EFEKTIFITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (DPL-BM)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIFITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (DPL-BM)"

Transkripsi

1 EFEKTIFITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (DPL-BM) (KASUS DPL-BM BLONGKO, MINAHASA SELATAN, DPL-BM PULAU SEBESI, LAMPUNG SELATAN DAN APL PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU) RIANA FAIZA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ini adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Bogor, Agustus 2011 R i a n a F a i z a C

4

5 ABSTRACT Riana Faiza. Effectiveness and Sustainability Community Based Marine Sanctuary Management (CBMSM): Cases of CBMSM of Blongko, SebesiIsland and Harapan Island. Under Supervision of Tridoyo Kusumastanto, Mennofatria Boer, FredinanYulianda and Dietriech G. Bengen. Indonesian marine conservation policy was already established trough national law: UU No. 27/2007 concerning coastal and marine resources management and small island and also Government Regulation : PP No. 60/2007 concerning fisheries resources conservation. The target of national marine conservation by 2020 is to establish 20 million ha of marine protected areas. This research contribute to better marine and coastal conservation management for the future. General objective of this research is to evaluate the sustainability of marine sanctuaries in three locations. Specific objectives are (1) to determine the key factor which relates to marine sanctuary management; (2) to evaluate the effectiveness and sustainability of marine sanctuary, and (3) to formulate a strategic action for the development of marine sanctuary. The research were conducted at three locations, which are Blongko, North Sulawesi Province, Sebesi Island, Lampung Province, and Harapan Island, Jakarta Province. The data were collected from June 2007 to December The method of analysis consist of (1) natural resources analysis by quantitative analysis, (2) economic valuation, (3) effectiveness and sustainability analysis by multi dimension scaling analysis and discriminant analysis. There are 32 attributes has been analyzed to evaluate the sustainability of marine sanctuaries in three location. By using the analysis of attributes leverage method, it was found the attribute with high sensitivity that relate to the quality of coral reef and coral fish (ecological and environmental dimension); contribution of income, alternative livelihood and multiplier effect of marine sanctuary (economic and social dimension); legal aspect, local regulation and internalization of the program to local development program (policy dimension); and guidelines of marine sanctuary, extention offficer programs and capacity building, and participation of non government insitution (institutional dimension).the value of sustainability. index are: Blongko (63,83), Sebesi Island (72,41) and Harapan Island (36,30). Management strategies proposed, are (1) increasing the quality of coral reef and coral fish through protection from destructive fishing; (2) develop alternative livelihood such as mariculture, fish processing, environmentaly friendly fishing activities, marine ecotourism ; (3) internalization of the marine sanctuary to local development programs; and (4) involve the non government organization in marine sanctuary programs. Key Words: Effectiveness, sustainability, multi dimensional scaling, management strategy, Sustainability Community Based Marine Sanctuary Management (CBMSM):.

6

7 RINGKASAN Riana Faiza. Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM): Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan DPL-BM Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Pembimbing: Tridoyo Kusumastanto, Mennofatria Boer, Fredinan Yulianda, dan Dietriech G. Bengen Sadar akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut bagi kelangsungan hidup manusia terutama bagi masyarakat pesisir, telah menumbuhkan kesadaran bagi segenap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk melindungi sumberdaya tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar sumberdaya alam tersebut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengalokasian suatu kawasan laut menjadi daerah yang dilindungi dari berbagai jenis kegiatan pemanfaatan tertentu merupakan wujud nyata upaya pengelolaan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan laut. Daerah Perlindungan Laut (DPL) Berbasis Masyarakat merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeterminasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat; (2) mengevaluasi efektifitas dan keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat; dan (3) merumuskan strategi pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Adapun manfaat penelitian adalah (1) tersedianya konsep atau model pengelolaan daerah perlindungan laut yang optimal yang dapat diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan; dan (2) masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daerah perlindungan laut. Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu (1) DPL-BM Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara, (2) DPL-BM Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan-Provinsi Lampung, dan (3) APL-BM Pulau Harapan, DKI Jakarta. Untuk mengkaji efektifitas dan keberlanjutan program DPL di tiga lokasi digunakan analisis skala multi dimensi (Multi Dimensional Scalling) dengan menggunakan program RAPSMILE yang dimodifikasi berdasarkan atribut yang dinilai. Hasil analisis leverage atribut diperoleh beberapa atribut sensitif terhadap keberlanjutan pengembangan DPL, yaitu (1) aspek ekologi dan lingkungan yang meliputi peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan karang, penurunan tekanan dan eksploitasi terumbu karang, dan pengembangan program perlindungan sumberdaya pesisir dan laut, (2) aspek sosial ekonomi dan budaya yang terdiri dari kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat; pengembangan mata pencaharian alternatif dan penyerapan tenaga kerja,dan munculnya efek ganda program DPL, (3) aspek kebijakan yang meliputi legalitas program DPL, dukungan dalam hal peraturan daerah, dukungan dalam hal program pembangunan dan internalisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah; dan (4) aspek kelembagaan yang terdiri dari aturan pengelolaan DPL, program pendampingan dan pelatihan, pelaksanaan kegiatan

8 monitoring dan evaluasi serta keterlibatan lembaga non pemerintah (swasta dan LSM). Secara umum prospek keberlanjutan program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi masing-masing pada kategori sedang, yaitu di antara nilai IB- DPL pada skala Adapun APL Pulau Harapan masih rendah, yaitu kurang dari 50. Nilai indeks keberlanjutan berdasarkan aspek/dimensi adalah (1) ekologi dan lingkungan: DPL Blongko (83.28); DPL Sebesi (87.74) dan APL Harapan (52.89); (2) sosial Ekonomi dan Budaya: DPL Blongko (54.28); DPL Sebesi (65.18); dan APL Harapan (24.62); (3) kebijakan: DPL Blongko (57.22); DPL Sebesi (60.25); APL Harapan (25.26); dan (4) kelembagaan: DPL Blongko (65.47); DPL Sebesi (82.29); dan APL Harapan (49.09). Strategi pengelolaan yang disarankan untuk menjaga keberlanjutan DPL adalah (1) peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan di kawasan DPL melalui pelarangan kegiatan yang merusak sumberdaya terumbu karang; (2) pengembangan mata pencaharian alternatif guna mendukung program DPL sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat; (3) internalisasi program DPL kedalam program tahunan pemerintah daerah, sehingga program ini mendapatkan perhatian secara kontinyu; dan (4) pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam pengembangan DPL, sehingga berbagai keterbatasan yang dimiliki masyarakat dan pemerintah daerah dapat diatasi. Kata kunci: efektifitas, keberlanjutan, Daerah Perlindungan Laut-Berbasis Masyarakat (DPL-BM), Skala Multi Dimensi (MDS), dan strategi pengelolaan.

9 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11 EFEKTIFITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (DPL-BM) (KASUS DPL-BM BLONGKO, MINAHASA SELATAN, DPL-BM PULAU SEBESI, LAMPUNG SELATAN DAN APL PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU) RIANA FAIZA DISERTASI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Budi Wiryawan, M.Sc 2. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Sudirman Saat, M.Sc. 2. Dr. Endhay Kusnendar, MS.

13 Judul Disertasi : Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) (Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan DPL-BM Pulau Harapan, Kepulauan Seribu) Nama : Riana Faiza Nomor Pokok : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr. Tanggal Ujian : 27 Mei 2011 Tanggal Lulus :...

14

15 PRAKATA Segala puji dan syukur tercurah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya kepada seisi alam pencipta dan pemelihara semesta beserta isinya. Demikian halnya dalam penulisan disertasi ini, berkat pertolongan dan ridho-nya dapat dilaksanakan dengan baik. Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan suatu kajian ilmiah tentang pengembangan daerah perlindungan laut. Penelitian ini mengkaji parameter apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan program pengelolaan daerah perlindungan laut. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji efektifitas dan prospek keberlanjutan program DPL berdasarkan parameter yang telah ditentukan. Pada bagian akhir, disusun strategi pengelolaan sebagai suatu masukan bagi pengelolaan daerah perlindungan laut agar berkelanjutan. Melalui pengembangan DPL-BM. Diharapkan kualitas sumberdaya dan lingkungan tetap terjaga dan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Saya mengharapkan kiranya disertasi ini dapat menjadi masukan dalam mengembangkan program DPL-BM dimasa yang akan datang, mengingat program DPL-BM di Indonesia baru berkembang beberapa tahun terakhir. Penelitian ini dibawah bimbingan: (1) Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS; (2) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA; (3) Dr. Ir. FredinanYulianda, MSc; dan (4) Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Untuk itu disampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah memberikan arahan selama penyusunan disertasi ini. Semoga amal kebajikan dan kerelaan mendidik diberi pahala yang setimpal di sisi Allah SWT. Semoga disertasi ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat, instansi terkait dan stakeholder dalam mengelola sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Bogor, Agustus 2011 Riana Faiza

16

17 UCAPAN TERIMA KASIH Disertasi ini tak akan pernah selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Berkaitan dengan hal tersebut penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak awal penulisan disertasi ini hingga selesai. Berkat bimbingan beliau disertasi ini diharapkan dapat berguna bagi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., yang berperan memberi masukan kepada penulis dalam pengolahan data dan statistika, sehingga mendorong penulis untukberpikir sistematis dan kritis terhadapdata hasil penelitian. Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA., ditengah kesibukan beliau telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc, dengan sabar membantu penulis menjelaskan berbagai hal terkait dengan penyusunan disertasi ini. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto M.Sc. dan Bapak Dr. Budi Wiryawan, M.Sc., yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing pada ujian tertutup. Bapak Dr. Ir. Sudirman Saat M.Sc. dan Bapak Dr. Endhay Kusnendar, MS., yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing pada ujian terbuka. Bapak Dr. Ir. Moch Rahardjo MS, dan Bapak Drh. Edy Setiarto MS. yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan kuliah dengan memberikan izin belajar pada waktu beliau menjabat sebagai Kepala Dinas, sehingga penulis dapat melanjutkan program S3 di IPB. Ibu Ir. Ipih Ruyani M.Si, selaku Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan program S3 di IPB. Rekan-rekan kerja di Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, Dinas Perikanan Manado, Sulawesi Utara, dan Dinas Perikanan Lampung yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian, dan memberikan informasi untuk melengkapi disertasi ini. Teman-teman pengelola DPL Desa Blongko, Sulawesi Utara, Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian. Terima kasih yang tak terhingga kepada Almarhum Suami tercinta, anakanak tersayang, Orang Tua, Mertua, dan teman-teman serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan moril dan materil selama penulis menyelesaikan disertasi ini.

18

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 1964, merupakan anak kedua dari dua bersaudara keluarga Bapak Drs. Moh. Masrohdan Ibu Onny ZD Suratenaiya. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SD Negeri Sindoro Pagi Jakarta Selatan (1976), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 111 Jakarta Barat (1980). Sekolah Menengah Atas di Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP ) 35 sekarang SMAN 78 Jakarta Barat (1983). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui undangan jalur Proyek Perintis II. Pendidikan sarjana diselesaikan di Fakultas Perikanan IPB, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Febuari Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana S2, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan lulus pada tanggal 16 Agustus Selanjutnya pada tahun 2004, penulis melanjutkan program Doktor di IPB, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Penulis diterima bekerja sebagai PNS di Dinas Perikanan DKI Jakarta sejak tahun Penulis menjadi Kepala LPPMHP ( ). Menjabat sebagai Kepala Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara ( ). Penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Perikanan ( ). Sejak Febuari 2010 sampai dengan saat ini penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Kelautan. Selama bekerja penulis mendapat kesempatan mengikuti berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri, diantaranya. Penulis mendapat kesempatan belajar di Kumamoto Jepang ( ). Pelatihan Arbitration and Dispute Settlement, di Washington, DC. USA (1997). Pelatihan Eco Labelling, Italia (2004), Pelatihan Antibiotik Chloramphenicol di Manchaster, Inggris, (2005), Codex Allementrius di Cape Town Afrika Selatan (2007), dan sebagainya. Penulis menikah dengan Mohammad Tauhid, SE, MM (Alm.), Direktur HRD PT Jaring Data Interaktif pada tanggal 8 Agustus 1987 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Hudzaifil Hazen (Jakarta, 3 Juni 1988) lulus kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan anak kedua, Hirzi Hasan (Jakarta 7 Desember 1993) kelas XI di SMAN 78 Jakarta Barat.

20

21 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxvii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran Kebaharuan (Novelty) TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pulau-Pulau Kecil Kawasan Konservasi Laut (Marine Sacntuary) Daerah Perlindungan Laut Tujuan Daerah Perlindungan Laut Metode Pengelolaan DPL-BM Lokasi dan Ukuran DPL Keberhasilan Program DPL Pengertian Efektifitas dan Keberlanjutan Pengertian Pengelolaan Berbasis Masyarakat Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Multidimensional Scaling METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Kerangka Pendekatan Penelitian Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data Analisis Data Analisis Potensi Sumberdaya Alam Analisis Nilai Ekonomi Sumberdaya... Pulau-pulau Kecil Analisis Efektifitas Pengelolaan DPL Analsisis Keberlanjutan Pengembangan DPL Batasan Penelitian KARAKTERISTIK LOKASI STUDI Karakteristik Ekologi Daerah Perlindungan Laut Daerah Blongko Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi Area Perlindungan Laut Pulau Harapan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko xxi

22 xxii Daerah Perlindungan Laut Desa Pulau Sebesi Area Perlindungan Laut Pulau Harapan Estimasi Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir Estimasi Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Estimasi Nilai Ekosistem Terumbu Karang HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Pengelolaan Daerah Perlindngan Laut DPL Blongko DPL Pulau Sebesi APL Pulau Harapan Penilaian Efektivitas Pengelolaan DPL Evaluasi Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan... Laut Penilaian Parameter Keberlanjutan DPL-BM Blongko DPL Pulau Sebesi APL Pulau Harapan Indeks Keberlanjutan Pengembangan DPL Telaah Konsep Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut Skenario Berdasarkan Kondisi Aktual Skenario Berdasarkan Perbaikan Atribut Sensitif Skenario Berdasarkan Kondisi Ideal Strategi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

23 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kebutuhan data biofisik Kriteria persentase penutupan karang hidup Kelas kehadiran masing-masing jenis lamun Ringkasan parameter penilaian efektifitas pengelolaan DPL Matriks analisis efektifitas pengembangan DPL ditiga lokasi penelitian Kategori penilaian keberlanjutan pengelolaan DPL Kualitas tutupan karang di DPL Blongko Tahun Hasil pengukuran kualitas terumbu karang di DPL Pulau Sebesi Persentase tutupan karang di Pulau Harapan Indeks keragaman, keseragaman dan dominasi ikan karang di Pulau Harapan Perbandingan persentase penututupan karang hidup tahun 2003, 2007, dan 2009 di DPL Blongko Perbandingan persen penutupan karang hidup tahun 2006, 2007 dan 2009 di APL Pulau Harapan Nilai akar ciri dan persentasi ragam ketiga DPL/APL pada sumbu (komponen utama) pertama (F1) dan sumbu (komponen utama) kedua (F2) Korelasi variabel-variabel efektifitas pada sumbu pertama (F1) dan sumbu kedua (F2) Uji nilai rata-rata kelompok variabel pada ketiga DPL/APL Nilai (skor) variabel efektifitas pengelolaan DPL Blongko, DPL P. Sebesi, APL P. Harapan Nilai (skor) atribut keberlanjutan pengembangan DPL Desa Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan Nilai indeks keberlanjutan pengembangan DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada kondisi aktual Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada skenario kedua (perbaikan) Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada. kondisi ideal xxiii

