LAPORAN AKHIR KERJASAMA. Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR KERJASAMA. Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA)"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR KERJASAMA Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, Dan Aset (DPPKA) Kota Tarakan Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA) TAHUN 2016

2 Pemerintah Kota Tarakan KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-nya, sehingga Laporan Akhir Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Bengkel ( Workshop), ini dapat diselesaikan dengan baik. Studi Kelayakan, ini disusun untuk menjalankan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Bab XXI UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi [pasal 386 ayat (1)]. Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Bengkel ( Workshop) ini adalah menilai kelayakan rencana untuk mengadakan gudang barang secara terpadu guna melayani kebutuhan barang di lingkungan, dari aspek hukum, aspek organisasi dan manajemen, dan aspek keuangan. Oleh karena itu, hasil dari Studi Kelayakan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan Pengadaan Bengkel (Workshop). Kesimpulan berdasarkan kajian dari aspek hukum, aspek organisasi dan manajemen, dan aspek keuangan menunjukkan bahwa rencana Pengadaan Bengkel (Workshop) dinyatakan layak. Untuk itu, beberapa langkah yang dapat dilaksanakan sebelum Pengadaan Bengkel ( Workshop) direkomendasikan pada Bab 5 dari dokumen ini. Tarakan, September 2016 Kepala DPPKA Kota Tarakan, Arbain, S.E., M.AP NIP ii

3 Pemerintah Kota Tarakan DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Manfaat... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Otonomi Daerah Kebijakan Pengelolaan Barang Milik Daerah Inovasi Daerah Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Bengkel (Workshop) Efisiensi Keuangan Investasi Aktiva Tetap dan Penilaian Kelayakan BAB III METODE ANALISIS Aspek Hukum Aspek Organisasi dan Manajemen Aspek Keuangan BAB IV ANALISIS Analisis Aspek Hukum Analisis Aspek Organisasi dan Manajemen Analisis Aspek Keuangan BAB V PENUTUP Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA iii

4 Pemerintah Kota Tarakan DAFTAR TABEL Tabel 4.1 ANALISIS ASPEK HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DI KOTA TARAKAN (KHUSUS PEMELIHARAAN KENDARAAN DINAS DAN OPERASIONAL) Tabel 4.2 ANALISIS ASPEK ORGANISASI DAN MANAJEMEN TERHADAP KEBIJAKAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DI KOTA TARAKAN (KHUSUS PEMELIHARAAN KENDARAAN DINAS DAN OPERASIONAL) Tabel 4.3 PEMELIHARAAN RUTIN/BERKALA KENDARAAN DINAS/OPERASIONAL (dalam ribuan rupiah) Tabel 4.4 PERHITUNGAN ESTIMASI UNEFFICIENCY BIAYA PEMELIHARAAN KENDARAAN PEMERINTAH KOTA TARAKAN (dalam ribuan rupiah) Tabel 4.5 INVESTASI BANGUNAN BENGKEL/WORKSHOP (dalam ribuan rupiah) Tabel 4.6 PERHITUNGAN NPV, IRR, BCR DAN PAYBACK PERIOD PROYEK PEMBANGUNAN BENGKEL/WORKSHOP (dalam ribuan rupiah) Tabel 4.7a ANALISA SENSITIVITAS PROYEK Tabel 4.7b ANALISA SENSITIVITAS PROYEK iv

5 Pemerintah Kota Tarakan DAFTAR GAMBAR Gambar 1 BAGAN SUSUNAN ORGANISASI UPTD PERBENGKELAN KOTA TARAKAN v

6 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka peningkatan kapasitas pemerintahan daerah, daya saing daerah, dan pelaksanaan Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia diperlukan penguatan sistem inovasi daerah secara terarah dan berkesinambungan. Dalam arti luas, inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, penerapan, pengkajian, perekayasaan, dan pengoperasian yang selanjutnya disebut kelitbangan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Menurut pasal 386 ayat (2) UU 23 Tahun 2014, inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Meskipun masih terkendala dengan ketidakcukupan regulasi, inovasi daerah adalah kebutuhan mendesak karena inovasi dan regulasi adalah satu paket yang sama, yaitu menuju peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian, dalam menghadapai dinamika permasalahan publik dan dinamika sebuah kawasan, Pemerintah Daerah dituntut untuk melakukan inovasi daerah guna meningkatkan pelayanan publik maupun peningkatan daya saing daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang sebagian materinya diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang 1

7 Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka peluang daerah untuk melakukan inovasi menjadi semakin terbuka. Peluang daerah untuk melakukan inovasi secara khusus diatur dalam Bab XXI UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi [pasal 386 ayat (1)]. Inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah [pasal 386 ayat (2)]. Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, aparatur sipil negara, Perangkat Daerah, dan anggota masyarakat [pasal 388 ayat (1)]. Selanjutnya, mengenai jenis, prosedur dan metode penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bersifat inovatif ditetapkan dengan Perkada. Kepala daerah melaporkan inovasi Daerah yang akan dilaksanakan kepada Menteri. Laporan paling sedikit meliputi cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk inovasi, dan hasil inovasi yang akan dicapai. Untuk selanjutnya Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap inovasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah yang berhasil melaksanakan inovasi diberi penghargaan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan gambaran umum tersebut di atas, maka Pemerintah Kota Tarakan bermaksud untuk melakukan inovasi daerah dengan cara mengadakan bengkel ( workshop) guna menangani pemeliharaan kendaraan dan servis rutin 2

8 bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Tarakan, yang selama ini dikerjakan oleh pihak ketiga. Namun, sebelum rencana tersebut dilaksanakan diperlukan suatu kajian awal untuk menilai kepatutan atau kesesuaian rencana inovasi daerah tersebut dengan ketentuan pasal 387 UU Nomor 23 Tahun 2014, yang mengamanatkan bahwa dalam merumuskan kebijakan inovasi, Pemerintahan Daerah mengacu pada 8 prinsip: peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak menimbulkan konflik kepentingan, berorientasi kepada kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai-nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri. Kajian awal ini dilakukan melalui kegiatan Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Bengkel ( Workshop) Tujuan dan Manfaat Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Bengkel ( Workshop), adalah menilai kelayakan rencana untuk mengadakan bengkel pemeliharaan kendaraan secara terpadu guna melayani service dan pemeliharaan rutin kendaraan di lingkungan, dari aspek hukum, aspek organisasi dan manajemen, dan aspek keuangan/finansial Manfaat Studi Kelayakan (Feasibility Study) Pengadaan Bengkel ( Workshop) 3

9 dilaksanakan dengan maksud untuk menghasilkan suatu dokumen tentang Kelayakan Pengadaan Bengkel pemeliharaan kendaraan di lingkungan dan/atau metode alternatif yang bermanfaat sebagai sarana pengendalian biaya pemeliharaan kendaraan di lingkungan, yang memenuhi 8 prinsip inovasi daerah, yaitu: peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak menimbulkan konflik kepentingan, berorientasi kepada kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai-nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri. Pengadaan bengkel ( workshop) di lingkungan ini diharapkan dapat difungsikan sebagai Unit Bisnis yang sangat menguntungkan, karena selain sudah ada captive market-nya yang cukup besar, Bengkel tersebut diharapkan juga menerima pelanggan dari masyarakat kota Tarakan. 4

10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Otonomi Daerah Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5). Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. 5

11 Prinsip pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat (1) UU 23 Tahun 201 4) adalah: akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Untuk mencapai ketiga prinsip ideal tersebut masih sulit dicapai karena beberapa permasalahan, seperti: (1) efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran yang diakibatkan kebocoran yang terjadi walau sebenarnya bukan semata-mata dikarenakan korupsi, tetapi pada kebijakan pengelolaan yang kurang tepatnya sehingga sulit dideteksi penyebab utamanya; (2) kualitas pelayanan publik sebagai akibat dari ketersediaan sarana yang masih kurang sehingga tidak mampu melayani masyarakat secara maksimal; dan (3) kurangnya regulasi yang mampu memfasilitasi upaya mencapai efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk mengangkat potensi daerah guna menciptakan kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 3 ayat (1) mengamanatkan bahwa Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai, yang selanjutnya diatur dalam pasal (2) yang menyebutkan bahwa Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah meliputi 11 tahap, yaitu: 1. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, 2. Pengadaan, 6

12 3. Penggunaan, 4. Pemanfaatan, 5. Pengamanan dan pemeliharaan, 6. Penilaian, 7. Pemindahtanganan, 8. Pemusnahan, 9. Penghapusan, 10. Penatausahaan, dan pembinaan, 11. Pengawasan dan pengendalian. Lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci sebagai penjabaran dari siklus logistik sebagaimana yang diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Kebijakan Pengelolaan Barang Milik Daerah Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (UU No. 1 Tahun 2004; UU 23 Tahun 2014; PP No. 27 Tahun 2014; dan PERMENDAGRI No. 19 Tahun 2016), yang diperoleh melalui pengadaan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel (pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah). 7

13 Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan pengelolaan Barang Milik Daerah (Pasal 5 ayat (1) dan (2) PP 27 Tahun 2014). Dengan demikian, Gubernur/Bupati/Walikota dapat menentukan kebijakan pengelolaan dan pengadaan barang daerah berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel melalui inovasi yang tidak bertentangan dengan prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional (pasal 13 ayat (1) UU 23 Tahun 2014) Inovasi Daerah Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam memajukan Daerahnya. Untuk memacu kreativitas Daerah guna meningkatkan daya saing Daerah memerlukan kriteria yang obyektif sehingga dapat dijadikan pegangan bagi pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum. Dalam arti luas, inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, penerapan, pengkajian, perekayasaan, dan pengoperasian yang selanjutnya disebut kelitbangan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses 8

14 produksi. Menurut pasal 386 ayat (2) UU 23 Tahun 2014, inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Meskipun masih terkendala dengan ketidakcukupan regulasi, inovasi daerah adalah kebutuhan mendesak karena inovasi dan regulasi adalah satu paket yang sama, yaitu menuju peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian, dalam menghadapai dinamika permasalahan publik dan dinamika sebuah kawasan, Pemerintah Daerah dituntut untuk melakukan inovasi daerah guna meningkatkan pelayanan publik maupun peningkatan daya saing daerah. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang sebagian materinya diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, semakin membuka peluang daerah untuk melakukan inovasi. Peluang daerah untuk melakukan inovasi secara khusus diatur dalam Bab XXI UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi [pasal 386 ayat (1)]. Inovasi adalah sem ua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah [pasal 386 ayat (2)]. Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, aparatur sipil negara, Perangkat Daerah, dan anggota masyarakat [pasal 388 ayat (1)]. Selanjutnya, menge nai 9

15 jenis, prosedur dan metode penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bersifat inovatif ditetapkan dengan Perkada. Kepala daerah melaporkan inovasi Daerah yang akan dilaksanakan kepada Menteri. Laporan paling sedikit meliputi cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk inovasi, dan hasil inovasi yang akan dicapai. Dalam merumuskan kebijakan inovasi, Pemerintahan Daerah mengacu pada 9 prinsip, yaitu: peningkatan efisiensi; perbaikan efektivitas; perbaikan kualitas pelayanan; tidak ada konflik kepentingan; berorientasi kepada kepentingan umum; dilakukan secara terbuka; memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri (Pasal 387 UU 23 Tahun 2014). Dalam pasal 53 ayat (2) Peraturan Presiden No 54 tahun 2010 yang mengatur tentang Kontrak Pengadaan Bersama (1 penyedia dengan banyak Pejabat Pembuat Komitmen), merupakan kesempatan sekaligus tantangan, bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kebijakan dengan sistem pengadaan barang/jasa milik daerah secara terpadu, sepanjang berpedoman pada ke sembilan prinsip yang disebutkan dalam pasal 387 UU 23 Tahun Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pengadaan barang milik daerah bagian dari pengelolaan barang milik daerah. Pemenuhan kebutuhan barang/jasa merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tersedianya barang/jasa, disamping merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab 10

16 pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan rakyat, sekaligus memenuhi kebutuhan pemerintah dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. Dalam hal ini, pembuatan kontrak pengadaan barang/jasa menjadi praktek rutin (Simamora, 2013:1). Seiring dengan semangat reformasi dan komitmen untuk mewujudkan good Public governance, segala pembenahan di bidang pengadaan barang/jasa haruslah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu diwujudkan dengan demikian cepat dan massive dinamika perubahan dan perkembangan regulasi di bidang pengadaan barang/jasa. Peraturan yang dibuat pemerintah secara khusus tentang pengadaan barang/jasa mulai dari Keputusan Presiden RI nomor 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/jasa Instansi Pemerintah (Kepres 18 Tahun 2000) yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kemudian pada tanggal 6 Agustus 2010 diberlakukan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/jasa yang secara otomatis tidak memberlakukan seluruh peraturan sebelumnya. Peraturan Presiden tersebutpun mengalami dua kali perubahan yakni Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2011 dan oleh Peraturan Presiden No. 70 Tahun Dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara dan Undang Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang 11

17 Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) disebutkan secara tegas bahwa azas proporsionalitas merupakan salah satu prinsip atau azas yang harus dipenuhi, yaitu azas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Proporsionalitas merupakan salah satu prinsip dalam penerapan good governance, disamping azas akuntabilitas dan kepastian hukum. Dengan mengacu pada prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas tersebut, maka proses pengadaan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik guna menghindari larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pengertian Anti monopoli atau antitrust adalah Penguasaan atas produk barang atau jasa oleh pelaku usaha dimana produk barang atau jasa tersebut, hanya dikuasai oleh satu orang pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tertentu. Dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi yang potensial, sehingga pelaku pasar dapat menerapkan harga produk yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran. Pengertian monopoli menurut pasal 1 ayat (1) Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyebutkan bahwa Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku 12

18 usaha atau suatu kelompok usaha; praktek-prakter sebagaimana dimaksud merupakan persaingan di bidang ekonomi. Kondisi persaingan usaha yang tidak sehat memiliki dampak negatif karena bertentangan dengan kepentingan publik, prakek-praktek curang (unfair competition), di kalangan pelaku usaha yang membuat konsumen tidak lagi dapat memilih dengan bebas produk-produk barang maupun jasa yang diinginkan. Pasal 1 ayat (6) UU/05/199 9 menyatakan bahwa Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Oleh sebab itu aturan hukum yang tepat diperlukan guna mencegah terjadinya praktek-praktek curang dikalangan pelaku usaha. Menurut Hermansyah, hukum persaingan usaha merupakan perangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Asas hukum yang harus ditaati oleh pelaku usaha menurut Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 adalah Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku suaha dan kepentingan umum. Sedangkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 lebih lanjut mengatur tentang tujuan pembentukan undang-undang ini adalah: 13

19 a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang di timbulkan oleh pelaku usaha; d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Berdasarkan uraian tersebut Tiga tujuan pokok yang dapat di sederhanakan dari pembentukan UU/05/1999 menurut Sudaryatmo adalah pertama; memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara atau pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usaha, kedua adalah menciptakan iklim usaha yang sehat, kondusif dan kopetitif, dan ketiga adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat (kepentingan umum) Perjanjian yang Dilarang, Kegiatan Yang Dilarang dan Posisi Dominan Dalam UU Anti Monopoli Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam perjanjian yang dibuat harus ada perbuatan karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang 14

20 memperjanjikan. Para pihak disini dapat terdiri dari dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri oleh suatu akibat yang ditimbulkan oleh karena kehendaknya sendiri. Pasal 1 ayat (7) UU/05/199 9 menyatakan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Undang-Undang ini tidak memberikan defenisi tentang kegiatan yang dilarang ataupun kegiatan. Kegiatan yang dilarang sendiri dapat ditafsirkan sebagai tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya. Berbeda dengan perjanjian yang dilarang maupun kegiatan yang dilarang, posisi dominan lebih kepada kekuasaan untuk mempengaruhi kekuatan pasar dimana kondisi pasar hanya ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki peran dominan untuk melakukan tindakan atau strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya. Posisi dominan menurut Pasal 1 ayat (4) UU/5/1999 menyebutkan bahwa Posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, 15

21 kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu. Ketentuan hal-hal tersebut masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Perjanjian yang dilarang Perjanjian yang dilarang, diatur di dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16 UU/05/1999 yang meliputi, Oligopoli, Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, dan Perjanjian dengan Pihak Luar negeri. Adapun masing-masing perjanjian yang dilarang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Oligopoli Oligopoli menurut pasal 4 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa: Ayat (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/ataupemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Ayat (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama -sama melakukan penguasaan produksi/atau pemasaran barang dan/atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pasal ini melarang adanya perjanjian atara dua atau tiga pelaku usaha untuk melakukan penguasaan terhadap produksi 16

22 barang atau jasa secara dominan sehingga dapat mempengaruhi harga pasar atau keadaan pasar yang tidak seimbang. Hal itu dikarenakan jumlah produk lebih sedikit dibandingkan dengan keadaan pasar sempurna. 2. Penetapan harga Perjanjian penetapan harga ini, diatur di dalam Pasal 5 sampai dengan pasal 8 UU/05/1999, menurut pasal ini perjanjian penetapan harga dibedakan menjadi empat bagian yaitu, penetapan harga, diskriminasi harga, penetapan harga di bawah harga pasar, dan penetapan harga jual kembali; a. Penetapan harga (fixed pricing) Penetapan harga (fixed pricing) menurut Pasal 5 UU/05/1999 menyatakan bahwa: 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a) Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau. b) Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku Penetapan harga yang dimaksud di pasal ini adalah dapat diartikan sebagai penentuan suatu harga yang umum untuk suatu suatu barang atau jasa oleh suatu kelompok pemasok yang bertindak secara bersama-sama. Namun demikian, tidak semua perjanjian penetapan harga ( price fixing 17

23 agreement) dilarang karena di dalam ayat (2) perjanjian penetapan harga menjadi tidak dilarang apabila perjanjian tersebut dibuat dalam usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku. b. Diskriminasi Harga Diskriminasi Harga menurut Pasal 6 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Pasal ini menjelaskan bahwa perjanjian diskriminasi merupakan perjanjian perjanjian dilarang yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya terhadap suatu produk yang sama dijual kepada konsumen lainnya dengan harga yang berbeda-beda. c. Penetapan harga dibawah harga pasar (predatory pricing). Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) menurut Pasal 7 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal ini melarang pelaku usaha melakukan kesepakatan dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga jual barang atau jasa di bawah harga standar pasar, sehingga dapat merugikan pelaku usaha lainnya. 18

24 d. Penetapan harga jual kembali Penetapan harga jual kembali menurut Pasal 8 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal ini melarang perjanjian antara pemasok dan distributor dalam hal pemasokan barang atau jasa dengan kesepakatan bahwa distributor akan menjual kembali pada harga yang ditetap (secara sepihak) atau ditentukan langsung oleh pemasok. 3. Pembagian Wilayah Pembagian Wilayah menurut Pasal 9 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha dianggap meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. 4. Pemboikotan Pemboikotan menurut pasal 10 UU/05/1999 menyatakan bahwa: 19

25 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha lain untuk pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku suaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar yang bersangkutan. Pemboikotan yang dimaksud di dalam pasal ini dilakukan dengan perjanjian pemboikotan atau concerted refusal to deal pada umumnya merupakan tindakan kolektif sekelompok pesaing, namun sebenarnya pemboikotan juga dapat dilakukan tanpa melibatkan pelaku usaha lain tanpa perlu membuat perjanjian terlebih dahulu. 5. Kartel Kartel menurut Pasal 11 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 20

26 ini melarang adanya persepakatan antar pelaku usaha dan bersekongkolan dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mempengarui harga, mengatur produksi, dan pendistribusian barang atau jasa. 6. Trust Trust menurut Pasal 12 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berbeda dengan kartel yang hanya diikat oleh kesepakatan saja, perjanjian trust lebih bersifat integrative. Artinya anggota trust tidak hanya diikat oleh perjanjian juga perusahaan gabungan yang lebih besar. 7. Oligopsoni Oligopsoni menurut Pasal 13 UU/05/1999 menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama mengatur pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 21

27 (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pasal ini menjelaskan bahwa Oligosopni merupakan perjanjian yang dilakukan dengan tujuan secara bersama-sama untuk menguasai pembelian dan atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa dalam pasar. 8. Integrasi vertikal Integrasi vertikal menurut Pasal 14 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat. 9. Perjanjian Tertutup Perjanjian tertutup menurut Pasal 15 UU/05/1999 menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang lin yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima 22

28 barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwea pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok; harus bersedia membeli barangdan atau jasalain dari pelaku usaha pemasok/ atau tidak akan membeli barang dan atau jasa jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Perjanjian tertutup menurut pasal ini merupakan perjanjian yang mengkondisikan bahwa pemasok dari produk akan menjual produknya hanya jika pembeli (distributor) tidak membeli produk pesaingnya. 10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Perjanjian dengan pihak luar negeri menurut pasal 16 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat 23

29 mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. b. Kegiatan Yang Dilarang Kegiatan yang dilarang menurut UU/05/1999 diatur di dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24 yang memuat 4 (empat) hal yaitu, monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan. Untuk selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Monopoli Pengertian monopoli dan praktek monopoli berdasarkan pasal 1 ayat (1) dan (2) UU/05/1999 disebutkan bahwa: 1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. 2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Monopoli dan praktek monopoli menurut pasal ini dapat diketahui bahwa kedua hal tersebut sama-sama dilakukan oleh pelaku usaha, atau kelompok pelaku usaha yang memiliki tujuan untuk penguasaan produksi 24

30 atau pemasaran, penggunaan barang dan jasa, hingga pemusatan kekuatan ekonomi. Monopoli pasal 17 UU/05/1999 menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Praktek monopoli ini memanfaatkan posisi dominan oleh satu atau beberapa pelaku usaha untuk menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang/jasa sepihak yang dapat merugikan kepentingan umum. Pengecualian praktek monopoli berdasarkan undang-undang ini, terdapat pada pasal 51 UU/05/1999 menyebutkan bahwa 25

31 Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Dalam hal ini monopoli yang dilakukan oleh BUMN masuk dalam pengecualian karena merupakan amanat undang-undang dan monopoli itu dilakukan demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 2. Monopsoni Monopsoni menurut pasal 18 UU/05/1999 menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. 26

32 Pasal ini memuat larangan untuk melakukan praktek penguasaan tunggal, pembeli tunggal, menguasai lebih dari 50% atau pangsa pasar terhadap satu jenis produk barang maupun jasa tertentu. 3. Penguasaan Pasar Penguasaan pasar terdapat pada pasal 19, pasal 20, dan pasal 21, UU/05/1999, yang menyatakan bahwa: Pasal 19 UU/05/1999 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: (1) Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; (2) Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek mopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal ini memuat larangan bagi pelaku usaha untuk menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha, menghalangi konsumen atau pelanggan pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha, membatasi peredaran penjualan barang, dan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertenu. 27

33 Pasal 20 Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Bentuk-bentuk larangan yang dimuat di dalam pasal 20 dan pasal 21 UU/05/1999 adalah: 1. Jual rugi Kegiatan jual rugi ini dilarang, jual rugi yang dilakukan bertujuan untuk mematikan pesaingnya. 2. Penetapan biaya secara curang Penjelasan pasal 21 disebutkan bahwa kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan perudang-undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya. 28

34 4. Persekongkolan Pengertian persekongkolan diatur dalam pasal 1 ayat (8) UU/05/1999 yang menyatakan bahwa Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Kegiatan persekongkolan yang dilarang menurut undang-undang ini adalah: Pasal 22 menyatakan bahwa; Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 23 menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 24 menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain luntuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketetapan waktu yang dipersyaratkan. 29

35 Bentuk-bentuk Persekongkolan menurut Pasal 22 sampai dengan pasal 24 UU/05/1999 menjelaskan yang termasuk adalah: a. Persekongkolan tender Persekongkolan tender ini merupakan tindakan persekongkolan untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender. Berdasarkan penjelasan pasal 22 undang-undang ini tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Berdasarkan definisi tersebut, tender atau tawaran tersebut pengajuan harga yang dapat dilakukan melalui tender terbuka, tender terbatas, pelelangan umum, dan pelelangan terbatas. b. Persekongkolan rahasia perusahaan/dagang Pengertian persekongkolah rahasia perusahaan/dagang mengacu kepada pasal 1 ayat (1) Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan bahwa Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik rahasia dagang. Rahasia dangang merupakan properti penting bagi perusahaan, sehingga rahasia dagang tidak boleh dicuri, dibuka atau dipergunakan oleh orang lain tanpa seijin pihak perusahaan yang bersangkutan. 30

36 c. Persekongkolan menghambat produksi dan pemasaran Persekongkolan ini dilakukan untuk menghambat produksi dan pemasaran barang dan jasa dari pesaing pelaku usaha. Perbuatan itu dilarang karena dapat mengganggu proses produksi dan pemasaran barang dan jasa yang dapat merugikan masyarakat. 5. Posisi Dominan Posisi dominan yang mengatur larangan bagi pelaku usaha terdapat di dalam pasal 25 sampai dengan pasal 29 UU/05/1999, yaitu mengenai jabatan rangkap, pemilikan saham, dan Penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan. Untuk selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Adapun posisi dominan seperti yang diatur di dalam pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) adalah: (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. Menetapkan syarat-syarat dengan tujuan untuk mencegah dan menghalang-halangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. (2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: 31

37 a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pasal menjelaskan bahwa pelaku usaha dlarangan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk menghalang-halangi konsumen memperoleh barang dan jasa dengan harga yang bersaing, membatasi pasar, dan menghambat pelaku usaha lain atas pasar yang sama. Posisi dominan yang dimaksud dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha terhadap penguasaan 50% persen atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Sedangkan terhadap dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan apabila menguasai 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Hal-hal yang termasuk di dalam posisi dominan adalah: 1. Jabatan rangkap Jabatan rangkat menurut pasal 26 UU 05/1999 menyatakan bahwa Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau 32

38 komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut: a. Berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal ini menjelaskan bahwa seorang direksi atau komisaris dilarang untuk menduduki jabatan yang sama atas perusahaan lain apabila perusahaan tersebut berada dalam satu pasar yang sama, memiliki keterkaitan, dan atau secara bersama-sama menguasai pangsa pasar atau jasa tertentu. 2. Pemilikan saham: Pemilikan saham menurut pasal 27 UU/05/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: 33

39 a. Satu pelaku usaha atau satu kemlompok pelaku usaha mengasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tententu. b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Terdapat dua hal bagi pelaku usaha menurut pasal ini yaitu pertama kepemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, pada kegiatan dan usaha yang sama yang berada pada pasar yang bersangkutan. Kedua mendirikan beberapa perusahaan yang sama yang dapat mengakibatkan, penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% (limapuluh persen) sampai dengan 75% (tujuh puluh lima persen) oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha atas satu jenis barang dan atau jasa tertentu. 3. Penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan. Penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan diatur di dalam pasal 28 dan pasal 29 yang menyatakan bahwa: Pasal 28 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 34

40 (2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambil alihan saham lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ketentuan mengenai pengambil alihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud ayat dalam (2) pasal ini, diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 29 (1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 yang berakibat nilai asset atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambil alihan tersebut. (2) Ketentuan tentang penetapan nilai asset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambil alihan badan usaha, adalah hal yang dilarang yang apabila dapat mengakibatkan nilai asset atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu karena dapat hal itu mengakibatkan terjadinya praktek 35

41 monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Sehingga wajib bagi pelaku usaha untuk memberitahukan kepada komisi persaingan usaha, dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambil alihan tersebut. Dan ketentuan mengenai penetapan nilai aset dan tata cara pemberitahuannya diatur di dalam Peraturan Pemerintah Bengkel (Workshop) Arti Penting dan Fungsi Bengkel Bengkel atau workshop adalah sebuah bangunan yang menyediakan ruang dan peralatan untuk melakukan konstruksi atau manufaktur, dan/atau memperbaiki benda. Sedangkan perbengkelan adalah pengetahuan dan keterampilan tentang peralatan dan metode untuk membuat, membentuk, mengubah bentuk, merakit, ataupun memperbaiki suatu benda menjadi bentuk yang baru atau kondisi yang lebih baik secara manfaat maupun estetika. Perbengkelan merupakan sebuah ilmu yang telah berkembang bahkan sebelum Revolusi Industri karena bengkel merupakan satu-satunya tempat untuk membuat alat hingga berkembangnya industri manufaktur besar dengan mesin uapnya. Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, istilah bengkel erat kaitannya dengan jasa perbaikan kendaraan bermotor, sehingga bengkel didefinisikan sebagai tempat memperbaiki mobil, sepeda, dan sebagainya; pabrik kecil; tempat tukang bekerja; sedangkan perbengkelan merupakan pekerjaan atau 36

42 urusan bengkel; tempat yang merupakan kelompok usaha bengkel ( Perbengkelan umumnya dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan bahan yang dikonstruksi (batu, kayu, atau logam) dan pemanfaatannya (bengkel alat dan mesin pertanian, bengkel industri, bengkel kereta api, bengkel kendaraan bermotor, dan sebagainya). Berdasarkan fungsinya, bengkel kendaraan bermotor dapat dibagi menjadi bengkel repair shop dan body shop. Bengkel repair shop melakukan pekerjaan seperti perbaikan mesin kendaraan, rem, knalpot, transmisi, ban, kaca mobil dan penggantian oli. Bengkel body shop melakukan pekerjaan seperti perbaikan cat terhadap goresan, lecet, dan penyok terhadap kerusakan kendaraan serta kerusakan yang disebabkan oleh tabrakan dan kecelakaan besar (Soedarma, 2006). Berkenaan dengan kebijakan pengeloaan barang milik daerah, pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah mengamanatkan bahwa Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai, yang selanjutnya diatur dalam pasal (2) yang menyebutkan bahwa Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah meliputi 11 tahap, yaitu: (1) Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, (2) Pengadaan, (3) Penggunaan, (4) Pemanfaatan, (5) Pengamanan dan pemeliharaan, (6) Penilaian, (7) Pemindahtanganan, (8) Pemusnahan, (9) Penghapusan, (10) Penatausahaan, dan pembinaan, (11) 37

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan LAPORAN AKHIR STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang KERJASAMA Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, Dan Aset (DPPKA) Kota Tarakan Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KERJASAMA. Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA)

LAPORAN AKHIR KERJASAMA. Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA) LAPORAN AKHIR KERJASAMA Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, Dan Aset (DPPKA) Kota Tarakan Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA) TAHUN

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Bahan Konsinyering, 06-02-17 MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Undang-Undang Nomor... Tahun... tentang RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA MONOPOLI Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, 31 Oktober 2007 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009 Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 tentang Pengaturan Monopoli BUMN Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

- dalam kemampuan keuangan - akses pada pasokan dan pasar - kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang/jasa tertentu [psl 1 (4)]

- dalam kemampuan keuangan - akses pada pasokan dan pasar - kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang/jasa tertentu [psl 1 (4)] Posisi Dominan - Pasal 25 sd 29 Definisi Posisi Dominan Keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan pangsa pasar yang dikuasai,....pelaku usaha mempunyai

Lebih terperinci

SALINAN NO : 14 / LD/2009

SALINAN NO : 14 / LD/2009 SALINAN NO : 14 / LD/2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 SERI : D.8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain proses reformasi sektor publik, khususnya reformasi pengelolaan keuangan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 11 TAHUN 2004 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 11 TAHUN 2004 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 11 TAHUN 2004 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan Anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi Indonesia dalam hal menyelesaikan permasalahan di bidang ekonomi khususnya dalam persaingan usaha.

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Pembangunan Nasional yang dilaksanakan saat ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 5 2008 SERI. E NO. 5 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi persaingan merupakan satu karakteristik yang melekat dengan kehidupan manusia, dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SUMENEP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : : BUPATI SUMENEP

Lebih terperinci

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2017 2 BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KONSULTASI PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT http://ekbis.sindonews.com/ Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan usaha 1. Dasar Hukum Persaingan Usaha Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang

BAB I PENDAHULUAN. dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara telah memunculkan optimisme baru dalam penataan dan pengelolaan aset negara. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PRA-NOTIFIKASI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pengendalian terhadap penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BAHAN POKOK DAN BARANG STRATEGIS LAINNYA

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BAHAN POKOK DAN BARANG STRATEGIS LAINNYA SALINAN WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN BAHAN POKOK DAN BARANG STRATEGIS LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SORONG,

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN SALINAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA No.305, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Badan Usaha Milik Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6173) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PRABUMULIH, Menimbang : a. bahwa barang daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2013); L PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi ekonomi saat ini, dunia usaha merupakan salah satu kegiatan yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Lahirnya pengusahapengusaha baru dalam

Lebih terperinci

ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH.

ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. 1 ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. I Istilah kewirausahaan secara umum dapat dikatakan sebagai suatu tindakan sadar dari seseorang yang memiliki sifat keunggulan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 599 TAHUN : 2002 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2017 PEMBANGUNAN. Konstruksi. Jasa. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka menyelenggarakan pemerintah daerah sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PMK.06/2013 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PMK.06/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PMK.06/2013 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN ASET PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

Lebih terperinci