CIANJUR Cimungkat Situgunun g Selabintana PETA GEOLOGI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Cibadak Gekbrong Warung Kondang N Karang Tengah Cisaat Sumber : Statistik Balai TNGP SUKABUMI 2007 Sukaraja d. Iklim Gambar 4 Peta geologi kawasan TNGP Berdasarkan klasifikasi iklim Schmid-Ferguson, TNGP termasuk kedalam tipe iklim A dengan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu TNGP merupakan salah satu daerah terbasah di pulau Jawa. Berikut data kondisi iklim kawasan TNGP sebagaimana pada Tabel 3 di bawah ini : Tabel 2 Kondisi iklim kawasan TNGP Iklim (Klasifikasi Schmidt Fergusson) Curah hujan Tinggi Tipe A Nilai Q = 5 9 % Rata-rata mm Suhu 10 º C (Siang hari) dan 5 º C (Malam hari) Kelembaban udara % Kelembaban tinggi menyebabkan terbentuk tanah yang khas peaty soil Angin Muson Bulan Desember Maret (Penghujan); angin bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan tinggi Musim Kemarau, angin bertiup dari arah Timur Laut dengan kecepatan rendah Sumber : Statistik Balai TNGP 2007

30 Biologi Kawasan a. Tipe Ekosistem Secara umum tipe-tipe ekosistem kawasan TNGP dibedakan menurut ketinggiannya yaitu Ekosistem Sub Montana ( m dpl), Ekosistem Montana ( m dpl) dan Ekosistem Sub Alpin (>2.400 m dpl). Ekosistem hutan Sub Montana dan Montana memiliki keanekaragaman hayati vegetasi yang tinggi dengan pohon-pohon besar, tinggi dan memiliki 3 strata tajuk. Strata paling tinggi (30 40 m) didominasi oleh jenis litsea spp. Pada ekosistem sub alpin, keanekaragaman vegetasinya lebih rendah dibandingkan kedua tipe ekosistem lain. Vegetasi tipe ekosistem sub alpin memiliki strata tajuk sederhana dan pendek yang disusun oleh jenis-jenis pohon kecil (kerdil), dengan tumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat. Tinggi pohon tidak lebih dari 10 m, hanya memiliki satu lapisan kanopi yang berkisar antara 4 dan 10 m. Pepohonan di hutan ini berdiameter kecil dan pada batangnya diselimuti dengan lumut Usnea yang tebal. Keanekaragaman jenis jauh lebih rendah dibanding dengan tipe hutan lain. Selain tiga tipe ekosistem utama tersebut ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat, ekosistem tersebut adalah ekosistem rawa, ekosistem kawah, ekosistem danau dan ekosistem hutan tanaman (Statistik Balai TNGP, 2007). b. Flora Kawasan TNGP memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi. Lebih kurang jenis flora dengan 57 famili ditemukan di kawasan ini, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis, dan jenis ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya. Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di sekitar jalur pendidikan wilayah Resort Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter 149 cm ditemukan di jalur pendakian Selabintana Gunung Gede, dan pohon jamuju terbesar di wilayah Pos Bodogol. Kawasan ini juga memiliki jenis-jenis unik dan menarik, diantaranya Nephentes gymnamphora, Rafflesia rochusseni, dan Strobilanthus cernua. Kawasan TNGP kaya dengan jenis anggrek, tercatat 199 jenis anggrek di kawasan ini. (Statistik Balai TNGP, 2007).

31 c. Fauna Selain flora, ekosistem kawasan TNGP menyediakan habitat bagi beranekaragaman fauna, antara lain Mammalia, Reptilia, Amfibia, Aves, insekta dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Terdapat burung (Aves) 251 jenis atau lebih dari 50 % dari jenis burung yang hidup di Jawa. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) ditetapkan sebagai Satwa Dirgantara melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari Kawasan TNGP juga merupakan habitat bagi 110 jenis Mammalia, diantaranya Owa Jawa (Hylobates moloch) yang langka, endemik dan unik; Anjing Hutan (Cuon alpinus) yang sudah semakin langka dan Kijang (Muntiacus muntjak). Selain itu tedapat serangga (Insecta) lebih dari 300 jenis, Reptilia sekitar 75 jenis, Katak sekitar 20 jenis dan berbagai jenis binatang lunak (Molusca) (Statistik Balai TNGP, 2007) Desa Sukaresmi Letak dan Batas Wilayah Desa Sukaresmi merupakan salah satu desa di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Desa Sukaresmi berada di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Batas wilayah desa Sukaresmi sebagai berikut: Sebelah Utara : Desa Sukamanah Sebelah Selatan : Kehutanan (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) Sebelah Barat Sebelah Timur Kondisi Geografis : Desa Bojong Murni : Desa Sukagalih Kondisi geografis di lokasi penelitian disajikan pada tabel 4. Tabel 4 Kondisi Geografis Desa Sukaresmi No. Kondisi Geografis Keterangan 1. Tinggi tempat dari permukaan laut 600/700 m 2. Curah hujan rata-rata per tahun 2045 mm 3. Keadaan suhu rata-rata º C Sumber : Monografi Desa tahun 2007

32 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah dan kepadatan penduduk di lokasi penelitian disajikan pada tabel 5 Tabel 5 Jumlah dan Kepadatan Penduduk No. Keterangan Jumlah 1. Laki-laki 2065 Jiwa 2. Perempuan 1923 Jiwa 3. Jumlah seluruhnya 3988 Jiwa 4. Kepadatan penduduk 0,062 Per Km² 5. Jumlah kepala keluarga 913 KK Sumber : Monografi Desa tahun Matapencaharian Pola matapencaharian penduduk di lokasi penelitian disajikan pada tabel 6 Tabel 6 Komposisi Penduduk menurut Matapencaharian Sub Sektor Status Jumlah Tanaman Pangan Perkebunan dan Kehutanan Peternakan Jasa / Perdagangan a. Pemilik Tanah Sawah b. Pemilik Tanah Tegal/Ladang c. Penyewa/Penggarap a. Pemilik Hutan Rakyat b. Buruh Perkebunan a. Pemilik Ternak Kambing b. Pemilik Ternak Ayam c. Pemilik Ternak Kerbau d. Pemilik Ternak Domba e. Pemilik Ternak lainnya a. PNS/ TNI/ POLRI b. Pensiunan TNI/ POLRI/ SIPIL c. Warung d. Angkutan Sepeda Motor/ Ojek e. Mobil Kendaraan Umum (orang) % Persentase 12% 8,7 % 10,7 % 2,7 % 1,1 % 10,3 % 24,6 % 0,3 % 10,1 % 0,2 % 3,5 % 1,6 % 3,8 % 7,1 % 3,4 % total 31,4 % 3,8 % 45,5 % 19,4 % Jumlah %* 100 %* Keterangan : * Jumlah tidak tepat 100 karena pembulatan Sumber : Monografi Desa tahun 2007

33 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kejadian Kebakaran di TNGP Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) sebagai salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) tidak luput dari berbagai gangguan terhadap kawasan hutannya. Salah satu jenis gangguan yang terjadi adalah kebakaran hutan. Dari berbagai sumber data yang diperoleh diketahui bahwa di TNGP telah terjadi beberapa kali kebakaran hutan, yaitu pada tahun 1997, 1999, 2004, 2006, dan Padahal sebagai salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA), TNGP memiliki peran yang sangat penting, dimana kawasan tersebut memiliki fungsi yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga kebakaran yang terjadi pada kawasan tersebut dapat mengancam keberadaan dan kelestarian jenis tumbuhan dan satwa yang ada serta ekosistem yang ada. Tabel 6 Kejadian Kebakaran Hutan di TNGP Tahun No Tahun Luas Lokasi Perkiraan Penyebab Kebakaran ,6 Ha Gn. Sela, Gn.Pangrango, Gn. Masigit, Alun-alun Suryakencana, Lapangan Golf, Perum Perhutani, Geger Bentang, Arcamanik,Balekambing Pembuatan perapian oleh pengunjung; masyarakat membuat perapian dan menjalar; pemburu liar/ masyarakat masuk kawasan tanpa ijin dan membuat perapian; masyarakat membuat arang ,8 Ha Hutan cadangan perkebunan gunung Mas PTP Nusantara VIII ,15 Ha ,94 Ha Blok Pasir Kuta dan Balekambing. Blok Ciparay, Pasir Pogor, Candrata, Cicapit, Tapos, Bunikasih, Pancawati, Pembuatan perapian oleh masyarakat, pengunjung, dan pemburu liar; serta adanya aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat. Pembuatan perapian oleh masyarakat, pengunjung, dan pemburu liar; serta adanya

34 Arca, dan Alun-alun Suryakencana. aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat ,0008 Ha Blok Tangkil - Keterangan: - tidak diketahui Sumber: Statistik Balai TNGP 1999, 2006, dan 2007 Wibowo 2008 Jumlah kejadian kebakaran dan luasan areal terbakar yang terjadi di TNGP pada tahun tersebut berbeda-beda. Luas kebakaran tertinggi terjadi pada tahun 1997 yang mencapai 307,6 Ha. Sedangkan terendah pada tahun 2007 yaitu 0,0008 Ha. Adapun tipe kebakaran yang terjadi di TNGP adalah tipe kebakaran permukaan dan tipe kebakaran atas. Dimana yang dimaksud dengan kebakaran bawah (Ground Fire) merupakan tipe kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolokdolok yang bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Sedangkan yang dimasud dengan kebakaran tajuk (Crown Fire) merupakan tipe kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagaunya (Sahardjo 2003). Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di TNGP pada tahun 1997 merupakan kebakaran terluas yang melanda TNGP. Kebakaran tersebut tidak hanya terjadi di dalam kawasan TNGP, namun juga terjadi di sekitar kawasan TNGP. Kerugian yang ditanggung TNGP dalam kebakaran tersebut sebesar Rp 153,355 milyar. Dan kerugian tersebut belum termasuk kerugian akibat terganggunya aktivitas masyarakat, fungsi-fungsi hutan, serta hilangnya keanekaragaman hayati (Statistik Balai TNGP, 1999). Besarnya kejadian kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dikarenakan adanya pengaruh El-Nino South Oscillation (ENSO) yang melanda Indonesia pada tahun tersebut. Pengaruh ini menyebabkan musim kemarau yang terjadi jauh lebih panjang dari biasanya, sehingga ketersediaan maupun pengeringan bahan bakar hutan semakin tinggi, sehingga rawan terbakar. Selain itu, karena kering dan biasanya disertai tiupan angin maka bila terjadi kebakaran