24 xxiv

25 DAFTAR GAMBAR Gambar Uraian Halaman 1 Kerangka analisis penelitian Contoh DPL-BM yang dibuat di sekitar pulau kecil (Tulungan et al. 2003) Peta Lokasi Penelitian (DPL Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara, DPL Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung, dan APL Pulau Harapan, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta) Kerangka penelitian Daerah perlindungan laut Desa Blongko Peta lokasi daerah perlindunga laut Pulau Sebesi Peta lokasi pengembangan APL Pulau Harapan, Kabupaten Kepulauan Seribu (Dinas P2K-DKI Jakarta, Kontribusi masing-masing DPL/APL pada sumbu (komponen utama) pertama (F1) dan Sumbu (komponen utama) kedua (F2) Distribusi atribut efektifitas pengelolaan DPL Blongko, Sebesi dan APL Pulau Harapan Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek ekologi dan lingkungan Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek ekologi dan lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek sosial ekonomi dan budaya Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek sosial ekonomi dan budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek kebijakan setempat Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek kebijakan yang... dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek kelembagaan xxv

26 xxvi 18 Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek kelembagaan setempat yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS Diagram laying-layang keberlanjutan pengelolaan DPL Blongko, DPL Sebesi, dan APL Pulau Harapan Distribusi keberlanjutan pengelolaan DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan Grafik keberlanjutan ketiga DPL pada kondisi aktual Grafik keberlanjutan ketiga DPL pada kondisi perbaikan Perbandingan skenario keberlanjutan DPL Blongko Perbandingan skenario keberlanjutan DPL P. Sebesi Perbandingan skenario keberlanjutan APL P. Harapan

27 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Uraian Halaman 1 Parameter dan indikator penilaian efektifitas pengembangan program Daerah Perlindungan Laut di DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan Ringkasan parameter penilaian keberlanjutan pengelolaan DPL Matriks indikator penilaian keberlanjutan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Perbandingan persentase penutupan karang hidup tahun 2002, 2005, 2007 dan 2009 di DPL Pulau Sebesi Ringkasan penilaian keberlanjutan DPL Blongko berdasarkan kondisi eksisting Ringkasan penilaian keberlanjutan DPL Sebesi berdasarkan kondisi eksisting Ringkasan penilaian keberlanjutan APL Pulau Harapan berdasarkan koondisi eksisting Estimasi nilai ekonomi hutan mangrove di Desa Blongko, kecamatan Sinon Sayang, kabupaten Minahasa Selatan (US$/Ha) Estimasi nilai ekonomi hutan mangrove di Pulau Sebesi, kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan (US$/Ha) Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di Desa Blongko, kecamatan Sinon Sayang, kabupaten Minahasa Selatan (US$/Ha) Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di Pulau Sebesi, kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan (US$/Ha) Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di kelurahan Pulau Harapan, kecamatan Kepulauan Seribu Utara, kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (US$/Ha) xxvii

28

29 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian sumberdaya alam dan kesehatan lingkungan. Berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebihan ini apabila dibiarkan terus menerus akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Kondisi ini terjadi karena kurang adanya kontrol terhadap eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam tersebut, masyarakat menganggap bahwa sumberdaya pesisir dan laut merupakan sumberdaya akses terbuka (open access resources), sehingga setiap orang atau pengguna berlomba-lomba untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ada satu aturan pun yang membatasinya. Hal ini dilakukan karena setiap orang atau pengguna mempunyai asumsi bahwa orang lain juga akan memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sumberdaya alam yang banyak dieksploitasi secara berlebihan diantaranya adalah sumberdaya perikanan, terumbu karang, mangrove dan padang lamun yang merupakan bagian terbesar sumberdaya alam pulau-pulau kecil. Sumberdaya alam ini merupakan sumberdaya alam pulih yang cukup besar dan tersebar luas di wilayah pesisir Kepulauan Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah laut sangat luas (dua pertiga wilayah Indonesia). Suharsono (1998), mengemukakan bahwa Indonesia memiliki terumbu karang tidak kurang dari km 2 atau satu per delapan dari luas total terumbu karang yang terdapat di belahan dunia. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Pada suatu hamparan ekosistem terumbu karang bisa hidup lebih dari 300 jenis karang dan lebih dari 200 jenis ikan serta berpuluh-puluh jenis moluska, crustacea, sponge, algae, lamun dan biota lainnya.

30 2 Menyadari betapa pentingnya sumberdaya pesisir dan laut bagi kelangsungan hidup manusia terutama bagi masyarakat pesisir, telah menumbuhkan kesadaran bagi segenap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk melindungi sumberdaya tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar sumberdaya alam tersebut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengalokasian suatu kawasan laut menjadi daerah yang terlindungi dari berbagai jenis kegiatan pemanfaatan tertentu merupakan wujud nyata dari upaya pengelolaan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu karang. Daerah perlindungan laut dapat dianggap sebagai manisfestasi dari keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari, kebutuhan untuk menikmati keindahan alam dan kebutuhan untuk melindungi hak sebagai pemilik sumberdaya dari pengguna luar. Model DPL-BM telah banyak diimplementasikan oleh negara-negara yang memiliki hamparan ekosistem terumbu karang. Pengembangan DPL di Filipina dan Pasifik Selatan misalnya, telah terbukti secara efektif melindungi ekosistem terumbu karang, meningkatkan sumberdaya ikan di dalam daerah perlindungan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL (Alcala 1988; Russ dan Alcala 1989). Daerah Perlindungan Laut juga efektif meningkatkan produksi perikanan dibandingkan dengan pengelolaan secara tradisional. Pengembangan DPL-BM merupakan pendekatan yang murah dan sederhana. Pengembagan DPL- BM adalah pendekatan yang tepat untuk konservasi terumbu karang. Parejo et al. (1999) mencatat 439 DPL di Filipina dari berbagai jenis, dimana mayoritas DPL ini berbentuk DPL skala kecil yang dikelola oleh masyarakat yang berukuran kurang dari 30 hektar. Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat merupakan upaya masyarakat untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya ekosistem terumbu karang dan sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang. Secara

31 3 umum, tujuan dari daerah perlindungan laut adalah (1) memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, dan memijah biota-biota laut, dan (2) memelihara fungsi sosial ekonomi kawasan pesisir bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari hasil produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata bahari. Pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Indonesia pertama kali diinisiasi oleh Program Coastal Resources Management Project (CRMP) atau lebih populer disebut Proyek Pesisir pada tahun 1996 di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Konsep DPL ini kemudian diadopsi oleh program yang sama di Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada tahun Saat ini DPL juga sudah mulai dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta yang dikenal dengan nama Area Perlindungan Laut (APL). Melihat perkembangan dari implementasi daerah perlindungan laut di Indonesia yang cukup baik, penulis tertarik untuk melihat dua aspek dari program ini, yaitu aspek efektifitas dan keberlanjutan ditinjau dari pendekatan sistem ekologi dan sosial ekonomi. Pendekatan ini pada prinsipnya menekankan bahwa efektifitas dan keberlanjutan dari pengelolaan daerah perlindungan laut ditinjau dari aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Diharapkan dengan kajian tersebut dapat dikembangkan Daerah Perlindungan Laut yang dapat mensejahterakan masyarakat pesisir dan melestarikan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. 1.2 Perumusan Masalah Pada saat program Coastal Resources Management Project (CRMP) atau Proyek Pesisir dirancang dan mulai dilaksanakan pada tahun 1996, salah satu harapan dari perancang dan pelaksana program ini adalah diadopsinya program ini oleh masyarakat Indonesia. Dalam artian, program yang telah berlangsung lama dengan pendanaan yang cukup besar, tidak berakhir seiring dengan berhentinya bantuan pendanaan dari penyandang dana. Harapan ini cukup beralasan, karena bila disimak betapa banyak program-program sejenis yang telah dilaksanakan di Indonesia, namun sebagian besar dari program tersebut berakhir seiring dengan

32 4 berhentinya bantuan dari penyandang dana. Padahal bila ditinjau dari lingkup kegiatan, program-program pengelolaan pesisir di Indonesia selama ini sudah cukup luas dan menyeluruh. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut tidak berkelanjutan manakala bantuan dari penyandang dana berakhir?. Menurut Bengen et al. (2003) salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah program-program tersebut belum diadopsi secara formal oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dengan pola pikir yang sama, pemerintah juga telah banyak menginisiasi program-program pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya sumberdaya pulau-pulau kecil. Program-program ini juga dirancang dengan konsep pengelolaan berbasis masyarakat. Artinya, pamerintah hanya menjadi inisiator program, sedangkan implementasi selanjutnya oleh masyarakat. Pengembangan daerah perlindungan laut di Indonesia diinisiasi oleh berbagai institusi, baik institusi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, ataupun lembaga internasional yang mengembangkan program konservasi di Indonesia. Daerah perlindungan laut Pulau Sebesi yang terletak di Teluk Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung dan daerah perlindungan laut Blongko, Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara adalah program perlindungan laut khususnya sumberdaya terumbu karang yang diinisiasi oleh Proyek Pesisir pada tahun 1999 dan Program ini merupakan program pengelolaan sumberdaya alam yang mendapatkan bantuan pendanaan dari USAID. Sementara itu, area perlindungan laut (istilah DPL di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu) Pulau Panggang adalah program perlindungan sumberdaya laut yang diinisiasi oleh pemerintah melalui Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta. Meskipun inisiator dari DPL di atas berbeda, namun pada prinsipnya harapan dari inisiator tersebut adalah sama, yaitu agar program DPL tersebut tetap berlanjut meskipun bantuan dari inisiator berkurang atau berhenti. Dari uraian tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian Efektivitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) : Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau

33 5 Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu, sebagai berikut: 1. Sejauh mana efektifitas dan peluang keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut yang terdapat di Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan? 2. Parameter apa saja yang menjadi faktor-faktor pendukung keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di lokasi-lokasi tersebut di atas? 3. Strategi apa yang bisa dirumuskan untuk mendukung keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menilik-kaji prospek pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Mendeterminasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. (2) Mengevaluasi efektifitas dan keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. (3) Merumuskan strategi pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: (1) Tersedianya konsep atau model pengelolaan daerah perlindungan laut yang optimal yang dapat diterapkan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. (2) Masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daerah perlindungan laut. 1.4 Kerangka Pemikiran Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki tiga fungsi yaitu fungsi ekologi, fungsi sosial budaya, dan fungsi ekonomi. Fungsi ekologi adalah sebagai penyedia sumberdaya alam (bahan makanan), dan penyedia jasa-jasa lingkungan (nilai estetika lingkungan) (Gambar 1). Dalam kondisi ideal fungsi-fungsi

34 6 tersebut dapat dipertahankan kualitasnya dan berkesinambungan. Namun karena adanya pemanfaatan yang tidak berdasarkan atas asas-asas kelestarian, menyebabkan munculnya tekanan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tekanan tersebut menyebabkan berkurangnya atau menurunkan peran atau fungsi ekologis dari pesisir dan pulau-pulau kecil, menurunnya nilai-nilai estetika lingkungan (jasa lingkungan) dan berkurangnya potensi sumberdaya alam (sumberdaya ikan dan sejenisnya). Untuk menjamin ketiga fungsi tersebut di atas, diperlukan suatu upaya perlindungan dan pemanfaatan secara lestari yaitu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu. Salah satu konsep yang dapat dikembangkan untuk menjaga fungsi-fungsi di atas adalah pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Daerah perlindungan laut ini memiliki fungsi untuk mempertahankan fungsi-fungsi ekologis, ekonomis dan sosial budaya dari ekosistem terumbu karang. Gambar 1. Kerangka pemikiran

35 7 Inisiasi pengembangan daerah perlindungan laut di Indonesia, ada yang berasal dari masyarakat dan ada pula dari pemerintah. Namun pada prinsipnya, tujuan dari pengembangan daerah perlindungan laut, baik yang diinisiasi oleh masyarakat maupun pemerintah adalah untuk mempertahankan fungsi-fungsi dari sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam perkembangannya, pengelolaan daerah perlindungan laut, baik yang diinisiasi oleh masyarakat maupun pemerintah, dapat dikelola dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat. Dalam banyak contoh pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat memberikan hasil yang lebih baik dan mencapai tujuan yang diharapkan. Keberhasilan pengembangan daerah perlindungan dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat, disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya laut cukup tinggi, sehingga masyarakat berupaya seoptimal mungkin menjaga sumberdaya tersebut; (2) masyarakat lebih memahami permasalahan sekitarnya, sehingga memudahkan pengelolaan sumberdaya tersebut; (3) pengelolaan berbasis masyarakat dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut, dan (4) pengawasan dan kontrol oleh masyarakat akan lebih efektif, karena masyarakat berada di sekitar sumberdaya itu berada. Pencapaian tujuan pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat seperti diuraikan sebelumnya, hanya akan terlaksana manakala dalam proses pengembangannya dilaksanakan secara efektif dan berkelanjutan. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Dalam penelitian ini terdapat 8 (delapan) faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut, yaitu (1) adanya dukungan dari pemerintah; (2) adanya dukungan dari masyarakat; (3) adanya dukungan dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian; (4) adanya dukungan dari organisasi lain seperti lembaga swadaya masyarakat; (5) program yang dikembangkan memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat; (6) program yang dikembangkan memberikan dampak terhadap perbaikan lingkungan dan sumberdaya alam; (7) program yang dilaksanakan diiringi dengan peningkatan kapasitas masyarakat; dan (8) program yang dikembangkan mendapat dukungan dari aspek hukum dan kelembagaan.

36 8 Apabila faktor-faktor tersebut di atas terpenuhi, maka fungsi-fungsi dari sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tetap terpelihara. Dengan demikian tujuan dari konsep pengelolaan sumberdaya secara optimal dan lestari dapat dipenuhi, melalui pengembangan daerah perlindungan laut yang berkelanjutan. 1.5 Kebaharuan (Novelty) Efektifitas dan Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM): Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu, merupakan penelitian yang menilai program pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam konteks keterpaduan. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan, perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan karakteristik dari wilayah pesisir, karakteristik DPL yang mewakili Pulau Besar (DPL Blongko), Pulau Kecil (DPL P. Sebesi) dan Pulau- pulau sangat kecil (APL P. Harapan). Aspek keterpaduan dari pengelolaan pesisir terpadu adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah (lokal-nasional), keterpaduan wilayah/spasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen, dan keterpaduan internasional. Sampai saat ini penjabaran aspek-aspek keterpaduan tersebut belum dapat memenuhi parameter-parameter keberhasilan efektivitas dan keberlanjutan DPL-BM. Merujuk kepada penelitian efektifitas dan keberlanjutan program daerah perlindungan laut sebelumnya maka penelitian ini merumuskan kriteria penentu efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan DPL-BM melalui evaluasi komprehensif dari parameter yang menentukan keberhasilan pengelolaan DPL- BM. Oleh karena itu kebaharuan dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi dalam proses penilaian DPL dalam sebuah evaluasi integral dengan menggunakan konsep keterpaduan dalam rangka pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat secara berkelanjutan.

37 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir didefinisikan sebagai suatu proses pemeliharaan, peningkatan lingkungan pesisir, pencegahan kerusakan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia. Pengelolaan wilayah pesisir pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu pendayagunaan potensi pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan. Pencapaian dua tujuan di atas, dapat dicapai melalui perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Kebutuhan akan perencanaan dan pengelolaan terpadu di wilayah pesisir disebabkan oleh karena adanya berbagai konflik pemanfaatan ruang pesisir, konflik kepentingan antara berbagai institusi pemerintah. Lebih lanjut konflik-konflik yang terjadi di wilayah pesisir dipacu oleh faktor adanya kompetisi terhadap ruang pesisir, dampak dari suatu kegiatan pembangunan terhadap kegiatan lainnya (limbah minyak terhadap kegiatan perikanan), dan dampak kegiatan pembangunan terhadap ekosistem (Cicin-Sains dan Knecht 1998). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan suatu upaya yang menyatukan antara pemerintah dengan komunitas, ilmu pengetahuan dengan manajemen, dan antara kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan dan pengembangan ekosistem pesisir terpadu. Sementara menurut Cicin-Sain and Knecht (1998) dimensi keterpaduan dalam ICM meliputi lima aspek, yaitu (1) keterpaduan sektor, yaitu antara berbagai sektor pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan, pemukiman, pertanian pantai, (2) keterpaduan wilayah/ekologis, yaitu antara daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam suatu sistem ekologis, (3) keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintahan, yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada

38 10 berbagai level, seperti pusat, propinsi dan kabupaten; (4) keterpaduan antar berbagai disiplin limu, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu yang terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu sosial budaya; fisika, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan, dan lain-lain; dan (5) keterpaduan antar negara, yaitu adanya kerjasama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh manusia. 2.2 Pulau-Pulau Kecil Perbandingan luas wilayah lautan dan daratan Indonesia adalah tiga berbanding dua, hal ini menjadikan wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam, terutama sumberdaya alam yang dapat pulih seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan sebagainya. Selain itu, juga terdapat sumberdaya alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan secara optimal dan perlu dikembangkan secara lebih baik untuk kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir yang selama ini lebih banyak merupakan obyek dari kegiatan pembangunan di wilayah pesisir. Menurut Fauzi dan Anna (2005), potensi pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain ekonomi, sosial, ekologi, keamanan, dan navigasi. Selama ini potensi pemanfaatan tersebut belum dikelola secara optimal, mengingat ada berbagai kendala yang dihadapi. Selain itu berbagai kepentingan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil menjadikannya cukup sensitif. Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005) berpendapat bahwa kebijakan menyangkut pemanfaatan pulau-pulau kecil pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik biogeofisik, serta sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting, baik bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun kehidupan ekosistem di daratan. Hal terpenting yang berkaitan dengan penentuan kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia adalah pengetahuan tentang keragaan nilai ekonomi dari pulaupulau kecil tersebut, karena setiap pulau mempunyai keragaan ekonomi yang berbeda-beda, tergantung kondisi sumberdaya yang ada di pulau tersebut serta kondisi biogeofisiknya. Batasan pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan km 2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan orang.

39 11 Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Alternatif batasan pulau kecil juga berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari km 2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Bengen 2002). Namun pada kenyataannya, banyak pulau berukuran antara km km 2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1000 km 2, sehingga diputuskan oleh UNESCO pada 1991 bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari km 2. Sementara itu, dalam konteks pengelolaan PPK, Indonesia menetapkan batasan PPK adalah kurang atau sama dengan pulau dengan luas km 2. Griffith dan Innis (1992); United Nation (1994) dalam Bengen (2002) menyatakan bahwa karakteristik biogeofisik pulau kecil yang menonjol yaitu: Terpisah dari habitat pulau induk Sumberdaya air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil Rentan terhadap pengaruh eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran Memiliki sejumlah jenis sumberdaya endemik yang bernilai ekologis tinggi Area perairan lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya Tidak mempunyai daerah hinterland yang jauh dari pantai. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau serta dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam tanah. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998). Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka ada 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut

40 12 perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah tingkat ketergantungan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil. 2.3 Kawasan Konservasi Laut (Marine Sanctuary) Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah istilah yang diusulkan oleh Komisi Nasional Konservasi Laut sebagai terjemahan dari Marine Protected Area (MPA) (Wiryawan et al. 2005). KKL didefinisikan sebagai kawasan perairan pasang surut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya, yang dilindungi secara hukum, atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut. Konsep pengembangan kawasan konservasi skala luas yang digunakan adalah pendekatan Large Marine Ecosystem (LMEs), yaitu sebuah pendekatan yang digunakan untuk menentukan luasan dari suatu kawasan pesisir dan laut untuk di konservasi. LMEs ini ditetapkan untuk kawasan pesisir dan laut seluas km 2 atau lebih yang dikarakteristikkan oleh kedalaman, hydrografi, produktivitas, aspek antropologi atau penduduk (Mahon et al. 2007). Konsep ini telah digunakan sekitar 25 tahun yang lalu, dan telah diinvestigasi pengaruhnya terhadap ekosistem pesisir dan laut dunia. Konsep ini digunakan untuk mengatasi isu ekosistem pesisir pada skala geografi yang banyak dipengaruhi oleh aspek biofisik. Pendekatan LMEs ini fokus pada lima hal yaitu produktivitas, ikan dan kegiatan perikanan, kesehatan ekosistem, sosial ekonomi dan tata-kelola ekosistem pesisir dan laut. Beberapa kawasan konservasi yang mengikuti pendekatan LMEs adalah kawasan konservasi Phoenix Island di di Republik Kiribati dengan luas km 2, Taman Laut Great Barrier Reef Marine dengan luas km 2, dan Taman Laut Nasional di Pulau Hawai seluas km 2 (Edward 2008). Peraturan perundangan yang terkait dengan kawasan konservasi laut di Indonesia adalah UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya

41 13 Ikan. UU No. 27 Tahun 2007 mengatur hal-hal yang lebih umum terkait dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU ini disebutkan bahwa kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Pada Pasal 28 Ayat 1 disebutkan bahwa konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diselenggarakan untuk (1) menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (3) melindungi habitat biota laut; dan (4) melindungi situs budaya tradisional. Konservasi ekosistem secara spesifik diatur dalam PP No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Pada Pasal 1 Ayat 2 Ketentuan Umum disebutkan bahwa konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang. Lebih lanjut pada Pasal 5 dan 6 diatur tentang tipe pelaksanaan konservasi ekosistem. Pasal 5 menyebutkan bahwa tipe ekosistem yang terkait dengan sumberdaya ikan adalah terdiri atas laut; padang lamun; terumbu karang; mangrove; estuari; pantai; rawa; sungai; danau; waduk; embung; dan ekosistem perairan buatan. Pasal 6 menyatakan konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan habitat dan populasi ikan; (b) rehabilitasi habitat dan populasi ikan; (c) penelitian dan pengembangan; (d) pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan; (e) pengembangan sosial ekonomi masyarakat; (f) pengawasan dan pengendalian; dan/atau; (g) monitoring dan evaluasi. Beberapa jenis konservasi yang disebutkan dalam PP No. 60 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: (1) Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. (2) Taman Nasional Perairan adalah kawasan pelestarian alam perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.

42 14 (3) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman ikan dan ekosistemnya. (4) Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. (5) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu, sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. 2.4 Daerah Perlindungan Laut Tujuan Daerah Perlindungan Laut Daerah Perlindungan Laut adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari berbagai aktivitas penangkapan ikan dan pengambilan sumberdaya laut lainnya (Tulungan et al. 2002). Pengelolaan daerah perlindungan laut ini, umumnya dilakukan oleh masyarakat, sehingga dikenal dengan sebutan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Dalam skala global, daerah perlindungan laut telah mencapai tujuan konservasi dan memberikan manfaat secara sosial dan ekonomi kepada kegiatan perikanan (Gell dan Roberts 2002). Word dan Hegerl (2003), menyebutkan beberapa manfaat dari daerah perlindungan laut adalah (1) memproteksi habitat penting, daerah pemijahan dan daerah pembesaran (spawning dan nursery grounds), (2) meningkatkan kelimpahan stok, (3) meningkatkan rata-rata umur dan ukuran ikan, (4) memperbaiki potensi reproduksi perikanan, (5) memproteksi keragaman genetik, (6) memelihara atau meningkatkan kawasan perikanan. Lebih lanjut Tulungan et al. (2002) mengatakan bahwa tujuan penetapan daerah perlindungan laut berbasis-masyarakat adalah (1) meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan, di sekitar daerah perlindungan; (2) menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan, dan organisme lainnya; (3) dapat dikembangkan sebagai tempat yang cocok untuk daerah tujuan wisata; (4) meningkatkan pendapatan/kesejahteraan masyarakat setempat; (5) memperkuat masyarakat setempat dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam mereka; (6) mendidik masyarakat dalam hal perlindungan/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa

43 15 tanggungjawab dan kewajiban masyarakat untuk mengambil peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari; dan (7) sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut bagi masyarakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Terdapat 3 fungsi kunci yang harus dipenuhi oleh suatu area perlindungan laut: (1) melindungi biodiversitas laut; (2) menjaga produktivitas dan (3) kontribusi kesejahteraan sosial dan ekonomi (United Nations Environmental Program 1995; McManus et al. 1998). Kawasan konservasi laut digunakan untuk menunjang bentuk tradisional lain dari pengelolaan sumberdaya laut, seperti misalnya pengelolaan perikanan, di mana metode-metode tersebut telah terbukti tidak efektif (Agardy 2000) Metode Pengelolaan DPL-BM Berdasarkan panduan yang disusun oleh Tulungen et al. (2002), pembentukan dan pengelolaan DPL-BM harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah setempat, dan para pemangku kepentingan lain yang ada di desa. Pemerintah setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL-BM, pengembangan dan pendidikan masyarakat, serta memberikan bantuan teknis dan keuangan bagi pengelolaan DPL. Tanggungjawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL- BM ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis pendanaan dan persetujuan terhadap peraturan yang dibuat ditetapkan oleh pemerintah atas persetujuan dan kesepakatan dengan masyarakat. Masyarakat dan pemerintah dapat juga bekerja sama dengan pihak lain seperti LSM atau pihak swasta untuk membentuk dan mengelola DPL-BM. Penetapan daerah perlindungan laut meningkat karena kepentingan manusia dalam rangka memerangi over-eksploitasi sumberdaya kelautan dan menjaga keberlangsungan keragaman laut. Saat ini terdapat lebih dari DPL yang penentuan dan tanggungjawabnya merupakan otorisasi masing-masing negara, namun hal yang penting untuk diperhatikan adalah perlindungan lingkungan laut skala besar, karena hal ini biasanya menyangkut kepentingan beberapa negara yang daerahnya memiliki aeal laut (Boersma dan Parrish 1999). Dalam mendesain sistem dalam rangka mengelola biaya dan resiko yang berhubungan dengan sumberdaya kelautan, tujuannya adalah memaksimumkan perubahan

44 16 pendapatan dalam kesejahteraan dari keadaan status quo. Pengambilan keputusan yang ideal dalam rezim pengelolaan sistem perlindungan laut harus diperhatikan secara berkesinambungan.sangat mungkin untuk memilih sistem perlindungan untuk meminimalisasi biaya yang cocok untuk standar lingkungan tetapi tidak ada jaminan bahwa standar yang digunakan dapat optimal secara sosial. Dalam rangka mengeksplorasi tradeoff, sangat disarankan untuk memperhatikan kisaran standar lingkungan lain dan mendapatkan konsep biaya minimum sistem zonasi untuk setiap standar. Hal ini merupakan kunci penting dalam bernegosiasi terhadap sistem yang akan diimplementasikan (Lawson dan Gooday 2000). Daerah perlindungan laut merupakan investasi kapital alami dengan maksud memperbesar stok ikan dengan membiarkan daerah tersebut berkembang secara alami. Jika usaha perikanan tangkap dapat dikelola berkelanjutan secara ekonomi, bersamaan dengan perangkat-perangkat kebijakan lain, maka daerah perlindungan bukanlah cara yang paling efisien untuk mengatasi masalah overeksploitasi (Carter 2003). Penelitian mengenai prospek co-manajemen di daerah perlindungan laut di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan dan kesempatan dalam mencapai co-manajemen yang lebih baik pada daerah taman nasional di Indonesia (Clifton 2003) Lokasi dan Ukuran DPL Menurut Tulungan et al. (2003) DPL-BM dapat dibuat dan ditemukan dalam berbagai bentuk dan ukuran. DPL-BM dapat dibentuk di sekitar pulaupulau kecil atau juga di sepanjang pesisir pulau-pulau besar. Penetapan kawasan DPL dapat dimulai dari garis pantai menuju kawasan lepas pantai. Meskipun tidak ada aturan tentang ukuran yang ideal dari suatu DPL-BM, namun para ilmuwan lebih menyukai kawasan yang berukuran besar. Para ahli menyepakati bahwa DPL-BM sebaiknya berukuran antara 10-20% dari luas terumbu karang yang ada di suatu desa. Di beberapa negara, luasan DPL-BM ditetapkan antara 5-50 ha. Di Filipina, DPL-BM yang berukuran antara 6-10 ha dimanfaatkan sebagai lokasi pariwisata, seperti yang dibentuk pada Apo Island dan Sumilon Island (Marten 2007). DPL-BM yang telah dibentuk dibagi menjadi dua zona, yaitu zona inti dan penyangga. Zona inti adalah suatu areal yang didalamnya tidak diperkenankan

45 17 adanya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya. Demikian pula kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona ini seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu diatas terumbu karang juga dilarang. Zona lainnya adalah zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan dapat dilakukan seperti penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan yang diperbolehkan adalah penangkapan ramah lingkungan atau dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba atau snorkelling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersial seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini. Gambar 2. Contoh DPL-BM yang dibuat di sekitar pulau kecil (Tulungan et al. 2003). 2.5 Keberhasilan Program DPL Laporan PISCO (2008) menyatakan bahwa dari 80 daerah perlindungan (marive reserve) laut yang dikaji telah memberikan dampak positif terhadap perbaikan sumberdaya laut, yaitu:

