Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada:"

Transkripsi

1

2 Penerbit: Bank Indonesia Agustus 2016 Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Makroprudensial Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia BI-DKMP@bi.go.id

3 MENGUPAS KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL DEPARTEMEN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL i

4 Daftar Isi Daftar Isi... ii Prakata Gubernur Bank Indonesia... iv Bab I. Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial?... 1 I.1. Pendahuluan... 1 I.2. Definisi dan Karakteristik Kebijakan Makroprudensial... 2 Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan?... 8 BAB II. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? II.1. Karakteristik Sistem Keuangan II.2. Kebijakan Makroprudensial Sebagai Komplemen Kebijakan Lain II.2.1 Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial II.2.2 Kebijakan Makroprudensial dan Moneter II.2.3 Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal Boks 2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter dan Mikroprudensial Bab III. Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? III.1. Mandat dan Kewenangan III.2. Landasan Hukum Boks 3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Bab IV. Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? IV.1. Identifikasi Sumber Risiko Sistemik IV.2. Pengawasan Makroprudensial IV.2.1. Monitoring dan Analisis Risiko Sistemik IV.2.2. Pemberian Sinyal Risiko IV.2.3 Pemeriksaan Tematik IV.3.Desain dan Implementasi Instrumen Kebijakan ii

5 IV.3.1. Motivasi Pengembangan Instrumen Makroprudensial IV.3.2. Waktu Perumusan dan Implementasi Instrumen Makroprudensial IV.3.3. Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional Financial Surveillance Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank dalam Menghadapi Tekanan Boks 4.3. Tidak Ada Lagi Too-Big-To-Fail Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi Boks 4.5. Standar Internasional Pengaturan di Sektor Keuangan: Basel III Bab V. Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis V.1. Dasar Hukum PMK V.2. Peran PMK Bank Indonesia dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan V.3. Koordinasi Antarlembaga dalam Pencegahan dan/atau Penanganan Krisis V.4. Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis Boks 5.1. Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global Daftar Pustaka Daftar Singkatan Daftar Istilah Kontributor iii

6 Prakata Gubernur Bank Indonesia Istilah makroprudensial mengemuka dan menjadi sangat populer di sektor keuangan paska terjadinya krisis keuangan global. Krisis keuangan tersebut ditengarai terjadi karena belum diterapkannya kebijakan makroprudensial yang efektif di negara maju, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi. Di Indonesia sendiri, pendekatan makroprudensial sudah dijalankan sebagai bagian dari pemulihan ekonomi akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998. Pengalaman krisis tersebut sesungguhnya telah memberikan pelajaran yang berharga, sehingga pada saat krisis keuangan global 2007/2008 yang dipicu oleh kegagalan produk subprime mortgage di Amerika Serikat, Bank Indonesia dengan kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial yang dimilikinya sudah lebih siap dengan berbagai langkah yang dapat menahan pemburukan kondisi ekonomi dan sistem keuangan di dalam negeri. Selanjutnya dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, fungsi mikroprudensial yang terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013, sementara Bank Indonesia diamanatkan untuk tetap menjalankan fungsi makroprudensial. Meskipun kebijakan makroprudensial sudah sejak lama menjadi bagian integral dari kebijakan Bank Indonesia, perkembangan kebijakan makroprudensial di tataran internasional relatif baru menjadi perhatian dan banyak didiskusikan dalam beberapa waktu terakhir. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masih banyak kalangan yang belum memahami apa yang menjadi esensi kebijakan makroprudensial. Sebagaimana dilakukan otoritas keuangan lainnya di seluruh dunia, Bank Indonesia terus berupaya melakukan pengembangan kerangka kebijakan makroprudensial yang sejalan dengan standar dan praktik-praktik terbaik di tataran internasional. Namun demikian, pemahaman berbagai pihak terhadap iv

7 kebijakan makroprudensial akan memegang peranan penting dalam efektivitas penerapan kebijakan makroprudensial tersebut, sehingga proses komunikasi mengenai kebijakan makroprudensial mulai dari hal yang paling mendasar perlu dilakukan. Untuk mendukung proses komunikasi kebijakan makroprudensial tersebut, Bank Indonesia memandang perlu untuk menerbitkan buku yang mengupas berbagai hal yang terkait dengan kebijakan makroprudensial. Pada buku ini, bab I (pertama) hingga III (ketiga) menjelaskan mengenai apa dan bagaimana kebijakan makroprudensial, mengapa kebijakan itu diperlukan, dan siapa yang melaksanakan mandat kebijakan tersebut. Sedangkan, Bab IV (keempat) dan V (kelima) memaparkan mengenai strategi kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia, serta bagaimana Bank Indonesia mencegah dan menangani krisis. Dua bab terakhir ini ditujukan kepada yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana Bank Indonesia menjalankan mandat di bidang makroprudensial, terutama dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Buku ini juga dilengkapi dengan tulisan-tulisan pendek dalam boks untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik bagi pihak-pihak yang ingin mendalami isu atau aspek tertentu dalam kebijakan makroprudensial. Akhir kata, kami berharap penerbitan buku ini dapat mendukung tercapainya kesamaan pandangan dan pemahaman mengenai kebijakan makroprudensial, sehingga dapat membantu peningkatan efektivitas pengendalian risiko sistemik dan ketidakseimbangan keuangan untuk mendorong terwujudnya stabilitas sistem keuangan. Saran, komentar maupun kritik dari seluruh pihak sangat kami harapkan untuk lebih menyempurnakan buku ini di masa mendatang. Jakarta, Agustus 2016 (Agus D.W. Martowardojo) v

8

9 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial 1 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial? I.1. Pendahuluan Meskipun istilah makroprudensial telah diperkenalkan sejak tahun , namun kebijakan makroprudensial baru populer pascakrisis keuangan global (global financial crisis, GFC) yang terjadi pada tahun Krisis yang dipicu permasalahan subprime mortgage di sektor keuangan ini tak hanya mengakibatkan penurunan kinerja sektor keuangan, namun juga berdampak negatif pada memburuknya perekonomian dunia. Keterkaitan hubungan, atau hubungan sebab akibat (feedback loop), antara sektor keuangan dengan sektor riil mengakibatkan biaya krisis menjadi tinggi dengan waktu pemulihan yang tidak singkat. Kondisi-kondisi tersebut mendorong pemimpin negara-negara G20 pada pertemuan di Seoul tahun 2010 untuk meminta Financial Stability Board (FSB), International Monetary Fund (IMF), dan Bank for International Settlement (BIS) agar mengembangkan kerangka kebijakan makroprudensial guna mencegah risiko sistemik pada sektor keuangan (FSB, IMF, BIS, 2011). Sebagai tindak lanjut, bank sentral dan otoritas keuangan beberapa negara turut mengembangkan pendekatan makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, antara lain melalui tren perubahan penataan kelembagaan (institutional arrangement) otoritas keuangan di beberapa negara. Di Indonesia, istilah makroprudensial secara implisit telah digunakan sejak awal tahun 2000 sebagai respons atas krisis keuangan tahun 1. Istilah makroprudensial pertama kali diperkenalkan pada pertemuan The Cooke Committee (saat ini dikenal dengan Basel Committee on Banking Supervision/BCBS) tahun 1979 terkait dengan pembahasan excessive lending growth. Pada pembahasan tersebut diidentifikasi adanya integrasi antara permasalahan microeconomic dengan macro-economic yang disebut dengan istilah macro-prudential (Clement, 2010). 1

10 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial 1997/1998, yang ditandai dengan penyusunan kerangka stabilitas sistem keuangan Indonesia dan pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) di Bank Indonesia. Berdasarkan kerangka tersebut, Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui dua pendekatan, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial (BI, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memerhatikan aspek makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Peran Bank Indonesia di bidang makroprudensial tertuang dalam Undang- Undang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank (mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak tahun 2003, Bank Indonesia telah aktif mengomunikasikan hasil pemantauan (surveillance) atas stabilitas sistem keuangan secara semesteran. Hasil tersebut dituangkan dalam laporan yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK). Dalam perjalanannya, kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan telah diakui secara internasional seperti terlihat dari keberhasilan Bank Indonesia dalam memperoleh penghargaan sebagai The Best Systemic and Prudential Regulator pada acara The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards yang diselenggarakan pada 25 April 2012, di Bangkok. Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi atas kemampuan Bank Indonesia dalam mengarahkan industri perbankan Indonesia untuk menerapkan aturan berstandar internasional, serta kemampuan merespons gejolak perekonomian global pada saat krisis hingga mampu menghindari terjadinya risiko sistemik. I.2. Definisi dan Karakteristik Kebijakan Makroprudensial Dalam penelitian yang dilakukan di BIS, Swiss, kebijakan makroprudensial didefinisikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik (Galati G., and Richhild M., 2011). Sementara European Systemic Risk Board 2

11 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial (ESRB), yaitu badan yang memiliki misi mengawasi sistem keuangan Eropa, serta mencegah dan membatasi terjadinya risiko sistemik di sistem keuangan Eropa, mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi (ESRB, 2013). Penjelasan serupa disampaikan oleh IMF, yang mendefinisikan makroprudensial sebagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik (IMF, 2011). Merujuk pada beberapa definisi di atas, setidaknya terdapat 3 (tiga) kalimat kunci untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system-wide perspectives), dan diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi. Menjaga stabilitas sistem keuangan merupakan tujuan yang dilakukan bersama antara beberapa otoritas. Dalam hal ini, terdapat lebih dari 1 (satu) otoritas yang memiliki kepentingan dalam mencapai stabilitas sistem keuangan. Yang membedakan adalah kewenangan masingmasing otoritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seperti bank sentral melalui kewenangan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran; pemerintah melalui kewenangan fiskal; dan otoritas pengawas industri jasa keuangan melalui kewenangan mikroprudensial. Dengan demikian, implementasi kebijakan makroprudensial sangat mungkin dilakukan melalui interaksi dengan kebijakan lain, terutama dengan kebijakan yang memiliki dampak pada sistem keuangan. Biasanya interaksi ini bersifat saling melengkapi sehingga menjadikan elemen sistem keuangan menjadi lebih berhati-hati (prudent). Melalui interaksi antarkebijakan ini, 3

12 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial diharapkan agar permasalahan yang terjadi pada sistem keuangan tidak berdampak negatif pada kondisi makroekonomi dan sektor riil, serta sebaliknya. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial memberikan arahan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. Sementara, sistem keuangan didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/ atau penyediaan pembiayaan perekonomian. Bila kebijakan mikroprudensial difokuskan pada tingkat kesehatan individu institusi keuangan (bank dan nonbank) dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, maka kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup institusi keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya, seperti pasar keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan. Mengapa demikian? Karena kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan dengan tujuan akhir meminimalkan terjadinya risiko sistemik. Dalam beberapa penelitian, risiko sistemik didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan sehingga sistem keuangan tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian. Risiko sistemik dapat terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, atau terjadi secara perlahanlahan tanpa disadari atau dideteksi oleh berbagai pihak sehingga kebijakan yang tepat dapat terlambat diterapkan. Efek negatif risiko sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset (Group of Ten, 2001). Dalam definisi yang lain, risiko 4

13 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial sistemik dirumuskan sebagai kombinasi dari keadaan-keadaan yang mengancam stabilitas atau kepercayaan publik terhadap sistem keuangan; serta sebagai risiko instabilitas keuangan yang menyebar sehingga dapat melumpuhkan fungsi sistem keuangan pada titik yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat (Billio et all, 2010 dan ECB, 2010). Sementara pada PBI Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, risiko sistemik didefinisikan sebagai potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/ atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Merujuk pada definisi risiko sistemik di atas, dapat disimpulkan 3 (tiga) hal berikut. Pertama, sumber risiko sistemik tidak harus berasal dari institusi keuangan, namun dapat berasal dari elemen sistem keuangan lainnya, seperti kegagalan korporasi atau permasalahan di sistem pembayaran, atau bahkan berasal dari gangguan (shock) di luar sistem keuangan. Kedua, keterkaitan (interconnectedness) di antara elemen sistem keuangan memunculkan potensi menularnya atau merambatnya risiko dari suatu elemen sistem keuangan kepada seluruh elemen sistem keuangan (contagion effect). Ketiga, potensi dampak yang ditimbulkan oleh risiko sistemik sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor keuangan, namun dapat mengganggu perekonomian. Dengan demikian, tujuan makroprudensial untuk meminimalkan risiko sistemik sesungguhnya merupakan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup seluruh elemen sistem keuangan dengan tetap memerhatikan kondisi makroekonomi (Baca Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan?). Tiga hal tersebut di atas menunjukkan bahwa kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan bukan merupakan satu-satunya syarat untuk mengukur risiko sistemik dan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Secara lebih luas, kebijakan makroprudensial mengukur 5

14 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial risiko sistemik dari limpahan (spillover) dampak dan biaya yang ditimbulkan, termasuk interaksinya dengan makroekonomi. Lebih lanjut dalam penelitian di BIS dinyatakan bahwa dalam perspektif makroprudensial, meskipun semua institusi keuangan memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik, namun kondisi tersebut belum cukup untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan. Potensi risiko sistemik tetap dapat muncul apabila institusi keuangan menghadapi faktor risiko yang sama (common risk factor), antara lain akibat pemusatan risiko pada portofolio yang sama (concentration risk). Sementara itu, kinerja dan tingkat kesehatan setiap institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat perlu apabila kegagalan atau risiko pada satu atau beberapa institusi keuangan tidak menimbulkan dampak yang signifikan (sistemik) terhadap sistem keuangan. Dengan penjelasan tersebut, kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat cukup dan perlu bagi makroprudensial dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan (Borio, 2009). Berangkat dari konsep tersebut, guna meminimalkan risiko sistemik dalam cakupan makroprudensial, terdapat 2 (dua) dimensi yang menjadi menjadi acuan dalam proses identifikasi risiko dan perumusan kebijakan, yakni dimensi antarsubjek (cross section) yang berfokus pada perbedaan perilaku antarelemen dan agen keuangan, serta dimensi runtun waktu (time series) yang berfokus pada dinamika perilaku elemen/agen keuangan dari waktu ke waktu. Hal ini berbeda dengan kebijakan mikroprudensial yang cenderung hanya fokus pada dimensi antarsubjek (cross section), atau kebijakan moneter yang cenderung hanya fokus pada dimensi runtun waktu (time series). Secara lebih detail, dimensi antarsubjek (cross section) menekankan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu, yang disebabkan oleh terpusatnya portofolio pada eksposur tertentu (concentration risk) atau adanya kesamaan eksposur (common risk factor), sehingga potensi menyebarnya risiko antarindividu/sektor (contagion risk) menjadi tinggi. Akibatnya, permasalahan yang terjadi di satu institusi dapat berakibat negatif pada institusi lainnya baik melalui saluran langsung maupun tidak langsung. Sedangkan, dimensi runtun waktu (time 6

15 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial series) menekankan pada bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi dengan mengikuti siklus ekonomi (procyclicality). Adanya fokus pada dimensi runtun waktu ini yang mengakibatkan kebijakan makroprudensial umumnya bersifat time-varying (bervariasi menurut waktu), artinya kalibrasi kebijakan bersifat dinamis sesuai dengan evolusi terhadap siklus ekonomi. Permasalahan atau risiko yang mencakup dimensi runtun waktu selanjutnya akan direspon dengan kebijakan yang bersifat berlawanan dengan siklus ekonomi (countercyclical). Meskipun semakin banyak otoritas keuangan yang mengimplementasikan kebijakan makroprudensial, namun belum ada teori ekonomi yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan makroprudensial. Berbeda dengan kebijakan moneter yang menargetkan tingkat inflasi dengan variasi instrumen kebijakan yang jelas, seperti suku bunga, nilai tukar, dan uang beredar, target kebijakan makroprudensial untuk mencapai stabilitas sistem keuangan dengan meminimalkan risiko sistemik tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan satu indikator. Hingga saat ini belum ada metode kuantitatif (model) yang secara komprehensif dapat mengukur risiko sistemik pada sistem keuangan, selain model dan metodologi yang menilai satu atau beberapa aspek risiko sistemik secara terpisah (BCBS, 2012a). Belum berkembangnya teori yang menjadi pedoman pelaksanaan kebijakan makroprudensial ini melatarbelakangi bank sentral dan otoritas keuangan negara-negara untuk mulai mengembangkan kerangka kebijakan makroprudensial sebagai pedoman untuk memastikan kebijakan makroprudensial, yang setidak-tidaknya dirumuskan dengan prosedur yang tepat berdasarkan informasi yang akurat dan dieksekusi dengan tepat waktu pada target yang sesuai. Upaya pengembangan kerangka kebijakan tersebut terus dilakukan sejalan dengan upaya mitigasi risiko sistemik melalui pengembangan metode identifikasi, monitoring, dan analisis risiko yang komprehensif. 7

16 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan? Jika seseorang punya kepastian pendapatan dalam jangka panjang, misalnya dalam bentuk pendapatan atau gaji bulanan, maka kebutuhan yang terpikir olehnya terlebih dahulu selain sandang dan pangan, umumnya adalah papan (atau properti). Perumahan adalah kebutuhan dasar manusia. Namun pada saat yang sama, properti juga adalah salah satu bentuk investasi yang disukai masyarakat, karena kecenderungan harganya selalu meningkat, terutama yang berlokasi di kota besar. Jika perekonomian sedang baik, dan kepastian usaha membaik, permintaan terhadap properti biasanya meningkat, baik untuk perumahan maupun untuk keperluan komersial. Apabila permintaan (demand) properti naik hingga menjadi lebih tinggi dari ketersediaannya (supply), maka harga properti meningkat. Kecenderungan peningkatan harga ini, menjadikan properti investasi yang menarik bagi masyarakat karena sudah pasti bertambah nilainya di masa depan sehingga memberikan imbal hasil yang baik. Akibatnya harga properti akan semakin terdorong untuk naik. Masih ingat dengan krisis keuangan global 2008 yang diawali dengan permasalahan sektor keuangan di Amerika Serikat? Krisis tersebut didahului dengan fenomena yang sama, yakni tren peningkatan harga properti. Pada saat kondisi perekonomian baik, biasanya ditunjang dengan kondisi tingkat bunga yang relatif rendah, sehingga dana untuk pinjaman pun menjadi lebih mudah diperoleh. Ditambah lagi, kemudahan memperoleh pinjaman dapat memfasilitasi spekulasi terhadap aset properti yang dibiayai melalui kredit. Kondisi ini mendorong peningkatan harga properti. Bagi bank sendiri, pemberian kredit pada sektor properti yang sedang mengalami tren kenaikan harga, dinilai cukup menguntungkan sehingga ekspansi kredit pada sektor properti pun terjadi. Bila pemberian kredit ini tidak diimbangi dengan aturan prudensial yang memadai, sangat mungkin ekspansi 8

17 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial kredit properti tersebut akan diikuti dengan peningkatan angka non performing loan (NPL), yakni memburuknya kualitas kredit. Kondisi-kondisi di atas dapat menyebabkan peningkatan harga properti yang tidak wajar, atau yang kemudian disebut bubble (penggelembungan harga). Bubble merupakan kondisi di mana harga aset sudah tidak merepresentasikan harga fundamentalnya, yaitu untuk properti biasanya mencakup harga tanah, ongkos pembangunan, dan margin keuntungan pengembang. Apakah risiko dari membiarkan bubble terjadi? Harga properti yang tidak sesuai dengan fundamental menyebabkan nilai agunan untuk kredit pemilikan properti menjadi jauh di bawah nilai pinjaman. Sementara itu, pada saat perekonomian menurun dan kepastian pendapatan hilang, kemampuan masyarakat untuk pengembalian kredit menjadi tersendat sehingga kinerja kredit pun memburuk. Nilai agunannya tidak dapat menutupi kerugian dari kegagalan kreditnya. Terlebih jika NPL kredit properti semakin meningkat, maka akan ada banyak aset properti yang dijual untuk menutup kerugian sehingga harganya makin menurun. Dengan kata lain, gelembung pun pecah (bubble burst). Semakin tinggi tingkat konsentrasi kredit pada sektor properti, akan semakin luas dampak yang ditimbulkan, termasuk meningkatkan risiko sistemik. Penurunan harga propert tersebut akan mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga sulit menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya. Akibatnya terjadi instabilitas di sistem keuangan. Guna mengantisipasi terjadinya fenomena di atas, diperlukan suatu kebijakan yang mampu meredam akumulasi risiko yang timbul akibat tindakan spekulasi dan tingginya tingkat konsentrasi kredit pada sektor properti. Dalam hal ini, kebijakan yang bersifat mikroprudensial meningkatkan kehati-hatian bank sendiri tidak cukup. Diperlukan kebijakan yang bersifat agregat untuk mengendalikan perilaku ambil risiko agen ekonomi yang berlebihan, yakni kebijakan loan-to-value (LTV). Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi perilaku spekulatif dalam 9

18 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial investasi properti yang dibiayai oleh sektor perbankan, dengan mensyaratkan besarnya uang muka kredit pemberian rumah pada jumlah tertentu. Namun untuk tetap memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat, kebijakan ini hanya dibatasi untuk rumah mewah serta kepemilikan rumah kedua dan seterusnya. Hal ini untuk menjaga keberpihakan kepada pembeli rumah yang memiliki motivasi untuk dijadikan tempat tinggal utama. Fenomena di atas adalah salah satu contoh mengapa kebijakan makroprudensial tidak hanya melulu tentang perbankan. Walaupun yang dibatasi adalah bagaimana bank memberikan kredit kepada nasabahnya, kebijakan LTV dihasilkan dari pemantauan di sektor properti, termasuk perilaku perusahaan properti dan konstruksi, pemantauan terhadap kondisi makroekonomi sebagai lingkungan sistem keuangan, serta pemantauan terhadap daya beli rumah tangga. Dengan demikian, untuk kebijakan LTV saja, pemantauan perlu dilakukan kepada korporasi sektor konstruksi sebagai penyedia properti, pasar modal dan perbankan sebagai sumber pendanaan korporasi, perbankan sebagai pemberi kredit pemilikan rumah (KPR), serta rumah tangga dan korporasi sebagai pihak yang membutuhkan properti untuk residensial maupun komersial. Selain itu, untuk menjaga sinkronisasi kebijakan di sektor keuangan, institusi keuangan nonbank yang juga menyalurkan kredit perumahan pun perlu dipantau. Dalam kebijakan makroprudensial, kondisi korporasi dan rumah tangga, baik sebagai surplus maupun defisit unit dalam sistem keuangan, ikut menentukan keberlangsungan institusi keuangan sehingga perlu dipantau. Sebagai depositor dalam perbankan serta investor di pasar keuangan, korporasi dan rumah tangga merupakan sumber pendanaan dalam sistem keuangan. Sedangkan sebagai debitur perbankan dan institusi keuangan nonbank, kondisi keuangan korporasi dan rumah tangga juga ikut menentukan kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan. Di samping itu, kondisi pasar keuangan sebagai sebagai tempat para 10

19 Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial investor bertemu dan melakukan perdagangan aset keuangan juga menjadi penting untuk dipantau, karena informasi di pasar keuangan mencerminkan perilaku dan kinerja sektor keuangan. Elemen lainnya dari sistem keuangan, yakni infrastruktur sistem keuangan atau lebih dikenal sebagai sistem pembayaran, pun perlu dijaga stabilitasnya untuk menjaga agar seluruh transaksi keuangan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Gambar di bawah menunjukkan cakupan dari kebijakan makroprudensial, yaitu sistem keuangan. Setiap elemen menjadi penting untuk dimonitor karena risiko dapat diidentifikasi dan dinilai dari hasil pemantauan tersebut. Risiko di setiap elemen sistem keuangan yang tidak segera dimitigasi memiliki potensi untuk menjadi risiko sistemik yang akan menyebabkan instabilitas pada sistem keuangan. Gambar 1.1 Cakupan Sistem Keuangan dalam Kebijakan Makroprudensial 11

20

21 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? 2 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? II.1. Karakteristik Sistem Keuangan Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, upaya menjaga stabilitas sistem keuangan tidaklah cukup bila hanya difokuskan pada tingkat kesehatan dan kinerja individu bank atau institusi keuangan lainnya. Hal ini karena dalam sistem keuangan, antara institusi yang satu dengan lainnya saling terkait dalam berbagai transaksi keuangan yang ada. Aset pada satu bank merupakan kewajiban (liability) pada bank lain. Sebagai contoh, pada transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), di mana antara bank satu dengan bank lainnya dapat melakukan kegiatan pinjam meminjam dana. Adanya gagal bayar di satu bank dapat berdampak pada bank lain atau bahkan beberapa bank sekaligus yang memiliki transaksi keuangan dengan bank tersebut. Sifat keterkaitan dan interdependensi antarindividu dalam sistem keuangan ini dikenal dengan istilah interconnectedness. Dengan adanya karakteristik interconnectedness dalam sistem keuangan, permasalahan pada satu institusi dapat dengan cepat menyebar pada institusi lainnya, sehingga menjadi permasalahan agregat sistem keuangan yang berpotensi menimbulkan dampak hingga ke sektor riil. Merujuk pada penjelasan di atas, potensi penyebaran risiko (spillover) dari satu institusi ke institusi lain menjadi lebih tinggi apabila permasalahan terjadi pada institusi keuangan yang besar atau dominan. Kegagalan bank besar dengan pangsa yang cukup tinggi dalam sistem keuangan akan memberikan dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan kegagalan bank dengan skala yang lebih kecil. Hal ini dikenal dengan konsep too-big-to-fail. Selain karena skala usahanya, bank besar cenderung memiliki interkonektivitas dengan bank lain yang lebih banyak dengan kompleksitas usaha 13

22 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? yang tinggi, sehingga permasalahan pada bank tersebut dapat mengakibatkan gangguan yang lebih luas dalam sistem keuangan, bahkan hingga bersifat sistemik (Baca Boks 2.1. Tidak Ada Lagi Too- Big-To-Fail ). Selain itu, potensi termaterialisasinya suatu risiko dapat muncul apabila beberapa institusi keuangan yang sehat secara bersamasama memiliki eksposur risiko yang sama (common risk factor). Hal ini dapat terjadi meskipun setiap institusi keuangan telah mengelola profil risiko masing-masing dengan baik. Sebagai contoh, ketika sektor properti sedang tumbuh pesat, mayoritas perbankan akan memfokuskan penyaluran kreditnya pada sektor tersebut. Akibatnya, tingkat konsentrasi perbankan pada sektor properti menjadi tinggi. Apabila terjadi perlambatan atau shock pada sektor properti, akan banyak bank yang terkena risiko yang sama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan instabilitas dalam sistem keuangan. Dengan karakteristik sistem keuangan sebagaimana diuraikan di atas (adanya interconnectedness, institusi yang bersifat too-big-to-fail, dan common risk factor), dapat disimpulkan bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, diperlukan suatu pendekatan pengaturan dan pengawasan yang lebih bersifat agregat, berorientasi pada sistem, dan memandang semua elemen dalam sistem keuangan sebagai satu kesatuan yang saling terkait satu dengan yang lain, serta mengerti dan waspada akan adanya potensi risiko sistemik. Pendekatan ini dapat diakomodasi oleh kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang bersumber dari karakteristik sistem keuangan tersebut. Kebijakan makroprudensial yang terfokus pada keseluruhan sistem keuangan diharapkan mampu menangkap sumber-sumber risiko secara agregat. Dengan demikian, kestabilan sistem keuangan akan dapat dicapai, karena fokus pengawasan tidak hanya terbatas pada kesehatan individu institusi keuangan. Bagaimana dengan kebijakan lain yang ada sebelumnya, apakah dinilai tidak cukup? 14

23 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? II.2. Kebijakan Makroprudensial Sebagai Komplemen Kebijakan Lain Dalam implementasinya, kebijakan makroprudensial secara efektif bisa menjadi komplemen atau pelengkap dari kebijakankebijakan lain yang sudah ada sebelumnya. Karakteristik kebijakan makroprudensial yang berorientasi kepada sistem, mencakup dimensi runtun waktu (time series) dan antarsubjek (cross section), serta diimplementasikan dengan perangkat prudensial, diharapkan dapat menutup kekurangan (gap) kebijakan mikroprudensial, moneter, maupun fiskal dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan. II.2.1 Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial Kebijakan mikroprudensial yang difokuskan pada tingkat kesehatan individu institusi keuangan lebih ditekankan pada dimensi antarsubjek (cross section), yakni bagaimana risiko teramplifikasi dalam 1 (satu) periode tertentu. Padahal, perilaku institusi keuangan dari waktu ke waktu juga perlu diperhatikan. Kesehatan institusi keuangan yang dinilai pada satu waktu tertentu tidak mampu menggambarkan evolusi risiko yang ada pada institusi tersebut. Karena pada kenyataannya, pergerakan institusi keuangan cenderung sejalan dengan naik turunnya perekonomian yang mewarnai perilaku ambil risikonya (procyclicality). Saat kondisi ekonomi sedang baik, insitusi keuangan akan melakukan ekspansi dan meningkatkan perilaku ambil risiko. Sedangkan ketika kondisi ekonomi sedang buruk, insitusi keuangan cenderung menahan ekspansi, mengurangi risiko termasuk menahan penyaluran kredit. Karakteristik kebijakan makroprudensial yang mencakup dimensi runtun waktu (time series) dan antarsubjek (cross section) mampu melengkapi kebijakan mikroprudensial dalam meredam amplifikasi risiko. Sementara, kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang berorientasi pada sistem, bertujuan melihat sistem keuangan secara keseluruhan melalui pendekatan yang bersifat top-down. Dengan pendekatan top-down (dari atas ke bawah), kebijakan yang akan 15

24 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? diambil didasarkan pada hasil analisis secara komprehensif terhadap kondisi makroekonomi dan dampaknya pada seluruh risiko dalam sistem keuangan, termasuk korelasi antara risiko sistemik, dinamika pasar, dan pilihan kebijakan yang akan dilakukan. Karakteristik kebijakan ini menjawab kebutuhan akan adanya suatu pendekatan yang bersifat agregat dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, kebijakan makroprudensial dengan pendekatan top-down akan melengkapi kebijakan mikroprudensial yang difokuskan pada pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) melalui analisis yang lebih mendalam atas risiko institusi keuangan secara individual (idiosyncratic risk). Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa baik kebijakan makroprudensial maupun kebijakan mikroprudensial sama-sama bertujuan mencegah instabilitas sistem keuangan, namun dengan pendekatan yang berbeda. Kebijakan mikroprudensial dengan fokus pada target kesehatan individual insitusi keuangan, pada akhirnya akan berupaya mencegah instabilitas dengan cara menekan kerugian yang ditanggung oleh institusi keuangan, serta bermuara pada perlindungan konsumen. Sementara itu, kebijakan makroprudensial yang fokus pada interaksi antara lembaga keuangan, pasar, infrastruktur dan ekonomi yang lebih luas, termasuk pengukuran potensi risiko ke depan; akan berupaya mencegah instabilitas untuk menghindari biaya perekonomian yang timbul dari kegagalan sektor keuangan (biaya penanggulangan krisis). Dengan kata lain, kebijakan makroprudensial bertujuan untuk membatasi kemungkinan kegagalan finansial yang berdampak signifikan terhadap sistem keuangan atau mencegah terjadinya risiko sistemik (Crockett, 2000). II.2.2 Kebijakan Makroprudensial dan Moneter Kebijakan makroprudensial juga melengkapi kebijakan moneter. Kebijakan moneter yang difokuskan pada stabilitas harga dan perekonomian secara makro tidak secara langsung bisa menjangkau permasalahan di level mikro sistem keuangan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa kondisi krisis dapat terjadi meskipun dengan 16

25 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? kondisi inflasi dan output gap yang rendah (IMF, 2013a). Sumbersumber risiko makroekonomi dapat berasal dari instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, adanya pengawasan agregat pada sistem keuangan dari kebijakan makroprudensial dapat melengkapi fokus kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial dapat digunakan untuk melihat adanya potensi peningkatan risiko dari sistem keuangan yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Secara umum, kedua kebijakan ini beroperasi di bawah paradigma yang sama, yakni paradigma countercyclical: kebijakan moneter fokus pada stabilitas harga, sedangkan kebijakan makroprudensial fokus pada stabilitas keuangan. Kedua kebijakan ini saling terkait satu sama lain. Kondisi makroekonomi yang merupakan hasil dari implementasi kebijakan moneter, akan secara langsung memengaruhi stabilitas sistem keuangan. Perlambatan ekonomi atau volatilitas nilai tukar, misalnya, dapat secara langsung berdampak pada kinerja penyaluran dan kualitas kredit perbankan. Oleh karena itu, kedua kebijakan ini harus dijalankan secara optimal dari sudut pandang masing-masing, karena kekurangan dari sisi kebijakan moneter tidak akan dapat secara efektif ditangani oleh kebijakan makroprudensial. Dampak yang dapat ditimbulkan satu sama lain juga perlu untuk diperhatikan. Ada kalanya, kebijakan moneter yang berdampak pada seluruh pelaku ekonomi, dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan di sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial dapat menutup gap di kebijakan moneter dengan kemampuannya untuk mengatur target objek dari kebijakannya. Kebijakan makroprudensial dan moneter dapat bersinergi untuk memberikan dampak kebijakan yang paling sesuai bagi perekonomian (Baca Boks 2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter dan Mikroprudensial). II.2.3 Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal Kebijakan makroprudensial juga terkait erat dengan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang tepat dan efektif akan mengurangi potensi 17

26 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? terjadinya shock makroekonomi, yang merupakan salah satu sumber pembentukan (build up) risiko sistemik (IMF, 2013b). Sebagai contoh, kenaikan (boom) pada konsumsi swasta dan rumah tangga dapat teramplifikasi oleh masuknya modal asing (capital inflow) yang tinggi secara persisten. Aliran modal asing yang masuk, antara lain melalui pasar saham dan obligasi, dapat meningkatkan kemampuan ekspansi usaha swasta sekaligus pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya mendorong konsumsi masyarakat. Apabila kenaikan konsumsi tersebut terjadi pada barang-barang dengan import content yang tinggi, dapat memicu terjadinya defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang persisten. Di sisi lain, pelaku pasar akan cenderung semakin ambil risiko (risk-taking) memanfaatkan kondisi ekonomi yang sedang mengalami boom. Pada kondisi ini, kebijakan makroprudensial sendiri tidak dapat meredam boom yang ada. Diperlukan koordinasi kebijakan bersama Pemerintah untuk memperbaiki kondisi defisit transaksi berjalan dengan melakukan pemberian insentif pajak untuk mendorong produksi barangbarang yang memiliki nilai tambah (value added) sehingga barangbarang yang bersumber dari luar negeri dapat digantikan dengan barang-barang produksi dalam negeri. Sementara itu, kebijakan makroprudensial dapat ditargetkan untuk meredam perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku pasar. Implementasi suatu kebijakan ada kalanya memberikan unintended consequences 2 bagi kebijakan lain. Kebijakan fiskal berbentuk insentif pajak misalnya, di mana sistem akuntansi perusahaan menyatakan bahwa peningkatan utang akan memperkecil pajak yang harus dibayarkan (tax shield). Pengurangan pajak merupakan salah satu tujuan utama perusahaan, sehingga mengecilnya jumlah pajak dapat menjadi insentif perusahaan untuk meningkatkan utang (leverage). Sedangkan kebijakan makroprudensial menuntut adanya kehatihatian dalam berutang. Oleh karena itu, koordinasi antarotoritas dalam perumusan kebijakan sangat diperlukan guna meminimalisir unintended consequences dan meningkatkan efektifitas masingmasing kebijakan. 2. Unintended consequences merupakan hasil yang tidak ditargetkan oleh kebijakan namun terjadi sebagai akibat dari implementasi kebijakan. 18

27 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? Boks 2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter dan Mikroprudensial Sebagai kebijakan yang paling terakhir masuk menjadi bagian tugas dari bank sentral, adalah wajar jika kebijakan makroprudensial harus beradaptasi dan menghormati kebijakan lainnya yang sudah menjadi tugas utama bank sentral, terutama kebijakan moneter. Namun perlu dicatat juga, bahwa kebijakan makroprudensial yang bertujuan membatasi risiko sistemik untuk menjaga stabilitas keuangan memang justru lahir karena stabilitas moneter tidak akan tercapai tanpa adanya stabilitas keuangan. Demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena transmisi kebijakan moneter berlangsung melalu sistem keuangan, serta perilaku institusi/agen keuangan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Keunikan dari kebijakan makroprudensial adalah kemampuannya dalam memberikan dampak kepada target agen keuangan tertentu. Misalnya, kebijakan makroprudensial bisa saja hanya ditujukan kepada agen keuangan yang berperilaku spekulatif dalam investasi di bidang properti, seperti melalui kebijakan loan-to-value (LTV) yang dirancang untuk menahan perilaku spekulatif dengan cara mempersyaratkan uang muka yang lebih besar untuk kredit pembelian rumah kedua dan seterusnya. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh kebijakan moneter, di mana pada saat ditetapkan, akan berlaku rata bagi semua agen keuangan. Namun, kebijakan makroprudensial juga bukanlah senjata pamungkas yang dapat menyelesaikan semua permasalahan di perekonomian. Kebijakan ini dirancang untuk melengkapi kebijakan makroekonomi termasuk moneter dan fiskal, serta kebijakan mikroprudensial. Perlu diperhatikan bahwa target dari kebijakan makroprudensial adalah keseluruhan atau bagian dari sistem keuangan demi mengurangi potensi terjadinya risiko sistemik, yang jika tidak dimitigasi dapat menyebabkan terjadinya krisis keuangan yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian. Kekuatan dari kebijakan makroprudensial adalah 19

28 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? kemampuannya menjaga keseimbangan antara pendekatan makroekonomi yang cenderung hanya melihat kondisi perekonomian secara agregat dan pendekatan mikroprudensial yang cenderung hanya memastikan individu institusi keuangan sehat. Interaksi antara kebijakan makroprudensial dengan kebijakan mikroprudensial lebih mudah diobservasi, karena pada dasarnya kebijakan makroprudensial diimplementasikan dengan menggunakan instrumen mikroprudensial, namun diberlakukan dengan tujuan yang berbeda dari tujuan mikroprudensial. Dalam kebijakan makroprudensial, terkadang kesehatan beberapa institusi keuangan terpaksa dikorbankan jika hal tersebut dapat menyelamatkan sistem keuangan secara keseluruhan. Misalnya, pada saat penyaluran kredit sudah berlebihan, kebijakan makroprudensial akan memformulasikan tambahan persyaratan minimum permodalan bank sehingga mendorong bank mengurangi perilaku ambil untung (Countercyclical Capital Buffer/CCB). Modal penyangga ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan oleh bank untuk menyerap kerugian pada saat kondisi perekonomian menurun di mana kinerja kredit cenderung menurun. Bagi bank, hal ini akan meningkatkan biaya dananya sehingga mengurangi keuntungannya. Beberapa bank bisa saja mengalami kesulitan untuk memenuhi peningkatan modal minimum ini sehingga tingkat kesehatannya menurun, namun hal ini akan melindungi keseluruhan sistem perbankan yang perlu berjaga-jaga terhadap membaliknya kondisi perekonomian. Oleh karena itu, wajar juga jika kebijakan makroprudensial cenderung fokus pada institusi keuangan yang memiliki dampak sistemik (misalnya bank sistemik atau systemically important bank), dengan mengimplementasikan aturan-aturan yang ketat untuk menjaga keberlangsungan institusi keuangan tersebut, sehingga tidak menimbulkan risiko sistemik. Jika disinkronisasikan, kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter memiliki kemampuan untuk saling menguatkan. 20

29 Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? Pada saat perekonomian melaju terlalu cepat misalnya, kedua kebijakan ini bisa mencoba mengerem pertumbuhan kredit perbankan. Kebijakan moneter dengan cara meningkatkan suku bunga acuan, dan kebijakan makroprudensial dengan cara meningkatkan persyaratan permodalan bank pada saat ekonomi sedang meningkat (CCB). Kedua kebijakan ini akan menyebabkan biaya dana meningkat sehingga menurunkan ketersediaan dana untuk kredit, serta jika biaya dana dibebankan kepada debitur dalam bentuk kenaikan suku bunga kredit akan menambah biaya pelunasan kredit (repayment), sehingga akan mengurangi permintaan kredit. Namun ada kalanya, kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial dapat berlawanan dampaknya. Misalnya, dalam kondisi suku bunga yang rendah di mana kebijakan moneter dilonggarkan karena kebutuhan untuk mendorong perekonomian secara agregat, dapat memicu terjadinya penggelembungan harga properti (kenaikan harga yang berlebihan karena permintaan yang lebih tinggi daripada persediaan) atau biasa disebut bubble. Kondisi ini harus ditangani dengan kontraksi kebijakan makroprudensial, berupa LTV yang lebih ketat, di mana uang muka harus lebih tinggi untuk pembelian properti agar dapat menurunkan permintaan pembelian rumah. Kondisi yang dapat menimbulkan konflik kebijakan lainnya yaitu kebijakan moneter yang terlalu ketat untuk menurunkan tekanan pada nilai tukar Rupiah, yang berpotensi memberikan tekanan likuiditas pada perbankan. Adanya contoh-contoh di atas semakin menunjukkan perlunya sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial, serta sinergi antara kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial. Koordinasi antara kebijakan moneter dan makroprudensial telah berlangsung di bawah satu atap Bank Indonesia. Sementara, koordinasi kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial berlangsung antara Bank Indonesia dan OJK dalam mekanisme yang disebut Forum Koordinasi Makro dan Mikro. 21

30

31 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? 3 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? III.1. Mandat dan Kewenangan Salah satu pelajaran dari krisis keuangan global adalah semakin pentingnya kebijakan makroprudensial yang didukung oleh penataan kelembagaan (institutional arrangement) otoritas keuangan, yang dapat menjamin efektivitas pelaksanaan tugas dari otoritas makroprudensial. Hal tersebut telah mendorong sejumlah negara memperbaiki penataan kelembagaan otoritas keuangan yang sebelumnya terbilang terfragmentasi, atau cenderung tidak memfasilitasi koordinasi antarlembaga. Krisis global menunjukkan bahwa struktur yang terfragmentasi mengurangi efektivitas upaya mitigasi risiko sehingga meningkatkan potensi pembentukan risiko sistemik. Penataan juga dilakukan guna menetapkan otoritas yang paling tepat diberikan mandat kewenangan makroprudensial. Penataan kelembagaan institusi makroprudensial dipengaruhi oleh kondisi spesifik di suatu yurisdiksi seperti ketersediaan dan kemampuan sumber daya, histori dari penataan kelembagaan yang ada saat ini, serta rezim moneter. Selain itu, ukuran dan kompleksitas struktur sistem keuangan, kerangka hukum yang berlaku, aspek ekonomi politis (political economy), dan kerangka kerja sama antarotoritas juga turut memengaruhi penataan kelembagaan tersebut. Di Indonesia sendiri, peran dari otoritas perekonomian dan sistem keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi bagian yang sangat penting dalam menentukan penataan kelembagaan institusi makroprudensial. (Baca Boks 3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan). Tidak ada sebuah model yang sama yang dapat diberlakukan di semua negara dalam menentukan penataan kelembagaan otoritas 23

32 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? keuangan yang tepat di suatu yurisdiksi. Penataan kelembagaan yang dipilih akan mengacu pada karakteristik masing-masing negara. Terkait dengan kewenangan makroprudensial, beberapa opsi penataan kelembagaan yang dapat dipilih adalah: (a) diserahkan pada otoritas tunggal, (b) kewenangan dari berbagai otoritas, atau (c) kewenangan dari komite khusus. Opsi penataan yang dipilih suatu negara diharapkan dapat memastikan implementasi kebijakan makroprudensial secara tepat waktu dan efektif untuk memitigasi risiko di sistem keuangan. Penataan kelembagaan perlu memberikan kejelasan mandat pada otoritas makroprudensial untuk mengatur tujuan dan kewenangan otoritas makroprudensial. Selain itu, perlu ditetapkan kerangka akuntabilitas dan transparansi guna mendorong legitimasi dan komitmen tindakan oleh otoritas makroprudensial, serta bagaimana kebijakan lainnya berinteraksi dengan kebijakan makroprudensial. Observasi dari sejumlah praktik serta pelajaran dari krisis global menunjukkan bahwa bank sentral perlu memainkan peran penting dalam kebijakan makroprudensial, mengingat fungsinya sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Peranan ini memungkinkan bank sentral untuk memonitor keterkaitan makrofinansial (atau bagaimana elemen sistem keuangan berinteraksi dalam tataran makroekonomi), mengidentifikasi risiko sistemik, ataupun mengomunikasikan potensi risiko yang ada. Hal tersebut mendorong mayoritas yurisdiksi menunjuk bank sentral sebagai otoritas makroprudensial. Pemilihan bank sentral sebagai otoritas makroprudensial didasari oleh sejumlah faktor fundamental, terkait dengan posisi dan kapasitas spesifik yang dimiliki oleh bank sentral yang tidak dimiliki oleh institusi lain. Hal-hal tersebut adalah: 1. Bank sentral sebagai Lender of the Last Resort (LoLR) 3 Fungsi bank sentral sebagai otoritas makroprudensial erat kaitannya dengan fungsi klasik bank sentral sebagai LoLR. Tugas 3. Secara sederhana, bank sentral memiliki fungsi Lender of the Last Resort yang berarti bank sentral adalah lembaga terakhir yang bersedia memberikan pinjaman dalam kondisi lembaga lain tidak mau atau tidak sanggup lagi memberikan pinjaman. Fungsi ini dikaitkan juga dengan fungsi bank sentral sebagai pencipta uang. 24

33 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? otoritas makroprudensial untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya risiko sistemik harus didukung dengan kemampuan menyediakan instrumen likuiditas dalam rangka menghindari terjadinya risiko sistemik. Dalam hal ini, bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kemampuan menciptakan likuiditas. 2. Bank sentral sebagai otoritas moneter Kebijakan makroprudensial akan memitigasi dan meminimalkan perilaku pengambilan risiko yang berlebihan yang dapat mengganggu kestabilan harga. Sementara kestabilan harga itu sendiri merupakan tujuan pencapaian kebijakan moneter. Di negara yang perekonomiannya didominasi perbankan, bank sentral sebagai otoritas moneter dan makroprudensial harus mewujudkan perbankan yang sehat dan stabil karena transmisi kebijakan bank sentral dilakukan melalui jalur perbankan. 3. Bank sentral sebagai otoritas sistem pembayaran Pelaksanaan tugas makroprudensial untuk mencegah risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan, berkaitan erat dengan tugas bank sentral untuk menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien, lancar, dan andal mengingat adanya gangguan pada infrastruktur sistem keuangan, termasuk sistem pembayaran, berpotensi menjadi sumber risiko sistemik. 4. Bank sentral sebagai otoritas makroprudensial memiliki kapasitas dalam bentuk pengetahuan dan keahlian secara institusional (institutional knowledge and expertise) dalam melakukan asesmen risiko sistem keuangan secara menyeluruh Bank sentral memiliki kapasitas mengidentifikasi, memantau, dan menilai potensi risiko dan kerentanan yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan baik dari kondisi makroekonomi global dan domestik, dan tidak terbatas hanya pada perbankan. Makroprudensial memberikan asesmen secara menyeluruh dengan mempertimbangkan keterkaitan antarsektor sehingga dapat memberikan gambaran potensi ketidakseimbangan di 25

34 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? sistem keuangan dan bagaimana transmisi dampak yang terjadi terhadap sistem keuangan. 5. Bank sentral merupakan institusi yang memiliki kapasitas untuk merumuskan bauran kebijakan secara komprehensif Dalam menghadapi permasalahan multidimensi, negara berkembang memerlukan alternatif pendekatan yang menggabungkan perspektif dari sejumlah kebijakan (kombinasi moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran) agar kebijakan menjadi lebih efektif. Bauran kebijakan yang efektif untuk menjawab permasalahan risiko sistem keuangan akan sulit untuk dirumuskan bila kewenangan makroprudensial tidak menjadi kewenangan bank sentral. 6. Bank sentral memiliki jaringan (network) dengan bank sentral lain dan lembaga internasional untuk menjaga stabilitas sistem keuangan kawasan Bank sentral mampu menjadi organisasi yang belajar (learning organization) untuk menjaga standar dan kualitas asesmen sistem keuangan dan perumusan kebijakan makroprudensial. Penataan antara bank sentral (bilateral maupun multilateral) memungkinkan bank sentral melakukan kerja sama keuangan dengan bank sentral/lembaga internasional lain guna memitigasi/ mencegah potensi risiko sistemik di sistem keuangan domestik, regional, maupun internasional. Untuk dapat menjalankan kewenangan di bidang makroprudensial dengan efektif, baik dalam melakukan asesmen maupun merumuskan kebijakan guna membatasi risiko sistemik, sejumlah kewenangan perlu dimiliki oleh otoritas makroprudensial yaitu: i) kewenangan untuk melakukan pengaturan; ii) kewenangan untuk melakukan pengawasan (off-site); iii) kewenangan untuk melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi pola perilaku agen keuangan, termasuk dalam rangka memastikan kepatuhan terhadap ketentuan yang ditetapkan; iv) kewenangan untuk meminta informasi baik secara rutin maupun nonrutin; serta v) perizinan untuk kegiatan tertentu yang merupakan cakupan otoritas tersebut. 26

35 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? III.2.Landasan Hukum Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK khususnya penjelasan pasal 7, Bank Indonesia memiliki kewenangan di bidang makroprudensial. Kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial juga dinyatakan dalam pasal 40 dan penjelasannya mengenai kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan khusus kepada bank tertentu, serta penjelasan pasal 69 yang menyebutkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan makroprudensial. UU OJK mendefinisikan lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial sebagai pengaturan dan pengawasan selain aspek kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank yang merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Sementara itu, UU No. 9 Tahun 2016 tanggal 15 April 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), khususnya penjelasan pasal 3 ayat 2c, menyebutkan makroprudensial mencakup pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan yang bersifat makro dan berfokus pada risiko sistemik dalam rangka mendorong stabilitas sistem keuangan. Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia menetapkan kerangka kebijakan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. PBI diterbitkan sebagai pedoman dalam implementasi kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial, serta untuk meningkatkan pemahaman pelaku pasar terhadap peran Bank Indonesia sebagai regulator dan pengawas makroprudensial. Selanjutnya, mempertimbangkan perlunya terdapat kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, disusunlah Peraturan Dewan Gubernur (PDG) No. 17/17/PDG/2015 tanggal 31 Desember 2015 tentang Kerangka Kebijakan Makroprudensial yang berfungsi sebagai aturan dan pedoman internal mengenai bagaimana Bank Indonesia menjalankan kerangka kebijakan makroprudensial. Dengan 27

36 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? kerangka kebijakan tersebut, diharapkan terdapat kejelasan dalam proses pengawasan, perumusan dan pengaturan kebijakan, serta komunikasi kebijakan; termasuk koordinasi dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan baik dalam kondisi normal dan krisis, serta penanganan permasalahan bank sistemik (sistemically important bank). Berdasarkan ketentuan tersebut, wewenang Bank Indonesia mencakup: i) Pengaturan Makroprudensial dan ii) Pengawasan Makroprudensial. Pelaksanaan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dimaksudkan agar fungsi dan operasional bank dan/atau lembaga keuangan dapat mendukung kegiatan ekonomi makro secara berkelanjutan, stabil secara industri dan/atau sistem, serta seimbang secara sektor ekonomi dan/atau kelompok masyarakat. Pelaksanaan kewenangan pengaturan dan pengawasan makroprudensial tidak ditujukan untuk menilai tingkat kesehatan bank secara individual. Berbagai ketentuan tersebut menegaskan posisi Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang terhadap pelaksanaan dan pengawasan makroprudensial di Indonesia. Koordinasi antara berbagai otoritas terkait sangat diperlukan demi terlaksananya tugas dengan baik dan efektif. 28

37 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Boks 3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, diperlukan kerja sama antara berbagai otoritas yang berwenang. UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK menjelaskan peranan antara otoritas yang bekerja sama dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Peran KSSK adalah untuk: (i) koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, (ii) penanganan krisis sistem keuangan, dan (iii) penanganan permasalahan bank sistemik, baik ketika sistem keuangan berada dalam kondisi normal maupun krisis. Otoritas yang berwenang dalam menjaga sistem keuangan tersebut adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Gambar 3.1 Peran Otoritas Keuangan Hubungan kerja antarotoritas keuangan dan juga Pemerintah secara keseluruhan tidak terbatas pada penanganan krisis saja. Dalam mengelola perekonomian negara sehari-hari, hubungan kerja ini dapat dilihat pada bagan di atas. Peran Bank Indonesia dalam stabilitas sistem keuangan dikaitkan dengan peran Bank Indonesia sebagai otoritas kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran (infrastruktur sistem keuangan). Dengan kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia 29

38 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? berupaya melakukan langkah-langkah untuk membatasi risiko sistemik melalui pemantauan keseluruhan sistem keuangan dan pengaturan perbankan di bidang makroprudensial. Bank Indonesia juga mengupayakan agar fungsi intermediasi sistem keuangan berjalan secara seimbang dan berkualitas dalam kaitannya dengan kondisi makroekonomi global dan domestik. Kebijakan moneter Bank Indonesia ditransmisikan melalui sistem keuangan, sehingga dapat langsung memengaruhi stabilitas sistem keuangan. Sementara, menjaga sistem pembayaran yang dapat diandalkan untuk pelaksanaan transaksi keuangan adalah salah satu prasyarat bagi terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Bagaimana dengan peran Pemerintah, OJK, dan LPS? Bersama-sama dengan Bank Indonesia, Pemerintah mengelola kebijakan makroekonomi melalui kementerian-kementerian terkait. Kementerian Keuangan sebagai otoritas kebijakan fiskal memiliki tugas utama untuk mengelola keuangan negara terutama untuk membiayai pembangunan, termasuk di dalamnya kebijakan perpajakan dan utang pemerintah. Kementerian di bidang ekonomi lainnya melaksanakan kebijakan makroekonomi yang menyentuh sendi-sendi perekonomian di bidang infrastruktur (antara lain perhubungan, pekerjaan umum) dan sektor riil (antara lain pertanian, perdagangan, perindustrian, pariwisata, kelautan). Kebijakan pada level sektor ekonomi ini secara langsung memengaruhi iklim bisnis di Indonesia, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja sektor riil. Namun, Kemenkeu sendiri memiliki peran unik di sektor riil melalui kebijakan perpajakan, yang langsung menyentuh korporasi dan rumah tangga. Jika kita lihat pada bagan, korporasi dan rumah tangga selain merupakan bagian dari sektor riil, juga merupakan bagian dari sistem keuangan, yang berada di bawah pantauan Bank Indonesia. Sementara dalam pengelolaan keuangan negara, cara Kemenkeu mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk utang Pemerintah akan memengaruhi likuiditas 30

39 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? perekonomian, termasuk transmisinya pada likuiditas perbankan dan institusi keuangan lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal dari Kemenkeu secara tidak langsung dapat memengaruhi kondisi stabilitas sistem keuangan, sehingga Kemenkeu memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Sementara, peran OJK terutama berujung pada perlindungan konsumen sistem keuangan. OJK bertugas menerapkan aturanaturan prudensial yang bertujuan untuk menjaga kesehatan individual institusi keuangan, serta memastikan kode etik pelaku pasar mendukung iklim investasi yang sehat. Untuk tujuan itu, OJK melakukan pengawasan mikroprudensial terhadap semua institusi keuangan untuk memastikan institusi dapat menjaga kelangsungan usahanya dengan mengelola risikonya. Kesehatan institusi keuangan merupakan salah satu faktor penentu stabilitas sistem keuangan. LPS berperan memberikan jaminan atas simpanan nasabah dalam bank. Untuk itu, LPS mengumpulkan iuran premi dari bank dan mengelola dana tersebut agar dapat dipergunakan untuk membayar simpanan nasabah bank yang mengalami kegagalan berdasarkan aturan penjaminan simpanan yang berlaku. Dalam penanganan bank bermasalah, LPS juga memiliki peranan penting. Secara khusus, LPS adalah otoritas resolusi bank, yang bertugas melaksanakan penanganan masalah solvabilitas Bank Sistemik serta bank lainnya, termasuk jika bank tertentu mengalami kegagalan. Peran LPS membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional, karena adanya garansi pengembalian simpanan jika terjadi kegagalan bank. Kondisi ini mendukung proses pendanaan perbankan sehingga fungsi intermediasi dapat berlangsung dengan baik dalam mendukung stabilitas sistem keuangan. Dalam praktiknya, KSSK melakukan tukar menukar informasi mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam rapat-rapat rutin. Setiap otoritas keuangan sesuai dengan kewenangannya 31

40 Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? masing-masing diharapkan menyampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan serta berkoordinasi untuk dapat menghasilkan solusi bersama. Terutama antara otoritas makroprudensial (BI) dan mikroprudensial (OJK) yang terdapat banyak singgungan antara tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, Bank Indonesia dan OJK memerlukan mekanisme kerja sama dan koordinasi lebih lanjut yang mengatur tugas dan wewenang masing-masing institusi. Pedoman kerja sama dan koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) BI-OJK No. tanggal 18 Oktober 2013 tentang Kerja Sama dan Koordinasi Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan OJK. 32

41 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? 4 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Dalam melaksanakan kewenangan di bidang makroprudensial, Bank Indonesia perlu memiliki kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kerangka tersebut mencakup serangkaian pedoman bagi Bank Indonesia dalam menjalankan kewenangan guna merumuskan dan menghasilkan arah kebijakan yang tepat dan jelas. Di samping itu, kerangka dilengkapi pula dengan tujuan jangka panjang dari perumusan kebijakan. Kerangka kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia disusun dengan difokuskan pada upaya untuk mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan yang diwujudkan melalui 4 (empat) hal, yaitu: (i) risiko sistemik yang teridentifikasi sejak dini dan termitigasi; (ii) financial imbalances 4 yang minimal sehingga mendukung fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas; (iii) sistem keuangan yang efisien; dan (iv) akses keuangan dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang meningkat. Dalam konteks makroprudensial, pengembangan akses keuangan 5 dan UMKM 6 4. Financial imbalances atau ketidakseimbangan dalam sistem keuangan merupakan suatu kondisi dengan indikasi peningkatan potensi risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku sistem keuangan. 5. Di Bank Indonesia, pengembangan akses keuangan dilakukan antara lain melalui program Keuangan Inklusif (financial inclusion). Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi paskakrisis 2008, yaitu dampak krisis kepada kelompok in the bottom of the pyramid (pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran) yang umumnya unbanked. Sebagai tindak lanjut, pada G20 Pittsburgh Summit 2009 dan dipertegas pada Toronto Summit 2010, disepakati perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan program Financial Inclusion (FI). FI di Bank Indonesia dilaksanakan dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang terdiri atas 6 (enam) pilar sebagai berikut: (i) edukasi keuangan; (ii) fasilitas keuangan publik; (iii) pemetaan informasi keuangan; (iv) kebijakan/peraturan yang mendukung; (v) intermediasi dan saluran distribusi; serta (vi) perlindungan konsumen. 6. Pengembangan UMKM dilakukan mengingat UMKM merupakan salah satu pemain penting bagi perekonomian Indonesia, namun masih terkendala dalam hal pembiayaan oleh perbankan karena faktor berikut. Karakteristik UMKM yang sebagian besar masih unbanked dan tidak memiliki laporan keuangan yang memadai, menjadi keterbatasan bagi bank dalam menganalisa kelayakan usaha. Sebaliknya bagi UMKM, informasi mengenai produk dan jasa bank masih terbatas. Pengembangan UMKM di Bank Indonesia dilakukan melalui penyediaan media informasi bagi intermediasi bank dan UMKM, serta berbagai koordinasi dan kerja sama dalam hal pengembangan UMKM. 33

42 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? dilakukan dalam kaitannya dengan upaya mitigasi risiko sistemik akibat sistem keuangan Indonesia yang masih terkonsentrasi, antara lain pada sektor korporasi dan pada kalangan masyarakat tertentu. Peningkatan akses keuangan dan UMKM diperlukan mengingat sebagai negara berkembang, Indonesia masih terus melakukan pengembangan pasar keuangan baik dalam bentuk perluasan akses keuangan (financial broadening) maupun pendalaman pasar dengan pengembangan produk-produk keuangan (financial deepening). Kerangka kebijakan akan berhasil mencapai sasaran apabila diimplementasikan melalui strategi operasional yang baik. Dengan strategi operasional yang baik, diharapkan proses identifikasi risiko dapat dilakukan dengan lebih tepat, termasuk mengetahui bagaimana risiko tersebut menyebar dan melalui saluran apa penyebarannya. Pengukuran potensi dampak yang ditimbulkan diharapkan dapat dilakukan dengan lebih baik pula, sehingga bisa ditentukan dengan lebih akurat kapan saat yang tepat bagi otoritas untuk mengeluarkan instrumen kebijakan yang mampu mencegah penyebaran dampak risiko tersebut bagi sistem keuangan, makroekonomi, maupun sektor riil. Untuk itu, disusunlah strategi operasional yang merupakan rangkaian (alur) dalam melaksanakan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial sebagaimana diilustrasikan di Gambar 4.1. Terdapat 4 (empat) elemen utama dalam strategi operasional tersebut, yakni: (i) identifikasi sumber risiko sistemik; (ii) pengawasan makroprudensial melalui monitoring dan analisis terhadap risiko yang telah teridentifikasi sebelumnya serta pemberian sinyal risiko; (iii) respons kebijakan melalui desain dan implementasi instrumen kebijakan makroprudensial; dan (iv) protokol manajemen krisis (PMK). Ketiga elemen yang pertama, yaitu (i), (ii), dan (iii) akan diuraikan dalam bab ini, sementara elemen (iv) akan diuraikan secara khusus di bab berikutnya. 34

43 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Gambar 4.1. Strategi Operasional untuk Kerangka Kebijakan Makroprudensial IV.1. Identifikasi Sumber Risiko Sistemik Identifikasi sumber risiko sistemik merupakan identifikasi terhadap kejadian dan/atau perilaku yang memengaruhi stabilitas sistem keuangan dan berpotensi memiliki dampak sistemik. Menurut Bernanke (2013), risiko akan termaterialisasi ketika peristiwa gangguan (shock) berinteraksi dengan kerentanan (vulnerability) dalam sistem keuangan. Interaksi ini diibaratkan pemilik rumah yang biasanya mengunci pintunya di malam hari untuk menjaga keamanan. Pada suatu malam dia lupa mengunci pintunya, sehingga menimbulkan kerentanan. Jika tidak ada kejadian gangguan berupa pencuri yang datang dengan maksud mengambil barang di dalam rumah, maka tidak akan terjadi risiko pencurian. Risiko pencurian terjadi pada saat kejadian pencuri datang ke rumah tersebut dan menemukan pintu rumah yang tidak terkunci. Selanjutnya, risiko akan menjadi risiko sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang memadai. Dalam contoh risiko pencurian di atas, ketahanan bisa digambarkan dalam bentuk disimpannya barang-barang berharga di dalam kotak yang dilengkapi pengaman. Dengan demikian, jika ketika terjadi pencurian tidak ada barang 35

44 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? berharga yang hilang, kerugian menjadi tidak signifikan. Oleh karena itu, identifikasi sumber risiko sistemik dilakukan melalui 2 (dua) kegiatan utama, yakni: identifikasi terhadap shocks dan identifikasi terhadap vulnerability 7. Saat ini, Bank Indonesia sedang mengembangkan metode identifikasi sumber risiko yang disebut dengan Balanced Approach (pendekatan seimbang). Pendekatan ini bertujuan untuk menetapkan prioritas risiko sistemik yang dilakukan melalui analisis memasangkan (pairing) antara potensi shock dan vulnerability. Metode Balanced Approach dinilai cukup efisien dalam mendukung upaya mitigasi risiko sistemik, karena menjaga keseimbangan antara pengawasan yang terfokus dengan pengawasan yang komprehensif terhadap seluruh kondisi sistem keuangan mengingat alokasi sumber daya nantinya akan berbeda pada setiap sumber risiko berdasarkan tingkat sistemiknya. Guna mendapatkan hasil yang komprehensif dalam melakukan penetapan prioritas risiko, Bank Indonesia juga melaksanakan Survei Risiko Sistemik guna mendapatkan persepsi eksternal sebagai pelengkap dalam melakukan analisis pairing. Survei yang dilakukan secara semesteran ini bertujuan untuk menggali informasi dari pihak eksternal atas sumber risiko dalam sistem keuangan Indonesia. Survei ini fokus pada responden yang dinilai kompeten terhadap isu-isu terkini dalam sistem keuangan, seperti: institusi keuangan, korporasi yang memiliki eksposur besar pada sistem keuangan, pakar ekonomi, akademisi yang kompeten di bidang perekonomian, lembaga riset yang kompeten dengan topiktopik ekonomi, dan media yang fokus pada isu ekonomi. Proses penetapan prioritas risiko dilengkapi dengan penyusunan peta transmisi dan penentuan indikator monitoring untuk setiap sumber risiko. Peta transmisi mencerminkan jalur penyebaran sumber gangguan hingga menjadi risiko sistemik, sehingga dapat menjadi acuan awal dan kerangka berpikir dalam melakukan asesmen risiko. Dalam bidang makroprudensial, semua risiko yang terjadi di perekonomian dan sistem keuangan berpotensi menjadi 7. Shock merupakan peristiwa tertentu yang memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate causes). Vulnerability diasosiasikan dengan kondisi (preexisting features) sistem keuangan yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock. 36

45 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? risiko sistemik. Namun sebagaimana krisis keuangan yang terjadi di masa lampau, terkadang otoritas keuangan tidak menyadari peta transmisinya sehingga terlambat mengantisipasi dan memitigasi risiko. Oleh sebab itu, peta transmisi risiko sistemik ini menjadi pedoman yang penting dalam proses pengawasan makroprudensial. Selain itu, dilakukan juga identifikasi terhadap indikator-indikator yang merepresentasikan setiap tahapan pada jalur transmisi tersebut. Penyusunan peta transmisi dan indikator monitoring diharapkan dapat membantu proses monitoring dan analisis risiko sistemik hingga menjadi lebih efisien dan terarah. IV.2. Pengawasan Makroprudensial Berdasarkan kewenangannya, Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan makroprudensial dengan cara off-site (tidak langsung) maupun on-site (langsung) dengan melakukan pemeriksaan tematik. Hasil pengawasan makroprudensial ini akan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam bentuk pemberian sinyal risiko hasil monitoring dan analisis risiko sistemik. Pengawasan makroprudensial akan ditindaklanjuti dengan pengembangan instrumen kebijakan apabila pemberian sinyal risiko mengindikasikan adanya pembentukan (build-up) risiko sistemik. Dalam hal ini, buildup ditandai dengan perkembangan indikator monitoring dan hasil uji ketahanan yang mengarah pada ambang instabilitas sistem keuangan. Apabila sinyal risiko mengindikasikan kondisi yang mengarah pada keadaan krisis, maka akan ditindaklanjuti dengan aktivasi Protokol Manajemen Krisis (PMK). Sementara dalam kondisi normal, pengawasan makroprudensial akan dilanjutkan secara berkala seperti biasa. IV.2.1. Monitoring dan Analisis Risiko Sistemik Monitoring dan analisis risiko sistemik merupakan rangkaian kegiatan pengawasan makroprudensial yang dilakukan dalam bentuk off-site dan terdiri dari 3 (tiga) kegiatan utama, yakni: monitoring, identifikasi tekanan dalam sistem keuangan (stress identification), dan penilaian risiko (risk assessment). 37

46 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? A. Monitoring Monitoring sistem keuangan dilakukan dengan memantau pergerakan indikator yang merepresentasikan kinerja elemen sistem keuangan dan indikator makroekonomi yang dapat memengaruhi kinerja sistem keuangan. Selain difokuskan pada prioritas risiko yang telah ditetapkan dalam metode Balanced Approach sebelumnya, secara umum objek monitoring dapat mencakup seluruh elemen dalam sistem keuangan, yaitu: lembaga keuangan bank dan nonbank, khususnya yang memiliki potensi risiko sistemik, termasuk perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak dari bank yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Selain itu, objek monitoring juga mencakup pasar dan infrastruktur keuangan, serta sektor rumah tangga dan korporasi. Monitoring terhadap korporasi dan rumah tangga penting dilakukan mengingat kedua sektor tersebut memiliki hubungan langsung dengan institusi keuangan, sehingga adanya permasalahan yang terjadi pada kedua sektor tersebut berpotensi menimbulkan dampak pada institusi keuangan. Luasnya cakupan monitoring dimaksudkan untuk menangkap adanya unknown risk yang belum teridentifikasi sebelumnya. Untuk keperluan ini jugalah, Bank Indonesia telah memperluas cakupan monitoring terhadap risiko di sistem keuangan dengan menambahkan peran Kantor Perwakilan Dalam Negeri dalam mendukung tugas kantor pusat. (Baca juga Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional Financial Surveillance). B. Stress Identification Stress identification dilakukan dalam rangka mengidentifikasi dan mengukur kapan kinerja indikator-indikator yang dimonitor memberikan sinyal yang membahayakan bagi sistem keuangan. Hal ini dilihat berdasarkan pembandingan indikator pada ambang (threshold) yang telah ditentukan dari hasil penelitian serta pendeteksian indikator ketidakseimbangan yang terjadi di sistem keuangan (imbalances indicators). Beberapa sarana (tools) yang saat ini digunakan oleh Bank Indonesia dalam fase stress identification 38

47 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? antara lain adalah siklus keuangan 8 sebagai sinyal imbalances, Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) sebagai indeks komposit yang mencerminkan kinerja institusi keuangan dan pasar keuangan, dan Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP) sebagai indeks komposit yang mengidentifikasi kontribusi perbankan pada risiko sistemik dengan memperhitungkan indikator-indikator yang menentukan dampak sistemik (degree of systemicity) dari masing-masing individu bank. C. Risk Assessment Penilaian risiko (risk assessment) dilakukan dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana potensi dampak yang ditimbulkan dari risiko yang telah teridentifikasi pada tahap sebelumnya terhadap sistem keuangan maupun sektor riil. Salah satu metode yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam melakukan penilaian risiko adalah stress test perbankan. Stress test merupakan metode untuk menilai tingkat ketahanan atas skenario tekanan (shock) tertentu yang diberikan. Saat ini, pelaksanaan stress test masih difokuskan pada perbankan, mengingat bank masih mendominasi sistem keuangan di Indonesia. Ke depan akan dikembangkan metode stress test untuk mengukur ketahanan korporasi. Di Bank Indonesia saat ini terdapat 2 (dua) jenis stress test. Pertama, stresst test dengan cakupan industri (industry-wide), yang bersifat dari atas ke bawah (top-down) dan dilakukan dengan pendekatan yang sama untuk semua bank, baik dari sisi pemodelan maupun pendekatan dalam simulasi neraca bank. Metode ini telah diimplementasikan secara berkala dalam proses pengawasan makroprudensial (Baca juga Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank dalam Menghadapi Tekanan). Kedua, metode perhitungan individual stress test (khusus bagi bank sistemik, atau bank lainnya jika diperlukan), yaitu dengan menggunakan pendekatan yang berbeda bagi setiap bank serta menggunakan data 8. Siklus keuangan didefinisikan sebagai interaksi antara persepsi dari harga (value) dan risiko, perilaku terhadap risiko dan kendala pembiayaan (financial constraint), yang diterjemahkan sebagai boom yang diikuti oleh bust (Borio, 2012). 39

48 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? yang lebih rinci (granular) dari tiap bank. Saat ini, metode individual stress test sedang dalam tahap pengembangan. Pada jenis individual stress test ini, metode granular akan diimplementasikan. Sebagai informasi, pelaksanaan individual stress test akan dilakukan melalui koordinasi dengan OJK dan komunikasi dengan bank dalam bentuk pemeriksaan (apabila diperlukan) untuk memperoleh informasi dan data secara langsung dari bank. IV.2.2. Pemberian Sinyal Risiko Pemberian sinyal risiko merupakan tahap terakhir dari rangkaian kegiatan pengawasan makroprudensial. Tahap ini dinilai penting mengingat kegiatan pengawasan makroprudensial mulai dari monitoring, stress identification, dan risk assessment menjadi kurang optimal jika hasilnya tidak disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam waktu cepat dan tepat. Pemberian sinyal risiko yang tepat akan menentukan keberhasilan respons kebijakan yang diambil. Selain kepada siapa sinyal itu diberikan dan waktu penyampaiannya, faktor lain yang juga menentukan efektivitas pemberian sinyal risiko adalah strategi bagaimana sinyal tersebut dikomunikasikan. Secara umum, sinyal risiko sebagai hasil pengawasan makroprudensial diberikan kepada: a. Pihak Internal Pihak internal meliputi seluruh otoritas keuangan yang turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sinyal kepada pihak internal bertujuan untuk menyampaikan kondisi sistem keuangan terkini serta peringatan (alert) bagi otoritas keuangan mengenai kondisi sistem keuangan yang sudah memerlukan perhatian yang lebih intensif. Pemberian sinyal berupa laporan hasil monitoring, identifikasi, hingga pengukuran risiko sistemik disampaikan kepada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia, serta kepada otoritas keuangan lainnya, yaitu Kementerian Keuangan, OJK, dan LPS. Guna memastikan sinyal dapat dikomunikasikan dengan efektif, maka digunakan ambang (threshold) normal dan krisis yang dimengerti dan disepakati oleh semua pihak sehingga akan mempercepat pengambilan 40

49 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? keputusan untuk mengatasi permasalahan jika diperlukan. Dalam kondisi normal, frekuensi pelaporan hasil pengawasan makroprudensial dapat mengikuti jadwal RDG dan rapat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) 9. Sementara dalam kondisi krisis, frekuensi dan cakupan pelaporan perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan. b. Pelaku Pasar, Institusi Keuangan, dan Publik (Stakeholders) Pemberian sinyal kepada pelaku pasar dan publik merupakan bentuk komunikasi Bank Indonesia dan otoritas keuangan lainnya dalam memberikan informasi mengenai kondisi sistem keuangan terkini. Sedangkan pemberian sinyal kepada stakeholders ditujukan untuk meningkatkan perhatian stakeholders terhadap upaya-upaya pengelolaan portofolio sistem keuangan yang lebih berhati-hati (prudent) serta mulai meningkatkan kesadaran untuk mengurangi eksposur terhadap portofolio yang risikonya meningkat. Stakeholders dalam hal ini adalah semua pihak yang mengambil manfaat dari sistem keuangan. Secara lebih detail, pemberian sinyal kepada eksternal dilakukan dengan tujuan berikut: i. Memberikan penjelasan mengenai kebijakan di sektor keuangan untuk dapat memberikan kepastian bisnis di sistem keuangan; ii. Memberikan edukasi keuangan kepada publik untuk mengurangi ketidaksimetrisan (asymmetric) informasi yang biasa terjadi dalam bisnis keuangan; iii. Memastikan pelaku pasar dan publik mengikuti perkembangan sistem keuangan serta berkontribusi dalam menerapkan disiplin pasar 10 untuk mengurangi perilaku ambil untung (risk taking behavior) yang berlebihan; serta iv. Dalam kondisi krisis, memberikan pedoman kepada pelaku pasar dan publik untuk berkontribusi dalam mengurangi propagasi atau penjalaran krisis serta mencegah krisis menjadi lebih parah. 9. Sebelum UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK disahkan, fungsi KSSK dijalankan oleh FKSSK (Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan). 10. Disiplin pasar adalah kontribusi dari pengguna/pelaku pasar keuangan untuk menjauhi atau menghukum pelaku pasar yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. 41

50 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Agar penyampaian sinyal risiko, khususnya kepada pihak eksternal, berjalan efektif, diperlukan strategi komunikasi yang tepat mengingat akan adanya reaksi dan perubahan perilaku pelaku pasar dan publik atas informasi yang diperolehnya. Reaksi dan perubahan perilaku yang diharapkan terjadi adalah yang menuju ke arah positif serta membantu memperbaiki kinerja sistem keuangan. IV.2.3. Pemeriksaan Tematik Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagai bagian dari pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan khusus atau tematik. Pemeriksaan yang bersifat tematik sesuai dengan jenis risiko yang melekat dan tidak ditujukan untuk menilai tingkat kesehatan individual bank. Pemeriksaan ini dapat dilakukan kepada bank sistemik dan/atau bank lain berdasarkan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial; serta kepada lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan dengan bank jika diperlukan, termasuk perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak yang dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan terhadap bank atau berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Secara umum, pemeriksaan makroprudensial dilakukan apabila hasil pengawasan off-site mengindikasikan adanya risiko yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik, dengan tujuan untuk meyakini sumber risiko sistemik memang berasal dari kegiatan usaha bank tersebut. Selain tujuan tersebut, pemeriksaan juga dilakukan dalam rangka implementasi kebijakan dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, serta dalam rangka meyakini kewajaran data yang disampaikan bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial. Hasil pemeriksaan akan menjadi rekomendasi atau masukan bagi Bank Indonesia dalam perumusan atau evaluasi instrumen kebijakan makroprudensial. Dalam melakukan pemeriksaan, Bank Indonesia wajib memberitahukan secara tertulis kepada OJK sebagai otoritas mikroprudensial. Adapun laporan hasil pemeriksaan disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan tersebut. 42

51 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Pemeriksaan tematik ini sangat membantu Bank Indonesia untuk lebih mengerti mengenai perilaku bank dalam menghadapi kondisi sistem keuangan. Informasi ini agak sulit diperoleh jika hanya mengandalkan pengawasan off-site. Selain itu, dalam kesempatan pemeriksaan tematik ini biasanya Bank Indonesia juga menerima masukan-masukan secara langsung dari bank mengenai dampak dari kebijakan makroprudensial serta kebijakan di sektor keuangan lainnya yang berguna menjadi bahan rujukan untuk preskripsi kebijakan makroprudensial. IV.3. Desain dan Implementasi Instrumen Kebijakan IV.3.1. Motivasi Pengembangan Instrumen Makroprudensial Setelah melalui serangkaian proses pengawasan makroprudensial, tahapan dilanjutkan dengan desain dan implementasi kebijakan apabila pemberian sinyal risiko mengindikasikan adanya pembentukan (build-up) risiko sistemik. Dengan kata lain, kebijakan makroprudensial disusun sebagai respons atas hasil penilaian terhadap sumber-sumber risiko yang ada dalam sistem keuangan. Sebagai contoh, instrumen Loan-to-Value (LTV) yang dikeluarkan dalam rangka pembatasan pertumbuhan kredit properti. Instrumen ini dikeluarkan sebagai respons atas hasil asesmen yang menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit properti serta Indeks Harga Properti tumbuh jauh di atas tren jangka panjangnya atau mengindikasikan adanya boom harga properti. Selain dalam bentuk instrumen pengaturan seperti disebutkan di atas, kebijakan makroprudensial dapat dirumuskan dalam bentuk himbauan (moral suasion) khususnya bagi institusi keuangan. Pada dasarnya, instrumen kebijakan makroprudensial disusun dengan menyesuaikan kondisi masing-masing negara. Akan tetapi, beberapa instrumen makroprudensial diimplementasikan sebagai respons atas mandat standar internasional. Dalam hal ini, panduan secara lengkap terkait dengan perumusan desain dan implementasi instrumen kebijakan tersebut diberikan oleh Basel Committee for Banking Supervision (BCBS), lembaga internasional yang menerbitkan rekomendasi dan standar pengaturan kehati-hatian secara 43

52 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? internasional bagi sektor perbankan. Salah satu contoh, instrumen kebijakan makroprudensial Countercycical Capital Buffer (CCB) yang dihasilkan dari mandat standar internasional dalam Basel III yang dikeluarkan oleh BCBS sebagai respons atas pengalaman krisis dan disusun untuk menanggulangi sifat prosiklikalitas perbankan terhadap siklus ekonomi (Baca juga Boks 4.3. Standar Internasional Pengaturan di Sektor Keuangan: Basel III). Lembaga internasional seperti BCBS seringkali memberi rekomendasi bagi negara-negara di dunia untuk menyusun kebijakan dalam rangka membentuk sistem keuangan yang semakin berhatihati (prudent). Rekomendasi tersebut selanjutnya direspons oleh otoritas keuangan berbagai negara dengan merumuskan rancangan implementasi instrumen kebijakan. Untuk instrumen kebijakan yang dikembangkan sebagai respons atas mandat standar internasional, biasanya otoritas keuangan negara-negara tidak memiliki ruang untuk menerapkan pengaturan yang lebih longgar, namun diperbolehkan jika lebih prudent dan pada beberapa aspek terkadang diberikan diskresi bagi otoritas keuangan untuk disesuaikan dengan kondisi masing-masing negaranya. Sementara itu, untuk instrumen kebijakan yang dikembangkan sebagai respons atas hasil penilaian risiko sistemik di masing-masing negara dan tidak ada standar internasionalnya, setiap negara memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam merumuskan desain dan implementasi instrumen kebijakan tersebut. Sebagai contoh, untuk instrumen LTV, Bank Indonesia memiliki keleluasaan untuk menetapkan batasan maksimum nilai LTV untuk kredit properti yang dinilai memadai untuk memperlambat akumulasi risiko sistemik yang timbul dari pertumbuhan kredit di sektor tersebut. Dalam rangka merumuskan formula kebijakan makroprudensial yang tepat, penting untuk memahami permasalahan dan tujuan dengan melakukan eksplorasi atas semua kemungkinan solusi yang bisa dilakukan, termasuk memahami bagaimana mekanisme transmisi kebijakan dapat mencapai tujuan. Oleh karena itu, guna menghasilkan instrumen kebijakan yang optimal dan efektif, perumusan kebijakan makroprudensial dilakukan berdasarkan 44

53 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? prinsip berikut: (i) berdasarkan riset; (ii) berorientasi ke depan; (iii) memerhatikan tata kelola yang baik (good governance); (iv) mempertimbangkan kebijakan lain dalam sistem keuangan dan kebijakan perekonomian umumnya; (v) memerhatikan standar dan praktik internasional; serta (vi) memerhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku apabila kebijakan tersebut dirumuskan dalam bentuk instrumen pengaturan. IV.3.2.Waktu Perumusan dan Implementasi Instrumen Makroprudensial Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko sistemik. Oleh karena itu, waktu (timing) perumusan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting, termasuk menentukan waktu yang tepat untuk aktivasi/ deaktivasi suatu instrumen kebijakan. Implementasi instrumen kebijakan yang terlalu cepat atau lambat berpotensi mengurangi efektivitas kebijakan, atau bahkan dapat menimbulkan biaya regulasi atau unnecessary regulatory cost (CGFS, 2012). Hal ini terkait dengan karakteristik kebijakan makroprudensial yang mencakup dimensi runtun waktu (time series), sehingga menjadikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang bersifat time varying atau fleksibel, yaitu dapat disesuaikan dengan siklus yang terjadi. Sebagai contoh, aktivasi LTV bagi kredit properti merupakan contoh instrumen time varying, artinya dapat disesuaikan dengan siklus pertumbuhan kredit sektor properti. Aktivasi LTV pada saat pertumbuhan kredit properti belum menunjukkan kondisi boom, justru berpotensi menghambat intermediasi sektor properti atau kesempatan masyarakat untuk memiliki properti. Sebagai pembanding, instrumen mikroprudensial rasio kecukupan modal (CAR) minimum bank sebesar 8% merupakan ketentuan yang tidak bersifat time-varying. Artinya, dalam kondisi siklus perekonomian apapun, bank tetap harus menjaga rasio kecukupan modalnya sesuai ketentuan yang disyaratkan. Faktor yang paling penting dalam penentuan waktu (timing) untuk formulasi dan implementasi kebijakan makroprudensial adalah keberhasilan proses pengawasan makroprudensial, yakni bagaimana 45

54 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? pengawasan tersebut dapat menghasilkan sinyal risiko yang tepat. Hal ini didasarkan pada kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengukur sumber risiko sistemik dengan baik, antara lain melalui penggunaan indikator yang mengkonfirmasi dan mendukung (confirming dan supporting indicators), merujuk pada siklus keuangan dan hasil asesmen, termasuk stress test. IV.3.3.Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia Berikut ini beberapa contoh instrumen kebijakan makroprudensial yang telah diimplementasikan di Indonesia yang pengaturannya dilakukan oleh Bank Indonesia: A. Loan-to-Value Ratio (LTV) atas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Penentuan Down Payment (DP) atas Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) Perumusan kebijakan LTV atas KPR dan DP atas KKB dilatarbelakangi oleh pertumbuhan kredit sektor properti dan kendaraan bermotor yang cukup tinggi saat itu, sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pembentukan risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan (excessive risk taking behaviour). Kebijakan batasan minimum atas LTV untuk KPR dan DP untuk KKB pertama kali diimplementasikan pada tahun Hingga saat ini, kebijakan tersebut telah disesuaikan 2 (dua) kali pada tahun 2013 dan 2015, yakni dengan melakukan perubahan atas besaran nilai minimum LTV dan DP yang disesuaikan dengan siklus perekonomian dan pertumbuhan kredit. Perubahan terakhir yang dilakukan bersifat pelonggaran (ekspansi) dengan tujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan perekonomian melalui peningkatan fungsi intermediasi, agar bank dapat mengucurkan lebih banyak kredit. Adapun besaran nilai minimum LTV dan DP yang saat ini berlaku diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015 tentang Rasio Loan-to-Value atau Rasio Financiang-to-Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. 46

55 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? B. Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan-to-Funding Ratio (LFR) GWM LFR adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia, sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR 11 yang dimiliki oleh bank dengan LFR target 12. Kebijakan tersebut dikembangkan dengan tujuan untuk mengurangi build-up risiko sistemik melalui pengendalian fungsi intermediasi perbankan sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian, serta menjaga likuiditas perbankan. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan mampu mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, dengan tetap menjaga kondisi likuiditas bank. Kebijakan mengenai GWM LFR dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/11/PBI/2015 tanggal 26 Juni 2015 tentang Perubahan atas PBI No. 15/15/PBI/2015 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. C. Countercyclical Capital Buffer (CCB) CCB merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang dirumuskan dalam mandat internasional, dengan melihat fenomena adanya kecenderungan pertumbuhan kredit yang bersifat prosiklikal, yaitu pertumbuhan pesat pada saat ekonomi sedang bertumbuh dengan cepat (boom) dan pertumbuhan menurun bahkan negatif pada saat ekonomi menurun (bust), 11. Rasio LFR merupakan rasio yang mencerminkan besarnya jumlah pembiayaan (kredit) yang telah diberikan oleh bank terhadap jumlah pendanaan yang diperoleh bank. Dalam hal ini, pendanaan terdiri dari dana pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh bank ditambah dengan sumber pendanaan yang berasal dari surat berharga yang diterbitkan oleh bank. 12. Besarnya LFR target saat ini adalah 78% - 92%. Terdapat insentif pelonggaran batas atas menjadi 94% apabila bank telah menyalurkan kredit UMKM sebagaimana yang disyaratkan dalam PBI No. 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dengan kualitas kredit yang tetap terjaga. 47

56 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? sehingga berpotensi menyebabkan peningkatan risiko sistemik dalam kondisi ekonomi boom. Implementasi kebijakan CCB di Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/22/PBI/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer. (Baca juga Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi) Sebagai tambahan, kebijakan lain yang dikeluarkan terkait dengan mitigasi risiko sistemik adalah kebijakan mengenai Domestic Systemically Important Banks (DSIBs). Berdasarkan UU OJK, ketentuan terkait SIBs, seperti penentuan bank yang masuk dalam kategori SIBs, dikeluarkan oleh OJK melalui koordinasi dengan Bank Indonesia (Baca juga Boks 4.5. Tidak Ada Lagi Too Big To Fail ). 48

57 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional Financial Surveillance Seiring dengan semakin terkoneksinya pelaku sistem keuangan, gangguan di suatu sektor dapat dengan mudah ditransmisikan ke sektor lainnya baik di level nasional maupun daerah. Hal ini menyebabkan risiko yang dihadapi daerah semakin kompleks, sehingga peran daerah dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan menjadi penting. Menyadari hal tersebut, Bank Indonesia memperkuat fungsi Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPwDN) untuk turut melakukan pemantauan atas kondisi stabilitas sistem keuangan di daerah melalui kegiatan Surveilans Keuangan Regional atau Regional Financial Surveillance (RFS). Mengapa RFS menjadi sangat berguna bagi upaya menjaga stabilitas sistem keuangan? Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas dari Sabang sampai Merauke. Indonesia bahkan adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Mengelola perekonomian dan sistem keuangan di Indonesia dengan karakteristik geografis seperti itu menjadi tantangan tersendiri, terutama karena setiap daerah memiliki keunikan dari sisi kekuatan perekonomian. Selain itu, dalam memantau sistem keuangan, ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem keuangan di daerah juga sama pentingnya dengan ketidakseimbangan secara nasional, karena memburuknya kinerja sistem keuangan di daerah dapat ditransmisikan ke daerah lainnya akibat adanya keterkaitan dalam sistem keuangan, dan pada gilirannya berpotensi menimbulkan risiko sistemik. RFS dalam hal ini membantu mempercepat deteksi terhadap ketidakseimbangan tersebut karena posisi KPwDN yang dekat dapat lebih sensitif mendeteksi permasalahan di daerahnya. Kondisi ketidakseimbangan apa yang dapat dideteksi di daerah? Tantangan utama dari pemantauan sistem keuangan adalah masih adanya sumber-sumber data yang tidak memadai untuk mendukung penilaian risiko secara dini dan akurat. Kondisi yang secara internasional populer disebut sebagai data gap ini 49

58 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? harus ditutupi dengan upaya-upaya perolehan informasi dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan secara langsung kepada pelaku ekonomi atau pelaku pasar. Di daerah-daerah terdapat elemen sistem keuangan yang cukup signifikan memberikan pengaruh pada kinerja sistem keuangan, yaitu korporasi-korporasi besar yang mengelola sumber daya di daerah, misalnya perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, industri tekstil, produksi beras, industri alat berat, pabrik semen, industri pariwisata, pabrik rokok, dan masih banyak jenis usaha yang berkonsentrasi di daerahnya masingmasing. Ditambah lagi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang selama ini juga telah berkontribusi pada perekonomian nasional rata-rata masih memerlukan perhatian karena aksesnya yang terbatas pada jasa keuangan serta membutuhkan bantuan teknis untuk pengembangan bisnisnya. KPwDN Bank Indonesia memiliki potensi menjalin hubungan baik dengan entitas-entitas di daerah ini. Misi ini menjadi lebih penting lagi terutama karena entitas-entitas ini merupakan penyedia lapangan kerja utama di daerahnya masing-masing. Secara makroprudensial, kinerja perusahaan-perusahaan dan UMKM ini menjadi penting karena menjadi motor perekonomian di daerahnya serta mampu memberikan lapangan kerja kepada penduduk setempat. Mereka menjadi penyedia likuiditas perekonomian di daerah, sekaligus menjadi andalan bagi pendapatan rumah tangga setempat. Dengan kata lain, kinerja yang memburuk dari perusahaan-perusahaan dan UMKM ini akan berakibat pada berkurangnya likuiditas di sistem keuangan daerah serta mengurangi pendapatan rumah tangga, yang akan mengakibatkan memburuknya kinerja kredit yang diperoleh perusahaan/umkm tersebut serta kinerja kredit rumah tangga setempat. Kondisi ini akan memperburuk kondisi institusi keuangan yang berada di daerah itu. Semakin cepat risiko dideteksi secara dini, maka semakin cepat mitigasi risiko yang dapat dilakukan. Peran KPwDN 50

59 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Bank Indonesia dalam hal ini menjadi sangat penting dalam mendukung deteksi risiko-risiko sistem keuangan di daerah secara dini. Hubungan baik yang sudah dijalin oleh KPwDN Bank Indonesia dengan Pimpinan Pemerintahan Daerah, Kantor OJK, dan Kantor Wilayah Kemenkeu serta perbankan di daerah juga akan memudahkan upaya koordinasi dan kerja sama dalam mengatasi risiko yang dideteksi di daerah. Oleh karena itu, peran KPwDN yang selama ini lebih ditekankan pada pemantauan perkembangan ekonomi serta pemberian layanan di bidang sistem pembayaran dan pengedaran uang di daerahnya masingmasing akan ditambahkan dengan melakukan RFS. 51

60 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank dalam Menghadapi Tekanan Stress testing merupakan suatu metode pengujian ketahanan suatu objek dalam menghadapi kondisi buruk yang mungkin dihadapinya. Dalam dunia kedokteran, misalnya, stress testing diterapkan untuk menguji ketahanan jantung pasien dengan menggunakan treadmill yang disambungkan ke alat perekam jantung sebagai alat pengujinya. Pasien akan menjalani berbagai skenario kecepatan melalui alat tersebut untuk mengukur seberapa besar daya tahan jantungnya. Pengukuran dengan metode ini berhasil mendeteksi banyak pasien yang memiliki gangguan kesehatan jantung, sehingga dapat dilakukan tindakan dini untuk penyehatan. Stress testing juga lazim dilakukan di dunia otomotif dalam bentuk crash test, yaitu suatu metode untuk menguji standar keamanan mobil. Suatu varian mobil baru biasanya akan menjalani pengujian ini untuk menilai tingkat keamanan mobil bagi penumpangnya. Suatu mobil dinyatakan memiliki keamanan yang baik apabila benturan destruktif yang dialaminya tidak mengakibatkan cidera fatal atau kematian penumpangnya. Dampak skenario benturan yang buruk tersebut tidak membahayakan penumpang karena mobil dilengkapi dengan ketersediaan airbag yang cukup, sidebars yang kuat, serta komponen-komponen keamanan lainnya. Di sektor keuangan sendiri, kesadaran akan pentingnya memahami dan menggali metode pengukuran kerentanan sektor keuangan semakin meningkat pada tahun 1990-an. Dalam konteks sektor keuangan, stress testing didefinisikan sebagai suatu metode untuk menguji stabilitas sistem keuangan pada kondisi yang tidak diinginkan (adverse conditions) 13. Pada literatur lain, stress test didefinisikan sebagai suatu metode untuk menghitung risiko dalam kondisi abnormal yang diciptakan oleh peneliti/pengambil kebijakan 14. Perlu diingat bahwa kondisi 13. Borio, Drehman, dan Tsatsaronis (2012) 14. Kalirai and Scheicher (2002) 52

61 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? abnormal ini tidak mencerminkan proyeksi perekonomian ke depan. Dengan mempertimbangkan sistem keuangan yang didominasi oleh perbankan, maka pengukuran ketahanan sistem keuangan yang dihitung melalui stress test perbankan sangat menentukan. Dalam hal ini, kecukupan modal menjadi indikator utama kondisi ketahanan perbankan. Modal menjadi bantalan bagi institusi keuangan untuk menyerap kerugian yang muncul akibat berbagai risiko yang dihadapi, seperti risiko kredit, likuiditas, pasar, maupun operasional. Pada risiko kredit misalnya, kerugian muncul karena adanya penurunan kemampuan membayar dari debitur akibat berbagai hal, antara lain karena penurunan pendapatan debitur akibat adanya guncangan perekonomian sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan rasio kredit tidak lancar atau non-performing loan (NPL). Dalam menghadapi pemburukann NPL, bank harus menyisihkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Pembentukan CKPN ini menyebabkan laba bank berkurang sehingga kemampuan bank dalam menyisihkan laba untuk pembentukan modal menurun. Hal ini akan menurunkan tingkat ketahanan bank yang tercermin dari penurunan rasio kecukupan modal bank. Secara umum, terdapat 2 (dua) pendekatan dalam melakukan stress testing, yaitu top-down stress test (industry-wide) yang dilakukan oleh bank sentral/lembaga pengawasan bank di mana diterapkan parameter yang sama untuk semua bank dan bottom-up stress test yang dilakukan oleh individu bank dengan model yang disesuaikan dengan pengelolaan risiko oleh bank. Bank Indonesia mengembangkan metodologi top-down stress testing untuk menilai ketahanan industri perbankan terhadap potensi risiko yang terjadi. Metodologi ini terdiri dari 7 (tujuh) elemen utama yang diperlukan untuk perhitungan stress testing perbankan, yaitu: 1. Skenario stress test; meliputi skenario makroekonomi dan skenario lainnya. Dalam praktik stress test di berbagai negara, 53

62 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? paling tidak terdapat 2 (dua) skenario makroekonomi, yakni skenario baseline dan skenario stress. Biasanya, skenario baseline merupakan hasil proyeksi variabel makroekonomi. Sementara itu, skenario stress dapat terdiri dari berbagai tingkatan, mulai dari yang ringan (mild), sedang (moderate), buruk (adverse), hingga sangat buruk (severely adverse). 2. Macro stress testing: secara garis besar digunakan untuk melihat dampak dari berbagai faktor makroekonomi terhadap risiko kredit bank. Perubahan berbagai faktor makroekonomi, seperti pertumbuhan PDB, depresiasi nilai tukar, kenaikan inflasi, kenaikan policy rate, akan berdampak terhadap kualitas kredit perbankan yang dicerminkan dari peningkatan NPL. 3. Credit risk stress testing: untuk mengukur dampak memburuknya kualitas kredit terhadap modal bank yang dicerminkan melalui tingkat kecukupan modal perbankan (Capital Adequacy Ratio/CAR). 4. Market risk stress testing: untuk mengukur kerugian bank sebagai akibat perubahan suku bunga, perubahan harga surat utang negara (SUN), dan pelemahan nilai tukar (depresiasi), yang kemudian harus ditutupi dengan modal bank sehingga mengurangi rasio CAR-nya. 5. Liquidity stress testing: untuk mengukur kemampuan alat likuid bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (harian) bank. 6. Integrated stress testing (gabungan dari credit risk dan market risk): untuk mengukur dampak dari credit risk dan market risk terhadap modal bank secara bersamaan. 7. Interbank stress testing: untuk mengukur dampak kegagalan bank dalam memenuhi kewajiban antarbanknya terhadap bank lain (contagion effect). Interbank stress testing ini dapat mengetahui apakah suatu bank berdampak sistemik terhadap bank lain. 54

63 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Boks 4.3. Tidak Ada Lagi Too-Big-To-Fail Dalam dunia keuangan, istilah too-big-to-fail ditempelkan pada institusi keuangan yang mengelola aset yang cukup besar, memiliki keterkaitan yang besar dengan institusi keuangan lainnya, serta menyediakan jasa keuangan yang cukup signifikan; sehingga jika institusi keuangan ini gagal maka dampak negatif yang akan timbul akan sangat besar, serta besar kemungkinannya akan berakibat pada kegagalan institusi keuangan lainnya (atau disebut berdampak sistemik). Pengalaman krisis keuangan global di tahun 2008 memberikan pelajaran bahwa kegagalan institusi keuangan yang memiliki dampak sistemik secara global perlu ditangani secara terstruktur. Penanganan pada institusi too-big-to-fail ini diharapkan dapat meminimalisir gangguan terhadap sistem keuangan, serta tidak menimbulkan kerugian negara (dan masyarakat pembayar pajak) melalui pemberian bantuan pemerintah (bail-out). Kondisi ini memunculkan inisiatif reformasi keuangan global ending too-big-to-fail (menghentikan too-big-to-fail) di 2010 melalui publikasi Reducing the Moral Hazard posed by Systematically Important Financial Institutions (SIFI framework) atau Mengurangi Moral Hazard Sebagai Akibat Institusi Keuangan Sistemik oleh Financial Stability Board (FSB). Penyusunan SIFI framework ini bertujuan untuk mengatasi risiko sistemik dari kegagalan suatu SIFI dan mengatasi permasalahan moral hazard SIFI, di mana dana publik atau dukungan Pemerintah digunakan dalam mengatasi kegagalan institusi keuangan dimaksud ( bail-out ). SIFI framework mencakup berbagai rekomendasi untuk mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalan dari SIFI, yang terdiri dari penetapan institusi keuangan yang berdampak sistemik, persyaratan tambahan modal, peningkatan pengawasan yang lebih intensif, mekanisme resolusi (penyelesaian) yang lebih efektif, serta penguatan infrastruktur pasar keuangan. 55

64 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Rekomendasi internasional tersebut diharapkan dapat diadopsi dalam rezim resolusi domestik, melengkapi resolution tools yang dimiliki oleh otoritas domestik, serta memfasilitasi kerja sama antarotoritas resolusi dalam menghadapi cross-border resolution. Penerapan di Indonesia Secara umum, perkembangan implementasi inisiatif global reform di area resolusi dari perspektif Indonesia tidak sepesat negara maju, mengingat Indonesia tidak memiliki serta bukan area operasi utama dari Global Systematically Important Banks (G-SIBs) 15. Namun, agenda reformasi global yang sesuai dengan konteks domestik dapat semakin menyempurnakan kerangka hukum yang dimiliki oleh Indonesia. Sebagai otoritas yang memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, Bank Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkuat upaya pencegahan pengambilan risiko yang berlebihan dari bank sistemik. Bank Indonesia juga berupaya meminimalisir risiko yang timbul dari kegagalan bank sistemik guna menjaga stabilitas sistem keuangan, nilai tukar, dan sentimen negatif terhadap arus modal. Untuk itu, Bank Indonesia memiliki kepentingan untuk melakukan pengawasan dan penanganan terhadap bank yang berdampak sistemik di sistem keuangan Indonesia. Saat ini Indonesia telah mengadopsi beberapa rekomendasi internasional terkait resolusi perbankan, di antaranya meliputi penetapan bank domestik yang memiliki dampak sistemik, dan persyaratan tambahan modal untuk institusi dimaksud serta alat resolusi (resolution tool) seperti bail-in. 1. Penetapan Bank Domestik yang Berdampak Sistemik untuk cakupan domestik (Domestic-Systemically Important Banks/ D-SIBs) 15. G-SIB adalah bank yang berdampak sistemik dalam cakupan global. Dalam hal ini bank yang bersangkutan beroperasi lintasnegara sehingga memiliki pengaruh pada sistem keuangan global. 56

65 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) telah menetapkan metodologi untuk menentukan G-SIBs berdasarkan sejumlah indikator, meliputi ukuran (size), keterkaitan (interconnectedness) yang dapat digantikan (substitutability), dan kompleksitas (complexity). Pada tahun 2012, BCBS menetapkan framework penetapan Domestic- Systematically Important Banks (D-SIBs), yang selanjutnya diadopsi oleh yurisdiksi untuk melakukan asesmen terhadap bank yang memiliki dampak sistemik terhadap sistem keuangan dan perekonomian domestik. Kerangka D-SIB ini diimplementasikan dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK dan POJK No. 46/POJK.03/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank (SIB) dan Capital Surcharges, serta dalam UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK pasal 17 ayat (1), di mana diatur bahwa penetapan D-SIBs dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia, dan pemutakhiran daftar bank DSIBs dilakukan berkala setiap 6 (enam) bulan. Dalam hal ini, D-SIBs adalah bank-bank yang ditengarai memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan domestik dan berfungsinya perekonomian dengan baik. Penetapan bank sistemik dimaksud sangat penting untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia, yang memiliki kewenangan untuk melakukan asesmen makroprudensial dan macro-surveillance. 2. Effective Resolution (Resolusi yang Efektif) Pada November , FSB menerbitkan Key Attributes (KAs) sebagai tindak lanjut rekomendasi penyusunan standar rezim resolusi lintas batas (cross-border) yang dapat diterapkan terhadap seluruh institusi keuangan termasuk infrastruktur pasar keuangan. Hal ini bertujuan agar permasalahan pada suatu institusi keuangan dapat diselesaikan secara 16. Versi revisi dokumen diterbitkan pada tahun

66 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? terstruktur tanpa menimbulkan gangguan sistemik terhadap keseluruhan sistem keuangan dan tanpa mengganggu keuangan pemerintah dengan tetap melindungi fungsifungsi ekonomi yang vital. Secara garis besar, KAs merupakan elemen utama yang diperlukan untuk mendukung rezim resolusi (penyelesaian masalah) yang efektif. Elemen-elemen yang dimaksud terdiri dari cakupan, otoritas resolusi, mandat resolusi, serta berbagai aturan resolusi institusi keuangan termasuk dalam kaitannya dengan otoritas keuangan di negara lain. Implementasi KAs yang dimaksud dipersyaratkan kepada negara anggota FSB, terutama untuk negara yang memiliki G-SIBs. Dalam pelaksanaan resolusi terhadap institusi keuangan domestik, saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi guna mendukung tersedianya kewenangan dari otoritas resolusi. UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK, menjadi landasan hukum untuk protokol penanggulangan krisis yang melibatkan beberapa otoritas terkait, yaitu Bank Indonesia, OJK, LPS, dan Kementerian Keuangan, serta menjadi payung hukum dari rezim resolusi domestik. Selain itu, Undangundang No. 24 Tahun 2014 tanggal 22 September 2004 tentang LPS telah mengatur kewenangan otoritas resolusi untuk melakukan kontrol dan operasional terhadap suatu bank, penggantian manajemen, dan pengalihan kewenangan. 3. Mekanisme Bail-in Bail-in merupakan salah satu elemen KAs yang dipersyaratkan sebagai kewenangan dari otoritas resolusi. Bail-in merupakan kewenangan otoritas resolusi untuk melakukan restrukturisasi hutang dari institusi keuangan dengan melakukan write-down terhadap unsecured debt dan melakukan konversi menjadi ekuitas untuk menyerap kerugiannya. Prinsipnya adalah untuk mengeliminasi risiko 58

67 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? insolvent, dengan menyelamatkan institusi keuangan yang mengalami stres dengan merestrukturisasi kewajibannya tanpa harus melakukan injeksi dana pemerintah/ publik. Hal ini termasuk mengembalikan modal hingga memenuhi persyaratan batas minimum untuk memastikan keberlangsungan institusi. Langkah yang dilakukan dapat dengan mengonversi kewajiban menjadi ekuitas, melakukan suntikan modal dari pemegang saham baru, ataupun kombinasi keduanya. Tujuan utama dari prinsip ini adalah untuk mendapatkan solusi pendanaan dari sektor swasta sebagai alternatif dari penggunaan dana pemerintah/publik. Bail-in telah diakomodir dalam UU PPKSK di mana bank sistemik diwajibkan memiliki atau menerbitkan convertible bond yang sewaktu-waktu bisa diubah menjadi ekuitas saham dalam kondisi krisis. 59

68 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi Pada akhir tahun 2015, Bank Indonesia meluncurkan instrumen Countercyclical Capital Buffer atau CCB. CCB dirancang untuk mewajibkan bank mencadangkan lebih banyak modal ketika kondisi ekonomi sedang meningkat atau boom, yang biasanya disertai dengan pertumbuhan kredit yang berlebihan (perilaku risk taking yang berlebihan). Harapannya, cadangan modal ini dapat digunakan oleh bank untuk meredam kerugian yang mungkin ditimbulkan di kemudian hari, saat perekonomian sedang bust atau melambat. Selain itu, cadangan modal ini juga diharapkan dapat digunakan bank untuk tetap menyalurkan kredit di tengah perlambatan ekonomi yang ada. Karena pada saat ini, perilaku bank cenderung menunjukkan prosiklikalitas: membanjiri pasar dengan kredit saat kondisi boom dan menahan kredit saat kondisi bust. Instrumen ini pertama kali direkomendasikan oleh BCBS tahun 2010 dalam dokumen Basel III: A Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems. Penyusunan instrumen ini dilatarbelakangi oleh krisis Perilaku berutang berlebihan (over leverage) yang tidak diimbangi dengan permodalan dan likuditas yang kuat menyebabkan bank tidak mampu menyerap kerugian dan gangguan (shock) yang timbul. Hal ini diamplifikasi oleh adanya interconnectedness atau keterkaitan serta perilaku prosiklikalitas institusi keuangan. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa bank cenderung tidak proporsional dalam menilai risiko dan tidak memperhitungkan kondisi makrofinansial dalam kegiatan bisnisnya. Oleh karena itu, CCB dirancang sebagai instrumen untuk meredam risiko-risiko tersebut. CCB akan diaktifkan ketika pihak otoritas nasional menangkap sinyal risiko dari pertumbuhan kredit perbankan. Sebaliknya, CCB akan dinonaktifkan ketika pihak otoritas melihat perlambatan penyaluran kredit, atau indikasi bahwa bank memerlukan ruang gerak untuk menyerap 60

69 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? risiko menggunakan bantalan permodalannya. Karena aktivasi CCB didasarkan pada siklus keuangan yang bergerak secara lebih lambat daripada siklus bisnis, maka CCB tergolong sebagai instrumen yang relatif jarang diubah (infrequent). Untuk mengidentifikasi timing yang tepat dalam mengaktifkan instrumen ini, BCBS menggunakan selisih atau gap rasio kredit terhadap PDB (credit-to-gdp ratio) dari tren jangka panjangnya. Siklus keuangan dibangun antara lain dari pergerakan rasio ini dan diinterpretasikan sebagai persepsi agen keuangan terhadap iklim investasi dan kondisi perekonomian. Namun demikian, disadari juga adanya perbedaan karakteristik antarnegara sehingga indikator pengukuran siklus keuangan tersebut dapat disesuaikan oleh masing-masing negara. Hong Kong misalnya, mengkombinasikan indikator credit-to-gdp gap dengan indikator lain seperti harga beli dan sewa properti lokal, selisih suku bunga penawaran dan permintaan di pasar uang antarbank, dan ratarata kualitas kredit. Norwegia juga menggunakan beberapa indikator sekaligus seperti credit-to-gdp gap, rasio harga rumah terhadap pendapatan, harga riil properti, dan rasio pendanaan wholesale. Sedangkan Inggris hanya menggunakan satu rasio utama yang disarankan BCBS, yakni credit-to-gdp. Bagi bank, mengubah level permodalan bukan suatu hal yang mudah atau fleksibel. Oleh karena itu, untuk memberikan waktu bagi bank untuk beradaptasi dengan ketentuan CCB tersebut, BCBS memberikan waktu sampai dengan 12 bulan sebelumnya. Di Indonesia, kewajiban pemenuhan CCB ditetapkan paling cepat 6 bulan dan paling lambat 12 bulan setelah ketentuan disahkan. Sedangkan di Hong Kong, ketetapan peningkatan CCB menjadi 1,25% di Januari 2017 telah disampaikan pada Januari 2016, atau 1 tahun sebelumnya. Hal serupa juga dilakukan di India, dengan himbauan bagi bank agar dapat memenuhi ketentuan CCB lebih cepat dari 12 bulan. Sementara itu, Swiss menetapkan waktu implementasi yang lebih rendah, yakni 3 sampai dengan 12 bulan. 61

70 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Besaran CCB juga disesuaikan berdasarkan siklus keuangan yang ada. Kisaran tambahan modal (buffer) ditetapkan BCBS sebesar 0% (nol) sampai dengan 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) di atas kewajiban modal minimum yang ditetapkan oleh standard Basel III. BCBS juga menentukan bahwa hanya Common Equity Tier 1 (CET Tier 1) yang dapat digunakan untuk memenuhi buffer tersebut. Hal ini dilakukan agar cadangan modal tersebut benar-benar dapat digunakan saat terjadi tekanan di sistem keuangan (stress). Implementasi CCB sendiri akan dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2016 dan akan diterapkan penuh pada 1 Januari Pada tahun 2016, hampir seluruh negara menerapkan CCB pada level 0% (nol), sesuai dengan fase yang diterapkan oleh BCBS. Negara-negara tersebut antara lain adalah: Argentina, Australia, Belgia, Brazil, Tiongkok, Jerman, India, Indonesia, Jepang, Korea, Inggris, dan Amerika Serikat. Namun demikian, terdapat satu negara yakni Hong Kong yang telah memasuki fase kedua penerapan CCB dengan nominal 0,625% dan Swedia sebesar 1%. 62

71 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Boks 4.5. Standar Internasional Pengaturan di Sektor Keuangan: Basel III Sejak krisis keuangan tahun 2008, G20 telah membentuk landasan baru kerangka pengaturan keuangan global untuk menciptakan sektor keuangan yang lebih tangguh dan lebih melayani kebutuhan ekonomi riil. Financial Stability Board (FSB) dan Basel Commitee for Banking Supervision (BCBS) kemudian menjabarkan penguatan sektor keuangan tersebut ke dalam kerangka regulasi dan menyusun tenggat waktu implementasi yang bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sektor keuangan global. Bersama dengan otoritas lainnya, termasuk otoritas keuangan di luar negeri, Bank Indonesia sebagai anggota FSB terus mengupayakan implementasi kebijakan reformasi global tersebut. Secara garis besar, penguatan sektor keuangan mencakup 5 (lima) agenda utama, yaitu: 1. Memperkuat ketahanan sektor perbankan Basel III pada dasarnya merupakan suatu kerangka pengaturan untuk memperkuat standar permodalan dan pengaturan standar likuiditas bank. Tujuan dari Basel III adalah untuk meningkatkan ketahanan sektor perbankan terhadap krisis. Kerangka pengaturan permodalan secara garis besar mengintegrasikan kebijakan kehati-hatian makro dan mikro yang mencakup: kualitas dan tingkat permodalan yang lebih tinggi; standar modal untuk meredam siklus ekspansi dan kontraksi kredit yang berlebihan; dan standar modal untuk mengurangi risiko sistemik. Selain peningkatan standar permodalan, Basel III juga memperkenalkan 2 (dua) standar minimum likuiditas yaitu: LCR (Liquidity Coverage Ratio) dan NSFR (Net Stable Funding Ratio). LCR dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan bank terhadap potensi tekanan likuiditas dalam jangka pendek, sementara NSFR bertujuan untuk meredam siklus ekspansi dan kontraksi likuiditas yang berlebihan di sektor keuangan. 63

72 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? 2. Mengurangi moral hazard lembaga keuangan yang too-bigto-fail Salah satu tujuan reformasi sektor keuangan adalah untuk mengurangi risiko moral hazard yang terkait dengan persepsi too-big-to-fail atas lembaga keuangan sistemik atau systemically important financial institutions (SIFI). (Baca juga Boks 4.3. Tidak Ada Lagi Too-Big-to-Fail ) 3. Memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan Belajar dari krisis, pengawasan dan pengaturan shadow banking juga perlu diperkuat. Lemahnya pengawasan shadow banking menyebabkan terjadinya pengambilan risiko berlebihan di luar sistem perbankan, yang pada akhirnya meningkatkan risiko di sistem keuangan secara luas. Pendekatan pemantauan yang diusulkan adalah pendekatan perspektif makro, yaitu mengidentifikasi aktivitas/entitas shadow banking yang meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. Pendekatan lainnya adalah pendekatan perspektif mikro, yaitu mengidentifikasi aktivitas shadow banking yang dapat menimbulkan risiko sistemik pada sistem keuangan. Adapun pengaturan secara garis besar bertujuan untuk membatasi eksposur bank ke entitas shadow banking dan mengurangi risiko pada aktivitas shadow banking. Di samping pengaturan dan pengawasan shadow banking, FSB menerbitkan berbagai rekomendasi pengaturan dan pengawasan secured financing transactions, yang mencakup antara lain repo dan peminjaman efek. Tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku berutang yang berlebihan (over leverage) dan mencegah deleveraging yang tajam ketika sistem keuangan mengalami tekanan. Dengan demikian, perilaku prosiklikalitas dapat dibatasi dan ketersediaan sumber dana yang berasal dari pasar securities financing dapat menjadi lebih stabil. 64

73 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? 4. Reformasi pasar Over the Counter (OTC) derivatif Tujuan reformasi pasar OTC derivatif adalah meningkatkan transparansi dan memastikan pengelolaan risiko kredit di pasar derivatif, serta membatasi dampak contagion risk yang berasal dari pasar tersebut. Pimpinan G20 menyepakati area reformasi pasar OTC derivatives yang mencakup antara lain: kliring kontrak derivatif melalui lembaga kliring dan pelaporan kontrak derivatif kepada repositori perdagangan. Lembaga kliring berperan sebagai pemotong keterkaitan (circuit breaker) untuk mengurangi contagion risk. Risiko kredit di pasar derivatif dapat terjadi antara lain karena kelemahan pengelolaan risiko salah satu pihak yang terlibat di dalam transaksi. Sementara itu, pelaporan kontrak derivatif kepada repositori perdagangan bertujuan antara lain untuk meningkatkan transparansi pasar sehingga risiko sistemik dapat diidentifikasi secara dini. 5. Mengembangkan kerangka dan perangkat makroprudensial Sampai saat ini belum terdapat definisi makroprudensial yang baku. Namun demikian, berbagai institusi menjabarkan makroprudensial sebagai perangkat untuk membatasi risiko sistemik. Kerangka dan perangkat makroprudensial ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan pengawasan terhadap sistem keuangan yang telah mengakibatkan terjadinya krisis keuangan global. Reformasi keuangan global masih terus bergulir dan penguatan regulasi terus dilakukan. Meskipun terdapat tantangan kesenjangan antara perkembangan sektor keuangan di negara maju dan negara berkembang, Indonesia perlu memastikan bahwa pengaturan dan pengawasan yang dilakukan selama ini telah sejalan dengan best practices yang ada. Peningkatan kapasitas pengaturan dan pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan sektor keuangan yang sangat dinamis. Dengan demikian, pemenuhan Indonesia terhadap standar internasional diharapkan dapat mendukung upaya 65

74 Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? menjaga stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 66

75 Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis 5 Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis (PMK) merupakan protokol yang dipergunakan untuk mengelola dan mengatasi kondisi krisis. Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem aturan yang menjelaskan praktik-praktik (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar) yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal. PMK dalam sistem keuangan menjadi penting dalam upaya penyelesaian krisis (crisis resolution) karena PMK akan membantu para otoritas keuangan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat. Ketepatan dan kecepatan menjadi sangat penting karena krisis keuangan biasanya dapat berubah menjadi lebih buruk dalam waktu cepat. Hal ini terutama disebabkan oleh teknologi tinggi yang diimplementasikan pada sistem keuangan yang mengakibatkan transaksi keuangan berlangsung dengan cepat, informasi kondisi keuangan tersebar dengan cepat, serta adanya ketidaksimetrisan informasi antara institusi keuangan dan pengguna jasa keuangan yang mendorong pengguna jasa keuangan percaya kepada berita-berita yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Di Indonesia, ketentuan tentang PMK Nasional tercantum dalam UU No 9 Tahun 2016 tentang PPKSK. Berdasarkan UU tersebut, 4 (empat) lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS, mendapatkan amanat untuk memperkuat peran, fungsi, dan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan kondisi krisis sistem keuangan, serta penanganan permasalahan Bank Sistemik, baik dalam kondisi sistem 67

76 Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan. PMK Nasional yang tertuang dalam UU PPKSK selanjutnya dijabarkan dalam PMK di masing-masing lembaga anggota KSSK. Dengan demikian, PMK Bank Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PMK Nasional yang tertuang dalam UU PPKSK. V.1. Dasar Hukum PMK Sebelum rancangan UU PPKSK disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang pada tanggal 17 Maret 2016, keempat lembaga anggota KSSK menjalankan peran, fungsi, dan koordinasi dalam pemantauan dan pemeliharaaan stabilitas sistem keuangan dengan berlandaskan pada Nota Kesepahaman tanggal 3 Desember 2012 tentang Koordinasi dalam rangka Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Nota Kesepahaman tersebut mengatur tugas dan wewenang Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS dalam beberapa hal sebagai berikut: a. Pertukaran data dan informasi; b. Evaluasi stabilitas sistem keuangan; c. Rapat koordinasi; d. Rekomendasi untuk melakukan tindakan dan/atau menetapkan kebijakan dalam rangka menjaga memelihara stabilitas sistem keuangan; e. Penetapan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masingmasing lembaga; serta f. Komunikasi kepada publik dan stakeholders lainnya, melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Nota Kesepahaman tersebut menegaskan ruang lingkup PMK di masing-masing lembaga anggota KSSK yang selanjutnya diintegrasikan menjadi PMK Nasional. Secara umum, PMK Nasional mencakup tugas dan wewenang masing-masing lembaga anggota KSSK, termasuk koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan yang mencakup fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan (termasuk 68

77 Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis sistem pembayaran dan penjaminan simpanan), dan resolusi bank. PMK Nasional tersebut menegaskan pula mengenai proses pengambilan keputusan dalam rapat koordinasi hasil evaluasi, dan penyusunan rekomendasi serta langkah-langkah pencegahan dan penanganan kondisi sesuai wewenang masing-masing anggota KSSK. Sementara itu, PMK di tingkat lembaga merupakan pedoman dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan sesuai tugas dan wewenang lembaga. PMK lembaga sekaligus berfungsi sebagai landasan hukum dalam proses pengambilan keputusan terkait pencegahan dan penanganan krisis. Di Bank Indonesia, pedoman mengenai langkah-langkah pencegahan dan penanganan krisis yang sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur (PDG) Bank Indonesia tentang PMK, yang kini tengah berada dalam proses penyesuaian terhadap UU PPKSK. Petunjuk pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran (SE) Intern Bank Indonesia tentang Pedoman Pelaksanaan PMK. SE Intern tersebut mengatur secara spesifik mekanisme, pelaksanaan dan produk pemantauan, indikator dan tingkat tekanan/kondisi, dan mekanisme pengambilan keputusan. V.2. Peran PMK Bank Indonesia dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan Kehadiran PMK Bank Indonesia menegaskan tugas dan kewenangan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas moneter, mendorong stabilitas sistem keuangan melalui kebijakan makroprudensial, dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Oleh karena itu, kerangka surveillance dalam PMK Bank Indonesia mencakup beberapa hal sebagai berikut: a. Identifikasi risiko domestik dan global yang dapat memicu peningkatan tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan, b. Pengumpulan dan monitoring data dan informasi, c. Analisis kerentanan dengan menggunakan indikator kuantitatif dan kualitatif, dan d. Perumusan indikasi tingkat tekanan (Gambar 5.1). Penetapan indikator kuantitatif dan kualitatif dilakukan melalui 69

78 Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis proses rekalibrasi secara rutin mengingat sumber gangguan/shocks dan kerentanan bersifat dinamis. Sementara, surveillance atau pemantauan terhadap indikator tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses bisnis rutin pada seluruh satuan kerja terkait. Hasil surveillance selanjutnya menjadi dasar pengambilan keputusan terhadap langkah-langkah pencegahan dan penanganan kondisi krisis sistem keuangan. Gambar 5.1 Kerangka Surveillance dalam PMK Peran PMK tersebut di atas semakin terlihat jelas pada saat tekanan terhadap sistem keuangan meningkat. Dalam kondisi tersebut PMK dapat memberikan pedoman yang jelas, terintegrasi, dan berkelanjutan bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan langkahlangkah pencegahan dan penanganan. PMK sekaligus berfungsi sebagai landasan hukum bagi Bank Indonesia dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan secara cepat, termasuk dalam rangka koordinasi dengan Pemerintah, KSSK, dan/ atau institusi terkait. Untuk memastikan PMK dapat diimplementasikan secara cepat di level strategis dan teknis dengan tetap menjaga tata kelola yang baik, digunakan Crisis Binder 17 sebagai pedoman (manual) yang bersifat singkat namun komprehensif dan praktis. Crisis Binder Bank 17. Istilah Crisis Binder biasanya digunakan untuk dokumentasi kumpulan langkah-langkah atau aksi yang dapat dilakukan dalam rangka penanganan krisis. Dokumen ini ditujukan untuk memastikan langkah-langkah atau aksi penanganan krisis dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. 70

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai bank sentral, Bank

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Makroprudensial. Pengaturan. Pengawasan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5546) PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/22/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/22/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/22/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kecenderungan pertumbuhan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERBANKAN. BI. Makroprudensial. Pengaturan. Pengawasan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141) PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Kebijakan Makroprudensial di. Bank Indonesia. Bank Indonesia

Kebijakan Makroprudensial di. Bank Indonesia. Bank Indonesia Kebijakan Makroprudensial di Bank Indonesia Bank Indonesia Sistem Keuangan 2 Sistem keuangan adalah kumpulan institusi dan pasar yang mana terdapat interaksi di dalamnya dengan tujuan mobilisasi dana dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang (Sumandi dkk, 2016).

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang (Sumandi dkk, 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu stabilitas sistem keuangan beberapa dekade terakhir menjadi agenda khusus bagi otoritas moneter di seluruh dunia. Kajian tentang isu stabilitas sistem keuangan diperlukan

Lebih terperinci

Menjaga Stabilitas Keuangan di Tengah Berlanjutnya Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Menjaga Stabilitas Keuangan di Tengah Berlanjutnya Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Sambutan Gubernur Bank Indonesia Menjaga Stabilitas Keuangan di Tengah Berlanjutnya Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Diskusi dan Peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan Yang kami hormati, Jakarta, 10

Lebih terperinci

Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Dinamika Tantangan Global dan Domestik

Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Dinamika Tantangan Global dan Domestik Sambutan Gubernur Bank Indonesia Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Dinamika Tantangan Global dan Domestik Diskusi dan Peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan Yang kami hormati, Jakarta,

Lebih terperinci

Pelaksanaan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender Of The Last Resort Dalam Stabilitas Sistem Keuangan Oleh: Muhammad Yusuf Sihite *

Pelaksanaan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender Of The Last Resort Dalam Stabilitas Sistem Keuangan Oleh: Muhammad Yusuf Sihite * Pelaksanaan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender Of The Last Resort Dalam Stabilitas Sistem Keuangan Oleh: Muhammad Yusuf Sihite * Naskah diterima: 2 Februari 2016; disetujui: 4 Februari 2016 A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pusat perkantoran (Rusteliana, 2014). Pertumbuhan bisnis properti ini

BAB I PENDAHULUAN. dan pusat perkantoran (Rusteliana, 2014). Pertumbuhan bisnis properti ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan bisnis properti di Indonesia semakin pesat seiring dengan kemajuan perekonomian Indonesia, bisa dilihat dari banyaknya pembangunan perumahan, apartemen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, dan berperan penting dalam proses kelancaran sistem keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, dan berperan penting dalam proses kelancaran sistem keuangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan adalah institusi keuangan yang kekayaannya berbentuk aset keuangan, dan berperan penting dalam proses kelancaran sistem keuangan. Fungsi utama bank adalah

Lebih terperinci

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X ekonomi BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami fungsi serta peranan

Lebih terperinci

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ) PBI NO.16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ) PBI NO.16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL 1. Apa latar belakang penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial? a. Pengalaman krisis keuangan global menunjukkan pentingnya untuk menjaga stabilitas sistem

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5861 KEUANGAN OJK. Bank. Manajemen Risiko. Penerapan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 53) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kondisi industri bisnis di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kondisi industri bisnis di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi industri bisnis di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat berkembang pesat. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia juga mengalami perubahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bank merupakan salah satu pelaku utama dari perekonomian negara karena berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku ekonomi tidak hanya

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. 1. Terbentuknya Otoritas Jasa keuangan (OJK) sebagaimana Undang- Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2011 tentang OJK:

BAB V P E N U T U P. 1. Terbentuknya Otoritas Jasa keuangan (OJK) sebagaimana Undang- Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2011 tentang OJK: BAB V P E N U T U P 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terbentuknya Otoritas Jasa keuangan (OJK) sebagaimana Undang- Undang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan Bank Indonesia, industri properti Indonesia tahun 2011 terus menunjukkan tren meningkat terutama pada sektor konsumsi yang didominasi oleh kredit kepemilikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan uang dalam peradaban manusia hingga saat ini dirasakan sangat

BAB I PENDAHULUAN. Peranan uang dalam peradaban manusia hingga saat ini dirasakan sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan uang dalam peradaban manusia hingga saat ini dirasakan sangat penting, sehingga dampak jumlah uang beredar dapat mempengaruhi perekonomian. Peningkatan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara masih menjadi acuan dalam pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi perekonomian negara dimana pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang merata. Namun, dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang merata. Namun, dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan pembangunan ekonomi tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera dengan cara mencapai pertumbuhan ekonomi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya PBI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk kepentingan negara

Lebih terperinci

Q & A TERKAIT DAMPAK SISTEMIK BANK CENTURY

Q & A TERKAIT DAMPAK SISTEMIK BANK CENTURY Q & A TERKAIT DAMPAK SISTEMIK BANK CENTURY 1. Mengapa Bank Century harus diselamatkan pada 20 November 2008? a. Kegagalan Bank Century terjadi di tengah-tengah situasi dan kondisi ekonomi dan sistem perbankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis keuangan global yang melanda seluruh dunia pada tahun 2008 atau yang lebih dikenal dengan Subprime Mortgage Crisis berawal dari krisis keuangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program

Lebih terperinci

Selamat Malam dan Salam Sejahtera untuk Kita Semua.

Selamat Malam dan Salam Sejahtera untuk Kita Semua. KEYNOTE SPEECH DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA SERVICE EXCELLENCE AWARDS 2014 Jakarta, 13 Juni 2014 Yang kami hormati Pimpinan Redaksi Infobank, Pimpinan Marketing Research Indonesia, Para Pengamat Ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan ekonomi dunia dewasa ini berimplikasi pada eratnya hubungan satu negara dengan negara yang lain. Arus globalisasi ekonomi ditandai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty

I. PENDAHULUAN. lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem keuangan adalah sebuah set interaksi kompleks antara institusi keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem keuangan adalah sebuah set interaksi kompleks antara institusi keuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem keuangan adalah sebuah set interaksi kompleks antara institusi keuangan dan pasar yang menyalurkan dana untuk investasi dan penyediaan fasilitas, termasuk sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang masalah Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Sektor Properti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Sektor Properti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1 Sektor Properti Sektor properti merupakan sektor yang rentan terhadap perubahan dalam perekonomian, sebab sektor properti menjual produk yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam dokumen yang tidak dipublikasikan oleh Cooke Committee (pendiri Basel

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam dokumen yang tidak dipublikasikan oleh Cooke Committee (pendiri Basel BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai latar belakang penulisan tesis tentang analisis penerapan komponen kebijakan makroprudensial Bank Indonesia. Selanjutnya disusun beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator ekonomi makro guna melihat stabilitas perekonomian adalah inflasi. Inflasi merupakan fenomena moneter dimana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa secara umum kondisi sektor jasa keuangan domestik masih terjaga, dengan stabilitas yang memadai.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang memegang peranan penting dalam perekonomian di setiap negara, merupakan sebuah alat yang dapat mempengaruhi suatu pergerakan pertumbuhan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG. EKSTERNAL INTERNAL. Global Financial Crisis (GFC): Macroeconomic. conditions. Microprudential. conditions

LATAR BELAKANG. EKSTERNAL INTERNAL. Global Financial Crisis (GFC): Macroeconomic. conditions. Microprudential. conditions 1 2 LATAR BELAKANG. 3 EKSTERNAL Global Financial Crisis (GFC): Macroeconomic conditions INTERNAL Microprudential conditions LATAR BELAKANG. 4 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia Menetapkan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terus tumbuh, namundengan tetap memperhatikan prinsip kehatian-hatian

BAB I PENDAHULUAN. dapat terus tumbuh, namundengan tetap memperhatikan prinsip kehatian-hatian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai jembatan antara pihakyang kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana. Bank diharapkan dapatmemberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. menjadi financial nerve-centre (saraf finansial dunia) dalam dunia ekonomi

I. PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. menjadi financial nerve-centre (saraf finansial dunia) dalam dunia ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim yaitu sebesar 85 persen dari penduduk Indonesia, merupakan pasar yang sangat besar untuk pengembangan industri

Lebih terperinci

Boks 2 SURVEI INDIKATOR PERBANKAN RIAU TAHUN I. Latar Belakang

Boks 2 SURVEI INDIKATOR PERBANKAN RIAU TAHUN I. Latar Belakang Boks 2 SURVEI INDIKATOR PERBANKAN RIAU TAHUN 2009 I. Latar Belakang Terjadinya gangguan di sektor riil tentunya akan menimbulkan gangguan bagi stabilitas sistem keuangan daerah. Salah satu sektor keuangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5626 KEUANGAN. OJK. Manajemen. Resiko. Terintegerasi. Konglomerasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

Sambutan Utama. Gubernur Agus D.W. Martowardojo. Pada Seminar Internasional IFSB. Meningkatkan Keuangan Inklusif melalui Keuangan Islam

Sambutan Utama. Gubernur Agus D.W. Martowardojo. Pada Seminar Internasional IFSB. Meningkatkan Keuangan Inklusif melalui Keuangan Islam Sambutan Utama Gubernur Agus D.W. Martowardojo Pada Seminar Internasional IFSB Meningkatkan Keuangan Inklusif melalui Keuangan Islam Jakarta, 31 Maret 2015 Bismillahirrahmanirrahiim, Yang Terhormat: Tn.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter dan pasar keuangan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan mengingat setiap perubahan kebijakan moneter untuk mempengaruhi aktivitas perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit masih merupakan aktivitas yang dominan bagi usaha perbankan di Indonesia, atau dengan kata

Lebih terperinci

SEPUTAR FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT (FPD)

SEPUTAR FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT (FPD) DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SEPUTAR FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT (FPD) 1. Apakah yang dimaksud dengan Satbilitas Sistem Keuangan (SSK)? Stabilitas sistem keuangan merupakan suatu upaya yang

Lebih terperinci

Prospek Ekonomi Regional ASEAN ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) Ringkasan

Prospek Ekonomi Regional ASEAN ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) Ringkasan Prospek Ekonomi Regional ASEAN+3 2018 ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) 2018 Ringkasan Prospek dan Tantangan Ekonomi Makro Prospek ekonomi global membaik di seluruh kawasan negara maju dan berkembang,

Lebih terperinci

-2- dan/atau memperbaiki kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. Rencana Aksi (Recovery Plan) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Si

-2- dan/atau memperbaiki kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. Rencana Aksi (Recovery Plan) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Si TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN OJK. Bank Sistemik. Recovery Plan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 64) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika dalam keadaan kondisi ekspansi dan mempercepat penurunan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. ketika dalam keadaan kondisi ekspansi dan mempercepat penurunan kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prosiklikalitas 1 perbankan adalah perilaku penyaluran kredit yang berlebihan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat ketika dalam keadaan kondisi

Lebih terperinci

Menata dan Memperkuat Perbankan Indonesia, Menyongsong Pemulihan Ekonomi Global

Menata dan Memperkuat Perbankan Indonesia, Menyongsong Pemulihan Ekonomi Global Menata dan Memperkuat Perbankan Indonesia, Menyongsong Pemulihan Ekonomi Global Dr. Darmin Nasution Pjs. Gubernur Bank Indonesia Pertemuan Tahunan Perbankan 2010 22 Januari 2010 Yang saya hormati, Para

Lebih terperinci

Boks.3 MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN

Boks.3 MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN Boks.3 MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN Ekonomi Global 2011 Tahun 2011 merupakan tahun dengan berbagai catatan keberhasilan, namun juga penuh dinamika dan sarat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Inflation Targeting Framework (ITF) tidaklah cukup untuk mengatasi. krisis ekonomi dan keuangan, maka perlu adanya sebuah instrument

I. PENDAHULUAN. Inflation Targeting Framework (ITF) tidaklah cukup untuk mengatasi. krisis ekonomi dan keuangan, maka perlu adanya sebuah instrument I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju dapat menyebabkan stabilitas keuangan dan sistem pembayaran terganggu. Bagi pembuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini dipersiapkan dan dilaksanakan untuk menganalisis penerapan kebijakan moneter berdasarkan dua kerangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik BAB I PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik maupun global.

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN 2.1 Gambaran Umum Bank Indonesia 2.1.1 Status dan Kedudukan Bank Indonesia Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas

Lebih terperinci

Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistim Keuangan

Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistim Keuangan Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistim Keuangan Oleh: Dr Wimboh Santoso 1 I. Pendahuluan Stabilitas sistim keuangan telah menjadi sasaran yang penting dalam kebijakan ekonomi keuangan selama

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/23/PBI/2011 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/23/PBI/2011 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/23/PBI/2011 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH UMUM Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5872 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I EKONOMI. Sistem Keuangan. Krisis. Penanganan. Pencegahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 telah berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 telah berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 telah berkembang menjadi masalah serius. Amerika Serikat merupakan negara adidaya dimana ketika perekonomiannya

Lebih terperinci

ARTIKEL PASAR MODAL MEMBANTU PEREKONOMIAN Purbaya Yudhi Sadewa Senior Economist Danareksa Research Institute

ARTIKEL PASAR MODAL MEMBANTU PEREKONOMIAN Purbaya Yudhi Sadewa Senior Economist Danareksa Research Institute ARTIKEL PASAR MODAL MEMBANTU PEREKONOMIAN Purbaya Yudhi Sadewa Senior Economist Danareksa Research Institute Kinerja dunia perbankan dalam menyalurkan dana ke masyarakat dirasakan masih kurang optimal.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang baik akan mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang baik akan mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian. Sistem keuangan yang baik akan mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan. Perbankan merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari peran perbankan dan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari peran perbankan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari peran perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Bank dan lembaga keuangan lainnya memiliki dua kegiatan utama,

Lebih terperinci

Para Direktur Kepatuhan Perbankan dan Pimpinan Perbankan lainnya;

Para Direktur Kepatuhan Perbankan dan Pimpinan Perbankan lainnya; KEPALA EKSEKUTIF PENGAWASAN PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN SEMINAR FORUM KOMUNIKASI DIREKTUR KEPATUHAN PERBANKAN PENERAPAN TATA KELOLA DAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN JAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup. besar dalam perkembangan perekonomian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup. besar dalam perkembangan perekonomian suatu negara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan perekonomian suatu negara. Pasar modal memiliki beberapa daya

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF. Di sisi lain, pasar keuangan domestik membaik, terutama didorong oleh besarnya modal asing yang. xvii

RINGKASAN EKSEKUTIF. Di sisi lain, pasar keuangan domestik membaik, terutama didorong oleh besarnya modal asing yang. xvii RINGKASAN EKSEKUTIF Stabilitas sistem keuangan pada semester I 2016 membaik walaupun risiko yang berasal dari dampak lambatnya pertumbuhan ekonomi global dan domestik masih cukup besar. Perbaikan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dapat dilakukan dibanyak sektor, salah satunya adalah sektor

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dapat dilakukan dibanyak sektor, salah satunya adalah sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi dapat dilakukan dibanyak sektor, salah satunya adalah sektor properti. Pada umumnya banyak masyarakat yang tertarik menginvestasikan dananya di sektor properti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja tetapi

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis moneter terjadi di Indonesia pada Juli 1997. Krisis berlangsung hampir dua tahun sehingga berubah menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi adalah lumpuhnya kegiatan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa secara umum kondisi sektor jasa keuangan domestik masih terjaga, dengan stabilitas yang memadai.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab krisis moneter yang melanda Indonesia bukanlah fundamental

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab krisis moneter yang melanda Indonesia bukanlah fundamental 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyebab krisis moneter yang melanda Indonesia bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah akan tetapi faktor utama yang menyebabkan krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN TEKNIS KUNJUNGAN KERJA KOMISI XI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RUU JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK) KE JEPANG

KERANGKA ACUAN TEKNIS KUNJUNGAN KERJA KOMISI XI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RUU JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK) KE JEPANG KERANGKA ACUAN TEKNIS KUNJUNGAN KERJA KOMISI XI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RUU JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK) KE JEPANG I. PENDAHULUAN Komisi XI DPR RI merupakan salah satu Alat Kelengkapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam

I. PENDAHULUAN. Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Salah satu fungsi dari perbankan adalah intermediasi keuangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurunnya nilai indeks bursa saham global dan krisis finansial di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di seluruh media massa dan dibahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam membangun perekonomian sebuah negara karena bank berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melakukan berbagai transaksi bisnis dan pembayaran-pembayaran tagihan.

I. PENDAHULUAN. melakukan berbagai transaksi bisnis dan pembayaran-pembayaran tagihan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan Indonesia telah memainkan berbagai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Salah satu fungsi dari perbankan adalah intermediasi keuangan,

Lebih terperinci

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang No.82, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Bank Umum. Konvensional. Jangka Pendek. Likuiditas. Pinjaman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6044) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transmisi kebijakan moneter merupakan proses, dimana suatu keputusan moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian. Perencanaan dalam sebuah

Lebih terperinci

Bernavigasi melewati Kerentanan

Bernavigasi melewati Kerentanan Bernavigasi melewati Kerentanan Agus D.W. Martowardojo Gubernur Bank Indonesia (sebagaimana disusun untuk diserahkan, Indonesia Fixed Income and High Yield Bond Forum 2015) 22 September 2015, Jakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ekonomi dalam suatu negara tidak terlepas dengan peran perbankan yang mempengaruhi perekonomian negara. Segala aktivitas perbankan yang ada di suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri perbankan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi keuangan, moneter dan

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan 31 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Risiko kredit atau dalam bahasa asing disebut credit risk adalah suatu potensi kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total (pertumbuhan ekonomi) di suatu negara dengan memperhitungkan adanya pertambahan jumlah penduduk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan perekonomian suatu negara dan tingkat kesejahteraan penduduk secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan

Lebih terperinci