35 di satu titik membuat penjalaran api mudah terjadi, sehingga kebakaran hutan cepat menyebar dan meluas. Kondisi tersebut menyulitkan upaya pemadaman kebakaran, sehingga luas areal yang terbakar pun besar. Rincian kejadian kebakaran hutan pada tahun 1997 disajikan dalam Tabel 8. Sedangkan pada tahun 1999 dan tahun 2004 terjadi penurunan luas areal yang terbakar, yaitu 0,8 Ha pada tahun 1999 dan 0,15 Ha pada tahun Kemudian pada tahun 2006 terjadi peningkatan luas areal hutan dan lahan yang terbakar yaitu menjadi 6,94 Ha. Kerugian yang diderita pihak TNGP akibat kebakaran pada tahun 2006 mencapai Rp Dan pada tahun 2007 terjadi penurunan kembali luas areal yang terbakar menjadi 0,0008 Ha. Tabel 7. Rincian Kejadian Kebakaran Hutan pada Tahun 1997 No Waktu Kejadian Lokasi Luas (Ha) Kerugian (Rp) Tipe Vegetasi Penyebab September 1997 Gn. Sela x 10 6 Centigi, edelweiss, (hutan sub Alpin) Pemburu liar yang membuat perapian September 1997 Gn. Pangrango 0,1 20 x 10 6 Edelweiss Pengunjung tidak disiplin September 1997 Gn. Masigit x 10 6 Hutan Montana Primer Pemburu liar/ masyarakat masuk kawasan tanpa ijin September 1997 Alun-alun Suryakencana x 10 6 Centigi, edelweiss Pembuatan perapian oleh

36 pengunjung Oktober 1997 Goal Para (Perum Perhutani) x 10 6 Hutan Produksi /Perhutani Pembuatan arang oleh masyarakat 6. 1 November 1997 Arcamanik (Perbatasan TN) Hutan alam Masyarakat 3, x 10 6 membuat perapian dan menjalar 7. 1 November 1997 Bale Kambang (Hutan Lindung) x Perkebunan 10 6 teh PTP VIII, TSI Masyarakat membuat perapian dan menjalar 8. 1 November 1997 Geger Bentang x 10 6 Hutan Sub Montana (puspa, Ki tanduk pasang) Pengunjung tidak disiplin Jumlah 307, x 10 6 Sumber : Statistik Balai TNGP 1999 Menurut petugas TNGP kejadian kebakaran hutan di TNGP disebabkan oleh 100% ulah manusia, yang juga didukung oleh kondisi lingkungan. Adapun kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan di TNGP antara lain pembuatan perapian di hutan oleh masyarakat, pengunjung, dan/atau pemburu liar; membuang puntung rokok sembarangan; serta pembuatan arang oleh masyarakat. Selain itu di beberapa kawasan perluasan TNGP juga terjadi

37 peristiwa kebakaran yang diakibatkan adanya aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa puntung rokok tidak dapat dijadikan sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan. Hasil observasi lapangan Apriansyah (2004), yang melakukan percobaan pembakaran dengan puntung rokok di bawah tegakan HTI Acacia Mangium di daerah Sumatera Selatan membuktikan hal itu. Potensi kebakaran di daerah tersebut cukup tinggi dengan banyaknya penumpukan bahan bakar di lantai hutan. Namun, hasil percobaan tersebut menunjukan bahwa puntung rokok tidak dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan karena bara puntung rokok tidak cukup panas untuk memanaskan bahan bakar sampai titik nyala. Begitu pula dengan percobaan oleh Purwana (1996) yang dilakukan pada skala laboratorium dengan menggunakan serasah dan jerami menunjukan bahwa panas yang dikeluarkan bara puntung rokok kurang tinggi sehingga tidak dapat dijadikan alasan sebagai penyebab kebakaran hutan. Sedangkan faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di TNGP menurut petugas antara lain karena adanya kondisi iklim yang kering pada musim kemarau, pengaruh El-Nino, dan masih aktifnya Gunung Gede. Selain itu menurut petugas jika terjadi peristiwa kebakaran di sekitar Gunung Gede yang masih aktif dengan mengeluarkan panas dan asap, akan memicu dan menyebabkan penjalaran api lebih cepat. Keadaan demikian apalagi di musim kemarau mengakibatkan rerumputan, serasah dan tegakan menjadi semakin kering sehingga potensi bahan bakar semakin banyak Potensi Kebakaran Hutan di TNGP Curah Hujan Iklim atau perubahan cuaca bukanlah penyebab utama terjadinya kebakaran. Namun, tingkat kekeringan yang terjadi akibat pengaruh iklim sangat berpotensi meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di wilayah tertentu yang menggunakan api untuk pengelolaan lahan atau yang memiliki potensi penyulutan

38 api lainnya. Secara garis besar iklim dapat diwakili oleh suhu (temperatur) dan hujan (presipitasi), sedangkan unsur-unsur lain dapat dipengaruhi atau mempengaruhi kedua unsur tersebut (Hidayati 2001 diacu dalam Sukmawati 2006; Septicorini 2006). Data curah hujan selama 5 tahun terakhir ( ) yang disajikan dalam tabel 9 menunjukan bahwa selama kurun waktu lima tahun tersebut curah hujan di TNGP berkisar antara 2861 mm hingga 3839 mm, dengan nilai rata-rata curah hujan tahunan mencapai 3226 mm. Tabel 8 Kondisi Curah Hujan dalam Kurun Waktu 5 Tahun ( ) di Lokasi Penelitian Bulan Curah Hujan (mm) Rata-rata Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

39 Jumlah Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Menurut Gaussen, Chatfort dan Fontanel (1978) diacu dalam Rifai i (1997), curah hujan (presipitasi) kurang dari 500 mm termasuk iklim sangat kering sehingga memiliki tingkat rawan sangat tinggi terhadap terjadinya kebakaran, dan presipitasi lebih dari 2000 mm termasuk iklim basah yang memiliki tingkat kerawanan tidak rawan. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka kawasan TNGP yang memiliki nilai rata-rata curah hujan tahunan mencapai 3226 mm termasuk ke dalam katagori tidak rawan terhadap bahaya kebakaran. Lebih lanjut Septicorini (2006) membuat kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan besarnya curah hujan yang dimiliki suatu daerah dengan menggunakan sistem skoring dari tolak ukur curah hujan Gaussen, Chatfort dan Fontanel (1978). Adapun kelas kerawanan kebakaran hutan yang dibuat Septicorini (2006) tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 9 Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Banyaknya Curah Hujan Curah Hujan (mm/tahun) Skor Keterangan < 500 mm 4 Rawan sangat tinggi Rawan tinggi Rawan sedang Rawan rendah

40 > Tidak rawan Sumber: Septicorini 2006 Selain itu, data curah hujan dalam tabel 9 juga memperlihatkan bahwa selama lima tahun tersebut di TNGP rata-rata terjadi dua kali bulan kering per tahun. Dimana menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson Bulan Kering yaitu bulan dengan curah hujan < 60 mm, sedangkan Bulan Lembab yaitu bulan dengan curah hujan antara mm, dan Bulan Basah yaitu bulan dengan curah hujan > 100 mm (Handoko 1994). Pada tahun 2003 di TNGP terdapat satu kali bulan kering yaitu pada bulan Juli dimana pada bulan tersebut tidak terjadi hujan sama sekali. Tahun 2004 terjadi dua kali bulan kering yaitu pada bulan Juni dengan curah hujan 53 mm dan bulan Agustus dengan curah hujan 9 mm. Tahun 2005 tidak terdapat bulan kering sama sekali. Pada tahun tersebut semua bulan merupakan bulan basah dengan curah hujan >100 mm. Sedangkan pada tahun 2006 terdapat bulan kering selama 4 bulan berturut-turut yaitu pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September dimana pada bulan Juni curah hujan mencapai 52 mm, bulan Juli 42 mm, bulan Agustus 17 mm, dan bulan September 32 mm. Dan pada tahun 2007 terdapat dua kali bulan kering yaitu pada bulan Juli dengan curah hujan 29 mm dan bulan September dengan curah hujan 44 mm. Lebih lanjut jumlah bulan kering selama kurun waktu 5 tahun ( ) disajikan dalam Gambar 5.

41 Jumlah bulan kering Tahun Gambar 5 Jumlah Bulan Kering di Lokasi Penelitian pada Tahun Pada saat terjadi bulan kering dimana curah hujan < 60 mm perlu dilakukan tindakan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran hutan karena pada bulan tersebut terjadi pengeringan bahan bakar secara intensif sehingga kadar air bahan bakar menjadi rendah dan mudah terbakar. Sebagaimana hasil penelitian Syaufina (1988) yang menunjukan bahwa luas dan frekuensi kebakaran hutan jati di Jawa Tengah berhubungan erat dengan faktor iklim, terutama curah hujan. Luas dan frekuensi kebakaran tertinggi terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (kurang dari 60 mm), dimana pada periode tersebut terjadi pengeringan bahan bakar secara intensif. Berbeda dengan kondisi curah hujan selama 5 tahun tersebut ( ), jumlah curah hujan di TNGP pada tahun 1997 menunjukan kondisi yang ekstrim, dimana pada tahun tersebut curah hujan tahunan bernilai 1966 mm. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai curah hujan tahunan dalam kurun waktu Selain itu, pada tahun 1997 di TNGP terdapat 6 kali bulan kering secara berturut-turut, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober dengan jumlah

42 Curah Hujan (mm) curah hujan antara 0-52 mm, dimana pada bulan September tidak terjadi hujan sama sekali. Masa kemarau yang panjang tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap luasnya areal yang terbakar, sehingga pada tahun tersebut di TNGP luas areal yang terbakar mencapai 307,6 Ha. Data curah hujan pada tahun 1997 disajikan pada Gambar Jan Feb Mart Aprl Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des Bulan Gambar 6 Curah Hujan Bulanan Tahun 1997 di Lokasi Penelitian Kondisi kemarau panjang yang melanda TNGP pada tahun tersebut adanya pengaruh ENSO (El-Nino South Oscillation) yang melanda Indonesia pada tahun tersebut. Pengaruh ini menyebabkan musim kemarau yang terjadi jauh lebih panjang dari biasanya. Di Indonesia walupun faktor iklim bukan merupakan penyebab kebakaran, namun iklim sangat berperan dalam menentukan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta perilaku api. Kejadian kebakaran pada tahun 1982,1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002 menunjukan kejadian kebakaran yang berhubungan dengan merebaknya kekeringan. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan dengan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) (Anonymous 1998; Lee et al. 2000, diacu dalam Syaufina 2008).

43 Pembersihan Lahan oleh Masyarakat Pembersihan lahan yang dilakukan oleh masyarakat desa Sukaresmi dalam kaitannya dengan pengunaan api dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu pembersihan yang dilakukan dengan menggunakan api dan pembersihan lahan tanpa menggunakan api. Pembersihan dengan menggunakan api dilakukan dengan cara membersihkan ladang yang akan ditanam dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen dengan membakar sampah tersebut. Cara ini disebut juga dengan cara bakar (burning). Sedangkan pembersihan ladang tanpa menggunakan api atau tanpa bakar (no burning) dilakukan dengan cara membersihkan ladang dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen baik dengan membenamkannya di dalam tanah maupun dengan menumpuknya di pinggir ladang. Penggunaan cara pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) atau tanpa bakar (no burning) didasarkan pada efisiensi waktu, tingkat kemudahan, serta pupuk yang dihasilkan. Masyarakat pada dasarnya lebih memilih cara pembersihan lahan yang tidak banyak menyita waktu, mudah dilakukan serta dapat menghasilkan pupuk yang dapat menyuburkan lahan mereka. Untuk itu mereka lebih memilih membersihkan lahan dengan cara tanpa bakar (no burning) terutama yang dilakukan dengan cara menimbunnya dalam tanah. Sedangkan pada musim kemarau pada umumnya masyarakat lebih memilih menggunakan cara pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) karena lebih cepat dilakukan. 1. Pembersihan Lahan dengan Cara Bakar (Burning) Di Desa Sukaresmi pembersihan lahan dengan cara bakar hanya digunakan dalam kondisi tertentu saja. Adapun beberapa hal yang membuat masyarakat menggunakan cara ini antara lain : a. Cara bakar hanya digunakan pada musim kemarau.

44 Dalam pembersihan lahan dengan cara bakar, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Salah satu diantaranya adalah tahapan dimana sampah organik (tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen) harus dikeringkan terlebih dahulu. Proses pengeringan tersebut dilakukan dengan menjemur sampah tersebut di bawah sinar matahari. Proses pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan kadar air bahan bakar sehingga bahan bakar menjadi kering dapat dengan mudah terbakar. Pada musim penghujan proses pengeringan ini akan sulit dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama. Sedangkan pada musim kemarau proses pengeringan tersebut tidak memerlukan waktu yang lama, dan dapat lebih cepat dibandingkan dengan cara tanpa bakar (no burning), sehingga masyarakat lebih memilih cara tersebut. b. Cara bakar digunakan pada tanaman tertentu Pada sebagian masyarakat permbersihan lahan dengan cara bakar (burning) hanya digunakan pada tanaman tertentu, seperti pada tanaman buncis dan kacang panjang. Hal itu dikarenakan sisa sampah yang dihasilkan dari tanaman tersebut terlalu menggembung. Sehingga apabila pembersihan dilakukan dengan cara tanpa bakar (no burning), khususnya dengan teknik ditimbun dalam tanah dapat menyusahkan peladang dalam pelaksanaannya, karena gundukan tanah yang dibuat akan menjadi terlalu besar. Selain itu sisa tanaman buncis dan kacang panjang sulit terurai menjadi bahan organik, sehingga pembersihan dengan cara tanpa bakar (no burning) akan memerlukan waktu yang lama dalam proses penguraiannya. Khusus pada tanaman buncis, selain karena kedua alasan tersebut pembersihan dengan cara bakar (burning) juga dipilih untuk menghindari adanya serangan hama dari tanaman buncis yang telah dipanen pada tanaman buncis yang baru ditanam.

45 Gambar 7 Sampah Organik Sisa Tanaman Buncis c. Cara bakar digunakan pada lokasi-lokasi tertentu Sebagian masyarakat desa Sukaresmi yang bekerja sebagai buruh tani lebih memilih membersihkan lahan dengan cara menumpuk/membuang sampah yang dihasilkan pada lokasi-lokasi yang tidak digunakan dan jaraknya cukup jauh dari lahan yang mereka garap. Namun, apabila disekitar lahan yang mereka garap itu tidak ditemukan lokasi yang tepat untuk membuang sampah tersebut maka mereka menggunakan cara bakar dalam membersihkan lahannya. d. Jumlah sampah terlalu banyak Pembersihan lahan dengan cara bakar juga digunakan apabila sampah yang dihasilkan dalam jumlah yang sangat banyak dan tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan cara tanpa bakar (no burning) karena keterbatasan waktu dan tenaga. Adapun teknik yang digunakan masyarakat desa Sukaresmi dalam pembersihan lahan dengan cara bakar, yaitu dengan teknik pembakaran tumpuk (Pile burning). Teknik pembakaran tumpuk (Pile burning) merupakan teknik pembakaran yang dilakukan dengan cara mengumpulkan (menumpuk) bahan bakar yang akan dibakar di suatu tempat. Pada pelaksanaannya teknik

46 pembakaran tumpuk (Pile burning) ini dapat dilakukan dengan berbagai modifikasi. Adapun beberapa cara yang dilakukan masyarakat desa Sukaresmi dalam pembakaran tumpuk (Pile burning) adalah sebagai berikut: 1. Pembakaran dilakukan dalam beberapa tumpukan Pada cara ini bahan bakar yang telah dikeringkan dikumpulkan dalam beberapa tumpukan (gundukan) untuk dibakar. Jarak antar gundukan tidak ditetapkan secara pasti, hanya disesuaikan dalam pelaksanaanya. Pembuataan beberapa gundukan tersebut bertujuan untuk mempermudah pekerjaan peladang dan mempersingkat waktu yang digunakan. Disisi lain salah satu keuntungan dari pembakaran sampah yang dilakukan dalam beberapa gundukan tersebut ialah api yang dihasilkan dari pembakaran tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pembakaran yang dilakukan hanya pada satu gundukan saja, sehingga mengurangi resiko terjadinya kebakaran maupun perambatan api ke daerah lain dikarenakan api yang terlalu besar. Ladang Keterangan : : gundukan sampah/bahan bakar Gambar 8 Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Beberapa Tumpukan

47 2. Pembakaran dilakukan dalam satu tumpukan Pada cara ini bahan bakar yang telah dikeringkan dikumpulkan (ditumpuk) menjadi satu tumpukan yang dibuat memanjang di tengah-tengah ladang yang telah dibersihkan. Api tidak disulut hanya dari satu titik saja, melainkan dari beberapa titik dalam gundukan tersebut. Cara ini dilakukan untuk mempersingkat waktu dalam proses pemanasan dan pembakaran bahan bakar. Ladang Keterangan : : gundukan sampah/bahan bakar Gambar 9 Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Satu Tumpukan Kegiatan pembakaran umumnya dilakukan pada waktu antara pagi hari (yaitu sekitar pukul sepuluh) hingga siang hari. Pembakaran mulai dilakukan ketika bahan bakar telah kering dan matahari telah mulai terasa panas (udara tidak lembab). Karena udara yang lembab dapat membuat kadar air bahan bakar tinggi sehingga sulit terbakar. Proses pembakaran yang dilakukan tidak ditinggalkan begitu saja, melainkan ada pengawasan dari peladang yang bersangkutan. Hal itu untuk menghindari api yang merambat dan menyebabkan terjadinya kebakaran

48 hutan. Oleh karena itu, pembakaran tidak dilakukan pada waktu sore atau malam hari, yaitu dimana pada waktu tersebut para peladang telah pulang dari ladang. Selain itu pembakaran tersebut dilakukan pada ladang yang telah dibersihkan dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen sehingga lokasi pembakaran terbebas dari bahan bakar lain yang memungkinkan api merambat ke tempat yang tidak diinginkan. Namun ada juga sebagian kecil peladang yang melakukan pembakaran pada waktu sore hari, karena pada waktu tersebut sampah (bahan bakar) yang dijemur telah benar-benar kering sehingga mudah dan cepat untuk terbakar. Pada pembakaran tersebut tidak dilakukan pengawasan terhadap api yang telah dibuat, dan api ditinggal begitu saja. Cara tersebut itu dilakukan oleh peladang yang lokasi ladangnya tidak terlalu jauh dari pemukimannya. Api ditinggal begitu saja karena menurut mereka api tersebut tidak akan mampu merambat ke daerah lain dan menyebabkan kebakaran dikarenakan gundukan yang mereka bakar berada di tengah ladang yang telah dibersihkan dan tidak ada bahan bakar yang berserakan yang memungkinkan api untuk api menjalar ke luar areal. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembersihan dengan cara bakar (burning) di desa Sukaresmi adalah sebagai berikut: a. Pembersihan lahan Pembersihan dilakukan dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen. Dalam kegiatan pembersihan umumnya digunakan alat arit, cengkrong, dan parang. b. Pengeringan bahan bakar Pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air bahan bakar sampai bahan bakar kering dan potensial untuk dibakar sehingga proses pembakaran dapat berjalan dengan cepat dan bahan bakar habis terbakar. Pengeringan bahan bakar dilakukan dengan cara menjemur bahan bakar di bawah sinar matahari. Bahan bakar yang tersedia disebar merata ke seluruh areal agar proses pengeringan berjalan cepat dan merata. Lamanya

49 waktu yang diperlukan dalam proses pengeringan tergantung pada intensitas matahari pada saat penjemuran bahan bakar. c. Penumpukan bahan bakar Bahan bakar yang telah kering dikumpulkan dan ditumpuk untuk dibakar. Tujuan dari penumpukan bahan bakar adalah agar api cepat menghabiskan bahan bakar yang tersedia. Penumpukan bahan bakar tersebut dapat dibuat menjadi satu tumpukan yang memanjang ataupun menjadi beberapa tumpukan yang lebih kecil dimana tinggi dan jarak antar tumpukan tidak ditentukan. d. Pembuatan sekat bakar Sebelum dilakukan pembakaran terlebih dahulu peladang membuat sekat bakar dengan cara membersihkan sisi-sisi ladang dari serasah, rumput, atau bahan bakar lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah api merembet ke areal lain. Lebar sekat bakar yang dibuat tidak ditentukan. e. Pembakaran Pembakaran dilakukan dengan teknik tumpuk (Pile burning) dengan berbagai modifikasi. 2. Pembersihan Lahan Tanpa Bakar (No Burning) Ada dua cara yang biasa dilakukan dalam pembersihan lahan tanpa bakar (no burning) yang dilakukan di desa Sukaresmi, yaitu dengan cara menimbun (membenamkan) sampah organik ke dalam tanah pada areal sedang yang dibersihkan dan dengan cara menumpuk (membuang) sampah organik tersebut di pinggir ladang. Dalam pembersihan lahan dengan cara ditimbun, sampah organik dari tumbuhan bawah, rerumputan, maupun sisa hasil panen yang di benamkan di dalam tanah dapat berfungsi sebagai pupuk hijau. Pupuk tersebut dapat membantu meningkatkan kapasitas produksi tanaman. Sebagaimana pendapat Sutanto (2002)

50 yang menyatakan bahwa pupuk hijau berarti memasukan bahan yang belum terdekomposisi ke dalam tanah yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi tanaman. Ada tiga manfaat utama penggunaan tanaman pupuk hijau dalam pergiliran tanaman, yaitu menambah bahan organik tanah, meningkatkan kandungan nitrogen dan memperbaiki daur hara dan konservasi tanah. Selain karena cepat dan mudah, alasan utama yang membuat masyarakat desa Sukaresmi lebih memilih membersihkan lahan dengan cara menimbunnya dalam tanah adalah karena sampah yang ditimbun dapat dimanfaatkan untuk pupuk hijau. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutanto (2002), bahwa pupuk hijau merupakan salah satu dari sekian banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Alat-alat yang digunakan dalam tahap pembersihan antara lain cengkrong, parang, arit, dan cangkul. Pembersihan tidak hanya dilakukan pada saat setelah panen, tetapi juga dilakukan selama pemeliharaan tanaman. Pada pembersihan selama pemeliharaan, sampah organik yang dihasilkan ditimbun dalam lubang yang telah dibuat di pinggir larikan. Lubang tersebut dibuat dengan kedalaman sekitar 20 cm. Jarak antar lubang tidak ditetapkan, hanya berdasarkan efektifitas dalam melakukan pembersihan. Sedangkan pada pembersihan saat setelah panen, sampah organik tersebut diletakan secara menyebar di pinggir larikan. Kemudian sampah-sampah organik itu ditimbun dengan tanah dari larikan yang ada di sampingnya, sehingga kini timbunan sampah organik tersebut menjadi larikan yang baru menggantikan larikan yang lama.

51 Gambar 10 Alat yang Digunakan Dalam Pembersihan Lahan : Cengkrong, Parang, Arit Dan Cangkul Gambar 11 Sampah di Pinggir Larikan untuk Pembersihan Lahan dengan Cara Penimbunan Sedangkan pada pembersihan lahan dengan cara penumpukan, berbagai sampah organik yang dihasilkan dari pembersihan tersebut dibuang/ditumpuk begitu saja di pinggir lahan. Cara ini sangat mudah dan cepat, namun dengan cara tersebut sisa sampah yang dihasilkan tidak dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan lahan seperti pada cara penimbunan dalam tanah maupun dengan cara pembakaran.

52 Pembuatan Perapian oleh Pendaki Selain adanya penggunaan api oleh masyarakat dan pemburu liar, pembuatan perapian oleh pendaki pun diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan di kawasan TNGP. Hal tersebut didasarkan dari adanya peristiwa kebakaran hutan di beberapa titik lokasi yang memiliki aktivitas wisata alam seperti kebakaran yang terjadi di Alun-alun Suryakencana, serta ditemukan bekas-bekas pembuatan perapian di kawasan tersebut. Selain itu, sampai saat ini petugas TNGP masih menemukan adanya pendaki yang membuat perapian di hutan. Gambar 12 Bekas Pembuatan Perapian di TNGP (Sumber : Dokumentasi TNGP 2006 dalam Wibowo 2008) Menurut petugas, pembuatan perapian tersebut bila tidak hati-hati dapat menimbulkan kebakaran hutan. Hal tersebut sangat berbahaya karena pada musim kemarau dimana rumput/serasah sangat kering dan angin bertiup kencang sehingga mudah terjadinya api dan penjalaran api akan cepat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Siswanto (1993) ada bemacam-macam motivasi manusia untuk menimbulkan api di hutan, salah satu diantaranya adalah rekreasi dan perkemahan di hutan yang kurang hati-hati sehingga dapat mengakibatkan menjalarnya sisa sumber api yang ditinggalkan. Sumantri (2003) pun menyatakan bahwa salah satu jenis kegiatan manusia yang sering dilaporkan sebagai penyebab kebakaran hutan adalah pendaki gunung yang meninggalkan api unggun, dan api bekas memasak.

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kawasan Perluasan TNGGP Kawasan perluasan TNGGP berada disebelah luar mengelilingi kawasan TNGGP lama sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

Oleh : Ardi Andono, STP, MSc

Oleh : Ardi Andono, STP, MSc Oleh : Ardi Andono, STP, MSc Outline Sejarah Potensi TNGGP Permasalahan Contoh pengelolaan di Korea Upaya LOKASI TNGGP Bogor Cianjur TNGGP 22.851 ha Sukabumi Sejarah TNGGP 1. Pengumuman 1980, 15.196 ha

Lebih terperinci

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali. 4.5. Iklim 4.5.1. Tipe Iklim Indonesia merupakan wilayah yang memiliki iklim tropis karena dilewati garis khatulistiwa. Iklim tropis tersebut bersifat panas dan menyebabkan munculnya dua musim, yaitu musim

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016).

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pariwisata saat ini semakin menjadi sorotan bagi masyarakat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sektor pariwisata berpeluang menjadi andalan Indonesia untuk mendulang

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Kawasan TNGGP, oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya diperuntukkan bagi penanaman beberapa jenis teh (1728). Kemudian pada tahun 1830 pemerintah kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Januari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp ,   PENDAHULUAN KAJIAN FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT OLEH MASYARAKAT DI DESA SALAT MAKMUR KALIMANTAN SELATAN Oleh/By FONNY RIANAWATI Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN 35 IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Barat Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 9 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Kecamatan Megamendung Kondisi Geografis Kecamatan Megamendung Kecamatan Megamendung adalah salah satu organisasi perangkat daerah Kabupaten Bogor yang terletak

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peraturan Pendakian

Lampiran 1. Peraturan Pendakian 93 Lampiran 1. Peraturan Pendakian 1. Semua pengunjung wajib membayar tiket masuk taman dan asuransi. Para wisatawan dapat membelinya di ke empat pintu masuk. Ijin khusus diberlakukan bagi pendaki gunung

Lebih terperinci

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR Oleh : YAYAT RUHIYAT A34201018 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YAYAT RUHIYAT. Studi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI (PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) TANAMAN KELAPA IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI TANAMAN KELAPA Suhu rata rata tahunan adalah 27 C dengan fluktuasi 6 7 C Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH (Studi Kasus Di Pulau Sebaik Kabupaten Karimun Kepulauan Riau) IFA SARI MARYANI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Gambaran Umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi Gambaran umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi dalam penelitian ini dihat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO No. SK.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W)

INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W) INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hutan merupakan tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 14 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1. Sejarah dan Status Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu telah dikunjungi wisatawan sejak 1713. Pengelolaan

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Profil Desa Desa Jambenenggang secara admistratif terletak di kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Wilayah Kabupaten Sukabumi yang terletak

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13).

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13). 28 IV. KONDISI UMUM 4.1 Wilayah Kota Kota merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Kota memiliki luas wilayah sebesar 11.850 Ha yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci