BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Perkembangan Teori Pilihan Rasional Memahami makna dan tujuan suatu tindakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Perkembangan Teori Pilihan Rasional Memahami makna dan tujuan suatu tindakan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Perkembangan Teori Pilihan Rasional Memahami makna dan tujuan suatu tindakan individu dalam masyarakat merupakan salah satu kajian yang cukup menarik dalam ilmu sosial. Ternyata suatu tindakan yang dilakukan oleh individu bukan tanpa maksud dan tujuan, melainkan terdapat tendensi yang mendasarinya. Dalam perspektif teori pilihan rasional yang dipopulerkan oleh James S Coleman ini menyatakan bahwa tindakan seseorang sebagai sesuatu yang purposive (Huber dalam Wirawan, 2012:191). Tindakan purposive merupakan suatu tindakan yang didasarkan keinginan memperoleh keuntungan atas pilihannya (Coleman, 1992:23). Suatu tindakan purposive memerlukan optimalisasi. Sebagai teori yang banyak dipengaruhi oleh ekonomi maka prinsip optimalisasi ini hampir sama dengan prinsip ekonomi. Rasional di bidang ekonomi mendefinisikan perilaku rasional tidak hanya sebagai bertindak dalam pelayanan preferensi untuk menghasilkan suatu hasil yang bermanfaat, tetapi sebagai memaksimalkan keuntungan (Coleman, 1992:23). Secara keseluruhan, esensi dari pendekatan ekonomi terdiri dari gabungan asumsi memaksimalkan perilaku, keseimbangan pasar, dan stabilitas preferensi (Becker dalam Krstic, 2015:2). Preferensi atau kepentingan dalam perilaku individu dipengaruhi oleh kepentingan sosial. Keuntungan yang diperoleh individu tidak hanya terbatas pada keuntungan material, melainkan secara psikologis maupun sosial seperti prestise atau perilaku yang diterima masyarakat (Wittek, 2013:689). Jadi individu menentukan suatu pilihan didasarkan pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut mengarah pada suatu upaya memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin atas pilihannya. Inti dari pemikiran teori pilihan rasional adalah individu melakukan tindakan didasarkan untuk memaksimalkan keuntungannya (Coleman, 1992:23). Dalam kaitannya terhadap optimalisasi keuntungan, Becker mencoba mejelaskannya melalui kasus pengambilan keputusan dalam suatu keluarga. 6

2 7 Pilihan siapa yang harus bekerja di dalam suatu keluarga didasarkan atas perhitungan siapa yang lebih layak jual yakni ia yang memiliki keterampilan bekerja seperti pengalaman dan ijazah. Sementara itu anggota keluarga yang tidak marketable atau layak jual ditempatkan pada urusan domestik rumah tangga. Apabila yang bekerja adalah pasangan yang tidak layak jual maka hasil yang mereka dapat tidak maksimal (Agger, 2007:316). Artinya pengambilan keputusan dalam keluarga pun diperhitungkan secara matang untuk memperoleh keuntungan atau hasil yang semaksimal mungkin. Termasuk dalam konteks pemilihan lembaga pendidikan bagi anak. Orang tua telah menghitung berbagai keuntungan dan kerugian dari sekian banyak jenis sekolah hingga akhirnya meyakini bahwa pesantren merupakan pilihan yang paling menguntungkan. Pilihan rasional dirangsang oleh stimulus tertentu, dan pilihan yang ditawarkan sifatnya terbatas. Stimulus dari setiap pilihan antar individu berbeda-beda tergantung sistem dimana individu-individu itu berada (Agger, 2007:315). Maksudnya, alternatif pilihan yang ditawarkan pada individu sifatnya terbatas, oleh karenanya individu menggunakan informasi yang dimiliki untuk menentukan alternatif pilihan yang paling tepat dan memberikan keuntungan yang maksimal. Pemilihan tersebut juga seringkali dipengaruhi oleh nilai yang berkembang di masyarakat. Apa yang dipilih oleh individu cenderung mengikuti apa yang dianggap baik oleh masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori pilihan rasional memandang suatu tindakan individu sebagai sesuatu yang purposive atau bertujuan. Tujuan dari tindakan tersebut adalah memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dan berusaha meminimalkan resiko yang mungkin akan diperoleh jika tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam melakukan tindakannya, individu dipengaruhi oleh berbagai informasi yang dimiliki dan nilai yang berkembang dalam masyarakat. Individu mempergunakan informasi tersebut untuk memperhitungkan secara matang alternatif pilihan yang akan mendatangkan keuntungan atau manfaat yang besar. Keuntungan tidak selalu berkaitan

3 8 dengan masalah ekonomi melainkan dapat berupa manfaat psikologis maupun sosial seperti prestise atau perilaku yang diterima masyarakat. 2. Pesantren Sebagai Suatu Pilihan Rasional Teori pilihan rasional juga dikenal dengan istilah rational choice theory. Elemen-elemen kunci dari teori ini adalah preferensi individu, keyakinan, dan kendala. Tiga asumsi yang penting dalam pilihan rasional adalah: (1) individu memiliki preferensi egois, (2) mereka memaksimalkan manfaat dan (3) mereka bertindak secara bebas berdasarkan informasi penuh yang dimiliki (Wittek, 2013:688). Preferensi egois yang dimaksudkan dalam teori ini adalah individu melakukan tindakan atas dasar memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya atau usaha seminimal mungkin. Kepuasan individu dimaksimalkan sampai pada tingkat penawaran barang berharga yang dikuasai oleh seorang individu termaksimalkan, dan kebutuhan atau permintaan barang berharga itu terminimalkan. Dalam teori rasionalitas, total biaya untuk memperoleh keuntungan dipertahankan nol (Wirawan, 2012: ). Asumsi kedua dari teori pilihan rasional adalah tatanan preferensi didasarkan pada prinsip memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko. Jadi individu cenderung melakukan tindakan yang sedikit mengandung resiko dan justru menghasilkan keuntungan baginya. Prinsip ini menjadikan individu mengambil keputusan melalui preferensi yang telah ditata berdasarkan urutan skala prioritas. Hal ini dapat dijelaskan melalui kasus dilema tahanan yang disampaikan Coleman sebagai berikut: Dua orang tahanan yang diduga bekerja sama melakukan kejahatan ditempatkan dalam sel terpisah. Polisi berkata pada masing-masing tahanan kalau dia akan dibebaskan (a) jika dia melaporkan satu tahanan lainya dan teman itu tidak melaporkan dia. (b) Jika mereka saling melaporkan, keduanya akan dihukum tiga tahun. (c) Jika dia tidak melaporkan temannya, tetapi temannya melaporkan dia, dia akan dipenjara lima tahun. (d) Jika keduanya tidak saling melaporkan, polisi punya bukti yang cukup untuk menghukum masing-masing tahanan (Wirawan, 2012: ).

4 9 Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan, maka untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal seharusnya skala prioritas yang ditentukan pada dilema tahanan tersebut adalah (a), (d), (b), (c). Sedikit saja individu melakukan kesalahan maka resiko yang ia tanggung semakin besar. Oleh karena itu dalam menentukan pilihan diperhitungkan secara matang. Asumsi ketiga adalah individu menentukan pilihan atas dasar informasi yang diperolehnya. Coleman menyebutkan bahwa manusia termotivasi untuk mencapai kesenangan dan menghindari rasa sakit sehingga motivasi ini membawa mereka untuk bertindak dalam batas informasi yang mereka miliki. Informasi tersebut digunakan untuk memprediksi masa depan sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil atau keuntungan yang lebih besar dari biaya atau usaha yang dilakukan (Coleman, 1992: 23). Jika informasi yang diperoleh tidak tepat maka akan mempengaruhi hasil akhir dari suatu pilihan. Namun demikian, terkadang individu bertindak atas dasar asumsi salah yang menyatakan bahwa apa yang bermanfaat bagi individu dalam lingkungan tertentu bermanfaat pula pada individu dalam lingkungan tertentu (Wirawan, 2012:210). Asumsi salah ini tergambar pada suatu contoh kasus penggundulan hutan yang diberikan oleh Sartre. Pada dasarnya petani berkeinginan untuk memiliki lahan yang luas dengan cara melakukan penebangan pohon, tetapi tanpa disadari hal itu mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan dan erosi yang pada akhirnya justru petani hanya akan memperoleh hasil yang sedikit (Wirawan, 2012:219). Dalam konteks permasalahan pemilihan pesantren sebagai lembaga penidikan anak, orang tua meyakini jika memasukkan anak ke pesantren merupakan pilihan terbaik. Pesantren memberikan keuntungan yang lebih besar daripada sekolah umum. Menyekolahkan anak di pesantren bukan suatu perkara mudah bagi orang tua karena mereka harus berpisah dengan anak untuk beberapa waktu. Hanya sebagian orang tua yang mampu merelakan anaknya sekolah di pesantren. Tentu tindakan tersebut bukan tanpa maksud, di dalamnya terdapat tujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dan

5 10 meminimalkan resiko yang mungkin terjadi terhadap anaknya jika tidak disekolahkan di pesantren. Seringkali orang tua merasa khawatir akan kehidupan di masyarakat yang dirasa memiliki banyak pengaruh negatif. Kesibukan orang tua membuat mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus anak secara intensif. Sementara itu orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk memperoleh penghasilan bagi keluarga. Namun, jika banyak waktu orang tua digunakan untuk mengurus anak akan mengurangi penghasilan mereka. Pesantren menjadi pilihan yang rasional bagi orang tua untuk tetap memperoleh penghasilan maksimal tanpa direpotkan oleh urusan anak. Disisi lain, pesantren dipercaya akan mampu membentuk anak berkepribadian baik. Tanpa harus mendidik anak secara ekstra, anak telah terbentuk kepribadiannya selama di pesantren. Selain itu anak yang keluar dari pesantren secara sosial keagamaan ia akan berada pada posisi atas dibandingkan anak yang sekolah di sekolah biasa. Secara otomatis orang tua akan memperoleh prestige karena mampu menyekolahkan anaknya di pesantren. Ia akan memperoleh posisi yang diperhitungkan dalam masyarakat karena dianggap memiliki kualitas keagamaan yang bagus dengan menyekolahkan anak di pesantren. 3. Perkembangan Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan terhadap suatu agama menjadi sesuatu yang sangat penting. Agama menjadi pedoman yang dapat mempengaruhi tingkah laku dan pemikiran seseorang (Karim, 1994:78). Seringkali individu bertindak berdasarkan apa yang diperboleh dan dilarang oleh agamanya. Realitas agama menunjukkan sesuatu yang menarik karena agama dapat menjelaskan keberadaan dan posisi individu di dalam masyarakat. Semakin tinggi ketaatan agama seseorang semakin tinggi posisinya di dalam masyarakat. Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 golongan berdasarkan agamanya. Golongan tersebut adalah abangan, santri, dan priyayi. Abangan

6 11 menitikberatkan pada aspek animistis dari sinkretisme jawa yang dihubungkan dengan petani, santri menitikberatkan pada aspek Islam dari sinkretisme yang dihubungkan dengan elemen dagang, sedangkan priyayi menekankan pada aspek hindu dan hubungannya dengan elemen birokratik (Geertz, 1960:8). Kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat abangan dan santri menjadi cukup menarik untuk dikaji. Pasalnya, meskipun kedua golongan tersebut menganut agama yang sama, seolah terjadi perbedaan antara keduanya. Kaum abangan menjalankan ajaran agama Islam dengan tetap percaya dan menjalankan ritual adat keupacaraan seperti berbagai jenis selametan. Sementara itu, santri merupakan kaum yang menitikberatkan doktrin Islam yang secara tegas menolak kepercayaan terhadap praktek kejawen (Geertz, 1960: ). Kaum santri menganggap bahwa ritual peribadatan yang tidak diajarkan di dalam Qur an dan Hadits merupakan tindakan yang tidak tepat. Kaum santri dipandang sebagai mereka yang taat terhadap agama seperti menjalankan sholat 5 waktu dengan tekun dan tepat waktu. Sementara itu kaum abangan dianggap sebagai kelompok yang kurang peduli terhadap agama (Dirdjosanjoto, 1999:95). Jadi kaum santri menganggap apa yang mereka lakukan adalah ajaran agama Islam yang benar sementara kaum abangan dianggap kurang tepat. Pembicaraan mengenai kaum santri tidak terlepas dari sistem pendidikan pesantren. Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu keagamaan dibawah bimbingan kiai, asrama berada dalam kompleks pesantren dimana kiai tinggal (Zubaedi, 2005:142). Umumnya pesantren memiliki pondok atau asrama untuk tempat tinggal santri, masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan keagamaan (Dhofier, 1984:44). Pesantren mulai dikembangkan sejak abad ke 13. Pada saat itu, pesantren merupakan satu-satunya lembaga yang terstruktur, sehingga pendidikan jenis ini dianggap bergengsi (Mutohar, 2013:178). Pesantren mulai tumbuh di Jawa dibawa oleh para walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad

7 12 Perkembangan pesantren tersebut karena kepercayaan dan keinginan masyarakat. Pesantren memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum, sesuai dengan aliran yang dibawanya (Abdullah, 2008:41). Bahkan keberadaan santri hingga kini tetap diperhitungkan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian Hendra Kurniawan (2015) yang berjudul Pendidikan Pesantren dan Pengembangan Ajaran Moderasi Islam di Indonesia. Dalam penelitianya tersebut ia menjelaskan bahwa kiprah kaum terpelajar dari kalangan santri, baik yang berada di pedesaan maupun perkotaan telah membawa dampak positif dalam model pendidikan dan pengembangan ajaran moderasi Islam di berbagai kalangan dan kelas sosial masyarakat. Masyarakat telah merasakan peran nyata para santri dibidang keilmuan, pendidikan, konsultasi serta penyelesaian berbagai masalah sosial menjadi lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat mengharapkan adanya penyebaran tenaga pendidik keagamaan yang moderat ke daerah pelosok-pelosok. Pada dasarnya pesantren merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang tumbuh atas inisiatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Adapun nilai-nilai yang diimplementasikan dalam pesantren antara lain ukhuwah (persaudaraan), ta awun (kerjasama), jihad (berjuang), taat, sederhana, mandiri, dan ihklas (Zubaedi, 2005: ). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamin Sumardi (2012) dengan judul Potret Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Salafiah. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pendidikan karakter di pondok pesantren salafiah dilakukan melalui pembiasaan. Dalam kesehariannya santri telah diberikan aturan dan tanggung jawab, baik dalam hal belajar maupun dalam kehidupan keseharian. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada santri diantaranya kemandirian, kebersamaan dan gotong royong, toleransi, tanggung jawab dan kepatuhan. Selain itu, Kiai selalu mengingatkan santri untuk belajar

8 13 serta memberikan contoh dalam menjalankan taqorub kepada Allah, jika santri melanggar aturan akan diberlakukan sanksi. Selama di dalam pesantren, santri mempelajari kitab-kitab agama Islam secara bertahap. Namun, dalam pelaksanaannya tidak semua santri setiap hari berada di dalam pesantren. Santri yang berasal dari dalam desa atau desa tetangga dan tidak suka tinggal di pondok diperbolehkan tinggal dirumah dan hanya datang pada saat pengajian (Dirdjosanjoto, 1999:145). Pada akhirnya terdapat dua jenis santri, yakni santri mukim dan santri kalong. a. Santri mukim: santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang kerumahnya, maka ia mondok tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim mereka memiliki kewajibankewajiban tertentu. b. Santri kalong: siswa-siswa yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ke tempat tinggal masing-masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang-pergi antara rumahnya dengan pesantren. (Daulay 2001: 15) Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan dikarenakan terdapat potensi yang dimilikinya. Pertama, pendidikan di asrama berlangsung 24 jam baik sebgai lembaga pendidikan kegamaan, sosial kemasyarakatan, atau pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal dan terpadu. Kedua, pesantren berkembang atas tuntutan dan kebutuhan masyarakat Ketiga, kepercayaan masyarakat menyekolahkan anaknya di pesantren (Zubaedi, 2005: ). Orang tua menganggap pesantren sebagai tempat yang aman untuk menghindarkan anak dari lingkungan pergaulan yang tidak kondusif (Abdullah, 2008:109). Sebagai lembaga pendidikan, pesantren harus memiliki sistem managemen yang jelas. Pertama perencanaan, salah satu elemen pokok pesantren adalah kiai, ia merupakan orang yang berpengaruh dalam keberlangsungan pesantren. Perencanaan pengembangan pesantren banyak dipengaruhi oleh pemikiran kiainya. Keberhasilan pesantren tergantung

9 14 eksistensi kiai didalam masyarakat. Kedua pengorganisasian, perlu adanya pembagian kerja yang jelas di pesantren sesuai dengan keahlian pada bidangnya masing-masing. Ketiga, pesantren menjalankan fungsi pengawasan. Kiai, pengasuh asrama atau ustadzah berperan dalam mengawasi setiap kegiatan santri agar tidak menyimpang. Keempat, sebagai lembaga yang jelas pesantren harus mampu mengelola keuangan yang tepat. Kelima evaluasi, setiap periode tertentu pesantren perlu melakukan evaluasi bersama agar pengelolaan kedepan menjadi lebih baik (Zubaedi, 2005: ). Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis keagamaan tertua yang tumbuh di Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan kemasyarakatan yang berkembang karena keinginan dan kebutuhan masyarakat. Beberapa orang tua merasa pesantren merupakan sarana yang tepat untuk menghindarkan anak dari pengaruh negatif. Selama di dalam pesantren anak diajarkan ilmu agama Islam dan pembiasaan kehidupan dengan nilai-nilai keislaman. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah memiliki sistem managemen yang jelas diantaranya perencanaan yang sedikit banyak tergantung pemikiran sang kiai, struktur kerja yang jelas, melakukan pengawasan terhadap santri, memiliki sistem keuangan yang tepat dan melakukan evaluasi kinerja setiap periode tertentu. 4. Modernisasi Pendidikan Pesantren Ciri khas yang membedakan pesantren dengan sekolah pada umumnya adalah sistem pengajarannya. Sistem pengajaran pesantren menggunakan sistem pendidikan tradisional sorogan dan bandongan atau weton. Sistem sorogan bersifat individual yang umumnya dilakukan pada santri yang tertinggal dalam mengikuti pelajaran dan dilakukan oleh santri senior untuk membantu santri yang baru masuk. Sementara itu bandongan adalah sistem dimana kiai membacakan salah satu kitab, menerjemahkanya dalam bahasa Jawa kemudian memberi keterangan pada kata-kata yang sulit (Dirdjosanjoto, 1999:149).

10 15 Saat ini pesantren telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan tersebut dimulai sejak abad ke-19 seiring berkembangnya sistem pendidikan Barat di Indonesia. Keberadaan sistem pendidikan Barat yang memberikan jaminan pekerjaan di bidang yang strategis, membuat banyak pemuda meninggalkan pesantren tradisional. Sebagai upaya mempertahankan eksistensi, beberapa pesantren besar pada tahun 1950-an memasukkan pendidikan umum di dalam pesantren. Saat ini banyak pesantren yang menyelenggarakan SMP dan SMA, maupun universitas yang membuka cabang pengetahuan umum (Dhofier, 1982:38-41). Pada akhirnya pesantren terbagi menjadi 2 kelompok besar yakni pesantren salafi (tradisional) dan pesantren khalafi (modern). Pesantren salafi merupakan pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. (Dhofier, 1984:41). Pesantren salafi masih mempertahankan kurikulum serta sistem pendidikan khas pesantren. Bahan ajar yang digunakan meliputi ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing santri (Mutohar, 2013:204). Pesantren jenis ini sudah tidak terlalu banyak berkembang. Namun beberapa pesantren masih mempertahankan sistem ini seperti pesantren Al-Fattah Temboro Magetan. Sementara itu, pesantren khalafi merupakan pesantren yang memasukkan pelajaran-pelajaran umum atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren (Dhofier, 1984:41). Pondok pesantren khalafi mengadopsi sistem madrasah atau sekolah dengan kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pemerintah baik dengan Departemen Agama (Depag) maupun Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (Mutohar, 2013:204). Jadi siswa mempelajari materi pelajaran umum di sekolah setelah itu mempelajari ajaran agama Islam di dalam asrama. Penerapan modernisasi pesantren ini telah terlihat pada Pesantren Assalam Surakarta. M Uripto Yunus dan Kadarusman (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Ijtihad Pengembangan Pesantren

11 16 Modern (Kasus Pesantren Assalam Surakarta) menjelaskan bahwa PPMI Assalam menjadi contoh proses adaptasi terhadap kemodernan. PPMI Assalam telah mengadaptasi aspek-aspek modernitas seperti pada konsep manajemen, proses belajar-mengajar, struktur kurikulum dan sistem kepemimpinan. Pesantren dengan sistem dan model boarding school tersebut diyakini mampu menyelesaikan persoalan pada negara modern seperti saat ini seperti korupsi, dekadensi moral, dan sebagainya. Salah satu perbedaan yang menonjol dalam pendidikan pesantren adalah pada sistem pengajarannya. Pesantren modern tidak lagi menggunakan sistem bandongan dan sorogan. Saat ini pesantren telah menggunakan metode pengajaran yang diterapkan di sekolah umum seperti: tanya jawab, hafalan, sosio-drama, widyawisata, ceramah, hingga sistem modul. Pesantren juga telah mengaplikasikan sistem informasi dan komunikasi dalam pembelajarannya (Tuanaya, 2007:10). Selain itu, kepemilikan pesantren tidak secara turun menurun dari seorang kiai melainkan telah mengembangkan kelembagaan yayasan yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif (Tuanaya, 2007:11). Berbagai jenis yayasan maupun organisasi keagamaan mendirikan pesantren untuk mengajarkan ajaran agama Islam sesuai tuntunannya masingmasing. Beberapa diantaranya adalah Pondok Pesantren Imam Syuhodo dibawah naungan Muhammadiyah, Pondok Pesantren Jamsaren dibawah naungan Nahdhatul Ulama (NU) dan SMP & SMA MTA dibawah naungan Majlis Tafsir Qur an (MTA). Modernitas pesantren juga dialami oleh SMP MTA Gemolong, salah satu jenis pesantren khalafi atau pesantren modern dibawah naungan yayasan MTA. Modernitas ditunjukkan dalam metode pembelajarannya yakni telah menggunakan metode ceramah, diskusi, tanya-jawab, dan sebagainya. Selain itu, sebagai pesantren modern SMP MTA mengajarkan ilmu umum dan Ilmu agama Islam seperti tahfidzul Qur an, taksin, hafalan hadits dan ayat pilihan, hafalan sholat, do a-do a harian, khitobah serta pengembangan Bahasa Arab dan Inggris (Sumber: Profil SMP MTA Gemolong).

12 17 Jadi, saat ini banyak pesantren salah satunya SMP MTA Gemolong telah mengalami proses modernisasi. Modernisasi tersebut terjadi pada sistem pengajarannya. Beberapa pesantren yang berkembang saat ini tidak lagi hanya mengajarkan kitab-kitab agama Islam secara bertahap. Akan tetapi telah memasukkan materi pelajaran umum seperti Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Bahasa Indonesia, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Sistem pengajaran di pesantren juga tidak lagi menggunakan sistem sorogan dan bandongan melainkan ceramah, diskusi, tanya jawab, dan sebagainya. Modernisasi sistem pengajaran di pesantren mengingat kebutuhan masyarakat saat ini. Individu tidak hanya membutuhkan pemahaman terhadap kitab melainkan perlu memiliki pengetahuan yang luas dan skill sebagai bekal memperoleh pekerjaan dan menghadapi persaingan dalam masyarakat yang semakin kompetitif. 5. Karakteristik Remaja Awal Masa remaja merupakan masa peralihan individu dari masa anak-anak menuju kedewasaan. Masa remaja ini seringkali dianggap rentan terhadap permasalahan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (Yusuf, 2008:197). Kondisi emosional yang belum matang pada diri remaja tersebut akan beresiko terjadinya kenakalan. Dalam sebuah studi psikologi, kejahatan seksual, tindak merampok, menipu, menjambret, dan kejahatan lain banyak terjadi pada usia remaja (Kartono, 2014:7). Oleh karena itu dalam proses pencapaian emosional remaja, orang tua berperan untuk mengendalikan dan mengarahkan perilakunya. Pada umumnya, masa remaja terbagi menjadi 2 fase yakni masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal dimulai ketika anak telah genap berusia 12 atau 13 tahun, dan berakhir pada usia 17 atau 18 tahun. Sementara itu WHO menggolongkan remaja awal pada usia tahun (Mighwar, 2006:68). Pada usia remaja awal, secara umum mereka sedang

13 18 menempuh pendidikan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada masa ini, remaja sedang mengalami masa perkembangan yang tersulit yakni berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam hal ini yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (Hurlock dalam Nisfianoor, 2014: ) Pada masa perkembangan sosial remaja, ia memiliki kebutuhankebutuhan untuk kasih sayang, kepuasan hubungan dengan individu-individu lainnya, untuk diterima, pengakuan, dan status di grup sosial (Rice dalam Nissfianoor, 2004:160). Pada masa ini remaja membutuhkan orang-orang yang secara emosional dekat dengan dirinya agar mampu mengarahkan pada arah perkembangan yang baik. Pada masa remaja juga menjadi masa yang cukup penting dalam pembentukan kepribadian. Keluarga merupakan tempat yang sempurna untuk melangsungkan pendidikan ke arah pembentukan kepribadian yang utuh, tidak hanya saat anakanak melainkan juga remaja (Tirtarahardja, 2005:169). Orang tua memberikan tuntunan, ajaran, serta contoh dalam berperilaku, sehingga suasana keluarga menjadi tempat yang sebaik-baiknya dalam melakukan pendidikan individual maupun sosial. Keberadaan keluarga menjadi sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan kepribadian maupun pendidikan sosial. Umumnya penanaman watak dilakukan oleh keluarga. Dalam studi yang dilakukan oleh Decroly 70 % anak-anak yang terlibat kejahatan karena kehidupan keluarga yang rusak (Tirtarahardja, 2005:170). Saad juga mengemukakan bahwa kualitas komunikasi antarpribadi memberi pengaruh yang besar terhadap perilaku anak dan remaja. Komunikasi yang jarang dilakukan antara orang tua dan anak menjadikan anak merasa teralineasi (Saad, 2003:26). Remaja yang merasa tidak dihargai dan tidak dipahami serta tidak diterima oleh lingkungan terutama orang tua, maka akan cenderung lari melakukan tindakan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Remaja yang sedang

14 19 mengalami pertumbuhan dan perkembangan memerlukan dorongan dari orang tuanya untuk menjadi pribadi yang mandiri, dihargai, dan diakui keberadaanya dimanapun berada (Saad, 2003:50). Oleh karena itu keberadaan orang tua sangatlah penting ketika anak memasuki masa remaja. Orang tua diharapkan dapat membantu remaja mencapai kematangan emosionalnya. Kondisi ini kemungkinan akan sulit ditemukan remaja yang menempuh pendidikan di pesantren. Sejak pagi hingga pagi kehidupannya telah diatur oleh pondok pesantren. Bahkan seorang santri tidak bisa bebas menghubungi kedua orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Santri harus patuh terhadap semua aturan yang telah ditetapkan oleh pihak pesantren. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja awal merupakan masa ketika anak berada pada usia tahun. Pada usia tersebut umumnya mereka sedang menempuh pendidikan jenjang SMP. Karakteristik yang khas pada diri remaja awal adalah perkembangan emosional yang belum stabil. Perkembangan emosional yang belum stabil tersebut beresiko mempengaruhi perilaku anak kearah yang negatif. Oleh karena itu pada perkembangannya, anak perlu didampingi orang tua agar perilakunya dapat terarah. Kasih sayang dan perhatian orang tua menjadi sangat penting agar anak merasa keberadaannya diakui di dalam masyarakat. B. Kerangka Berpikir Angka kenakalan remaja di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak utamanya orang tua. Upaya yang dilakukan orang tua dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengoptimalkan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan di luar keluarga. Dewasa ini, terdapat berbagai jenis pendidikan diantaranya pendidikan umum seperti di sekolah dan pendidikan berbasis agama seperti pesantren. Dalam memilih jenis pendidikan tersebut orang tua mempertimbangkannya secara rasional. Coleman menyebutkan bahwa dalam teori pilihan rasional, tindakan individu merupakan suatu tindakan yang purposive. Suatu tindakan purposive memerlukan optimalisasi. Dalam teori pilihan rasional individu melakukan

15 20 suatu tindakan karena memiliki tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam rangka memaksimalkan keuntungan dan meminimalisasi resiko dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan. Sama halnya dengan pilihan orang tua terhadap pesantren MTA sebagai lembaga pendidikan anak. Orang tua telah memperhitungkan berbagai jenis sekolah yang mampu memberikan keuntungan yang maksimal. Orang tua menganggap pesantren jenis MTA mampu membentuk anak memiliki ahklak yang bagus, ekonomis, serta menunjukkan loyalitasnya sebagai anggota MTA. Disamping itu terdapat berbagai macam keuntungan yang ingin dimaksimalkan dan resiko yang ingin diminimalisir oleh orang tua. Keuntungan dan resiko tersebut erat kaitannya dengan ideologi MTA yang mereka pegang. Secara lebih jelas kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 2.1.

16 21 Angka kenakalan remaja tinggi Upaya Orang tua Pemilihan Pendidikan Anak Sekolah Umum b. Sedikit nilai agama c. Banyak waktu luang anak setelah KBM d. Resiko pergaulan di luar sekolah Perbedaan Bagaimana rasionalitas pilihan orang tua? Sekolah berbasis agama/pesantren MTA MTS a. Banyak nilai agama b. Kegiatan dipantau 24 jam c. Terhindar pengaruh negatif diluar sekolah Pilihan Rasional James S Coleman Tujuan Maksimalisasi Keuntungan Minimalisasi Resiko Anak berakhlak sesuai MTA Menghemat pembiayaan Bukti loyalitas anggota MTA Ekonomis Efisien waktu Kualitas agama bagus Aman dari pergaulan remaja yang negatif Prestise Bukti loyalitas anggota MTA Boros Pekerjaan terganggu pengasuhan anak Kualitas agama anak rendah Pengaruh pergaulan remaja Pandangan negatif masyarakat Eksistensi organisasi Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak hanya pada masalah belajar seperti membolos, mencontek,

Lebih terperinci

Keywords: islamic boarding school, MTA, rational choice

Keywords: islamic boarding school, MTA, rational choice 1 RASIONALITAS PILIHAN ORANG TUA TERHADAP PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN REMAJA AWAL Meita Arsita, Nurhadi, dan Atik Catur Budiati Pendidikan Sosiologi Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan-kegiatan dan peraturan yang berlaku di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan-kegiatan dan peraturan yang berlaku di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan di pondok pesantren berbeda dengan kehidupan anak pada umumnya. Di pondok pesantren, santri atau peserta didik dituntut untuk dapat beradaptasi dengan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam khas Indonesia merupakan pendidikan alternatif dari pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah. Pertama, karena pesantren

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan seorang individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga variatif seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pendidikan senantiasa menjadi sorotan bagi masyarakat khususnya di Indonesia yang ditandai dengan adanya pembaharuan maupun eksperimen guna terus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh Durkheim (Betty Schraf, 1995), bahwa fungsi agama adalah. mempertahankan dan memperkuat solidaritas dan kewajiban sosial pada

I. PENDAHULUAN. oleh Durkheim (Betty Schraf, 1995), bahwa fungsi agama adalah. mempertahankan dan memperkuat solidaritas dan kewajiban sosial pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam agama di kalangan masyarakatnya. Mulai dari agama Kristen, Budha, Hindu, Islam, Katolik, dan kepercayaan lain yang saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak disampaikan menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Sehingga

BAB I PENDAHULUAN. banyak disampaikan menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Sehingga BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan memberikan tuntutan kepada setiap orang untuk dapat meningkatkan dirinya. Salah satu modal untuk membentuk sumber daya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tidak diragukan lagi peranannya dan kiprahnya dalam membangun kemajuan bangsa Indonesia. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. santri yang dengan awalan pe didepan dan akhiran an berarti tempat tinggal para

BAB I PENDAHULUAN. santri yang dengan awalan pe didepan dan akhiran an berarti tempat tinggal para BAB I PENDAHULUAN Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok pesantren. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab, funduq, yang artinya hotel atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. segenap kegiatan pendidikan (Umar Tirtarahardja, 2005: 37).

BAB 1 PENDAHULUAN. segenap kegiatan pendidikan (Umar Tirtarahardja, 2005: 37). 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan, sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP MTA Gemolong yang berlokasi di

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP MTA Gemolong yang berlokasi di BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP MTA Gemolong yang berlokasi di Gemolong, RT 02/III, Gemolong, Sragen. SMP MTA Gemolong dipilih

Lebih terperinci

2. BAB II TINJAUAN UMUM

2. BAB II TINJAUAN UMUM 2. BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pondok Pesantren 2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren Asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering diartikan juga sebagai sekolah agama bagi pelajar muslim (Sumadi,

BAB I PENDAHULUAN. sering diartikan juga sebagai sekolah agama bagi pelajar muslim (Sumadi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pondok pesantren merupakan salah satu macam lembaga pendidikan berbasis Islam di Indonesia yang sudah ada sejak masa kolonial. Pesantren sering diartikan juga sebagai

Lebih terperinci

Tabel 13 : Rekapitulasi angket indikator variabel y pengalaman religiusitas santri BAB I PENDAHULUAN

Tabel 13 : Rekapitulasi angket indikator variabel y pengalaman religiusitas santri BAB I PENDAHULUAN 14 Tabel 13 : Rekapitulasi angket indikator variabel y pengalaman..... 98 Tabel 14 : Pengaruh intensitas santri dalam kegiatan pendidikan pesantren dengan religiusitas santri... 101 BAB I PENDAHULUAN Bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat. Pendidikan merupakan usaha melestarikan dan

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan berlangsung

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam proses perkembangan peserta didik. Pendidikan juga sebagai sebuah upaya untuk mempersiapkan peserta didik

Lebih terperinci

BAB I. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 pasal 3. 2

BAB I. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 pasal 3. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (punishment) sebagai ganjaran atau balasan terhadap ketidakpatuhan agar

BAB I PENDAHULUAN. (punishment) sebagai ganjaran atau balasan terhadap ketidakpatuhan agar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya manusia yang melakukan tindakan tidak sesuai dengan aturan atau ketertiban yang dibuat oleh suatu negara, organisasi, pendidikan, kelompok atau individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah proses pengembangan, pembentukan, bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah proses pengembangan, pembentukan, bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses pengembangan, pembentukan, bimbingan dan latihan praktis bagi manusia melalui tuntunan dan petunjuk yang tepat sepanjang kehidupannya.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA REMAJA MUSLIM DENGAN MOTIVASI MENUNTUT ILMU DI PONDOK PESANTREN

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA REMAJA MUSLIM DENGAN MOTIVASI MENUNTUT ILMU DI PONDOK PESANTREN HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA REMAJA MUSLIM DENGAN MOTIVASI MENUNTUT ILMU DI PONDOK PESANTREN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi dan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu dengan masalah, dan tanpa disadari pula berulang kali individu menemukan jalan keluar

Lebih terperinci

BAB IV FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT. dalam pesantren, pendidikan sangat berhubungan erat dengan

BAB IV FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT. dalam pesantren, pendidikan sangat berhubungan erat dengan BAB IV FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT Dalam pendidikan yang berkenaan dengan perkembangan dan perubahan pada santri dalam pesantren, pendidikan sangat berhubungan erat dengan pengetahuan, sikap, kepercayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan dunia telah melahirkan suatu perubahan dalam semua aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak tertutup kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa tahap perkembangan. Keseluruhan tahap perkembangan itu merupakan proses yang berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional. Salah satu tahap yang akan dihadapi individu jika sudah melewati. masa anak-anak akhir yaitu masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. emosional. Salah satu tahap yang akan dihadapi individu jika sudah melewati. masa anak-anak akhir yaitu masa remaja. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti mengalami perkembangan tahap demi tahap yang terjadi selama rentang kehidupannya. Perkembangan tersebut dapat terjadi pada beberapa aspek, yaitu

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Bentuk-Bentuk Hukuman di Pondok Pesantren Al-Mursyid Ngetal

BAB V PEMBAHASAN. A. Bentuk-Bentuk Hukuman di Pondok Pesantren Al-Mursyid Ngetal BAB V PEMBAHASAN A. Bentuk-Bentuk Hukuman di Pondok Pesantren Al-Mursyid Ngetal Pogalan Trenggalek Segala sesuatu yang ditetapkan dalam lembaga pendidikan khususnya pada pondok pesantren, mulai dari tata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengasuhan anak merupakan kebutuhan pokok bagi orang tua dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengasuhan anak merupakan kebutuhan pokok bagi orang tua dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengasuhan anak merupakan kebutuhan pokok bagi orang tua dalam memenuhi kewajiban maupun tanggung jawab kepada anak-anaknya. Pengasuhan dan pendidikan pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlarang serta tingginya budaya kekerasan merupakan contoh permasalahaan

BAB I PENDAHULUAN. terlarang serta tingginya budaya kekerasan merupakan contoh permasalahaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Degradasi nilai di kalangan generasi muda sangat menghawatirkan. Pergaulan bebas di kalangan remaja, penyalahgunaan narkotika atau obat-obat terlarang serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pondok pesantren adalah suatu wadah pendidikan keagamaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pondok pesantren adalah suatu wadah pendidikan keagamaan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pondok pesantren adalah suatu wadah pendidikan keagamaan yang mempunyai ciri khas tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan yang ada di

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN M.Nidhamul Maulana 1 (2014100703111119), Mumtaza Ulin Naila 2 (201410070311120), Zubaidi Bachtiar 3 (201410070311121), Maliatul Khairiyah 4 (201410070311122), Devi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PERANAN MADRASAH DINIYAH AL HIKMAH DALAM MORALITAS REMAJA DI BOYONG SARI KELURAHAN PANJANG BARU PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP PERANAN MADRASAH DINIYAH AL HIKMAH DALAM MORALITAS REMAJA DI BOYONG SARI KELURAHAN PANJANG BARU PEKALONGAN 77 BAB IV ANALISIS TERHADAP PERANAN MADRASAH DINIYAH AL HIKMAH DALAM MORALITAS REMAJA DI BOYONG SARI KELURAHAN PANJANG BARU PEKALONGAN Atas dasar hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab tiga, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43 BAB I PENDAHULUAN Setiap penelitian akan di latar belakangi dengan adanya permasalahan yang Akan dikaji. Dalam penelitian ini ada permasalahan yang dikaji yaitu tentang Efektivitas Tokoh Agama dalam Membentuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS POLA ASUH ORANG TUA BURUH TANI DALAM MEMBINA KEBERAGAMAAN ANAK DESA BUMIREJO ULUJAMI PEMALANG

BAB IV HASIL ANALISIS POLA ASUH ORANG TUA BURUH TANI DALAM MEMBINA KEBERAGAMAAN ANAK DESA BUMIREJO ULUJAMI PEMALANG BAB IV HASIL ANALISIS POLA ASUH ORANG TUA BURUH TANI DALAM MEMBINA KEBERAGAMAAN ANAK DESA BUMIREJO ULUJAMI PEMALANG Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui wawancara dan observasi, mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan transisi dalam moralitas (Suhud & Tallutondok., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. dan transisi dalam moralitas (Suhud & Tallutondok., 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan reproduksi merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan perhatian terutama di kalangan remaja. Kesehatan reproduksi (kespro) didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yakni tingginya angka korupsi, semakin bertambahnya jumlah pemakai narkoba,

BAB I PENDAHULUAN. yakni tingginya angka korupsi, semakin bertambahnya jumlah pemakai narkoba, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini bukan hanya mengenai ekonomi, keamanan dan kesehatan, tetapi juga menurunnya kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pendidikan sangat berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa, tidak hanya bagi individu yang menempuh pendidikan tersebut, tetapi juga berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai satu atau. lebih, sehingga terjadi interaksi antar individu.

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai satu atau. lebih, sehingga terjadi interaksi antar individu. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Organisasi adalah sekumpulan orang yang saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan kata lain organisasi adalah suatu unit sosial yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MODEL PENDIDIKAN PESANTREN DI AL WUSTHO ISLAMIC DIGITAL BOARDING COLLEGE CEMANI SUKOHARJO

IMPLEMENTASI MODEL PENDIDIKAN PESANTREN DI AL WUSTHO ISLAMIC DIGITAL BOARDING COLLEGE CEMANI SUKOHARJO IMPLEMENTASI MODEL PENDIDIKAN PESANTREN DI AL WUSTHO ISLAMIC DIGITAL BOARDING COLLEGE CEMANI SUKOHARJO NASKAH ARTIKEL PUBLIKASI Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV PERANAN MAJELIS TAKLIM AL-HAQ WAL HAŻ DALAM MEMBINA MORAL REMAJA PONCOL

BAB IV PERANAN MAJELIS TAKLIM AL-HAQ WAL HAŻ DALAM MEMBINA MORAL REMAJA PONCOL BAB IV PERANAN MAJELIS TAKLIM AL-HAQ WAL HAŻ DALAM MEMBINA MORAL REMAJA PONCOL Setelah diperoleh data yang dibutuhkan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa semua data untuk menjawab pertanyaan yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERAN ULAMA DALAM MENDIDIK AKHLAK REMAJA. A. Analisis Akhlak Remaja di Desa Karanganom

BAB IV ANALISIS PERAN ULAMA DALAM MENDIDIK AKHLAK REMAJA. A. Analisis Akhlak Remaja di Desa Karanganom BAB IV ANALISIS PERAN ULAMA DALAM MENDIDIK AKHLAK REMAJA A. Analisis Akhlak Remaja di Desa Karanganom 1. Remaja melakukan penyimpangan karena kurangnya pengetahuan agama. Akhlak remaja adalah tingkah laku

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 169 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A.Kesimpulan Berdasarka hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dituangkan pada babbab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Jenjang pendidikan yang

Lebih terperinci

BAB IV USAHA-USAHA KH. MASRUR QUSYAIRI DALAM MENGEMBANGKAN PONDOK PESANTREN HIDAYATUL UMMAH PRINGGOBOYO MADURAN LAMONGAN

BAB IV USAHA-USAHA KH. MASRUR QUSYAIRI DALAM MENGEMBANGKAN PONDOK PESANTREN HIDAYATUL UMMAH PRINGGOBOYO MADURAN LAMONGAN 57 BAB IV USAHA-USAHA KH. MASRUR QUSYAIRI DALAM MENGEMBANGKAN PONDOK PESANTREN HIDAYATUL UMMAH PRINGGOBOYO MADURAN LAMONGAN KH. Masrur Qusyairi adalah tulang punggung dalam menentukan perkembangan Pondok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecepatan arus informasi dan semakin majunya teknologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi pada diri seseorang yang meliputi tiga aspek

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi pada diri seseorang yang meliputi tiga aspek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan diartikan sebagai proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan potensi pada diri seseorang yang meliputi tiga aspek kehidupan, yaitu pandangan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Upaya Pimpinan Madrasah dalam Penerapan Disiplin. Melihat data yang disajikan, tampak bahwa kepemimpinan kepala MTsN

BAB V PEMBAHASAN. A. Upaya Pimpinan Madrasah dalam Penerapan Disiplin. Melihat data yang disajikan, tampak bahwa kepemimpinan kepala MTsN BAB V PEMBAHASAN A. Upaya Pimpinan Madrasah dalam Penerapan Disiplin Kedisiplinan adalah kata kunci keberhasilan pendidikan. Kedisiplinan erat kaitannya dengan kepemimpinan, yang dalam organisasi pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lingkup pendidikan agama pada lembaga pendidikan meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Diniyah, Pendidikan Guru Agama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang berarti pertumbuhan menuju kedewasaan. Dalam kehidupan seseorang, masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Agama adalah wahyu yang diturunkan Allah untuk manusia. Fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Erni Purnamasari, 2015 PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ETIKA PADA SISWA KELAS XI MIA 4 DAN XI IIS 2 SMA NEGERI 14 KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Erni Purnamasari, 2015 PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ETIKA PADA SISWA KELAS XI MIA 4 DAN XI IIS 2 SMA NEGERI 14 KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan seorang wanita yang bukan mahramnya. Berawal dari pernikahan itu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan seorang wanita yang bukan mahramnya. Berawal dari pernikahan itu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu komunitas masyarakat. Keluarga awalnya terbentuk dari sebuah ikatan pernikahan antara seorang lakilaki dengan seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, banyak peristiwa-peristiwa menyimpang yang terjadi di kalangan pelajar, mulai dari tawuran, seks bebas, pembunuhan, sekelompok pemuda-pemuda yang berbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan selain karena manusia tercipta sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekstrakurikuler seperti yang ada di sekolah-sekolah umum, tapi merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekstrakurikuler seperti yang ada di sekolah-sekolah umum, tapi merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menghafal al-qur an adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan pondok pesantren. Pelajaran menghafal bukanlah pelajaran ekstrakurikuler seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar mengoptimalkan bakat dan potensi anak untuk memperoleh keunggulan dalam hidupnya. Unggul dalam bidang intelektual, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM KELUARGA NELAYAN DI DESA PECAKARAN KEC.WONOKERTO KAB. PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM KELUARGA NELAYAN DI DESA PECAKARAN KEC.WONOKERTO KAB. PEKALONGAN BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM KELUARGA NELAYAN DI DESA PECAKARAN KEC.WONOKERTO KAB. PEKALONGAN A. Analisis Tujuan Pendidikan Akhlak Anak dalam Keluarga Nelayan di Desa Pecakaran Kec. Wonokerto.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika peserta didik akan mencari studi lanjut ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), siswa-siswa akan memikirkan berbagai alternatif pilihan program pendidikan yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.232,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun dan mengembangkan karakter manusia yang seutuhnya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun dan mengembangkan karakter manusia yang seutuhnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sumber daya utama bagi kemajuan suatu bangsa, untuk itu pendidikan perlu dibangun dan dikembangkan agar mampu menghasilkan sumber daya yang unggul.

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. kurikulum Pendidikan Agama Islam berbasis Pesantren di Sekolah Dasar Al- Ahmadi Surabaya peneliti dapat menyimpulkan :

BAB IV PENUTUP. kurikulum Pendidikan Agama Islam berbasis Pesantren di Sekolah Dasar Al- Ahmadi Surabaya peneliti dapat menyimpulkan : BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil paparan penyajian data hasil penelitian mengenai Implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam berbasis Pesantren di Sekolah Dasar Al- Ahmadi Surabaya peneliti dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi suatu bangsa kedepan ditengah persaingan global ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Bangsa yang menyadari peran SDM tersebut akan senantiasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pentingnya pendidikan moral dan sosial. Dhofier (1990) menyatakan moral dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pentingnya pendidikan moral dan sosial. Dhofier (1990) menyatakan moral dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya tawuran pelajar, pengedaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, seks bebas, pergaulan bebas, kurangnya rasa hormat anak kepada orang tua dan guru

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jember. Atau sekitar 3 km dari jantung kota Jember dan 2 km dari pasar

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jember. Atau sekitar 3 km dari jantung kota Jember dan 2 km dari pasar BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Pesantren Darus Sholah Jember Darus Sholah terletak di Jl. M.Yamin no 25 tegal besar kaliwates Jember. Atau sekitar 3 km dari jantung

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S -1 Keperawatan

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sekolah menengah umumnya berusia antara 12 sampai 18/19 tahun, yang dilihat dari periode perkembangannya sedang mengalami masa remaja. Salzman (dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berfalsafah Pancasila, memiliki tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG POLA BIMBINGAN KARIR BAGI SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN AL-FALAH DAN KETERKAITANNYA DENGAN TEORI BIMBINGAN KARIR

BAB IV ANALISIS TENTANG POLA BIMBINGAN KARIR BAGI SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN AL-FALAH DAN KETERKAITANNYA DENGAN TEORI BIMBINGAN KARIR 95 BAB IV ANALISIS TENTANG POLA BIMBINGAN KARIR BAGI SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN AL-FALAH DAN KETERKAITANNYA DENGAN TEORI BIMBINGAN KARIR A. Analisis tentang Pola Bimbingan Karir bagi Santriwati Pondok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang lain. Mereka terikat oleh norma-norma yang berlaku di dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang lain. Mereka terikat oleh norma-norma yang berlaku di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Mereka terikat oleh norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat yang diantaranya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PEMBINAAN AKHLAK NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A PEKALONGAN. Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PEMBINAAN AKHLAK NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A PEKALONGAN. Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PEMBINAAN AKHLAK NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A PEKALONGAN A. Analisis Pelaksanaan Pembinaan Akhlak Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan

Lebih terperinci

A. Analisis Tata Tertib Pondok Pesantren Al Masyhad Mamba ul. Fallah Sampangan Pekalongan. Dalam menyusun tata tertib pondok pesantren, secara asasi

A. Analisis Tata Tertib Pondok Pesantren Al Masyhad Mamba ul. Fallah Sampangan Pekalongan. Dalam menyusun tata tertib pondok pesantren, secara asasi BAB IV ANALISIS PERAN TATA TERTIB PONDOK PESANTREN DALAM PEMBINAAN KEPRIBADIAN MUSLIM SANTRI PONDOK PESANTREN AL-MASYHAD MAMBAUL FALLAH SAMPANGAN PEKALONGAN A. Analisis Tata Tertib Pondok Pesantren Al

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesantren merupakan khazanah pendidikan dan budaya Islam di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, peran pesantren tidak diragukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. L.W. Stren (dalam Baharuddin, 2009: 73) mengatakan bahwa bakat dapat

BAB I PENDAHULUAN. L.W. Stren (dalam Baharuddin, 2009: 73) mengatakan bahwa bakat dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak terlahir ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Akan tetapi setiap anak membawa bakat yang diperoleh dari orang tuanya. Bakat merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta: Amzah, 2007), hlm Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur an,

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta: Amzah, 2007), hlm Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur an, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin, yang mana dalam agama Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas, karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dalam kehidupan manusia, mempunyai peranan yang sangat penting. Ia dapat membentuk kepribadian seseorang. Ia diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB IV DAMPAK KEBERADAAN PONDOK PESANTREN DALAM BIDANG SOSIAL, AGAMA DAN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT TLOGOANYAR DAN SEKITARNYA

BAB IV DAMPAK KEBERADAAN PONDOK PESANTREN DALAM BIDANG SOSIAL, AGAMA DAN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT TLOGOANYAR DAN SEKITARNYA BAB IV DAMPAK KEBERADAAN PONDOK PESANTREN DALAM BIDANG SOSIAL, AGAMA DAN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT TLOGOANYAR DAN SEKITARNYA Adanya sebuah lembaga pendidikan agama Islam, apalagi pondok pesantren dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB V SISTEM PENDIDIKAN WIRAUSAHA AGRIBISNIS DI PESANTREN WIRAUSAHA AGROBISNIS ABDURRAHMAN BIN AUF

BAB V SISTEM PENDIDIKAN WIRAUSAHA AGRIBISNIS DI PESANTREN WIRAUSAHA AGROBISNIS ABDURRAHMAN BIN AUF 31 BAB V SISTEM PENDIDIKAN WIRAUSAHA AGRIBISNIS DI PESANTREN WIRAUSAHA AGROBISNIS ABDURRAHMAN BIN AUF 5.1 Profil Pendidikan Pendidikan wirausaha agribisnis yang diterapkan di Pesantren Wirausaha Agrobisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan, sehingga perubahan-perubahan

BAB I PENDAHULUAN. diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan, sehingga perubahan-perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu menjadi bagian dari lingkungan tertentu. Individu akan dihadapkan pada perubahan dan tuntutan tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prilaku remaja pada hakekatnya adalah suatu aktivitas pada remaja itu sendiri, prilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa menuju kedewasaan. Masa ini merupakan tarap perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat disebut anak kecil lagi,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. peran yang cukup penting bagi dinamika intelektual bangsa Indonesia. Pesantren

BAB V KESIMPULAN. peran yang cukup penting bagi dinamika intelektual bangsa Indonesia. Pesantren 123 BAB V KESIMPULAN Pendidikan pesantren sejak masa sebelum kemerdekaan memang meiliki peran yang cukup penting bagi dinamika intelektual bangsa Indonesia. Pesantren tradisional memiliki keunikan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk

Lebih terperinci