BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk pengobatan adalah tumbuhan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk pengobatan adalah tumbuhan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk pengobatan adalah tumbuhan sarang semut atau Myrmecodia tuberosa (M. tuberosa) yang salah satu penyebarannya terdapat di Papua. Tumbuhan sarang semut jenis M. tuberosa dilaporkan mengandung senyawa-senyawa kimia alkaloid, fenolik, dan terpenoid (Hertiani dkk., 2010). Oleh masyarakat Papua, rebusan air umbi sarang semut digunakan untuk pengobatan, diantaranya nyeri akibat rematik, kanker, peningkat imunitas tubuh dan penambah energi. Sarang semut adalah tanaman epifit berbentuk bulat. Tanaman ini berupa umbi yang tumbuh menempel pada pohon lain. Subroto dan Saputro (2006) menyatakan bahwa kandungan zat berkhasiat dari tumbuhan sarang semut sebagai bahan obat tergantung pada tempat tumbuh dan usia tumbuhan. Tumbuhan sarang semut yang tumbuh liar di hutan mengandung lebih banyak zat aktif daripada yang ditanam di pot sebagai tanaman hias. Luasnya penggunaan tumbuhan ini selain sebagai bagian dari penyakit kronis seperti kanker, tuberkulosis dan juga sebagai bagian dari suplemen kesehatan misalnya bagi ibu sehabis melahirkan dan ketika menyusui, mendukung kemungkinan mekanisme penyembuhan oleh tumbuhan ini melalui efek imunomodulator. Hal tersebut didukung pula pada penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa M. pendens dan M. tuberosa memiliki aktivitas 1

2 2 meningkatkan proliferasi limfosit dan fagositosis makrofag secara in vitro (Hertiani dkk., 2010). Laksono (2014) dan Fathdhieny (2014) juga telah membuktikan bahwa kombinasi fraksi non-heksan ekstrak etanol umbi sarang semut dengan agen antikanker doksorubisin mampu menurunkan efek samping doksorubisin dengan cara meningkatkan proliferasi sel limfosit. Selain itu, ekstrak etanolik M. tuberosa juga menunjukkan adanya aktivitas antimikroba terhadap C. albicans, E. coli, dan S. aureus (Efendi & Hertiani, 2013). Menurut Sumardi dkk (2013), fraksi tidak larut n-heksan ekstrak tumbuhan sarang semut adalah fraksi aktif yang pada dosis 20 µg/ml memiliki kemampuan yang paling tinggi dalam meningkatkan fagositosis sel makrofag dibanding dengan ekstrak atau fraksi lainnya. Aktivitas yang tinggi fraksi tidak larut n-heksan terhadap fagositosis tersebut dapat dikaitkan dengan tingginya kandungan fenolik total dan tidak mengandung senyawa non polar yang diduga berperan dalam menghambat aktivitas fagositosis sel makrofag. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak M. tuberosa (Jack) Bl. fraksi tidak larut n-heksan secara in vivo mempunyai aktivitas sebagai imunostimulator dengan jalan meningkatkan jumlah sel TCD4 + walaupun tidak meningkatkan sel TCD8 +. Luasnya manfaat serta kegunaan tumbuhan sarang semut dalam bidang kesehatan dapat dimanfaatkan lebih lanjut dengan mengembangkannya menjadi sediaan fitofarmaka. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (1992), fitofarmaka adalah sediaan obat dan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan klinik, serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Maka dari itu, untuk penggunaan ekstrak

3 3 tumbuhan sarang semut sebagai fitofarmaka diperlukan uji praklinik sediaan obat, salah satunya adalah uji toksisitas akut. Uji yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji toksisitas akut pemberian dosis tunggal fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) terhadap tikus Wistar betina yang betujuan untuk mengetahui potensi dan gejala efek toksik yang timbul dalam waktu 24 jam setelah pemberian. Metode yang digunakan mengacu pada OECD Guideline for Testing of Chemicals 423 tentang uji toksisitas akut-oral. Dari uji toksisitas yang dilakukan akan diketahui besarnya potensi ketoksikan akut akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) yang ditunjukkan dengan nilai LD 50 cut-off. Sedangkan wujud efek toksik yang timbul diamati dari profil histopatologis organ paru-paru, lambung, hati, limpa, dan ginjal hewan uji. Diharapkan dengan adanya penelitian tentang efek toksik akut fraksi nonheksan ekstrak etanol umbi sarang semut (M. tuberosa) ini dapat menambah informasi tingkat potensi ketoksikan, khususnya ketoksikan akut, obat tradisional umbi sarang semut agar dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka guna menambah nilai ekonomis tumbuhan tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Berapa besarkah potensi ketoksikan akut (LD 50 cut-off) akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina?

4 4 2. Apa sajakah gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina? 3. Apakah wujud efek toksik yang ditimbulkan, dilihat dari gambaran histopatologis organ paru-paru, hati, lambung, limpa, dan ginjal pada tikus Wistar betina? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui potensi ketoksikan akut (LD 50 cut-off) akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina. 2. Mengetahui gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina. 3. Mengetahui wujud efek toksik yang ditimbulkan, dilihat dari gambaran histopatologis organ paru-paru, hati, lambung, limpa, dan ginjal pada tikus Wistar betina. D. Pentingnya Penelitian Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan, umbi tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi fitofarmaka. Untuk memenuhi salah satu persyaratan sebagai fitofarmaka, maka perlu dilakukan uji praklinik, yang salah satunya adalah uji toksisitas akut

5 5 ekstrak tumbuhan sarang semut. Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut ini akan menambah data ilmiah dalam pengembangan umbi sarang semut (M. tuberosa) menjadi sediaan fitofarmaka. 1. Tumbuhan sarang semut a. Klasifikasi tumbuhan E. Tinjauan Pustaka Gambar 1. Tumbuhan sarang semut (Derrick, 2014) Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Magnoliophyta : Magnoliatae : Rubiales : Rubiaceae : Myrmecodia

6 6 Spesies : Myrmecodia tuberosa (Jack) Bl. (Anonim, 2013) b. Deskripsi tumbuhan Tumbuhan sarang semut dapat ditemukan di daerah Myanmar dan Indocina, lebih tepatnya Filipina, Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, kemudian lebih ke selatan yakni Queensland, New Zealand, dan Negara Kepulauan Fiji. Sedangkan mayoritas, baik genus Myrmecodia (42 spesies) maupun Hydnophytum (94 spesies), ditemukan tumbuh di Pulau Irian (Papua dan Papua Nugini). Di Papua, tumbuhan sarang semut paling banyak ditemukan tumbuh di sekitar gunung Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, Gunung Bintang, dan Paniai. Tumbuhan sarang semut mempunyai sejumlah penamaan di masyarakat, antara lain: rumah semut (Sumatra), ulek-ulek polo (Jawa), lokon (Papua), periok hantu (Malaysia), ki nan/ ki nam gai/ ki nam kin (Vietnam) (Hamsar & Mizaton, 2012). Tumbuhan sarang semut merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk suku Rubiaceae yang telah secara luas dipergunakan oleh masyarakat khususnya di Papua sebagai bagian dari pengobatan tradisional. Di daerah Bintuni, Papua Barat, terdapat dua kategori Sarang semut berdasarkan penampakan morfologisnya yaitu sarang semut merah dan sarang semut putih. Hertiani dkk. (2010) melaporkan bahwa sarang semut merah adalah M. pendens sedangkan M. tuberosa merupakan sarang semut putih. Keduanya dipergunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk berbagai tujuan mulai dari mengobati penyakit yang kronis seperti kanker dan tuberkulosis, tumbuhan ini juga dipergunakan untuk meningkatkan vitalitas sehabis melahirkan, melancarkan ASI dan lain-lain (Subroto dan Saputro, 2006).

7 7 c. Morfologi tumbuhan Tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) merupakan tumbuhan perdu, parasit, berumur panjang (perenial) dengan tinggi cm. Batang tumbuhan ini termasuk batang berkayu, berbentuk silindris dan tidak bercabang serta pada bagian pangkal membentuk bulatan seperti menggelembung berwarna cokelat muda hingga abu-abu yang diamaternya mampu mencapai 30 cm. Pada permukaan luar tumbuhan ini terdapat duri-duri yang tajam, sedangkan bagian dalamnya berbentuk rongga bersekat-sekat dan biasa dijadikan tempat tinggal koloni semut. Tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) termasuk tumbuhan berdaun tunggal, bertangkai, dan tersusun menyebar namun lebih banyak terkumpul di ujung batang. Warna daun tumbuhan sarang semut adalah hijau dengan tulang daun berwarna putih. Daun tumbuhan ini memiliki ciri-ciri berbentuk jorong dengan panjang sekitar cm dan lebar 5-7 cm, ujung daun tumpul (obtutus) dan pangkal daun berbentuk runcing. Tekstur daun tumbuhan sarang semut halus, bertepi rata, agak tebal dan lunak. Bunga tumbuhan ini berwarna putih sedangkan buah yang dihasilkan berbentuk bulat dan berwarna oranye (Anonim, 2012). d. Efek farmakologis tumbuhan Di Asia Tenggara, ada beberapa spesies tumbuhan sarang semut yang diperkirakan memiliki efek farmakologis sehingga dapat digunakan sebagai obatobatan. Beberapa spesies tersebut antara lain adalah Hydnophytum formicarum, Myrmecodia pendens, Myrmecodia tuberosa, dan Myrmecodia platytyera (Hamsar & Mizaton, 2012).

8 8 Tabel I. Hasil uji penapisan kimia tumbuhan sarang semut (Subroto & Saputro, 2006) Golongan Senyawa Serbuk Tumbuhan Sarang Ekstrak Air Tumbuhan Semut Sarang Semut Alkaloid - - Flavonoid + + Saponin - - Tanin + + Steroid - - Kuinon - - Uji penapisan kimia dari tumbuhan sarang semut menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin (Subroto & Saputro, 2006). Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak terdapat sebagai pigmen tumbuhan. Flavonoid merupakan bagian penting diet manusia karena banyak manfaatnya bagi kesehatan, salah satunya adalah sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Selain itu, manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflmasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Subroto & Saputro, 2006). Senyawa tanin juga merupakan salah satu antioksidan yang baik, sehingga menurut Subroto & Saputro (2006), diduga kandungan tanin yang terdapat pada tumbuhan sarang semut dapat mendukung efektivitas kerja dari flavonoid itu sendiri. Roslizawaty dkk (2013), juga membuktikan bahwa flavonoid dan tanin yang terkandung dalam tumbuhan sarang semut dapat mempengaruhi seluruh struktur sel ginjal mencit jantan (Mus musculus), terutama memperbaiki atau melindungi struktur sel epitel pada lumen tubulus kontortus proksimal. Flavonoid dan tanin pada tumbuhan sarang semut juga diduga dapat

9 9 meningkatkan efek imunomodulator. Seperti yang diterangkan oleh Ramiro-Puig & Castle (2009), bahwa senyawa-senyawa anti oksidatif mampu berkontribusi pada efek imunomodulasi dengan cara melakukan perubahan pada jalur redoxsensitive signaling yang berpengaruh pada beberapa ekspresi gen. Perubahan ini selanjutnya dapat mempengaruhi fungsi sel tertentu terkait dengan respon imun. Hal ini dibuktikan oleh Hertiani dkk. (2010), bahwa ekstrak tumbuhan sarang semut (M.pendens & M. tuberosa) dapat meningkatkan proliferasi limfosit dan aktifitas fagositosis makrofag. Tumbuhan sarang semut selain bersimbiosis dengan koloni semut juga melakukan simbiosis dengan fungi endofit yang terdapat di dalamnya (Defossez dkk., 2009), bentuk simbiosis yang dimaksud adalah bahwa fungi endofit mampu memproduksi sejumlah senyawa kimia yang dapat membantu sistem pertahanan tumbuhan inang, khususnya terhadap serangan bakteri. Medina dkk. (2010) mendeskripsikan bahwa beberapa fungi endofit memproduksi enzim yang dapat mendegradasi tanin menjadi antioxidant phenolics (AP). Banyaknnya tanin yang terkandung dalam tumbuhan sarang semut memungkinkan banyaknya juga kandungan antioksidan fenolik (AP), sedangkan dilaporkan oleh Alves dkk (2013) bahwa senyawa-senyawa fenolik mempunyai aktivitas antimikroba yang tinggi. Sehingga, tumbuhan sarang semut juga diperkirakan mempunyai aktivitas antimikroba. Hal tersebut dibuktikan oleh Efendi & Hertiani (2013), bahwa ekstrak etanol tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) menunjukkan aktivitas antimikroba dan berpotensi utuk dikembangkan sebagai antimikroba khususnya terhadap S. aureus.

10 10 2. Toksikologi a. Definisi toksikologi Toksikologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan racun, dimana racun itu sendiri adalah suatu zat yang dapat menimbulkan efek berbahaya bagi organisme hidup apabila terpejani baik secara sengaja ataupun tidak sengaja (Hodgson, 2004). Sedangkan menurut Priyanto (2009), toksikologi adalah ilmu tentang aksi berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologi. Definisi tersebut menerangkan bahwa objek yang dipelajari dalam toksikologi adalah antaraksi suatu senyawa kimia atau senyawa asing dengan suatu sistem biologi atau makhluk hidup. Adapun pusat perhatiannya adalah terletak pada pengaruh berbahaya racun atas kehidupan makhluk hidup. b. Asas umum toksikologi Asas umum toksikologi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya efek toksik. Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun terhadap makhluk hidup melalui beberapa proses. Setelah mengalami pemejanan dengan racun kemudian akan mengalami absorpsi dari tempat pemejanannya dan akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada dalam diri makhluk hidup (Donatus, 2005). Asas umum toksikologi ini bertujuan untuk mengevaluasi keberbahayaan suatu zat, untuk menentukan dan memperkirakan batas keamanan suatu zat bila mengenai manusia serta cara-cara menggunakannya supaya tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009).

11 11 Adanya alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat asas utama yang menjadi asas umum toksikologi. Empat asas umum toksikologi tersebut meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud efek toksik, dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005). 1) Kondisi efek toksik Salah satu penentu ketoksikan suatu senyawa adalah keberadaannya (baik zat kimia utuh atau metabolit toksiknya) dalam sel sasaran yang dipengaruhi oleh efektivitas absorpsi, distribusi, dan eliminasi senyawa itu sendiri. Sedangkan, efektivitas absorpsi, distribusi, dan eliminasi suatu senyawa itu sendiri ditentukan oleh kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2005). a) Kondisi pemejanan Kondisi pemejanan zat kimia meliputi jenis, jalur, lama dan kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Ada dua jenis pemejanan yaitu akut dan kronis. Pemejanan akut berkaitan dengan peristiwa tunggal masuknya sejumlah racun ke dalam tubuh makhluk hidup. Sedangkan pemejanan kronis merupakan kondisi pemejanan dengan racun yang berulang kali sehingga menyebabkan efek toksik yang kumulatif. Selain jenis pemejanan, jalur pemejanan juga dapat mempengaruhi ketoksikan suatu racun, karena jalur pemejanan menentukan keberadaan senyawa racun atau metabolitnya di suatu tempat aksi. Untuk dapat menimbulkan efek toksik, kadar suatu senyawa racun harus dapat mencapai kadar toksik minimum (KTM) pada tempat aksi, dan kecepatan untuk mencapai nilai KTM tergantung pada kecepatan dan jumlah racun yang dapat diabsorbsi. Sedangkan efektifitas absorpsi racun dipengaruhi oleh jalur

12 12 pemejanannya. Adapun efektifitas absorbsi racun setelah intravena berturut-turut semakin menurun adalah inhalasi, intraperitoneal, subkutan, intramuskular, dermal, dan oral. Namun urutan tersebut tidak mutlak karena efektifitas absorpsi juga dipengaruhi oleh formulasi sediaan (Donatus, 2005). b) Kondisi makhluk hidup Kondisi makhluk hidup merupakan keadaan fisiologi dan patologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun pada sel sasaran dan keefektifan antaraksi antara kedua ubahan tersebut. Beberapa kondisi makhluk hidup yang dapat mempengaruhi keefektifan antaraksi antara racun dengan sel targetnya, antara lain berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin, dan ritme sirkardian serta diurnal (Donatus, 2005). 2) Mekanisme efek toksik Pengetahuan mengenai mekanisme efek toksik berfungsi untuk mengetahui penyebab timbulnya keracunan, yang berkaitan dengan keberadaan wujud dan sifat efek toksik. Menurut Donatus (2005), mekanisme efek toksik terdiri dari: a) mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian yang terdiri atas mekanisme luka intrasel (langsung) dan luka ekstrasel (tidak langsung), b) mekanisme berdasarkan antaraksi racun dan tempat aksinya yang terbagi ke dalam antaraksi terbalikkan dan tak terbalikkan, dan c) mekanisme berdasarkan risiko penumpukan dalam gudang penyimpanan (sekuestrasi). Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel. Karena itu, mekanisme ini sering kali disebut

13 13 mekanisme langsung atau primer. Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung. Racun beraksi di lingkungan luar sel. Oleh karena itu juga disebut mekanisme tidak langsung atau sekunder, yang tempat kejadian awalnya di lingkungan ekstrasel, (Donatus, 2005). Berdasarkan sifat interaksinya, mekanisme luka dibedakan menjadi interaksi terbalikkan dan interaksi tak terbalikkan. Interaksi yang terbalikkan terjadi berdasarkan stereospesifisitas racun dengan reseptor. Sedangkan interaksi yang tak terbalikkan adalah reaksi yang terjadi dengan cara pembentukan ikatan kovalen (alkilasi atau asilasi biologis) antara senyawa pengalkil atau metabolit elektrofil dan biopolimer yang memiliki gugus SH atau NH 2 kemudian menghasilkan luka kimiawi yang mengakibatkan efek toksik. Ciri khas dari reaksi ini adalah adanya penumpukan efek, yaitu adanya kerusakan yang menetap sehingga pada pemejanan berikutnya akan menimbulkan efek yang sama dan terjadi penumpukan efek (Donatus, 2005). Sedangkan sekuestrasi itu sendiri digambarkan berupa penumpukan senyawa yang sangat lipofil dan sulit dimetabolisir oleh tubuh di dalam gudang penyimpanan kompartemen lemak. Peristiwa penumpukan seperti ini relatif tidak berbahaya, karena senyawa tersebut dalam keadaan tidak aktif di dalam gudang penyimpanan. Namun perlahan-lahan senyawa bisa terlepas ke sirkulasi dan meningkatkan kadarnya yang ada di cairan tubuh. Jika kadar tersebut melebihi KTM (Kadar Toksik Minimal) tentunya akan timbul efek toksik yang tidak diinginkan. Mekanisme aksi toksik ini disebut resiko penumpukan suatu senyawa (Donatus, 2005). Sejauh mana efek toksik yang tidak diinginkan tergantung pada

14 14 proses mana yang terjadi setelah diterima jaringan, apakah sekuestrasi kimia atau sekuestrasi fisika. Sekuestrasi kimia terjadi apabila terbentuk ikatan kovalen tak terbalikkan antara senyawa toksik atau metabolitnya dengan berbagai bagian jaringan, sedangkan sekuestrasi fisika terjadi apabila terdapat penimbunan yang didasarkan pada distribusi lemak-air, pembentukan garam, atau penyimpanan lokal. Sekuestrasi kimia dapat menimbulkan reaksi pada organ, sedangkan sekuestrasi fisika tidak menimbulkan reaksi pada organ yang bersangkutan (Ariens dkk., 1978). Gudang-gudang tempat penyimpanan (sekuestrasi) dalam tubuh dapat meliputi protein plasma, lemak, hati, ginjal, dan tulang (Donatus, 2005). 3) Wujud efek toksik Wujud efek toksik pada dasarnya merupakan perubahan biokimia, fungsional, dan struktural (Donatus, 2005). Respon perubahan biokimia merupakan perubahan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikkan. Contoh dari perubahan biokimia ini antara lain penghambatan respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta gangguan pasokan energi (Priyanto, 2009). Respon perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang terbalikkan sehingga mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2005). Respon perubahan fungsional dapat berupa anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem syaraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau hipoglikemi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot, dan hipo atau hipertemi (Donatus, 2005). Respon perubahan struktural

15 15 ditandai dengan adanya tahap awal yang berupa perubahan fungsional atau biokimiawi (Priyanto, 2009). Respon perubahan ini meliputi degenerasi, proliferasi, dan inflamasi. Perubahan degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel (sering dijumpai berupa penumpukan air dan lemak), serta nekrosis. Perubahan berupa proliferasi meliputi hiperplasia, metaplasia, dan displasia. Perubahan inflamasi berupa inflamasi (peradangan) dan perbaikan (Donatus, 2005). 4) Sifat efek toksik Sifat efek toksik dibagi menjadi efek toksik terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible) (Donatus, 2005). Sifat efek toksik disebut terbalikkan apabila efek toksik yang ditimbulkan oleh racun hilang dengan sendirinya setelah pemejanan dihentikan. Sedangkan efek toksik tak terbalikkan terjadi apabila efek toksik menetap atau justru bertambah parah setelah pemejanan dihentikan, (Lu, 1991). c. Uji toksikologi Penggunaan obat tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat luas sejak lama. Adanya khasiat obat tradisional, tentunya karena terjadinya aktivitas oleh senyawa yang dikandung dalam tanaman obat tersebut. Senyawa kimia, adalah salah satu senyawa asing bagi tubuh, yang dapat menimbulkan efek toksik, apalagi kalau pemberian secara berulang dan dalam waktu yang lama. Untuk mengetahui, apakah obat tradisional yang digunakan mempunyai potensi ketoksikan, khususnya apabila obat tersebut akan dikembangkan sebagai fitofarmaka, maka perlu dilakukan uji toksisitas.

16 16 Selain itu, tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan dosis suatu sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan terjadinya perubahan fisiologis, dan morfologi suatu organisme, serta melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji (Donatus, 2005). Lebih lanjut, Loomis (1974) menerangkan bahwa uji toksisitas menurut tujuannya terbagi menjadi dua kategori, kategori yang pertama adalah uji yang didesain untuk mengevaluasi efek keseluruhan secara umum pengaruh pemejanan suatu senyawa terhadap subyek uji. Kategori yang kedua adalah uji toksisitas yang didesain khusus untuk mengevaluasi jenis suatu toksisitas secara spesifik. Jenis uji toksisitas kategori kedua tersebut merupakan kajian lebih lanjut dari hasil uji toksisitas kategori pertama yang dapat menunjukkan beberapa gambaran toksisitas yang spesifik pada hewan uji. Selanjutnya, jenis uji toksisitas kategori pertama disebut sebagai uji ketoksikan tak khas, sedangkan uji toksisitas kategori kedua disebut sebagai uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas merupakan uji toksikologi yang mengevaluasi secara keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji yang meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis (Donatus, 2005). Uji ketoksikan khas meliputi uji potensiasi, kemutagenikan, kekarsinogenikan, keteratogenikan, reproduksi, serta kulit dan mata (Loomis, 1974). Adapun secara rinci, uji ketoksikan tak khas, antara lain adalah:

17 17 1) Uji toksisitas akut Uji toksisitas akut menurut Priyanto (2009) yaitu uji toksisitas yang dirancang untuk mengetahui nilai LD 50 dan dosis maksimal yang dapat ditolerir oleh hewan uji yang hasilnya diekstrapolasikan pada manusia. Pengamatan dilakukan selama 24 jam kecuali pada kasus tertentu dilakukan selama 7-14 hari. 2) Uji toksisitas subkronis Uji ketoksikan subkronis adalah uji ketoksikan yang dilakukan dengan pemberian senyawa dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari 3 bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik sediaan uji, serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran atau dosis. Selanjutnya hasil yang diperoleh digunakan untuk merancang uji ketoksikan kronis dimana hewan ujinya akan dipejani dengan sediaan uji dalam waktu yang lebih panjang lagi (Donatus, 2005). 3) Uji toksisitas kronis Uji toksisitas kronis menggunakan hewan rodent dan non rodent dilakukan selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan dengan uji toksisitas subkronis terletak pada lama pemberiannya atau pemejanan takaran dosis sediaan uji, masa pengamatan dan pemeriksaannya, serta tujuannya. Lama pemejanan senyawa dan pengamatan gejala toksis pada uji toksisitas kronis berlangsung selama sebagian besar masa hidup hewan uji, yakni tiga bulan atau lebih pada rodent (Donatus, 2005). d. Toksisitas akut-oral OECD Guideline 423 Uji toksisitas akut didesain untuk menentukan efek toksik yang terjadi sesaat (dalam periode pendek) setelah pemejanan suatu sediaan uji (Timbrell,

18 ). Menurut Katrin dkk. (2011) uji toksisitas akut merupakan uji keamanan dalam waktu singkat untuk mendeteksi adanya efek toksik dari suatu zat uji yang diberikan dalam dosis tunggal atau berulang dalam waktu 24 jam. Uji toksisitas ini dapat dilakukan untuk mengetahui hubungan dosis-respon dan nilai LD 50. Dalam menentukan nilai LD 50, Balazs (1970) merekomendasikan sebuah metode uji toksisitas akut pada hewan uji rodent. Penentuan (naik atau turunnya) dosis dalam metode ini berdasarkan pada interval logaritmik 0,6 dari dosis awal pada langkah pertama. Sedangkan dalam setiap langkahnya menggunakan 4 ekor hewan uji, dan penentuan dosis pada langkah selanjutnya ditentukan pada jumlah kematian hewan uji, kemudian dibuat rentang dosis antara dosis tertinggi yang tidak menyebabkan kematian dan dosis terrendah yang menyebabkan kematian seluruh hewan uji. Dari rentang tersebut dilakukan sejumlah perhitungan hingga didapatkan nilai dosis yang diperkirakan menyebabkan kematian 50% hewan uji (LD 50 ). Adapun mengenai penentuan LD 50 secara konvensional, seperti yang direkomendasikan oleh Balazs (1970), tidak lagi banyak digunakan oleh sebagian peneliti, karena banyaknya hewan uji yang digunakan. Sehingga, dewasa ini banyak metode dikembangkan sebagai pendekatan untuk dapat memperoleh dosis toksik sebenarnya namun dengan sesedikit mungkin penggunaan hewan uji (Timbrell, 2002). Sebagai alternatif untuk menyikapi hal tersebut maka OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) mengembangkan sejumlah metode uji toksikologi baru yang bertujuan untuk menekan jumlah

19 19 penggunaan hewan uji. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk uji toksisitas akut adalah OECD Guideline for Testing of Chemicals 423. Setiap langkah digunakan 3 hewan uji dan rata-rata diperlukan 2 sampai 4 langkah untuk mempertimbangkan toksisitas akut dari zat kimia bahan uji tergantung pada kematian dan atau keadaan hewan uji yang hampir mati (Anonim, 2001 a ). Pada OECD, untuk mengantisipasi zat-zat dengan ketoksikan yang rendah, digunakan limit test. Selain limit test, ada 3 metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji ketoksikan akut yaitu, The Fixed-dose Procedure (Guideline OECD 420), Up and-down Procedure (Guideline OECD 425) dan The Acute Toxic Class Method (Guideline OECD 423) (Hodgson, 2004). OECD 420 digunakan untuk menentukan derajat ketoksikan suatu senyawa tanpa menyediakan nilai perkiraan LD 50. Dosis yang digunakan pada OECD 420 merupakan dosis dengan tingkat toksisitas sedang, yakni dosis yang tidak menimbulkan kematian hewan uji (Anonim, 2001 b ). OECD 425 digunakan untuk menentukan nilai LD 50 dari suatu senyawa dengan menggunakan 1 hewan uji untuk setiap langkahnya. Interval dosis yang digunakan pada tiap langkah OECD 425 menggunakan faktor perkalian 3,2 dan dosis yang dipilih harus berada dalam jarak LD 50 sediaan uji (Anonim, 2001 c ). OECD 423 digunakan dengan tujuan mengetahui derajat ketoksikan suatu senyawa beserta derajat kematian yang ditimbulkannya. LD 50 yang teramati pada metode ini bukanlah nilai perkiraan akan tetapi rentang nilai perkiraannya. Pada uji ini digunakan 3 hewan uji yang akan dipejani sediaan uji dengan dosis tertentu yaitu, 5 mg/kg BB, 20 mg/kg BB, 300 mg/kg BB, 2000 mg/kg BB dan 5000 mg/kg BB (jika diperlukan).

20 20 Berdasarkan ada tidaknya kematian yang ditimbulkan, ditentukan 3 kelompok hewan uji berikutnya untuk mendapatkan dosis yang sama, lebih tinggi, atau dosis yang lebih rendah. Dosis pemejanan dimulai dari 300mg/kg BB karena belum ada informasi ketoksikan yang memadai mengenai sediaan uji (Anonim, 2001 a ). F. Keterangan Empirik Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mendapatkan gambaran efek toksik pemberian tunggal fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) secara oral kepada tikus betina galur Wistar terhadap perubahan perilaku dan histopatologis organ paru-paru, hati, ginjal, lambung dan limpa.

