BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia"

Transkripsi

1 BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Dalam teori mengenai jenjang norma hukum, Stufentheorie, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan). 29 Teori tersebut juga tercermin dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenangwenangan oleh penguasa terhadap warga negara. 30 UU 12/2011 merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU 12/2011, antara lain: penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis 29 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal

2 peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan pada posisi kedua setelah UUD Secara umum Undang-Undang tersebut memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis, yaitu: asas pembentukan peraturan perundang-undangan, jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, perencanaan peraturan perundangundangan, penyusunan peraturan perundang-undangan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, dan pengundangan peraturan perundangundangan, penyebarluasan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya. 32 Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan 31 Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Lex Jurnalica, Volume 11 Nomor 1, April 2014, hal Ibid. 23

3 sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang tersebut, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan pancangan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/ Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundangundangan di daerah. 34 Berikut ini adalah hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut UU 12/2011, yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi, dan 33 Ibid. 34 Ibid. 24

4 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 35 Dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut kedudukan Perppu disejajarkan dengan Undang-Undang dan posisinya di bawah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Kembalinya TAP MPR dalam Undang-Undang tersebut menjadi tanda tanya besar, bahwa TAP MPR harus difungsikan tetapi hanya sebatas peraturan yang sudah ada dan tidak bisa melakukan keputusan sendiri agar ada fungsi kinerjanya. Semua perubahan tersebut menandakan adanya peningkatan kinerja peraturan perundang-undangan secara demokratis dan signifikan yang semula lebih bersifat konservatif berubah dengan pelan tapi pasti menjadi hierarki yang lebih demokratis dan sesuai dengan kewenangan yang ada. Dalam sejarah sistem ketatanegaraan, sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2011, Indonesia telah mengalami perubahan mengenai dasar pembentukan dan hierarki peraturan perundangan-undangan dari masa ke masa. Perubahan hierarki tersebut termasuk posisi Perppu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. 35 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 25

5 Untuk mempermudah mengetahui dasar perubahan tata urutan peraturan perundang-undangan, di bawah ini diberikan tabel hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Masa Masa di bawah UUD 1945 (Sebelum Perubahan) Periode 17 Agustus Desember 1949 Masa di bawah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1950 Tabel 2.1 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Hierarki 1. UUD 1945; 2. Undang-Undang/ PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; dan 4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat juga banyak produk hukum yang diberlakukan yakni : 1. Penetapan Presiden; 2. Peraturan Presiden; 3. Penetapan Pemerintah; 4. Maklumat Pemerintah; 5. Maklumat Presiden; 6. Pengumuman Pemerintah. Pada masa berlakunya Konstitusi RIS tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai hierarki Peraturan Perundang-undangan. Mengenai penentuan jenis Peraturan yang mana yang lebih tinggi tingkatannya lebih didasarkan pada praktek ketatanegaraan yang berlaku sebelumnya (pada waktu berlakunya UUD 1945). Jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada masa di bawah Konstitusi RIS adalah sebagai berikut : 1. Konstitusi RIS; 2. Undang-Undang (berdasarkan Pasal 127)/UU Darurat (berdasarkan Pasal 139); 3. Peraturan Pemerintah (berdasarkan Pasal 141). Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, pada waktu itu RI Yogja yang merupakan Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Peraturan tentang Jenis Dan Bentuk Peraturan Yang 26

6 Masa di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 Masa di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Setelah Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 Masa TAP MPRS No. XX/1966 Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1950 menentukan Jenis Peraturan-peratuan Pemerintah Pusat ialah : a. Undang-Undang dan PERPPU; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Menteri. 1. UUDS 1950; 2. Undang-Undang/UU Darurat; dan 3. Peraturan Pemerintah. Selain ketiga jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Negara masih terdapat beberapa produk hukum yang berlaku yakni: 1. Peraturan Menteri; 2. Keputusan Menteri; dan 3. Peraturan Tingkat Daerah. Dengan dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945 maka jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku seperti pada awal berlakunya UUD 1945 yakni : 1. UUD 1945; 2. Undang-Undang/ PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; dan 4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD Namun kemudian berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua DPR-GR tanggal 20 Agustus 1959 Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara, mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ditentukan sebagai berikut: 1. Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah; 3. PERPPU. 1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR; 3.Undang-Undang/PERPPU; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti: 27

7 TAP MPR No. III/ Peraturan Menteri; - Instruksi Menteri; - Dan lain-lainnya. 1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. PERPPU; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah. UU No. 10/ UUD 1945; 2. Undang-Undang/PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah, yang meliputi: - Perda Provinsi; - Perda Kabupaten/Kota; - Peraturan Desa. UU No. 12/ UUD 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/PERPPU 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Sumber: diolah penulis B. PERPPU Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia Bentuk peraturan yang dikenal dalam Undang-Undang Dasar 1945 selain Undang-undang, ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau PERPPU. Dasar hukum bentuk peraturan perundang-undangan ini ialah ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. 28

8 (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. 36 Di dalam konstitusi sebelum Amandemen antara 17 Agustus 1945 sampai 1950 terdapat beberapa jenis peraturan perundangan meliputi Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1)), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Pasal 22). 37 Hal ini memperlihatkan jika Presiden selaku pemerintah dapat membuat Perppu dalam keadaan kegentingan yang memaksa dan Perppu sudah diakaui sejak konstitusi masa Republik Indonesia pertama. Lain halnya dalam konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 dikenal bentuk peraturan perundangan semacam Perppu ialah Undang-undang Darurat. Ketentuan mengenai Undang-undang Darurat terdapat dalam Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950: Pasal 139 Konstitusi RIS (1) Pemerintah atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan 36 Pasal 22 UUD C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Pengertian Hukum Tata Negara Dan Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Perkembangan Kemerdekaan 1945, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal

9 pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-undang Federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut. 38 Pasal 96 UUDS 1950 (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan derajat Undang-undang; Ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut. 39 Jika dikomparasikan antara Perppu yang diatur dalam UUD Tahun 1945 dengan Undang-undang Darurat dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 ada perbedaan. 40 Pertama, kewenangan atau otoritas dalam pembuatan Perppu dalam UUD Tahun 1945 merupakan wewenang Presiden. Sedangkan untuk membuat Undang-Undang Darurat menurut konstitusi RIS dan UUDS 1950 merupakan wewenang pemerintah. Kedua, terlihat dari dasar legitimasi diterbitkan Perppu menurut UUD Tahun 1945 adalah hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Sedangkan dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dasar legitimasi dikeluarkan Undang-undang Darurat adalah karena alasan keadaan yang mendesak. 38 Lihat Pasal 139 Konstitusi RIS. 39 Lihat Pasal 96 UUDS Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undangundang (PERPU), UMM Press, Malang, 2002, hal

10 Mengenai persamaan antara Perppu dengan Undang-undang Darurat antara lain: keduanya mempunyai fungsi sama sebagai peraturan perundangan yang diterbitkan eksekutif dalam keadaan tidak normal (crisis) untuk mengatasi keadaan darurat (emergency). Persamaan selanjutnya Perppu maupun Undang-undang Darurat mempunyai kekuataan hukum atau derajat yang setara dengan Undang-undang. 41 Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka memang terdapat perbedaan dan persamaan Perppu di masa Republik Indonesia pertama UUD Tahun 1945 dengan Konstitusi RIS atau UUDS Keduanya merupakan peraturan perundangan dikeluarkan oleh eksekutif dalam keadaan tidak normal, dan mempunyai kekuatan hukum atau derajat sama dengan Undang-undang. Namun perbedaannya terletak pada kewenangan atau otoritas pembuatan peraturan perundangan dan dasar legitimasi diterbitkannya peraturan perundangan. Secara normatif Perppu merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perubahan posisi Perppu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia disebabkan oleh karena dinamika politik pada masa tersebut. Dalam UU 12/2011, 41 Ibid, hal

11 posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang dan berada di bawah TAP MPR. Jika dilihat keberadaan Perppu dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Perppu menempati posisinya di bawah Undang- Undang. Akan tetapi bila dilihat posisi Perppu dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, UU 10/2004 dan UU 12/2011, kedudukan atau posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang. Adapun salah satu pertimbangan disejajarkannya antara Undang-Undang dengan Perppu adalah karena materi muatan Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang. 42 Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU 12/2011. Untuk mewujudkan mekanisme checks and balance antara Presiden dan DPR, terdapat kriteria normatif yang harus dipenuhi dalam penetapan Perppu sebagaimana pasal 22 ayat (2) UUD Tahun Perppu harus mendapat persetujuan DPR di persidangan berikutnya, jika DPR tidak menyetujui maka Perppu haruslah dicabut Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 43 Lihat Pasal 52 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 32

12 Keberadaan Perppu sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena mengingat dalam keadaan tidak normal, Presiden haruslah bertindak cepat dan sigap untuk mengatasi keadaan tersebut kemudian dalam keadaan kembali normal Presiden harus membicarakan bersama dengan DPR dengan kemungkinan disetujui menjadi Undang-undang ataupun sebaliknya dilakukan pencabutan. C. Kekuasaan Legislasi Presiden Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah membawa pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD 1945). Pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang itu dapat dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, memiliki dasar pemikiran yang kuat, secara logis 33

13 memang harus demikian adanya guna menghindari implikasi yuridis berupa duplikasi kekuasaan kelembagaan negara. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 memang harus dirumuskan bahwa Presiden bukan sebagai pemegang kekuasaan, sebab Presiden sebagai lembaga yang menjalankan undang- undang, karena itu Presiden dari perspektif kekuasaan tepat diberikan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Kemudian, perubahan Pasal 5 ayat (1) diikuti dengan mengamandemen Pasal 20 UUD Hal ini dapat dilihat dengan adanya suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga dalam pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu untuk mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4) UUD 1945). Menurut Jimly Asshiddiqie, tindakan pengesahan Presiden sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut hanyalah bersifat administratif belaka, karena secara materiil rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama 34

14 antara DPR dan Presiden yang diputuskan dalam rapat Paripurna DPR-RI adalah tindakan pengesahan yang bersifat materiil, sedangkan pengesahan oleh Presiden sebagaimana dimaksud oleh pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut adalah pengesahan yang bersifat formil. 44 Apalagi dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ayat (5) yang menentukan jika dalam waktu 30 hari sejak mendapat persetujuan dari Presiden, maka rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang. Sehingga bisa dipastikan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama pasti akan menjadi undangundang. 45 Walaupun kekuasaan membentuk undang-undang telah berada di DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan kekuasaan dalam menetapkan Perppu yang derajatnya sama dengan undang-undang. Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 UUD Selain itu Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 44 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal Ibid. 35

15 Menurut pendapat Monstesquieu yang dikutip oleh Sumali 46, prinsipnya kekuasaan legislatif yang diharapkan sebagai satu-satunya badan yang membuat peraturan perundang-undangan (wet materielezin). Namun dalam praktiknya terbatas pada Undangundang (wet formele zin) saja, untuk peraturan perundang-undangan di luar Undang-undang dan UUD cenderung melekat pada kekuasaan eksekutif. Kewenangan eksekutif untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang dan UUD masih dalam koridor yang ditentukan dalam Undang-Undang dan UUD. Presiden merupakan produsen hukum terbesar, karena Presiden paling mengetahui banyak dan memiliki akses terluas, terbesar memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses pembuatan hukum. Presiden paling mengerti mengapa, untuk siapa, berapa, kapan, dimana, dan bagaimana peraturan tersebut dibuat. Presiden mempunyai keahlian serta tenaga ahli paling banyak memungkinkan proses pembuatan peraturan. 47 Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa: Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Pasal tersebut memberikan 46 Sumali, Op.cit, hal Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2010, hal

16 penjelasan bahwa, selain selaku kepala eksekutif Presiden mempunyai kewenangan sebagai penyelenggara pemerintahan, Presiden mempunyai hak dalam peraturan perundang-undangan membentuk peraturan pelaksana undang-undang yang diperlukan untuk memperlancar kelangsungan pemerintahan negara. Presiden mempunyai kekuasaan di bidang peraturan perundang-undangan yang bervariasi, yaitu kekuasaan legislatif artinya Presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, kekuasaan reglementer artinya membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang atau menjalankan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan terakhir kekuasaan eksekutif yang didalamnya mengandung kekuasaan pengaturan dengan keputusan Presiden. 48 Praktiknya kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang oleh kepala negara atau kepala pemerintahan ditambahkan adanya kekuasaan untuk mengatur karena delegasi kewenangan mengalir dari kewenangan lembaga legislatif berdasarkan Undang-Undang maupun secara langsung oleh Undang- Undang Dasar. Fungsi pengaturan terlihat dalam pembentukan undang-undang dengan persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UUD Tahun 1945, pembentukan Peraturan Pemerintah 48 Sumali, Op.cit, hal

17 berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh UUD Tahun Tabel 2.2 Kekuasaan Legislasi Presiden Berdasarkan UUD Tahun 1945 jo UU No 12 Tahun 2011 Kekuasaan UUD Tahun 1945 UU No 12 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (1): Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. Legislasi Presiden Berhak mengajukan Rancangan Undang- Undang (RUU) kepada DPR Pasal 5 ayat (1): Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang- Undang (RUU) kepada DPR. Pasal 47 ayat (1): Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Pasal 50 ayat (1): Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Pasal 50 ayat (3): DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud 49 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal

18 Ikut serta membahas rancangan undangundang dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama. Mengesahkan Undang-Undang Pasal 20 ayat (2): Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 20 ayat (3): Jika rancangan undangundang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pasal 20 ayat (4): Presiden mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undangundang. Pasal 20 ayat (5): Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. Pasal 65 ayat (1): Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pasal 69 ayat (3): Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Pasal 72 ayat (1): Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Pasal 73 ayat (1): Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan 39

19 semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan. Pasal 22 ayat (1): Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Pasal 22 ayat (2): Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Pasal 22 ayat (3): Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Pasal 73 ayat (2): Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Pasal 1 angka 4: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Pasal 11: Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 52 ayat (1): Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. 40

20 itu harus dicabut. Pasal 52 ayat (3): DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pasal 52 ayat (4): Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pasal 5 ayat (2): Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Pasal 52 ayat (5): Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Pasal 1 angka 5: Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang- Undang sebagaimana mestinya. Pasal 12: Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 41

21 Menetapkan Peraturan Presiden Pasal 4 ayat (1): Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 24: Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah. Pasal 27: Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya. Pasal 1 angka 6: Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Pasal 13: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Pasal 30: Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden. Sumber: UUD 1945 dan UU No 12 Tahun 2012, diolah penulis 42

22 Berdasarkan tabel sebelumnya, maka Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, memiliki kewenangan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU), ikut serta membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama, menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) didasarkan atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan: Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang. Menurut pendapat Bagir Manan, kewenangan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) adalah kewenangan luar biasa di bidang perundangundangan sedangkan kewenangan ikut membentuk Undang- 43

23 undang, menetapkan Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden merupakan kewenangan biasa. 50 D. Hakikat PERPPU Di Indonesia 1. Mekanisme Pembentukan PERPPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah peraturan yang dibentuk Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, proses pembentukannya berbeda dengan pembentukan Undang-Undang meskipun memiliki materi muatan yang sama. Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu sebagai suatu noodverordeningsrecht Presiden artinya terdapat hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa. 51 Pasal 22 UUD Tahun 1945 memberikan penjelasan bahwa, peraturan pemerintah pengganti undang-undang mempunyai hierarki, fungsi dan materi muatan sama dengan Undang-Undang, hanya saja dalam pembentukannya berbeda dengan Undang-undang. Dalam Pasal 53 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan: Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti 50 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta, 2009, hal Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Op.cit, hal

24 Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tata cara penyusunan perundangan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menyatakan bahwa: Pasal 57 Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pasal 58 (1) Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut sebagai Pemrakarsa. (2) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait. Pasal 59 Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang telah selesai disusun disampaikan oleh menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) kepada Presiden untuk ditetapkan. Pasal 60 Pemrakarsa menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ditetapkan oleh Presiden. 45

25 Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menjelaskan bahwa apabila dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Perppu kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Perppu tersebut sebagai Pemrakarsa berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait. Kemudian, rancangan Perppu yang telah selesai disusun disampaikan oleh menteri kepada Presiden untuk ditetapkan. Setelah mendapatkan penetapan dan diundangkan oleh Presiden, Perppu dapat langsung berlaku mengikat umum, akan tetapi harus diajukan ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Gambaran mekanisme pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam perundang-undangan, dapat ditemukan dalam Pasal 52 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 52 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi Undang-undang. 46

26 (3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undangudang. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang. (5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-undang tentang pecabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. (7) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. (8) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Berdasarkan paparan sebelumnya, maka mekanisme pembentukan Perppu berjalan lebih singkat dibandingkan dengan pembentukan UU, mengingat pembentukanya dalam keadaan tidak normal dan ditetapkan oleh Presiden tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya hal ikhwal kegentingan memaksa. 47

27 2. Materi Muatan PERPPU Secara umum materi yang dapat diatur dengan instrumen Perppu pada prinsipnya adalah sama dengan materi dalam Undang- Undang (vide Pasal 11 UU No 12 tahun 2011). Keduanya merupakan jenis peraturan perundangan memiliki kekuatan dan derajat setara (vide Pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011). Jika dilihat dari prosedur atau mekanisme pembuatannya berbeda satu sama lainnya. Undang-undang pembuatannya dilakukan secara bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Sedangkan Perppu pada akhirnya melibatkan peran DPR, namun merupakan hak prerogatif Presiden. Sebagai peraturan darurat, materi muatan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang mengandung pembatasanpembatasan. Tanpa pembatasan tersebut berpotensi menjadi sumber ketidakteraturan dan penyimpangan dalam penyelenggaraan negara. Menurut pendapat Bagir Manan, materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara). 52 Menurutnya tidak boleh Perppu dikeluarkan bersifat ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara, kewarganegaraan, territorial, negara, dan hak dasar rakyat. 52 Sumali, Op.cit, hal

28 Sedangkan menurut pendapat Yuzril Ihza Mahendra 53 pembatasan materi muatan Perppu oleh UUD Tahun 1945 dapat disimpulkan secara jelas pada penetapan APBN meskipun dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, UUD Tahun 1945 tidak memberi peluang bagi Presiden untuk menetapkan APBN secara sepihak melalui Perppu. Walaupun UUD Tahun 1945 menganut prinsip kesetaraan antara DPR dan Presiden, namun penetapan APBN dalam penjelasan UUD Tahun 1945 mengatakan bahwa kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintahan. Sehubungan dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni : 54 a) memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige); b) tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan hierarki peraturan perundang-undangan; c) tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat; d) diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum. Selain itu, hal yang berkaitan dengan asas peraturan perundang-undangan tentang materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) jo Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011: 53 Ibid. 54 Sjachran Basah, Op.cit, hal 4. 49

29 a. Asas pengayoman ialah setiap materi muatan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusian ialah setiap materi muatan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara secara proporsional. c. Asas kebangsaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic dengan menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Asas kekeluargaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. c. Asas kenusantaraan ialah setiap peraturan perundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem hukum. d. Asas bhineka tunggal ika ialah setiap materi muatan peraturan perundang harus memperhatikan keragaman penduduk. e. Asas keadilan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara. 50

30 f. Asas kesamaan ialah kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ialah materi muatan peraturan perundangan tidak boleh berisi hal yang bersifat membedakan latar belakang seperti agama, ras, suku, golongan, gender, atau status sosial. g. Asas ketertiban ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. h. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud sebelumnya, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (vide Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011). Yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain (vide Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011) : a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; 51

31 b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. 3. Sifat PERPPU Perppu ini memiliki sifat provisional (sementara) karena jangka waktunya terbatas, maka secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya (vide Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Yang dimaksud dengan persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan (vide Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (vide Pasal 52 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011). Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 52 ayat (5) UU No 12 Tahun 2011). Jadi waktu antara diundangkannya suatu Perppu dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama atau dengan kata lain sifat provisional (sementara) Perppu itu karena waktunya begitu singkat. Oleh sebab itu, Marida Farida Indrati Soeprapto berpendapat bahwa Perppu kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan Undang- Undang karena belum disetujui oleh DPR. 55 Meskipun sebenarnya 55 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal

32 Undang-Undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundangundangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-Undang dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah Undang-Undang. Saat suatu Perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan Undang-Undang, saat itulah biasanya Perppu dipandang memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan Undang-Undang. Hal ini disebabkan karena Perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meski Perppu belum disetujui oleh DPR. Sifat provisional (sementara) Perppu karena pembatasan jangka waktu dan perlu persetujuan DPR mengandung makna: 56 a. kewenangan membuat Perppu memberikan kekuasaan luar biasa kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perppu sebagai sarana; 56 Malik, Op.cit, hal

33 b. Materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU, karena itu harus diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan untuk menjadi UU; c. Perppu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsipprinsip negara berdasarkan atas hukum atau prinsip negara berkonstitusi. Pengajuan Perppu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum atau negara berkonstitusi. 4. Syarat Kegentingan Yang Memaksa Dalam Penerbitan PERPPU Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu disebut dengan martial law atau emergency legislation. 57 Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-Undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen. Oleh karena itu, kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut martial law, emergency law, atau emergency legislation. Mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Bagir Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) 57 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal

34 ada kemendesakan (emergency). 58 Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan. Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berpendapat: Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undangundang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Istilah halihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian keadaan bahaya menurut ketentuan Pasal 12 UUD Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undangundang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung 58 Bagir Manan, Op.cit, hal

35 di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi peraturan pemerintah. 59 Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, syarat materiil yaitu keadaan memaksa untuk menetapkan Perppu dibagi menjadi tiga meliputi: 60 a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity ; b. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; dan c. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut. Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu sebagai suatu noodverordeningsrecht Presiden artinya terdapat hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa. Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan Presiden secara subjektif menilai keadaan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, sehingga pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu. Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan 59 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Op.cit, hal Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal

36 istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan yang sukar, penting, dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundangundangan yang setingkat dengan undang-undang. 61 Oleh sebab itu Perppu juga mengandung pembatasan. Pertama, Perppu hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Kewenangan menetapkan Perppu ada pada Presiden, maka Presidenlah yang secara subjektif menentukan kegentingan yang memaksa. 62 Kedua, Perppu hanya berlaku untuk jangka waktu yang 61 I Gde Pantja Astawa, dalam Malik, Perppu Pengawasan Hakim MK Versus Putusan Final MK. Jurnal Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hal Jika ditelaah, penggunaan istilah keadaan bahaya pada Pasal 12 UUD 1945 dan istilah hal ihwal kegentingan yang memaksa pada Pasal 22 UUD 1945 memiliki perbedaan. Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan ditentukan syarat-syarat objektif untuk pemberlakuan, pengawasan, dan pengakhiran suatu keadaan bahaya. Pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka pemberlakuan keadaan bahaya itu. Namun Pasal 22 UUD 1945 tidak menentukan adanya syarat-syarat objektif semacam itu, kecuali menyerahkan pelaksanaan sepenuhnya kepada Presiden untuk menilai apakah kondisi negara berada dalam keadaan genting dan memaksa atau terdapat hal ikhwal kegentingan yang bersifat memaksa untuk ditetapkan suatu Perppu. Dengan perkataan lain, Pasal 12 mengatur mengenai keadaan yang bersifat objektif, sedangkan Pasal 22 mengatur mengenai tindakan pengaturan yang harus dilakukan oleh Presiden atas dasar penilaian subjektifnya mengenai keadaan negara. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal

37 terbatas. Presiden paling lambat dalam masa sidang DPR berikutnya harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperolah persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang. Kalau tidak disetujui, Perppu tersebut harus segera dicabut Malik, Op.cit, hal

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

BAB III KEKUASAAN PRESIDEN DALAM MENGELUARKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU)

BAB III KEKUASAAN PRESIDEN DALAM MENGELUARKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) 50 BAB III KEKUASAAN PRESIDEN DALAM MENGELUARKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) A. Kekuasaan Presiden Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia 1945 1. Kekuasaan Presiden Sebelum

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI

PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI PENDAHULUAN Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang Disampaikan dalam acara semiinar nasional Quo Vadis Perpu Ormas yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum Pidana dengan Hukum Acrara FH UII, 19 Oktober 2017. Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Lahir : Solo, 14 Juni 1949 Alamat Rumah : Jl. Margaguna I/1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Alamat Kantor : Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bahan Raker, 17-05-04 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :a.

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa 16 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat agar dapat berjalan tertib dan teratur PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Adalah peraturan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SISTEM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SISTEM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ----------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SISTEM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN JAKARTA 2010 Sipur 2, 26 Oktober 2010

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS, PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah merupakan bagian

Lebih terperinci

HAN Sektoral Pertemuan Kedua HAN Sektoral dan Peraturan Perundang-Undangan SKEMA PEMERINTAH

HAN Sektoral Pertemuan Kedua HAN Sektoral dan Peraturan Perundang-Undangan SKEMA PEMERINTAH HAN Sektoral Pertemuan Kedua HAN Sektoral dan Peraturan Perundang-Undangan SKEMA HAN HETERONOM Peraturan Perundang-Undangan yang memberikan landasan/dasar hukum kewenangan UUD/UU PEMERINTAH HAN OTONOM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA GUBERNUR KELUARGA MAHASISWA,

Lebih terperinci

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010. rendah) ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi untuk selanjutnya pembentukan norma hukum ini berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi nomr dasar tertinggi dari keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN,

2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, 1 SALINAN 2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka menghadapi. Dikeluarkannya Perpu oleh Presiden harus memuat unsur hal ihwal

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka menghadapi. Dikeluarkannya Perpu oleh Presiden harus memuat unsur hal ihwal 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Dengan adanya kasus century yang terjadi pada tahun 2008, mengakibatkan terjadinya krisis keuangan di Indonesia. Mengingat krisis yang terjadi mengancam perekonomian

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH Makna Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Apa informasi yang kalian peroleh

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi Ni matul Huda Abstract The authority to reviewing Perppu can not be obtained based on the interpretation of an institution or the situation that demanded the interpretation

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara. Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat)

BAB I. Pendahuluan. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara. Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) 1 BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) sehingga penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH 1 MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dalam keadaan genting dan memaksa. Dalam hal kegentingan tersebut, seorang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * Oleh: Dra. Hj. IDA FAUZIAH (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR) A. Pendahuluan Dalam Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH I. UMUM bahwa produk hukum merupakan landasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 705 TAHUN : 2005 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

EVALUASI PENTINGNYA PERPU DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DAN KETATANEGARAAN INDONESIA

EVALUASI PENTINGNYA PERPU DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DAN KETATANEGARAAN INDONESIA EVALUASI PENTINGNYA PERPU DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DAN KETATANEGARAAN INDONESIA Encik Muhammad Fauzan 1 Email: encik.fauzan@trunojoyo.ac.id Novan Mahendra Pratama Email: mpnovan@gmail.com Indah

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014 Herlambang P. Wiratraman Unair - 2016 DPD update..! Apa isu hukum atas perdebatan ricuhnya? Mengapa? dan bagaimana ditinjau dari sudut hukum

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPPU) DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. Tesis

EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPPU) DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. Tesis EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPPU) DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA Tesis Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Meninbang : a. bahwa Negara mengakui

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 26 TAHUN 2006 T E N T A N G PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III TOLOK UKUR HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERPPU. pemerintah telah menerbitkan sekitar 209 peraturan pemerintah

BAB III TOLOK UKUR HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERPPU. pemerintah telah menerbitkan sekitar 209 peraturan pemerintah BAB III TOLOK UKUR HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERPPU A. Penerbitan PERPPU Di Indonesia Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang (1945-2015), pemerintah telah menerbitkan sekitar

Lebih terperinci

EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN

EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN Oleh SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat Studi Konstitisi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang POKOK BAHASAN 1. Perdebatan

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 I.PENDAHULUAN Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2004, Indonesia sebagai Negara

Lebih terperinci

PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM)

PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM) Volume 15, Nomor 2, Hal. 73-80 Juli Desember 2013 ISSN:0852-8349 PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM) Meri Yarni Fakultas Hukum Universitas Jambi Kampus Pinang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM. perubahan UUD 1945, serta sebelum di tetapkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,

BAB II GAMBARAN UMUM. perubahan UUD 1945, serta sebelum di tetapkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, BAB II GAMBARAN UMUM A. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia Melihat sejarah pembentukan Undang-Undang di Indonesia, khususnya sebelum perubahan UUD 1945, serta sebelum di tetapkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan terbitnya Undang-Undang

Lebih terperinci

URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#4) Teori Perundang-undangan (Pembentukan Peraturan Perundangundangan)

URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#4) Teori Perundang-undangan (Pembentukan Peraturan Perundangundangan) URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#4) Teori Perundang-undangan (Pembentukan Peraturan Perundangundangan) Sebelum terbentuknya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, menurut Maria

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi

Lebih terperinci

14 LEMBARAN DAERAH Agustus KABUPATEN LAMONGAN 11/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG

14 LEMBARAN DAERAH Agustus KABUPATEN LAMONGAN 11/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG 14 LEMBARAN DAERAH Agustus KABUPATEN LAMONGAN 11/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

Mentaati Peraturan. Perundang-undangan

Mentaati Peraturan. Perundang-undangan Mentaati Peraturan Perundang-undangan A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Peraturan adalah petunjuk tentang tingkah laku yang harus dilakukanatau tidak boleh dilakukan. Sedangkan Peraturan perundangundangan

Lebih terperinci