menjadi empat kategori sedangkan peubah SDM, kelembagaan keuangan, dan karakteristik daerah terbagi menjadi tiga kategori.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "menjadi empat kategori sedangkan peubah SDM, kelembagaan keuangan, dan karakteristik daerah terbagi menjadi tiga kategori."

Transkripsi

1 Tahap-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Menyeleksi dan mengolah data sesuai dengan ketentuan KNPDT untuk mendapatkan peubah respon status daerah. 2. Mendiskretisasi peubah penjelas dengan menggunakan algoritma k-means. 3. Menyusun struktur BN dengan menggunakan algoritma naive bayes, maximum spanning tree dan equivalence classes. 4. Membandingkan tingkat keakuratan prediksi dan tingkat kesalahan hasil klasifikasi ketiga struktur BN dengan data KNPDT. 5. Menganalisis perubahan peluang peubah respon (status daerah) berdasarkan perubahan-perubahan peluang yang terjadi pada setiap peubah penjelas dan sebaliknya dalam struktur BN terbaik. Software yang digunakan pada penelitian ini adalah Bayesia Lab (Evaluation Version) dan Microsoft Excel HAS IL DAN PEMBAHASAN Diskretisasi K-Means Peubah yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas satu peubah kategorik dan enam peubah kontinu, yang dapat dilihat pada Tabel_1. Tabel 1 Peubah-peubah yang digunakan Nama Peubah Jenis Peubah Status Daerah Kategorik Karakteristik Daerah Kontinu SDM Kontinu Infrastruktur Kontinu Kelembagaan Keuangan Kontinu Ekonomi Kontinu Aksesibilitas Kontinu Diskretisisasi k-means pada penelitian ini diterapkan pada peubah penjelas jenis kontinu. Diskretisasi dilakukan dengan mengkategorikan data berdasarkan jarak terdekat pada masing-masing centroid. Centroid dihitung dari rata-rata (mean) kelompok data. Proses tersebut akan dilakukan secara berulang dan berhenti setelah kategori yang terbentuk stabil. Penelitian dilakukan mulai dari nilai k = 10 dan didapatkan nilai optimum k = 4. Hasil diskretisasi peubah penjelas dengan menggunakan k-means dapat dilihat pada Lampiran 3. Peubah ekonomi, infrastruktur, dan aksesibilitas terbagi menjadi empat kategori sedangkan peubah SDM, kelembagaan keuangan, dan karakteristik daerah terbagi menjadi tiga kategori. Deskripsi Data Peubah Respon Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 434 kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia. Hasil pengkategorian status daerah tertinggal yang dilakukan oleh KNPDT berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan didapatkan hasil yang tersaji pada Gambar 3. Gambar 6 Status Daerah. a = kategori daerah maju, b = kategori daerah agak tertinggal, c = kategori daerah tertinggal, d = kategori daerah, sangat tertinggal, e = kategori daerah sangat parah. Jumlah daerah yang dikategorikan oleh KNPDT sebagai status daerah maju sebesar 53.46%, sebagai daerah agak tertinggal sebesar 19.35%, daerah tertinggal sebesar 13.82%, daerah sangat tertinggal 10.83% dan daerah sangat parah sebesar 2.53%. Pembagian kategori status daerah didasarkan perhitungan yang telah ditetapkan oleh KNPDT (Lampiran 1). Peubah Penjelas Nilai yang terdapat pada peubah penjelas memperlihatkan suatu tingkat nilai yang berkebalikan. Semakin tinggi nilai yang terdapat pada peubah penjelas menggambarkan keadaan peubah tersebut semakin tidak bagus kondisinya. Nilai yang berkebalikan ini dilakukan oleh KNPDT agar searah dengan nilai ketertinggalan. Karakteristik daerah diukur dari tujuh kriteria bencana alam dan konflik (Lampiran_1). Keadaan peubah karakteristik daerah dapat dilihat pada Gambar 7. Persentase karakteristik daerah dengan selang nilai (-0.682; ) sebesar 61.29%, karakteristik daerah dengan selang nilai (-0.002; 0.766) sebesar 31.57%, dan karakteritik daerah dengan selang nilai (0.767; 2.226) sebesar 7.14%. Semakin tinggi nilai karakteristik daerah berarti semakin kurang baik keadaan karakteristik daerah tersebut.

2 membawahi. Gambar 10 memperlihatkan grafik dari peubah aksesibilitas. Gambar 7 Karakteristik Daerah Peubah kualitas sumber daya manusia (SDM) diukur berdasarkan tiga kriteria, yaitu : tenaga kerja, kesehatan, dan pendidikan. Setiap kriteria tersebut tersusun atas beberapa sub kriteria yang dapat dilihat pada Lampiran_1. Kualitas SDM Bangsa Indonesia secara umum berdasarkan kriteria dari KNPDT diperlihatkan pada Gambar 8. Semakin tinggi nilai SDM maka semakin rendah kualitas SDM. Gambar 8 Sumber Daya Manusia Gambar 8 memperlihatkan persentase kondisi SDM bangsa Indonesia. Persentase kualitas SDM dengan selang nilai (-0.847; ) sebesar 43.32%, persentase nilai kualitas SDM dengan selang (-0.100; 0.458) sebesar 46.31%, sedangkan kualitas nilai pada selang (0.459; 2.266) persentase sebesar 10.37%. Peubah kondisi ekonomi daerah di Indonesia diperlihatkan pada Gambar 9. Semakin besar nilai maka semakin buruk kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi daerah ditentukan dari dua kriteria, yaitu : persentase penduduk miskin dan indeks kedalaman kemiskinan. Persentase kondisi ekonomi Indonesia dengan selang nilai (-1.472; ) sebesar 30.18%, persentase nilai ekonomi pada selang (-0.512; 0.283) sebesar 38.25%, persentase nilai ekonomi pada selang (0.282; 1.432) sebesar 25.12%, dan persentase nilai selang ekonomi (1.433; 3.505) sebesar 6.45%. Gambar 9 Ekonomi Gambar 10 A ksesibilitas Persentase nilai aksesibilitas pada selang (-1.451; ) adalah sebesar 24.65%, sedangkan persentase nilai pada selang (-0.805; 0.041) sebesar 30.88%, persentase nilai antara selang (0.042; 1.020) sebesar 25.12% dan persentase nilai selang aksesibilitas (1.021; 3.825) sebesar 19.35%. Semakin tinggi nilai aksesibilitas maka tingkat akses daerah tersebut semakin sulit. Peubah kelembagaan keuangan adalah celah fiskal yaitu selisih penerimaan keuangan daerah dengan anggaran belanja daerah. Semakin kecil nilai berarti semakin kecil selisih antara penerimaan dengan belanja daerah sehingga semakin efisien penggunaan dana. Gambar 11 memperlihatkan tingkat efisiensi dari kelembagaan keuangan. Gambar 11 Kelembagaan Keuangan Semakin kecil nilai peubah kelembagaan keuangan maka semakin efisien atau semakin baik penggunaan anggaran. Gambar 11 memperlihatkan hanya 3.00% daerah yang menggunakan efisiensi anggaran dengan baik pada selang nilai (-0.791; ), sebesar 68.20% penggunaan dana kurang efisien pada selang (-0.292; ), sedangkan sisanya sebesar 28.80% berada ditingkat sedang yaitu pada selang nilai (-0.007; ). Peubah Infrastruktur diukur dari beberapa kriteria, yaitu: sarana transportasi, pelanggan listrik, pelanggan telepon, jumlah bank, dan jumlah pasar (Lampiran 1). Semakin kecil nilai peubah infrastruktur, maka menggambarkan semakin baik keadaan infrastrutur tersebut. Gambar 12 memeperlihatkan persentase keadaan infrastruktur. Aksesibilitas adalah jarak rata-rata dari kantor desa ke kabupaten/kotamadya yang

3 Membangun Struktur Bayesian Network Gambar 12 Infrastruktur Infrastruktur dengan selang nilai ( ; ) memiliki persentase sebesar 7.83%, antara selang (-0.827; ) presentasenya sebesar 23.73%, antara selang (-0.144; 0.323) sebesar 39.86%, dan pada selang nilai (0.324; 0.967) memiliki persentase sebesar 28.57%. Algoritma Naive Bayes Algoritma naive bayes merupakan algoritma yang paling sederhana dalam membangun struktur BN. Algoritma ini bekerja dengan cara menghubungkan seluruh peubah penjelas dengan peubah respon dengan diasumsikan bahwa semua peubah pejelas adalah salin bebas. Gambar 13 memperlihatkan struktur BN yang dibangun dengan menggunakan algoritma naive bayes. Peubah respon adalah status daerah, sedangkan yang lain adalah peubah penjelas. Korelasi Peubah Korelasi antara peubah penjelas dengan peubah respon maupun antar peubah penjelas lainnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai korelasi yang paling tinggi adalah korelasi antara peubah ekonomi dengan status daerah yaitu sebesar sedangkan korelasi yang paling lemah adalah korelasi antara aksesibilitas dengan karakteristik daerah, yaitu sebesar Korelasi paling kuat antara peubah ekonomi dengan peubah status daerah memberikan informasi bahwa peubah ekonomi merupakan peubah yang memiliki pengaruh (efek) perubahan paling besar terhadap peubah status daerah. Peubah kelembagaan keuangan merupakan peubah penjelas yang memiliki korelasi paling kecil dengan peubah status daerah diantara peubah penjelas lainnya, sehingga peubah ini memiliki tingkat pengaruh yang paling kecil terhadap peubah status daerah. Lampiran 4 memberikan informasi bahwa ada dua buah korelasi yang bertanda negatif, yaitu antara peubah aksesibilitas dengan peubah kelembagaan keuangan dan antara peubah SDM dengan peubah kelembagaan keuangan. Korelasi negatif memberikan arti bahwa kedua peubah memiliki hubungan berkebalikan, semakin tinggi satu peubah maka peubah lainnya semakin rendah. Peubah ekonomi memiliki korelasi yang cukup kuat dengan peubah aksesibilitas dan peubah SDM. Begitu juga antara peubah kelembagaan daerah dengan peubah infrastruktur yang memiliki nilai korelasi cukup besar. Korelasi yang cukup kuat juga terlihat antara peubah aksesibilitas dengan peubah infrastruktur. Peubah ekonomi dengan peubah kelembagaan keuangan justru memiliki korelasi yang tergolong sangat kecil yaitu sebesar , artinya kedua peubah ini memiliki tingkat saling mempengaruhi yang kecil. Gambar 13 BN : algoritma naive bayes Asumsi naive yang menyatakan bahwa antar peubah penjelas merupakan saling bebas ditunjukkan pada Gambar 13, tidak ada garis (edge) yang menghubungkan antar peubah penjelas. Semua peubah penjelas mengarahkan edge ke peubah respon atau status daerah. Penjelasan sederhana struktur BN yang dibangun dengan algoritma naive bayes adalah menempatkan peubah respon sebagai child bagi setiap peubah penjelas. Akibat dari hal ini adalah setiap perubahan persentase yang terjadi pada peubah penjelas akan langsung berpengaruh terhadap perubahan persentase peubah respon atau status daerah dan tidak memperjitungkan perubahan yang terjadi sesama peubah penjelas. Algoritma Maximum Spanning Tree Algoritma Maximum Spanning Tree yang dipakai merupakan algoritma yang didasarkan atas hubungan causal relationship. Hubungan kausal ini diperlihatkan melalui korelasi spearman. Penggunaan algoritma prim mensyaratkan agar setiap peubah dapat terhubung namun tidak memebentuk sebuah siklus. Peubah ekonomi dan peubah status daerah adalah dua peubah yang dihubungkan dengan edge pertama kali, hal ini disebabkan karena nilai korelasi yang paling tinggi.

4 Sedangkan antara peubah aksesibilitas dengan peubah infrastruktur dihubungkan dengan edge paling terakhir, karena memiliki korelasi yang paling kecil diantara peubah-peubah yang dimasukkan dalam spanning tree. Gambar_14 memperlihatkan struktur BN hasil dari algoritma maximum spanning tree. BN yang dibangun dengan menggunakan algoritma equivalence classes. Gambar 15 BN : equivalence classes Gambar 14 BN : algoritma maximum spanning tree Peubah status daerah menjadi child dari peubah ekonomi dan karakteristik daerah. Peubah ekonomi menjadi child dari peubah aksesibilitas dan SDM. Peubah Infrastruktur menjadi parent bagi peubah aksesibilitas yang selanjutnya peubah infrastruktur menjadi child dari peubah kelembagaan keuangan. Gambar 14 memperlihatkan bahwa selain peubah ekonomi dan peubah karakteristik daerah, keempat peubah yang lain tidak mempengaruhi peubah status daerah secara langsung. Peubah kelembagaan keuangan, perubahan pada peubah ini akan terlebih dahulu mempengaruhi perubahan pada peubah infrastruktur, kemudian peubah infrastruktur akan mempengaruhi peubah Aksesibilitas. Peubah aksesibilitas yang selanjutnya mempengaruhi peubah ekonomi yang kemudian berpengaruh terhadap status daerah. Peubah SDM pun sama, tidak bisa langsung berpengaruh pada peubah status daerah, namun harus melalui perubahan pada peubah ekonomi, yang selanjutnya peubah ekonomi mempengaruhi peubah status deaerah. Algoritma Equivalence Classes Algoritma equivalence classes merupakan algoritma yang didasarkan pada tingkat kesamaan (equivalence) peubah. Peubah yang memiliki kesamaan akan memiliki hubungan yang erat dan tingkat kebebasan yang kecil. Hubungan kesamaan dan kebebasan antar peubah ini ditunjukkan dengan nilai khikuadrat yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Jika pada uji khi-kuadrat dinyatakan tidak saling bebas maka ada hubungan antar peubah. Gambar 15 memperlihatkan struktur Peubah status daerah menjadi child bagi peubah karakteristik daerah, aksesibilitas, SDM, Ekonomi, dan Infrastruktur, sedangkan peubah kelembagaan keuangan menjadi parent bagi peubah infrastruktur. Semua peubah penjelas selain kelembagaan keuangan memiliki pengaruh langsung ke peubah status daerah, sedangkan peubah kelembagaan keuangan melalui perubahan pada peubah infrastruktur terlebih dahulu. Membandingan Hasil Klasifikasi Struktur Bayesian Network Membandingkan tingkat keakuratan prediksi setiap struktur BN dilakukan dengan melihat tingkat keakuratan dalam prediksi. Tingkat keakuratan dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh prediksi yang sesuai dibagi dengan total semua prediksi, sedangkan tingkat kesalahan dengan cara menjumlahkan semua prediksi yang tidak sesuai dibagi dengan total prediksi. Tingkat keakuratan dan tingkat kesesuaian tersebut kemudian dihitung presentasenya. Membandingkan dengan Hasil KNPDT Struktur model BN yang telah dibangun sebagaimana yang terlihat pada gambar 13, 14, dan 15 akan dibandingkan dengan hasil klasifikasi yang dilakukan oleh KNPDT. Perbandingan ini ingin memilih algoritma yang sesuai dengan hasil dari klasifikasi KNPDT dalam menentukan status daerah tertinggal. Hasil klasifikasi struktur BN dengan algoritma naive bayes yang dibandingkan dengan hasil dari klasifikasi yang dilakukan oleh KNPDT disajikan pada Tabel 2.

5 Tabel 2 Perbandingan hasil klasifikasi antara algoritma naive bayes dengan hasil KNPDT Tabel 2 memperlihatkan hasil perbandingan klasifikasi antara algoritma naive bayes dengan hasil KNPDT. Hasil klasifikasi dari algoritma naive bayes banyak tidak sesuai pada status agak tertinggal. Sebanyak 41 daerah yang diklasifikasikan tidak sesuai dengan hasil KNPDT. Sedangkan yang paling kecil adalah klasifikasi daerah sangat parah, yaitu hanya 6 daerah yang diklasifikasikan tidak sesuai. Secara keseluruhan sebanyak 114 daerah dari 434 daerah yang diklasifikasikan naive bayes tidak sesuai dengan hasil KNPDT. Hasil klasifikasi struktur BN dengan algoritma maximum spanning tree yang dibandingkan dengan hasil dari klasifikasi yang dilakukan oleh KNPDT disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan hasil klasifikasi antara algoritma maximum spanning tree dengan hasil KNPDT Tabel 3 memberikan informasi tentang hasil perbandingan klasifikasi antara algoritma maximum spanning tree dengan hasil kalsifikasi yang dilakukan oleh KNPDT. Hasil klasifikasi dari algoritma maximum spanning tree banyak tidak sesuai pada status maju. Sebanyak 47 daerah yang diklasifikasikan tidak sesuai dengan hasil KNPDT. Status agak tertinggal pada klasifikasi algoritma ini sebanyak 43 daerah yang tidak sesuai dengan hasil klasifikasi KNPDT. Sedangkan yang paling kecil adalah klasifikasi daerah sangat parah, yaitu hanya 8 daerah yang diklasifikasikan tidak sesuai. Secara keseluruhan sebanyak 147 daerah dari 434 daerah yang diklasifikasikan maximum spanning tree tidak sesuai dengan hasil KNPDT. Hasil klasifikasi struktur BN dengan algoritma equivalence classes yang dibandingkan dengan hasil dari klasifikasi yang dilakukan oleh KNPDT disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Perbandingan hasil klasifikasi antara algoritma equivalence classes dengan hasil KNPDT Tabel 4 memperlihatkan hasil perbandingan klasifikasi antara algoritma equivalence classes dengan hasil KNPDT. Hasil klasifikasi dari algoritma equivalence classes banyak tidak sesuai pada status agak tertinggal. Sebanyak 25 daerah yang diklasifikasikan tidak sesuai dengan hasil KNPDT. Sedangkan yang paling kecil adalah klasifikasi daerah sangat parah, yaitu hanya 4 daerah yang diklasifikasikan tidak sesuai. Secara keseluruhan sebanyak 63 daerah dari 434 daerah yang diklasifikasikan equivalence classes tidak sesuai dengan hasil KNPDT. Tabel 2, 3, dan 4 memperlihatkan tingkat kesesuaian klasifikasi antara masing-masing algoritma dengan hasil dari KNPDT. Algoritma maximum spanning tree menunjukkan tingkat kesesuaian terendah diantara ketiga algoritma yang diterapkan pada penelitian ini. Algoritma naive bayes memiliki tingkat kesesuaian yang cukup besar namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat kesesuaian dari algoritma equivalence classes. Algoritma equivalence classes merupakan algoritma yang paling sesuai dengan hasil KNPDT.

6 Membandingkan Antar Algoritma Algoritma equivalence classes merupakan algoritma pembangun struktur BN yang paling sesuai denga hasil klasifikasi KNPDT. Klasifikasi KNPDT dalam penetapan status daerah tidak melihat hubungan korelasi antara peubah penjelasnya hal ini mirip dengan asumsi naive bayes. Algoritma naive bayes mengasumsikan bahwa tiap peubah penjelas adalah saling bebas dan mempengaruhi langsung ke peubah respon. Tabel 5 memberikan informasi terkait hubungan tingkat kesesuaian klasifikasi. Sebesar 73.73% kesesuaian antara hasil naive bayes dengan KNPDT, lebih besar dibanding dengan algoritma maximum spanning tree yang tingkat kesesuaiannya sebesar 66.13% dengan KNPDT. Tabel 5 Perbandingan tingkat keakuratan antara hasil KNPDT, hasil algoritma naive bayes (NB), maximum spanning tree (MST), dan equivalence classes (EC) KNPDT NB MST EC KNPDT 100% 73.73% 66.13% 85.48% NB 73.73% 100% 58.42% 81.56% MST 66.13% 58.42% 100% 65.84% EC 85.48% 81.56% 65.84% 100% Struktur BN yang dibangun dengan algoritma maximum spanning tree melihat tingkat korelasi antar peubah penjelas. Tingkat kesesuaian antara algoritma ini dengan KNPDT sangat kecil, hal ini karena peubah penjelas pada klasifikasi KNPDT semuanya langsung berpengaruh ke peubah status daerah tanpa melihat pola korelasi antar peubah penjelas. Secara struktur BN algoritma maximum spanning tree sangat berbeda dengan struktur BN pada algoritma naive bayes. Perbedaan kedua struktur tersebut memberikan tingkat kesesuaian klasifikasi sebesar 58.42%. Tingkat kesesuaian yang relatif kecil juga diperlihatkan antara klasifikasi struktur BN algoritma maximum spanning tree dengan klasifiasi struktur BN algoritma equivalence classes, sebesar 65.84%. Algoritma equivalence classe merupakan algoritma yang paling sesuai dengan dengan hasil KNPDT. Hal ini dapat terlihat pada tabel_5 terkait tingkat kesesuaiannya, yaitu sebesar 85.48%. Struktur BN algoritma equivalence classes dengan struktur BN algoritma naive bayes hampir mirip, perbedaannya hanya pada peubah kelembagaan keuangan yang tidak langsung mempengaruhi peubah respon. Struktur yang mirip tersebut memberikan tingkat kesesuaiaan klasifikasi sebesar 81.56%. Secara teori seharusnya diperhitungkan tingkat korelasi antar peubah penjelas dalam menghitung hasil klasifikasi, namun pada KNPDT dalam menetapkan status daerah tertinggal tidak memperhitungkan hal tersebut. Berbeda dengan algorima maximum spanning tree yang mencari hubungan struktur BN berdasarkan tingkat korelasi, sehingga didapatkan struktur hubungan yang optimal dengan tingkat korelasi terbesar. Hal inilah yang menyebabkan tingkat kesesuaian antara algoritma maximum spanning tree dengan hasil KNPDT kecil. Secara teori algoritma maximum spanning tree merupakan algoritma yang terbaik dalam klasifikasi, karena memperhitungkan tingkat korelasi antar peubah penjelas, namun hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa algoritma equivalence classes merupakan algoritma yang paling sesuai dengan hasil KNPDT. Pembahasan berikutnya menggunakan struktur BN yang dibangun dengan mengunakan algoritma equivalence classes yang merupakan algoritma terbaik secara teori. Analisis Perubahan Peubah Penjelas terhadap Peubah Res pon Struktur BN dapat digunakan dalam melihat perubahan peluang yang terjadi pada peubah respon ketika peluang peubah penjelas berubah. Hal ini dilakukan dengan cara menggeser peluang pada kategori-kategori peubah penjelas dan dilihat sejauh mana perubahan peluang yang terjadi pada peubah respon. Pembahasan ini melihat perubahan peluang yang terjadi pada peubah status daerah dari setiap perubahan peluang peubah penjelas. Perubahan Peubah Karakteristik Daerah Berikut merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada peluang peubah status daerah ketika terjadi perubahan peluang pada peubah karakteristik daerah. Gambar 16, 17, dan 18 memperlihatkan perubahan-perubahan yang terjadi.

7 Perubahan Peubah SDM Gambar 19, 20, dan 21 berikut memperlihatkan perubahan yang terjadi pada persentase peluang peubah status daerah ketika terjadi perubahan peluang peubah SDM. Gambar 16 Karakteristik Daerah pada selang nilai (-0.682; ) Gambar 19 SDM pada selang nilai (-0.847; 0.101) Gambar 17 Karakteristik Daerah pada selang nilai (-0.002; 0.766) Gambar 20 SDM pada selang nilai (-0.100; 0.458) Gambar 18 Karakteristik Daerah pada selang nilai (0.767; 2.226) Peubah karakteristik daerah memiliki hubungan yang cukup kuat dengan peubah peubah status daerah. Hal ini dapat dilihat pada Lamp iran 5 yang menunjukkan nilai khikuadrat yang relatif besar (X 2 =77.727). Nilai khi-kuadrat tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara peubah status daerah dengan peubah karakteristik daerah memiliki hubungan yang tidak bebas. Gambar 16, 17, dan 18 menunjukkan juga bagaimana hubungan antara kedua peubah tersebut. Semakin tinggi nilai peubah karakteristik daerah (kondisi karakteristik daerah makin kurang bagus) maka semakin tinggi status ketertinggalan suatu daerah (semakin banyak daerah yang tertinggal). Gambar 21 SDM pada selang nilai (0.459; 2.266) Peubah SDM memiliki arah edge yang langsung menunjuk ke peubah status daerah, artinya perubahan pada kualitas SDM secara langsung berpengaruh terhadap perubahan status daerah. Lampiran 5 menunjukkan nilai khi-kuadrat yang cukup besar (X 2 = ). Gambar 19, 20, dan 21 menunjukkan hubungan kualitas SDM dengan status daerah adalah berbanding lurus, yaitu semakin tinggi nilai peubah SDM maka semakin tinggi status ketertinggalan suatu daerah.

8 Perubahan Peubah Ek onomi Gambar 22, 23, 24, dan 25 memperlihatkan perubahan persentase yang terjadi pada peubah status daerah ketika terjadi perubahan peluang pada peubah ekonomi. Gambar 22 Ekonomi pada selang nilai (-1.472; ) Nilai khi-kuadrat dari peubah ekonomi dengan peubah status daerah yang cukup besar, yaitu X 2 = artinya kedua peubah ini tidak saling bebas. Gambar 22, 23, 24, dan 25 dapat diambil simpulan bahwa hubungan antara kondisi ekonomi dengan status daerah adalah berbanding lurus. Semakin tinggi nilai peubah ekonomi maka semakin meningkatkan status ketertinggalan suatu daerah. Perubahan Peubah Aksesibilitas Gambar 26, 27, 28, dan 29 berikut merupakan perubahan persentase status daerah ketika terjadi perubahan peluang peubah aksesibilitas. Gambar 23 Ekonomi pada selang nilai (-0.512; 0.283) Gambar 26 Aksesibilitas pada selang (-1.451; ) Gambar 24 Ekonomi pada selang nilai (0.282; 1.432) Gambar 27 A ksesibilitas pada selang nilai (-0.805; 0.041) Gambar 25 Ekonomi pada selang nilai (1.433; 3.505) Gambar 28 A ksesibilitas pada selang nilai (0.042; 1.020)

9 Gambar 29 Aksesibilitas pada selang nilai (1.021; 3.825) Gambar 31 Kelembagaan Keuangan pada selang nilai (-0.292; ) Nilai khi kuadrat antara peubah status daerah dengan peubah aksesibilitas adalah sebesar (tidak salng bebas). Gambar 26, 27, 28, dan 29 memberikan informasi hubungan antara nilai aksesibilitas dengan status daerah adalah berbanding lurus. Semakin tinggi nilai aksesibilitas maka semakin tinggi status ketertinggalan suatu daerah. Perubahan Peubah Kelembagaan Keuangan Nilai peubah kelembagaan keuangan ini mencerminkan efisiensi penggunaan dana dari pemerintah daerah. Semakin tinggi nilai maka efisiensi anggaran semakin buruk. Perubahan persentase yang terjadi pada peubah status daerah karena perubahan peluang dari peubah kelembagaan keuangan ditunjukkan oleh Gambar 30, 31, dan 32. Struktur BN memberikan informasi bahwa hubungan antara kedua peubah ini adalah secara tidak langsung. Peubah kelembagaan keuangan sebagai grandparent dari status daerah melalui perantara peubah infrastruktur. Gambar 32 Kelembagaan Keuangan pada selang nilai (-0.007; ) Secara umum pengaruh peubah kelembagaan ke peubah status daerah cukup rendah. Peubahan hanya terjadi dengan adannya kenaikan dan penurunan persentase status daerah, namun tidak mengubah urutan persentase. Hubungan kebebasan ditunjukkan dengan nilai uji khi kuadrat sebesar Meskipun hubungan tidak bebas namun nilai ujinya termasuk kecil dibandingkan dengan peubah penjelas yang lain, sehingga pengaruhnya juga kecil. Hubungan peubah status daerah dengan peubah kelembagaan keuangan adalah berbanding lurus, artinya semakin tinggi nilai peubah kelembagaan keuangan maka semakin tinggi status ketertinggalan suatu daerah. Gambar 30 Kelembagaan Keuangan pada selang nilai (-0.791; ) Perubahan Peubah Infrastruktur Pengaruh perubahan peluang peubah infrastruktur terhadap perubahan persentase peubah status daerah dapat dilihat pada Gambar 33, 34, 35, dan 36. Peubah infrastruktur dalam struktur BN menjadi parent bagi peubah status daerah.

10 Gambar 33 Infrastruktur pada selang (-2.167; ) nilai 33, 34, 35, dan 36 memberikan kesimpulan bahwa semakin baik infrastrutur daerah maka semakin baik pula kondisi status daerah, demikian sebaliknya. Efek Peubah Penjelas Perubahan persentase pada peubah status daerah ketika terjadi perubahan peluang setiap peubah penjelas telah diperlihatkan pada pembahasan diatas. Berikut disajikan Tabel 6 terkait besarnya pengaruh (efek) peubah penjelas terhadap status daerah dalam bentuk persentase. Tabel 6 Efek setiap peubah penjelas Peubah Efek Ekonomi 26.76% Infrastruktur 19.56% SDM 17.88% Aksesibilitas 16.07% Karakteristik Daerah 13.59% Kelembagaan Keuangan 6.14% Gambar 34 Infrastruktur pada selang nilai (-0.827; ) Peubah penjelas yang paling besar pengaruhnya terhadap status daerah adalah peubah ekonomi (26.76%). Peubah selanjutnya adalah peubah Infrastruktur (19.56%) kemudian berturut-turut peubah SDM (17.88%), karakteristik daerah (16.07%), aksesibilitas (13.59%), dan kelembagaan keuangan (6.14%). Analisis Perubahan Peubah Respon Gambar 35 Infrastruktur pada selang nilai (-0.144; 0.323) Gambar 36 Infrastruktur pada selang nilai (0.324; 0.967) Nilai hubungan kebebasan antara peubah infrastruktur dengan peubah status daerah pada Lampiran 5 disebutkan sebesar Nilai ini menjelaskan bahwa hubungan kedua peubah ini adalah tidak saling bebas. Gambar Perubahan persentase yang terjadi pada peubah status daerah disebabkan adanya perubahan peluang yang terjadi pada peubah penjelas. Kenyataannya setiap peubah penjelas tidaklah terjadi satu-persatu tetapi secara bersama-sama dalam mempengaruhi status daerah. Asumsi pembahasan terdahulu menganggap peubah penjelas selain yang diteliti adalah kondisi tetap. Pembahasan berikut akan mempelajari kondisi peubah penjelas yang menyebabkan peubah status daerah pada kondisi tertentu. Berdasarkan teori klasifikasi bahwa pengambilan simpulan kondisi pada BN dengan melihat peluang (persentase) terbesar. Kondisi Status Daerah Maju Status daerah maju merupakan status ideal yang dicita-citakan oleh pemerintah Indonesia. Gambar 37 adalah kondisi peubah penjelas ketika peubah status daerah dalam kondisi maju. Data pada penelitian ini menyebutkan sebanyak 53,41 % daerah Indonesia adalah daerah maju.

11 kondisi SDM berada pada selang nilai (-0.847; ), kondisi aksesibilitas berada pada selang nilai (-0.805; 0.041), kondisi karakteristik daerah pada selang nilai (-0.682; ), kondisi infrastruktur pada kondisi selang nilai (-0.144; 0.323), dan kondisi kelembagan keuangan pada selang nilai (-0.007; ). Kondisi-kondisi tersebut adalah kondisi yang minimal untuk mencapai status daerah maju. Semakin kecil selang nilainya maka semakin baik peubah tersebut. Kondisi Status Daerah Agak Tertinggal Berikut adalah kondisi yang yang terjadi pada kondisi status daerah agak tertinggal. Kondisi status daerah agak tertinggal adalah satu tingkat diatas status daerah tertinggal. Sebanyak 19.35% status daerah Indonesia adalah agak tertinggal. Persentase tersebut merupakan persentase terbesar kedua setelah status daerah maju. Gambar 37 Kondisi status daerah : maju Gambar 37 menunjukkan kondisi yang terjadi pada kondisi status daerah maju. Peubah ekonomi persentase terbesar (49,57%) pada kondisi selang nilai (-1.472; ), artinya perekonomian dalam kondisi yang terbaik. Persentase terbesar peubah SDM dan karakteristik daerah juga dalam kondisi yang paling kecil (terbaik). Peubah SDM berada pada selang nilai (-0.847; ) dengan persentase 56.90% sedangkan peubah karakteristik daerah pada selang nilai (-0.682; ) dengan persentase 75.43%. Peubah aksesibilitas, infrastruktur dan kelembagaan keuangan meskipun persentase terbesar tidak berada pada nilai terkecil (tebaik), namun terjadi peningkatan persentase pada nilai terbaik. Peubah aksesibilitas terjadi peningkatan persentase sebesar 12.42% atau menjadi 24.65%. Peningkatan persentase pada peubah infrastruktur sebesar 6.39% sedangkan pada peubah kelembagaan keuangan peningkatan sebesar 1.07%. Kondisi ekonomi pada status daerah maju berada pada selang nilai (-1.472; ), Gambar 38 Kondisi status daerah : agak tertinggal

12 Gambar 38 memperlihatkan kondisi status daerah agak tertinggal. Kondisi status daerah seperti ini nilai peubah ekonomi terbesar berada pada selang nilai (-0.512; 0.283). Peubah SDM berada pada selang nilai (-0.100; 0.458), peubah aksesibilitas pada selang nilai (0.042; 1.020), peubah kelembagaan keuangan pada selang nilai (-0.007; ), peubah karakteristik daerah berada pada selang nilai (-0.682; ), dan peubah infrastruktur pada selang nilai (-0.144; 0.323). Kondisi Status Daerah Tertinggal Berikut adalah kondisi yang yang terjadi pada kondisi status daerah tertinggal. Persentase daerah tertinggal adalah sebesar 13.82% dari seluruh Indonesia. (0.042; 1.020). Persentase terbesar peubah kelembagaan keuangan pada nilai selang nilai (-0.007; ), peubah karakteristik daerah berada pada selang nilai (-0.682; ) atau antara selang (-0.002; 0.766) (memiliki persentase yang sama), dan peubah infrastruktur pada selang nilai (0.324; 0.967). Kondisi Status Daerah Sangat Tertinggal Gambar 40 menunjukkan kondisi yang yang terjadi pada kondisi status daerah sangat tertinggal. Status daerah sangat tertinggal menggambarkan bahwa suatu daerah berada satu tingkat dibawah status daerah tertinggal. Indonesia memiliki sebanyak 10.83% status daerah sangat tertinggal. Gambar 39 Kondisi status daerah : tertinggal Gambar 39 memperlihatkan kondisi status daerah tertinggal. Pada kondisi status daerah seperti ini nilai peubah ekonomi terbesar berada pada selang nilai (0.282; 1.432). Peubah SDM berada pada selang nilai (-0.100; 0.458) dan peubah aksesibilitas pada selang Gambar 40 Kondisi status daerah : sangat tertinggal Kondisi peubah pada status daerah sangat tertinggal dapat dilihat pada Gambar 40. Gambar tersebut memberikan informasi bahwa pada kondisi status daerah sangat tertinggal peubah ekonomi memiliki persentase terbesar pada selang nilai (0.282;

13 1.432). Peubah kualitas SDM berada pada posisi nilai antara selang (-0.100; 0.458), peubah aksesibilitas berada pada posisi selang nilai (1.021; 3.825), peubah kelembagaan keuangan pada selang (-0.007; ), karakteristik daerah pada selang (-0.002; 0.766), dan peubah infrastruktur pada posisi nilai selang (0.324; 0.967). Kondisi Status Daerah Sangat Parah Kondisi status daerah sangat parah merupakan status daerah yang paling buruk. Sebanyak 2.53% status daerah di Indonesia berada pada status sangat parah. Gambar 41 memperlihatkan kondisi yang terjadi pada status daerah sangat parah. Gambar 41 Kondisi status daerah : sangat parah Pada kondisi status daerah sangat parah, semua peubah penjelas berada pada nilai tertinggi (terburuk). Bahkan kondisi status daerah sangat parah persentase kondisi semua peubah penjelas dengan nilai terkecil (terbaik) adalah 0,00%, artinya tidak ada satupun dari daerah yang memiliki kondisi ekonomi yang baik, aksesibilitas yang lancar, infrastruktur yang memadahi, dan kualitas SDM yang bagus. Selain itu ditunjang dengan tingkat efisiensi dari pengelola keuangan daerah yang buruk dan karakteristik daerah yang sering terjadi bencana ataupun konflik. Analisis Peubah Status Daerah Gambar 37, 38, 39, 40, dan 41 memberikan informasi tentang keadaan setiap kondisi pada peubah status daerah. Setiap kondisi memiliki ciri persentase yang berbeda pada peubah penjelas. Status daerah maju sangat berbeda kondisi persentase peubah penjelas dibandingkan dengan kondisi status daerah tertinggal, agak tertinggal, sangat tertinggal maupun sangat parah. Program pembangunan daerah tertinggal melalui KNPDT tentang perbaikan status daerah harus memperhatikan setiap kondisi tersebut sebagai usaha dalam meningkatkan status daerah menjadi status daerah yang lebih baik. Perbaikan sektor ekonomi merupakan hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam meningkatkan status daerah. Hal ini karena peubah ekonomi merupakan peubah yang paling berpengaruh dalam peningkatan status daerah. Pengentasan angka kemiskinan dan penumbuhan lapangan pekerjaan merupakan hal yang harus diperhatikan dalam meningkatkan peubah ekonomi. Peubah SDM dan infrastruktur merupakan peubah yang perlu diprioritaskan juga dalam meningkatkan status daerah selain peubah ekonomi. Peubah SDM mencakup perbaikan dalam pendidikan dan kesehatan sedangkan peubah infrastruktur mencakup perbaikan sarana dan prasarana. Daerah dengan status sangat parah selain peubah ekonomi dan peubah SDM, peubah infrastruktur dan karakteristik daerah perlu mendapatkan perhatian pembangunan, sedangkan peubah kelembagaan keuangan belum menjadi prioritas pembangunan. Status daerah agak tertinggal dan tertinggal secara umum cukup memprioritaskan pada pembangunan peubah ekonomi dan SDM. Pembangunan daerah dengan status sangat tertinggal prioritas utama pada peubah ekonomi, SDM dan infrastruktur. Penerapan Penetapan Status Daerah Tertinggal pada Kabupaten Rembang Deskripsi Daerah Kabupaten Rembang terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Secara administratif Kabupaten Rembang masuk Propinsi Jawa Tengah. Sebelah timur Kabupaten Rembang

14 berbatasan dengan Jawa Timur, sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Kabupaten Blora dan sebelah barat dengan kabupaten Pati. Kabupaten Rembang memiliki 14 Kecamatan dan 294 desa. Kondisi Kriteria Utama KNPDT Kondisi nilai kriteria utama Kabupaten Rembang setelah distandarisasi menurut KNPDT, terdapat dalam Tabel 7. Tabel 7 Nilai kriteria utama Kabupaten Rembang Peubah Nilai Ekonomi SDM Infrastruktur Kelembagaan Keuangan Aksesibilitas Karakteristik Daerah Hasil Klasifikasi Perhitungan KNPDT menetapkan Kabupaten Rembang termasuk daerah agak tertinggal. Sedangkan dengan menggunakan klasifikasi dari ketiga algoritma BN didapatkan hasil yang disajikan pada Tabel 8, sedangkan untuk lebih rinci dapat dibuka Lampiran 6. Tabel 8 Hasil klasifikasi Kabupaten Rembang Algoritma Hasil Klasifikasi % KNPDT Agak Tertinggal - Naive Bayes Agak Tertinggal Maximum Spanning Tree Maju Equivalence Classes Agak Tertinggal Klasifikasi dari maximum spanning tree memberikan hasil yang berbeda diantara hasil klasifikasi yang lainnya. Equivalence classes dan naive bayes mengklasifikasikan Kabupaten Rembang dengan hasil yang sama dengan hasil dari KNPDT akan tetapi berbeda persentase peluangnya. Meningkatkan Status Daerah Tabel 8 memberikan informasi bahwa Kabupaten Rembang berdasarkan KNPDT masuk dalam kategori status daerah agak tertinggal. Berdasarkan hasil pada Lampiran 6 dan Gambar 37, untuk meningkatkan status daerah Kabupaten Rembang menjadi kategori maju maka perlu diperhatikan hal-hal berikut : 1. Prioritas pembangunan yang harus dilakukan oleh Kabupaten Rembang agar menjadi status daerah maju adalah dalam bidang perekonomian. Pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan. 2. Kondisi SDM sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan KNPDT untuk menjadi daerah maju. Sebagian besar warga tidak buta huruf dan memiliki tingkat kesehatan yang baik. 3. Aksesibilitas daerah Kabupaten Rembang sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria daerah maju KNPDT. 4. Karakteristik daerah sangat baik, yaitu jarang terjadi bencana alam dan konflik horisontal masyarakatnya. 5. Infratruktur sudah melebihi batas minimal yang ditentukan KNPDT, sehingga tidak perlu dijadikan prioritas pembangunan. 6. Selisih antara anggaran belanja dengan penerimaan daerah masih cukup jauh, sehingga anggaran Kabupaten Rembang penggunaannya tidak efisien. Perlu sebuah perhatian yang lebih dalam penentuan APBD agar penyerapan anggaran daerah lebih efektif dan efisien. SIMPULAN Pendekatan BN dalam analisis penetapan daerah tertinggal dapat menggambarkan hubungan antara status daerah dengan peubah penjelas. Peubah-peubah digambarkan sebagai sebuah node yang kemudian membentuk sebuah jaringan hubungan sebab-akibat. Setiap peubah dapat langsung diketahui pengaruh terhadap peubah yang lain melalui gambar struktur BN yang terbentuk. Berdasarkan tingkat kesesuaian, algoritma equivalence classes merupakan algoritma yang paling sesuai untuk menjelaskan penetapan status daerah berdasarkan hasil dari KNPDT. Sedangkan menurut teori, algoritma maximum spanning tree merupakan algoritma yang paling sesuai dalam klasifikasi karena mempertimbangkan nilai korelasi semua peubah. Analisis perubahan peluang dan nilai khikuadrat dari setiap peubah penjelas terhadap peubah respon menunjukkan bahwa peubah ekonomi merupakan peubah yang memiliki pengaruh paling kuat daripada peubah lainnya. Peubah kelembagaan keuangan memiliki pengaruh paling lemah diantara peubah yang lain. Secara berurutan pengaruh peubah terkuat hingga terlemah adalah peubah ekonomi, infrastruktur, SDM, karakteritik daerah, aksesibilitas, dan kelembagaan keuangan. Analisis perubahan pada peubah respon memperlihatkan secara umum dalam meningkatkan status daerah menjadi daerah

PENERAPAN BAYESIAN NETWORK DALAM PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL IHSAN PURWADI

PENERAPAN BAYESIAN NETWORK DALAM PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL IHSAN PURWADI PENERAPAN BAYESIAN NETWORK DALAM PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL IHSAN PURWADI DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRAK IHSAN PURWADI. Penerapan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Deskripsi data Metode Peubah Respon

PEMBAHASAN Deskripsi data Metode Peubah Respon 5 penggabungan beberapa kategori menjadi kategori yang lebih umum. Kategori yang baru terdiri atas lima kategori yaitu: 1 : sangat tidak suka 2 : tidak suka 3 : biasa saja 4 : suka 5 : sangat suka Metode

Lebih terperinci

Semakin besar persentase CCR yang dihasilkan, maka tingkat akurasi yang dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

Semakin besar persentase CCR yang dihasilkan, maka tingkat akurasi yang dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995). 3 fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan k buah kelompok. Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak saling berkorelasi, maka komponen aditif dari V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat dengan V j

Lebih terperinci

Angka harapan hidup (jumlah rata-rata tahun. Jumlah infrastruktur kesehatan per Persentase jumlah desa di suatu kabupaten

Angka harapan hidup (jumlah rata-rata tahun. Jumlah infrastruktur kesehatan per Persentase jumlah desa di suatu kabupaten LAMPIRAN 11 Lampiran 1. Daftar Peubah Respon dan Peubah Penjelas Peubah Respon Status Ketertinggalan 1 = agak tertinggal Y 2 = tertinggal 3 = sangat tertinggal 4 = tertinggal sangat parah Peubah Penjelas

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN DENGAN METODE BAYESIAN NETWORK (Studi Kasus Produk Biskuit) ASEP KHOERUDIN

ANALISIS TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN DENGAN METODE BAYESIAN NETWORK (Studi Kasus Produk Biskuit) ASEP KHOERUDIN ANALISIS TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN DENGAN METODE BAYESIAN NETWORK (Studi Kasus Produk Biskuit) ASEP KHOERUDIN DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SAMBUTAN... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... iii. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. SAMBUTAN... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... iii. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI SAMBUTAN... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 4 1.3 Ruang Lingkup... 4 1.4 Tim Penyusun...

Lebih terperinci

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

Visualisasi Efek Perubahan Fungsi Lahan Menggunakan Maksimum Spanning Tree dengan Pembobot Korelasi

Visualisasi Efek Perubahan Fungsi Lahan Menggunakan Maksimum Spanning Tree dengan Pembobot Korelasi Al-Khwarizmi: Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Oktober 2017, Vol.5, No.2, hal.155-164 ISSN(P): 2527-3744; ISSN(E):2541-6499 2017 Tadris Matematika IAIN Palopo. http://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/khwarizmi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, tidak lepas dari peran ilmu matematika, yaitu ilmu yang menjadi solusi secara konseptual dalam menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilaksanakan selama tiga dekade belakangan ternyata belum mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang berdiam di daerah pedesaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

2016, No Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaks

2016, No Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaks No.357, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN- DPDTT. Daerah Tertinggal. Penetapan. Juknis. PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN

Lebih terperinci

2 sebagaimana mestinya perlu ditetapkan suatu peraturan pemerintah yang mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal. Meskipun pembentukan perat

2 sebagaimana mestinya perlu ditetapkan suatu peraturan pemerintah yang mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal. Meskipun pembentukan perat TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Pembangunan. Daerah Tertinggal. Percepatan Pembangunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 264) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Analisis Pengelompokan dengan Metode K-Rataan

Analisis Pengelompokan dengan Metode K-Rataan 511 Analisis Pengelompokan dengan Metode K-Rataan Titin Agustin Nengsih Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstrak Analisis pengelompokkan adalah salah satu metode eksplorasi data untuk

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Profil Provinsi Kepulauan Bangka belitung. Bangka dan Pulau Belitung yang beribukotakan Pangkalpinang.

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Profil Provinsi Kepulauan Bangka belitung. Bangka dan Pulau Belitung yang beribukotakan Pangkalpinang. BAB IV GAMBARAN UMUM A. Profil Provinsi Kepulauan Bangka belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau yang disingkat Babel adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau kecil yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL TAHUN 2015-2019 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI COVER... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Pertanyaan Penelitian... 4 1.3. Tujuan Penelitian... 5 1.4. Manfaat Penelitian...

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA LANGSA NANGGROE ACEH DARUSSALAM KOTA LANGSA ADMINISTRASI Profil Wilayah Setelah Kota Langsa lepas dari Kabupaten Aceh Timur tahun 2001, struktur perekonomian dibnagun atas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.259, 2015 OTONOMI DAERAH. Daerah Tertinggal. 2015-2019. Penetapan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL TAHUN

Lebih terperinci

PENERAPAN ALGORITMA TREE AUGMENTED NAIVE BAYESIAN PADA PENENTUAN PEUBAH PENTING PINGKAN AWALIA

PENERAPAN ALGORITMA TREE AUGMENTED NAIVE BAYESIAN PADA PENENTUAN PEUBAH PENTING PINGKAN AWALIA PENERAPAN ALGORITMA TREE AUGMENTED NAIVE BAYESIAN PADA PENENTUAN PEUBAH PENTING PINGKAN AWALIA DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

KLASIFIKASI KARAKTERISTIK MAHASISWA UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO MENGGUNAKAN METODE NAÏVE BAYES DAN DECISION TREE. Yuli Hastuti

KLASIFIKASI KARAKTERISTIK MAHASISWA UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO MENGGUNAKAN METODE NAÏVE BAYES DAN DECISION TREE. Yuli Hastuti Jurnal Dinamika, September 2016, halaman 34-41 P-ISSN: 2087 7889 E-ISSN: 2503 4863 Vol. 07. No.2 KLASIFIKASI KARAKTERISTIK MAHASISWA UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO MENGGUNAKAN METODE NAÏVE BAYES DAN DECISION

Lebih terperinci

Penerapan Algoritma Tree Augmented Naive Bayesian pada Penentuan Peubah Penting

Penerapan Algoritma Tree Augmented Naive Bayesian pada Penentuan Peubah Penting Statistika, Vol. 11 No. 2, 13 114 Nopember 211 Penerapan Algoritma Tree Augmented Naive Bayesian pada Penentuan Peubah Penting Pingkan Awalia 1, Aji Hamim Wigena 2, Anang Kurnia 3 1Student of Statistics

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel

Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel DAFTAR ISI i ii iii v BAB I PENDAHULUAN I-1 1.1. Acuan Kebijakan I-1 1.2. Pendekatan Kebijakan Nasional I-4 1.3. Pokok Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 108 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja pengelolaan keuangan daerah Badan Pertanahan Nasional kota Tangerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini merupakan hasil pemekaran ketiga (2007) Kabupaten Gorontalo. Letak

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini merupakan hasil pemekaran ketiga (2007) Kabupaten Gorontalo. Letak BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Tempat penelitian Kabupaten Gorontalo Utara adalah sebuah kabupaten di Provinsi Gorontalo, Indonesia. Ibu kotanya adalah Kwandang. Kabupaten ini

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Batas Admistrasi Sumber : Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka, 2016 Gambar 4.1 Peta wilayah Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i vii xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-2 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4 1.3.1 Hubungan RPJMD

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 diarahkan untuk:

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang Abtraksi Dalam melakukan analisis pendaptan terdapat empat rasio yang dapat dilihat secara detail, yaitu rasio pajak ( tax ratio ),rasio

Lebih terperinci

Perbandingan Kompleksitas Algoritma Prim, Algoritma Kruskal, Dan Algoritma Sollin Untuk Menyelesaikan Masalah Minimum Spanning Tree

Perbandingan Kompleksitas Algoritma Prim, Algoritma Kruskal, Dan Algoritma Sollin Untuk Menyelesaikan Masalah Minimum Spanning Tree Perbandingan Kompleksitas Algoritma Prim, Algoritma Kruskal, Dan Algoritma Sollin Untuk Menyelesaikan Masalah Minimum Spanning Tree 1 Wamiliana, 2 Didik Kurniawan, 3 Cut Shavitri N.F. 1 Jurusan Matematika

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN KEMENTERIAN/LEMBAGA : KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL I A Program Percepatan Pembangunan Daerah pusat produksi daerah 1. Meningkatnya

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN, Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan memantapkan situasi keamanan dan ketertiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yang mempunyai posisi strategis, yaitu berada di jalur perekonomian utama Semarang-Surabaya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 No. 06/02/62/Th. VI, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah tahun 2011 (kumulatif tw I s/d IV) sebesar 6,74 persen.

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii Daftar Tabel... v Daftar Gambar... ix Daftar Isi BAB I Pendahuluan... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen...

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran

2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.168, 2014 APBN. Desa. Dana. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014

Lebih terperinci

2016, No Rakyat tentang Kriteria Tipologi Unit Pelaksana Teknis di Bidang Pelaksanaan Jalan Nasional di Direktorat Jenderal Bina Marga; Menging

2016, No Rakyat tentang Kriteria Tipologi Unit Pelaksana Teknis di Bidang Pelaksanaan Jalan Nasional di Direktorat Jenderal Bina Marga; Menging No.543, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPU-PR. UPT. Pelaksanaan Jalan Nasional. Tipologi. Kriteria. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2016

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kebijakan otonomi daerah mulai dilaksanakan secara penuh pada Januari 2001. Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pada tahun 2008 menuju ke tahun 2009 keadaan pasar modal sedang mengalami penurunan. Setelah itu memasuki tahun 2009 kondisi pasar modal dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Metode Shift Share Metode shift share digunakan dalam penelitian ini untuk melihat

Lebih terperinci

STK511 Analisis Statistika. Pertemuan 10 Analisis Korelasi & Regresi (1)

STK511 Analisis Statistika. Pertemuan 10 Analisis Korelasi & Regresi (1) STK511 Analisis Statistika Pertemuan 10 Analisis Korelasi & Regresi (1) Analisis Hubungan Jenis/tipe hubungan Ukuran Keterkaitan Skala pengukuran peubah Pemodelan Keterkaitan anang kurnia (anangk@apps.ipb.ac.id)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pembahasan mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah ditinjau dari beberapa hal. Pertama, proporsi belanja

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. Dalam tinjauan pustaka dibawah ini terdapat 6 referensi sebagai berikut : - Algoritma Naïve Bayes Classifier

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. Dalam tinjauan pustaka dibawah ini terdapat 6 referensi sebagai berikut : - Algoritma Naïve Bayes Classifier BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka dibawah ini terdapat 6 referensi sebagai berikut : Tabel 2.1 Penelitian sebelumnya Parameter Penulis Objek Metode Hasil

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa upaya memajukan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1 KONDISI DAERAH JAWA TIMUR

Bab I Pendahuluan 1 KONDISI DAERAH JAWA TIMUR Daftar Isi Bab I Pendahuluan 1 I.1 Latar belakang 1 I.2 Maksud dan Tujuan 4 I.3 Landasan Hukum 5 I.4 Hubungan RPJMD dengan Dokumen Perencanaan Lainnya 8 I.5 Sistematika Penulisan 10 BAGIAN 1 KONDISI DAERAH

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN 1.1. Visi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, khususnya dalam pasal 1, angka 12 menyebutkan bahwa visi merupakan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan dari pembangunan nasional Negara Indonesia. Hal ini disebutkan dengan jelas pada Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas berbantuan sesuai dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan memantapkan

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan bukan masalah baru, namun sudah ada sejak masa penjajahan sampai saat ini kemiskinan masih menjadi masalah yang belum teratasi. Di negara berkembang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Pertumbuhan Nilai PDRB Kabupaten Muna pada Berbagai Sektor Tahun

BAB IV ANALISIS. Pertumbuhan Nilai PDRB Kabupaten Muna pada Berbagai Sektor Tahun PDRB (RIBU RUPIAH) BAB IV ANALISIS 4.1. Perkembangan Perekonomian Wilayah di Kabupaten Muna sesuai PDRB 2000-2013 Data PDRB Kabupaten Muna 2000-2013 (terlampir) menunjukkan bahwa terdapat beberapa sektor

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 31 IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga Kemiskinan tidak terlepas dari masalah tingkat pendapatan yang masih rendah dan hal ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan Distribusi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada kenyataannya selama ini pembangunan hanya ditunjukan untuk pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah pada prinsipnya lebih berorientasi kepada pembangunan dengan berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan daerah untuk mengatur

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Selama periode penelitian tahun 2008-2012, ketimpangan/kesenjangan kemiskinan antarkabupaten/kota

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

BLORA SELAYANG PANDANG TAHUN 2015

BLORA SELAYANG PANDANG TAHUN 2015 BLORA SELAYANG PANDANG TAHUN 2015 1. Letak Geografis : antara 1110 16 s/d 1110 338 Bujur Timur dan 60 528 s/d 70 248 Lintang Selatan 1. Letak Geografis : antara 1110 16 s/d 1110 338 Bujur Timur dan 60

Lebih terperinci

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja BAB II PERENCANAAN KINERJA A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik senantiasa melaksanakan perbaikan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PAKET KEBIJAKAN EKONOMI MENJELANG DAN SESUDAH BERAKHIRNYA PROGRAM KERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL MONETARY FUND PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mengantisipasi ketidak seimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif, artinya perubahan yang terjadi pada sebuah ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilaksanakan di daerah bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilaksanakan di daerah bertujuan untuk meningkatkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan yang dilaksanakan di daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, yang sesuai dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142/PMK.07/2007 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2008 MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142/PMK.07/2007 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2008 MENTERI KEUANGAN, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142/PMK.07/2007 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2008 MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT INSTRUKSI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT, Dalam rangka mempercepat pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan sebagai tindak lanjut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Saham 2.1.1 Pengenalan Saham Saham adalah surat berharga yang merupakan tanda kepemilikan seseorang atau badan usaha terhadap suatu perusahaan (Athanasius, 2012). 2.1.2 Pengenalan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDGs). MDGs berisi delapan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDGs). MDGs berisi delapan tujuan 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi salah satunya tercantum dalam Millenium Development

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang sedang berkembang. Bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang yang ada di

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 110

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 110 34 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah lebih kurang 101.510.0965 ha atau kurang lebih 4,5 % dari luas Propinsi Jawa Tengah dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci