BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit masih merupakan aktivitas yang dominan bagi usaha perbankan di Indonesia, atau dengan kata lain pos aktiva produktip Kredit masih memberikan kontribusi terbesar sebagai sumber pendapatan Bank. Sehubungan dengan ha1 itu, maka Bank perlu memberikan perhatian yang cukup terhadap aktivitas penyaluran dana dalam bentuk kredit tersebut, mengingat sebagai lembaga kepercayaan Bank menerima amanat dari para deposan untuk mejamin keamanan dana deposan sekaligus memberikan yield yang sesuai dengan harapan para deposan dalam bentuk kepastian pembayaran bunga simpanan dan atau pokok simpanan pada saat jatuh tempo. Disisi lain, meskipun dalam pembuatan keputusan persetujuan pemberian kredit, Bank telah berpedoman pada azas dan prinsip kehati-hatian (prudential Banking) melalui berbagai metode dan pendekatan analisa kredit yang komprehensif, namun ha1 tersebut pada dasamya hanya mencakup proyeksi atau perkiraan atas kemampuan debitur dalam mengembalikan pinjaman sesuai kondisi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, adanya faktor ketidakpastian (uncertainty) selama kredit berlangsung akan tetap memberikan kemungkinan untuk terjadinya suatu penyimpangan terhadap perkiraan yang telah dilakukan melalui proses analisis kredit tersebut. Hal ini berarti bahwa kegiatan bank dalam menyalurkan dana akan menghadapi apa yang biasa disebut sebagai risiko kredit (credit risk), yaitu risiko dana yang telah disalurkan tidak dapat kembali dan atau pendapatan bunga tidak dapat diterima sesuai yang diperjanjikan. Pengaruh dari adanya risiko tersebut, akan berdampak secara luas terhadap seluruh aktivitas Bank, mengingat terjadinya resiko kredit (default/credit risk) akan mengakibatkan

2 menurunnya kualitas kredit sehingga hams dibentuk cadangan untuk mengcover resiko kerugian kredit yang tak tertagih. Dengan demikian akan terjadi penambahan biaya coverage kredit bermasalah (NPL) yang akan membebani rugi laba Bank serta menurunnya tingkat pendapatan dari bunga kredit yang tidak dapat diterima sesuai harapan Bank (yang telah diperjanjikan). Meningkatnya biaya disertai dengan penurunan pendapatan dan adanya Gap yang disebabkan oleh keterlambatan pengembalian pokok pinjaman sesuai jangka waktu yang diperjanjikan secara simultan akan berpengaruh langsung (negatif) terhadap kemampuan Likuiditas, Solvabilitas dan kekayaan bersih bank. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi daya saing bank dalam pasar persaingan usaha bank yang semakin kompetitif dan ketat. Pada akhirnya melemahnya daya saing bank secara sistemik dalam jangka panjang akan membawa kebangkrutan bagi bank tersebut. Untuk mengatasi kondisi tersebut Bank perlu menjaga kualitas kreditnya agar tidak menurun. Namun demikian patut disadari bahwa - faktor ketidakpastian tidak mungkin dihilangkan seratus persen, sehingga ha1 yang dapat dilakukan hanya sebatas bagaimana mengendalikan resiko kredit sampai dengan batas yang dapat diterima oleh bank. Agar risiko dapat dikendalikan dan diantisipasi, ~nalca perlu dibuat formulasi atau model pengukuran risiko kredit berdasarkan pengalaman empiris yang tercermin dari data historis bank dan situasi mikro serta makro ekonomi yang melingkupi usaha bank pada masa tersebut. Dalam aktivitas pemberian kredit dikenal dua jenis resiko, yaitu resiko individual dan resiko portofolio kredit. Resiko individual lebih mencerminkan da~npak negatif yang kemungkinan akan diterima oleh bank atas kegagalan seorang debitur akibat ketidak mampuannya dala~n memenuhi kewajiban sesuai yang telah diperjanjikan. Sedang resiko portofolio lebih menggambarkan pengaruh negatif yang akan dihadapi bank berkaitan dengan pengkonsentrasian pemberian kredit pada suatu kumpulan individu atau sektor usahalindustri tertentu, sehingga jika terjadi kegagalan atau 2

3 decliningposition pada suatu industri atau kelompok peminjam sejenis akan membawa resiko kerugian yang sangat besar bagi Bank. Sebagai contoh, pada masa krisis ekonomi melanda Indonesia pertengahan tahun 1997 yang lalu, telah terjadi kerugian bahkan kebangkrutan yang meluas melanda perbankan Indonesia akibat adanya konsentrasi kredit di sektor property dan segmen korporasi yang mengalami kegagalan usaha dan akhirnya menunggak pembayaran kreditnya hampir disemua perbankan. Bertolak dari terjadinya krisis yang membawa banyak kasus kebangkrutan bank, perkembangan lingkungan bisnis industri perbankan yang makin kompetitif, terjadinya banyak kasus penurunan serta volatilitas dari nilai kolateral, dan kecenderungan terjadinya disintermediasi dalam sistem keuangan, serta adanya perkembangan teknologi komputerisasi yang sangat pesat, maka telah terjadi stimulasi yang cukup significant terhadap perkembangan dalam penanganan dan pengukuran resiko kredit. Selain itu perkembangan eksposur kredit dan counterparty risk, yang berasal dari semakin meningkatnya transaksi derivatif telah mendorong Bank International for Sefflemenf (BIS) untuk mengintrodusir ketentuan inengenai kecukupan modal yang diperhitungkan berdasarkan risiko (risk-base capitalrbc requirements) Anthoni Saunders & Linda, Credit Risk Measurement (2002). Sejalan dengan perkembangan model pengukuran risiko kredit, maka penerapan ketentuan RBC tersebut (disebut BIS ) semula diberlakukan berdasarkan pendekatan "one-size-fts-alp yang mensyaratkan rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 8 % terhadap seluruh pinjaman atau aktiva produktif tanpa memandang jumlah atau besar pinjaman, jangka waktu dan kualitas peminjam. Dengan demikian tidak ada perbedaan kewajiban pencadangan kerugian (capital requirement) terhadap penyaluran dana kepada peminjam yang perusahaannya akan mengalami kebangkrutan dengan perusahaan yang masih bagus kinerjanya (rating MA). Hal ini berlaku sebagai model

4 standard (standardized model) dalam pengukuran risiko kredit yang wajib dicover dengan cadangan modal bank. Dalam perkembangan selanjutnya standardized model ini menjadi tidak populer karena tidak memberikan peluang bagi bank untuk mengelola efisiensi modalnya berdasarkan pengukuran risiko yang lebih riil sesuai dengan hasil penilaian internal bank. Pada awal tahun 1998 di Amerika Serikat (1997 di Eropa) otoritas regulator telah mengijinkan perbankan untuk menggunakan "Iitternal Model" dalam melakukan penilaian terhadap risiko kredit yang akan dipergunakan dalam perhitungan kecukupan modal yang harus disediakan bank. Model ini merupakan alat atau cara penilaian yang dibangun dari data historis Bank yang lebih menggambarkan kondisi internal Bank secara lebih detil baik dari segi kemampuan permodalan, infrastruktur, sumber daya manusia, core competency, karakteristik debitur serta fokus bisnis Bank yang bersangkutan, sehingga dapat dilakukan analisis, deteksi dan prediksi secara lebih cermat atau riil terhadap kondisi kualitas portofolio kredit Bank pada masa lalu, masa kini dan masa depan. Sementara itu ketentuan mengenai kecukupan modal yang diperhitungkan berdasarkan risiko di Indonesia telah diantisipasi oleh Bank Indonesia melalui penetapan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.5/81PBI/2003 tentang Pedoman Manajamen Risiko untuk Bank Umum dan Surat Edaran BI No. 5/21/DPNP/2003 tentang Pedoman Standar Minimum Manajemen Risiko pada Perbankan. Bagi dunia perbankan ketentuan mengenai kecukupan modal yang ditetapkan baik oleh otoritas regulator perbankan tingkat Internasional (BIS) maupun Bank Indonesia tersebut meskipun dari sisi manajemen risiko merupakan langkah kehati-hatian yang sangat ideal dalam menjamin kelangsungan usaha bank, disisi lain juga akan membawa konsekwensi beban atau hambatan dalam kegiatan penyaluran kredit, karena setiap aktivitas penyediaan dana atau penyaluran kredit harus memperhitungkan kecukupan 4

5 modal untuk mengcover resiko kegagalan. Dengan demikian dalam era kompetisi perbankan yang semakin ketat saat ini, kemampuan mengelola kecukupan modal menjadi ha1 yang sangat menentukan dalam persaingan usaha bank, karena efisiensi penggunaan modal bank akan tercermin dari kemampuan mengkapitalisasi modal tersebut dari hasil usaha berupa aktiva yang produktif dan sehat. Hal ini mengingat bahwa penyaluran dana bank pada aktiva yang tidak sehat akan membawa konsekwensi pencadangan kerugian yang akan membebani rugi - laba bank dan kemampuan kapitalisasi modal yang pada akhirnya akan berdampak pada melemahnya kemampuan untuk memenuhi ketentuan mengenai rasio kecukupan modal. Sebagaimana telah disampaikan diatas, dapat dianalogkan bahwa Standardized model merupakan metode pengukuran risiko kredit yang didasarkan pada ketentuan standar perbankan internasional yang dipergunakan sebagai acuan (benchmark) bagi pengukuran risiko secara umum (general). Hal ini dilakukan apabila bank tidak memiliki internal model yang memenuhi kriteria (dapat diakui) oleh otoritas perbankan. Dilain pihak penggunaan internal model yang baik akan memungkinkan bank untuk memperhitungkan faktor korelasi antar aset yang terdapat dalam portofolio bank, sehingga bank akan dapat mengelola portofolio aset pada posisi yang paling ideal (risiko minimum) dibandingkan dengan total risiko aset secara individual tanpa memperhitungkan faktor korelasi. Dengan kemampuan mengelola portofolio aset pada tingkat risiko yang terendah, maka bank dapat lebih mengefektifkan penggunaan modalnya secara lebih produktif, karena kecukupan modal minimum yang harus disediakan oleh bank menjadi lebih kecil atau efisien. Di samping itu penggunaan internal model dalam pengkuantifikasian risiko kredit dapat pula dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan alokasi kredit sesuai sektor industri atau segmen yang memberikan trade off paling optimum dilihat dari segi risk and return, demikian pula untuk penentuan suku bunga kredit (pricing 5

6 policy) yang tepat, serta penyediaan alokasi dana yang tepat dan mencukupi untuk menutup kerugian yang timbul akibat risiko kredit. Telah banyak hasil kajian dan konsepsi yang dapat dijadikan acuan untuk memformulasikan internal model yang sesuai dengan karakteristik portfolio aset suatu bank, akan tetapi ha1 yang tersulit dalam penerapan internal model tersebut adalah pemenuhan historical data secara series dalam time horizon yang cukup panjang dan semalcin panjang data series yang dipergunakan dalam pengukuran akan memberikan tingkat prediksi risiko yang semakin akurat. Dengan demikian dalam rangka mengantisipasi pemenuhan ketentuan regulator perbankan dan tingkat persaingan ke depan yang semakin ketat, maka pihak perbankan harus segera mulai membangun database yang diperlukan untuk pengkuantifikasian risiko kredit melalui internal model. Tak terelakan dari ha1 tersebut, Bank BRI yang telah menjadi perusahaan terbuka (Go Publik) sejak tanggal 10 Nopember 2003, harus mencermati ha1 ini sebagai issue strategis yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan usaha dan perkembangan nilai saham serta corporate value BRI dalam jangka panjang. Untuk itu, dengan segala keterbatasan dalam perolehan historical data, penulis mencoba untuk menformulasikan konsep yang diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi BRI dala~n mengelola portofolio pinjamannya secara efektif dan efisien melalui suatu model yang dapat dijadikan acuan dalam penetapan strategi pengembangan usaha BRI, khususnya menyangkut ekspansi bidang perkreditan baik jangka pendek yang diwujudkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), maupun jangka panjang yang disusun dalam Corporate Plan (Corplan). Sehubungan dengan ha1 tersebut, maka dalam tesis ini, penulis memilih judul "Analisa Portofolio Kredit BRI melalui pendekatan internal model "

7 1.2. Perumusan Masalah Untuk melakukan analisa portofolio pinjaman BRI melalui pendekatan model internal, pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pendekatan model internal mampu mendeteksi resiko kredit dalam portofolio pinjaman BRI? 2. Bagaimana komposisi pinjaman berdasarkan segmen bisnis yang paling ideal dalam portofolio kredit BRI ditinjau dari segi resiko kredit secara portofolio? 3. Bagaimana menerapkan penggunaan model internal bagi strategi pengendalian portofolio kredit di BRI? 4. Seberapa akurat model yang dipergunakan dapat memprediksi perubahan atau pergerakan kualitas pinjaman di BRI? L3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisa dan merumuskan model yang tepat dalam mengukur risiko kredit secara portofolio, 2. Menganalisa seberapa akurat model internal dapat menetapkan komposisi portofolio kredit yang paling ideal ditinjau dari pertimbanganlsegi risiko kredit secara portofolio, 3. Melalui analisa dengan menggunakan model internal diharapkan dapat mernberikan rekomendasi kepada manajemen BRI dalarn penetapan strategi ekspansi kredit Manfaat Peuelitian Rumusan strategi pengendalian portofolio kredit yang akan dihasilkan melalui penelitian jni djharapkan dapat bermanfaat bagi PT Bank BRI (Persero), antara lain:

8 1. Berdasarkan pendekatan model internal, Bank dapat mengetahui risiko portofolio kredit yang dihadapi, sehingga dapat ditetapkan strategi ekspansi kredit kearah yang tepat, guna menghindari kemungkinan terjadinya kerugian (Potential Loss) yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan usaha pada suatu segmenjsektorjindustri tertentu. 2. Mempermudah Bank dalam memproyeksikan tingkat risiko yang dapat ditolerir pada tingkat kepercayaan yang lebih tinggi, karena model dapat membantu meredam dampak dari uncertainty, sehingga Bank dapat melakukan antisipasi secara dini melalui diversifikasi portofolio pinjamannya. 3. Bank dapat lebih mengefisiensikan penggunaan modalnya dalam ekspansi kredit, karena dengan model dapat diprediksikan secara lebih pasti tingkat risiko yang harus dihadapi oleh Bank, sehingga Bank tidak perlu mencadangkan biaya recovery kredit yang terlalu berlebihan. 4. Model dapat diterapkan untuk mengoptimalkan trade offdari risk-return portofolio kredit Lingkup Penelitian Analisis dalam penelitian karya akhir ini akan dilakukan dengan pembatasan sebagai berikut: 1. Variabel mikro yang akan diidentifikasi adalah perkembangan pinjaman dan pinjaman bermasalah (NPL) sesuai ketentuan Bank Indonesia, PT Bank BRI (Persero) berdasarkan 3 (tiga) segmen bisnis yang ada di BRI yaitu : Mikro, Ritel dan Menengah (diluar kredit program). 2. Periode yang akan diteliti adalah selama tiga tahun, yaitu dari tanggal 31 Maret 2002 sampai dengan 3 1 Maret Data kolektibilitas portofolio kredit yang digunakan sebagai bahan analisa adalah untuk kredit segmen mikro, ritel dan menengah (diluar kredit program). 8