46 18 Terjadi peningkatan densitas ataupun jumlah individu sebesar 2.4 kali lebih besar. Terjadi peningkatan bimas atau berat hewan 5.5 kali lebih besar. Terjadi peningkatan ukuran badan 1.3 kali lebih besar, dan Terjadi peningkatan densistas atau jumlah spesies 1.2 kali lebih besar. Nelayan lokal di New Zealand juga melaporkan bahwa setelah pembentukan daerah perlindungan laut terjadi peningkatan hasil tangkapan di luar daerah DPL dibandingkan sebelum adanya DPL. Jenis tangkapan yang mengalami peningkatan secara dramatis adalah lobster baik dalam hal densitas maupun ukuran yang ditangkap di sekitar DPL (Robert dan Hawkins 2000). Manfaat utama dari DPL adalah meningkatkan kemampuan dalam hal spawning stock di dalam DPL yang selanjutnya menjadi larva juvenil yang masuk ke kawasan penangkapan. DPL menyediakan strategi pengelolaan kehati-hatian untuk mengurangi veriabel yang berasosiasi dengan interakasi antara aktivitas perikanan dan lingkungan (Ward et al. 2001). Perlindungan spawning stock melalui pengembangan DPL akan menghasilkan lebih banyak rekruitmen, yang selanjutnya akan meningkatkan stok sumberdaya ikan. Perlindungan terhadap garis pantai alami dan perikanan karang yang saling berhubungan, akan menjadi faktor yang lebih penting daripada menetapkan pengganti habitat karang. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wilson et al. di Hongkong, struktur karang buatan lebih rendah daripada di habitat aslinya, di dalam mendukung keberadaan perikanan karang komersil. Sehingga akan memperburuk keadaan over-fishing (Wilson et al. 2002). Usaha pembuatan karang buatan bukannya tanpa hambatan. Beberapa nelayan usaha kecil akan menantang usaha ini, jika daerah usaha diperluas sehingga mencapai area tidak bertuan. Dalam hubungannya dengan sektor perikanan, kawasan konservasi laut menjadi penyedia berbagai keuntungan bagi reproduksi, pemijahan dan beberapa keterlibatan sumberdaya laut hayati lainnya (LMR). Suatu habitat kawasan konservasi laut mengalami kerusakan fisik yang disebabkan oleh alat tangkap ikan, atau kebisingan, pergerakan dan bayang-bayang akibat benda di permukaan air seperti dok, kapal atau transek. Kawasan konservasi laut di daerah estuari biasanya mengalami dampak kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan migas dan

47 19 pertambangan lain di laut (Dodd 2001). Dengan adanya kawasan konservasi laut, para nelayan tetap dapat menangkap ikan, misalnya dengan cara para pengelola kawasan konservasi laut memberikan quota perseorangan terhadap nelayan untuk menangkap ikan atau berusaha di bidang pertambangan, dengan disertai monitoring yang sesuai untuk menjamin stabilitas sumberdaya (Pearce 2002). 2.6 Pengertian Efektifitas dan Keberlanjutan Efektivitas dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang bisa memberikan manfaat positif bagi semua komponen dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Suatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut memberikan manfaat yang nyata bagi para pelakunya. Sehingga efektifitas DPL-BM merupakan suatu tingkat pengukuran tertentu dimana kegiatan DPL-BM berpengaruh positif atau negatif terhadap lokasi dan stakeholder yang menjalankannya. DPL-BM dinilai mempunyai nilai positif apabila parameter-parameter yang terkandung didalamnya mendapatkan kemajuan positif dalam perkembangannya. Daerah perlindungan laut dapat menyajikan lokasi yang efektif bagi populasi target yang akan dilindungi. Lebih jauh lagi, kepadatan dan ukuran tubuh populasi akan meningkat pada daerah tersebut (Fernando et al. 2000). Namun demikian, tidak seluruh sistem kawasan konservasi laut dapat mencapai tujuannya. Kebanyakan sistem-sistem itu gagal mencapai tujuan pengelolaannya. Kawasan konservasi laut dapat menjadi efektif jika berada pada daerah tertentu yang tepat dan jika dikelola dengan cara yang benar. Keberhasilan kawasan konservasi laut juga terkait dengan sistem kelembagaan dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan dan kebutuhan ekologis yang sesuai (Jameson et al. 2002) Pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan hal yang cukup sulit dan menantang. Pemanfaatan tanpa disertai dengan pengelolaan bukan saja dapat mengakibatkan kemunduran mutu sumberdaya dan lingkungan tetapi juga berdampak dalam hal distribusi pendapatan dan kesejahteraan sosial. Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya kuat dapat menjadi dominan, sebaliknya sektor yang tampaknya lemah (tetapi belum tentu lemah), akan makin berkurang dan akhirnya hilang (Nikijuluw 1995). Sementara itu, suatu kondisi dapat dikatakan berkelanjutan, apabila manfaat yang diperoleh oleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan

48 20 konsumsi tidak menurun sepanjang waktu. Keberlanjutan dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi dimana sumberdaya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa yang akan datang (Perman et al. 1996). Keberlanjutan berarti terus menerus dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi eksistensi dari sesuatu yang digunakan. Keberlanjutan dalam pengelolaan suatu kawasan dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang mendukung adanya suatu manfaat yang selalu dapat digunakan tanpa merusak kawasan tersebut dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Keberlanjutan DPL-BM merupakan suatu ukuran tertentu dimana kita bisa menilai apakah kegiatan DPL-BM memberikan kelangsungan obyektif tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu dimanfaatkan secara terus menerus. Parameter-parameter keberlanjutan DPL-BM juga mencakup: a) aspek biologis (terumbu karang, padang lamun, mangrove), b) aspek sosial (masyarakat, pemerintah, LSM), dan c) aspek ekonomi (valuasi ekonomi sumberdaya alam, tingkat pendapatan masyarakat lokal). Pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan selama ini tidak banyak mendapat perhatian oleh pembuat kebijakan. Keragaman potensi sumberdaya alam yang ada di pesisir dan laut akan mendatangkan konflik kepentingan apabila tidak ada kebijakan pengelolaan yang jelas. Padahal potensi yang ada mempunyai fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi ekologi yang khas. Upaya pemanfaatan sumberdaya alam lestari dengan melibatkan masyarakat sangat dibutuhkan. Pada kasus di Bali, dimana masyarakat melakukan pengambilan karang secara intensif harus dicegah dengan mencarikan alternatif berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan masyarakat didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat dalam sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan cinderamata, makanan kecil, dan penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; berupa perahu katamaran (perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa penyewaan alat-alat selam. Sedangkan perusahaan bisa menyediakan fasilitas hotel, restauran dan lain-lain (Dahuri et al. 1996). Bagi negara-negara yang sedang berkembang dengan keadaan keuangan yang terbatas, masalah pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat

49 21 diatasi dengan mencari dana yang berasal dari organisasi internasional. Sebagai contoh di Negara Arab Saudi, pemerintahnya menjadi negara ke satu yang mendukung pembiayaan kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan yang dilakukan negara-negara dunia ketiga. Namun penurunan harga minyak dunia akhir akhir ini berakibat pada menurunnya pendapatkan pemerintah sehingga terpaksa memotong anggaran rutin kepemerintahan dan badan-badan pemerintah. Beberapa perangkat ekonomi dapat diimplementasikan dalam rangka pengeloalaan keuangan untuk membiayai daerah perlindungan laut dan sumberdaya pesisir, terutama pada saat industri pariwisata memanfaatkan daerah tersebut (Gladstone 2000). Kawasan konservasi laut juga dapat digunakan sebagai perangkat yang efektif dalam membatasi efek ekosistem terhadap kegiatan penangkapan ikan, termasuk di dalamnya adalah aspek bilogis dan sosial ekonomi. Dari kenyataan yang ada, kegiatan penangkapan ikan seringkali menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Dengan penetapan kawasan konservasi laut, terutama yang bertujuan meningkatkan populasi satwa over-eksploitasi, dapat menekan dampak penangkapan ikan. Teknik model kawasan konservasi laut dapat berbeda-beda di masing-masing area, namun peran di dalam menjalankan skenarionya adalah hal yang krusial. Keberhasilan menjalankan kawasan konservasi laut tergantung dari seberapa bagus masyarakat penangkap ikan di daerah tersebut mempertimbangkan aspek biologi dan kebutuhan sosial ekonomi (Sumaila et al. 2000) 2.7 Pengertian Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pengelolaan adalah sebagai suatu proses pemeliharaan dan peningkatan lingkungan alam, dan pencegahan kerusakan lingkungan alam, sementara pada saat yang sama mempertahankan kehidupan manusia dan pembangunan ekonomi. Sementara itu dalam UU No. 27 Tahun 2007 pengertian pengelolaan adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam (Nikijuluw

50 ). Prinsip dari model pengelolaan ini adalah meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional, dimana akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya. Adapun Carter (1996), memberikan pengertian pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu startegi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di Daerah tersebut. Lebih lanjut Pomeroy dan Williams (1994) mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management atau disingkat dengan Co-Management. Adrianto (2005) menyebutkan bahwa prinsip pengelolaan berbasis masyarakat pada umumnya, yaitu dimulai dari proses kerjasama (cooperative), advisory hingga pemberian (sharing) informasi 2.8 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Sumberdaya alam merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Rothengatter (1987) dalam Kusumastanto (1994) bahwa sumberdaya alamdan lingkungan tidak hanya berfungsi sebagai penyedia bahan baku produksi tetapi juga sebagai penyerap limbah yang dihasilkan dari proses produksi. Oleh kaarena itu memasukkan aspek lingkungan sebagai faktor produksi merupakan langkah baru dalam pemikiran ekonomi. Dixon (1985) dalam Kusumastanto (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang bersifat inter temporal (antar waktu) dan terus menerus, tidak hanya tergantung pada parameter-parameter produksi tetapi juga berhubungan dengan pilihan atau keinginan masyarakat untuk mernperhatikan kualitas lingkungan dan kewajaran alokasi sumberdaya alam.

51 23 Dalam hal ini, pertumbuhan konsumsi yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan kelangsungan antar generasi, hanya mungkin terjadi apabila ketersediaan sumberdaya alam yang berfungsi memperbaiki kualitas lingkungan tetap terjaga. Hal ini berarti bahwa investasi pada sumberdaya alam dan lingkungan adalah faktor kunci demi pertumbuhan konsumsi dimasa yang akan datang. Oleh karena itu investasi harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan. Valuasi ekonomi berfungsi sebagai kerangka analisis dalam proses pengambilan keputusan. Nikijuluw (1995) mengemukakan bahwa keputusan untuk membangun suatu sektor tidak hanya tergantung pada pertimbangan ekonomi, tetapi faktor-faktor lain seperti faktor sosial, kultural, politik, serta bioekologi juga perlu diperhatikan. Namun dari segi ekonomis, pada batas dan asumsi tertentu pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dinilai atau diperhitungkan biaya dan manfaatnya. Sehingga analisis ekonomi sangat berperan dalam mengevaluasi berbagai alternatif skenario pembangunan. Total Economic Value (TEV) atau Nilai Ekonomi Total (NET) adalah suatu bentuk pemberian nilai secara menyeluruh terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang memperhitungkan berbagai fungsi dan manfaat sumberdaya tersebut. Nilai TEV adalah hasil penjumlahan dari nilai pemanfaatan (use value = UV) dan nilai non-pemanfaatan (non-use value = NUV). Sementara itu nilai pemanfaatan adalah hasil penjumlahan dari pemanfaatan langsung (direct use value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use value =IUV), dan nilai pilihan (option value = OV). Sedangkan nilai non pemanfaatan adalah jumlah dari nilai eksistensi (existence value =EV) dan nilai waris (bequest value = BV). Secara lengkap formulasi Nilai Ekonomi Total adalah : TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (EV + BV) Nilai Ekonomi Total (TEV) dari aset lingkungan hidup dapat dipisahkan kedalarn suatu set bagian komponen. Salah satu contoh adalah dalam penentuan alternatif pengembangan pemanfaatan hutan mangrove. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat (benefit-cost rule), keputusan untuk mengembangkan hutan mangrove dapat dibenarkan (justified) jika manfaat bersih dari pengembangan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Dalam hal ini manfaat

52 24 konservasi adalah nilai ekonomi total dari hutan mangrove itu sendiri. NET ini juga dapat diinterpretasikan sebagai NET dari perubahan kualitas lingkungan hidup. Penilaian ekonomi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk setiap jenis sumberdaya pada dasarnya terdiri dari 3 langkah utama, yaitu : (1) mengidentifikasi fungsi dan manfaat dari keragaman hayati, (2) menilai fungsifungsi dan manfaat tersebut dalam bentuk uang (secara moneter), dan (3) menilai total keuntungan bersih (total net benefits) dari seluruh fungsi dan manfaat ekosistem (Dahuri et al. 1995). Lebih lanjut Pomeroy (1992) dalam Dahuri et al. (1995) memberikan konsep valuasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang lebih sederhana, yaitu nilai sekarang (present value) dari suatu sumberdaya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : NPV = ML + ME -CL-CP-CE, dimana : NPV = Nilai sekarang manfaat bersih sumberdaya ML = Manfaat Langsung ME = Manfaat Eksistensi atau Manfaat Lingkungan (Eksistensi) CL = Biaya Langsung CP = Biaya Perlindungan Sumberdaya CE = Biaya Eksternal atau Biaya Lingkungan (Eksistensi) 2.9 Multidimensional Scaling Multidimensional scaling (penskalaan multidimensi) merupakan suatu teknik yang dapat membantu peneliti untuk mengenali (mengidentifikasi) dimensi kunci yang mendasari evaluasi obyek dari responden. Sebagai contoh, guna mengevaluasi persepsi responden terhadap berbagai aspek keberlanjutan program DPL BM. Responden dapat memberikan penilaian tingkat kepentingan aspekaspek yang terkait dengan keberlanjutan dengan membanding-bandingkan secara berpasangan aspek-aspek tersebut. Dari analisis MDS dapat diketahui dimensi apa yang mendasari persepsi responden tentang keberlanjutan program DPL-BM. Tujuan analisis MDS adalah mentransformasi keputusan-keputusan responden tentang similaritas/preferensi yang digambarkan dalam ruang multi dimensi. Bila obyek A dan B diputuskan/dipersepsikan oleh responden sebagai pasangan obyek yang paling serupa (similar) dari pada semua pasangan lain yang mungkin, maka MDS akan memposisikan obyek A dan B sedemikian rupa sehingga jarak di antara keduanya dalam ruang multi dimensi lebih dekat daripada

53 25 jarak antar sembarang pasangan obyek yang lain (Hair et al. 1998). Beberapa hal yang dapat dilakukan MDS dengan data yang tersedia adalah: 1. Menentukan dimensi apa yang dipergunakan responden ketika mengevaluasi obyek 2. Menentukan berapa dimensi yang akan dipergunakan untuk masalah yang sedang diteliti 3. Menentukan kepentingan relatif dari setiap dimensi 4. Menentukan bagaimana obyek dikaitkan atau dihubungkan secara perseptual (perceptually) Simamora (2005) mengemukakan bahwa sebelum melakukan MDS, ada beberapa isu yang perlu diperhatikan oleh peneliti, misalnya hal-hal berikut ini: Identifikasi Obyek Relevan. Peneliti perlu memeriksa obyek-obyek yang relevan. Obyek-obyek yang tidak relevan akan mengganggu peta persepsi serta mempersulit interpretasi dimensi-dimensi perceptual diantara obyekobyek yang diuji. Untuk memperolehnya, kita dapat melakukan riset pendahuluan, bisa pula berdasarkan data sekunder berupa data yang dipakai oleh pihak lain sebelumnya. Similarity Versus Prefensi. Setelah obyek ditentukan, perlu pula ditentukan berdasarkan pada apa persepsi terhadap obyek-obyek tersebut dipetakan, pada kesamaan (similarity) ataukah prefensi (prefence). Kedua jenis input data akan menghasilkan peta persepsi yang berbeda. Dengan similarity, memang dimensi-dimensi obyek dapat digali, tetapi determinasi pilihan tidak terungkap. Artinya kita tidak mengetahui kecenderungan pilihan responden. Dengan prefensi memang pilihan terefleksi, tetapi sulit membandingkan kesamaan antara satu obyek dan obyek lain sebab dimensi yang dipakai untuk membangun prefensi bisa saja berbeda untuk obyek yang berbeda. Desain Riset perlu ditentukan, apakah dalam MDS kita menggunakan desain decompositional (atribute-free) ataukah compositional (attribute-based). Dengan desain decompositional kita hanya mengukur kesan umum (general impression). Artinya responden tak perlu menguraikan alasan atas persepsi ataupun preferensinya. Dengan metode compositional, kita mengukur kesan atas sejumlah merek berdasarkan sekumpulan atribut. Dengan menggunakan teknik

54 26 pengukuran tertentu (biasanya skala numerik ataupun semantic differential scale), kita meminta responden memberikan peringkat (rating) pada sejumlah atribut. Kesamaan diukur dengan membandingkan data setiap obyek, umumnya dengan cara melakukan korelasi antar obyek. Kesamaan turunan (derived similarity) kemudian diolah dengan analisis faktor atau analisis diskriminan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi yang dipakai responden dalam membedakan obyek-obyek tersebut. Berdasarkan isu-isu diatas, kita dapat mengetengahkan berbagai metode dalam membuat peta persepsi (perceptual mapping). Konsep dasar MDS adalah proses menentukan koordinat posisi tiap obyek dalam suatu peta multi dimensi sehingga jarak antar obyek pemetaan akan sesuai dengan nilai kedekatan dalam input datanya. Ukuran kedekatan antar pasangan obyek berupa nilai kemiripan (similarity) atau nilai ketidak miripan (dissimilarity). Jika yang dipakai sebagai ukuran kedekatan adanya nilai kemiripan, semakin besar nilainya maka dua obyek tersebut semakin sama atau mirip satu sama lain.

55 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian diawali dengan pengumpulan data pada bulan Juni sampai Desember Selanjutnya pengumpulan data juga dilakukan pada tahun 2008 sampai Kegiatan penelitian di dilakukan di tiga lokasi yaitu di Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara, yaitu lokasi kegiatan pengelolaan DPL Desa Blongko, (2) Desa Tejang Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan-Provinsi Lampung, yaitu lokasi pengelolaan DPL Pulau Sebesi, dan (3) Desa Pulau Harapan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta, yaitu lokasi pengelolaan APL Pulau Harapan (Gambar 3). Jastifikasi pemilihan ketiga lokasi tersebut di atas didasarkan pada beberapa alasan, sebagai berikut: (1) Jastifikasi berdasarkan inisiator pendirian DPL. Pengembangan kegiatan DPL/APL di atas dilakukan oleh inisiator yang berbeda. Ada dua lembaga inisiator pengembangan ketiga DPL/APL di atas, yaitu Pemerintah Daerah dan Lembaga Internasional melalui program pengelolaan sumberdaya alam. a) DPL Desa Blongko dan DPL Desa Tejang Pulau Sebesi adalah DPL yang diinisiasi dan dikembangkan oleh Lembaga Internasional melalui program pengelolaan sumberdaya pesisir atau yang disebut dengan Proyek Pesisir pada tahun DPL Desa Blongko mewakili pengelolaan sumberdaya pesisir (daratan), sedangkan DPL Desa Tejang Pulau Sebesi mewakili pengelolaan pulau-pulau kecil. b) APL Pulau Harapan adalah APL yang dikembangkan atas inisiasi Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. APL Pulau Harapan juga merupakan pengelolaan sumberdaya berbasis pulau-pulau kecil.

56 28 (2) Jastifikasi berdasarkan karakteristik lokasi pendirian DPL. Selain perbedaan inisiatior, ketiga DPL/APL di atas juga memiliki perbedaan dalam hal kataktiristik wilayah. Ada yang merupakan daerah daratan (pulau besar), ada yang merupakan pulau kecil, dan ada pulau yang merupakan pulau sangat kecil. (a) DPL Desa Blongko adalah DPL yang mewakili kawasan pesisir dari daratan, yaitu pesisir daratan Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. (b) DPL Pulau Sebesi adalah DPL yang mewakili pulau kecil dengan keragaan sumberdaya yang cukup besar. (c) APL Pulau Harapan adalah DPL yang mewakili pulau sangat kecil dengan keragaan sumberdaya yang sangat rendah. Dari alasan pemilihan lokasi penelitian di atas, beberapa hal yang mendorong penelitian ini adalah perbandingan sebagai berikut: (1) Melalui pendekatan yang sama (pengembangan daerah perlindungan laut yang diinisiasi oleh lembaga yang sama) dapat dilakukan analisis pengelolaan sumberdaya berbasis daratan (pesisir) dan pengelolaan sumberdaya berbasis pulau-pulau kecil (kasus DPL Desa Blongko dan DPL Desa Tejang Pulau Sebesi); (2) Melalui pendekatan berbeda (inisiator) seperti pada kasus DPL Desa Tejang Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan, dapat dianalisis perbedaan pendekatan pengelolaan terhadap sumberdaya yang relatif sama (diwakili oleh sumberdaya pulau-pulau kecil); dan (3) Kasus DPL Blongko dan APL Pulau Harapan, dapat dianalisis perbedaan pendekatan pengelolaan dan perbedaan karakteristik sumberdaya (sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil).

57 Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (DPL Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara, DPL Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung, dan APL Pulau Harapan, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu- Provinsi DKI Jakarta) 29

58 Kerangka Pendekatan Penelitian Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian Efektifitas dan Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat: Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu ini disajikan pada Gambar 4. Kajian diawali dari kondisi terkini pengelolaan dari 3 DPL, yaitu DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan. Tahap pertama dilakukan pengumpulan data ekologi/biofisik, sosial ekonomi, sosial budaya, kebijakan dan kelembagaan. Data ekologi/biofisik antara lain mencakup kondisi ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan, serta ekosistem pesisir lainnya. Data sosial ekonomi mencakup mata pencaharian, pendapatan dan usaha ekonomi alternatif. Data sosial budaya meliputi data persepsi masyarakat dan partipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pulau. Adapun kebijakan dan kelembagaan seperti aturan-aturan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, kelembagaan masyarakat, kemampuan institusi setempat, dukungan pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi. Data tersebut di atas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitaif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek ekologi/biofisik dan data sosial ekonomi. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis aspek sosial budaya dan kebijakan-kelembagaan. Tahap selanjutnya, dilakukan penyusunan parameter dan indikator penilaian efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Parameter yang dijadikan indikator penilaian prospek keberlanjutan pengelolaan DPL terdiri atas 12 parameter, yaitu (1) dampak terhadap kualitas terumbu karang; (2) dampak terhadap sumberdaya ikan; (3) dampak terhadap perbaikan lingkungan; (4) kesesuaian dengan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat; (5) dampak terhadap perbaikan ekonomi masyarakat; (6) dampak terhadap pengembangan usaha lain; (7) kesesuaian dengan kebijakan setempat; (8) komitmen pemerintah setempat dan institusi lainnya; (9) partisipasi dari stakeholder utama; (10) peningkatan kapasitas institusi setempat; (11) penguatan kapasitas sumberdaya manusia; dan (12) hubungan dengan sumber pendanaan lainnya (Modifikasi dari Bengen et al. 2002).

59 Gambar 4. Kerangka penelitian 31

60 32 Untuk menilai efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut di tiga lokasi studi digunakan analisis diskriminan (Discriminant Analysis). Parameterparemeter tersebut dinilai dan diberi skor berdasarkan indikator yang telah disusun. Dengan pendekatan yang sama, juga dilakukan untuk menilai prospek keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Penilaian keberlanjutan ini menggunakan analisis multidimensional scaling. Berdasarkan hasil analisis ini, akan diketahui seberapa besar efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut di lokasi studi dan sejauh mana prospek keberlanjutan pengembangan DPL oleh masyarakat setempat. 3.3 Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dan bersifat eksploratif. Metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang kejadian-kejadian nyata sekarang (sementara berlangsung). Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat, suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala yang terjadi. 3.4 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari berbagai institusi terkait dan penelusuran berbagai pustaka yang ada. Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi, wawancara, diskusi, dan pengukuran di lapang. Kedua jenis data ini meliputi data sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta data biofisik. a. Data Ekologi/Biologi-Fisik Data biofisik yang dikumpulkan meliputi data oseanografi, kualitas air dan sumberdaya hayati laut yang ada di lokasi penelitian. Parameter oseanografi dan kualitas air yang diukur secara langsung di lapangan meliputi suhu, kecerahan, kedalaman perairan, kecepatan arus, salinitas, kekeruhan, derajat keasaman (ph). Data biologi dan sumberdaya hayati yang dikumpulkan meliputi terumbu karang, mangrove, lamun dan sumberdaya perikanan. Secara ringkas kebutuhan data biofisik untuk penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

61 33 Tabel 1. Kebutuhan data biofisik No. Parameter Satuan Jenis data Alat A. Fisika 1 Suhu o C Primer Termometer 2 Kecerahan m Primer Seichidisch 3 Kecepatan arus m/detik Sekunder Current meter 4 Salinitas o/oo Primer/sekunder Salinometer 5 DO ppm Primer/sekunder DO meter B. Kimia 1 ph mg/l Primer/sekunder ph meter 2 Nitrat mg/l Sekunder Pengambilan sampel 3 Phospat mg/l Sekunder Pengambilan sampel C. Terumbu Karang 1. Luas ha Sekunder Analisis GIS 2. Persen Penutupan % Primer/Sekunder Metode LIT D. Ekosistem Mangrove 1. Luas ha Sekunder Analisis GIS 2. Jenis - Primer Transek Plot E. Ekosistem Lamun 1. Luas ha Sekunder Analisis GIS 2. Jenis - Primer Transek Plot b. Data sosial ekonomi dan budaya Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber dan instansi yang relevan, seperti dari kantor Kecamatan dan Desa, Dinas Perikanan dan Kelautan, BAPPEDA, Dinas Pertanian, Dinas Pariwisata, BPS (Biro Pusat Statistik), dan sebagainya. Pelaksanaan kajian dilakukan secara partisipatif terhadap masyarakat maupun organisasi yang ada baik formal maupun informal. Data sosial ekonomi meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, persepsi, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, kecenderungan masyarakat memanfaatkan sumberdaya laut dan sebagainya, serta keinginan masyarakat. Data kelembagaan meliputi lembagalembaga yang ada di tingkat desa (formal dan non formal), kapasitas lembaga

62 34 (dilihat dari kemampuan menjabarkan program), program yang dibuat oleh lembaga yang ada, dan sebagainya. Peraturan dan perundangan meliputi seluruh peraturan dan perundangan baik pada level desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi, baik secara langsung maupun tidak langsung mendukung pengembangan daerah perlindungan laut. Pengumpulan data primer sosial ekonomi budaya dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan penggunaan kuesioner. Responden yang menjadi target adalah mereka yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan daerah perlindungan laut. Responden tersebut berasal dari kelompok nelayan, kelompok non nelayan, anggota lembaga swadaya masyarakat, staf pemerintah (level desa sampai kabupaten), dan kelompok lainnya yang terkait dengan pengembangan daerah perlindungan laut. Jumlah responden yang dipilih tidak lebih dari 25 orang yang mewakili masing-masing kategori di atas. 3.5 Analisis Data Analisis Potensi Sumberdaya Alam (1) Ekosistem Terumbu Karang Data terumbu karang dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi terkini dari ekosistem terumbu karang yang diamati. Untuk mengetahui kualitas tutupan karang digunakan kriteria persentasi tutupan karang hidup seperti pada Tabel 2 (Gomes dan Yap, 1978). Tabel 2. Kriteria persentase penutupan karang hidup Persentase Tutupan Karang Hidup (%) Kondisi 0.0% % Buruk 25.0% % Sedang 50.0% -74.9% Baik 75.0% - 100% Sangat Baik Sumber : Gomez dan Yap (1978) (2) Ekosistem Lamun Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe. Kriteria penilaian tutupan Lamun disajikan pada Tabel 3.

63 35 Tabel 3. Kelas kehadiran masing-masing jenis lamun Kelas Luas Area Penutupan % Penutupan Area % Titik Tengah (M) 5 ½ - penuh ¼ - ½ ,5 3 1/8 - ¼ 12, ,75 2 1/16 1/8 6,25 12,5 9,38 1 <1/16 < 6,25 3,13 0 Tidak Ada 0 0 Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2005) Analisis Nilai Ekonomi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Analisis nilai ekonomi pengembangan daerah perlindungan laut dilakukan dengan menghitung total nilai ekonomi yang terdapat di Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan yang menjadi lokasi studi kasus penelitian ini. Tahapan analisis yang dilakukan adalah (1) mengidentifikasi manfaat ekonomi dan (2) menghitung total nilai ekonomi. Identifikasi Manfaat Potensi sumberdaya alam yang terdapat di pulau-pulau kecil terdiri atas terumbu karang, lamun, perikanan tangkap dan perikanan budidaya. (1) Terumbu karang Nilai ekonomi terumbu karang terdiri atas perikanan sekitar karang, pencegahan erosi, penelitian, stok karbon, biodiversity dan pariwisata. ekonomi terumbu karang dirumuskan sebagai berikut: TEC = PK + PE + PEN + SK + BIO + PAR Nilai Keteraangan: TEC = Total manfaat ekonomi terumbu karang PK = Manfaat perikanan sekitar karang PE = Manfaat pencegah erosi PEN = Manfaat penelitian SK = Manfaat stok karbon BIO = Manfaat biodiversity PAR = Manfaat pariwisata

64 36 (2) Lamun Nilai ekonomi lamun terdiri atas perikanan sekitar lamun, pencegahan erosi, penelitian dan biodiversity. Nilai ekonomi lamun dirumuskan sebagai berikut: TES = PK + PE + PEN + BIO Keterangan: TES = Total manfaat ekonomi lamun PK = Manfaat perikanan sekitar lamun PE = Manfaat pencegah erosi PEN = Manfaat penelitian BIO = Manfaat biodiversity (3) Perikanan tangkap dan budidaya Nilai ekonomi sumberdaya perikanan tangkap didekati dengan produksi/nilai produksi yang dihasilkan masing-masing lokasi studi. Nilai ekonomi perikanan budidaya akan didekati dengan produksi/nilai produksi yang dihasilkan masing-masing lokasi studi. Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi Kedalam Nilai Uang Beberapa teknik kuantifikasi yang digunakan adalah : (1) Nilai pasar: untuk merupiahkan komoditas-komoditas yang langsung dapat dipasarkan (untuk menilai manfaat langsung hasil hutan, hasil perikanan, dan lain-lain). (2) Harga tidak langsung: digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan pada komponen sumberdaya yang diteliti, misalnya karena komponen tersebut belum memiliki nilai pasar. Cara ini digunakan untuk merupiahkan manfaat tidak langsung dari sumberdaya. (3) Contingent valuation method : yaitu untuk memperoleh nilai manfaat keberadaan sumberdaya. Untuk itu dalam survei digunakan tiga model pertanyaan yang saling melengkapi, yaitu pertanyaan terbuka, pertanyaan pilihan, dan pertanyaan setuju atau tidak setuju (binom choice) kepada responden. Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Sumberdaya DPL Analisis data meliputi analisis nilai ekonomi total sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dan analisis manfaat biaya (benefit cost analysis).

65 37 (1) Nilai Ekonomi Total (NET) untuk masing-masing kawasan DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan diformulasikan sebagai berikut: NET = TEM + TEC + TES + TET + TEB dimana : TEM TEC TES TECF TEAF = Nilai ekonomi total mangrove = Nilai ekonomi total terumbu karang = Nilai ekonomi total lamun = Nilai ekonomi total perikanan tangkap = Nilai ekonomi total perikanan budidaya (2) Penetapan alternatif pengelolaan sumberdaya Penetapan alokasi pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil yang efisien dilakukan dengan menggunakan analisis manfaat biaya (benefit cost analysis) seperti yang diungkapkan Ruitenbeek (1992) dan Munasinghe (1993) dengan kriteria : ( ) Keterangan: Bt = Pendapatan kotor unit usaha pada tahun t Ct = Biaya kotor unit usaha pada tahun t n = Umur ekonomis i = Tingkat bunga t = 1, 2, 3,, n Kriteria: NPV > 0, berarti usaha layak/menguntungkan NPV = 0, berarti usaha mengembalikan sebesar biaya yang dikeluarkan NPV < 0, berarti usaha tidak layak/rugi. Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ini bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis proyek. Net B/C merupakan perbandingan antara total nilai sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif (B t C t > 0) dengan total nilai sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif (B t C t < 0), dengan rumus:

66 38 ( ) ( ) ( ) ( ) Keterangan: B = manfaat yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya pulaupulau kecil di lokasi studi C t = biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat penggunaan sumberdaya pulau-pulau kecil di lokasi studi t = jangka waktu penilaian (tahun) r = faktor diskonto (discount rate) NPV = net present value (nilai manfaat bersih sekarang) BCR = benefit cost ratio (rasio manfaat biaya) Kriteria penilaian alokasi pemanfataan sumberdaya layak dikembangkan jika NPV > 0 atau bila BCR > 1. dalam penentuan skenario terbaik, maka nilai NPV yang terbaik digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dari analisis NET tersebut kemudian digabungkan dengan Analisa Biaya Manfaat (ABM). Analisis ini merupakan salah satu analisis yang ditujukan untuk melihat manfaat bersih (penilaian manfaat sumberdaya pulau-pulau kecil sekarang) dari suatu ekosistem alamiah setelah diketahui manfaat yang dihasilkan serta biaya yang harus dikeluarkan dan hasil dari analisis ini digunakan dalam pengambilan keputusan (decision making) dalam pengalokasian sumberdaya alam yang langka. Nilai ekonomi ekosistem alamiah dalam studi ini dinyatakan dalam bentuk Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value atau NPV) Analisis Efektifitas Pengelolaan DPL A. Penilaian Parameter Penilaian efektifitas pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat dirujuk pada sejumlah parameter yang mengarah pada pencapaian tujuan program ini. Secara umum, ada tiga parameter kunci yang dapat dijadikan indikator penilaian efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, yaitu (1) Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut; (2) Proses Implementasi Program Daerah Perlindungan Laut; dan (3) Dampak Program atau Pencapaian Hasil dari Program Daerah Perlindungan Laut.

67 39 1. Penyusunan Rencana Pengelolaan Efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut hanya akan tercapai manakala sejak awal sudah disusun rencana pengelolaan atau kerangka kerja yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan program ini. Rencana pengelolaan seharusnya sudah disiapkan sejak awal, yaitu pada saat program ini dirancang untuk dikembangkan. Meskipun program-program pembangunan dapat disusun setiap 6 bulan atau 1 tahun sekali. Untuk menilai efektifitas program DPL ini ditinjau dari aspek penyusunan rencana pengelolaan maka beberapa parameter yang dianalisis adalah: Ketersediaan data dasar Untuk mengetahui apakah program ini berhasil mencapai tujuan atau tidak, maka harus dilakukan penilaian terhadap kecenderungan perubahan yang ada baik terhadap perbaikan kualitas sumberdaya maupun peningkatan taraf hidup masyarakat. Untuk mengetahui adanya perubahan ini, maka pengelola DPL harus memiliki data dasar yang bisa dijadikan pembanding dari setiap kali melakukan pengukuran atau penilaian sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu, pada saat program ini dirancang, maka kerangka monitoring juga sudah disiapkan dengan dukungan data dasar yang dikumpulkan pada saat penyusunan program pengembangan daerah perlindungan laut. Data dasar tersebut tidak hanya menyangkut data biofisik, tetapi juga data sosial ekonomi dan budaya. Data ini akan menjadi indikator dalam penilaian keberhasilan pengembangan daerah perlindungan laut. Adanya Kerangka Kerja Parameter lainnya yang perlu dianalisis untuk menilai efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut adalah apakah terdapat kerangka kerja yang dijadikan pedoman dalam pengembangan daerah perlindungan laut. Kerangka kerja ini menyangkut lembaga pengelola (badan pengelola), aturan-aturan yang disiapkan oleh masyarakat dan mendapat persetujuan dari pemerintah daerah dan masyarakat

68 40 setempat, program-program pembangunan yang mendukung pengelolaan daerah perlindungan. Sumber Pendanaan Meskipun program pengelolaan daerah perlindungan laut berdasarkan pada pendekatan pengelolaan masyarakat, namun dalam prakteknya pengelolaan daerah perlindungan memerlukan dana yang mungkin tidak dapat ditanggulangi oleh masyarakat. Oleh karena itu, pengelola daerah perlindungan laut perlu mengidentifikasi sumber-sumber pendanaan yang dapat dijadikan sebagai sumber pemasukan dana pengelolaan daerah perlindungan laut. Sumber-sumber tersebut dapat berasal dari bantuan pemerintah daerah, sumbangan donor, atau dana retribusi bagi wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut. 2. Proses Implementasi Parameter lainnya yang menjadi indikator penilaian efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut adalah terkait dengan proses implementasi. Meskipun rencana pengelolaan telah disiapkan seperti diuraikan sebelumnya, jika tidak didukung dengan proses implementasi yang memiliki akuntabilitas, maka pengelolaan daerah perlindungan laut tidak akan efektif. Ada beberapa parameter yang terkait dengan proses implementasi daerah perlindungan laut, yaitu: Pembagian tugas dalam pengelolaan DPL Sebagai sebuah institusi pengelolaan yang berbasis masyarakat, maka terdapat berbagai komponen yang terlibat dalam proses implementasi daerah perlindungan laut ini. Keterlibatan setiap komponen sangat menguntungkan pengelolaan program ini karena mendapat dukungan luas dari masyarakat. Namun apabila tidak dilakukan pembagian tugas terhadap setiap komponen ini, akan menimbulkan konflik antara satu komponen dengan komponen lainnya. Apabila ini terjadi, akan menyebabkan ketidak efektifan pengelolaan daerah perlindungan laut. Oleh karena itu, penilaian efektifitas pengelolaan ini, akan dilihat dari ada tidaknya pembagian tugas dari setiap komponen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan daerah perlindungan laut.

69 41 Dukungan Peraturan Pengembangan daerah perlindungan laut pada prinsipnya pembatasan kegiatan pada daerah tertentu. Hal ini berarti adanya pelarangan terhadap kegiatan-kegiatan yang mungkin sudah dilakukan sebelumnya di lokasi tersebut. Hal ini tentunya akan menimbulkan berbagai konflik antara masyarakat. Konflik yang muncul ini akan menyebabkan tidak efektifnya pengelolaan daerah perlindungan laut. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ini perlu membuat aturan-aturan yang disepakati oleh masyarakat setempat. Adanya penerimaan masyarakat setempat dan masyarakat sekitarnya terhadap aturan ini akan membuat pengelolaan daerah perlindungan laut menjadi efektif. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut juga dapat dilihat dari ada tidaknya kegiatan monitoring (pemantauan) dan evaluasi terhadap program ini. Monitoring dan evaluasi sudah harus dirancang sejak awal untuk mengetahui pencapaian dari tujuan pengembangan program. Hasil-hasil dari kegiatan monitoring dan evaluasi ini akan menjadi masukan bagi perbaikan program tersebut. 3. Pencapaian Hasil Parameter lainnya yang menjadi indikator efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut adalah pencapaian hasil. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dari program daerah perlindungan laut, yaitu (1) perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan; (2) perbaikan kualitas hidup masyarakat; dan (3) perubahan sikap masyarakat terhadap pola-pola pemanfaatan yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, parameter-parameter ini akan dianalisis untuk mengetahui efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut. Kontribusi terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan Efektif tidaknya pengelolaan daerah perlindungan laut akan dilihat sejauh mana kontribusi program ini terhadap perbaikan kualitas terumbu karang dan ikan karang serta perbaikan kualitas lingkungan

70 42 secara umum. Pola-pola pemanfaatan sumberdaya yang selama ini merusak terumbu karang telah dilarang sejak pengembangan program daerah perlindungan laut. Dengan demikian, terjadi penurunan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya ini. Harapannya, kualitas sumberdaya yang ada menjadi lebih baik, baik kualitas terumbu karang maupun sumberdaya ikan karang yang berada di sekitarnya. Kontribusi terhadap perbaikan sosial ekonomi masyarakat Program ini juga bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat dari aspek peningkatan pendapatan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Perbaikan kualitas terumbu karang dan ikan karang akan berdampak terhadap produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan laut. Selain itu, karena program ini dirancang secara terpadu, terdapat berbagai kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat seperti penciptaan mata pencaharian alternatif (budidaya laut, pariwisata, dll). Apabila kegiatan ini tidak memberikan kontribusi terhadap perbaikan ekonomi masyarakat, maka pengelolaan daerah perlindungan laut dapat dianggap tidak efektif. Kontribusi terhadap perubahan sikap positif masyarakat Perubahan sikap masyarakat dari pola-pola pemanfaatan sumberdaya yang merusak lingkungan ke arah pola-pola pemanfaatan yang ramah lingkungan, juga menjadi indikator pengelolaan daerah perlindungan laut yang efektif. Sebagaimana diketahui, sebelum program ini dikembangkan di masing-maisng lokasi terdapat banyak masyarakat yang menggunakan teknik-teknik penangkapan ikan yang merusak lingkungan dan sumberdaya seperti penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (sianida, bom, dan alat tangkap gardan). Perubahan sikap positif ini akan dianalisis sebagai salah satu indikator pengelolaan yang efektif.

71 43 Tabel 4. Ringkasan parameter penilaian efektifitas pengelolaan DPL Domain Parameter Variabel Keterangan Rencana Pengelolaan Proses Implementasi Pencapaian Hasil Ketersediaan data dasar Adanya kerangka kerja Sumber pendanaan Pembagian tugas pengelolaan DPL Dukungan peraturan Monitoring dan evaluasi Perbaikan terhadap sumberdaya dan lingkungan Perbaikan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Perbaikan terhadap perubahan persepsi dan perilaku masyarakat Dokumen data dasar ekologi, sosial dan ekonomi Dokumen kerangka kerja Kejelasan sumber anggaran untuk pembiayaan Kejelasan tugas pihak-pihak yang terlibat Penerbitan aturan khusus Kerangka kerja untuk monitoring dan evaluasi Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan Dampak terhadap perekonomian masyarakat Dampak terhadap sikap dan persepsi masyarakat Ekologi kualitas ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove dan lamun), sumberdaya ikan Ekonomi : mata pencaharian, pendapatan, penduduk Sosial budaya: Persepsi, pola-pola pemanfaatan sumbedaya alam, kearifan lokal dan kelembagaan Kelembagaan pengelolaan DPL Aturan-aturan pengelolaan DPL yang disiapkan oleh masyarakat Program-program pembangunan Pembiayaan pemerintah Pembiayaan masyarakat Pembiayaan sumber lainnya (LSM, swasta, dll) Organisasi badan pengelola Pembagian tugas setiap bagian Peruturan Daerah atau Pemerintah yang khusus untuk mengembangkan DPL Tahapan-tahapan melakukan meonitoring Perbaikan kualitas lingkungan Berkurangnya kegiatan yang destruktif Peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat Munculnya kesadaran masyarakat untuk melindungi ekosistem pesisir B. Teknik Analisis Selain melihat efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut masingmasing DPL di atas, juga akan dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh di setiap DPL. Perbedaan pendekatan yang digunakan dalam pengembangan DPL dan perbedaan karakteristik masing-masing DPL, tentunya akan memberikan hasil efektifitas yang berbeda pula. Untuk mengetahui perbedaan ini akan digunakan analisis diskriminan. Seperti diuraikan sebelumnya,

72 44 2 DPL (DPL Blongko dan Sebesi) diinisiasi oleh Proyek Pesisir, sedangkan APL P. Harapan diinisiasi oleh Pemerintah Daerah. DPL Blongko merupakan DPL yang berbasis pulau daratan, sedangkan DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan merupakan DPL berbasis pulau-pulau kecil. Perbedaan ini sangat menarik untuk dianalisis untuk dijadikan bahan masukan bagi pengelolaan DPL lebih lanjut. Prosedur analisis diskriminan dapat dilakukan dalam lima tahapan berikut : 1. Mengenali tujuan analisis, penentuan variabel tak bebas berdasarkan teori atau hasil penelitian sebelumnya, penentuan variabel bebas/prediktor yang akan dimasukkan dalam model fungsi diskriminan. Pada tahap ini juga termasuk tahap penentuan contoh analisis (untuk keperluan estimasi) dan sample validasi (untuk keperluan validasi fungsi diskriminan). 2. Melakukan estimasi fungsi diskriminan. Estimasi fungsi diskriminan dapat dilakukan dengan bantuan program SPSS. Estimasi dapat dilakukan dengan salah satu metode yaitu direct method atau stepwise discriminant analysis. 3. Menguji signifikansi fungsi diskriminan: tahapan ini dimaksudkan untuk menguji keberartian fungsi diskriminan dalam membedakan antar kelompok. Dari tahapan ini akan dapat diperoleh fungsi-fungsi yang secara signifikan mendiskriminasi kelompok-kelompok yang diberikan 4. Mengintepretasi hasil: tahapan ini dimaksudkan untuk mengkaji koefisien fungsi diskriminan dikaitkan dengan permasalahan yang dimodelkan 5. Penilaian validitas analisis diskriminan: tahapan ini dimaksudkan untuk menilai sejauh mana akurasi fungsi diskriminan hasil estimasi dalam mengklasifikasikan objek-objek yang diketahui kelompoknya. Prosentase keberhasilan mengelompokkan obyek secara benar ke dalam kelompoknya merupakan indikator keakuratan analisis. Variabel-variabel tak bebas adalah tiga DPL yang mengembangkan program DPL berbasis masyarakat yang diberi indeks 1, 2 dan 3. Variabel bebas merupakan variabel kuantitatif yang terkait dengan efektifitas program DPL-BM, seperti diuraikan di atas, yaitu: (1) Ketersediaan data dasar (X 1 ) (2) Kerangka kerja pengelolaan DPL (X 2 )

73 45 (3) Sumber pendanaan pengelolaan DPL (X 3 ) (4) Pembagian tugas pengelolaan DPL (X 4 ) (5) Dukungan peraturan (X 5 ) (6) Monitoring dan evaluasi (X 6 ) (7) Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan (X 7 ) (8) Dampak terhadap perbaikan sosial ekonomi masyarakat (X 8 ) (9) Dampak terhadap perubahan sikap masyarakat (X 9 ) Penentuan nilai (skor) dari setiap parameter bebas ini disajikan pada Lampiran 1, sedangkan matriks data yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks analisis efektifitas pengembangan DPL ditiga lokasi penelitian Pulau/DPL Variabel Bebas X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 Blongko (Y 1 ) y 11 y 21 y 31 y 41 y 51 y 61 y 71 y 81 y 91 Sebesi (Y 2 ) y 12 Y 22 Y 32 Y 42 Y 52 Y 62 Y 72 Y 82 Y 92 Harapan (Y 3 ) y 13 Y 23 Y 33 Y 43 Y 53 Y 63 Y 73 Y 83 Y 93 Keterangan: Yi (i = 1, 2, m) Xj (j = 1, 2,..., n) Yij (m=3; n=9) = Pulau/DPL ke-i = Variabel bebas (parameter) ke-j = Pengukuran keragaan variabel ke-j dari pulau ke-i Analisis Keberlanjutan Pengembangan DPL A. Parameter Keberlanjutan Fokus analisis keberlanjutan program daerah perlindungan laut dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana program daerah perlindungan laut di lokasi penelitian dapat berlanjut atau dilanjutkan oleh masyarakat setempat. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa ketiga daerah perlindungan laut yang diteliti merupakan program inisiasi oleh pihak luar. Sehingga dalam jangka waktu tertentu inisiator tidak lagi terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, maka tanggungjawab selanjutnya untuk melanjutkan program ini adalah masyarakat setempat. Apakah masyarakat akan melanjutkan program ini atau tidak, terdapat banyak parameter yang mempengaruhinya. Faktor-faktor inilah yang akan diteliti. Faktor-faktor yang mempanguruhi

74 46 keberlanjutan daerah perlindungan laut di tiga lokasi penelitian, dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: 1. Faktor yang terkait dengan Aspek Ekologi/Biofisik Sesuai dengan konsep pengembangannya, DPL bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam hal ini ekosistem terumbu karang dan biota-biota yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Oleh karena ini, program ini harus mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan kualitas terumbu karang dan ikan karang. Dalam jangka pendek program DPL bertujuan untuk menghentikan kegiatan yang sifatnya merusak ekosistem terumbu karang dan ikan-ikan karang, sedangkan dalam jangka panjang bertujuan untuk meningkatkan kualitas terumbu karang. Dengan demikian, parameter yang akan dianalisis dalam kaitannya dengan aspek ekologi/biofisik adalah: Dampak terhadap kualitas terumbu karang Untuk melihat dampak program daerah perlindungan laut terhadap kualitas terumbu karang, maka informasi yang perlu dianalisis adalah kecenderungan dari kualitas terumbu karang sejak adanya program DPL ini. Apakah kualitas terumbu karang mengalami penurunan, tetap atau sebaliknya mengalami peningkatan. Informasi lainnya yang perlu dianalisis adalah kecenderungan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Apakah pola-pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang selama ini khususnya yang merusak terumbu karang masih berlangsung atau sudah tidak ada. Demikian juga faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi seperti pencemaran, sedimentasi dan sebagainya dari daratan apakah masih ada atau sudah dikelola dengan baik. Dampak terhadap sumberdaya ikan Keberadaan sumberdaya ikan merupakan salah satu parameter yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengembangan program DPL. Program DPL akan berkelanjutan apabila memberikan pengaruh terhadap perbaikan sumberdaya ini. Oleh karena itu, parameter ini akan dianalisis untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan dari

75 47 program DPL. Informasi yang dianalisis adalah kecenderungan dari ikan-ikan yang ada di kawasan dan sekitar DPL, baik untuk ikan target maupun ikan indikator. Keberadaan ikan-ikan ini akan dilihat dari segi kelimpahan dan keanekaragamannya. Selain itu juga akan dianalisis kecenderungan dari pemanfaatan sumberdaya ini. Apakah praktekpraktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan masih dilakukan atau tidak. Dampak terhadap perbaikan lingkungan Dampak program DPL lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program ini adalah ada tidaknya dampak terhadap perbaikan lingkungan, seperti penanggulangan abrasi pantai, penanggulangan pencemaran pantai dan sebagainya. 2. Faktor yang terkait dengan Aspek Ekonomi Aspek lainnya yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program DPL adalah aspek ekonomi. Program daerah perlindungan laut dirancang tidak hanya untuk melindungi sumberdaya terumbu karang, tetapi juga untuk menciptakan kegiatan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat. Oleh karena itu, beberapa parameter yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Kesesuaian DPL dengan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat Program DPL yang dikembangkan akan berkelanjutan, apabila program ini mendapat dukungan dari masyarakat. Dukungan tersebut akan didapatkan apabila program ini sesuai dengan aspek sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, informasi yang dianalisis terkait dengan parameter ini adalah persepsi masyarakat terhadap program DPL, keterkaitan program DPL dengan mata pencaharian masyarakat; dan minat dan animo masyarakat terhadap program DPL. Dampak terhadap perbaikan ekonomi masyarakat Parameter lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program DPL adalah adanya dampak dari program ini terhadap peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Informasi yang dianalisis dari

76 48 parameter ini adalah kecenderungan pendapatan masyarakat setelah adanya program DPL. Pendapatan akan dikaji dari berbagai aktivitas ekonomi yang baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengembangan program DPL. Dampak terhadap pengembangan usaha lain Parameter lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program DPL adalah apakah program ini memberikan dampak terhadap pengembangan usaha ekonomi lainnya, seperti pengembangan usaha wisata bahari, pengembangan budidaya laut, dan kegiataan lainnya terkait dengan peningkatan usaha ekonomi masyarakat. Usaha-usaha yang dikembangkan terkait dengan program ini akan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan keberlanjutan program DPL. 3. Faktor yang terkait dengan Aspek Sosial Budaya Aspek sosial budaya juga memegang peranan penting terkait dengan keberlanjutan program DPL. Kesesuaian program ini dengan kebijakan dan adat istiadat masyarakat setempat akan mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap program ini. Demikian juga dukungan pemerintah dan lembaga lainnya juga mempengaruhi keberlanjutan program DPL. Berikut parameter yang dianalisis terkait dengan aspek sosial budaya dalam pengembangan program DPL adalah: Kesesuaian program DPL dengan kebijakan setempat Tidak dipungkiri bahwa kesesuaian program DPL dengan kebijakan setempat, baik pada tingkat masyarakat (desa) maupun kabupaten sangat mempengaruhi keberlanjutan program DPL ini. Tidak jarang suatu program ditolak atau tidak diterima masyarakat karena tidak sesuai dengan kebijakan setempat. Kesesuaian program ini dengan kebijakan setempat memudahkan program ini diadopsi oleh masyarakat dan dilaksanakan, dan selanjutnya program tersebut akan dikembangkan sendiri oleh masyarakat. Demikian juga keberlanjutan program DPL ini sangat dipengaruhi oleh parameter ini, apakah program ini sesuai dengan kebijakan setempat atau tidak. Apabila

77 49 sesuai, maka program ini tentunya dapat berlanjut dan dikembangkan oleh masyarakat. Adanya komitmen lembaga pemerintah dan lembaga lainnya Adanya dukungan dari lembaga-lembaga lokal baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan ataupun perguruan tinggi atau lembaga penelitian akan memberikan dukungan bagi keberlanjutan program DPL ini. Oleh karena itu, informasi ini akan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana dukungan lembaga-lembaga yang ada di daerah dalam mendukung program pengembangan daerah perlindungan laut. Adanya partisipasi dari stakeholder utama Dalam konteks keterlibatan masyarakat dalam suatu program pengelolaan pesisir, terdapat tiga tingkatan partisipasi, yaitu partisipasi sebatas pada memberi informasi (tingkat informasi), partisipasi sebatas target konsultasi, dan partisipasi sebagai pemilik program. Dalam pengembangan daerah perlindungan laut, ketiga tingkatan partisipasi di atas akan dianalisis pada masing-masing lokasi untuk mengetahui sejauh mana partisipasi masyarakat dalam program ini. 4. Faktor yang terkait dengan Aspek Hukum dan Kelembagaan Faktor lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program DPL ini adalah terkait dengan aspek hukum dan kelembagaan. Sejauh mana inisiator dan masyarakat mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan aspek ini untuk mendukung pengembangan program DPL. Beberapa parameter yang dianalisis terkait dengan aspek ini adalah: Penguatan kapasitas institusi setempat Salah satu konsep dari pengembangan daerah perlindungan laut adalah pengembangan institusi pengelola atau sering disebut badan pengelola. Dalam pengembangannya, badan ini biasanya berasal dari lembaga yang sudah ada di desa sehingga tidak perlu dibentuk lembaga baru. Hanya saja dilakukan penyesuaian berdasarkan fungsi dan tugas yang

78 50 akan dilaksanakan terkait dengan pengelolaan daerah perlindungan laut. Parameter ini juga sangat menentukan dan mempengaruhi keberlanjutan program DPL. Oleh karena itu, dalam penelitian ini parameter tersebut akan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dari institusi tersebut. Informasi yang dianalisis adalah sejauh mana kemampuan institusi tersebut mendapatkan informasi dari luar, apakah institusi ini mampu menjalin kerjasama dengan pihak luar, dan bagaimana kemampuan institusi pengelola memasarkan atau mempromosikan program DPL. Penguatan sumberdaya manusia Ketersediaan sumberdaya manusia yang memahami konsep dari program DPL juga menjadi faktor yang mempengaruhi keberlanjutan program ini. Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauhmana persiapan yang dilakukan terkait dengan penguatan sumberdaya manusia ini, maka analisis ini akan difokuskan pada informasi-informasi seperti apakah ada program penguatan sumberdaya manusia yang dilakukan terkait langsung dengan pengelolaan DPL; apa dampak dari program tersebut terhadap penguatan sumberdaya manusia; apakah ada program pendampingan yang dilakukan; dan apakah ada tenaga asistensi teknis yang disediakan selama pengembangan program. Hubungan dengan donor lain Meskipun parameter ini tidak terlalu penting dan menentukan, namun keberadaannya juga akan memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan program DPL seperti disajikan pada Lampiran 2. Hal ini mengingat seringkali program DPL membutuhkan pendanaan yang tidak dapat disediakan oleh masyarakat atau pemerintah daerah. Informasi yang dianalisis terkait dengan parameter ini adalah apakah ada kegiatan lainnya yang memberikan iklim kondusif bagi pengembangan daerah perlindungan laut; apakah ada rencana atau program untuk mendapatkan dana pengelolaan dari donor lain.

79 51 B. Teknik Analisis Untuk mengetahui sejauh mana setiap parameter di atas mempengaruhi keberlanjutan pengembangan program daerah perlindungan laut di tiga lokasi penelitian akan dilakukan analisis lebih lanjut. Penentuan nilai (skor) dari setiap parameter keberlanjutan disajikan pada Lampiran 3. Metode analisis yang digunakan untuk melihat keberlanjutan DPL adalah analisis multidimension scalling. Terdapat 5 tahapan prosedur analisis MDS sebagai berikut: 1. Tahap perumusan masalah, yaitu menentukan tujuan penggunaan MDS dan memilih obyek atau stimulus yang akan dianalisis. Agar diperoleh peta spasial yang cukup baik maka dibutuhkan minimal 8 stimulus namun tidak lebih dari 23 agar responden tidak rumit dalam memberikan persepsinya. 2. Tahap memperoleh input data. Pada tahap ini, data diperoleh dari responden berdasarkan kuesioner yang mengungkap pertimbangan/persepsi/preferensi mengenai kemiripan atau ketidakmiripan (similarity atau dissimilarity) berbagai stimulus, dengan menggunakan criteria subyektif responden. Banyaknya pertanyaan (Q) dalam kuesioner merupakan fungsi dari banyaknya stimulus (N) yaitu Q = 23 (23-1) / 2. Pendekatan ini disebut pendekatan data persepsi secara langsung (direct approach). Dua pendekatan yang lain adalah pendekatan persepsi turunan (derived approach) dan pendekatan data preferensi (preference data approach). 3. Tahap pemilihan prosedur. Pada tahap ini, dapat memilih diantara prosedur MDS metric (yang terkait dengan data interval atau rasio) dan prosedur MDS non metric (terkait dengan data ordinal) 4. Menentukan banyaknya dimensi. Program-program paket analisis data statistik MDS akan membuat pemetaan data. Peta akan menggambarkan kedekatan stimulus satu dengan yang lain bergantung pada pendekatan/prosedur apa yang dipilih. Penentuan banyaknya dimensi dapat menggunakan beberapa prinsip maupun pendekatan statistik lain yang lebih kompleks. Namun demikian untuk keperluan kemudahan intepretasi, pemilihan 2 dimensi kiranya menjadi pilihan yang paling fisibel. Dimensi-

80 52 dimensi harus diberi label sendiri oleh peneliti, artinya ada pertimbangan yang sifatnya subyektif. Selanjutnya peta tersebut diintepretasikan. 5. Pemberian label dimensi dan intepretasi. Pada tahap ini intepretasi atas dasar peta perseptual telah dihasilkan. Posisi-posisi obyek dapat diintepretasikan sesuai dengan atribut-atribut yang dijadikan pedoman responden untuk memberikan persepsinya atas pasangan obyek-obyek yang dibandingkan. Untuk itu diperlukan informasi tambahan yang terkait dengan karakteristik obyek-obyek yang dibandingkan agar dapat ditemukan dimensi yang cocok dengan peta spasial data. Hasil analisis total atribut/parameter yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan DPL di 3 lokasi akan diperoleh nilai pada skala Untuk mensintesis tingkat keberlanjutan pengelolaan DPL, digunakan tiga kategori sebagai sebagai berikut: Tabel 6. Kategori penilaian keberlanjutan pengelolaan DPL No. Skala Keberlanjutan Kategori Keterangan 1. 0,00-50,00 Rendah DPL dengan kategori ini memiliki peluang sangat kecil untuk berkelambang lebih lanjut ,01-75,00 Sedang DPL ini akan berkelanjutan, namun tidak memberikan hasil optimal atau dengan kata lain ada beberapa tujuan yang tidak tercapai 3. 75,01 100,00 Tinggi DPL ini berkelanjutan dan memberikan hasil optimal dan tujuan pengembangan DPL tercapai Sumber : Modifikasi dari Susilo (2003) Pengembangan Daerah Perlindungan Laut dapat dinilai memiliki peluang keberlanjutan apabila mencapai indeks keberlanjutan lebih dari 75%. Hal ini didasarkan, bahwa 4 aspek yang mempengaruhi keberlanjutan yaitu, aspek ekologi/biofisik, sosial ekonomi, sosial budaya, dan hukum kelembagaan memenuhi ¾ dari seluruh atribut masing-masing aspek tersebut.

81 Batasan Penelitian Untuk mengarahkan penelitian ini supaya menjadi fokus, maka perlu dibuat batasan dari penelitian. Sebagaimana diuraikan pada sub bab perumusan masalah dan kebaharuan dari penelitian ini, maka penelitian dibatasi pada lingkup berikut: 1. Pengumpulan dan analisis sumberdaya di lokasi penelitian lebih difokuskan pada sumberdaya pesisir dan laut, khususnya sumberdaya terumbu karang, perikanan, lamun dan mangrove. Meskipun demikian, data-data terkait dengan sumberdaya alamnya juga dikumpulkan dari berbagai pustaka yang ada. 2. Analisis efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut menggunakan data sebelum pendirian DPL (baseline data) dan data sesudah pendirian DPL, untuk melihat kecenderungan dari perubahan yang terjadi. 3. Lingkup wilayah kajian adalah desa dimana daerah perlindungan laut dikembangkan. Namun data-data pendukung terkait hukum dan kelembagaan mencakup sampai tingkat provinsi pada berbagai dinas/lembaga terkait.

82

83 4 KARAKTERISTIK LOKASI STUDI 4.1 Karakteristik Ekologi Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko (1) Gambaran Umum DPL Blongko Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Blongko memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) melindungi ekosistem terumbu karang, (2) melindungi keanekaragaman hayati, dan (3) meningkatkan potensi sumberdaya ikan. DPL ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menjaga dan mengelola DPL tersebut. DPL Blongko didirikan dan ditetapkan oleh masyarakat desa bersamasama dengan Pemerintah Desa pada Bulan Nompember Luas DPL Blongko sekitar 10 ha dengan panjang 300 m searah garis pantai. Pada Bulan Oktober 1999 DPL Blongko disahkan sebagai kawasan DPL oleh Kepala Desa Blongko dan Kelompok Kerja Pesisir Terpadu Kabupaten. Sejak ditetapkan sebagai DPL, masyarakat Desa Blongko lebih aktif dan bertanggungjawab dalam menjaga dan melindungi sumberdaya pesisir yang secara langsung berpengaruh pada kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat Desa Blongko yang dahulunya hanya memanfaatkan sumberdaya laut, sejak adanya DPL aktif sebagai pengelola sumberdaya. DPL dalam ukuran kecil ini jika digunakan sebagai model dan diterapkan di seluruh desa pesisir di Sulawesi Utara maupun di Indonesia akan secara nyata meningkatkan jumlah dan luas daerah pesisir yang dilindungi. Berbagai lembaga, kelompok dan perorangan mengunjungi Blongko untuk menimba pembelajaran dari masyarakat di Blongko. Lokasi dan batas-batas kawasan DPL Blongko dapat dilihat pada Gambar 4. Wilayah pesisir Desa Blongko memiliki ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Luas ekosistem terumbu karang di Desa Blongko sekitar 50,66 ha. Pengamatan terumbu karang di DPL Blongko tahun 2007 menunjukkan bahwa persen penutupan karang hidup sekitar 55.66% (Tabel 7).

84 Gambar 5. Daerah perlindungan laut Desa Blongko 56

85 57 Tabel 7. Kualitas tutupan karang di DPL Blongko Tahun 2007 Kategori Persen Penutupan (%) Karang Keras Karang Lunak 0.00 Karang Mati Alga 8.04 Abiotik (2) Karakteristik Pantai Pesisir pantai Desa Blongko pesisir yang bersih dan produktif. Panjang garis pantai Desa Blongko sekitar 6.5 km. Karakteristik perairan pantai Desa Blongko memiliki kedalaman yang coraknya beragam. Corak dasar perairan pantai desa Blongko berlereng curam dan berlembah dalam sebagai hasil dari proses endogen maupun eksogen. Keadaan dasar perairan desa ini memiliki profil pantai dengan katogori miring ( %) sampai curam ( %). (3) Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove yang terdapat di Desa Blongko diperkirakan sekitar ha yang sebagian besar terletak di pantai barat (Bappeda Minahasa, 1999). Tekanan terhadap ekosistem mangrove mulai sekitar tahun , dimana masyarakat banyak memanfaatkan kayu bakau untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar, pewarna dan pengawet jaring serta obat-obatan. Dampak kerusakan mangrove yang besar terjadi pada tahun 1972, dimana pada saat pembuatan Jalan Trans Sulawesi yang digunakan sebagai kayu bakar dan juga alat pengangkut karang yang masuk sampai di pantai mengakibatkan pohon-pohon bakau ditebang. Akibat kerusakan hutan ekosistem mangrove, terjadi instrusi air laut sampai ke perkampungan penduduk pada saat musim gelombang besar (musim angin barat dan selatan). Pengamatan yang dilakukan pada tahun 2007, menujukkan luas ekosistem mangrove tidak banyak mengalami perubahan sejak tahun Hal ini disebabkan sejak adanya proyek pesisir tahun 1997, program perlindungan sumberdaya pesisir sudah mulai digalakkan. Hal ini berimplikasi positif bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir termasuk ekosistem mangrove. (4) Ekosistem Terumbu Karang Kondisi terumbu karang yang ada di Desa Blongko tidak berbeda jauh dengan kondisi terumbu karang secara umum yang ada di Sulawesi Utara.

86 58 Tingginya tekanan yang dihadapi oleh ekosistem terumbu karang, menyebabkan kualitas terumbu karang sangat memprihatinkan. Praktek-praktek yang tidak ramah dalam mengeksploitasi sumberdaya terumbu karang seperti penangkapan ikan dengan bom, potasium dan pengambilan karang menyebabkan terumbu karang mengalami kerusakan. Luas terumbu karang yang ada di kawasan Desa Blongko sekitar ha (Yayasan Kelola 2001). (5) Ekosistem Hutan Pantai Ekosistem hutan pantai yang ada di Desa Blongko dikategorikan sebagai hutan lindung, yaitu seluas 237 ha dan hutan produksi seluas ha (Bappeda Minahasa 1999). Sebagian besar hutan yang ada telah dirubah menjadi lahan untuk perkebunan dan pertanian rakyat. Masyarakat biasanya memanfaatkan kayu dari hutan ini untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, kayu bakar. Jenis-jenis kayu yang diambil adalah kayu Nantu (Palaquium abtusifolium), Binuang (Octomeles sumatran), Rao (Diospyros dao), Kananga (Cananga odorata), Cempaka (Elmerrillia ovalis), Linggua (Ptercapus indicus), Bugis (Koodersiodendron pinnatum), dan kayu Bolangitan (Tetrameles nudiflora) (Kussoy et al. 1999). Permasalahan yang ada untuk hutan di Desa Blongko sekarang ini adalah mulai terlihat adanya penggundulan hutan di beberapa lokasi dan bahkan di lokasi sekitar sumber air Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi (1) Gambaran Umum Daerah perlindungan Pulau Sebesi Pengembangan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi adalah salah satu upaya masyarakat Pulau Sebesi untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya ekosistem terumbu karang dan sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang. Tujuan dari daerah perlindungan laut adalah (1) memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur, dan memijah biotabiota laut, dan (2) memelihara fungsi ekonomis kawasan pesisir bagi masyarakat Pulau Sebesi dan sekitarnya, sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari hasil produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata bahari.

87 59 Daerah perlindungan laut yang ditetapkan oleh masyarakat dibagi dalam dua zona atau kawasan, yaitu zona inti dan zona penyanggah, dimana pada setiap zona tersebut memiliki ketentuan atau peruntukan masing-masing. Namun pada dasarnya, ketentuan yang dibuat ini dimaksudkan untuk melindungi sumberdaya laut, yang kemudian akan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pelarangan penggunaan alat-alat penangkapan ikan pada daerah perlindungan laut adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang, yang pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang tersebut. Pemanfaatan hanya dilakukan secara terbatas dan menggunakan alat sederhana yang tidak merusak serta dilakukan pada waktu tertentu, yaitu ketika sumberdaya ikan sudah mengalami pemulihan (recovery). Daerah perlindungan laut P. Sebesi memiliki empat kawasan perlindungan laut, yaitu DPL 1 di dusun Sianas, DPL 2 dan 3 di dusun Tejang dan DPL 4 di dusun Segenom, seperti terlihat pada Gambar 6. (2) Ekosistem Terumbu Karang Perairan Pulau Sebesi memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup luas, terutama pada sisi barat, terumbu karang dapat ditemukan sampai pada kedalaman 10 meter. Luas terumbu karang di Pulau Sebesi dan Pulau Umang adalah ha, dimana ha berupa karang hidup dan penyusun terumbu karang lainnya dan ha berupa karang mati, pecahan karang dan komponen abiotik (Wiryawan, et al. 2002). Kualitas tutupan karang di pulau ini berkisar antara 2.65% %, yang berarti kualitas terumbu karang di Pulau Sebesi termasuk kategori buruk sampai baik. Jenis-jenis karang yang ditemukan antara lain adalah Millepora, Acropora, Caulastrea, Echinopora, Favia, Favites, Fungia, Goniastera, Goniopora, Hydnophora, Leptoria, Lamnelia, dan Lobophyton. Tabel 8. Hasil pengukuran kualitas terumbu karang di DPL Pulau Sebesi Kategori Persen Penutupan DPL 1 DPL 2 DPL 3 DPL 4 Karang Hidup Karang Lunak Karang Mati Alga Abiotik

88 Gambar 6. Peta lokasi daerah perlindungan laut Pulau Sebesi 60

89 61 (3) Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove Pulau Sebesi hanya terdapat di satu lokasi, yaitu antara Dusun Tejang dan Regahan Lada dengan luas sekitar satu ha. Mangrove datap tumbuh di lokasi ini karena lokasi ini relatif terlindung dari hantaman ombak dan dan merupakan sebuah teluk kecil. Kondisi yang tenang menyebabkan banyak endapan dan kondisi dasar perairannya berupa lumpur. Jenis mangrove yang tumbuh antara lain adalah Avicenia marina (Api-api), Rizhophora sp. (Bakau), Sonneratia sp. (Gogem), Bruguiera sp. (Tanjang) dan Xylocarpus sp. dengan jenis yang dominan tumbuh adalah Bakau dan Api-api. (4) Ekosistem Lamun Pantai pesisir Pulau Sebesi merupakan kawasan yang banyak ditumbuhi oleh padang lamun. Sepanjang pantai sebelah barat merupakan lokasi-lokasi dimana ditemukan ekosistem. Padang Lamun yang ada di Pulau Sebesi berfungsi untuk mencegah pelumpuran atau sebagai filter alami perairan sehingga tetap bersih. Jenis lamun yang dominan ditemukan di Pulau Sebesi adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, dan Thalassodenderon ciliatum. (5) Ekosistem Hutan Selain ekosistem laut, Pulau Sebesi juga memiliki ekosistem hutan yang merupakan hutan sekunder. Tanaman yang ada di hutan terdapat 24 jenis tanaman (5 jenis belum teridentifikasi) yang merupakan tanaman hasil pengkayaan dan tanaman hasil permudaan alami yaitu Soge, Kileho, Camun, Nangsi, Kadaka, Ampelas, Rembi, ango/medang, Kibesi, Benda, Selangkar, angsana, Lempeni, Bunut, Melinjo, Kelapa, Mangga, Jengkol, Jambu Monyet (Wiryawan et al. 2002). Jenis satwa yang terdapat di hutan Pulau Sebesi terdapat 10 spesies dari klas Aves yaitu Cucak Kutilang, Dederuk Jawa, Perkutut Jawa, Delimukan Zamrud, Bubut Alang-alang, Serak Jawa, Raja Udang Biru, Kucica Kampung, Gagak Hutan Elang Bondol, 1 spesies mamalia yaitu Babi hutan, dan 1 spesies reptil yaitu Biawak. Pemanfaatan hutan yang ada di Pulau Sebesi oleh masyarakat adalah berkebun, berburu, eksploitasi hasil hutan.

90 Area Perlindungan Laut Pulau Harapan (1) Gambaran Umum APL Pulau Harapan Area Perlindungan Laut Pulau Harapan merupakan salah satu APL yang terdapat di Kepulauan Seribu. APL ini ditetapkan oleh masyarakat Pulau Harapan pada tahun 2006 dengan bantuan teknis dan pembinaan dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta. Tujuan dari pendirian APL Pulau Harapan ini adalah (1) untuk memulihkan kembali secara bertahap kondisi sumberdaya laut khsususnya terumbu karang, dan (2) meningkatkan kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut. Lokasi area perlindungan laut di Kelurahan Pulau Harapan yang ditilik berada pada empat lokasi, yaitu (1) kawasan karang suar sebagai pembanding, (2) zona penyangga 1, (3) zona penyangga 2 dan (4) zona inti. Monitoring dilakukan pada lokasi APL-DPL-BM yang sudah ditentukan oleh masyarakat yaitu kawasan timur Kelapa Dua seperti yang tersaji pada Gambar 7. (2) Ekosistem Terumbu Karang Kondisi terumbu karang di Kelurahan Pulau Harapan pada umumnya dapat dikategorikan dalam kondisi rusak. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh faktor pencemaran air, abrasi, penyelaman, penambangan karang batu untuk bahan bangunan, degradasi pantai serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Penyebab rusaknya terumbu karang di Kelurahan Pulau Harapan adalah karena pencemaran, degradasi pantai dan eksploitasi oleh manusia dalam menggunakan karang untuk bahan bangunan dan pengeras jalan. Hal ini disebabkan karena masyarakat sulit mendapatkan batu kali sebagai bahan bangunan di sekitar kawasan Kepulauan Seribu. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk terungkap bahwa masyarakat setempat biasanya mengambil terumbu karang dengan dua cara yaitu: dipotong dengan kampak dan linggis atau diledakkan dengan bom, lalu diangkat dengan perahu ke tempat pengumpulan.

91 Gambar 7. Peta lokasi pengembangan APL Pulau Harapan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (Dinas P2K-DKI Jakarta 2006). 63

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KEBERLANJUTAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT Kasus DPL-BM Blongko-Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan

KEBERLANJUTAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT Kasus DPL-BM Blongko-Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan J. Bijak dan Riset Sosek KP. Vol.5 No.1, 1 19 KEBERLANJUTAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT Kasus DPL-BM Blongko-Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan 1 dan APL Pulau Harapan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir didefinisikan sebagai suatu proses pemeliharaan, peningkatan lingkungan pesisir, pencegahan kerusakan sumberdaya alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH

ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus Kepulauan Seribu)

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus Kepulauan Seribu) 2004 Rosmawaty AN P:osted 21 December 2004 Sekolah Pascasarjana IPB Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program S3 Desember 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penaggung Jawab)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya.

Lebih terperinci

Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta

Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta Julianto Subekti, Suradi Wijaya Saputra, Imam Triarso Program Studi Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci