BAB III TOLOK UKUR HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERPPU. pemerintah telah menerbitkan sekitar 209 peraturan pemerintah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III TOLOK UKUR HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERPPU. pemerintah telah menerbitkan sekitar 209 peraturan pemerintah"

Transkripsi

1 BAB III TOLOK UKUR HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERPPU A. Penerbitan PERPPU Di Indonesia Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang ( ), pemerintah telah menerbitkan sekitar 209 peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Memang benar, Perppu merupakan salah satu jenis hukum positif yang memiliki landasan konstitusional. Namun dalam hukum tata negara, kadang-kadang penerbitan Perppu juga mengundang kontroversi. Padahal penerbitan Perppu mestinya memperhatikan salah satunya tolok ukur kegentingan yang memaksa. Dalam catatan Daniel Yusmic, Perppu paling banyak dihasilkan saat era Sukarno dengan terbitnya 143 Perppu. 64 Tetapi tidak seluruh Perppu diterbitkan oleh Presiden Sukarno. Mr. Assaad sebagai pejabat Presiden RI mengeluarkan 8 Perppu. Saat Djuanda menjadi Perdana Menteri mengeluarkan 24 Perppu. Penulis dapat memaklumi jika situasi pada periode , Perppu banyak 64 Berita Satu, Dibanding Soeharto, SBY Lebih Banyak Keluarkan Perppu, Rabu, 30 Oktober 2013, diakses pada tanggal 25 November

2 dihasilkan. Saat itu situasi politik dalam negeri tidak stabil. Sejak 14 November 1945 sampai 9 Juli 1959, pemerintahan dijalankan oleh 11 orang Perdana Menteri yang silih berganti. Parlemen yang sedianya sebagai lembaga pembentuk undang-undang, terus berganti sistem dari KNIP, DPR, Badan Kontituante sampai DPR-GR. Infasi militer atau upaya pendudukan Malaysia dan Papua Barat menyebabkan situasi politik nasional tak menentu. Selain itu ada juga ancaman pemberontakan dari peristiwa Madiun, PRRI/Permesta, DII/TII sampai G30S/PKI. Oleh sebab itu hal ikhwal kegentingan yang memaksa dapat diterima menurut akal sehat. Perppu yang dikeluarkan pertama kali pada tahun 1946 yaitu Perppu No 1 Tahun 1946 Tentang Susunan Dewan Pertahanan Daerah Dalam Daerah Istimewa. Selebihnya banyak menyangkut penataan ekonomi seperti pembentukan bank dan pergudangan. Beberapa Perppu juga berkaitan dengan tindak pidana ekonomi dan korupsi. Bahkan Perppu No 23 Tahun 1959 menyangkut tentang Keadaan Bahaya sesaat setelah Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden. Dalam situasi kegentingan yang memaksa, pernah juga diterbitkan Perppu No 10 Tahun 1960 Tentang Pejabat Yang Menjalankan Jabatan Presiden Jika Presiden Mangkat, Berhenti Atau Berhalangan, Sedang Wakil Presiden Tidak Ada/berhalangan.. 60

3 Saat Presiden Suharto berkuasa hanya menerbitkan 8 Perppu. Perppu pertama yang dihasilkan merupakan Perppu No 1 Tahun 1968 Tentang Tanda Kehormatan Bintang Kartika Eka Pakci. Kemudian pada tahun 1969 muncul Perppu Nomor 1 Tahun 1969 Tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Perppu ini diterbitkan untuk mengatasi dan menata kondisi perekonomian yang kolaps saat itu. Selebihnya Suharto menerbitkan 5 Perppu pada tahun 1971, 1984, 1992 dan Terakhir di penghujung jabatannya Suharto menerbitkan Perppu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan di tengah suasana krisis moneter, dan banyaknya perusahaan-perusahaan yang gulung tikar terkena badai krisis moneter. Tabel 3.1 Perppu Pada Era Presiden Suharto Nomor Tentang 1 Tahun 1968 Tanda Kehormatan Bintang Kartika Eka Pakci 1 Tahun 1969 Bentuk-bentuk Usaha Negara 1 Tahun 1971 Pencabutan Undang-undang No. 17 Tahun 1964 Tentang Larangan Penarikan Cek Kosong 2 Tahun 1971 Tanda Kehormatan Bintang Yudha Dharma 1 Tahun 1984 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1992 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan 1 Tahun 1997 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan 1 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis. 61

4 Pada era Presiden BJ Habibie terbit dua Perppu. Perrpu yang diterbitkannya pertama adalah Perppu No 2 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum di tengah situasi gelombang unjuk rasa dan menghadapi sidang istimewa MPR. Tapi, Perppu ini pun kemudian ditolak oleh DPR. BJ Habibie kemudian menerbitkan Perppu No 3 Tahun 1998 Tentang Pencabutan Perppu No 2 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Jadi praktis tidak ada Perppu yang diterima dan berlaku pada saat pemerintahan Presiden BJ Habibie. Pada era Presiden Abdurahman Wahid selama penjabat selama dua tahun, menghasilkan 4 Perppu. Perppu pertama terbit tahun 1999 yaitu Perppu No 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM. Perppu tersebut terbit karena kegentingan memaksa terkait tuntutan gerakan reformasi untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan aparatur militer. Tabel 3.2 Perppu Pada Era Presiden Abdurahman Wahid Nomor Tentang 1 Tahun 1999 Pengadilan Hak Asasi Manusia 1 Tahun 2000 Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas 2 Tahun 2000 Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Sabang 3 Tahun 2000 Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan Berlakunya Undang Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis. 62

5 Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri terbit 4 Perppu. Dua Perppu yang diterbitkan pada tahun 2002 yakni Perppu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perppu No 2 Tahnun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober Kedua Perppu ini berkaitan dengan peristiwa bom bali dan peledakan Kedutaan Besar Australia, sehingga ada hal ikwal kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu tentang tindak pidana terorisme. Tabel 3.3 Perppu Pada Era Presiden Megawati Soekarnoputri Nomor Tentang 1 Tahun 2002 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 2 Tahun 2002 Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 2 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun telah terbit 19 Perppu. Presiden Susilo Bambang 63

6 Yudhoyono paling sering mengubah beberapa pasal UU tentang Pemilu dan Pemerintahan Daerah. Tabel berikut ini merupakan Perppu pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tabel 3.4 Perppu Pada Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor Tentang 1 Tahun 2005 Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2 Tahun 2005 Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara 3 Tahun 2005 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 1 Tahun 2006 Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2 Tahun 2006 Penangguhan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 71 Ayat (5) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan 1 Tahun 2007 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-undang 2 Tahun 2007 Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara 1 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua 2 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia 64

7 3 Tahun 2008 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan 4 Tahun 2008 Jaring Pengaman Sistem Keuangan 5 Tahun 2008 Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan 1 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji 3 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian 4 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1 Tahun 2013 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Sumber: Setneg.go.id, diolah penulis. Pada era Presiden Joko Widodo, belum genap satu tahun pemerintahannya, tanggal 18 Februari 2015 ia menerbitkan Perppu No 1 Tahun 2015 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terbitnya Perppu tersebut merupakan pertimbangan terjadinya kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengganggu kinerja KPK. 65 Hal itu terjadi setelah 2 pimpinan KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto diberhentikan karena berstatus tersangka. 65 Kompas, Ini Isi Perppu Nomor 1 tahun 2015 tentang KPK, entang.kpk, Senin, 23 Februari 2015, diakses pada tanggal 25 November

8 B. Frasa Hal Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa (Pasal 22 UUD 1945) Vs Keadaan Bahaya (Pasal 12 UUD 1945) Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai Hal Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa Vs Keadaan Bahaya diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD Pasal 12 UUD 1945 menyatakan: Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui adanya dua kategori situasi menurut UUD 1945 yaitu: keadaan bahaya dan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Banyak ahli hukum yang memahami hal ikhwal kegentingan memaksa yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan. Pemahaman ini merujuk pada Undang-undang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Hal tersebut mengakibatkan pemakaian istilah hal ikhwal kegentingan memaksa untuk Perppu seringkali dikacaukan dengan yang dimaksud dengan Undang-undang tentang Keadaan 66

9 darurat/bahaya. 66 Perppu adalah dimaksudkan menyebut suatu peraturan berderajad undang-undang sebagai gantinya undangundang yang dibuat dalam hal ikhwal yang perlu segera diatur, sehingga tidak perlu menunggu persetujuan DPR dulu. Sedangkan Undang-undang tentang keadaan darurat adalah suatu undang-undang yang mengatur manakala ada keadaan bahaya, baik mengatur tentang syarat-syaratnya kapan boleh dinyatakan ada keadaan bahaya maupun akibat-akibat hukumnya setelah dinyatakan adanya keadaan bahaya itu. 67 Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 telah menyatakan bahwa: Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal, sehingga hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, sebenarnya tidak sama dengan keadaan bahaya seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya yang tertuang dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang memang harus didasarkan atas 66 Lihat Ni matul Huda, Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Gama Media dan Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1999, hal Ibid, hal

10 kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. 68 Sedangkan Perppu terbit karena keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah. Hal tersebut juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie: Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undangundang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Istilah halihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian keadaan bahaya menurut ketentuan Pasal 12 UUD Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undangundang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi peraturan pemerintah. 69 Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menggunakan frasa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang dapat ditafsirkan bahwa adanya suatu kegentingan yang memaksa pihak tertentu untuk menanggulangi suatu kegentingan tersebut dengan cara-cara yang dibuat melalui prosedur tidak biasanya. Kemudian frasa Presiden 68 Muhammad Siddiq, Kegentingan Memaksa Atau Kepentingan Penguasa (Analisis Terhadap Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), Jurnal Ilmu Syari ah dan Hukum, Vol. 48, No. 1, Juni hal Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Op.cit, hal

11 berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undangundang menjelaskan bahwa pihak yang mempunyai kompetensi untuk menafsirkan kegentingan memaksa tersebut adalah Presiden dan hal yang dapat dilakukan oleh Presiden dalam upaya menanggulangi kegentingan tersebut adalah dengan kekuasaan legislatif sepenuhnya tanpa melibatkan DPR. Konstruksi pemikiran tersebut bersifat subjektif, hal ini dikarenakan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kegentingan tersebut hanya sepihak oleh penilaian Presiden semata. Menurut Saldi Isra, ketentuan tersebut disebut sebagai hak konstitusional subjektif Presiden. 70 Apakah frasa hal ikhwal sama dengan pengertian keadaan? Keduanya tentu tidak sama. Keadaan adalah strukturnya, sedangkan hal ikhwal adalah isinya. 71 Oleh sebab itu menurut pendapat Bagir Manan, materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara). 72 Menurutnya tidak boleh Perppu 70 Saldi Isra dalam Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Eksistensi Perppu dalam Sistem Perundang-undangan, Jumat 29 April 2011, diakses pada tanggal 27 November Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal Sumali, Op.cit, hal

12 dikeluarkan bersifat ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara, kewarganegaraan, territorial, negara, dan hak dasar rakyat. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa segala sesuatu yang membahayakan tentu memiliki sifat yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden untuk mengeluarkan Perppu tidak selalu membahayakan atau bernilai dangerous threat. 73 Adanya pembedaan itu wajar apabila penetapan suatu peraturan pemerintah sebagai undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tidak harus didahului oleh suatu deklarasi keadaan darurat. Pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka pemberlakuan keadaan bahaya itu. 74 Frasa keadaan bahaya yang diatur di dalam Pasal 12 UUD 1945 tersebut mengandung unsur objektif sedangkan frasa hal ikhwal kegentingan yang memaksa di dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 secara gramatikal mempunyai unsur subjektif. Berdasarkan hal tersebut menurut pendapat penulis, frasa hal ikhwal kegentingan yang memaksa merujuk pada kekuasaan diskresi terjadi pada aras 73 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal Ibid. hal

13 Hukum Administrasi, sedangkan frasa keadaan bahaya merujuk pada kekuasaan darurat terjadi pada aras Hukum Tata Negara. Dari perspektif Hukum Tata Negara Indonesia, pembenaran bagi pembedaan di atas adalah kekuasaan darurat merupakan ranah kekuasaan Presiden sebagai kepala negara (Pasal 12 UUD 1945). 75 Sedangkan pada perspektif Hukum Administrasi Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan kekuasaan diskresi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Mengenai pembedaan tersebut, Krishna Djaya Darumurti berpendapat bahwa: Penetapan situasi darurat memang adalah tindakan Presiden sebagai kepala negara. Apakah dalam situasi darurat, pemerintah menjadi tiada? Pembedaan tersebut lebih tepat manakala ditujukan untuk membedakan bobot dari kekuasaan diskresi itu sendiri, yang dapat digolongkan sebagai diskresi kuat dan lemah. Dalam situasi darurat pun yang tetap berlangsung di sana adalah kekuasaan pemerintahan, tetapi tindak pemerintahan yang ditempuh tidak bisa dipersamakan dengan tindakan pemerintah dalam situasi normal, tetapi adalah, per definisi, tindakan diskresi. Dalam situasi darurat jenis kekuasaan diskresinya adalah diskresi kuat dengan pengertian rentang kendali/kontrol atas pelaksanaan kekuasaan semakin lemah. Pembedaan mengenai diskresi kuat dan diskresi lemah juga dapat mengacu pada pembedaan ratione materiae atau subject matter dari tindakan diskresi yang dilakukan. Misalnya, pada lapangan national security dan foreign relations, manakala terjadi tindakan diskresi, maka hal itu adalah jenis diskresi kuat Ibid. 76 Krishna Djaya Darumurti, Konsep Dan Asas Hukum Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Disertasi (Tidak Diterbitkan), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2015, hal

14 Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis, terkait kekuasaan diskresi Presiden, maka frasa hal ikhwal kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 adalah jenis diskresi lemah, sedangkan frasa keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 adalah jenis diskresi kuat. Penggunaan kedua pasal tersebut sangat berbeda yakni Pasal 12 UUD 1945 lebih berfokus pada kewenangan Presiden untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari gangguan luar negara, sedangkan penggunaan Pasal 22 UUD 1945 berada pada ranah (domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu yang lebih menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum yang bersifat mendesak. Selain itu, menurut penulis, kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu adalah jenis diskresi lemah, karena masih dapat dikontrol melalui pengujian baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislator dengan metode legislative review (untuk ditetapkan menjadi UU) dan baru-baru ini oleh Mahkamah Konstitusi dengan metode judicial review (setelah ataupun sebelum Perppu tersebut menjadi UU). Hal tersebut mengindikasikan semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu kepada UUD 1945 dan Undang-Undang dan tidak boleh lagi bersifat mandiri. Hal ini 72

15 mengingat bergesernya kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD 1945). C. Makna Konsep Tolok Ukur Hal Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa Tidak banyak ahli hukum yang mengemukakan mengenai makna konsep tolok ukur hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Saldi Isra pun juga berpendapat bahwa sampai sejauh ini, tidak ada tolok ukur yang jelas mengenai makna kegentingan yang memaksa. 77 Penulis hanya menemukan doktrin ahli hukum seperti Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Bagir Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) ada kemendesakan (emergency). 78 Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and 77 Saldi Isra dalam Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Op.cit. 78 Bagir Manan, Op.cit, hal

16 sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan. Sedangkan menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, syarat materiil yaitu keadaan memaksa untuk menetapkan Perppu dibagi menjadi tiga meliputi: 79 a) Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity. Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur yang mendesak untuk bertindak (reasonable necessity) adalah Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dimana kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai tahun 1430 Hijriyah jemaah haji dari seluruh negara (termasuk Indonesia) harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara internasional dijadikan sebagai ukuran kegentingan yang 79 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal

17 memaksa, sehingga Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya yang bersifat segera untuk menjamin tersedianya paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah haji tetap dapat dilaksanakan. b) Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu. Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatur bahwa Anggota KPU yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya penyelenggara pemilihan umum yang baru. Hal ini mengingat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedang 75

18 mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk menggantikan ketentuan yang saat ini berlaku yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden berpendapat syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan Perppu tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c) Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut. Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur beyond reasonable doubt adalah Perppu No 1 Tahun 2015 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pertimbangan terjadinya kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengganggu kinerja 76

19 KPK. Karena itu, untuk menjaga kelangsungan dan kesinambungan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah tidak tersedia alternatif lain selain memandang perlu pengaturan mengenai pengisian keanggotaan sementara pimpinan KPK. Menurut penulis, pendapat Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa terlalu berputar-putar, dalam menjelaskan hakikat sesungguhnya pengertian tersebut. Menurut penulis, makna konsep hal ikhwal kegentingan yang memaksa" adalah penilaian subjektif Presiden, bahwa dibutuhkan suatu undang-undang, tetapi dengan mekanisme normal undang-undang tersebut tidak mungkin dihasilkan. Dalam pengertian demikian kewenangan menerbitkan Perppu adalah jalan pintas (shortcut) yang bersifat abnormal dalam pembentukan produk hukum setara/sederajat undang-undang. Hal prinsip di sini adalah kebutuhan untuk undang-undang dianggap sebagai tidak terhindarkan (misalnya, tanpa adanya undang-undang tersebut tindakan pemerintah dapat dipersalahkan melanggar asas legalitas). Hal inilah yang menjelaskan hal ikhwal kegentingan yang memaksa" sebagai kewenangan yang sifatnya khusus atau luar biasa, pengertian hal ikhwal kegentingan yang memaksa" adalah ranah kebijakan Presiden yang tidak perlu 77

20 didefinisikan karena sifatnya subyektif. Hal itu hanya dapat diobyektifkan manakala dalam persidangan DPR selanjutnya hal itu dapat disetujui. Menelisik lebih dalam lagi, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, sesuai amanat konstitusi, sikap DPR terhadap noodverordeningsrecht Presiden adalah menyetujui atau menolak untuk menjadi Undangundang dalam persidangan berikutnya, dan jika menolak untuk menyetujui, maka Perppu tersebut harus dicabut. Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa", kelebihan pemerintah dari legislatif dan yudisial nampak sangat eksplisit, terutama dalam hal fleksibilitas. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Krishna Djaya Darumurti yang berpendapat bahwa: Kekhasan atau keunikan fungsi pemerintahan telah diakui secara teoretis sebagai kelebihan komparatif yang dimiliki oleh pemerintah dibandingkan dengan badan-badan pemerintahan yang lain. Keahlian, kecekatan dalam bertindak 78

21 serta fleksibilitas adalah modalitas yang senantiasa harus dimiliki oleh pemerintah dan seringkali dianggap tidak dimiliki oleh badan-badan pemerintahan lain yang bersifat koordinat (legislatif dan yudisial) sehingga perlu ada perlakuan berbeda terhadapnya. 80 Kemudian semenjak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/ PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan tolok ukur bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu berdasarkan putusan peradilan bukan hanya melalui doktrin para ahli hukum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat sebagai tolok ukur adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk menetapkan Perppu yaitu: Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 80 Krishna Djaya Darumurti, Op.cit, hal Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal

22 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Namun ditetapkannya tolok ukur bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu ini juga masih terus menimbulkan perdebatan dikarenakan nilai subjektif dari sebuah Perppu berubah menjadi objektif melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka jelas muncul norma baru yang merubah konstruksi norma yang terdapat di dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan konstitusi tanpa melalui Pasal 37 UUD 1945 mengenai prosedur perubahan UUD 1945 melalui MPR namun melalui praktek peradilan. Harusnya Mahkamah Konstitusi menjalani amanah UUD 1945, bukan justru malah mengoreksi UUD Presiden yang sebelumnya diberi kekuasaan mutlak untuk menafsirkan apa makna hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang bercorak subjektif menjadi objektif dikarenakan terdapat syarat kumulatif 80

23 lainnya bagi Presiden yakni sebagaimana ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. 82 Selain itu, apabila Presiden melanggar penetapan Mahkamah Konstitusi mengenai tolok ukur hal ikhwal kegentingan yang memaksa, maka Presiden secara tidak langsung telah melanggar konstitusi dan mengabaikan eksistensi Mahkamah Konstitusi itu sendiri karena konstitusi menyatakan bahwa sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat. Penulis berpendapat, meskipun dalam pertimbangan majelis Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki maksud baik yakni mencegah Presiden berbuat sewenang-wenang terhadap pelaksanaan kewenangan legislasi Presiden pada saat kegentingan memaksa namun upaya pengujian itu seharusnya dilakukan dalam koridor UUD 1945 sehingga hal ini tidak akan mengaburkan posisi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU/2009 perlu dicermati alasan berbeda (concurring opinion) oleh salah satu hakim Mahkamah Konstitusi yakni Mahfud MD, yakni: Kajian-kajian akademik yang pernah berkembang di kampuskampus pada tahun menyebutkan, antara lain, bahwa pengujian Perpu oleh lembaga yudisial (judicial review) atau oleh lembaga lain (seperti yang pernah diberikan kepada 82 Ibnu Sina Chandranegara, Op.cit, hal 7. 81

24 MPR oleh Tap MPR No. III/MPR/2000) merupakan perampasan atas hak dan kewenangan konstitusional DPR yang diberikan oleh UUD Sebab sudah sangat jelas, Pasal 22 UUD 1945 memberi hak kepada DPR untuk menilai sebuah Perpu pada persidangan berikutnya, apakah Perpu itu akan disetujui sebagai Undang-Undang ataukah tidak. Kesamaan level isi antara Undang-Undang dan Perpu tetap tidak dapat dijadikan alasan bagi lembaga selain DPR untuk menguji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945; apalagi kalau kesamaan isi itu hanya karena Perpu diartikan sebagai undang-undang dalam arti materiil, sebab di dalam hukum tata negara semua jenis peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD sampai Peraturan Desa, adalah undang-undang dalam arti materiil. Namun akhir-akhir ini ada perkembangan penting dalam ketatanegaraan kita sehingga saya ikut menyetujui agar Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran konstitusi. Dalam kaitan antara perkembangan ketatanegaraan dan pengujian Perpu ini saya melihat perlunya penafsiran atas isi UUD 1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatik melainkan harus menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis. Perkembangan ketatanegaraan di lapangan yang menjadi alasan bagi saya untuk menyetujui dilakukannya judicial review terhadap Perpu oleh Mahkamah Konstitusi adalah hal-hal sebagai berikut: 1. Akhir-akhir ini timbul perdebatan, apakah penilaian untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perpu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya dalam arti kapan saja DPR sempat sehingga pembahasannya dapatdiulur-ulur. Dalam kenyataannya Perpu yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Seperti diketahui Perpu a quo diundangkan pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perpu a quo tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau Perpu tidak dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat mungkin suatu saat ada Perpu yang dikeluarkan tetapi DPR 82

25 tidak membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perpu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar segera ada kepastian dapat atau tidak dapat terus berlakunya sebuah Perpu. 2. Timbul juga polemik tentang adanya Perpu yang dipersoalkan keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata disetujui dan tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana kedudukan hukum sebuah Perpu yang tidak disetujui tetapi tidak ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perpu yang tidak secara tegas mendapat persetujuan dari DPR mestinya tidak dapat dijadikan Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai Perpu, tetapi secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini bahwa kesemestian tersebut masih dipersoalkan, sehingga sebuah Perpu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak ditolak secara nyata) masih terus diberlakukan sampai dipersoalkan keabsahan hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Dalam keadaan ini menjadi wajar jika Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu. 3. Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perpu oleh DPR ada juga pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR harus diganti dengan Undang-Undang Pencabutan atau Undang-Undang Pengganti. Karena tidak ada kejelasan batas atau titik waktu maka dalam pengalaman sekarang ini ada Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR tetapi RUU penggantinya atau pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu menjadi wajar pula, demi tegaknya konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu. 4. Dapat terjadi suatu saat Perpu dibuat secara sepihak oleh Presiden tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang untuk membahasnya karena situasi tertentu, baik karena keadaan yang sedang tidak normal maupun karena sengaja 83

26 dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar DPR tidak dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti itu ada Perpu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara tertentu secara sepihak dengan alasan kegentingan yang memaksa sehingga ada Perpu yang terus dipaksakan berlakunya sementara persidangan-persidangan DPR tidak dapat diselenggarakan. Dengan memerhatikan kemungkinan itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Perpu. 83 Mengenai concurring opinion Mahfud MD, penulis sependapat dengan pendapat Ibnu Sina Chandranegara yang menyatakan bahwa: Pendapat tersebut didasari oleh karena ketakutan konstitusional apabila keadaan yang semacam itu terjadi. Sehingga MK memutuskan tidak berdasarkan UUD yang sebenar-benarnya, namun berdasarkan asumsi mengenai sesuatu hal yang ideal bukan berdasarkan apa yang telah ditentukan secara rigid oleh UUD. Pemikiran yang demikian, seharusnya berada di dalam kepala seorang politisi yang sedang menyusun perubahan UUD. Dengan keputusan yang demikian ini, maka dampak yang dapat ditimbulkan adalah adanya potensi sengketa kewenangan konstitusional lembaga yang justru akan melibatkan MK sendiri, dan ini secara logika hukum dapat terjadi dan tidak dapat dihindari. 84 Selain itu, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak menyebutkan Perppu, berarti hal itu diserahkan kepada DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu Perpu pada sidang berikutnya sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD Setelah disetujui menjadi Undang- 83 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal Ibnu Sina Chandranegara, Op.cit, hal

27 Undang barulah dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi. Seperti halnya Perppu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan menyusul peristiwa yang dikenal dengan sebutan peristiwa Bom Bali, diuji di Mahkamah Konstitusi setelah disetujui DPR menjadi Undang-Undang (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-Undang). Penetapan Mahkamah Konstitusi mengenai tolok ukur hal ikhwal kegentingan yang memaksa jelas memperketat kewenangan Presiden dalam menentukan hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan dapat menimbulkan kerancuan, yakni apakah apabila Presiden membentuk Perppu namun tidak memenuhi tolok ukur yang ditentukan Mahkamah Konstitusi, maka Perppu tersebut menjadi tidak mengikat? Atau apakah Presiden dapat dijustifikasi telah melanggar konstitusi dikarenakan melanggar pertimbangan Mahkamah Konstitusi di dalam putusan a quo apabila Perppu bentukan Presiden tidak mendasari pada putusan a quo? Ibid. hal 7. 85

28 Titon Kurnia Slamet berpendapat bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi normatif dimana perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu tuntutan yang niscaya. 86 Oleh sebab itu menurut penulis, meskipun terdapat hal ikhwal kegentingan memaksa yang mengharuskan Presiden menerbitkan Perppu, konstitusi sendiri sejatinya telah memberikan batasan obyektif secara tegas melalui UUD 1945 sebagai konstitusi normatif sehingga terdapat unsur obyektif yang menentukan pada pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai HAM harus dipatuhi dan tidak bisa dilanggar dalam hal ikhwal kegentingan memaksa penerbitan Perppu yang bernuansa subyektifitas Presiden. Selain itu, kegentingan memaksa menjadi pertimbangan dikeluarkannya sebuah PERPPU alasannya bersifat subjektif, akan tetapi alasanalasan objektif yang menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan sebuah PERPPU dapat tercermin dan terlihat dalam konsiderans Menimbang dari PERPPU yang bersangkutan. Berdasarkan paparan sebelumnya, maka menurut penulis, tolok ukur hal ikhwal kegentingan memaksa merujuk pada refleksi kekuasaan diskresi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Sehingga 86 Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hal iv. 86

29 tolok ukur hal ikhwal kegentingan memaksa seyogyanya adalah murni penilaian subjektif Presiden (sesuai amanat Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) untuk dapat dijadikan unsur alasan Perppu tersebut dilahirkan oleh Presiden bukan dari selain Presiden seperti yang ditetapkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU/2009 atau pun doktrin ahli hukum. Seharusnya Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi tidak dapat melampaui konstitusi itu sendiri. Menurut penulis, cakupan hal ikhwal kegentingan memaksa sangat luas dan tidak terbatas (atau dapat dibatasi) pada tolok ukur yang diamanatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU/2009 atau doktrin ahli hukum saja karena senantiasa fleksibel menyesuaikan substansi keadaan itu sendiri. Pandangan subyektif lahir dikarenakan Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan negara, sehingga yang lebih mengetahui keadaan suatu negara ialah si pemegang kekuasaan untuk memerintah negara tersebut dalam hal ini Presiden. Selain itu, bukankah setelah keluarnya Perppu, DPR diberikan amanah oleh konstitusi untuk melakukan legislative review terhadap Perppu yang dikeluarkan Presiden tersebut pada persidangan DPR yang berikutnya. Pada tahapan inilah norma subyektif Perppu yang 87

30 diterbitkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa diuji konstitusionalitasnya. Menurut penulis, menyoal Perppu tentu harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD Dalam UUD 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul mengingat ketentuan Pasal 22 juga erat hubungannya dengan kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 UUD 1945 berisikan hal mendasar, yaitu: 1) Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perppu; 2) Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa ; 3) Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya; dan 4) jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu itu harus dicabut. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dalam hal ini kewenangan yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan konstitusi sehingga tidak boleh menyimpang dari UUD Jika menyimpang dari konstitusi, Pemerintah akan memiliki resiko yaitu perbuatan melawan hukum (konstitusi) Perppu yang dibuat tanpa adanya hal ikhwal kegentingan yang 88

31 memaksa dapat melanggar asas legalitas karena dibuat tanpa wewenang. Oleh karenanya, amanat konstitusi sesungguhnya tidak memberikan hak subjektif kepada Presiden an sich untuk mengeluarkan Perppu secara gampang dan serampangan, tetapi harus dalam ranah hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang menjadi latar belakang keluarnya Perppu yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan yang sukar, penting, dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undangundang. 87 Pasal 22 UUD 1945 ini juga secara tersirat atau implisit bahwa sesungguhnya kewenangan Presiden secara subjektif menilai keadaan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk membentuk Perppu tidak diperlukan manakala pembentuk undangundang mampu menghasilkan undang-undang sebagai dasar tindakan bagi pemerintah secara lengkap, sempurna serta antisipatif terhadap semua kemungkinan yang ada. Tetapi tuntutan demikian mustahil 87 I Gde Pantja Astawa, Op.cit, hal

32 mampu dipenuhi oleh pembentuk undang-undang. Selain itu, pandangan penulis tersebut secara kontekstual menggarisbawahi pentingnya fleksibilitas pemerintahan (kewenangan Presiden secara subjektif) dalam menilai hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan Perppu. 90

EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN

EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN Oleh SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat Studi Konstitisi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang POKOK BAHASAN 1. Perdebatan

Lebih terperinci

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi Ni matul Huda Abstract The authority to reviewing Perppu can not be obtained based on the interpretation of an institution or the situation that demanded the interpretation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan

Lebih terperinci

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang Disampaikan dalam acara semiinar nasional Quo Vadis Perpu Ormas yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum Pidana dengan Hukum Acrara FH UII, 19 Oktober 2017. Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPPU) DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. Tesis

EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPPU) DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. Tesis EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPPU) DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA Tesis Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Dalam teori mengenai jenjang norma hukum, Stufentheorie, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI --------------------------------- LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN MENTERI HUKUM DAN HAM RI, MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka menghadapi. Dikeluarkannya Perpu oleh Presiden harus memuat unsur hal ihwal

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka menghadapi. Dikeluarkannya Perpu oleh Presiden harus memuat unsur hal ihwal 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Dengan adanya kasus century yang terjadi pada tahun 2008, mengakibatkan terjadinya krisis keuangan di Indonesia. Mengingat krisis yang terjadi mengancam perekonomian

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 119/PUU-XII/2014 Pengujian Formil Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Perppu 2/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

PERPU PLT PIMPINAN KPK; ADAKAH KEGENTINGAN MEMAKSA? Oleh: Muchamad Ali Safa at *

PERPU PLT PIMPINAN KPK; ADAKAH KEGENTINGAN MEMAKSA? Oleh: Muchamad Ali Safa at * PERPU PLT PIMPINAN KPK; ADAKAH KEGENTINGAN MEMAKSA? Oleh: Muchamad Ali Safa at * Salah satu perkembangan hukum yang mengemuka akhir-akhir ini adalah pembentukan Perpu untuk mengatasi berbagai persoalan

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 Yudi Widagdo Harimurti 2 Email : yudi.harimurti@trunojoyo.ac.id Abstrak Dasar hukum

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal

Lebih terperinci

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Riri Nazriyah. Kewenangan Mahkamah... 383 Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Riri Nazriyah Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Tamansiswa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON 1. Herdiansyah, S.H., M.H. 2. Ali Hakim Lubis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota I. PEMOHON Ny. Yanni, sebagai Pemohon KUASA HUKUM Syahrul Arubusman, S.H, dkk berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

DASAR KONSTITUSIONAL PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DAN BATASAN PENGATURANNYA

DASAR KONSTITUSIONAL PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DAN BATASAN PENGATURANNYA [UNIVERSITAS MATARAM] [Jurnal Hukum DASAR KONSTITUSIONAL PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DAN BATASAN PENGATURANNYA Chrisdianto Eko Purnomo 1 Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas I. PEMOHON 1. DR. H. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.; 2. H. Damai Harry Lubis, S.H., M.H. Kuasa Hukum Arvid Martdwisaktyo, S.H., MKn., Azam

Lebih terperinci

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Lahir : Solo, 14 Juni 1949 Alamat Rumah : Jl. Margaguna I/1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Alamat Kantor : Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014 I. PEMOHON 1. dr. Naomi Patioran, Sp. M (selanjutnya sebagai Pemohon I);

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 ABSTRAK Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) tidak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, latar belakang perluasan kewenangan MK dan konstitusionalitas praktek perluasan kewenangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan 136 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pilkada di Indonesia

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

Tajuk Entri Bahan Pustaka Karya Perundang-undangan. di Perpustakaan Nasional RI. oleh : Suwarsih, MSi.

Tajuk Entri Bahan Pustaka Karya Perundang-undangan. di Perpustakaan Nasional RI. oleh : Suwarsih, MSi. Tajuk Entri Bahan Pustaka Karya Perundang-undangan di Perpustakaan Nasional RI oleh : Suwarsih, MSi. I. Pendahuluan Pengolahan bahan pustaka merupakan salah satu inti dari tugas perpustakaan. Bahan pustaka

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman * PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 10 September 2015; disetujui: 16 September 2015 Pasangan Calon Tunggal Dalam Pilkada Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Djoko Imbawani Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang. Jalan Taman Borobudur Indah No. 3, Malang, 65142 Email: djoko_imbawani@yahoo.co.id PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG OLEH

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya I. PEMOHON 1. Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo, selaku Ketua Umum Partai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli

Lebih terperinci

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Bagan Lembaga Negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tugas dan Wewenang MPR Berikut tugas dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2009 PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 KEIMIGRASIAN MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 Ambang Batas Pencalonan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presidential Threshold) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc dan Ir.

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro 1 ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Oleh: Husendro Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat Yang Dipilih Oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua Dan Ditetapkan Melalui Mekanisme

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017 Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi I. PEMOHON Muhammad Hafidz. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 57 ayat (3) Undang -Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI

UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI Oleh: Andi Muhammad Yusuf Bakri, S.HI., M.H. (Hakim Pengadilan Agama Maros) Signal bagi pembentuk undang undang agar jabatan hakim diatur tersendiri dalam satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau judiary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. 1 Sehingga

BAB I PENDAHULUAN. atau judiary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. 1 Sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan benteng terakhir tegaknya keadilan di Indonesia. Cabang kekuasaan kehakiman atau judiary merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada I. PEMOHON 1. Imran, SH. (Pemohon I); 2. H. Muklisin, S.Pd. (Pemohon II); Secara bersama-sama disebut

Lebih terperinci

KETENTUAN PERTIMBANGAN ATAU PERSETUJUAN DALAM UNDANG-UNDANG KEMENTERIAN NEGARA

KETENTUAN PERTIMBANGAN ATAU PERSETUJUAN DALAM UNDANG-UNDANG KEMENTERIAN NEGARA KETENTUAN PERTIMBANGAN ATAU PERSETUJUAN DALAM UNDANG-UNDANG KEMENTERIAN NEGARA Oleh: Zaqiu Rahman Naskah diterima : 07 November 2014; disetujui : 14 November 2014 Postur Kabinet Pemerintahan yang Baru

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka I. PEMOHON Setya Novanto Kuasa Hukum: DR. Fredrich Yunadi, S.H., LL.M, Yudha Pandu, S.H.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada I. PEMOHON Dani Muhammad Nursalam bin Abdul Hakim Side Kuasa Hukum: Effendi Saman,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih I. PEMOHON Taufiq Hasan II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan UmumPresiden

Lebih terperinci

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Prolog Lembaga negara (staatsorgaan/political institution) merupakan suatu organisasi yang tugas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Achmad Saifudin Firdaus, SH., (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Bayu Segara, SH., (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. DR. Busyro Muqoddas 2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 3. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUUXIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka I. PEMOHON 1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) (Pemohon I)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 109/PUU-XIV/2016 Jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 109/PUU-XIV/2016 Jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 109/PUU-XIV/2016 Jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I. PEMOHON 1. Gusti Kanjeng Ratu Hemas; 2. Djasarmen Purba, S.H.; 3. Ir. Anang Prihantoro; 4. Marhany

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD I. PEMOHON Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), dalam

Lebih terperinci

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII; RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XVI/2018 Ketentuan Pemanggilan Paksa oleh DPR, Frasa merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR dan Pemanggilan Anggota DPR Yang Didasarkan Pada Persetujuan Tertulis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi

Lebih terperinci

EVALUASI PENTINGNYA PERPU DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DAN KETATANEGARAAN INDONESIA

EVALUASI PENTINGNYA PERPU DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DAN KETATANEGARAAN INDONESIA EVALUASI PENTINGNYA PERPU DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DAN KETATANEGARAAN INDONESIA Encik Muhammad Fauzan 1 Email: encik.fauzan@trunojoyo.ac.id Novan Mahendra Pratama Email: mpnovan@gmail.com Indah

Lebih terperinci