BAB II LANDASAN TEORI
|
|
- Yenny Dharmawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Lupus Erimatosus Sistemik a. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh (Suarjana, 2014). b. Epidemiologi Angka kejadian SLE bervariasi antar negara, etnis, jenis kelamin, dan perubahan dari waktu ke waktu. Di Amerika Serikat prevalensi SLE diperkirakan sekitar 13 per , sehingga sekitar dari 300 juta orang di Amerika Serikat yang terkena SLE. Angka kejadian SLE di Eropa Utara adalah sekitar 40 per orang (Bhattacharya et al., 2011). Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia (Perhimpunan Rematologi Indonesia, 2011). c. Imunopatogenesis Berkembangnya SLE terjadi dalam serangkaian langkah (Bertias, 2012). Ada periode panjang kecenderungan untuk autoimunitas, yang dipengaruhi oleh genetik, jenis kelamin, dan paparan lingkungan, dan kemudian terjadi pengembangan autoantibodi, yang biasanya mendahului gejala klinis oleh bulan ke tahun (gambar 1). Sebagian individu dengan autoantibodi menunjukkan klinis SLE, sering dimulai dengan keterlibatan sejumlah kecil sistem organ atau nilai laboratorium abnormal, dan kemudian berkembang menjadi kelainan klinis dan laboratorium yang cukup jelas. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, sebagian besar individu dengan pengalaman klinis flare intermiten SLE dan terjadi perbaikan (biasanya tidak remisi lengkap), dan terjadi kompilasi kerusakan organ dan adanya penyakit penyerta yang berkaitan dengan predisposisi genetik, peradangan kronis, aktivasi jalur yang merusak organ (seperti tubulus ginjal), dan/atau menyebabkan fibrosis, untuk terapi, dan penuaan (Bevra, 2013).
2 Gambar 1. Perjalanan Klinis Lupus Erithematosus Sistemik (Bertias et al., 2012) Interaksi sel B dan T pada SLE memainkan peran utama dalam produksi IgG dan komplemen dalam usahanya memperbaiki antibodi autoreaktif. Hiperaktivitas sel T dan/atau sel B menyebabkan jumlah yang lebih tinggi dari autoantibodi dan sitokin proinflamasi, dan hipoaktivitas menyebabkan autoreaktivitas yang memungkinkan autoreaktif sel B dan T untuk menghindari apoptosis. Ada defek yang memungkinkan kelangsungan hidup subset sel-b autoreaktif pada SLE. Proses toleransi (apoptosis, anergi, BCR editing) yang tumpul, yang memungkinkan kelangsungan hidup dan pematangan sel B autoreaktif. Setelah sel B yang normal keluar sumsum tulang, terjadi serangkaian pemeriksaan yang biasanya menyingkirkan sel autoreaktif. Adanya defek di beberapa pos pemeriksaan tersebut pada SLE, termasuk awal maturasi sel B dan transisi B menjadi sel B matur, masuk ke pusat germinal (GCS), dan B naive untuk mengaktifkan mautrasi sel B. Normalnya, di GCS, sel B nonautoreactive bermigrasi ke daerah zona T, di mana mereka berhubungan dengan CD4 + T sel helper, yang menyebabkan aktif dan termemori, dengan switching Ig dan memproduksi sel plasma. Proses ini menghasilkan pelindung respon antibodi (Bevra, 2013). Terdapat blokade dalam SLE untuk mencegah sel-sel autoreaktif B bergeser ke zona sel T. Sehingga pada GCS ada defek toleransi yang memungkinkan bantuan sel-t untuk produksi autoantibodi yang berpotensi membahayakan. Sel B normal dan SLE juga dapat menghasilkan autoantibodi dengan switching kelas dan maturasi independen terhadap sel T, melalui aktivasi TLRs sel-b. Dalam SLE proses ini dapat ditingkatkan, mungkin oleh autoantigens. Paparan lingkungan pada sel B untuk autoantigen mungkin dipengaruhi oleh varian genetik SLE yang mempromosikan aktivasi imunitas innate dan produksi IFN tinggi oleh sel imun innate (Bevra, 2013)
3 Gambar 2. Pathogenesis Lupus Eritematosis Sistemik (Bertias, 2012) Gambar 2 pada SLE semua jalur menyebabkan asam nukleat endogen yang dimediasi produksi α interferon (IFNα). Peningkatan produksi autoantigen selama apoptosis (terkait UV dan/atau spontan), menurunnya bersihan, deregulasi penanganan dan presentasi, semuanya penting untuk inisiasi respon autoimun. Nukleosom mengandung ligan endogen berbahaya yang dapat mengikat reseptor molekul patogen terkait yang merusak apoptosis yang menyebabkan aktivasi DC dan Sel B dan produksi IFN dan autoaantibodi. Reseptor permukaan sel seperti BCR dan FcRIIa memfasilitasi endositosis asam nukleat yang mengandung bahan atau kompleks imun dan mengikat reseptor endosomal dari innate imunitas seperti TLRs. Pada tahap awal penyakit, ketika autoantibodi dan kompleks imun mungkin belum terbentuk, antimikroba peptida yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak seperti LL37 dan perangkap neutrofil ekstraseluler, mungkin mengikat asam nukleat dan menghambat degradasi dan dengan demikian memfasilitasi endositosis dan stimulasi TLR-09/07 di plasmasitoid sel dendrik (DC). Meningkatnya jumlah dari asam nukleat endogen terkait apoptosis merangsang produksi IFN dan menyebabkan autoimunitas dengan merusak toleransi melalui aktivasi dan promosi pematangan konvensional (myeloid) DC. Sel dendrik matur menyebabkan toleransi ketika DC matur yang telah aktif menyebabkan autoreaktivitas. Produksi autoantibodi oleh sel B dalam lupus didorong oleh ketersediaan antigen endogen dan sebagian besar tergantung pada bantuan sel T, yang dimediasi oleh interaksi sel
4 permukaan (CD40L/CD40) dan sitokin (IL-21). Kromatin yang mengandung kompleks imun merangsang sel B karena gabungan silang BCR/ TLRDC, reseptor sel BCR, B, FCR, Fc reseptor, UV, TLR (Bertias, 2012). 2. Interleukin 6 Interleukin 6 (IL-6) adalah sitokin pleiotropik dengan cakupan aktivitas biologis yang cukup luas. Dapat bertindak dalam endokrin, mode autokrin dan parakrin pada sel target yang beragam. Sumber utama dari IL-6 adalah monosit; fibroblas dan sel endotel, tetapi sel T, sel B, keratinosit, sel mesangial, dan beberapa sel tumor juga memproduksi IL-6. Sintesis diinduksi oleh IL-1, IL-2, tumor necrosis factor (TNF-α), dan interferon (IFN) dan dihambat oleh IL-4, IL-10 dan IL-13. Salah satu fungsi biologis yang paling penting dari IL-6 adalah kemampuannya untuk merangsang tahap final maturasi limfosit B. Di bawah pengaruh IL-6, limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma matur dan mensekresikan imunoglobulin (Ig). Selain itu, IL-6 menginduksi pertumbuhan sel T sitotoksik dan diferensiasi sel T melalui augmentasi ekspresi reseptor IL-2 dan produksi IL-2. Ini juga merupakan inducer poten dari makrofag terminal dan diferensiasi osteoklas. Interleukin 6 juga berhubungan dengan IL-1 dan TNF, termasuk induksi demam dan produksi protein fase akut seperti serum amyloid A, CRP, alpha 1 antitrypsin, fibrinogen, dan haptoglobulin. Berbeda dengan efek proinflamasi, IL-6 menengahi beberapa efek anti-inflamasi yang unik. Sedangkan baik IL-1 maupun TNFα menginduksi sintesis satu sama lain, serta IL-6 mengakhiri upregulatory kaskade inflamasi dan menghambat sintesis IL-1 dan TNF-α. Hal ini juga penting bahwa, sebagai faktor pertumbuhan sel, IL-6 dapat menginduksi proliferasi keratinosit epidermal dan sel mesangial dan memiliki peran aktif dalam mesangial glomerulonefritis proliferatif (Tackey et al, 2004).
5 Gambar 3. Peran sitokin dalam patogenesis lupus (Yap dan Lai, 2010) Stimulasi oleh IL-6 menyebabkan sel-sel progenitor uncommitted untuk mengekspresikan faktor transkripsi yang menghambat limfopoiesis dan mempromosikan myelopoiesis pada SLE (gambar 3). Mekanisme lain bagaimana IL-6 dapat mempengaruhi kelangsungan hidup sel B adalah melalui recombination activation gen (Rag) yang sangat penting untuk penyusunan kembali imunoglobulin gen V(D)J. Interleukin 6 mengekspresikan Rags dan karenanya memfasilitasi penyelamatan sel B autoreaktif dari apoptosis. Peran IL-6 juga terdapat dalam generasi autoantibodi dan pengembangan berbagai manifestasi klinis pada hewan coba. Pada pasien lupus, ditekankan kadar IL-6 berkorelasi dengan aktivitas penyakit dan kadar anti dsdna. Sel lymphoblastoid terisolasi dari subyek lupus menunjukkan kadar IL-6 yang tinggi dan IL- 6 antagonisme mengakibatkan pengurangan anti ds DNA in vitro (Yap dan Lai, 2010). Peran dominan IL-6 pada patogenesis SLE adalah untuk mempercepat produksi autoantibodi dengan mempromosikan proliferasi sel B autoreaktif. Telah diteliti dalam percobaan ex vivo bahwa sel B dari pasien lupus bisa meningkatkan kadar imunoglobulin dan blokade IL-6 secara signifikan menghapus sintesis spontan immunoglobulin, yang dipulihkan dengan pemberian IL-6 eksogen, sehingga menunjukkan peran penting dari IL-6 dalam produksi autoantibodi. Di antara berbagai subtipe Limfosit B, sel B densitas rendah bertanggung jawab untuk produksi sebagian besar autoantibodi, dan IL- 6 dapat
6 memfasilitasi sel-sel kepadatan B rendah pada pasien lupus aktif untuk membedakan langsung ke Ig-sel sekresi. Pada tingkat gen, produksi IL-6 yang menyimpang oleh sel B SLE diregulasi regulator positif recombination activating gen (RAG2), yaitu p27 (Kip1), menyebabkan SLE B sel menjadi rentan terhadap penyusunan ulang gen imunoglobulin sekunder dan produksi autoantibodi (Su et al, 2012). 3. Mikroalbuminuria Mikroalbuminuria merupakan petanda dini (marker) terjadinya disfungsi endotel secara umum meliputi pembuluh darah renal, kardial, maupun serebral. Adanya mikroalbuminuria yang secara mudah dapat diteksi lewat urin, dapat menjadi marker disfungsi endotel pembuluh darah di seluruh tubuh. Dengan mengetahui mikroalbuminuria, kita menjadi lebih dini mengetahui disfungsi endotel tersebut sehingga prognosisnya lebih baik karena disfungsi endotel tersebut masih reversibel (Weir, 2007; Loscalzo, 2009). Mikroalbuminuria sesuai dengan hukum homeostasis akan direabsorbsi oleh selsel tubulus proksimal. Mikroalbuminuria yang terus menerus akan menyebabkan sel-sel tubulus proksimal bekerja keras mereabsorbsi protein tersebut akibatnya sel-sel tubulus proksimal mengalami stresor dan akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL- 1β, IL-6 dan TGF-β1). Sitokin-sitokin tersebut akan merusak ginjal baik melalui mekanisme fibrosis, apoptosis, onkosis, maupun nekrosis (Robbins dan Cotran, 2005). Tabel 1. Klasifikasi Ekskresi Albumin Urin (Weir, 2007). Mikroalbumi Spot Urine Mikroalbumi nuria Albumin/Creatinine Ratio nuria 24 jam overnight Albumin (mg/24 jam) Gender mg/mmol mg/g (mg/24 jam) Normal <15 <10 <10 M <1.25 <10
7 F <1.75 <15 High Normal 15 to <30 10 to <20 10 to <20 M 1.25 to < to <20 Microalbuminuria Macroalbuminuria F 1.75 to < to <30 30 to < to < to <200 M 2.5 to <25 20 to <200 F 3.5 to <35 30 to <300 >300 >200 >200 M >25 >200 F >35 > Nefritis lupus Nefritis lupus terjadi ketika antibodi (antinuclear antibody) dan komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses peradangan. Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat berprogresi dengan cepat menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah. Lupus Eritematosus Sistemik menyerang berbagai struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis interstitial dan glomerulonefritis menbranosa. Nefritis lupus mengenai 2 dari 10 ribu orang. Pada anak dengan SLE, sekitar setengahnya akan mengakibatkan terjadinya progresifitas menjadi gagal ginjal. Lupus Eritematosus Sistemik paling sering terjadi pada wanita usia tahun (Lee et al., 2010). Gambar 4 menerangkan mekanisme terjadinya nefritis lupus, dari kanan atas: awal terjadinya nefritis melibatkan produksi autoantibodi terhadap self antigen diikuti oleh pembentukan kompleks imun (IC) di glomeruli. Deposisi IC menyebabkan aktivasi komplemen dan aktivasi sel ginjal intrinsik (sel mesangial (MC) dan sel endotel (EC), baik yang mengarah ke kemokin lokal dan sitokin inflamasi. Ekspresi kemokin mengarah ke influx sel inflamasi seperti limfosit dan makrofag. Gambar sebelah kiri: influx sel imun menyebabkan inflamasi interstitial serta glomeruli dan serta aktivasi EC. Aktivasi sel ginjal (MC dan podocytes) dan infiltrasi sel imun (makrofag dan sel dendritik (DC) menghasilkan nitrogen reaktif [(nitrat oksida (NO)] dan spesies oksigen reaktif (ROS). Ekspresi gabungan sitokin dan ROS menghasilkan inflamasi ginjal dan fibrosis, yang mengakibatkan kerusakan jaringan kumulatif baik di tingkat glomerular (kanan atas) dan tingkat tubular (kiri). Kanan bawah: interaksi Limfosit dan fungsi seperti ekspresi sitokin dan produksi antibodi berkontribusi terhadap inflamasi dan kerusakan dalam tubulus dan glomeruli (Nowling dan Gilkeson, 2011).
8 Gambar 4. Mekanisme terjadinya nefritis lupus. (Nowling dan Gilkeson, 2011) Terjadinya nefritis melibatkan produksi autoantibodi terhadap self antigen diikuti oleh pembentukan kompleks imun (IC) di glomeruli BCR, reseptor sel B; FCR, reseptor Fc; monosit Chemoattractant Protein-1 (MCP-1); STAT, sinyal transduser dan aktivator transkripsi; TCR, reseptor sel-t. Menurut lnternationol Society of Nephrotogy/Renal Pathology Society, gambaran histologis pada lupus nefritis dibagi menjadi 6 kelas sebagai berikut : Tabel 2.Klasifikasi histologis lupus nefritis (Dhamaizer dan Bawazier, 2014)
9 1. 5. Hewan Coba Model Lupus Tetramethylpentadecane (TMPD) atau sering dikenal dengan nama pristan merupakan zat yang berperan untuk menginduksi SLE pada hewan. Produksi
10 autoantibodi karena TMPD ini melalui jalur signallinf dari IFN 1. Sumber utama dari IFN 1 adalah monosit imatur yang mengekspresikan ly6c pada permukaannya yang diproduksi melalui jalur TLR 7 dan Myd88. Jaringan limfoid ektopik juga memproduksi autoantibodi lupus sebagai respon terhadap TMPD (Reeves et al., 2009). Pristan (TMPD) adalah alkalin isoprenoid yang ditemukan dalam jumlah kecil di beberapa tanaman. Pristan berasal dari metabolisme phytol, suatu ester klorofil. Pristan banyak terdapat pada alga dan plankton yang dapat merubah phytol menjadi pristan. Selain itu minyak mentah yang didapatkan dari proses penyulingan yang mengandung rantai cabang parafin, naphtene, dengan 15 atau lebih karbon dengan titik uap antara ºC dapat menghasilkan pristan (Reeves et al, 2009). Penelitian untuk membuat mencit model lupus, dapat menggunakan injeksi tunggal 0,5 ml pristan intraperitoneal (Chowdhary et al., 2007). Injeksi TMPD intraperitoneal pada mencit Balb/C akan menyebabkan respon inflamasi lokal (lipogranuloma), dan atritis (Satoh et al., 1994). Injeksi pristan akan menginduksi terjadinya aktivasi NF β yang berada pada makrofag intraperitoneal untuk memproduksi sitokin proinflamasi. Sitokin IL-6 akan menginduksi endotelin, endotelin akan mengaktifkan NADPH dan terbentuklah ROS. Selain itu, TNF-α juga akan mengaktifkan NADPH untuk membentuk ROS. Mekanisme aksi adjuvant minyak hidrokarbon murni masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Hal penting yang mungkin berkontribusi terhadap patogenesis adalah induksi sitokin inflamasi oleh minyak hidrokarbon. Injeksi intraperitoneal minyak hidrokarbon dilaporkan menginduksi ekspresi sitokin proinflamasi IL-12, IL-6, dan TNF. Selanjutnya, pristan dan heksadekana memicu pelepasan sitokin inflamasi IL-1α dan IL- 1β oleh mekanisme inflammasome-independent dan dependent. Peningkatan kadar serum IL-1α, IL-1β juga dijelaskan dalam darah perifer tikus setelah stimulasi dengan pristan. IL-1 dan inflammasome yang penting dalam penyakit autoimun biasanya dipicu oleh minyak hidrokarbon (Boeltz et al., 2013). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bortezumib inflammasome inhibitor mencegah lupus nefritis pada mencit model lupus. Selanjutnya, mencit yang kekurangan caspase 1, enzim pusat dari inflammasome, dilindungi terhadap pembentukan autoantibodi dan glomerulonefritis pada pristan-induced lupus (Satoh et al., 2000). Mekanisme selanjutnya mungkin induksi kematian sel dan akumulasi sel-sel mati. Pristan memiliki efek sitotoksik tergantung dosis dan jenis sel dan dilaporkan
11 menginduksi kematian sel in vitro dan in vivo. Pada tikus, pristan menginduksi apoptosis melalui jalur mitokondria. Selain itu, Fas tampaknya terlibat, karena injeksi pristan meregulasi ekspresi Fas dan Fas-L dalam sel peritoneal dan baris sel, dan Fas atau Fas- L tikus kekurangan dilindungi dari PIL. Pristan juga menginduksi kematian sel dengan cara yang berbeda pada tikus dan sel manusia. Injeksi pristan ke tikus memicu apoptosis pada pengeringan kelenjar getah bening inguinal dan meningkatkan jumlah sirkulasi sel apoptosis dan nekrosis. Ada juga bukti pristan yang akan tergabung dalam membran sel dan karena itu dapat memiliki pengaruh yang merugikan pada membran integritas (Boeltz et al., 2013). Pristan pada kadar lebih rendah, demikian pula hexadane, menginduksi pembentukan perangkap neutrofil ekstraseluler (NETs) pada neutrofil polimorfonuklear dari darah manusia, tikus, dan mencit. Hal Ini merupakan temuan penting, karena NETs telah terlibat dalam patogenesis lupus Peptida antimikroba (AMP) seperti cathelicidins berhubungan dengan NETs dan mampu mengikat asam nukleat, melindungi dari degradasi oleh nucleases, dan meningkatkan serapan ke TLR yang mengandung endosomes yang mungkin berkontribusi pada patogenesis SLE (Garcia et al., 2011) dan arthritis (Hoffman et al., 2013). Selain itu, pasien SLE sering memperlihatkan tanda pengaruh neutrofil, dan neutrofil dapat berkontribusi untuk SLE dan juga untuk arthritis melalui berbagai mekanisme, misalnya, produksi mediator inflamasi, pelepasan proteinase yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan cedera jaringan, dan produksi dari AMP yang meningkatkan imunogenisitas dari kompleks imun ( Boeltz et al., 2013).
12 Gambar 5. Mekanisme pristan menginduksi lupus pada mencit. (Boeltz et al., 2013) Mekanisme injeksi pristan menginduksi lupus pada mencit dijelaskan pada gambar 5, dimana penyerapan autoantigen yang dihasilkan oleh kematian sel yang berkelanjutan dalam pengaturan lingkungan inflamasi dan kekurangan clearance pada lokasi paparan minyak hidrokarbon (pristan) dapat menyebabkan meningkatnya dan menyimpangnya presentasi autoantigen. Signalling dari TLRs dan induksi IFN tipe I tampaknya sangat penting Faktor lain yang disebabkan oleh pristan adalah HMGB1 alarmin. HMGB1, yang dirilis selama kematian sel dan/atau dari sel-sel kekebalan yang diaktifkan setelah paparan pristan, dapat berkontribusi untuk induksi autoantibodi anti nuklear dan munculnya gambaran lupus. Lingkaran yang ditetapkan oleh proses ini akhirnya menghasilkan rusaknya toleransi dan berkembangnya manifestasi lupus atau penyakit rematik autoimun (Boeltz et al., 2013). 6. Sel Punca a. Definisi Sel Punca adalah sel tubuh manusia dengan kemampuan istimewa memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri (self regenerate/self renewal) dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain (Permenkes, 2012). Sel punca atau dikenal stem cell mempunyai 2 sifat, yaitu kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel lain (differentiate). Dalam hal ini stem cell mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel
13 mature, misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas, dan lain-lain. Dan kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri (selfregenerate/self-renew). Dalam hal ini sel punca dapat membuat salinan sel yang persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel (Watt dan Ryan, 2010). b. Jenis-jenis sel punca Berdasarkan sumbernya sel punca dibagi menjadi 2 yaitu (Saputra, 2008): i. Sel punca embrional ii. Sel punca dewasa Berdasarkan klasifikasinya sel punca dibedakan menjadi 4 (Hakim et al, 2008): i. Totipoten ii. Pluripoten iii. Multipoten iv. Unipoten a. Sumber Sel punca bisa didapat dari berbagai sumber (Reznick et al., 2008), yaitu: Transplantasi sel punca dari sumsum tulang, jaringan adipose, darah tali pusat, cairan ketuban, induced pluripotent, gigi, zigot, fetus. b. Klasifikasi sel punca Berdasarkan tipe sel yang dihasilkan, sel punca dapat dikelompokan menjadi: i. Sel punca hematopoetik Sel punca hematopoetik dalam perkembangannya dapat menghasilkan sel pembentuk darah. Sel tipe hematopoetik merupakan tipe sel punca yang sejak lama telah digunakan dalam terapi keganasan darah (leukemia). Strategi terapi ini memungkinkan dilakukannya kemoterapi dosis tinggi yang dapat mengeliminasi sel abnormal (ablasi) pada penderita keganasan. Populasi sel yang tereliminasi oleh kemoterapi akan digantikan oleh sel punca hematopoetik yang ditransplantasikan (Hakim et al., 2008). Sel punca hematopoetik memiliki molekul yang khas pada permukaan selnya, yaitu molekul glikoprotein CD34. Molekul penanda ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menghitung jumlah sel punca hematopoetik yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber di atas. Bahkan dalam penggunaannya dalam terapi keganasan, telah ditentukan jumlah CD34 yang direkomendasikan oleh ASBMT (American Society for Blood and Marrow Transplantation) dan ISCT (International Society for Cellular Therapy) engraftment dari sel yang ditransplantasikan diperlukan setidaknya 5 x 10 6 CD34+ cells/kg berat badan. Oleh karena itu, fasilitas laboratorium terpercaya yang dapat menghitung jumlah sel
14 CD34+ (CD34 renumeration) menjadi mutlak diperlukan untuk transplantasi jenis ini (Hakim et al., 2008). ii. Sel Punca Mesenkimal Sel punca mesenkimal (MSC) adalah sel progenitor multipoten dengan potensi multilineage untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel asal mesoderm, seperti adiposit, osteosit, dan kondrosit. Dikembangkan kriteria minimal untuk mendefinisikan secara universal MSC manusia. Kriteria meliputi plastisitas, mekspresikan antigen permukaan spesifik (CD73+ CD90+ CD105+ CD34- CD45- CD11b- CD14- CD19- CD79a- HLA- DR-) serta potensial diferensial multipoten dalam kondisi diferensiasi vitro yang standar (Kim dan Cho, 2013). Tidak seperti sel induk hematopoietik, imunogenisitas MSC tanpa MHC-II dan menstimulasi ekspresi molekul. MSC berada di sumsum tulang, otot rangka, jaringan adiposa, jaringan ikat, tali pusar darah, dan produk plasenta (Yan et al., 2013). 7. Secretome Sel Punca Messenkimal
15 Gambar 6. Peran faktor parakrin yang disekresikan MSC (Maumus et al, 2013) Keunggulan sel punca mesenkimal dibandingkan dengan sel punca lainnya sel punca mesenkimal bersifat hipoimmunogenik karena mengekspresikan secara rendah major histocompatibility (MHC) kelas I dan tidak mengekspresikan MHC kelas II atau co-stimulasi molekul (CD40, CD40L, CD80 atau CD86) (Flavio dan Figueroa, 2011). Karena efek pada sel imunokompeten tidak dibatasi MHC, penggunaan sel punca mesenkimal alogenik secara luas digunakan tanpa perlu mencocokkannya dengan Host Leukocyte Antigen (HLAs). Faktor larutan utama yang disekresi oleh sel punca mesenkimal : a. Insulin-Like Growth Factor 1 (lgf-1) b. Hepatocyte Grcwth Factor (HGF) c. Vascular Endhotelial Growth Factor (VEGF) d. Stromal Derived Factor I (SDF-1) Kultur sel punca mesenkimal dilakukan dengan stimulasi tertentu (gambar 6), misalnya hipoksia. Hipoksia mengaktifkan HIF dan NF-kappa β; meningkatkan ekspresi beberapa faktor pertumbuhan, juga menginduksi kegiatan IDO dan meningkatkan stemness (Okt-4 dan Rex-1). Demikian pula, hipoksia pra-ac MSC, mendukung aktivasi caspase 3, Bcl-2, MTP-2, TGF- β1 pada sel target meningkatkan resistensi apoptosis; meningkatkan kapasitas regeneratif dari otot dan sel-sel endotel. b) inflamasi yang disebabkan oleh INF-γ meningkatkan ekspresi molekul anti-inflamasi dan regeneratif
16 dan, melalui TNF-α meningkatkan produksi VEGF dan BMP-2 yang mendukung pembentukan pembuluh darah baru dan osteoblas. Sel punca mesenkimal yang terkena LPS mampu merangkum mitokondria dan memberikan mereka untuk sel-sel lain. c) metode kultur 3D seperti microcarriers atau spheroids menginduksi produksi TSG-6 dan meningkatkan sekresi PGE2. Selain itu, itu juga mendukung sekresi molekul antiapoptotik dan antikanker. Selanjutnya, MSC diperoleh dari konfigurasi 3D, menghambat ekspresi molekul terkait inflamasi dan kanker pada sel target (Madrical et al., 2014). Gambar 7. Peran hipoksia, inflamasi, dan kultur 3D pada MSC (Madrigal et al., 2014)
17 8. Penelitian Yang Relevan Sel mesenkimal yang berasal dari tali pusat (UC-MSC) juga menunjukkan efek terapeutik yang signifikan pada hewan percobaan model lupus. Untuk mengetahui efektivitas UC-MSC pada manusia, Wu et al. (2010) meneliti 16 pasien SLE refrakter yang menerima transplantasi UC-MSC. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UC-MSCs sukses dalam mengurangi keparahan penyakit SLE dengan meningkatnya skor aktivitas penyakit. Pasien juga memiliki perbaikan yang signifikan titer serum ANA dan anti-dsdna, meningkatnya serum albumin, dan meningkatnya C3. Selain perbaikan klinis penyakit, pasien mengalami peningkatan Tregs perifer bersama dengan pemulihan keseimbangan sitokin Th1/Th2 (Collin dan Gilkesson, 2013). Terapi sel punca mesenkimal dari uji klinis terapi sel punca mesenkimal pada manusia adalah terapi sel punca mesenkimal pada SLE berat yang refrakter memberikan hasil yang cukup menggembirakan (Sun et al., 2010; Liang et al., 2010). Telah dilaporkan pula bahwa terapi sel punca mesenkimal berhasil mengurangi gangguan ginjal pada SLE, walaupun penelitian ini menggunakan metode yang belum terkontrol baik (Lee et al., 2010). Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa perlu penelitian lebih lanjut tentang sel punca mesenkimal baik tentang mekanisme aksi dan pengembangan protokol klinik yang aman (Singer dan Caplan, 2011). Sun (2009) memberi terapi 4 pasien dengan SLE dan lupus nefritis yang tidak respon dengan siklofosfamid dan prednison oral ( 20 mg/day).the Disease Activity Index (SLEDAI) meningkat secara bermakna pada bulan ke 1, 6, dan ke 12, dan juga protein urin. Sel limfosit CD4+ Foxp3 (T regulatory) meningkat pada bulan ke 3, dan dosis terapi diturunkan. Tidak ada komplikasi dalam bulan. Hasil penelitian ini mendorong penelitian lagi dengan sampel lebih besar yaitu 15 pasien SLE refrakter termasuk 4 kasus yang dilaporkan terdahulu. Pada penelitian ini sepertiga pasien sebelumnya gagal terapi dengan mycophenolatemophetil (1-2 gr/day x 3 bulan) (Liang et al., 2010). Manifestasi klinis selain ginjal meliputi artritis, penyakit kulit berat, serositis, dan hematologi daran sitopenia yang tidak responsif. Pasien mendapatkan infus sel punca mesenkimal alogenik dari sumsum tulang 3-5 anggota keluarga sehat tanpa pencocokan HLA. Manifestasi klinis dan serologis meningkat secara dramatis. Follow up pasien selama 17.2 (3-36) bulan tanpa adanya efek buruk atau kematian. Proteinuria 24 jam menurun secara drastis adalam waktu 1 minggu setelah terapi sel punca mesenkimal, anti dsdna menurun dalam 1 dan 3 bulan setelah terapi. Treg dimana pada SLE aktif
18 menurun baik kuantitatif atau kualitatif (La Cava et al., 2008) kembali normal dalam waktu 1 minggu dengan menghitung persentase sel limfosit CD4+ Foxp3+ pada darah tepi. Penelitian kedua dari Nanjing China dengan menggunaan sel punca mesenkimal dari darah tali pusat pada 15 pasien lupus berat (Sun et al., 2010). Lima pasien dari 15 kasus ginjal dengan gambaran histologis proliferatif nefritis dan 11 pasien mendapatkan infus siklofosfamid. Tali pusat untuk kultur sel punca mesenkimal berasal dari kelahiran normal, dikultur dalam serum bovine 10%. Follow up pasien hanya 8,25 bulan akan tetapi terjadi peningkatan yang bermakna pada skor SLEDAI, albumin serum, proteinuria urin 24 jam, creatinin, complement, dan antibodi anti dsdna. Penurunan IL-4 dengan peningkatan yang tidak bermakna pada IFN γ menunjukkan perbaikan dari keseimbangan Th2 (Chang et al., 2011) penelitian penelitian tersebut menunjukkan bahwa sel punca mesenkimal harus dipelajari lebih lanjut sebagai terapi lupus. B. Kerangka Pikir pristan TLR9
19 MyD88 mitokondria TNF α secretome NFKB makrofag IL 1B Apoptosis jalur ekstrinsik Sel lymfoid Sumsum tulang E selectin IL 6 TNF α IL8 TNFα Apoptotik body TLR7 Monosit Ly6Chi TGF β leukositosis Complemen secretome PMN Pembuluh darah TLR9 Th1 IFN-1 IL 10 Th0 Th2 IL 6 Sel B autoreaktif Sel Plasma hepatosit Autoantibodi hscrp Sel mesangial ginjal MMP 9 ECM Kolagen tipe IV Fibroblas Kolagen tipe I Degradasi kolagen Glomerulosklerosis Fibrosis interstitial Mikroalbuminuria Gambar 8. Kerangka Pikir Penelitian Keterangan :
20 1. : menghambat 5. : menurunkan 2. : mengaktivasi 6. : variabel tergantug 3. : meningkatkan 4. : variabel bebas Penjelasan (Narasi) Kerangka Konseptual: Pristan (2,6,10,14-Tetramethylpentadecane) adalah alkana isoprenoid yang awalnya diisolasi dari minyak hati ikan hiu, kini sintesis pristan diproduksi untuk menggantikannya dalam penelitian. Pristan digunakan untuk menginduksi plasmasitoma pada mencit model multiple myeloma, nefritis lupus, ataupun penyakit-penyakit autoimun (Reeves et al., 2009), dan rheumatoid arthritis (Hoffmann et al., 2010). Untuk membuat mencit model lupus, bisa digunakan dengan injeksi tunggal 0,5 ml pristan intraperitoneal (Chowdhary et al., 2007). Mekanisme utama pristan dalam menginduksi autoimunitas adalah dengan adanya produksi interferon 1, yaitu berupa IFN α dan IFN β. IFN 1 akan berikatan dengan reseptornya IFNAR dan menyebabkan aktifasi respon imun innate dan adaptif (Reeves et al., 2009). Adanya inflamasi pada peritoneum akan menyebabkan pengeluaran dari monosit imatur Ly6C dari sumsum tulang. Monosit imatur Ly6C inilah yang berperan memproduksi IFN 1 melalui berbagai mekanisme yang komplek. Monosit ini akan berubah menjadi makrofag di jaringan. Adanya sisa apoptosis dari sel akan dikenali oleh TLR7, suatu sensor untuk unmethylated CpG DNA yang dapat mengenali asam nukleat (Reeves et al., 2009). Rangsangan endosomal TLR 7 selanjutnya akan merangsang molekul adaptor MyD88 (Kawai dan Akira, 2007). Langkah selanjutnya melibatkan kinase IRF (interferon regulatory factor) 7. Sinyal dari IRF 7 ini akan menyebabkan transkripsi gen IFN 1 dan terjadi produksi IFN 1 yaitu IFN α dan IFN β (Reeves et al., 2009). Interferon α akan mengaktifkan dari sel T autoreaktif, sel dendritik imatur, dan sel T CD8 sitotoksik. Selanjutnya akan mengaktifkan dari sel limfosit B autoreaktif, terjadi proliferasi dari sel B dan sel plasma. Terjadi peningkatan produksi IG G, yaitu anti ds DNA. Adanya auto antigen, antibodi ds DNA bersama dengan sistem komplemen dan beberapa faktor lainnya akan menimbulkan kompleks imun (Banchereau dan Pasqual, 2006). Injeksi pristan intraperitoneal juga akan menyebabkan tersekresinya autoantibodi, selanjutnya akan terbentuk kompleks antigen-autoantibodi. Kompleks antigen-autoantibodi yang berada di sirkulasi akhirnya akan terdisposisi pada sel target, termasuk sel mesangial, podosit, sel tubulus dan sel endotel di glomerulus. Kompleks ini akan menyebabkan terjadinya
21 glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial pada ginjal, selanjutnya menyebabkan kerusakan pada ginjal dan terjadilah mikroalbuminuria. Disamping itu, terjadinya disfungsi endotel pada pembuluh darah, juga akan terjadi disfungsi endotel kapiler glomerulus yang akan mengurangi negatifitas sehingga terjadi mikroalbuminuria. TGF 1 mempunyai reseptor pada sel target, yaitu sel mesangial, dan sel mesangial yang dirangsang TGF 1 ini akan menghasilkan pembentukan Ekstra Celluler Matrix (ECM), misalnya kolagen, laminin, fibronektin, elastin, proteoglikan dan lainnya. Dalam hal ini yang paling berperan adalah kolagen tipe iv yang mengakibatkan glomerulosklerosis (Purwanto, 2010). Peran dominan IL-6 pada patogenesis SLE adalah untuk mempercepat produksi autoantibodi dengan mempromosikan proliferasi sel B autoreaktif. (Yap dan Lei, 2010), dimana kadar abnormalnya ditemukan pada tikus model lupus maupun pada serum dan jaringan lokal pada pasien lupus. Kadar IL-6 meningkat secara signifikan dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit dan kadar anti dsdna (Su et al, 2012). Reaksi inflamasi akibat bahan-bahan kimiawi (pristan) dan fragmentasi sel ataupun molekul damage-associated molecular pattern (DAMP) akibat proses apoptosis dapat menimbulkan aktivasi makrofag, selanjutnya Nf B menjadi lebih aktif sehingga akan mengekspresikan sitokin-sitokin pro-inflamasi antara lain TNF-, IL-1 maupun IL-6. TNF- bersifat proteolitik, akan merusak glikoprotein sehingga muatan negatip permukaan podosit menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan daya tolak-menolak antara podosit dan albumin berkurang, akhirnya albumin mudah menembus membran filtrasi dan akan terjadi mikroalbuminuria (Purwanto, 2010). Media sekresi sel punca mesenkimal mempunyai efek imunomodulasi. Pada prekondisi hipoksia akan menyebabkan sekresi dari VEGF, HGF 1, IGF -1, SDF-1. (Madrigal et al, 2014) VEGF akan meningkatkan angiogenesis dan mencegah apoptosis endotel (Oyama, 1998) sehingga akan mengurangi derajat vaskulitis. HGF berperan dalam menurunkan aktifitas autoreaktif sel limfosit B (Kuroiwa et al., 2006), sehingga produksi antibodi akan menurun. Selain itu HGF juga akan menurunkan apoptosis endotel (Nakagami et al., 2004) sehingga akan menurunkan vaskulitis. IGF 1 berperan dalam menurunkan apoptosis endotel (Singer dan Caplan, 2011) dan meningkatkan toleransi dari sel APC (Fernandez et al, 2004). Sedangkan SDF akan meningkatkan apoptosis sel T autoreaktif dan menurunkan sel B autoreaktif (Biajoux et al., 2012). Sehingga dengan pemberian media sekresi sel punca mesenkimal ini
22 akan terjadi perbaikan dari kerusakan organ sasaran, yaitu dan perbaikan dari lupus nefritis yang ditandai dari menurunnya ekspresi IL-6 dan menurunnya kadar mikroalbuminuria. C. Hipotesis Penelitian 1. Ada pengaruh pemberian secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-6 pada mencit model lupus dengan induksi pristan. 2. Ada pengaruh pemberian secretome sel punca mesenkimal terhadap kadar mikroalbuminuria pada mencit model lupus dengan induksi pristan..
BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Analisis Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pemberian secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-6 dan kadar mikroalbuminuria
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang
BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) a. Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang ditandai autoantibodi terhadap inti
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. banyak sistem organ (Mocarzel et al., 2015) (Suarjana, 2014), serta respon
6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2.1.1.1. Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks ditandai dengan autoantibodi
Lebih terperinciBAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur
BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh
Lebih terperinciCATATAN SINGKAT IMUNOLOGI
CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang, akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan
Lebih terperinciGASTROPATI HIPERTENSI PORTAL
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos
Lebih terperinciBAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN
BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam
Lebih terperinciIMUNITAS HUMORAL DAN SELULER
BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%
Lebih terperinciMekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang
Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar
Lebih terperinciFAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS
FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan
Lebih terperinci7.2 CIRI UMUM SITOKIN
BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada
4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai
Lebih terperinciMEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA
MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terdapat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Berdasarkan penelitian epidemiologi, Word Healty Organitation (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes mellitus di atas umur 20 tahun berjumlah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Adanya kelainan struktural atau fungsional pada ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut sebagai gagal ginjal kronis (Tanto, et al, 2014). Di Amerika
Lebih terperinciBAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga
54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon
Lebih terperinciMATURASI SEL LIMFOSIT
BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Penelitian dalam bidang sel punca mengalami perkembangan yang sangat
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian dalam bidang sel punca mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam dekade terakhir. Minat penelitian tersebut dipicu oleh kemampuan sel punca untuk berdiferensiasi,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti
Lebih terperinciBAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari
BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan
Lebih terperinciSEL SISTEM IMUN SPESIFIK
SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,
Lebih terperinciRespon imun adaptif : Respon humoral
Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,
Lebih terperinciserta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sel punca sendiri merupakan sel yang mampu mereplikasi dirinya dengan cara beregenerasi, mempertahankan, dan replacing akhir diferensiasi sel. (Perin, 2006). Penelitian
Lebih terperinciBAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS MN / PMN LPS. NLRP3 ASC Adaptor protein OLIGOMERASI INFLAMMASOME. IL-1β SEPSIS SURVIVAL
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Konseptual dan Hipotesis LPS CD14 TLR 4 TRAF poliubikuitinisa IKK MN / PMN LPS EKSTRA SEL SITOSOL Degradasi IKB NFƙB aktif Migrasi ke dalam nukleus NLRP3
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat
Lebih terperinciBAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah
BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hemofilia A adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X, dimana terjadi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37
Lebih terperinciSOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006
SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan
Lebih terperinciMENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS
MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam urat akan didegradasi menjadi alantoin oleh urikase. Kadar serum asam urat diatur melalui sintesis
Lebih terperinciI. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah
I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronis merupakan salah satu penyakit tidak menular yang cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah kasusnya terus meningkat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan buruknya prognosis gagal ginjal kini merupakan masalah yang menjadi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Data World Heart Organization menunjukkan bahwa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan
Lebih terperinciDi seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik adalah salah satu penyebab kematian utama karena merokok (Barnes PJ., 2007). PPOK merupakan masalah kesehatan global yang menjadi penyebab
Lebih terperinciMigrasi Lekosit dan Inflamasi
Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk
Lebih terperinciBASIC STEM CELL. Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot,
BASIC STEM CELL Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot, Introducing stem cells A life story Stem cell merupakan sel yang belum berdeferensiasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang
Lebih terperinciSISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII
SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,
9 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang mempunyai karakterisktik meningkatnya nilai glukosa plasma darah. Kondisi hiperglikemia ini diakibatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama kehamilan, wanita dihadapkan pada berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, salah satunya adalah abortus. Abortus adalah kejadian berakhirnya kehamilan secara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hiperglikemia merupakan manifestasi penyakit diabetes mellitus (DM). Pada saat ini prevalensinya makin meningkat di negara maju. Penyakit ini menempati peringkat empat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia
Lebih terperinciPENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,
PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes Mellitus terjadi akibat keterbatasan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Diabetes Mellitus (DM) adalah sindroma gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes Mellitus terjadi akibat keterbatasan insulin dan menurunnya
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan
BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan terutama pada organ paru, pembuluh darah, jantung dan ginjal (Sakai et al., 1996). Di Amerika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kim et al., 2009). Tuberkulosis pada umumnya terjadi di paru-paru
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari
14 BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tantangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat mengakibatkan stres pada manusia(garciá et al., 2008). Organ yang berperan penting dalam respon terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas
Lebih terperinciTahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik
Tahapan Respon Sistem Imun 1. Deteksi dan mengenali benda asing 2. Komunikasi dengan sel lain untuk merespon 3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon 4. Destruksi atau supresi penginvasi Respon Imune
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk
PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. banyak ditemukan. Menurut Coresh et al. (2007), sekitar 13% populasi dewasa di
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan yang semakin banyak ditemukan. Menurut Coresh et al. (2007), sekitar 13% populasi dewasa di Amerika Serikat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronik yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Lebih terperinci2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut
TUGAS IMUNOLOGI DASAR TUGAS I : CELLS AND TISSUE IN THE IMMUNE SYSTEM 1 Sebutkan jaringan dan sel yang terlibat dalam system imun Jaringan yang terlibat dalam system imun adalah : a. Primer Bone Marrow
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak
digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartilago artikuler merupakan satu jaringan yang unik dengan fungsi sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dalam segala bidang kehidupan. Perkembangan perekonomian di Indonesia yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,
Lebih terperinciPengobatan yang menggunakan bagian tertentu dari sistem imun untuk menyembuhkan penyakit. Sering disebut juga biologic therapy atau biotherapy.
Ika Puspita Dewi 1 Pengobatan yang menggunakan bagian tertentu dari sistem imun untuk menyembuhkan penyakit. Sering disebut juga biologic therapy atau biotherapy. Dapat dilakukan dengan : Menstimulasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Vitiligo merupakan suatu gangguan pigmentasi, ditandai dengan adanya depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya fungsi melanosit epidermis
Lebih terperinciImmunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age
Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat
Lebih terperinciSIFAT-SIFAT STEM SEL JENIS STEM CELL Berdasarkan Potensi atau Kemampuan Berdiferensiasi Berdasarkan Sumbernya adult stem cell
SIFAT-SIFAT STEM SEL Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai 2 sifat: 1. Kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel lain (differentiate). Dalam hal ini stem cell mampu berkembang
Lebih terperinci