BAB II LANDASAN TEORI. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang
|
|
- Doddy Agusalim
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) a. Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang ditandai autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ (Suarjana, 2014), juga ditandai respon imun hiperaktif dan produksi abnormal autoantibodi yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan organ (Sawla et al., 2012). Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), SLE adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis luas dan perjalanan penyakit yang beragam. b. Epidemiologi Insiden tahunan SLE di Inggris 4.91 per penduduk dengan prevalensi meningkat dari tahun 1999 sebesar per penduduk menjadi per penduduk pada tahun Kejadian SLE pada wanita 6 kali lipat dibandingkan pria (Rees et al., 2014). Laporan serupa dari Buenos Aires, prevalensi SLE sebesar 58.6 per penduduk dengan kejadian pada wanita 4 kali lipat dibandingkan pria (Sconik et al., 2014). Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dilaporkan kasus SLE 1.4% dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sedangkan di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010 (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
2 9 Data pasien SLE di RS dr. Moewardi Surakarta tahun 2011 adalah 2,75% dari seluruh kunjungan pasien Poli Reumatologi (Adnan, 2012). c. Imunopatogenesis Etiologi SLE meliputi faktor genetik dan faktor lingkungan dengan jenis kelamin wanita sangat kuat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor tersebut memicu kerusakan ireversibel toleransi imunologis yang bermanifestasi pada respon imun terhadap antigen inti endogen (Bertsias et al., 2012). SLE ditandai dengan hilangnya self-tolerance secara global dengan aktivasi sel T autoreaktif dan sel B yang menyebabkan produksi autoantibodi patogen dan kerusakan jaringan. Mekanisme imun innate berperan penting terhadap respon imun adaptif abnormal pada SLE (Choi et al., 2012). Gangguan mekanisme regulasi imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun berperan penting dalam perkembangan SLE. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya antigenic load, bantuan sel T berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respons imun dari T helper 1(Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik (Suarjana, 2014; Musai, 2010). Faktor genetik, lingkungan, hormonal, epigenetik, dan imunoregulasi berperan secara berurutan dan simultan pada sistem imun. Faktor-faktor tersebut berinteraksi sehingga muncul autoantibodi, kompleks imun, sel T autoreaktif, dan sitokin-sitokin inflamasi yang dapat mengawali dan memperkuat inflamasi serta kerusakan berbagai organ. Organ target yang terpengaruh dirusak lebih lanjut oleh faktor lokal seperti pada gambar 1 (Tsokos, 2011).
3 10 Gambar 1. Ikhtisar patogenesis SLE (Tsokos, 2011) Aktivasi sel T dan sel B memerlukan stimulasi gen spesifik. Bahan kimia yang iritatif seperti pristan, DNA, dan fosfolipid dinding sel bakteri, antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-dna pada mencit. Selain itu self antigen seperti kompleks protein-dna dan protein-rna dapat menginduksi produksi autoantibodi. Antigen lingkungan dan self antigen ditangkap oleh antigen presenting cell (APC) atau diikat oleh antibodi pada permukaan sel B. APC dan sel B memproses antigen menjadi peptida kemudian menyajikannya pada sel T melalui molekul HLA (Human Leukocyte Antigen) permukaan sel. Sel T aktif ini akan merangsang sel B memproduksi autoantibodi yang patogenik. Selain stimulasi kontak, interaksi APC, sel T dan sel B difasilitasi oleh berbagai sitokin dan membutuhkan molekul tambahan seperti sistem CD40/CD40L dan B7/CD28/CTLA4 untuk menginisiasi sinyal kedua (Mok dan Lau, 2003).
4 11 Perkembangan SLE terjadi dalam beberapa tahap. Terdapat periode waktu panjang sejak predisposisi sampai dengan autoimunitas yang dipengaruhi oleh kecenderungan genetik, jenis kelamin dan paparan lingkungan, kemudian sebagian kecil akan berkembang menjadi autoantibodi yang biasanya mengawali gejala klinis dalam periode bulan sampai dengan tahun. Sebagian individu dengan autoantibodi berkembang menjadi SLE secara klinis, dimulai dengan keterlibatan sejumlah kecil sistem organ, pemeriksaan laboratorium abnormal dan akhirnya terdiagnosis SLE. Setelah beberapa tahun individu akan mengalami kekambuhan penyakit secara intermiten dan perbaikan walau tidak total, kerusakan organ, komorbiditas, inflamasi kronik (Hahn, 2013). Imunopatogenesis SLE dapat dijelaskan melalui berbagai tahapan, seperti ditunjukkan pada gambar 2. Diawali dengan stimulasi respon imun innate dan adaptif oleh autoantigen. Peningkatan produksi autoantigen selama terjadi apoptosis baik terkait dengan paparan sinar ultraviolet dan atau spontan akan merangsang sitem imun innate dan adaptif. Nukleosom mengandung ligan endogen yang dapat mengikat pathogen associated molecule pattern yang tergabung dengan blebs apoptosis yang memicu aktivasi sel dendritik untuk memproduksi interferon dan memicu sel B untuk memproduksi autoantibodi (Bertsias et al., 2012).
5 12 Gambar 2. Imunopatogenesis SLE (Bertsias et al., 2012) Sel makrofag/monosit, sel dendritik, dan sel limfosit B berproses dan mempresentasikan antigen (APC). Sel-sel pada sistem imun innate diaktifasi melalui jalur TLR (toll like receptors) oleh protein DNA atau RNA. Sel dendritik teraktivasi, berubah dari tolerogenik menjadi sel dendritik pro inflamasi yang mensekresi sitokin inflamasi (IFNα), sel makrofag/monosit mensekresi TNF-α dan IL-1, IL-12, serta IL-23. Sitokin tersebut merupakan hasil aktifasi sel T efektor yang membantu sel B membuat imunoglobulin G yang bersifat autoantibodi, menginfiltrasi jaringan dan bersifat sitotoksik. Aktifasi sel limfosit B secara langsung oleh DNA/RNA melalui jalur TLR dan IFNα, dibantu oleh sel T untuk mensekresi autoantibodi juga maturasinya menjadi sel plasma oleh BLyS (B-lymphocyte stimulator)/baff (B cell activating factor), IL-6, dan beberapa sitokin lainnya (Hahn, 2013).
6 13 Autoantibodi merupakan efektor utama pada SLE. Namun tidak cukup menimbulkan gejala penyakit, sehingga penumpukan autoantibodi di jaringan membutuhkan aktifasi sistem komplemen dan atau mediator inflamasi lainnya, serta kemotaksis limfosit dan polimorfonuklear, pelepasan sitokin, kemokin, enzim proteolitik, sehingga menyebabkan kerusakan organ (Hahn, 2013). Kompleks imun merupakan penyebab utama kerusakan jaringan pada SLE. Kompleks imun terbentuk dalam jumlah besar sebagai antibodi antinuklear yang terikat pada materi nuklear di darah dan jaringan yang tidak dapat dibersihkan dengan baik karena reseptor Fc dan komplemen berkurang dalam hal jumlah maupun fungsinya (Tsokos, 2011). Hiperaktifasi sel T dan atau sel B menyebabkan SLE dengan meningkatkan jumlah autoantibodi dan sitokin pro inflamasi (Hahn, 2013). 2. Interleukin 10 (IL-10) Sitokin berperan penting dalam patogenesis SLE. Sitokin adalah faktor terlarut yang berperan dalam diferensiasi, maturasi dan aktivasi berbagai sel imun. Sitokin juga menyebabkan respon inflamasi lokal yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan (Yap dan Lai, 2010). Pelepasan dan fungsi abnormal berbagai sitokin terjadi pada pasien SLE maupun hewan coba baik in vitro maupun in vivo. Sitokin-sitokin tersebut dapat memiliki efek pro inflamasi maupun anti inflamasi, atau keduanya tergantung pada lingkungan spesifiknya (Su et al., 2012). IL-10 merupakan sitokin imunoregulasi yang berperan penting dalam reaksi imun dan inflamasi. IL-10 adalah penghambat kuat aktivasi sel monosit, dendritik dan makrofag sehingga menurunkan produksi mediator proinflamasi termasuk sitokin dan kemokin, molekul adesi dan asesori sehingga mengurangi stimulasi sel T (Beebe et al., 2002). Target utama IL-10 pada sel-sel imun adalah APC dan limfosit. IL-10
7 14 menghambat kapasitas APC dari monosit dan makrofag dengan melakukan down regulasi MHC II, molekul kostimulasi dan adesi, juga menghambat produksi IFNγ dari limfosit T sehingga menghambat secara langsung proliferasi sel T CD4+ dengan akibat merusak respon imun seluler dan terjadi ketidakseimbangan Th1/Th2 (Su et al., 2012). IL-10 merupakan kofaktor kuat proliferasi sel B yang diaktifkan oleh anti IgM, CD40 dan memicu produksi imunoglobulin oleh sel B. Kultur sel B teraktifasi dalam jangka waktu lama dengan adanya IL-10 menyebabkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Paparan dalam waktu lama oleh IL-10 juga menyebabkan modulasi fungsi dan fenotip monosit dan sel T. Pada gambar 2 di bawah ini, IL-10 menghambat fungsi sel monosit dan sel dendritik namun menstimulasi aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel B (Beebe et al., 2002; Saxena et al., 2014). Namun IL-10 juga dapat diproduksi oleh sel B. Sel B dapat berfungsi sebagai regulator positif dan negatif dalam respon imun. Regulasi positif pada sistem imun adalah dengan membentuk antibodi spesifik terhadap antigen dan memicu aktivasi sel T optimal. Regulasi negatif terjadi dengan produksi sitokin imunomodulator, hal ini ditunjukkan oleh berbagai penelitian dengan tikus model autoimun/inflamasi. Sekresi IL-10 oleh sel B mengakibatkan menurunnya aktivasi dan fagositosis makrofag, berkurangnya produksi sitokin dan nitric oxide, pada APC menyebabkan berkurangnya presentasi antigen, berkurangnya produksi sitokin dan molekul kostimulasi, sedangkan pada sel Th menyebabkan kecenderungan terhadap Th2 dan menjauhi TH1 dan Th17 (Kalampokis et al., 2013).
8 15 Gambar 3. Efek inhibisi dan stimulasi IL 10 (Beebe et al.,2002) Pasien SLE dengan peripheral blood mononuclear cell dikultur tanpa stimulasi menghasilkan IL kali lebih banyak daripada control/orang sehat (Llorente et al., 1993). Ini berarti produksi IL-10 lebih tinggi pada pasien SLE. Sebagian besar IL-10 berasal dari monosit dan limfosit B, hanya sebagian kecil berasal dari limfosit T. Kadar serum IL-10 terbukti lebih besar 3 sampai 12 kali lipat pada pasien SLE dibandingkan kontrol sehat. Hubungan IL-10 dengan aktifitas penyakit telah dibuktikan oleh semua penelitian yang meneliti hal ini. Kadar serum IL-10 sekitar 9 kali lebih tinggi pada pasien SLE dengan penyakit aktif dibandingkan kontrol normal dan terkait dengan skor SLEDAI (Park et al., 1998). Serum IL-10 juga terkait dengan perubahan skor SLEDAI setelah pemberian terapi (Beebe et al., 2002; Wang et al., 2004; Saxena et al., 2014). 3. High Sensitivity C-Reactive Protein (hscrp) C- Reactive Protein (CRP) ditemukan pada tahun 1930 karena kemampuannya mempresipitasi polisakarida C dari Streptococcus pneumonia. CRP merupakan protein reaktan fase akut pertama ditemukan, kadarnya meningkat drastis selama proses
9 16 inflamasi atau infeksi, keganasan dan kerusakan jaringan. Tempat utama sintesis dan sekesi protein adalah hati dan jaringan lemak, sebagai respon terhadap IL-6, diproduksi terutama oleh makrofag dan adiposit. CRP meningkat di atas batas normal dalam 6 jam dan puncaknya pada sekitar 48 jam. Pasien dengan inflamasi kronik seperti SLE kadar CRP meningkat seiring dengan meningkatnya risiko kardiovaskuler (Genest, 2010). Induksi CRP pada hepatosit diatur oleh IL-6 melalui aktivasi faktor transkripsi STAT3, Rel protein (NFκB) (Black et al., 2004). CRP yang beredar dalam sirkulasi melakukan opsonisasi bakteri dan sel-sel apoptosis, memfasilitasi klirens melalui sistem komplemen dan fagositosis yang dimediasi FcγR. Ligasi CRP dapat berperan dalam pelepasan sitokin imunomodulator oleh sel fagosit. Berbagai bukti menunjukkan serum CRP yang tertimbun pada jaringan inflamasi akan aktif secara biologis dan bersifat proinflamasi. (Rhodes et al., 2011). Gambar 4. Jalur CRP fungsional (Rhodes et al., 2011)
10 17 Penelitian baru-baru ini dengan menggunakan hscrp menunjukkan pada sebagian besar pasien SLE terjadi peningkatan hscrp selama proses perjalanan penyakit terlepas dari adanya infeksi akut secara bersamaan. Peningkatan CRP juga terkait dengan keterlibatan muskuloskeletal, pulmonal dan ginjal pada SLE. (Lee, 2008). Pemeriksaan CRP standar dan hscrp hanya berbeda pada kalibrasi alat, sehingga semua laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan CRP standar juga dapat melakukan pemeriksaan hscrp (Genest, 2010). hscrp adalah teknik yang digunakan untuk mendeteksi kadar CRP yang lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan CRP standar (Rezaiyeyazdi et al., 2011). Pemeriksaan CRP konvensional mengukur kadar lebih dari 3 mg/l sedangkan hscrp dapat mendeteksi CRP pada kadar 0,3 mg/l (Mok et al., 2013). Beberapa penelitian menyebutkan batas kadar CRP 5-6 mg/dl, bila lebih dari batas tersebut dicurigai terdapat infeksi. Kadar hscrp signifikan lebih tinggi pada pasien SLE dengan kerusakan organ dibanding tanpa kerusakan organ (Lee et al., 2008).) Kadar hscrp lebih dari 5 mg/dl terkait dengan infeksi akut dengan spesifitas 80%, bila hscrp 6 mg/dl spesifitas 84% (Firooz et al., 2011). Kadar serum hscrp dipengaruhi oleh faktor usia, ras, infeksi, indeks massa tubuh, keganasan, kejadian kardiovaskuler dan obat. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kadar CRP meningkat pada pasien SLE terutama ketika diperiksa dengan metode high sensitivity. (Rezaiyeyazdi et al., 2011; Lee et al., 2008). Peningkatan kadar CRP tidak terlalu tinggi pada pasien SLE dengan penyakit aktif tanpa tanda infeksi (Firooz et al., 2011). Kadar hscrp meningkat pada pasien SLE dibandingkan kontrol normal tanpa dipengaruhi aktifitas penyakit, penanda laboratorium dan keterlibatan organ lain. Hasil penelitian tersebut sama dengan penelitian oleh Barnes, Karadag dan Williams
11 18 (Rezaiyeyazdi et al., 2011; Lee et al., 2008). Terdapat hubungan antara hscrp dengan aktifitas penyakit SLE (Lee et al., 2008). Kadar hscrp terkait dengan kerusakan pulmonal dan sistem endokrin juga menunjukkan hubungan signifikan hscrp dengan risiko kardiovaskuler pada pasien SLE (Mok et al., 2013). 4. Mencit Model Lupus Mencit BALB/c yang diberikan injeksi pristan menyebabkan gambaran yang memenuhi kriteria lupus yaitu artritis, ANA, anti-dsdna, anti-sm, immune complexmediated glomerulonephritis, pulmonary capillaritis (pulmonary vasculitis) dan didapatkan IFN1 pada darah perifer. Inflamasi pada perikardium dan pleura juga terjadi. Mencit dengan injeksi pristan memenuhi 4 kriteria ACR 1997 untuk penegakan SLE, yaitu anti ds DNA, artritis, lupus nefritis, dan vaskulitis. Seperti SLE pada manusia, SLE pada mencit juga cenderung terjadi pada mencit betina (Reeves et al., 2009). Mencit Balb/c yang diberikan injeksi minyak hidrokarbon (pristan) 0,5 ml secara intraperitoneal, menunjukkan bahwa mencit normal dapat mengalami sindrom autoimun seperti lupus. Penelitian ini menunjukkan bahwa pristan dapat memicu apoptosis in vitro dan in vivo. Pristan menghentikan pertumbuhan sel dan memicu kematian sel secara apoptosis melalui jalur mitokondria dengan aktivasi caspase. Terbentuknya autoantigen inti yang dipicu oleh pemberian pristan tersebut sehingga terjadi apoptosis sel-sel limfoid di dalam kavum peritoneal akan memulai perkembangan autoimunitas (Calvani et al., 2007). Pristan (Tetramethylpentadecane/TMPD) merupakan alkalin isoprenoid yang ditemukan pada tumbuhan dan organisme laut (alga, plankton) yang dapat menginduksi SLE pada hewan bila diberikan secara intraperitoneal. Pristan dapat memicu autoantibodi dan manifestasi klinis SLE (Calvani et al., 2007). Injeksi pristan
12 19 intraperitoneal pada mencit BALB/c akan menyebabkan glomerulonefritis, arthritis, ANA dan berbagai autoantibodi lupus seperti anti-dsdna dan anti-sm. Produksi autoantibodi karena pristan ini melalui jalur signal IFN 1 yang merupakan mediator kunci SLE dan menghubungkan respon imun innate dan adaptif. Peningkatan IFN 1 terjadi pada pasien SLE dan diketahui sejak 30 tahun lalu (Reeves et al., 2009). Gambar 5. Struktur kimia pristan (2,6,10,14-tetramethylpentadecane) (Reeves et al, 2009) Imunoglobulin G antoantibodi yang diinduksi pristan berhubungan dengan SLE, dengan target komponen inti sel yaitu ds DNA, single-stranded DNA, kromatin, Sm, RNP dan ribosomal P. Pristan memicu produksi IFNα dan IFNß oleh monosit imatur (Ly6Chi). Injeksi pristan intrapritoneal memicu produksi MCP-1 (CCL2), suatu kemokin yang menginduksi produksi IFN 1 dan menyebabkan keluarnya monosit imatur dengan penanda permukaan sel CD11b, Ly6Chi, Mac-3, F4/80, dan CCR2 dari sumsum tulang menuju kavum peritoneum. Gambar 6 menunjukkan mekanisme pristan dalam menginduksi lupus (Reeves et al., 2009).
13 20 Gambar 6. Mekanisme pristan menginduksi lupus (Reeves et al., 2009) 5. Secretome sel punca mesenkimal Sel punca adalah sel tubuh yang memiliki kemampuan istimewa memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain, sehingga dapat membentuk jaringan dan organ (Hui et al., 2011). Sel punca mesenkimal adalah prototipe sel punca dewasa yang mempunyai kapasitas memperbarui diri dan berdiferensiasi dengan jaringan distribusi yang luas (Williams dan Hare, 2011). Sel punca mesenkimal diidentifikasi di sumsum tulang dan dapat dimurnikan dari berbagai jaringan seperti adiposa (Madrigal et al., 2014), jantung (Hoogduijn et al., 2007), Wharton 's jelly tali pusat (Chao et al, 2008), darah perifer (He et al., 2007), darah haid (Meng et al., 2007) dan vili korionik (Yang et al., 2013). Pada mencit dewasa, sel punca mesenkimal dapat diisolasi dari hampir semua tipe jaringan seperti otak, limpa, hati, paru, sumsum tulang, otot, timus, aorta, vena cava dan
14 21 pankreas (Williams dan Hare, 2011). Sel tersebut dapat dikembangkan luas secara in vitro untuk digandakan sampai 50 sel tanpa diferensiasi (Carrion dan Figueroa, 2011). Sel punca mesenkimal dapat menghindar dari pengenalan sel T, menekan respon sel T terhadap mitogen dan memperpanjang survival skin graft pada babon. Ini ditemukan pada penelitian oleh Bartholomew tahun Meskipun memiliki efek imunomodulasi yang beragam dan kemudian terbukti mempengaruhi limfosit T dan B, natural killer dan APC, sel punca mesenkimal bersifat hipoimunogenik (Carrion dan Figueroa, 2011). Sel punca mesenkimal menghasilkan sejumlah besar faktor yang disekresikan seperti sitokin, kemokin dan growth factor yang memediasi beragam fungsi melalui signal antara berbagai tipe sel. Di dalam niche, sel punca mesenkimal mengendalikan survival, proliferasi dan diferensiasi sel punca, juga berperan dalam regenerasi jaringan baik secara lokal maupun jarak jauh. Mediator terlarut tersebut dapat bertindak secara langsung, memicu mekanisme intraseluler pada sel yang cedera atau secara tidak langsung memicu sekresi mediator aktif oleh sel-sel di sekitarnya (Maumus et al., 2013). Aktivitas memodulasi penyakit oleh sel punca mesenkimal karena produk yang disekresikan oleh sel punca tersebut (Madrigal et al., 2014). Efek parakrin ini pertama kali diamati pada mencit model penyakit jantung, sel punca mesenkimal sumsum tulang disuntikkan ke dalam infark jantung tidak berdiferensiasi menjadi kardiomiosit secara fisiologis dalam kondisi in vivo (Murry et al., 2004). Sel punca mesenkimal yang diberikan injeksi intravena, sebagian sel punca tersebut didapatkan di paru-paru dan jantung dan hanya sebagian kecil memasuki jaringan patologi yang rusak di jantung (Wang et al., 2012). Efek anti-inflamasi dan pengurangan ukuran infark jantung merupakan akibat dari sekresi sel punca (Lee et al., 2009). Pada mencit model kandung
15 22 kemih hiperaktif, sel punca mesenkimal tidak tertanam ke dalam kandung kemih yang rusak, tetapi meningkatkan ekspresi gen sel (Song et al., 2014). Penelitian eksperimental dan uji klinis telah membuktikan bahwa manfaat sel punca mesenkimal sebagian besar bergantung pada faktor pertumbuhan dan sitokin, bukan karena transplantasi sel (Gallina et al., 2015). Faktor regulasi yang disekresikan oleh sel punca messenkimal meliputi faktor pertumbuhan, sitokin dan kemokin. Sel punca mesenkimal tidak hanya mensekresi faktor regeneratif namun juga faktor akibat respon terhadap stimulus. Kondisi hipoksia, penambahan rangsang inflamasi, dan penumbuhan sel kultur dalam bidang 3 dimensi akan merangsang sekresi dari faktor terapi sesuai yang diharapkan (Madrigal et al., 2014). Gambar 7. Pemberian sistemik sel punca mesenkimal menimbulkan efek jauh / lokal (Madrigal et al., 2014) Sel punca mesenkimal yang diberikan kondisi hipoksia akan mensekresi berbagai mediator terapeutik parakrin. Kondisi tersebut menyebabkan keluarnya VEGF,
16 23 Fibroblast Growth Factor 2 (FGF-2), Hepatocyte Growth Factor (HGF), Insulin like Growth Factor-1 (IGF-1) melalui jalur NFκB. Kondisi hipoksia akan menstimulasi peningkatan produksi growth factor dan molekul-molekul antiinflamasi (Madrigal et al., 2014). Medium terkondisi hipoksia dari sel punca mesenkimal sumsum tulang dapat memperbaiki fungsi neurologis pada tikus model jejas traumatik otak secara signifikan lebih baik daripada penggunaan medium terkondisi normoksia (Chang et al., 2013). Efek potensial antiinflamasi/imunomodulasi secretome juga tampak pada penelitian klinis yang menunjukkan manfaatnya dalam menghambat graft versus host disease (Madrigal et al., 2014). Pemberian secara sistemik sel punca mesenkimal akan menimbulkan efek jauh atau efek lokal (parakrin) meliputi angiogenesis, diferensiasi dan pertumbuhan sel, hambatan fibrosis dan hambatan apoptosis. Efek imunomodulasi yaitu : supresi sel T dan sel B, diferensiasi sel T, inhibisi sel NK, inhibisi maturasi sel dendritik, seperti ditunjukkan gambar 6 (Carrión dan Figueroa, 2011). VEGF merupakan modulator kunci angiogenesis, proliferasi sel endotel dan migrasi, kemotaksis, dan permiabilitas kapiler, yang diregulasi dalam sejumlah kondisi fisiologis dan patologis yang berhubungan dengan hipoperfusi dan/atau hipoksia. VEGF bekerja sebagai molekul anti-apoptosis dengan menekan p53 yang dimediasi apoptosis oleh aktivasi FAK (focal adhesi kinase), dan juga dengan mempromosikan Bcl-2 dan A1 (Tachi et al., 2008). HGF dapat bekerja sebagai imunomodulator. Sel dendritik yang diberikan HGF dapat menurunkan kemampuan sel dendritik untuk memicu inflamasi oleh sel Th1 melalui blokade ekspresi molekul ko-stimulator seperti CD80 dan CD86. Penelitian lain menunjukkan pemberian HGF secara in vivo melindungi terhadap penyakit autoimun seperti ensefalomyelitis autoimun dan collagen induced arthritis melalui stimulasi T-reg
17 24 yang memproduksi sitokin imunosupresif IL10 (Madrigal et al., 2014). Mekanisme HGF sebagai anti apoptotis dengan menghambat peningkatan jumlah sel B, ekspresi MHC kelas II oleh sel B dan IgG serum serta anti-dna. terapi HGF akan menurunkan ekspresi IL4, ekspansi sel B, dan produksi autoantibodi. Sehingga terapi HGF ini menghambat penyakit lupus dengan inhibisi pada sel Th2. Mekanisme HGF menghambat Th2 masih belum diketahui secara pasti. Mekanisme yang mungkin adalah HGF menekan ekspresi MHC kelas 2 oleh sel B sehingga mengurangi presentasi APC ke sel T CD4+. (Kuwoira et al., 2006). Mekanisme lain adalah menekan sel dendritik, induksi fenotip sel CD4+ yang memproduksi IL-10 dan TGF β (Okunishi et al., 2007). Pengaruh HGF yang dihasilkan oleh sel punca mesenkimal bersifat multifungsional dan merupakan kombinasi dari angiogenesis, imunomodulasi, dan proteksi terhadap apoptosis (Madrigal et al., 2014).
18 25 B. Kerangka berpikir mitokondria TNF α secretome pristan MyD88 NFKB TLR9 makrofag IL 1B Apoptosis jalur ekstrinsik ekstrinsikekstrinsik Sel limfoid Sumsum tulang leukositosis PMN E selectin Pembuluh darah TLR9 IL 6 TNFα IL 8 TNFα Complemen Th1 IFN-1 IL 10 Apoptotik body TLR7 Monosit Ly6Chi Th0 IL 6 Th2 TGF β hepatosit secretome Sel B autoreaktif Sel Plasma Autoantibodi MMP 9 hscrp Sel mesangial ginjal ECM Kolagen tipe IV Fibroblas ECM Kolagen tipe I Degradasi kolagen Glomerulosklerosis Fibrosis interstitial Mikroalbuminuria
19 26 Keterangan : : mengaktifkan/meningkatkan : menghambat : efek menurunkan dari secretome : efek meningkatkan dari SLE : variabel tergantung : variabel bebas Keterangan bagan kerangka konseptual : Injeksi intraperitoneal pristan pada mencit normal akan menyebabkan manifestasi klinis SLE. Hal ini diawali dengan terpicunya produksi MCP-1 (CCL2), suatu kemokin yang menyebabkan keluarnya monosit imatur dan merangsang molekul adaptor MyD88 dan memicu apoptosis sel-sel limfoid (Reeves et al., 2009) secara in vivo dan in vitro melalui mekanisme aktifasi caspase jalur mitokondria (Calvani et al., 2007). Apoptotic body akan dikenali oleh TLR7 sebagai autoantigen. Rangsangan endosomal TLR 7 akan merangsang monosit imatur yang mengekspresikan Ly6Chi pada permukaannya dan menyebabkan transkripsi gen IFN-1 sehingga terjadi produksi IFN-1 (Reeves et al., 2009). Autoantigen yang terbentuk dari inti sel limfoid yang mengalami apoptosis dalam kavum peritoneum disertai gangguan milieu sitokin menyebabkan autoimunitas (Calvani et al., 2007). IFN-1 yang terbentuk akan berikatan dengan reseptornya IFNAR dan menyebabkan aktifasi respon imun innate dan adaptif (Reeves et al., 2009). IFN-1 akan mengaktifkan dari sel T autoreaktif, mempercepat maturasi sel B dan produksi autoantibodi dan maturasi sel dendritik (Rottman dan Willis, 2010). IL-10 dan IL-6 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang dapat memicu pembentukan antibodi (Chun et al., 2007). Mekanismenya melalui fungsi maturasi sel B menjadi sel plasma sehingga memicu sekresi immunoglobulin (Yap dan Lai, 2010). IL-10 juga dapat diproduksi oleh sel B. Sel B dapat berfungsi sebagai regulator positif dan negatif dalam respon imun. Regulasi positif pada sistem imun adalah
20 27 dengan membentuk antibodi spesifik terhadap antigen dan memicu aktivasi sel T optimal (Kalampokis et al., 2013). IL-6 akan menginduksi CRP pada hepatosit melalui aktivasi faktor transkripsi STAT3, Rel protein (NFκB) (Black et al., 2004). CRP menyebabkan disfungsi endotel yang berakibat aterosklerosis sehingga lumen pembuluh darah menjadi sempit dan terjadi hipoksia sehingga metabolisme aerob berkurang yang menyebabkan produksi ATP berkurang sehingga metabolisme pompa natrium intrasel kurang aktif dan natrium tidak dapat keluar ke interseluler yang mengakibatkan retensi air dan edema sel sehingga sel mengalami onkosis di glomerulus dan terjadi kerusakan sel-sel glomerulus dengan manifestasi albuminuria (Vallance dan Leiper, 2004; Zoccali et al., 2004; Robbins dan Cotran, 2005). CRP dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik (Ji et al., 2006). Adanya autoantigen, antibodi dsdna bersama dengan sistem komplemen akan menimbulkan kompleks imun, jika mengendap di target organ akan menyebabkan kerusakan organ (Banchereau dan Pasqual, 2006). HGF yang diproduksi oleh sel punca mesenkimal dalam kondisi hipoksia akan menurunkan ekspansi sel B dan produksi autoantibodi sehingga menghambat penyakit lupus dengan inhibisi pada sel Th2. Mekanisme HGF menghambat Th2 masih belum diketahui secara pasti. Mekanisme yang mungkin adalah HGF menekan ekspresi MHC kelas II oleh sel B sehingga mengurangi presentasi APC ke sel T CD4+. (Kuwoira et al., 2006) Mekanisme HGF yang lain adalah menekan sel dendritik, induksi fenotip sel CD4+ yang memproduksi IL-10 dan TGF-β (Okunishi et al., 2007). HGF dapat bekerja sebagai imunomodulator. Sel dendritik yang diberikan HGF dapat menurun kemampuannya untuk memicu inflamasi oleh sel Th1 melalui blokade ekspresi molekul ko-stimulator seperti CD80 dan CD86 (Madrigal et al., 2014). C. Hipotesis Penelitian
21 28 1. Ada pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-10 pada mencit model lupus dengan induksi pristan. 2. Ada pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap kadar hscrp pada mencit model lupus dengan induksi pristan.
BAB 2 LANDASAN TEORI. banyak sistem organ (Mocarzel et al., 2015) (Suarjana, 2014), serta respon
6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2.1.1.1. Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks ditandai dengan autoantibodi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan
Lebih terperinciCATATAN SINGKAT IMUNOLOGI
CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Analisis Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pemberian secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-6 dan kadar mikroalbuminuria
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.
Lebih terperinciMekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang
Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO
Lebih terperinciIMUNITAS HUMORAL DAN SELULER
BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi
Lebih terperinciBAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur
BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,
Lebih terperinci7.2 CIRI UMUM SITOKIN
BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala
Lebih terperinciRespon imun adaptif : Respon humoral
Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara
Lebih terperinciBAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN
BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam
Lebih terperinciSEL SISTEM IMUN SPESIFIK
SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan
Lebih terperinciGASTROPATI HIPERTENSI PORTAL
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos
Lebih terperinciserta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada
4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik adalah salah satu penyebab kematian utama karena merokok (Barnes PJ., 2007). PPOK merupakan masalah kesehatan global yang menjadi penyebab
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan
Lebih terperinciImmunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age
Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh
Lebih terperinci2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut
TUGAS IMUNOLOGI DASAR TUGAS I : CELLS AND TISSUE IN THE IMMUNE SYSTEM 1 Sebutkan jaringan dan sel yang terlibat dalam system imun Jaringan yang terlibat dalam system imun adalah : a. Primer Bone Marrow
Lebih terperinciFAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS
FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit
Lebih terperinciFISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed
FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama kehamilan, wanita dihadapkan pada berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, salah satunya adalah abortus. Abortus adalah kejadian berakhirnya kehamilan secara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh
Lebih terperinciMigrasi Lekosit dan Inflamasi
Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Lupus Erimatosus Sistemik a. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti
Lebih terperinciMEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA
MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay
Lebih terperinciMENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS
MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda
Lebih terperinciBAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga
54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon
Lebih terperinciMATURASI SEL LIMFOSIT
BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)
BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan
Lebih terperinciSOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006
SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,
Lebih terperinciTahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik
Tahapan Respon Sistem Imun 1. Deteksi dan mengenali benda asing 2. Komunikasi dengan sel lain untuk merespon 3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon 4. Destruksi atau supresi penginvasi Respon Imune
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsumsi rokok sudah menjadi gaya hidup baru bagi masyarakat di seluruh dunia. Menurut laporan WHO yang ditulis dalam Tobacco Atlas tahun 2012, konsumsi rokok terus
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini insiden kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola hidup
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada
Lebih terperinciBAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS MN / PMN LPS. NLRP3 ASC Adaptor protein OLIGOMERASI INFLAMMASOME. IL-1β SEPSIS SURVIVAL
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Konseptual dan Hipotesis LPS CD14 TLR 4 TRAF poliubikuitinisa IKK MN / PMN LPS EKSTRA SEL SITOSOL Degradasi IKB NFƙB aktif Migrasi ke dalam nukleus NLRP3
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang, akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penurunan sistem imun dapat menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Murphy et al.,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sel punca sendiri merupakan sel yang mampu mereplikasi dirinya dengan cara beregenerasi, mempertahankan, dan replacing akhir diferensiasi sel. (Perin, 2006). Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kim et al., 2009). Tuberkulosis pada umumnya terjadi di paru-paru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular utama di sebagian wilayah Indonesia seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. World Malaria Report - 2008,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus dan parasit. Sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh karena meningkatnya populasi kematian usia produktif di banyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Vitiligo merupakan suatu gangguan pigmentasi, ditandai dengan adanya depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya fungsi melanosit epidermis
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Data World Heart Organization menunjukkan bahwa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari
14 BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tantangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat mengakibatkan stres pada manusia(garciá et al., 2008). Organ yang berperan penting dalam respon terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang
Lebih terperinciBAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah
BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hiperglikemia merupakan manifestasi penyakit diabetes mellitus (DM). Pada saat ini prevalensinya makin meningkat di negara maju. Penyakit ini menempati peringkat empat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat. Pada jaman sekarang banyak obat herbal yang digunakan sebagai alternatif
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap jejas yang terjadi dalam tubuh manusia. Inflamasi, bila terjadi terus menerus dalam waktu lama maka merupakan salah satu faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga
Lebih terperinciAUTOIMUNITAS. Apabila terdapat ganggguan autoimunitas, maka terjadi ketidak seimbangan sistem imun dimana sel T dan sel B dapat menjadi
AUTOIMUNITAS Autoimunitas dan penyakit autoimun sebenarnya merupakan dua istilah yang berbeda. Autoimunitas merupakan suatu keadaan dimana sel limfosit tiba-tiba aktif sendiri. Autoimunitas adalah kegagalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,
Lebih terperinciACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR
ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai namun penyebab utama masih belum diketahui secara pasti. Pada penyakit ini dapat terjadi papul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan peradangan pada sinovium, terutama sendi sendi kecil dan seringkali
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), terutama di negara-negara
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) diluar kavum uterus. Terutama pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, dimana 2-3 milyar penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi TB (World Health Organization, 2015).
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk
PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai
Lebih terperinciPengobatan yang menggunakan bagian tertentu dari sistem imun untuk menyembuhkan penyakit. Sering disebut juga biologic therapy atau biotherapy.
Ika Puspita Dewi 1 Pengobatan yang menggunakan bagian tertentu dari sistem imun untuk menyembuhkan penyakit. Sering disebut juga biologic therapy atau biotherapy. Dapat dilakukan dengan : Menstimulasi
Lebih terperinciImunitas Innate dan Adaptif pada Kulit Adapted from Fitzpatrick s Dermatology in General Medicine, 8th Edition
0 Imunitas Innate dan Adaptif pada Kulit Adapted from Fitzpatrick s Dermatology in General Medicine, 8th Edition Penerjemah : Oki Suwarsa Reyshiani Johan ISBN : Halaman dan Ukuran Buku : 1-40; 18,2x25,7
Lebih terperinciSISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII
SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon
Lebih terperinci