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuester)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan kesehatan, namun penggunaan obat tradisional tetap mendapat tempat yang penting bahkan terus berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup suatu organisme. Setiap obat pada dasarnya merupakan racun, tergantung dosis dan cara pemberian, karena dosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan bahan alam sebagai obat tradisional akhir-akhir ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan bahan alam sebagai obat tradisional akhir-akhir ini sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pemanfaatan bahan alam sebagai obat tradisional akhir-akhir ini sangat meningkat di Indonesia, bahkan beberapa bahan alam telah diproduksi dalam skala besar. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun. temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun. temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya mempertahankan kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. obat (Soeksmanto dkk., 2010). Berbagai usaha telah banyak dilakukan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. obat (Soeksmanto dkk., 2010). Berbagai usaha telah banyak dilakukan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan tumbuhan (lebih kurang 30.000 spesies) dan baru 940 jenis tumbuhan yang telah diketahui khasiat sebagai obat (Soeksmanto

Lebih terperinci

pudica L.) pada bagian herba yaitu insomnia (susah tidur), radang mata akut, radang lambung, radang usus, batu saluran kencing, panas tinggi pada

pudica L.) pada bagian herba yaitu insomnia (susah tidur), radang mata akut, radang lambung, radang usus, batu saluran kencing, panas tinggi pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sangat bergantung dengan alam untuk memenuhi kebutuhannya dari dulu sampai sekarang ini. Kebutuhan paling utama yang berasal dari alam merupakan kebutuhan makanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manfaat berbagai macam tanaman sebagai obat sudah dikenal luas di negara berkembang maupun negara maju. 70-80% masyarakat Asia dan Afrika masih menggunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini perkembangan penelitian dengan menggunakan bahan alam yang digunakan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi berbagai macam penyakit semakin

Lebih terperinci

Tanaman Putri malu (Mimosa pudica L.) merupakan gulma yang sering dapat ditemukan di sekitar rumah, keberadaannya sebagai gulma 1

Tanaman Putri malu (Mimosa pudica L.) merupakan gulma yang sering dapat ditemukan di sekitar rumah, keberadaannya sebagai gulma 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan tanaman obat sebagai alternatif pengobatan telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Hal tersebut didukung dengan kekayaan alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Jamur telah menjadi bahan pengobatan tradisional di daerah oriental, seperti Jepang, Cina, Korea, dan daerah Asia lainnya sejak berabad-abad lalu, (Ooi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya tumbuhan yang menempel pada tumbuhan lain, tetapi tidak hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. artinya tumbuhan yang menempel pada tumbuhan lain, tetapi tidak hidup secara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sarang semut merupakan salah satu tumbuhan epifit dari Hydnophytinae (Rubiaceae) yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini meskipun bersifat epifit, artinya tumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000-30.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alam merupakan sumber bahan baku obat selama ribuan tahun yang mengandung banyak senyawa berkhasiat. Berbagai tanaman obat sudah dimanfaatkan oleh kalangan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan di sekitar manusia banyak mengandung berbagai jenis patogen, misalnya bakteri, virus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Wasser, 2002). Polisakarida mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem

BAB I PENDAHULUAN. (Wasser, 2002). Polisakarida mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamur merupakan sumber terbesar dari produk baru dalam bidang farmasi. Lebih dari itu, jamur memiliki peranan penting dalam pengobatan modern, itu menunjukkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. obat tersebut dikenal dengan sebutan tanaman obat tradisional.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. obat tersebut dikenal dengan sebutan tanaman obat tradisional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai negara tropis memiliki beraneka ragam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan manusia. Masyarakat Indonesia sejak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan tumbuhan. Sekitar 30.000 jenis tumbuhan diperkirakan terdapat di dalam hutan tropis Indonesia. Dari jumlah tersebut, 9.600 jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlukaan merupakan rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan suhu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tumbuhan yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan dalam kesehatan adalah

I. PENDAHULUAN. tumbuhan yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan dalam kesehatan adalah I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Penelitian Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang telah dikenal sejak lama dan dimanfaatkan menjadi obat tradisional sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment Ringkasan Uji Toksisitas Akut Toksisitas: umum-khusus, tunggalberulang, akut (beda) Minimum LD, No ED LD 50 potensi toksisitas (kelas) Konversi, kapasitas maksimum Aplikasi & makna uji toksisitas akut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat saat ini berkembang pesat. Oleh karena bahannya yang mudah diperoleh dan diolah sehingga obat tradisional lebih banyak digunakan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat dari alam yang secara turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Pengobatan

Lebih terperinci

TOKSIKOLOGI. Ika Puspita Dewi

TOKSIKOLOGI. Ika Puspita Dewi TOKSIKOLOGI Ika Puspita Dewi TOKSIKOLOGI Toksikologi digunakan untuk membedakan makanan yg aman dan yg beracun Senyawa toksin diproduksi oleh tanaman, hewan dan bakteria Phytotoxins Zootoxins Bacteriotoxin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray].

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bahan alam berkhasiat obat yang banyak diteliti manfaatnya adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. Tanaman kembang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, atau campuran bahan bahan tersebut yang secara tradisional telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular melalui makanan atau air yang terkontaminasi. 2 Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menular melalui makanan atau air yang terkontaminasi. 2 Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. 1 Penyakit ini banyak ditemukan di negara berkembang dan menular melalui makanan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi, dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh

Lebih terperinci

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid,

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid, BAB 1 PENDAHULUAN Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di Indonesia. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di Indonesia. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini penelitian mengenai obat herbal telah banyak dikembangkan di dunia kefarmasian. Hal ini didukung dengan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. digunakan sebagai obat. Masyarakat sudah sejak lama menggunakan obat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. digunakan sebagai obat. Masyarakat sudah sejak lama menggunakan obat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi kekayaan hayati Indonesia sangat besar termasuk yang dapat digunakan sebagai obat. Masyarakat sudah sejak lama menggunakan obat tradisional secara turun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae,

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae, merupakan salah satu tanaman yang dimanfaatkan secara tradisional sebagai obat batuk (Syamsuhidayat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. produsen makanan sering menambahkan pewarna dalam produknya. penambahan

BAB 1 PENDAHULUAN. produsen makanan sering menambahkan pewarna dalam produknya. penambahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan antara lain; warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlebihan (Rohmawati, 2008). Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai indra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlebihan (Rohmawati, 2008). Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai indra BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kulit pada Mamalia merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam fisiologis tubuh. Organ ini berfungsi untuk melindungi jaringan di bawahnya, menjaga

Lebih terperinci

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia terletak di daerah tropis dan sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya teknologi di segala bidang merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Diantara sekian banyaknya kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cermin dari kesehatan manusia, karena merupakan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cermin dari kesehatan manusia, karena merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rongga mulut merupakan tempat masuknya berbagai zat yang dibutuhkan oleh tubuh dan salah satu bagian di dalamnya ada gigi yang berfungsi sebagai alat mastikasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Senyawa-senyawa yang dapat memodulasi sistem imun dapat diperoleh dari tanaman (Wagner et al., 1999). Pengobatan alami seharusnya menjadi sumber penting untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara subtropis yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya adalah tanaman yang banyak digunakan untuk pengobatan. Masyarakat

Lebih terperinci

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR* Intisari

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR* Intisari EFEK TOKSISITS SUBKRONIK EKSTRK ETNOL KULIT BTNG SINTOK PD TIKUS PUTIH GLUR WISTR* Sri di Sumiwi, nas Subarnas, Rizki Indriyani, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, e-mail: sri.adi@unpad.ac.id Intisari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv HALAMAN PERNYATAAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gingiva merupakan bagian mukosa oral yang menutupi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan gingiva

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian adalah buah luwingan (Ficus hispida L.f.). Kesamaan genus buah

I. PENDAHULUAN. perhatian adalah buah luwingan (Ficus hispida L.f.). Kesamaan genus buah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan terhadap penyakit ringan atau berat dapat dilakukan menggunakan obat sintetis ataupun obat yang berasal dari bahan alam. Namun demikian, beberapa pihak terutama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tumbuhan sebagai salah satu sumber kekayaan yang luar biasa. Banyak tanaman yang tumbuh subur dan penuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Alam telah menyediakan beraneka ragam hasil bumi yang diperlukan untuk semua makhluk hidup, termasuk bahan obat. Kebutuhan manusia dalam meningkatkan kualias

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam adalah kenaikan suhu diatas normal. bila diukur pada rectal lebih dari 37,8 C (100,4 F), diukur pada oral lebih dari 37,8 C, dan bila diukur melalui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sasaran utama toksikasi (Diaz, 2006). Hati merupakan organ

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sasaran utama toksikasi (Diaz, 2006). Hati merupakan organ 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hati merupakan organ metabolisme terpenting dalam proses sintesis, penyimpanan, dan metabolisme. Salah satu fungsi hati adalah detoksifikasi (menawarkan racun tubuh),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan, radioterapi dan sitostatika. Pembedahan dan radioterapi

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan, radioterapi dan sitostatika. Pembedahan dan radioterapi 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Terapi kanker payudara yang berlaku selama ini adalah dengan pembedahan, radioterapi dan sitostatika. Pembedahan dan radioterapi bersifat terapi definitif lokal, sedangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia mempunyai kebiasaan bercerita apa yang dilihat, didengar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia mempunyai kebiasaan bercerita apa yang dilihat, didengar, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia mempunyai kebiasaan bercerita apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Demikian juga halnya, dengan nenek moyang kita, ketika berhasil menyembuhkan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tunggal. Tujuan utama dilakukan uji toksisitas akut adalah untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tunggal. Tujuan utama dilakukan uji toksisitas akut adalah untuk mendapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengetahuan tentang khasiat dan keamanan tanaman obat di Indonesia selama ini berdasarkan pengalaman empiris yang diwariskan secara turun temurun dan belum teruji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat dan kegunaan tanaman obat hanya berdasarkan pengalaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kanker merupakan suatu jenis penyakit berupa pertumbuhan sel yang tidak terkendali secara normal. Penyakit ini dapat menyerang semua bagian organ tubuh dan dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkhasiat obat ini adalah Kersen. Di beberapa daerah, seperti di Jakarta, buah ini

BAB I PENDAHULUAN. berkhasiat obat ini adalah Kersen. Di beberapa daerah, seperti di Jakarta, buah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ribuan jenis tumbuhan yang diduga berkhasiat obat, sejak lama secara turun-temurun dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu dari tumbuhan berkhasiat obat ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penelitian. Luka merupakan keadaan yang sering dialami oleh setiap orang, baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penelitian. Luka merupakan keadaan yang sering dialami oleh setiap orang, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Luka merupakan keadaan yang sering dialami oleh setiap orang, baik dengan tingkat keparahan ringan, sedang atau berat. Luka adalah hilangnya atau rusaknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia telah memanfaatkan tumbuhan obat untuk memelihara kesehatan (Dorly,

I. PENDAHULUAN. dunia telah memanfaatkan tumbuhan obat untuk memelihara kesehatan (Dorly, I. PENDAHULUAN Tumbuhan telah digunakan manusia sebagai obat sepanjang sejarah peradaban manusia. Penggunaan tumbuh-tumbuhan dalam penyembuhan suatu penyakit merupakan bentuk pengobatan tertua di dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebar luas di Indonesia, namun penelitian dan pemanfaatan lumut ini

BAB I PENDAHULUAN. tersebar luas di Indonesia, namun penelitian dan pemanfaatan lumut ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lumut hati (Marchantia polymorpha L.) merupakan tumbuhan yang tersebar luas di Indonesia, namun penelitian dan pemanfaatan lumut ini masih sangat kurang. Kandungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai hasil alam yang berlimpah dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan. Salah satu dari hasil alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman herbal sudah lama digunakan oleh penduduk Indonesiasebagai terapi untuk mengobati berbagai penyakit. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat berpendapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data primer berupa gambaran histologi ginjal dan kadar kreatinin hewan coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi minuman ini. Secara nasional, prevalensi penduduk laki-laki yang

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi minuman ini. Secara nasional, prevalensi penduduk laki-laki yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman beralkohol telah banyak dikenal oleh masyarakat di dunia, salah satunya Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup tinggi angka konsumsi minuman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan fitokimia merupakan suatu metode kimia untuk mengetahui kandungan kimia suatu simplisia, ekstrak ataupun fraksi senyawa metabolit suatu tanaman herbal. Hasil penapisan

Lebih terperinci

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Tumbuhan uji yang digunakan adalah pegagan dan beluntas. Tumbuhan uji diperoleh dalam bentuk bahan yang sudah dikeringkan. Simplisia pegagan dan beluntas yang diperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Hal ini didukung oleh keadaan geografis Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hiperkolesterolemia atau kadar kolesterol tinggi merupakan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hiperkolesterolemia atau kadar kolesterol tinggi merupakan permasalahan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hiperkolesterolemia atau kadar kolesterol tinggi merupakan permasalahan pada masyarakat. Penyebab hiperkolesterolemia antara lain diet tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG PENELITIAN. dengan defisiensi sekresi dan atau sekresi insulin (Nugroho, 2012). Organisasi

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG PENELITIAN. dengan defisiensi sekresi dan atau sekresi insulin (Nugroho, 2012). Organisasi BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG PENELITIAN Diabetes mellitus merupakan sindrom kompleks dengan ciri ciri hiperglikemik kronis, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, terkait dengan defisiensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dikenal dengan istilah back to nature (Sari, 2006). Namun demikian,

I. PENDAHULUAN. lebih dikenal dengan istilah back to nature (Sari, 2006). Namun demikian, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat telah lama memanfaatkan sumberdaya alam terutama tanaman atau tumbuhan yang ada di sekitarnya untuk obat tradisional maupun tujuan lainnya (Sutarjadi, 1992;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat. Pada jaman sekarang banyak obat herbal yang digunakan sebagai alternatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman herbal merupakan minuman yang berasal dari bahan alami yang bermanfaat bagi tubuh. Minuman herbal biasanya dibuat dari rempah-rempah atau bagian dari tanaman,

Lebih terperinci

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR. Intisari

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR. Intisari EFEK TOKSISITS SUKRONIK EKSTRK ETNOL KULIT TNG SINTOK PD TIKUS PUTIH GLUR WISTR Sri di Sumiwi, nas Subarnas, Rizki Indriyani, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, e-mail: sumiwi@yahoo.co.id Intisari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Berenuk (Crescentia cujete L). a. Sistematika Tumbuhan Kingdom : Plantae Sub kingdom : Tracheobionata Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengobatan herbal oleh masyarakat saat ini berkembang seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengobatan herbal oleh masyarakat saat ini berkembang seiring dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan herbal oleh masyarakat saat ini berkembang seiring dengan kecenderungan terjadinya pergeseran pola penyakit di Indonesia, dari pola infeksi menjadi pola penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insiden penyakit kanker di dunia mencapai 12 juta penduduk dengan PMR 13%. Diperkirakan angka kematian akibat kanker adalah sekitar 7,6 juta pada tahun 2008. Di negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan yang dimanfaatkan dan diakui masyarakat dunia, hal ini menandai kesadaran untuk

Lebih terperinci

TOKSIKOMETRIK. Studi yang mempelajari dosis dan respon yang dihasilkan. Efek toksik. lethal dosis 50

TOKSIKOMETRIK. Studi yang mempelajari dosis dan respon yang dihasilkan. Efek toksik. lethal dosis 50 TOKSIKOMETRIK TOKSIKOMETRIK Toksikologi erat hubungannya dengan penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek toksik sehubungan dengan terpaparnya mahluk hidup. Sifat spesifik dan efek suatu paparan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat merupakan suatu bahan atau campuran bahan yang berfungsi untuk digunakan sebagai diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keseimbangan dalam fisiologi sangat penting bagi semua mekanisme

BAB I PENDAHULUAN. Keseimbangan dalam fisiologi sangat penting bagi semua mekanisme 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keseimbangan dalam fisiologi sangat penting bagi semua mekanisme tubuh, termasuk dalam mekanisme keseimbangan kadar glukosa darah yang berperan penting dalam aktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat IX-xi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat dari bahan utama yaitu tumbuhan umbi yang digunakan oleh semut sebagai sarang sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ulcerative Colitis (UC) termasuk dalam golongan penyakit Inflammatory Bowel Disease (IBD). Keadaan ini sering berlangsung kronis sehingga dapat mengarah pada keganasan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk kesejahteraan manusia. Mikroba endofit merupakan mikrobia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk kesejahteraan manusia. Mikroba endofit merupakan mikrobia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Mikroba endofit merupakan mikrobia yang berasosiasi dengan tumbuhan. Tipe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada

BAB I PENDAHULUAN. dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati berupa ratusan jenis tanaman obat dan telah banyak dimanfaatkan dalam proses penyembuhan berbagai penyakit. Namun sampai sekarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. Pada lingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan, air, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Per Mortality Rate (PMR) 13 %. Di negara-negara maju seperti

BAB I PENDAHULUAN. dengan Per Mortality Rate (PMR) 13 %. Di negara-negara maju seperti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan salah satu penyebab kematian dengan kontribusi sebesar 13 % kematian dari 22 % kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia. Insidensi penyakit

Lebih terperinci

Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT. Macam Uji Toksisitas. Beda antara jenis uji toksisitas umum

Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT. Macam Uji Toksisitas. Beda antara jenis uji toksisitas umum Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT Merupakan uji keamanan pra-klinis Untuk penapisan spektrum efek toksik Hewan roden dan non-roden Dripa Sjabana, dr., M.Kes. Mata kuliah Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alergi makanan merupakan gejala yang mengenai banyak organ atau sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang sebagian besar diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Determinasi Bahan Deteminasi dilakukan untuk memastikan kebenaran dari bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu tanaman asam jawa (Tamarindus indica L.). Determinasi

Lebih terperinci