FAUNA SEMUT TANAH PADA LAHAN GAMBUT YANG DIALIHGUNAKAN MENJADI KEBUN KELAPA SAWIT DAN HTI AKASIA SERTA PERANANNYA SEBAGAI PENGANGKUT GAMBUT
|
|
- Fanny Gunardi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 FAUNA SEMUT TANAH PADA LAHAN GAMBUT YANG DIALIHGUNAKAN MENJADI KEBUN KELAPA SAWIT DAN HTI AKASIA SERTA PERANANNYA SEBAGAI PENGANGKUT GAMBUT Melisa Ratna Sari 1, Ahmad Muhammad 2, Desita Salbiah 3 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA UR 2 Dosen Ekologi Jurusan Biologi FMIPA UR 3 Dosen Hama Penyakit dan Tanaman Faperta UR Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia melisa.biology@yahoo.com ABSTRACT Deforestation and conversion of peatlands into plantations have promoted the proliferation of ground dwelling ants (class Insecta, order Hymenoptera, family Formicidae) in peatland environments. The insects, which build belowground nests, potentially affect the physical characteristics of peat through pedoturbation activity. We conducted the present study to know the species assemblages of ground-nesting ants and to assess the significance of peat displacement made by the insects. Surveys were carried out in oil plam plantations and acacia plantations ( HTI ) in Bukit Batu area, Bengkalis District, Riau Province. Ants were directly sampled at the nest s holes that occurred within sampling transects (4 locations/plantation type and 4 transects/location). In a total of 190 nests, we encountered 16 ants spesies belonging to five subfamilies (Dolichoderinae, Ectatomminae, Formicinae, Myrmicinae, and Ponerinae). There were 14 species found in oil palm plantations and seven species in acacia plantations. Most abundant nests in the former belonged to Pheidole sp1 (262.5 nests/ha), Odontoponera trasversa (212.5 nests/ha), Dolichoderus sp. (187.5 nests/ha) in oil palm plantations. In acacia plantation, Anoplolepis gracilipes (612.5 nests/ha), Paratrechina longicornis (212.5 nests/ha) had the most abundant nests. The overall nest density was 1250 nests/ha in oil palm plantations and 1125 nests/ha in acacia plantations. In oil palm plantations, ants soil species that carried out peat in the biggest total is Pheidole sp.1 (1101,8 kg/ha/year), Dolichoderus sp. (807.6 kg/ha/year) and Irydomyrmex sp. (677.1 kg/ha/year) and in acacia plantations Anoplolepis gracilipes ( kg/ha/year), Odontomachus sp.( kg/ha/year), dan Paratrechina longicornis (698.1 kg/ha/year). Total of peat transport rate in oil palm plantations is 4.4 ton/ha/year and in acacia plantation (5.9 ton/ha/year). Keywords: Bukit Batu, ground dwelling ants, nest density, rate of peat transport. 1
2 ABSTRAK Deforestasi dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan atau hutan tanaman industri diduga dapat memicu kehadiran semut tanah (kelas Insecta, ordo Hymenoptera, famili Formicidae) di lingkungan lahan gambut. Serangga ini membangun sarang bawah tanah yang berpotensi mempengaruhi karakteristik fisika gambut serta aktifitas pedoturbasi. Kami melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui jumlah spesies semut tanah dan untuk menghitung besarnya pengangkutan gambut oleh semut tanah. Penelitian ini dilakukan di kebun kelapa sawit dan HTI akasia di wilayah Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Semut-semut secara langsung disampling pada lubang-lubang sarang dengan transek sampling (4 lokasi/jenis penggunaan lahan dan 4 transek/lokasi). Dengan total 190 sarang, kami menemukan 16 spesies semut tanah yang termasuk ke dalam lima subfamilia (Dolichoderinae, Ectatomminae, Formicinae, Myrmicinae, and Ponerinae). Terdapat 14 spesies yang ditemukan di kebun kelapa sawit dan tujuh spesies di HTI akasia. Kepadatan sarang terbesar terdapat pada sarang Pheidole sp1.(262,5 sarang/ha), Odontoponera trasversa (212,5 nest/ha), Dolichoderus sp. (187,5 nest/ha). Di HTI akasia, Anoplolepis gracilipes (612,5 nest/ha), Paratrechina longicornis (212,5 nest/ha) memiliki densitas sarang terbesar. Densitas sarang semut tanah secara keseluruhan adalah 1250 sarang/ha di kebun kelapa sawit dan 1125 sarang/ha di HTI akasia. Di kebun kelapa sawit spesies semut yang mengangkut gambut dalam jumlah terbesar adalah Odontoponera trasversa (12,47 kg/hari/ha) dan Pheidole sp1. (10,2 kg/hari/ha), sedangkan di HTI akasia terdapat Anoplolepis gracilipes (2,9 kg/hari/ha), Odontomachus sp.(0,6 kg/hari/ha), dan Paratrechina longicornis (0,2 kg/hari/ha). Total laju pengangkutan gambut oleh semut tanah secara keseluruhan di kebun kelapa sawit, yaitu 4,4 ton/ha/tahun sedangkan di HTI akasia sebesar 5,9 ton/ha/tahun. Kata kunci: Bukit Batu, densitas sarang, laju pengangkutan gambut, semut tanah,. PENDAHULUAN Lahan gambut merupakan salah satu jenis lahan basah yang terbentuk oleh adanya timbunan reruntuhan vegetasi yang mengalami dekomposisi kurang sempurna. Karena umumnya terlalu basah, tidak subur dan rentan mengalami subsidensi, lahan gambut sebenarnya merupakan jenis lahan yang marginal atau suboptimal untuk dibudidayakan (Tim Sintesis Kebijakan 2008). Meskipun demikian, dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir ini banyak terjadi pengalihgunaan lahan gambut untuk budidaya pertanian, perkebunan maupun kehutanan (Tim Sintesis Kebijakan 2008). Pengalihgunaan lahan gambut untuk keperluan-keperluan tersebut tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kanal-kanal drainasi yang diperlukan untuk mengasatkan air sehingga lapisan gambut yang berada di permukaan tidak terlalu basah untuk ditanami. Kanal-kanal ini menurunkan permukaan air sehingga lapisan gambut di atasnya menjadi lebih kering serta lebih berpori dan oleh karenanya mengalami aerasi yang lebih baik (Sabiham 2010). Perubahan kondisi ini diduga membuat lahan gambut menjadi lingkungan yang lebih sesuai untuk dihuni oleh lebih banyak makrofauna 2
3 tanah, termasuk semut tanah (kelas Insecta, ordo Hymenoptera, famili Formicidae), yaitu semut-semut yang membangun sarang dan koloni di bawah permukaan tanah. Semut tanah dikenal sebagai salah satu kelompok ecosystem engineer atau hewan yang aktifitasnya dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, seperti antara lain melalui pedoturbasi atau gangguan terhadap struktur fisik tanah (Jones et al. 1994). Aktifitas semut ini membuat sarang-sarang di bawah permukaan tanah, misalnya, menciptakan rongga-rongga dan saluran-saluran atau makropori yang meningkatkan porositas dan mengurangi konsistensi tanah (Frouz & Jilkova 2008). Aktifitas ini juga meningkatkan massa tanah yang terdisposisi ke permukaan sebagai butiran yang sangat rentan terbawa oleh aliran permukaan sebagai sedimen (Cerda & Jurgensen 2008). Dalam hal ini, sejumlah spesies semut tanah telah diketahui memberikan sumbangan yang signifikan terhadap proses erosi di berbagai jenis penggunaan lahan (Debruyn & Conacher 1994). Hal yang sering dijumpai terjadi pada lahan-lahan tanah mineral ini ternyata juga dapat dilihat pada lahan gambut yang telah berubah menjadi perkebunan. Melalui penelitian pendahuluan yang telah dilakukan pada lahan gambut yang di kawasan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau dijumpai cukup banyak semut tanah pada lahan yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) akasia. Oleh karenanya dalam penelitian ini kami bermaksud untuk: (1) mengetahui rona fauna semut tanah di bawah tegakan kebun kelapa sawit dan HTI akasia (2) mengetahui taksiran densitas sarang semut tanah yang ada dan (3) mengetahui taksiran laju pengangkutan gambut dari bawah permukaan ke permukaan oleh serangga ini. METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April dan Juli 2012 di kebun kelapa sawit dan HTI akasia yang berada tepatnya di Desa Sukajadi, Desa Temiang, Desa Sepahat dan Desa Tanjung Leban di wilayah Kecamatan Bukit Batu, Provinsi Riau. Kebun sawit yang dijadikan sebagai lokasi penelitian sebanyak empat kebun dan HTI sebanyak empat plot dalam dua lokasi. Kebun kelapa sawit yang dipilih merupakan kebun kelapa sawit yang dimiliki oleh warga dimana kebun ini diberi perlakuan perawatan tanaman, seperti pemupukan dan penyiangan menggunakan herbisida (umumnya setiap 4-6 bulan sekali), pemangkasan pelepah sawit dan pemanenan buah sawit (2 minggu sekali) secara rutin. Tanaman kelapa sawit memiliki kerapatan pohon sekitar 150 pohon/ha sementara untuk lokasi HTI, tegakan akasia rata-rata memiliki kerapatan sekitar 1600 pohon/ha dan tidak lagi diberi perawatan setelah tegakan berusia dua tahun. Lokasi kebun kelapa sawit dan HTI akasia ini umumnya memiliki kondisi bawah yang cukup bersih dengan hanya terdapat semak pada bagian tertentu saja. 3
4 Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis Di dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran kedalaman muka air, kandungan air gambut dan ph gambut pada setiap plot pengamatan. Semut tanah disampling dengan empat transek berukuran 2m x 25m yang sejajar satu dengan lainnya pada jarak 50 m antar transek. Sarang semut tanah dicari dan dicatat keberadaannya pada setiap bidang 1 m 2 dalam setiap transek. Apabila pada radius 1m ditemukan sebanyak dua sarang ataupun lebih yang dihuni oleh semut-semut tanah yang sangat mirip (berdasarkan morfologi dan ukuran) dengan yang lainnya maka sarang tersebut terhitung sebagai 1 sarang saja. Kemudian sarang-sarang semut tanah yang ditemukan dihitung kepadatan sarangnya dan sampel semut dikumpulkan langsung dari setiap sarang. Selain itu, tanah gambut yang sudah diangkut oleh semut tanah ke permukaan sarang diambil lalu ditimbang beratnya kemudian permukaan sarang yang sudah rata diberi peneduh dan kode untuk dipantau setiap hari hingga maksimal lima hari. Laju pengangkutan gambut (LPG) dihitung dengan rumus sebagai berikut: LPG lokasi = LPG semut x densitas sarang x 500 x 365 Keterangan: LPG lokasi = laju pengangkutan gambut total yang terjadi pada satu lahan perkebunan seluas 1 ha selama 1 tahun LPG semut = rerata laju pengangkutan gambut setiap harinya oleh semut-semut Densitas sarang yang terdapat pada lahan perkebunan yang dimaksud = rerata jumlah sarang semut yang terdapat pada lahan perkebunan seluas 1 ha 500 = luas lahan perkebunan yaitu 1 ha atau m2 dibagi dengan luas bidang yang sampling yaitu 200 m = jumlah hari dalam setahun Sampel-sampel semut yang diperoleh disimpan dalam vial-vial berisi alkohol 70% dan diberi label menurut jenis penggunaan lahan, nomor plot, nomor transek serta tanggal koleksi. Identifikasi sampel semut tanah telah dilakukan terhadap spesimen- 4
5 spesimen yang telah dikeringkan di Laboratorium Entomologi Departemen Zoologi, LIPI, Cibinong. Panduan yang digunakan untuk mengidentifikasi spesimen adalah buku Identification Guide to The Ant Genera of the World (Bolton 1994), Ants Of Borneo (Fisher 2010) dan Australian Ants Their Biology and Identification (Shattuck 1999), selain itu juga berasal dari foto-foto yang dapat diakses dari Analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu uji t digunakan untuk membandingkan jumlah sarang semut tanah di setiap transek pengamatan dan laju pengangkutan gambut di kedua habitat. Fauna Semut Tanah HASIL DAN PEMBAHASAN Di lapangan dapat dikumpulkan semut tanah sebanyak 1528 individu dari 190 sarang. Setelah disortir dan diidentifikasi terungkap bahwa fauna semut tanah yang ada terdiri dari lima subfamilia (Formicinae, Ponerinae, Dolichoderinae, Myrmicinae dan Ectatomminae), 11 genera dan 16 spesies. Dalam hal ini Formicinae merupakan subfamili yang diwakili oleh paling banyak spesies dan memiliki densitas sarang tertinggi (Tabel1). Sebaliknya Ectatomminae merupakan subfamili yang diwakili oleh paling sedikit spesies dan memiliki densitas sarang terkecil (Tabel 1). Tabel 1. Proporsi spesies dan kelimpahan sarang semut tanah yang ditemukan di kebun kelapa sawit dan HTI akasia No. Subfamili Jumlah Plot Jumlah Spesies Proporsi Spesies (%) a Kelimpahan Sarang (%) b 1 Dolichoderinae ,4 2 Ectatomminae 8 1 6,3 0,5 3 Formicinae ,3 44,2 4 Myrmicinae ,8 14,7 5 Ponerinae ,8 23,2 Keterangan: (a) jumlah total 8 lokasi; (b) jumlah total 190 sarang Dominannya Formicinae kemungkinan berkaitan dengan tingginya tingkat keanekaragaman spesies dalam subfamili ini. Menurut Ward (2010), subfamili ini beranggotakan lebih dari 3600 spesies yang tersebar di seluruh dunia, terutama di kawasan-kawasan tropis. Mengingat dalam Formicidae hanya terdapat sekitar spesies saja (Bolton et al. 1994), maka peluang untuk menemukan spesies-spesies anggota Formicinae cukup besar. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan Ectatomminae, yang hanya beranggotakan sekitar 260 spesies di seluruh dunia (Ward 2010). Oleh karenanya peluang untuk menemukan anggota-anggota subfamili ini juga jauh lebih kecil. Jumlah spesies semut yang ditemukan dalam penelitian ini relatif kecil. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh penggunaan metode sampling yang sangat spesifik, yaitu hanya menyasar semut-semut yang membuat sarang di bawah permukaan gambut. Pengambilan semut sengaja dilakukan tepat pada lobang sarang maupun dari dalam sarang yang ditemukan untuk memastikan bahwa setiap semut yang diambil benar- 5
6 benar merupakan semut tanah. Jumlah spesies semut yang ditemukan dengan metode ini jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan temuan Kusuma (2010) dan Savitri (2010) dalam lingkungan HTI pada lahan gambut yang berada di Semenanjung Kampar, Riau. Keduanya dapat menemukan lebih dari 100 spesies/morfospesies tetapi menggunakan metode pitfall trap. Dengan metode yang sama, Yulminarti (2012) menemukan 24 spesies dalam lingkungan kebun kelapa sawit pada lahan gambut di Sungai Pagar, Riau. Penggunaan pitfall trap menyasar semut-semut epigeal atau semut-semut yang berkeliaran di permukaan tanah secara umum, sehingga tidak dapat menjamin kepastian bahwa semut-semut yang masuk kedalam perangkap adalah semut-semut tanah. Tabel 2. Frekuensi kehadiran spesies dan kelimpahan sarang yang ditemukan di kebun kelapa sawit dan HTI akasia No Spesies Subfamili Jumlah plot Frekuensi Kehadiran Spesies (%) a Proporsi Kelimpahan Sarang (%) b 1 Anoplolepis gracilipes Formicinae ,9 2 Camponotus sp.1 Formicinae 8 12,5 0,5 3 Camponotus sp.2 Formicinae ,1 4 Dolichoderus sp.1 Dolichoderinae 8 37,5 11,1 5 Gnamptogenys sp. Ectatomminae 8 12,5 0,5 6 Irydomyrmex sp. Dolichoderinae 8 37,5 3,7 7 Meranoplus sp. Myrmicinae ,2 8 Odontomachus sp. Ponerinae 8 87,5 12,1 9 Odontoponera sp. Ponerinae 8 12,5 2,1 10 Odontoponera trasversa Ponerinae 8 37,5 8,9 11 Paratrechina longicornis Formicinae 8 62,5 11,6 12 Pheidole sp.1 Myrmicinae ,1 13 Pheidole sp.2 Myrmicinae 8 12,5 0,5 14 Polyrachis sp. Formicinae 8 12,5 1,1 15 Tapinoma sp.1 Dolichoderinae 8 12,5 1,6 16 Tapinoma sp.2 Dolichoderinae 8 12,5 1,1 Keterangan: (a) jumlah total 8 lokasi; (b) jumlah total 190 sarang Spesies Anoplolepis gracilipes dan Odontomachus sp. memiliki frekuensi kehadiran tertinggi (75% dan 87,5%) dan proporsi kelimpahan sarang terbesar (28,9 dan 12,1%) di kebun kelapa sawit dan HTI akasia. Spesies Anoplolepis gracilipes juga dijumpai pada penelitian Bruhl & Eltz (2010) dan Yulminarti (2012). Spesies Anoplolepis gracilipes merupakan spesies invasif yang diduga disebarkan oleh adanya aktivitas manusia di berbagai wilayah tropis sehingga kehadiran spesies ini menjadi tanda kehadiran manusia (Shattuck 1999). Abbot (2005) melaporkan bahwa spesies ini menginvasif dan membentuk superkoloni di Pulau Christmas. Odontomachus sp. merupakan serangga predator bagi invertebrata kecil lainnya (Briese and Macaulay 1981). Spesies ini membangun sarangnya di tanah dan tersebar di berbagai wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia. 6
7 Frekuensi Kehadiran dan Densitas Sarang Dalam penelitian ini plot yang telah diperiksa terdiri dari empat plot kebun kelapa sawit dan empat plot HTI akasia. Frekuensi kehadiran spesies semut tanah pada kebun kelapa sawit rata-rata 43,8%, sedangkan pada HTI akasia rata-rata 21,9%. Spesies yang paling sering ditemukan pada kebun kelapa sawit adalah Pheidole sp1. (100%), Odontomachus sp. (100%), Irydomyrmex sp. (75%) dan Odontoponera trasversa (75%) (Tabel 3). Sementara pada HTI akasia yang paling sering dijumpai adalah Anophlolepis gracilipes (100%), Odontomachus sp. (75%), dan Paratrechina longicornis (75%) (Tabel 3). Apabila dilihat dari densitas sarangnya, maka spesies yang paling menonjol pada kebun kelapa sawit adalah Pheidole sp1 (262,5 sarang/ha), Odontoponera trasversa (212,5 sarang/ha), Dolichoderus sp. (187,5 sarang/ha) dan pada HTI akasia Anoplolepis gracilipes (612,5 sarang/ha), Paratrechina longicornis (212,5 sarang/ha) dan Odontomachus sp. (175 sarang/ha) (Tabel 3). Tabel 3. Frekuensi kehadiran dan densitas sarang semut tanah menurut spesies dan jenis penggunaan lahan Kebun Kelapa Sawit HTI Akasia NO SPESIES Frekuensi Kehadiran (%)* Densitas Sarang (sarang/ha) Frekuensi Kehadiran (%)* Densitas Sarang (sarang/ha) 1 Anophlolepis gracilipes ,5 2 Camponotus sp ,5 3 Camponotus sp , ,5 4 Dolichoderus sp , Gnamptogenys sp , Irydomyrmex sp , Meranoplus sp Odontomachus sp , Odontoponera sp Odontoponera trasversa , Paratrechina longicornis 50 62, ,5 12 Pheidole sp , Pheidole sp , Polyrachis sp Tapinoma sp , Tapinoma sp Rerata densitas total Keterangan: (*) Pada empat lokasi sampling Di lapangan diperoleh kesan bahwa sebaran dan densitas sarang semut tanah dipengaruhi oleh kelebatan tutupan tumbuhan bawah. Semakin lebat tutupan tumbuhan di bawah tegakan kelapa sawit maupun akasia maka densitas sarang semut tanah justru 7
8 Densitas Sarang (sarang/ha) cenderung menurun. Untuk memastikan hal ini serta mengetahui mengapa demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut. Mengacu temuan Lenda et al. (2013), karakteristik vegetasi tumbuhan bawah (komposisi spesies dan bentuk serta kelebatan) dapat mempengaruhi sebaran sarang, ukuran koloni, dan perilaku pencarian makan semut tanah. Pada kebun kelapa sawit vegetasi tumbuhan bawah yang ada lebih banyak didominasi oleh campuran antara rumput-rumputan (terutama Imperata cylindrica) dan paku-pakuan (terutama Dicranopteris linearis), sedangkan yang dominan di bawah tegakan akasia adalah paku-pakuan (Dicranopteris linearis, Nephrolepis bisserata, Sp.atochlaena palustris). Sarang semut tanah umumnya ditemukan pada tempat-tempat yang lebih terbuka atau hanya sebagian tertutupi oleh tumbuhan bawah. Secara umum densitas sarang semut tanah pada kebun kelapa sawit (1250 sarang/ha) lebih tinggi dibanding pada HTI akasia (1125 sarang/ha), tetapi tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara keduanya (P>0,05) (Gambar 2). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan perbedaan karakteristik vegetasi pada keduanya. Dengan umur pohon sekitar lima tahun, kebun kelapa sawit yang disurvei untuk penelitian ini memiliki tajuk yang lebih terbuka dibanding HTI akasia, karena kerapatannya jauh lebih rendah (sekitar 150 pohon/ha). Sementara HTI akasia pada umur yang sama memiliki tajuk yang lebih rapat karena kerapatannya sangat tinggi (sekitar pohon/ha). Disamping itu, vegetasi bawah pada kebun kelapa sawit lebih renggang karena secara berkala dikendalikan oleh kegiatan penyiangan baik secara mekanik maupun kimiawi dengan penyemprotan herbisida. Dalam hal ini, penggunaan herbisida sebenarnya dapat berpengaruh negatif terhadap komunitas semut tanah (Pereira et al. 2005) tetapi selang waktu penyemprotan yang relatif panjang (3-6 bulan sekali) kemungkinan memberi kesempatan kepada komunitas semut yang terganggu untuk memulihkan diri Kebun Kelapa Sawit HTI Akasia Gambar 2. Perbandingan rerata densitas sarang semut pada kebun kelapa sawit dan HTI akasia 8
9 Laju Pengangkutan Gambut oleh Semut Tanah Karena memerlukan ruang di bawah permukaan tanah, semut tanah harus memindahkan sebagian massa tanah dari bawah ke atas permukaan tanah. Semakin bertambah umur koloni semut tanah maka semakin besar pula jumlah anggotanya, sehingga harus diimbangi dengan memperbesar volume rongga sarang (Buhl et al. 2005). Dengan demikian juga semakin banyak massa tanah yang harus dipindahkan. Di kebun kelapa sawit, spesies semut tanah yang paling banyak mengangkut gambut adalah Pheidole sp.1 (1101,8 kg/ha/tahun), Dolichoderus sp. (807,6 kg/ha/tahun) dan Irydomyrmex sp. (677,1 kg/ha/tahun) (Tabel 4). Sedangkan di HTI akasia, antaralain Anoplolepis gracilipes (3688,8 kg/ha/tahun), Odontomachus sp. (1002,8 kg/ha/tahun), dan Paratrechina longicornis (698,1 kg/ha/tahun) (Tabel 4). NO Tabel 4. Laju pengangkutan gambut di kebun kelapa sawit dan HTI akasia Spesies Laju Pengangkutan Gambut* Kebun Kelapa Sawit HTI Akasia 1 Anophlolepis gracilipes 172,5 3688,8 2 Camponotus sp ,8 3 Camponotus sp.2 82,1 0 4 Dolichoderus sp. 807,6 350,4 5 Gnamptogenys sp. 24,2 0 6 Irydomyrmex sp. 677,1 0 7 Meranoplus sp. 254,6 0 8 Paratrechina longicornis 351,3 698,1 9 Odontomachus sp. 357,2 1002,8 10 Odontoponera sp. 116, Odontoponera trasversa 473, Pheidole sp , Polyrachis sp ,1 4418,3 5929,9 Keterangan: (*) Dalam kg/ha/tahun Secara umum, laju pengangkutan gambut pada HTI akasia memiliki nilai yang lebih tinggi (5929,9 kg atau 5,9 ton/ha/tahun) daripada laju pengangkutan pada kebun kelapa sawit (4418,3 kg atau 4,4 ton/ha/tahun) (Gambar 3). Meskipun demikian, perbedaan ini tidak signifikan (P>0,05). Aktifitas pedoturbasi yang dalam hal ini berupa pengangkutan gambut oleh suatu koloni semut tanah selain dipengaruhi oleh kondisi internal koloni (Buhl et al.2005) juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal atau lingkungan, terutama sekali densitas dan tekstur tanah (lihat Marshall et al. 2009). Gambut memiliki densitas yang sangat rendah dan teksturnya sangat berbeda apabila dibandingkan dengan tanah mineral. Di lapangan diperoleh kesan bahwa tingkat aktifitas suatu koloni semut tanah dalam mengangkut gambut dipengaruhi oleh tingkat kebasahan atau kandungan air dalam gambut. Semakin kering permukaan gambut, aktifitas ini cenderung semakin tinggi. Tetapi hal ini perlu diverifikasi lebih lanjut. 9
10 Laju Pengangkutan Gambut (kg/ha/tahun) Kebun Kelapa Sawit HTI Akasia Gambar 3. Perbandingan laju pengangkutan gambut pada kebun kelapa sawit dan HTI akasia Dampak Kehadiran dan Aktifitas Semut Tanah Mempertimbangkan hasil-hasil penelitian ini, maka kehadiran dan aktifitas semut tanah pada lahan gambut yang telah dialihgunakan menjadi kebun kelapa sawit dan HTI akasia berpotensi memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan sekitar. Dampak ini dapat dilihat setidaknya dari perubahan fisik yang terjadi pada lahan gambut yang dihuni semut tanah. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, laju pengangkutan gambut oleh serangga ini dapat mencapai sekitar 4-6 ton/ha/tahun. Hal ini berarti proses peronggaan di bawah permukaan gambut berlangsung cukup cepat dan akan mengakibatkan kekeroposan secara signifikan (lihat Cerda & Jurgensen 2008). Selain itu, gambut yang terdisposisi ke permukaan akan mudah mengalami erosi, baik yang disebabkan oleh percikan air hujan maupun penghanyutan aliran permukaan. Pada kebun kelapa sawit pengeroposan gambut dapat mengurangi daya dukung lahan terhadap pohon-pohon kelapa sawit yang berbiomassa besar sehingga pohon-pohon yang ada tidak dapat tumbuh tegak lagi. Pada HTI akasia pengeroposan gambut kemungkinan dalam batas-batas tertentu dapat diimbangi oleh pemadatan (compaction) setiap kali berlangsung pemanenan yang menggunakan alat-alat berat. Selain melalui pedoturbasi, semut tanah juga dapat menimbulkan dampak lingkungan dengan cara lain. Dalam hal ini, diantara spesies-spesies semut tanah yang ditemukan terdapat Anoplolepis gracilipes yang merupakan salah satu spesies semut paling invasif (Abbot et al. 2005). Semut ini dapat merusak keseimbangan suatu ekosistem terestrial melalui persaingan dan pemangsaan, yang dapat menyingkirkan berbagai spesies fauna lain, baik yang berupa semut maupun serangga dan invertebrata lain. KESIMPULAN DAN SARAN Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa fauna semut tanah pada lahan gambut di kawasan Bukit Batu yang telah dialihgunakan menjadi kebun kelapa sawit 10
11 dan HTI akasia terdiri dari 16 spesies. Pada kebun kelapa sawit spesies yang paling menonjol adalah Pheidole sp1, Odontomachus sp., Irydomyrmex sp., Odontoponera trasversa, dan Dolichoderus sp. Sementara pada HTI akasia spesies yang menonjol adalah Anophlolepis gracilipes, Odontomachus sp., Paratrechina longicornis. Densitas sarang semut tanah pada kebun kelapa sawit rata-rata 1125 sarang/ha sedangkan pada HTI akasia rata-rata 1250 sarang/ha, dimana tidak terdapat perbedaan signifikan antara keduanya. Spesies semut tanah yang melakukan pengangkutan gambut dengan laju tertinggi pada kebun kelapa sawit adalah Pheidole sp.1 (1101,8 kg/ha/tahun), Dolichoderus sp. (807,6 kg/ha/tahun) dan Irydomyrmex sp. (677,1 kg/ha/tahun), sedangkan pada HTI akasia Anoplolepis gracilipes (3688,8 kg/ha/tahun), Odontomachus sp. (1002,8 kg/ha/tahun), dan Paratrechina longicornis (698,1 kg/ha/tahun). Laju pengangkutan gambut oleh semut tanah mencapai 4,4 ton/ha/tahun pada kebun kelapa sawit dan 5,9 ton/ha/tahun pada HTI akasia. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada PT. Bukit Batu Hutani Alam (BBHA) dan PT. Sakato Makmur Permai (SPM) atas yang telah memberikan izin sampling di dalam HTI dan akomodasi juga kepada para pemilik kebun sawit atas pemberian izin sampling di kebun-kebun mereka. Kami berhutang budi kepada keluarga Ibu Asnah di Tanjung Leban yang telah memberikan akomodasi. Penulis berterimakasih kepada Zuli Rodhiyah yang telah membantu sampling di lapangan. Kami berhutang budi kepada Ibu Wara Asyifa di Puslitbang Biologi LIPI, Cibinong, atas bantuan verifikasi hasil identifikasi spesimen semut kami serta menunjukkan literatur yang diperlukan. Sebagian biaya penelitian ini berasal dari Dana Penelitian Berbasis Lab Tahun 2012 dari Lembaga Penelitian Universitas Riau. DAFTAR PUSTAKA Abbot K.L Supercolonies of The Invasive, Yellow Crazy Ants, Anophlolepis gracilipes on an Oceanic Island: Forager Activities Pattern, Densities and Biomass. Insectes Sociaux Journal 52: Bolton, B A New General Catalogue of The Ants of The World. Cambridge, MA: Harvard University Press. Briese, D.T Food Collection within an Ant Community in Semi-Arid Australia with Special Reference to Seed Harvesters. Australian Journal of Ecology 6:1-19. Bruhl, C.A. & Eltz T Fuelling The Biodiversity Crisis: Species Loss of Ground-Dwelling Forest Ants in Oil Palm Plantations in Sabah, Malaysia (Borneo). Biodivers Conserv 19: Buhl, J, Denebourg JL, Grimal A Self-Organized Digging Activity in Ant Colonies. Behavioral Ecology and Sociobiology 58: Cerda, A. and Jurgensen, M. F. (2008). The Influence of Ants on Soil and Water Losses from an Orange Orchard in Eastern Spain. Journal of Applied Entomology 132: De Bryun L. & Conacher, L.A The Effect of Ant Biopores on Water Infiltration 11
12 in Soils in Undisturbed Bushland and in Farmland in a Semi-Arid Environment. Pedobiologia 38: Frouz J. & Jilkova V The Effect of Ants on Soil Properties and Processes (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecological News 11: Jones C.G, Lawton, J.H & Sachack M Organism as Ecosystem Engineers. Oikos 69: Lenda M, Witek M. Skorka P. Moron D.& Woyciechowski M Invasive Alien Plants Affect Grassland Ant Communities, Colony Size and Foraging Behaviour. Biological Invasions DOI /s Kusuma, A Komunitas Semut Epigeal di Hutan Greenbelt dalam Lingkungan Hutan Tanaman Industri (HTI) Akasia di Semenanjung Kampar, Riau. Skripsi. Jurusan Biologi. Universitas Riau. Pekanbaru. Marshall T.W, Richards P.J, Humphreys G.S Breaking Ground: Pedological, Geological, and Ecological Implications of Soil Bioturbation. Earth Science Reviews 97: 1-4. Pereira J.L, Da Silva AA, Picanco M.C, De Barros E.C, Jakelaitis A Effects of Herbicide and Insecticide Interaction on Soil Entomofauna Under Maize Crop. Journal of Environmental Science and Health 40: Rogers, L.E The Ecological Effect of The Western Harvester Ant (Pogonomyrmex Occidentalis) in The Shortgrass Plains Ecosystem. Grass Land Biome. Technical Reports No.206. Savitri, B Komunitas Semut Epigeal pada Dua Fase Hutan Tanaman Industri (HTI) Akasia di Semenanjung Kampar, Riau. Universitas Riau. Skripsi. Jurusan Biologi. Universitas Riau. Pekanbaru. Sabiham, S Properties of Indonesian Peat in Relation to The Chemistry of Carbon Emission. Proceeding of International Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries: Department of Soil Science and Land Resource, Faculty of Agriculture. Bogor. Shattuck Australian Ants: Their Biology and Identification. CSIRO Publishing. Australia. Tim Sintesis Kebijakan Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut di Kalimantan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2): Ward, P.S Ant Ecology: Taxonomy, Phylogenetics and Evolution in L. Lach. Oxford. Oxford University Press. Yulminarti, Salmah S. Subahar T.S.S Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Semut di Tanah Gambut Alami dan Tanah Gambut Perkebunan Sawit di Sungai Pagar, Riau. Biospecies 5:
Zuli Rodhiyah 1, Ahmad Muhammad 2, Desita Salbiah 3
KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN FAUNA SEMUT TANAH PADA LAHAN GAMBUT YANG DIALIHGUNAKAN MENJADI KEBUN KELAPA SAWIT DAN HTI AKASIA DI KAWASAN BUKIT BATU, RIAU Zuli Rodhiyah 1, Ahmad Muhammad 2, Desita Salbiah
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI
KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI SKRIPSI OLEH INAYATI AL RAHIM A1C410004 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI JULI, 2016
Lebih terperinciJENIS-JENIS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI SEKITAR KAMPUS UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
JENIS-JENIS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI SEKITAR KAMPUS UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN Riska Winda Sari*, Rofiza Yolanda 1), Arief anthonius Purnama 2) 1&2) Program Studi
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Bolton, B Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p.
DAFTAR PUSTAKA Bolton, B. 1994. Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p. Crossley, J.R., D.A, Mueller, & K.E Linsenmair. 1992. Biodiversity of Microarthropods
Lebih terperinciOleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri
KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA:FORMICIDAE) PERMUKAAN TANAH DI KEBUN GAMBIR DI KANAGARIAN SIGUNTUR MUDA KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN Oleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri
Lebih terperinciGambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian
II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar
Lebih terperinciKOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN
KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN Syukri ( ), Armein Lusi Zeswita (1), Ismed Wahidi (2) Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera
Lebih terperinciBAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT
BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah
Lebih terperinciABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH
viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat
Lebih terperinciKOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERTANAMAN KAKAO
KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERTANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI DESA MUNTEI KECAMATAN SIBERUT SELATAN KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI Oleh: Noviana Tatebburuk 1, Henny Herwina 2, Armein
Lebih terperinciBAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU
BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN Keberadaan spesies pada suatu habitat tidak terlepas dari kemampuan distribusi dan adaptasi spesies tersebut (Whittaker
Lebih terperinciThe Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) Acacia Crassicarpa Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest
Lebih terperinciRagam Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Lahan Ga mbut Alami dan Perkebunan Sawit di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 68 74 Ragam Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Lahan Ga mbut Alami dan Perkebunan Sawit di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya Dita Meilina 1, Tri Rima Setyawati
Lebih terperinciPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2009. Tim Peneliti
PENGANTAR Rasa syukur kami persembahkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-nya, berupa kesempatan untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan penelitian unggulan lokal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran
Lebih terperinciJenis-Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Bangunan Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang
Jenis-Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Bangunan Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang Ants (Hymenoptera: Formicidae) at Campus Building of Andalas University Limau Manis Padang Anna Febry
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA KAWASAN PENYANGGA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT KILIRAN JAO KECAMATAN KAMANG BARU KABUPATEN SIJUNJUNG
KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA KAWASAN PENYANGGA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT KILIRAN JAO KECAMATAN KAMANG BARU KABUPATEN SIJUNJUNG Nila Suryayulni¹, Henny Herwina², Armein Lusi Zeswita¹
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang
36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau
Lebih terperinciJumlah Jenis dan Jumlah Individu Semut di Tanah Gambut Alami dan Tanah Gambut Perkebunan Sawit di Sungai Pagar, Riau
Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Semut di Tanah Gambut Alami dan Tanah Gambut Perkebunan Sawit di Sungai Pagar, Riau Ant Diversity and Abundance on Peat Swamp Forest and Peat Palm Oil Plantation in Sungai
Lebih terperinciKOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL
KOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL YANCE MARIANI 09010117 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang
Lebih terperinciANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU
ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA
Lebih terperincidisinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara
Lebih terperinciOleh: Oki Kobayasi Susanto 1, Henny Herwina 2, Armein Lusi Z. 1
Spesies Semut (Hymenoptera: Formicidae) yang di Koleksi dengan Metode All Protocol pada Perkebunan Sawit (ElaeisguineensisJacq.) dan Hutan di Kanagarian Kunangan Parik Rantang Kabupaten Sijunjung Oleh:
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA
KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.
Lebih terperinciJurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : ISSN : KERAGAMAN JENIS SEMUT PENGGANGGU DI PERMUKIMAN BOGOR
Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : 213-223 ISSN : 2356-4113 KERAGAMAN JENIS SEMUT PENGGANGGU DI PERMUKIMAN BOGOR (Diversity Of Annoying Ants In Residential Areas In Bogor) Apriyanto 1*, Upik Kesumawati Hadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi
Lebih terperinciPERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA NISFI YUNIAR
PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA NISFI YUNIAR DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN
Lebih terperinciLAMPIRAN. No Lokasi*' Koordinat*'' Deskripsi 1. Hutan sekunder (PL) 01 23'13,6"LU
LAMPIRAN Lampiran I. Deskripsi Lokasi Sampling Tanah No Lokasi*' Koordinat*'' Deskripsi 1. Hutan sekunder (PL) 01 23'13,6"LU 2. Lahan gambut bekas terbakar Sepahat (ES) 3. Kebun kelapa sawit Tanjung Leban
Lebih terperincimampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan
Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari
Lebih terperinciDIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR
DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRACT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang kompleks untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada
Lebih terperinciTULISAN PENDEK. Beberapa Catatan Tentang Aspek Ekologi Cacing Tanah Metaphire javanica (Kinberg, 1867) di Gunung Ciremai, Jawa Barat.
Jurnal Biologi Indonesia 4(5):417-421 (2008) TULISAN PENDEK Beberapa Catatan Tentang Aspek Ekologi Cacing Tanah Metaphire javanica (Kinberg, 1867) di Gunung Ciremai, Jawa Barat Hari Nugroho Bidang Zoologi,
Lebih terperinciSoal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa)
Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) 1. Cara memperbaiki tanah setelah mengalami erosi yaitu dengan cara?? Konservasi Tanah adalah penempatansetiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan
Lebih terperinciKELIMPAHAN DAN BIOMASSA CACING TANAH DI BEBERAPA JENIS PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DI KAWASAN BUKIT BATU, RIAU
KELIMPAHAN DAN BIOMASSA CACING TANAH DI BEBERAPA JENIS PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DI KAWASAN BUKIT BATU, RIAU Ridho Christina 1, Ahmad Muhammad 2, Yusnarty Yus 3 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi 2 Dosen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chromolaena odorata (L) (Asteraceae: Asterales), biasa disebut gulma siam atau kirinyu (ki rinyuh), dalam bahasa Inggris disebut siam weed merupakan gulma padang rumput
Lebih terperinciPERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN
PERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN Heri Junedi 1 ABSTRACT The aim of this research is to study the effect of forest conversion to arable land on changes of soil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman
Lebih terperinciKOMPOSISI RAYAP DI KEBUN GAMBIR MASYARAKAT DI KANAGARIAN SIGUNTUR MUDA KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL
KOMPOSISI RAYAP DI KEBUN GAMBIR MASYARAKAT DI KANAGARIAN SIGUNTUR MUDA KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL RIDO AIDI NIM: 09010186 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI SEKOLAH TINGGI
Lebih terperinciRehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan
Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Dr. Muhammad Syakir, MS Kepala Kongres Nasional VII Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) dan Seminar Pengelolaan Lahan Sub-optimal Secara
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak
Lebih terperinciSimpanan Biji Gulma Dalam Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit Desa Tambang, Kampar
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Simpanan Biji Gulma Dalam Tanah Di Perkebunan Kelapa Siti Fatonah dan Herman Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Lebih terperinciMemahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost
Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Andree Ekadinata dan Sonya Dewi PENGENALAN METODE OPPORTUNITY COST DALAM MEKANISME PENGURANGAN EMISI DARI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai negara megabiodiversity. Sekitar 10 % jenis-jenis tumbuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga dikenal sebagai negara megabiodiversity. Sekitar 10 % jenis-jenis tumbuhan berbunga yang ada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).
26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan
Lebih terperinciKelimpahan dan Keragaman Semut dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon Abudance and diversity of ants at Sirimau Forest In Ambon
Biospecies Vol. 7 No.2, Juli 2014, hal.53-58. Kelimpahan dan Keragaman Semut dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon Abudance and diversity of ants at Sirimau Forest In Ambon Fransina Sarah LATUMAHINA 1, MUSYAFA
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map)
19 IV. KONDISI UMUM 4.1 Profil Umum PT. Riau Andalan Pulp and Paper PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) adalah bagian dari Asia Pasific Resources International Holdings Limitied (APRIL) Group, perusahaan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk
Lebih terperinciANALISIS KESUBURAN TANAH PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT USIA 28 TAHUN DI PT. ASAM JAWA KECAMATAN TORGAMBA KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN
SKRIPSI ANALISIS KESUBURAN TANAH PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT USIA 28 TAHUN DI PT. ASAM JAWA KECAMATAN TORGAMBA KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN Oleh: Rahmad Gagah Pribadi 11082100306 PROGRAM STUDI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai luas 1,3% dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan
Lebih terperinciKARAKTERISTIK HABITAT Trigona spp. DI HUTAN LARANGAN ADAT DESA RUMBIO KABUPATEN KAMPAR
KARAKTERISTIK HABITAT Trigona spp. DI HUTAN LARANGAN ADAT DESA RUMBIO KABUPATEN KAMPAR THE CHARACTERISTICS HABITATS OF Trigona spp. AT TRADITIONAL FOREST THE PROHIBITION RUMBIO VILLAGE KAMPAR REGENCY Muhammad
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan
Lebih terperinciANALISIS SIFAT KIMIA TANAH GAMBUT PADA TIGA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI DESA PANGKALAN PANDUK KECAMATAN KERUMUTAN KABUPATEN PELALAWAN
Jurnal Agroteknologi, Vol. 7 No. 1, Agustus 2016 : 27-32 ANALISIS SIFAT KIMIA TANAH GAMBUT PADA TIGA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI DESA PANGKALAN PANDUK KECAMATAN KERUMUTAN KABUPATEN PELALAWAN (An Analysis
Lebih terperinciKEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT
KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri
Lebih terperinciPENYEBARAN SEMUT PADA HUTAN LINDUNG SIRIMAU KOTA AMBON
Fransina Sarah Latumahina, dkk. : Penyebaran Semut Pada Hutan Lindung Sirimau Kota Ambon PENYEBARAN SEMUT PADA HUTAN LINDUNG SIRIMAU KOTA AMBON Fransina Sarah Latumahina 1*, Musyafa 2, Sumardi 2, Nugroho
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna
Lebih terperinciANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS
1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK
KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest
Lebih terperinciANALISIS SIFAT KIMIA TANAH GAMBUT YANG DIKONVERSI MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATAN KAMPAR
SKRIPSI ANALISIS SIFAT KIMIA TANAH GAMBUT YANG DIKONVERSI MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATAN KAMPAR Oleh: Tri Cahyo Nugroho 10982008487 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
Lebih terperinciKOMUNITAS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA DI DESA BUNGKU PROVINSI JAMBI
Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 06 No. 3, Desember 2015, Hal 203-209 ISSN: 2086-8227 KOMUNITAS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA DI DESA BUNGKU PROVINSI JAMBI Ant Community
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gulma siam (Chromolaena odorata) tercatat sebagai salah satu dari gulma tropis. Gulma tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat (dapat mencapai 20 mm per
Lebih terperinciMETODOLOGI. Lokasi dan Waktu
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah atau sarang-sarang lainnya. Terbangnya semut ini diikuti karena
I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Semut Semut memiliki tempat hidup dimana-mana disegala daratan dunia, kecuali diperairan. Semut sangat mempunyai banyak jenisnya, semut ini termasuk serangga sosial, prilaku
Lebih terperinciANALISIS KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DI BAWAH TEGAKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU
ANALISIS KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DI BAWAH TEGAKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU Oksariwan Fahrozi, Besri Nasrul, Idwar (Fakultas Pertanian Universitas Riau) HP : 0852-7179-6699, E-mail :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekosistem gambut merupakan salah satu tipe ekosistem lahan basah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik dan pada umumnya menempati cekungan di antara dua sungai
Lebih terperinciSebagian besar hutan rawa gambut di Indonesia mengalami penyusutan. Hutan rawa gambut di Riau tersebar pada lima bentang alam yang masih
RINGKASAN i e Sebagian besar hutan rawa gambut di Indonesia mengalami penyusutan dari tahun ke tahun (Mirmanto dan Polosokan, 1999, Wahyunto et al, 2005). Di Propinsi Riau sendiri hutan rawa gambut telah
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi
12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub
Lebih terperinciBAB IV. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Rimbo Panjang Kecamatan. Desa Rimbo Panjang merupakan salah satu Desa di Kecamatan
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Rimbo Panjang Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar, yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2000
Lebih terperinciUniversitas Sumatera Utara
PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA KABUPATEN NAGAN RAYA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM SKRIPSI Oleh SUSILO SUDARMAN BUDIDAYA HUTAN / 011202010 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
Lebih terperinciKEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN KEMIRINGAN LERENG
KEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN KEMIRINGAN LERENG Refliaty 1 dan Erawati Junita Marpaung 2 ABSTRACT The aggregate stability of Ultisol at several land uses and slopes. The
Lebih terperinciPENDAHULLUAN. Latar Belakang
PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena
Lebih terperinciDAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TERHADAP KERUSAKAN TANAH 1) (Impact of forest and land fire on soil degradation) ABSTRACT PENDAHULUAN
Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : 79-86 (2003) Artikel (Article) DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TERHADAP KERUSAKAN TANAH 1) (Impact of forest and land fire on soil degradation) BASUKI WASIS
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN DAN AKTIVITAS MIKROBA DI KAWASAN CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU: SEBAGAI INDIKATOR TERHADAP TEKANAN PENGGUNAAN LAHAN
LAPORAN PENELITIAN TAHUN KE III HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II KEANEKARAGAMAN DAN AKTIVITAS MIKROBA DI KAWASAN CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU: SEBAGAI INDIKATOR
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan
Lebih terperinciPENGARUH TRANSFORMASI HABITAT TERHADAP KEANEKARAGAMAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS SEMUT DI JAMBI RATNA RUBIANA
PENGARUH TRANSFORMASI HABITAT TERHADAP KEANEKARAGAMAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS SEMUT DI JAMBI RATNA RUBIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit
TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun
Lebih terperincidampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau
dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu
46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu
Lebih terperinciKata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam
Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi
Lebih terperinciPengelolaan Sawit di Lahan Gambut sesuai PermenLHK no 14, 15 dan 16/2017 di Lahan Gambut
Pengelolaan Sawit di Lahan Gambut sesuai PermenLHK no 14, 15 dan 16/2017 di Lahan Gambut Oleh Basuki Sumawinata Dept. Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Faperta, IPB Presentasi disampaikan pada pertemuan
Lebih terperinciPENDUGAAN CADANGAN KARBON TUMBUHAN BAWAH PADA KEMIRINGAN LAHAN YANG BERBEDA DI HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KABUPATEN KARO SKRIPSI
PENDUGAAN CADANGAN KARBON TUMBUHAN BAWAH PADA KEMIRINGAN LAHAN YANG BERBEDA DI HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KABUPATEN KARO SKRIPSI Oleh SARTIKA EC SIALLAGAN 101201149 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM
Lebih terperinciIDENTIFIKASI SERANGGA YANG TERPERANGKAP PADA KANTONGSEMAR(Nepenthes spp.) Di KAWASAN KAMPUS UIN SUSKA RIAU
SKRIPSI IDENTIFIKASI SERANGGA YANG TERPERANGKAP PADA KANTONGSEMAR(Nepenthes spp.) Di KAWASAN KAMPUS UIN SUSKA RIAU Oleh: Zakaria 11082100687 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
Lebih terperinciOverlay. Scoring. Classification
Contributor : Doni Prihatna Tanggal : Oktober 2009 Posting : Title : Kajian Ekosistem Pulau Kalimantan Peta-peta thematic pembentuk ekosistem Pulau Kalimantan : 1. Peta Ekosistem Region (Ecoregion) 2.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam
Lebih terperinciKERAGAMAN SEMUT PADA AREAL PEMUKIMAN DALAM HUTAN LINDUNG SIRIMAU KOTA AMBON
KERAGAMAN SEMUT PADA AREAL PEMUKIMAN DALAM HUTAN LINDUNG SIRIMAU KOTA AMBON ISSN : 1907-7556 Fransina Sarah Latumahina, 1) Musyafa, Sumardi, 2) Nugroho Susetya Putra 3) Email : fransina.latumahina@yahoo.com
Lebih terperinci