SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN BAB IX REKLAMASI HUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN BAB IX REKLAMASI HUTAN"

Transkripsi

1 SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN BAB IX REKLAMASI HUTAN DR RINA MARINA MASRI, MP KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017

2 BAB IX REKLAMASI HUTAN 1. Pengertian Reklamasi Hutan Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bertujuan strategis seperti kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, instalasi air, kepentingan religi serta kepentingan pertahanan keamanan harus diimbangi dengan upaya rehabilitasi hutan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan dan reklamasi hutan. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya. Pendekatan partisipatif adalah wujud keikutsertaan peran masyarakat dan pihak terkait dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan. Hutan dan lahan kritis yang perlu direklamasi adalah hutan dan lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air dan unsur produktivitas lahan sehingga rnenyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem DAS. Kawasan hutan ini merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Reklamasi hutan yang merupakan bagian dari pengelolaan hutan, pelaksanaannya harus melalui pendekatan partisipatif dengan mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat, karena kegiatan reklamasi yang tidak memperhatikan aspek sosial masyarakat memiliki kemungkinan gagal pada masa mendatang. Artinya reklamasi hutan mensyaratkan pelibatan masyarakat dalam proses reklamasi agar dapat menyentuh sisi sosial, ekonomi, budaya dan politik yang berkembang di masyarakat. Program reklamasi hutan meliputi penyiapan kawasan hutan, pengaturan bentuk kawasan hutan, pengendalian erosi dan sedimentasi, pengelolaan lapisan tanah, revegetasi, dan pengamanan. Penyiapan kawasan hutan merupakan aktivitas pemindahan atau pembersihan seluruh peralatan dan prasarana yang tidak digunakan lagi, pembuangan limbah sampah beracun/berbahaya, pembuangan atau penguburan srap, penutupan bukaan, dan melarang atau menutup jalan masuk. 1

3 Pengaturan bentuk kawasan hutan dilakukan sesuai dengan kondisi topografi dan hidrologi, meliputi kegiatan pengaturan bentuk lereng dan pengaturan saluran pembuangan air. Pengendalian erosi dan sedimentasi dilakukan dengan meminimaliskan areal yang terganggu, membatasi/mengurangi kecepatan air limpasan, meningkatkan infiltrasi dan pengolahan air yang keluar dari lokasi bekas aktivitas penggunaan kawasan hutan. Pengolahan lapisan tanah merupakan kegiatan untuk memisahkan tanah pucuk dengan lapisan tanah lain. Revegetasi adalah penanaman kembali dengan jenis-jenis tanaman cepat tumbuh pada awalnya dan penyulaman/pengkayaan dengan jenis tanaman lokal. Revegetasi dilakukan dengan tahapan penyusunan rancangan teknis, persiapan lapangan, pengadaan bibit, penanaman dan pemeliharaan. Pengamanan meliputi patroli, pemasangan tanda- tanda peringatan dan tanda larangan, serta mengamankan hasil reklamasi. Contoh pelaksanaan reklamasi hutan bekas penambangan tersaji pada Gambar 9.1. Gambar 9.1 Reklamsi Hutan Bekas Penambangan (Sumber : ) Prinsip dasar dari kegiatan reklamasi hutan yaitu : a. Merupakan satu kesatuan yang utuh (holistic) dengan kegiatan penambangan; dan 2

4 b. Dilakukan sedini mungkin tanpa menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan. Reklamasi hutan bekas usaha penambangan dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan dan energi secara bertahap sesuai dengan rencana dan rancangan reklamasi yang disahkan dan harus mulai dilaksanakan paling lambat 6 bulan setelah kegiatan penambangan selesai di setiap lokasi berdasarkan tahapan kegiatan penambangan. Selain itu perusahaan pertambangan wajib menyampaikan laporan kemajuan reklamasi setiap 3 (tiga) bulan kepada pihak-pihak terkait. Reklamasi hutan selain diselenggarakan mengikuti pola umum, kriteria, dan standar reklamasi hutan yang berlaku, juga harus menggunakan kriteria dan standar: a. Karakteristik lokasi kegiatan; b. Jenis kegiatan; c. Penataan lahan; d. Pengendalian erosi dan limbah; e. Revegetasi; dan f. Pengembangan sosial ekonomi. 2. Program Rencana Reklamasi Hutan Program reklamasi hutan untuk rencana 5 tahunan sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.04/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan, meliputi: a. Penyiapan kawasan hutan terdiri dari kegiatan: (1) pemindahan atau pembersihan seluruh peralatan dan prasarana yang tidak digunakan lagi; (2) pembuangan limbah/sampah beracun/berbahaya; (3) pembuangan atau penguburan scrap; dan (4) penataan bukaan dan pemasangan larangan rambu-rambu atau menutup jalan masuk ke lokasi tambang.; b. Pengaturan bentuk lahan/penataan lahan; c. Pengendalian erosi dan sedimentasi; d. Pengelolaan lapisan tanah pucuk; e. Revegetasi; f. Pengamanan 3

5 Jenis kegiatan reklamasi rencana 5 (lima) tahun tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut ke dalam rencana tahunan meliputi : (a) Penataan lahan, (b) Pengisian kembali lubang bekas tambang, (c) Penataan permukaan tanah, (d) Penaburan/pengelolaan tanah pucuk, (e) Pengendalian erosi dan sedimentasi, (f) Pembuatan bangunan konservasi tanah (checkdam, dam penahan, pengendali jurang, drop structure, saluran pembuangan air, dan lain-lain), (g) Penanaman cover crops untuk memperkecil kecepatan air limpasan dan meningkatkan infiltrasi, (h) Revegetasi (luas areal penanaman, jumlah tanaman per hektar dan komposisi jenis tanaman); 3. Pedoman Reklamasi Hutan Kegiatan reklamasi hutan pada areal bekas penggunaan kawasan hutan mengacu pada pedoman reklamasi hutan bertujuan agar pelaksanaan reklamasi hutan dapat dilakukan sesuai dengan pola umum, standar dan kriteria dalam rangka memulihkan hutan agar kembali berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya. Ruang lingkup pedoman reklamasi hutan meliputi: A. Inventarisasi Lokasi Inventarisasi lokasi merupakan kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang kondisi seluruh areal kawasan hutan yang akan terganggu dan/atau terganggu sebagai akibat penggunaan kawasan hutan. Hasil inventarisasi lokasi akan diperoleh: (a) data numerik dan data spasial seluruh kawasan hutan yang akan terganggu yang digunakan sebagai data rona awal penggunaan kawasan hutan, (b) data numerik dan data spasial seluruh kawasan hutan yang terganggu digunakan sebagai dasar penetapan lokasi. Data numerik dan data spasial merupakan data pokok yang berasal dari dokumen Studi Kelayakan, AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), rencana penggunaan kawasan hutan dan Rencana Penutupan Tambang. Data dan informasi terdiri dari data primer dan sekunder meliputi: 4

6 1) Kondisi Fisik Areal Pinjam Pakai antara lain: a. fungsi kawasan hutan, b. penutupan lahan, c. flora dan fauna, d. jenis tanah, e. tebal solum, f. topografi, g. iklim, h. tata air, i. erosi atau sedimentasi, j. ketinggian lokasi, dan k. jenis vegetasi. 2) Kondisi Sosial Ekonomi meliputi desa di sekitar areal pertambangan yang terpengaruh/dipengaruhi oleh aktivitas penambangan antara lain: a. demografi, b. tingkat pendapatan, c. mata pencaharian, d. pendidikan, e. kelembagaan masyarakat, f. pemilikan lahan dan g. budaya masyarakat; B. Penetapan Lokasi Penetapan lokasi merupakan kegiatan pemilihan dan penunjukan kawasan hutan yang terganggu sebagai akibat penggunaan kawasan hutan yang siap untuk direklamasi berdasarkan data numerik dan data spasial seluruh kawasan hutan yang terganggu hasil inventarisasi lokasi. Penetapan lokasi reklamasi dilakukan dengan cara menganalisis dan mengevaluasi data spasial dan numerik kawasan hutan yang terganggu. Luas dan lokasi reklamasi hasil analisis dipetakan pada peta rencana reklamasi skala paling kecil 1: sebagai bahan penyusunan rencana reklamasi 5 (lima) tahun atau tahunan. 5

7 C. Perencanaan Perencanaan reklamasi dilakukan untuk menghasilkan rencana reklamasi hutan yang terdiri dari: (1) Rencana 5 (lima) tahun yang disusun oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan hasil inventarisasi lokasi dan penetapan lokasi yang memuat: a) Kondisi kawasan hutan sebelum dan sesudah aktivitas. Kondisi ini berisi informasi tentang kondisi kuantitatif dan kualitatif rona awal dan rona akhir berupa: kerapatan tegakan, jenis tanaman, topografi, kelerengan, penutupan lahan dan flora fauna; b) Rencana pembukaan kawasan hutan berisi informasi tentang luas dan lokasi penggunaan kawasan hutan yang akan dilaksanakan; c) Rancangan teknis reklamasi (T-0); d) Tata waktu pelaksanaan meliputi jangka waktu pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan reklamasi hutan; e) Rencana biaya, merupakan seluruh biaya baik langsung maupun biaya tidak langsung yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan kegiatan reklamasi hutan. Biaya langsung terdiri dari: (1) biaya penyiapan kawasan hutan, (2) biaya pengaturan bentuk lahan/penataan lahan; (3) biaya pengendalian erosi dan sedimentasi; (4) biaya pengelolaan lapisan tanah pucuk; (5) biaya revegetasi; dan (6) biaya pemeliharaan dan pengamanan. Biaya tidak langsung terdiri dari: biaya mobilisasi dan demobilisasi, biaya perencanaan reklamasi, biaya administrasi reklamasi dan biaya pemantauan. f) Peta lokasi dan peta rencana kegiatan reklamasi dibuat dengan skala paling kecil 1: (2) Rencana tahunan merupakan penjabaran lebih lanjut dari rencana 5 tahun yang dibuat dengan mempertimbangkan umur tambang. Bila umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun maka rencana reklamasi disusun sesuai dengan umur tambang mengacu pada rencana 5 (lima) tahun yang dijabarkan ke dalam rencana tahunan yang memuat: Lokasi/site reklamasi hutan dan Jenis kegiatan reklamasi. Untuk setiap lokasi disusun rancangan teknis (technical design) sebagai acuan detail pada lokasi tapak. Lokasi tapak merupakan lokasi setempat (site) yang akan dilakukan kegiatan 6

8 reklamasi dengan menerapkan teknik reklamasi sesuai dengan rancangan teknis yang merupakan desain detail dari masing-masing kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka kegiatan reklamasi, baik rancangan penataan lahan, rancangan tanaman maupun rancangan bangunan konservasi tanah. Rancangan teknis memuat: (a)lokasi/site reklamasi hutan, (b) Jenis kegiatan reklamasi, (c) Luas atau volume setiap jenis kegiatan reklamasi, (d) Pola tanam (tahapan penanaman, jarak tanam, jenis tanaman dan lain-lain), (e) Kebutuhan bahan dan alat, (f) Kebutuhan tenaga kerja, (g)kebutuhan biaya, (h) Tata waktu, (i)peta rancangan penanaman (lay out tanaman), dan (j) Gambar rancangan bangunan konservasi tanah. Rancangan teknis disusun berdasarkan hasil analisis kondisi biofisik dan kondisi sosial ekonomi. Kondisi biofisik merupakan langkah awal untuk menentukan tahapan kegiatan penanaman yang meliputi: (a) topografi atau bentuk lahan, (b) iklim, (c) hidrologi, (d) kesuburan tanah, (e) kondisi vegetasi awal, dan (f) vegetasi asli. Sedangkan kondisi sosial ekonomi meliputi: (a) Demografi, (b) sarana dan prasarana, dan (c)aksesibilitas. Pada lokasi tertentu kegiatan penanaman harus diawali prakondisi dengan menanam jenis tanaman perintis atau jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) sebelum dilakukan pengkayaan dengan penanaman jenis vegetasi tetap, yaitu jenis tanaman lokal berdaur panjang. Untuk lokasi lainnya, dapat dilakukan penanaman langsung dengan jenis-jenis tanaman lokal berdaur panjang. Jenis tanaman yang dipilih diarahkan pada penanaman jenis tumbuhan asli, yaitu jenis tumbuhan lokal yang sesuai dengan iklim dan kondisi tanah setempat. Jenis tumbuhan/tanaman (species) yang dipilih juga tergantung pada penggunaan lahan/fungsi hutan tersebut di masa yang akan datang. Untuk hutan lindung, jenis tanaman harus memenuhi syarat: (a) memiliki daur panjang,(b) perakaran dalam, (c) evapotranspirasi rendah, (d) menghasilkan kayu, getah, kulit, atau buah; dan (e) heterogen. Untuk hutan produksi jenis tanaman harus memenuhi syarat: (a) pertumbuhannya cepat, (b) nilai komersialnya tinggi, (c) teknik silvikulturnya telah dikuasai,(d) mudah untuk memperoleh benih dan bibit yang berkualitas,(e) disesuaikan dengan kebutuhan/permintaan pasar. 7

9 Penanaman di samping harus mengacu pada hal tersebut di atas, dalam pemilihan species perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Species tanaman yang tumbuh secara alamiah dilokasi reklamasi agar pengelompokan dan pertumbuhannya dapat diidentifikasikan, b. Tanah dan kondisi drainase di mana species lokal yang berbeda dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi bekas tambang, c. Jenis tanaman yang dapat menghasilkan biji dan dapat memperbanyak diri secara alami, d. Jenis tanaman yang bernilai ekonomi/komersil dapat digunakan dengan mempertimbangkan peruntukan lahannya sesuai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) atau Tata Guna Hutan, e. Pertimbangan persyaratan habitat, di mana kemungkinan kembalinya satwa liar ke daerah tersebut merupakan unsur penting dari penggunaan lahan pasca penambangan (post mining land use), f. Pertimbangan penanaman tumbuhan pangkas (trubus) karena tumbuhan ini sering merupakan kelompok tumbuhan yang baik dan akan memperbaiki kesuburan tanah. (3) Penilaian Rencana Reklamasi Rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun dan tahunan yang telah disusun dinilai oleh Menteri Teknis, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan Menteri. Dalam hal tertentu, penilaian rencana reklamasi dapat melibatkan Menteri yang membidangi pengelolaan lingkungan hidup. Penilaian rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun dan tahunan dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial atas nama Menteri. Dalam hal penilaian dinyatakan memenuhi syarat, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial atas nama Menteri memberikan rekomendasi. Rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun dan tahunan yang telah dinilai dan telah mendapat rekomendasi selanjutnya disahkan oleh Menteri Teknis, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Jika umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, maka rencana reklamasi hutan disusun sesuai dengan umur tambang, 8

10 selanjutnya proses penyusunan, penilaian, rekomendasi dan pengesahan mengacu pada ketentuan rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun. D. Pelaksanaan Reklamasi Pelaksanaan reklamasi dimulai sesuai dengan rencana yang telah disetujui dan harus sudah selesai pada waktu yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan kegiatan reklamasi, pemegang izin penggunaan kawasan hutan bertanggung jawab sampai kondisi/rona akhir sesuai dengan rencana yang telah disahkan. Pelaksanaan reklamasi meliputi jenis kegiatan teknik sipil dan teknik vegetasi. Kegiatan teknik sipil untuk pelaksanaan reklamasi disesuaikan dengan kondisi setempat meliputi kegiatan: (a)pengisian kembali lubang bekas tambang, (b) pengaturan bentuk lahan, (c) pengelolaan tanah pucuk, (d) pembuatan teras, (e) saluran pembuangan air (SPA), (f) bangunan pengendali jurang, (g) pembuatan chek dam, dan/atau (h)penangkap oli bekas (oil catcher). Kegiatan teknik vegetasi meliputi pemilihan: (a) pola tanam, (b) tahapan penanaman (prakondisi dan penanaman vegetasi tetap), (c) sistem penanaman (monokultur, multiple cropping), (d) jenis tanaman yang disesuaikan kondisi setempat dan (e) tanaman penutup (cover crop). Pelaksanaan reklamasi hutan melalui tahapan-tahapan kegiatan : (1) Penataan lahan, (2) Pengendalian erosi dan sedimentasi, (3) Revegetasi (penanaman kembali) dan (4) Pemeliharaan. Contoh tahapan pelaksanaan reklamasi hutan tersaji pada Gambar

11 Gambar 9.2. Tahapan Pelaksanaan reklamasi Hutan (Sumber: 1) Penataan lahan a) Pengisian kembali lubang bekas tambang pada kegiatan penambangan terbuka, lubang harus ditutup kembali disesuaikan dengan dokumen AMDAL-nya. Kegiatan penutupan lubang dilakukan secara progresif sesuai dengan kemajuan pelaksanaan penambangan; b) Pengaturan bentuk lahan disesuaikan dengan kondisi topografi, jenis tanah dan iklim setempat. Kegiatan pengaturan bentuk lahan meliputi: (1) Pengaturan bentuk lereng untuk mengurangi kecepatan air limpasan (run off), erosi dan sedimentasi serta longsor. Bentuk lereng jangan terlalu tinggi/ terjal dan dibentuk berteras-teras, tinggi dan kemiringan lereng dimaksud tergantung kepada sifat tekstur dan struktur tanah serta curah hujan; (2) Pengaturan saluran air untuk mengatur air agar mengalir pada tempat tertentu dan dapat mengurangi kerusakan lahan. Jumlah dan kerapatan serta bentuk saluran air tergantung pada bentuk lahan/topografi, jenis tanah, curah hujan dan luas areal yang akan direklamasi. (3) Pengaturan/Penempatan Low Grade berupa bahan tambang yang mempunyai nilai ekonomis rendah ditujukan agar bahan tambang tersebut tidak tererosi/hilang apabila ditimbun dalam waktu yang lama karena belum dapat dimanfaatkan. 10

12 c) Pengelolaan tanah pucuk bertujuan untuk mengatur dan memisahkan tanah pucuk dengan lapisan tanah lain. Tanah pucuk merupakan media tumbuh bagi tanaman dan merupakan faktor penentu untuk keberhasilan pertumbuhan tanaman yang harus memperhatikan: (1) Pengamatan profil tanah dan mengidentifikasi per lapisan tanah sampai endapan bahan galian. (2) Pengupasan tanah berdasarkan lapisan tanah dan ditempatkan pada tempat sesuai tingkat lapisan dan timbunan tanah pucuk tidak melebihi dari 2 meter. (3) Pembentukan lahan sesuai susunan lapisan tanah semula, tanah pucuk ditempatkan paling atas dengan ketebalan paling sedikit 0,15 meter. (4) Ketebalan timbunan tanah pucuk pada tanah yang mengandung racun dianjurkan lebih tebal dari yang tidak beracun atau dilakukan perlakuan khusus dengan cara mengisolasi dan memisahkannya. (5) Pengupasan tanah sebaiknya jangan dilakukan dalam keadaan basah untuk menghindari pemadatan dan rusaknya struktur tanah. Lapisan tanah pucuk tipis, terbatas atau sedikit, perlu mempertimbangkan: (1) Penentuan daerah prioritas yaitu daerah yang sangat peka terhadap erosi yang perlu segera dilakukan penanganan konservasi tanah dan penanaman tanaman. (2) Penempatan tanah pucuk pada jalur penanaman, atau dengan sistem pot. (3) Percampuran tanah pucuk dengan tanah lain, yaitu jumlah tanah pucuk yang terbatas/sangat tipis dapat dicampur dengan tanah bawah/sub soil. Perlu dihindarkan dalam memanfaatkan tanah pucuk adalah apabila: (a) sangat berpasir (> 70% pasir atau kerikil) (b) sangat berlempung (> 60% lempung) (c) mempunyai ph< 5.00 atau >8.00, (d) mengandung khlorida 3%, (e) mempunyai electrical conductivity (ec) 400 milisiemens/meter; (4) Dilakukan penanaman langsung dengan tanaman penutup (cover crop) yang cepat tumbuh dan menutup permukaan tanah. Contoh pada Gambar

13 Gambar 9.3. Penanaman cover crop pada permukaan tebing curam (Sumber: phpapp02/95/pertambangan jpg?cb= ) 2) Pengendalian Erosi dan Sedimentasi Erosi dapat disebabkan oleh angin dan air. Erosi angin biasanya terjadi di daerah pantai pasir, daerah semi kering/kering (Nusa Tenggara), atau pada lahan tambang yang dibuka sangat luas. Dampak utama dari erosi angin antara lain: penurunan produktivitas lahan, gangguan debu dan terjadinya endapan debu pada selokan, kanan kiri jalan, pagar dan bangunan-bangunan. Untuk mengurangi kecepatan angin dapat dibuat pemecah angin. Pemecah angin ini dapat berupa deretan pohon atau semak belukar yang dibiarkan tumbuh atau ditanam tegak lurus arah angin, pohon atau semak belukar yang ditanam sebaiknya dari jenis tanaman yang cepat tumbuh dan kuat atau dapat pula dengan membuat pagar. Penempatan dan pemilihan pemecah angin harus mempertimbangkan faktor-faktor: (a) Arah angin erosive, (b) Tinggi dan jarak tanam, (c) Permeabilitas atau kelolosan angin (paling tinggi 40%), (d) Kontinuitas dan panjang pemecah angin dan turbulensi pada daerah yang akan direklamasi. Sedangkan erosi oleh air disebabkan oleh faktor-faktor: curah hujan, kemiringan lereng (topografi), jenis tanah, tataguna lahan (perlakuan terhadap lahan) dan tanaman penutup tanah. Beberapa cara untuk mengendalikan erosi air antara lain: (1) Meminimalisasikan areal terganggu dengan cara: (a) Membuat rencana detail kegiatan penggunaan kawasan hutan dan reklamasi; 12

14 (b) Membuat batas-batas yang jelas areal tahapan pengembangan; (c) Penebangan pohon sebatas areal yang akan dilakukan penggunaan kawasan hutan; (d) Pengawasan yang ketat pelaksanaan penebangan pepohonan. (2) Membatasi/mengurangi kecepatan air limpasan dengan cara: (a) Pembuatan teras; (b) Pembuatan saluran diversi/pengelak (saluran yang sejajar garis kontur); (c) Pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA). (3) Meningkatkan infiltrasi (peresapan air) dengan cara: (a) Pembuatan rorak/saluran buntu berupa lubang-lubang atau saluran buntu yang dibuat di antara tanaman pokok untuk menampung air dan meresapkannya ke dalam tanah; (b) Penggaruan tanah searah kontur agar tanah menjadi gembur dan volume tanah meningkat sebagai media perakaran tanaman. (4) Menampung sedimen (a) Sedimen akibat erosi yang terjadi ditampung oleh dam penahan atau dam pengendali; (b) Bila endapan sedimen telah mencapai setengah dari badan bendungan sebaiknya sedimen dikeruk dan dapat dipakai sebagai lapisan tanah atas. (5) Memperkecil erosi (a) Untuk memperkecil erosi terutama pada saat baru selesai penataan lahan dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman cover crop; (b) Pada lahan yang relatif datar penanaman cover crop dapat dilakukan secara manual, sedangkan pada lahan yang mempunyai kelerengan sedikit terjal dapat dilakukan penanaman cover crop dengan menggunakan hydroseeding. (6) Pengelolaan air yang ke luar dari areal penggunaan kawasan hutan dengan cara: (a) Penyaluran air dari lokasi tambang ke perairan umum harus sesuai dengan peraturan yang berlaku; (b) Bila curah hujan tinggi perlu dibuat bendungan yang kuat dan permanen yang dilengkapi saluran pengelak; 13

15 (c) Letak bendungan ditempatkan sedemikian rupa sehingga air larian mudah ditampung dan dibelokkan serta kemiringan saluran air jangan terlalu curam. (d) Dalam membuat bendungan permanen sebaiknya dilengkapi dengan saluran pelimpah (spillways), pipa pembuangan (outlet), dan lain-lain yang dianggap perlu. Untuk mengendalikan erosi dalam jangka yang lama digunakan tanaman tahunan atau tanaman penutup tanah(cover crop). Sebelum tanaman berfungsi dilakukan tindakan-tindakan: (1) Menutup lahan dengan menggunakan mulsa; (2) Membuat kondisi tanah tahan terhadap erosi dengan cara membiarkan tanah tetap menggumpal, membasahi permukaan tanah dan membuat lekukan-lekukan tanah; (3) Mengurangi kecepatan angin dengan membuat pemecah angin. 3) Revegetasi (penanaman kembali) Penambangan permukaan akan menghilangkan semua vegetasi di lokasi yang ditambang seperti: pohon, semak-belukar, perakaran tanaman, benih, mikroorganisme, termasuk berpindahnya hewan liar. Proses ini akan menghilangkan fungsi-fungsi kawasan bervegetasi seperti menyediakan berbagai hasil hutan, tempat hidup hewan liar, pangan, dan kawasan penyerap air atau sumber air, dan lain-lain. Vegetasi termasuk komponen biotik yang berfungsi antara lain sebagai pelindung permukaan tanah dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan dapat menahan derasnya aliran permukaan. Vegetasi juga dapat berfungsi untuk memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah. Vegetasi dapat juga mengubah sifat fisik tanah melalui aktifitas biologi yang dilakukan bakteri, jamur /cendawan, insekta dan cacing tanah yang dapat memperbaiki porositas dan kemantapan agregat tanah. Usaha manusia untuk memulihkan lahan kritis di luar kawasan hutan dengan maksud agar lahan tersebut dapat kembali berfungsi secara normal disebut dengan revegetasi. Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan. Beberapa jenis tanaman cepat tumbuh yang umum digunakan untuk 14

16 revegetasi adalah sengon laut (Albizzia falcata), akasia (Acasia mangium, Acasia crassicarpa), lamtoro (Leucaena glauca), turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia sepium), dan sebagainya. Tanaman cepat tumbuh ditanam bersamaan atau segera setelah tanaman penutup tanah ditanam. Ada beberapa jenis tanaman cepat tumbuh yang ditanam sebagai pohon pelindung yang melindungi tanaman pokok atau tebing, pematah angin, mengurangi intensitas cahaya dan suhu, meningkatkan kelembaban udara dan mempertahankan kelembaban tanah, dan menambah bahan organik. Tanaman ini berfungsi untuk menciptakan iklim mikro yang cocok untuk ekosistem hutan. Setelah tanaman pioner cepat tumbuh sudah berkembang dengan baik, maka tanaman lokal dapat digunakan untuk memperkaya variasi jenis tumbuhan. Tanaman lokal adalah tanaman yang sudah tumbuh secara alami di sekitar daerah penambangan. Jenis-jenis tanaman lokal dapat dilihat pada Rona Awal Laporan Amdal. Bibit tanaman lokal dapat diperoleh dari bibit kecil di hutan sekitar daerah penambangan. Kerjasama dengan masyarakat lokal sangat penting untuk memperoleh bibit tanaman lokal. Tanaman lokal umumnya sulit tumbuh pada kondisi lahan terbuka. Oleh karena itu tanaman lokal ditanam setelah tanaman cepat tumbuh sudah tumbuh dengan baik. Semakin banyak jenis dan jumlah tanaman lokal maka ekosistem hutan semakin baik dan mendekati hutan alami. Untuk mensukseskan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang maka faktor yang tak kalah penting adalah lokasi pembibitan untuk tanaman cepat tumbuh dan tanaman lokal. Tanaman lokal perlu diaklimatisasi sebelum ditanam pada lahan bekas tambang yang sudah ditumbuhi tanaman cepat tumbuh. Syarat-syarat tanaman penghijauan atau reklamasi sebagai berikut : (a) Mempunyai fungsi penyelamatan tanah dan air dengan persyaratan tumbuh yang sesuai dengan keadaan lokasi, baik iklim maupun tanahnya (b) Mempunyai fungsi mereklamasi tanah. (c) Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu yang tidak terlalu lama. (d) Tumbuh cepat & mampu tumbuh pada tanah kurang subur, (e) Tidak mengalami gugur daun pada musim tertentu, (f) Tidak menjadi inang penyakit, tahan akan angin dan mudah dimusnahkan, (g) Mempunyai perakaran yang lebar dan atau dalam, 15

17 (h) Tanaman harus bisa dimanfaatkan kemudian hari, artinya mempunyai prospek ekonomi yang baik. Tahapan Pelaksanaan Revegetasi : (1) Persiapan lapangan Kegiatan persiapan lapangan meliputi pekerjaan: pembersihan lahan, pengolahan tanah, dan perbaikan tanah. (a) Pembersihan lahan dari tanaman pengganggu (alang-alang, liana dan lain-lain) dilakukan agar tanaman pokok dapat tumbuh baik tanpa ada persaingan dengan tanaman pengganggu dalam hal mendapatkan unsur hara, sinar matahari. (b) Pengolahan Tanah dilakukan agar tanah menjadi gembur sehingga perakaran tanaman dapat dengan mudah menembus tanah dan mendapat unsur hara yang diperlukan dengan baik, sehingga pertumbuhan tanaman dapat sesuai dengan yang diinginkan. (c) Perbaikan tanah dimaksudkan agar kualitas tanah yang kurang bagus bagi pertumbuhan tanaman mendapat perhatian khusus. Perbaikan tanah dilakukan dengan cara-cara: i. Penggunaan gypsum untuk memperbaiki kondisi tanah yang mengandung banyak lempung dan untuk mengurangi pembentukan kerak tanah (crusting) pada tanah padat (hard-setting soil). ii. Penggunaan kapur khususnya untuk mengatur ph, akan tetapi dapat juga memperbaiki struktur tanah. iii. Penggunaan mulsa, jerami dan bahan organik lainnya. Mulsa merupakan bahan yang disebarkan di permukaan tanah sebagai upaya perbaikan kondisi tanah untuk penyesuaian biji pada pertumbuhan awal tanaman, mengendalikan erosi dan untuk mempertahankan kelembaban tanah dan mengatur sudut permukaan tanah. Tanaman penutup berumur pendek dapat juga digunakan sebagai mulsa. iv. Pemberian pupuk dasar dengan komposisi dan dosis yang tepat dan sesuai kebutuhan akan sangat berpengaruh pada tingkat pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk organik dapat dilakukan karena bermanfaat sebagai pengubah sifat tanah. Pemberian pupuk butiran atau tablet dapat dilakukan 16

18 dengan catatan tidak ada kontak langsung antara akar dengan pupuk. Penggunaan pupuk organik dapat dilakukan karena bermanfaat sebagai pengubah sifat tanah. Pemberian pupuk butiran atau tablet dapat dilakukan dengan catatan tidak ada kontak langsung antara akar dengan pupuk. (2) Persemaian dan/atau pengadaan bibit Bibit yang dibutuhkan untuk melakukan revegetasi harus dipenuhi melalui persemaian dan/atau pengadaan bibit. Untuk itu setiap pengguna kawasan hutan harus memiliki persemaian sendiri. Bila bibit yang tersedia di persemaian tidak memenuhi syarat untuk ditanam dan/atau jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan maka pengadaan bibit dapat dilakukan dengan pengadaan langsung. Ketentuan pelaksanaan persemaian dan/atau pengadaan bibit diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan Penanaman Tahapan pelaksanaan penanaman meliputi: (b) Pengaturan arah larikan tanaman Pengaturan arah larikan harus sejajar kontur atau pada daerah yang relatif datar mengikuti arah timur barat. (c) Pemasangan ajir Pemasangan ajir mengikuti arah larikan tanaman dan jarak tanam yang telah ditetapkan pada rancangan teknis. (d) Distribusi bibit Distribusi bibit dilakukan setelah kegiatan pembuatan lubang tanam atau dilakukan setelah pemasangan ajir. (e) Pembuatan lubang tanaman Pembuatan lubang tanaman dibuat dengan ukuran (30 x 30 x 30) cm atau disesuaikan dengan ukuran bibit yang akan ditanam dengan jarak lubang tanaman mengikuti jarak tanam yang telah ditetapkan pada rancangan teknis. Sebelum penanaman dilakukan, tanah yang akan digunakan untuk menutup lubang tanaman diberi pupuk dasar (N, P dan K) sesuai kebutuhan atau jenis tanaman yang akan ditanam. (f) Penanaman. 17

19 Penanaman, dilakukan dengan ketentuan: i. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu melepas plastik (pot/pollybag) pada bibit yang tersedia, ii. Tanamkan bibit secara tegak lurus dan cukup padat, untuk memastikannya adalah dengan menekan sekitar tanaman menggunakan kaki. iii. Jumlah "tanaman jadi" (tanaman akhir) minimal 625 batang pohon per hektar atau dengan jarak tanam maksimal 4 x 4 meter disesuaikan dengan bentuk lahan, fungsi kawasan dan bentuk/tajuk tanaman. iv. Tahapan penanaman dilakukan dengan cara antara lain: (a) Untuk pengendalian erosi dan sedimentasi, tahap pertama dilakukan penanaman cover crop, (b) Setelah tanaman cover crop tumbuh, pada lokasi tertentu harus diawali prakondisi dengan menanam jenis tanaman perintis/pionir atau jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dengan tujuan agar penutupan lahan dan pengkayaan unsur hara tanah dapat dicapai dengan cepat. (c) Setelah tanaman pionir berumur antara 2 sampai dengan 3 tahun dilakukan pengkayaan melalui penanaman jenis-jenis lokal berdaur panjang dan mempunyai nilai ekonomi tinggi yang pada umumnya memerlukan naungan pada awal penanamannya. (d) Untuk lokasi lain yang kondisinya memungkinkan, dapat langsung dilakukan penanaman jenis-jenis tanaman lokal berdaur panjang dengan jenis tanaman disesuaikan dengan fungsi hutan. Metode revegetasi pada area bekas tambang tersaji pada Gambar

20 Gambar 9.4. Metode Revegetasi pada Area Bekas Tambang (Sumber 4)Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan tanaman sedemikian rupa sehingga dapat diwujudkan keadaan optimum bagi pertumbuhan tanaman. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi: a. Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati atau rusak, tidak sehat atau merana, dan dilakukan pada pemeliharaan tahun berjalan, tahun I dan tahun II sampai tanaman dapat tumbuh secara baik dan alami. b. Pengendalian gulma dilakukan untuk mengurangi/memperkecil persaingan akar antara tanaman pokok dengan tanaman pengganggu. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual berupa penyiangan dan pendangiran atau kimiawi berupa 19

21 penyemprotan bahan kimia/herbisida, tergantung pada kondisi lapangan, keadaan tanah, jenis tanaman dan jenis gulma. c. Pemupukan dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan tanaman dan peningkatan riap. Dalam menentukan, jenis, dosis dan waktu pemupukan perlu dipertimbangkan jenis tanaman dan kesuburan tanahnya serta terlebih dahulu dilakukan analisa tanah. d. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara kimiawi hanya dapat dilakukan pada keadaan yang sangat mendesak, yang cenderung menggagalkan reklamasi hutan secara keseluruhan. e. Pencegahan terhadap kebakaran hutan dan penggembalaan liar. Beberapa usaha pencegahan terhadap kebakaran yang dapat dilakukan antara lain: pembersihan lahan dari bahan mudah terbakar, memilih jenis tanaman yang tahan kebakaran dan memberikan penyuluhan tentang pencegahan kebakaran kepada masyarakat di sekitarnya. Pencegahan terhadap penggembalaan liar dilakukan melalui penyuluhan, pemberian bibit makanan ternak, dan apabila dianggap perlu dapat dilakukan pembuatan pagar pengamanan. f. Pemangkasan untuk memberikan ruang tumbuh yang cukup pada tanaman. Pemangkasan juga ditujukan untuk memberikan ruang tumbuh pada tanaman sisipan atau tanaman pengkayaan yang ditanam setelah penanaman tanaman pionir atau cepat tumbuh. g. Penjarangan yang dilakukan pada jenis cepat tumbuh untuk mengurangi persaingan tumbuh tanaman. Penjarangan selain untuk mengurangi persaingan tumbuh tanaman juga untuk menghilangkan tanaman dengan pertumbuhan yang tertekan, dan memberikan ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman sisipan atau pengkayaan. Kegiatan penjarangan dilakukan pada setengah daur umur tegakan pionir, dengan jumlah/persentase dari jumlah tegakan yang ada tergantung kepada kondisi kerapatan tegakan dan jenis tanaman atau rencana penanaman jenis lokal berdaur panjang. h. PengkayaanPenanaman pengkayaan dapat dilakukan dengan cara melakukan penanaman sisipan setelah tanaman pioner berumur antara 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) tahun atau setelah dilakukan penjarangan. Pengkayaan tanaman dilakukan 20

22 dengan menanam jenis-jenis tanaman lokal berdaur panjang dan mempunyai nilai ekonomis tinggi sesuai dengan hasil analisis di dalam studi AMDAL. E. Pembiayaan Pelaksanaan Reklamasi Biaya pelaksanaan reklamasi hutan dibebankan kepada pemegang izin penggunaan kawasan hutan. Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan reklamasi hutan pemegang izin diwajibkan membayar Dana Jaminan Reklamasi (DJR). Ketentuan mengenai besaran, bentuk, tatacara penempatan, dan pencairan Dana Jaminan Reklamasi dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. F. Jangka Waktu Reklamasi Hutan Batas akhir penyelesaian reklamasi hutan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin penggunaan kawasan hutan. Dalam hal perusahaan akan mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pakai sebelum berakhirnya jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan, maka batas akhir penyelesaian reklamasi hutan adalah selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum waktu pengembalian kawasan hutan tersebut. Sebelum dilakukan pengembalian dilakukan penilaian terhadap keberhasilan reklamasi hutan. G. Kelembagaan Bagi pemegang izin penggunaan kawasan hutan wajib mempunyai organisasi khusus yang menangani reklamasi hutan. Organisasi bertugas untuk: (a) Mengidentifikasi rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang daerah yang akan di tambang, (b) Mengidentifikasikan rona lingkungan awal, (c) Merencanakan upaya reklamasi hutan (d.) Melaksanakan rencana dan upaya reklamasi hutan, dan (e) Melakukan pemeliharaan, penelitian, pemantauan dan pelaporan dari semua pelaksanan rencana dan upaya reklamasi hutan. Pemegang izin penggunaan kawasan hutan wajib meningkatkan kualitas dan kemampuan keahlian sumber daya manusia dalam melakukan kegiatan reklamasi hutan, antara lain melalui kegiatan pelatihan, on the job training(magang), studi banding, workshop. Sumber daya manusia reklamasi hutan wajib mempunyai keahlian dalam bidang kehutanan, pertanian, pertambangan, tanah dan bidang lain yang terkait dengan reklamasi hutan. 21

23 Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kemampuan keahlian sumber daya manusia, di bidang kehutanan dilakukan melalui pelatihan antara lain: (a) Pemetaan GIS dan penguasaan informasi tenurial kawasan hutan, pemegang izin penggunaan dapat bekerjasama dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) selaku UPT Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. (b) Monitoring dan evaluasi daerah aliran sungai yang sejalan dengan pemantauan, pengelolaan dan pengendalian lingkungan, pemegang izin penggunaan dapat bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) selaku Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. (c) Teknik pembibitan tanaman hutan, pemegang izin penggunaan dapat bekerjasama dengan Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) selaku UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. (d) Kebijakan pembangunan hutan di daerah dan manajemen hutan lestari, pemegang izin penggunaan dapat bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi. H. Pemantauan dan Pembinaan Teknis Pelaksanaan reklamasi hutan memerlukan kegiatan pemantauan dan pembinaan teknis yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) tahun sekali yang dilakukan oleh tingkat pusat maupun tingkat daerah. Kegiatan pemantauan bertujuan untuk memperoleh data dan informasi, kebijakan dan pelaksanaan reklamasi hutan. Tahapan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan dilakukan dengan mengamati perkembangan pelaksanaan kegiatan reklamasi hutan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin. Sedangkan Kegiatan pembinaan teknis bertujuan untuk memberikan saran dan masukan untuk perbaikan pelaksanaan reklamasi hutan yang kurang/tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Pemantauan dan pembinaan teknis reklamasi tingkat pusat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial cq. Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Dalam pelaksanaannya melibatkan instansi terkait atara lain Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Kementerian 22

24 Energi Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. Sedangkan pemantauan dan pembinaan teknis reklamasi tingkat daerah dapat dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam pelaksanaannya, Gubernur, Bupati/Walikota menugaskan instansi teknis yang menangani urusan kehutanan, dan dapat melibatkan instansi terkait. Kegiatan pemantauan dan pembinaan teknis dilakukan oleh dinas teknis yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota untuk memantau perkembangan pelaksanan reklamasi antara lain: (a) pemenuhan kewajiban pembayaran PSDH-DR, (b) inventarisasi tegakan hasil reklamasi (c) progres/kemajuan penggunaan kawasan hutan dan (d) reklamasi/revegetasi. Kegiatan pemantauan dan pembinaan teknis dilakukan oleh dinas teknis yang ditunjuk oleh Gubernur, untuk memantau antara lain: (a) perkembangan pelaksanaan penataan batas, (b) pelaksanaan pengamanan kawasan hutan, (c) perkembangan pelaksanaan penggunaan kawasan hutan, dan (d) reklamasi/revegetasi. Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan atas nama Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menugaskan Balai Pengelolaan DAS untuk melaksanakan pemantauan dan pembinaan teknis reklamasi, terutama dikaitkan dengan pemantauan kondisi tata air pada DAS yang bersangkutan, di samping pemantauan terhadap kemajuan pelaksanaan reklamasi hutan. Dalam melaksanakan pemantauan kondisi tata air dilakukan dengan pemasangan SPAS. Penetapan waktu pelaksanaan pemantauan dan pembinaan teknis ditetapkan oleh masing-masing instansi teknis dan dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait. Hasil pemantauan digunakan untuk; (a) Mengetahui perkembangan/kemajuan pelaksanaan reklamasi, (b) Menyajikan data dan informasi sebagai fungsi kontrol terhadap pelaksanaan reklamasi hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasil pemantauan oleh instansi teknis yang menangani urusan kehutanan di tingkat Kabupaten/Kota dilaporkan ke Gubernur cq. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. 23

25 Hasil pemantauan oleh instansi teknis yang menangani urusan kehutanan di tingkat Provinsi dilaporkan ke Gubernur dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Hasil pemantauan dan pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS dilaporkan langsung kepada Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Penilaian keberhasilan reklamasi hutan dilakukan melalui kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan reklamasi hutan. Penilaian tingkat pusat dilakukan oleh Tim yang dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial dan penilaian tingkat daerah dilakukan oleh Tim yang dikoordinir oleh Dinas Teknis Provinsi yang menangani kehutanan. Penilaian keberhasilan reklamasi hutan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali atau setahun sebelum berakhirnya masa berlaku izin pinjam pakai kawasan hutan. Pembangunan/pemasangan SPAS dilakukan untuk mengetahui kondisi tata air dan erosi/sedimentasi yang terjadi. SPAS dilaksanakan untuk mengukur atau mengetahui: (a) Kondisi tata air, yang diindikasikan dari Koefisien Regim Sungai (KRS), yaitu perbandingan antara debit maksimum (Qmaks) dan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. (b) Erosi yang terjadi yang diindikasikan dari besarnya kadar lumpur/sedimen dalam air yang terangkut oleh aliran air sungai, atau banyaknya endapan sedimen pada badan-badan air. Makin besar kadar sedimen yang terbawa oleh aliran air berarti makin tidak sehat kondisi DAS. Perangkat SPAS tersebut dipasang pada outlet small watershed (catchment area). Pada areal pertambangan dengan lebih dari satu catchment area, maka untuk membangun dan memasang SPAS dipilih catchment area yang paling besar atau yang paling terpengaruh oleh aktivitas tambang. Sebagai kelengkapan dalam pembangunan SPAS, maka perlu dipasang alat pengukur curah hujan yang berupa pengukur curah hujan secara manual (Ombrometer) atau alat pengukur otomatis (Automatic Rainfall Recorder/ARR). Dalam pemasangan perangkat SPAS tersebut, pemegang izin dapat berkoordinasi/berkonsultasi dengan Balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) setempat. Data hasil pengamatan yang sudah diolah/dianalisis yang berupa debit air dan 24

26 kandungan lumpur yang disampaikan secara periodik dan merupakan bagian dari laporan reklamasi. Sistem pengendalian, pemantauan kegiatan reklamasi hutan harus bersifat measurable reportable, dan verifiable(mrv), dan harus memenuhi prinsip: (a) Kombinasi remote sensing dan ground based inventory, (b) Hasil perhitungan: transparan dan terbuka untuk direview. Sistem pengendalian, pemantauan pelaksanaannya harus didukung oleh pemetaan/data spasial yang memadai (keakuratan sasaran lokasi kegiatan) dan adanya sistem database dokumentasi proses dan output kegiatan serta adanya sistem monitoring hasil (outcome), dampak (impact) dan benefit dari program reklamasi. Semua data dan informasi hasil pemantauan/monitoring reklamasi hutan disajikan dalam bentuk numerik/tekstual, spasial dan visual. Untuk data visual, perusahaan wajib menyiapkan citra/dokumentasi foto yang dapat menggambarkan perkembangan kenampakan rona dari awal sampai akhir penambangan baik sebelum adanya kegiatan dan setelah dilakukan revegetasi. Reklamasi hutan sebagai bagian dari RHL yang merupakan program pembangunan yang prosesnya multiyears, input, output, outcome dan impact programnya dapat diidentifikasi dan dapat diukur. Pemantauan/monitoring reklamasi hutan sangat penting keberadaannya untuk memastikan input, output, outcome dan impact dari program reklamasi hutan dapat berjalan sesuai dengan rencana/sasaran program. Pelaksanaan pemantauan dengan sistem MRV harus memenuhi tahapan sebagai berikut: (a) Pemantauan/monitoring Output yang meliputi pemantauan/monitoring keluaran langsung dari kegiatan Reklamasi Hutan antara lain berupa tanaman/tegakan pohon yang merupakan hasil langsung dari input, dalam konteks MRV, pemantauan/monitoring output ini akan lebih banyak dimanfaatkan. (b) Pemantauan/monitoring Outcome yang meliputi pemantauan/monitoring hasil yang mengindikasikan outputkegiatan Reklamasi Hutan telah berfungsi. Indikator yang bisa diamati di on-site/lokasi seperti turunnya erosi dan sedimentasi dan lain sebagainya merupakan bagian dari indikator outcome ini. (c) Pemantauan/monitoring Impact - kegiatan Reklamasi Hutan yang meliputi indikatorindikator pada off-site/di luar atau di sekitar lokasi yang menunjukkan adanya 25

27 dampak/pengaruh dari kegiatan, indikasi membaiknya tata air, ekonomi dan sosial masyarakat merupakan indikator dampak Reklamasi Hutan yang perlu diukur. (d) Pemantauan/monitoring Benefit yang merupakan pemantauan untuk menguji sejauhmana program memberikan manfaat. Untuk mendukung pemantauan reklamasi hutan agar dapat diperoleh gambaran yang jelas sejak proses awal penggunaan kawasan hutan sampai dengan pelaksanaan reklamasi, pemegang izin penggunaan kawasan hutan diwajibkan untuk menyiapkan citra satelit dengan resolusi yang memadai sejak sebelum dilakukan penggunaan kawasan hutan sampai dengan serah terima kawasan hutan. Pengadaan citra satelit ini merupakan bagian dari pemantauan dengan metode MRV yang perlu dilakukan untuk periode waktu tertentu sesuai dengan masa berlaku izin penggunaan kawasan hutan. Bagi pemegang izin penggunaan kawasan hutan yang masa berlakunya 5 (lima) tahun atau kurang, pengadaan citra satelit dilakukan pada awal dan akhir kegiatan penggunaan kawasan hutan. Pemegang izin penggunaan kawasan hutan yang masa berlakunya di atas 5 (lima) tahun, pengadaan citra satelit dilakukan pada setiap periode 5 (lima) tahun. I. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Reklamasi Hutan Pemegang izin penggunaan kawasan hutan sebagai pelaksana reklamasi hutan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan reklamasi secara berkala kepada Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan dengan tembusan kepada: (a) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan; (b) Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; (c) Dinas Teknis Provinsi yang menangani kehutanan; dan (d) Dinas Teknis Kabupaten/Kota yang menangani kehutanan. Laporan reklamasi hutan terdiri dari Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan. Format laporan reklamasi hutan untuk laporan triwulan dan tahunan yang dilengkapi dengan: (a) Data SPAS (debit air, sedimentasi), (b) Foto-foto dokumentasi pelaksanaan kegiatan reklamasi dan (c) Peta dan koordinat areal reklamasi (skala 1:10.000). Pemegang izin penggunaan kawasan hutan juga diwajibkan untuk membuat foto kondisi/citra areal 26

28 pinjam pakai kawasan hutan mulai tahun ke-0 sampai dengan saat serah terima/pengembalian areal izin pinjam pakai kawasan hutan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.04/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan), bagi para pemegang izin yang tidak melaksanakan kegiatan reklamasi hutan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan atau tidak melakukan kegiatan reklamasi hutan, dikenakan sanksi berupa: (a) Sanksi administratif, didahului dengan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 3 (tiga) bulan untuk setiap kali peringatan. (b) Sanksi berupa pencabutan ijin penggunaan kawasan hutan, setelah dilakukan penilaian hasil reklamasi hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sanksi administratif diberikan oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial setelah dilakukan pemantauan baik oleh Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan maupun yang dilakukan oleh BPDAS setempat. Bila masa peringatan ke-3 (tiga) telah berakhir dan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan tidak melakukan kegiatan reklamasi hutan, maka Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial membentuk tim verifikasi/penilai untuk melakukan penilaian pelaksanaan reklamasi sebagai dasar pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh Menteri. Anggota tim verifikasi/penilai terdiri dari instansi terkait sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan. 27

Pengendalian Erosi dan Sedimentasi

Pengendalian Erosi dan Sedimentasi Pengendalian Erosi dan Sedimentasi Disusun untuk melengkapi tugas TIK Disusun Oleh: Bachrul Azali 04315046 Tugas TIK Universitas Narotama 2015 http://www.narotama.ac.id 04315044 Bachrul azali Page 1 Erosi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1127, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Reklamasi Hutan. Areal Bencana. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 4/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 4/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 4/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

meliputi pemilihan: pola tanam, tahapan penanaman (prakondisi dan penanaman vegetasi tetap), sistem penanaman (monokultur, multiple cropping), jenis

meliputi pemilihan: pola tanam, tahapan penanaman (prakondisi dan penanaman vegetasi tetap), sistem penanaman (monokultur, multiple cropping), jenis IMPLIKASI KEBIJAKAN Aktivitas pertambangan khususnya tambang batubara yang menerapkan tambang terbuka menyubang kerusakan lingkungan yang sangat besar, sehingga diperlukan langkah yang tepat mulai penyusunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 TENTANG REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 TENTANG REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2008 TENTANG REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENGATURAN BENTUK LERENG DAN PERLAKUAN REKLAMASI. Perlakuan Konservasi Tanah (Reklamasi) Guludan. bangku. Guludan - Teras Kredit

PENGATURAN BENTUK LERENG DAN PERLAKUAN REKLAMASI. Perlakuan Konservasi Tanah (Reklamasi) Guludan. bangku. Guludan - Teras Kredit 2011, No.23 38 LAMPIRAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.04/MENHUT-II/2011 TANGGAL : 14 JANUARI 2011 PENGATURAN BENTUK LERENG DAN PERLAKUAN REKLAMASI - Vegetasi Tetap (Tanaman tahunan) - Hutan Lindung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph) KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami sifat kimia tanah. 2. Memahami vegetasi tanah. 3. Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat potensial. Penambangan telah menjadi kontributor terbesar dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

PERATURAN BERSAMA ANTARA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG DAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN DASAR

PERATURAN BERSAMA ANTARA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG DAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN DASAR PERATURAN BERSAMA ANTARA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG DAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH NOMOR : P.9/PDASHL-SET/2015 NOMOR : 403/D/DN/2015 TENTANG

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Nega

2011, No Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Nega No.191, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN BAB VI SILVIKULTUR DR RINA MARINA MASRI, MP KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR : P.8/PDASHL-SET/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR : P.8/PDASHL-SET/2015 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR : P.8/PDASHL-SET/2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN POHON OLEH PESERTA DIDIK, PENDIDIK, DAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. AREAL. Terganggu. Reklamasi. Revegetasi. PNBP. Penentuan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. AREAL. Terganggu. Reklamasi. Revegetasi. PNBP. Penentuan. No.49, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. AREAL. Terganggu. Reklamasi. Revegetasi. PNBP. Penentuan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor: P.56/Menhut-II/2008 TENTANG TATA CARA PENENTUAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG Hasil Pemba hasan d PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.18/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM

Lebih terperinci

ISLAM NOMOR : P.7/PDASHL-SET/2015 NOMOR : DJ:II/555 TAHUN 2015 TENTANG

ISLAM NOMOR : P.7/PDASHL-SET/2015 NOMOR : DJ:II/555 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN BERSAMA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG DAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR : P.7/PDASHL-SET/2015 NOMOR : DJ:II/555 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

STUDI TEKNIS REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG PT BERAU COAL, BERAU, KALIMANTAN TIMUR PROPOSAL KERJA PRAKTEK

STUDI TEKNIS REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG PT BERAU COAL, BERAU, KALIMANTAN TIMUR PROPOSAL KERJA PRAKTEK STUDI TEKNIS REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG PT BERAU COAL, BERAU, KALIMANTAN TIMUR PROPOSAL KERJA PRAKTEK OLEH M. GHIBRAN ALIEF AKBAR D621 13 019 PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.03/MENHUT-V/2004 TANGGAL : 22 JULI 2004 BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Nomor : P. 14/VII-PKH/2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PINJAM PAKAI KAWASAN

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Sumber : Manual Pembibitan Tanaman Hutan, BPTH Bali dan Nusa Tenggara.

Sumber : Manual Pembibitan Tanaman Hutan, BPTH Bali dan Nusa Tenggara. Penyulaman Penyulaman dilakukan apabila bibit ada yang mati dan perlu dilakukan dengan segera agar bibit sulaman tidak tertinggal jauh dengan bibit lainnya. Penyiangan Penyiangan terhadap gulma dilakukan

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. 3.2 Undang Undang yang Mengatur Reklamasi. dan kegiatan pascatambang adalah Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

BAB III TEORI DASAR. 3.2 Undang Undang yang Mengatur Reklamasi. dan kegiatan pascatambang adalah Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang BAB III TEORI DASAR 3.1 Pengertian Reklamasi Berdasarkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 99 Ayat 1 reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.138, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Reklamasi. Pasca Tambang. Prosedur. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran K-13 Geografi K e l a s XI BARANG TAMBANG INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kegiatan pertambangan. 2. Memahami

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Lebih terperinci

2 Menteri Kehutanan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal Terganggu dan

2 Menteri Kehutanan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal Terganggu dan No. 1445, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Luas Areal Terganggu. Reklamasi. Revegetasi. Pajak. Kawasan Hutan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.84/Menhut-II/2014

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH PERATURAN PRESIDEN NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 267, 2000 LINGKUNGAN HIDUP.TANAH.Pengendalian Biomasa. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri. Restorasi Organik Lahan Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri Ex-Tambang Restorasi Perubahan fungsi lahan pada suatu daerah untuk pertambangan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.18/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.84/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.84/Menhut-II/2014 TENTANG Maret 2012 2012-1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.84/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.56/MENHUT- II/2008 TENTANG TATA CARA PENENTUAN LUAS

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 80 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 80 TAHUN 2002 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 80 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN URUSAN EROSl, SEDIMENTASI DAN PRODUKTIVITAS LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LINTAS KABUPATEN/ KOTA

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I No.2023, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN LHK. Pelimpahan. Urusan. Pemerintahan. (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan. Tahun 2015 Kepada 34 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003 GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.9/Menhut-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 146 Tahun 1999 Tentang : Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 146 Tahun 1999 Tentang : Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 146 Tahun 1999 Tentang : Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa pada persiapan penggunaan

Lebih terperinci

ABSTRAKSI DOKUMEN AMDAL

ABSTRAKSI DOKUMEN AMDAL ABSTRAKSI DOKUMEN AMDAL PEMRAKARSA NAMA DOKUMEN PT. ASIATIC PERSADA Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahannya NO. PERSETUJUAN & TANGGAL Komisi Penilai AMDAL Propinsi Jambi Nomor:274/2003,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...

DAFTAR ISI... Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR PETA... INTISARI... ABSTRACT... BAB I

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG PADA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN TANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini BAB V PEMBAHASAN 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini diperuntukan untuk perkebunan dan budidaya. Disebelah timur lokasi tambang pada jarak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

PEDOMAN EVALUASI KEBERHASILAN REKLAMASI HUTAN

PEDOMAN EVALUASI KEBERHASILAN REKLAMASI HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DRAFT PEDOMAN EVALUASI KEBERHASILAN REKLAMASI HUTAN DIREKTORAT BINA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TAHUN 2008 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996 Tentang : Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran MENTERI NEGARA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAGIAN KEDUA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAGIAN KEDUA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.03/MENHUT-V/2004 TANGGAL : 22 JULI 2004 BAGIAN KEDUA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI GERAKAN NASIONAL REHABILITASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.38/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2016 TENTANG PERSETUJUAN PEMBUATAN DAN/ATAU PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Pengertian Reklamasi Pengertian reklamasi dalam Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral nomor 07 tahun 2014 adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan

Lebih terperinci

Konservasi lahan Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan

Konservasi lahan Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan Data tahun 1992 menunjukkan bahwa luas lahan usahatani kritis di luar kawasan hutan telah mencapai ±18 juta hektar. Setelah hampir 13 tahun, lahan kritis diluar kawasan hutan pada tahun 2005 sekarang ini

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Topik : TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR

Topik : TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR Topik : TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR Tujuan : 1. Peserta memahami tentang pentingnya KTA (Konservasi Tanah dan Air); 2. Memahami berbagai teknik KTA (Konservasi Tanah dan Air). 3. Peserta terampil membuat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

Pengelolaan Kawasan Perlindungan Setempat (KPS)

Pengelolaan Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) Pengelolaan Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) 2018 1. Kriteria-Kriteria KPS a. Kriteria sempadan sungai menurut Pedoman Pengelolaan Kawasan Lindung adalah : a. Selebar 100 m di kanan kiri untuk lebar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci