HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Jumlah Guru dan Siswa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Jumlah Guru dan Siswa"

Transkripsi

1 41 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Data penelitian ini dikumpulkan dari dua SMA di Kota Bogor yaitu SMU Negeri Bogor, mewakili sekolah umum dan SMK Negeri Bogor, mewakili sekolah kejuruan. Kedua sekolah ini terletak di kota Bogor dengan status lahan yang digunakan adalah Hak Milik atas nama Pemerintah Daerah Kota Bogor dan termasuk sekolah yang berprestasi serta didukung fasilitas dan sarana prasarana kegiatan belajar mengajar di sekolah yang cukup memadai. SMUN Bogor menempati lahan seluas m 2, sedangkan SMKN Bogor merupakan sekolah keahlian yang menempati lahan seluas 5885 m2. Kelancaran kegiatan pembelajaran di sekolah masing-masing dipimpin oleh satu orang kepala sekolah dan dibantu oleh empat orang wakil kepala sekolah yang memiliki tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yaitu sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana dan wakil kepala sekolah bidang hubungan masyarakat. Kedua sekolah dilengkapi pula dengan guru pengajar, guru BP/BK, petugas tata usaha, petugas perpustakaan, petugas laboratorium, komite sekolah, petugas kebersihan dan petugas keamanan sekolah. Jumlah Guru dan Siswa Perolehan dari data sekunder menunjukkan bahwa SMKN memiliki siswa yang lebih banyak dibanding SMUN, banyaknya jumlah siswa tersebut berkaitan dengan jumlah kelas dan luas lahan yang ada di dua sekolah tersebut. Jumlah guru di SMKN juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah guru di SMUN. Namun demikian rasio antara guru dengan siswa dari kedua sekolah tersebut tidak terlalu jauh berbeda yaitu 1 : 18 yang berarti bahwa setiap satu guru membimbing delapan belas siswa, untuk rasio di SMUN dan 1 : 17 atau dapat diartikan dengan pernyataan bahwa setiap satu guru membimbing tujuh belas siswa, untuk rasio di SMKN. Jumlah rombongan belajar dalam kelas untuk SMU dan SMK adalah sama yaitu antara 32 sampai 38 siswa, jadi pada penelitian ini sudah sesuai ketentuan dari Diknas (BPS 2006). Secara lebih jelas disajikan dalam Tabel 5.

2 42 Fasilitas Sekolah Fasilitas dari kedua sekolah yang tersedia meliputi ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang TU, ruang laboratorium, tempat ibadah, ruang komputer, ruang perpustakaan, toilet laki-laki dan perempuan secara terpisah, ruang UKS, ruang BK, ruang OSIS, lapangan olahraga dan ruang kelas. SMUN Bogor memiliki pembagian kelas X, XI dan XII sebanyak masing-masing sembilan. sehingga jumlah kelas keseluruhan adalah dua puluh tujuh kelas. Sedangkan SMKN Bogor memiliki pembagian kelas X, XI dan XII sebanyak masing-masing sebelas kelas sehingga jumlah keseluruhan kelas adalah tiga puluh tiga kelas (Tabel 5). Tabel 5: Luas lahan,status kepemilikan,jumlah kelas, jumlah guru, jumlah siswa dan rasio guru dan siswa. No Nama Sekolah Luas Lahan (m 2 ) Status Kepemili kan Jumlah Kelas (ruang) Jumlah Guru (orang) Jumlah Siswa (orang) Rasio Guru:Siswa 1. SMUN 3920 Pemda : SMKN 5885 Pemda : 17 Sumber : Data sekolah terpilih (2012) Peraturan Sekolah Kelancaran proses kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlepas dari peraturan-peraturan sekolah. Kedua sekolah yang dijadikan penelitian menerapkan peraturan dengan kedisiplinan dan pemberian sanksi yang disesuaikan permasalahannya. Kasus yang dihadapi di masing-masing sekolah dibedakan dalam dua kategori yaitu kategori kesatu dan kedua. Kategori kesatu meliputi kedisiplinan berpakaian, membolos pada jam sekolah, kedatangan tepat waktu, merokok, pertengkaran dan perkelahian, sedangkan kategori kedua meliputi pemakaian narkoba dan zat adiktif lainnya, kehamilan, pelecehan dan penyimpangan seksual. Sanksi yang diterapkan pada kategori kesatu adalah melalui teguran kepada siswa yang bersangkutan, surat teguran dan pemanggilan terhadap orang tua siswa jika masih berlanjut, jika tidak ada perubahan maka sanksi terakhir adalah dikeluarkan dari sekolah. Sanksi pada kasus kategori kedua adalah langsung diberhentikan atau dikeluarkan dari sekolah terhadap siswa yang bersangkutan. Lebih spesifik permasalahan yang dihadapi siswa SMKN Bogor selain tersebut diatas dilatar belakangi oleh faktor ekonomi keluarga yang relatif rendah, jadi dengan penghasilan keluarga yang rendah tersebut mengakibatkan

3 43 siswa di SMKN tidak dapat datang tepat waktu karena harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah, tidak memakai sepatu yang seragam karena sepatu yang dipakai telah rusak dan masih banyak contoh kasus lain yang berkaitan dengan faktor keuangan keluarga siswa. Fasilitas dan peraturan sekolah yang baik saja dirasa tidak cukup untuk meningkatkan kualitas siswa, maka kedua sekolah tersebut melakukan pembimbingan dan penilaian terhadap siswa. Guru BP/BK secara klasikal dari kelas X sampai XII memberikan pembimbingan yang dilakukan secara intensif dan diintegrasikan dalam mata pelajaran Bimbingan Konseling, sedangkan masing-masing guru wali kelas secara khusus memberikan bimbingan dan penilaian secara personal terhadap siswa. Pada penelitian ini guru wali kelas diminta untuk memberikan penilaian terhadap masing-masing siswa contoh yang meliputi kebiasaan berkata kasar, emosional, kekerasan secara fisik, kekerasan melalui media elektronik dan efek negatif yang diberikan terhadap orang lain. Penilaian guru/wali kelas terhadap siswa tersebut disajikan dalam bentuk kuesioner dengan pilihan jawaban menggunakan empat skala yaitu sangat setuju, cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju (Tabel 6). Tabel 6: Penilaian guru/wali kelas terhadap siswa No Pernyataan Penilaian ( % ) Ratarata skor SS CS KS TS Total Skor (1) (2) (3) (4) 1. Berkata kasar Emosional Kekerasan fisik Media elektronik Pengaruh negatif Keterangan: SS = Sangat setuju; CS = Cukup Setuju; KS = Kurang Setuju; TS = Tidak Setuju Std = Standar deviasi Std. Dari data di atas dapat dikatakan bahwa rata-rata menurut penilaian guru/wali kelas kurang setuju/tidak setuju jika siswa siswi di sekolah masingmasing melakukan perilaku bullying secara fisik, verbal, membawa pengaruh negatif dan emosional.

4 44 Jenis Kelamin dan Usia Contoh Karakteristik Contoh Contoh pada penelitian ini berjumlah 140 siswa yang terdiri dari siswa laki-laki sebanyak 70 orang (50 %) dan siswa perempuan sebanyak 70 orang (50 %). Contoh tersebut diambil dari dua sekolah menengah terpilih yang terdiri atas 70 orang (50%) siswa SMUN dan 70 orang (50%) siswa SMKN. Usia contoh secara keseluruhan berkisar antara 14 sampai 18 tahun. Baik contoh laki-laki maupun perempuan memiliki persentase tertinggi usia 16 tahun (52.9 %) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 7). Rata-rata usia contoh adalah 16 tahun dan usia tersebut termasuk dalam kategori remaja. Hal ini sesuai dengan data dari Diknas yang menyatakan tentang usia tahun adalah usia yang sesuai untuk mengenyam pendidikan di tingkat SMA (BPS 2006). Tabel 7: Sebaran usia contoh berdasarkan jenis kelamin Usia Laki-laki Perempuan Total (tahun) n % n % n % Total Minimum 14 Maksimum Rata-rata ± Std Uji Beda T(p) ± 0.7 Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata Urutan Kelahiran ± ± TB Contoh pada penelitian ini bervariasi jika ditinjau dari urutan kelahiran, mulai dari anak kesatu sampai kesembilan, namun dalam laporan hasil ditunjukkan dengan anak kesatu, kedua, ketiga dan lebih dari tiga. Secara keseluruhan, persentase terbesar anak urutan kesatu (45.7%) selebihnya menyebar rata dari kedua sampai lebih dari tiga. Hal yang sama terlihat pada contoh lakilaki (48.5%) maupun perempuan (42.8%) merupakan anak kesatu (Tabel 8).

5 45 Tabel 8: Sebaran urutan kelahiran contoh berdasarkan jenis kelamin Urutan Contoh Contoh Total Kelahiran Laki-laki Perempuan n % n % n % Total Minimum Maksimum Mean ± SD 2.06 ± ± ± 1.65 Uji Beda T(p) 0.8 TB Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata Usia Orang tua Karakteristik Keluarga Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa usia orang tua contoh berkisar antara 33 sampai 70 tahun. Secara keseluruhan usia ayah contoh laki-laki berada pada kisaran usia tahun (50.8%). Persentase terbanyak pada ayah contoh perempuan (51.5%), ibu contoh laki-laki (70.1%) dan ibu contoh perempuan (73%) berda pada kisaran usia antara 33 sampai 45 tahun. Rata-rata usia ayah contoh adalah 46.7 sampai 47.5 tahun sedangkan rata-rata usia ibu contoh adalah 42.7 sampai 44 tahun, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia orang tua contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 9). Tabel 9 : Sebaran kategori usia orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin Kategori Usia Ayah Usia Ibu Contoh Laki-laki Contoh perempuan Contoh Laki-laki Contoh perempuan n % n % n % n % Meninggal Total Minimum Maksimum Mean ± SD 47.5 ± ± ± ± 5.6 Uji Beda T(p) 0.41 TB 0.20 TB Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata

6 46 Hasil penelitian menunjukkan secara umum usia ibu dibawah usia ayah serta berada pada kelompok dewasa madya, hal ini sesuai dengan pendapat dari Hurlock (1978) yang menjelaskan bahwa usia terbagi atas tiga kategori diantaranya adalah kelompok usia dewasa awal (18-30), dewasa madya (30-60), dan dewasa lanjut (diatas 60). Dalam teori perkembangan yang disampaikan oleh Duvall (1957) menyatakan bahwa orang tua yang berada pada masa dewasa madya memiliki anggota keluarga yang berusia remaja didalamnya sehingga mempunyai tugas dalam perkembangan anak untuk membimbing dan membantu remaja menghadapi perubahan fisik yang cepat. Pendidikan Orang Tua Pendidikan yang ditempuh oleh orang tua contoh sangat beragam mulai dari jenjang SD/sederajat sampai jenjang S3. Pendidikan ayah dan ibu contoh yang terendah adalah SD sedangkan pendidikan tertinggi ayah contoh adalah S3 dan pendidikan tertinggi ibu contoh adalah S2 (Tabel 10). Tabel 10: Sebaran pendidikan orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin Jenjang (tahun) Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Contoh Laki-laki Contoh Perempuan n % n % n % n % Lulus SD (6) Lulus SMP (9) Lulus SMA (12) Lulus D3 (15) Lulus S1(16) Lulus S2 (18) Lulus S3 (21) Total Minimum Maksimum Rata-rata ± SD 13.0 ± ± ± ± 3.4 Uji Beda T(p) 0.19 TB 0.73 TB Keterangan: TB = Tidak Berbeda Nyata Secara keseluruhan persentase tertinggi pendidikan ayah contoh laki-laki (37.1%) dan ayah contoh perempuan (41.4%). Persentase tertinggi pendidikan ibu contoh laki-laki (32.9%) dan ibu contoh perempuan (42.9%) adalah lulus SMA. Rata-rata lama pendidikan ayah contoh laki-laki (13.0) lebih rendah dari ayah contoh perempuan (13.8) serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < Rata-rata lama

7 47 pendidikan ibu contoh laki-laki (11.7) lebih rendah dari ibu contoh perempuan (11.9) serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < 0.05 (Tabel 10). Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa pendidikan orang tua contoh cukup tinggi, hal ini terlihat dari jumlah persentase orang tua contoh yang beragam pendidikan di atas lulus SMP yang berarti bahwa orang tua contoh telah melewati batas minimal wajib belajar yaitu sembilan tahun atau lulus SMP. Hal ini dijelaskan dari data Diknas (BPS 2006) yaitu adanya program pemerintah mengenai pendidikan wajib belajar yang harus ditempuh oleh warga negara Indonesia minimal adalah sembilan tahun atau setara dengan lulus SMP. Pekerjaan Orang tua Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan kurang dari setengah ayah contoh (31.4%) bekerja sebagai pegawai swasta dan lebih dari setengah ibu contoh (67.1%) sebagai ibu rumah tangga (Tabel 11). Tabel 11: Sebaran pekerjaan orang tua contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis Pekerjaan Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu n % n % n % n % n % n % Meninggal PNS Swasta Wiraswasta Buruh/sopir BUMN Pensiunan Polri/TNI IRT Total Berdasarkan jenis kelamin menunjukkan persentase tertinggi (28.6%) pada ayah contoh laki-laki adalah sebagai pegawai swasta dan PNS (Pegawai negeri sipil), sedangkan jenis pekerjaan ayah contoh perempuan adalah sebagai swasta (34.3%). Pada jenis pekerjaan ibu contoh baik laki-laki (65.7%) maupun perempuan (68.6%) sebagai Ibu Rumah Tangga (Tabel 11).

8 48 Pendapatan Total Keluarga Pendapatan total keluarga contoh adalah pendapatan yang diperoleh dari total pendapatan dalam keluarga per bulan yang berkisar kurang dari Rp.1,000,000 sampai lebih dari Rp. 7,000,000. Berdasarkan keseluruhan contoh (25.7%) terhadap total pendapatan keluarga adalah pada kisaran Rp Rp Hal yang sama pula terlihat dari jenis kelamin yang menunjukkan proporsi tertinggi (25.7%) baik contoh laki-laki maupun perempuan berada pada kisaran Rp Rp dan selebihnya menyebar rata pada kisaran kurang dari Rp sampai lebih dari Rp Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan total keluarga contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < Tabel 12. Sebaran pendapatan total keluarga contoh berdasarkan jenis kelamin Pendapatan Total Keluarga Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Total Hal ini sesuai dengan data yang dihimpun oleh Human resource community, yang menunjukkan bahwa upah minimum regional untuk daerah Jawa Barat pada tahun 2012 sebesar Rp dan lebih spesifik terdapat perbedaan antar berbagai wilayah, seperti untuk wilayah Kota Bogor pada tahun 2012 adalah sebesar Rp dan upah minimum regonal untuk wilayah Kabupaten Bogor pada tahun 2012 sebesar Rp ( sehingga dapat dikatakan bahwa hasil penelitian untuk pendapatan total keluarga pada contoh sebagian besar telah melewati batas UMR (Tabel 12). Karakteristik Teman Contoh Kelompok Teman Berdasarkan Jumlah Teman Contoh Contoh memiliki teman yang jumlahnya bervariasi mulai dari kisaran kurang dari tiga sampai lebih dari enam belas orang. Hasil penelitian

9 49 menunjukkan sebanyak 37.1 persen dari keseluruhan contoh memiliki teman yang berjumlah antara empat sampai tujuh orang, akan tetapi berdasar jenis kelamin terlihat bahwa contoh laki-laki memiliki teman yang lebih banyak yaitu empat sampai lima belas orang (37.1%) (Tabel 13). Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa contoh membutuhkan teman dalam lingkungan pergaulan sebagai ajang sosialisasi dan keseimbangan emosional, karena anggota keluarga jarang memenuhi tersebut yang disebabkan karena dalam anggota keluarga terutama orang tua dianggap terlalu tua untuk mengerti tentang remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978), yang mengatakan bahwa jumlah teman yang dimiliki anak untuk memuaskan kebutuhan mereka sangat bervariasi sesuai dengan usia dan tingkat perkembangannya. Tabel 13: Sebaran jumlah teman contoh berdasarkan jenis kelamin Kisaran Jumlah Teman ( orang ) Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % Total Papalia (2008) menyatakan bahwa jumlah teman yang sesuai akan saling mempengaruhi baik perilaku negatif maupun positif, akan tetapi pada anak lakilaki memiliki teman dalam jumlah yang lebih banyak karena laki-laki cenderung mendapatkan harga diri dengan mengalahkan orang lain. Aturan secara umum adalah jumlah teman yang dibutuhkan akan meningkat bila usia anak bertambah dewasa. Kelompok Teman Berdasarkan Usia Teman Contoh Penelitian menunjukkan lebih dari setengah jumlah contoh (62.9 %) memiliki teman yang berusia antara 15 sampai 18 tahun. Berdasarkan jenis kelamin juga menunjukkan bahwa contoh laki-laki, persentase tertinggi (65.7%) dan contoh perempuan (60%) memiliki teman yang berusia antara 15 sampai 18 tahun (Tabel 14). Berdasarkan Tabel 14 dapat dikatakan bahwa antara contoh dengan teman contoh terdapat usia yang relatif homogen yaitu antara 15 sampai 18. Hal ini

10 50 sesuai dengan pendapat Papalia (2008) yang mengatakan bahwa remaja cenderung berteman dengan orang yang usianya sebaya karena adanya kesamaan perkembangan baik secara fisik, secara emosional dan secara kognitif, sehingga membuat akan merasa lebih nyaman dalam berteman Tabel 14: Sebaran usia teman contoh berdasarkan jenis kelamin Kisaran Usia Teman (tahun) Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % Total Kelompok Teman Berdasarkan Pendidikan Teman Contoh Hasil penelitian menunjukkan persentase tertinggi contoh (63.6%) memiliki teman dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai Perguruan Tinggi (PT). Berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa contoh perempuan (68.6%) dan contoh laki-laki (58.5%) juga memiliki teman yang berpendidikan antara SMA sampai PT. Contoh dengan teman contoh memiliki latar belakang pendidikan yang relatif sama sehingga memudahkan mereka untuk saling berkomunikasi dan berbagi informasi mengenai apapun yang diperoleh di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Papalia (2008) yang menyatakan bahwa remaja cenderung memilih teman yang satu lingkungan dengan dirinya dikarenakan adanya kesamaan lingkungan yang homogen (Tabel 15). Tabel 15: Sebaran pendidikan teman contoh berdasarkan jenis kelamin Pendidikan Teman Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % SD SMA SMP SMA SMA PT 41 58, Total Kelompok Teman Berdasarkan Alasan Pertemanan Contoh Hasil penelitian menunjukkan setengah jumlah contoh (50.7%) menggunakan pernyataan kesamaan kegiatan sebagai alasan contoh dalam memilih teman. Hal yang sama juga jika dilihat berdasarkan jenis kelamin

11 51 menunjukkan bahwa contoh laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan kegiatan sebagai alasan pertemanan, sehingga dapat dikatakan bahwa kesamaan kegiatan merupakan alasan terpenting dalam pertemanan remaja (Tabel 16). Tabel 16: Sebaran alasan pertemanan contoh berdasarkan jenis kelamin Alasan Pertemanan Contoh Laki-laki Contoh Perempuan Total n % n % n % Kesamaan hobi Kesamaan cita-cita Kesamaan kegiatan Total Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978), yang menyatakan beberapa alasan penting yang dibutuhkan akan pertemanan adalah adanya perasaan menerima perhatian dan afeksi yang berupa kesamaan minat, kesamaan nilai dan kedekatan geografis. Pola Asuh Sosial-Emosi Fase remaja adalah fase pencarian identitas diri yang sangat penting untuk mendapatkan rasa percaya diri. Menurut teori Erickson, tugas utama remaja adalah membangun pemahaman baru mengenai identitas diri yaitu sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan sebagai apa ditatanan sosial yang lebih besar (Crain 2007). Hasil penelitian menunjukkan, lebih dari setengah contoh (50.7% %) menyatakan sering pada pernyataan jika saya berhasil menjadi juara kelas maka orangtua akan ikut senang, orang tua mengenal teman bermain saya baik di rumah maupun di sekolah dan orang tua memberikan kepercayaan terhadap pilihan saya dalam mencari teman bermain. Contoh melaporkan dengan memberikan pernyataan jarang pada pernyataaan Ketika saya berhasil (mendapat nilai bagus ) maka saya akan mendapat pujian dan hadiah dari orangtua, ketika saya gagal dalam ulangan orangtua akan mengajak menelusuri bersama penyebab kegagalannya agar tidak mengulanginya lagi dan kesedihan saya, bagi orangtua merupakan sesuatu yang harus di ungkapkan tetapi tidak yakin ada tindakan yang mampu menghilangkan kesedihan tersebut dengan skor kurang lebih setengah jumlah contoh (34.3%-51.4%), namun sebanyak 44.3 persen contoh menyatakan

12 52 bahwa orang tua tidak mengijinkan anak marah untuk mengeluarkan kekesalannya (Lampiran 4). Berdasarkan analisis jenis kelamin pada Lampiran 4, menunjukkan adanya perbedaan penerimaan pola asuh sosial-emosi yang diterima antara contoh lakilaki dan perempuan. Pernyataan-pernyataan yang menunjukkan perbedaan diantaranya adalah ketika anak berhasil mendapatkan prestasi maka orang tua akan memberikan hadiah, rata-rata skor perempuan (2.6) lebih tinggi dari laki-laki (2.3). Pernyataan yang menyebutkan bahwa orang tua akan memberikan solusi ketika anak takut menghadapi guru, diperoleh rata-rata skor perempuan (2.7) lebih tinggi dari laki-laki (2.3). Pernyataan lainnya yang mengatakan bahwa orang tua mengajarkan berempati memiliki rata-rata skor perempuan (3.4) lebih tinggi dari laki-laki (3.1). Pernyataan mengenai orang tua tidak yakin bahwa kesedihan yang diungkapkan anak akan menghilangkan kesedihan tersebut diperoleh rata-rata skor perempuan (2.6) lebih tinggi juga dari laki-laki (2.1). Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan lebih dari setengah contoh (65.7%) mendapatkan kualitas pola asuh secara sosial dan emosi dengan kategori sedang, persentase pada contoh perempuan (61.4%) dan laki-laki (70.0%) juga berada pada kategori sedang dengan rata-rata skor perempuan (29.0) lebih tinggi dari laki-laki (27.4) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hal ini berarti bahwa orangtua contoh memperlakukan anak perempuan lebih baik dalam pola asuh sosial-emosi dibandingkan contoh laki-laki. Menurut Puspitawati (2012), menyatakan bahwa perlakuan orang tua dalam pengasuhan berbeda secara gender karena secara fisik dan genetik berbeda. Pada anak laki-laki diarahkan dengan kegiatan yang menuju independensi serta orang tua mempunyai ekspektasi agar menjadi kuat dan agresif dalam mencapai cita-cita, sedangkan anak perempuan diarahkan pada kegiatan pasif, sensitif serta hormat dan sopan namun menuju pembentukan emosi. In-Box: 1 Contoh (perempuan) mengatakan bahwa kedua orang tua menyayanginya dan jika contoh marah maka ibunya akan merayunya sampai contoh tidak marah lagi Sumber : Contoh kasus nomor 04

13 53 In-Box: 2 menurut contoh (laki-laki) orang tua tidak pernah mengijinkan contoh mengeluarkan kekesalannya ketika marah dan juga tidak memberikan solusi ketika contoh bermasalah dengan guru, orang tua mengharuskan dirinya mampu mengatasi permasalahannya sendiri. Sumber: Contoh kasus nomor 01 Tabel 17: Sebaran kategori pola asuh sosial-emosi contoh berdasarkan jenis kelamin Kategori Pola asuh sosial-emosi Jumlah Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Rendah (10 20) Sedang (21 30) Tinggi (31 40) Total Minimum Maksimum Rata-rata ±SD 27.4 ± ± ± 4.5 Uji beda t 0.03** Keterangan: ** Berbeda nyata pada p < 0.05 Keterikatan Teman Sebaya Sebagai remaja, kebutuhan identitas sosial adalah sesuatu yang sangat kuat sehingga individu di masa ini akan menerima saja segala persyaratan yang diberikan oleh kelompok. Proses pencarian identitas diri dilakukan remaja untuk mendapatkan kejelasan mengenai dirinya dan untuk membentuk diri menjadi seorang yang utuh dan unik. Pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi terlalu bergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya. Pencarian identitas diri mereka dapatkan melalui pertemanan dengan sebaya yang saling pengaruh mempengaruhi. Bagi remaja penerimaan dalam pertemanan dengan saling keterikatan yang tinggi menjadi sangat penting karena bisa berbagi rasa dan pengalaman dengan teman sebaya dan kelompoknya. Keterikatan dengan teman sebaya menjadi model atau contoh bagi remaja dalam upaya pencarian identitas diri (Quiroz 2006). Hasil penelitian yang disajikan pada Lampiran 5, menyatakan bahwa kurang dari setengah contoh merasa sering beranggapan bahwa orang tuanya

14 54 khawatir dengan pergaulan dengan temannya, lebih senang curhat dengan teman, sering dihibur teman ketika sedih, merasa lebih nyaman dengan teman ketika ada masalah, menanggapi cerita teman jika menarik, sering juga meminta bantuan secara langsung, sering curhat dengan teman dan sering pula menghibur teman yang mendapatkan nilai jelek. Kurang dari setengah contoh menyatakan cukup sering pada pernyataan orang tua melarang bergaul dengan teman dengan alasan mengganggu pelajaran, cukup sering merasa kehilangan teman jika tidak masuk, meminjam uang kepada teman dan cukup sering pula teman memberikan pinjaman jika punya uang, dukungan dan hiburan dari teman. Kurang dari setengah contoh menyatakan kurang setuju pada pernyataan melakukan perbuatan tercela dengan alasan mencari pengalaman dan membutuhkan bantuan teman berupa barang dan jasa. Setengah dari contoh menyatakan tidak setuju jika harus memberitahukan orang tuanya ketika hendak bepergian setelah pulang sekolah dan kurang setuju pula jika harus menceritakan perihal teman-temannya kepada orang tua. Berdasarkan hasil yang telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa contoh tidak mudah terpengaruh atau tidak terlalu terikat oleh kelompok teman sebaya dalam melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma atau aturan yang ada. Tabel 18 menunjukkan hasil keseluruhan contoh berada pada kategori sedang dengan persentase sebesar 61.4 persen, proporsi tertinggi contoh laki-laki (71.4%) dan perempuan (51.4%) berada pada kategori sedang pula. Rata-rata skor perempuan (95.0) lebih tinggi dari laki-laki (92.8) namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hasil penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah dari Priatini (2006) dan Ruhidawati (2005) yang menyatakan teman sebaya memiliki arti penting dalam diri remaja dan keterikatan dengan kelompok teman sebaya memiliki persentase terbesar. Penelitian lain dari Rubin et al. (2010) mengatakan bahwa teman sebaya memiliki arti penting dalam pertemanan remaja. Hal ini disebabkan arti pentingnya teman sebaya dapat dilihat dari dukungan yang diberikan dalam pertemanan tanpa membedakan jenis kelamin. Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan dari Quiroz (2006) yang mengatakan bahwa pencarian identitas diri remaja diperoleh melalui pertemanan

15 55 dengan sebaya yang saling mempengaruhi tanpa membedakan jenis kelamin. Hal ini didukung oleh pernyataan Santrock (2007) yaitu semakin tinggi skor keterikatan pada teman sebaya menunjukkan adanya keterikatan yang semakin kuat juga dalam diri remaja itu sendiri. In-Box: 3 Banyak hal yang bisa dilakukan dengan teman dari pada dengan orang tua atau adik-adiknya, biasanya dengan teman akan saling curhat, berbagi cerita dan berbagi apapun yang dimilikinya (uang, makanan dan pernakpernik lainnya), tapi dengan teman pula akan saling berkompetisi untuk memperoleh yang diinginkannya Sumber: Contoh kasus nomor 04 Tabel 18: Sebaran kategori keterikatan teman sebaya contoh berdasarkan jenis kelamin Kategori Peran Teman Sebaya Jumlah Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Rendah (32 64) Sedang (65 96) Tinggi (97 128) Total Minimum Maksimum Rata-rata ± Std 92.8 ± ± ± 8.9 Uji Beda T(p) 0.15 TB Keterangan : TB = Tidak Berbeda Nyata Kecerdasan Emosional Kecerdasan Emosional Dimensi Mengenal Emosi Hasil penelitian pada Lampiran 6, menunjukkan adanya sebaran kecerdasan emosional dimensi mengenal emosi berdasarkan jenis kelamin dengan proporsi terbesar contoh (45.7% %) menyatakan sering mengetahui penyebab marah, mengungkapkan kemarahan dengan mengamuk, mengetahui penyebab kebahagiannya, cukup sering mengungkapkan kekesalan dengan mengucapkan kata-kata kasar dan cukup sering pula merasakan putus asa. Kurang dari setengah contoh (35.7% %) menjawab jarang bahkan tidak pernah pada pernyataan ketika marah mengungkapkannya dengan diam tidak bertegur sapa dan mengungkapkan kekesalannya dengan berkata halus.

16 56 Berdasarkan analisis jenis kelamin pada Lampiran 6 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kecerdasan mengenal emosi yang dilakukan oleh contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < Pernyataan kecerdasan mengenal emosi yang menunjukkan perbedaan adalah pada pernyataan sering merasakan bahagia (0.015) dengan rata-rata skor perempuan (3.5) lebih tinggi dari laki-laki (3.2). Hasil dengan skor rata- rata yang sama antara laki-laki dan perempuan adalah dalam hal mengungkapkan kebingungan menghadapi sesuatu hal yang baru (2.6), mengetahui penyebab kebahagiannya (3.4),puas dengan kemampuan intelektualnya (2.8) serta puas dengan kondisi sosial yang ada (2.9). Terdapat perbedaan skor rata-rata antara laki-laki dan perempuan yaitu perempuan lebih tinggi dari laki-laki pada pernyataan mengetahui penyebab kemarahan, mengungkapkan kekesalan dengan berkata kasar, mengetahui kebingungan terhadap sesuatu hal yang baru, mengetahui penyebab keputusasaan, sering merasa bahagia dan mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata yang halus. Sedangkan skor rata-rata laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan adalah pada pernyataan mengungkapkan kemarahan dengan diam tidak bertegur sapa dan mengungkapkan kemarahan dengan mengamuk. Pada Lampiran 11, menunjukkan fakta bahwa secara keseluruhan berdasarkan jenis kelamin diperoleh persentase perempuan (58.6%) dan laki-laki ( 74.3%) berada dalam kategori sedang. Skor rata-rata perempuan (38.2) lebih tinggi dari laki-laki (37.5) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hal ini berarti bahwa contoh lakilaki maupun perempuan memiliki kemampuan untuk mengenal emosi mereka sendiri dengan baik, perasaan senang dan sedih serta yang lainnya dapat mereka kenali penyebabnya dengan pasti. Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Davis (2004), yang mengatakan bahwa kemampuan remaja mengenal emosi berguna untuk memahami emosi diri sendiri dan mampu membedakan emosi yang satu dengan emosi yang lainnya serta memahami sebab timbulnya emosi bahkan mampu memahami akibat dari emosi tersebut. Kemampuan mengenal emosi diri selanjutnya dapat pula ditingkatkan untuk mengenal emosi orang lain dan dengan kemampuan tersebut maka remaja dapat diterima dalam lingkungannya.

17 57 In-Box : 4 Contoh mengaku mampu mengenali emosi dirinya dengan pasti, yaitu ketika dirinya merasa sedih maka yang dirasakannya adalah suatu kesedihan yang membuatkan terpuruk dan ketika dirinya merasa bahagia maka yang dirasakannya adalah perasaan yang luar biasa menggebu-gebu dan bersemangat. Sumber: Contoh kasus nomor 04 Kecerdasan Emosional Dimensi Mengelola Emosi Kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan meskipun sesaat (Goleman 2002) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh (40.7% - 45%) menyatakan jika gugup akan merasa mual, sedih akan menangis, menjawab secara garis besar jika ditegur orang tua, perlu waktu mengatasi perasaan ketika terjadi sesuatu, menahan marah dengan menghela nafas dan menjawab pertanyaan dengan detail. Kurang dari setengah contoh (30.7% - 45%) menjawab jarang merasa lemas jika gugup, mengatasi gugup dengan melakukan aktifitas lain dan tidak pernah melupakan kemarahan (Lampiran 7). Berdasarkan analisis jenis kelamin menunjukkan perbedaan pada kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < Pernyataan yang menunjukkan perbedaan adalah merasa mual jika gugup, akan menangis jika sedih, akan berteriak girang jika bahagia dan perlu waktu untuk mengatasi perasaannya ketika terjadi sesuatu. Skor rata-rata perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki adalah pada pernyataan lemas jika gugup, melakukan aktifitas lain jika gugup,

18 58 menyendiri jika marah, menangis jika sedih, berteriak girang jika bahagia, menjawab garis besar jika ditanya orang tua, perlu waktu untuk mengatasi perasaannya, menjawab dengan detail dan bersikap biasa saja jika bahagia. Persentase yang sama antara laki-laki dan perempuan diperoleh pada pernyataan tarik nafas untuk mengatasi gugup dan menghela nafas jika gugup (Lampiran 7). Pada Lampiran 11 menunjukkan fakta bahwa berdasarkan jenis kelamin diperoleh persentase kecerdasan emosional dimensi mengelola emosi pada contoh laki-laki (92.9%) dan perempuan (81.4%) dan berada pada kategori sedang. Ratarata skor perempuan (36.4) lebih tinggi dari laki-laki (33.8) serta terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hal ini berarti bahwa contoh perempuan memiliki kemampuan mengelola emosi dengan lebih baik dari pada contoh laki-laki. In-Box: 5 jika terlalu sedih contoh(perempuan) merasa butuh waktu cukup lama untuk bangkit dari kesedihan tersebut karena contoh merasa perlu untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan dalam keadaan marah Sumber: Contoh kasus nomor 02 In-Box: 6 ketika contoh (laki-laki)menyadari dirinya marah maka dicari penyebabnya dan secara sistematis akan mengolah emosinya dalam bentuk kata-kata dan tindakan yang mewakili perasaan Sumber: Contoh kasus nomor 01 Kecerdasan Emosional Dimensi Motivasi Diri Kecerdasan emosional dimensi motivasi diri adalah suatu kemampuan yang harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh menyatakan sering beranggapan bahwa semua masalah pasti akan dapat diatasi

19 59 dengan baik, belajar karena keinginan sendiri, ketika ujian maka akan belajar lebih giat lagi serta akan belajar dari pengalaman terdahulu. Kurang dari setengah contoh menyatakan sering merasa terpacu dengan teman yang berprestasi, namun pada contoh laki-laki merasa cukup sering untuk pernyataan tersebut. Kurang dari setengah contoh menyatakan cukup sering ketika menghadapi guru yang tidak menyenangkan maka akan terpecah konsentrasinya, menambah wawasan dengan membaca, menonton dan berdiskusi, mengerjakan tugas dengan senang hati dan akan mencari tahu penyebab kegagalannya, sedangkan ketika mendapat PR yang sulit, maka kurang dari setengah contoh menyatakan cukup sering berusaha mengerjakannya sendiri, tapi pada contoh laki-laki memberikan jawaban jarang (Lampiran 8). Lampiran 11 menunjukkan kenyataan berdasarkan jenis kelamin yaitu contoh laki-laki (60%) dan contoh perempuan (80%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor perempuan (33.2) lebih tinggi dari laki-laki (31.4) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada tahap α < Hal ini berarti bahwa contoh perempuan lebih memiliki kecerdasan emosional dimensi motivasi diri dibanding laki-laki. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian dari Nurani (2003) yang menyatakan bahwa contoh memiliki kecerdasan emosional dimensi motivasi diri dengan sangat baik dan contoh perempuan lebih memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dengan lebih baik karena perempuan lebih mampu mengelola emosi dirinya sehingga termotivasi juga untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Pengendalian emosi yang baik akan dapat memotivasi diri dalam melakukan sesuatu. Motivasi diri tersebut akan memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang bisa memotivasi dirinya sendiri cenderung lebih produktif dan efektif setiap mengerjakan apapun (Goleman 2002). Kecerdasan Emosional Dimensi Empati Kecerdasan emosional dimensi empati adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang

20 60 lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan sering menangis jika menonton tayangan sedih meskipun pada contoh laki-laki menyatakan tidak pernah, sering juga menunggu teman untuk menceritakan masalahnya, menjenguk teman yang sakit, sering menghormati perbedaan pendapat dalam diskusi dengan teman. Setengah dari jumlah contoh menyatakan sering memperhatikan cerita teman ketika curhat dan sering menghibur teman yang bersedih meskipun terdapat perbedaan pada laki-laki dan perempuan, karena perempuan lebih memperhatikan perasaan temannya (Lampiran 9). Lampiran 11, menunjukkan fakta pada jenis kelamin bahwa persentase tertinggi kecerdasan emosional dimensi empati pada contoh laki-laki (64.3%) berada pada kategori sedang dan contoh perempuan (74.3%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor perempuan (31.9) lebih tinggi dari laki-laki (29.2) serta terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hal ini berarti bahwa empati contoh perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Penelitian lain yang membahas mengenai hal ini adalah dari Priatini (2006) menyatakan bahwa lebih setengah contoh memiliki kemampuan empati yang baik karena menurut Goleman (2002) menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyalsinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

21 61 In-Box: 7 Contoh (perempuan) mengaku sangat berempati terhadap temantemannya karena teman-temannya juga memberikan perhatian pada diri contoh ketika contoh menghadapi masalah Sumber: Contoh kasus nomor 04 In-Box: 8 contoh (laki-laki)sangat berempati terhadap teman yang menghadapi kesulitan, menurut contoh dengan banyak teman ketika terjadi masalah akan mendapatan banyak dukungan Sumber: Contoh kasus nomor 03 Kecerdasan Emosional Dimensi Membina Hubungan Kecerdasan emosional dimensi membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berpamitan kepada orang tua jika hendak ke sekolah. Lebih dari setengah jumlah contoh mengucapkan permisi jika lewat di depan orang yang lebih tua dan mengucapkan selamat kepada teman yang berulangtahun. Kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan cukup sering memberikan bantuan pada teman yang kecelakaan dan menjadi juru damai buat teman yang berselisih. Kurang dari setengah jumlah contoh menyatakan jarang kesulitan untuk beradaptasi dengan suasana baru dan akan membuka pembicaraan dengan orang yang lebih tua meskipun pada contoh laki-laki menyebar rata jawabannya pada jarang dan cukup sering. Setengah dari jumlah contoh menyatakan tidak pernah merasa harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Lampiran 10). Berdasarkan analisis jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase tertinggi kecerdasan emosional dimensi membina huungan pada contoh perempuan (62.9%) berada pada kategori tinggi dan contoh laki-laki (51.4%)

22 62 berada pada kategori sedang. Rata-rata skor perempuan (55.1) lebih tinggi dari rata-rata skor laki-laki (53.4) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hal ini berarti bahwa kemampuan membina hubungan dengan orang lain dimiliki oleh contoh laki-laki maupun contoh perempuan meskipun skor rata-rata contoh perempuan lebih tinggi dari laki-laki (Lampiran 11). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wahyuningsih (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kecerdasan emosional membina hubungan dengan prestasi belajar siswa. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang yang populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman 2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. In-Box: 9 contoh memiliki kemampuan membina hubungan yang sangat baik dengan orang lain, baik itu dalam komunikasi dan interaksi maupun perhatian dan empati sehingga contoh banyak memiliki teman Sumber: Contoh kasus nomor 03 Kecerdasan Emosional Secara Total Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and it is expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (Goleman 2002). Pada Lampiran 11 menunjukkan kategori berdasarkan masing-masing dimensi dari kecerdasan emosional yaitu dimensi mengenal emosi, dimensi

23 63 mengelola emosi, dimensi memotivasi diri, dimensi empati dan dimensi kemampuan membina hubungan serta secara total kecerdasan emosional. Keseluruhan kecerdasan emosional pada contoh laki-laki (72.9%) berada pada kategori sedang dan contoh perempuan ( 67.1%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor perempuan (194.8) lebih tinggi dari laki-laki (185.3) serta terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan menunjukkan bahwa kecerdasan emosional anak perempuan lebih baik dibandingkan kecerdasan emosional anak laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Brudy and hall (2002) dalam Smith (2004) yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul Sexuality and Emotion. Buku tersebut menyebutkan bahwa orang tua lebih memberikan kebebasan kepada anak perempuan untuk menyampaikan dan mengungkapkan perasaannya dibanding anak laki-laki, sedangkan anak laki-laki diperlakukan dengan lebih keras agar menjadi kuat. Perilaku Bullying Secara Verbal Perilaku Bullying Bullying secara verbal merupakan perilaku berupa pemberian julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial) dan lain sebagainya. Hasil penelitian pada Lampiran 12, menyatakan bahwa setengah dari jumlah contoh menyatakan sering pada pernyataan memaki dengan kata-kata kasar dan berteriak jika marah, namun pada contoh laki-laki memberikan jawaban kadang-kadang pada pernyataan memaki dengan kata-kata kasar. Lebih dari setengah jumlah contoh memberikan jawaban kadang-kadang pada pernyataan mengumpat meskipun pada contoh perempuan lebih sering mengumpat dibanding laki-laki, memarahi, menyindir dan memanggil dengan panggilan ejekan. In-Box: 10 Contoh mengaku sudah sering kali mendapat teguran dari beberapa guru dan orang tua karena perilaku berkata kasar tersebut, namun diakuinya contoh masih saja sering melakukan hal tersebut karena dianggapnya hal itu masih lebih baik dari pada contoh harus ikut tawuran seperti remaja yang lain lakukan. Sumber: Contoh kasus nomor 01

24 64 Lampiran 16, menunjukkan bahwa persentase tertinggi perilaku bullying secara verbal pada contoh laki-laki (64.3%) dan perempuan (60%) berada pada kategori sedang. Rata-rata skor laki-laki (17.1) lebih tinggi dari perempuan (15.9) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan perilaku bullying secara verbal pada laki-laki dan perempuan. Contoh laki-laki menunjukkan perilaku bullying secara verbal lebih tinggi dari pada contoh perempuan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Nansel et al. (2001) dalam Santrock (2002) mengatakan bahwa anak laki-laki dari siswa SMP lebih mudah terpengaruh dibandingkan dengan anak perempuan. Kemungkinan anak laki-laki yang agresif akan menjadi sasaran korban bullying karena perilakunya yang menyebalkan bagi para pelaku bullying. Perilaku Bullying Secara Fisik Bullying secara fisik merupakan perilaku seperti memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar, serta menindih anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Hasil penelitian pada Lampiran 13, menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh memberikan jawaban sering pada pernyataan memukul jika marah, menantang berkelahi, memukul sebagai peringatan, menampar jika ada yang meledek dan menonjok jika ada yang sinis. Kurang dari setengah contoh menyatakan sering mendorong jika kesal dan sering membantu teman berkelahi namun pada contoh perempuan tidak sesering dibandingkan dengan contoh laki-laki pada pernyataan tersebut. Lampiran 16, menunjukkan kenyataan berdasarkan jenis kelamin bahwa persentase tertinggi perilaku bullying secara fisik pada contoh perempuan (78.6) dan laki-laki (70%) berada pada kategori tinggi. Rata-rata skor contoh perempuan (23.4) lebih tinggi dari laki-laki (22.6) dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada taraf α < Artinya bahwa perilaku bullying secara fisik dilakukan oleh contoh laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan, namun contoh perempuan lebih sering melakukan bullying secara fisik dari pada laki-laki.

25 65 Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Puspitawati (2006), Duke et al. (2010) dan Smith (2004) yang menyatakan bahwa laki-laki mendominasi kenakalan pada remaja atau laki-laki cenderung berperilaku bullying secara fisik. Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa perempuan tidak selalu menjadi pihak yang lemah dan menjadi korban, namun dengan adanya kesamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan untuk menunjukkan eksistensi diri sehingga membuat perempuan lebih percaya diri dan mampu melindungi dirinya sendiri. Salah satu bentuk pengakuan yang diharapkan dari remaja perempuan dari orang lain adalah dengan mem bully, kemudian yang di bully merasa takut atau cemas. Pendapat dari Gabor ( 1999) yang menyatakan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di negara Barat menemukan bahwa perempuan telah menjadi lebih agresif dari sebelumnya dan sudah mulai sering melakukan kejahatan lebih sering dari sebelumnya In-Box: 11 Contoh tidak merasa bahwa dirinya berperilaku kasar karena meskipun teman-temannya menganggap bahwa contoh termasuk anak yang pemarah dan cenderung suka memukul kalau marah. Contoh menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata karena bentuk perlindungan diri terhadap serangan dari luar, meskipun yang terjadi sebetulnya menurut guru maupun teman-temannya adalah karena sifat contoh yang cenderung pemarah sehingga sering kali contoh terlibat dalam pemukulan terhadap temannya. Sumber: Contoh kasus nomor 02 Perilaku Bullying Secara Sosial Bullying secara sosial atau relasional (pengabaian), digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau bahkan untuk merusak hubungan persahabatan. Bullying secara sosial adalah pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian atau penghindaran. Bullying secara sosial atau relasional mencapai puncak kekuatannya di awal masa remaja, saat terjadi perubahan-perubahan fisik, mental, emosional dan seksual, ini adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya. Hasil penelitian menunjukkan

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Tehnik Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Tehnik Pengambilan Contoh 29 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yaitu suatu penelitian yang dilakukan pada saat dan waktu tertentu. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik Remaja

HASIL. Karakteristik Remaja HASIL Karakteristik Remaja Jenis Kelamin dan Usia. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1992) kelompok usia remaja di bagi ke dalam empat kategori, yakni usia pra remaja (10-12 tahun), remaja awal (12-15

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kesuksesan (keberhasilan, keberuntungan) yang berasal dari dasar kata sukses yang berarti berhasil, beruntung (Kamus Bahasa Indonesia,1998), seringkali menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ada stereotif yang umum berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh resiko (secara psikologis),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki untuk hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari tingkat TK sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMK Negeri contoh terletak di Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri dan diresmikan pada tanggal 12 Juni 1980 dengan

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh 23 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross-sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-temannya. Jalinan

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-temannya. Jalinan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri berkaitan dengan kemampuan untuk memenuhi tuntutan lingkungan sebagaimana memenuhi kebutuhan sendiri. Keluarga sebagai lingkungan awal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

INSTRUMEN PENELITIAN PROFIL PROAKTIVITAS PESERTA DIDIK SMP PETUNJUK PENGISIAN

INSTRUMEN PENELITIAN PROFIL PROAKTIVITAS PESERTA DIDIK SMP PETUNJUK PENGISIAN INSTRUMEN PENELITIAN PROFIL PROAKTIVITAS PESERTA DIDIK SMP Identitas Diri Nama : Tanggal : Jenis Kelamin : L / P Kelas : PETUNJUK PENGISIAN Assalamu alaikum Wr.Wb. Angket ini bukan suatu tes, tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sekolah di Kota Bogor SMAN 1. Kelas Bertaraf Internasional. 12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan

METODE PENELITIAN. Sekolah di Kota Bogor SMAN 1. Kelas Bertaraf Internasional. 12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan 60 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Bogor, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Coopersmith (1967 ; dalam Sert, 2003; dalam Challenger, 2005; dalam Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA SMA CHRISTIN Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Semakin hari kita semakin dekat dengan peristiwa kekerasan khususnya bullying yang dilakukan terhadap siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional. Arikunto (2003) mengemukakan bahwa penelitian korelasional bertujuan untuk menemukan ada tidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

Lampiran 1 Cara pengukuran variabel Tujuan Hidup dan Cita-cita : Variabel ini terdiri dari 10 butir pertanyaan dengan skala likert 1-5.

Lampiran 1 Cara pengukuran variabel Tujuan Hidup dan Cita-cita : Variabel ini terdiri dari 10 butir pertanyaan dengan skala likert 1-5. LAMPIRAN 97 98 Lampiran 1 Cara pengukuran variabel Tujuan Hidup dan Cita-cita : Variabel ini terdiri dari 10 butir pertanyaan dengan skala likert 1-5. Pertanyaan berupa keinginan meneruskan ke perguruan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISI HASIL. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil seluruh Andikpas baru sebanyak 43

BAB IV ANALISI HASIL. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil seluruh Andikpas baru sebanyak 43 37 BAB IV ANALISI HASIL 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti mengambil seluruh Andikpas baru sebanyak 43 orang. Karakteristik sampel yang diambil memiliki usia kisaran 14-19 tahun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1 Pengertian Asertif Individu yang asertif menurut Sumihardja (Prabowo 2000) mempunyai pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan langsung mampu mengungkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Sebagai seorang manusia, kita memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Interaksi kita dengan orang lain akan memiliki dampak

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta 44 KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu ciri yang paling sering muncul pada remaja untuk menjalani penanganan psikologisnya adalah stres. Stres pada remaja yang duduk dibangku sekolah dapat dilanda ketika mereka

Lebih terperinci

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN 1. Kondisi dan kesan umum (ciri fisik). 2. Kondisi lingkungan rumah tempat tinggal dan lingkungan tetangga serta lingkungan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A-1 SKALA DEPRESI PADA REMAJA

LAMPIRAN A-1 SKALA DEPRESI PADA REMAJA LAMPIRAN A-1 SKALA DEPRESI PADA REMAJA A. IDENTITAS Kelas : B. PETUNJUK PENGISIAN SKALA 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian kerjakan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang berkembang dan akan selalu mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab hakikat manusia sejak terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Sejak manusia dilahirkan, manusia sudah membutuhkan kasih sayang,

Lebih terperinci

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai PEMBAHASAN Penelitian ini didasarkan pada pentingnya bagi remaja mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa sehingga dapat mengelola tanggung jawab pekerjaan dan mampu mengembangkan potensi diri dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja selalu menjadi perbincangan yang sangat menarik, orang tua sibuk memikirkan anaknya menginjak masa remaja. Berbicara tentang remaja sangat menarik karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak pernah lepas dari kehidupan emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 RINCIAN ALAT UKUR 1. Persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter orangtua

LAMPIRAN 1 RINCIAN ALAT UKUR 1. Persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter orangtua LAMPIRAN 1 RINCIAN ALAT UKUR 1. Persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter orangtua Peraturan Hukuman Kontrol Komunikasi Jadwal belajar saya di rumah, orangtua yang menentukan (+) (1) Saya merasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja sejak dahulu dianggap sebagai masa pertumbuhan yang sulit, dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun orang tua. Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

#### Selamat Mengerjakan ####

#### Selamat Mengerjakan #### Apakah Anda Mahasiswa Fak. Psikolgi Unika? Ya / Bukan (Lingkari Salah Satu) Apakah Anda tinggal di rumah kos / kontrak? Ya / Tidak (Lingkari Salah Satu) Apakah saat ini Anda memiliki pacar? Ya / Tidak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A. Analisis Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 3 Warungasem

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

Orang Tuamu T. nakmu, Tet. Ajaran dan Nasihat Tuhan.

Orang Tuamu T. nakmu, Tet. Ajaran dan Nasihat Tuhan. Hai nak-anak Anak, Taatilah Orang Tuamu T di Dalam Tuhan, Karen arena Haruslah Demikian. Hormatilah Ayahmu dan Ibumu ini Adalah Suatu Perintah yang Penting, Seperti yang Nyata dari Janji ini: Supaya Kamu

Lebih terperinci

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN A SKALA PENELITIAN A-1 Perilaku Agresif pada Anak A-2 Konformitas terhadap Teman Sebaya A-1 PERILAKU AGRESIF PADA ANAK Kelas / No. : Umur : Tanggal Pengisian : Sekolah : PETUNJUK PENGISIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan) adalah upaya penumbuhkembangan sumber daya manusia melalui proses kecerdasan interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya di antara

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya di antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana di dalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi dalam hidupnya. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus dapat melakukan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini, 2000).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional Indonesia menyatakan perlunya masyarakat melaksanakan program pembangunan nasional dalam upaya terciptanya kualitas manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki 5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional bukanlah merupakan lawan dari kecerdasan intelektual yang biasa kita kenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu mengalami perubahan

Lebih terperinci

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN. melakukan penelitian tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN. melakukan penelitian tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja Lampiran 1 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN Saya yang bernama Corah Julianti/105102061 adalah mahasiswa Program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam suatu sekolah terjadi proses belajar mengajar yang kurang menyenangkan. Salah satu bentuk kecemasan

Lebih terperinci

: PETUNJUK PENGISIAN SKALA

: PETUNJUK PENGISIAN SKALA 65 No : PETUNJUK PENGISIAN SKALA 1. Sebelum menjawab pernyataan, bacalah secara teliti 2. Pada lembar lembar berikut terdapat pernyataan yang membutuhkan tanggapan Anda. Pilihlah salah satu tanggapan yang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Uji validitas dan reliabilitas. Hasil try out Penyesuaian diri

Lampiran 1. Uji validitas dan reliabilitas. Hasil try out Penyesuaian diri Lampiran 1 Uji validitas dan reliabilitas Hasil try out Penyesuaian diri No Uji Validitas Keterangan 1 0.382 Diterima 2 0.362 Diterima 3 0.232 Ditolak 4 0.411 Diterima 5 0.317 Diterima 6 0.324 Diterima

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL. sedang melakukan penelitian mengenai kondisi para dokter muda selama bertugas di

LAMPIRAN I : KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL. sedang melakukan penelitian mengenai kondisi para dokter muda selama bertugas di LAMPIRAN I : KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL Dengan hormat, Saya, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, saat ini sedang melakukan penelitian mengenai kondisi para dokter muda selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia jumlah anak berkebutuhan khusus semakin mengalami peningkatan, beberapa tahun belakangan ini istilah anak berkebutuhan khusus semakin sering terdengar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era global yang terus berkembang menuntut manusia untuk lebih dapat beradaptasi serta bersaing antara individu satu dengan yang lain. Dengan adanya suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap negara. Di Jepang sendiri, ijime adalah sebuah fenomena sosial yang cukup serius. Yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan orang lain. Kehidupan manusia mempunyai fase yang panjang, yang di dalamnya selalu mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

IDENTITAS RESPONDEN. Umur :.

IDENTITAS RESPONDEN. Umur :. LAMPIRAN 76 IDENTITAS RESPONDEN Isilah identitas Anda dengan lengkap pada kolom yang telah disediakan untuk nama diperbolehkan menggunakan inisial/disingkat. Nama :. Umur :. A. Petunjuk Pengisian Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring kemajuan yang ada, banyak perubahan yang dirasakan dalam berbagai kehidupan saat ini. Lapangan kerja yang semakin kompetitif dan spesialis, membuat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini berjudul Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Disain penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya MEA di tahun 2016 dimana orang-orang dengan kewarganegaraan asing dapat bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori usia remaja yang tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan menjadi cerdas, terampil, dan memiliki sikap ketakwaan untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan menjadi cerdas, terampil, dan memiliki sikap ketakwaan untuk dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak adalah harapan dan merupakan aset keluarga dan bangsa, anak diharapkan menjadi cerdas, terampil, dan memiliki sikap ketakwaan untuk dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan modal dasar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini berarti bahwa kualitas sumberdaya manusia

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat

BAB V PEMBAHASAN. mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat BAB V PEMBAHASAN Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai tiga kemampuan yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku. Kemampuan kognitif merupakan respon perseptual atau kemampuan untuk berpikir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini adalah gambaran

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini adalah gambaran BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini adalah gambaran subjek secara umum. Pada penelitian ini

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka 147 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan: a. Remaja kelas XII SMA PGII 1 Bandung tahun ajaran 2009/2010

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 65 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN1) Bogor merupakan satusatunya Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di Kota Bogor yang beralamat di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Masih banyak sekolah yang menerapkan betapa pentingnya kecerdasan IQ (Intelligence Question) sebagai standar dalam kegiatan belajar mengajar. Biasanya, kegiatan belajar mengajar

Lebih terperinci

No urut responden :..(diisi oleh enumerator) Tanggal wawancara :. Enumerator :. Nama responden :. Departemen :.

No urut responden :..(diisi oleh enumerator) Tanggal wawancara :. Enumerator :. Nama responden :. Departemen :. LAMPIRAN 1 2 Lampiran 1 Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN GAYA PELATIH EMOSI AYAH IBU HUBUNGANNYA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Membahas mengenai pacaran dalam era globalisasi ini sudah tidak asing lagi. Pacaran sekarang bahkan seolah olah sudah merupakan aktifitas remaja dalam kehidupan sehari

Lebih terperinci