BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ginjal kronis (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ginjal kronis (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi"

Transkripsi

1 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronis Epidemiologi Penyakit ginjal kronis (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang besar ini mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK. Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan penyebab yang penting dari PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008). Penderita PGK yang mendapat pengobatan terapi pengganti ginjal diperkirakan 1,8 juta orang. Terapi pengganti ginjal mencakup dialisis dan transplantasi ginjal dan lebih dari 90% di antaranya berada di negara maju (Suhardjono, 2006). Prevalensi PGK di berbagai negara dilaporkan berkisar 10-20%, sementara di Indonesia sendiri prevalensi PGK didapatkan sebesar 12,5% (Prodjosudjadi dkk., 2009). Penderita PGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009 diperkirakan terdapat orang penderita GGK yang baru. Lebih dari penderita PGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Sedangkan di Indonesia, jumlah pasien PGK meningkat pesat dengan angka kejadian gagal ginjal yang menjalani hemodialisis dari tahun 2002 sampai 2006 secara berturut-turut adalah 2077, 2039, 2594, 3556, dan 4344 orang (Pratama dkk., 2014). 5

2 Batasan Penyakit ginjal kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Sedangkan, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat tertentu memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Gejala klinis yang serius seringkali tidak muncul sampai jumlah nefron fungsional ginjal berkurang hingga persen di bawah normal (KDIGO, 2013; Thomas dkk., 2008). Kriteria PGK dapat dilihat pada Tabel 2.1. Petanda kerusakan ginjal (satu atau lebih)) Penurunan LFG Keterangan: Kriteria PGK AER ACR Tabel 2.1 Kriteria PGK (KDIGO, 2013) Albuminuria (AER _ 30 mg/24 jam; ACR -30 mg/g [3 mg/mmol]) Abnormalitas pada sedimen urin Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan kerusakan tubulus Abnormalitas pada pemeriksaan histologi Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging Riwayat transplantasi ginjal LFG <60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3a G5) : kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan : Albumin exretion ratio : Albumin creatinine ratio

3 Stadium PGK Penyakit ginjal kronis dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah ini. Pemeriksaan deteksi dini pada PGK-GMT dimulai pada st G3b, seperti kadar fosfat serum, kalsium serum, dan PTH (KDIGO, 2013). Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013) Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Batasan G1 G2 G3a G3b G4 G <15 Normal atau Tinggi Penurunan ringan Penurunan ringan sampai sedang Penurunan sedang sampai berat Penurunan berat Gagal ginjal Indikasi dialisis jika didapatkan satu atau lebih gejala gejala atau tanda: kegagalan ginjal (serositis, abnormalitas asam-basa atau elektrolit, gatal); kegagalan pengaturan status volume atau tekanan darah; perburukan progresif status nutrisi setelah diberian intervensi; gangguan kognitif. Keadaan tersebut umumnya terjadi pada LFG 5-10 ml/menit, dan terdapat terdapat bukti penurunan dan ireversibelitas PGK dalam 6-12 bulan (KDIOGO, 2013). Pada keadaan tersebut diatas maka dapat dilakukan prosedu dialisis pada penderita PGK. Sedangkan, penyakit ginjal kronis predialisis adalah pasien PGK stadium 1 sampai 5 (LFG 90 ml/menit - <15 ml/menit) yang belum memerlukan/belum pernah dialisis dalam penanganannya (Ravani dkk., 2013) Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronis PGK-GMT adalah suatu penyakit multisistem yang meliputi abnormalitas dari metabolisme tulang, osteodistrofi ginjal, dan kalsifikasi ekstraskeletal. Istilah

4 4 PGK-GMT sendiri merupakan hal yang baru dalam beberapa tahun terakhir. PGK-GMT digunakan untuk mendeskripsikan suatu kondisi yang berkembang sebagai konsekuensi perubahan sistemik yang terkait dengan PGK. Gangguan sistemik ini terdiri dari satu atau kombinasi dari kondisi abnormalitas nilai laboratorium dari kalsium, fosfat, PTH atau vitamin D; abnormalitas pergantian tulang, mineralisasi, pertumbuhan volume, linear dan kekuatan tulang; dan kalsifikasi dari vaskular atau jaringan lainnya (Cozzolino dkk., 2014). Abnormalitas dari metabolisme mineral mengarah pada hipertiroid sekunder merupakan komplikasi dari penyakit ginjal dan patogenesisnya sangat multifaktorial (Fang, dkk., 2014). PGK-GMT dapat menimbulkan kelainan pada tulang maupun ekstra skeletal seperti jaringan lunak dan vaskuler. Beberapa studi kohort telah menunjukkan hubungan antara PGK-GMT dengan fraktur, patologis penyakit kardiovaskular dan kematian (morbiditas dan mortalitas). Oleh karenanya penatalaksanaan yang tepat terhadap PGK-GMT akan sangat berperan dalam mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup penderita PGK (Martin dkk., 2015). Diagnosis PGK-GMT didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pencitraan, dan biopsi tulang. Gejala klinis PGK-GMT cenderung tidak spesifik, bahkan pada penyakit yang lanjut. Secara umum gejala dapat berupa nyeri tulang, kelemahan otot, pruritus, calciphylaxis (calcemic uremic arterilopaty) dan fraktur (Suwitra, 2009).

5 5 2.2 Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23) Sejarah FGF-23 Fibroblast Growth Factor-23 pertama kali di identifikasi pada jaringan embrio tikus dengan metode hibridisasi homolog (Juppner dkk, 2010; Mirza, 2010) yang memperlihatkan mutasi missense pada gen FGF-23 sebagai penyebab autosomal dominant hypophosphatemic rickets (ADHR). Autosomal dominant hypophosphatemic rickets merupakan penyakit phosphate wasting dengan ciri khas perawakan pendek, nyeri tulang, fraktur dan deformitas ekstremitas bagian bawah. Fenotip ADHR terjadi akibat mutasi gain-of-function (R176Q, R179Q dan R179W) yang mengakibatkan resistensi proteolitik sehingga sirkulasi FGF-23 meningkat dan menyebabkan phsophate wasting. Peningkatan FGF-23 dalam sirkulasi juga terjadi pada pasien X-linked hipofosfatemia (XLH) ditandai dengan kelainan fenotip pada skeletal dan ginjal. Kelainan skeletal diantaranya defek kalsifikasi kartilago dan tulang, menyebabkan rickets, osteomalacia, dan pertumbuhan terhambat. Kelainan ginjal diantaranya terganggunya reabsorpsi fosfat pada tubulus ginjal dan regulasi produksi 1,25(OH)2D, menyebabkan hipofosfatemia yang resisten dengan terapi fosfat dan vitamin D. Tumor-Induce Osteomalacia (TIO) disebut juga osteomalacia oncogenic merupakan penyakit paraneoplastik dimana terdapat ekspresi ektopik berlebih FGF-23 dengan ciri khas hipofosfatemia akibat phosphate wasting dari ginjal (Mirza, 2010). Beberapa sindrom pada manusia disebabkan oleh FGF-23 berlebih atau berkurang menunjukkan FGF-23 sebagai hormon regulator utama homeostasis fosfat (Mirza, 2010).

6 Genetika, Struktur Protein, dan Sintesis FGF-23 Fibroblast Growth Factor-23 merupakan sebuah protein 32-kDa dihasilkan paling banyak oleh osteosit dan osteoblas di tulang (Wahl dan Wolf, 2012; Komaba dan Fukugawa, 2010; Mirza, 2010). Fibroblast Growth Factor-23 adalah suatu polipeptida yang memiliki regio inti sama mengandung sekitar 120 residu asam amino, diantaranya residu N- dan C-terminal. Gen FGF-23 terletak pada kromosom 12p13 dan terdiri dari 3 ekson membentang pada 10kb genomic sequence (Mirza, 2010). Terdapat 7 subfamili FGFs pada manusia (Mirza, 2010; Russo dan Battaglia, 2011). Subfamili FGF terdiri dari 3 protein FGF-19, FGF- 21, dan FGF-23 - dengan fungsi biologis yang berbeda. Fibroblast Growth Factor-23 merupakan regulator utama homeostasis fosfat dan kadar calcitriol dalam darah; FGF-19 menghambat ekspresi enzim kolesterol 7-a-hydroxylase (CYP7A1), berperan pada langkah awal menghambat sintesis asam empedu; FGF- 21 menstimulasi uptake glukosa insulin-independent di sel lemak dan menurunkan kadar trigliserida (Russo dan Battaglia, 2010). Waktu paruh FGF-23 intak di sirkulasi pada manusia normal sekitar 58 menit (Mirza, 2010; Russo dan Battaglia, 2010). Stimulator utama sintesis FGF-23 adalah makanan mengandung fosfat dan 1,25(OH)2D3 (Juppner, 2010). Terdapat 2 alat ukur FGF-23 manusia yang telah tersedia secara komersil. Full length FGF-23 dapat ditentukan dengan teknik sandwich ELISA, dimana 2 jenis antibodi monoklonal mendeteksi bagian N-terminal dan C-terminal secara simultan. Sedangkan deteksi C-terminal dapat mendeteksi full-length dan fragmen C-terminal FGF-23 (Mirza, 2010). Sruktur protein FGF-23 dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

7 7 Gambar 2.1 Struktur protein FGF-23 (Saito dan Fukumoto, 2009) Mekanisme Kerja FGF-23 Regulasi FGF-23 diatur oleh fosfat, 1,25-dihydroxyvitamin D, dan PTH (Diniz dan Frazao, 2013). Fibroblast Growth Factor-23 bekerja dengan berikatan pada reseptor fibroblastic growth factor receptor (FGFR) dengan bantuan koreseptornya Klotho (Komaba dan Fukagawa, 2010; Russo dan Battaglia, 2011). Kompleks Klotho/FGF-R dan FGF-23 berikatan lebih kuat dibanding FGF-R atau Klotho saja. Klotho merupakan 130-kDa transmembrane b-glucuronidase dapat menghidrolisis steroid b-glucoronides. Ekspresi gen Klotho terdapat pada sel tubulus ginjal, paratiroid, dan pleksus choroid. Ekpresi Klotho di ginjal paling banyak pada tubulus distal yang juga merupakan tempat ikatan awal dan signaling FGF-23 (Russo dan Battaglia, 2011). Fibroblast Growth Factor-23 berperan penting dalam metabolisme mineral, memiliki 3 fungsi yang berbeda. Pertama, full length FGF2-3 yang merupakan hormon fosfaturia. Fibroblast Growth Factor23 menyebabkan fosfaturia melalui penurunan ekspresi dan endositosis sodium-phosphate cotransporters NPT2a dan NPT2c pada tubulus proksimal ginjal (Mirza, 2010;

8 8 Komaba dan Fukagawa, 2010), sehingga reabsorpsi fosfat berkurang dan ekskresi fosfat urin meningkat (Juppner, 2011). Hal ini terjadi melalui aktivasi jalur mitogen-activated protein kinase (MPAK). Kedua, FGF-23 berperan pada fosfaturia tidak menyebabkan up-regulasi produksi 1,25 (OH)2D. Tetapi, FGF-23 mensupresi renal 1-alpha-hydroxylase (1α-OHase), menyebabkan berkurangnya konversi 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) menjadi metabolik aktifnya 1,25(OH)2D. Kemudian FGF-23 menurunkan kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D dengan menstimulasi 24-hydroxylase, yang bertanggung jawab pada degradasi vitamin D. Ketiga, di paratiroid, FGF-23 menurunkan ekspresi dan sekresi PTH, dan meningkatkan kadar m-rna 1α-hydroxylase, kontras dengan efek negatif FGF-23 pada 1α-Ohase di ginjal (Mirza, 2010) Target Organ FGF Ginjal Ginjal merupakan organ target utama FGF-23 dan fungsi utamanya adalah mengatur regulasi reabsorpsi fosfat dan produksi 1,25(OH)2D. Fibroblast Growth Factor-23 menghambat reabsorpbsi sodium-dependent fosfat dan aktivitas 1αhydroxylase di tubulus proksimal sehingga terjadi hipofosfatemia dan produksi 1,25(OH)2D menurun. Bagian ginjal dan reseptor yang memediasi respon ginjal terhadap FGF-23 masih belum jelas. Efek biologis FGF-23 terjadi pada tubulus proksimal (Liu dan Quarles, 2007) Kelenjar Paratiroid Merupakan salah satu target organ FGF-23. Klotho dan FGFR terdapat pada kelenjar paratiroid. Pada tikus percobaan peningkatan kadar FGF-23, terjadi

9 9 peningkatan kadar PTH serum. Terdapat hubungan erat peningkatan kadar FGF- 23 dan hiperparatiroid sekunder pada PGK (Liu dan Quarles, 2007) Organ lainnya Target organ lainnya adalah pleksus choroid di otak. Fungsi FGF-23 pada daerah ini belum sepenuhnya diketahui. Fibroblast Growth Factor-23 diproduksi di nukleus ventrolateral talamus, dan pleksus choroid mengekspresikan Klotho dan FGFR begitu juga transporter fosfat sodium-dependent (Liu dan Quarles, 2007). Efek FGF-23 pada pituitari masih belum jelas. Kelenjar pituitari menjadi target organ FGF-23 dibuktikan dengan upregulasi respon dini ekspresi gen akibat pemberian FGF-23 pada tikus (Liu dan Quarles, 2007) Hal-Hal yang Mempengaruhi Kadar FGF Diet dan Fosfat Serum Individu sehat dapat mempertahankan kadar fosfat serum dalam nilai normal, karena kadar FGF-23 naik dan turun paralel dengan jumlah diet fosfat yang dikonsumsi. Peningkatan kadar FGF-23 sebagai respon diet tinggi fosfat menyebabkan FEPi urin meningkat, dan menurunkan kadar 1,25 dihydroxyvitamin D, sehingga absropsi fosfat di usus berkurang. Jika diet rendah fosfat, kadar FGF- 23 turun, absorpsi fosfat di ginjal dan usus meningkat sehingga kadar 1,25 dihydroxyvitamin D meningkat. Penelitian terbaru dalam The Health Professionals Follow-up Study menyatakan terdapat korelasi langsung antara diet fosfat dan kadar FGF-23 pada populasi (Wolf, 2012). Kadar fosfat yang tinggi meningkatkan aktivitas FGF-23 in vitro. Studi in vivo menunjukkan peningkatan FGF-23 secara konsisten akibat menumpuknya

10 10 fosfat. Pada manusia kadar FGF-23 dipengaruhi oleh diet dan respon kadar fosfat serum yang tinggi pada pasien hipoparatiroid kronis. Pada pasien PGK, beberapa studi menunjukkan bahwa diet fosfat berpengaruh terhadap perubahan FGF-23 serum (Wolf, 2012). Pada PGK stadium 3-5 dianjurkan diet rendah fosfat mg/hari (Suwitra, 2009). Untuk mengurangi fosfat akibat diet atau memanipulasi bioavailibilitasnya, obat pengikat fosfat dapat digunakan untuk mengurangi absorpsinya di pencernaan. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian obat pengikat fosfat, lanthanum, sevelamer, aluminium-magnesium, dan kalsium karbonat, menurunkan kadar FGF-23 pada volunter sehat, pada pasien End Stage Renal Disease (ESRD) dengan hiperfosfatemia, dan pasien PGK dengan fosfat serum normal atau meningkat (Wolf, 2012) Vitamin D Pada jalur feedback negative klasik, 1,25 dihydroxyvitamin D menstimulasi sekresi FGF-23, dan FGF-23 menurunkan kadar 1,25 dihydroxyvitamin D. Regulasi transkripsi FGF-23 diatur oleh elemen vitamin D pada promoter FGF-23, sehingga aktivitas vitamin D penting dalam produksi FGF-23 (Wolf, 2012). Kultur osteoblas secara langsung dengan 1,25(OH)2D dan pemberian calcitriol in vivo keduanya menstimulasi produksi FGF-23 di tulang dan osteoblas, tidak dipengaruhi oleh fosfat serum dan PTH. Hal ini dipengaruhi dimediasi oleh vitamin D responsive element (VDRE) pada FGF-23 promoter. Pada manusia, terapi calcitriol intravena meningkatkan kadar serum FGF23 (Mirza, 2010).

11 Paratiroid Fibroblast Growth Factor23 dan PTH memiliki jalur feedback negative yang sama. Fibroblast Growth Factor23 menghambat sekresi PTH melalui jalur FGFR-Klotho-independent, dan PTH menstimulasi FGF-23 secara langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan 1,25 dihydroxyvitamin D melalui PTH (Wolf, 2012). Kadar FGF-23 meningkat pada hewan percobaan dengan hiperparatiroid primer, dan menurun setelah paratiroidektomi. Tetapi, efek PTH terhadap FGF-23 pada manusia masih belum jelas dan hasil yang kontradiksi telah dilaporkan. Pada manusia sehat, infus intravena 24 jam PTH menyebabkan peningkatan FGF-23, efek ini dapat menyebabkan peningkatan 1,25(OH)2D bersamaan (Mirza, 2010) Faktor Genetik Faktor genetik dapat secara langsung maupun tidak langsung pada stimulasi berlebih FGF-23 serum seperti pada ADHR dan XLH (Mirza, 2010). Regulasi oleh phosphate regulating gene with homologies to endopeptidases on the X chromosome (PHEX) serta dentin matrix protein 1 (DMP1). Bila terjadi mutasi atau inaktivasi dari PHEX, maka akan meningkatkan ekpresi gen FGF-23 pada sel osteoblas dan osteosit tulang (Liu dkk., 2007; Yuan dkk., 2008). Mutasi maupun inaktivasi dari DMP1 juga menyebabkan peningkatan ekpresi FGF-23 pada osteoblas dan osteosit tulang (Feng dkk., 2006; Liu dkk., 2007). Ekpresi FGF-23 pada tulang juga dipengaruhi oleh reseptor FGF-23 (FGFR). Mutasi pada FGFR-1 seperti pada penyakit osteoglophonic dysplasia (OGD) akan menyebabkan peningkatan kadar FGF-23 serum serta hipofosfatemia (White dkk., 2005).

12 Kalsium Kadar kalsium yang tinggi dapat menstimulasi sekresi FGF-23. Ketika, anak tikus diberi diet tinggi kalsium sehingga serum kalsium meningkat, kadar FGF23 juga naik. Pemberian cinacalcet (obat calcimimetics) pada hewan percobaan dan manusia terjadi penurunan FGF-23 pada pasien PGK. Mekanismenya multifaktorial dan bervariasi sesuai dengan stadiumnya. Pada PGK predialisis, cinacalcet menurunkan FGF-23 dan PTH dan terjadi penigkatan fosfat serum, sedangkan pada End Stage Renal Disease (ESRD) cinacalcet menurunkan FGF-23 dan PTH serta fosfat serum. Mekanisme yang mungkin terjadi cinacalcet menurunkan FGF-23 adalah melalui penurunan PTH, hal ini terjadi pada seluruh stadium PGK (Wolf, 2012). 2.3 Fraksi Ekskresi Fosfat Urin (FEPi) urin Pada kondisi normal, pengukuran ekskresi fosfat urin 24 jam menunjukkan absorpsi gastrointestinal fosfat (Robinson-Cohen dkk., 2014). Ekskresi fosfat urin dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya integritas fungsi glomerulus dan tubulus, diet fosfat, kadar serum FGF-23 dan PTH, kadar Klotho di ginjal, dan koreseptor FGF-23 (Craver, Dusso, Martinez-Alonso dkk., 2013). Fraksi ekskresi fosfat urin adalah persentase fosfat yang di filtrasi ginjal dan di ekskresikan melalui urin, merupakan suatu indikator ekskresi fosfat di ginjal (Bagnis dkk., 2009; Dominguez dkk., 2013). Nilai normal FEPi urin adalah 15-20% (Bagnis dkk., 2009). Fraksi ekskresi fosfat urin dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut; FEPi = (fosfat urin x kreatinin serum)/(fosfat serum x kreatinin urin) x 100% (Kestenbaum dan Drueke, 2010).

13 13 Perubahan metabolisme fosfat merupakan konsekuensi dari PGK. Seiring dengan penurunan LFG terdapat kompensasi peningkatan fraksi ekskresi fosfat urin untuk mempertahankan kadar serum fosfat tetap normal. Diet fosfat, PTH, dan phsophatonins (FGF23, FGF-7, dll) meregulasi ekskresi fosfat ginjal dengan mengatur ekspresi sodium-phosphate transportes (NaPi-IIa, NaPi-IIc, dan type III PiT-2) di membran apikal sel tubulus proksimal. Mekanisme kompensasi ini terjadi hingga stadium PGK semakin lanjut (Caravaca dkk., 2013). Fraksi ekskresi fosfat urin menstandarisasi ekskresi fosfat terhadap perbedaan konsentrasi urin dan kadar fosfat serum pada waktu yang sama, merupakan pengukuran awal mengetahui handling fosfat oleh ginjal (Gutierrez, 2005) Fosfat Serum dan Urin Fosfat berperan penting dalam membentuk struktur dan metabolisme sel. Fosfat ditemukan dalam bentuk mineral dan organik. Dalam sel, fosfat mengatur regulasi aktivitas enzim dan berperan sebagai komponen asam nukleat dan membran fosfolipid. Di luar sel, fosfat terdapat dalam gigi dan tulang sebagai hydroxyapatite; kurang dari 1% bersirkulasi dalam serum. Fosfat bersirkulasi dalam bentuk HPO4 2- dan H2PO4 -, dengan rasio 4:1 pada ph normal 7,4. Kadar fosfat serum normal 2,8-4,5 mg/dl (0,9-1,5 mmol/l) (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Pengaturan homeostasis fosfat terjadi di tubulus proksimal. Kadar fosfat serum merupakan indikator tubulus handling (Bagga dkk., 2005). Distribusi fosfat dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini.

14 14 Gambar 2.2 Distribusi fosfat (Kestenbaum dan Drueke, 2010) Absorpsi dan reabsorpsi fosfat terutama di intestinal dan ginjal. Konsumsi harian fosfat sekitar 800 mg-1500 mg, dan 65% dari fosfat tersebut diabsorbsi di duodenum dan jejunum dan bervariasi sesuai dengan konsumsi fosfat melalui proses para-selular dan intraselular (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Intra selular proses di mediasi melalui sodium-phosphate co-transport yang terdapat pada vili usus halus. Jalur para-selular merupakan gradient-dependent, transport pasif. Terdapat 3 Sodium-Phosphate co-transport yang telah ditemukan: NaPi-I, NaPi-II (a, b, dan c) dan NaPi-III. NaPi-IIb terletak di usus halus sedangkan NaPi-IIa dan NaPi-IIc ditemukan di ginjal, sekitar 85% absorpsi fosfat melalui proses intraselular (Raina dkk., 2012). Di ginjal, PTH dan FGF-23 merupakan hormon fosfaturik utama yang merangsang ekskresi fosfat urin (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Keseimbangan regulasi fosfat terganggu pada penderita PGK. Penurunan fungsi ginjal memperburuk fraksi ekskresi fosfat dan kapasitas maksimum reabsorbsi tubulus fosfat (Biagio dkk., 2012). Homeostasis fosfat dapat dilihat pada Gambar 2.3 dibawah ini.

15 15 Gambar 2.3 Homeostasis fosfat (Mirza, 2010) Calcitriol, menstimulasi ko-transporter NPT2b, merupakan hormon utama yang mengatur absorpsi fosfat di usus. Kation, seperti kalsium, magnesium, dan aluminium, berikatan dengan fosfat di saluran cerna dan menghambat absorpsinya. Pada hewan dan manusia, diet tinggi fosfat menyebabkan ekskresi cepat fosfat di urin, tanpa peningkatan kadar fosfat serum (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Ginjal merupakan organ utama yang mengatur homeostasis fosfat ekstraselular. Fosfat di filtrasi di glomerulus dan di reabsorpsi di tubulus proksimal. Dalam keadaan normal, jumlah fosfat yang difiltrasi sama dengan jumlah fosfat yang diabsorpsi (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Homeostasis fosfat dipertahankan oleh dua mekanisme: penurunan kadar 1,25(OH)2VitD, yang menurunkan absorpsi fosfat di gastrointestinal; peningkatan kadar FGF-23 serum, yang meningkatkan ekskresi fosfat ginjal (Evenepoel dkk., 2010).

16 16 Gambar 2.4 Regulasi fosfat serum. Panah hitam menunjukkan jalur aktivasi, panah merah menunjukkan jalur inhibisi (Heine, dkk., 2012) Fibroblast Growth Factor-23 menginduksi fosfaturia dan absorpsi fosfat digastrointestinal berkurang sehingga kadar fosfat serum tetap normal. Sedangkan PTH menginduksi calcitriol untuk mengaktivasi absoprsi fofat di gastrointestinal dan osteoklas. Mekanisme ini terlihat pada Gambar Kreatinin Serum dan Urin Kreatinin merupakan 113-d produk akhir metabolisme otot salah satu indikator penting fungsi ginjal karena mudah diukur. Kreatinin berasal dari metabolisme fosfokreatinin di otot, diet, dan suplemen dan beredar dalam sirkulasi dalam jumlah tetap. Kreatinin tidak berikatan dengan protein dan filtrasi di glomerulus. Klirens kreatinin dinilai melalui ekskresinya di urin dalam 24 jam dan di serum (Allen, 2012, Stevens, 2010). Jika filtrasi di ginjal terganggu, maka kadar kreatinin serum meningkat.

17 17 Kadar kreatinin darah dan urin dapat digunakan untuk menghitung klirens kreatinin yang berhubungan dengan LFG. Setiap hari, 1-2% kreatin otot diubah menjadi kreatinin. Pria memiliki kadar kreatinin lebih tinggi dibanding wanita. Pengukuran kadar serum kreatinin merupakan tes sederhana dan indikator fungsi ginjal yang paling sering digunakan (Taylor, 1989). Peningkatan kadar kreatinin darah terlihat bila terjadi kerusakan nefron yang nyata. Tes ini tidak cocok mendeteksi PGK stadium dini. Kadar kreatinin urin tidak memiliki nilai standar dan biasanya digunakan dengan tes lain (Allen, 2012). 2.4 Hubungan Antara FGF-23 dan FEPi urin pada PGK Predialisis Terdapat 2 cara untuk meningkatkan ekskresi fosfat urin; yang pertama dengan meningkatkan volume ultrafiltrasi plasma dengan meningkatkan LFG (hiperfiltrasi) dan yang kedua dengan meningkatkan FEPi urin. Tidak seperti pada individu normal, pasien PGK tidak dapat menggunakan cara pertama, tetapi mereka dapat meningkatkan FEPi urin untuk mempertahankan keseimbangan fosfat. Peningkatan FEPi urin terutama melalui peningkatan FGF-23 pada PGK stadium dini. Hormon paratiroid memiliki efek fosfaturia, tetapi PTH tidak memberikan efek peningkatan FEPi urin pada PGK stadium dini. Hal ini berdasarkan; pertama penelitian epidemiologis menunjukkan peningkatan FGF-23 dan FEPi urin mendahului peningkatan PTH selama progresivisitas PGK. Kedua, penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan PTH pada PGK merupakan efek sekunder penurunan calcitriol akibat peningkatan FGF-23 (Kuro-o, 2013). Fibroblast growth factor-23 merupakan hormon yang meningkatkan ekskresi fosfat per nefron dengan meningkatkan FEPi urin. Hal ini menunjukkan bahwa FGF-23 bertanggung jawab mempertahankan homeostasis fosfat pada

18 18 PGK stadium dini, kadar FGF-23 darah berkorelasi dengan FEPi urin, dan dapat dijadikan sebagai marker pengganti terhadap ekskresi fosfat per nefron (Kuro-o, 2013). Hubungan anatara FGF-23, fosfat serum, PTH pada PGK dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan 2.6. Pada kedua gambar tersebut dapat dilihat penurunan massa ginjal yang terjadi pada PGK mengakibatkan berkurangnya Klotho kemudian terjadi fosfaturia sehingga kadar fosfat serum tetap normal. Seiring dengan progresivisitas PGK keadaan tersebut tidak dapat dikompensasi oleh ginjal karena semakin berkurangnya Klotho, penurunan kadar vitamin D, peningkatan PTH, penurunan kadar kalsium serum akibatnya akibatnya kadar fosfat serum meningkat. Gambar 2.5 Peran fosfat load, Klotho, dan FGF-23 pada hiperparatiroid sekunder PGK (Adragao dan Frazao, 2012)

19 19 Gambar 2.6 Interaksi FGF-23 dan PTH pada PGK (Heine GH, Seiler S, Fliser D, 2012) Beberapa studi potong lintang mendapatkan hasil kadar FGF-23 meningkat pada PGK dibanding individu sehat (Wolf, 2012). Pasien PGK predialisis sebagian besar memiliki kadar serum fosfat normal umunya berada pada stadium 3 dan 4 (Isakova, 2009). Gangguan metabolisme mineral terutama fosfat sudah terjadi di awal perjalanan PGK (Tonelli, 2005), walaupun hiperfosfatemia jarang didapatkan pada stadium dini PGK (Wahl P dan Wolf M, 2012). Kadar FGF-23 yang terus meningkat konsisten berhubungan dengan peningkatan kadar fosfat serum, peningkatan fraksi ekskresi fosfat, estimasi LFG menurun, dan penurunan 1,25 dihydroxyvitamin D, independen dari LFG (Wolf, 2012).

20 20 Gambar 2.7 Spektrum kadar FGF-23 pada PGK (Walf dan Wolf, 2012) Peningkatan FGF-23 merupakan refleksi peningkatan produksinya oleh osteosit karena fungsi ginjal terganggu, mendahului peningkatan fosfat serum dan penurunan 1,25(OH)2D (Juppner dkk., 2010; Komaba dan Fukagawa, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien PGK, FGF-23 meningkat untuk mempertahankan fosfat serum tetap normal, terjadi penurunan produksi 1,25(OH)2D oleh ginjal dan kemudian hiperparatiorid sekunder (Komaba dan Fukagawa, 2012). Walaupun pengukuran FGF-23 merupakan biomarker sensitif terhadap pengaturan fosfat ginjal pada PGK stadium dini, belum diketahui bagaimana osteosit mengetahui abnormalitas pada tubulus ginjal dan apakah terdapat faktor spesifik dari ginjal yang memicu pelepasan FGF-23 dari tulang sebagai respon peningkatan fosfat serum sementara atau sebagai respon terhadap proses penyakit di ginjal (Juppner dkk., 2010). Berdasarkan hasil penelitian pada pasien PGK predialisis dengan kadar serum fosfat normal, sebagian besar telah terjadi peningkatan kadar serum FGF-23 (Isakova, 2009). Spektrum kadar serum FGF-23 pada PGK dapat dilihat pada Gambar 2.7. Salah satu penelitian potong lintang dimana 74 penderita PGK (usia ratarata 64 tahun, dengan kadar kreatinin rata-rata 51±19 ml/min, 64% laki-laki, 12%

21 21 kulit hitam, 29% menderita diabetes melitus, dan 30% mengkonsumsi suplemen kalsium) dengan hasil FGF-23 berkorelasi positif dengan serum fosfat (r=0,24, p<0,03) dan klirens kreatinin (r=2,4, p<0,001) tapi tidak berkorelasi dengan diet fosfat atau ekskresi fosfat urin 24 jam (p>0.05) (Houston, Smith, dan Isakova, 2013). Penelitian kohort prospektif Multi-center Chronic Renal Insufficiency Kohort pada sampel meneliti FGF-23 sebagai biomarker perubahan metabolisme fosfat pada stadium awal PGK. Kriteria inklusi pasien dewasa usia tahun dengan PGK ringan-sedang, dengan LFG ml/menit/1,73 m2. Pada penelitian ini diperoleh kadar FGF-23 serum signifikan meningkat dan ekskresi fosfat urin 24 jam menurun seiring dengan menurunnya LFG. Pengukuran terhadap ekskresi fosfat urin 24 jam, FEPi urin, fosfat serum, kalsium, PTH dengan hasil terdapat korelasi positif FGF-23 dengan PTH (r=0,37; p<0,0001) dan fosfat serum (r=0,35; p<0,0001). Kadar FGF-23 berkorelasi positif dengan FEPi (r=0,25; p<0,0001). Pada penelitian ini dapat dijelaskan peningkatan FGF-23 kemungkinan berasal dari injuri pada ginjal, hal ini dapat menjadi stimulus sekresi FGF-23 pada PGK stadium dini (Isakova, Wahl, Vargas dkk., 2011). Penelitian potong lintang lainnya mengukur kadar FGF-23 serum dan FEPi urin pada 872 pasien dengan rerata LFG 71 ± 22 ml/menit/1,73m2. Hasil penelitian mendapatkan median kadar FGF-23 adalah 42,3 RU/mL dan median FEPi urin 15,7%. Laju Filtrasi Glomerulus berkorelasi negatif dengan kadar FGF- 23 serum (r= -0,35; p<0,05) dan FEPi urin (r= -0,40; p<0,05), sedangkan FGF-23

22 22 serum berkorelasi positif dengan FEPi urin (r=2,1; p<0,05) (Dominguez dkk., 2013). Penelitian oleh Sakan dkk., mendapatkan korelasi positif antara FGF-23 dan FEPi pada PGK stadium 1 (r=0,611, p<0,0001), PGK stadium 2 (r=0,711, p<0,0001), dan PGK stadium 3 (r=0,613, p<0,0001) tetapi tidak berkorelasi pada PGK stadium 4-5 (r=0,319, p<0,0504). Penelitian ini menghasilkan peningkatan FGF-23 pada stadium dini PGK kemungkinan berasal dari terganggunya fraksi ekskresi fosfat urin karena nefron rusak, bukan karena resistensi terhadap defisiensi Klotho (Sakan dkk., 2014).

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Penderita penyakit - penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan lambat. PGK umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian AKI baik yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah suatu penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel akibat suatu proses patofisiologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu permasalahan dibidang nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali tanpa keluhan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal (Fored, 2003). Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Angka kejadian penyakit ginjal kronik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan National Kidney Foundation penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan dengan kelainan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Pada suatu derajat tertentu, penyakit ini membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penurunan faal ginjal yang terjadi secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan kreatinin yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau CKD (Chronic Kidney Disease) merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel (Wilson, 2005) yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan ginjal merupakan komplikasi yang serius pada diabetes melitus (DM), diperkirakan terjadi pada sepertiga pasien DM di seluruh dunia. Diabetes melitus dihubungkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang korelasi antara kadar asam urat dan kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Dengan prevalensi 15% di negara berkembang, dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap akhir atau gagal ginjal terminal. Richard Bright pada tahun 1800 menggambarkan beberapa pasien

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas struktural atau fungsional ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa penurunan filtrasi glomerulus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk mengatasinya. Gagal ginjal

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di dunia yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif. 3.2 Tempat dan Waktu 3.2.1 Tempat Penelitian dilakukan di unit hemodialisis

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI Diajukan Oleh : ARLIS WICAK KUSUMO J 500060025

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatic dengan mengatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyakit yang merusak nefron ginjal (Price dan Wilson, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyakit yang merusak nefron ginjal (Price dan Wilson, 2006). BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI Hipoposphatasia merupakan penyakit herediter yang pertama kali ditemukan oleh Rathbun pada tahun 1948. 1,2,3 Penyakit ini dikarakteristikkan oleh gen autosomal resesif pada bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron ginjal, mengakibatkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Serum asam urat adalah produk akhir dari metabolisme purin (Liu et al, 2014). Kadar serum asam urat dapat menjadi tinggi tergantung pada purin makanan, pemecahan purin

Lebih terperinci

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes ABSTRAK HUBUNGAN MIKROALBUMINURIA (MAU) DAN ESTIMATED GLOMERULAR FILTRATION RATE (egfr) SEBAGAI PREDIKTOR PENURUNAN FUNGSI GINJAL PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10

BAB 1 PENDAHULUAN. Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun. Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dari manusia. Berbagai penyakit yang menyerang fungsi ginjal dapat menyebabkan beberapa masalah pada tubuh manusia, seperti penumpukan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS TINJAUAN TEORI 1. Definisi Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang cirinya adalah pengurangan massa tulang dan kemunduran mikroarsitektur tulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal merupakan organ ekskresi utama pada manusia. Ginjal mempunyai peran penting dalam mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal memiliki fungsi yaitu mempertahankan keseimbangan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di masyarakat. Seseorang dapat dikatakan hipertensi ketika tekanan darah sistolik menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik hampir selalu bersifat asimtomatik pada stadium awal. Definisi dari penyakit ginjal kronik yang paling diterima adalah dari Kidney Disease:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Obyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pemberian 1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol) terhadap kadar Fibroblast Growth

Lebih terperinci

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA Dr. HAKIMI, SpAK Dr. MELDA DELIANA, SpAK Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA 1 Dilepas ke sirkulasi seluruh tubuh Mengatur fungsi jaringan tertentu Menjaga homeostasis Berada dalam plasma, jaringan interstitial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan buruknya prognosis gagal ginjal kini merupakan masalah yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Ginjal merupakan organ yang mempunyai fungsi vital pada manusia, organ ini memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni menyaring (filtrasi)

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada zaman modern ini, seluruh dunia mengalami pengaruh globalisasi dan hal ini menyebabkan banyak perubahan dalam hidup manusia, salah satunya adalah perubahan gaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan 140 mmhg dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nefrolitiasis adalah sebuah material solid yang terbentuk di ginjal ketika zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit ini bagian

Lebih terperinci

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I EPIDEMIOLOGI WHO DEGENERATIF Puluhan juta ORANG DEATH DEFINISI Penyakit degeneratif penyakit yg timbul akibat kemunduran fungsi sel Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang berfungsi dalam proses penyaringan dan pembersihan darah. Ginjal menjalankan fungsi vital sebagai pengatur

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tubuh manusia, mineral berperan dalam proses fisiologis. Dalam sistem fisiologis manusia, mineral tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu makroelemen antara lain

Lebih terperinci

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM BAB 1 PENDAHULUAN Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu masalah kesehatan yang serius di dunia. Hal ini dikarena penyakit ginjal dapat menyebabkan kematian, kecacatan serta penurunan kualitas hidup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global,

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, jumlah penderita DM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 diperkirakan pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3% peningkatan prevalensi pertahun.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga retroperitonium. Secara anatomi ginjal terletak dibelakang abdomen atas dan di kedua sisi kolumna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus (DM) tipe 2 yang disebabkan oleh perubahan fungsi ginjal. Perubahan fungsi ginjal diawali dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. lemak, dan protein. World health organization (WHO) memperkirakan prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. lemak, dan protein. World health organization (WHO) memperkirakan prevalensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes mellitus (DM) secara etiologi berasal dari serangkaian kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin dan

Lebih terperinci

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Dr. Syazili Mustofa, M. Biomed Lektor Mata Kuliah Ilmu Biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila Kerja insulin terhadap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ginjal punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh

Lebih terperinci

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Oleh: PIGUR AGUS MARWANTO J 500 060 047 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) yang dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit metabolik kronik yang dapat berdampak gangguan fungsi organ lain seperti mata, ginjal, saraf,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini, 9 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang mempunyai karakterisktik meningkatnya nilai glukosa plasma darah. Kondisi hiperglikemia ini diakibatkan

Lebih terperinci

BAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki

BAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki 14 BAB.I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki karakteristik berupa hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam urat akan didegradasi menjadi alantoin oleh urikase. Kadar serum asam urat diatur melalui sintesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (PGK) menjadi masalah kesehatan utama masyarakat daerah perkotaan dan urban di seluruh dunia. Beban mendasari saat ini penyakit karena perubahan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok. Pada kelompok pertama adalah kelompok pasien yang melakukan Hemodialisa 2 kali/minggu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekarang ini hampir semua orang lebih memperhatikan penampilan atau bentuk tubuh, baik untuk menjaga kesehatan ataupun hanya untuk menjaga penampilan agar lebih menarik.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lipid 2.1.1 Pengertian lipid Lipid adalah golongan senyawa organik yang sangat heterogen yang menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa organik

Lebih terperinci

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik Latar Belakang Masalah Gagal ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari

Lebih terperinci

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK BAB 1 PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang berpotensi fatal dan dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan kualitas hidup baik kecacatan maupun kematian. Pada penyakit ginjal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk

BAB I PENDAHULUAN. bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan metabolisme dari karbohidrat, protein dan lemak yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan

BAB I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan terutama pada organ paru, pembuluh darah, jantung dan ginjal (Sakai et al., 1996). Di Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah mampu merubah gaya hidup manusia. Manusia sekarang cenderung menyukai segala sesuatu yang cepat, praktis dan

Lebih terperinci