Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul"

Transkripsi

1 Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Oleh: Hengki M. Sibuea, S.H., C.L.A. apple I. Pendahuluan Arbitrase, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya akan disebut dengan UU Arbitrase dan APS ), adalah merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sementara itu, perjanjian arbitrase sendiri, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase dan APS, merupakan suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Berdasarkan pengamatan penulis, para pelaku bisnis, baik pelaku bisnis nasional maupun pelaku bisnis internasional, memiliki kecenderungan untuk memilih forum arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi dikemudian hari. Kecenderungan para pelaku bisnis ini tidak terlepas dari pertimbangan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan, sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang sudah lama dikenal dan digunakan, seringkali memunculkan permasalahan yang diantaranya adalah: (i) lamanya proses beracara di persidangan perkara perdata; (ii) panjang dan lamanya tahap penyelesaian sengketa dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung; (iii) lama dan panjangnya proses penyelesaian melalui pengadilan membawa akibat pada tingginya biaya penyelesaian sengketa; (iv) persidangan dilakukan secara terbuka, padahal di sisi lain kerahasiaan merupakan sesuatu yang diutamakan dalam kegiatan bisnis; (v) hakim yang memeriksa sengketa bisnis tersebut seringkali diperiksa oleh hakim yang kurang menguasai substansi yang berkaitan dengan sengketa bisnis yang bersangkutan; dan (vi) adanya citra dunia peradilan yang tidak begitu baik. Para pelaku bisnis yang memilih forum arbitrase ini, harus telah sepakat dan menyetujui secara tertulis perjanjian arbitrase yang intinya para pihak sepakat memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan segala perselisihan yang terjadi ataupun yang akan terjadi di antara mereka. Adapun alasan para pelaku bisnis ini memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya, diantranya adalah: (1) para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri dan arbiter tersebut sama sekali tidak mewakili pihak atau menjadi konsultan bagi yang memilih; (2) proses pemeriksaan sengketa, oleh arbiter atau majelis arbitrase, dilaksanakan secara konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin kerahasiaan dari publisitas yang tidak dikehendaki oleh para pihak; (3) putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak, apple Hengki M. Sibuea, Founder dan Senior Partner pada Kantor Hukum HENGKI SIBUEA & PARTNERS, sekarang sedang menyelesaikan Program Magister Hukum Bisnis pada Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Jakarta. 1 Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase

2 merupakan putusan yang mempunyai sifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa; (4) tata cara pemeriksaan sengketa cepat, tidak mahal serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses di pengadilan. Hal ini sebagai konsekwensi dari sifat putusan arbitrase yang final dan mengikat; (5) tata cara pemeriksaan sengketa di forum arbitrase lebih informal dari tata cara pemeriksaan sengketa di forum pengadilan; (6) pemeriksaan sengketa melalui forum arbitrase memberi kesempatan yang luas bagi para pihak untuk meneruskan hubungan bisnis dikemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi para pengusaha asing, diciptakannya tata cara penyelesaian sengketa komersial secara damai (arbitrase), menurut Priyatna Abdurrasyid 1, adalah merupakan akibat dari hal-hal sebagai berikut: (1) para pihak (asing) ragu untuk mengajukan sengketanya di peradilan nasional pihak lawan sengketa; (2) kekhawatiran selalu saja ada, apalagi kalau lawan sengketanya itu merupakan lembaga atau perorangan warga negara tersebut, bahwa peradilan negara yang bersangkutan tidak atau setidak-tidaknya akan terpengaruh oleh penguasaannya dan bersikap tidak independen (melalui permainan dana khusus; itulah sebabnya kini menjadi rahasia umum di lingkup nasional maupun internasional bahwa putusan pengadilan di Indonesia banyak ketergantungan kepada penawar tertinggi ); (3) pihak asing kurang memahami tata cara/prosedur pengadilan negara tersebut dan merasa berada dalam posisi yang kurang menguntungkan; (4) Peradilan negara menggunakan bahasa nasional yang tidak dimengerti oleh pihak asing tersebut (lain lagi pada sidang arbitrase yang boleh menggunakan bahasa asing yang dikuasai atau bahasa yang diterima dan dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa); (5) eksekusi putusan arbitrase pada umumnya lebih terjamin dengan telah berlakunya United Nations Convention on the Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 dan yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara termasuk negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Terkait dengan judul tulisan ini, dalam Pasal 30 UU Arbitrase dan APS disebutkan bahwa: Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Bergabungnya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan sengketa dalam perkara perdata, dapat terjadi karena atas inisiatif sendiri, dapat juga karena ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut menanggung dalam pemeriksaan sengketa perkara perdata tersebut. Sehubungan dengan turut sertanya dan bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, UU Arbitrase dan APS tidak menjelaskan secara lebih jauh mengenai jenis turut serta atau bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Begitu juga dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia Yang Diperbarui: S.: 1848 No. 16, S No. 44) dan Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg. atau 1 Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolution ADR/Arbitration) Suatu Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, hlm. 6 volume 21, Oktober November 2002.

3 Reglemen Daerah Seberang: S No. 227) yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, tidak mengatur mengenai bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Mengacu pada Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan 2, terdapat 3 (tiga) jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara, yaitu: pertama, voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau Tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi permohonan voeging yang diajukan oleh pihak ketiga tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut. Kedua, intervensi (tussenkomst) yaitu ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi. Apabila permohonan intervensi (tussenkomst) ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan gugatan intervensi ke dalam perkara pokok. Ketiga, vrijwaring yaitu penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat tersebut. Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut. Dalam Reglement Recht Vordering (RV) disebutkan terdapat dua macam bentuk intervensi yaitu: (1) Intervensi yang merupakan inisiatif sendiri dari pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara perdata, yaitu: a) voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata untuk membela salah satu pihak yaitu penggugat atau tergugat (Pasal 279 RV); dan b) tussenkomst, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata, akan tetapi tidak memihak salah satu 2 Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan, Buku II, Edisi 2007, hlm , Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2009.

4 pihak baik penggugat atau tergugat tetapi demi membela kepentingannya sendiri (Pasal 282 RV). (2) Intervensi yang terjadi karena adanya pihak ketiga yang ditarik masuk oleh salah satu pihak yang berperkara yaitu Vrijwaring, atau penjaminan, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam pemeriksaan sengketa perdata karena ditarik oleh salah satu pihak untuk ikut menanggungnya. Vrijwaring diatur dalam Pasal 70 RV sampai dengan Pasal 76 RV. Mengacu pada 3 (tiga) jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses perkara sebagaimana yang penulis uraikan diatas, dan dihubungkan dengan bunyi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 30 UU Arbitrase dan APS yang menyebutkan Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan, maka penulis menyimpulkan bahwa jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah jenis intervensi (tussenkomst), dikarenakan ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara tersebut adalah atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Prosedur atau tata cara dalam intervensi yang tidak memihak salah satu pihak ini, yang dalam hukum disebut dengan tussenkomst, dapat mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Negeri, untuk melawan penggugat dan tergugat 3. Kehadiran tussenkomst dari pihak ketiga ini, Ketua Pengadilan dan Majelis Hakim yang memeriksa atau mengadili akan menetapkan apakah gugatan untuk ikut serta pihak ketiga tersebut dapat diterima atau ditolak. Jika diterima maka pihak ketiga dilibatkan dalam proses pemeriksaan sengketa perdata yang sedang berlangsung 4. Manfaat dari tussenkomst itu sendiri adalah agar proses pemeriksaan sengketa perdata tersebut berjalan lebih mudah dan juga untuk menghindari kemungkinan adanya putusanputusan yang saling bertentangan 5. Selanjutnya, persyaratan agar pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, haruslah disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Oleh karena itu penulis dapat menyimpulkan bahwa kesepakatan para pihak yang bersengketa dan persetujuan dari arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan, mengenai turut sertanya dan bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, haruslah satu kesatuan atau harus dipenuhi secara kumulatif. II. Permasalahan Berdasarkan uraian yang penulis sampaikan di atas, maka timbul pertanyaanpertanyaan yang menggelitik intelektualitas penulis mengenai: 1. Apakah dengan para pihak yang bersengketa sepakat dan arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan menyetujui pihak ketiga 3 Mertokusumo, S Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta. 4 Kalo, S Reformasi Peraturan dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jurnal Hukum Bisnis 24(1). 5 Harahap, Y Segi- Segi Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita. Jakarta.

5 dapat turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, maka proses pemeriksaan akan diulang sebelum arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan memberikan putusan atas sengketa? 2. Pada tahap apa pihak ketiga dapat bergabung atau turut serta dalam proses penyelesaian sengketa melalu arbitrase tersebut? 3. Bagaimana implikasi dari turut sertanya dan bargabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut terhadap prinsip kerahasiaan yang dianut oleh arbitrase dalam penyelesaian sengketa? III. Pembahasan Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 30 UU Arbitrase dan APS yang menyebutkan bahwa Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan, maka penulis telah menyimpulkan bahwa jenis bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah jenis intervensi (tussenkomst), dikarenakan ikut sertanya dan bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian perkara tersebut adalah atas alasan adanya kepentingan pihak ketiga yang terganggu. Persyaratan agar pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut haruslah, secara kumulatif, disepakati oleh para pihak yang bersengketa dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Proses pemeriksaan sengketa melalui arbitrase telah diatur secara jelas di dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, dimulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 51. Melalui Bab IV tersebut, para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui forum arbitrase diberikan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat termasuk mengajukan tuntutan, jawaban, pembuktian melalui dokumen, saksi dan ahli untuk menguatkan argumen-argumen para pihak sehubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa oleh arbiter atau majelis arbitrase. Sehubungan dengan proses pemeriksaan sengketa tersebut, apabila, ternyata, ada pihak ketiga diluar dari perjanjian arbitrase mengetahui ada kepentingannya yang terganggu sebagai akibat dari sengketa pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian arbitrase, maka pihak ketiga tersebut dapat bergabung dan turut serta dalam proses penyelesaian sengketa tersebut untuk membela atau mempertahankan kepentingannya. Bergabungnya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah jenis intervensi (tussenkomst), yang artinya pihak ketiga tersebut bergabung bukan untuk membela pihak tergugat maupun pihak penggugat, akan tetapi semata-mata untuk mempertahankan dan membela kepentingannya yang terganggu akibat sengketa yang terjadi antara pihak penggugat dan pihak tergugat. Artinya pihak ketiga ini berdiri sendiri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut. Agar pihak ketiga dapat turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, permohonan pihak ketiga tersebut haruslah

6 disepakati oleh pihak penggugat dan pihak tergugat serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Setelah pihak penggugat dan pihak tergugat sepakat dan arbiter atau majelis arbitrase menyetujui pihak ketiga tersebut bergabung dalam proses penyelesaian sengketa, maka, sesuai dengan prinsip intervensi (tussenkomst), arbiter atau majelis arbitrase memutuskannya melalui putusan sela dan hal ini dicatat dalam Berita Acara Persidangan. Berdasarkan pada putusan sela tersebut, selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan gugatan intervensi ke dalam perkara pokok. Dengan disepakatinya dan disetujuinya pihak ketiga bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, maka, menurut penulis, berlakulah semua ketentuan yang tercantum di dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase tersebut yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak dalam mengemukakan pendapat termasuk mengajukan tuntutan, jawaban, pembuktian melalui dokumen, saksi dan ahli untuk menguatkan argumen-argumen para pihak sehubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa oleh arbiter atau majelis arbitrase. Artinya, apabila misalnya: ternyata proses penyelesaian sengketa antara penggugat dan tergugat tersebut akan memasuki tahap putusan, dengan diijinkannya pihak ketiga bergabung dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, maka arbiter atau majelis arbitrase harus memberikan kesempatan kepada pihak penggugat dan pihak tergugat untuk menanggapi hal-hal yang dikemukakan oleh pihak ketiga tersebut. Dan untuk mempertahankan kepentingannya dan/atau argumen-argumen yang disampaikan oleh pihak ketiga tersebut, arbiter atau majelis arbitrase wajib memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk membuktikannya baik melalui bukti dokumen, saksi-saksi dan ahli. Selanjutnya untuk menguatkan tanggapan-tanggapan yang diajukan penggugat dan tergugat, serta untuk membantah pembuktian dari pihak ketiga tersebut, maka arbiter atau majelis arbitrase juga wajib memberikan kesempatan kepada pihak penggugat dan tergugat untuk membuktikannya melalui dokumen, saksi-saksi dan ahli. Berdasarkan hal tersebut maka penulis dapat mengatakan bahwa pihak ketiga yang mempunyai kepentingan, kapan saja sebelum arbiter atau majelis arbitrase memberikan putusan atas sengketa yang sedang diperiksa, dapat bergabung atau turut serta dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut dengan ketentuan telah disepakati oleh pihak penggugat dan tergugat serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase. Apabila pihak ketiga yang berkepentingan tidak mengetahui akan adanya proses pemeriksaan sengketa perkara perdata yang bersangkutan, sehingga pihak ketiga tersebut tidak mengajukan intervensi atau tidak bergabung dalam proses pemeriksaan perkara perdata yang bersangkutan, maka pihak ketiga tersebut masih dapat mempertahankan kepentingannya dalam suatu proses tersendiri. Namun akan lebih mudah dan akan dapat dihindari putusan-putusan yang saling bertentangan, apabila pihak ketiga tersebut langsung bergabung dan ikut serta dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, artinya seorang dapat mempertahankan hak-haknya atau membela kepentingannya lewat Pengadilan Negeri melalui proses yang berdiri sendiri, akan tetapi bila ia masuk dalam intervensi sebagai pihak ketiga, proses penyelesaiannya akan lebih mudah karena perkara yang disidangkan sama dan dapat menghindarkan putusan (penyelesaian) yang tidak sesuai dengan keinginannya bila ia

7 memilih membela hak-haknya atau membela kepentingannya dengan cara tersendiri dan yang jelas akan dapat menghemat biaya 6. Proses yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak dalam mengemukakan pendapat termasuk mengajukan tuntutan, jawaban, pembuktian melalui dokumen, saksi dan ahli untuk menguatkan argumen-argumen para pihak sehubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut sejalan dengan yang digariskan oleh asas audi alteram partem yang menyebutkan bahwa pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang. Pengadilan atau majelis yang memimpin pemeriksaan persidangan, wajib memberikan kesempatan yang sama (to give the same opportunity to each party) untuk mengajukan pembelaan kepentingan masing-masing, sesuai dengan acuan berikut 7 : 1. mendapat kesempatan untuk mengajukan pembelaan, merupakan hak yang diberikan hukum kepada para pihak. Oleh karena kesempatan mengajukan pembelaan kepentingan dalam proses pemeriksaan adalah hak, pengadilan tidak boleh mengesampingkannya tanpa alasan yang sah; 2. persidangan harus mendengarkan kedua belah pihak (must hear each party) secara proporsional, jika hal itu mereka minta. Kesempatan untuk mengajukan atau mengemukakan pembelaan kepentingan merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) HIR, sehingga hakim harus memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab gugatan dan sebaliknya, kepada penggugat diberi kesempatan untuk didengar keterangannya. Oleh karena mengajukan dan menyampaikan pembelaan kepentingan merupakan hak, maka tergantung dan terserah kepada para pihak yang bersangkutan untuk mengemukakan dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa kewajiban hakim untuk memberi kesempatan yang wajar kepada para pihak yang bersengketa demi tegaknya asas audi alteram partem tersebut. Asas audi alteram partem ini, dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, dimulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 51, ternyata juga telah secara tegas dinyatakan, antara lain: 1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing (Pasal 29 ayat (1)); 2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut (Pasal 37 ayat (4)); 3) Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon (Pasal 39); 6 Sutantio, R. dan Oeripkartawinata, I Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Fakultas Hukum Unpad Bandung. 7 Yahya Harahap, 2013, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ketiga belas, hlm , Sinar Grafika, Jakarta.

8 4) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 46 ayat (2)); 5) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 46 ayat (3)). Berdasarkan uraian-uraian mengenai asas audi alteram partem sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) HIR dan juga digariskan dalam Bab IV UU Arbitrase dan APS tentang Acara Yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase, dimulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 51 tersebut, maka penulis berpendapat bahwa dengan para pihak yang bersengketa sepakat dan arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan menyetujui pihak ketiga dapat turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, maka seluruh proses pemeriksaan yang sudah dilakukan akan diulang kembali sebelum arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan memberikan putusan atas sengketa tersebut. Kyriaki Noussia juga menyebutkan: a fundamental basis for agreeing to arbitration rather than to litigation in public courts is to preserve privacy and confidentiality to the greatest extent possible. 8 Sebagaimana diketahui bahwa salah satu keunggulan arbitrase dibandingkan dengan pengadilan negeri dalam menyelesaikan sengketa adalah proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilaksanakan secara tertutup atau konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin kerahasiaan dari publisitas yang tidak dikehendaki oleh para pihak. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 27 UU Arbitrase dan APS, yaitu semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Penjelasan Pasal 27 UU Arbitrase dan APS juga dengan jelas menyebutkan bahwa ketentuan pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Sifat kerahasiaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini juga dengan sangat jelas disebutkan dalam Pasal 13 ayat (2) Bab V Peraturan dan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Rules and Procedures) tentang Pemeriksaan Arbitrase, yang menyebutkan: Seluruh persidangan dilakukan tertutup untuk umum, dan segala hal yang berkaitan dengan penunjukkan arbiter, termasuk dokumen-dokumen, laporan/catatan sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusanputusan, harus dijaga kerahasiaannya diantara para pihak, para arbiter dan BANI, kecuali oleh peraturan perundang-undangan hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak yang bersengketa. 8 Kyriaki Noussia, 2010, Confidentiality in International Commercial Arbitration, A Comparative Analysis of the Position under English, US, German and French Law, hlm. 22, Springer Heidelberg Dordrecht London, New York.

9 Kerahasiaan dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini merupakan subjek yang sangat kontroversial, baik dalam forum arbitrase nasional dan internasional, yang belum terpecahkan sampai saat ini. Sifat kontroversial tersebut ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan, dalam tulisan ini, sehubungan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 30 UU Arbitrase dan APS dihubungkan dengan bunyi Pasal 27 UU Arbitrase dan APS dan Pasal 13 ayat (2) BANI Rules and Procedures tersebut adalah dari mana pihak ketiga tersebut, yang merupakan pihak diluar perjanjian arbitrase, mendapatkan informasi dan bahan-bahan terkait dengan materi-materi yang diperiksa dalam persidangan arbitrase sehingga pihak ketiga tersebut mengetahui ada kepentingannya yang terkait dalam proses persidangan tersebut dan oleh karenanya pihak ketiga tersebut meminta untuk turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut? Bukankah semua sidang pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan tertutup untuk umum? Bukankah para pihak yang bersengketa, para arbiter dan BANI diharuskan untuk menjaga kerahasian dari seluruh proses persidangan? Apakah arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mengijinkan pihak ketiga tersebut turut serta dan bergabung dalam proses penyelesaian sengketa, mempunyai kewenangan untuk mencari tahu sumber atau dari mana pihak ketiga tersebut mendapatkan informasi dan bahan-bahan yang terkait dengan materi pemeriksaan sengketa? Apa konsekwensi yang dapat diberikan oleh arbiter atau majelis arbitrase ketika pihak ketiga tersebut memberi tahu bahwa dia mendapatkan informasi dan bahan-bahan terkait dengan materi pemeriksaan sengketa tersebut dari pihak penggugat atau tergugat? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut baik UU Arbitrase dan APS maupun BANI Rules and Procedures tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar UU Arbitrase dan APS maupun BANI Rules and Procedures harus diperbaharui lagi untuk mengatur hal-hal tersebut. Memang hal ini sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi, akan tetapi bukankah jauh lebih baik untuk mencegah sebelum hal-hal tersebut terjadi?

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) G. Prosedur Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA 1 of 27 27/04/2008 4:06 PM UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE Oleh : Suhartanto I. Latar Belakang Permasalahan : Pada pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditentukan bahwa

Lebih terperinci

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H., (Hakim PTA Mataram). A. Pendahuluan Judul tulisan ini agak menggelitik bagi para pambaca terutama

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Oleh : Aryani Witasari,SH.,M.Hum Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Abstrak Arbitrase sebagai salah

Lebih terperinci

Oleh: Hengki M. Sibuea *

Oleh: Hengki M. Sibuea * Perbandingan Efektivitas Penyelesaian Sengketa Komersial Melalui Pengadilan dan Arbitrase, Ditinjau dari Jangka Waktu, Pasca Diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Keterbukaan Informasi

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut: DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Perhatikan desain-desain handphone berikut: 1 1. Pengertian Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang SIRKUIT TERPADU (integrated

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut: tahap pertama Pemohon mengajukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional dewasa ini merupakan kebutuhan dari setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam mengadakan perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BAB I ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/ MEDIATOR BAPMI Pasal 1 Etika Perilaku terhadap Lembaga dan Profesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial yang dialami, setiap manusia memiliki kepentingankepentingan tertentu yang berkaitan dengan kebutuhan dan keinginannya untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 20. ) (20/1947) PENGADILAN. PERADILAN ULANGAN. Peraturan peradilan ulangan di Jawa dan Madura.

UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 20. ) (20/1947) PENGADILAN. PERADILAN ULANGAN. Peraturan peradilan ulangan di Jawa dan Madura. UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 20. ) (20/1947) PENGADILAN. PERADILAN ULANGAN. Peraturan peradilan ulangan di Jawa dan Madura. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa peraturan peradilan ulangan,

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *) Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *) Ketentuan ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* Abstrak Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara Harta Bersama pada tingkat banding,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR: PER-01/BAKTI/ TENTANG PERUBAHAN KEDUA PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE

PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR: PER-01/BAKTI/ TENTANG PERUBAHAN KEDUA PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR: PER-01/BAKTI/03.2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PENGURUS BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A. Pendahuluan Pokok bahasan III ini mengandung sub-sub pokok bahasan tentang putusan, upaya hukum terhadap putusan dan pelaksanaan putusan. Penguasaan materi pada

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di

Lebih terperinci

Maulidiazeta Wiriardi: Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian

Maulidiazeta Wiriardi: Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Maulidiazeta Wiriardi: Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian 71 PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERJANJIAN DALAM KESEPAKATAN PARA PIHAK YANG BERSENGKETA ATAS PERMOHONAN INTERVENSI PIHAK KETIGA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 ABSTRAK Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP 3.1. KESIMPULAN

BAB III PENUTUP 3.1. KESIMPULAN BAB III PENUTUP 3.1. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, kesimpulan utama dari tesis ini adalah masing-masing organ dalam suatu perseroan terbatas mempunyai kedudukan yang sama, seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak.

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam praktik sehari-hari, hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain maupun hubungan antara manusia dengan badan hukum atau badan hukum dengan badan

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR : PER 01/BAKTI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE

PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR : PER 01/BAKTI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR : PER 01/BAKTI/01.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PENGURUS BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengeketa di Luar Pengadilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti jual beli, hibah, dan lain-lain yang menyebabkan adanya peralihan hak milik

BAB I PENDAHULUAN. seperti jual beli, hibah, dan lain-lain yang menyebabkan adanya peralihan hak milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepemilikan terhadap harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak diatur secara komplek dalam hukum di Indonesia. Di dalam hukum perdata, hukum adat maupun

Lebih terperinci

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET TERHADAP PUTUSAN VERSTEK DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JOMBANG (Studi Perkara No. 1455/Pdt.G/2013/PA.Jbg) BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sebagai makhluk sosial manusia harus hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini tidak lepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kegiatan bisnis yang terjadi saat ini tidak dapat dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian saja, tetapi juga

Lebih terperinci

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA PERATURAN BANI TENTANG PERATURAN BIAYA-BIAYA LAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA [Cetakan ke-1, 2016] DAFTAR ISI PERATURAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA NOMOR: PER-05/BANI/09/2016

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

KLINIS HUKUM BIDANG PERDATA (ACARA PERDATA ) BAGIAN I MUHAMMAD NUH, SH. Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara BAB I PENDAHULUAN

KLINIS HUKUM BIDANG PERDATA (ACARA PERDATA ) BAGIAN I MUHAMMAD NUH, SH. Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara BAB I PENDAHULUAN KLINIS HUKUM BIDANG PERDATA (ACARA PERDATA ) BAGIAN I MUHAMMAD NUH, SH Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara BAB I PENDAHULUAN Orang tidak mungkin menyediakan sendiri segala kebutuhan hidupnya. Yang

Lebih terperinci

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sudah berjalan dua dekade lebih. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERSIDANGAN

PEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERSIDANGAN PEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERSIDANGAN Hukum Acara Perdata Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Andrie Irawan, SH., MH TAHAP ADMINISTRATIF (PERKARA PERDATA) PENGGUGAT Mendaftarkan Gugatan

Lebih terperinci

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA Drs.H.M.TARSI HAWI, S.H. (PTA BANJARMASIN) A. PENDAHULUAN Pencabutan gugatan perkara perdata pada tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan bahkan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. 1 Untuk mendapatkan pemecahan atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan 40 BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan Cerai Dengan Harta Bersama. Berdasarkan hasil permusyawaratan yang dilakukan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK Kehadiran tergugat di persidangan adalah hak dari tergugat. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo menyatakan hal tersebut bahwa tidak ada keharusan bagi tergugat untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci