BAB IV. Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 39

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV. Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 39"

Transkripsi

1 BAB IV PENERAPAN DAN PELAKSANAAN KETENTUAN KONVENSI NEW YORK 1958 SEHUBUNGAN DENGAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 A. Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan Pembatalan Putusan Arbitrase Asing dalam Perkara Pertamina melawan KBC Pada dasarnya, para investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui kepatuhan terhadap kontrak atau kerjasama yang telah disepakati dan adanya kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa. 1 Bagi Negara berkembang yang bermaksud menarik investor dari Negara maju untuk berinvestasi di Negaranya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk menarik arus modal asing, antara lain: 2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat berubah dan dapat menjamin adanya kepastian hukum, karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan perencanaan usaha jangka panjang mereka. 2. Prosedur perizinan yang tidak berbelit yang dapat menyebabkan high cost economy. 1 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm Camelia Malik, Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Volume 26, (Nomor 4 Tahun 2007): 16, hlm. 16

2 3. Jaminan terhadap investasi mereka dan proteksi hukum mengenai hak atas kekayaan investor. 4. Sarana dan prasarana yang dapat menunjang terlaksananya investasi mereka dengan baik, antara lain meliputi komunikasi, transportasi atau pengangkutan, perbankan dan perasuransian. Selain itu, terdapat beberapa hal penting yang seringkali menjadi perhatian calon investor dan ditujukan agar mereka dapat meminimalisir resiko dalam berinvestasi sebelum mereka menanamkan modalnya disuatu Negara. Hal-hal yang seringkali menjadi perhatian bagi investor antara lain: 3 1. Keamanan investasi yang sering berkaitan dengan stabilitas politik suatu Negara. 2. Bahaya tindakan nasionalisasi dan berkaitan dengan ganti kerugian. 3. Penghindaran pajak berganda. 4. Masuk dan tinggalnya staf atau ahli yang diperlukan. 5. Penyelesaian sengketa. 6. Perlakuan yang sama terhadap investor asing atau tidak adanya pembedaan dari investor domestik. 7. Insentif untuk penanaman modal. 8. Transparency yaitu kejelasan mengenai peraturan perundangundangan, prosedur dan administrasi yang berlaku, serta kebijakan investasi, dan 9. Kepastian hukum, termasuk enforcement putusan-putusan pengadilan. Secara umum diketahui bahwa PMA khususnya yang berlokasi di negara berkembang sering merasa khawatir akan begitu banyak resiko. Hal ini disebabkan oleh keadaan politik, sosial, ekonomi negara-negara berkembang atau negara-negara yang kurang berkembang dimana PMA membutuhkan iklim yang 3 Ibid, hlm 17.

3 kondusif, seperti rasa aman dan tertib, serta adanya suatu kepastian atau jaminan hukum dari negara penerima modal. Kepastian hukum meliputi ketentuan peraturan perundang-undangan yang dalam banyak hal masih ada ketidakjelasan atau bahkan bertentangan dan juga mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat dikatakan merupakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Negara berkembang yang mengundang penanaman modal asing untuk membantu pertumbuhan ekonomi. 4 Kepastian hukum di satu sisi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanakan kegiatan penanaman modal asing serta bisnis dan perdagangan disuatu negara, karena pada dasarnya kepastian hukum tersebut mengandung arti konsistensi antara peraturan dan penegakan hukum yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara Negara dan masyarakat atau hubungan antara masyarakat yang bertujuan untuk membuat kehidupan masyarakat sehari-hari berjalan tertib dan tenang. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban umum, harus dikuti dengan penegakan hukum, karena dengan eksistensi dari penegakan hukum, maka kepastian akan dapat dicapai. Oleh karena itu, tugas dari hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum untuk menciptakan ketertiban umum dan keadilan di masyarakat. 5 Guna mencapai kepastian hukum tersebut, hukum dan penegakan hukum harus sejalan dan harmonis satu sama lain untuk mencegah kontradiksi dan inkonsistensi dalam menjalankan hukum dan penegakan hukum. Kepastian hukum juga berarti hukum dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, yang mana hukum dan peraturan tersebut harus jelas, sejalan, menciptakan harmonisasi dan tidak tumpang tindih atau berkontradiksi satu sama lain. Tidak adanya jaminan kepastian hukum hanya akan menyebabkan munculnya berbagai macam permasalahan yang kemudian 4 Ibid, hlm 18 5 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1981), hlm 42-43

4 akan mengakibatkan kurangnya minat pelaku usaha maupun investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sejak terjadi krisis ekonomi, sistem hukum Indonesia tidak mampu menciptakan predictability, stability, dan fairness, dimana hal ini dapat dilihat dari substansi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron, aparatur penegak hukum yang tidak mendukung perbaikan iklim investasi dan kualitas budaya hukum yang rendah. 6 Hal ini juga dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah investor yang signifikan sejak era reformasi yang disebabkan beberapa haambatan bila dibandingkan dengan jumlah investor sebelum terjadinya krisis moneter. 7 Washington Post bahkan menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa kurangnya sistem hukum yang pasti di Indonesia merupakan faktor utama mengapa investor pergi. Kurangnya kepercayaan investor membuat perginya modal asing yang sebenarnya sangat dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang belum pulih sepenuhnya akibat krisis finansial Asia tahun Disamping itu, investor asing juga sering mengeluh bahwa mereka sering dijadikan subjek tuntutan sewenang-wenang oleh pejabat pemerintah, petugas pajak, dan mitra lokal. Kasus tersebut jika diajukan ke 6 Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia: Insentif v. Pembatasan, Cet-1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008), hlm Dalam era reformasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal mengatakan bahwa ada dua hambatan yang dihadapi dalam menggerakkan investasi di Indonesia, sebagaimana telah diinventarisasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Kendala internal meliputi: (1) kesulitan perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yang sesuai; (2) kesulitan memperoleh bahan baku; (3) kesulitan dana/pembiayaan; (4) kesulitan pemasaran; dan (5) adanya sengketa atau perselisihan di antara pemegang saham. Kendala eksternal meliputi: (1) faktor lingkungan bisnis, baik nasional, regional dan global yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif atau fasilitas investasi yang diberikan pemerintah; (2) masalah hukum; (3) keamanan maupun stabilitas politik; adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsi kegiatan penanaman modal; (5) masalah perburuhan; (6) kenaikan beberapa bahan-bahan untuk sektor produksi; dan (7) harmonisasi tariff pajak. Dhaniswara K. Harjono pun menyatakan bahwa ada beberapa hambatan dalam Penanaman Modal di Indonesia, yaitu: (1) beberapa permasalahan yang mempengaruhi iklim investasi Indonesia, seperti ketidakstabilan politik, dll; (2) tidak adanya jaminan kepastian hukum dan keamanan; (3) masalah rekrutmen (hiring) and pemecatan (firing) tenaga kerja yang bersifat kompleks dan menciptakan suatu bottlenecking; (4) masalah perpajakan dan kepabeanan; (5) masalah infrastruktur; dan (6) masalah penyederhanaan sistem perizinan, didapat dari Salim HS. Dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta:Rajawali Press, 2008), hlm ; Dhaniswara K. Harjono, op.cit., hlm. 14

5 pengadilan hanya akan berdampak sedikit. Hal ini dikarenakan budaya suap yang merajalela dan standar hukum yang memihak. 8 Telah dipaparkan diatas bahwa kepastian hukum dalam hal penyelesaian sengketa merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian investor. Sehubungan dengan kepastian hukum penyelesaian sengketa, Indonesia memiliki catatan yang kurang mengesankan, dalam hal ini yaitu penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dimana dalam prakteknya, putusan arbitrase asing sangatlah sulit untuk diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa kekurangan dalam pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-Bab sebelumnya. Kekurangankekurangan dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase sejak masa kemerdekaan Indonesia. 2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah ketentuan sistem tata hukum Indonesia hanya mengakomodir ketentuan arbitrase yang sengketanya diperiksa, diselesaikan serta diputus dalam konteks hukum nasional Indonesia dan oleh Pengadilan serta Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). 3. Peraturan pelaksana yang khusus membahas tentang putusan arbitrase internasional yang diakui dan dilaksanakan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional (Konvensi New York) baru diterbitkan setelah 9 (Sembilan) tahun diratifikasinya Konvensi New York. 4. Peraturan pelaksana yang secara khusus membahas tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia masih tumpang tindih dengan hukum acara perdata yang diadopsi Indonesia semasa kemerdekaan Indonesia, yang secara nyata menolak dan tidak menerima suatu putusan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diselesaikan bukan di 8 Camelia Malik, loc.cit.

6 Indonesia. Pada akhirnya suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia tidak dapat dilaksanakan dan harus diperiksa ulang sebagai kasus baru. Kekurangan-kekurangan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase asing yang diputus oleh badan arbitrase asing menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan di Indonesia pada dasarnya dilandasi oleh adanya suatu larangan pelaksanaan putusan asing di wilayah Republik Indonesia yang muncul karena dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan dari Negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Terdapat suatu prinsip teritorialitas atau asas kedaulatan territorial (Principle of Territorial Sovereignty) yang mengisyaratkan bahwa putusan yang ditetapkan di luar negeri tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya sendiri. Agar supaya putusan luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia diperlukan adanya perjanjian (treaty, verdrag) antara Indonesia dengan Negara lain, serta adanya klausula tentang tempat putusan tersebut diambil, untuk menyatakan secara resiprositas bahwa putusan dapat dilaksanakan dalam wilayah masing-masing seperti halnya suatu putusan domestik. 9 UU 30/1999 sendiri, merupakan undang-undang yang diterbitkan Pemerintah Republik Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang memang ditujukan untuk memberikan suatu rangsangan dan dorongan terhadap kepastian hukum dalam hal penyelesaian sengketa penanaman modal kepada para investor di Indonesia. 10 Kehadiran dari UU 30/1999 memang didasari keinginan untuk membenahi hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang 9 Tineke Louise, op.cit., hlm Penyempurnaan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan perundangundangan baru untuk menjamin iklim investasi sehat dan penyempurnaan proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang efektif dan adil merupakan kebijakan yang memberikan rangsangan dan jaminan penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah yang dimaksudkan untuk mengakomodir investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sebagaimana tertulis dalam Hulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Ind-Hill Co, 2003), hlm. 17

7 sebelumnya sangat tidak bersahabat terhadap putusan arbitrase asing dan kurang dapat mengakomodir kepastian serta perlindungan hukum bagi pelaku usaha investasi serta bisnis dan dagang internasional. UU 30/1999 dalam 82 pasalnya telah secara spesifik memberikan pengaturan-pengaturan terhadap arbitrase, untuk mengakomodir kekurangan-kekurangan yang tidak diatur sebelumnya dengan mengaturnya secara lebih rinci, khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana telah diamanatkan Konvensi New York 1958 yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun Pada kenyataannya diundangkannya UU 30/1999 belum dapat memberikan angin segar, karena UU 30/1999 belum dapat memberikan suatu kepastian hukum pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. UU 30/1999 bahkan masih menyisakan beberapa pertanyaan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta yang diungkapkan Karen Mills dalam catatan pentingnya terhadap pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing di bawah UU 30/1999 yaitu, 11 since the enactment of the New Law (August, 1999) there have been sixteen foreign-rendered arbitral awards registered with the District Court of Central Jakarta, and judicial enforcement has been sought with respect only to nine of these, as at mid-february, Of these nine, exequatur was issued quite promptly for five. Four related cases were granted cassation (appeal) to the Supreme Court, and later judicial review by that court, with the final outcome still pending. Of the five awards for which exequatur was issued, a contest was lodged with respect to one, at least one award has already been satisfied through court-ordered auction of assets of the losing party and the others seem to have been satisfied voluntarily by the parties because there was no further court involvement after judicial reminders were issued to the losing parties. One award was never registered by the successful party, but the losing party subsequently deemed it necessary to register the award itself in order to seek annulment thereof, which annulment was granted by the District Court of Central Jakarta. 11 Karen Mills, Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia, op.cit., hlm. 8

8 Sebagaimana bukti statistik diatas, kurang mengakomodirnya UU 30/1999 dapat dilihat dari beberapa putusan arbitrase asing yang telah dibatalkan ataupun tidak diproses. Dimana, salah satunya ditunjukkan dengan adanya perkara yang cukup terkenal dan cukup rumit posisi kasusnya serta perkara ini dapat menambah daftar sejarah tidak efektifnya dan kurang mengakomodirnya hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Perkara tersebut adalah perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., (KBC). Perkara ini (berkorelasi dengan penjabaran dalam bab I) bermula dari adanya peristiwa dimana KBC membuat perjanjian Joint Operation Contract (JOC) dengan Pertamina dan KBC menunjuk Pertamina sebagai kontraktor untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik. KBC dan Pertamina kemudian membuat perjanjian Energy Sales Contract (ESC) dengan PLN, dimana PLN akan membeli listrik dari Pertamina yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik milik KBC yang akan dibangun oleh Pertamina. Seiring berjalannya waktu, terjadi krisis moneter di Indonesia yang membuat Internasional Monetary Fund (IMF) dimana KBC meminta kepada Pemerintah RI untuk meninjau kembali proyek-proyek pembangunan. Kemudian Pemerintah RI mengeluarkan Keppres No. 39 Tahun 1997 yang berisi antara lain tentang penundaan pelaksanaan proyek KBC. KBC meminta Pertamina dan PLN untuk melakukan lobi terhadap Pemerintah RI agar proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik dapat dilanjutkan. Tetapi hal itu tidak berhasil, kemudian Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No 5 Tahun 1998 yang isinya menegaskan bahwa proyek-proyek yang memakan biaya besar harus dihentikan. Atas dasar Keppres No. 5 Tahun 1998 Pertamina tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan dengan KBC dalam JOC dengan alasan telah berlakunya Force Majeur, kemudian KBC menuntut Pertamina dan PLN karena dianggap melanggar kontrak dan syarat Force Majeur tidak berlaku. Syarat Force Majeur hanya berlaku untuk pihak KBC dan KBC menuntut Pertamina dan PLN melalui Arbitrase karena KBC, Pertamina dan PLN terikat oleh perjanjian Arbitrase. Tuntutan KBC terhadap Pertamina dan PLN berupa ganti rugi terhadap pelanggaran kontrak berupa kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan sebesar US$ (Sembilan puluh enam Juta Dollar

9 Amerika Serikat) dan kerugian atas kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ (lima ratus dua belas juta Dollar Amerika Serikat) dan kerugian akibat diperolehnya harta yang tidak wajar dan adil (unjust enrichment) digabung dengan kerugian yang diderita KBC dengan bunga diperhitungkan KBC sejumlah US$ (lima puluh delapan juta enam ratus ribu Dollar Amerika Serikat) serta denda yang harus dibayarkan kepada KBC sejumlah US$ (enam ratus delapan ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat) atau secara alternatif sebesar US$ (lima puluh satu juta tiga ratus ribu Dollar Amerika Serikat) apabila majelis arbitrase memutuskan bahwa KBC berhak memperoleh US$ (delapan ratus tiga puluh tujuh juta Dollar Amerika Serikat). Dalam perjanjian arbitrase disepakati bahwa choice of law adalah hukum Indonesia dan arbitrase diselenggarakan di Jenewa, Swiss berdasarkan ketentuan UNCITRAL. Dalam JOC disepakati bahwa Pertamina akan menunjuk seorang arbiter dan KBC juga akan menunjuk seorang arbiter. Kemudian para arbiter yang telah ditunjuk tersebut akan menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi ketua majelis arbitrase. Setelah melalui proses penyelesaian sengketa arbitrase, majelis arbitrase memutuskan untuk menghukum Pertamina dan PLN secara tanggung renteng, untuk: a. Membayar US$ (seratus sebelas juta Dollar Amerika Serikat) untuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh KBC ditambah dengan bunga 4% pertahun. b. Membayar US$ (seratus lima puluh juta Dollar Amerika Serikat) untuk kehilangan keuntungan yang diharapkan ditambah dengan bunga 4% pertahun. c. Membayar US$ (enam puluh enam ribu Dollar Amerika Serikat untuk biaya arbitrase). Terhadap putusan arbitrase tersebut, Pertamina sangat berkeberatan dan kemudian mengajukan gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan putusan telah melanggar konvensi New York dan UU No. 30 Tahun Dalam putusannya No. 86/PN/Jkt.Pst/2001, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional,

10 UNCITRAL di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti apa yang diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis Arbitrase telah salah menafsirkan Force Majeur, sehingga semestinya Pertamina tidak dipertanggungjawabkan atas sesuatu diluar kemampuannya. Disamping itu majelis arbitrase dianggap telah melampaui kewenangannya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak. Majelis Arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono. Salah satu pertimbangan penting Pengadilan Jakarta Pusat dalam kasus ini menyatakan bahwa: dengan adanya penyebutan kata antara lain dapat ditafsirkan bahwa untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan lain, alasan lain yang dimaksud adalah alasan-alasan diluar ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase. Dalam perkembangan di tingkat Mahkamah Agung, putusan Pengadilan Negeri dibatalkan pada tingkat banding (kasasi) di Mahkamah Agung dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal V (1) e Konvensi New York, 12 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus kasus ini, mengingat putusan arbitrase yang dipersoalkan adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di Swiss. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, pertimbangan dan penerapan pasal 70 UU Arbitrase sama sekali tidak ditentang dan dikoreksi oleh Mahkamah Agung, 13 namun akhirnya, oleh Mahkamah Agung, diputuskanlah 12 Pasal V ayat 1 (e) United Nation Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbital Awards : Recognation and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is revoked, only if the party furnishes to the competent authority where the recognation and enforcement is sought, proof that: (e) the awars has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, the award was made. Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, Peran Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Arbitrase, Cet I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cet.I, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), hlm 145

11 bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk menjatuhkan putusan pembatalan tersebut. Pertamina kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, namun pada akhirnya Mahkamah Agung menyatakan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina terhadap Putusan Banding Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 PK/Pdt/2007. Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut tentang perkara ini, pertamatama mari kita melihat bahwa terdapat setidaknya tiga hukum yang terkait dengan proses arbitrase yaitu: (i) substantive law (hukum materil), hukum yang digunakan untuk memutus perkara oleh arbitrer; (ii) hukum acara (procedural law) yang mengikat bagi para arbiter dan para pihak dalam proses pemeriksaan hingga adanya putusan; (iii) hukum dari suatu Negara yang mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase (lex arbitri). 14 Selanjutnya, perlulah terminologi competent authority yang diatur dalam Konvensi New York 1958 untuk dipahami secara mendalam. Pada dasarnya, terdapat dua pengertian terhadap competent authority dibawah Konvensi New York 1958, yaitu, (i) Pengadilan dari Negara dimana putusan tersebut dibuat; (ii) Pengadilan dari Negara yang hukumnya digunakan sebagai dasar pembuatan putusan arbitrase. 15 Berdasar kepada perkara tersebut diatas, adalah benar apabila Pertamina tidak mendapatkan haknya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan oleh Badan Arbitrase Swiss. Hal ini dikarenakan, dibawah Konvensi New York dan UNCITRAL Arbitration Rules, Alasan-alasan penolakan dan pembatalan sebagaimana tercantum dalam Konvensi New York maupun UNCITRAL Model Law, seperti ketiadaan perjanjian arbitrase yang sah, pelanggaran terhadap prinsip kepatutan dan keadilan dalam berperkara (due process of law), misalnya: ketidakwajaran dalam pemilihan arbiter atau proses arbitrase, tidak adanya pemberitahuan yang patut atau pemberian kesempatan 14 Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, dalam Arbitrase Dan Mediasi, Jakarta, 08 & 09 Oktober 2002, hlm ibid, hlm

12 membela diri yang adil/berimbang, proses pemilihan arbiter yang bertentangan dengan perjanjian, arbiter yang bertindak diluar kewenangan (excess of authority) dan sengketa yang diputus tidak dapat diarbitrasekan (non arbitrable), maupun alasan pelanggaran atas ketertiban umum (public policy), sepatutnya dibuktikan oleh pihak pemohon pembatalan. Terkait juga dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada Pasal 70 UU arbitrase, pemohon pembatalan seharusnya membuktikan adanya dugaan yang sah bahwa putusan arbitrase tesebut mengandung unsur pemalsuan, tipu muslihat, atau penyembunyian fakta/dokumen. UU Arbitrase tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata dugaan ataupun kata unsur sebagaimana disebut dalam Pasal 70 tersebut. UU Arbitrase juga tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kata pemalsuan, tipu muslihat, atau penyembunyian fakta/dokumen sebagaimana yang termuat dalam Pasal 70. Mengingat UU Arbitrase belum mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh Pengadilan untu membatalkan putusan arbitrase, maka nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase dapat digali, dipahami dan diikuti. Terhadap pembatalan tersebut, Noah Rubbins mengatakan bahwa, 16 it seems eminently clear that the Indonesian Court was not the proper location in which to lodge an annulment of the Swiss Award. The Indonesian Court made two initial errors with regard to the applicability and interpretation of the New York Convention. First, while the Jakarta district court could have applied the Convention to an enforcement proceeding in Indonesia, the Convention has no place in an action to vacate an award. Second, even assuming the Convention governs annulment proceedings, the court erred in concluding that the Indonesian court is a competent authority to vacate the Swiss Award under the Convention. Pernyataan tersebut merupakan fakta yang benar, Albert Jan Van Den Berg mengatakan bahwa, telah diterima secara umum bahwa pembatalan putusan 16 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 385

13 arbitrase asing merupakan jurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Pengadilan dimana arbitrase tersebut diadakan serta berdasar kepada hukum arbitrase nasional Negara tersebut. Pengadilan di Negara anggota Konvensi New York 1958 lainnya (competent authority) hanya dapat menentukan dapat atau tidaknya putusan tersebut dilaksanakan. Terhadap dijatuhkannya pembatalan putusan arbitrase asing tersebut oleh Pengadilan country of origin adalah berdampak luas terhadap pelaksanaannya di Negara-Negara anggota lainnya. 17 Dasar dari pernyataan tersebut adalah Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York yang mengatur bahwa, 18 the award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law which, that award was made. Landasan pembatalan putusan arbitrase asing oleh Pengadilan Negeri Indonesia selain mengacu kepada ketentuan ketertiban umum, juga berlandaskan kepada Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York yang mengatur ketentuan bahwa (under the law which), the award was made, dimana hukum Indonesia digunakan sebagai lex arbitri dalam persidangan arbitrase Swiss ini. Ketentuan tersebut membuat Indonesia mengakui kompetensinya sebagai competent authority dan country of origin serta berhak atas pembatalan terhadap putusan arbitrase asing tersebut karena digunakannya hukum Indonesia sebagai lex arbitri. Perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa, pada dasarnya, Pasal V ayat 1 Konvensi ini, tidak mengatur bahwa competent authority dapat membatalkan putusan dan Pasal tersebut, Pasal V(1)(e) pada dasarnya mengacu kepada hukum acara dan bukanlah hukum materiil (substantive law) maupun lex arbitri, 19 dan definisi dari law of 17 Albert Jan Van Den Berg, Annulments of Awards in International Arbitration, dalam Richard B. Lillich dan Charles N. Brower, International Arbitration in The 21 st Century: Towards Judicialization and Uniformity?, (New York: Transational Publishers INC, 1994), loc.cit. 18 Pasal V ayat 1 (e), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) 19 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 382

14 which tersebut tetap mengaku kepada hukum Negara lain yang digunakan, tapi kompetensinya dimiliki oleh competent authorit in which the award was made. Adanya pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Indonesia tersebut melanggar ketentuan Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York. Pada dasarnya adalah benar bahwa, dalam perkara ini hukum arbitrase Indonesia digunakan sebagai lex arbitri karena digunakan sebagai choice of law untuk menyelesaikan sengketa antara Pertamina dan KBC, namun hal tersebut tidaklah membuat Indonesia menjadi country of origin karena putusan tersebut tidak dijatuhkan di Indonesia. Pengadilan Negeri Indonesia, oleh karena itu, bukanlah merupakan country of origin yang dapat membatalkan putusan arbitrase tersebut, karena tempat diselenggarakannya dan dijatuhkannya putusan dalam perkara tersebut adalah di Swiss dan bukan di Indonesia. Jadi, unsur Indonesia sebagai country of origin tidaklah dipenuhi dalam perkara ini, dan pada akhirnya, Pengadilan Negeri Indonesia tidak memiliki hak untuk membatalkan suatu putusan. Pengadilan Negeri Indonesia hanya memiliki hak sebatas menjatuhkan dapat atau tidaknya putusan arbitrase Swiss tersebut dilaksanakan di Indonesia atau tidak, karena Pengadilan Negeri Indonesia adalah competent authority dan bukan sebagai country of origin. Prof. Hikmahanto Juwana, memberikan suatu fakta bahwa pada dasarnya, banyak pihak yang kerap salah menafsirkan bahkan menyamakan antara pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase. Dimana terdapat perbedaan mendasar antara kedua konsep ini, yaitu: Dilihat dari segi istilah, pembatalan dalam bahasa inggris diistilahkan sebagai annulment atau set aside, sementara penolakan dalam bahasa inggris diistilahkan sebagai refusal. 2. Dari segi pengaturan proses dan alasan, dimana proses dan pembatalan putusan arbitrase diatur dalam peraturan perundangundangan suatu Negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian internasional. Sementara penolakan putusan arbitrase asing justru mendapat pengaturan dalam bentuk perjanjian internasional yang 20 Hikmahanto Juwana, op.cit.,

15 kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan nasional. 3. Dari segi konsekuensi hukumnya, pembatalan putusan arbitrase berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu putusan arbitrase. Terhadap putusan arbitrase asing yang dibatalkan, Pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase. Sementara penolakan putusan arbitrase asing oleh pengadilan tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan mempunyai konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase dilakukan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di Negara lain terdapat asset dari pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di Pengadilan Negara tersebut. Melihat kepada perkara diatas, pembatalan Pengadilan Negeri Indonesia terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan Badan Arbitrase Asing Swiss berdasarkan suatu landasan bahwa, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia dikarenakan tidak sesuai dengan ketertiban umum dan sendi-sendi hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Konvensi New York 1958, dan dengan diterimanya permohonan pembatalan pelaksanaan oleh Pengadilan Negeri Indonesia pun, pada dasarnya, merupakan suatu hal yang menarik. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Hikmahanto tersebut diatas, perkara ini pada dasarnya telah disalah artikan, dimana pihak Pertamina memohonkan pembatalan, dan Pengadilan pun menyalah artikan ketertiban umum sebagai landasan pembatalan putusan arbitrase asing, dimana ketertiban umum tersebut merupakan landasan penolakan putusan arbitrase asing dibawah UU 30/1999. Menanggapi pernyataan Prof. Hikmahantor tersebut, barulah terlihat dimana letak kesalahpahaman penerapan penolakan dan pembatalan oleh Pengadilan Negeri Indonesia tersebut bila kita memperhatikan dasar penolakan dan pembatalan yang diatur dalam UU 30/1999. Dasar penolakan tersebut diatur dalam Pasal 66 (c) dan landasan pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 70, UU 30/1999.

16 Sebagaimana Pasal 66 (c) mengatur bahwa: 21 Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat (c) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum Selanjutnya Pasal 70: 22 Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Selanjutnya, sehubungan dengan perkara ini, kalaupun Pengadilan Negeri Indonesia memiliki hak untuk menolak dan membatalkan putusan arbitrase asing Swiss, UU 30/1999 tidaklah mengatur secara komprehensif tentang ketentuan pembatalan putusan arbitrase asing. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa, pertama, UU arbitrase Indonesia mengatur ketertiban umum sebagai dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang kewenangan penolakannya dipegang secara penuh oleh Pengadilan Negeri Indonesia. Dalam hal ini, bila dilihat dalam ketentuan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur oleh UU arbitrase Indonesia, ketertiban umum bukanlah suatu ketentuan yang dapat melandasi pembatalan putusan arbitrase asing. Pasal 70, UU 30/ Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor Pasal 70, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

17 diatas tidaklah mengatur tentang ketertiban umum sebagai landasan pembatalan putusan arbitrase asing. Kedua, UU 30/1999 tidaklah mengatur tentang adanya permohonan yang dapat diajukan oleh pihak yang menginginkan penolakan maupun pembatalan sebagaimana diatur oleh Konvensi New York UU arbitrase Indonesia hanyalah mengakomodir ketentuan Pasal V ayat 2 Konvensi New York sebagai landasan pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan arbitrase asing di wilayah Negaranya yang kewenangannya hanya dimiliki oleh Pengadilan Negeri. Pihak yang bersengketa tidak dapat mengajukan permohonan penolakan pelaksanaan, karena UU 30/1999 tidak mengaturnya. Pertamina sehubungan dengan perkara ini pada dasarnya, memiliki beberapa kesempatan untuk memperoleh pembatalan terhadap putusan arbitrase asing tersebut, namun, Pertamina tidak memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut dengan tepat. Hal ini dibuktikan dengan: 1. Ditolaknya permohonan banding oleh Mahkamah Agung Swiss karena tidak membayar deposit. 2. Tidak mengajukan pembuktian terhadap dasar-dasar pembatalan yang diajukannya pada saat KBC mengajukan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase Swiss di Pengadilan Negeri Amerika Serikat, dimana dasar-dasar pembatalan tersebut sangatlah dijunjung tinggi dalam hukum arbitrase Amerika Serikat. Kesempatan-kesempatan tersebut dapat membantu Indonesia memperoleh pembatalan, mengingat: (i) Mahkamah Agung Swiss merupakan forum yang paling tepat, karena Swiss merupakan country of origin; (ii) Pengadilan Negeri Amerika Serikat memiliki suatu dasar pembatalan putusan arbitrase asing yang didasari: (a) dalam penjatuhan putusan tersebut terdapat unsur korupsi, penipuan dan tidak berdasar kepada Hukum; (b) pihak arbiter secara sendiri atau bersamasama (bila lebih dari satu dewan arbiter) melaksanakan tindak pidana korupsi; (c) pihak arbiter melakukan kesalahan dengan menolak penundaan persidangan atau menolak untuk mendengarkan bukti atau materi perselisihan atau kesalahan lainnya yang menyebabkan salah satu pihak dirugikan; arbiter melampaui

18 kewenangannya atau secara sengaja menjatuhkan putusan yang tidak adil, final ataupun pasti; (d) apabila putusan arbitrase telah dibatalkan sebelumnya dimana waktu yang diatur dalam perjanjian terhadap putusan arbitrase tersebut belum kadaluarsa, Pengadilan Federal dalam hal ini dapat meminta pengakuan dari arbiter; (e) Pengadilan Negeri Amerika Serikat telah membatalkan putusan arbitrase asing tersebut atas dasar permohonan salah satu pihak diluar pihak yang bersengketa dalam arbitrase yang secara tidak langsung dirugikan oleh putusan arbitrase asing tersebut. 23 Kesempatan lainnya yang sebenarnya dapat ditempuh untuk menyelesaikan perkara ini adalah dengan menyelesaikan perkara sengketa ini berdasarkan BIT (Bilateral Investment Treaty) yang telah dibentuk antara Indonesia dengan Inggris, (United Kingdom of Great Britain) yang mempersyaratkan bahwa adanya sengketa terhadap penanaman modal dapat diselesaikan dibawah International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). 24 Terhadap perkara ini, Profesor Hikmahanto Juwana memberikan komentar lanjutan sehubungan dengan pendirian majelis hakim untuk menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang melakukan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, antara lain: Dasar hukum yang dirujuk oleh majelis hakim untuk menyatakan dirinya berwenang melakukan pembatalan. Dimana Majelis hakim kerap merujuk kepada Konvensi New York 1958 sebagai alasan kewenangan PN Jakarta Pusat melakukan pembatalan. Padahal Konvensi New York 1958 tidak mengatur masalah pembatalan, 23 United States Code 10, United States Federal Arbitration Act 24 Pasal 7, Agreement Between The Government of The Republic Of Indonesia And The Government of The United Kingdom of Great Britain And Nothern Ireland For The Promotion And Protection of Investments Hikmahanto Juwana, op.cit., hlm

19 melainkan mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase. Kalaupun ada ketentuan tentang pembatalan putusan arbitrase, Konvensi New York 1958 membicarakan dalam konteks pengadilan yang diminta untuk melakukan eksekusi dapat menolaknya atas dasar adanya proses pembatalan putusan arbitrase sebagai competent authority. 2. Penafsiran Majelis Hakim terhadap putusan arbitrase yang dibatalkan oleh pengadilan Indonesia. Pengaturan pembatalan putusan arbitrase dalam UU 30/1999 seharusnya ditafsirkan sebagai lex arbitri yang mengatur proses dari pemeriksaan hingga pelaksanaan. Namun karena di UU 30/1999 tidak jelas pengaturan pasal 70, apakah pembatalan tersebut berlaku untuk putusan arbitrase asing atau tidak, serta dalam prakteknya lex arbitri hanyalah mengatur dalam konteks pelaksanaan putusan arbitrase tersebut dan tidak mengatur konteks pembatalan putusan. 3. Dibenarkannya tindakan Pertamina oleh majelis hakim sebagai pihak yang kalah untuk mendaftarkan pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa. Prof. Hikmahanto Juwana memberikan suatu komentar terhadap berdasarkan logika apakah bisa diterima bahwa pihak yang dikalahkan secara sukarela melakukan pendaftaran putusan arbitrase asing untuk dilaksanakan di Indonesia. 4. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidaklah memberikan amar putusan yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh para pihak setelah putusan arbitrase Jenewa tersebut dibatalkan. Dalam perkara ini, Pertamina, Pengadilan Negeri Indonesia dan UU 30/1999 tidaklah menjunjung tinggi Konvensi New York 1958 dimana Indonesia sendiri merupakan Negara anggota Konvensi tersebut. Adanya upaya pembatalan putusan yang dilakukan oleh Pertamina dan Pengadilan Negeri Indonesia tidaklah mencerminkan wujud keterikatan Indonesia yang pada dasarnya menjunjung tinggi final dan mengikatnya putusan arbitrase asing yang diputus oleh Badan Arbitrase Negara lain. Pertamina juga tidak menjunjung tinggi pelaksanaan

20 putusan arbitrase asing tersebut dengan mengajukan beberapa pengajuan banding yang mengindikasikan keberatan pelaksanaan putusan dan bahkan mengajukan permohonan pembatalan di Negara-Negara lain (forum shopping). Pertamina sudah seharusnya berhenti memohon pembatalan putusan dan banding terhadap pelaksanaan putusan tersebut setelah dijatuhkan putusan pelaksanaannya oleh Pengadilan Negeri Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan UU arbitrase Amerika Serikat menganut doktrin anti-suit injunction untuk menjaga litigasi internasional, mencegah adanya forum shopping yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mencegah terjadinya kerugian lebih lanjut yang akan dialami oleh pihak yang mengajukan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase. 26 Hal ini dikarenakan putusan tentang pelaksanaan putusan arbitrase asing oleh suatu Negara merupakan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap, 27 dan sangat dihormati esensi putusannya. Terlebih lagi, dengan adanya permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina kepada Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 2007 dalam perkara ini, 28 serta dengan diprosesnya Peninjauan Kembali tersebut oleh Mahkamah Agung, secara tidak lanjut, telah telah menyalahi Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 karena UU 30/1999 tidak mengatur ketentuan Peninjauan Kembali. Dalam hal ini, dasar hukum diprosesnya Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung adalah, yaitu Pasal 16, UU 4/ Daniel S. Tan, Enforcing International Arbitration Agreements in Federal Courts: Rethinking the Court's Remedial Powers, Virginia Journal of International Law, Vol. 47, Spring 2007, didapat dari diakses pada 4 Januari 2011, 12:27 WIB 27 Keren Tweeddale, op.cit., hlm Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 tentang Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), 9 September 2008, didapat dari www. go.id/putusan/ b4ed 5c05212ca1aa874fc609, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB

21 yang mengatur bahwa, 29 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dalam hal ini, Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan yang sama dengan Pengadilan Negeri, Pertamina dan UU 30/1999 itu sendiri, dimana Mahkamah Agung tidak menjunjung tinggi esensi hukum arbitrase internasional. Tidak komprehensifnya serta tidak mengakomodirnya kepastian hukum dalam pengaturan UU arbitrasenya, tidak berkompetennya perangkat hukumnya dalam melaksanakan UU arbitrase Negaranya sendiri dengan baik dan benar membuat kondisi-kondisi pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia sangatlah memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan Negara yang meratifikasi Kovensi New York. B. UU 30 Tahun 1999 Tidak Menerapkan Secara Utuh Pasal V Konvensi New York 1958 Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa, putusan arbitrase dibawah Konvensi New York 1958 adalah final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan pihak Negara anggota Konvensi tersebut telah memberikan suatu pengakuan terhadap final dan mengikatnya putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing yang berada didalam wilayah Negara anggota Konvensi New York lainnya. 30 Fakta tersebut kemudian, membuat para pihak yang bersengketa memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri, dimana, Pihak yang dimenangkan dalam putusan arbitrase akan memohon pelaksanaan putusan kepada Pengadilan wilayah Negara Anggota lainnya agar putusan tersebut dapat menimbulkan kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak khususnya pihak yang tidak dimenangkan, sedangkan di satu sisi, pihak yang 29 Pasal 16, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 8, TLN Nomor Pasal III, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention)

22 tidak dimenangkan tersebut akan melakukan berbagai cara agar putusan arbitrase yang mewajibkan dia melakukan kewajiban hukum tidak dapat dilaksanakan dan bila perlu, dibatalkan. Mengacu pada ketentuan Konvensi New York 1958, pada dasarnya, dalam Pasal V, telah secara jelas ditetapkan dan diatur landasan-landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara anggotanya yang mengatur bahwa: Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, berdasarkan permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (competent authority) dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dimintakan/dimohonkan dengan alasan-alasan: a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase, yang disebut sebagai incapacity atau onbevoegd. Ketidakwenangan tersebut mungkin oleh karena salah satu pihak masih dibawah umur. Atau salah satu pihak berada dibawah kuratela. Atau menurut hukum yang berlaku pada Negara tempat mana permohonan eksekusi diminta dianggap tidak berwenang untuk membuat perjanjian. b. Salah satu pihak tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya. c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan penegasan yang diberikan, putusan yang dimohon eksekusinya tidak sesuai dengan penegasan yang dilimpahkan, atau putusan menyimpang dari pokok sengketa yang diperjanjikan. d. Pengangkatan arbiter atau prosedur persidangan arbitrase menyimpang dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang bersengketa atau gagal dalam perjanjian tersebut dan tidak sesuai dengan hukum nasional dari Negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan. e. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara mana putusan tersebut diajukan. 31 Pasal V, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention)

23 2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat pula ditolak apabila Pejabat yang berwenang dalam suatu Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan menemukan bahwa: a. Masalah yang disengketakan menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan diajukan, tidak boleh diselesaikan melalui forum arbitrase. b. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan ketertiban umum. Berdasarkan kepada pengaturan diatas, dapatlah dilihat bahwa, Konvensi New York mengatur dua macam penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yaitu, penolakan yang didasari oleh adanya permohonan penolakan yang diajukan oleh salah satu pihak dan penolakan yang diberikan secara khusus kepada kewenangan Pengadilan Nasional berdasarkan pelaksanaan putusan yang tidak sesuai dengan hukum Negara tersebut, serta adanya ketertiban umum yang akan dilanggar dengan pelaksanaan putusan tersebut. 32 Terhadap penolakan yang diajukan oleh salah satu pihak yang keberatan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Konvensi telah mengakomodir hak dari pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan arbitrase untuk dapat mengajukan keberatan dalam bentuk penolakan pelaksanaan putusan arbitrase dalam Pasal V ayat 1-nya. Sesuai dengan ketentuan tersebut, perlu untuk digarisbawahi bahwa, adanya permohonan penolakan terhadap suatu putusan arbitrase asing haruslah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal V ayat 1 tersebut, dimana, penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase tersebut harus memenuhi unsur pembuktian yang mendukung alasan yang diajukan tersebut. 33 Sehubungan dengan penolakan yang diatur oleh Konvensi New York, di bawah UU arbitrase Indonesia, yaitu UU 30/1999, suatu putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan berdasarkan tiga hal yaitu: 32 Albert Jan Van Den Berg, The New York Convention of 1958: An Overview, op.cit., hlm Noah Rubbins, op.cit., hlm. 386; Susan Choi, op.cit., hlm. 189

24 1. Putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan bukan berasal dari badan arbitrase di Negara anggota Konvensi New York. Merupakan persyaratan dan kesepakatan awal ratifikasi Konvensi New York 1958 yang harus dipenuhi oleh Negara anggotanya. 2. Putusan arbitrase internasional bukan merupakan sengketa dagang internasional. Serupa dengan poin pertama, ini merupakan suatu persyaratan dan kesepakatan awal yang harus dipenuhi dibawah Konvensi New York Untuk suatu putusan arbitrase dapat diakui dan dilaksanakan oleh suatu Pengadilan Nasional Negara yang dimohonkan pelaksanaannya memang harus berupa sengketa dagang. 34 Ketentuan Pasal ini tidaklah bertentangan dengan ketentuan Konvensi New York 1958 dan telah dipertegas dalam Lampiran Perpres 34/1981 yang mengatur bahwa, pelaksanaan penerapan Konvensi hanya terbatas mengenai perselisihan yang timbul secara sah dari perjanjian yang berkenaan dengan bidang Hukum Perdagangan menurut Hukum Dagang Indonesia. 35 Pasal 66 UU 30/1999 juga telah mengatur bahwa perniagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan intelektual termasuk kedalam unsur Hukum Dagang Indonesia Putusan bertentangan dengan ketertiban umum. Poin ini yang mengatur tentang ketertiban umum yang terdapat dalam Pasal 66 (c) UU 30/1999. UU 30/1999 akan tetapi, hanya 34 Pasal I (c), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) 35 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm Penjelasan Pasal 66 (b), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

25 memberikan suatu pembatasan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak bertentangan terhadap ketertiban umum, dimana, definisi terhadap terminologi ketertiban umum itu sendiri tidaklah diberikan oleh UU 30/ Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya serta mengacu kepada perkara Pertamina melawan KBC, UU 30/1999 tidaklah komprehensif dalam pengaturan arbitrasenya dan salah satunya dibuktikan dengan melihat kepada ketentuan diatas, dimana UU arbitrase Indonesia hanya menerapkan sebagian dari ketentuan Pasal V Konvensi New York UU arbitrase Indonesia hanya mengenal ketertiban umum sebagai landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di dalam wilayah Negara Republik Indonesia (karena dua poin sebelumnya sudah merupakan persyaratan dan kesepakatan yang diatur dalam ratifikasi Konvensi New York 1958) dan pada kenyataannya, definisi terhadapnya pun tidak diatur dalam UU ini. Tidak diaturnya definisi tentang ketertiban umum dibawah UU 30/1999 berbeda dengan Perma 1/1990 yang secara khusus telah mengatur definisinya dalam Pasal 4 (2)-nya yang mengatur bahwa, 38 Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum). Ketertiban umum sebagaimana diartikan dalam Perma 1/1990 ini kemudian, secara umum telah diterima sebagai definisi universal oleh masyarakat hukum Indonesia, walaupun, UU 30/1999 tidak mengatur didalamnya. 37 Pasal 66 (c), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor Pasal 4 (2), Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak komprehensifnya ketentuan-ketentuan pengakuan

Lebih terperinci

PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST)

PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST) PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST) Astri Maretta astrimaretta92@gmail.com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut: tahap pertama Pemohon mengajukan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai BAB IV PENUTUP Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) G. Prosedur Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena

Lebih terperinci

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *) Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *) Ketentuan ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH DAN PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kegiatan bisnis yang terjadi saat ini tidak dapat dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian saja, tetapi juga

Lebih terperinci

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM HPI 1 PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV By Malahayati, SH, LLM TOPIK 2 PEMAKAIAN HUKUM ASING PELAKSANAAN PUTUSAN PUTUSAN PAILIT PUTUSAN ARBITRASE ICC 3 International Chamber of Commerce, Paris;

Lebih terperinci

PENGGUNAAN SYARAT KETERTIBAN SEBAGAI DASAR PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas Company)

PENGGUNAAN SYARAT KETERTIBAN SEBAGAI DASAR PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas Company) 109 PENGGUNAAN SYARAT KETERTIBAN SEBAGAI DASAR PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas Company) Diangsa Wagian * Fakultas Hukum Universitas Mataram

Lebih terperinci

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini: NAMA: Catherine Claudia NIM: 2011-0500-256 PELAKSANAAN KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE KOMERSIAL NTERNASIONAL MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion

Lebih terperinci

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Oleh: Anastasia Maria Prima Nahak I Ketut Keneng Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih arbitrase internasional daripada arbitrase nasional sebagai pilihan forum penyelesaian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID Oleh : Aldo Rico Geraldi Ni Luh Gede Astariyani Dosen Bagian Hukum Tata Negara ABSTRACT This writing aims to explain the procedure

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja SENGKETA KOMPETENSI ANTARA SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) DENGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN DALAM PENYELESAIAN KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORKS PLC BESERTA AFILIASINYA DAN LIPPO

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase I. PEMOHON Zainal Abidinsyah Siregar. Kuasa Hukum: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase Ade Kurniawan, SH., Heru Widodo, SH., MH., dkk, advokat/ penasehat hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Hendra, Widjaja, Rusli: Kewenangan PN Jakarta Pusat dalam Kaitannya Dengan

Hendra, Widjaja, Rusli: Kewenangan PN Jakarta Pusat dalam Kaitannya Dengan Hendra, Widjaja, Rusli: Kewenangan PN Jakarta Pusat dalam Kaitannya Dengan KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DITINJAU DARI KASUS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA PERATURAN BANI TENTANG PERATURAN BIAYA-BIAYA LAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA [Cetakan ke-1, 2016] DAFTAR ISI PERATURAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA NOMOR: PER-05/BANI/09/2016

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum dan Peradilan Niaga SHPDT1210 2 VI Marnia Rani Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi Mata kuliah Hukum dan

Lebih terperinci

HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh : Melya Sarah Yoseva I Ketut Westra A.A Sri Indrawati Hukum Bisnis

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam

BAB I PENDAHULUAN. melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembahasan dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara

Lebih terperinci

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut: DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Perhatikan desain-desain handphone berikut: 1 1. Pengertian Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang SIRKUIT TERPADU (integrated

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional, Cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993).

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional, Cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993). DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional, Cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993). Alan Redfern and Martin Hunter. Law and Practice of International Commercial Arbitration,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Oleh: Hengki M. Sibuea, S.H., C.L.A. apple I. Pendahuluan Arbitrase, berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 92 Penyelesaian sengketa..., Erika, FH UI, Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA. 92 Penyelesaian sengketa..., Erika, FH UI, Universitas Indonesia DAFTAR PUSTAKA Akankah Pertambangan Membaik. . 28 Juni 2007. Anisah, Siti. Implementasi TRIMs Dalam Hukum Investasi Indonesia, Jurnal

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undangundang tentang

Lebih terperinci

Oleh: Hengki M. Sibuea *

Oleh: Hengki M. Sibuea * Perbandingan Efektivitas Penyelesaian Sengketa Komersial Melalui Pengadilan dan Arbitrase, Ditinjau dari Jangka Waktu, Pasca Diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Sebagaiman telah dikemukakan di awal, bahwa lembaga arbitrase adalah forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan dan ketidakpuasan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman yang sering disebut dengan globalisasi, kini telah membawa dampak yang luar biasa dalam segala bidang kehidupan. Salah satunya adalah kemajuan di

Lebih terperinci

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997)

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 6/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS DEMOKRATIK SRI LANKA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL Oleh : I Nyoman Sudiawan I Gusti Ayu Agung Ariani Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam bidang ekonomi dan semakin hiterogennya pihak yang terlibat dalam lapangan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2 PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional dewasa ini merupakan kebutuhan dari setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam mengadakan perubahan-perubahan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini Indonesia akan menghadapi ASEAN Free Trade Area atau (AFTA) yang akan aktif pada tahun 2015 1. Masyarakat dikawasan ASEAN khususnya di Indonesia mau tidak

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999 Dalam Perkara Keberatan Terhadap Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Fenomena proses penegakan hukum di Indonesia Dibentuknya berbagai Komisi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING BERKAITAN DENGAN ASAS KETERTIBAN UMUM DI INDONESIA MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING BERKAITAN DENGAN ASAS KETERTIBAN UMUM DI INDONESIA MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING BERKAITAN DENGAN ASAS KETERTIBAN UMUM DI INDONESIA MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 (Farrah Ratna Listya, 07 140 189, Fakultas Hukum, Universitas Andalas, 77 Halaman)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia No.92, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Republik Rakyat Tiongkok. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 135-151. PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ROLE OF COURTS IN THE IMPLEMENTATION OF THE DECISIONS OF INTERNATIONAL ARBITRATION

Lebih terperinci

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 101 kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci